kecernaan in-vivo bahan kering dan bahan organik …eprints.unram.ac.id/9111/1/jurnal.pdfpenelitian...
Post on 06-Mar-2019
245 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KECERNAAN IN-VIVO BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK CAMPURAN PAKAN LAMTORO DAN JAGUNG YANG DIBERI
PADA SAPI BALI DAN SAPI PERSILANGAN SUMBAL
PUBLIKASI ILMIAH
untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
Oleh
KICKY MAULIA FIRMANSYAH
B1D 011 133
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2018
KECERNAAN IN-VIVO BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK CAMPURAN PAKAN LAMTORO DAN JAGUNG YANG DIBERI
PADA SAPI BALI DAN SAPI PERSILANGAN SUMBAL
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh;
KICKY MAULIA FIRMANSYAH
B1D 011 133
untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
Disetujui Pembimbing Utama
Prof. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono, Ph.D NIP : 19611025 198503 1003
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2018
KECERNAAN IN-VIVO BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK CAMPURAN PAKAN LAMTORO DAN JAGUNG YANG DIBERI
PADA SAPI BALI DAN SAPI PERSILANGAN SUMBAL
INTISARI
Oleh
KICKY MAULIA FIRMANSYAH B1D 011 133
Penelitian kecernaan in-vivo bahan kering dan bahan organik campuran pakan lamtoro dan jagung yang diberi pada sapi Bali dan sapi persilangan Sumbal telah dilaksanakan di Sumbawa pada bulan September sampai November 2017, menggunakan 10 ekor sapi Bali dan 10 ekor sapi Sumbal. Data yang diperoleh dianalisis statistik berdasarkan nilai rata-rata, standar deviasi menggunakan computer Microsoft Exel dan uji T-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering pakan sapi persilangan Sumbal lebih tinggi (66,54 % ± 1,5) dibandingkan dengan kecernaan bahan kering sapi Bali (59,83 % ± 2,2) demikian juga dengan kecernaan bahan organik pakan pada sapi persilanagan Sumbal lebih tinggi (66,68 % ± 1,6) dibandingkan dengan kecernaan bahan organik sapi Bali (60,46 % ± 2,2). Dapat disimpulkan bahwa sapi Sumbal lebih efisien dalam mencerna pakan dibanding sapi Bali.
Kata kunci : Kecernaan in-vivo bahan kering dan bahan organik, lamtoro, jagung, sapi Sumbal, sapi Bali.
DIGESTIBILITY IN-VIVO DRY MATTER AND ORGANIC MATTER MIX LAMTORO AND CORN MAIZE OF
BALI CATTLE AND CROSS-BREED SUMBAL CATTLE
ABSTRACT
By
KICKY MAULIA F B1D011133
Research of in-vivo digestibility of dry matter and organic matter mix feed and corn feed Leucaena leucocephala on Bali cattle and the crosses Sumbal cattle has been implemented on Sumbawa in September to November 2017, using 10 Bali cattle and 10 tails Sumbal cattle. The data obtained were analyzed statistics based on the average value, standard deviation using Microsoft Excel computer test and T-test. The results showed that the digestibility of dry matter feed a crosses higher Sumbal cattle (66.54 % ± 1.5) compared with digestibility of dry matter Bali cattle (59.83 % ± 2.2) as well as organic matter digestibility of feed on cross Sumbal cattle is higher (66.68 % ± 1.6) the digestibility of organic matter compared to the Bali cattle (60.46 % ± 2.2). It can be concluded that the Sumbal cattle more efficient in digesting the feed than Bali cattle.
Keywords: In-Vivo Digestibility of Dry Matter And Organic Matter, Leucaena
Leucocephala, Corn, Beef Sumbal, Bali Cattle.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan bahan pakan secara kontinyu sangat penting dalam
menentukan keberhasilan proses produksi ternak. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, Peternak berhadapan dengan masalah ketersediaan hijauan pakan yang
mengikuti pola iklim tropis yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada musim
hujan produksi hijauan di Indonesia meningkat melebihi kebutuhan ternak,
Sedangkan pada musim kemarau peternak mengalami kesulitan dalam
penyediaan pakan. Permasalahan ini terjadi hampir di semua daerah di Indonesia.
Pakan sapi bervariasi dari bahan pakan berserat tinggi asal rerumputan
dan leguminosa hingga produk samping pertanian, yaitu jerami sampai pakan
kandungan serat rendah baik bijian maupun produk samping pengolahan pabrik.
Dengan adanya variasi kualitas pakan yang cukup besar, maka nilai nutrisi pakan
beragam, untuk itu diperlukan suatu cara mengukur kualitas pakan yang akurat.
Cara mengukur kualitas pakan sapi selalu berkembang. Saat ini cara mengukur
bahan pakan selalu digunakan untuk mengetahui ketersediaan nutrisi pakan untuk
produksi ternak. Metode yang dilakukan pada umumnya in-vitro, in situ (in-
sacco), dan in-vivo. Adopsi ketiga metode tersebut di Indonesia sangat tinggi.
Selain metode konvensional, saat ini mulai dilakukan evaluasi pakan berdasarkan
sifat anthelmintika, artinya selain pertimbangan ketersediaan nutrisi untuk ternak,
pada saat yang bersamaan bahan pakan tersebut mempunyai sifat sebagai anti
cacing/anti parasit.
Evaluasi pakan berserat maupun bijian selalu dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui nilai nutrisi dan ketersediaannya untuk ternak. Evaluasi yang
mendeskripsikan pakan yang dilengkapi dengan informasi konsumsi pakan, nilai
energi, protein, lemak, komposisi karbohidrat, struktur fisik, kandungan mineral-
vitamin, dan kandungan komponen anti nutrisi.
Kecernaan merupakan suatu gambaran mengenai kemampuan ternak
untuk memanfaatkan pakan. Kemampuan ternak untuk mencerna suatu bahan
pakan berbeda-beda tergantung jenis dan umur ternak. Nilai kecernaan yang
tinggi menunjukkan bahwa ternak efektif memanfaatkan bahan pakan yang
diberikan.Ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) merupakan ternak
herbivora yang memiliki empat kompartemen lambung yaitu rumen, reticulum,
omasum dan abomasums. Rumen dan reticulum merupakan alat pencernaan
fermentative yang didalamnya sangat banyak terdapat mikroorganisme seperti
bakteri, protozoa, dan fungi. Didalam rumen, zat-zat makanan akan
disederhanakan melalui fermentasi mikroba menjadi produk yang mudah
dimanfaatkan oleh induk semang yaitu asam-asam lemak volatile.
Ada berbagai cara untuk mengetahui daya cerna pakan yang diberikan
kepada ternak, diantaranya adalah secara in-vitro, in-vivo dan in-sacco. Metode
in-vitro relative murah dan mudah dilakukan, sedangkan metode in-vivo dan in-
sacco relative mahal dan sulit dilakukan karena ada beberapa kendala
diantaranya membutuhkan ternak. Metode in-vivo merupakan metode penentuan
kecernaan pakan menggunakan hewan percobaan dengan menganalisa pakan dan
feses. Dengan metode in-vivo dapat diketahui kencernaan bahan pakan yang
terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan
pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang
ditentukan secara in-vivo biasanya 1% sampai 2% lebih rendah dari pada nilai
kecernaan yang diperoleh secara in-vitro.
Lamtoro (Leucaena leuchepala) termasuk legume pohon yang memiliki
banyak keunggulan nilai nutrisi dan produksi biomassa yang tinggi (Ghost dan
Bandyyopadhyay, 2007). Lamtoro memiliki kandungan protein kasar yang tinggi
yaitu sekitar 17-36% dengan kandungan asam amino yang lengkap. Memiliki
daya cerna yang tinggi antara 50-70% (Meulen et al., 1979), mampu bertahan
dan berproduksi dilahan kering yang marjinal pada musim hujan maupun musim
kering, tahan terhadap pemangkasan, dan telah banyak dimanfaatkan secara luas
di Indonesia bagian timur (Haliday et al., 2014). Di samping itu, dapat
meningkatkan produktivitas lahan yang kurang produktif (Dahlanuddin et al.,
2011), karena adanya bakteri rhizobium pada akarnya yang dapat mengikat
nitrogen bebas di atmosfir. Fakta ini menunujukkan bahwa lamtoro dapat
menjadi alternatif sumber protein pakan ruminansia yang berkualitas tinggi,
murah dan tersedia sepanjang tahun.
Bagaimanapun penggunaan lamtoro sebagai pakan ternak ruminansia
tidak berarti tanpa persoalan. Dibalik keunggulannya, lamtoro juga mengandung
komponen sekunder yakni mimosine yang dapat menjadi pembatas penggunaan
lamtoro sebagai pakan (Graham et al.,2014) dan berdampak negatif terhadap
produksi ternak ruminansia (Haliday et al., 2014). Beberapa strategi yang
dilakukan untuk mengurangi dampak negative mimosine, salah satunya melalui
pengeringan. Kemudian penambahan jagung selain sebagai sumber energi untuk
menyeimbangkan rasio protein: energy juga diharapkan dapat mengurangi
dampak negative mimosin pada ternak ruminansia. Kombinasi antara lamtoro
yang diberikan dalam bentuk kering dan tepung jagung sebagai pakan sapi lokal
diharapkan dapat memperbaiki performan dan produktivitas sapi.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian lamtoro dan jagung terhadap
kecernaan in-vivo bahan kering dan organik sapi Bali dan sapi persilangan
Sumbal.
2. Untuk mengetahui perbedaan kecernaan in-vivo bahan kering dan organik
sapi Bali dan sapi persilangan Sumbal yang diberi pakan lamtoro dan
jagung.
Kegunaan penelitian
1. Mendapatkan data tentang perbedaan kecernaan in-vivo bahan kering dan
bahan organik pakan campuran lamtoro dan jagung yang diberikan pada
sapi Bali dan sapi persilangan Sumbal.
2. Sebagai sumber informasi dan sebagai data pembanding untuk penelitian
selanjutnya.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - November 2016 di
Kandang Kelompok Tani Ternak Buin Pedi Dusun Raberas Kelurahan Seketeng
Kecamatan Sumbawa Besar dan kemudian dianalisis kecernaan in-vivo bahan
kering dan bahan organik pakan lamtoro dan jagung di Laboratorium Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Materi Penelitian
Bahan penelitian Bahan penelitian dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sapi Bali jantan 10 ekor dan sapi persilangan Sumbal jantan 10 ekor
2. Pakan Lamtoro kering
3. Jagung giling
4. Dua puluh sampel feces
5. Sampel pakan
Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitianini terdiri dari:
1. Baskom sebagai tempat menampung feces.
Cepang sebagai alat pengambilan feces.
2. Kantong plastik sebagai tempat sampel feces.
3. Timbangan merk Ohaus kapasitas 50 kg dengan kepekaan 10 gr untuk
menimbang sampel feces.
4. Timbangan analitik merk Sartorius kapasitas 200 gr dengan kepekaan
0,1 mg untuk menimbang sampel feces.
5. Tray aluminium sebagai wadah tempat sampel feces.
6. Timbangan analitik merk Sartorius kapasitas 200 gr
7. Oven pengering
8. Mortal dan pastle untuk menumbuk sampel feces yang sudah kering.
9. Plastik klip ukuran 15 x 10 cm sebagai tempat sampel feces.
10. Cawan porselin
11. Oven merk NVC (thermologic)
12. Desikator untuk mendinginkan sample.
13. Oven merk Nabertherm suhu 600⁰C untuk memperoleh abu.
Metode penelitian.
Penelitian Lapangan
1. Periode Adaptasi
a. Semua sapi ditimbang pada pagi hari sebelum diberi pakan
b. Sapi diadaptasikan dengan lamtoro dan lamtoro diberikan 1 kg hari
pertama dan jumlah pemberian ditingkatkan menjadi adlibitum setelah
adaptasi 1 minggu
c. Sapi diadaptasikan dengan jagung giling: diberikan 500 gram pada
hari pertama dan ditingkatkan setiap hari sehingga menjadi 1% BK
dari berat badan setelah adaptasi 1 minggu.
d. Pemberian obat cacing (Wormzol)
e. Butox untuk menghindari kutu, caplak, lalat dan nyamuk.
2. Periode Koleksi sampel
a. Baskom ditimbang berat kosongnya kemudian mencatat berat
menggunakan tipe x
b. Ternak dikontrol selama 24 jam
c. Kemudian koleksi feces ke dalam baskom dari masing-masing ternak
d. Pagi hari berikutnya feces + bak ditimbang.
e. Diambil 5 % sub sampel dari total feces.
f. Bak dibersihkan kembali dengan air sampai benar-benar bersih.
g. Kemudian kembalikan posisi baskom ke tempat semula
h. Diakhir pengukuran kecernaan, sub sampel harian masing-masing
ternak dicampur menjadi satu dan diambil sampel sebanyak ± 1 kg
i. Sample dimasukkan ke dalam lemari es sebelum analisa pengukuran
kecernaan in-vivo diamati.
Penelitian Laboratorium
1. Pengukuran Kadar Bahan Kering Feces
a. Tray aluminium disiapkan sebanyak 20 buah
b. Dari koleksi sub sampel harian masing-masing ternak dicampur
menjadi satu dan diambil sampel sebanyak ± 1 kg yang digunakan
untuk pengukuran kadar bahan kering sebanyak 200 g
c. Menimbang dan mencatat berat tray aluminium kosong
d. Kemudian mencatat dan menimbang berat tray + sampel
e. Semua sampel dimasukkan kedalam oven untuk dikeringkan pada
suhu 65⁰C hingga berat konstan
f. Mencatat berat konstan dari masing-masing sampel
g. Menggiling atau menumbuk sampel hingga halus, setelah itu
menimbang berat kosong cawan porselin kemudian masukkan sampel
kedalam cawan.
h. Cawan + sampel dimasukkan ke oven suhu 105⁰C untuk memperoleh
bahan kering. Kemudian cawan + sampel dimasukkan kedalam
desikator untuk mendinginkan sampel sebelum ditimbang
i. Untuk mengetahui kadar BO yaitu dengan membakar sampel bahan
kering didalam oven suhu 600⁰C untuk memperoleh abu.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati meliputi kecernaan bahan kering pakan (Kc. BK) dan
kecernaan bahan organik pakan (Kc. BO). Kecernaan bahan kering dan bahan
organik dihitung dengan menggunakan rumus:
Kec.BK = (Jumlah konsumsi BK – Jumlah BK feces) x 100 %
Jumlah konsumsi BK
Kec.BO =(Jumlah konsumsi BO – JumlahBO feces) x 100 %
Jumlah konsumsi BO
Keterangan :
Konsumsi BK = Kadar BK pakan (%) x jumlah pakan yang dikonsumsi (kg)
Ekskresi BK = Kadar BK feces (%) x jumlah feces yang di ekskresi (kg)
Konsumsi BO = Kadar BO pakan (%) x jumlah pakan yang dikonsumsi (kg)
Ekskresi BO = Kadar BO feces (%) x jumlah feces yang di ekskresi (kg)
Variabel penunjang menghitung konsumsi bahan kering (BK) dan
konsumsi bahan organik (BO) dengan cara membagi total konsumsi dengan berat
badan sapi perminggu, dihitung demikian karena kedua jenis sapi tersebut
memiliki berat badan yang berbeda.
Analisa Data
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Data kec.BK dan kec.
BO yang diperoleh dihitung nilai rata-ratanya, standar deviasi dan dilakukan uji
T-test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) pakan
Sapi Bali ataupun persilangan sapi Sumbawa x Bali yang digunakan
dalam penelitian ini, pada awal penelitian diadaptasikan dengan pakan lamtoro
dan juga jagung giling. Selain itu, kedua jenis sapi percobaan ini umumnya sudah
familiar dengan pakan lamtoro, sehingga tingkat kesukaan (palatabilitas) sapi -
sapi yang digunakan dalam percobaan ini cukup tinggi terhadap lamtoro maupun
terhadap jagung giling. Palatabilitas merupakan faktor penting dalam
menentukan tingkat konsumsi pakan. Palatabilitas ransum ditentukan oleh rasa,
bau dan warna dari hijauan pakan (Prawirokusumo, 1994; Mc.Donald et al.,
2002) yang semuanya itu sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia ransum
serta dapat berubah oleh perbedaan fisiologis dari individu ternak yang
bersangkutan (Grovum, 1988).
Hasil pengukuran terhadap konsumsi BK pada sapi persilangan Sumbawa x
Bali (sapi Sumbal) diketahui lebih tinggi (24.74 ± 0.45 g/kgBB/hari) dibanding
dengan konsumsi BK pada sapi Bali (21,40 ± 0.58g/kg BB/hari). Demikian pula
konsumsi bahan organik pada sapi Sumbal diketahui lebih tinggi (23.08 ± 0.41)
dibanding konsumsi BO pada sapi Bali(19.97 ± 0.53) sebagaimana tertera pada
Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Konsumsi BK dan BO sapi persilangan Sumbal dan sapi Bali.
Parameter diamati Sapi Sumbal Sapi Bali
Konsumsi BK (g BK/kg BB/ hari) 24.74 ±0.45a 21.40 ± 0.58b
Konsumsi BO (g BO/kg BB/ hari) 23.08 ± 0.41 a 19.97 ± 0.53 b
Sumber : Data primer diolah ( 2017). Superskrif yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ˂0.05).
Tingginya konsumsi BK maupun BO pada sapi Sumbal disebabkan oleh
adanya perbedaan daya cerna pakan pada kedua jenis sapi percobaan, dimana
kecernaan BK pakan yang diberikan pada sapi Sumbal sebesar (66,54% ± 1,5)
nyata lebih tinggi dibanding kecernaan BK pakan pada sapi Bali (59,83% ± 2,2).
Selain pengaruh kecernaan pakan, faktor breed (bangsa) sapi percobaan
juga berpengaruh. Breed sapi Bali adalah bos Sondaicus tergolong breed sapi
yang memiliki tubuh berukuran sedang, sedangkan breed sapi Sumbal adalah
bos Indicus yang umumnya memiliki kerangka tubuh lebih besar dibanding sapi
breed bos sondaicus. Ukuran rangka tubuh ini berpengaruh terhadap kapasitas
saluran pencernaan untuk menampung pakan yang dikonsumsi. Semakin besar
ukuran kerangka tubuh sapi, semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi.
Umur ternak juga berpengaruh terhadap jumlah konsumsi pakan. Ternak-
ternak yang berusia muda, jumlah konsumsi pakannya relative lebih banyak
dibanding ternak dewasa, disebabkan ternak berusia muda sedang dalam taraf
pertumbuhan sehingga membutuhkan pakan yang lebih banyak. Sapi Sumbal
yang digunakan pada penelitian ini tergolong masih muda dibanding sapi Bali
sehingga konsumsi pakannya menjadi lebih tinggi karena digunakan untuk
pertumbuhan. Hal ini sesuai pendapat Parakkasi (1999) yang mengatakan bahwa
tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya,
sapi dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% dari bobot
tubuh/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik
dapat mengkonsumsi pakan sebanyak 3% dari bobot tubuh.
Kecernaan in-vivo bahan kering dan bahan organik
Nilai kecernaan bahan kering pakan pada sapi persilangan Sumbawa x
Bali (Sumbal) lebih tinggi (66.54 ± 1.50%) dibandingkan dengan nilai kecernaan
pakan pada sapi Bali (59.83 ± 2.20%). Demikian pula dengan kecernaan bahan
organik pakan pada sapi persilangan Sumbawa x Bali (Sumbal) lebih tinggi
(66.68 ± 1.56%) dibandingkan dengan kecernaan pakan pada sapi Bali (60.46 ±
2.17%). Hasil analisis laboratorium yang dilakukan mulai tanggal 26 September
sampai 20 November 2016 diperoleh hasil kecernaan in-vivo bahan kering dan
bahan organik sebagai mana yang ditampilkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kecernaan in-vivo bahan kering dan bahan organik pakan pada sapi Bali
dan sapi persilangan Sumbal.
Item Sapi Sumbal Sapi Bali
Kecernaan bahan kering (%) 66,54% ± 1,5a 59,83%± 2,2b
Kecernaan bahan organic (%) 66,68% ± 1,6a 60,46 ± 2,2 b
Sumber : Data primer diolah ( 2017). superskrif yang berbeda pada baris yang
sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P ˂0.05).
Kecernaan BK pakan pada sapi Sumbal tergolong tinggi dibanding
kecernaan BK pada sapi Bali, mengingat kisaran normal kecernaan bahan kering
pakan yaitu 50,7-59,7% (Tillman dkk., 1991). Menurut Tillman dkk., (1991; dan
Anggorodi, (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering
meliputi jumlah ransum sapi yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di
saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum
tersebut. Nilai kecernaan bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering,
sebab sebagian besar komponen dari bahan kering ransum terdiri dari bahan
organik (Tillman, 1989) sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya kecernaan bahan kering akan mempengaruhi tinggi rendahnya
kecernaan bahan organik (Sutardi, 1980).
Kecernaan pakan juga sangat berhubungan dengan konsumsi, artinya :
semakin tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan, ada kecendrungan konsumsi
semakin banyak atau sebaliknya, pakan dengan nilai cerna rendah kecendrungan
lebih rendah nilai konsumsinya (Sudirman, 2013). Menurut Reksohadiprojo,
(1981) peningkatan kecernaan bahan organik ini disebabkan karena
meningkatnya kecernaan bahan kering, sebab secara proporsional laju keluarnya
bahan kering selalu diikuti oleh keluarnya bahan organik, sehingga dengan
semakin meningkatnya kecernaan bahan kering akan meningkatkan kecernaan
bahan organik. Bertambahnya serat kasar sebesar 1% pada tanaman
menyebebkan peningkatan kecernaan bahan organik sekitar 0,7 sampai 1,0 unit
pada ruminansia (Tillman et al., 1986).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulan bahwa:
Kecernaan in-vivo bahan kering pakan sapi persilangan Sumbal lebih
tinggi (66.54 ± 1.50%) dibandingkan dengan kecernaan bahan kering pakan pada
sapi Bali (59.83 ± 2.20%). Demikian pula halnya dengan kecernaan bahan
organik pakan pada sapi persilangan Sumbawa x Bali (Sumbal) lebih tinggi
(66.68 ± 1.56% ) dibandingkan dengan kecernaan bahan organik pakan pada sapi
Bali (60.46 ± 2.17%).
Saran
Perlu ditingkatkan pengamatan atau ketelitian pengumpulan feces dengan
cara membuat sekat pemisah dari masing - masing ternak agar tidak tercampur,
selain itu juga memudahkan dalam pengoleksian feces.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, 1981. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gedia. Jakarta. Anonim,1988. Hijauan Makanan Ternak Potong dan Kerja.
Kanisius.Yogyakarta. Anonim, 2012. Mengenal sapi Bali. http://andiwawan tonra.blogspot.com/2012/
08/mengenal -sapi-bali. html. diakses tanggal 4 Oktober 2016. Anonim, 2013. Nutrisi Pakan Ternak Sapi. http://www. Tanijogonegoro.
Com/2013/06/pakan-ternak.html. diakses tanggal 7 November 2016. Dahlanuddin, K. Puspadi, Y. A. Sutaryono, C. Mc Donald And M. Van
Wensveen. 2011. Perceepatan Adopsi Model Pembibitan Sapi Bali Berbasis Kandang Kelompok Di Pulau Lombok . Universitas Mataram.
Darmaja, S .G .N .D., 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional Dalam
Ekosistim Pertanian Di Bali.Thesis UNPAD. Dilaga, S.H., 2001. Beternak Sapi Hissar. Penerbit Akademi Pressindo. Jakarta. Dilaga, S.H. 2011. Padang Penggembalaan Sebagai Tempat Pemeliharaan Ternak
Dan Sumber Pakan. Info Feed. Volume 1 No. 2 Juli 2011. Dilaga, S.H. 2014. Sapi Sumbawa Sumber Daya Genetik Ternak Indonesia.
Pustaka Reka Cipta. Bandung. Dixon, R.M.,1989. Ruminan Feeding System Utilizing Fibrous Agricultural
Residual, IDP of Australia University and Coll LTD, Canbera. Egan, A.R., 1982. Physiology ruminant and Bionergy.AUIDP Universitas
Mataram. Garaham S.R., Dalzell S.A., Kerven G.L., And Shelton H.M. 2014. Detection Of
Toxicity In Ruminats Consuming Leucaena (Leucaena Leuccephala) Using A Urin Colometric Test. Tropical Grasslands. Volume 2: 63-65.
Ghost M.K And Bandyopadhay, S. 207. Mimosine Toxicity-A Problem Of
Leucena Fedding In Ruminants. Asian Jurnal Of Animal And Veterinary Advances 2 (2): 63-73.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta. Haliday M.J., Panjaitan T, J. Nulik, Dahlanuddin, Padmanabha, J., Mcsweenwy.,
Depamede, S., Hau, D.K, Kurniawan, Fauzan M., Sutartha, Yuliana, B.T, Pakereng, C., Putrid Ara, Liubana, D., Edison, R.G And Shekton,
M. 2014. Prevalence Of Dhp Toxicity And Detection Of Synergstes Jonessi In Ruminant Consuming Leucena Leucephala In Easten Indonesia. Trofical Grassland. Volume 2- 71-73.
Hartadi, H., Reksohadiprojo, S dan Tillman, A.D. 2015. Tabel Komposisi Pakan
Untuk Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Haryanto, B. Dan A. Djajanegara. 1993 . Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat
Makanan Ternak Ruminansia Kecil . Sebelas Maret University Press. Hal 192-194.
Harris, L. E. 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild
Animals, Volume 1. An International Record System and Procedure For Analyzing sampel. Animal Science Departement Utah State University, logan.
Haryanto, B. Dan A. Djajanegara. 1993 .Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat
Makanan Ternak Ruminansia Kecil .Sebelas Maret University Press. Hal 192-194.
Jones, R.J. 1979. The Value Of Leucaena Leucocephala As A Feed For
Ruminants In Tropics . World Anim .Rev ., No . 31 . Hal 13-23 . Kamal, M., 1994.Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Lowry, J .B . 1982. Detoxification of leucaena by enzymatic or microbial
processes .in Proc. Leucaena Research in the Asian-Pacific Region . IDRC, 211-e . Hal 49-54 .
Manurung, T. 1996 . Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber
protein ransum sapi potong. Jumal Ilmu Ternak dan Veteriner . 1(3) : 143-147 .
Martojo. 1998. Beternak Sapi Potong. Kanisius .Yogyakarta.hal 104. Mc Donald,P.,1988. The Biochemistry of Silage.Longman Jhon Wiley and Son,
Ltd. New York. Merchen., N.R. 1988. Digestion, absorption, and excretion in ruminant. In: D.C.
Church (ed.), The Ruminant Animal: Digestive physiology and Nutrition. Wafelan press, Inc. Illinois, USA. Pp. 172-201.
Meulen U., Struck S., Schulke, E., And Harith, E.A.E. 1979. A Review On The
Nutritive Value And Toxic Aspects Of Leucaena Leucephala . Trop. Anim. Prod. 4:2
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta.
Plucknett, D.L., 1970. Productivity Of Tropical Pasture In Hawaii. Proc. 11th
Intern. Grassland Congres, Brisbane. Reksohadiprojo, S.,1981. Produksi Hijauan Makan Ternak Tropik. Balai Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Siahaan, M.S. 1982. Lamtoro. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. 22-38 Suprayitno,1981. Lamtoro Gung dan Manfaatnya. Bharatara Karya Aksara,
Jakarta. Siregar, B.S. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya : Jakarta. Siregar, S.B. 1983. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta Sudirman, 2013. Evaluasi Pakan Tropis dari Konsep ke Aplikasi ( Metode in-
vitro Feces). Penerbit Pustaka Reka Cipta: Bandung . Soetardi, T.,1980. Landasan ilmu nutrisi ternak . Fakultas Peternakan Institute
Pertanian Bogor. Tillman, A.D., Harihartadi, Soedomo Reksohadiprojo, Soeharto Prawirokusomo
dan Soekanto Labdosoekojo, 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar .Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.: Yogyakarta.
Tampubolon. 1982. Marga Lamtoro. Departemen Pertanian, Gedong Johor,
Medan. Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT. Citra Aji
Parama: Yogyakarta. Van Soest, P. J. 1994. The Nutritional Ecologyof The Ruminant. O and B. Books,
Corvallis. Oregon. Vietmeyer, 1977. Leucaena promising Forage and Tree Crup For The Tropics.
National Academi Of Science. Washington. D.C. Williamsons, G.I., Payne,W J A.,1995. Pengantar Peternakan Didaerah Tropic.
Gadjah Mada University Press .Yogyakarta.
top related