pedoman ppi tb 2010
Post on 22-Oct-2015
1.027 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PEDOMAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
DI RUMAH SAKIT
DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2010
TIM PENYUSUN
Dr. Farid W. Husain, Sp.B ( Direktur Jendral Bina Pelayanan Medik, Depkes RI )
Dr. Mulya A. Hasjmy, Sp.B, M.Kes
( Sekretaris Ditjen Bina Pelayanan Medik, Depkes RI )
Dr. K. Mohammad Akib, Sp.B, MARS ( Direktur Bina Pelayanan Medik Spesialistik, Depkes RI )
Drg. Sophia Hermawan, M.Kes
( Kepala Subdit Bina Yanmed Spesialistik di RS Khusus, Depkes RI )
Dr. Embry Netty, M.Kes (Kepala Subdit Bina Yanmed Dasar Institusi, Depkes RI )
DR. dr. Astrid Sulistomo, MPH, SpOK ( JHPIEGO – FKUI IKK )
Dr. Pancho Kaslam, SpOG, MSc.HM ( Konsultan Kemenkes RI )
Dr. Bimo, MPH ( JHPIEGO )
Dr. Sardikin Giriputro, Sp.P
( RS. Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso ) Dr. Dalima A.W. Astrawinata, Sp.PK, M.Epid
( Perdalin Jaya – RSCM / FKUI )
Dr. Erlina Burhan, Sp.P ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia )
Dr. Siti Nadia Wiweko
(Kepala Subdit Pengendalian Malaria, Depkes RI )
Dr. Soeko W. Nindito, MARS ( Kepala Seksi Standarisasi RS Khusus, Depkes RI )
Drg. Wahyuni Prabayanti, MARS
( Kapala Seksi Bimbingan & Evaluasi RS Khusus, Depkes RI )
i
KONTRIBUTOR
Prof. Dr. I. Made Jaya GF FKM UI Dr. Agustin Kusumayati, MSc, PhD GF FKM UI Dr. Endang Woro, Sp.PK RSUP Persahabatan, Jakarta Dr. Bambang RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Dr. I. Made Bagiada RSUP Sanglah, Denpasar Dr. Kurnia RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar Dr. Setia Putra RSUP H. Adam Malik, Medan Dr. Aziza Aryani, Sp.PK RSUD Pasar Rebo, Jakarta Dr. Dewi Puspitorini, Sp.P RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Dr. Liliana Kurniawan, MHA, DTMH Perdalin Jaya Dr. Chandra Jaya Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Wita Nursanthi Nasution Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Ester Marini Lubis Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Andriani Vita H. Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Iin Dewi A. Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Al Gazali Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Dr. Fainal Wirawan, MM, MARS KNCV Drs. Taufik Hidayat, SH PIPSI Pusat Costy Panjaitan, SKM, MARS RSJPN Harapan Kita, Jakarta Edha Barapadang, AMK RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta Hutur J.W. Pasaribu, SE Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Sumarno, S.Sos Dit. Bina Yanmed Spesialistik, Kemenkes RI Eny Juliati, SKM, MKM GF FKM UI Teguh P, SKM GF FKM UI Inel N, SKM, MKM GF FKM UI Ely S, SKM GF FKM UI Jamila Nurfitria, SE GF FKM UI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis di Rumah Sakit telah selesai disusun.
Seperti kita ketahui bersama bahwa penanggulangan tuberkulosis (TB)
merupakan program nasional dan juga menjadi sasaran MDGs serta Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Berbeda dengan pelayanan medis terhadap penyakit lainnya di rumah sakit, pelaksanaan pelayanan TB memiliki kekhususan, karena pelayanan medis TB membutuhkan tatacara diagnosa yang benar, waktu yang cukup lama bagi pasien dalam konsumsi obat, masa kadaluwarsa obat yang pendek serta risiko MDR atau XDR TB dan lain-lain. Oleh karena itu pelaksanaan penanggulangan TB di rumah sakit harus dapat diselenggarakan secara optimal. Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit perlu pula ditingkatkan pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi TB sebagai upaya perlindungan pasien, pengunjung dan petugas dari penularan TB di rumah sakit.
Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis di
Rumah Sakit dimaksudkan sebagai acuan untuk membantu para petugas kesehatan di rumah sakit dalam tatakelola pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis agar dapat terselenggara secara optimal.
Kementerian Kesehatan RI telah melibatkan seluruh stakeholder
rumah sakit dalam menyusun pedoman ini. Kami menyadari bahwa pedoman ini belum sempurna, oleh karena itu sejalan dengan penerapannya Kementerian Kesehatan RI akan terus melaksanakan monitoring dan evaluasi serta melakukan revisi bila dibutuhkan pada waktunya.
Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama antara Kementerian
Kesehatan RI dengan Perhimpunan profesi, Rumah Sakit baik pusat maupun daerah, KNCV dan GF sehingga terwujudnya buku pedoman ini.
Jakarta, April 2010 Direktur Bina Pelayanan Medik Spesialistik Dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An NIP. 195708021987102001
iii
SAMBUTAN
iv
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH AC : Air Condition ACH : Air Change per Hour AI : Avian Influenza AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome APD : Alat Pelindung Diri ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome ARV : Anti Retro Viral ASHRAE : American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers BCG : Bacillus Calmette‐Guérin BP4 : Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru BTA : Basil Tahan Asam CD4 : Cluster of differentiation 4 CDC : Centres for Disease Control and Prevention Depkes : Departemen Kesehatan DOTS : Directly Observed Treatment, Shortcourse Chemotherapy DPS : Dokter Praktek Swasta DRS : Drug Resistant Survey Gerdunas TB : Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB HAI : Health‐Care Associated Infection HEPA : high efficiency particulate air HIV : Human Immunodeficiency Virus IPCLN : Infection Prevention and Control Link Nurse / Perawat Penghubung Pencegahan dan Pengendalian Infeksi / Perawat Pelaksana Harian IPCN : Infection Prevention and Control Nurse / Perawat Pencegahan dan Pengendalian dan Infeksi / Perawat Koordinator IPCO : Infection Prevention and Control Officer MDGs : Millenium Development Goals MDR : Multi Drug Resistance MERV : Minimum Efficiency Reporting Value MOTT : Mycobacteria Other Than TB MTb : Mycobacterium Tuberculosis OAT : Obat Anti Tuberkulosis ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS PAK : Penyakit Akibat Kerja Perdalin : Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi PPIRS : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Renstra : Rencana Strategi Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RS : Rumah Sakit RSP : Rumah Sakit Paru
v
Skylight : Bagian langit‐langit yang dapat dibuka untuk cahaya masuk dan udara segar mengalir SOP : Standard Operational Procedure (Standar Operasional Prosedur) TB : Tuberkulosis UPK : Unit Pelayanan Kesehatan UVGI : Ultraviolet Germicidal Irradiation VCT : Voluntary Counseling and Testing WHO : World Health Organization XDR : Extensively Drug Resistance Yanmed : Pelayanan Medik
vi
vii
DAFTAR ISI
Pengantar ........................................................................................ iii Sambutan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik ........................ iv Daftar Singkatan dan Istilah .............................................................. v Bab I. Pendahuluan ....................................................................... 1 Latar belakang ........................................................... 1 Tujuan ........................................................................ 2 Sasaran ...................................................................... 2 Dasar Hukum ...................................................................... 2 Bab II. Situasi Tuberkulosis di Indonesia ........................................... 4 Epidemiologi ............................................................. 4 MDR TB ...................................................................... 5 Ko‐infeksi TB HIV ........................................................ 5 Bab III. Program Nasional TB ............................................................ 7 Kebijakan .................................................................. 7 Strategi ...................................................................... 9 Bab IV. Pengenalan Penyakit TB ....................................................... 10 Mikrobiologi .............................................................. 10 Penularan TB ............................................................. 10 Patofisiologi ............................................................... 11 Koinfeksi TB ‐ HIV ...................................................... 12 MDR TB ...................................................................... 12 Bab V. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Rumah Sakit ....................................................................... 14 Pilar Pengendalian Administratif .............................. 16 Pilar Pengendalian Lingkungan ................................ 18 Pilar Pengendalian Perlindungan Diri ....................... 25 Bab VI. Monitoring dan Evaluasi ..................................................... 30 Bab VII Penutup .............................................................................. 33 Daftar Kepustakaan (Contoh Rencana Kerja PPI TB ) Lampiran:
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis masih terus menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Meskipun obat anti tuberculosis (TB) sudah ditemukan dan vaksinasi Bacillus Calmette‐Guérin (BCG) telah dilaksanakan, TB tetap belum bisa diberantas habis. Insidens TB yang terus meningkat menjadi penyakit re‐emerging sehingga Organisasi Kesehatan Sedunia/WHO pada tahun 1995 mendeklarasikan TB sebagai suatu global health emergency. Laporan WHO (2008) memperkirakan ada 9,2 juta pasien TB baru dan 4,1 juta diantaranya adalah pasien dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif dengan angka kematian 1,7 juta pasien pertahun di seluruh dunia. Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama atau disebut Multidrug Resistance TB (MDR) bahkan Extensively atau Extremely Drug Resistance (XDR), yaitu resistensi terhadap OAT lini kedua. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit TB dan HIV merupakan komitmen global dan nasional saat ini, dalam upaya mencapai target Millenium Development Goals (MGDs) pada tahun 2015. Upaya penanggulangan TB di Indonesia telah dijalankan mulai dari tahun 1969 dan sejak tahun 1999 telah memakai strategi Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy (DOTS). Meskipun demikian segala upaya tersebut sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Petugas kesehatan (health care workers) yang menangani pasien TB merupakan kelompok risiko tinggi untuk terinfeksi TB. Penularan infeksi Rumah Sakit Mycobacterium tuberculosis dari pasien tuberkulosis (TB) ke petugas kesehatan sudah diketahui sejak lama dan angka kejadiannya terus meningkat. Pada saat ini TB seringkali merupakan penyakit akibat kerja (PAK) atau occupational disease untuk petugas kesehatan. Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, karena akan mempengaruhi kinerja dan produktifitas petugas kesehatan. Untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi TB di Rumah Sakit (RS), penting dilakukan upaya tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang efektif. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, merekomendasikan tindakan pencegahan penularan nosokomial TB dengan 3 pilar, berupa pengendalian administratif, lingkungan dan perlindungan diri. Selain itu, pencegahan dan pengendalian infeksi menjadi sesuatu yang penting dari upaya penanggulangan TB nasional, dengan munculnya dampak beban ganda epidemik TB HIV dan kasus MDR TB dan XDR‐TB, yang berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian pada pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV). Belum adanya sistem surveilens terhadap petugas kesehatan yang sakit sebagai akibat pekerjaannya, serta belum semua fasilitas kesehatan menerapkan pengendalian infeksi merupakan tantangan kedepan bagi kita semua. Sehingga dirasakan perlu ada kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan.
2
Di Indonesia inisiasi penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi telah dimulai oleh Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik dengan diterbitkannya kebijakan dan pedoman pengendalian infeksi pada tahun 2008. Sehubungan dengan permasalahan penyakit TB di atas, maka Direktorat Bina Yanmed Spesialistik menganggap perlu menyusun buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Rumah Sakit.
1.2. TUJUAN
‐ Umum : Meningkatkan mutu layanan Rumah Sakit berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian infeksi Tuberkulosis di Rumah Sakit
‐ Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di RS (manajemen dan petugas kesehatan) dalam hal pencegahan dan pengendalian infeksi TB di RS.
2. Menurunkan angka kejadian infeksi TB dan TB‐HIV di RS.
1.3. SASARAN
Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan pelaksana pelayanan kesehatan lainnya di rumah sakit.
1.4. DASAR HUKUM
1. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4431).
2. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437).
3. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5063).
4. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5072).
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/ Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165.A./Menkes/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
3
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya.
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit.
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
15. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.
16. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07 tentang Penatalaksanaan TB di Rumah Sakit.
17. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik nomor HK.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Komite PPI RS dan Tim PPI RS.
4
BAB II
SITUASI TUBERKULOSIS DI INDONESIA 2.1. EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1999, menurut WHO jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien TB di dunia dan merupakan ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru. Insidens kasus TB BTA positif sekitar 107 per 100.000 penduduk. Data Survei Tuberkulosis Nasional tahun 2004 masih mendapatkan bahwa kasus baru di Indonesia rata rata 110 per 100,000 penduduk dengan kematian 100,000 pertahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT atau MDR‐TB bahkan XDR ‐TB. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) Wilayah Sumatera : 160 per 100.000 penduduk 2) Wilayah Jawa dan Bali : 110 per 100.000 penduduk 3) Wilayah Indonesia Timur : 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan terjadi penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3‐4 % setiap tahunnya. Upaya Penanggulangan TB secara Nasional telah dimulai sejak tahun 1999 di Puskesmas dan sejak tahun 2004 mulai dilaksanakan secara bertahap di RS Paru/BP4 serta RS umum lainnya. Umumnya Puskesmas saat in melayani pengobatan pasien TB tanpa komplikasi, tetapi sejak tahun 2009, ketika muncul kasus‐kasus TB MDR maka Puskesmas juga mulai diikutkan dalam pengobatan bagi pasien TB‐MDR. Sejalan dengan kebijakan program penanggulangan HIV/AIDS, puskesmas juga mulai terlibat dalam upaya pengobatan pasien HIV/AIDS. Pada tingkatan pelayanan RS/RSParu/BP4, sebagian fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, selain mengobati pasien TB baru biasa, juga memberikan pengobatan bagi pasien TB‐MDR dan pasien dengan koinfeksi TB‐HIV. 2.2. MULTI DRUG RESISTANCE TUBERKULOSIS Prevalensi TB‐MDR diperkirakan 3 kali lebih besar dari insidensi yang diketahui, yaitu sekitar 1 juta. Saat ini menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Data awal, survei resistensi obat OAT lini pertama (Drug Resistant Survey‐ DRS) yang dilakukan di Jawa Tengah, menunjukkan angka TB‐MDR pada
5
kasus baru yaitu 1,9%, angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya yaitu 16,3%. Pengobatan MDR TB di Indonesia saat ini terutama dilaksanakan di RS rujukan dan pengobatan lanjutan dapat dilanjutkan di puskesmas terdekat. Hal ini karena pengobatan pasien TB‐MDR lebih rumit dan kompleks karena memiliki waktu pengobatan sampai dengan 24 bulan dan sering disertai efek samping obat lini kedua pada pasien. Hanya saja saat ini fasilitas sarana pelayanan kesehatan terutama RS Rujukan masih belum menerapkan pengendalian infeksi. Sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan pada sarana pelayanan kesehatan untuk mencegah terjadinya transmisi pasien TB MDR dan resiko berkembangnya TB‐XDR pada pasien, keluarga pasien, pasien lainnya serta petugas kesehatan. Meskipun demikian situasi TB di dunia semakin memburuk karena jumlah kasus yang semakin meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama di negara dengan masalah TB yang besar seperti Indonesia. Meskipun kuman penyebab sudah diketahui dan paduan OAT yang terbukti ampuh telah tersedia dengan durasi pengobatan menjadi lebih singkat yaitu 6 bulan serta ditambah dengan pelaksanaan strategi DOTS yang terbukti efektif namun kejadian kasus TB belum terkendali secara optimal. 2.3. KO‐INFEKSI TB HIV Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2006, prevalensinya sekitar 0,16% pada orang dewasa. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor‐faktor yang mempengaruhi. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa propinsi.
Upaya penanggulangan HIV umumnya dilaksanakan di RS dan baru beberapa daerah saja yang sudah memiliki pelayanan HIV di fasilitas pelayanan Puskesmas. Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang ada diketahui bahwa epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS).
Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien. Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB per 100.000 penduduk dengan perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2006, menunjukkan angka prevalensi HIV sebesar 2% di antara pasien TB. Sedangkan survei yang sama di propinsi Papua menunjukkan angka sebesar 15,4%, di Jawa Timur 1,8% dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan Triwulan, pengidap infeksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008 (Depkes RI), infeksi
6
oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara 11868 kasus AIDS.
Sehubungan dengan kegiatan kolaborasi TB‐HIV maka fasilitas pelayanan kesehatan juga harus dapat memastikan tidak terjadinya pertukaran infeksi pada pasien HIV/AIDS dengan pasien TB maupun pasien TB‐MDR, serta antara pasien HIV/AIDS yang telah memiliki penyakit TB maupun TB‐MDR.
7
BAB III PROGRAM NASIONAL TUBERKULOSIS
3.1. KEBIJAKAN
3.1.1. Kebijakan Program Penanggulangan TB Nasional: Program Penanggulangan TB Nasional berdasarkan pada kebijakan‐kebijakan sebagai berikut :
1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS 3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB. 4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR‐TB.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).
6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma‐cuma dan dijamin ketersediaannya.
9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
10. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.
11. Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV. 12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 13. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
3.1.2. Kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi TB: Pada prinsipnya kebijakan pengendalian infeksi penyakit TB dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu :
1. Kebijakan pada tingkatan nasional maupun subnasional 2. Kebijakan pada Fasilitas pelayanan kesehatan 3. Kebijkan pada keadaan/situasi khusus
8
3.1.2.1 Kebijakan pengendalian infeksi pada tingkat nasional:
Pada tingkat ini umumnya kegiatan pengendalian infeksi dititik beratkan pada aspek managerial, yang menjadi kebijakan umum pada 2 kelompok lainnnya. Kegiatan pengendalian infeksi pada tingkat nasional maupun subnasional meliputi :
a. Adanya Tim Koordinasi teknis pelaksanaan kegiatan pengendalian infeksi disertai dengan rencana kegiatan serta pendanaan yang jelas.
b. Memastikan fasilitas kesehatan telah memenuhi kontruksi, design, renovasi dan penggunaan sesuai dengan aspek pengendalian infeksi
c. Melaksanakan surveilens TB bagi petugas kesehatan d. Melaksanakan kegiatan advokasi, Komunikasi dan sosial mobilisasi yang dibutuhkan
untuk penerapan pengendalian infeksi. e. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengendalian infeksi f. Penelitan operasional
3.1.2.2. Kebijakan Pengendalian infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan:
Pengendalian infeksi pada fasilitas pelayanan dimulai dari aspek managerial yang berupa adanya komitmen dan kepemimpinan dalam kegiatan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri.
Kegiatan lainnya berupa upaya pengendalian infeksi dengan 3 pilar utama yaitu a. Pilar Pengendalian administratif
b. Pilar Pengendalian lingkungan c. Pilar Pengendalian dengan Pelindung Diri
3.1.2.3. Pengendalian infeksi pada situasi/kondisi khusus Pengendalian infeksi pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada lapas/rutan, rumah penampungan sementara, barak‐barak militer, tempat‐tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Kebijakan pengendalian infeksi pada situasi seperti ini lebih ditujukan spesifik untuk keadaan masing‐masing, misalnya penerapan pengendalian infeksi di rutan dan lapas harus memperhatikan perbedaan lama kontak antara napi yang berbeda. Kegiatan lain seperti penapisan pada saat pemeriksaan awal napi merupakan bagian dari pencegahan dan pengendalian infeksi pada situasi/kondisi khusus. 3.2. STRATEGI
Program Penanggulangan TB telah memiliki rencana strategi yang dituangkan dalam Rencana strategi 2001‐2005 berfokus pada penguatan sumber daya, baik sarana dan prasaran maupun tenaga, selain meningkatkan pelaksanaan strategi DOTS di seluruh UPK untuk mencapai tujuan Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, yaitu Angka Penemuan Kasus minimal 70% dan Angka Kesembuhan minimal 85%. Sehingga dalam jangka waktu 5 tahun kedepan angka prevalensi TB di Indonesia dapat diturunkan sebesar 50%. Pada tahun 2005 disusunlah Rencana strategi 2006‐2010 yang merupakan kelanjutan dari Renstra sebelumnya, yang mulai difokuskan pada perluasan jangkauan pelayanan dan kualitas DOTS. Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan, yang dituangkan pada tujuh strategi utama pengendalian TB, yang meliputi:
9
Ekspansi “Quality DOTS” 1. Perluasan dan Peningkatan pelayanan DOTS berkualitas 2. Menghadapi tantangan baru, TB‐HIV, MDR‐TB dll 3. Melibatkan Seluruh Penyedia Pelayanan 4. Melibatkan Pasien dan Masyarakat
Dan didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan 5. Penguatan kebijakan dan kepemilikan Daerah 6. Kontribusi terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan 7. Penelitian Operasional
Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan kegiatan yang termasuk dalam strategi menghadapi TB‐HIV dan MDR‐TB serta upaya memperkuat sistim pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
10
BAB IV PENGENALAN PENYAKIT TUBERKULOSIS
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. 4.1. MIKROBIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis (MTb) merupakan batang tahan asam, tahan alkohol, tidak bergerak, aerobik dan tidak membentuk spora. Pertumbuhannya lambat, membutuhkan waktu 2‐6 minggu dalam media khusus. Mikobakteri penyebab penyakit pada manusia mengakibatkan jaringan destrukstif secara perlahan (granuloma) yang dapat mengalami nekrosis dengan ulserasi dan pembentukan kavitas. TBC paru dapat menyebar ke jaringan lain di luar paru melalui aliran darah, limfe dan saluran cerna. MOTT (Mycobacteria Other Than TB) adalah jenis mikrobakteri selain MTb atau M leprae yang dapat ditemukan sebagai penyebab penyakit pada pasien dengan imunitas sangat rendah. MOTT terdiri dari 4 grup yang masing‐masing terdiri dari beberapa spesies. Untuk kemudahan, identifikasi dilakukan atas dasar kecepatan pertumbuhan dan reaksi terhadap cahaya. Mikobakteria saprofit yang ditemukan di alam (tanah, air, makanan, binatang) jarang menyebabkan penyakit pada manusia .
4.2. PENULARAN TUBERKULOSIS
Penularan MTb terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar melalui partikel percik renik (droplet nuclei) saat seseorang batuk, bersin, berbicara, berteriak atau bernyanyi. Percik renik ini berukuran 1‐ 5 mikron dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam sampai beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi terjadi bila seseorang menghirup percik renik yang mengandung M.Tb dan akhirnya sampai di alveoli. Gejala timbul beberapa saat setelah infeksi, umumnya setelah respons imun terbentuk 2‐10 minggu setelah infeksi. Sejumlah kuman tetap dorman bertahun tahun yang disebut dengan infeksi laten. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi percik renik di udara dan jumlah kuman yang terhirup, ventilasi udara, serta lamanya pajanan. Makin dekat dengan sumber infeksi, makin lama waktu terpajan (dalam hari atau minggu) akan meningkatkan risiko seseorang terinfeksi. Keadaan yang dapat meningkatkan risiko penularan:
o TB Paru atau Laringitis TB o Batuk produktif o BTA positif o Kavitas o Tidak menutup hidung atau mulut saat batuk dan bersin o Tidak mendapat OAT o Tindakan intervensi ( induksi sputum,bronkoskopi, suction)
11
4.2.1. Risiko Penularan Hospital‐Care Associated Infections (HAIs) TB pada petugas kesehatan
Petugas yang mempunyai risiko untuk tertular:
o Perawat o Dokter o Mahasiswa kedokteran o Petugas Laboratorium o Petugas lain yang kontak dengan pasien
Faktor yang mempengaruhi:
o Frekuensi kontak langsung o Masa kerja o Kontak dengan pasien yang belum terdiagnosis dan belum diobati
Risiko penularan nosokomial dapat dikurangi dengan pengendalian infeksi, diagnosis dini, dan pengobatan secepatnya pada pasien TB. Survei pada tenaga kesehatan mendapatkan bahwa sebagian besar tidak mengetahui adanya panduan pencegahan dan pengendalian infeksi di tempat kerja. Tujuan utama pencegahan dan pengendalian infeksi TB adalah :
o Deteksi dini o Pemberian OAT secepat mungkin o Mencegah orang lain terinfeksi TB
4.3. PATOFISIOLOGI Proses patogenik bermula dari menghirup aerosol yang terinfeksi. Basil akan berdiam di alveoli dan diliputi oleh makrofag alveolar, jika dapat bertahan maka akan terjadi inisiasi sistem imuniti innate, dan mulai terjadi pertumbuhan secara logaritme yang berlipat ganda setiap 24 jam sampai makrofag pecah dan mengeluarkan bakteri. Makrofag baru akan bergerak kearah basil dan akan terjadi siklus ulangan. Basil dapat menyebar melalui sistem limfatik atau sistemik ke bagian tubuh yang lain. Setelah 3 minggu tubuh akan membentuk imuniti spesifik terhadap bakteri. Ikatan MTb dan limfosit spesifik akan bergerak ke lokasi infeksi mengelilingi dan mengaktifasi makrofag. Seiring dengan berlangsungnya infiltrasi seluler, bagian tengah dari sel atau granuloma akan mengalami perkejuan dan nekrosis. Pada banyak kasus, individu dengan daya tahan tubuh yang baik akan dapat menghentikan pertumbuhan kuman berkisar di lokasi lesi primer dengan sedikit atau tanpa gejala penyakit. Lesi awal ini yang nantinya mengalami resolusi atau menjadi kalsifikasi dan dapat saja masih mengandung basil hidup dan individunya disebut menderita TB laten. Lesi primer TB umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah lapangan paru pada lokasi subpleura. Lesi primer, saluran dan kelenjar limfa yang mengering akan membentuk kompleks Ghon yang umumnya terdistribusi antara lubus atas dan lobus bawah namun agak lebih banyak di paru kanan. Meskipun demikian selama minggu awal atau beberapa bulan kemudian infeksi akan menjadi penyakit pada 10% kasus dan pasien akan mengalami gejala yang khas seperti batuk, deman, letargi dan penurunan berat badan. Masih menjadi perdebatan apakah kejadian penyakit TB pada orang dewasa karena reaktivasi focus Ghon
12
atau reinfeksi. Secara umum TB paru pada individu dewasa dianggap terjadi karena reaktivasi. Hipotesis ini didukung oleh kenyataan bahwa basil tuberkel berkembang pada 40% nodul subapikal dan 5% pada fokus Ghon. Meskipun demikian reinfeksi masih bisa terjadi.
Kaviti dapat terbentuk dengan diameter 3 sampai 10 cm yang biasanya terdapat di lobus atas. Dinding kaviti terdiri dari jaringan granulasi dilapisi di bagian luar oleh jaringan fibrotik. Kaviti kronik ditandai dengan dinding yang lebih tebal. Pada bagian tranversal kaviti terdapat arteri aneurisma yang disebut arteri Rasmussen. Perdarahan mungkin terjadi karena rembesan darah dari kapiler pada jaringan granulasi yang banyak atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar yang terlibat dalam proses nekrotik. 4.4. KOINFEKSI TB‐ HIV Pasien TB dan HIV perlu mendapat perhatian khusus. Jumlah pasien HIV terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah fasilitas konseling, pemeriksaan dan perawatan pasien HIV, klinik terapi antiretroviral serta kelompok komuniti HIV sehingga angka kunjungan ke fasilitas kesehatan maupun fasilitas umum ikut meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Pasien TB yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati sering ditemukan di pusat pelayanan HIV sehingga akan menjadi sumber penularan. Tuberkulosis merupakan infeksi oprtunistik yang paling sering menyebabkan kematian pasien HIV. Hasil penelitian di daerah dengan prevalensi TB yang tinggi, sebanyak 30%‐40% pasien HIV akhirnya akan menderita TB. Pada tahun pertama terinfeksi HIV resiko menderita TB adalah sebesar 2 kali lipat dan angka ini terus meningkat dan dapat menjadi sumber penularan TB ke orang sekitarnya termasuk petugas kesehatan. Pada kasus koinfeksi TB HIV, obat antituberkulosis harus segera diberikan atau didahulukan dibandingkan dengan pemberian ARV, tanpa mempertimbangkan penyakit mana yang timbul terebih dahulu. Pemberian OAT dan ARV secara bersamaan harus mempertimbangkan aspek interaksi obat, efek samping dan kegawat daruratan yang dapat dilihat dari jumlah CD4. 4.5. TB MDR
Kekebalan kuman TB terhadap obat anti TB (OAT) mulai menjadi masalah seiring dengan digunakannya Rifampisin secara luas semenjak tahun 1970‐an. Kekebalan ini dimulai dari yang sederhana yaitu mono resisten sampai dengan MDR‐TB dan XDR‐TB. Terjadinya kekebalan kuman salah satunya adalah akibat kesalahan penanganan pasien TB. Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan terjadi resistensi pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4 kali lipat, sedangkan untuk terjadinya TB‐MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Pasien TB‐MDR sering tidak bergejala sebelumnya sehingga tanpa diketahui dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain bahkan sebelum ia menjadi sakit.
13
BAB V
PENATALAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB DI RUMAH SAKIT
Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya Mycobacterium tuberculosis ini. Hal ini penting dilaksanakan bukan saja untuk mencegah penularan dari pasien ke petugas kesehatan saja, tetapi juga untuk mencegah penularan dari pasien ke pasien. Dalam pelayanan tuberkulosis, mengingat situasi TB di dunia yang makin memburuk dengan jumlah kasus yang meningkat dan banyak diantaranya yang tidak berhasil disembuhkan dan menjadi MDR TB. Sesuai dengan karakteristik penularan MTb melalui udaara, maka kewaspadaan transmisi airborne‐lah yang harus menjadi fokus utama upaya PPI TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan tuberkulosis. Sebagai acuan dasar penatalaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi dipakai buku “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Lainnya”, Depkes 2008. Sedangkan sebagai acuan manajerial PPI dipakai buku “Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Lainnya”, Depkes 2008. Materi yang dimuat dalam Bab ini adalah khusus mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi TB (PPI TB) sebagai pelengkap. Selain kedua acuan dasar diatas, dipakai juga sebagai acuan buku‐buku WHO guidelines tentang Tuberculosis Infection Control, yaitu:
− World Health Organization. WHO policy on TB infection control in health‐care facilities, congregate settings and households. WHO 2009
− World Health Organization. Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited Settings. Geneva, World Health Organization, 1999.
− Tuberculosis Infection Control In The Era Of Expanding Hiv Care And Treatment ‐ Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited Settings. US Department of HHS,US CDC, US President’s Emergency Plan for AIDS Relief, The World Health Organization and The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 1999
Kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Rumah Sakit Pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Rumah Sakit dimulai adanya komitmen dan kepemimpinan oleh manajemen rumah sakit dalam bentuk dukungan manajerial yang diikuti dengan dilaksanakannya tiga pilar pengendalian, yaitu administratif, lingkungan dan perlindungan diri.
• Dukungan MANAJERIAL Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif dalam kegiatan PPI TB di rumah sakit.
• Pengendalian ADMINISTRATIF: Untuk mengurangi pajanan TB dan kemungkinan terinfeksi melalui penerapan kebijakan yang efektif dan dilaksanakannya prosedur PPI TB dengan benar
• Pengendalian LINGKUNGAN:
14
Pengendalian lingkungan dilakukan untuk mengurangi kadar percik renik MTb di dimana ada kemungkinan kontaminasi udara
• PERLINDUNGAN DIRI: Pengendalian Perlindungan diri adalah untuk melindungi petugas kesehatan yang harus bekerja di lingkungan dengan kontaminasi percik renik di udara yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya dengan pengendalian administrasi dan lingkungan
5.1. DUKUNGAN MANAJERIAL Dukungan manajerial bagi terlaksananya PPI TB adalah berupa penguatan dari upaya manajerial bagi PPI sesuai dengan “Pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya”. Upaya penguatan bagi PPI TB ini meliputi penetapan:
− Penanggung jawab PPI TB Untuk PPI TB perlu ditunjuk kelompok PPI TB terdiri dari IPCO yang dibantu oleh IPCN, yang bertanggung jawab untuk terlaksananya Rencana PPI TB
− Rencana PPI TB 5.1.1. RENCANA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS Rencana PPI TB ini perlu disusun oleh kelompok PPI TB sebagai bagian dari dan terintegrasi dengan Program PPI RS. Rencana PPI TB ini meliputi:
1. Prosedur penyaringan pasien dengan Triase. Segera setelah pasien datang di fasilitas pelayanan kesehatan adalah penting untuk bisa segera mengenali orang yang mempunyai gejala TB, atau orang yang sedang dalam investigasi TB maupun pengobatan TB, untuk dipisahkan dari pasien lain. (baca prosedur penyaringan dengan Triase di lampiran)
2. Pendidikan pasien mengenai etiket batuk. Penyediaan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu maupun pembuangan dahak yang benar.
3. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai ventilasi baik .
4. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi mereka, sehingga waktu mereka berada di fasilitas dapat dikurangi seminim mungkin.
5. Memberikan pelayanan segera bagi pasien dengan suspek TB, pastikan bahwa proses investigasi diagnostik dilakukan dengan cepat, termasuk segera merujuk ke tempat pemeriksaan diagnostik bila harus dibawa ketempat lain.
6. Menjalankan dan mempertahankan upaya pengendalian lingkungan (baca Pilar Pengendalian Lingkungan)
7. Menjamin dilaksanakannya upaya perlindungan diri yang adekuat bagi petugas kesehatan dan mereka yang bertugas ditempat pelayanan
8. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai TB dan Rencana Kerja TB bagi semua petugas kesehatan. (baca Pelatihan Petugas mengenai TB di lampiran)
9. Melakukan pemeriksaan kesehatan bagi petugas untuk penyaringan kemungkinan terkena TB, serta menyediakan pelayanan bagi mereka. Termasuk juga pelayanan VCT bagi petugas kesehatan, bila mereka memerlukannya, disertai dengan akses terhadap ARV/pengobatan.
10. Melakukan pemantauan akan pelaksanaan Rencana Kerja PPI‐TB, dan melakukan koreksi terhadap praktek yang tidak berjalan atau kegagalan menerapkan kebijakan dan prosedur PPI TB.
Gambar 5.1. Poster Etiket Batuk
5.2. PILAR PENGENDALIAN ADMINISTRATIF Pengendalian Administratif adalah upaya utama yang penting dilakukan untuk mengurangi pajanan MTb kepada petugas kesehatan dan pasien, dengan mengurangi adanya percik renik di udara. Risiko ini tidak dapat dihilangkan 100%, tetapi dapat diturunkan secara signifikan dengan upaya administratif yang benar. Upaya ini mencakup:
• Melaksanakan triase dan pemisahan kasus berpotensi infeksius, • Menerapkan etiket batuk untuk mencegah persebaran kuman patogen, dan • Mengurangi waktu pasien tersebut berada di fasilitas pelayanan kesehatan.
Upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai dengan melaksanakan lima langkah penatalaksanaan pasien sebagai berikut:
15
16
Lima Langkah Penatalaksanaan pasien Untuk Mencegah Infeksi TB Pada Tempat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
1. Triase
Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm TB adalah langkah pertama. Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan petugas untuk menyaring pasien dengan batuk lama segera pada saat datang di fasilitas. Pasien dengan batuk ≥ 2 minggu, atau yang sedang dalam investigasi TB tidak dibolehkan meng-antri dengan pasien lain untuk mendaftar atau mendapatkan kartu. Mereka harus segera dilayani mengikuti langkah-langkah dibawah ini.
2. Penyuluhan Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring diatas untuk melakukan etiket batuk. Yaitu untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau tisu untuk membantu mereka menutup mulutnya
3. Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari pasien lain, dan diminta menunggu di ruang terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung pada saat menunggu.
4. Pemberian pelayanan
segera
Pada tempat pelayanan terpadu, pasien dengan gejala di-triase ke baris depan untuk mendapatkan pelayanan segera (misalnya VCT HIV, kunjungan ulang obat), agar segera dapat dilayani dan mengurangi waktu orang lain terpajan pada mereka. Ditempat pelayanan terpadu, usahakan agar pasien yang hanya datang untuk pelayanan HIV mendapatkan layanan HIV sebelum layanan untuk ODHA dengan TB.
5. Rujuk untuk
investigasi/ pengobatan
TB
Pemeriksaan diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama baik dengan sentra diagnostik TB untuk merujuk pasien dengan gejala TB. Selain itu, fasilitas perlu mempunyai kerjasama dengan sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.
Adaptasi dari: Tuberculosis Infection Control in The Era of Expanding HIV Care and Treatment ‐ Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited Settings, page 17.
5.3. PILAR PENGENDALIAN LINGKUNGAN Pengendalian Lingkungan adalah upaya dengan menggunakan technologi yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran dan menurunkan kadar percik renik di udara, sehingga tidak menularkan orang lain. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan sistem ventilasi yang menyalurkan percil renik kearah tertentu atau ditambah dengan penggunaan radiasi Utraviolet sebagai germisida.
5.3.1. Penggunaan Sistem Ventilasi: Sistem Ventilasi adalah suatu sistem yang menjamin udara di dalam gedung bergerak dan terjadi pertukaran antara udara didalam gedung dengan udara dari luar. Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:
• Ventilasi Alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu dan jendela terbuka, serta skylight bagian atap yang bisa dibuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam gedung dan dari dalam keluar gedung.
• Ventilasi campuran (hybrid): adalah sistem ventilasi alamiah ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menamvbah efektifitas panyaluran udara.
17
Penggunaan kipas angin/exhaust fan juga termasuk dalam jenis ventilasi ini karena dapat menyalurkan/menyedot udara ke arah tertentu.
• Ventilasi Mekanik: adalah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam gedung. Termasuk disini adalah AC dan sistem pemanas udara ( di negara dingin).
: Ventilasi yang adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk mencegah transmisi penyakit yang menular melalui udara (airborne) dan sangat direkomendasikan untuk pengendalian penyebaran penyakit TB. Ventilasi yang baik mengurangi risiko infeksi dengan dilusi atau menghilangkan pajanan. Apabila udara bersih atau segar masuk ke ruangan melalui sistem ventilasi alamiah maupun mekanik maka terjadi dilusi partikel di udara ruangan seperti percik renik. Sehingga risiko penularan menjadi lebih kecil. Hal ini hanya dapat terjadi bila udara ruangan dialirkan keluar ke tempat yang aman (menjauhi orang‐orang) atau di filter/radiasi sehingga percik renik yang mengandung bakteri M. Tuberkulosis terjaring atau menjadi tidak aktif. Jenis sistem ventilasi yang perlu digunakan tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat. Setiap sistem ventilasi yang dipilih harus dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik, oleh karena itu sumber daya (tenaga dan dana) yang cukup, perlu disediakan. Ventilasi dalam gedung perlu memperhatikan 3 elemen dasar, yaitu:
• Ventilation Rate: Jumlah udara luar berkualitas baik yang masuk dalam ruangan pada waktu tertentu
• Arah aliran udara: Arah umum aliran udara dalam gedung, yang seharusnya dari area bersih, ke area terkontaminasi
• Distribusi udara atau pola aliran udara (airflow pattern): Udara luar perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang efisien dan kontaminan airborne yang ada dalam ruangan dialirkan keluar dengan cara yang efisien juga.
Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada jenis ventilasi yang digunakan, seperti resirkulasi udara atau aliran udara segar. Ada dua cara untuk mengukur rate ventilasi, yaitu dengan memperhitungkan volume ruangan: Pertukaran udara per jam (ACH = airchanges per hour) atau dengan memperhitungkan jumlah orang dalam ruangan: Liter/detik/orang. Penggunaan ukuran berdasarkan jumlah orang dalam ruangan, berdasarkan pada fakta, bahwa setiap orang dalam ruangan memerlukan sejumlah udara segar tertentu. Sudah terbukti, bahwa ruangan non‐isolasi dengan rate ventilasi dibawah 2 ACH, berhubungan dengan angka konversi TST yang lebih tinggi pada petugas kesehatan. Rate ventilasi yang lebih tinggi memiliki kemampuan mendilusi patogen airborne lebih tinggi, sehingga menurunkan risiko penularan infeksi melalui udara. Rekomendasi WHO saat ini untuk ruangan dengan risiko tinggi penularan melalui udara adalah minimal 12 ACH yang berarti : 80 l/detik/pasien untuk ruangan dengan volume 24m3. Ada beberapa laporan yang menyatakan, bahwa terjadi penularan TB di fasilitas pelayanan yang tidak memiliki sistem ventilasi yang baik. Bukti yang ada mengenai pengaruh ventilasi masih lemah, namun konsisten, sehingga untuk pengendalian penularan TB, ventilasi masih sangat dianjurkan. Pemilihan sistem ventilasi yang alamiah, mekanik atau campuran, perlu memperhatikan kondisi lokal, seperti struktur bangunan, cuaca, biaya dan kualitas udara luar. Rumah Sakit
perlu memasang vantilasi yang mengalirkan udara dari sumber penularan ke titik exhaust atau ke tempat dimana dilusi udara adekuat.
5.3.1.1.Ventilasi alamiahdan campuran: Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar udara luar yang segar dapat masuk kesemua ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun langit‐langit di ruangan di mana banyak orang berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka selebar mungkin. Sistem ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu dengan penggunaan exhaust fan/Kipas angin yang dipasang dengan benar dan dipelihara dengan baik, dapat membantu untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila ventilasi alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin cukup efektif untuk mendilusi udara ruangan dibandingkan dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau ruangan tertutup. Gambar 5.2 : Jenis‐jenis kipas angin
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB , hal 17
18
Sistem ventilasi alamiah dengan tambahan exhaust fan/kipas angin sering pula disebut sebagai ventilasi campuran (alamiah dan mekanik). Kipas angin yang dipasang pada langit‐langit hanya memutar udara saja tanpa mengalirkan ke arah tertentu, tidak dianjurkan. Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja dapat mengalirkan udara ke arah tertentu, bila dipasang pada posisi tetap. Pemasangan Exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung menyedot udara keluar dapat meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan. Sistem exhaust fan yang dilengkapi saluran udara keluar, harus dibersihkan secara teratur, karena dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan kotoran, sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang dapat dialirkan. Rumah sakit yang hanya memiliki ventilasi alamiah, perlu memperhatikan apakah ventilasi tetap efektif dengan melakukan pemeliharaan secara periodik. Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela yang dapat dibuka dengan ukuran maksimal dan menempatkan jendela pada sisi tembok ruangan yang berhadapan. Meskipun Rumah Sakit mempertimbangkan untuk menginstalasi suatu sistem ventilasi mekanik, ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.
19
Rekomendasi untuk Ventilasi Alamiah dan Kipas Angin:
• Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua ruangan yang banyak orang
• Biarkan pintu, jendela dan skylight terbuka sesering mungkin • Periksa apakakah pintu, jendela dan skylight mudah dibuka • Tambahkan kipas angin untuk meningkatkan pertukaran udara dan arahkan
kipas angin dalam posisi tetap agar aliran udara selalu ke arah keluar • Nyalakan kipas angin selama masih ada orang‐orang di ruangan tersebut
Pembersihan dan perawatan:
• Bersihkan semua kipas angin dan saluran udara sekali sebulan dengan alat penghisap debu yang dipasang filter HEPA
• Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran dari kipas angin • Jangan lakukan pembersihan bila ada pasien di ruangan • Periksa ventilasi alamiah paling tidak sekali setahun atau dirasakan ventilasi
sudah kurang baik • Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan dengan baik
Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih ada beberapa kelemahan, selain keuntungan yang sudah dijelaskan diatas. Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sisten ventilasi ini dapat dilihat pada tabel 5.3.1. dibawah ini:
Tabel 5.3.1. Kelebihan dan kelemahan penggunaan sistem ventilasi alamiah dengan kipas angin
KELEBIHAN KELEMAHAN − Diaktifkan hanya dengan membuka
pintu, jendela dan skylight − Tidak hanya mengurangi risiko transmisi
TB, tetapi juga meningkatkan kualitas udara seara umum
− Kipas angin, cuku murah dan mudah digunakan
− Kipas angin dapat dengan mudah dipindahkan, sesuai kebutuhan
− Ventilasi alamiah sering tidak dapat dikendalikan dan diprediksi, karena tergantung pada cuaca, kondisi angin dll
− Udara yang masuk ruangan dari luar tanpa disaring.difilter, dapat membawa polutan udara lainnya
− Jendela/pintu yang selalu dibuka, dapat berdanpak pada keamanan, kenyamanan dan privasi . Hal ini terutama terjadi pada malam hari atau bila cuaca dingin
5.3.1.2. Ventilasi mekanik: Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi mekanik, bila sistem ventilasi alamiah atau campuran tidak adekuat, misalnya pada gedung tertutup. Sistem Ventilasi Sentral pada gedung tertutup adalah sistem mekanik yang mensirkulasi udara di suatu gedung. Dengan menambahkan udara segar untuk mendilusi udara yang ada, sistem ini dapat mencegah penularan TB. Tetapi dilain
pihak, sistem seperti ini juga dapat menyebarkan partikel yang mengandung MTb ke ruangan lain dimana tidak ada pasien TB, karena sistem seperti ini meresirkulasi udara keseluruh gedung. Persyaratan sistem ventilasi mekanik yang dapat mengendalikan penularan TB adalah:
• Harus dapat mengalirkan udara bersih dan menggantikan udara di dalam ruangan
• Harus dapat menyaring (dengan pemasangan filter) partikel yang infeksius dari udara yang di resirkulasi
• Atau dapat ditambahkan lampu UVGI untuk mendesinfeksi udara yang di resirkulasi
Gambar 5.3: Bagan Sistem Ventilasi tertutup
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB , hal 25
Sistem Ventilasi dengan Tekanan Negatif: Tekanan Negatif terjadi, dengan menyedot udara dari dalam ruangan lebih banyak daripada memasukkan udara kedalam suatu ruangan, sehingga partikel infeksius tetap berada di dalam ruangan dan tidak bisa pindah ke ruangan lain. Ruangan dengan tekanan negatif harus kedap udara, sehingga tidak ada udara yang masuk. Berarti ruangan harus di seal dan hanya membiarkan udara masuk dari bawah pintu. Ada beberapa komponen yang perlu ada, bila menggunakan sistem ventilasi dengan tekanan negatif:
a. Komponen Filter Udara: Filter digunakan untuk menyaring udara, sehingga menghilangkan partikel. Udara yang telah bersih, kemudian di distribusi. Saat ini banyak jenis filter telah tersedia dan harus dipilih yang dapat menyaring partikel MTb. Jenis filter yang dianjurkan adalah pleated filter (bahan filter di lipit2) bukan filter yang lembaran rata (lint filter). Suatu sistem ventilasi dapat mempunyai satu atau lebih filter, bila terpasang lebih dari 1 filter disebut sebagai filter bank. Perbedaan 3 jenis filter terdapat pada efisiensi menyaring udara yang mengandung percik renik MTb berukuran 1 – 5 mikron:
• Filter HEPA (High Efficiency Particulate Air): dapat menyaring partikel yang berukuran sebesar percik renik MTb (tetapi filter HEPA adalah suatu alat khusus, yang tidak sesuai untuk sebagain besar sistem ventilasi sentral yang ada)
20
• Filter pleated ASHRAE dengan efisiensi 25% (MERV= Minimum Efficiency Reporting Value 7 atau 8): hanya dapat menyaring separuh partikel yang berukuran sebesar percik renik bakteri TB
• Filter Lint: tidak dapat menyaring partikel yang berukuran sebesar percik renik bakteri TB
Gambar 5.4. Jenis‐jenis Filter udara:
Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB , hal 21
Filter pleated tersedia dengan berbagai ukuran sehingga dapat disesuaikan untuk sebagian besar sistem ventilasi yang ada, namun harganya lebih mahal daripada filter lint. Obstruksi aliran udara juga terjadi lebih banyak pada penggunaan filter pleated oleh karena itu perawatan yang baik sangat diperlukan. Penggantian filter dilakukan bila terlihat seluruh permukaan filter tertutup dengan debu, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan filter secara teratur, paling sedikit sekali sebulan.
b. Komponen: Udara luar Untuk pengendalian penularan TB, sistem terbaik adalah sistem ventilasi tanpa resirkulasi udara – berarti 100% bergantung pada aliran udara luar yang satu arah. Dalam hal ini pasokan udara seluruhnya adalah udara luar segar yang dialirkan kedalam ruangan melalui filter udara dan bila diperlukan dapat didinginkan terlebih dahulu. Sistem aliran udara satu arah ini cukup mahal, apalagi bila harus didinginkan terlebih dahulu sehingga biasanya gedung‐gedung tertutup hanya menggunakan sebagian kecil udara luar. Proporsi udara luar yang digunakan biasanya hanya berkisar antara 10 – 30% dan sisanya adalah udara resirkulasi. Udara luar yang akan dialirkan kedalam ruangan, biasanya melalui saluran udara yang dipasang penyaring udara.
c. Komponen: UVGI in‐duct (Iradiasi Ultraviolet Germisida melalui saluran) Pada sistem ventilasi udara resirkulasi, penggunaan filter pleated hanya bisa menghilangkan sekitar 50% partikel TB. Sisanya di resirkulasi lagi kedalam sistem ventilasi. Oleh karena itu sistem udara yang menggunakan 100% udara luar adalah ideal, namun cukup mahal. Alternatif yang bisa digunakan adalah menambahkan lampu UVGI selain filter. Pemasangan
21
lampu dalam sistem saluran udara dengan benar, akan kurang lebih sama efektifnya seperti sistem ventilasi yang menggunakan 100% udara luar. Penggunaan lampu UVGI dalam sistem ventilasi memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan pemasangan filter HEPA, yaitu lampu UVGI tidak menyebabkan obstruksi saluran udara, selain juga lebih murah. Namun penggunaan UVGI memerlukan tenaga ahli untuk memasang dan memeliharanya.
5.3.2. Penggunaan Radiasi Ultraviolet Pada Aliran Udara Atas
Pada struktur bangunan tertentu, dimana ACH yang cukup, tidak dapat dicapai dengan sistem ventilasi atau bila transmisi MTb merupakan risiko tinggi untuk morbiditas dan mortalitas, seperti di ruang perawatan MDR‐TB, maka diperlukan suatu sistem pengendalian tambahan, yaitu dengan penggunaan upper room atau germisida radiasi ultraviolet (UVGI). Sistem pengendalian lingkungan seperti ini tidak menggunakan udara segar atau aliran udara yang diarahkan. Peralatan UVGI, bukan merupakan pengganti sistem ventilasi, tetapi merupakan upaya pengendalian tambahan. Beberapa studi menunjukkan, bahwa suatu sistem UVGI yang dirancang dengan baik, dapat mendesinfeksi MTb yang setara dengan 10 – 20 ACH. Sistem UVGI yang dipasang diatas ruangan merupakan potensi bahaya bagi mata, yang perlu mendapat perhatian, khususnya bagi pekerja yang melakukan pembersihan atau pemeliharaan ruangan. Oleh karena itu penggunaan UVGI memerlukan desain, instalasi, penggunaan dan instalasi yang benar. Gambar 5.5: Contoh Instalasi UVGI pada bagian atas ruangan
Sumber: Bahan Pelatihan TOT Pengendalian dan Pencegahan Infeksi TB
Sebagai kesimpulan, WHO telah mengeluarkan rekomendasi mengenai ventilasi ruangan sebagai berikut: REKOMENDASI UTAMA:
1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi airborne, perlu diupayakan ventilasi yang adekuat di semua area pelayanan pasien di Rumah Sakit (fasilitas kesehatan)
2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan bahwa angka rata-rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu:
a. 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspaan airborne (dengan ventilation rate terrendah adalah 80/l/detik/pasien)
22
23
b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik rawat jalan c. 2,5/l/detik untuk jalan/selasar (koridor) yang hanya dilalui sementara oleh
pasien. Bila pada suatu keadaan tertentu ada pasien=pasien yang terpaksa dirawat di selasar Rumah Sakit, maka berlaku ketentuan yang sama untuk ruang kewaspadaan airborne atau ruang perawatan umum
Desain ruangan harus memperhitungkan adanya fluktuasi dalam besarnya ventilation rate. Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka ventilasi yang direkomendasikan, maka dianjurkan menggunakan ventilasi campuran, atau ventilasi mekanik saja.
3. Rancangan ventilasi alamiah di Rumah Sakit, perlu memperhatikan, bahwa aliran
udara harus mengalirkan udara dari sumber infeksi ke area di mana terjadi dilusi udara yang cukup dan lebih diutamakan ke udara luar.
4. Di ruangan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol berisi pathogen menular, maka ventilasi alamiah harus paling sedikit mengikuti rekomendasi nomer 2 diatas. Bila agen infeksi adalah airborne, hendaknya diikuti rekomendasi 2 dan 3.
5.4. PILAR PENGENDALIAN DENGAN PERLINDUNGAN DIRI
Alat Pelindung Diri Pernafasan melindungi petugas kesehatan di tempat, di mana kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan .
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu digunakan saat memberikan perawatan pasien atau tersangka pasien MDR‐TB dan XDR‐TB. Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator partikulat tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.
5.4.1. Pemakaian Respirator Partikulat
Respiratorpartikulat (N95 atau FFP2) merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test. Yang dimaksud dengan fit test, adalah petugas kesehatan harus antara lain: • Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat adanya cacat atau
lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat digunakan
• Memeriksa tali masker apakah tersambung dengan baik. Tali harus menempel dengan baik di semua titik sambungan
• Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam (jika ada) berada pada tempatnya dan berfungsi baik
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif bila tidak menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan keadaan demikian, yaitu: • Adanya janggut atau rambut yang tumbuh pada wajah bagian bawah
• Adanya gagang kacamata
• Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.
Cara melakukan fit test respirator 1. Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan bagian hidung pada
ujung jari‐jari Anda, biarkan tali pengikat respirator menjuntai bebas di bawah tangan Anda.
2. Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung berada di atas
3. Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan tali di bawah telinga. Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak tinggi di belakang kepala Anda, di atas telinga
4. Letakkan jari‐jari kedua tangan Anda di atas bagian hidung yang terbuat dari logam. Tekan sisi logam, dengan dua jari untuk masing‐masing tangan, mengikuti bentuk hidung Anda. Jangan menekan dengan satu tangan karena dapat mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif
5. Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati‐hati agar posisi respirator tidak berubah
Pemeriksaan Segel Positif • Hembuskan napas kuat‐kuat. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada
kebocoran. Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/ atau ketegangan tali. Uji kembali kerapatan respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar‐benar tertutup rapat.
Pemeriksaan Segel Negatif • Tarik napas dalam‐dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di dalam
respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat udara masuk melalui celah‐celah pada segelnya
24
25
5.4.2. Edukasi dan penerapan etiket batuk
Petugas harus dapat memberi pendidikan mengenai pentingnya menjalankan etiket batuk kepada pasien untuk mengurangi penularan. Pasien yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut / hidung dengan tisu . Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat sampah yang khusus disediakan untuk ini. Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah. Apabila petugas bersin atau batuk, maka etiket batuk dan kebersihan tangan seperti di atas harus diterapkan.
5.4.3. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium Tb Konsep perlindungan diri petugas Laboratorium tetap mengacu pada Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi melalui udara (airborne) dan Transmisi melalui Kontak apabila sedang memroses spesimen. Petugas Lab yang menangani pemeriksaan Tb berhak mandapatkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun. Kehati‐hatian dalam melakukan prosedur laboratorium perlu ditekankan terutama apabila menimbulkan aerosol. Pekerjaan harus dilakukan dalam lemari Biologic Safety Cabinet kelas I atau IIA dengan keamanan tingkat 2 (Biosafety level 2) yang dilengkapi laminar‐airflow dan filter HEPA. Sebelum bekerja, meja kerja kabinet dialasi dengan bahan penyerap yang sudah dibasahi larutan disinfektans. Setiap selesai bekerja, permukaan kabinet harus dibersihkan dengan disinfektans. Lampu UV harus selalu dinyalakan apabila kabinet dalam keadaan tidak digunakan. Untuk pemeliharaan perlu dilakukan pengecekan berkala oleh teknisi yang kompeten. Untuk pemeriksaan kultur dan resistensi perlu dilakukan dengan tingkat keamanan 3 dengan akses yang sangat dibatasi.
Sistem ventilasi udara laboratorium Tb harus diatur sedemikian rupa sehingga udara mengalir masuk sesuai area bersih ke area tercemar dan keluar ke udara bebas yang tidak dilalui lalu lintas manusia. Ruang pemrosesan dianjurkan selalu terpasang lampu UV bila dalam keadaan tidak digunakan. Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek germisidal lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat pengukur.
5.4.4. Keamanan Cara Penampungan sputum
5.4.4.1. Penampungan sputum Penampungan sputum oleh pasien harus dilakukan dalam ruangan dengan konsep AII (airborne infection isolation) atau boks khusus dengan pengaturan sistem ventilasi (well‐ventilated sputum induction booth) . Udara dalam boks dialirkan ke udara bebas di tempat yang bebas lalu lintas manusia. Petugas yang mendampingi harus menggunakan respirator partikulat. Pasien harus tetap dalam ruangan sampai batuk mereda dan tidak batuk lagi. Ruangan harus dibiarkan kosong sampai diperkirakan udara sudah bersih sebelum pasien berikutnya diperbolehkan masuk. Untuk sarana dengan sumber daya terbatas, pasien diminta mengumpulkan sputum di luar gedung, di tempat terbuka,
26
bebas lalu lintas manusia, jauh dari orang yang menemani atau orang lain, jendela atau aliran udara masuk. Untuk penampungan sputum yang baik, pasien perlu mendapat penjelasan oleh petugas. Pasien diminta menarik napas dalam sebanyak 3 x kemudian pada tarikan ke 3 menahan napas kemudian batuk dengan tekanan. Wadah sputum harus bermulut lebar dan bertutup ulir. Wadah tidak perlu steril tetapi harus bersih dan kering. Sedapat mungkin menggunakan wadah yang disediakan khusus oleh laboratorium. Waktu pengambilan dilakukan dengan metode SPS yaitu sewaktu saat berobat ke RS/Poliklinik, pagi hari keesokannya di rumah dan sewaktu saat kontrol dan membawa sputum pagi hari ke RS/Poliklinik .
5.4.4.2. Kebersihan tangan setelah menampung sputum.
Pasien perlu diberitahu untuk membersihkan tangan setelah menampung sputum baik dengan air mengalir dan sabun, atau dengan larutan handrubs. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan sarana tersebut.
5.4.5. Proteksi saat transportasi pasien
Apabila pasien akan ditransportasikan keluar dari ruang isolasi, maka pasien harus dipakaikan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitar.
27
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk mengukur kemajuan yang dicapai dan mengetahui dampak dari program. Program M & E harus dikembangkan untuk tingkat nasional, regional dan pada tingkat fasilitas sendiri. Sistem monitoring dan evaluasi program pencegahan dan pengendalian penularan TB di Rumah Sakit, sebaiknya diintegrasikan dengan program monitoring dan evaluasi program yang sudah ada dan menggunakan beberapa indikator yang sama. Program yang berkaitan, misalnya progam HIV, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS), Penjaminan Mutu Pelayanan dan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit. 6.1. Tujuan Tujuan suatu program Monitoring dan Evaluasi pada pengendalian dan pencegahan Infeksi TB adalah:
• Memantau pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian penularan TB di Rumah Sakit
• Menilai kemajuan terhadap pencapaian indikator • Membuat keputusan dan kebijakan berdasarkan data • Meningkatkan upaya pengendalian penularan TB di Rumah Sakit
Indikator yang akan diukur, sebaiknya menggunakan indikator standar baik yang nasional maupun yang internasional, sehingga bisa mendapat angka pencapaian regional/nasional dan dibandingkan dengan negara‐negara lain. Perlu ada kesepakatan mengenai indikator minimal yang hendak diukur, instrumen pengumpulan data yang akan dipakai dan siapa yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data tersebut. 6.2. Metode Pengumpulan data Dapat dipilih beberapa metode di Rumah Sakit, seperti:
‐ Pengumpulan data dari laporan rutin ‐ Pengumpulan data dari leporan kegiatan ‐ Pengamatan ‐ Survei ‐ Pemeriksaan dan pengukuran berkala
6. 3 Kerangka Monitoring dan Evaluasi
Sebaiknya dikembangkan dahulu suatu kerangka M & E, yang mencakup target tahunan, data dasar (dengan sumbernya), sumber data dan frekwensi pengumpulan data. Monitoring dan evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap indikator dampak, tetapi juga mencakup indikator keluaran, proses dan masukan
Contoh: Kerangka Monitoring & Evaluasi Program Pencegahan dan Pengendalian TB di Rumah Sakit
INDIKATOR TARGET (per tahun) Nr
JENIS AREA NAMA DATA DASAR
Sumber & Tahun 01 02 03 04 05
PENGUMPULAN DATA
FREK.
PENANGGUNG JAWAB
1. Input Managemen Ada tim PPT TB di RS
Pengamatan Dokumen
1X/th
2. Input Managemen RS Memiliki Pedoman PPI RS
Pengamatan Dokumen
1X/th
3. Input Managemen Ada SOP untuk triage, pengambilan sputum, dll
Pengamatan Dokumen
1X/th
4. Input Managemen Ada kebijakan untuk Pemeriksaan Berkala Petugas Kesehatan
Pengamatan Dokumen
1X/th
5.
Input SDM Ada rencana pelatihan petugas kesehatan mengenai PPI
Pengamatan 1X/th
6 Input Teknis Ada sistem ventilasi yang memenuhi standar
Pengamatan 1X/th
7. Input Peralatan Alat Pelindung Diri yang sesuai, tersedia dan mencukupi
Catatan Logistik 1X/th
8. Proses Manageman Tim PPI TB mengadakan pertemuan berkala
Health Reports Quarterly
9. Proses Managemen RS men-desiminasikan pedoman pada petugas kesehatan
Health Reports Quarterly
10. Output SDM Jumlah Petugas yang mendapat
Laporan kegiatan
1
2
INDIKATOR TARGET (per tahun) Nr JENIS AREA NAMA
DATA DASAR
Sumber & Tahun 01 02 03 04 05
PENGUMPULAN DATA
FREK.
PENANGGUNG JAWAB
pelatihan PPI-TB Laporan asesmen 11. Output Managemen Dilakukan asesmen
pelaksanaan PPI TB
Sur vei 12 Outcome SDM Petugas
menggunakan APD yang sesuai
Surveilans 13 Impact Morbidity Prevalensi petugas
kesehatan di D/ TB
Dengan adanya kerangka M & E ini, diharapkan semua RS bisa menilai indikator yang sama.
BAB VII
PENUTUP
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Rumah Sakit digunakan sebagai acuan bagi seluruh jajaran kesehatan yang terkait dalam pelayanan TB di rumah sakit. Upaya penanggulangan TB‐HIV di rumah sakit harus dapat memastikan tidak terjadinya transmisi antara pasien HIV dengan pasien TB maupun pasien TB MDR, dan juga dengan pasien HIV yang telah mengidap TB atau TB‐MDR. Keberhasilan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja keras dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama untuk mencapai hasil maksimal yang berkualitas.
1
DAFTAR PUSTAKA − Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. Pedoman
manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.‐‐Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Cetakan kedua. 2008
− Departemen Kesehatan RI Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Cetakan kedua, 2008.
− Departemen Kesehatan RI – JHPIEGO, Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan dengan Sumber Daya Terbatas, 2004.
− Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes 2007
− Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB
− World Health Organization. WHO policy on TB infection control in health‐care facilities, congregate settings and households. WHO 2009
− World Health Organization. Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited Settings. Geneva, World Health Organization, 1999.
− Tuberculosis Infection Control In The Era Of Expanding Hiv Care And Treatment ‐ Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health Care Facilities in Resource‐Limited Settings. US Department of HHS,US CDC, US President’s Emergency Plan for AIDS Relief, The World Health Organization and The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 1999
2
Contoh Rencana Kerja PPI TB
‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
3
top related