keluhuran akhlak rasulullah saw. skripsi...
Post on 29-May-2019
241 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KELUHURAN AKHLAK RASULULLAH SAW.
-
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Roshfi Roshifah
11140340000199
PROGRAM STUDI ILMU AL-Q ’ N D N
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
ABSTRAK
ROSHFI ROSHIFAH, Keluhuran Akhlak Rasulullah Perspektif Tafsir Sufi
Sahl al-Tustarī.
Skripsi ini membahas tentang penafsiran ayat-ayat tentang keluhuran
akhlak Rasulullah menurut interpretasi seorang sufi yaitu Sahl Tustarī dalam
kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm atau lebih dikenal dengan Tafsīr al-Tustarī.
Dimulai dari interpretasi manifestasi akhlak, karakteristik akhlak, hingga jaminan
seseorang yang mengimplementasikan akhlak.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (Library
Research). Sumber data dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat al-Qur’an
yang ditulis oleh Sahl Tustarī yang berjudul Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzim (Tafsīr
Tustarī) dan sumber data sebagai komparasi dari penafsiran Sahl yaitu Tafsīr al-
Tabarī Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ai al-Qur’an. Sedangkan untuk pengolahan
data penulis menggunakan deskriptif-analitis.
Penelitian ini menyimpulkan, bahwa keluhuran akhlak Nabi Muhammad
memiliki koherensi di dalam al-Qur’an, maksudnya telah dilegitimasi dan
memiliki keterkaitan sehingga tidak melewati batas yang telah ditetapkan di
dalam al-Qur’an, diantaranya karakteristik keluhuran akhlak Nabi Muhammad
adalah bersikap lemah lembut, memaafkan kesalahan, bermusyawarah, dan
tawakkal kepada Allah. Sedangkan akhlak yang wajib bagi seorang muslim untuk
diaktualkan diantaranya: berakhlak adil, berakhlak ihsan, tolong-menolong
kepada kerabat ketika diberikan rezeki lebih, menjauhi perkara keji, larangan
berbuat mungkar (maksiat), larangan berbuat dengki dengan pihak lain.
Kata kunci: Akhlak, Sufi, Sahl al-Tustari.
iii
KATA PENGANTAR
الحمد هلل الذي خلق كل شيئ قادر على كل شيئ
Segala puji milik Allah SWT yang selalu memberikan kepada kita semua
rahmat, semoga kita selalu istiqamah menjadi seorang hamba yang selalu patuh
kepada-Nya. Sholawat untuk Nabi Muhammad SAW, sebagai ayah yang tidak
lelah dalam berjuang, seorang pemimpin yang diberi gelar al-Āmin, untuk
memperjuangkan agama Allah, semoga kita diberikan Syafa’at (pertolongan)
dikemudian nanti.
Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata
Satu (S1) di Universitar Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat
karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Berbagai hambatan selama menyusun
skripsi, karena masih kurang pengetahuan untuk menyelesaikannya,
Alhamdulillah dengan izin Allah dengan niat dan tekad yang sungguh, dapat
menyelesaikan tugas akhir ini.
Kendati demikian, ini semua tidak terlepas dari dukungan dan banyak
pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir.
4. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd Sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir.
5. M. Anwar Syarifuddin, MA. sebagai Dosen Pembimbing skripsi yang selalu
meluangkan waktu dan pikirannya selama menjadi pembimbing, terimakasih
banyak semoga menjadi amal jariyah.
6. Dr. H. Masykur Hakim, MA, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
7. Kepada seluruh Dosen-dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Prof. Dr. H. Said
Agil Husin Al Munawar M.A., Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih M.A,
iv
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar M.A, dan semuanya yang pernah mengajar
saya dari semester I-VII, Jazākumullah Wanafa‘anā bi ‘Ulūmihim.
8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Heri Sunarya dan
Cici Hardiani, yang selalu mendoakan, memberi nasehat, dukungan, dan
memperhatikan kesehatan. Semoga Allah senantiasa melindungi dan
mengampuni kesalahan.
9. Feni Arifiani saudara sekaligus orangtua kedua yang selalu memberi
dukungan dari awal kuliah perkuliahan hingga sekarang.
10. Seluruh Sahabat-sahabat Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, teman
seperjuangan, teman untuk berdiskusi. Semoga Allah memberikan keberkahan
dalam pertemuan kita.
11. Sahabat seperjuangan, Aal, Idzni, Fau dan Inun. Teman yang selalu
mendengarkan keluh kesah setiap harinya. Semoga tali silaturrahmi kita tidak
pernah terputus dan semoga Allah memberikan keberkahan dalam pertemuan
kita.
12. Dayu Aqraminas yang selalu meluangkan waktunya dan memberi dukungan
dari awal hingga akhirnya skripsi ini selesai.
13. Teman KKN 059, sebulan kita mengabdi semoga menjadi amal kebaikan kita
dan menjadi keberkahan untuk mereka.
14. Kepada teman-teman yang selalu memberikan arahan dan dukungan,
terimakasih semua semoga Allah membalas dengan kebaikan pula. Āmīn Ya
Rabba al-‘Alamīn.
Sekali lagi, terimakasih dukungan dan bantuannya semoga menjadi amal
kebaikan untuk kita semua.
Ciputat, 28 November 2018
Roshfi Roshifah
11140340000199
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987, Tanggal
22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba‟ b be ب
ta‟ t te ت
sa‟ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha‟ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha‟ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra‟ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ta‟ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
za‟ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ koma terbalik di atas„ ع
gain g ge غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha‟ h ha ه
hamzah ‟ apostrof ء
ya y ye ي
vi
B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ditulis muta‘aqqidin متعقدين
ditulis ‘iddah عدة
C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis hibbah هبة
ditulis jizyah جزية
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah
terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya,
kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis dengan h.
ditulis karāmah al-auliyā كرامة األولياء
2. Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan ḍammah,
ditulis t
ditulis zakātul fitri زكاة الفطر
D. Vokal Pendek
kasrah ditulis i
__ fathah ditulis a
ḍammah ditulis u __ۥ___
E. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
ditulis jāhiliyah جا هلية
fathah + ya‟ mati ditulis ā
ditulis yas` ā يسعى
kasrah + ya‟ mati ditulis ī
ditulis karīm كرمي
ḍammah + wawu mati ditulis ū
vii
F. Vokal Rangkap
fathah + ya‟ mati ditulis ai
ditulis bainakum بينكم
fathah + wawu mati ditulis au
ditulis qaulun قول
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan
Apostrof
ditulis a’antum أأنتم
ditulis u‘iddat أعد ت
ditulis la’in syakartum لئن شكرمت
H. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān القرأن
ditulis al-qiyās القياس
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-nya
’ditulis as-samā السماء
ditulis asy-syams الشمس
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya
ditulis żawī al-furūd ذوي الفوض
ditulis ahl as-sunnah أهل السنة
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 6
E. Metode Penelitian................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II SAHL IBN ‘ABDULLAH AL-TUSTARĪ SEBAGAI MUFASSIR
SUFI
A. Biografi Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustarī .............................................. 14
B. ar a- ar a Sahl al-Tustarī ................................................................ 23
C. rofil Tafsir Sahl al-Tustarī Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm) ................. 24
D. Ajaran-ajaran Tasawwuf Sahl al-Tustarī ........................................... 26
1) Maqamat dan Ahwal ..................................................................... 26
2) ons psi isti r Muhammad ................................................ 34
3) Prinsip Penafsiran Sufi Sahl al-Tustarī ......................................... 38
a. Pandangan Sahl al-Tustarī t ntang uz l al-Qur’an ons p
Qalbu Muhammad) ................................................................ 38
b. Pembagian Isi Kandungan al-Qur’an .................................... 39
c. Empat Tingkat Makna dalam Menafsirkan Al-Qur’an ......... 39
BAB III DISKURSUS TENTANG AKHLAK DALAM AL-QUR’AN ........ 42
A. Definisi Akhlak dan Pendapat Ulama ................................................ 42
B. Pembagian Akhlak ............................................................................. 48
ix
C. Keluhuran Akhlak Rasulullah dalam al-Qur’an ................................. 51
D. Pembinaan Akhlak Mulia Misi Utama Kerasulan Muhammad SAW 58
BAB IV INTERPRETASI SAHL AL-TUSTARI TENTANG KEAGUNGAN
AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM AL-QUR’AN .................... 64
A. Nabi Muhammad Berakhlak dengan al-Qur’an ................................. 64
B. Manifestasi Adab al-Qur’an ............................................................... 67
C. Karakteristik Akhlak Rasulullah SAW. .............................................. 72
D. Beberapa Maqamat dari Contoh Akhlak Nabi SAW. ......................... 76
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 86
A. Kesimpulan ......................................................................................... 86
B. Saran ................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembinaan akhlak memiliki peran penting bagi umat muslim dalam
mendapatkan kehidupan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur dan norma yang
ada. Ilmu Akhlak menjadi ilmu wajib untuk dipahami sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat, terutama di era modern ini.1 Islam menjadikan akhlak
sebagai ruh ajarannya, karena agama tanpa adanya akhlak bagaikan jasad yang
tidak bernyawa. Pembinaan akhlak yang mulia juga menjadi salah satu misi
utama yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk membina kembali akhlak
manusia yang telah runtuh sejak ditinggalkan oleh para nabi terdahulu, mulai dari
aspek penyembahan yang telah menyeleweng hingga memiliki moralitas yang
menopang untuk tidak keluar dari norma-norma agama.
Sebagai contoh teladan, akhlak Nabi Muhammad merupakan budi pekerti
yang dibentuk oleh pemahaman dan penghayatan beliau terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an yang diturunkan kepadanya, dan bukan sekedar karakter alamiah yang
yang bersumber dari keagungan jiwa dan prilaku baik yang tumbuh murni dari
kedalaman hati dan sanubarinya. Setiap ayat-ayat al-Qur‟an mengandung nilai-
nilai pembinaan akhlak yang luhur. Sesuatu apapun yang baik menurut al-Qur‟an
dan as-Sunnah, maka itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam
1 Nurul Hidayati Rofiah “Desain Pengembangan Pembelajaran Akidah Akhlak Di
Perguruan Tinggi” dalam Jurnal Fenomena, Vol 8, No 1 (2016), h. 57.
2
kehidupan sehari-hari. Begitupun sebaliknya, sesuatu apapun yang buruk
menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka umat Islam yang berpegang kepada al-
Qur‟an sudah sepantasnya menjauhinya. Maka akhlak disebut juga sebagai
“agama” (Islam) dan pondasi hukum-hukum Allah. Hal tersebut sebagaimana
dikatakan oleh al-Fairuzzabadi, “Ketauhilah, agama pada dasarnya adalah akhlak.
Barang siapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanya pun mulia. Agama
diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu: kesabaran, memelihara
diri, keberanian, dan keadilan”.2
Nabi Muhammad merupakan contoh terbaik sebagai pembangun akhlak
dan perilaku manusia termasuk di era modern ini. Sebagaimana di dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:3
م مكارم الخلق )رواه احمد( انما بعثت لتم
“Sesungguhnya aku diutus (Muhammad) untuk menyempurnakan akhlak.”
(H.R. Ahmad).4
Hadis tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya Akhlak dalam
kehidupan manusia di dunia ini. Runtuhnya akhlak pada zaman jahiliyyah,
disebabkan perangai atau tabiat umat yang terdahulu, seperti tradisi meminum
arak, membunuh, membuang anak, melakukan kedzaliman sesuka hati,
menindas, mendzalimi kaum yang lebih rendah, dan lain lain. Hal tersebut juga
2 Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 11.
3 Nur Khasanah, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Buku: Kick Andy Kumpulan
Kisah Inspiratif 2” (Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan S1 IAIN Surakarta, 2013), h.
14. 4 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4801.
3
masih dapat dilihat fenomenanya pada zaman sekarang, mengingat nilai moral
manusia yang semakin menurun seiring berkembangnya kemajuan zaman.
Berbagai macam tindakan kriminal mulai menyebar di masyarakat. Mulai dari
penganiayaan, pencurian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, tawuran
antar pelajaran atau penduduk, hingga tumbuh suburnya praktik KKN, dan masih
banyak lagi, menjadi bukti lemahnya iman dan rendahnya nilai-nilai moral
manusia.5
Berbicara mengenai akhlak tentunya tidak terlepas dari pembahasan
tentang tasawuf. Karena pada dasarnya kajian tasawuf merupakan suatu gerakan
yang memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.6 Oleh karena itu,
untuk memperbaiki dan mencapai akhlak yang baik diperlukan proses-proses
yang dilakukan oleh para pengamal tasawuf atau ahli sufi. Hal tersebut dapat
menjadi solusi bagi permasalahan seputar kerusakan moral di era modern ini.
Di dalam al-Qur'an sendiri, banyak sekali membahas tentang Akhlak. Di
antaranya bisa ditemukan dalam beberapa surah, yaitu: Q.S. Al-Qalam [68]: 4,
Q.S. An-Nahl [16]: 90, dan Q.S. Ali Imran [3]: 159. Dari ayat ini memberikan
informasi, bahwa Manusia bahkan Nabi-pun dituntut memiliki akhlak yang mulia
dan pada ayat-ayat ini juga bisa digali kembali informasi yang bisa menambah
wawasan dengan cara melihat interpretasi dari kalangan sufi yang juga
mempunyai otoritas dalam bidang penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an.
5 Johan Istiadie & Fauti Subhan “Pendidikan Moral Perspektif Nasih Ulwan”, Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol 1, No 1 (2013), h. 50. 6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
56.
4
Pembahasan skripsi ini akan mengambil data utamanya dari Tafsir Sahl
al-Tustar , yang memiliki keserasian di dalam keilmuan mufassirnya di bidang
tasawuf, yang kemudian juga memiliki otoritas dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an, tidak hanya yang berkenan dengan Tauhid sebagai sendi agama, tetapi
juga menggali signifikansi khlak yang mulia. Sahl al-Tustar juga merupakan
salah satu sufi yang paling alim, zuhud, wara‟ serta ahli ibadah di zamannya.
Selain menjadi seorang sufi ia juga merupakan seorang mufasir al-Qur‟an.7 Al-
Tustar hidup pada abad ke-3 Islam, yaitu masa klasik Islam yang banyak
melahirkan ulama-ulama besar dalam beragam bidang keilmuan Islam.8 Banyak
karya-karya yang dihasilkan, salah satunya adalah karyanya yang paling terkenal
yaitu kitab Tafsi r al-Qur‟an al-Adzi m yang merupakan kitab primer yang
digunakan penulis sebagai penafsiran ayat-ayat akhlak di atas.
Tafsi r al-Qur‟an al-Adzi m atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-
Tustar ini merupakan kitab tafsir pertama dengan corak penafsiran sufi.9 Tafsir
ini memiliki ciri penafsiran yang khas dengan dalil-dalil penafsiran sufi yang
lurus. Karena pengarangnya sendiri merupakan seorang yang terkemuka dalam
kepribadian sufi yang berdasarkan syari‟at dan mengikuti jejak Rasulullah
SAW.10
7 M. nwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 8 Baihaki, “Penafsiran yat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin
` bdullah al Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), h. 24. 9 M. nwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, dalam Jurnal
Studi al-Quran (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 10
Baihaki, “Penafsiran yat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin
` bdullah al Tustari” (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam S1 UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), h. 25.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalahan mengenai akhlak tentunya sangat luas terutama jika
dikaitkan dengan latar belakang di atas, sehingga tidak mungkin semuanya dapat
terselesaikan dan terjangkau. Oleh karena itu menghindari kemungkinan
terjadinya kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda, maka perlu adanya
pembatasan masalah, sehingga persoalan yang diteliti menjadi jelas. Dengan hal
ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah yang diteliti sebagai
berikut:
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah Tafsir al-Tustar (Tafsīr al-
Qur‟an al-„Adzīm).
2. Objek Penelitian
Dari sekian banyak penulisan ilmiah tentang Tafsir al-Tustar (Tafsīr al-
Qur‟an al-„Adzīm), penulis membatasi dengan membahas tentang
interpretasi Sahl Tustar mengenai ayat-ayat Akhlak Rasulullah dan
Manifestasi adab di dalam al-Qur‟an.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana keluhuran
Akhlak Rasulullah SAW. digambarkan dalam Tafsir Sufi Sahl al-Tustar ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang
mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :
6
1. Memahami gambaran tentang makna ayat-ayat al-Qur‟an yang
memiliki signifikansi tentang ajaran Akhlak yang mulia dalam kitab
Tafsir Sahl al-Tustari>.
2. Dengan memahami keluhuran akhlak Rasulullah yang digambarkan di
dalam al-Qur‟an, maka diharapkan melalui skripsi ini didapatkan
solusi bagi problem degradasi moral di era modern ini.
Sedangkan kegunaannya, yaitu sebagai berikut :
1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya dalam bidang tafsir, ilmu tasawuf, dan kajian akhlak secara
umum.
2. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat
dijadikan sebagai kontribusi penulis bagi pengembangan literatur di
bidang kajian tafsir sufi sehingga mendorong tumbuhnya penelitian-
penelitian untuk mengkaji masalah tersebut lebih lanjut.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum mengadakan penelitian, maka meninjau kepustakaan perlu
dilakukan agar menjadi jelas sejauh mana pembahasan pustaka tersebut. Selain
itu agar penelitian ini terhindar dari plagiasi.
Telaah pustaka yang akan dibahas yaitu literatur-literatur yang membahas
seputar akhlak dan Sahl al-Tustari. Adapun beberapa literatur yang membahas
Sahl al-Tustari, diantaranya:
7
Literatur berupa skripsi dengan judul “Penafsiran Ayat-ayat N r dalam
Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl bin `Abdullah al Tustari>” yang ditulis
oleh Baihaki. Penelitian tersebut membahas penafsiran Sahl al-Tustari> terhadap
ayat-ayat Nu>r dan menjelaskan pola Sahl al-Tustari> dalam menafsirkannya.
Dari beberapa macam ayat n r yang dipaparkan oleh Sahl, hanya ditemukan
delapan makna n r di dalam kitab tafsirnya, dan terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, tafsir terkait ayat-ayat yang secara langsung memuat redaksi al-n r di
dalamnya. Kedua, tafsir tentang n r dalam ayat-ayat yang tidak memuat redaksi
al-n r. Dengan dua ragam penafsiran yang diberikan Sahl, yaitu esoteris dan
eksoteris. Adapun delapan makna n r tersebut diantaranya: cahaya keimanan,
cahaya al-Qur‟an/agama Islam, cahaya hati orang-orang beriman, cahaya
keimanan yang menyelamatkan dari api neraka, cahaya kenabian Nabi
Muhammad, karunia orang beriman di surga, relasi antara n r dan n r, dan n r
Muhammad. Dari kedelapan makna n r tersebut, terdapat salah satu yang
mendapat perhatian lebih, yaitu makna n r yang terdapat dalam QS. l-N r
35, yang diartikan dengan n r Muhammad.
Adapun skripsi yang ditulis oleh Muh. Ainul Fiqih, dengan judul “Makna
Ikhlas Dalam Tafsir al-Tustari Karya Sahl Ibn „Abdullah al-Tustari>”.
Penelitian tersebut membahas makna serta kriteria mengenai tema Ikhlas dengan
penafsiran Sahl al-Tustari>. Pandangan al-Tustar tantang makna ikhl ṣ dalam
kitab Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm adalah keadaan hati yang hanya memfokuskan
pandangan kepada Allah SWT. dan menyadari bahwa ketidak adaan kemampuan
diri dalam keadaan apapun. Sahl membagi orang yang ikhl ṣ dalam tiga kriteria,
8
pertama, muḥsin yaitu orang yang memurnikan aganyanya hanya kepada Allah
yang berupa agama Islam dan menjalankan syariat-syariat yang telah
ditetapkannya dengan baik; kedua, muṣliḥ yaitu orang yang selalu membaguskan
hati atau jiwanya hanya kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang
selain-Nya; ketiga, munīb yaitu orang yang memurnikan hatinya hanya kepada
Allah dengan cara menunggalkan Allah dan selalu ingat kepada-Nya dalam setiap
tingkah lakunya.
Adapun literatur berupa jurnal dengan judul “Otoritas Penafsiran Sufistik
Sahl al-Tustari>” yang ditulis oleh M. Anwar Syarifuddin dalam Jurnal Studi al-
Qur‟an. Penelitian tersebut membahas kehidupan Sahl al-Tustari> meliputi
biografi, pendidikan perjalanan hidup, serta karya-karyanya. Selain itu penelitian
tersebut juga membahas metode serta isi penasfsiran Sahl al-Tustari>. Otoritas
Sahl dalam bidang tasawuf, di mana kisah perjalanan hidupnya mengutamakan
gaya hidup zuhud dan latihan spiritual yang keras sebagai ciri khas aliran sufi
Basrah merupakan gambaran yang sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa ia
adalah seorang sufi sejati. Sahl berupaya memadukan kekuatan argumentasi
tradisional yang didapatkan selama pendidikan di Tustar dengan kekuatan logika
rasional dan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku di Basrah.
Adapun literatur yang membahas seputar Akhlak, diantaranya:
Literatur berupa jurnal dengan judul “Pendidikan Moral Perspektif Nasih
Ulwan” yang ditulis oleh Johan Istiadie dan Fauti Subhan. Penelitian tersebut
membahas pendidikan moral menurut pendapat Nasih Ulwan dan relevansinya
9
dalam menjawab problematika manusia di era modern. Nasih Ulwan berpendapat
bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian prinsip dasar moral dan
keutamaan sikap serta watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh
anak sejak masa pemula hingga ia siap mengarungi lautan kehidupan. Persoalan
di era modern dapat diidentifikasi persoalan fisik dan psikis. Persoalan yang
bersifat fisik mengarah pada pengkondisian manusia sebagai objek dari segala
produk iptek yang dihasilkan di era modern. Sementara persoalan yang bersifat
psikis mengarah pada pendangkalan nilai moral-spiritual akibat dari dominasi
produk keilmuan dan teknologi modern yang bersifat sekuler.
Adapun jurnal yang ditulis oleh Yasir Abdul Rahman, dengan judul
“Berakhlak dengan Allah: Allah Sebagai Layanan Prima”. Penelitian tersebut
membahas bagaimana kita berakhlak dengan Akhlak Allah. Di antara sifat
Akhlak Allah, manusia dapat meniru sifat-sifat tersebut, dan adapun beberapa
sifat Allah yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Di dalam penelitian tersebut
juga membahas berbisnis di era modern dan relevansinya dengan Allah yang
maha sempurna dalam melayani hajat manusia.
Adapun skripsi yang ditulis oleh Ulfatun Nikmah dengan judul “Konsep
Pendidikan Akhlak Menurut Syaikh Musthafa Al-Ghalayaini dalam „Idhotu An-
Nasyiin”. Penelitian tersebut membahas mengenai pendidikan serta Akhlak pada
zaman sekarang dan membahas pendidikan menurut Syaikh al-Ghalayaini
sebagai solusi. Pendidikan menurut al-Ghalayaini merupakan usaha menanamkan
akhlak terpuji dalam jiwa anak-anak. Konsep yang dibangun dari pendidikan
Syaikh Musthafa al-Ghalayaini dalam kitab „Idhotun Nasyīn, dapat dilihat dari
10
beberapa kriteria sifat-sifat yang harus dimiliki oleh anak didik yaitu, pertama,
sebagai anak didik harus berani maju ke depan; Kedua, anak didik harus
mempunyai sifat dermawan; Ketiga, anak didik harus mempunyai rasa kesabaran;
Keempat, keikhlasan; Kelima, mempunyai kemuliaan jiwa.
Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti nantinya. Dari sekian banyaknya penelitian mengenai akhlak peneliti
membatasi penelitian ini dengan membahas “Keluhuran akhlak Rasulullah
SAW.” sementara penelitian sebelumnya belum ada yang membahas mengenai
tema tersebut, terutama di dalam tafsir sufi Sahl al-Tustari. Adapun penelitian
yang membahas mengenai akhlak, penelitian tersebut hanya fokus terhadap salah
satu keluhuran akhlak Rasulullah SAW., yaitu Ikhl ṣ.
E. Metode Penelitian
Penulis menguraikan dengan metode yang dipakai adalah penelitian yang
tercakup di dalamnya jenis penelitian, sumber data, dan metode pengolahan data
serta analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustaan (Library Research),
yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah dan
memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan
materi pembahasan. Kajian dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri
dan menelaah terutama Tafsir al-Tustarī Karya Sahl Ibn „ bdullah al-
Tustari>, serta buku-buku serta literatur-literatur yang terkait.
11
2. Sumber Data
Penelitian ini termasuk kepada penelitian kepustakaan, maka data-data
akan diperoleh dari sumber-sumber literer, yaitu data yang diperoleh dari
sumber-sumber data tertulis seperti kitab Tafsir al-Tustarī dan juga literatur-
literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder.
Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan dengan
pokok pembahasan. sumber data tersebut adalah kitab Tafsir al-Tustarī karya
Sahl al-Tustar . dapun sumber data sekunder adalah data yang materinya
tidak langsung mengenai masalah yang diungkapkan. Sumber data sekunder
yang digunakan oleh penulis diantaranya, kitab Tafsir Jami‟ al-Bay n fi
Ta‟wil al-Qur‟an karya Ibn Jar r al-Thabar dan kitab al-Tafsīr wa al-
Mufassir n karya al-Dzahabi, serta kitab-kitab atau literatur-literatur lain
berupa tulisan dalam bentuk jurnal ataupun artikel yang berkaitan dengan
kajian yang penulis teliti dan daat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3. Metode Pengumpulan
Pengumpulan data dalam sebuah penelitian adalah cara yang digunakan
untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian melalui prosedur
yang sistematik dan standar. Sedangkan data dalam penelitian adalah semua
bahan keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena yang
ada kaitannya dengan riset penelitian.11
11
Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 3.
12
Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh
dengan menggunakan metode dokumenter yang diterapkan untuk menggali
berbagai naskah-naskah yang terkait dengan objek penelitian ini.
4. Analisis Data
Agar mendapatkan bahasan yang akurat, maka untuk mendapatkan data
yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis data yang bersufat
deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa
panjang lebar, yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada pengumpulan
data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.12
Pada bagian ini penulis
akan menganalisa interpretasi akhlak dalam kitab al-Tustari.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan pedoman penulisan skripsi
berdasarkan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 Tahun
2017. Dengan terjemah ayat al-Qur‟an berdasarkan mushaf yang ditaṣḥīḥ
oleh Departemen Agama RI. Transliterasi yang digunakan mengikuti
Pedoman Transliterasi Arab-Latin Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri P dan K No. 158 Tahun 1987 Nomor: 0543b/u/1987 dengan
pengecualian pada kosakata yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia,
nama orang juga penyebutan nama surah dalam al-Qur‟an.
F. Sistematika Penulisan
Sebagaimana layaknya sebuah penelitian ilmiah, maka penelitian ini
penulis susun dengan sistematika sebagai berikut:
12
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik (Bandung:
Tarsito, 1994), h. 45.
13
Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang tinjauan umum biografi Singkat Sahl al-Tustari,
serta memaparkan karya-karya dan filologi tafsir al-Qur‟an al- dz m, murid-
murid yang pernah berguru dengan Sahl Tustari, dan Prinsip penafsiran Sahl
Tustar yang terdiri dari konsep Nuz l al-Qur‟an, Isi kandungan al-Qur‟an, dan
makna-makna di dalam al-Qur‟an.
Bab III membahas tentang diskursus umum tentang Akhlak, diantaranya
membahas definisi Akhlak dan pendapat ulama, pembagian Akhlak, keluhuran
akhlak Rasulullah dalam al-Qur‟an, dan pembinaan Akhlak Mulia kerasulan
Muhammad saw.
Bab IV yaitu menjadi bab inti penulisan yang membahas interpretasi Sahl
al-Tustari terhadap ayat-ayat keluhuran Akhlak Rasulullah, meliputi: Muhammad
beradab al-Qur‟an, manifestasi adab dalam al-Qur‟an, karakteristik akhlak
Muhammad dan beberapa maqamat dari contoh akhlak Rasulullah.
Bab V menjadi akhir pembahasan yaitu penutup meliputi kesimpulan dan
saran.
14
BAB II
SAHL IBN ‘ABDULLAH AL-TUSTARĪ SEBAGAI MUFASSIR SUFI
A. Biografi Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustarī
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī merupakan seorang „alim sufi, dan ahli di
bidang ilmu teologi (kalām), juga di bidang ilmu ikhlas, ilmu akhlak, serta ilmu
riyāḍah (melatih jiwa). Ia memiliki nama lengkap Abū Muhammad Sahl b.
„Abdullah b. Yūnus b. „Isa b. „Abdullah b. Rafī‟ al-Tustarī.1 Ia juga biasa
dipanggil dengan nama sandarannya al-Tustarī.2
Al-Tustarī lahir pada tahun 200 H/815 M di Tustar3 yang terletak di salah
satu daerah di Ahwaz (Ahvaz),4 Khuzistan,
5 sebelah barat Iran. Pada tahun 261
H/874 M, ia terpaksa harus hijrah ke Bashrah6 hingga ia meninggal di sana pada
tahun 283 H/896 M.7
1 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad sil „U ūn
al-Sūd (D r al-Kutub al-„Ilmi ah, airūt-Liban n, 2007), h. 3. 2 Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The Qur‟anic
Hermeneutics of The Sufi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979), dalam M. Anwar
S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an (JSQ),
Vol. II, No. 1 (2007), h. 7. 3 Tustar adalah salah satu kota benteng kuno di Persia. Kota tersebut terletak di wilayah
Khuzistan, sekitar 92 km jaraknya dari ibukota (Ahvaz). Kota ini dihuni oleh 89.255 penduduk
pada tahun 2005. Dalam https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Shushtar diakses pada 16 November
2018, pukul 15.55 WIB. 4 Ahwaz (Ahvaz) merupakan ibukota provinsi Khuzistan. Kota ini terletak di sebelah
selatan Iran dengan jumlah penduduk sebanyak 1.425.891 pada tahun 2008. Dalam
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahvaz diakses pada 16 November 2018, pukul 15.49 WIB. 5 Khuzistan (Persia) merupakan satu dari 30 provinsi di Iran dan terletak di bagian barat
negara tersebut. Provinsi ini dihuni oleh 4.345.607 jiwa pada tahun 2005, dengan luas wilayah
64.055 km². Dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Khūzest n diakses pada 16
November 2018, pukul 15.28 WIB. 6 Bashrah merupakan kota terbesar kedua di Irak. Terletak di sebelah selatan pertemuan
Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Kota ini dibangun pada zaman Umar bin Khattab, tahun 14 H.
Bangunan dan tata letak kota ini di desain oleh Utbah bin Ghazwan al-Mazini. Kota ini terletak
sekitar 545 km ke arah selatan dari Baghdad dan dekat dengan pesisir pantai Teluk Arab. Dalam
“Ensiklopedia Islam- ashrah” dalam https://yufidia.com/bashrah/ diakses pada 16 November
2018, pukul 16.15 WIB. 7 Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048.
15
Belum ada kepastian mengenai tahun lahir al-Tustarī. Ada beberapa
pendapat mengenai tahun kelahirannya, dan beberapa sumber mengatakan
bahwa al-Tustarī lahir pada tahun 200 H/815 M atau pada tahun 203 H/818 M.
Beberapa sarjana Barat seperti Louis Massignon dan Fuat Sezgin berpendapat
kelahiran al-Tustarī pada tahun 203 H/818 M.8 Sementara A.J. Arberry dan Ibn
Khallikan berpendapat bahwa tahun lahir al-Tustarī pada 200 H/815 M.
Sama dengan tahun lahir al-Tustarī, belum ada kepastian mengenai tahun
wafatnya. Ada beberapa pendapat mengenai tahun wafatnya al-Tustarī. Ada
yang mengatakan ia wafat pada tahun 282 H.9 Bahkan ada pula yang
berpendapat dengan selisih yang lumayan jauh dari kebanyakan pendapat yaitu
293 H. Ibn al-„Im d al-Hanbalī10
mengatakan bahwa Abū Muhammad Sahl b.
„Abdullah al-Tustarī meninggal pada tahun 283 H, yaitu ketika ia berumur 80
tahun. Dan pendapat tersebut adalah yang paling tepat.
Al-Tustarī mendapatkan pengajaran pertama mengenai tasawuf dari
pamann a ang sekaligus menjadi gurun a bernama Muhammad b. Saww r.11
Al-Tustarī bercerita dalam kisahn a, “Di saat berusia tiga tahun, aku bangun
malam menunggu shalat pamanku, Muhammad b. Saww r. Paman selalu
beribadah sepanjang malam. Kadang-kadang ia berkata kepadaku, „Hai Sahl
kamu pergi saja dan tidurlah. Hatiku terganggu karenamu‟!”. Ketika usianya
dirasa sudah tepat, suatu hari barulah pamannya bermaksud mengenalkan ajaran
8 M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 136. 9 Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048.
10 Ibn al-„Im d al-Hanbali memiliki nama lengkap Abu al-Falah Abd al-Hayy ibn Ahmad
ibn Muhammad. Ia wafat pada tahun 1089 H., pada usia 58 tahun. Di antara karya-karyanya adalah
Syadzara>tu al-Dzahab. Dalam Dr. Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, Terj. Dedi
Slamet Riyadi, (Jakarta: Zaman, 2007), h. 224. 11
Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3.
16
tasawuf kepada al-Tustarī dengan bertan a, “Apakah kamu dapat mengingat
Tuhan ang menciptakanmu?”, al-Tustarī menjawab, “ agaimana caran a agar
aku mengingat-N a?”, pamann a pun menjawab, “Ucapkanlah tiga kali dalam
hatimu tanpa menggerakkan lidahmu saat menjelang tidur malam, Allah
bersamaku, Allah melihatku, Allah mengawasiku.”, ia pun menuruti perintah
pamannya.12
Pada awalnya ia melakukannya sebanyak tiga kali selama tiga
malam, kemudian bertambah menjadi tujuh kali pada setiap malam, dan
bertambah lagi menjadi sebelas kali setiap malam, hingga akhirnya ia merasakan
di dalam hati manisnya pengalaman dalam berdzikir.13
Pengajaran yang diberikan pamannya tersebut dapat mempermudah al-
Tustarī dalam membiasakan dirin a untuk berdzikir. Mulai dari ang terendah
hingga melekat di dalam hatinya. Perintah untuk berdzikir mulai dari bilangan
terendah yaitu tiga kali, kemudian tujuh kali, hingga sebelas dalam semalam
secara bertahap hal tersebut dapat mempermudah proses transformasi dari suatu
pembiasaan yang ringan hingga pembiasaan yang lebih utama.14
Selama beberapa tahun proses dzikir tersebut berjalan hingga rasa manis
dan nyaman yang masuk ke dalam hatinya semakin terasa hingga tingkat yang
paling dalam. Kemudian pamann a Muhammad Saww r, berkata “Hai Sahl,
barang siapa yang merasa Allah selalu bersamanya, selalu melihatnya, dan selalu
memperhatikannya, apakah dia akan sanggup untuk berbuat maksiat kepada-
12
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 137. 13
Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3. 14
Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3.
17
Nya? Maka jauhilah maksiat”.15
Setelah mendengar pernyataan pamannya
tersebut ia pergi berkhalwat (menyepi). Akan tetapi, orangtuanya
menghendakinya untuk pergi ke madrasah. Mengetahui hal itu, al-Tustarī
berbicara kepada orangtuanya bahwa ia takut dengan bersekolah konsentrasi
yang ia miliki akan kacau. Sehingga orangtuanya membuat perjanjian dengan
gurunya untuk belajar di madrasah selama satu jam saja, dan selebihnya ia akan
melanjutkan kegiatannya semula (menyepi).16
Dengan syarat tersebut, al-Tustarī
mulai belajar dan menghafal al-Qur‟an di madrasah pada usia enam atau tujuh
tahun. Dan sejak saat itu pula al-Tustarī terus menerus berpuasa (saum ad-dahr)
dan hanya dengan sepotong roti yang ia makan saat itu, hingga umurnya dua
belas tahun.17
Sejak saat itu, kecenderungan al-Tustarī terhadap jalan hidup sufi ang ia
pilih semakin kuat. Hal tersebut ditandai dengan persoalan-persoalan rumit yang
muncul di kepala hingga mengganggu pikirannya,18
saat umurnya tiga belas
tahun. Tak seorang pun mampu menjawab persoalan tersebut, sehingga ia
meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke Bashrah untuk
memecahkan masalah yang menimpanya. Setelah orang tuanya mengizinkan, ia
pun pergi ke Bashrah menemui orang-orang pintar berharap menemukan
jawaban atas persoalan yang ada di kepalanya. Akan tetapi, tidak ada satupun
15
Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 3. 16
Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1048-
1049. 17
Al-Qusyairi, Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub
al- Haditsah, 1385 H), h. 499. 18
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 138.
18
yang mampu memecahkan masalahnya.19
Ibn „Arabi menjelaskan bahwa
persoalan ang dihadapi Sahl adalah ken ataan tentang “sujudn a hati” (sujūd
al-qalb).
Selanjutnya ia pergi ke pulau Abadan20
dan bertemu dengan ulama
bernama Abū Hamzah b. „Abdullah al-„Abbad nῑ, kemudian al-Tustarī bertan a
kepadanya mengenai beberapa masalah dan ia mendapatkan jawaban yang
memuaskan dari Hamzah.21
Munawi dalam kitabnya Kawākib al-Durriya
berdasarkan sebuah riwayat yang diambil dari Ibn „Arabi menjelaskan
bagaimana dialog yang terjadi dalam pertemuan al-Tustarī dengan Hamzah al-
`Abbad nī pada tahun 216 H/ 831 M22
. Munawi mengatakan bahwa ketika al-
Tustarī sampai di Pulau `Abbad n ia bertan a kepada Hamzah, “Wahai S ekh!
Apakah hati selalu bersujud?” Hamzah menjawab, “Ya, selaman a!”. Atas dasar
jawaban sederhana inilah al-Tustarī kemudian merasakan bahwa dirin a telah
menemukan jawaban yang ia inginkan selama ini. Ia kemudian memutuskan
untuk tinggal bersama Hamzah di gubuk (ribat) pertapaannya. Gubuk tersebut
merupakan gubuk yang cukup terkenal sebagai persinggahan beberapa tokoh
terkenal sepanjang sejarah, diantaranya23
Muq til b. Sulaim n (w. 150 H/767
19
Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1049. 20
Abadan adalah sebuah wilayah di atas laut Persia, berdekatan dengan Bashrah dari arah
Timur sedikit ke Selatan. Telah berkata al-Shahghani, “Abadan adalah pulau ang dikelilingi oleh
dua cabang sungai Tigris di laut Persia”. Dalam Imam al-Ghazali, Rahasia Haji: Imam al-Ghazali,
Terj. Mujiburrahman, (Jakarta: Turos Pustaka, 2017), h. 33. 21
Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 4. 22
Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam: The
Qur‟a>nic Hermeneutics of The Su>fi Sahl At-Tustari (New York: De Gruyter, 1979), dalam M.
Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an
(JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 47. 23
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 138-139.
19
M)24, Hamm d b. Sal mah (w. 167 H/784 M)
25, Wakī‟ b. al-Jarr h (w. 197
H/812 M)26
, Sula m n al-Dar nī (w. 215 H/830 M)27, ishrī al-H fī (w. 227
H/841 M)28, Sarī al-Saqatī (w. 251 H/865 M)
29, dan „Abd al-Rahīm al-Istakhrī
(w. ±300 H/912 M).
Setelah beberapa lama tinggal di Bashrah, lalu ia pun kembali ke Tustar
dan uang yang ia miliki hampir habis dan hanya tersisa satu dirham. Uang
tersebut ia belikan gandum biji yang kemudian ia giling sendiri menjadi tepung.
24
Muqâtil b. Sulaim n merupakan mufassir yang memiliki banyak kontroversi pada
masanya. Ia hidup pada masa berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah dan pada masa awal
pemerintahan ani Abasi ah. Ia memiliki kar a tafsir ang dikenal dengan nama “Tafsir
Muqatil”. Kitab tafsir tersebut banyak diperdebatkan oleh para ulama, sehingga belum beredar luas
di pasaran. Ia termasuk ke dalam kelompok S i‟ah Zaidi ah (S i‟ah ang dianggap lebih dekat
dengan sunni), yang merupakan minoritas pada saat itu, sehingga penafsirannya tentang keesaan
dianggap menyimpang oleh mayoritas penganut muktazilah saat itu. Dalam “Kajian Kritis Atas
Tafsir Muqatil Kar a Muqatil bin Sulaiman” https://iatbajigur.wordpress.com/2017/03/26/kajian-
kritis-atas-tafsir-muqatil-karya-muqatil-bin-sulaiman-w-105-h-767-m/ diakses pada 25 Oktober
2018 pukul 00.41 WIB. 25
Hamm d b. Sal mah b. Dinar merupakan seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab) dan
juga ahli dalam bidang fiqih. Ia juga merupakan ahli hadis yang dinilai kuat dan terpercaya dalam
hujjahnya. Banyak para ulama yang memujinya, sehingga ia mendapat gelar “Al-Imam Al-
Qudwah” dan “Syaikh al-Islam”. Tetapi, di usia tuanya ia mengalami kecacatan dalam
hafalannya. Dalam Mahmud bin Abdul Malik al-Zughbi, Wafat Saat Sholat: 73 Kisah Kematian
yang Indah, Terj. Yusni Amru & Fuad Nawawi, (Jakarta: Noura Books, 2014) h. 13-15. 26
Wakī‟ b. al-Jarr h adalah seorang ahli dan penghafal hadis. Ia juga dikenal sebagai ahli
ibadah, wira‟i, ban ak shalat, ibadah malam, dan tahajud. Ahmad bin Hanbal, berkata, “... di
samping menghafal babnyak hadis, beliau juga mempelajari fiqih sekaligus memperbaikinya.
Ditambah lagi, ia adalah seorang yang wira‟i dan sungguh-sungguh menekuni ibadahnya, serta
memiliki jiwa ang khus uk”. Dalam Ahmad Musthafa ath-Thahthawi, Shalat Orang-Oramg
Shaleh, Terj. SABDA, (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), h. 141. 27
Sula m n al-Dar nī memiliki nama lengkap Abu Sulaiman Abdurrahman bin Athiyah
Al-Darani. Ia merupakan salah seorang pembesar sufi Islam dan menjalani kehidupan zuhud,
wara‟, men ibukkan diri dengan perkara-perkara agama, dan menjauhkan diri dari dunia. Dalam
Abu Abdirrahman Al-Sulami, Tasawuf: Buat Yang Pengen Tahu, Terj. Faisal Saleh, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2007), h. 89. 28
ishrī al-H fī memiliki nama lengkap ishrī ibn al-Harits ibn Abd ar-Rahman ibn
„Atha‟ ibn Hilal ibn Mahan ibn Abdullah. Ia merupakan ulama ang paling terkenal dari golongan
salaf.kerakwaan, keilmuan, kezuhudan dan sikap wara‟ yang ada pada dirinya telah mencapai
tingkatan paling atas. Ia juga memiliki tiga saudara yang memiliki sifat yang sama dengan dirinya.
Dalam Al-Qusyairi, Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub al-
Haditsah, 1385 H), h. 404. 29
Sarī al-Saqatī memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Sari bin Mughallis as-Saqati>. Ia
merupakan paman dari tokoh sufi terkemuka al-Junayd dan murid dari Ma‟ru>f karkhi>. Dalam
kitabnya, al-Qusyairi mengatakan bahwa ia memiliki sifat wara‟ dan pemahaman yang baik
tentang sunnah dan tauhid. Begitupun as-Sulami mengatakan bahwa ia sufi yang pertama kali
mengajarkan kebenaran mistik (tauhid) di Baghdad. Dalam M. Anwar S arifudin, “Early Sufi: Sari
al-Saqati” https://ulumulquran2010.wordpress.com/2012/05/06/early-sufi-sari-al-saqati/ diakses
pada 29 Oktober 2018, pukul 16.27 WIB.
20
Kemudian dari tepung itu ia buat roti. Setiap malam menjelang fajar, ia
melakukan sahur dengan meminum air putih, terkadang ia juga memakan
sepotong roti yang beratnya kira-kira satu ons dan ia memakannya tanpa lauk,
bahkan tanpa bumbu ataupun garam. Maka dengan cara tersebut uang yang ia
miliki cukup untuk kebutuhan hidupnya selama satu tahun.30
Setelah itu al-Tustarī bertekad untuk melaksanakan puasa selama tiga hari
tiga malam, kemudian lima hari lima malam, kemudian tujuh hari tujuh malam,
hingga duapuluh lima hari duapuluh lima malam. Ia melakukan puasa tersebut
selama duapuluh tahun.31
Setelah itu, ia melakukan beberapa perjalanan ke
berbagai daerah selama beberapa tahun, termasuk perjalanannya menunaikan
ibadah haji ke Mekkah pada tahun 219 H/834 M. Di dalam kitabnya al-Luma‟ fi
al-Tashawwuf, Sarr j mengomentari mengenai ibadah haji yang dilakukan oleh
al-Tustarī han a dilakukan sekali dalam seumur hidupn a, sehingga Sarr j
menyebutnya dengan sebutan haji Islam (hajj al-Islam). Hal tersebut menandai
perbedaannya dengan para sufi lain yang lazimnya melakukan ibadah haji
berkali-kali selama hidupnya.32
Selain Abu Hamzah dan Muhammad bin Saww r pamannya, Dzu> an-
Nu>n al-Misri juga mempun ai pengaruh penting bagi al-Tustarī, terutama
dalam mengajari tentang tawakkal kepada Allah. Pengaruh yang diberikan oleh
Dzu> an-Nu>n al-Misri yang cukup dominan terlihat pada tumbuhnya sikap
30
Heri MS Faridy dkk. (ed.), Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1049. 31
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-
Rauf Sa`d & Sa`d H{asan Muh}ammad `Ali (Kairo: Dar al-H{aram Lit-Turas}, 2014), h. 67.
Dalam Ya an Mul ana, “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”, dalam jurnal Syifa al-
Qulub, Vol. I, No. 2 (2017), h. 4. 32
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 139.
21
hormat al-Tustarī terhadap beliau sebagai teman sejawatn a, ang bagi sebagian
kalangan disebut juga sebagai guru bagi al-Tustarī, sebagaimana sikap ang
ditunjukkan al-Tustarī yang enggan menerima murid hingga Dzu> an-Nu>n al-
Misri meninggal dunia pada tahun 246 H/861 M.33
Pemikiran Sahl al-Tustari dapat digolongkan sebagai aliran pemikiran
sunni yang moderat. Al-Tustari memadukan aspek naqli dengan rasio, atau
antara riwayat dan pemahaman ijtihadi, dalam sebuah harmoni pemikiran yang
padu. Hal tersebut bisa dilihat dalam metode penuangan gagasan-gagasan
mistiknya, seperti dalam penafsiran simboliknya yang masih menyertakan
makna harfiah sebagai landasan pokok bagi proses analogi yang diambil. Upaya
al-Tustarī untuk terus mencari harmoni antara tradisi yang diwarisi melalui
proses ta‟lim yang didapat dari guru pertamanya, yakni pamannya Muhammad
bin Sawwa>r, dipadukan dengan kerangka berpikir rasional yang didapatkan
dari pengaruh Dzū al-Nun al-Misri, serta iklim akademik Basra yang rasional.34
Sebagai ahli sufi al-Tustari mempunyai banyak murid dari tokoh-tokoh
ternama tasawwuf. Murid-murid Sahl terbagi menjadi dua kategori. Pertama,
murid-murid yang mengabdi dan tinggal bersama Sahl dalam jangka waktu
tertentu, diantaranya:35
1. Al-Husayn Ibn Mansur al-Halla>j yang merupakan sufi yang paling
terkenal. Ia tinggal bersama Sahl selama dua tahun dari tahun 260 H/873
33
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustari>”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 140. 34
M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam
Ontologi Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h.
1. 35
M. Anwar S arifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl at-Tustarī”, dalam Jurnal
Studi al-Qur‟an (JSQ), Vol. II, No. 1 (2007), h. 144-145.
22
M hingga tahun 262 H/875 M, dan pada saat itu ia berumur 16 tahun.
Dikatakan oleh Massignon, bahwa terdapat beberapa bukti mengenai
pengaruh spiritual Sahl terhadap al-Halla>j, diantaranya, kesamaan
mengenai disiplin puasa, kesamaan jumlah rakaat (400) shalat dalam
sehari semalam, dan kesamaan ajaran tentang yaqi>n yang dinisbatkan
kepada keduanya.
2. Muhammad Ibn Sa>lim al-Basri> juga merupakan sufi terkenal. Ia juga
merupakan murid Sahl yang paling dipercaya, karena telah mengabdi
selama 60 tahun dan tidak pernah berguru kepada selain Sahl. Ia dengan
anaknya Abu> al-Hasan Ahmad bin Sa>lim merupakan pendiri aliran
Sa>limiyyah, sebuah tarikat sufi yang dominan di Basrah setelah wafatnya
Sahl. Aliran sufi Sa>limiyyah tersebut mengadopsi metode pendidikan
yang diterapkan oleh Sahl sebagai pangkal genealogi tarikat.
3. Abu> Muhammad Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Husayn al-Jurayri.
Selain menjadi murid Sahl, ia juga menjadi murid al-Junayd yang
merupakan pendiri kelompok sufi Baghdad. Sulami menyebutkan bahwa
al-Jurayri menggantikan al-Junayd sebagai imam majelis, karena
keshahihannya dan kesempurnaan tasawwufnya.
4. Abu> al-Hasan „Ali> Ibn Muhammad al-Muzayyin juga merupakan murid
dari al-Junayd. Ia diakui sebagai anggota lingkaran sufi Baghdad, dan ia
digelari sebagai guru yang paling wara‟ dan seorang mistik terbaik.
Kedua, murid-murid yang dikutip di dalam karya al-Tustari dan yang
dikutip di dalam sumber-sumber lain yang memiliki kaitan dengan riwayat
mengenai al-Tustari yang disebutkan bersama mereka, diantaranya: Abu> „Abd
23
al-Rahman bin Ahmad al-Marwazi>, Ahmad bin Mata>, Abu al-Hasan „Umar
bin Wa>shil al-Anba>ri>, dan Abu> Yu>su>f Ahmad bin Muhammad bin Qays
al-Sijzi>, Isha>q bin Ahmad dan al-Muqhi>, Abu Bakr Muhammad bin al-
Husayn al-Jawra>bi>, Abu> Muhammad bin Yah a> bin Abi> adr, „Abbas bin
Ahmad, Abu> Muhammad bin Suhayb, Abu> Bakr Muhammad bin al-Mundzir
al-Ha>jimi>, Abu> al-Hasan al-Nuhha>s, Abu> al-Fadhl al-S i>ra>zi>, Ja‟far
bin Ahmad, Abu> akr Ahmad bin Muhammad bin Yu>suf, „Ali bin Ahmad bin
Nu>h al-Ahwazi, Abu Bakr al-Ju>ni>, „Ali Ja‟far bin Ya‟qu>b al-Tsaqafi>,
Ibra>hi>m al-Barji>, Abu> Bakr al-Da nu>ri>, Abu> as r „Isa> bin Ibrahim
bin Distaku>ta>, Abu> al-„Abba>s al-Khawwa>sh, Abu „Ali> Muhammad bin
al-Dhahha>k bin „Umar.
B. ar a- ar a Sahl al-Tustarī
Tidak hanya mampu mengusai di bidang ilmu, tetapi beliau juga aktif
menulis untuk mewariskan sejumlah khazanah keilmuan yang berbentuk buku-
buku dalam berbagai macam materi keilmuan. Di antara yang ia hasilkan yaitu:36
1. Tasawwuf: Jawabāt Ahl al-Yaqīn, Daqa„iq al-Muhibbīn, Risālah fī al-
Hurūf, Risālah fī al-Hikām wa al-Tasawwuf, Salsabīl Sahliyyah, al-
Ghayah li Ahl al-Nihaāyah, Kitab al-Misāq, Kalimāt al-Imam al-
Rabbani Sahl ibn „Abdullah at-Tustarī, Kalām Sahl, Risālah al-
Manhiyaāt Maqālah fī al-Manhiyāt, Manāqib Ahlul-Haq wa Manāqib
Ahlullah „Azza wa Jalla, dan Mawā‟idz al-„Arifīn.
2. Tafsir: Tafsīr al-Qur‟an al-Adzīm.
36
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad sil „U ūn
al-Sūd (D r al-Kutub al-„Ilmi ah, airūt-Liban n, 2007), h. 8-11.
24
3. Teologi: Kitab al-Mu‟āradah wa al-Raddi „Ala Ahl al-Firqa wa Ahli ad-
Da‟awa fi al-Ahwāl.
4. Sejarah: Lathāif al-Qisas fī Qisas al-Anbiyā‟.
C. Profil Tafsir Sahl al-Tustarī Tafsīr al-Qur’an al-‘Adzīm)
Dari beberapa karya Sahl yang diambil sebagai sumber data untuk
penulisan ilmiah ini adalah Tafsīr al-Qur‟an al-„Adzīm (Tafsīr al-Tustarī).
Untuk profil tafsirnya penulis akan membahas di antaranya: sumber penafsiran,
metode penafsiran, corak penafsiran dan metode penulisan.
1. Sumber penafsiran
Menurut pakar „Ulama Tafsir bersepakat, bahwa sumber penafsiran dibagi
menjadi tiga bagian yaitu al-Riwayah (Ma‟tsūr37
), al-Ra‟yi38
, dan Isyārī39
.
Penulis memahami bahwa sumber penafsiran Tustarī men intesakan antara al-
Riwayah (al-Ma‟tsūr) dan Isyarī, sebagian ayat-ayat beliau tafsirkan dengan
merujuk kepada ayat-ayat al-Qur‟an lainn a, tetapi sebagian a at-ayat yang
beliau tafsirkan juga menggunakan makna batiniyyah seperti beliau
menafsirkan ayat-ayat ikhlas, Nur Muhammad dan lainnya.
37
Sumber Ma‟tsur adalah penafsiran ang mengambil sumber dari al-Qur‟an itu sendiri
sebagai penjelas ayat yang akan ditafsirkan, sumber dari Rasulullah sahabat dan tabi‟in. Lihat
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz. 1, h. 152. Bandingkan juga
Abdullah Saeed, Interpretation the Qur‟an, h. 43. 38
Tafsir al-Ra‟ ī adalah penafsiran berlandaskan ijtihad dengan syarat mufassir memiliki
pengetahuan tentang bahasa Arab, dari aspek lafadz, makna serta keragaman makna, dan semantik
Arab dalam s i‟ir Jahili, dan juga asbab al-Nuzul, al-Nasikh wa al-Mansukh. Lihat Muhammad
Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Maktabah Wahbah al-Qahirah, 2000), Juz.
2, h. 225. 39
Tafsir „Isyari adalah ilmu esoterik, yaitu pemahaman yang tidak semua orang
mengetahuinya bisa disebut sebagai intuisi yang diberikan oleh Allah. Pada dasarnya menafsirkan
ayat bisa ditinjau dari lafadz yang dzhahir (eksoterik) dan batin (esoterik). Tetapi esoterik sedikit
sekali yang bisa mengikuti alur jalan penafsiran ini. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, al-
Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Maktabah Wahbah al-Qahirah, 2000), Juz. 2, h. 261.
25
2. Metode penafsiran
Menurut al-Farmawi, metode penafsiran diklasifikasikan menjadi empat
bagian diantaranya: Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū‟ī40
. Menurut
penulis metode penafsiran beliau adalah menyintesakan antara Ijmāli dan
Tahlilī. Beliau menafsirkan hanya beberapa ayat, kemudian menganalisiskan
(Tahlilī) beberapa ayat-ayat.
3. Corak penafsiran
Biasanya untuk mengetahuI corak penafsiran, terlebih dahulu harus
mengetahui isi kandungan ketika menafsirkan ayat, apakah dihegemonikan
dengan Fiqhī, ilmī, Adabī, Tarbiyah, Sufistik, dan lainnya. Menjadikan
hegemonitas ketika menafsirkan maka akan mempengaruhi di dalam
penafsiran. Setelah melihat isi kandungan Tafsir Tustari, penulis
menyimpulkan bahwa corak penafsiran beliau adalah sufistik.
4. Metode penulisan
Metode penulisan adalah, bagaimana seorang mufassir
mengkonfigurasikan penafsiran ayat-ayat menjadi sistematika, baik
menggunakan Tartīb Mushafi maupun Tartib Nuzūlī. Tartīb Mushafī adalah
sitematika penulisan yang ditulis sesuai urutan surah-surah, biasanya merujuk
kepada al-Qur‟an utsmani, ang dimulai dengan Q.S. al-Fatihah dan
mengakhiri pada Q.S. al-N s. Sedangkan Tartīb Nuzūlī yaitu
mengkonfigurasikan penafsiran ayat sesuai sebab turunnya ayat (Asbab al-
Nuzūl). Setelah melihat kandungan penafsiran Tafsīr al-Qur‟an al-„Adzīm
40
Abū al-Hayy Al-Farmawī, AL Bidayah Fi ala Tafsir al-maudhu‟iy, (Mesir: Maktabah
al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25.
26
Sahl al-Tustarī metode yang digunakan adalah Tartīb Mushafi, menafsirkan
ayat-ayat sesuai susunan surah di dalam al-Qur‟an Utsmanī.
Kitab Sahl Tustarī sudah dicetak seban ak tiga kali, cetakan pertama,
dengan editor (Muhaqqiq) Mustafa al- bī al-Halabī dan saudaran a di Mesir
tahun 1911. Cetakan kedua, dengan editor (Muhaqqiq) Tah „Abd al-Ra‟uf
Sa‟ad dan Sa‟ad Hasan Muhammad „Ali di D r al-Har m li al-Turats al-
Qahirah Mesir tahun 2004. Cetakan ketiga, dengan editor (Muhaqqīq)
Muhammad sil „U ūn al-Sūd di D r al-Kitab al-„Alami ah airūt-Liban n
tahun 2007. Cetakan keempat, yang ditranslate dengan bahasa inggris
editornya (Muhaqqiq) Annabel Keeler dan Ali Keeler dicetak untuk Royal Al-
Bayt Institute for Islamic Thought Jordan pada tahun 2011.
D. Ajaran-ajaran Tasawwuf Sahl al-Tustarī
1) Maqamat dan Ahwal
Banyak dari kalangan sufisme memberikan maqamat (tingkatan) mulai
dari maqam terendah hingga maqam tertinggi, tidak semua para sufisme
memberikan maqamat yang sama. Harus diketahui bahwa para sufi tidak
memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan tersebut
lebih didasari oleh perbedaan pengalaman spritual masing-masing. Dalam
spritualn a ang dilakukan oleh Tustarī ada beberapa maqam sebagai
penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa ini, dalam pandangan Sahl, tidak
dilakukan dengan cara membunuh jiwa itu sendiri. Proses purifikasi jiwa lebih
merupakan sebuah proses restorasi, yang tujuan utamanya adalah
memperbaiki kondisi, dan bukan untuk mematikannya. Tahap-tahap
pembersihan jiwa yang dijelaskan Sahl dalam tafsīrnya menekankan uraian
27
seputar maqam-maqam tertentu dalam tasawwuf, seperti taubat sebagai titik
balik seseorang menuju jalan kebaikan, taqwā sebagai proteksi jiwa terhadap
dosa, tawakkal, sabar, dan ikhlas yang menandai kedekatan hubungannya
dengan Tuhan. Masing-masing maqam itu, dalam beberapa uraian Sahl, tidak
berdiri sendiri; akan tetapi memiliki keterkaitan erat dengan maqam lainnya.
Keterikatan antara satu dengan yang lainnya inilah yang menjadi faktor
mengapa maqam-maqam khusus tersebut menjadi pilar utama ajaran
mistiknya41
. Maqam yang dijelaskan al-Tustarī diantaranya:
a. Taubat
Kebanyakan sufisme menjadikan maqam taubat (al-taubah) sebagai
maqam pertama yang harus dilewati seseorang menuju kebaikan dan diraih
dengan menjalankan ibadah, mujadah, dan riyadhah. Hampir semua sufi
sepakat bahwa taubat adalah maqam pertama yang harus diperoleh setiap
salik. Istilah taubat berasal dari bahasa arab تاب-يتوب توبة berarti kembali, kata
taubat disebutkan dalam alquran sebanyak 87 kali dalam berbagai bentuk42
.
Dalam konsepsi mistik Sahl, taubat diartikan sebagai titik balik, atau
turning point. Sahl menguraikan konsep ini melalui penafsiran Q.S. al-Nur
[24]: 31, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
ang beriman supa a kamu beruntung.” Sahl menjelaskan bahwa taubat
41
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 27. 42
Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan:Perdana Publishing, 2016), h. 57.
28
dilakukan dengan cara merubah ketidaktahuan dengan ilmu, sifat lupa dengan
mengingat Allah, dan maksiat dengan ketaatan.43
b. Taqwa
Maqam kedua ini, Tustarī sedikit berbeda dari sufisme ang lain.
Menuangkan maqam taqwa pada klasifikasi yang kedua, berbeda dari
beberapa sufi lainnya seperti al-Ghazali tidak memberikan taqwa pada
maqamat44
. Taqwa didefinisikan sebagai sikap membebaskan diri (tabarrī)
yang berarti mengutuk sepenuhnya perbuatan dosa sampai kepada hal yang
seringan-ringannya sekalipun. Dalam Q.S. al-Mudatstsir [74]: 56, “Dan
mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali jika Allah
menghendakinya. Dia adalah Tuhan yang selayaknya (kita bertakwa) kepadan-
N a, dan ang paling berhak memberi ampun.” Sahl memberikan penjelasan
bahwa Allah-lah yang berhak memberikan perlindungan terhadap orang-orang
yang bertakwa dari tindakan berbuat dosa, dan sebagai jaminannya Dia juga
yang memberikan pengampunan bagi mereka yang bertaubat. Kata taqwā
dalam a at ini dimaknai oleh Sahl sebagai, “meninggalkan semua ang
dianggap tercela” (tarku kulla syai‟in madzmūm). Memberikan penekanan
pada makna teologis yang lebih mendalam, Sahl menambahkan, “Takwa
adalah membebaskan diri dari segala sesuatu selain Tuhan. Siapa saja yang
43
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 28. 44
Ja‟far, Gerbang Tasawuf, (Medan:Perdana Publishing, 2016), h. 56.
29
terus melakukan hal ini, maka dia akan digolongkan ke dalam kelompok orang
yang mendapatkan ampunan.45
c. Sabar
Sahl menjelaskan bahwa kesabaran merupakan perbuatan mulia yang akan
dibalas dengan pahala yang sangat besar. Dalam menafsirkan Q.S. al-„Ashr
[103]: 3, “Dan mereka saling menasehati dalam kesabaran,” Sahl
menjelaskan, “Tidak ada sikap ang lebih besar kedudukann a dibandingkan
dengan sikap sabar, dan tidak ada pahala yang lebih besar selain pahala
berbuat sabar.” Menjelaskan keutaman sabar, Sahl menambahkan, “Tidak ada
bekal (z d) selain taqw , dan tidak ada ketakwaan tanpa kesabaran; serta tidak
ada yang akan menolong kesabaran demi kepentingan Allah, selain Allah
sendiri ang akan menjadi penolong.”46
Melalui ayat ini, Sahl menunjukkan keterkaitan yang erat antara takwa
dan kesabaran. Menurutnya, ketakwaan dapat diumpamakan seperti tubuh,
sementara sabar adalah kepalanya. Di sini, kedudukan sabar sangatlah vital
dalam maqam taqwa. Atas dasar peran penting ini maka, menurut Sahl,
kesabaran berpengaruh besar pada jiwa dalam mewujudkan ketaatan,
mengikuti aturan hukum, menghormati sanksi hukuman, dan menjaga jiwa
untuk selalu berada jauh dari maksiat.47
45
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 29-30. 46
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 14. 47
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 14.
30
Dalam ibadah, maqam sabar identik dengan ibadah puasa. Dikatakannya
pula bahwa karakter utama kesabaran adalah konsistensi dalam mewujudkan
ketaatan. Menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 45, “Jadikanlah sabar dan ṣalat
sebagai penolongmu” Sahl memahami term sabar di dalam a at ini dengan
makna simbolik “puasa”. Menurutn a, baik ibadah puasa maupun salat
merupakan jalan menuju tercapainya ma„rifa. Siapa yang salatnya sah, maka
dia akan mencapai hubungan langsung (wuṣla), dan tak ada lagi apapun yang
akan menghalanginya dari Allah dalam hal ini. Menurut Sahl, hubungan
langsung yang tercipta antara seorang hamba dengan Tuhannya baru bisa
dirasakan ketika seseorang merasakan buah manis ibadah puasa dengan
berbuka pada saat terbenam matahari. Terakhir, bersabar dalam kondisi sehat,
menurut Sahl, lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan bersabar saat
menerima malapetaka (balā‟). Sahl mengatakan, “Mencari kedamaian
(salāma) dalam situasi yang aman lebih sulit dibandingkan dengan mencari
kedamaian pada saat terjadinya kekacauan (khawf). Secara ringkas, maqam
sabar merupakan sebuah tahapan mistik dalam penyucian jiwa yang
merefleksikan ketaatan penuh manusia kepada Allah, dan kepada-Nyalah
manusia menyerahkan rasa percaya dirinya48
.
d. Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan tubuhnya untuk beribadat sepenuhnya
kepada Tuhan, menyandarkan hati kepada-Nya, dan membebaskan dirinya
dari kepemilikan daya dan kekuatan yang bersifat pribadi. Tiga ungkapan tadi
menjadi bentuk illustrasi Sahl terhadap karakteristik sikap tawakkal, yang
48
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 31-33.
31
juga menjadi bagian dari karakteristik takwa. Penjelasan rinci mengenai
konsep tawakkal dalam pandangan mistik Sahl al-Tustarī diungkapkan dalam
interpretasinya terhadap Q.S. al-Nisa [4]: 81, “Berpalinglah dari mereka dan
bertawakkallah kepada Allah” Ia menjelaskan kaitan maqam ini dengan aspek
teologis, hukum, serta moral. Dalam aspek teologis tawakkal dimaknai
sebagai “pengakuan terhadap keesaan Allah”, sedangkan dalam aspek fiqh,
menurut Sahl, tawakkal dimaknai sebagai pengetahuan tentang Hari
Pembalasan, sedangkan dalam dimensi moral tasawwuf (yang juga tidak bisa
dilepaskan dari dimensi teologisnya) tawakkal dimaknai dengan manifestasi
Tuhan di dalam hati manusia (mu„āyana).
Ketika ditanya tentang bagaimana sikap tawakkal ini bisa dicapai oleh
seseorang dari maqam yang terbawah dalam taqwa, Sahl menjelaskan bahwa
fase pertama adalah dengan mengetahui (ma„rifa), kemudian dibarengi
dengan pengakuan (iqrār), lalu mengesakan Allah (tawhīd), berserah diri
(islām), berbuat baik (iḥsān), memasrahkan keputusan (tafwīd),
mempercayakan diri kepada Tuhan (tawakkul), dan menyandarkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan (sukūn ilā al-Ḥaqq) dalam kondisi apapun.
Sebagaimana digambarkan bahwa tahapan-tahapan yang membangun maqam
tawakkal ini akan memberikan hasil bagi pelakunya, maka menurut
pandangan Sahl semua tahapan di atas hanya berlaku bagi mereka yang
bertakwa.49
49
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 33-34.
32
e. Ikhlas
Ikhlas menjadi tahapan purifikasi yang paripurna. Konsep ini
dijelaskan Sahl ketika seseorang bertanya tentang makna maqam ikhlāṣ
terkait dengan penjelasan Q.S. al-Ikhlas [112]: 1-4, yang juga dinamai surat
al-Ikhl ṣ. Dalam menjawab pertanyaan ini, Sahl mengidentikkan ikhlas
sebagai kebangkrutan manusia (iflās) secara total. Ini juga bermakna bahwa
seseorang akan benar-benar mengalami kehancuran (maḥq), ketika semua
bid‟ah dan nafsu kotor akan dilen apkan oleh Allah, jika empat a at ang
terkandung di dalam surat ini dibaca secara berulang-ulang. Surat ini dinamai
al-Ikhl ṣ karena mengandung ayat-ayat yang menunjukkan kemurnian Allah
dari segala sifat yang tidak layak dikenakan kepada-Nya.
Ikhlas yang juga menjadi salah satu ajaran pokok dalam pandangan
mistik Sahl alTustarī merupakan sebuah konsep ang berkaitan dengan amal.
Dalam penafsirannya terhadap Q.S. al-Has r [59]: 7, “Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang ia larang, maka
tinggalkanlah” Sahl menjelaskan ajaran pokok madzhabn a meliputi 3 hal:
memakan yang halal, mengikuti petunjuk Nabi SAW tentang perbuatan yang
baik, dan ikhlas dalam niat untuk semua aktivitas. Di sini, ikhlas menjadi
elemen pokok dalam niat yang mendasari aktivitas karena dengan keikhlasan
itu sebuah amal akan menerima tanggapan dan mendapatkan pahalanya dari
sisi Tuhan. Hal ini dikuatkan melalui penafsiran Sahl terhadap Q.S. al-Zumar
[39]: 11, “Katakanlah, sesungguhn a aku diperintahkan supa a menjadi orang
pertama ang berserah diri.” Sahl memahami sikap ikhlas sebagai tanggapan
33
(ijāba); orang yang tidak mendapat tanggapan merupakan bukti kalau dia
tidak memiliki keikhlasan.
Sedangkan ahwal atau Ilmu Hal Secara bahasa, berarti keadaan sesuatu
(keadaan rohani). Sedangkan secara terminologi yang menjadikan titik
perbedaan dengan maqamat adalah hal bukan di peroleh atas usaha manusia,
tetapi diperdapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan yang bersifat
sementara datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati
Tuhan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghazali hal adalah kedudukan atau
situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu
waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa.50
Mengutip pandangan al-Ḥasan al-Baṣrī, Sahl menegaskan bahwa tuntutan
ilm al-hal mengharuskan seorang ahli hukum (faqīh) untuk tetap berlaku zuhud,
yaitu dengan mengamalkannya untuk kehidupan akhirat, meskipun ia memiliki
pengetahuan yang mendalam di bidang agama. Dengan kata lain, Sahl nampak
ingin mengatakan bahwa pengetahuan agama saja tidak cukup, jika tidak
diamalkan untuk mencapai tujuan akhirat. Sehingga, dengan ilm al-hal, menurut
Sahl, seseorang yang menuntut ilmu mestilah menjadi seorang „ālim yang juga
mengenal kondisi-kondisi spiritua (ahwāl). Oleh karena itu, perintah untuk ber-
tafaqquh fiddin dalam Q.S. al-Taubah [9]: 122, menurut Sahl, dimaknai sebagai
perintah untuk memiliki pengetahuan tentang kondisi spiritual (ilmu al-ḥāl).
Sejalan dengan konsep epistemologi mistik ini, maka kewajiban untuk menuntut
ilmu, seperti din atakan dalam hadis, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban
bagi setiap muslim,” menurut Sahl juga harus dirujuk sebagai kewajiban untuk
50
Muzaiyana, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), h. 258.
34
menimba „ilm al-ḥāl. Lebih lanjut, Sahl menjelaskan seputar alasan pentingnya
status ilmu ḥ l dalam penafsiran Q.S. al-Taubah [9]: 122. Menurut Sahl, Tuhan
ada bersama kita dalam kondisi sembunyi-sembunyi (sirr) maupun terbuka
(„alāniyya). Dia juga bergerak bersama dengan gerakan kita, atau Dia juga
tinggal bersama ketenangan yang kita rasakan. Walhasil, kita tidak bisa berada
jauh dari Tuhan, bahkan untuk satu detik saja. Sahl mendasarkan argumennya
pada Q.S. al-Ra‟d [13]: 33, “Maka apakah Tuhan yang menjaga masing-masing
diri terhadap apa ang diperbuatn a?” dan juga Q.S. al-Mujadalah [58]: 7,
“Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang
keempatnya;” serta Q.S. Q f [50]: 16, “Dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehern a sendiri.” Dengan dasar argumen tiga ayat ini, seorang
hamba ang mengerti tentang „ilm alaḥwāl akan selalu menyadari bahwa Allah
senantiasa bersamanya, dan juga merasa bahwa ia senantiasa berada dalam
pengawasan Allah. Inilah dimensi iḥsan yang disebut dalam hadis Jibril
berkaitan dengan 3 dimensi agama selain rukun iman dan ibadah melaksanakan
rukun Islam.51
2) ons psi isti N r Muhammad
Dalam dunia tasawwuf Islam, Sahl al-Tustari dianggap sebagai salah
seorang narasumber yang turut memperkenalkan gagasan nūr Muhammad.
Sumber lain ang juga dirujuk sebagai pencetus gagasan mistik ini adalah „Alî
bin Abî Thâlib. Hanya saja tidak ada informasi yang jelas, apakah Sahl juga
mengambil gagasan tentang konsep ini dari „Alī RA. Akan tetapi, bisa
51
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 10-11.
35
mengaitkan ide ini dalam gagasan mistik Sahl melalui riwayat awal yang yang
dirujuk berasal dari Imam Ja„far al-S diq. Dalam penafsirannya tentang ayat
nūr, Ja„far men ebutkan lebih dari 40 jenis caha a. Kesemua jenis caha a ini,
menurut Ja„far han a cocok untuk Muhammad, sebagaimana ia men atakan
komentarn a, “Semua caha a berasal dari caha a Tuhan, di mana setiap hamba
merupakan pancaran dari cahaya-cahaya ini, dan bahkan bagian-bagiannya
merupakan gabungan dari dua atau tiga jenis cahaya, yang kesemuanya tidak
akan sesuai secara sempurna bagi siapapun kecuali Muhammad SAW. Figur
Muhammad dinilai cocok bagi konsepsi ontologis ini lantaran Muhammad
berada sangat dekat Tuhan dalam segala kondisi kesahihan ibadah, dan tingkatan
mahabbah. Muhammad ini merupakan cahaya yang berasal dari Tuhan dan akan
senantiasa berada dalam naungan cahaya Tuhannya. Meskipun begitu, kaitan ide
ini dengan gagasan mistik Sahl masih sangat samar dan tidak cukup bukti akan
adanya pengaruh langsung antara keduanya, lantaran Sahl tidak termasuk dalam
garis imamat kaum S i‟ah ang menerima ajaran berdasarkan wasiat imam
secara turun temurun. Dengan begitu, hanya faktor waktu saja yang bisa
mengaitkan dua faktor ini, ketika Sahl hidup pada masa yang lebih belakangan
dibandingkan dengan Imam Ja„far, maupun „Alî. Ken ataan ini bisa memberi
ruang pada adan a pengaruh pemikiran S i‟ah dalam gagasan mistik Sahl,
meskipun hal ini pun masih bisa diperdebatkan, dengan mempertimbangkan
fakta yang diterima secara luas bahwa riwayat-riwa at Imam Ja„far juga
diterima dengan baik dan diakui validitasnya oleh kalangan Sunni dan diterima
sebagai bagian dalam tradisi pemikiran mereka.
36
Dalam gagasan mistik Sahl, tergambar kaitan yang jelas antara konsep
mistik tentang nūr Muhammad dan interpretasi simbolik terhadap ayat nūr
dalam Q.S. al-Nūr [24]: 3552
. Meskipun begitu, detail uraian mengenai konsep
ini dijelaskan di tempat berbeda, tepatnya ketika ia menjelaskan kaitan doktrin
mistik nur Muhammad dengan proses penciptaan Adam sebagai khalifah di atas
bumi yang digambarkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30. Sahl menjelaskan,
“Sebelum menciptakan Adam AS., Allah berfirman kepada para malaikat,
„Sungguh akan Kuciptakan seorang khalifah di bumi‟. Dia kemudian
menciptakan Adam dari tanah yang memiliki kemuliaan ilahi, yaitu dari nūr
Muhammad.”53
Selain beberapa tautan ringkas, seperti dijelaskan di muka, konsepsi nūr
Muhammad mendapatkan penjelasan yang cukup memadai dalam pemahaman
Sahl terhadap klasifikasi keturunan Adam yang dikaitkan dengan penafsiran
terhadap kesaksian primordial ummat manusia yang tertuang dalam Q.S. al-
„Araf [7]: 172. Sahl membedakan tiga kelompok asal keturunan manusia, yaitu:
Muhammad, Adam, dan anak keturunan Adam selanjutnya. Dalam hal ini,
doktrin tentang nūr Muhammad merupakan tahapan-tahapan awal dalam proses
emanasi penciptaan dunia, di mana Muhammad dianggap sebagai obyek
penciptaan pertama, yang darinyalah kemudian makhluk-makhluk lain di dunia
ini diturunkan. Sahl memulai penjelasan mengenai proses emanatif ini dengan
52
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 68.
Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi
Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 12. 53
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 10.
Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi
Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 12.
37
mengatakan bahwa Tuhan memancarkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika
cahaya-Nya ini mencapai tabir keagungan (hijāb al-uzhmā) sesuatu bersujud di
hadapan Tuhan. Kemudian Tuhan menciptakan dari sesuatu yang bersujud itu
sebuah tabung yang besar („amūd „azhīm) yang bagian dalamnya seperti kaca
yang terbuat dari cahaya, sedangkan bagian luarnya diletakkan di atas pribadi
(„ayn) Muhammad. Lama sebelum memulai proses penciptaan, cahaya ini telah
menetapkan dirinya untuk berkhidmat kepada Allah selama berjuta-juta tahun,
pada saat yang sama Tuhan juga menganugerahkan kehormatan baginya dengan
menyaksian Tuhan secara langsung (musyāhada). 54
Menurut Sahl, sebagaimana Adam dijadikan dari nūr Muhammad, proses
emanasi lanjutan dalam proses penciptaan alam semesta juga melibatkan peran
nūr para Nabi yang lain (nūr al-anbiyā‟), nūr kerajaan langit (malakūt), dan nūr
dunia serta nūr akhirat.55
Dalam hal ini, terkait dengan pengaruh tradisi
pemikiran kuno ang mungkin diserap oleh Sahl al-Tust ri, beberapa ahli
menduga konsep emanatif yang mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl
yang menyertakan peran serta nūr para Nabi dalam proses penciptaan alam
semesta juga dijumpai dalam literatur yang memuat pemikiran kaum Gnostik
Sumeria mengenai pre-existence Musa. Menurut pendapat Q sim al-Samarr ‟ī,
pandangan serupa juga dijumpai di dalam tradisi Zoroaster di Persia. Sebuah
kisah kuno yang disebutkan di dalam buku Dasatir-i Asmanil, memberikan
54
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 41.
Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi
Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 13. 55
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 47.
Dalam M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam Ontologi
Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h. 13.
38
gambaran serupa tentang proses pembagian cahaya yang sama juga disebut
sebagai tahapan awal penciptaan alam sampai kemudian dibagi ke dalam bagian-
bagian lain yang beraneka ragam.56
3) Prinsip Penafsiran Sufi Sahl al-Tustarī
a. Pandangan Sahl al-Tustarī t ntang Nuz l al-Qur’an ons p Qalbu
Muhammad)
Konsep yang ditawarkan oleh Sahl ini sangat menarik, dimulai Qalbu
Muhammad sebagai konsep utama dalam proses penerimaan al-Qur‟an hingga
bagaimana prosesnya al-Qur‟an turun kepada nabi Muhammad. Nuzul al-
Qur‟an maksudn a adalah Turunn a al-Qur‟an, ang dimulai dari Allah
hingga diterimanya kepada Nabi. Bagi Sahl, Adanya al-Qur‟an disebabkan
Qalb Muhammad karena hatinya merupakan tempat ketauhidan sedangkan
dada beliau sebagai tempat cahaya yang hakiki. Ketika apabila seseorang yang
tidak memiliki identitas seperti itu maka tidak ada al-Qur‟an sebagai
pedoman, tidak ada Nabi sebagai pemberi S afa‟at dan tidak ada pertolongan
dari Allah.57
Setelah menjelaskan konsep Qalbu Muhammad sebagai tempat
ketauhidan, barulah masuk kepada Nuzul al-Qur‟an sebagai proses penurunan
al-Qur‟an kepada Nabi. Sahl menjelaskan, turunnya al-Qur‟an kepada Nabi
melalui Sadr (dada) kemudian Qalb Muhammad karena sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa Sadr dan Qalbu muhammad sebagai tambang ketauhidan
56
M. Anwar S arifuddin, “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam
Ontologi Mistik Sahl Ibn „Abd Allah al-Tustari”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 11, No. 2 (2009), h.
12-13. 57
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3.
39
dan tempat cahaya yang hakiki. Setelah diturunkan, Nabi dipenuhi kewajiban
untuk menyampaikannya agar mereka orang beriman mengerti apa yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad.58
b. Pembagian Isi Kandungan al-Qur’an
Secara integral tentang isi kandungan al-Qur‟an dari Pandangan beliau
tidak jauh beda dengan pakar „Ulum al-Qur‟an, ada ang membahas bahwa al-
Qur‟an memiliki dua kandungan a at yaitu Muhkam dan Mutasyabbih, ada
yang memberikan asumsi bahwa al-Qur‟an membahas mengenai Aqidah,
Akhlak, Sejarah dan lainnya.
Semua pembahasan ini, Sahl lebih memberikan klasifikasikan ada lima
pembahasan yang dijelaskan di dalam al-Qur‟an diantaranya: pembahasan
tentang Muhkam, Mutasyabbih, Halal, Haram, dan Amtsal. Dari lima
pembahasan ini, beliau menjelaskan seorang mukmin yang mengenal
tuhannya adalah yang meimplementasikan ayat-ayat muhkam, mengimani
atau mempercayai ayat-ayat mutasyabbih, menghalalkan yang halal,
mengharamkan yang haram, dan berfikir rasional tentang ayat-ayat amtsal
(perumpamaan). Semua ini bisa dilakukan oleh seseorang yang Ahl al-Ilm
(Ahli ilmu) atau yang memiliki rasional pengetahuan. 59
c. Empat tingkat makna dalam menafsirkan al-Qur’an
Menurut Anwar Syarifuddin, para sufi tidak ada hegemoni makna yang
monolitik dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur‟ n, sehingga dapat
dikatakan bahwa dimensi makna yang ditawarkan oleh sebuah ayat al-Qur‟ n
58
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3. 59
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 5.
40
bersifat “multivokal” atau bermakna ganda. Menurut Sahl didalam
muqaddimah tafsirn a, “Tidak didapati sebuah a at di dalam al-Qur‟ n
kecuali ayat itu memiliki 4 makna: ẓāhir, bāṭin, ḥadd, dan maṭla„60
. Dengan
redaksi yang sedikit berbeda, ungkapan ini sebenarnya merujuk pada hadis-
hadis Nabi SAW seperti dalam hadis riwayat al-Hasan b. „Alī dikatakan
bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap a at al-Qur‟ n memiliki sisi luar (ẓāhr)
dan sisi dalam (baṭn), sementara setiap hurufnya memiliki batas (ḥadd) dan
setiap batas memiliki titik permulaan (maṭla„).61
Sahl lebih jauh menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ẓāhir
adalah aspek bacaan (tilāwa), sementara bāṭin diartikan sebagai pemahaman
(fahm). Dalam kaitan ini, ḥadd dimaknai “batas-batas yang diketahui dengan
jelas” (bandingkan dengan makna istilah jamaknya ḥudūd dalam fiqh), yang
dicontohkan Sahl dengan ḥalāl dan ḥarām, sedangkan maṭla„ didefinisikan
sebagai “capaian hati terhadap makna ang diinginkan (murād), sebagai
pemahaman ang datang dari Allah SWT”. 62
Dapat dijelaskan di sini bahwa
Sahl memahami dimensi ẓāhir sebagai pengetahuan yang bersifat umum,
sementara dimensi maṭla„ sebagai maksud dan tujuan khusus yang diinginkan
dari sebuah ayat al-Qur‟ n. Sahl men atakan bahwa tidak semua orang
mampu memahami dimensi maṭla„ ini. Landasan normatif yang dikutip untuk
mendukung makna ang terakhir ini adalah firman Allah SWT, “Maka
60
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3. 61
M. Anwar S arifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 5-7. 62
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 3.
41
mengapa orang-orang itu tidak memahami pembicaraan sedikitpun.” (Q.S. al-
Nisa [4]: 78).
Selain sebagai pendukung pencarian makna yang lebih tinggi
tingkatannya Q.S. al-Nis [4]: 78 dengan jelas menggambarkan bahwa tidak
semua orang mampu memahami maksud yang terdapat di dalam aspek
pembacaan al-Qur‟ n, baik mengenai penjelasan harfiahn a, maupun makna
batin di baliknya; maka seperti juga terkait dengan pengungkapan ayat-ayat
mutasyābihāt di dalam al- Qur‟ n, sikap ang paling selamat dalam
menyikapi ketidakmampuan tersebut adalah dengan menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah SWT, seperti ditegaskan Sahl dalam menafsirkan Q.S. „Ali
Imr n [3]: 7, “Tidak ada orang yang mengetahui makna yang sebenarnya
kecuali Allah” Sahl membawakan riwa at Ibn „Abb s ang menjelaskan
bahwa di dalam al-Qur‟ n terdapat 4 aspek (aḥruf): (1) Halal-haram yang
seharusnya diketahui setiap orang, (2) penjelasan yang pasti bisa dipahami
oleh orang Arab, (3) makna-maknanya yang hanya diketahui oleh para
„ulama, dan (4) a at-ayat tersamar (mutasyābihāt) yang hanya diketahui
maknanya oleh Tuhan; sehingga, jika ada yang mengaku mengetahui makna
yang terakhir ini, maka ia adalah seorang pendusta.63
63
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al-„Azīm, tahqiq Mustafa al-
bī al-Halabī dan saudaran a akrī dan „Is (D r al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubr , 1911), h. 24.
42
BAB III
DISKURSUS TENTANG AKHLAK DALAM AL-QUR’AN
A. Definisi Akhlak dan Pendapat Ulama
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan kata “Akhlak”,
yaitu pendekatan secara etimologi (bahasa) dan pendekatan secara terminologi
(istilah). Secara etimologi (bahasa), akhlak berasal dari bahasa Arab yang
merupakan bentuk jamak dari خيك khuluqun yang berarti budi pekerti, tingkah
laku, perangai, atau tabiat.1 Kata „Akhlak‟ juga memiliki sinonim atau persamaan
kata dengan „etika‟ dan „moral‟ yang memiliki arti yang sama yaitu adat
kebiasaan. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam dan dihubungkan dengan konteks
kalimat, kata akhlak, etika dan moral memiliki pengertian yang berbeda.
Etika merupakan ilmu pengetahuan mengenai asas-asas akhlak, yaitu tentang
perbuatan baik dan buruk, tentang hak dan kewajiban moral.2 Sedangkan moral
merupakan ajaran mengenai baik atau buruk yang diterima umum meliputi
perbuatan, kewajiban, sikap dan budi pekerti. Dengan kata lain, moral menjadi
istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai,
pendapat, kehendak, atau perbuatan yang layak dikatakan baik atau buruk, benar
atau salah.3 Adapun akhlak secara bahasa dapat diartikan sebagai perangai. Kata
tersebut memiliki arti lebih mendalam karena telah menjadi sifat dan watak yang
1 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 11.
2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), cet.
VIII, h. 278. 3 M. Abduh Malik, et.al, Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag
RI, 2009), h. 71-72.
43
dimiliki seseorang. Maka dari itu terkadang akhlak diartikan sebagai syakhsiyyah
atau lebih dekat dengan arti kepribadian (personality), karena sifat dan watak
yang telah melekat pada diri pribadi akan menjadi kepribadian.
Kata akhlak juga memiliki persesuaian kata dengan kata خيك khalaqun yang
berarti kejadian, juga memiliki persesuaian dengan kata خبىك khaliq yang berarti
pencipta, demikian juga kata خيىق makhluqun yang berarti yang diciptakan
(makhluk). Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.4 Pola
bentukan definisi “akhlak” tersebut muncul sebagai perantara yang menjembatani
komunikasi antara Khaliq (Pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan) secara
timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk
hablum minallah yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama
manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antar sesama
makhluk).5 Perkataan tersebut diambil dari kalimat yang tercantum di dalam al-
Qur‟an, yang berbunyi:
٤وإلىعيىخيكعظ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(Q.S.
Al-Qalam [68]: 4)
Berdasarkan ayat tersebut, para sufi khususnya menyebut nabi Muhammad
sebagai prototipe manusia sejak Nabi Adam AS hingga manusia akhir zaman,
4 Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 11.
5 Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 2.
44
yang disebut dengan istilah al-Insan al-Kamil. Sebagai umat Rasulullah, kaum
muslimin wajib menjadikan beliau sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah)
dalam segala segi kehidupan.6
Secara terminologi, di dalam ensiklopedi Islam akhlak didefinsikan sebagai
keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang darinya lahir suatu perbuatan
dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian.
Menurut Anis Matta, akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap
mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan
perilaku yang bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.7
Fudhail bin Iyadh berkata8, “Jika engkau bergaul maka bergaulah dengan
akhlak yang baik, karena akhlak yang baik hanya akan mengajak kepada
kebaikan dan pelakunya terpelihara”.
Akhlak merupakan suatu sifat yang tertanam dalam diri manusia dan bisa
bernilai baik ataupun buruk. Ucapan atau tindakan tidak dapat menjadi tolok
ukur baik dan buruknya akhlak seseorang, seseorang bisa bertutur kata lembut
dan manis, tetapi kata-kata tersebut bisa keluar dari hati yang munafik. Dengan
kata lain, akhlak merupakan sifat-sifat bawaan yang tertanam dalam jiwa manusia
6 M. Abduh Malik, et.al, Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam, (Jakarta: Depag
RI, 2009), h. 71-72. 7 Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, (Jakarta: Al-I‟tishom Offset, 2006), cet.
III, h. 14. 8 Fudhail bin Iyadh memiliki nama lengkap Abu> Ali> al-Fudhail ibn Iya>dh ibn
Mas‟u>d ibn Basyr al-Tami>mi> al-Yarbu>i>. Ia lahir pada 105 H/723 M di Marw, Abyward,
salah satu kota di Khurasan. Ia merupakan seorang komandan dan perampok (qitha’ al-thariq)
ulung dan memiliki banyak anak buah. Meskipun dikenal sebagai perampok kelas kakap, ia
memiliki akhlak yang baik. Harta rampasan yang ia ambil tersebut dibagi-bagikan kepada para
fakir miskin. Hingga akhirnya ia bertaubat. Dalam Ahmad Zacky El-Syafa, Ia Hidup Kembali
Setelah Mati 100 Tahun, (Simorejo: Medpress Digital, 2013), h. 178-181.
45
dari sejak lahir dan baik atau buruknya akhlak akan memantul pada diri
seseorang sesuai dengan pembentukan dan pembinaannya.9
Adapun beberapa pendapat pakar mengenai definisi akhlak, diantaranya
sebagai berikut:
a. Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
شفنشوسوت. غ ىهباىىافعبىهب ىيفظداعت اىخيكحبه
“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan
pertimbangan (terlebih dahulu)”.10
b. Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
هبحصذسالفعبه ئتفىاىفظساعختع ه اىخيكعببسة ع بغهىىتوغش
شحبجتاىىفنشوسوت. غ
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan
tindakan-tindakan dengan mudah dan tidak memerlukan pemikiran atau
pertimbangan (terlebih dahulu)”.11
c. Prof. Dr. Ahmad Amin memberi definisi yang terdapat di dalam salah satu
tulisannya, sebagai berikut:
9 Sukanto, Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa, (Solo: Maulana Offset, 1994),
h. 80. 10
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak Fi al-Tarbiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1985), h. 25. 11
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.) h. 53.
46
أفعبدحهب ارااعخبدثش سادة ال عىأ سادة ال عبدة بأه اىخيك فبعضه عش
بةببىخيك. غ اى ه
“Sementara orang membuat definisi akhlak, bahwa yang disebut akhlak
merupakan suatu kehendak yang dibiasakan. Artinya kehendak itu bila
membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.12
d. Abu Bakar Jabir al-Jazairy di dalam kitabnya Minhaj al-Muslim,
mengatakan:
“Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia yang
dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela”.13
e. KH. Farid Ma‟ruf berpendapat:
“Akhlak adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan
dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu”.14
f. Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, mengatakan:
“Akhlak adalah Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu
dilakukan, maka itulah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut
bersumber dari kejadiannya”.15
g. Muhammad Ibn „Ilan al-Sadiqi juga mengatakan di dalam kitabnya Dalil
Al-Falihin:
12
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 13. 13
Abu Bakar Jabir Al-Jazayri, Minhaj al-Muslim, (Madinah: Dar Umar Ibn Khattab,
1976), h. 154. 14
Ahmad Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 13-14. 15
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz VIII, (Kairo: Dar al-Sya‟bi, 1913), h. 6706.
47
“Akhlak adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat
mendorong (seseorang) berbuat baik dengan mudah”.16
h. Muhammad bin Ali Al-Faruqi Al-Tahanawi berpendapat, bahwa akhlak
adalah keseluruhannya dari kebiasaan, sifat alami, dan harga diri.17
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa akhlak adalah
tindakan atau perbuatan manusia yang bersumber dari sifat-sifat yang telah
tertanam di dalam jiwanya, baik itu perbuatan baik (terpuji) atau perbuatan buruk
(tercela).
Secara substansial definisi-definisi tersebut terlihat saling melengkapi, dan
dapat dilihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, seperti disarikan
oleh Abudin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,
diantaranya:18
1. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan
tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan,
tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia
tetap sehat akal pikirannya dan sadar.
16
Muhammad Ibn „Ilan al-Sadiqi, Dalil Al-Falihin, Juz III, (Mesir: Mustafa al-Bab al-
Halaby, 1971). H. 76. 17
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 33-34. 18
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), Cet. IV, h. 5-7.
Dalam Mustopa, “Pembentukan Akhlak Islami dalam Berbagai Perspektif”, dalam jurnal IAIN
Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 3, No. 1 (2017), h. 102-103.
48
3. Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang
yang melakukannya, tanpa ada tekanan ataupun paksaan dari luar. Seseorang
melakukan perbuatan tersebut atas pilihan dan keputusannya sendiri.
4. Perbuatan Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan karena main-main atau karena bersandiwara.
5. Perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang
dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin
mendapatkan pujian orang lain atau yang dikenal dengan istilah “pencitraan”
di zaman sekarang.
B. Pembagian Akhlak
Adapun pembagian akhlak terdiri dari dua macam, yaitu akhlak karimah atau
akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela). Akhlak mahmudah
merupakan salah satu tanda kesempurnaan iman. Yang mana tanda tesebut
dimanifestasikan ke dalam perbuatan sehari-hari dalam bentuk perbuatan-
perbuatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur‟an
dan al-Sunnah. Sifat terpuji, sebagaimana digambarkan dalam beberapa ayat di
dalam al-Qur‟an seharusnya menjadi identitas hamba-hamba Allah swt. pada
umat ini. Mereka seharusnya menerima seruan Allah melalui ayat-ayat al-Qur‟an,
mendengarkan dan menyaksikan, yang pada gilirannya dari sanalah titik awal
pergerakan mereka.19
Selain itu, dengan akhlak terpuji ini dapat membantu kita
mendapatkan kesempurnaan hidup, diantaranya mencakup sifat jujur, melakukan
kebenaran, menunaikan amanah, menepati janji, tawadhu, berbakti kepada orang
19
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an (terj), (Bandung: Mizan,
1996), cet. I, h. 16
49
tua, menyambung silaturrahmi, berlaku baik terhadap tetangga, memuliakan
tamu, penyantun dan sabar, pemurah dan dermawan, memiliki sifat malu untuk
berbuat maksiat, menjaga kesucian diri, dan berlaku adil. Akhlak mahmudah
dibagi kepada beberapa bagian yaitu akhlak yang berhubungan dengan Allah,
akhlak terhadap Rasulullah saw., akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap
masyarakat, akhlak terhadap diri sendiri, dan akhlak terhadap alam.20
Akhlak madzmumah merupakan akhlak yang bertentangan dengan akhlak
mahmudah. Akhlak mazmumah merupakan perbuatan atau tindakan yang tercela
yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan derajatnya sebagai
manusia.21
Di antara sifat atau tindakan yang termasuk ke dalam akhlak
madzmumah yaitu syirik. Syirik di sini yaitu menyekutukan Allah, menjadikan
tuhan-tuhan lain bersama Allah, menyembahnya, meminta pertolongan
kepadanya, dan perbuatan lainnya yang tidak boleh dilakukan kecuali hanya
kepada Allah swt.
Setelah mengetahui definisi dan pembagian akhlak, juga perlu mengetahui
tujuan dari adanya akhlak. Muhyidin bin „Araby berpendapat bahwa tujuan
akhlak adalah untuk mencapai derajat manusia sempurna. Sedangkan menurut
Imam al-Ghazali, tujuan akhlak adalah untuk mencapai kebahagiaan dan
kemuliaan. Menurut Anwar Masy‟ari, tujuan akhlak yaitu untuk menciptakan
manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari
makhluk-makhluk lainnya. Manusia tanpa akhlak hilang derajat kemanusiaannya
20
Deden Makbuloh, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.
145 21
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 247
50
sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke martabat hewani.
Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat berbahaya dari
binatang buas.22
Akhlak hendak menjadikan orang berakhlak baik, melakukan
perbuatan baik terhadap sesama manusia, terhadap makhluk dan terhadap
Tuhan.23
Maka dengan mempelajari ilmu akhlak kita bisa mengetahui beberapa
perangai manusia yang baik maupun yang jahat, agar manusia dapat memegang
teguh perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai yang jahat
atau buruk, sehinga tercipta tata tertib dalam kehidupan masyarakat, tidak saling
membenci, saling mencurigai antara satu dengan lainnya, tidak ada perkelahian
ataupun peperangan, ataupun saling membunuh di antara hamba Allah di muka
bumi ini.
Maka jika tujuan dari akhlak tersebut bisa tercapai, maka manusia akan
memiliki kebersihan batin dan melahirkan perbuatan baik atau terpuji. Dari
perbuatan terpuji tersebut akan lahir keadaan masyarakat yang damai, harmonis,
rukun, sejahtera lahir dan batin, sehingga memungkinkan manusia dapat
beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
C. Keluhuran Akhlak Rasulullah dalam al-Qur’an
22
Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 13. 23
Badrudin, Akhlak Tasawuf, (Banten: IAIB Press, 2015), cet. II, h. 13
51
Di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan istilah akhlaq اخلق dalam bentuk jamak.
Namun, ditemukan bentuk mufrad dari kata akhlak khuluqun خيك di dalam al-
Qur‟an disebutkan 2 kali penyebutan dalam 2 surah, di antaranya: 24
Q.S. as-Syu‟ara [26]: 137
إ زاإل خيكه ى و ٧٣١ٱل
Q.S. al-Qalam [68]: 4
خيكوإلىعيى ٤عظ
Selain ayat-ayat tersebut, adapun beberapa ayat yang memiliki makna atau
menggambarkan tentang akhlak (moral), walaupun di dalam ayat-ayat tersebut
tidak menggunakan kata akhlak secara langsung, di antaranya: Q.S. An-Nahl
[16]: 90, Q.S. Tha>ha> [20]: 114 dan Q.S. Ali Imran [3]: 159. Adapun ayat-ayat
mengenai tindakan atau contoh dari akhlak tersebut, di antaranya: Q.S. An-Nisa
[4]: 81, Q.S. Ya>si>n [36]: 22, Q.S. Az-Zumar [39]: 11, Q.S. Al-Hasyr [59]: 7,
Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40, Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5, Q.S. Al Baqarah [2]: 45,
dan Q.S. Al-„Ashr [103]: 3.
Jika ayat-ayat tersebut diklasifikasikan, maka ada tiga pembahasan. Pertama,
akhlak Rasulullah, di antaranya terdapat di dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4, Q.S. Ali
Imran [3]: 159-160, Q.S. Tha>ha> [20]: 114 dan Q.S. An-Nahl [16]: 90. Kedua,
ayat-ayat yang membahas karakteristik (sifat) akhlak Rasulullah yang terbagi ke
dalam beberapa kriteria, antara lain: ada yang membahas tentang sifat ikhlas di
24
„Abd al-Ba>qi>, Muh}ammad Fuad, al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fa>z} al Quran al-
Kari>m, (Beirut: Da>r al Ma‟rifah, 2002), h. 241
52
antaranya di dalam Q.S. Ya>si>n [36]: 22, Q.S. Az-Zumar [39]: 11, Q.S. Al-
Hasyr [59]: 7, dan Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5; sifat tawakkal di dalam Q.S. An-
Nisa [4]: 81; dan sifat sabar di dalam Q.S. Al Baqarah [2]: 45, dan Q.S. Al-„Ashr
[103]: 3. Ketiga, jaminan setelah melakukan kriteria dari akhlak tersebut yaitu
yang disebut siddiqun terdapat di dalam Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40.
Adapun klasifikasi ayat-ayat mengenai khuluq berdasarkan periodisasi
turunnya ayat-ayat al-Qur‟an secara umum terbagi menjadi dua, yaitu yang turun
di Mekah dan Madinah atau yang disebut dengan istilah Makiyyah dan
Madaniyyah. Tentang istilah Makki dan Madani sendiri, para ulama berbeda
pendapat dalam memberikan batasan mengenai ayat-ayat Makiyyah dan
Madaniyyah. Ada yang berpendapat berdasarkan masa turunnya; ayat-ayat
Makiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke
Madinah, dan ayat-ayat Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat
diturunkannya; Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya,
seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat
yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba‟ dan Sil. Adapun yang
berpendapat berdasarkan sasaran (seruan)nya yang dituju oleh dialog ayat-ayat
al-Qur‟an.25
Berikut klasifikasi ayat-ayat akhlak yang tergolong kepada
Makiyyah dan Madaniyyah:26
25
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar
Nusa, 2013), cet. 16, h. 83-85 26
Peneliti menggunakan susunan klasifikasi surat-surat al-Qur‟an versi kronologi Mesir.
Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, cet. 1 (Jakarta: PT Pustaka Alvabet,
2013), h. 103-105.
53
Periode Surat No. Surat No. Ayat
Makiyyah Al-Qalam 68 4
Al-„Ashr 103 3
Ya>si>n 36 22
Tha>ha> 20 114
As-Syu‟ara 26 137
Az-Zumar 39 11
An-Nahl 16 90
An-Na>zi‟a>t 79 40
Madaniyyah Al-Baqarah 2 45
Ali Imran 3 159
An-Nisa> 4 81
Al-Bayyinah 98 5
Al-Hasyr 59 7
Dari tabel tersebut terlihat bahwa ayat-ayat yang menjelaskan tentang akhlak
terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makiyyah (yang turun di Mekkah) dan
Madaniyyah (yang turun di Madinah). Ayat-ayat yang termasuk ke dalam ayat-
ayat Makiyyah terdapat dalam 8 surat, sedangkan yang masuk ke dalam
54
Madaniyyah ada 5 surah. Dan penulis akan memaparkan munasabah ayat-ayat
tersebut sebagai berikut:
1) Q.S. al-Qalam [68]: 4. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
2) Q.S. al-„Ashr [103]: 3. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
3) Q.S. Ya>si>n [36]: 22 “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang
telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan”. Ayat ini membahas tentang keikhlasan dalam beribadah
kepada Allah sang Maha Pencipta yang memiliki kekuasaan dan
kebesaran, karena hanya kepada-Nya kita akan kembali setelah
meninggalkan dunia yang fana ini. Ayat tersebut memiliki munasabah
dengan ayat sebelumnya, Q.S. Ya>si>n [36]: 21 “Ikutilah orang yang
tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. Ayat ini juga mengandung sifat ikhlas, yakni para
utusan yang mendakwahkan risalah (kebenaran) dan mereka tidak
meminta imbalan atas jerih payahnya tersebut.
4) Q.S. Tha>ha> [20]: 114. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
5) Q.S. Az-Zumar [39]: 11 “Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama”. Ayat ini membahas tentang ikhlas dalam
menyembah Allah, dengan tidak berbuat syirik dan memurnikan ketaatan
55
kita hanya kepada Allah dalam menjalankan ibadah apapun. Ayat tersebut
memiliki munasabah dengan ayat sebelumnya, Q.S. Az-Zumar [39]: 10
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada
Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh
kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-
orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
Ayat ini membahas diantaranya untuk bertakwa kepada Allah atas
keimanan yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita, ikhlas dalam
melakukan kebaikan di dunia sehingga akan mendapatkan kebaikan pula,
dan bersabar atas segala sesuatu karena Allah swt. telah menjanjikan
pahala yang tak terbatas bagi orang yang bersabar.
6) Q.S. An-Nahl [16]: 90. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
7) Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 40 “Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”.
Ayat ini membahas tentang orang-orang yang takut akan kebesaran Allah
sehingga mereka dapat mengendalikan diri dari hawa nafsu. Ayat ini
memiliki munasabah dengan ayat setelahnya Q.S. An-Na>zi‟a>t[79]: 41
“maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. Ayat ini
menjelaskan tentang jaminan bagi orang-orang yang bisa menahan dirinya
dari hawa nafsu, yakni jaminan tersebut adala surga.
8) Q.S. Al-Baqarah [2]: 45. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
56
9) Q.S. Ali Imran [3]: 159 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya”. Ayat ini membahas tentang sifat tawakkal, yaitu dengan berlaku
lemah lembut terhadap orang-orang yang telah melakukan kesalahan atau
membuat hal-hal yang tidak diinginkan sehingga membuat kecewa.
Karena, apabila kita tidak mau memaafkan dan bersikap keras terhadap
orang-orang tersebut mereka justru akan menjauh. Maka dengan berlaku
lemah lembut dan memaafkan mereka, lalu dimusyawarahkan dengan baik
merupakan cara yang paling baik. Ayat ini memiliki munasabah dengan
ayat setelahnya, Q.S. Ali Imran [3]: 160 “Jika Allah menolong kamu,
maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan
yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu
hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”. Ayat ini
menjelaskan juga tentang tawakkal. Bahwasannya ketika kita mengalami
kekalahan atau kegagalan hendaknya kita bertawakkal kepada Allah.
Karena, kita tidak dapat menghindari dan bangkit dari kegagalan atau
kekalahan tanpa pertolongan Allah swt.
57
10) Q.S. An-Nisa [4]: 81. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat ini
dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
11) Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Ayat ini menjelaskan tentang ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt.
Beribadah semata-mata ikhlas karena Allah bukan karena makhluk.
Mendirikan shalat karena Allah, menunaikan zakat karena Allah bukan
karena ingin dinilai baik oleh makhluk, semuanya dilakukan semata karena
Allah, karena keikhlasan untuk mendapatkan ridha Allah merupakan
ibadah paling utama. Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat
setelahnya, Q.S. Al-Bayyinah [98]: 6 “Sesungguhnya orang-orang yang
kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-
buruk makhluk”. Ayat ini menjelaskan tentang ancaman bagi orang yang
tidak melakukan keikhlasan dalam ayat sebelumnya, yakni ahli kitab dan
orang-orang musyrik. Mereka akan kekal di neraka jahannam.
12) Q.S. Al-Hasyr [59]: 7. Di dalam surat ini tidak ada hubungan antara ayat
ini dengan ayat sebelumnya, ataupun dengan ayat setelahnya.
D. Pembinaan Akhlak Mulia Misi Utama Kerasulan Muhammad SAW
Selain mengemban misi akidah, Nabi Muhammad SAW juga mengemban
misi akhlak. Seperti telah diketahui, bahwa keadaan akhlak bangsa Arab
58
sebelum Nabi diutus adalah akhlak Jahiliyah, yaitu akhlak yang menyimpang
dari ajaran syariat Islam, Akhlak yang jauh dari rumusan syariah agama
sehingga misi nabi Muhammad bukan hanya mengubah theologi (tahuid)
yang sebelumnya memiliki ketauhidan yang salah, tetapi misi puncaknya pun
mengubah prilaku masyarakat Arab yang memiliki prilaku yang keluar dari
ajaran agama. Sebab akhlak merupakan ajaran penting, yang memiliki norma-
norma agama yang bisa berdapak positif atau negatif bagi setiap individu.
Apabila sikap dan prilaku diaktualkan seseorang itu baik yang tidak
bertentangan dengan syariah Islam maka bisa dikategorikan orang tersebut
memiliki akhlak yang mulia (akhlak mahmudah), sebaliknya sikap yang
diaktualkan itu buruk yang bertentangan dengan syariah Islam maka disebut
sebagai akhlak tercela (akhlak madzmumah).
Pengetahuan dalam segi filsafat pada zaman jahiliyyah belum menonjol,
terutama mengenai pengetahuan akhlak. Karena, pendidikan akhlak hanya
dapat diselidiki dan didalami oleh bangsa-bangsa yang sudah maju
pengetahuannya, sebagaimana bangsa Yunani (Socrates, Plato, dan
Aristoteles), Tiongkok, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, Bangsa
Arab pada saat itu mempunyai beberapa ahli yang menghidangkan syair-syair
yang mengandung nilai akhlak, seperti Luqman al-hakim, Aktsam ibn Shayfi,
Hakim al-Tha‟i, dan Zubair ibn Abi sulma. Berikut beberapa syair tersebut,
diantaranya:27
27
Badrudin, Akhlak Tasawuf, cet. II, (Banten: IAIB Press, 2015), h. 35-36
59
Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan: “Barang siapa menepati janji,
tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjukkan
kebaikan yang menentramkan, maka tidak akan ragu-ragu”.
Amir ibnu Dharb al-Adwany mengatakan: “Pikiran itu tidur dan nafsu
bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan bathil
tidak akan mungkin terjadi dan yang bathil itu lebih utama buatnya.
Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
Aktsam ibn Shayfi yang hidup pada zaman jahiliyyah dan masuk Islam,
mengatakan: “Jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah merusakkan;
kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan;
dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan
sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka merusak, dan buruk sangka
adalah penjagaan”.
Amr ibn Al-Ahtam kepada budaknya mengatakan: “Sesungguhnya kikir itu
merupakan perangai yang akurat untuk lelaki pencuri; bermurahlah dalam
cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan suci dan tinggi adalah
orang yang belas kasih. Setiap orang mulia akan takut mencelamu, dan bagi
kebenaran memiliki jalannya sendiri bagi orang-orang yang baik”.
Al-Adwany pernah berpesan kepada anaknya Usaid, dengan sifat-sifat
terpuji, ujarnya: “Berbuatlah dermawan dengan hartamu, memuliakan
tetangamu, bantulah orang yang meminta pertolongan padamu, hormatilah
tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta sesuatu pada orang
lain”.
60
Akhlak merupakan karakter Nabi Muhammad SAW yang sangat dipuji,
bahkan al-Qur‟an dilihat sebagai sikap dan prilaku Nabi,28
setiap ayat
memberikan pesan moral yang diaktualkan oleh Nabi Muhammad. Artinya,
bahwa semua ketentuan yang ada di dalam al-Qur‟an merupakan cerminan
dari akhlak Nabi.
Nabi merupakan prototipe manusia mulai dari Nabai Adam as. hingga
akhir zaman, sehingga sifat, sikap serta tindakannya digunakan untuk
mengukur akhlak manusia. Selain itu, batasan-batasan setiap akhlak manusia
menjadi jelas, sehingga suatu akhlak tidak boleh melampaui akhlak yang lain.
Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan keagungan akhlak untuk
memperbaiki akhlak manusia, sehingga manusia dapat mencapai
kesempurnaan akhlak. Maka dari itu, demi melahirkan manusia yang
berakhlak mulia, kita harus meneladani semua sifat, sikap, serta tindakan
Rasulullah saw.
Terdapat beberapa hadis nabi yang membicarakan tentang pentingnya
akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadis, 20.000 diantaranya
berkenaan dengan akidah, sementara 40.000 (sisanya) berkenaan dengan
akhlak dan muamalah. Diantaranya ada yang berisi tentang pahala melakukan
akhlak mulia, anjuran berhias dengan akhlak yang baik (terpuji), serta adapun
yang berisi peringatan terhadap manusia mengenai akhlak yang buruk
(tercela).
28
Hafidz al-Kabir Abi Na‟im al-Ashbahani, Dalail al-Nubuwwah, (Beirut: Daar al-
Nafais), h. 181
61
Rasulullah saw. mengabarkan bahwa akhlak yang baik yaitu mampu
mengejar amalan ahli ibadah. Dalam sebuah hadis dari „Aisyah Ummul
Mu‟minin berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
اىقبئ بئ خيقهدسجتاىص ىذسكبحغ ؤ اى إ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan
mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa”.29
Ummu Darda‟ meriwayatkan dari suaminya Abu darda‟, Rasulullah saw.
bersabda:
ىبغضاىفبحش للا وإ ، حغ خيك ت اىقب ى ؤ اى ضا ف أثقو ء ش ب
.اىبزيء
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-Mizan (timbangan) dari
pada akhlak yang mulia”.30
Akhlak yang baik adalah sebab seseorang
memperoleh derajat yang tinggi di jannah Allah swt. sebaliknya, akhlak yang
buruk merupakan sebab seseorang terhalang dari kenikmatan jannah.
Abdullah bin „Amr meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda:
خيقب أحغن أخشم .إ
29
Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,
(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4798 30
Abu „Isa Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, (Digital Library: Maktabah
Syamilah), no. 5632
62
“Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik
akhlaknya”.31
Di dalam hadis lain, Rasulullah berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan
Mu‟adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik
dalam sabda beliau:
حهب،وخبىكاىبطبخيكحغ ئتاىحغتح ج،وأحبعاىغ بم ث ح .احكللا
“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada. Iringilah
kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya, dan
pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik”.32
Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. bersabda:
شاءوإ حشكاى جفسبضاىجتى بب جفوعطاىجتأبصع حقب،وبب مب
خيقه حغ جفأعيىاىجتى بصحبوبب مب حشكاىنزةوإ .ى
“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang
yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan
jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan
kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah
di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya”.33
Dari Haritsah ibn Wahb ia berkata, Rasulullah saw, bersabda:
اظولاىجعظشي .لذخواىجتاىجى
31
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 6029 32
Abu „Isa Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, (Digital Library: Maktabah
Syamilah), no. 1987 33
Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,
(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4800
63
“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku”.34
34
Abu Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dawud at-Thayalisi,
(Digital Library: Maktabah Syamilah), no. 4801
64
BAB IV
INTERPRETASI SAHL AL-TUSTARI TENTANG KEAGUNGAN
AKHLAK NABI MUHAMMAD SAW DALAM AL-QUR’AN
A. Nabi Muhammad Berakhlak dengan al-Qur’an
Sahl al-Tustari menafsirkan Q.S. al-Qalam [68]: 4
خهق عظى إك نعه
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung”
Menurutnya ayat di atas memberi pernyataan bahwa Nabi Muhammad
memiliki akhlak yang agung yang dimaknai sebagai kenyataan bahwa ia beradab
dengan adabnya al-Qur‟an dengan tidak melampaui batas yang ditetapkan seperti
digambarkan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 90. Karakter yang ditunjukkan dalam ayat
tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam subbab selanjutnya di bawah
ini, merupakan bentuk-bentuk keagungan akhlak Allah yang diajarkan kepada
Nabi Muhammad seperti perintah untuk bersikap adil, berbuat baik (ihsan),
memberi hak kerabat, serta melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Sikap-sikap itulah yang menjadi inti ajaran moral al-Qur‟an yang
selanjutnya kemudian disebut Sahl sebagai perintah untuk meneladani “akhlak
Allah”. Disebut sebagai akhlak Allah karena dengan budi pekerti luhur itulah
Allah memberi pelajaran kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahkan, Sahl menyebut bahwa bukan hanya Muhammad yang diberikan
pelajaran untuk mengambil akhlak Tuhan, karena Dawud AS juga mendapatkan
perintah serupa. Sahl mengulas lebih rinci penjelasannya tentang Nabi Daud AS
65
yang mendapatkan perintah Allah melalui wahyu ketika Allah berfirman,
“Berakhlaklah dengan Akhlak-Ku, karena Aku Maha Pemberi Kesabaran.” 1
Di
sini, dapat dijelaskan bahwa Daud AS merupakan salah satu Nabi yang memiliki
kerakter akhlak mulia dengan sifat penyabar yang dimilikinya. Sifat penyabar
inilah yang menjadi ciri akhlak Daud AS dalam meniru akhlak Allah yang Maha
Penyabar (al-Sabur). Hal inilah yang menjadi nilai penting ayat ini dalam
pembahasan tentang akhlak Rasulullah SAW. yang digambarkan sebagaimana
adab dan ajaran moral yang ditunjukkan dalam al-Qur‟an yang dirujuk Sahl
dengan batasan-batasannya pada Q.S. al-Nahl [16]: 90, sebagai bagian dari
bentuk-bentuk manifestasi dari keagungan akhlak Allah yang melekat pada diri
Muhammad SAW.
Sebagai bagian dari teori etika yang digagasnya tentang keagungan akhlak
Rasulullah SAW. dalam al-Qur‟an, Sahl juga merujuk ayat lain yang menjadi
salah satu bentuk manifestasinya dalam Q.S. Alī „Imran [3]: 159 dengan dua
istilah kunci yang menjadi inti kandungannya: (1) sifat belas kasih (rahmat) dari
Allah dan (2) sikap lemah lembut kepada manusia (linta lahum), sebagaimana
yang juga akan diberikan penjelasannya sendiri di subbab selanjutnya. Sahl lebih
jauh mengibaratkan bahwa jika kemarahan (al-ghadab) dan sikap keras kepada
sesama (al-haddah) ---sebagai kebalikan dari sifat belas kasih dan lemah lembut--
- menjadi sifat-sifat dalam diri seorang hamba yang menempati (sakana)
kekuatannya. Sahl mengibaratkan bahwa andaikata seorang hamba keluar dari
1 Muhammad Basil „Uyun al-Sud dalam editannya terhadap Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim
terbitan Dar al-Kutub al-„Ilmiyah menjelaskan bahwa riwayat hadits Qudsi yang turun kepada
Dawud AS untuk berakhlak dengan Allah Allah yang penyabar dapat pula dilihat dalam tafsiran
al-Munāwī dalam Faid al-Qadīr Syarh al-Jāmi‟ al-Saghīr, (Mufahharas ala „Anāwīn al-
Ra„isiyyah), vol. 1, h. 465; dan vol. 5, h. 363.
66
tempat kediaman kekuatan dirinya, maka yang akan tinggal adalah kelemahan
(da‟f) di dalam dirinya, yang darinya lahirlah banyak sifat yang diantaranya
adalah belas kasihan (rahmah) dan kelembutan (lutf). Inilah yang kemudian juga
disebutnya sebagai manifestasi akhlak Allah2 yang perlu diteladani oleh
Muhammad SAW. yang memiliki keluhuran budi pekerti.
Bagi Sahl, kenyataan bahwa Muhammad SAW. telah dianugerahi budi
pekerti yang agung, sebagaimana yang disebutnya sebagai “adab al-Qur‟an” atau
“akhlak Allah” yang juga diberikan kepada Dawud AS menjadi pemberian Allah
kepada hamba-hamba yang dipilihnya. Mereka yang dianugerahi “kebaikan
akhlak” (al-khuluq al-hasan), maka sesungguhnya mereka telah dianugerahi
“maqamat yang paling agung” (a‟zam al-maqamat). Alasannya, karena maqamat
di bawahnya merupakan karakter yang mengikat orang biasa secara umum
(„ammah). Oleh karena itu, keterikatan dengan bentuk-bentuk akhlak Tuhan
adalah keterikatan untuk meneladani sifat-sifat dan karakter-Nya. Inilah yang
disebutnya sebagai karamah (kemuliaan). Baginya, karamah adalah sesuatu yang
akan habis pada waktunya, dan yang menjadi karamah terbesar yang dimiliki
seseorang adalah mengganti akhlak tercela dengan akhlak yang mulia.3
Jika dilihat dari penafsirannya al-Thabarī, memiliki kesamaan bahwa yang
dimaksud dengan khuluq „adzim yaitu budi pekerti agung. Penafsiran selanjutnya,
2 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174. 3 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174.
67
ia mengutip hadis dari Ibn „Abbas bahwa kata khuluq diuniversalkan dengan
makna al-din (agama islam).4
B. Manifestasi Adab al-Qur’an
Seperti yang sudah disinggung di sub bab sebelumnya mengenai rujukan
Sahl al-Tustari terhadap penafsiran Q.S. Al-Nahl [16]: 90 yang menerangkan
secara detil batasan-batasan (hudud) tentang apa saja bentuk-bentuk akhlak mulia
yang diajarkan oleh Allah kepada nabi Muhammad sebagai bagian dari perintah
untuk berakhlak dengan akhlak Allah, maka pembahasan kali ini akan
menjelaskan perintah dan larangan apa saja yang menjadi perwujudan bentuk
akhlak yang mulia itu.
۞إ ٲنعذل أيش ت ٱلل حس ر ٱلإرا ٱنقشت ع كش ٱنفحشاء ٱن ٱنثغ
٠عظكى نعهكى ذزكش
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran”.
1. Berbuat Adil
Salah satu perintah yang Allah berikan di dalam al-Qur‟an sebagai bentuk-
bentuk akhlak yang mulia yaitu perintah kepada Nabi SAW. untuk berbuat adil
dan berbuat baik kepada sesama manusia (ihsan). Dalam hal ini, Sahl memaknai
keadilan (al-„adl) dengan perkataan la ilaha illallah wa anna muhammadan
4 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 23, h. 150.
68
rasulullah, yaitu tidak ada sesembahan selain Allah dan bahwasanya Muhammad
adalah utusan Allah, yang kemudian diikuti dengan meneladani Sunnah Nabi
Muhammad SAW.5 Dengan demikian, nampak bahwa Sahl memaknai perintah
untuk berbuat adil sebagai perintah keberislaman itu sendiri. Selain bersyahadat,
keadilan dalam berislam menuntut seorang muslim untuk meneladani sunnah
Rasulullah SAW. Keteladanan ini diberikan lantaran Rasulullah SAW memiliki
keluhuran budi pekerti dari apa yang diajarkan Allah sebagai bentuk-bentuk
akhlak Tuhan, di mana berbuat adil dan keadilan merupakan salah satu ciri sifat
Allah.
Sebagai perbandingan, penjelasan al-Thabarī senada dengan penjelasannya
al-Tustarī di dalam meinterpretasikan kata Adl (adil). Menurut beliau kata Adl
memiliki aksis makna yang sama dengan Inṣāf yaitu kejujuran atau berbuat Adil
sehingga yang berhak yang didelegasikan sebagai Inṣāf atau Adl ialah Dia yang
memberikan nikmat dan tempat yang disyukuri atas pemberian kelebihan atau
nikmat, Dia-lah Allah SWT. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Allah memerintah untuk berbuat Adl dan Ihsan sebagai bukti
persaksian bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai delegasi oleh
Tuhan yang disimpulkan sebagai Syahadah (persaksian) apabila seseorang
memiliki dasar Syahadah yang diartikan menerima dan menetapkan Allah sebagai
5 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92.
69
Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Allah sejatinya dia telah berbuat adil dan
berbuat ihsan.6
2. Ihsan
Selain berlaku adil, Allah juga mengajarkan kepada Nabi Muhammad
SAW. untuk berbuat ihsan. Sahl memaknai ihsan sebagai tindakan melakukan
kebaikan kepada pihak lain. Pada dasarnya Adil dan Ihsan memiliki
korespondensi atau korelasi, sehingga apabila diaktualkan maka kedua-duanya
harus diimplementasikan, sebagaimana penjelasananya al-Thabari, bahwa Ihsan
keikutsertaan di dalam bertindak adil.7
3. Memberikan hak kaum kerabat
Sifat akhlak selanjutnya adalah memberi hak-hak yang dimiliki kaum
kerabat. Menurut Sahl, apabila seseorang mendapatkan kelebihan rezeki, maka
seyogyanya ia memberikannya kepada orang-orang yang Allah mengamanahkan
penanganan urusannya di bawah tanggung jawabnya dari antara kaum kerabatnya
sendiri.8 Di sini, nampak bahwa Sahl memaknai ayat ini secara zhahirnya, sesuai
dengan pemahaman orang Arab kebanyakan terkait tanggung jawab kekeluargaan
dan kekerabatan.
6 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Markaz al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 334-335. 7 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 335. 8 Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92.
70
Senada dengan yang dijelaskan oleh al-Thabari, beliau meinterpretasikan
memberikan rezeki lebih kepada kerabat merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi setiap orang sebagai bentuk Arhām (kasih sayang).9
4. Larangan berbuat keji (fahsyā‟)
Selanjutnya, di antara larangan yang diajarkan Allah kepada Muhammad
sebagai bagian dari batasan akhlak al-Qur‟an adalah larangan untuk berbuat keji.
Sahl al-Tustari memaknai perbuatan Fahsyā‟ sebagai larangan untuk berbohong,
ghibah (menggunjing), dan juga membuat tuduhan palsu (buhtan) dan perbuatan
keji lain yang sejenis.10
Nampak bahwa tafsiran Sahl terbatas pada perbuatan keji
yang masuk dalam kategori etika dan moral saja dengan beberapa hal yang
dicontohkannya. Hal yang berbeda diberikan oleh penafsiran al-Thabari yang
memasukkan perbuatan keji dengan pelanggaran had zina11
, pada penafsiran yang
lain yang memiliki derivasi kata Fahsyā‟ contoh pada Q.S. al-Baqarah [2]: 169,
al-Thabari memberikan penjelasan Fahsyā‟ adalah seuatu yang keji dilakukan dan
buruk untuk diucapkan. Kata ini juga memiliki Murādif (sinonim) dengan kata Sū‟
(buruk) yang buruk untuk dilakukan sebab ada kemudharatannya (bahaya). Salah
satu tindakan yang Fahsyā‟ yaitu zina12
9 Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 335. 10
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92. 11
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 336. 12
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 3, h. 39-40.
71
5. Larangan berbuat munkar
Sahl memaknai larangan berbuat munkar, yang menjadi ciri keagungan
akhlak Nabi SAW sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Qur‟an dalam
konteks ayat ini sebagai tindakan berbuat maksiat atau perbuatan lain yang
sejenis.13
Dalam menafsirkan ayat ini, menurut al-Thabari memberikan penjelasan
bahwa Munkar tindakan yang durhaka terhadap Allah sebagaimana penjelasan
beliau pada Q.S. Alī Imran [3]: 104, menurut beliau Munkar adalah memiliki sifat
kufur terhadap Allah tidak menerima Muhammad sebagai yang didelegasi oleh
Allah. 14
6. Larangan mendengki (al-baghy)
Salah satu yang menjadi catatan penulis terhadap Tafsir Tustari dalam
penafsiran ayat ini adalah bahwa Sahl tidak menafsirkan makna istilah baghy.
Besar kemungkinan bahwa Sahl menyamakan istilah baghy dengan fahsya‟ yang
sudah disebutkan sebelumnya. Bila dikaitkan dengan penjelasan Sahl dalam
bagian lain kitab tafsirnya, terkait Q.S. al-A‟raf [7]: 33 Sahl memaknai fawahisy
baik yang dinampakkan maupun yang disembunyikan sebagai larangan Allah
dengan makna “dengki dalam hatinya, dan berbuat dengan anggota badannya”.15
Dari penjelasan tersebut, penulis menganggap bahwa selain bisa jadi lantaran
istilah baghy sudah sangat jelas makna zhahirnya, maka kaitannya dengan
penafsiran fahisyah dalam Q.S. Al-„Araf [7]: 33 bisa dijadikan pertimbangan
13
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 92. 14
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 5, h. 661. 15
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 66.
72
mengapa tidak didapati penjelasan tentang tafsir makna kata baghy dalam ayat ini
lantaran sudah disebutkan sebelumnya.
Menurut al-Thabari, kata Baghy memiliki kesamaan maksud dengan
Fahsyā‟, hanya saja penggunaan kata biasanya diartikan sebagai kebohongan dan
kedzhaliman.16
C. Karakteristik Akhlak Rasulullah SAW
Sebagaimana disebutkan di subbab sebelumnya mengenai anugerah
keagungan budi pekerti yang dimiliki Rasulullah SAW., Sahl merujuk Q.S. Alī
Imran [3]: 159 sebagai bagian dari tafsirnya tentang karakter utama yang melekat
ke dalam pribadi Nabi SAW berkat belas kasih (rahmah) yang dilimpahkan oleh
Allah adalah sikap penuh kelembutan (lutf), pemaaf, dan suka bermusyawarah,
serta tawakkal.
ا فث ح ي سح كد فظا غهظ ٱلل ن ل ٱنقهة ند نى نك ف فو ح ى ٲعف ي ع
سى ف ٱسرغفش شا كم عه ٱليش نى فئر عزيد فر ٱلل إ ك حةو ٱلل ر ٱن ٠ه
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya”.
Asbab al-Nuzul ayat ini adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas
r.a. sebab-sebab turunnya Q.S. Alī Imran kepada Nabi Muhammad adalah setelah
terjadi peperangan Badar mengadakan musyawarah dengan Ab Bakar r.a. dan
16
Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir At-Tha ari Jāmi‟u al- ayāni „an
Ta‟wili ay al-Qur‟ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki (Mesir: Marka al-Buh ts wa
al-Dirāsā al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001), j 14, h. 336.
73
„Umar b. Khattab r.a. untuk meminta pendapat mereka tentang tawanan perang
Badar. Ab Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada
keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tembusan. Namun „Umar
berpendapat, sebaiknya mereka dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah
keluarga mereka. Rasulullah SAW kesulitan di dalam memutuskan, kemudian
turunlah ayat ini sebagai dukungan atas pendapat Ab Bakar r.a. (HR. Kalabi). 17
1. Bersikap lemah lembut
Menurut Sahl, apabila rahmat menyertaimu maka haruslah bersimpati
dengan lemah lembut. Tetapi apabila kamu menyampaikannya dengan tindakan
kasar, maka orang-orang di sekelilingmu akan menjauhi atau memisahkan diri.
Pada teks ند derivasi dari kata ا – ن – ه yang artinya lemah lembut, belas ال
kasih, lunak, mengalah dan fleksibel. Kemudian ketika kata ini digandengakan
dengan Rahmah maka maknanya menjadi lemah lembut karena salah satu
tindakan rahmah yaitu lemah lembut.
2. Memaafkan kesalahan
Sikap kedua setelah bersikap lemah lembut adalah memaafkan kesalahan,
Sahl memaknainya sebagai tajawaz „an zulalihim… yaitu dengan melupakan
masalah yang telah lewat dengan cara memaafkan. Maksud kalimat ini memiliki
korespondensial dengan term sebelumnya, dengan melihat asbab al-nuzul bahwa
Nabi Muhammad dihadang dengan kebingunan di dalam memutuskan kedua
pendapat bagaimana menangani kasus tawanan perang. Ternyata ayat ini
mendukung sekali dengan pendapat Ab Bakar r.a. dengan cara bersikap lemah
17
Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Qur‟an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka
(Jakarta: Kalim, 2011), h. 72.
74
lembut sebagai bentuk rahmah dari Allah, dan kesalahan yang telah diperbuat oleh
mereka dengan cara memaafkannya.
3. Musyawarah
Setelah bersikap lemah lembut dan memaafkan kesalahan yang telah
lewat, kemudian teks ayat selanjut memberikan arahan mengajak mereka dengan
bermusyawarah jangan menjauhi mereka dikarenakan mereka melakukan maksiat
tetapi rangkul mereka dengan kebaikanmu, maafkan mereka dan meminta ampun
kepada Allah. Beliau memberikan arahan alangkah baiknya untuk bermusyawarah
bersama para „Ulama sebab apabila mereka yang bermusyawarah dengan asumsi
sendiri maka bisa mengakibatkan terasumsi yang subyektif, maksudnya bisa
dikelabui dengan asumsi sendiri karena tidak dibimbing oleh para „Ulama. Karena
pada intinya melakukan musyawarah adalah suatu tindakan yang bisa
memecahkan permasalahan secara bersama dalam mengambil keputusan atau
mencari jalan keluar untuk mencapai mufakat atau saling setuju
4. Tawakkal kepada Allah
Setelah keinganan menjadi tekad, serahkanlah itu semua kepada Allah
yaitu percayakan itu semua kepada Allah, serahkan semua urusanmu kepada Allah
hanya kepada-Nya kamu bisa membutuhkan apa yang kamu inginkan.18
Penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa seseorang harus memiliki ketergantungan
dan menyerahkan diri itu semua kepada sang maha kuasa sebagai konfigurasi
tawakkal kepada Allah. Tidak hanya Nabi Muhammad mengajarkan untuk
tawakkal, tetapi Nabi-nabi sebelumnya sudah pernah mengaktualkan tawakkal
18
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 51.
75
sebagai bentuk perwujudan seorang muslim yang berakhlak, misalkan tulisan
Moh. Anwar Syarifuddin mengenai Nabi Musa yang bertaubat dari perbuatan
aniaya. Singkat cerita kejadian ini bermula dari temannya yang tengah berkelahi
dengan salah seorang pemuda dari lelaki koptik yang sebagai musuh di kota
Memphis. Mendengar permintaan tolong temannya inilah,
maka ia lalu meninju orang yang ia anggap sebagai musuh temannya tersebut,
sehingga pemuda yang berasal dari kelompok musuh itu mati. Setelah kejadian
para tentara Fir‟aun hendak menangkap Musa sebagai terdakwa, terjadilah
pelarian Musa ke kota Madyan. Musa hendak lari ke kota Madyan ini dimulai
ketika permohonan ampun kepada Allah kemudian diberi petunjuk untuk lari ke
kota tersebut. Sikap mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah merupakan
tindakan Tawakkal. Tidak sampai di sana saja, lanjutannya beliau pulang dari
Madyan ke Mesir mendapatkan perintah dari Allah untuk mendakwahi Fir‟aun.
Sikap ini sebagai menerima perintah dan berserah diri kepada Allah sebagai
bentuk konfigurasi Tawakkal, meskipun beliau masih menjadi terdakwa kasus
pembunuhan dan ada rasa takut dibunuh ketika sampai di Mesir tetapi itu tidak
terjadi, dengan pertolongan Allah beliau dibebaskan atas kesalahannya dan Allah
juga menentukan hasil dakwahnya saat Fir‟aun menolak ajakan atau dakwah
Musa untuk beriman kepada Allah yaitu tenggelam di saat menyebrangi laut
merah ketika mengejar Banī Isra‟il yang hendak berhijrah meninggalkan Mesir.19
Dari empat pembahasan mengenai karakteristik Nabi Muhammad bisa
disimpulkan, ketika seseorang dihadapkan persoalan hendaknya dimulai dengan
19
M. Anwar Syarifuddin, “Pesan Tauhid dalam Dakwah Musa AS”,
http://anwarsyarifuddin.lec.uinjkt.ac.id/seri-kajian-tafsir/kajian-hermeneutika-doa/pesan-tauhid-
dalam-dakwah-musa-as, diakses pada tanggal 27 November 2018 jam 22:30 WIB.
76
bersikap lemah lembut kemudian dilanjutkan dengan tindakan pemaaf. Ketika
kedua tindakan ini tidak bisa diselesaikan maka melangkah tahap selanjutnya
yaitu bermusyawarah, buatlah perbincangan atau pembicaraan yang bisa
menyelesaikan persoalan antara kedua pihak, dan yang terakhir ketika semua itu
bisa diaktualkan mapun tidak, maka seseorang harus menyerahkan persoalan itu
kepada Allah memohon pertolongan dan petunjuk apakah cara yang dilakukan
untuk menyelesaikan sudah dibenarkan atau sebaliknya, seseorang meminta
petunjuk agar persoalan yang dihadapi bisa terselesaikan dengan baik.
D. Beberapa Maqamat dari Contoh Akhlak Nabi SAW
Jika Q.S. al-Qalam ayat 4 dimaknai Sahl sebagai pemberian Allah kepada
Nabi Muhammad SAW tentang “maqamat yang paling agung” (a‟ẓam al-
maqāmāt), sebagai keterikatannya dengan bentuk-bentuk akhlak Tuhan
sebagaimana keterikatannya untuk meneladani sifat-sifat dan karakter-Nya. Maka
hal yang demikian merupakan bentuk karamah (kemuliaan), yang idealnya
diteladani oleh kaum muslimin yang menjadi pengikut Muhammad, ketika
karamah didefinisikan sebagai sesuatu yang akan habis pada waktunya, akan
tetapi karamah terbesar yang dimiliki seseorang adalah dengan mengganti akhlak
tercela dengan akhlak yang mulia.20
Hemat penulis, implementasi lebih lanjut dari
butir-butir ajaran akhlak Rasulullah dalam penafsiran tiga ayat di atas dapat
dilihat secara jelas dalam beberapa maqāmāt dalam konsepsi tasawwuf Sahl al-
Tustari, khususnya yang terkait dengan maqam-maqam seperti sabar, tawakkal,
dan ikhlas.
20
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 174.
77
Sebagai landasannya dapat dilihat dari penafsiran Sahl al-Tustari terhadap
Q.S. al-Hasyr [59]: 7
يا ءذىكى سل يا فخز ٱنش ف ىكى ع ٲر ٱذق ٱلل إ ٧ ٱنعقاب شذذ ٱلل
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Tustari menjelaskan ayat ini sebagai pokok ajaran tasawwuf di dalam
madzhabnya. Ia Berkata, “Tiga ajaran pokok dalam mad hab kami yaitu
memakan dengan makanan yang halal, mengikuti Rasulullah baik akhlak maupun
perbuatan (sunnah), dan niat yang ikhlas dalam semua urusan.21
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Akhlak mulia yang merupakan identitas penting bagi
orang mukmin idealnya diambil dari contoh yang diberikan Nabi SAW. Di bawah
ini akan diberikan secara ringkas 3 maqam yang mewakili konsepsi tasawwuf
Sahl al-Tustari, yaitu Sabar, Tawakkal, dan Ikhlas.
1. Maqam Sabar
Sahl menjelaskan bahwa di antara sikap mulia yang akan dibalas dengan
pahala yang besar adalah Sabar. Terkait sabar beliau menjelaskan pada Q.S. al-
„Ashr [103]: 3
إال ٱنز ه ع د ءي هح ت ٱنص ص ذ ت ٲنحق ص ذ ثش ٲنص
21
Ab „Abd al-rahman al-Sulamī, Ta aqāt al-Sufiyyah, tahqiq Musthafa „Abd al-Qādir
„Athā (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t, 2010) juz 1, h. 170.
78
Artinya: kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.
Interpretasi dari Sahl adalah bahwa sabar merupakan amalan yang lebih
utama, sebab sabar bisa menjadikan status seseorang menjadi taqwa. Kemudian
beliau memberikan dua klasifikasi stereotipikal manusia dalam
meimplementasikan sabar, pertama, ada sekelompok manusia yang sabar untuk
kebutuhan duniawi yang bisa memuaskan diri mereka kategori ini merupakan
sabar yang buruk. Kedua, manusia yang sabar untuk akhirat yang mengharapkan
pahala dan merasa takut ketika mendapatkan siksaan dari Tuhan kategori ini
merupakan sabar mahmudah (baik).22
Kategori sabar kedua, beliau menjelaskan lebih jauh. Bahwa sabar untuk
kebutuhan akhirat dibagikan menjadi empat tingkatan, tiga merupakan kewajiban
sedangkan sisanya merupakan fadīlah (keutamaan), tiga diantaranya: sabar untuk
mematuhi aturan Allah salah satu contohnya dijelaskan Q.S. al-Baqarah [2]: 45
ٱسرع ثش ت ج ٲنص ه ا نكثشج إال عه ٱنص إ شع ٱنخ
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu´.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong mu” salah satu sabar untuk
melakukan perintah Allah adalah Sholat karena sabar sebagai wasilah, sebab tanpa
22
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-
Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2004), h. 327.
79
wasilah (sabar) maka tidak sah sholatnya. Wasilah di sini belliau artikan wasilah
dengan Allah23
, kemudian sabar tidak melakukan maksiat, dan sabar apabila
diberikan musibah pada diri seseorang. Penjelasan lainnya beliau mengatakan,
tiga diantaranya: sabar untuk melakukan perintah Allah, sabar untuk tidak
melakukan larangan Allah, sabar yang allah lakukan terhadap seseorang. Dan
maqam Fadilahnya yang merupakan sisa dari empat maqam sabar yaitu, sabar
terhadap tindakan makhluk-makhluk Allah. yang merupakan sisa dari empat
maqam sabar yaitu, sabar terhadap tindakan makhluk-mahkluk Allah.24
2. Maqam tawakkal
Selain sabar, Sahl juga menjelaskan pentingnya maqam tawakkal.25
Salah
satu ayat yang menjelaskan tawakkal menurut ia adalah Q.S. al-Nisā‟ [4]: 81
كم عه ذ ى فأعشض ع ت ٱلل كف كل ٲلل ١
Artinya: maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah.
Cukuplah Allah menjadi Pelindung.
Pada penjelasan ayat ini ia ditanya oleh muridnya, apa itu tawakkal? Ia
menjawab: “menyerahkan lahir batin untuk beribadah dan menghubungkan hati
ini dengan rubbubiyyah”. Kemudian ditanya kembali, “Pada dasarnya tawakkal
23
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-
Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2014), h. 97. 24
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Qur‟an al- Azīm, tahqiq Taha `Abd al-
Rauf Sa`d & Sa`d H asan Muhammad `Ali (Kairo: Dar al-Harām Lit-Turaṣ, 2014), h. 327. 25
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya
yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur
alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya
kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu
dan Maha Bijaksana. Lihat Labib Mz, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran
Thoriqot & Tashowwuf (Surabaya: Bintang Usaha Jaya), h. 10.
80
dalam pokok ajaran itu apa?” Ia menjawab: “pada dasarnya tawakkal adalah
mengikrārkan (menetapkan) dengan tauhid.” Kemudian ia menambahkan, “tidak
sah tawakkal melainkan untuk orang bertawakkal.26
Hemat penulis, tawakkal merupakan bagian dari tindakan akhlak. Tetapi
sedikit sekali al-Tustarī menjelaskan atau mendoktrinisasi tentang akhlak dalam
kitabnya, setidaknya ia memberikan penjelasan yang unik dan memiliki narasi
dalam ikhlas sehingga, ikhlas dan tawakkal tidak bisa dipisahkan dalam
melakukan hal apapun. Pada intinya tawakkal hanya dimiliki orang-orang yang
bertaqwa dan sebaliknya tidak akan sempurna taqwa seseorang kecuali dengan
bertawakkal. Dengan begitu tawakkal harus diaktualisasi oleh setiap orang
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Tustari yang ditanya tentang bagaimana
sikap tawakkal ini bisa dicapai oleh seseorang dari maqam yang paling bawah
dalam taqwa, Sahl menjelaskan bahwa fase pertama adalah dengan mengetahui
(ma‟rifa), kemudian dibarengi dengan pengakuan (iqrar), lalu mengesakan Allah
(tawhi>d), berserah diri (isla>m), berbuat baik (ih}sa>n), memasrahkan
keputusan (tafwi>d), mempercayakan diri kepada Tuhan (tawakkul), dan
menyandarkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (suku>n ila> al-H}aqq) dalam
kondisi apapun. Sebagaimana dijelaskan di dalam tafsirnya bahwa tahapan-
tahapan yang membangun maqam tawakkal ini akan memberikan hasil bagi
26
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 54.
81
pelakunya, maka menurut pandangan Sahl semua tahapan di atas hanya berlaku
bagi mereka yang bertakwa.27
3. Maqam Ikhlas
Secara eksplisit akhlak yang penting diimplementasikan adalah
keikhlasan, yang inilah menjadi ciri utama bagi Sahl al-Tustarī, karena keikhlasan
menjadi sempurna iman seseorang. Sebagaimana perkataannya Sahl,
“Ikhlas adalah kesempurnaan Iman, kerana apabila seorang hamba
melakukan dengan ikhlas maka akan mendapatkan kebenaran, melakukan
dengan kebenaran maka akan mendapatkan pencapaian, dan pencapaian sudah
didapatkan maka menghasilkan kepada kebenaran. Ikhlas adalah buah
keyakinan karena keyakinan sebagai saksi hal tersembunyi, siapa yang tidak
memliki musyahadah (persaksian) hal yang tersembunyi serta tidak ada
pelindung, maka ia melakukan untuk Allah tidak dengan keikhlasan.28
Salah satu corak dari tasawwufnya al-Tustāri, ialah reaktualisasi ikhlas ke
dalam kehidupan. Maka tak heran ia banyak sekali menafsirkan ayat-ayat
mengenai tentang ikhlas. Di sini penulis memberikan beberapa ayat-ayat yang
menjelaskan tentang ikhlas dengan penafsiran al-Tustarī, adapun susunan ayatnya
sesuai dengan Tartī al-Mushafī.
a. Q.S. Yasi>n [36]: 22
يا ال أعثذ ٱنزن ذشجع إن فطش
27
M. Anwar Syarifuddin, “Melacak Akar Sufisme dalam Tafsir Sahl al-Tustari”,
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0LmFjLmlkfGFud2F
yLXN5YXJ diakses pada 16 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB. h. 15 28
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 52.
82
Artinya: Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan.
Menurutnya, bahwa menyembah Tuhan yang lebih baik adalah dengan
keikhlasan sebagaimana ia ditanya oleh muridnya, “Ibadah apa yang lebih baik?
Ia menjawab: yaitu ikhlas, sebagaimana dijelaskan di dalam Q.S. al-Bayyinah:5.
Tidak hanya itu, menyembah Tuhan memerlukan tiga hal diantaranya: Akal, jiwa,
dan kapabilitas. Jika salah satu dikhawatirkan hilang yaitu akal dan jiwa maka
akan mempengaruhi dari ibadah, tetapi jika yang dikhawatirkan adalah kapabilitas
atau kemampuan maka tidak mempengaruhi ibadah, bisa saja jika tidak mampu
untuk sholat dalam hal berdiri maka bisa sholat dalam keadaan duduk29
.
b. Q.S. al-Zumar [39]: 11
أعثذ قم أيشخ أ إ ٱلل يخهصا ن ٱنذ
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama”.
Menurutnya, menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan dengan
keikhlasan, sebab ikhlas adalah mencoba untuk menerima, jika bisa menerima apa
yang diperintahkan oleh Allah maka dia bisa dikategorikan orang Mukhlisan.30
29
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 130. 30
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 133.
83
c. Q.S. al-Bayyinah [98]: 5
يا إال نعثذ أيش ن ٱلل يخهص ٱنذ ق ج حفاء ه ٱنص ؤذ ج ك ٱنز نك د ر
ح ٱنق
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.
Ia menjelaskan, semua kegiatan atau perbuatan harus didasari dengan
ikhlas seperti yang ia jelaskan, bahwa seluruh pengetahuan untuk mendorong
seseorang untuk menjadi pribadi yang ikhlas, jika ikhlas sudah diimplementasikan
maka berubah menjadi status Tuma‟ninah (kedamaian). Menggantikan
skeptisisme dengan kesabaran, mengantikan kebodohan dengan pengetahuan, dan
mengantikah pengetahuan untuk meninggalkan ikhtiar (pemilihan) yang
memgakibatkan skeptisisme, dan semua ini Allah menginginkan untuk menjadi
orang yang bertaqwa.31
Kemudian pada penafsiran ini juga ia ditanya oleh muridnya tentang apa
itu ikhlas? Ia menjawab: “Ikhlas adalah yang bisa menerima, apabila tidak bisa
menerima hal apapun makan tidak ada ikhlas pada dirinya. Kemudian ia
31
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 201.
84
menjelaskan kembali, ikhlas mempunyai tiga makna. Pertama Ikhlas ibadah
karena Allah, ikhlas perbuatan karena Allah, dan ikhlas hati untuk Allah.32
Hemat penulis dari empat penafsiran yang dijelaskan oleh al-Tustari dalam
kitabnya, ia mewajibkan untuk meimplementasikan atau mereaktualisasikan
keikhlasan dalam hal apapun. Sehingga perbuatan yang telah diaktualisasikan
kedalam keikhlasan maka merupakan madzhab kami (tustari), sebab ikhlas
merupakan slogan dan kegiatan penting baginya bahkan merupakan ajaran pokok
dalam kehidupannya.33
Dari penjelasan seputar 3 maqam dalam konsepsi tasawwuf Sahl yang
mencontoh akhlak Nabi SAW, al-Tustarī memberikan sebuah penjelasan, ketika
sudah direaktualisasikan tindakan-tindakan ikhlas mapun tawakkal, maka mereka
yang mengerjakan berhak mendapatkan maqam (posisi) yang terbaik di sisi Allah.
Ia memberikan penjelasan ini pada Q.S. al-Na i‟āt [79]: 40
ا أي خاف يقاو ست ۦي ٱنفس ع ٱن
Artinya: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.
Penjelasannya adalah, tidak semua keinginan hawa nafsu seseorang diterima
kecuali hawa nafsunya para Nabi dan orang Siddīqūn (orang benar). Sebab para
Nabi dan Siddīq n, bisa membatasi hawa nafsunya dengan adab, karena dibatasi
32
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 201. 33
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 73.
85
dengan adab maka itulah yang disebut sebagai Akhlak.34
Seperti yang diceritakan
pada kasus Ibn Samāk,35
suatu hari ia bertemu sahabatnya kemudian berbincang-
bincang. Ia berkata, “Sungguh saya sudah banyak memberikan nasihat yang
banyak pada kalian, apakah kamu membutuhkan penyembuhnya?” Mereka
menjawab“iya”, ia berkata, “Berselisihlah dari hawa nafsumu.”36
34
Sahl b. „Abdullah al-Tustarī (283 H), Tafsīr al-Tustari, tahqiq Muhammad Bāsil „Uy n
al-S d (Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, Bair t-Libanān, 2007), h. 187. 35
Nama aslinya Muhammad b. Ṣabīh b. Al-Samāk (183H) hidup semasa Hār n al-
Rasyīd. 36
Muhammad b. Ahmad b. „Utsmān b. Qāyamā al-D ahabī Syamsy al-Dīn Ab
„Abdullah, Sīr al-A‟lām al-Nu alā‟, Muhaqqiq Hasān „A d al-Manān (Bait al-Afkār al-Dawliyah,
2009) Juz 8, h. 328.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, bisa diambil kesimpulan diantaranya:
Sahl Tustarī menjelaskan di dalam Tafsirnya, bahwa keluhuran akhlak Nabi
Muhammad memiliki koherensi di dalam al-Qur’an, maksudnya telah dilegitimasi
dan memiliki keterkaitan sehingga tidak melewati batas yang telah ditetapkan di
dalam al-Qur’an.
Adapun indikasi-indikasi yang menyatakan Nabi memiliki Akhlak, telah
dituangkan dan dimanifestasikan di dalam al-Qur’an QS. Alī ‘Imran 159,
diantaranya: bersikap lemah lembut, memaafkan kesalahan, bermusyawarah, dan
tawakkal kepada Allah.
Adapun akhlak yang wajib bagi seorang muslim untuk diaktualkan di
antaranya telah dijelaskan dalam QS. al-Nahl: 90 diantaranya: pertama, berakhlak
adil. Menurut Sahl adil adalah mereka yang mengaktualkan kalimat syahadat
(persaksian) sebagai pengakuan sesorang sebagai perintah keislaman itu sendiri.
Kedua, berakhlak ihsan. Menurut Sahl, ihsan adalah berbuat baik kepada pihak
lain. Ketiga, tolong-menolong kepada kerabat ketika diberikan rezeki lebih.
Keempat, menjauhi perkara keji. menurut Sahl perbuatan ini hanya dibatasi
kepada etika dan moral ketika dilakukan telah melewati batasan yang telah
ditetapkan di dalam al-Qur’an. Kelima, larangan berbuat munkar. Menurut beliau
munkar diartikan seseorang yang berbuat maksiat. Keenam, larangan untuk
mendengki.
87
A. Saran
1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum maksimal,
dikarenakan penafsiran ayat tentang Keluhuran akhlak Nabi Muhammad
di dalam Tafsir Tustari hanya difokuskan beberapa ayat saja. Saran
penulis, ada penelitian lanjutan yang lebih berkembang.
2. Mahasiswa Ilmu al-Qur’an masih sedikit sekali menafsirkan dengan
merujuk referensi atau bibliografi tafsir yang bercorak teosofi (sufistik)
x
DAFTAR PUSTAKA
„Abd al-Bāqī, Muhammad Fu‟ad. al-Mu’jam al Mufahras Li al-Fādz al Quran al-
Karīm. Beirut: Dār al Ma‟rifah, 2002.
Abidin, Umar. “Ta‟wil Terhadap Ayat al-Qur‟an Menurut Al-Tustari”. Jurnal
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis. Vol. 15, No. 2, 2014.
Abū „Abdullah, Muhammad b. Ahmad b. „Utsmān b. Qāyamāz al-Dzahabī
Syamsy al-Dīn. Sīr al-A’lām al-Nubalā’. Muhaqqiq Hasān ‘Abd al-Manān.
Bait al-Afkār al-Dawliyah, 2009.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka
Alvabet, 2013.
Anwar, Rosihan. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Al-Ashbahani, Hafidz al-Kabir Abi Na‟im. Dalail al-Nubuwwah. Beirut: Dār al-
Nafais, tt.
Badrudin, Akhlak Tasawuf. Banten: IAIB Press, 2015.
Baihaki. “Penafsiran Ayat-ayat Nur dalam Tafsir al-Qur‟an al-`Adzim karya Sahl
bin `Abdullah al Tustari”. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari. Digital Library: Maktabah Syamilah.
Departemen Agama RI. Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode
Angka, Jakarta: Kalim, 2011.
Dhaif, Syauqi. Al-Mu’jam Al-Wasith. Mesir: Maktabah Shurouq Ad-Dauliyyah,
2004.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir: Maktabah
Wahbah al-Qahirah, 2000.
Faridy, Heri MS dkk (ed.). Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa, 2008
Al-Farmawī, Abū al-Hayy. Al-Bidayah Fi ‘ala Tafsir al-maudhu’iy. Mesir:
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulum al-Din. Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.
Al-Ghazali, Imam. Rahasia Haji: Imam al-Ghazali. Terj. Mujiburrahman. Jakarta:
Turos Pustaka, 2017.
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Berdialog Dengan Al-Qur’an, (terj). Bandung:
Mizan, 1996.
xi
Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad. Digital Library: Maktabah Syamilah.
Istiadie, Johan dan Fauti Subhan. “Pendidikan Moral Perspektif Nasih Ulwan”.
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 1, No 1. 2013.
Al-Jazayri, Abu Bakar Jabir. Minhaj al-Muslim. Madinah: Dār Umar Ibn Khattab,
1976.
Ja‟far. Gerbang Tasawuf. Medan:Perdana Publishing, 2016.
Khasanah, Nur. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Buku: Kick Andy
Kumpulan Kisah Inspiratif 2”. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
S1 IAIN Surakarta, 2013.
Lestari, Leni. “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik”. Jurnal Syahadah, Vol. 2, No.
1. 2014.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Malik, M. Abduh. Pengembangan Kepribadian Pendidikan Islam. Jakarta:
Departemen agama RI, 2009.
Makbuloh, Deden. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
Matta, Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I‟tishom Offset, Cet.
III. 2006.
Miskawaih, Ibnu. Tahdzib al-Akhlak Fi al-Tarbiyah. Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1985. Muhammad bin Isa, Abu „Isa. Sunan At-Tirmidzi. Digital
Library: Maktabah Syamilah.
Muhammad bin Isa, Abu „Isa. Sunan At-Tirmidzi. Digital Library: Maktabah
Syamilah.
Mulyana, Yayan. “Konsep Mahabbah Imam al-Tustarī (200-283 H.)”. Jurnal
Syifa al-Qulub, Vol. I, No. 2. 2017.
Murad, Musthafa. Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib. Terj. Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta: Zaman, 2007.
Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Mustopa, “Pembentukan Akhlak Islami dalam Berbagai Perspektif”, Jurnal IAIN
Syekh Nurjati Cirebon, Vol. 3, No. 1. 2017.
Muzaiyana. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.
Mz, Labib. Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Memahami Ajaran Thoriqot &
Tashowwuf Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
xii
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisime dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad. Tafsir Al-Qurthubi. Kairo:
Dar al-Sya‟bi, 1913.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawazin. Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi
‘Ilmi at-Tasawuf. Mesir: Dar al-Ma‟arif, 2010.
Al-Razi, Ahmad bin Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Rofiah, Nurul Hidayati. “Desain Pengembangan Pembelajaran Akidah Akhlak Di
Perguruan Tinggi”. Jurnal Fenomena, Vol 8, No. 1. 2016.
Al-Sadiqi, Muhammad Ibn „Ilan. Dalil Al-Falihin. Mesir: Mustafa al-Bab al-
Halaby, 1971.
Sukanto. Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa. Solo: Maulana Offset,
1994.
Al-Sulamī, Abū „Abd al-rahman. Tabaqāt al-Sufiyyah, tahqiq Musthafa „Abd al-
Qādir „Athā. Bairūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2010.
Al-Sulami, Abu Abdirrahman. Tasawuf: Buat Yang Pengen Tahu. Terj. Faisal
Saleh. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.
El-Syafa, Ahmad Zacky. Ia Hidup Kembali Setelah Mati 100 Tahun. Simorejo:
Medpress Digital, 2013.
Syarifuddin, M. Anwar. “Memaknai Alam Semesta: Simbolisasi Kosmik dalam
Ontologi Mistik Sahl al-Tustari”. Jurnal Refleksi. Vol. 11, No. 2. 2009.
Syarifuddin, M. Anwar. “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-
Qur‟an”. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. Vol. 1, No. 2. 2004.
Syarifuddin, M. Anwar. “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”. Jurnal
Studi al-Qur’an, Vol. II, No. 1. 2007.
Syarifuddin, M. Anwar. “Sufi Symbolism In The Early Qur‟anic Commentary”.
Thesis, Leiden University, 2000.
Al-Thabari, Abi Ja‟far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari Jāmi’u al-Bayāni
‘an Ta’wili ay al-Qur’ani, tahqiq Abdullah b. Abd al-Muhsin al-Turki. Mesir:
Markaz al-Buhuts wa al-Dirāsat al-Arabiyat wa al-Islāmiyat, 2001.
xiii
Al-Thahthawi, Ahmad Musthafa. Shalat Orang-Oramg Shaleh. Terj. SABDA.
Jakarta: Penerbit Republika, 2005.
Al-Thayalisi, Abu Dawud Sulaiman bin Dawud. Musnad Abu Dawud at-
Thayalisi. Digital Library: Maktabah Syamilah.
Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Qur’an al-‘Azīm. tahqiq Mustafa al-Bābī
al-Halabī dan saudaranya Bakrī dan „Isā. Dār al-Kutub al-„Arabiyya al-Kubrā,
1911.
Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Qur’an al-`Azīm. tahqiq Taha `Abd al-
Rauf Sa`d & Sa`d Hasan Muhammad `Ali. Kairo: Dar al-Harām Lit-Turats,
2004.
Al-Tustarī, Sahl b. „Abdullah. Tafsīr al-Tustari. tahqiq Muhammad Bāsil „Uyūn
al-Sūd. Bairūt-Libanān: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2007.
Zahruddin AR. dan Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Al-Zughbi, Mahmud bin Abdul Malik. Wafat Saat Sholat: 73 Kisah Kematian
yang Indah. Terj. Yusni Amru & Fuad Nawawi. Jakarta: Noura Books, 2014.
http://anwarsyarifuddin.lec.uinjkt.ac.id/seri-kajian-tafsir/kajian-hermeneutika-
doa/pesan-tauhid-dalam-dakwah-musa-as
http://docs.google.com/a/uinjkt.ac.id/viewer?a=v&pid=sites&srcid=dWluamt0Lm
FjLmlkfGFud2FyLXN5YXJ
https://iatbajigur.wordpress.com/2017/03/26/kajian-kritis-atas-tafsir-muqatil-
karya-muqatil-bin-sulaiman-w-105-h-767-m/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahvaz
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Provinsi_Khūzestān
https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Shushtar
https://ulumulquran2010.wordpress.com/2012/05/06/early-sufi-sari-al-saqati/
https://yufidia.com/bashrah/
top related