penelitian pengentasan kemiskinan.pdf
Post on 02-Mar-2016
104 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DIINDONESIAISBN 978-602-8254-64-9
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Strategi Dan Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia /Syamsuddin./et al.-Cet. 1.Makassar: Yapma, 2011. x, 186 hlm.: 25 cm
BibliografiISBN 978-602-8254-64-9
1. Strategi dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan-Indonesia I. Judul
Tim PenelitiSyamsuddin, S.Hum (Koordinator Peneliti)
Prof. Dr. Makmur, M.Si (Peneliti)Drs. Sulaeman Fattah, M.Si (Peneliti)Prof. Amir Imbaruddin, MDA, Ph.D (Peneliti)Drs.Wahidin, M.Si (Peneliti)Nuraeni Sayuti, SE, M.Si (Peneliti)Prof. Dr. Muh. Basri, M.Si (Peneliti)Najmi Kamariah, SE, M.Si (Peneliti)Halim, SH, MH (Peneliti)Muh. Syarif Ahmad, S.Sos, M.Pd (Peneliti)Abd. Azis, S.Sos (Peneliti)
Mariati, S.Kom (Pembantu Peneliti)Ahsan Anwar, SE, M.Si (Pembantu Peneliti)A. Rasdiyanti,SS, M.Pd (Pembantu Peneliti)Astriana, SE (Pembantu Peneliti)Mariana, S.Si (Pembantu Peneliti)
EditorKoordinator : Drs. Sulaeman Fattah, M.SiAnggota : Bachtiar Reskiawan Narwis, SE
Andi Marlina, A. MdM. Rizal, A.MdAdekamwa
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 PASAL 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulandan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatuciptaan atau barang hasil pelangggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.-(lima ratus juta rupiah).
-
KATA SAMBUTAN
Segala Puji kami panjatkan kehadiran Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas rahmat dan karunia-NYA STIA LAN Makassar dapat melahirkan kembali karya
ilmiah berupa laporan hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai referensi baik
untuk pengembangan ilmu maupun untuk pengambilan keputusan.
Sebagai pimpinan STIA LAN Makassar saya menyampaikan penghargaan dan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada anggota TIM Penelitian yang telah
bekerja seoptimal mungkin dalam rangka menyumbangkan suatu karya yang amat
penting, baik untuk pengembangan ilmu maupun untuk kepentingan pragmatis dalam
rangka pengambilan keputusan. Penelitian yang berjudul STRATEGI DANKEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DIINDONESIA ini, dipandang relevan dalam konteks kekinian dan pada masa yangakan datang.
Disebut relevan karena kemiskinan dipandang sebagai suatu penyakit yang harus
dimusuhi dan dihilangkan tapi faktanya Kemiskinan juga masih menjadi bagian
yang abadi dalam kehidupan masyarakat manusia. Pemerintah sebagai institusi yang
paling bertanggung jawab, sudah sejak lama juga dipandang memiliki perhatian
terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Namun hasil kinerja yang diperoleh tidak
pernah beranjak dari kegagalan. Atas fakta tersebut, maka evaluasi terhadap
kebijakan publik bidang pengentasan kemiskinan perlu mendapat perhatian. Dari
hasil penelitian ini telah memberi suatu pemahaman tentang bagaimana pemerintah
daerah dengan kebijakan publiknya mengentasi kemiskinan di daerahnya.
Makassar, Desember 2011Ketua STIA LAN Makassar,
Prof. Dr. Makmur, M.Si
-
iii
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan Rahmat, Taupiq dan Hidayah-Nya sehingga laporan hasil
penelitian STIA-LAN Makassar untuk tahun 2011 dengan Judul: Strategidan Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan diIndonesia dapat diselesaikan sebagaimana waktu yang diharapkan.
Penelitian ini dilaksanakan pada 6 daerah sampel yaitu Kota
Denpasar (Bali), Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Pontianak (Kalimantan
Barat), Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Kota Palu (Sulawesi
Tengah) dan Kota Surabaya (Jawa Timur). Kepada Narasumber,
Responden dan Pembantu Lapangan yang telah memberi data dan
informasi yang dibutuhkan dalam peneltian ini kami ucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Terima kasih dan penghargaan yang sama juga disampaikan
kepada Narasumber penilai atas masukan, saran dan koreksinya terhadap
laporan ini. Terkhusus kepada anggota tim peneliti, terima kasih atas
kerjasama dan dedikasinya yang tinggi serta upaya yang ditunjukkan
untuk menghasilkan penelitian yang baik. Semoga apa yang telah
dilakukan memberi manfaat. Amin.
Makassar, Desember 2011
Kepala Unit P3M
Drs. H. Sulaeman Fattah, M.Si
-
iv
-
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .................................................................................... i
Kata Sambutan .................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................. iii
Daftar Gambar .................................................................................... v
Daftar Tabel ......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 9
A. Tinjauan Teori ................................................................. 9
1. Kebijakan Publik ......................................................... 9
2. Kebijakan Pelayanan Publik ....................................... 23
3. Strategi dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ...... 44
4. Faktor-Faktor Penentu Implementasi Kebijakan ......... 56
B. Devinisi Operasional Variabel ......................................... 78
C. Kerangka Teoritik ............................................................ 80
D. Pertanyaan Penelitian ..................................................... 81
-
iv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................. 82
A. Metode Penelitian ............................................................ 82
B. Lokasi Penelitian.............................................................. 82
C. Responden dan Informan Penelitian ............................... 83
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 83
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................. 84
BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................... 86
A. Deskripsi Lokasi Penelitian .............................................. 86
B. Karakteristik Responden.................................................. 105
C. Pembahasan Hasil Penelitian .......................................... 108
1. Deskripsi Strategi Pengentasan Kemiskinan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Indonesia ...... 108
2. Deskripsi Implementasi Kebijakan Pengentasan
Kemiskinan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Di Indonesia................................................................. 118
BAB V PENUTUP .............................................................................. 184
A. Kesimpulan ...................................................................... 184
B. Saran ............................................................................... 185
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
vDAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Gambar Halaman
1. Hubungan Antar Elemen kebijakan Publik.......................... 15
2. Model Kelembagaan Pengelolaan Layanan Publik.............. 32
3. Model Kelembagaan Organisasi Pelayanan ...................... 35
4. Tujuan Kebijakan Sosial.. 60
4. Kerangka Teoritik ............................................................... 80
-
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Tabel Halaman
1. Karakteristik Responden Penelitian ..... 107
2. Deskripsi Strategi dan Program Pengentasan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Indonesia.............................................. 108
3. Tanggapan Responden tentang ketepatan waktu
penyampaian informasi dari pimpinan organisasi kepada
para stafnya dalam implementasi kebijakan pengentasan
kemiskinan di Indonesia...................................................... 117
4. Tanggapan Responden tentang transparansi informasi
pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia................................ 119
5. Tanggapan Responden tentang konfirmasi pengelola
kebijakan untuk mendapatkan kejelasan informasi yang
tidak dipahami dengan jelas dalam implementasi
kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia............................................................................ 121
6. Tanggapan Responden tentang transparansi informasi
pemerintah daerah pada tahap pelaksanaan pengentasan
kemiskinan di Indonesia ..................................................... 123
-
vii
7. Tanggapan Responden tentang Informasi pada tahap
penyusunan anggaran dan pelaksanaan kebijakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia diterapkan secara
konsisten............................................................................. 125
8. Tanggapan Responden tentang kemampuan pelaksana
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai
tahapan/ jadwal yang telah ditetapkan................................ 132
9. Tanggapan Responden tentang pegawai yang dipilih
untuk menjadi pelaksana implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia telah memiliki
kualifikasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan.............. 134
10. Tanggapan Responden tentang pelaksana implementasi
kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia sudah
mengikuti diklat teknis yang mendukung pelaksanaan
tugas mereka................................................................ ...... 136
11. Tanggapan Responden tentang aplikasi hasil pelatihan
dalam mendukung pelaksanaan kebijakan pengentasan
kemiskinan di Indonesia...................................................... 138
12. Tanggapan Responden tentang jalannya arus informasi
yang berhubungan dengan implementasi kebijakan
-
viii
pengentasan kemiskinan di Indonesia................................ 140
13. Tanggapan Responden tentang jalannya arus informasi
mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia terhadap peraturan dan regulasi pimpinan yang
telah ditetapkan................................................................... 142
14. Tanggapan Responden tentang pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sudah sesuai
dengan kewenangannya..................................................... 144
15. Tanggapan Responden tentang sikap pimpinan unit kerja
dalam kewenangan yang sudah dilimpahkan kepada
pengelola kebijakan kebijakan pengentasan kemiskinan
di Indonesia........................................................................ 146
16. Tanggapan Responden tentang ketersediaan peralatan
yang digunakan untuk mendukung kelancaran
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia............................................................................ 148
17. Tanggapan Responden tentang pemanfaatan peralatan
yang tersedia secara optimal oleh pelaksana
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
-
ix
Indonesia............................................................................ 150
18. Tanggapan Responden tentang sikap pimpinan unit kerja
kepada pengelola kebijakan yang menjalankan tugas
sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam
pelaksanaan implementasi kebijakan pengentasan
kemiskinan di Indonesia...................................................... 158
19. Tanggapan Responden tentang sistem pengawasan yang
diterapkan oleh pimpinan unit berkaitan dengan
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia............................................................................ 160
20. Tanggapan Responden tentang pembuatan laporan dan
perkembangan setiap item implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia......................... 162
21. Tanggapan Responden tentang proses pelaksanaan
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia apakah berpedoman pada aturan yang telah
ditetapkan........................................................................... 164
22. Tanggapan Responden tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia dilakukan pada setiap akhir tahun
anggaran............................................................................. 166
-
x23. Tanggapan Responden tentang fungsi pengawasan
DPRD dalam melakukan peninjauan ke lokasi
pelaksanaan implementasi kebijakan pengentasan
kemiskinan di Indonesia..................................................... 168
24. Tanggapan Responden tentang fungsi pengawasan
DPRD dalam melakukan hearing (meminta penjelasan)
kepada pengelola kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia............................................................................ 170
25. Tanggapan Responden tentang alur pelaksanaan
implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan di
Indonesia apakah sudah memiliki
SOP.................................................................................... 176
26. Tanggapan Responden tentang peran SOP dalam
mengoptimalkan hasil kebijakan pengentasan kemiskinan
di Indonesia.................................................................... ..... 178
27. Tanggapan Responden tentang penerapan fungsi
koordinasi dalam menyikapi berbagai masalah yang
muncul pada tahap pelaksanaan implementasi kebijakan
pengentasan kemiskinan di Indonesia................................ 180
-
1BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang
Percepatan Pengentasan Kemiskinan (PPK), pemerintah menetapkan upaya
penanggulangan kemiskinan sebagai satu dari beberapa prioritas. Perpres
tersebut menjelaskan bahwa sasaran yang hendak di capai dalam lima tahun
adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolute sebesar 8,2 persen
dari tingkat kemiskinan.
Pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan
kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat yang tertuang dalam pembangunan nasional berencana
delapan tahun (penasbede). Program tersebut terhenti di tengah jalan akibat
krisis politik tahun 1965 (Badan Perencanaan Pembanguan Nasional, 2007).
Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program
penanggulangan kemiskinan melalui rencana pembangunan lima tahun
(repelita), khususnya repelita I-IV yang di tempuh secara reguler melalui
program sektoral dan regional. Pada repelita V-VI pemerintah melaksanakan
program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan
masalah kesenjangan sosial ekonomi (TKPK, 2007). Jalur pembangunan
ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan
-
2regional yang dalam koordinasi inpres nomor 3 tahun 1993 tentang
peningkatan penanggulangan kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui
program IDT (inpres desa tertinggal). Repelita V-VI pun gagal akibat krisis
ekonomi dan politik tahun 1997. Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis
lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program jaring pengaman sosial (JPS)
yang dikoordinasi melalui keppres nomor 190 tahun 1998 tentang
pembentukan gugus tugas peningkatan jaring pengaman sosial (Bappenas,
2007).
Permasalahan kemiskinan di Indonesia semakin penting maka,
melalui keputusan presiden (Keppres) No. 124 Tahun 2001 unto No. 34 dan
nomor 8 tahun 2002 maka dibentuklah komite penanggulangan kemiskinan
(KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan
koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh
upaya penanggulangan kemiskinan. Untuk lebih mempertajam keberadaan
komite penanggulangan kemiskinan maka dikeluarkanlah Permendagri No.
42 Tahun 2010 tentang Tim Kooordinasi Pengentasan Kemiskinan (TKPK).
Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-
hasil yang telah dicapai oleh KPK (TKPK, 2010). Sesuai dengan Peraturan
Presiden No. 15 Tahun 2010 tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-
langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin
diseluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi dan pelaksanaan
penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.
-
3Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan
mencapai tujuan pembangunan milenium (MDGS), strategi penanggulangan
kemiskinan daerah (SKPD) telah disusun dan dijabarkan melalui proses
parsitipatif dengan melibatkan seluruh steke holders pembangunan di
daerah. SPK menggunakan pendekatan berbasis hak (right-based approach)
sebagai pendekatan utama dengan menegaskan adanya pencapaian secara
bertahap dengan progresif dalam penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak dasar rakyat, memberikan perhatian terhadap perwujudan
kesetaraan dan keadilan gender, dan percepatan pengembangan wilayah.
Kemiskinan merupakan masalah yang dialami oleh hampir semua
daerah, terutama daerah yang padat penduduknya dan daerah yang memiliki
sumber daya alam yang terbatas. Pemerintah memandang kemiskinan
merupakan masalah yang bersifat multidimensi dan multi sektor yang harus
segera di atasi karena menyangkut harkat dan martabat manusia, sehingga
pemerintah berupaya memecahkan persoalan kemiskinan dengan berbagai
program.
Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi tetapi juga
sosial, budaya, politik juga ideologi. Secara umum kondisi kemiskinan
tersebut ditandai kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. Berkaitan
dengan sifat kemiskinan yang multi dimensi tersebut maka kemiskinan telah
menyebabkan dampak yang juga beragam dalam kehidupan nyata, antara
-
4lain: (1) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (2)
rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat (3) rendahnya partisipasi
masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ,
(5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan
merosotnya mutu generasi yang akan datang (Rencana Strategis
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).
Indikasi tersebut diatas merupakan kondisi yang paling terkait dan
saling mempengaruhi satu sama lain.langkah prioritas pemerintah dalam
jangka pendek, pertama, untuk mengurangi kesenjangan antar daerah antara
lain dengan (1) penyediaan sarana irigasi, air bersih, dan sanitasi dasar
terutama daerah-daerah langka sumber air bersih; (2) pembangunan jalan,
jembatan, dan dermaga terutama daerah terisolasi dan tertinggal; serta (3)
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan
rendah dengan instrumen dana alokasi khusus (DAK). Kedua, untuk
perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui: bantuan dana
stimulan untuk modal usaha terutama melalui kemudahan dalam mengakses
kredit mikro dan ukm. Pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan
kulaitas tenaga kerja, peningkatan inventasi dan revitalisasi industri termasuk
industri padat tenaga kerja, pembangunan sarana dan prasarana berbasis
masyarakat yang padat. Pekerja ketiga, khusus untuk pemenuhan hak
dasar penduduk miskin secara langsung diberikan pelayanan antara lain (1)
-
5pendidikan gratis bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun termasuk bagi murid
dari keluarga miskin dan penunjangnya; serta (2) jaminan pemeliharaan
kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas
3 (Tiga).
Dalam hal mencapai ketiga langkah prioritas tersebut maka yang
akan dikembangkan dalam budaya pembangunan di indoneisa adalah
pemberdayaan masyarakat miskin, mulai dari perencanaan program
pembangunan, baik penentuan kebijakan dan penganggarannya, sampai
pelaksanaan program serta monitoring dan evaluasinya.
Analisis dampak kebijakan publik merupakan fokus pembicaraan
yang menarik untuk dicermati karena tiga hal penting.pertama.konteks
desentralisasi pemerintahan yang mewarnai wacana penyelenggaraan
pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Kedua, studi tentang
dampak kebijakan yang senantiasa dikritis oleh berbagai pihak (kalangan
akademis dan praktiksi). Ketiga, esensi dan urgensi evaluasi kebijakan publik
dengan kemanfaatan kebijakan yang di evaluasi terlihat melalui dampaknya
terhadap sasaran (target) yang dituju.
Tingginya angka penduduk miskin menuntut dilakukannya langkah-
langkah konkrit dan mendasar untuk menekan angka tersebut. Dengan
perkataan lain, diperlukan kebijakan spesifik untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program atau kebijakan yang berpihak
pada si miskin. Kebijakan dan program penanggulanan kemiskinan secara
-
6makro masih belum tepat sasaran dan masih berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi makro serta memposisikan masyarakat sebagai obyek sehingga
masyarakat tidak terlibat dalam keseluruhan proses penanggulanan
kemiskinan.
Selama ini strategi dan kebijakan pemerintah daerah dalam
pengentasan kemiskinan di Indonesia belum bisa berjalan secara optimal, hal
itu diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Angka kemiskinan yang masih tinggi (Gagal mencapai target 8,2
persen dari tingkat kemiskinan pada Tahun 2010)
2. Program pengentasan kemiskinan yang sangat banyak tapi tidak
terkoordinasi dengan baik.
3. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan ada pada semua
level pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) tapi tidak ada
sinkronisasi.
4. Keterlibatan Institusi dan atau SKPD yang sangat banyak tapi tidak
efektif.
5. Implementasi kebijakan/program yang masih sangat lemah.
B. Rumusan masalah
Permasalahan kemiskinan dengan berbagai karakteristiknya ini tidak
mudah dipecahkan tanpa adanya keterlibatan semua unsur karena kunci
-
7utama dari upaya penanggulangan kemiskinan di daerah adalah
terbangunnya serta melembaganya jaringan koordinasi, komunikasi dan
kerjasama dari tiga pilar yang ada di daerah: pemerintah daerah, masyarakat,
dan kelompok peduli (LSM, swasta, perguruan tinggi, ulama/tokoh
masyarakat dan pers).
Permasalahan kemiskinan dapat ditanggulangi jika tiga komponen
tersebut salin kerjasama dalam semangat kebersamaan dan berpartisipasi
mencapai alternatif pemecahan masalah. Peran pemda dalam membangun
daerah menjadi titik sentral karena daerah telah di beri kewenangan untuk
mengatur otonominya sendiri agar mampu mandiri. Hal ini merupakan
perubahan besar dalam sejarah tata pemerintahan, perubahan yang terjadi
pada saat diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah yang menimbulkan perbedaan persepsi tentang kebijakan
pembangunan dan pola penanggulangan kemiskinan. Perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah dan derasnya arus pemikiran baru yang
berkembang dalam jargon-jargon reformasi telah membawa paradigma baru
dalam penyelenggaraan pembangunan daerah.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah strategi dan kebijakan
pemerintahan daerah dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia?
-
8C. Tujuan dan manfaat penelitian
a. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
Bagaimanakah strategi dan kebijakan pemerintah daerah dalam
pengentasan kemiskinan di Indonesia.
b. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
diharapkan dapat memperkaya khasanah pengembangan ilmu
administrasi publik khususnya terkait dengan kebijakan
pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
2. Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian
ini adalah dapat memberikan saran dan rekomendasi kebijakan
dalam kerangka kebijakan pemerintah daerah dalam pengentasan
kemiskinan di Indonesia.
-
9BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan atau kebijakan publik sudah sering kita dengar
melalui berbagai media massa (baik melalui surat kabar, televisi, ataupun
internet) maupun dalam pembicaraan sehari-hari. Istilah tersebut sering
dikaitkan dengan bidang tertentu misalnya kebijakan ekonomi. Kebijakan
ekonomi, kebijakan pendidikan, kebijakan tenaga kerja, dan lainnya; atau
dibicarakan ketika dikaitkan suatu persoalan (masalah) yang terjadi dalam
kehidupan kita, misalnya kebijakan pembinaan pedagang kaki lima, kebijakan
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, kebijakan pemberdayaan
masyarakat, dan lain-lain
Masalah-masalah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
suatu negara kalau di angkat ke atas pentas politik akan merupakan masalah
yang mendesak untuk di pecahkan pemerintah. Masalah-masalah itu hidup,
seperti hidupnya suatu masyarakat yang dinamis. Itulah sebabnya birokrasi
pemerintah mempunyai kepentingan terhadap pemecahan masalah-masalah
publik, dalam arti mempunyai tanggung jawab untuk bertindak dalam
memecahkan persoalan tersebut melalui suatu kebijakan publik.
-
10
a. Pengertian dan hakekat kebijakan publik
Berangkat dari pemahaman bahwa kebijakan merupakan
tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, dan
pemahaman bahwa konsep publik berkaitan dengan kepentingan banyak
orang (umum), maka dapat di kemukakan beberapa pendapat mengenai
pengertian kebijakan publik.
Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam
kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan
suatu tindakan yang di anggap akan membawa dampak baik bagi
kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas.
Kebijakan publik sering diartikan sebagai apa saja yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan; hal ini dapat kita lihat
dari pengertian yang disampaikan oleh Wool (dalam Tangkilisan, 2003),
yang menurutnya kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah
untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung
maupun berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat
pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: (1)
adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang di buat oleh politisi,
pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan
-
11
kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat : (2) adanya
out put kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini
menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan,penganggaran
pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3) adanya dampak
kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
Tidak berbeda jauh dengan pendapat tersebut, maka Thomas R
Dye (dalam Islamy, 2005) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
whatever govemments chose to do or not to do, yaitu segala sesuatu
atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan sebagai suatu upaya untuk
mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah,
mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka
melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan maka,
tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus
meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan
atau pejabat pemerintah saja.disamping itu, sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini
disebabkan karena sesuatu hal yang tidak dilakukan oleh pemerintah
-
12
akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah.
Anderson (dalam Widodo, 2007) mengartikan kebijakan publik
sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan anderson ada
elemen-elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik antara
lain adalah; (1) mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada
tujuan; (2) berisi tindakan-tindakan pemerintah; (3) merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh pemerintah, bukan merupakan apa yang
masih di maksudkan untuk dilakukan; (4) bersifat positif dalam arti
merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah
tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu; (5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya
dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang
bersifat mengikat dan memaksa.
Beragam pengertian mengenai kebijakan publik merupakan
penjelasan ringkas yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan
mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerapan, dan evaluasinya
telah banyak upaya untuk mendefisinikan kebijakan publik secara jelas,
namun pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang
seringkali tumpang tindih, ambigu dan luas.
-
13
Parsons menyatakan kebijakan publik adalah sebagai
perwujudan keinginan dari para sarjana sosial untuk mencegah masalah-
masalah sosial dilapangan (close the gap betweenknowledge and policy)
(Parsons, 2005: 21) oleh karenanya kebijakan publik dipandang sebagai
pedoman atau penuntun yang dipilih oleh pengambilan keputusan untuk
mengendalikan aspek tertentu dari masalah sosial.
Sebagai suatu penuntun, maka kebijakan publik memberikan
arah tindakan bagi sejumlah program dan proyek yang membutuhkan
keputusan-keputusan besar dan kecil. Arah tindakan ini di hasilkan
melalui proses pemilihan oleh pengambil kebijakan dari sejumlah alternatif
pilihan yang tersedia sehingga tindakan ini merupakan tindakan yang
sengaja. Pilihan tersebut tidak bermaksud memecahkan semua masalah.
Tetapi memberikan solusi dari suatu yang terbatas.
b. Elemen-elemen kebijakan publik
Berdasarkan pengertian atau definisi yang telah di bahas
sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa kebijakan publik memiliki
elemen-elemen sebagaimana dikemukakan oleh Anderson (dalam
Widodo, 2007)
a) Kebijakan publik merupakan tindakan yang selalu berorientasikepada tujuan bukan sesuatu yang muncul begitu saja.
b) Kebijakan publik merupakan suatu rangkaian tindakan yang terkaitsatu sama lain yang di lakukan secara konsisten, mulai daripembentukan agenda, kemudian di susul dengan perumusan atauformulasi kebijakan, di lanjutkan dengan implementasi sampaidengan evaluasi kebijakan tersebut.
-
14
c) Kebijakan publik itu merupakan sesuatu yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan yang hendak di lakukan atau yangmereka katakan hendak di lakukan.
d) Setiap kebijakan selalu memiliki elemen-elemen apakah itu sifatnyapositif ataukah negatif. Di katakan positif karena apa yang diputuskan oleh pemerintah biasanya untuk menyelesaikan sebuahpersoalan, dan dikatakan negatif karena pemerintah dapat sajatidak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan persoalan yangdalam masyarakat.
e) Kebijakan yang dibuat dalam sebuah negara pasti punya dasarhukumnya. Bukan yang dibuat dengan sekendak hati penguasasaja. Dan dikatakan otoratif karena mengandung makna yangsifatnya mengikat.
Dalam pandangan beberapa ahli seperti Thomas R Dye, William
Dun dan Mustopadidjaja (dalam Widodo, 2006:13) bahwa terdapat
elemen-elemen dalam kebijakan publik antara lain: kebijakan publik,
pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, dan kelompok sasaran kebijakan.
Elemen-elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pelaku kebijakan, dalam hal ini adalah para pemegang kekuasaan dan
pengambilan keputusan, merekalah yang membuat dan menjadikan
sumber munculnya suatu kebijakan dan yang biasanya menjadi isu
studi adalah adanya konflik kepentingan dan bagaimana
menyelesaikannya.
b) Linkungan, merupakan sumber munculnya kebijakan, dalam sebuah
sistem, linkungan inilah yang menjadi fase input dimana dari sinilah
muncul kebutuhan.permintaan, harapan, keluhan dan yang sejenisnya
yang merupakan cikal bakal kebijakan.
-
15
c) Isi kebijakan atau kebijakan itu sendiri, yang menjadi objek studinya
adalah bagaimana proses pembuatan kebijakan dan sratafikasi atau
tingkatan kebijakan. Kebijakan merupakan keputusan atas sejumlah
pilihan yang kurang lebih berhubungan satu sama lain yang
dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujaun tertentu
d) Kelompok sasaran yaitu masyarakat. Ada yang berpendapat orang
atau sekelompok orang, atau organisasi-organisasi dalam masyarakat
yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan
bersangkutan atau mempunyai kewajiban menjalankan kebijakan.
Hubungan antar elemen-elemen kebijakan publik dapat
dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 1. Hubungan antar elemen kebijakan publik
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa seluruh elemen-elemen
tersebut saling berhubungan satu sama lain, dimana aksi dari yang satu
dapat memunculkan reaksi dari yang lain menghasilkan hubungan timbal
Pelaku Kebijakan
Isi Kebijakan
Kelompok Sasaran
Lingkungan Kebijakan
-
16
balik. Pada satu waktu lingkungan (kebutuhan) dapat menjadi sumber
masalah bagi pelaku kebijakan, tapi di waktu yang lain kebijakan yang
dibuat para pelaku kebijakan justru menjadi penyebab munculnya reaksi
(keluhan) dari lingkungan.
Sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sub-sistem atau elemen,
komposisi dari kebijakan dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu proses
kebijakan dan struktur kebijakan. Dari sisi proses kebijakan, terdapat
tahap-tahap sebagai berikut: identifikasi masalah dan tujuan, formulasi
kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan, sedangkan dari segi
struktur terdapat beberapa unsur, yaitu (a) tujuan kebijakan; (b) masalah
sebagai dasar perlunya suatu kebijakan dibuat, sehingga masalah
merupakan salah satu unsur penting dari kebijakan; (c) tuntutan
(demand), dimana tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demand) berupa
desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak
mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu; (d) dampak
(outcomes) yang merupakan tujuan lanjutan yang timbul sebagai
pengaruh dari tercapainya suatu tujuan; dan (e) sarana atau alat
kebijakan (policy instruments), misalnya kekuasaan, insentif,
pengembangan kemampuan, simbolis dan perubahan kebijakan itu
sendiri.
-
17
c. Dimensi-dimensi kebijakan
Untuk lebih memahami mengenai konsep kebijakan publik.
Bridgeman dan Davis (2004) menerangkan bahwa kebijakan sedikitnya
memiliki tiga dimensi yang saling bertautan. Yakni sebagai pilihan
tindakan yang legal atau sah secara hukum (authoritative choice) sebagai
hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).
1. Kebijakan sebagai pilihan tindakan yang legal. Pilihan tindakandalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat olehorang yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan.Keputusan-keputusan itu mengikat para pegawai negeri untukbertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan sepertimenyiapkan rancangan Undang-Undang atau peraturanpemerintah untuk di pertimbangkan oleh parlemen ataumengelokasikan anggaran guna mengimplementasikan programtertentu.
2. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwapemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menanganiberbagai isu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai responatau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. Halberarti kebijakan adalah: (a) Kebijakan berarti pencapaian tujuanpemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik; (b)menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujiankonsekuensi-konsekuensinya; (c) terstruktur dengan para pemaindan langkah langkahnya yang jelas dan terukur; (d) bersifat politisyang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas programlembaga eksekutif.
3. Kebijakan sebagai hipotesis. Kebijakan di buat berdasarkan teori,model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa berdasarkan pada asumsi-asumsi mengenaiperilaku. Kebijakan selalu mengandung insetif yang mendorongorang untuk melakukan sesuatu atau disensif yang mendorongorang tidak melakukan sesuatu kebijakan harus mampumenyatukan pikiran-pikiran (proyeksi) mengenai keberhasilanyang akan dicapai dan mekanis mengatasi kegagalan yangmungkin terjadi.misalnya, jika pemerintah menaikkan harga BBM,maka akan banyak perusahaan menaikkan harga produksinyayang akan mengakibatkan harga barang-barang meningkat dan
-
18
masyarakat kelas bawah semakin sulit memenuhi kebutuhanhidupnya. Sehingga memandang kebijakan sebagai hipotesis jugamenekan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasilimplementasi dan evaluasi.
4. Kebijakan sebagai tujuan. Kebijakan adalah a means to end, alatuntuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan pada akhirnyamenyangkut pencapain tujuan masyarakat (publik). Artinya,kebijakan adalah seperangkat tindakan pemerintah yang di desainuntuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publiksebagai konstituen pemerintah. Sebuah kebijakan tanpa tujuantidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkanmasalah baru. Misalnya, sebuah kebijakan yang tidak memilikitujuan jelas.
5. Program-program akan diterapkan secara berbeda-beda, strategipencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analisis akanmenyatakan bahwa pemerintah telah kehilangan arah. Penetapantujuan juga merupakan kegiatan yang palin penting karena hanyatujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan publik. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkalikehilangan arah dalam menetapkan tujuan-tujuan kebijakan solusikerap kali dipandang lebih penting dari pada masalah.
Agar kebijakan terfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan,
pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang
meliputi perencanaan dan evaluasi.dalam proses ini, para pembuat kebijakan
biasanya di pandu oleh pertanyaan-pertanyaan seperti: apa maksud atau
fungsi sebuah kebijakan?, bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi
agenda pemerintah secara keseluruhan, departemen-departemen
pemerintah, kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat banyak?, apa
dan bagaimana hubungan antara alat-alat implementasinya dengan tujuan-
tujuan kebijakan?, bagaimana kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang lainnya?, dapatkan kebijakan yang baru itu
menghasilkan perbedaan seperti yang diharapkan? Dalam sebuah lingkaran
-
19
perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal di buat berdasarkan
hipotesis yang rasional guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang di
tetapkan.
Rumusan sederhana ini menunjukkan hubungan antara ketiga
dimensi kebijakan di atas, artinya kebijakan sebagai pilihan tindakan legal,
sebagai hipotesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang salin
mempengaruhi satu sama lain. Ketiganya merupakan persyaratan sekaligus
tantangan bagi kebijakan yang efektif.
d. Proses kebijakan publik
Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses
kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses
kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu
bagian ke bagian lain secara sinambung. Saling menentukan dan
saling membentuk.
Kebijakan publik dalam sebuah negara merupakan produk
dari berbagai aktivitas yang melewati berbagai tahapan, dan diantara
tahapan-tahapan tersebut saling terkait satu sama lain. Hal ini dapat
dilihat dari pendapat Udoji (Islamy, 2004) yang menyatakan proses
kebijakan sebagai keseluruhan tahapan yang menyangkut:
pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan pemecahan
-
20
masalah, penyaluran tuntutan/aspirasi, pengesahan dan pelaksanaan/
implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Menurut Thomas R Dye bahwa sebuah kebijakan di buat
dapat diketahui dengan mempertimbangkan sejumlah aktifitas dan
proses yang terjadi di dalam sistem politik. Thomas R Dye (Widodo,
2007:16-17) memberikan pendapat tentang proses kebijakan publik
yang terdiri atas:
a) Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)yang di lakukan melalui identifikasi apa yang menjadi tuntunan(demans) atas tindakan pemerintah.
b) Penyusunan agenda (agenda setting), merupakan aktivitasmemfokuskan perhatian pada pejabat publik dan media masaatas keputusan apa yang di putuskan terhadap masalah publiktertentu.
c) Perumusan kebijakan (policy formulation) merupakan tahapanpengusulan rumusan kebijakan melalui organisasiperencanaan kebijakan, kelompok kepentingan, birokrasipemerintah, presiden dan lembaga legislatif.
d) Pengesahan kebijakan (legitimating of policies) melalui tindakanpolitik oleh partai politik, kelompok penekanan, presiden dankongres;
e) Implementasi kebijakan (policy implementation) di lakukanmelalui birokrasi, anggaran publik dan aktivitas agen eksekutifyang terorganisasi.
f. Evaluasi kebijakan (policy evaluation) dilakukan oleh lembagapemerintah sendiri, dari luar pemerintah, pers, dan masyarakat(publik)
Dalam pandangan yang sedikit berbeda dengan apa yang
disampaikan Dye, maka james Anderson (Kurniawan, 2010)
mengemukakan tahapan dalam proses kebijakan sebagai berikut:
-
21
Tahap 1: agenda kebijakan, dimana sejumlah permasalahan
diantaranya banyak permasalahan lainnya yang dapat perhatian serius
dari pejabat publik.
Tahap 2: perumusan kebijakan merupakan tahapan
pengembangan usulan akan tindakan yang terakait dan dapat diterima
untuk menangani permasalahan publik
Tahap 3: adopsi kebijakan, sebagai tindakan pengembangan
dukungan terhadap sebuah proposal tertentu sehingga sebuah
kebijakan dapat dilegitimasi atau disahkan. Dalam hal ini membuat
pemerintah untuk menerima solusi tertentu tehadap masalah.
Tahap 4: implementasi kebijakan, atau aplikasi kebijakan
oleh mesin administrasi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan.
Tahap 5: evaluasi kebijakan, sebagai upaya pemerintah
untuk menetukan apakah kebijakan efektif. Serta mengapa efektif atau
tidak efektif? Atau melakukan penilaian apakah kebijakan bekerja
dengan baik?
Selain itu Charles O. Jones (dalam Albab, 2006) sebagai
salah satu ilmuan yang banyak mengkaji teori kebijakan publik,
bahkan membagi tahap-tahap yang dilalui sebagai sebuah proses
yang sangat panjang. Yaitu tidak kurang dari 11 tahap yang akan
ditempuh. Hal yang sangat menarik dari Jones adalah (1)
mengidentifikasi masalah apa yang menyangkut kepentingan siapa,
-
22
(2) mengapa masalah dalam masyarakat muncul (3) bagaimana
tumbuh berkembangnya masalah tersebut dan (4) kapan dan
bagaimana masalah itu muncul.
Dari berbagai konsep atau pendapat ahli mengenai proses
atau tahapan dalam kebijakan publik (yang kemudian juga
dikembangkan sebagai tahapan perumusan kebijakan) mengantarkan
kita pada pemahaman bahwa, pada umumnya merupakan aktivitas
yang berkaitan dengan bagaimana masalah dirumuskan, agenda
kebijakan ditentukan, kebijakan dirumuskan, keputusan kebijakan
diambil, kebijakan dilaksanakan dan kebijakan dievaluasi.
Pada pemerintah daerah, lembaga sah yang membuat
perencanaan kebijakan publik adalah kepala daerah dan DPRD.
Langkah-langkah pemerintah daerah dalam membuat rencana
kebijakan menurut Nurcholis (2007:267) adalah: pertama membuat
agenda kebijakan, kedua melakukan indentifikasi kebutuhan, ketiga
membahas usulan yang kongkrit berdasarkan langkah kedua, keempat
membahas usulan yang telah disajikan secara sistematis dan logis
dalam DPRD, ke lima penetapan kebijakan dalam bentuk peraturan
daerah, dan keenam melaksanakan kebijakan yang telah di tetapkan
dalam peraturan daerah tersebut oleh pemerintah daerah.
Langkah-langkah tersebut di atas dapat terwujud melalui
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis, transparan
-
23
dan akuntabel. Daerah ada atau dibentuk untuk mensejahtrakan
masyarakat melalui public goods, public regulation dan empowerment.
Pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat diselaraskan dengan prinsip demokrasi transparansi,
akuntabel, partisipatif dan memperhatikan Hak Asasi Manusia sesuai
kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
2. Kebijakan Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah satu fungsi
utama dalam penyelenggaraan pemerintah yang menjadi kewajiban aparatur
pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/kep/m.pan7/2003
tertanggal 10 juli 2003 pada paragraph 1 butir c menyebutkan pengertian
pelayanan umum adalah sebagai kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang,
masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan pemerintah ditunjukan kepada terciptanya fungsi
pelayanan publik (publik service). Pemerintahan yang baik cenderung
menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan dengan baik pula.
Sebaliknya. Pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan
publik tidak akan terselenggara dengan baik.
-
24
Dalam hal ini pelayanan publik merupakan masalah serius terkait
dengan penyelenggaraan pemerintah dan akuntabilitas birokrasi dalam
menjalankan kinerja dan fungsi-fungsi administrasi yang diartikan sebagai
penyediaan barang-barang dan jasa publik yang pada hakekatnya menjadi
tanggungjawab pemerintah. Karena pelayanan publik terkait erat dengan jasa
dan barang di pertukarkan maka penting pula untuk memasukkan definisi dari
publik utilities sebagai pelayanan atas komoditi berupa barang atau jasa
dengan mempergunakan sarana milik umum yang dapat dilakukan oleh
orang/badan keperdataan
Di era otonomi daerah saat ini seharusnya pelayanan publik menjadi
lebih responsif terhadap kepentingan publik, dimana paradigma pelayanan
publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang
lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang beroirentasi kepuasan
pelanggan (customer-driven govemment) dengan ciri-ciri (a) lebih
memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang
memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan
kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan
masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap pasilitas-fasilitas
pelayanan yang telah di bangun bersama, (c) menerapkan sitem kompetensi
dalam hal. Penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat
memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi,
misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil sesuai dengan
-
25
masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh
masyarakat, (f) memberi akses kepada masyarakat dan responsive terhadap
pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang yang diterimanya, (g)
lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih
mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i)
menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat
antara lain: (1) memiliki dasar hukum uang jelas dalam penyelenggaraannya,
(2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk
akuntabel kepada public, (5) memiliki complekx and debated performance
indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohammad, 2003).
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar
menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak
diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun
rancangan Undang-Undang tentang pelayanan publik yang isinya akan
memuat standar pelayanan minimun. Namum upaya-upaya yang telah
ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal.
Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada
fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan
banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum
memperhatikan kepentingan masyarakat penggunaannya. Kemudian,
pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya
-
26
memperhatikan /mengutamakan kepentingan pemimpin/ organisasinya saja.
Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun
untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk
kepada pengelolanya, seharusnya pelayanan publik dikelola dengan
paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri kepada
kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap
menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara
umum stake holders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami
perbaikan setelah di berlakukannya otonomi daerah; namun , dilihat dari sisi
efesiensi dan efektivitas ,responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak
disktiminatif) masih jauh dari yang di harapkan dan masih memiliki berbagai
kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari
bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain
(Mohammad, 2003):
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatanunsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line)sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Responterhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakatseringkali lambat atau bahkan sama sekali tidak.
Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikankepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepadamasyarakat.
Kurang accessible. Berbagai unit pelaksanaan pelayanan terletak jauhdari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yangmemerlukan pelayanan tersebut.
Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu denganyang lainnya kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang
-
27
tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu intansi pelayanandengan intansi pelayanan lain yang terkait.
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnyadilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level,sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang tertentu lama.Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinanstaf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalahsangat kecil, dan pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemudengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka meyelesaikanmasalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulitakibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lamauntuk diselesaikan.
Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Padaumumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untukmendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikandari waktu ke waktu.
Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalampelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yangdiberikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak
pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Penuh dengan hirarki yang
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan
dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah,
yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi efisien (Mohammad,
2003).
Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004).
Beberapa kelemahan mendasar antara lain: Pertama adalah kelemahan yang
-
28
berasal dari sulitnya menetukan atau mengukur output maupun kualitas dari
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah
tidak mengenal bottom line artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan
pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan
mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah
ekstrenalities. Organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah
berupa internalities artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah
pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum
masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Sementara karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar
bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan
pasar menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayanan publik akan
penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini
menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil
keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya.
Akibat permasalahan tersebut citra buruk pada pengelola pelayanan
publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan
masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan
yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini.
Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan.
-
29
Selain itu, terdapat empat gap yang perlu diperhatikan dalam setiap
pelayanan publik, (Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan antara jasa
yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh
konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan
apa yang ditangkap oleh bawahan/karyawannya, (3) konsep pelayanan yang
yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam
memberikan pelayanan kepada konsumen, dan (4) tindakan. Bagaimana
kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada model berikut ini.
1. Service gap (Parasuraman)
Persoalan pelayanan bukan saja tanggungjawab dari karyawan
terdepan (front liner saja) melainkan juga merupakan tanggungjawab dari
pimpinan instansi dan juga seluruh karyawan lainnya. Dalam hal ini, budaya
perusahaan merupakan hal yang juga menjadi faktor penentu dalam
memberikan pelayanan prima kepada pelanggan. Untuk lebih jelas dapat
diuraikan sebagai berikut:
Gap-1 merupakan kesenjangan yang terjadi antara harapan masyarakat
dengan apa yang dipikirkan oleh pimpinan intansi pemberi layanan publik.
Misalnya, pimpinan berpikir bahwa waktu persetujuan suatu dokumen paling
telat adalah 2 hari sedangkan masyarakat berharap tidak lebih dari 24 jam.
Gap-2 merupakan kesenjangan yang terjadi antara apa yang dipikirkan oleh
pimpinan intansi terhadap harapan publik dengan spesifikasi dari kualitas
-
30
pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini apakah pimpinan lembaga terkait
telah memiliki sebuah standar dalam pelayanan. Jika sudah, apakah standar-
standar tersebut sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat.
Gap-3 terjadi tatkala penghantar atau pemberian pelayanan (service delivery)
dengan apa yang tertuang dalam spesifikasi standar pelayanan yang ada.
Gap-4 merupakan persoalan komunikasi yang terjadi tatkala janji pemerintah
kepada masyarakat tidak sesuai dengan apa yang diberikan. Beberapa
pengalaman menyebutkan bahwa penyebab dari munculnya gap keempat ini
disebabkan oleh persoalan koordinasi internal organisasi itu sendiri.
Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara
kita ini. Kiranya harus di carikan jalan keluar yang terbaik antara lain dengan
memperhatikan gap-gap/ kesenjangankesenjangan tersebut di atas
sehingga permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir;
sehingga ke depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi
keinginan masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima.
Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat, selain perlu
mereformasi paradigma pelayanan publik, disahkan sesegera mungkin UU
tentang pelayanan publik, pemecahan permasalahan pelayanan publik
lainnya, yaitu dengan cara antara lain melalui pembentukan model pelayanan
publik yang sesuai dengan perkembangan jaman seperti sekarang ini dimana
pemerintah berada dalam era desentralisasi. Leach Stewart, dan Walsh
-
31
(1994) mengungkapkan adanya beberapa model pelayan publik dalam
kerang desentralisasi.
Model pertama yang paling lama dan paling banyak dianut oleh
berbagai negara di dunia, terutama negara berkembang adalah model
traditional bureaucratic authority. Ciri dari model ini adalah bahwa pemerintah
daerah bergerak dalam kombinasi tiga faktor yaitu: pertama, penyediaan
barang dan pelayanan publik lebih banyak dilakukan oleh sektor publik
(strong public sector). Kedua, peran pemerintah daerah sangat kuat (strong
local government) karena memiliki cakupan fungsi yang luas, model operasi
yang bersifat mengarahkan, derajat otonomi yang sangat tinggi, dan tingkat
kendali eksternal yang rendah. Ketiga, pengambilan keputusan dalam
pemerintah lebih menekankan pada demokrasi perwakilan (representative
democracy).
Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat,
tuntutan yang lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu
peningkatan yang lebih cepat lagi dalam kebutuhan dan tuntutan akan
layanan publik, maka model birokrasi tradisional tersebut biasanya di anggap
lagi tidak memadai. Untuk itu, di perlukan suatu model baru yang mampu
beradaptasi dengan tuntutan perubahan ini. Model yang mampu
menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat serta merespon berbagai
perubahan yang terjadi dengan cepat.
-
32
Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa model di bawah ini yang
merupakan hasil kajian yang di lakukan oleh tim direktorat aparatur negara
Tahun 2004, yang kiranya dapat di gunakan pemerintah dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik, seperti: (a) model kelembagaan, (b)
model pengelolaan organisasi pelayanan publik, (c) model siklus layanan
(moment of truth), dan (d) model standar pelayanan minimal. Model-model ini
di maksudkan agar permasalahan pelayanan publik dapat di lakukan dengan
baik dan tidak adanya gap-gap yang di gambarkan secara rinci oleh
perasuraman di atas, yaitu:
a. Model kelembagaan
Gambar 2. Model kelembagaan pengelolaan layanan publik
MASYARAKAT SEKDAUPTTSA
D1 D2 D3
D6D5D4
EkonomisEfisien
-
33
Dari gambar model di atas diketahui bahwa, format kelembagaan
(unit pelayanan terpadu satu atap atau disingkat (UPTSA)) difungsikan
sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya
lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai
pelayanan. UPTSA ini bertugas antara lain menerima berkas permohonan
ijin, meneliti kelengkapan persyaratan, sebagai koordinator bersama-sama
dengan dinas teknis terkait melakukan assesment atau peninjauan lapangan
dan membuat draft keputusan serta memberikan ijin yang telah disahkan
atau diputuskan oleh dinas teknis terkait.
Keputusan untuk memberi dan mencabut ijin tetap ada di tangan
lembaga atau dinas teknis yang bersangkutan. Dinas-dinas teknis dilarang
untuk menerima langsung permohonan pelayanan karena pasti akan
merusak tata aturan yang berlaku. Dinas teknis hanya berhubugan dengan
UPTSA artinya adalah dinas teknis dalam memberikan ijin kepada
masyarakat pemohon harus melalui UPTSA. UPTSA bersama-sama dengan
dinas teknis terkait menentukan standar pelayanan minimal yang yang
menyangkut waktu, tarif, dan prosedur sedangkan pihak UPTSA berhak
sepenuhnya terhadap standar kompetisi petugas pelayanan, tempat
pelayanan, media pengaduan dan sistem internal UPTSA yang mendukung
kelancaran tugas UPTSA.
Secara kelembagaan UPTSA bertanggung jawab langsung kepada
sekretaris daerah sehingga posisi daya tawar lembaga ini cukup tinggi dan
-
34
mampu menjadi koordinator dinas-dinas terkait dalam tugasnya memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Akan sangat menguntungkan bagi gerak dan
kelancaran kegiatan UPTSA jika anggaran atau kebutuhan keuangan
lembaga di dukung oleh APBD. Namun jika terkendala oleh aturan maka
anggaran UPTSA dapat digabung dengan anggaran sekretaris daerah
setempat. Resikonya adalah pemasukan keuangan menjadi sangat riskan
karena tidak ada jaminan anggarannya akan tetap dalam satu tahun
anggaran seperti yang telah ditentukan.
Lembaga ini menganut struktur organisasi yang ramping dan datar
sehingga mempercepat gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus
menunggu keputusan yang berjengjang dan sangat birokratis. Bagian UPTSA
pada dasarnya terbagi atas 3 kelompok utama berdasarkan fungsi yaitu
frontline, operasi lapangan, dan administrasi (back office). Organisasi ini
sekurang-kurangnya di pimpin oleh pejabat eselon iii.
Bagian frontline bertugas menerima permohonan perijinan dari
masyarakat dan menyerah hasil perijinan yang sudah memiliki ketetapan
hukum yang sah. Selain itu frotline bertugas untuk melakukan verifikasi awal
data berupa kelengkapan data sebelum disampaikan petugas yang
menverifikasi lebih detail. Adapun bagian operasional adalah bagian yang
meneliti keabsahan data, melakukan peninjauan lapangan, melakukan
koordinasi dengan dinas terkait dan merekomendasikan perijinan.
-
35
Bagian pendukung atau back office berfungsi memberikan dukungan
terhadap kelancaran tugas dua bagian lainnya. Bagian back office ini meliputi
pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, perawatan peralatan dan
perlengkapan kantor, dan pekerjaan yang bersifat administrasi.
B. Model pengelolaan organisasi pelayanan publik
Model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini dimaksudkan
untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik sehingga dapat
mengoptimalkan fungsi pelayanan publik dan sesuai dengan perkembangan
tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk lebih
jelasnya maka model organisasi pelayanan publik sebagaimana di bawah ini:
Model pengelolaan organisasi pelayan publik
KEBIJAKAN KomitmenKemampuan
KepuasanPelanggan Publik
Sistem Sosio KulturTangibleRealibility
ResponsivinessAssruranceEmpathy
PartisipasiAkuntabilitas
KelembagaanKemitraanSumberdaya
-
36
Gambar 3. Model kelembagaan organisasi pelayanan publik
sumber: hasil kajian peningkatan kualitas pelayan publik ta 2004
Dengan melihat model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini,
ada beberapa aspek yang dianggap sangat memilki dampak langsung
terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yaitu:
1. Aspek kepemimpianan
Kepemimpianan merupakan proses berorientasi kepada manusia
dan dapat diukur dari pengaruhnya terhadap perilaku organisasi dan
masyarakat yang dihadapinya. Dengan kata lain, dalam tataran ini,
aktivitas kepemimpinan sangat penting artinya terhadap motivasi orang
lain, hubungan antara individu dan interaksi sosial komunikasi
interpersonal, iklim dalam organisasi, konflik interpersonal, perkembangan
personil dan mengantisipasi produktivitas sumber daya manusia aparatur.
2. Aspek sistem kelembagaan
a. Aspek kelembagaan
Implikasi dari tumpang tindihnya kewenangan atau katakanlah
pengambilalihan kewenangan pelayanan yang bukan
kewenangannya oleh UPTSA, ternyata dapat menimbulkan kurang
maksimalnya kualitas pelayanan itu sendiri di satu sisi, dan adanya
derajat perbedaan kualitas pelayanan pada masing-masing UPTSA
pada sisi yang lain. Sedangkan pada UPTSA yang mempunyai
-
37
pimpinan dan aparat serta tokoh-tokohnya yang lain yang mempunyai
jiwa dan karakter kepemimpinan yang baik, proaktif dan inovatif dalam
menjalankan tugasnya, kekurangan dalam hal optimalisasi kualitas
pelayanan di UPTSA akan dapat teratasi.
b. Aspek sumber daya manusia
Ketersediaan sumber daya yang memadai dan potensial
dipandang sebagai faktor yang signifikan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Aspek sumberdaya yang dimaksud disini secara
umum meliputi sumber daya keuangan, SDM aparatur, teknologi dan
aspek prasarana dan sarana fisik lainnya. Secara umum kelemahan
pelayanan publik selama ini lebih dikarenakan oleh masalah
keterbatasan kemampuan finansial dan sarana prasarana fisik.
Kelemahan lainnya adalah kemampuan dan kompentensi SDM
aparatur yang terlibat langsung kepada pemberian pelayanan, dimana
rata-rata SDM aparatur di daerah belum mahir dalam menggunakan
dan mengoprasikan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin
hari semakin cepat berkembang
c. Aspek partisipasi masyarakat
Dalam konteks partisipasi masyarakat didalam
penyelenggaraan pelayanan umum, komunikasi yang efektif antara
-
38
masyarakat dengan pemerintah (UPTSA) menjadi penting terutama
berkaitan dengan arah pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan
dimana kepentingan, keinginan, harapan dan tuntunan masyarakat
menjadi sandaran utamanya. Posisi masyarakat dalam tataran ini
dipandang sebagai subyek yang harus dilayani dan dipuaskan.
Karenanya, ketika berbicara mengenai kualitas pelayan yang diberikan
maka hal itu akan sejajar dengan tingkat kepuasan masyarakat
sebagai pelanggannya.
Dalam melakukan pelayanan yang baik, seorang pelayan
harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap yang
dilayaninya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan komunikasi dengan orang lain, yaitu: (1) komunikator dan
komunikasi harus sama-sama berpola pikir positif yang didasarkan
pada pola pikir yang sehat dan logis, (2) komunikator dan komunikasi
harus mampu menempatkan diri pada kondisi yang tepat pada saat
melakukan komunikasi atau komunikator harus mampu menempatkan
komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi, (3) komunikator
harus mampu menampilkan sikap yang santun dan memberikan
kesempatan terhadap komunikan untuk memahami isi pesan sampai
dengan memberikan umpan balik, dan (4) kemampuan memilih dan
-
39
menggunakan bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti oleh
user.
Secara umum di setiap UPTSA memang sudah berjalan berbagai
macam forum yang sifatnya rutin dan formal yang diselanggaran di tiap-tiap
UPTSA namun demikian, jika ditinjau dari kuantitas dan kualitas
penyelenggaraan forum tersebut, masing-masing UPTSA satu sama lain
berbeda keadaannya. Dalam konteks ini, yang harus lebih ditonjolkan oleh
pemerintah adalah peran motivator, yaitu peran penggerakan masyarakat
atau mobilisasi masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam menyukseskan
atau memperlancar jalannya pelayanan.
C. Model Silkus Layanan
Dalam pola ini, masing-masing instansi/unit terkait tetap
melaksanakan kewenangan, tugas dan fungsinya, serta dapat
menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. Akan tetapi agar proses
keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinergi, maka kegiatan pelayanan
dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam suatu prosedur dan
terkoordinir dalam mekanisme tata urutan kerja yang tertentu pada suatu
lokasi/tempat dibawah satu atap tersebut. Teknis pelaksanaan dengan
pola pelayanan umum satu atap, dapat dilakukan, antara lain:
a. Menyampaikan tempat/gedung untuk ditempati secara bersama oleh
unit kerja/instansi terkait. Masing-masing instansi membuka meja/loket
-
40
dan menempatkan petugasnya sesuai yang ditentukan di dalam satu
tempat/lokasi tersebut, serta menjalankan tugas dan fungsinya sendiri;
b. Sesuai mekanisme urutan kegiatan penyelesaian pelayanan yang
ditentukan, maka masyarakat (pemohon pelayanan) cukup
mendatangi dan menyelesaikan urusannya langsung pada
loket/petugas pada unit kerja/instansi terkait tersebut;
c. Untuk mendukung kelancaran pertanyaan, maka proses pelayanan
yang diberikan dengan masing-masing loket/meja dan unit/instansi
terkait tersebut, harus dilengkapi atau disediakan informasi yang
lengkap menyangkut urutan kegiatan, persyaratan, dan biaya
pelayanan secara jelas dan terbuka dalam satu lokasi tersebut.
D. Model standar pelayanan minimal
Dalam hal untuk mengenali pandangan masyarakat terhadap
mutu pelayanan yang diberikan oleh UPTSA yang didasarkan pada
beberapa kategori, apek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meliputi
beberapa unsur, diantaranya:
pertama.tangibility, yaitu berupa kualitas pelayanan yang dilihat
dari sarana fisik yang kasat mata, dengan indikator-indikatornya yang
meliputi sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi
pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan.
-
41
Kedua adalah reliability, yaitu kualitas pelayanan layanan yang
dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan layanan
yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses
waktu pelayanan keluhan.
Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan kehandalan yang
dipunyai, untuk selajutnya indikator kualitas pelayanan pun harus
ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu kualitas pelayanan yang
dilihat dari kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan
secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen.
Keempat adalah assurance, yaitu kulitas pelayanan yang dilihat
dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan
masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya
kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai
mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan.
Kelima adalah empathy. Yaitu kualitas pelayanan yang diberikan
berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat
(konsumen). Dalam konteks ini. Indikator yang dilihat adalah adanya
sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan
khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung.
Namun demikian, berbagai cara yang di usulkan diatas, tidak
dapat terlaksana dengan sempurna apabila persyarat utama diabaikan.
-
42
Persyaratan tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti dibawah ini yaitu
(Parasurarman, 1985):
a. Proses dan prosedur
Proses dan prosedur pelayanan dapat meliputi prosedur
pelayanan langsung kepada pelanggan, dan proses pengolahan
pelayanan yang merupakan proses internal dalam menghasilkan
pelayanan. Dalam proses dan prosedur ini meliputi seluruh aktifitas
kegiatan pelayanan secara berurutan dimulai dengan aktifitas yang
dilakukan ketika pertama kali pelanggan datang, dan bahkan setelah
pelayanan itu selesai (after seevice.)
b. Persyaratan pelayanan.
Persyaratan pelayanan merupakan hal-hal yang harus
dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan pelayanan. Persyaratan
pelayanan dapat berupa dokumen atau surat-surat. Persyaratan
pelayanan perlu di identifikasi dari tiap aktifitas pelayanan sehingga
untuk keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelanggan
termasuk biaya total yang harus dibayar oleh pelanggan.
c. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Sarana pelayanan merupakan berbagai fasilitas yang
diperlukan dalam rangka memberikan pelayanan. Sarana yang
digunakan dapat merupakan sarana yang utama dan sarana
-
43
pendukung. Sarana utama merupakan sarana yang disediakan dalam
rangka proses pelayanan yang meliputi antara lain berbagai formulir,
fasilitas pengolahan data. Sedangkan sarana pendukung adalah
fasilitas yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan
pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas ruang
tunggu yang nyaman, penyediaan layanan antara dan lain-lain.
Sedangkan prasarana merupakan berbagai fasilitas yang mendukung
sarana pelayanan antara lain berupa jalan menuju kantor pelayanan.
d. Waktu dan biaya
Dengan ditentukannya waktu dan biaya yang terpakai untuk
setiap aktifitas yang dilakukan pada proses pengolahan. Maka akan
dapat ditentukan waktu dan biaya akan digunakan untuk melayani satu
jenis pelayanan sejak awal pelanggan menemui petugas pelayanan
sampai pelayanan selesai dilakukan.
e. Pengaduan keluhan
Pengaduan keluhan merupakan mekanisme yang dapat
ditempuh oleh pelanggan untuk menyatakan ketidak puasannya
terhadap pelayanan yang diterima. Pengaduan keluhan merupakan
hal yang sangat penting mengingkat perbaikan kualitas pelayanan
terus meneruskan tidak lepas dari masukan pelanggan yang biasanya
dalam bentuk keluhan.
-
44
Sistem pelayanan publik yang baik akan menghasilkan kualitas
pelayanan yang baik pula. Suatu sistem yang baik akan memberikan
prosedur pelayanan yang terstandar dan memberikan mekanisme kontrol di
dalam dirinya (bulit in control). Dengan demikian segala bentuk
penyimpangan yang terjadi akan mudah diketahui. Sistem pelayanan harus
sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ini berarti organisasi harus mampu
merespons kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan menyediakan sistem
pelayanan dan strategi yang tepat.
3. Strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan
A. Strategi
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa strategi
adalah langkah langkah berisikan program-program indikatif untuk
mewujudkan visi dan misi. Sedangkan program adalah instrumen
kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta
untuk memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
Usaha penanggulangan kemiskinan sudah dilakukan sejak lama
walaupun intensitasnya beragam sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya (Kementrian Kokesra, 2004:III.1). Upaya mengurangi
-
45
penduduk miskin melalui pembangunan dirancang untuk memecahkan
tiga masalah utama yaitu pengangguran, ketimpangan distribusi
pendapatan dan kemiskinan (Soegijoko, 1997:148).
Strategi pengentasan kemiskinan dari Bank Dunia mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1950-an dan 1960-an
menekankan pada pembangunan fisik dan prasarana sebagai alat utama
pembangunan. Pada tahun 1970-an menekankan pada kesehatan dan
pendidikan. Pada tahun 1980-an berupaya meningkatkan pendapatan
rakyat miskin. Tahun 1990-an strateginya berupa redistribusi pendapatan
dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Sedangkan agenda kemiskinan terbaru Bank Dunia adalah: 1)
Membuka kesempatan ekonomi kepada golongan miskin dengan melalui
program padat karya dan meningkatkan produktivitas usaha kecil dan
petani kecil; 2) Investasi sumber daya manusia terutama perbaikan
pendidikan dan pelayanan kesehatan; 3) Pemberian jaring pengaman
untuk melindungi mata pencaharian. (Mikkelsen, 2003:1997).
Strategi pengentasan kemiskinan juga dikemukakan oleh United
Nations Economic and Social Comission for Asia Pacific (Unescap)
(2000), bahwa strategi penanggulangan kemiskinan terdiri dari
penanggulangan kemiskinan uang; kemiskinan akses ekonomi, sosial dan
budaya; dan penanggulangan kemiskinan terhadap akses kekuasaan dan
informasi.
-
46
Strategi memerangi kemiskinan menurut Gunnar Adler Karlsson
dalam Ala (1981:31) meliputi (1) strategi dalam jangka pendek yaitu
memindahkan sumberdaya-sumberdaya kepada kaum miskin dalam
jumlah yang memadai. (2) Strategi jangka panjang dengan menumbuhkan
swadaya setempat. Perbaikan keadaan kemiskinan dalam jangka pendek
diantaranya menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan,
dan memperbaiki distribusinya. Perbaikan dalam jangka panjang dengan
memperbaiki dan memenuhi harkat hidup secara individual dan sosial
yang bermartabat (Nugroho dan Dahuri, 2004:165).
Upaya pengentasan kemiskinan perlu tertuang dalam tiga arah
kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan
kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan
kemiskinan. Kebijaksanaan langsung ditujukan kepada golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kebijaksanaan khusus untuk
menyiapkan masyarakat miskin itu sendiri dan aparat yang
bertanggungjawab langsung atas kelancaran program (Soegijoko,
1997:148).
Sedangkan upaya penanggulangan kemiskinan menurut Undang
Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas ditempuh melalui dua
strategi utama. Pertama, melindungi keluarga dan kelompok masyarakat
yang mengalami kemiskinan sementara. Kedua, membantu masyarakat
yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan
-
47
mencegah terjadinya kemiskinan baru. Strategi tersebut selanjutnya
dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan pada penduduk
miskin yaitu: 1) Penyediaan Kebutuhan Pokok; 2) Pengembangan Sistem
Jaminan Sosial; dan 3) Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat
Miskin. Kebijakan tersebut menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:29)
didasari kebutuhan untuk menutupi penurunan daya beli penduduk akibat
krisis ekonomi.
Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terbaru
tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang menyatakan
bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi: kebijakan
pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan pembangunan wilayah untuk
mendukung pemenuhan hak dasar.
Sepanjang kebijakan pemerintah belum dapat mengatasi
kemiskinan, masyarakat miskin mempunyai strategi sendiri untuk
mengatasi kemiskinannya dengan cara: berhutang pada berbagai sumber
pinjaman informal, bekerja serabutan, istri dan anak turut bekerja,
memanfaatkan sumber daya alam di sekelilingnya, bekerja di luar daerah,
dan berhemat melalui mengurangi atau mengganti jenis makanan dan
mengatur keuangan (Tim Studi KKP, 2004).
Dalam jangka panjang, pengentasan kemiskinan diprioritaskan
untuk memfasilitasi penduduk miskin agar mampu memenuhi kebutuhan
-
48
hidupnya. Namun dalam jangka pendek sebagian penduduk miskin
khususnya kemiskinan kronis memerlukan perlindungan dan jaringan
pengaman sosial agar mereka dapat tetap memenuhi kebutuhan hidup
minimum.
Sesuai dengan prioritas dia atas, ada dua jalan utama yang dapat
di tempuh untuk keluar dari kemiskinan (pathways out of poverty) seperti
disarankan World Bank (2006). Kedua jalan utama tersebut adalah: (1)
transformasi dari pertanian sibsisten ke pertanian modern; dan (2)
transformasi dari kegiatan nonpertanian subsistensi (di pedesaan maupun
perkotaan) menjadi usaha nonpertanian formal yang lebih produtif dan
menguntungkan.
Masa transisi untuk mencapai jalan utama tersebut meliputi dua
alternatif, yaitu: (1) transformasi dari pertanian sub- sistem ke usaha
nonpertanian informal di pedesaan; dan (2) migrasi ke arah kegiatan
nonpertanian di perkotaan (tanpa harus berpindah domisili ke Kota). Pada
masa transisi tersebut, petani subsistensi dan rumah tangga yang
berusaha nonpertanian informal di pedesaan akan mencari kesempatan
kerja dan berusaha di perkotaan.
Mengacu pada konsep di atas, terdapat tiga strategi umum dalam
pengatasan kemiskinan yang perlu ditempuh secara bersamaan, yaitu: (1)
akselerasi tingkat pertumbuhan sektor pertanian; (2) perluasan dan
pengembangan usaha nonpertanian di pedesaan; dan (3) peningkatan
-
49
sistem perlindungan dan jaringan pengaman sosial untuk
mempertahankan keberlanjutan kegiatan usaha dan kelangsungan hidup
penduduk miskin.
1. Akses tingkat pertumbuhan sektor pertanian
Penurunan tingkat kemiskinan yang cepat memerlukan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Dari sisi kualitas,
pertumbuhan ekonomi tersebut perlu diarahkan secara tepat untuk
mem-berikan manfaat bagi penduduk miskin (pro-poor growth) dengan
ciri-ciri: (1) prioritas pada sektor pertanian yang memberikan dampak
langsung kepada kelompok miskin; dan (2) meningkatkan kesempatan
kerja dan tingkat upah. Mengingat sektor pertanian Indonesia masih
didominasi petani kecil, prioritas pengembangan tetap di arahkan
untuk modernisasi pertanian skala kecil (Sudaryanto et al. 2009a).
Untuk mencapai target penurunan tingkat kemiskinan di
pedesaan sesuai mdgs, PDB sektor pertanian perlu dipacu untuk
tumbuh rata-rata sekitar 5% tahun sampai tahun 2015 (Sudaryanto et
al. 2009). Dengan akselerasi tingkat pertumbuhan PDB tersebut,
pendapatan penduduk miskin di pedesaan diharapkan dapat tumbuh
lebih cepat dari peningkatan pendapatan penduduk secara umum.
Sasaran pertumbuhan tersebut dapat dicapai melalui modernsiasi
pertanian dengan unsur-unsur sebagai berikut: (1) diversifikasi ke arah
komuditas bernilai tinggi yang memiliki potensi pertumbuhan lebih
-
50
tinggi pula; (2) peningkatan investasi infrastruktur pertanian; (3)
akselerasi inovasi teknologi pertanian; dan (4) peningkatan akses
pasar, baik domestik maupun internasional.
Akselerasi pertumbuhan sektor pertanian perlu disertai
dengan strategi untuk menciptakan pemerataan pendapatan, agar
manfaat pertumbuhan tersebut dapat menjangkau penduduk miskin.
Strategi terserbut meliputi: (1) peningkatan akses penguasaan lahan.
(2) peningkatan investasi yang lebih merata antar daerah maupun
antar sektor; (3) perluasan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha bagi penduduk miskin; dan (4) peningkatan kapasitas
kelompok miskin untuk memanfaatkan kegiatan usaha dan
kesempatan kerja baru.
2. Perluasan dan pengembangan usaha non-pertanian di pedesaan
Dengan kejenuhan penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian, transformasi kegiatan ekonomi ke sektor nonpertanian perlu
dikembangkan secara bersamaan. Kegiatan usaha nonpertanian yang
dilaksanakan diharapkan dapat memperluas sumber pendapatan
petani miskin untuk mencapai tingkat kesejahtraan yang lebih baik.
Dalam jangka panjang.hal ini berdampak balik terhadap
peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, karena
tenaga kerja makin berkurang sementara produksi terus meningkat
(Hadi- Wigeno et al. 1992). Kegiatan nonpertanian yang dikembang
-
51
meliputi berbagai sektor sesuai potensi setempat. Namun demikian,
priopitas pengembangan terutama pada sektor yang memiliki kaitan
kuat dengan sektor pertanian, yaitu pengembangan agroindustri dan
pelayanan jasa-jasa penunjang sektor pertanian.
3. Peningkatan sistem perlindungan dan jaringan pengaman sosial bagi
penduduk miskin.
Penduduk miskin sangat rentan terhadap gangguan kondisi
eksternal, baik bencana alam maupun gangguan apek sosial ekonomi,
selain itu, sebagian dari mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup minimal untuk pangan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan skema perlindungan dan
bantuan yang ditargetkan langsung kepada mereka.
Selain skema umum yang telah dikembangkan secara
nasional, dalam sektor pertanian perlu pengembangan lebih lanjut
tentang skema bantuan bencana alam untuk mengurangi kerugian
bagi petani kecil. Instrumen perlindungan yang lebih baik dan
menggunakan mekanisme pasar adalah asuransi pertanian untuk
melindungi petani dari kerugian bencana alam, gangguan organisme
pengganggu tumbuhan (opt), dan fluktuasi harga komoditas
(Sudaryanto et al. 2009).
Perlu dikembangkan pula perlindungan bagi petani kecil
terhadap persaingan komoditas asal impor. Para importir perlu dido-
-
52
rong untuk turut membantu pengembangan usaha tani kecil melalui
hubungan grower-importer strategi ini bersifat jangka pendek, tetapi
akan mempengaruhi efektivitas strategi jangka panjang.
B. Kebijakan pengentasan kemiskinan
Penduduk miskin memiliki ciri kemiskinan yang paling
menonjol di antara karakteristik kemiskinan secara keseluruhan
(kemiskinan perkotaan dan pedesa
top related