ni made dina pranidya ari
Post on 03-Jan-2017
267 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF
DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA
NI MADE DINA PRANIDYA ARI
NIM 1114088202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
2
TESIS
KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF
DENGAN
INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE DINA PRANIDYA ARI
NIM 1114088202
3
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 20 JULI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK (K), FINSDV
NIP. 195903301985112001 NIP. 195308111981021001
Mengetahui,
4
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,SpGK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 20 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No 3278/UN 14.4/HK/2016, Tanggal 18 Juli 2016
5
Ketua : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
Sekretaris : Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Anggota :
1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
2. Dr.dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
3. Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV
6
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya
sehingga tesis yang berjudul “Kadar Malondialdehyde Plasma Berkorelasi Positif dengan
Indeks Bakteri pada Penderita Kusta” dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Luh
Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV dan Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV sebagai
pembimbing yang telah dengan sabar memberikan saran, masukan, dorongan dan
semangat dalam penyusunan karya akhir ini. Penulis menyadari tanpa adanya
bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, semangat serta bantuan lainnya yang
sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program
pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program
Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik ( Combine Degree), Dr. dr. Gde Ngurah
Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree).
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. dr. Made
Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
8
Spesialis I (PPDS I) Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV atas kesempatan dan fasilitas yang
telah diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.
Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para penguji
karya akhir ini, yaitu Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV, Dr. dr.
AAGP Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV serta Dr.dr. I.G.A.A. Praharsini, SpKK yang
telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga karya akhir ini dapat
terwujud.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboratorium Teknis
Analitik Universitas Udayana Denpasar, atas sarana dan prasarana untuk kelancaran
penelitian ini. Kepada teman-teman seperjuangan dr. Ida Ayu Komang Utami Dewi,
dr.Herjuni Oematan, dr. Ary Wulandari, M.BioMed SpKK, , dr. Nieke Andina Wijaya,
dr.Tjokorda Istri DH, dr. Azhar Ramadan Nonci, dr Desak Made Putri Pidari dan dr. Dulce
Madalena da Costa Alberto atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam suka dan duka
selama menempuh pendidikan serta selama penelitian. Kepada teman-teman residen
subdivisi Morbus Hansen yang telah membantu selama penelitian serta teman-teman
residen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan dan
rawat inap yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan
penulis untuk menyelesaikan pendidikan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah dr. I
Wayan Budiana, M.Kes dan ibu dr. Desak Putu Mataram, selaku orang tua yang telah
memberikan kasih sayang yang tulus serta memberikan dukungan moril dan materiil
9
yang tiada henti dan tanpa pamrih kepada penulis hingga pendidikan ini dapat
diselesaikan. Kepada kedua saudara dr. Ni Putu Dita R. Priyanti, SpM dan drg. Nyoman
Dima F. Prawesti serta I Made Dony Aryadhi Putra terima kasih atas dukungan,
pengertian, pengorbanan dan motivasi selama penulis menyelesaikan pendidikan dan
penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan kesehatan Kulit dan Kelamin serta bagi pendidikan IImu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang
Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
.
Denpasar, Juli 2016
Ni Made Dina Pranidya Ari
ABSTRAK
KADAR MALONDIALDEHYDE PLASMA BERKORELASI POSITIF
DENGAN INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, hingga saat ini masih menimbulkan masalah kesehatan di seluruh dunia. Stres
oksidatif dikatakan memiliki peranan pada penyakit kusta dengan ditemukannya
peningkatan reactive oxygen species dan penurunan enzim antioksidan sesuai dengan
spektrum klinis penyakit. Malondialdehyde merupakan produk akhir peroksidasi lipid
berperan sebagai biomarker adanya stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui korelasi kadar malondialdehyde dengan indeks bakteri pada kusta.
10
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik. Pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik consecutive sampling melibatkan 48 subjek yang terdiri dari 12
kusta tipe pausibasilar (PB) dan 36 kusta tipe multibasilar (MB) yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Sampel diambil dari plasma darah vena subjek, kemudian diperiksa
kadar malondialdehyde dengan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substances
(TBARS). Pada subjek juga dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk
mengetahui nilai indeks bakteri.
Pada penelitian ini didapatkan kadar malondialdehyde plasma pada subjek kusta
tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan subjek kuta tipe PB (p<0,001).
Ditemukan pula adanya korelasi positif yang sangat kuat antara kadar malondialdehyde
plasma dengan nilai indeks bakteri (r = 0,935, p < 0,001).
Simpulan pada penelitian ini adalah semakin tinggi indeks bakteri maka kadar
malondialdehyde akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan kadar malondialdehyde
plasma pada subjek kusta tipe MB lebih tinggi dibandingkan kusta tipe PB serta terdapat
korelasi positif yang sangat kuat antara kadar malondialdehyde plasma dengan nilai
indeks bakteri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
penelitian selanjutnya yaitu untuk membuktikan malondialdehyde sebagai faktor risiko
progresifitas penyakit kusta.
Kata kunci: kusta, indeks bakteri, malondialdehyde
ABSTRACT
11
PLASMA MALONDIALDEHYDE LEVELS ARE POSITIVELY CORRELATED WITH THE
BACTERIAL INDEX IN LEPROSY PATIENT
Leprosy is a chronic granulomatous disease caused by Mycobacterium leprae
and it still continuous to be significant health problem in the world. Oxidative stress is
thought to have an important role in leprosy marked by increase in reactive oxygen
species and decrease in antioxidant enzyme along with disease spectrum.
Malondialdehyde is the end product formed during lipid peroxidation and has a role as
biomarker in oxidative stress. The aim of this study was to investigate the correlation
between plasma levels of malondialdehyde with bacterial index in leprosy patients.
This study was a cross sectional analytic study. Subjects was taken using
consecutive sampling technique consisted of 48 subjects, 12 paucibacillary leprosy and
36 multibacillary leprosy that had met inclusion and exclusion criteria. Samples was
taken from venous blood and malondialdehyde level was measured using Thiobarbituric
Acid Reactive Substances (TBARS). The slit skin smear was done to asses bacterial index
in subjects .
This study found that the mean of malondialdehyde plasma was significantly
higher in MB leprosy compare to PB leprosy (p<0,001). The result also showed that there
was a very strong positive correlation between plasma levels of malondialdehyde and
bacterial index (r = 0,935, p < 0,001).
This study conclude that higher levels of plasma malondialdehyde will increases
the bacterial index with evidence plasma malondialdehyde in the subject with MB
leprosy were higher than the subject with PB leprosy and there was a very strong
positive correlation between plasma levels of malondialdehyde and bacterial index in
leprosy patients. The results of this study could be use as a preliminary data for further
study to perceive the role of malondialdehyde as a risk factor for progressivity of
leprosy.
Keywords: leprosy, malondialdehyde, bacterial index
12
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ......................................................................................................... i
PRASYARAT GELAR................................................................. .................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................................... v vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................................... xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN...………………………………………………….
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
xi
xv
xvi
xvii
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1
13
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 7
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………….
1.3.2 Tujuan Khusus………………………………………………
7
7
7
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...… 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ..………………………………………...... 8
1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………….....…….. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kusta……………...……………...........……………….... 9
2.2 Epidemiologi....................................................................................
2.3 Etiologi…………………………………………………………….
2.4 Patogenesis………………………………………………………...
2.5 Cara Penularan…………………………………………………….
2.6 Diagnosis…………………………………………………………..
2.7 Klasifikasi…………………………………………………………
2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit……………………………...
2.9 Terapi Kusta……………………………………………………….
2.10 Reaksi Kusta…………………………………………………….
9
11
12
17
18
20
22
24
25
2.11 Stres Oksidatif................................................................................ 26
2.11.1 Definisi ……………………………………………………. 26
2.11.2 Radikal bebas, Reactive Oxygen Species dan Antioksidan... 27
2.11.3 Kerusakan akibat Stres Oksidatif.......................................... 31
2.11.4 Malondialdehyde sebagai Biomarker Stres Oksidatif……... 35
14
2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……………………………..
2.12.1 Patogenesis Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……….......
2.12.2 Tingkat Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta……………….
36
67
40
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir .………………………………………………. 43
3.2 Konsep Penelitian…………...........………………………………. 45
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………...... 46
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………... 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………... 47
4.3 Penentuan Sumber Data…..……........………………………......... 48
4.3.1 Populasi Penelitian........…………………………………….. 48
4.3.2 Sampel Penelitian ……………………………………......... 48
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian .............................. 48
4.3.4 Besar Sampel...…………………………………....………… 50
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………... 50
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel……………………....... 50
4.4.2 Definisi Operasional Variabel………………………………. 51
4.5 Bahan dan Instrumen penelitian……………………………………
4.5.1 Bahan Sampel……………………………………………….
4.5.2 Instrumen Penelitian………………………………………...
57
57
57
4.6 Prosedur Penelitian........................................................................... 58
4.7 Alur Penelitian ................................................................................. 62
15
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……....
4.9 Etika Penelitian…………………………………………………….
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………
5.2 Uji Normalitas Data………………………………………………..
5.3 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta tipe
Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar……………………...
5.4 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri
Pada Subjek dengan Kusta………………………………………...
5.5 Analisis Regresi Linear Hubungan Kadar Malondialdehyde
Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta………………..
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………
6.2 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe
Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar………………………
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri
pada Subjek Kusta…………………………………………………
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan …………………………………………………………..
7.2 Saran………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….….
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………...
64
65
66
68
68
71
72
74
79
81
85
85
86
94
16
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling...............................
Karakteristik Subjek Penelitian……………………………………….
Hasil Uji Normalitas Data………………………..………………… ...
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta Tipe
Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar……………………
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta yang
Belum Mendapatkan Terapi dengan yang Sudah Mendapatkan Terapi
…………………………………………………………………
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara masing-masing
Kelompok Umur……………………………………………………….
Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada
Subjek Kusta………………………………………………………….
Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde
Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta……………….......
21
67
68
69
70
71
72
73
17
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
2.2
2.3
Spektrum Klinis Penyakit Kusta………………………………………
Peran Makrofag pada Sistem Imunitas………………………………..
Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik…
13
15
31
2.4 Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif ..........……………. 32
2.5
2.6
2.7
3.1
4.1
4.2
4.3
5.1
5.2
Tahapan Peroksidasi Lipid……………………………….....................
Mekanisme Respiratory Burst selama Proses Fagositosis…………….
Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta………………………………..
Bagan Kerangka Konsep Penelitian…………………………………...
Rancangan Cross Sectional……………………………………………
Bagan Hubungan Antar Variabel……………………………………...
Bagan Alur Penelitian…………………………………………………
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek
Kusta tipe Pausibasilar dengan Kusta tipe Multibasilar……………….
Kadar Malondialdehyde Plasma Berdasarkan Indeks Bakteri pada Subjek
Kusta………………………………………………………….
34
38
39
45
47
51
63
69
72
18
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Ethical Clearance……………………...………………..…
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian……………………………………....... Lampiran 3
Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian …………...…
94
95
96
Lampiran 4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ………………..… 98
Lampiran 5 Kuesioner Penelitian ……………………………………....
Lampiran 6 Data Sampel Penelitian………..…………………………...
Lampiran 7 Karakteristik Subjek Penelitian……………..……………..
Lampiran 8 Uji Normalitas Data..…………………………………........
Lampiran 9 Uji Mann-Whitney Kadar MDA antara Kelompok Kusta Tipe PB
dengan Kusta Tipe MB………...………………….
Lampiran 10 Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar MDA dengan Indeks
Bakteri pada Subjek Kusta………….…………….
Lampiran 11 Analisis Regresi Linear Kadar MDA dengan Indeks Bakteri pada
Subjek Kusta……………………….……….
Lampiran 12 Foto Prosedur Penelitian…………………………………...
99
104
106
108
109
111
112
113
19
Lampiran 13 Foto Subjek Penelitian……………………………………. 114
DAFTAR SINGKATAN
APC : Antigen Presenting Cell
AraLAM : Arabinose-capped Lipoarabinomannan
ATP : Adenosine Triphosphate
BB : Borderline Borderline
BHT : Buthylated hydroxytoluene
BL : Borderline Lepromatosa
BT : Borderline Tuberkuloid
BTA : Basil Tahan Asam
CAT : Catalase
CMI : Cell Mediated Immunity
dkk : dan kawan kawan
DNA : Deoxyribonucleic Acid
ENL : Eritema Nodosum Leprosum
GPx : Glutathione Peroxidase
GSH : Glutathione
HIV : Human Immunodeficiency Virus
20
HNE : Hidroksinonenal
IB : Indeks Bakteri
IFNγ : Interferon γ
IgM : Imunoglobulin M
IL : Interleukin
IM : Indeks Morfologi
LBP-21 : Laminin Binding Protein-21
LL : Lepromatosa Lepromatosa
LM : Lipomannan
ManLAM : Manosa-capped Lipoarabinomannan
MAP-kinase : Mitogen Activated Protein-Kinase
MB : Multibasiler
MDA : Malondialdehyde
MDT : Multi Drug Therapy
MH : Morbus Hansen
MHC : Major Histocompatibility Complex
NADPH : Nicotine Adenine Dinucleotide Phosphate
NF-κB : Nuclear Factor Kappa B
NO : Nitric Oxide
PB : Pausibasiler
PCR : Polymerase Chain Reaction
PGL-1 : Phenolic Glycolipid
PUFA : Polyunsaturated Fatty Acid
RFT : Release from Treatment
21
ROM : Rifampisin Ofloksasin Minoksiklin
ROS : Reactive Oxygen Species
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SOD : Superoxide Dismutase
SPSS : Statistical Package for Social Science
TBARS : Thiobarbituric Acid Reactive Substances
Th : T Helper
TLR : Toll-Like Receptor
TNFα : Tumor Necrosis Factor-α
TT : Tuberkuloid Tuberkuloid
WHO : World Health Organization
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang
hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik
bagi penderita maupun masyarakat. Permasalahan yang dihadapi penderita bukan
hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat
penyakit kusta dapat menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan budaya. Masalah
penyakit kusta ini diperberat dengan kompleksnya epidemiologi dan kurangnya
pengetahuan atau kepercayaan yang keliru pada keluarga, masyarakat dan petugas
22
kesehatan mengenai penyakit kusta, sehingga banyak penderita kusta baru
mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat.
Penyakit kusta atau lepra atau dikenal pula dengan sebutan Morbus
Hansen (MH) merupakan penyakit yang menyerang saraf perifer serta dapat pula
menyerang kulit dan jaringan lain seperti mata, mukosa saluran pernafasan bagian
atas, otot, tulang, dan testis (Bryceson dan Pfaltzgraff, 1990). Hingga saat ini
penyakit kusta masih ditemukan tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian
terbanyak ditemukan di Asia Tenggara (WHO, 2015). Sejak diperkenalkannya
pengobatan multi drug therapy (MDT) oleh World Health Organization (WHO)
pada tahun 1981, telah terjadi penurunan jumlah kasus maupun angka prevalensi
penyakit kusta secara global, namun hingga saat ini masih ditemukan lebih dari
200.000 kasus baru penyakit kusta yang tercatat di seluruh dunia setiap tahunnya
(Polycarpou dkk., 2013; Lee dkk., 2012). Indonesia sendiri masih menempati
peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak dan peringkat pertama jumlah kasus
kusta tipe multibasilar terbanyak (WHO, 2015). Jumlah kasus baru terbanyak di
Indonesia berasal dari Jawa Timur, sementara dibandingkan provinsi lain, Bali
termasuk memiliki jumlah kasus kusta yang cukup rendah yaitu pada tahun 2014
tercatat sejumlah 89 kasus dengan angka prevalensi sebesar 0,21 per 10.000
penduduk, namun data ini belum mencerminkan jumlah kasus yang sesungguhnya
karena penyakit kusta di Indonesia merupakan fenomena gunung es sehingga
kemungkinan banyak kasus yang tidak tercatat (Yudianto dkk., 2015).
Penegakan diagnosis penyakit kusta didasarkan atas penemuan tanda
kardinal (utama) yaitu adanya lesi kulit disertai anestesi atau mati rasa, penebalan
23
saraf tepi yang dapat disertai gangguan fungsi saraf dan ditemukannya basil tahan
asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Diagnosis kusta dapat
ditegakkan jika terdapat 1 dari 3 tanda kardinal kusta (Eichelmann dkk., 2013;
Kumar dan Dogra, 2010). Dari pemeriksaan hapusan sayatan kulit akan
didapatkan nilai indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM). Nilai IB selain
berperan dalam penentuan klasifikasi, juga berperan untuk menilai respon
pengobatan serta penentuan relaps (Bhat dan Prakash, 2012; Kumar dan Dogra,
2009; Desikan dkk., 2005). Indeks bakteri umumnya mengalami penurunan
setelah terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut
meskipun MDT telah dihentikan, sedangkan IM umumnya akan mengalami
penurunan menjadi nol setelah 4-6 bulan terapi MDT (Mahajan, 2013).
Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang berbeda-beda pada
setiap individu. Berdasarkan pengelompokan Ridley dan Jopling penyakit kusta
dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan klinis, histopatologis dan imunologis yaitu
kusta tipe tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline
(BB), tipe borderline lepromatosa (BL) dan tipe lepromatosa (LL), sedangkan
WHO membagi kusta menjadi kusta tipe pausibasilar (PB) serta kusta tipe
multibasilar (MB) (Mishra dan Kumar, 2010; Bhushan dkk., 2008). Variasi atau
perbedaan manifestasi klinis penyakit kusta pada masing-masing individu
disebabkan oleh variasi respon imunitas seluler atau cell mediated immunity
(CMI). Penderita yang memiliki imunitas seluler yang cukup tinggi akan
menderita kusta yang cenderung ke arah kutub tuberkuloid yang ditandai dengan
hilangnya sensasi dan pembesaran saraf yang lebih jelas namun jumlah lesi sedikit
24
dan kuman umumnya tidak terdeteksi, sedangkan semakin rendah imunitas seluler
maka tipe yang akan diderita semakin ke arah kutub lepromatosa dengan jumlah
lesi dan kuman yang lebih banyak, serta keterlibatan saraf dan disabilitas yang
lebih berat pada tahap lanjut (Lee dkk., 2012; Polycarpou dkk., 2013).
Manifestasi klinis penyakit kusta juga dapat dipengaruhi oleh inflamasi
pada jaringan yang dimediasi oleh respon imun. Produk seperti tumor necrosis
factor-α (TNFα), nitric oxide (NO) dan adanya reactive oxygen species (ROS),
berperan penting pada respon imunitas terhadap infeksi namun di sisi lain juga
dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Vasques dkk., 2014). Reactive oxygen
species diproduksi oleh organisme sebagai hasil dari metabolisme selular normal.
Pada konsentrasi rendah atau sedang ROS berfungsi dalam proses fisiologis,
namun pada konsentrasi yang tinggi ROS dapat mengakibatkan efek samping
pada komponen selular seperti lipid, protein dan asam nukleat. Tubuh manusia
sendiri dilengkapi oleh sistem antioksidan yang terdiri dari antioksidan enzimatik
dan non-enzimatik yang berperan mengimbangi efek ROS atau oksidan serta
mencegah kerusakan akibat ROS. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan
ROS dikenal dengan sebutan stres oksidatif (Birben dkk., 2012; Vijayaraghavan
dan Paneerselvam, 2011). Berdasarkan penelitian dikatakan stres oksidatif
memiliki peranan penting pada penyakit kusta. Patogenesis terjadinya stres
oksidatif pada penyakit kusta masih belum diketahui secara pasti, diduga
disebabkan karena infeksi oleh M.leprae dan respon imunitas pada penyakit kusta
(Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).
25
Sistem pertahanan utama pada infeksi oleh M. leprae adalah sistem
imunitas yang diperantarai oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Makrofag akan
mengenali M. leprae melalui Toll like receptor (TLR) yang akan menginduksi
pelapasan sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, interleukin (IL)-1, IL-6 dan
IL-12 yang akan menginduksi inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif
dan aktivasi enzim fagosit oksidase yang selanjutnya akan menginduksi pelepasan
radikal bebas atau ROS. Radikal bebas atau ROS ini selain berperan pada
pertahanan tubuh terhadap infeksi juga dapat menimbulkan kerusakan lipid,
protein dan asam nukleat pada sel pejamu. Kerusakan yang berat akan
menimbulkan kematian sel (Trimbake dkk., 2013; Abbas dkk., 2015). Pada kusta
tipe lepromatosa sumber utama ROS juga diduga berasal dari subpopulasi sel
fagosit lain seperti neutrofil dan makrofag yang terstimulasi secara imunologis.
Pada penyakit kusta ditemukan pula penurunan enzim antioksidan terutama
superoksid dismutase (SOD) yang diduga disebabkan karena hambatan gen SOD
oleh komponen M. leprae dan penggunaan biometal dari sel pejamu untuk
pertahanan hidup M. leprae, sehingga mempengaruhi metaloenzim seperti SOD
(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000). Adanya stres oksidatif
pada kusta dikatakan dapat mempengaruhi episode inflamasi, menyebabkan
kerusakan jaringan pada penderita kusta (Vijayaraghavan dan Pneerselvam,
2011).
Reactive oxygen species dan radikal bebas bersifat tidak stabil dan sulit
diukur secara langsung, namun ROS dapat menimbulkan kerusakan pada lipid
(peroksidasi lipid) terutama mengenai polyunsaturated fatty acid (PUFA)
26
membran lipid. Polyunsaturated fatty acid kemudian didegradasi menjadi
malondialdehyde (MDA). Malondialdehyde pada plasma atau serum dapat
digunakan sebagai penanda kerusakan seluler akibat radikal bebas (Ayala dkk.,
2014; Garad dkk., 2014). Berdasarkan penelitian, adanya MDA juga dapat
menstimulasi diferensiasi sel Th menuju kearah fenotip Th2 sehingga
menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013).
Penelitian mengenai stres oksidatif sudah dilakukan pada berbagai
penyakit kulit termasuk penyakit kusta. Berdasarkan beberapa penelitian
ditemukan peningkatan ROS dan penurunan sistem antioksidan pada penyakit
kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk (2011) menunjukkan
penurunan secara signifikan enzim antioksidan seperti SOD, katalase, glutation
peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-transferase pada penderita kusta
dibanding kontrol yang sehat. Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai
penanda adanya stres oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang
berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Emerson dkk. (2007) menemukan
peningkatan kadar MDA pada penderita kusta dibandingkan dengan kontrol yang
sehat, peningkatan bersifat gradual dimana peningkatan MDA ditemukan paling
besar pada kusta tipe lepromatosa. Hasil yang serupa juga ditemukan pada
penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) yaitu terdapat peningkatan
kadar MDA secara signifikan pada penderita penyakit kusta, terutama pada
penderita kusta tipe MB dibandingkan PB. Penelitian oleh Prasad dkk. (2007)
yang membandingkan stres oksidatif dengan IB menemukan adanya hubungan
yang positif antara peningkatan kadar MDA dan peningkatan IB pada penderita
27
kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Meneses dkk. (2014) yang meneliti kadar
MDA pada urin juga menemukan hubungan yang positif kadar MDA urin dengan
peningkatan IB pada penderita kusta. Penelitian oleh Prabhakar dkk. (2013) yang
meneliti mengenai stres oksidatif pada penderita kusta yang telah mendapatkan
pengobatan menemukan peningkatan kadar MDA secara signifikan dibanding
kontrol. Hal ini menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta
meskipun telah mendapatkan terapi MDT. Hasil yang berbeda ditemukan pada
penelitian yang dilakukan oleh Schalcher dkk. (2013), dimana tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan pada kadar MDA penderita kusta dibanding kontrol.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. (2014) yang meneliti
adanya stres oksidatif selama terapi MDT juga tidak menemukan perbedaan yang
signifikan pada kadar MDA penderita kusta baik yang telah diobati dengan yang
belum diobati dengan kontrol.
Berdasarkan permasalahan tersebut, didapatkan peranan penting MDA
sebagai biomarker stres oksidatif dan hubungannya dengan IB pada penyakit
kusta. Beberapa penelitian masih didapatkan hasil yang kontroversi mengenai
hubungan antara kadar MDA dengan IB pada kusta sehingga peneliti ingin
meneliti lebih lanjut korelasi antara kadar MDA dengan IB pada penderita kusta
yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan kadar MDA plasma antara penderita kusta tipe
PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar?
28
2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar MDA plasma dengan nilai
indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk membuktikan adanya hubungan antara MDA dengan penyakit kusta
di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar MDA plasma antara
penderita kusta tipe PB dengan kusta tipe MB di RSUP Sanglah
Denpasar.
2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar MDA plasma
dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah
Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan MDA
sebagai penanda stres oksidatif pada patogenesis penyakit kusta serta
hubungan antara MDA dengan indeks bakteri pada penderita kusta.
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1 Manfaat untuk klinisi
29
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
untuk penelitian selanjutnya mengenai MDA sebagai faktor risiko
progresivitas penyakit kusta.
1.4.2.2 Manfaat untuk penderita
Dengan mengetahui korelasi kadar MDA plasma dengan indeks
bakteri pada penyakit kusta, maka kadar MDA plasma dapat
dipertimbangkan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi
stres oksidatif pada penderita penyakit kusta.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kusta
Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit
dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ
lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga
pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),
lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)
30
dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;
Thorat dan Sharma, 2010).
2.2 Epidemiologi
Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam
pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini
untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT
prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO
kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan
kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta
didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus
per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana
penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta
secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa
negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005
(WHO, 2014).
Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014,
WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar 213.899
jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar
215.656. Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar
154.834 (72%), kemudian Amerika 33.789, Afrika 18.597, Pasifik Barat 4337 dan
terakhir Meditarian Timur 2342. Berdasarkan data WHO Indonesia masih
menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil
31
yaitu sebesar 17.025. Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding
tahun 2013 yaitu sebesar 16.856. Diantara negara di Asia, Indonesia juga
menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara
kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang
terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi
selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar 175.554
(WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun
2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus
dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81
kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di
Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per 10.000 penduduk (Yudianto dkk.,
2014; Sitohang dkk., 2015).
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak
adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta
dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit
kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang
ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012).
2.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang
merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur
pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali
32
ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini
dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).
Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8
mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat.
Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer
(sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal
pada suhu 270 C hingga 30
0 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel
bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan
mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas
selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke
membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu
pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan
glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic
glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas
Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta
tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).
2.4 Patogenesis
Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas
didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe
tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th
(T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang
menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M.
33
leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma
dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi
yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe
lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4
dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T
CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe
borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia
dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).
Gambar 2.1
Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010)
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas
alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk
heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti
34
protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan
(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan
AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium,
berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag
dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS
oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012).
Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR
4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010).
Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1
dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui
pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali
lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi
oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan
lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan
mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan
IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015)
Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi
dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang
dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri
patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik
dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai
hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi
35
makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan
Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag
adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit
oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal
dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS
dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal
superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi
secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh
enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat
yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas
dkk., 2015).
Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species
terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide
synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai
respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila
dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi
sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat
membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan
dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri
(Abbas dkk., 2015).
36
Gambar 2.2
Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015)
Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel
schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)
berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,
selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer
diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,
aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase
(Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan
Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut
karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme
37
kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar
(Renault dan Ernst, 2015).
Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga
disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16,
IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang
dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis
sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron
yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang
merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf
disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf
sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst,
2015).
2.5 Cara Penularan
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan
sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta
tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah
bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram
jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,
namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber
infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010).
Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama
38
M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama
(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal
individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya
sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan
pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M.
leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat
merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode
transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan
inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero
dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010).
2.6 Diagnosis
Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit
kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila
individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda
kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) :
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya
atau gangguan sensasi
Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau
kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat
pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel
39
rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya
anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan
adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.
(Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).
2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf
Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit.
Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus
komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih
sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan
pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau
dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran
(membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan
nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus
radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan
nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder,
2010).
3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus
telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.
Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks
bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam
menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan
Ponnaiya, 2010).
40
Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.
Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma
yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan
ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan
pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada
kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel
epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu
pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR)
(Eichelmann; 2013).
2.7 Klasifikasi
Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen
pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya
menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi
sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting
untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley
dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid
Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline
Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini
didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee,
dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah
41
klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid
pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I),
Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L).
Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi
kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta
dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi
Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe
MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B
dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global
menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang
membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan
lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan
jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar
2010).
Tabel 2.1
Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya
tunggal (s/d
3)
Sedikit (s/d
10)
Beberapa
(10-30)
Banyak
asimetris
(>30)
Tidak
terhitung,
simetris
Ukuran Bervariasi,
umumnya
besar
Bervariasi,
beberapa
besar
Bervariasi Kecil,
beberapa
dapat besar
Kecil
Permukaan Kering,
dengan
skuama
Kering,
dengan
skuama,
terlihat
cerah,
terdapat
Kusam atau
sedikti
mengkilap
Mengkilap Mengkilap
42
infiltrat
Sensasi Hilang Menurun
dengan jelas
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
Normal atau
menurun
minimal
Pertumbuhan
rambut
Tidak ada Menurun
dengan jelas
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
Normal
pada tahap
awal
BTA Negatif Negatif atau
sedikit
Jumlah
sedang
Banyak Banyak
sekali
termasuk
globi
Reaktivitas
lepromin
Positif kuat
(+++)
Positif
lemah (+
atau ++)
Negatif atau
positif
lemah
Negatif Negatif
2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan
pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit
yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari
keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta,
pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana.
Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi
penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan
pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri
yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013).
Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri
serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan
kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan
gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%.
Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit
43
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik
pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat
dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan
dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008).
Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan
metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam
setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil
diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang
masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau
terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan
jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB
dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).
Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih
hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan
dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:
a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu
lapangan pandang.
b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.
c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.
d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.
e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.
f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang
44
g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan
Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).
Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga
menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan
dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif.
Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid
terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui
kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,
2010; Noto dan Schreuder, 2010).
Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan
terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut
meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat
pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB
yang tinggi (≥+4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada
pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB
positif setelah 1 tahun pengobatan.
2.9 Terapi Kusta
World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan
penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan
klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk
menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta
45
menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010).
Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100
mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg
sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan
lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae
meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim
dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).
2.10 Reaksi Kusta
Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta
yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta
merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses
imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat
mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010;
Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2
atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan
Sharma, 2010).
Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi
tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan
imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau
downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada
reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat
disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga
berat (Lee dkk., 2012).
46
Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang
dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan
sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama
sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil
ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang
berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan
pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012).
Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio
diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang
selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau
disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010).
2.11 Stres Oksidatif
2.11.1 Definisi
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh
pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi
antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal
dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis
antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia
diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara
terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal
seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses
47
anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan
radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal
endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia,
polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan
Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi
viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan
kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012).
2.11.2 Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan
Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak
stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung
akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk
menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan
molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan
terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai.
Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka
sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah
reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun
yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari
oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari
48
molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat
radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O2•-) dan radikal
hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen
peroksida (H2O2), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh
ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive
oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain
sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau
respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk
detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah
penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel,
pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin,
serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan
peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis.
Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang
berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan
Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013).
Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah
anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH
•.).
Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen.
Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
(NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron
mitokondria. Mitokondria merupakan lokasi utama pembentukan anion
superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil,
49
monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang
memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen
peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan
Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006).
Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam
amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H2O2 menyerupai air dan dapat
berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang
kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk
radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi
dengan H2O2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH-). Radikal hidroksil
merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan
memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan
kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001;
Kunwar dan Priyadarshini, 2011).
Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya
stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa
strategi seperti mekanisme pencegahan dengan cara mempertahankan
pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi
kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme
pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan
konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron
sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan
Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen
50
meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang
umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat
berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan
endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas
(Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD),
glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan
nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E),
glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk.,
2006).
Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal
berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida.
Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor
logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan
pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn,
ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006).
Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan
digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation
teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H2O2 menjadi
air (Birben dkk., 2012).
Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan
antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik
disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi
maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang
51
penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase
aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan
larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran
asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua
kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan
glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah
vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya
juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak
yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi,
2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara
lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3
Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik
(Atukeren dan Yigitoglu, 2013)
2.11.3 Kerusakan akibat stres oksidatif
52
Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat
ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat
menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).
Gambar 2.4
Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012)
1. Efek pada DNA
Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa
mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau
ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan
ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan
produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk
lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8-
hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
2. Efek pada Protein
53
Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan
pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino
spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis
karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat
diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam
plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan
untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter
(Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).
3. Efek pada Lipid
Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang
disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi
pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana
oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang
mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda
(PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan
penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO•) dan
hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid
peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui
sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein
antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat
peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan
sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua
54
proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan
berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).
Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu
inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti
radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan
karbon pada bagian tengah (L•). Pada fase propagasi radikal lipid (L
•) secara cepat
bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO•) yang
menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L• yang baru (reaksi
berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan
akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO• menghasilkan produk
nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi
hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).
Gambar 2.5
Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012)
Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan
senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat
di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA),
propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder
55
peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan
hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang
paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular
dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan
deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya
peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim
pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk,
2012; Dalle-Donne dkk., 2006).
2.11.4 Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif
Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur
dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses
patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres
oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi
yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan
dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik.
Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan
memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya
dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk
oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi
lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling
mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk
mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007).
56
Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh
dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme
asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis
termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,
cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal,
namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena
paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai
biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya
meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat
dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,
pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi
kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid
dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan
cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval
(Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007).
Sejak bertahun-tahun MDA telah digunakan sebagai biomarker
peroksidasi lipid karena reaksinya dengan thiobarbituric acid (TBA).
Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang
menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk.,
2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki
diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/L sedangkan pada perempuan adalah 1,08-
1,41 μmol/L (Nielsen dkk., 1997).
57
2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta
2.12.1 Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta
Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat
ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta
dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu
terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan
mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk.,
2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).
Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada
pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan
utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag,
limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi
reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag
merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit
seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim
NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya
stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen
dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor
kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1,
IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan
menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan
menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit
oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid,
58
radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014;
Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015).
Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat
terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga
terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya
kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif
termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species
yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta
sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007).
Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam
memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana
peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan
peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi
dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear
perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari
peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip
kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan
Griffiths, 2013).
59
Gambar 2.6
Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis
(Abbas dkk., 2015)
Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga
masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi
enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi
gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1
yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD
sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi
gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat
dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012).
60
Gambar 2.7
Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014)
Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada
kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena
utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan
hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD
(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).
2.11.2 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta
Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada
penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran
kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil
NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH,
atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E,
serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA
(Dalle –Donne, 2006).
MDA
61
Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100
pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase
serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol
sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan
lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang
lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan
tipe kusta dan indeks bakteri.
Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang
serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada
pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe
MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan
mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan
oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan
non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding
kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar
tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga
ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang
lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh
Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan
kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini
menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena
adanya penurunan antioksidan nonenzimatik.
62
Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada
tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik
seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-
transferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat.
Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga
menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta
dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada
penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita
kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk.
(2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada
penderita kusta dibanding kontrol.
Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya
dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah
mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from
treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta
tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD,
glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara
signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan
mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase
dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif
tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang
telah selesai mendapatkan pengobatan.
63
Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat
stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa
penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada
tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat
terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara
penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami
penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun
2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah
mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara
signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah
mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan
penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit
dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ
64
lainnya. Berkembangnya infeksi pada pejamu serta manifestasi klinis penyakit
kusta dihubungkan dengan kualitas respon imunitas pejamu. Mekanisme
pertahanan utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama
makrofag, limfosit dan sitokin-sitokinnya. Stimulasi makrofag oleh M. leprae
maupun komponen dinding sel (protein 19-kDa lipopeptida, lipoglikan lipomanan
ManLAM dan AraLAM) akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α,
interferon (IFN) γ, IL-1, IL-6 dan IL-12 yang akan menyebabkan proses
inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif dan aktivasi enzim fagosit
oksidase. Sel fagosit akan meningkatkan ambilan oksigennya 10-20 kali lipat
(respiratory burst) kemudian dengan bantuan enzim fagosit oksidase yang telah
teraktivasi akan membentuk ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan
hidrogen peroksida yang berperan dalam proses fagositosis. Tubuh kita memiliki
sistem pertahanan terhadap terbentuknya ROS yang dikenal dengan antioksidan.
Pada penyakit kusta terjadi penurunan sistem antioksidan yang diduga disebabkan
karena regresi gen SOD oleh komponen M. leprae pada tingkat DNA.
Penggunaan biometal dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae, juga
dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD. Peningkatan ROS dan penurunan
sistem antioksidan akan menyebabkan stres oksidatif dimana ROS akan berdifusi
dari tempat terbentuknya dan menimbulkan kerusakan pada protein, DNA dan
peroksidasi lipid sel pejamu dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Malondialdehyde (MDA) merupakan produk akhir peroksidasi lipid yang
berfungsi sebagai biomarker stres oksidatif. Beberapa penelitian terakhir
65
menghubungkan peranan MDA dalam menginduksi hiporesponsifitas sel T
dengan menginduksi perubahan fenotip sel T ke arah Th2.
Penelitian mengenai peroksidasi lipid sebagai penanda adanya stres
oksidatif pada penyakit kusta masih memberikan hasil yang berbeda-beda.
Sebagian besar penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar MDA pada
serum, plasma maupun urin pada penderita kusta dibanding kontrol sehat.
Peningkatan ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe MB
dibanding PB dan pada IB yang lebih tinggi. Beberapa penelitian lain menemukan
hasil yang berbeda, dimana peningkatan kadar MDA tidak berbeda secara
signifikan dengan kontrol. Penyakit kusta dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan, IB dipengaruhi oleh terapi MDT, sedangkan kadar MDA dipengaruhi
oleh usia, merokok, kehamilan, penyakit sistemik kronis seperti gagal ginjal
kronik, penyakit jantung koroner, artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus,
diabetes melitus, asma bronkial, keganasan, sirosis hepatis, infeksi HIV, penyakit
peradangan kronis pada kulit seperti psoriasis dan dermatitis atopi, penggunaan
obat antiinflamasi non steroid (AINS) dan vitamin antioksidan.
3.2. Konsep Penelitian
Konsep penelitian untuk mengetahui korelasi antara indeks bakteri
dengan kadar MDA plasma pada penderita kusta ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Pembentukan ROS oleh sel fagosit
Penurunan enzim antioksidan
Genetik
Lingkungan
Terapi MDT
Kusta
Tipe PB dan MB
IB
66
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: diteliti dan dianalisis MDA : malondialdehyde
: tidak diteliti ROS : reactive oxygen species
IB : indeks bakteri
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Kadar MDA plasma pada penderita kusta tipe MB lebih tinggi
dibandingkan penderita kusta tipe PB di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Kadar MDA plasma memiliki korelasi positif dengan IB pada penderita
kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
67
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
68
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross-
sectional analitik yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA
plasma dengan IB pada penderita kusta. Secara skematis rancangan penelitian
dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1
Rancangan Cross-Sectional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Morbus
Hansen Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar yang dilaksanakan
mulai pertengahan bulan Mei 2016 – Juni 2016. Pemeriksaan hapusan sayatan
kulit untuk mencari nilai IB dilakukan di laboratorium poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kadar MDA plasma dilakukan di
Unit Pelayanan Teknis Laboratorium Analitik Universitas Udayana.
4.3. Penentuan Sumber Data
Populasi
Sampel
Subjek kusta
tipe PB
IB
Kadar MDA
plasma
Subjek kusta
tipe MB
IB
Kadar MDA
plasma
69
4.3.1 Populasi penelitian
1. Populasi target adalah semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun.
2. Populasi terjangkau adalah semua pasien kusta, berusia lebih dari 5 tahun
yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Morbus Hansen
RSUP Sanglah Denpasar dalam periode pertengahan bulan Mei 2016 – Juni
2016.
4.3.2 Sampel penelitian
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari penderita kusta yang diambil
dengan teknik consecutive sampling, yaitu mengambil setiap penderita yang
memenuhi kriteria penerimaan sampel selama periode waktu penelitian dari
pertengahan bulan Mei 2016-Juni 2016 sampai memenuhi jumlah sampel yang
dibutuhkan.
4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian
4.3.3.1 Kriteria inklusi untuk subjek kusta
a. Pasien kusta yang datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Sanglah Denpasar.
b. Pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun dengan jenis kelamin laki-laki
ataupun perempuan.
c. Bersedia untuk mengikuti penelitian dan menandatangani lembar
informed consent.
4.3.3.2 Kriteria eksklusi
a. Subjek adalah pasien kusta yang sedang mengalami reaksi kusta.
70
b. Subjek adalah pasien kusta yang telah menyelesaikan pengobatan
MDT (release from treatment/RFT).
c. Subjek adalah pasien kusta yang mengalami relaps
d. Subjek adalah seorang perokok.
e. Subjek adalah seorang peminum alkohol.
f. Subjek adalah seorang wanita hamil.
g. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis antara lain
penyakit gagal ginjal kronik, penyakit jantung kroroner, artritis
reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus, asma
bronkial, sirosis hepatis dan infeksi HIV.
h. Subjek sedang menderita penyakit peradangan kronis pada kulit seperti
psoriasis dan dermatitis atopik.
i. Subjek sedang mendapat pengobatan anti-inflamasi sistemik dalam 4
minggu terakhir.
j. Subjek sedang mengkonsumsi antioksidan antara lain vitamin A, C, E,
selenium dan zinc dalam 4 minggu terakhir.
4.3.4 Besar sampel
Untuk menentukan besar sampel penelitian analitik korelatif, maka
digunakan rumus Ronald Fisher’s classic z transformation sebagai berikut
(Thabane, 2004; Dahlan, 2008; Madiyono dkk., 2010; Hulley, dkk., 2013).
71
( Zα + Zβ ) 2
n = + 3
0,5 ln [ (1+ r) / ( 1- r) ]
Penelitian ini menggunakan koefisien korelasi (r = 0,4), interval
kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% (α = 0,05; Zα = 1,96), dan power
penelitian sebesar 80% (β = 0,20; Zβ = 0,842). Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan rumus di atas, maka jumlah sampel yang digunakan untuk
rancangan ini adalah 48 orang.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang
diukur, baik secara numerik maupun kategorikal. Adapun variabel pada penelitian
ini adalah :
1. Variabel bebas yaitu indeks bakteri yang dikategorikan sebagai variabel
numerik
2. Variabel tergantung adalah kadar MDA plasma, digolongkan sebagai variabel
numerik.
3. Variabel kendali adalah usia, reaksi kusta, perokok, peminum alkohol,
kehamilan, terapi MDT, penyakit gagal ginjal kronik, penyakit jantung
koroner, artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus,
asma bronkial, sirosis hepatis, infeksi HIV, psoriasis dan dermatitis atopik
72
serta tidak sedang mengkonsumsi obat anti-inflamasi dan antioksidan seperti
vitamin A, C, E, selenium, zinc minimal 4 minggu sebelum penelitian.
4.4.2 Definisi operasional variabel
1. Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh M. leprae.
Diagnosis kusta ditegakkan bila memenuhi satu dari 3 tanda kardinal, ( lesi
kulit disertai hilangnya atau gangguan sensasi, adanya pembesaran saraf
serta ditemukan BTA pada pemeriksaan slit skin smear). Kusta tipe PB
didiagnosis apabila ditemukan 1-5 lesi hipopigmentasi atau eritema,
distribusi tidak simetris, disertai gangguan sensasi yang jelas, ditemukan
pembesaran saraf dan hasil pemeriksaan BTA negatif atau +1 (termasuk
kusta tipe TT dan BT berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling). Kusta
tipe MB didiagnosis apabila ditemukan lebih dari 5 lesi, distribusi lesi lebih
simetris, gangguan sensasi kurang jelas, ditemukan pembesaran saraf dan
Gambar 4.2
Bagan hubungan antar variabel
Variabel Bebas
Indeks bakteri
Variabel Tergantung
Kadar MDA plasma
Variabel Kendali
Usia, reaksi kusta, perokok, peminum alkohol, kehamilan, terapi
MDT, gagal ginjal kronik, penyakit jantung koroner, artritis
reumatoid, sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus, asma
bronkial, keganasan, sirosis hepatis, infeksi HIV, psoriasis,
dermatitis atopik, penggunaan obat anti-inflamasi dan antioksidan
73
pemeriksaan BTA didapatkan +1 hingga +6 (termasuk kusta tipe BB, BL
dan LL berdasarkan klasifikasi Ridley dan Jopling).
2. Indeks bakteri adalah kepadatan basil M. Leprae berdasarkan hasil
pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Kepadatan basil M.leprae dihitung di
bawah mikroskop cahaya dengan mencari BTA pada 100 lapangan
pandang. Indeks bakteri dinyatakan dalam 0 sampai +6.
3. Kadar MDA plasma adalah produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh
yang diperiksa dengan spektrofotometer menggunakan metode The
Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS) dan malondialdehyde
assay kit melalui pengambilan darah vena sebanyak 3ml. Satuan MDA
dinyatakan dalam µmol/L.
4. Multi drug therapy (MDT) adalah pengobatan standar kusta menurut WHO
terdiri dari kombinasi obat rifampisin, dapson, dan klofazimin. Regimen
PB terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah dapson
100mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin
600mg sebulan sekali, dapson 100mg/hari ditambah klofazimin
300mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan.
5. Reaksi kusta adalah episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi
oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis.
Reaksi tipe satu ditandai dengan lesi kulit yang telah ada menjadi lebih
eritematosa, dapat disertai, munculnya lesi baru dan adanya pembesaran
saraf dengan atau tanpa rasa nyeri. Reaksi tipe dua ditandai oleh adanya
74
nodul kemerahan pada kulit yang terasa nyeri serta pembesaran saraf
dengan atau tanpa rasa nyeri.
6. Perokok adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi
rokok 5 batang per hari dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan
empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik wawancara.
7. Peminum alkohol adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi alkohol sebanyak lebih atau sama dengan 1 gelas per hari
dalam kurun waktu lebih atau sama dengan tiga minggu sebelumnya, yang
diperoleh melalui teknik wawancara.
8. Kehamilan adalah wanita yang menunjukkan tanda – tanda kehamilan dan
didukung oleh hasil pemeriksaan kehamilan baik kehamilan normal
maupun abnormal.
9. Gagal ginjal kronis adalah proses kerusakan pada ginjal dengan rentang
waktu lebih dari 3 bulan. Umumnya ditandai dengan laju filtrasi
gromerolus di atas 60 mL/min/1,73 m2, atau di bawah nilai tersebut namun
disertai kelainan sedimen urin. Gejalanya antara lain hipertensi, anemia,
uremia, piting edema, edema periorbita, anoreksia, mual, muntah,
konstipasi, dan perdarahan saluran pencernaan. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
10. Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit yang disebabkan karena
adanya penyempitan atau penyumbatan pembuluh arteri koroner, dengan
gejala adanya rasa tidak nyaman atau sesak di dada terutama pada dada
75
tengah dan menyebar ke leher, dagu dan tangan. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
11. Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan
adanya peradangan pada sendi dengan gejala nyeri, kekakuan, bengkak dan
keterbatasan pergerakan sendi terutama pada pagi hari. Umumnya
menyerang sendi kecil pada tangan dan kaki Informasi diperoleh melalui
anamnesis atau pemeriksaan fisik.
12. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun sistemik yang
menyerang banyak organ antara lain kulit, sendi, ginjal, jantung dan paru.
Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria American College of
Rheumatology (ARA) yaitu adanya malar rash, fotosensitivitas, ulkus
mukosa oral, lesi kulit diskoid, artritis, kejang, kelainan hematologi,
kelainan ginja dan tes antinuclear antibody positif. Diagnosis ditegakkan
bila dijumpai 4 dari 11 kriteria ARA.
13. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin atau resistensi insulin yang menyebabkan
terjadinya kondisi hiperglikemia dengan gejala polidipsi, poliuria dan
polifagi. Komplikasi lanjut meliputi penyakit vaskular, neuropati perifer,
nefropati dan predisposisi terhadap infeksi. Informasi diperoleh dari
anmnesis atau pemeriksaan fisik.
14. Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran pernafasan
yang ditandai dengan serangan periodik batuk, wheezing dan sesak nafas.
Informasi diperoleh dari anmnesis atau pemeriksaan fisik.
76
15. Keganasan atau neoplasia adalah suatu kondisi patologis yang ditandai
dengan pertumbuhan sel yang abnormal atau tidak terkontrol dapat
memburuk secara progresif dan menimbulkan kematian. Keganasan
ditandai dengan adanya anaplasia, invasif, dan metastasis. Informasi
diperoleh dari anmnesis atau pemeriksaan fisik.
16. Sirosis hepatis adalah penyakit kronik degeneratif hepar, jaringan hepar
normal mengalami kerusakan dan diganti dengan jaringan ikat sehingga
terjadi gangguan fungsi hati. Penyakit ini ditandai dengan adanya ikterus,
asites, pembesaran hati, spider angioma, eritema palmaris, pembesaran lien,
varises esofagus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
17. Infeksi HIV merupakan infeksi yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus. Infeksi ini menyebabkan penurunan imunitas
sehingga individu rentan terhadap infeksi oportunistik yang dapat
menyebabkan kematian. Gejala dapat berupa limfadenopati generalisata,
penurunan berat badan, infeksi saluran nafas berulang, diare kronik, demam
persisten, oral kandidiasis, tuberkulosis paru, herpes zoster, pneumocystic
pneumonia, kaposi sarkoma. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
antibodi HIV yang positif dan penurunan sel TCD4. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
18. Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kronik residif, terutama
mengenai kulit, ditandai dengan adanya plak kemerahan, berbatas tegas
yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna putih keperakan. Penyakit ini
77
umumnya terdistribusi secara simetris, mengenai daerah ekstensor
ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan
genitalia. Informasi diperoleh berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
19. Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan pada kulit yang bersifat
kronik dan residif dengan disertai rasa gatal yang umumnya telah terjadi
sejak saat bayi atau anak-anak. Diagnosis ditegakkan apabila memenuhi
kriteria diagnosis dari Haniffin & Rajka dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
20. Pengguna anti-inflamasi adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi kortikosteroid maupun anti inflamasi non steroid (AINS)
sistemik, dalam kurun waktu kurang dari atau sama dengan empat minggu
sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
21. Pengguna antioksidan adalah subjek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi antioksidan seperti vitamin A, C, E, selenium, zinc dalam
kurun waktu kurang dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya,
diperoleh melalui teknik wawancara.
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Bahan sampel
78
Bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah vena
dari subjek penelitian. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis MDA antara
lain 2-thiobarbituric acid (TBA), reagen buthylated hydroxytoluene (BHT) in
ethanol, assay buffer (phosphate buffer), reagen asam (asam fosfat), kalibrator
(tetramethoxypropane in a stabilizing buffer).
4.5.2 Instrumen penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,
dan pengambilan sampel darah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan
kuisioner sedangkan untuk menegakkan diagnosis kusta, digunakan lembaran
pemeriksaan status dermatologi, seperti tampak pada lampiran. Untuk menghitung
IB dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit, menggunakan alat-alat yaitu
gelas obyek, lampu spiritus (bunsen), skalpel, kapas alkohol, selotip, botol yang
berisi: larutan carbol fuchsin 0,3%, asam alkohol 3%, larutan methylene blue
0,3%, jam dengan alarm, wastafel dengan air mengalir, pipet, besi penyangga, rak
gelas obyek, kertas tisu, sarung tangan.
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran kadar MDA adalah sarung
tangan, tourniket, spuit, tabung yang telah berisi koagulan, tabung entrifuge,
polypropylene microcentriguge tubes (vial), dan spektrofotometer.
4.6 Prosedur Penelitian
79
1. Sampel penelitian dipilih dari pasien kusta yang berkunjung ke poliklinik
Kulit dan Kelamin yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis
kusta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
hapusan sayatan kulit.
2. Penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diminta untuk
menandatangani informed consent sebagai persetujuan keikutsertaan dalam
penelitian.
3. Pemeriksaan IB dilakukan pada sampel dengan melakukan pemeriksaan
hapusan sayatan kulit, dengan cara sebagai berikut:
a. Menentukan lokasi pengambilan spesimen (5 lokasi : cuping telinga kiri
dan kanan, lesi kulit yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari tengah dan
dorsum ibu jari kaki).
b. Mencuci tangan, kemudian mengenakan sarung tangan.
c. Mengambil kaca obyek yang baru, bersih dan tidak tergores, kemudian
dituliskan identitas pasien pada kaca obyek.
d. Membersihkan tepi lobus telinga dan lesi kulit dengan kapas alkohol 70%
biarkan hingga mengering.
e. Menjepit lobus telinga atau lesi kulit dengan kuat menggunakan ibu jari
dan telunjuk sampai kulit menjadi pucat.
f. Melakukan sayatan menggunakan skalpel no. 15 dengan panjang sayatan ±
5 mm dan kedalaman 2-3 mm. Pisau skalpel kemudian diputar 90°, arah
sayatan dari atas ke bawah sampai didapatkan bubur jaringan. Kulit tetap
dijepit supaya tidak ada darah yang keluar. Tidak boleh ada darah pada
80
saat pengambilan spesimen karena dapat mengganggu pewarnaan. Bila
berdarah bersihkan dengan kapas alkohol.
g. Membuat hapusan serum atau bubur jaringan pada gelas obyek dalam
bentuk lingkaran dengan diameter 8 mm, pada sisi yang sama dengan letak
identitas (Satu gelas obyek bisa untuk 2-3 apusan).
h. Skalpel dihapus dengan kapas alkohol dan lewatkan di atas nyala api
bunsen selama 3-4 detik dan biarkan dingin.
i. Ulangi prosedur tersebut di atas untuk lokasi hapusan lain. Buat hapusan
di sisi dekat dengan hapusan sebelumnya namun jangan sampai
bersentuhan.
j. Luka hapusan ditutup.
k. Gelas obyek dibiarkan mengering dengan temperatur ruangan.
l. Hapusan difiksasi dengan cara melewatkan bagian bawah gelas obyek
sebanyak 3 kali diatas api bunsen sebelum pewarnaan.
m. Melakukan pewarnaan dengan metode ziehl-neelsen.
1. Seluruh permukaan gelas obyek ditutup dengan larutan carbol
fuchsin (dibiarkan selama 10 menit).
2. Gelas obyek dipanaskan dengan hati-hati diatas lampu spiritus
sampai uap carbol fuchsin keluar tetapi tidak sampai mendidih.
3. Gelas obyek dibasuh dengan hati-hati di bawah air mengalir dan
dikeringkan.
4. Asam alkohol 3% diteteskan pada permukaan object glass selama 10
detik kemudian dibilas perlahan dengan air.
81
5. Sediaan ditetesi dengan methylene blue 0,3% selama 1 menit.
6. Gelas obyek dibilas air dan dibiarkan mengering di rak pengeringan.
n. Pembacaan hapusan sayatan kulit:
1. Gelas obyek diletakkan di bawah mikroskop dengan hapusan
menghadap ke atas.
2. Gambar difokuskan menggunakan obyektif 10 kali kemudian ditetesi
dengan setetes minyak emersi.
3. Obyektif dirubah menjadi pembesaran 100 kali.
4. Basil tahan asam akan tampak sebagai batang merah dengan latar
belakang biru. Bentuknya dapat lurus atau melengkung, dengan
warna merah merata dengan panjang kuman 4 kali lebar (solid) atau
dinding sel terputus sebagian atau seluruhnya (fragmentasi), atau
terlihat seperti titik-titik tersusun garis lurus (granuler).
5. Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama,
dipindahkan ke lapangan pandang berikutnya. Pemeriksaan
dilakukan sekitar 100 lapangan pandang tiap hapusan.
6. Jika BTA terlihat, maka dijumlahkan dan dilakukan penghitungan IB
menurut skala berikut:
a) 0 : 0 BTA dalam 100 LP
b) +1 : 1-10 BTA dalam 100 LP
c) +2 : 1-10 BTA dalam 10 LP
d) +3 : 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP
e) +4 : 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP
82
f) +5 : 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP
g) +6 : >1000 BTA dalam rata-rata 1 LP
Kemudian dilakukan penghitungan rata-rata IB dari beberapa
lokasi.
4. Pengambilan darah vena pada sampel penelitian sebanyak 3cc dan
ditampung dalam tabung yang telah diisi koagulan.
5. Pemeriksaan MDA dilakukan di laboratorium Unit Pelayanan Teknis
Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Prinsip pemeriksaan kadar
MDA adalah berdasarkan The Thiobarbituric Acid Reactive Substances
(TBARS) yaitu reaksi asam tiobarbiturat dengan MDA, ditandai dengan
timbulnya warna yang serapannya diukur menggunakan spektrofotometer
a. Persiapan sampel
Sampel darah vena yang diambil ditampung dalam masing – masing
tabung yang telah diisi koagulan.
b. Persiapan reagen
Siapkan reagen – reagen berikut dan biarkan pada temperatur kamar
sampai digunakan. Reagen dan bahan yang digunakan adalah reagen
2-thiobarbituric acid (TBA), reagen buthylated hydroxytoluene
(BHT) in ethanol, assay buffer (phosphate buffer), reagen asam (asam
fosfat), kalibrator (tetramethoxypropane in a stabilizing buffer). Pada
analisis MDA reagen yang dipersiapkan hanya TBA yang dilarutkan
dengan 10,5 mL akuades, reagen lainnya langsung digunakan.
c. Prosedur analisis MDA
83
Tindakan analisis diawali dengan memasukkan sebanyak 10 μL
reagen BHT pada vial yang telah disiapkan. Siapkan juga 5 vial untuk
standar (calibrator), selanjutnya masukkan 250 μL kalibrator atau
sampel ke dalam vial dan masukkan 250 μL reagen asam dan reagen
TBA ke dalam vial. Lakukan divortek dalam hitungan 5 kali. Langkah
berikutnya adalah semua vial diinkubasi selama 1 jam pada suhu
60oC, dan selanjutnya disentrifus pada 10.000 putaran per menit
selama 3 menit. Langkah terakhir adalah semua vial dipindahkan ke
dalam kuvet untuk dibaca absorbansinya.
4.7 Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat
alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.2.
Populasi Terjangkau
Semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun yang berkunjung ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar
periode Mei 2016-Juni 2016
Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi
Populasi Target
Semua pasien kusta berusia lebih dari 5 tahun
84
4.8 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian cross
sectional analitik. Data yang dikumpulkan diperiksa, dikode, diolah dan dianalisis
Gambar 4.3
Bagan Alur Penelitian
85
menggunakan perangkat lunak komputer. Uji statistik dilakukan dengan program
Statistical Package for Social Sciences (SPSS), versi 17.0. Analisis data statistik
terdiri dari:
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik umum subjek
dengan kusta yaitu: jenis kelamin, umur, tipe kusta, indeks bakteri, terapi
MDT, riwayat kontak dan kadar rata-rata MDA plasma pada masing-
masing nilai indeks bakteri.
2. Uji normalitas data
Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas
Shapiro-Wilk karena sampel kurang dari 50. Data berdistribusi nomal bila
nilai p > 0,05 pada uji normalitas.
3. Uji Komparasi
Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar MDA plasma antara subjek
kusta tipe PB dengan kusta tipe MB dilakukan uji komparasi uji Mann-
Whitney karena data memiliki distribusi yang tidak normal.
4. Analisis korelasi
Untuk mengetahui korelasi antara IB dengan kadar MDA plasma
dilakukan analisis korelasi Spearman’s Rho karena distribusi data tidak
normal.
4.9 Etika Penelitian
Protokol penelitian untuk Ethical Clearance dari Komisi Etik
Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar
86
telah diberikan sebelum penelitian dilaksanakan. Subjek yang memenuhi kriteria
penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian serta diminta untuk
mengisi informed consent secara tertulis. Subjek penelitian memiliki hak
sepenuhnya untuk menolak ikut serta dalam penelitian. Seluruh biaya penelitian
dan biaya lainnya yang dibutuhkan akibat penelitian ini ditanggung oleh peneliti.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
87
Penelitian ini dilaksanakan selama periode bulan Mei 2016 sampai dengan
Juni 2016 diperoleh 48 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Sampel terdiri dari 36 (75%) sampel kusta tipe MB dan 12 (25%) sampel kusta
tipe PB. Data karakteristik subjek dengan kusta yang meliputi jenis kelamin,
umur, tipe kusta, indeks bakteri, riwayat terapi dan kontak disajikan pada Tabel
5.1.
Pada penelitian ini, berdasarkan distribusi jenis kelamin didapatkan
sebanyak 27 orang (56,2%) subjek kusta berjenis kelamin laki-laki dan 21 orang
(43,8%) berjenis kelamin perempuan. Kelompok umur terbanyak pada subjek
kusta adalah 26-35 tahun (31,3%). Rerata umur subjek adalah 40,63 ± 14,91
tahun.
Tipe kusta yang paling banyak ditemukan adalah kusta tipe BL sebanyak
21 orang (43,8%), diikuti oleh tipe BT sebanyak 11 orang (22,9%), tipe BB
sebanyak 11 orang (22,9%), tipe LL sebanyak 5 orang (10,4%) dan yang paling
sedikit adalah tipe TT sebanyak 1 orang (2,1%). Nilai IB terbanyak yang
ditemukan adalah +3 sebanyak 13 orang (27,1%). Subjek yang sudah mendapat
terapi MDT pada penelitian ini didapatkan lebih banyak dibandingkan yang belum
mendapat terapi yaitu 32 (68,7%) orang dibanding 16 (31,3 %).
Subjek kusta dengan riwayat kontak ditemukan lebih besar dibanding tanpa
kontak yaitu sebanyak 58,4% dibanding 41,7%. Riwayat kontak terbanyak adalah
kontak dengan keluarga atau kontak serumah yaitu sebanyak 15 orang (31,3%).
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian
88
No Karakteristik Jumlah (n) (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
Umur
- 6-15 tahun
- 16-25 tahun
- 26-35 tahun
- 36-45 tahun
- 46-55 tahun
- 56-65 tahun
- 66-75 tahun
Tipe kusta
- TT
- BT
- BB
- BL
- LL
Indeks Bakteri
- 0
- +1
- +2
- +3
- +4
Terapi MDT
- Belum mendapat terapi
- Sudah mendapat terapi
Riwayat Kontak
- Tidak ada kontak
- Kontak keluarga (serumah)
- Kontak dengan tetangga
- Kontak dengan teman sekerja
27
21
1
6
15
9
7
8
2
1
11
10
21
5
9
12
7
13
7
16
32
20
15
9
4
56,2
43,8
2,1
12,5
31,3
18.8
14,6
16,7
4,2
4,2
27,1
22,9
35,4
10,4
18,8
25
14,6
27,1
14,6
33,3
66,7
41,7
31,3
18,8
8,3
5.2 Uji Normalitas Data
Pada data penelitian kadar MDA plasma dan nilai IB pada subjek dengan
kusta dilakukan uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk karena jumlah sampel
kurang dari 50. Hasil uji normalitas disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
89
Hasil Uji Normalitas Data
No Variabel p
1.
2.
3.
Kadar MDA plasma
Nilai indeks bakteri
Kelompok Umur
<0,001
<0,001
0,007
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa data kadar MDA plasma
berdistribusi tidak normal karena nilai p <0,001 (p < 0,05). Data indeks bakteri
penelitian ini berdistribusi tidak normal dengan nilai p < 0,001. Data kelompok
umur pada penelitian ini juga berdistribusi tidak normal dengan p =0,007 (p <
0,05).
5.3 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
dengan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar MDA plasma pada kusta tipe
PB adalah 3,31 nM/mL dengan nilai median 3,19 nM/mL, sedangkan pada kusta
tipe MB adalah 4,82 nM/mL dengan nilai median 5,19 nM/mL. Perbedaan rerata
pada kedua kelompok didapatkan sebesar 1,51 nM/mL. Selanjutnya untuk
mengetahui perbedaan kadar MDA pada kedua kelompok, dilakukan uji non
parametrik yaitu Mann-Whitney, didapatkan bahwa kadar MDA plasma pada
subjek kusta tipe PB berbeda secara bermakna dengan subjek kusta tipe MB, nilai
p<0,001 (Tabel 5.3).
Tabel 5.3
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta Tipe
Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar
90
n Rerata ± SD
(nM/mL)
Median (nM/mL)
(minimum-maksimum)
p
Kusta tipe PB
Kusta tipe MB
12
36
3,31±0,28
4,82±1,11
3,19
(2,99-3,82)
5,19
(2,64-6,28)
< 0,001
Gambar 5.1 menunjukkan gambaran box plot nilai rerata kadar MDA pada
subjek kusta tipe PB dengan kusta tipe MB. Rerata kadar MDA pada subjek kusta
tipe MB lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB.
Gambar 5.1
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara
Subjek Kusta tipe Pausibasilar dengan Kusta tipe Multibasilar
Pada penelitian ini terapi MDT dapat menjadi variabel pengganggu karena
dapat mempengaruhi indeks bakteri, dimana didapatkan sebagian besar subjek
penelitian sudah mendapatkan terapi MDT (66,7%). Maka dari itu dilakukan
analisis perbedaan kadar MDA plasma berdasarkan riwayat terapi. Pada tabel 5.4
91
disajikan perbedaan rerata dan median kadar MDA plasma berdasarkan riwayat
terapi.
Tabel 5.4
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma antara Subjek Kusta yang Belum
Mendapatkan Terapi dengan yang Sudah Mendapatkan Terapi
n Rerata ± SD
(nM/mL)
Median (nM/mL)
(minimum-maksimum)
p
Riwayat terapi (-)
Riwayat terapi (+)
12
36
4,56±1,24
4,38±1,15
4,15
(3,01-6,28)
4,26
(2,64-6,07)
0,512
Berdasarkan uji normalitas data didapatkan distribusi kadar MDA tidak
normal, sehingga dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney didapatkan nilai
p=0,512 (p > 0,05) artinya perbedaan kadar MDA berdasarkan riwayat terapi
didapatkan tidak signifikan
Pada penelitian ini, umur merupakan salah satu faktor pengganggu yang
tidak dieksklusi pada saat penelitian dilakukan. Pada tabel 5.5 disajikan data
rerata kadar MDA plasma pada masing-masing kelompok umur.
Tabel 5.5
Perbandingan Kadar Malondialdehyde Plasma
antara masing-masing Kelompok Umur
Kelompok umur Rerata kadar MDA ±
SD (nM/mL)
p
92
6-15 tahun
16-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-55 tahun
66-65 tahun
66-75 tahun
3,33
4,37±1,18
4,53±1,23
4,54±1,25
4,36±1,00
4,42±1,32
4,53±2,06
0,979
Berdasarkan uji normalitas data didapatkan distribusi data kelompok umur
tidak normal sehingga dilakukan uji Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,979 (p >
0,05) artinya perbedaan rerata kadar MDA antara masing-masing kelompok umur
didapatkan tidak signifikan
5.4 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada
Subjek dengan Kusta
Untuk mengetahui korelasi antara kadar MDA dengan indeks bakteri pada
penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho karena kadar MDA maupun
indeks bakteri pada subjek kusta tidak berdistribusi normal. Pada penelitian ini
didapatkan adanya korelasi yang kuat antara kadar MDA dengan indeks bakteri
pada subjek kusta (r=0,935; p < 0,001), artinya semakin tinggi nilai indeks bakteri
maka kadar MDA juga semakin meningkat (Tabel 5.6 dan Gambar 5.2).
Tabel 5.6
Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri
pada Subjek Kusta
Variabel n Kekuatan Korelasi
(r)
p
93
Malondialdehyde-
Indeks Bakteri
48
0,935
<0,001
5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde Plasma
dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
Pada uji regresi linier (tabel 5.7) didapatkan koefisien beta (β= 0,81),
menunjukkan adanya pengaruh bermakna antara nilai indeks bakteri dengan kadar
MDA plasma pada kusta. Setiap peningkatan indeks bakteri sebesar +1, akan
diikuti oleh peningkatan kadar MDA sebesar 0,81 nM/mL. Berdasarkan koefisien
determinasi (R2 = 90,3 %), artinya sebesar 90,3 % kadar MDA plasma pada kusta
dipengaruhi oleh nilai indeks bakteri, sisanya sebesar 9,7% dipengaruhi oleh
faktor lain.
Gambar 5.2
Kadar Malondialdehyde Plasma Berdasarkan
Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
94
Tabel 5.7
Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Malondialdehyde
Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
Variabel β p R2
Indeks Bakteri
0,81
<0,001
90,3%
β : Koefisien Beta; p:Signifikansi; R2: Koefisien determinasi
BAB VI
PEMBAHASAN
95
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling, dimana
didapatkan 48 subjek kusta yang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,
tidak ada subjek kusta yang hilang dalam penelitian. Pada subjek dilakukan
pengambilan darah vena untuk pengukuran kadar MDA serta pemeriksaan slit
skin smear untuk memperoleh nilai IB pada subjek kusta.
Pada penelitian ini berdasarkan jenis kelamin didapatkan, subjek kusta
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan yaitu 27 orang
(56,2%) berjenis kelamin laki-laki dan 21 (43,8%) berjenis kelamin perempuan,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 1,3:1. Secara umum
berdasarkan data WHO, kusta dapat mengenai kedua jenis kelamin dengan
proporsi yang sama, namun di beberapa negara di Asia maupun Amerika Latin
angka kejadian pada laki-laki ditemukan lebih banyak dibanding perempuan
(WHO, 2014). Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia antara lain oleh
Widodo dkk. (2012) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus kusta pada laki-
laki ditemukan lebih besar (61,7%) dibanding perempuan (38,3%). Demikian pula
dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Tosepu dkk. di Sulawesi pada tahun
2015, juga menemukan laki-laki lebih banyak menderita kusta yaitu 55,9%
dibanding perempuan 44,1%. Penelitian multisenter oleh Varkevisser dkk. pada
tahun 2009 yang dilakukan di Indonesia, Nepal dan Brazil menemukan hal yang
serupa dimana angka kejadian pada laki-laki lebih besar dibanding perempuan
dengan rasio yang berbeda-beda. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rasio
laki-laki dan perempuan di Indonesia sebesar 1,45:1, di Nepal 2:1 dan di Brasil
96
didapatkan rasio laki-laki dan perempuan 1,14:1. Penelitian di beberapa negara di
Afrika, Thailand serta Jepang menemukan angka kejadian kusta yang sama antara
kedua jenis kelamin bahkan di beberapa kasus ditemukan lebih tinggi pada
perempuan (WHO, 2014). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan
dalam adat istiadat dan kebiasaan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
pengobatan, sedangkan angka kejadian yang lebih tinggi pada laki-laki diduga
dipengaruhi oleh tingkat mobilitas yang lebih tinggi sehingga risiko paparan lebih
besar serta tingkat pengetahuan dan kesadaran mencari pengobatan yang lebih
besar pada laki-laki (Varkevisser dkk., 2009).
Pada penelitian ini, berdasarkan kategori umur didapatkan kejadian kusta
lebih banyak pada kelompok rentang umur 26-35 tahun sebesar 31,3%. Rerata
umur subjek kusta pada penelitian ini adalah 40,63 ± 17,91 tahun, dengan median
37 tahun, umur minimum adalah 9 tahun dan umur maksimum 71 tahun.
Penelitian oleh Widodo dkk. (2012) menemukan hal yang serupa dimana kasus
kusta terbanyak ditemukan pada kelompok usia produktif yaitu 25-44 tahun
(44,6%). Pada penelitian lain oleh Bhat dkk. (2013) di India, distribusi umur
terbanyak juga ditemukan pada kelompok usia produktif 16-50 tahun. Penelitian
yang juga dilakukan di India oleh Kumar dkk. (2014) menemukan distribusi kusta
berdasarkan kelompok umur terbanyak pada usia 30-39 tahun. Jumlah kasus yang
banyak ditemukan pada kelompok usia produktif akan dapat memberikan dampak
negatif pada kondisi ekonomi, karena penyakit kusta sendiri serta deformitas yang
ditimbulkannya dapat mempengaruhi produktivitas individu.
97
Penyakit kusta pada dasarnya dapat menyerang semua usia, namun karena
masa inkubasi yang panjang penyakit ini umumnya jarang ditemukan pada anak-
anak dan sangat jarang terjadi pada bayi. Pada penelitian Moet dkk. (2006)
didapatkan umur merupakan faktor risiko terjadinya kusta dengan usia lebih tua
mempunyai risiko yang lebih tinggi, berkaitan dengan masa inkubasi yang
panjang. Kasus kusta pada anak umumnya lebih banyak ditemukan pada daerah
endemik kusta. Secara global kasus kusta pada anak diperkirakan mencapai 9%
dari keseluruhan kasus baru (Butlin dan Saunderson; 2014). Penelitian multisenter
di India oleh Palit dkk. menemukan kejadian kusta pada anak usia 0-15 tahun
berkisar antara 5,1-35,5%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bhat dkk. (2012)
menemukan kejadian kusta pada usia di bawah 15 tahun sebesar 15,22%.
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo dkk. di RSCM menemukan kasus kusta
berusia 5-14 tahun sebesar 5,9%. Menurut Amador dkk. (2012) kasus kusta pada
anak di bawah usia 5 tahun berisiko lebih besar terjadinya deformitas. Jumlah
kasus pada anak yang lebih tinggi pada populasi dikatakan mmemiliki arti penting
secara epidemiologis karena menunjukkan adanya transmisi yang aktif pada
komunitas (Thorat dan Sharma, 2010). Pada penelitian ini ditemukan kasus kusta
pada anak yang lebih rendah yaitu sebanyak 1 kasus (2,1%) mengenai anak usia 9
tahun.
Berdasarkan tipe kusta WHO, pada penelitian ini ditemukan kusta tipe MB
(75%) lebih banyak dibanding PB (25%). Hasil pada penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bhat dkk. (2012), dimana didapatkan kasus MB
lebih banyak yaitu 54,35% dibanding PB sebesar 45,65%. Penelitian yang
98
dilakukan di RSCM oleh Widodo dkk. menemukan kasus MB sebanyak 80% dan
kasus PB sebanyak 20%. Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan laporan
epidemiologi WHO dimana kasus MB ditemukan sebesar 83,4%. Hal ini diduga
berhubungan dengan kemampuan transmisi kusta tipe MB yang lebih besar
dibanding PB. Angka ini juga menggambarkan besarnya risiko transmisi kusta
pada populasi.
Berdasarkan tipe kusta Ridley dan Jopling, kusta tipe BL ditemukan paling
banyak yaitu sebesar 35,4%, diikuti oleh tipe BT sebanyak 27,1%, tipe BB
sebanyak 22,9%, tipe LL sebanyak 10,4% dan yang paling sedikit adalah tipe TT
sebanyak 2,1%. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasad
dkk. (2007) di India, yang mendapatkan jumlah kasus terbanyak adalah tipe BT.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Bhat di India juga menemukan tipe BT
merupakan kasus terbanyak yaitu sebesar 34,78%. Penelitian lain yang dilakukan
di Brasil selama 20 tahun menemukan kasus terbanyak adalah tipe LL sebesar
42,9%. Berdasarkan penelitian ini dikatakan bahwa perbedaan tipe kusta
terbanyak disebabkan karena lokasi penelitian yang berbeda dimana penelitian
yang dilakukan di rumah sakit rujukan umumnya lebih banyak mendapatkan
kasus atipikal dan disertai komplikasi (Penna, dkk., 2008).
Berdasarkan indeks bakteri, pada penelitian ini didapatkan indeks bakteri
terbanyak adalah +3 (27,1%). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Prasad dkk. (2007) di India, dimana indeks bakteri negatif ditemukan paling
banyak. Hal yang berbeda juga ditemukan pada penelitian di Brasil oleh Penna
dkk. tahun 2008 dimana indeks bakteri terbanyak adalah IB <1. Pemeriksaan
99
hapusan sayatan kulit untuk mengetahui indeks bakteri dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain keterampilan petugas, teknik pengambilan serta kelengkapan
alat dan bahan. Selain itu hasil yang berbeda juga dipengaruhi oleh jumlah kasus
terbanyak yang ditemukan pada saat itu (Desikan dkk., 2006; Bhushan dkk.,
2008).
Pada penelitian ini riwayat kontak yang positif ditemukan lebih banyak
dibanding riwayat kontak negatif, 58,4% dibanding 41,7%. Riwayat kontak
terbanyak adalah kontak dengan keluarga atau kontak serumah yaitu sebanyak
31,3%. Hal ini sesuai dengan mekanisme penularan pada penyakit kusta yang
memerlukan kontak erat dan lama. Penelitian yang dilakukan oleh Moet dkk. pada
tahun 2006 menemukan bahwa kontak keluarga merupakan faktor risiko paling
besar terjadinya kusta dibanding kontak tetangga. Penelitian kohort oleh Bakker
dkk. (2006) di Indonesia juga menemukan kontak serumah terutama dengan
pasien kusta tipe MB atau dengan IB positif memiliki risiko 4,6 kali lebih tinggi
menderita kusta dibanding tanpa kontak. Hal ini berbeda dengan hasil yang
ditemukan pada penelitian oleh Bhat dan Prakash di India dimana tidak adanya
riwayat kontak ditemukan lebih banyak dibanding adanya riwayat kontak.
6.2 Kadar Malondialdehyde Plasma pada Subjek Kusta Tipe Pausibasilar
dengan Kusta Tipe Multibasilar.
100
Pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan bermakna rerata kadar
MDA plasma pada kusta tipe PB dibandingkan dengan kusta tipe MB, dengan
nilai p<0,001. Rerata kadar MDA plasma pada penderita kusta tipe MB
didapatkan sebesar MB 4,81±1,12 nM/mL lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan subjek kusta tipe PB yaitu 3,33±0,28 nM/mL.
Hasil pada penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang mendapatkan
kadar MDA lebih tinggi pada kusta tipe MB dibandingkan kusta tipe PB.
Penelitian yang dilakukan oleh Trimbake dkk. (2013) menemukan perbedaan
yang signifikan antara rerata kadar MDA pada kusta tipe MB dibanding kusta tipe
PB. Rerata kadar MB ditemukan sebesar 5,90±0,76 nM/mL lebih tinggi dibanding
pada kusta tipe PB yaitu 4,11±0,43 nM/mL, dengan p<0,001. Penelitian lain yang
dilakukan Garad dkk. (2014) juga menemukan perbedaan yang signifikan antara
rerata kadar MDA pada kusta tipe MB dibanding kusta tipe PB, dimana
didapatkan rerata kadar MDA pada kusta tipe MB sebesar 8,27±1,60 nM/mL,
sedangkan pada kusta tipe PB didapatkan sebesar 6,20±1,36 nM/mL. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Prasad dkk. (2007) juga menemukan perbedaan kadar
MDA yang lebih tinggi secara signifikan pada kusta tipe LL dan BL dibanding
kusta tipe TT dan BT. Selain pada plasma atau serum peningkatan kadar MDA
juga ditemukan pada jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Hafez dkk. (2010)
menemukan peningkatan yang signifikan kadar MDA pada jaringan subjek
dengan kusta dibanding orang normal, peningkatan ini juga ditemukan signifikan
pada kusta tipe MB dibanding tipe PB (Hufez, dkk., 2010).
101
Perbedaan kadar MDA antara kusta tipe PB dengan MB menunjukkan
adanya peroksidasi lipid yang lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB.
Sistem pertahanan utama pejamu terhadap infeksi M. leprae adalah sistem
makrofag, melalui mekanisme respiratory burst. Pada saat proses respiratory
burst akan terjadi produksi ROS yang berlebihan. Sistem antioksidan yang
berperan dalam mengimbangi adanya produksi ROS yang berlebihan juga
mengalami penurunan pada kusta. Beberapa penelitian menemukan penurunan
sistem antioksidan seperti SOD, katalase, glutation peroksidase yang lebih besar
pada kusta tipe MB dibanding tipe PB (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan
Borade, 2000). Kondisi ini akan menyebabkan tingkat stres oksidatif yang lebih
tinggi pada kusta tipe MB. Produksi ROS yang berlebihan selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang ditandai dengan peningkatan
kadar MDA.
Pada kusta tipe LL terdapat defek pada imunitas seluler dimana makrofag
memiliki fungsi fagositosis normal, namun produksi ROS terutama superoksid
dikatakan tidak adekuat, sehingga diduga ROS pada tipe kusta ini juga bersumber
dari sub populasi sel fagosit lain yang masih berfungsi normal seperti neutrofil
dan makrofag yang teraktivasi secara imunologis (Trimbake, dkk., 2013; Garad,
dkk., 2014).
Pada penelitian ini terapi MDT dapat mempengaruhi nilai indeks bakteri
sehingga dapat menjadi variabel pengganggu. Maka dari itu dilakukan analisis
perbedaan kadar MDA plasma berdasarkan riwayat terapi. Berdasarkan analisis
data, tidak ditemukan perbedaan kadar MDA plasma sebelum maupun sesudah
102
terapi. Beberapa penelitian yang meneliti stres oksidatif pada pasien kusta yang
telah diobati menemukan penurunan kadar SOD, glutathione, total antioksidan
status serta peningkatan kadar MDA secara signifikan pada pasien kusta tipe MB
yang telah diobati dibanding kontrol sehat (Prabhakar dkk., 2012). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai
pengobatan juga mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas
GSH dan katalase dibanding kontrol. Hasil dari penelitian ini maupun penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif tidak hanya terjadi pada
kasus baru namun juga pada kusta yang telah mendapatkan pengobatan.
Usia merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi kadar
MDA, sehingga pada penelitian ini dilakukan analisis data perbedaan kadar MDA
berdasarkan kelompok umur. Berdasarkan hasil analisis tidak didapatkan adanya
perbedaan yang signifikan rerata kadar MDA pada masing-masing kelompok
umur. Pada penelitian sebelumnya, didapatkan kadar MDA yang rendah pada usia
prepubertas dan meningkat secara signifikan setelah usia 60 tahun, namun
terdapat pula pula penelitian lain yang tidak menemukan adanya peningkatan
kadar MDA berdasarkan usia (Nunez, dkk., 2007; Navero, dkk., 2009). Hasil
penelitian yang berbeda ini diduga disebabkan karena banyaknya faktor yang
mempengaruhi stres oksidatif. Pada penelitian ini adanya infeksi oleh M. leprae
akan menimbulkan stres oksidatif yang tidak hanya menyebabkan kerusakan pada
bakteri namun juga pada sel pejamu sehingga kemungkinan lebih berpengaruh
terhadap peningkatan kadar MDA.
103
6.3 Korelasi Kadar Malondialdehyde Plasma dengan Indeks Bakteri pada
Subjek Kusta
Pada penelitian ini terdapat korelasi positif yang kuat antara kadar MDA
plasma dengan nilai indeks bakteri pada kusta, seperti disajikan pada Tabel 5.5.
Terdapat korelasi yang kuat dengan nilai r=0,935 dan nilai p<0,001. Tingkat
korelasi pada hasil penelitian ini lebih kuat dibandingkan hipotesisnya (r = 0,4).
Gambar 5.2 menunjukkan gambar box plot kadar MDA plasma dengan nilai
indeks bakteri pada kusta. Gambar box plot tersebut menunjukkan semakin tinggi
kadar MDA plasma maka nilai indeks bakteri semakin tinggi.
Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Prasad dkk. (2007) yang menunjukkan adanya korelasi positif
yang bermakna antara peroksidasi lipid yang ditunjukkan dengan peningkatan
kadar MDA dengan nilai indeks bakteri pada subjek dengan kusta. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Lima dkk. (2007) juga menemukan peningkatan kadar MDA
secara gradual sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar paling tinggi
ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Bhadwat dan Borade (2000), menemukan rerata kadar MDA yang meningkat
sesuai spektrum klinis penyakit, dimana kadar terendah ditemukan pada kusta tipe
TT (3,225±0,24) dan paling tinggi pada kusta tipe LL (4,516±0,54).
Malondialdehyde merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid. Kadar
MDA pada serum maupun plasma merupakan biomarker adanya peroksidasi lipid
(Bhadwat dan Borade, 2000). Hasil pada penelitian ini menunjukkan korelasi
positif kadar MDA dengan nilai indeks bakteri, dimana ditemukan adanya
104
peningkatan kadar MDA sesuai dengan peningkatan nilai indeks bakteri. Indeks
bakteri sendiri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan,
sehingga korelasi positif ini menandakan adanya peroksidasi lipid yang tinggi
sesuai dengan peningkatan jumlah bakteri pada subjek kusta.
Peroksidasi lipid terjadi apabila produksi ROS yang berlebihan tidak
diimbangi oleh sistem antioksidan yang adekuat. Infeksi oleh M. leprae akan
menginduksi respon sel fagosit terutama makrofag, yang menyebabkan pelepasan
sitokin seperti TNF-α, interferon (IFN) γ, IL-1, IL-6 dan IL-12. Pelepasan sitokin
ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi, mengaktivasi respon imunitas adaptif
dan aktivasi enzim fagosit oksidase. Aktivasi enzim fagosit oksidase akan
menyebabkan pembentukan ROS seperti superoksid, radikal hidroksil dan
hidrogen peroksida. Jumlah bakteri yang lebih tinggi maka menandakan produksi
ROS yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan
penurunan kadar antioksidan enzimatik sesuai dengan peningkatan indeks bakteri
(Vijayaraghavan, dkk., 2011; Prabhakar, dkk., 2007; Prasad, dkk., 2007).
Penurunan enzim antioksidan ini diduga disebabkan karena inhibisi enzim karena
adanya regresi gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen
SOD. Komponen M. leprae seperti PGL-1 dan lipopolisakarida dikatakan dapat
berikatan dengan enzim SOD sehingga menghambat aktivitas SOD dan
mengakibatkan down-regulasi ekspresi gen SOD pada sel darah merah dan
makrofag. (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade, 2000; Schalcher dkk,
2012). Jumlah bakteri yang tinggi juga dihubungkan dengan utilisasi biometal
105
seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan hidup M. leprae,
sehingga dapat mempengaruh metaloenzim yang berperan pada sistem
antioksidan (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).
Beberapa penelitian terakhir juga menghubungkan peran ROS dalam
memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana
peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan
peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi
dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010;
Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015). Selain itu, berdasarkan penelitian,
MDA ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip kearah Th2
sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T, sesuai dengan respon imun
pada kusta tipe lepromatosa didominasi oleh sel Th2 (Bennet dan Griffiths, 2013).
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa
MDA dapat berperan sebagai penanda stres oksidatif pada penderita kusta. hasil
penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya untuk mengetahui
peranan malondialdehyde sebagai faktor risiko progresivitas peyakit kusta.
Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang memiliki kelemahan
dalam menentukan hubungan sebab akibat, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan rancangan case control untuk mengetahui hubungan
tersebut.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
106
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, maka dapat diambil
simpulan bahwa semakin tinggi kadar indeks bakteri maka kadar
malondialdehyde plasma akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan:
1. Kadar malondialdehyde plasma lebih tinggi pada subjek kusta tipe
multibasilar dibanding dengan subjek kusta tipe pausibasilar.
2. Kadar malondialdehyde plasma memiliki korelasi positif yang sangat kuat
dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan
sebagai berikut:
1. Perlu dipertimbangkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan peran
malondialdehyde sebagai faktor risiko progresivitas penyakit kusta.
2. Perlu dipertimbangkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas
pemberian antioksidan vitamin E dan C pada penderita kusta dengan
peningkatan kadar malondialdehyde.
3. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan kadar malondialdehyde plasma
sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai kondisi stres oksidatif pada
penderita penyakit kusta.
DAFTAR PUSTAKA
107
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. 2015. Innate Immunity. In : Abbas,
A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S., editors. Cellular and Molecular
Immunology. 8th
ed. Philadelpia: Elsevier Saunders. p.51-83.
Ayala, A., Munoz, M.F., and Arguelles, S. 2014. Lipid Peroxidation: Production,
Metabolism, and Signaling Mechansims of Malondialdehyde and 4-
Hydroxy-2-Neonal. Oxid Med Cell Long:1-32.
Atukeren, P., and Yigitoglu, M.R. 2013. The Stance of Antioxidants in Brain
Tumors. Intech. p.523-551.
Bakker, M.I., Hatta, M., Kwenang, A., Van Mosseveld, P., Faber, W.R., and
Klatser, P.R. 2006. Risk Factor for Developing Leprosy-A Population-
Based Cohort Study in Indonesia. Lepr Rev; 77: 48-61.
Bennett, S.J., and Griffiths, H.R. Regulation of T-Cell Functions by Oxidative
Stress. In: Alcaraz, M.J., editors. Studies on Arthritis and Joint Disorders.
1st ed. London: Springer. p. 33-48.
Bhadwat, V.R., and Borade, V.B. 2000. Increased Lipid Peroxidation in
Lepromatous Leprosy. IJVDL; 66(3): 121-25.
Bhat, R.M., and Prakash, C. 2012. Leprosy: An Overview of Pathophysiology.
Interdiscip Perspect Infect Dis; 10: 1-7.
Bhat, R.M., and Prakash, C. 2013. Profile of New Leprosy Casesttending a South
Indian Referral Hospital in 2011-2012. ISRN Trop Med; 1-4.
Bhushan, P., Sardana, K., Koranne, R.V., Choudhary, M., and Manjul, P. 2008.
Diagnosing Multibacillary Leprosy: A Comparative Evaluatian of
Diagnostic Accuracy of Slit-Skin Smear, Bacterial Index of Granuloma and
WHO Operational Classification. IJDVL; 74(4): 322-26.
Birben, E., Sahiner, U.M., Sackesen, C., Erzurum, S., Kalayci, O. 2012. Oxidative
Stress and Antioxidant Defense. WAO Journal; 5: 9-19.
Boga, P.,Shetty, V.P., and Khan, Y. 2010. Nitric Oxide Metabolites in Sera of
Patients Across the Spectrum of Leprosy. Indian J Lepr; 82: 123-129.
Boots, A.W., van Berkel, J.J.B.N., Dallinga, J.W., Smolinska, A., Wouters, E.F.,
and van Schoote, F.J. 2012. The Versatile Use of Exhaled Volatile Organic
Compounds in Human Health and Disease. J Breath Res; 6: 1-21.
Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Immunological Complications:
Reactions. In: Bryceson, A., Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd
ed.
London: Churcill Livingstone. p. 115-126.
108
Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Introduction. In: Bryceson, A.,
Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd
ed. London: Churcill Livingstone. p.
1-4.
Bryceson, A., and Pfaltzgraff, R.E. 1990. Symptoms and Sign. In: Bryceson, A.,
Pfaltzgraff, R.E., editors. Leprosy. 3rd
ed. London: Churcill Livingstone. p.
25-57.
Butlin, C.R., and Saunderson, P. 2014. Children with Leprosy. Lepr Rev; 85: 69-
73.
Dahlan, M.S. 2008. Menentukan Rumus besar sampel. In: besar sampel dan cara
pengambilan sampel dalam penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 2nd
ed.
Salemba Medika. p.17-19.
Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D., and Milzani, A. 2006.
Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Clin Chem; 52(4):
601-624.
Dawane, J.S., and Pandit, V.A. 2012. Understanding Redox Homeostasis and Its
Role in Cancer. JCDR; 6(10):1796-1802.
Desikan, K.V., Rao, K.V.S.M., Bharambe, M.S., and Rao, P.V.R. 2006. Appraisal
of Skin Smear Reports of Field Laboratories. Lepr Rev; 77: 311-6.
Eichelmann, K., Gonzalez, S.E.G., Alanis, J.C.S., Candiani, J.O. 2013. Leprosy
An Update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis and
Treatment. Actas Dermosifiliogr; 104(7): 554-563.
Garad, A.S., Suryakar, A.N., and Shinde, C.B. 2014. Oxidative Stress and Role of
Thiol in Leprosy. IJPBCS; 3(2): 22-26.
Gulia, A., Fried, I., and Massone, C. 2010. New insights in the pathogenesis and
genetics of leprosy. Med Reports; 2(30): 1-5.
Hafez, H.Z., Mohamed, E.M., Elghany, A.A. 2010. Tissue and blood superoxide
dismutase activity and malondialdehyde level in leprosy. JEADV, 24: 704–
708.
Halliwell, B. 2001. Free Radicals and Other Reactive Species in Disease. Encycl
Life Sc: 1-7.
Hart, B.E., and Tapping, R.I. 2012. Genetic Diversity of Toll-Like Receptors and
Immunity to M. leprae Infection. J Trop Med: 1-12.
109
Hulley, S.B., Cummings, S.R., Browner, W.S., Grady, D., Newman, T.B. 2013.
Designing clinical research: an epidemiologic approach. 4th
ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
Job, C.K., Ponnaiya, J. 2010. Laboratory Diagnosis. In: Kumar Kar, H., Kumar,
B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 176-188.
Jyothi, P., Riyaz, N., Nandakumar, G., and Binitha, P.2008. A Study of Oxidative
Stress in Paucibacillary and Multibacillary Leprosy. IJDV; 24(1):80-85.
Kar, H.K., and Sharma, P. 2010. Leprosy Reactions. In: Kumar Kar, H., Kumar,
B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 269-292.
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2012. Pemeriksaan Bakteriologis. In: Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. p.89-98
Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2012. Sejarah Pengendalian Penyakit Kusta. In:
Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. p.1-4.
Krishnamurthy,R P., and Wadhwani, A. 2012. Antioxidant Enzymes and Human
Health. In: El-Missiry, M.A., editors. Antioxidant Enzymes. 1st ed. Kroasia:
Intech.p. 3-18.
Kumar, B., and Dogra, S. 2010. Case Definition and Clinical Types. In: Kumar
Kar, H., Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 152-166.
Kumar, A., and Husain, S. 2013. The Burden of New Leprosy Cases in India: A
Pupulation-Based Survey in Two States. ISRN Trop Med: 1-8.
Kumar, B., and Dogra, S. 2009. Leprosy: A Disease with Diagnostic and
Management Challengest. Indian J Dermatol Venereol Leprol; 75(2): 111-
5.
Kunwar, A., and Priyadarsini, K.I. 2011. Free Radicals, Oxidative Stress and
Importance of Antoxidants in Human Health. JMAS; 1(2): 53-60.
Lee, D.J., Rea, T.H., and Modlin, R.L. 2012. Leprosy. In: Goldsmith, L.A., Katz,
S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th
ed. New York: Mc
Graw Hill.p. 2253-2262.
110
Lima, E.S., Roland, I.A., Maroja, M.F., and Marcon, J.L. 2007. Vitamin A and
Lipid Peroxidation in Patients with Different Forms of Leprosy. Rev Inst
Med Trop; 49(4): 211-214.
Luong, K.V.Q, and Nguyen, L.T.H. 2012. Role of Vitamin D in Leprosy. Am J
Med Sci; 343(6): 471-82.
Madiyono, B., Moeslichan S., Sudigdo, S., Budiman, I., Purwanto, S.H. 2010.
Perkiraan besar sampel. In: Sudigdo, S. Sofyan I., editors. Dasar-Dasar
Metologi Penelitian Klinis. 3rd
ed. Jakarta : Sagung Seto. p.323-326.
Maghanoy, A., Mallari, I., Balagon, M., and Saunderson, P. 2011. Relapse Study
in Smear Positive Multibacillary (MB) Leprosy after 1 year WHO Multi
Drug Therapy (MDT) in Cebu, Philippines. Lepr Rev; 82: 65-9.
Mahajan, V.K. 2013. Slit Skin Smear in Leprosy: lest we forget it. Indian J Lepr;
85: 177-83.
Meneses, G.C., Liborio, A.B., de Daher, E.F., da Silva Jr, G.B., da Costa, M.F.P.,
Pontes, M.A.A., Martins , A.M.C. 2014. Urinary Monocyte Chemotactic
Protein-1 (MCP-1) in Leprosy Patients: Increased Risk for Kidney
Damage. BMC Inf Dis; 14: 1-5.
Misch, A., Berrington, W.R., Vary, J.C., and Haw, T.R. 2010. Leprosy and The
Human Genome. Microbiol Mol Biol Rev; 74(4): 589-620.
Mishra, R.S., Kumar, J. 2010. Classification. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,
editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p.144-151.
Moet, J.F., Pahan, D., Schuring, R.P., Oskam, L., and Richardus, J.H. 2006.
Physical Distance, Genetic Relationship, Age and Leprosy Classification
are IndependentRisk Factor for Leprosy in Contact of Patients with
Leprosy. JID;193: 346-53.
Nath, I., and Chaduvula, M. 2010. Immunological Aspect. In: Kumar Kar, H.,
Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 60-73.
Navero, J.L., Benitez-Sillero, J.D., Gil-Campos, M., Castillo, M., Taset, I., and
Tunez, J. 2009. Changes in Oxidative Stress Biomarkers induce by Puberty.
An Pediatr; 70(5): 424-8.
Nielsen, F., Mikkelsen, B.B., Bo Nielsen, J., Andersen, H.R., and Grandjean, P.
1997. Plasma Malondialdehyde as Biomarker for Oxidative Stress:
111
Reference Interval and Effects of Life-Style Factors. Clin Chem; 43(7):
1209-14.
Noto, S., and Schreuder, P.A.M. 2010. Diagnosis of Leprosy. Leprosy Mailling
List: 1-25.
Nunez, V.M., Ruiz-Ramos, M., Sanchez-Rodriguez, M.A., Retana-Ugalde, R.,
and Munos-Sanchez, J.L. 2007. Aging-Related Oxidative Stress in Healthy
Humans. Tohoku J Exp Med; 213(3): 261-8.
Osadolor, H.B., and Ihongbe, J.C. 2008. Effect of Leprosy on Non-Enzymatic
Antioxidants (Vitamin C, Vitamin E, and Uric Acid) in (Edo State)
Nigerian Leprosy Patients. Cont J. Biomed Sc; 2: 1-5.
Ozan, G., Yilmaz, S., Erisir, M., Erden, I., and Temizer, S. Oxidative Stress,
Reduced Glutathione Levels and Catalase Activities in Leprosy Patients.
IJPBCS: 152
Pai, W., Ganapati, R., and Rao, R. 2010. Development and Evolution of WHO
MDT and Newer Treatment Regimens. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,
editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 353-367.
Palit, A., and Inamadar, A.C. Childhood Leprosy in India Over The Past Two
Decades. Lepr Rev; 85: 93-99.
Palmiere B. and Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?.
European Review for Medical and Pharmacological Sciences; 10: 291-317
Patil, S. B., Kodliwadmath, M. V., and Sheela, M. K. 2006. Lipid peroxidation
and Nonenzymatic Antioxidants in Normal Pregnancy. J Obstet Gynecol
India, 56 (5): p. 399-401.
Penna, O.G., Pinheiro, A.M., Nogueira, L.S., de Carvalho, L.R., de Oliviera,
M.B.B., Carreiro, V.P. 2008. Clinical and Epidemiological Study of
Leprosy Cases in the University of Brasilia: 20 years-1985 to 2005. Revist
Soc Brasil Med Trop; 41(6): 575-80.
Polycarpou, A., Walker, S.L., and Lockwood D.N. 2013. New Findings in the
Pathogenesis of Leprosy and Implications for the Management of Leprosy.
Trop and Trav Ascc Dis; 26(5): 413-420.
Poricha, D., and Natrajan, M. 2010. Pathological Aspects. In: Kumar Kar, H.,
Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 100-120.
112
Prabhakar, M.C., Santhikrupa, D., Manasa, N., and Rao, U. 2012. Status of Free
Radicals and Antioxidants in Leprosy Patients. Indian J Lepr; 85: 5-9.
Prasad, B.C.V., Kodliwadmath, M.V., and Kodliwadmath, G.B. 2007. Erythrocyte
Superoxide Dismutase, Catalase Activities and Hydrogen Peroxide Induced
Lipis Peroxidation in Leprosy. Lepr Rev; 78: 391-397.
Rahal, A., Kumar, A., Singh, V., Yadav, B., Tiwart, R., Chakraborty, S., and
Dhama, K. 2014. Oxidative Stress, Prooxidants, and Antioxidants: The
Interplay. Biomed Res Int: 1-20.
Rao, L., M.C., Shanti Krupa, D., and Manasa, N. 2012. Leprosy: Disease
Prevailing from Past to Present. IJRPC; 2(3):770-779.
Renault, C.A., and Ernst, J.D. 2015. Mycobacterium leprae (Leprosy). In: Bennet,
J.E., Dolin, R., Blaser, M.J., editors. Mendell, Douglas, and Bennetts
Principles and Practice of Infectious Diseases. 8th
ed. New York:
Elsevier.p. 2819-30.
Sandle, T. 2013. Global Strategies for Elimination of Leprosy: A Review of
Current Progress. J Anc Dis Prev Rem; 1(4):1-2.
Saonere, J.A. 2011. Leprosy: An Overview. J Infect Dis Immun; 3(4): 233-43.
Schalcher, T.S., Borges, R.S., Coleman, M.D., Junior, J.B., Salgado, C.G., Viera,
J.L.F., Romao, P.R.T., Oliveira, F.R., and Monteiro, M.C. 2014. Clinical
Oxidative Stress during Leprosy Multidrug Therapy: Impact of Dapsone
Oxidation. PLOS; 9(1): 1-9.
Schalcher, T.S., Vieira, J.L.F., Salgado, C.G., Borges, R.S., and Monteiro, M.C.
2013. Antioxidant Factors, Nitric Oxide Levels, and Cellular Damage in
Leprosy Patients. Rev Soc Bras Med Trop; 46(5): 645-649.
Sekar, B. Bacteriological Aspects. 2010. In: Kumar Kar, H., Kumar, B., editors.
IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers. p. 74-86.
Sitohang, V., Budijanto, D., Hardhana, B., and Soenardi, T.A. 2014. Pengendalian
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. In: Sitohang, V., Budijanto, D.,
Hardhana, B., Soenardi, T.A., editors. Profil Kesehatan Indonesia 2013.
Jakarta: Kemenkes RI. p. 128-80.
Spooner, R., and Yilmaz, O. 2010. The Role of Reactive-Oxygen-Species in
Microbial Persistance and Inflammation. Int J Mol Sci; 12: 334-52.
113
Swathi, M., Tagore, R. 2015. Study of Oxidative Stress in Different Forms of
Leprosy. Indian J Dermatol; 60 (3): 321.
Thabane, L. 2004. Sample size determination in clinical trials. [Denpasar 2015
Sep.6]. Available from: URL: https://
fammedmcmaster.ca/research/files/sample-size-calculations.
Thorat, D.M., and Sharma, P. 2010. Epidemiolog. In: Kumar Kar, H., Kumar, B.,
editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. p. 24-31.
Tosepu, R., Effendy, D.V., Imran, L.O.A., and Asfian P. 2015. Epidemiology
Study of Leprosy Patients in The District of Bombana Southeast Sulawesi
Province Indonesia. Int J Res Med Sci; 3(5): 1262-5.
Trimbake, S.B., Sontakke, A.N., and Dhat, V.V. 2013. Oxidative Stress and
Antioxidant Vitamins in Leprosy. Int J Res Med Sci; 1(3): 226-229.
Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M.T.D., Mazur, M., and Telser, J.
2006. Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and
human disease. Int J Biochem & Cell Bio; 39: 44–84. Varkevisser, C.M.,
Lever, P., Alubo, O., Burathoki, K., Idawani, C., and Moreira, T.M.A.
2009. Gender and Leprosy: Case Studies in Indonesia, Nigeria, Nepal and
Brazil. Lepr Rev; 80: 65-76.
Vazques, C.M.P., Netto, R.S.M., Barbosa, K.B.F., de Moura, T.R., de Almeida,
R.P., Duthie, M.S., and de Jesus, A.R. 2014. Micronutrient Influencing the
Immune Response in Leprosy. Nutr Hosp; 29(1): 26-36.
Venkatesan, K., and Deo, N. 2010.Biochemical Aspect. In: Kumar Kar, H.,
Kumar, B., editors. IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers. p. 87-96.
Vijayaraghavan, R., and Paneerselvam, C. 2011. Erythrocyte Antioxidant
Enzymes in Multibacillary Leprosy Patients. IJABPT; 2(2): 1-4.
Widodo, A.A., and Menaldi, S.L. 2012. Characteristics of Leprosy Patients in
Jakarta. J Indon Med Assoc; 62(11): 423-27.
Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke 2 , Kanisnus
Yogyakarta. p. 50-5
World Health Organization (WHO). 2014. Global Leprosy Update, 2013. Weekly
Epidemiological Record;89 (36). 389-400.
114
Yawalkar, S.J. 2009. Reactions in Leprosy. In: Yawalkar, S.J., editors. Leprosy
for Medical Practitioner and Paramedical Workers. 8th
ed. Switzerland:
Novartis. p. 78-85.
Yawalkar, S.J. 2009. Treatment. In: Yawalkar, S.J., editors. Leprosy for Medical
Practitioner and Paramedical Workers. 8th
ed. Switzerland: Novartis. p.
65-77.
Yudianto, Budijanto, S.D., Hardhana, B., and Soenardi, T.A. 2015. Pengendalian
Penyakit. In: Yudianto, Budijanto, S.D., Hardhana, B., Soenardi, T.A,
editors. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta: Kemenkes RI. p. 134-65.
Lampiran 1
Ethical Clearance
115
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian
116
Lampiran 3 : PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN
117
Judul : Kadar Malondialdehyde Plasma Berkorelasi Positif dengan Indeks
Bakteri pada Penderita Kusta
Peneliti Utama : dr. Ni Made Dina Pranidya Ari
Peneliti Lain : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV
Dr. dr. Made Wardhana, SpKK, FINSDV
Latar Belakang Penelitian :
Penyakit kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium leprae yang dapat menyerang saraf, kulit atau
jaringan lain. Hingga saat ini penyakit kusta masih menimbulkan permasalahan
kesehatan yang kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat. Perjalanan
penyakit kusta yang berlangsung lama dan menyerupai penyakit kulit lain
seringkali menimbulkan keterlambatan diagnosis sehingga banyak penderita baru
mendapat pengobatan ketika sudah dalam keadaan cacat.
Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi
kapasitas antioksidan dalam tubuh untuk menetralkannya. Malondialdehyde
(MDA) merupakan salah satu penanda kerusakan sel akibat stres oksidatif.
Berdasarkan penelitian pada penyakit kusta sebelumnya, ditemukan adanya stres
oksidatif yang ditandai dengan peningkatan kadar MDA pada penyakit kusta.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara kadar MDA
dengan nilai indeks bakteri pada penyakit kusta sebagai salah satu pertimbangan
apakah pengobatan dengan antioksidan diperlukan pada penyakit kusta atau tidak.
Penelitian ini akan melibatkan 48 orang peserta sukarelawan yang
didiagnosis kusta. Setiap pasien akan dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan
118
kulit pada lokasi kedua cuping telinga dan kelainan kulit yang aktif serta akan
diambil sampel darah vena sebanyak 3 cc oleh dokter atau tenaga medis yang
terlatih. Pengambilan dilakukan di rumah sakit pada saat Bapak/Ibu/Saudara
diperiksa oleh dokter yang merawat. Risiko yang mungkin terjadi selama
pemeriksaan hapusan sayatan kulit dan pengambilan sampel darah adalah rasa
nyeri ringan, luka suntikan dan memar pada lokasi pengambilan darah, atau tidak
sadar karena faktor psikologis. Untuk kemungkinan tersebut, telah disiapkan
penanganan medis oleh tim dokter dan paramedis. Peserta penelitian tidak
dibebani biaya apapun dalam penelitian ini.
Kami sangat berterima kasih apabila Bapak/ Ibu/ Saudara berkenan
berpartisipasi dalam penelitian ini. Bapak/Ibu/Saudara tidak dipaksa untuk ikut
berpartisipasi serta dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja tanpa
syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami
peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiaannya.
Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas
Bapak/Ibu/Saudara.
Bila masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara dapat
menghubungi dr. Ni Made Dina Pranidya Ari di bagian Ilmu Kesehatan Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, Jalan Pulau Bali, Denpasar. Hp.
082145014887.Bersama ini kami sertakan formulir persetujuan mengikuti
penelitian.
Lampiran 4
PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
119
Setelah mendapatkan penjelasan, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan*
Alamat :
Selaku orang tua/ keluarga dari*:
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan*
Alamat :
Telefon :
Dengan ini menyatakan SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan
mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Saya tidak keberatan bila kemudian bahan-bahan tersebut beserta
hasilnya menjadi bagian dari Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Penyakit Kulit
dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, guna kepentingan ilmu pengetahuan.
Denpasar, 2016
Yang membuat pernyataan Saksi Peneliti
( ) ( ) (dr. Ni Made Dina P. Ari)
*coret yang tidak perlu.
Lampiran 5
KUISIONER PENELITIAN
120
I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : ..............................................................................
2. Nomor RM : .............................................................................
3. Jenis Kelamin : ..............................................................................
4. Umur : ..............................................................................
5. Suku Bangsa : ..............................................................................
6. Alamat : ..............................................................................
7. Nomor Telepon : ..............................................................................
8. Pendidikan : ..............................................................................
9. Pekerjaan : ...............................................................................
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
1. Muncul bercak ( ) putih, ( ) merah, ( ) hitam) atau ( ) nodul
Pertama kali sejak : ......./....../.......
Jumlah: ( ) 1 buah lesi, ( ) 1-5 buah lesi, ( ) >5 buah lesi
2. Lokasi timbulnya bercak_______________________________________
3. Apakah terdapat keluhan lain
a. mati rasa: ada/tidak ada
b. rasa baal: ada/tidak ada
c. kesemutan : ada/tidak ada
4. Riwayat pengobatan
a. Multi Drug Therapy (MDT): sudah/ belum
b. Bila sudah sejak kapan:...../....../......., paket MB ( ), PB ( )
yang ke:____________
5. Apakah sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya?
(Ya/tidak) Apabila pernah apakah sudah pernah diobati? (Ya/tidak)
Jelaskan____________________________________________________
6. Reaksi tipe 1
121
a. Saat ini terdapat keluhan bercak kulit semakin merah dan menebal:
ada/tidak ada
b. apabila ada, apakah disertai nyeri: ada/tidak ada
c. demam: ada/tidak ada
d. nyeri sendi: ada/tidak ada
7. Reaksi kusta tipe 2 (ENL):
a. Saat ini terdapat keluhan benjolan (nodul) merah : ada /tidak ada
b. apabila ada apakah disertai nyeri: ada/tidak ada
c. demam: ada/tidak ada
d. nyeri sendi: ada/tidak ada
8. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Gagal ginjal kronis? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah
mengalami gejala kenaikan tekanan darah disertai anemia, lemas,
mual-muntah, bengkak pada tungkai atau mata? (ada/tidak ada)
b. Penyakit jantung koroner? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah
mengalami rasa tidak nyaman atau sesak di dada yang menyebar ke
leher, dagu dan tangan? (ada/tidak ada)
c. Artritis reumatoid? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah
mengalami peradangan pada sendi disertai nyeri dan kaku terutama
pada pagi hari? (ada/tidak ada)
d. Lupus eritematosus sistemik? (ada/tidak ada) Jika tidak, apakah pernah
mengalami bercak merah pada pipi seperti bentuk kupu-kupu?
(ada/tidak ada), apabila terkena sinar matahari apakah bercak merah
pada pipi bertambah merah dan perih? (ada/tidak ada), luka di mulut,
nyeri sendi, kejang? (ada/tidak ada)
e. Kencing manis? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah pernah mengalami
kondisi sering kencing, sering haus, selalu merasa lapar tetapi berat
badan menurun? (ada/tidak ada)
f. Riwayat asma atau atopik? Jika tidak apakah pernah mengalami
kondisi berikut: Sejak kecil pernah sesak disertai mengi? (ada/tidak
ada) Bersin pagi hari? (ada/tidak ada) Mudah alergi terhadap debu atau
122
dingin? (ada/tidak ada) Riwayat gatal pada lipat siku dan lutut yang
simetris?
g. Riwayat penyakit keganasan/kanker? (ya/tidak) Jika ada,
jelaskan__________________________________________________
h. Penyakit hati? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah pernah mengalami
sakit kuning disertai perut membesar, pembesaran hati ? (ada/tidak
ada)
i. Riwayat terinfeksi HIV/AIDS? (ada/tidak ada) Jika tidak apakah
terdapat keluhan diare yang tidak sembuh? Demam terus menerus?
Penurunan berat badan >10%? Batuk lama? (ada/tidak ada)
j. Psoriasis (ada/tidak ada) Bercak merah menebal pada lutut, siku atau
punggung yang hilang timbul? (ada/tidak ada)
9. Apakah terdapat riwayat kontak dengan pasien yang memiliki keluhan
yang sama? (Ada/tidak ada) Apabila ada, jelaskan asal kontak
a. Kontak serumah
b. Kontak tetangga
c. Kontak teman sekerja
10. Apabila pasien perempuan : apakah saat ini sedang hamil? Ya/tidak
11. Apakah memiliki riwayat merokok? Ya/tidak, Jika ya,
jelaskan____________________ (jumlah:______/hari)
12. Apakah terdapat riwayat konsumsi alkohol? Ya/tidak, Jika ya, berapa
jumlah konsumsi per hari____________ berapa lama______________
13. Apakah dalam 4 minggu terakhir terdapat riwayat konsumsi obat:
a. Suplemen antioksidan : __________________________(jenis, dosis)
b. Obat anti-inflamasi non steroid:_____________________(jenis, dosis)
c. Kortikosteroid___________________________________(jenis,dosis)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : ( ) baik, ( ) sedang, ( ) lemah
Status present
Kesadaran (GCS) :
123
Tekanan darah : / mmHg
Nadi : x/menit,
Respirasi : x/menit
Temp. aksila : oC
Status generalis
Mata :
THT :
Thorax :
Abdomen : pembesaran hepar dan lien: ada/tidak ada
Ekstremitas : edema: ada/tidak ada
Berat badan : ......kg, tinggi badan :.......cm, IMT :.......
IV. PEMERIKSAAN DERMATOLOGIS
Lokasi :
Effloresensi :
Pemeriksaan sensibilitas :
Rasa raba :
Rasa nyeri :
Suhu :
Pemeriksaan rambut :
Pemeriksaan kuku :
Pemeriksaan fungsi kelenjar keringat :
Pemeriksaan saraf :
Penebalan saraf : ada/tidak
Lokasi :
124
Gangguan fungsi motorik : ada/tidak
Lokasi :
Derajat :
Deformitas : ada/tidak
Jelaskan___________________________________________
V.PEMERIKSAAN BASIL TAHAN ASAM (BTA)
BTA pada cuping telinga: ( ) negatif, ( ) positif, pada lesi: ( ) negatif, ( ) positif.
indeks bakteri (IB):........., indeks morfologi (IM): .........
VI. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI:
VII. DIAGNOSIS MH TIPE:
VII. PEMERIKSAAN PLASMA
Tanggal pengambilan : / / 2016
No plasma :.........
Hasil Kadar MDA plasma :.........
Lampiran 6
125
Data Sampel Penelitian
No Inisial
Jenis
Kelamin Umur Riw. Kontak
Riw.
Terapi
Tipe
Kusta
(WHO)
Tipe
Kusta IB
Kadar
MDA
(nM/mL)
1. WM perempuan 52
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.36
2. HR laki-laki 35
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BB +2 4.25
3. WL perempuan 54
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BB +2 4.27
4. SJ laki-laki 40
kontak teman
kerja/lain-lain
belum
diterapi tipe PB BT +0 3.62
5. YN perempuan 35
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.15
6. KK laki-laki 71
kontak
serumah
belum
diterapi tipe MB BL +4 5.99
7. KA laki-laki 33
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.33
8. AT laki-laki 25
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe PB BT +1 3.82
9. KS laki-laki 65
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.83
10. NM perempuan 60
kontak
tetangga
belum
diterapi tipe PB BT +0 3.14
11. LA perempuan 42
kontak
serumah
belum
diterapi tipe PB BT +1 3.46
12. NK perempuan 58
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe PB BT +0 3.01
13. GM laki-laki 59
kontak teman
kerja/lain-lain
sudah
diterapi tipe MB BL +2 4.26
14. KS perempuan 28
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe PB TT +0 2.99
15. KK perempuan 50
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe MB BL +2 4.08
16. HB laki-laki 26
kontak
serumah
belum
diterapi tipe MB BB +1 3.51
17. WP perempuan 46
kontak
serumah
belum
diterapi tipe MB LL +3 5.68
18. GP laki-laki 29
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.71
19. NR perempuan 60
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +1 3.62
20. WT perempuan 24
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe MB BL +4 5.97
21. NS laki-laki 37
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe MB BL +3 5.22
NR laki-laki 58 tidak ada sudah tipe MB LL +1 3.46
126
22. kontak diterapi
23. FQ laki-laki 33
kontak
tetangga
belum
diterapi tipe MB BL +4 6.28
24. WT perempuan 58
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.93
25. PY perempuan 37
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BB +0 2.64
26. IR perempuan 41
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe MB LL +3 5.03
27. KA laki-laki 29
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe PB BT +0 3.25
28. MD laki-laki 54
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BB +2 4.82
29. SM laki-laki 29
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe PB BT +0 3.14
30. MS perempuan 55
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe PB BT +0 3.02
31. SF perempuan 45
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.84
32. MT laki-laki 24
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe PB BT +1 3.52
33. WR laki-laki 71
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe MB BL +2 3.07
34. MM laki-laki 37
kontak
tetangga
belum
diterapi tipe MB BL +4 6.06
35. MS laki-laki 26
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BL +4 5.97
36. DN perempuan 22
kontak
serumah
belum
diterapi tipe MB BL +4 5.82
37. SW laki-laki 23
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +1 3.52
38. JS perempuan 39
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe MB BB +1 3.48
39. NS laki-laki 28
kontak teman
kerja/lain-lain
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.92
40. LU laki-laki 27
kontak teman
kerja/lain-lain
sudah
diterapi tipe PB BT +0 3.11
41. ST laki-laki 30
kontak
tetangga
sudah
diterapi tipe MB BB +3 5.62
42. KK laki-laki 34
tidak ada
kontak
belum
diterapi tipe MB BB +1 3.44
43. NA laki-laki 22
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe PB BT +1 3.59
44. YF perempuan 35
kontak
serumah
belum
diterapi tipe MB LL +2 4.21
45. NS laki-laki 50
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BB +1 3.26
46.
FA perempuan 9
kontak
serumah
sudah
diterapi tipe MB BB +1 3.33
127
47. LA perempuan 41
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB BL +3 5.54
48. KP laki-laki 64
tidak ada
kontak
sudah
diterapi tipe MB LL +4 6.07
Lampiran 7
Karakteristik Subjek Penelitian
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 6-15 tahun 1 2.1 2.1 2.1
16-25 tahun 6 12.5 12.5 14.6
26-35 tahun 15 31.3 31.3 45.8
36-45 tahun 9 18.8 18.8 64.6
46-55 tahun 7 14.6 14.6 79.2
56-65 tahun 8 16.7 16.7 95.8
66-75 tahun 2 4.2 4.2 100.0
Total 48 100.0 100.0
Statistics
Kadar MDA Umur
N Valid 48 48
Missing 0 0
Mean 4.4419 40.63
Median 4.2300 37.00
Mode 3.14a 29
a
Std. Deviation 1.17198 14.911
Jenis Kelamin
128
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 27 56.3 56.3 56.3
perempuan 21 43.8 43.8 100.0
Total 48 100.0 100.0
Tipe Kusta WHO
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tipe PB 12 25.0 25.0 25.0
tipe MB 36 75.0 75.0 100.0
Total 48 100.0 100.0
Tipe Kusta Ridley Jopling
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid TT 1 2.1 2.1 2.1
BT 11 22.9 22.9 25.0
BB 10 20.8 20.8 45.8
BL 21 43.8 43.8 89.6
LL 5 10.4 10.4 100.0
Total 48 100.0 100.0
Indeks Bakteri
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 0 9 18.8 18.8 18.8
1 12 25.0 25.0 43.8
2 7 14.6 14.6 58.3
3 13 27.1 27.1 85.4
4 7 14.6 14.6 100.0
Total 48 100.0 100.0
Terapi MDT
129
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid belum diterapi 16 33.3 33.3 33.3
sudah diterapi 32 66.7 66.7 100.0
Total 48 100.0 100.0
Riwayat Kontak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak ada kontak 20 41.7 41.7 41.7
kontak serumah 15 31.3 31.3 72.9
kontak tetangga 9 18.8 18.8 91.7
kontak teman
kerja/lain-lain
4 8.3 8.3 100.0
Total 48 100.0 100.0
Lampiran 8
Uji Normalitas Data
Uji Normalitas Kadar MDA
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kadar MDA .196 48 .000 .877 48 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Normalitas Indeks Bakteri
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
indeks bakteri .197 48 .000 .889 48 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Normalitas Kelompok Umur
130
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
umur .202 48 .000 .930 48 .007
a. Lilliefors Significance Correction
Lampiran 9
Uji Mann-Whitney Kadar MDA antara Kelompok Kusta tipe PB
dengan Kusta tipe MB
Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Tipe Kusta
Tipe Kusta Statistic Std. Error
Kadar MDA tipe PB Mean 3.3058 .08160
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 3.1262
Upper Bound 3.4854
5% Trimmed Mean 3.2948
Median 3.1950
Variance .080
Std. Deviation .28266
Minimum 2.99
Maximum 3.82
Range .83
Interquartile Range .53
Skewness .511 .637
Kurtosis -1.168 1.232
tipe MB Mean 4.8206 .18480
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 4.4454
Upper Bound 5.1957
5% Trimmed Mean 4.8552
Median 5.1850
Variance 1.229
Std. Deviation 1.10877
Minimum 2.64
Maximum 6.28
Range 3.64
Interquartile Range 2.29
131
Skewness -.394 .393
Kurtosis -1.377 .768
Uji Mann-Whitney Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Tipe Kusta
Kadar MDA
Mann-Whitney U 53.500
Wilcoxon W 131.500
Z -3.870
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: Tipe Kusta
Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Riwayat Terapi
terapi MDT Statistic
Std.
Error
Kadar MDA belum diterapi Mean 4.5606 .30895
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 3.9021
Upper Bound 5.2191
5% Trimmed Mean 4.5513
Median 4.1450
Variance 1.527
Std. Deviation 1.23579
Minimum 3.01
Maximum 6.28
Range 3.27
Interquartile Range 2.47
Skewness .207 .564
Kurtosis -1.892 1.091
sudah diterapi Mean 4.3825 .20407
95% Confidence Interval
for Mean
Lower Bound 3.9663
Upper Bound 4.7987
5% Trimmed Mean 4.3803
Median 4.2550
132
Variance 1.333
Std. Deviation 1.15438
Minimum 2.64
Maximum 6.07
Range 3.43
Interquartile Range 2.32
Skewness .149 .414
Kurtosis -1.644 .809
Uji Mann-Whitney Perbedaan Kadar MDA Berdasarkan Riwayat Terapi
Kadar MDA
Mann-Whitney U 226.000
Wilcoxon W 754.000
Z -.656
Asymp. Sig. (2-tailed) .512
a. Grouping Variable: terapi MDT
Lampiran 10
Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar MDA dengan
Indeks Bakteri pada Kusta
kadar_mda indeks bakteri
Spearman's rho kadar_mda Correlation Coefficient 1.000 .935**
Sig. (2-tailed) . .000
N 48 48
indeks bakteri Correlation Coefficient .935**
1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 48 48
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 11
133
Analisis Regresi Linier Kadar MDA dengan
Indeks Bakteri pada Subjek Kusta
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .950a .903 .901 .36884
a. Predictors: (Constant), indeks bakteri
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2.872 .093 30.999 .000
indeks bakteri .810 .039 .950 20.701 .000
Lampiran 12
134
Foto Prosedur Penelitian
Lampiran 13
Pengambilan darah Tabung EDTA 10%
Sentrifuse
Spektrofotometer dan kuvet
TBARS Assay Kit
135
Foto Subjek Penelitian
Data Sampel Penelitian no 8, Kusta Tipe TT
136
Data Sampel Penelitian no 27, Kusta Tipe LL
top related