kata pengantar -...
Post on 06-Feb-2018
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan inayahNya tugas
akhir skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
manusia agung, yaitu Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa umat manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang dengan dien yang diridhai olehNya.
Dalam sebuah perjalanan menuju kesuksesan, tidak sedikit hambatan dan cobaan
yang penulis hadapi, namun semua bisa terlalui asalkan ada kemauan. Alhamdulillah,
berkat pertolonganNya segala hambatan dan cobaan yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini dapat penulis atasi dengan penuh ketabahan dan
kesabaran hati. Disamping itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa adanya
motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan senantiasa mengalir dari orang-orang disekeliling
penulis. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan
untaian kata terimakasih kepada:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Euis Amalia, M.Ag. Ketua Program Studi Muamalat dan Azharuddin Latif,
M.Ag. Sekretaris Program Studi Muamalat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hasanudin. M.Ag. Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
4. Segenap Ibu/Bapak Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi
ilmu yang tidak ternilai kepada penulis.
5. Pimpinan dan Karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan penulis.
6. Almarhum Ayahanda tercinta KH. Muhammad Ali. Terimakasih banyak atas
diberikannya kesempatan ananda menuntut ilmu di UIN Syarif Hidatullah.
Semoga ilmu yang ananda dapatkan disini bermanfaat.
i
7. Untuk Ibundaku Hj. Murifah terimakasih atas do’a yang slalu dipanjatkan disetiap
solat malamnya dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan
pendidikan SI.
8. Untuk seseorang spesial di hati penulis Khairul Fahmi, terimakasih telah
memberikan semangat moril dan materil kepada penulis dalam menyelesikan
skripsi ini.
9. Putri kecilku Zalfa Al-Kachla selamat ulang tahun sayang, skripsi ini umi
persembahkan dihari ulang tahunmu. Terimakasih sudah sering menemani penulis
di setiap waktu.
10. Kepada teman-temanku, mba Azza yang telah memberi motivasi dan informasi
buat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta segenap teman-teman
angkatan 2003, yang telah setia menjadi teman seperjuangan, khususnya teman-
teman Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Perbankan Syariah serta semua
pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, atas segala bantuan,
informasi serta motivasi yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis haturkan terimakasih yang
mendalam atas segala keikhlasan dukungan, motivasi, pengarahan, serta bantuan baik
moril maupun materiil. Penulis hanya mampu berdo’a semoga Allah membalas semua
amal perbuatan dengan kasih sayang-Nya. Harapan penulis mudah-mudahan skripsi ini
bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca. Amin
Jakarta, 19 November 2010
Penulis
Siti Nurlaila
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan Islam sekarang telah menjadi istilah yang terkenal luas baik
di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu
bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-
layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah. Para pendukung perbankan Islam
berpendapat bahwa bunga adalah riba dan karenanya, menurut hukum Islam
bunga bank diharamkan. Sikap terhadap bunga yang seperti ini mendorong
beberapa sarjana dan praktisi perbankan Muslim untuk menemukan sejumlah
cara dan alat guna mengembangkan sistem perbankan alternative yang sesuai
dengan ajaran-ajaran hukum Islam, khususnya, aturan-aturan yang terkait
dengan pengharaman riba.1
Sebelum penulis mengupas lebih dalam masalah bunga bank, penulis
terlebih dahulu membahas asal mula berdiri atau terbentuknya bank, karena
sistem bunga muncul ketika bank itu terbentuk. Salah satu kegiatan usaha
yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya didunia ekonomi
dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, karena bank
adalah salah satu lembaga ekonomi yang sudah sangat tua keberadaannya.
1 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-
Revivalis, cet.III, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. Xiii.
2
Kita tidak tahu sejak kapan bank pertama diorganisir, dan bukti-bukti sejarah
menunjukkan bahwa usaha-usaha perbankan telah ada dalam peradaban kuno.
Lempengan-lempengan tanah liat di puing-puing kota Babylonia pada tahun
2000 SM, telah ada pelayanan seperti bank yaitu untuk menyimpan harta, dan
berkembangnya perekonomian uang dan kredit. Lempengan-lempengan tanah
liat tersebut merupakan bentuk-bentuk janji dan perintah untuk membayar
mata uang atau perak, mirip dengan promes dan cek yang kita kenal saat ini.
Misalnya, salah satu lempengan tanah liat kuno tersebut merupakan sebuah
prasasti yang jelas mencerminkan promes oleh seorang petani kepada bank
sebagai tanda terima pinjaman yang diterimanya.
Inskripsi tersebut berbunyi:
“Warad-Ilish, anak laki-laki dari Taribaum, telah menerima dari pendeta
wanita matahari, puteri dari Ibbatum, satu shekel perak menurut timbangan
dewa matahari. Jumlah ini akan digunakan untuk membeli wijen, pada waktu
panen wijen, ia akan membayar kembali dalam bentuk wijen menurut harga
pasar yang berlaku kepada pembawa dokumen ini”.2
Prasasti tersebut telah secara jelas menunjukkan adanya transaksi
pinjam meminjam dan bentuk promes yang dapat diperjual belikan.
Tampaknya pada awal perkembangannya kegiatan usaha perbankan
dimonopoli oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti kuil-kuil di
Babylonia tersebut. Terdapat alasan yang kuat mengapa kegiatan usaha
2 Bank Indonesia, “Sistem Perbankan dan Peran Perbankan dan Dampaknya Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi. Keputusan dan Makalah Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”, Safari Garden Hotel, Cisarua – Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 1.
3
perbankan tersebut hanya dapat dilakukan oleh organisasi-organisasi
keagamaan. Organisasi keagamaan pada masa itu memiliki tanah-tanah yang
luas yang dapat menjadi sumber penghasilan besar bagi organisasi.
Disamping itu karena kuil-kuil dianggap suci dan dapat menyimpan
rahasia, maka sangat dipercaya oleh masyarakat. Dengan demikian wajarlah
bila masyarakat Babylonia menganggap kuil-kuil itu sebagai tempat yang
aman untuk menyimpan emas, perak dan uang mereka. Dalam perkembangan
selanjutnya kuil-kuil tersebut selain menerima tabungan dari masyarakat dan
menyediakan kredit, mereka juga menyediakan fasilitas penyimpanan barang-
barang berharga (safe deposit). Praktek-praktek perbankan tampaknya telah
dilaksanakan pula dikerajaan Romawi kuno, dimana para banker telah
menerima simpanan, mengeluarkan promes, menyediakan pinjaman, membeli
dan menjual surat-surat hipotik serta mengeluarkan L/C.3
Kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan sangat dibutuhkan
didalam dunia perekonomian karena jika kita melihat fungsinya yaitu sebagai
pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Selain alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini
mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke
berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh
pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini dapat menyediakan dana
3 Ibid., h. 2
4
bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha lemah
yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usahanya. Dan juga sebagai
fungsi lain yang berupa jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang
baik nasional maupun antar Negara4.
Permasalahan muncul dipertengahan tahun 1990 yaitu masalah bunga
bank, yang terjadi setelah pemerintah menempuh kebijaksanaan baru dalam
masalah perbankan, karena itu banyak bermunculan di mana-mana bak jamur
musim hujan. Yang menjadi permasalahan di kalangan ulama dan bahkan
menjadi polemik berkepanjangan adalah tentang penentuan bunga pada
lembaga keuangan yang berkembang selama ini. Apakah bunga yang
diperlakukan didalam lembaga keuangan termasuk di dalam unsur riba, atau
bahkan praktik riba itu sendiri? Bunga dijadikan sebagai penopang hidup dan
berkembangnya lembaga keuangan. Oleh para kaum kapitalis dianggap
sebagai penggerak ekonomi, tanpa bunga perekonomian dunia tidak akan
pernah berkembang. Para ulama dan cendikia muslim berbeda pendapat dalam
memahami dan menentukan apakah bunga boleh diperlakukan dalam kegiatan
ekonomi dengan dikaitkan pada nash tentang riba.5
Masalah status hukum bunga bank apakah termasuk kategori riba
ataukah tidak sampai saat ini masih kontroversial. Ada yang mengatakan,
4 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah Di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 53.
5 Nadratuzzaman Hosen, dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, cet.I, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 3.
5
bunga bank termasuk kategori riba yang hukumnya haram. Dipihak lain, ada
pula yang mentolelir bahkan memperbolehkan bunga bank dengan berbagai
alasan.6
Kata riba telah disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an atau hadits.
Maka konotasinya tidak lain dari riba yang hakiki, yaitu apa yang dikenal
pada era jahiliyah, dan yang populer dengan istilah “ riba nasi’ah” ‘riba
utang’. Namun ada lagi jenis riba lain dalam hadits disebut “riba fadl” ‘riba
jual beli’. Jenis ini diharamkan oleh Sunnah melalui pintu “sadd az-zara’i”
tindakan preverentif bagi terjadinya riba yang asli. Jadi ini diharamkan,
karena fungsinya sebagai mediator (wasilah), bukan karena substansinya.7
Sebenarnya inti permasalahan yang disini adalah masalah prinsip.
Yang menjadi prinsip bank adalah “bunga” (interest). Yakni, tambahan uang
yang sudah ditetapkan sebelumnya berapapun besarnya, apapun jenis
uangnya, dan dalam kondisi apapun.
Dalam riba jahiliyah mereka yang meminjamkan uang pada awalnya
tidak memakai riba (tambahan). Riba baru muncul bila jangka waktu
pembayaran yang telah ditentukan semula telah berakhir, sementara peminjam
belum juga melunasi utangnya. Jadi konsekuensinya, orang yang menetapkan
sejak awal bahwa pihaknya tidak akan memberi pinjaman, kecuali dengan
6 Yusuf Al-Qardawi, Bunga Bank, Haram, cet.III, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003),
h. 4. 7 Ibid., h.33
6
memakai riba (bunga), berarti lebih bejat dan lebih haram lagi, ketimbang
praktik yang terjadi pada riba jahiliyah. Inilah praktek-praktek yang berlaku
pada bank sekarang ini. Karena bunga bank dihitung bagi peminjam sejak hari
pertama seseorang mengambil uang dari bank.8
Akan tetapi menurut ulama lainnya bunga bank itu tidak termasuk ke
dalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan
perorangan, di mana sistem perbankan pada waktu itu (zaman jahiliyah/
permulaan Islam) belum ada.9 Apabila kita melihat semangat ayat-ayat riba
maka dapat kita fahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang dilakukan
oleh perorangan. Mari kita renungkan secara seksama ayat riba dalam surat al-
Baqarah ayat 278-280:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.maka jika kamu tidak megerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu)
8 Ibid., h. 77 9 Ibrahim Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, makalah disampaikan
pada “Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”. Cisarua-Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 27.
7
dalam kesukaran maka berilah tagguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Dalam ayat diatas nampak jelas bahwa khitab riba itu ditujukan
kepada pribadi/perorangan tidak lembaga atau badan hukum. Memang,
melihat lafadh riba yang bersifat umum itu semestinya tercakuplah di
dalamnya pribadi/perorangan dan badan hukum. Akan tetapi karena melihat
fakta yang ada, dimana waktu itu badan hukum, yaitu bank belum ada maka
jelas bank belum tercakup di dalamnya.
Dengan adanya beberapa pendapat mengenai bunga bank dan riba,
maka di sini penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi tentang bunga bank
apakah termasuk riba atau bukan. Dalam hal ini penulis akan membandingkan
pendapat Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi mengenai status hukum
tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
“Pandangan Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Mengenai Status
Hukum Bunga Bank”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam pembatasan pada skripsi ini hanya dibatasi pada pandangan
Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi mengenai status hukum bunga bank.
Dari uraian latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka yang
dikaji penulis dalam skripsi ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
8
1. Bagaimana pandangan atau pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi
terhadap status hukum bunga bank?
2. Apa persamaan dan perbedaan pandangan hukum bunga bank antara
keduanya?
3. Bagaimana konstribusinya terhadap pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tentang pandangan Ibrahim Hosen dan Yusuf al-
Qaradhawi.
2. Menganalisis persamaan dan perbedaan pandangan status hukum bunga bank
yang dipaparkan oleh Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi.
3. Untuk mengetahui konstribusi yang diberikan dari kedua pemikiran Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi terhadap pertumbuhan perbankan syariah di
Indonesia.
Dari tujuan penelitian tersebut diharapkan akan memberikan konstribusi
positif bagi umat islam dan menambah pemahaman mengenai bunga bank dan
riba.
9
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) dengan data
dan cara analisa kualitatif,10 dengan mendeskripsikan dan menganalisis obyek
penelitian yaitu membaca dan menelaah berbagai sumber yang berkaitan
dengan topik, untuk kemudian dilakukan analisis dan akhirnya mengambil
kesimpulan yang akan dituangkan dalam bentuk laporan tertulis.
Skripsi ini juga menggunakan metode analisa komparasi11 yaitu
dengan membandingkan pandangan status hukum bunga bank Ibrahim Hosen
dan Pandangan status hukum bunga bank Yusuf al-Qaradhawi dengan
demikian akan menghasilkan pemahaman yang obyektif dan utuh.
2. Tingkat Penelitian
Tingkat penelitian mengarah pada deskriptif (Taksonomik) dan
eksploratif, yaitu ingin menggambarkan sekaligus menggali secara luas
tentang sebab atau hal-hal yang mempengaruhi latar belakang pemikiran
tokoh ini.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data kualitatif
yang diperoleh dari sumber-sumber otentik yang terdiri atas sumber data
10 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, cet.X, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 160.
11 Abudin Nata, Metodelogi Studi Islam, cet.IX, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 160.
10
primer dan sumber data skunder. Dalam penelitian ini, sumber data primer
yang digunakan adalah makalah lokakarya yang ditulis Ibrahim Hosen dan
buku karya Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul Bunga Bank, Haram terjemah
dari Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram yang diterbitkan oleh Akbar
Eka Media Sarana tahun 2003.
Sedangkan sumber data skunder yang digunakan adalah berbagai
tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini, baik langsung maupun tidak
langsung, seperti buku Bunga Itu Bukan Riba dan Bank Itu Tidak Haram
karya Prof.MR.R.H. Kasman Singodimedjo, Bantahan Atas Kebohongan-
kebohongan Seputar Hukum Riba dan Bunga Bank karya M. Ahmad ad-
Da’ur, Doktrin Ekonomi Islam jilid 3 karya Afzalur Rahman. Menyoal Bank
Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis karya
Abdullah Saeed.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca, memahami dan
menganalisa buku-buku serta menelusuri berbagai literature yang ada
relevansinya dengan pembahasan ini, serta literature lain sebagai penunjang
untuk dikaji lebih jauh guna mencari landasan pemikiran dalam upaya
pemecahan masalah.
11
5. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data yang terkumpul pandangan tokoh Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi yang menjadi objek penulisan ini penulis
memakai metode analisis wacana (Discourse), karena pengumpulan data dan
informasi akan dilakukan pengujian arsip dan data dokumen, naskah atau
literatur lainnya yang tidak mengadakan perhitungan melainkan penekanan
ilmiah, dengan mengikuti alur pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-
Qaradhawi.
6. Teknik Penarikan Kesimpulan
Metode induksi-deduksi dilakukan untuk menelaah pemikiran sang
tokoh yang dihadapinya dapat diambil kesimpulan umum mengenai status
hukum bunga bank untuk kemudian diambil kembali dengan menerapkannya
kepada pemikiran-pemikiran lain dari kedua tokoh ini demi melihat sejauh
mana ketepatan kesimpulan yang diambil pertama.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian oleh Jaenudin Kurniawan pada tahun 2007 yaitu penelitian
tentang “Pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penetapan nisbah bagi hasil
deposito mudharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk” hasil
penelitiannya adalah yang pertama, dampak dari tingkat suku bunga yang tinggi
adalah tingkat bunga yang tinggi juga untuk para debitur. Bank tidak mau rugi.
Jika mereka memberikan bunga yang tinggi untuk mereka yang menyimpan
12
uangnya maka mereka akan menuntut bunga yang lebih tinggi lagi bagi mereka
yang meminjam dari bank. Selisih diantara keduanya adalah keuntungan bank dan
inilah yang menjadi salah satu sumber penghasilan bank, bagi hasil merupakan
salah satu prinsip yang dapat digunakan perbankan sebagai pengganti bunga
dalam memberi dan menerima imbalan atas jasa yang dilakukan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi suku bunga BI adalah kebutuhan dana, Target laba yang
diinginkan, Kualitas jaminan, Kebijaksanaan pemerintah, Jangka waktu, Reputasi
perusahaan, Produk yang kompetitif, hubungan baik persaingan.
Kedua, penentuan bagi hasil yang diterima nasabah dipengaruhi oleh pendapatan
yang diperoleh bank dari bagi hasil dengan nasabah pembiayaan. Target
perolehan dana bank, hal ini di kondisikan dengan tingkat FDR, tingkat bagi hasil
competitor. Nisbah yang ada pada Bank Muamalat itu ada dua, ada yang disebut
dengan nisbah conter dan juga nisbah spesial yang ternyata pelayanannya pun
berbeda.12
F. Kerangka Teori
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
berlebihan. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
12 Jaenudin Kurniawan, “Pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penetapan nisbah bagi hasil deposito mudharabah pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk,” ( Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 103.
13
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil, Ibnu al-Arabi al-Maliki
dalam kitabnya, Ahkam al-Qur’an, menjelaskan; “pengertian riba secara bahasa
adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah.“
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa
yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai
ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli,
si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga
dalam hal bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan
karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan
risiko yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu
14
yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si
peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti
untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. 13
Asal usul ataupun sebab-sebab bunga sebagaimana dinyatakan dalam
kutipan berikut oleh Haberler menuliskan :14
“teori bunga telah lama muncul secara lemah dalam ilmu ekonomi,
sedangkan penjelasan dan ketentuann tingkat bunga masih tetap memperlebar
jurang ketidaksamaan pendapat antara pakar ekonomi dari pada cabang-cabang
ekonomi lain pada umumnya”.
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau
menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar
kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh
nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).15
Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan
kepada nasabahnya yaitu:
1. Bunga Simpanan
Bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang
menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus
13 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Gema Insani: Jakarta, 2001), h. 37-38.
14 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, cet.II, (PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002), h.13.
15 “Proposal Tingkat Suku Bunga”, info skripsi diakses pada 11 oktober 2010 dari http://www.infoskripsi.com/Proposal/Proposal-Tingkat-Suku-Bunga.html.
15
dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan
dan bunga deposito.
2. Bunga Pinjaman
Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga
kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana
yang harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman
merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan
maupun bunga pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Sebagai contoh seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara
otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik dan demikian pula
sebaliknya.
Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua sumber pokok hukum Islam
melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q.S, Al Muzzammil dan
Q.S, Al Baqarah)16. Dan Islampun mengecam bunga, tetapi bersamaan dengan
itu menciptakan kondisi di dalam masyarakat sehingga pinjaman bebas bunga
tersedia bagi orang yang membutuhkannya. Bahkan orang miskin yang
16 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), h.164.
16
meminjam diberi kelonggaran disaat mengalami kesulitan keuangan
sebagaimana dinyatakan pada surat al-Baqarah ayat 280.
Hukum Islam secara tegas melarang memberikan pinjaman uang
tabungan melipatgandakan bunga. Orang secara bebas dapat menabung
sesukanya tetapi akumulasi tabungann tersebut tidak boleh menumbuhkan
bunga dalam sistem ekonomi Islam.17
Beberapa ulama serta pakar ekonomi banyak yang berbeda pendapat
mengenai bunga bank, diantaranya Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan
bahwa bunga bank itu termasuk riba, dan juga mengatakan secara tegas bahwa
Islam telah mengharamkan riba dan secara keras melarangnya.18 Sedangkan
pendapat yang kedua dikemukakan oleh Ibrahim Hosen, beliau mengatakan
bahwa bunga bank itu tidak termasuk ke dalam umumnya lafadh riba. Sebab
bank adalah badan hukum, bukan perorangan, di mana sistem perbankan pada
waktu itu (zaman jahiliyah/ permulaan Islam) belum ada. Apabila kita melihat
semangat ayat-ayat riba maka dapat kita fahami bahwa riba yang dilarang itu
adalah yang dilakukan oleh perorangan.
Alasan pendapat yang mengharamkan karena di dalam bunga bank
terdapat unsur-unsur riba, yaitu: Unsur tambahan (ziyadah) pembayaran atas
modal yang dipinjamkan. Tambahan tersebut tanpa iwadh/moqobil (risiko),
hanya karena adanya tenggang waktu pembayaran kembali. Tambahan itu
17 Ibid., h. 7 18 Qardawi, Bunga Bank, Haram, h. 28
17
diisyaratkan di dalam akad. Dapat menimbulkan adanya unsur pemerasan
(dzulm).
Alasan pendapat yang menghalalkan bunga bank ialah: adanya
kesukarelaan kedua belah pihak dalam akad. Tidak adanya unsur pemerasan
(zulm). Mengandung manfaat untuk kemaslahatan umum.
G. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
H. Sistematika Penulisan
Merujuk pada semua yang telah diuraikan diatas dan metode yang
digunakan serta untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka pembahasan
dibagi menjadi lima bab yang disusun sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodelogi penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori,
tekhnik penulisan, sistimatika penulisan.
18
BAB II PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-
QARADHAWI TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA
BANK
Bab ini mengungkapkan biografi Ibrahim Hosen, dan biografi
Yusuf al-Qaradhawi, pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-
Qaradhawi terhadap status hukum bunga bank, persamaan dan
perbedaan pemikiran antara keduanya.
BAB III ARGUMEN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-
QARADHAWI TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA
BANK
Bab ini mengungkapkan beberapa pendapat ulama dan para ahli
sekitar masalah status hukum bunga bank, argumen Ibrahim Hosen
Yusuf al-Qaradhawi terhadap status hukum bunga bank dari
pendapat ulama dan para ahli.
BAB IV KONTRIBUSINYA TERHADAP PERTUMBUHAN
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Bab ini mengungkapkan kontribusi yang diberikan kepada Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi terhadap pertumbuhan perbankan
syariah di Indonesia.
19
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri atas kesimpulan yang
merupakan jawaban dari perumusan masalah, saran-saran dan
selanjutnya disebutkan daftar pustaka.
20
BAB II
PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI
TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK
A. Biografi Kedua Tokoh
1. Biografi Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dilahirkan pada tanggal 01 Januari 19171 di sebuah dusun
perbatasan kota Tanjung Agung Bengkulu. Ia dilahirkan dari perkawinan seorang
ulama sekaligus saudagar besar keturunan Bugis, KH. Hosen dengan anak bangsawan
dari keluarga ningrat Kerajaan Salebar Bengkulu bernama Siti Zawiyah. Ia adalah
anak kedelapan dari dua belas bersaudara.2
Ibrahim Hosen kecil tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang religius
tradisional dan disiplin. Oleh sebab itu, ayahnya tidak memasukkan Ibrahim Hosen
kesekolah Belanda (HIS), meskipun secara materi mampu membiayainya. Karena
belajar pada sekolah Belanda, termasuk mempelajari bahasanya, bagi Ayahnya dan
umumnya yang dianut para ulama waktu itu masih dianggap tabu. Ibrahim Hosen
dididik Ayahnya sendiri dengan pemberlakuan jadwal yang ketat baginya. Pagi hari
ia harus bangun sebelum Subuh, lalu shalat dan terus belajar mengaji, begitu juga
1 Tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya ini menurut penuturan Ibrahim kepada anak-
anaknya adalah berdasarkan perkiraannya saja, yang pastinya ia tidak tahu karena dahulu tidak ada catatan (akte lahir) dari orang tuanya. Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta, 14 Januari 2008.
2 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia,. (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h.1- 4.
21
sore harinya hingga tengah malam. Sedangkan siang harinya ia belajar di Madrasah.
Disamping itu, ia juga sering dibawa ayahnya berdakwah dari satu surau ke surau
lainnya dan diajak mengunjungi para ulama terkenal yang ada pada masa itu.3
Secara formal, Ibrahim Hosen melalui pendidikannya pada Madrasah As-
Sagaf, tinggkat ibtidaiyah di Singapura tahun 1925. Menjelang duduk di kelas IV, ia
mengikuti ayahnya dan seluruh keluarganya pindah ke Tanjung Karang. Di kota ini,
ia melanjutkan pendidikannya di Mu’awanatul Khair Arabische School (MAS),
sekolah yang didirikan ayahnya pada tahun 1922. Pada kedua sekolah tersebut,
prestasi Ibrahim Hosen tidak terlalu istimewa. Kalaupun ada kelebihan dalam
beberapa mata pelajaran, seperti bahasa Arab dan penguasaan kitab kuning, ini karena
ayah dan kakaknya Oesman Hosen secara khusus mengajarinya dirumah.
Setelah Ibrahim Hosen melanjutkan pendidikannya ke tingkat Tsanawiyah
mulai tahun 1932-1934 di Teluk Betung, mulailah terlihat perbedaannya dibanding
dengan kawan-kawannya. Ia sangat tekun dalam belajar. Diluar waktu sekolah, ia
menggunakan kesempatan untuk belajar agama dan bahasa Arab lewat kajian kitab-
kitab kuning kepada Kyai Nawawi.4 Dirumah Kyai Nawawi ini pula ia menamatkan
kitab nahw, sharf, dan fiqih, termasuk Minhaj al-Abidin dalam bidang tasawuf. Jadi
dari Kyai inilah Ibrahim Hosen secara serius lebih memperdalam penguasaannya
terhadap ilmu-ilmu agama, terutama bahasa arab dan fiqih.
3 Ibid., h.5 4 Kyai Nawawi (bukan Nawawi al-Bantani) adalah seorang ulama besar yang pernah belajar
dan menjadi guru di Mekkah selama kurang lebih 12 tahun. Murid-muridnya, baik sewaktu di Makkah maupun setelah berada di Teluk Betung, bannyak yang menjadi ulama terpandang. Ibid., h.8.
22
Setelah menyelesaikan jenjang Tsanawiyah, Ibrahim Hosen merasa bahwa
ilmu yang didapatnya belum memadai. Oleh sebab itu, iapun bertekad harus
mengelana mencari ilmu dengan memburu guru ke tempat asalnya. Hal itu ia lakukan
demi mencapai cita-cita hidupnya, belajar untuk menjadi orang alim dalam bidang
agama. Karena itu pula, pada tahun 1934 ia menuju pulau jawa. Tempat pertama yang
ditujunya adalah pesantren Cibeber, Cilegon di kawasan Banten yang dipimpin oleh
KH. Abdul Latif. Di Pesantren ini, Ibrahim Hosen hanya tinggal 2 bulan. Sebab apa
yang diajarkan di Pesantren Cibeber ini tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah
diterimanya sewaktu di Teluk Betung dari Kyai Nawawi. Selain itu, sistem pesantren
yang sangat tradisional menjadi alasan lain baginya untuk pergi menuju Jami’at Khair
Tanah Abang, sekolah semi Pesantren yang sangat terkenal pada, masa itu.
Tujuan Ibrahim Hosen ke sekolah tersebut ingin belajar langsung kepada
Sayyid Ahmad as-Segaf, seorang ulama yang sangat mahir dalam ilmu bahasa dan
sastra Arab, yang juga pernah menjadi guru kakanya, Otsman Hosen. Namun sayang
sang guru telah pindah ke Solo dan sudah tidak mengajar lagi. Hal menarik terjadi
ketika Ibrahim Hosen datang ke Jami’at Khair, karena saat itu ia disangka datang
akan mengajar. Ini karena perkenalannya dengan para guru dan pengurus sekolah
melalui percakapan yang menggunakan bahasa Arab yang cukup fasih. Berulang kali
ia meyakinkan pihak sekolah bahwa ia ingin belajar, bukan mengajar, tetapi pihak
sekolah tidak percaya, bahkan mereka menawarkan ijazah kepada Ibrahim Hosen
kalau memang membutuhkannya.
23
Masih ditahun yang sama, Ibrahim Hosen lalu berangkat ke Serang Banten
menuju Pesantren Lontar yang dipimpin oleh KH. TB. Sholeh Ma’mun (Di Arab
Saudi dikenal dengan Syekh Ma’mun al-Khusyairi) yang ahli dalam ilmu qira’at dan
tilawat al-Qur’an. Di sini ia diistimewakan dibanding santri lainnya dengan
menempati sebuah kamar yang serumah dengan Kyai Sholeh dan belajar secara
langsung darinya setiap pagi dan malam hari. Sedangkan siang harinya, ia belajar di
Madrasah Khairul Huda, Kaujon, yang dipimpin Ustadz Khudhari. Walaupun di
pesantren ini ia belajar tidak lebih dari 6 bulan, namun cukup banyak ia mewarisi
ilmu dari gurunya tersebut. Selain ilmu fiqih dan penguasaan kitab-kitab kuning
lainnya, ia juga mewarisi ilmu Qira’ah dan Tilawah serta lagu-lagu berirama qasidah,
termasuk Barzanji, Mawalan, dan lainnya. Ilmu-ilmu inilah kiranya yang telah
mempengaruhi dan memotivasi Ibrahim Hosen di kemudian hari untuk berusaha
mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) yang terwujud tahun 1971 dan
Istitut Ilmu al-Qur’an (IIQ) pada tahun 1977.
Dari Pesantren Lontar, Ibrahim Hosen melanjutkan pengembaraan
intelektualnya ke Cirebon, tepatnya di Pesantren Buntet yang diasuh oleh KH. Abbas,
murid kenamaan Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Pada saat itu, sebenarnya Kyai
Abbas sudah tidak lagi mengajar secara langsung, tapi mendelegasikannya kepada
adik-adik dan anggota keluarganya yang lain karena jumlah santri-santrinya yang
cukup banyak. Biasanya orang yang datang ke Pesantren tersebut tidak bisa langsung
bertemu Kyai Abbas, apalagi diajarinya. Berbeda halnya yang dialami Ibrahim
Hosen, karena saat itu ia bisa langsung diterima Kyai Abbas dan diperlakukan secara
24
khusus pula. “ Tuan sama saya saja di sini, di kamar tamu,” kata Kyai Abbas
kepadanya. Di sinilah Ibrahim Hosen belajar dibawah bimbingan langsung Kyai
Abbas secara intensif mulai pagi hari setelah Shubuh, lalu setelah Ashar, dan setelah
Isya setiap harinaya, kecuali hari jum’at. Sehingga dalam waktu singkat, ia mampu
menamatkan beberapa kitab tentang ilmu Manthiq, Fiqh, Ushul al-Fiqh, dan lainnya.5
Begitu dekatnya hubungan Ibrahim Hosen dengan Kyai Abbas, sehingga tidak
tampak lagi seperti hubungan Kyai dengan santrinya, tapi mirip pertemanan, padahal
umur Ibrahim Hosen saat itu baru 18 tahun. Pada bulan puasa misalnya, keduanya
tetap sahur bersama, begitu pula kalau Kyai Abbas pergi untuk mengajar, ceramah,
atau pertemuan para ulama, Ibrahim selalu diajaknya. Kyai Abbas sendiri terkenal
keluhuran ilmunya, prilakunya yang santun, ceramahnya yang memukau, dan kalau
ditanya soal apa saja, selalu bisa menjawabnya dengan tepat dan sempurna,
disamping dianggap keramat karena kalau cincinya tidak ditanggalkan, rambutnya
susah dicukur. Dalam berbagai kesempatan itulah Ibrahim Hosen banyak belajar dari
Kyai Abbas tentang bagaimana memecahkan masalah, berdiskusi, dan sekaligus
bermasyarakat. Setelah 4 bulan, Ibrahim Hosen dianggap Kyai Abbas telah tamat
belajar darinya.
Selanjutnya, Kyai Abbas menganjurkannya agar melanjutkan belajarnya ke
Solo atau ke Gunung Puyuh, Sukabumi. Tapi ia memilih ke Solo untuk menemui
Sayyid Ahmad as-Segaf yang dulu pernah dicarinya di Jami’at Khair. Pada Sayyid
Ahmad as-Segaf inilah ia memperdalam lagi bahasa Arab, sedangkan tentang fiqih, ia
5 Ibid., h. 12
25
belajar lagi kepada Muhsin as-Segaf, kakaknya Sayyid Ahmad as-Segaf. Setelah
selesai belajar di Solo, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Gunung Puyuh
pada KH. Sanusi yang dikenal tinggi ilmunya dan sangat pandai dalam berdebat.
Sama seperti di pesantren sebelumnnya, di Gunung Puyuh inipun Ibrahim Hosen
mendapat perlakuan istimewa. Ia tidak tinggal di pesantren, melainkan di rumah salah
seorang keluarga Kyai Sanusi. Di pesantren inilah ia belajar ilmu Balaghah, yakni
Ma’ani, Bayan, Badi, dan kitab-kitab lainnya selama kurang dari 5 bulan.6
Totalnya, kurangnya dari setahun Ibrahim Hosen menghabiskan waktunya
untuk pengembaraan intelektualnya ke berbagai pesantren dari satu Kyai ke Kyai-
Kyai lainnya. Hasilnya, Ibrahim dapat menguasai berbagai ilmu agama dan
kemasyarakatan yang menjadi bekal dalam perjalanan hidupnya di kemudian hari
sebagai ulama yang disegani karena kedalaman pemahamannya dan keluasan dan
wawasannya.
Ketika Ibrahim Hosen dipercaya menjabat sebagai Imam Besar di Bengkulu
tahun 1942, Jepang memberinya kesempatan melanjutkan belajar ke Batu Sangkar
untuk bersekolah di Gunsei Gakko (sebelumnya bernama Jakiyu Kanri Gakko) yang
mendidik para pelajarnya yang sudah menjadi pegawai untuk menjadi asisten wedana
(Fuku Guncho). Tapi karena Ibrahim bukan seorang pegawai, maka ia dipersiapkan
menjadi Syukiyo Gakari (Pimpinan Urusan Agama) pada Bun Kyoka (Departemen
6 Ibid., h.14
26
P&K) Keresidenan Bengkulu.7 Disekolah inilah tampaknya ia mulai mengenal dan
banyak menimba ilmu pemerintahan dan persoalan-persoalan administrasi serta
organisasi yang berperan besar dan sangat membantunya dalam pengembangan
karirnya kelak sebagai pegawai pemerintah, baik pada Departemen Agama maupun
dalam jabatan-jabatan struktural lainnya dalam organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan.
Ketika Pemilu I RI baru saja selesai, tepatnya pada bulan September 1955,
walaupun dalam keadaan sakit, Ibrahim Hosen yang selalu haus akan ilmu
meneruskan kembali pengembaraan intelektualnya menuju Mesir. Sesampainya di
Mesir, ia tidak dapat langsung kuliah, sebab peraturan yang berlaku saat itu
mengharuskan semua mahasiswa asing yang tidak memiliki ijazah Madrasah Aliyah
yang salah satu gurunya harus ada utusan dari al-Azhar, tidak bisa kuliah langsung di
Universitas al-Azhar. Jadi harus melewati jenjang Aliyah di Mesir terlebih dahulu.
Namun demi menjaga nama baik dan citranya sebagai ulama Ibrahim Hosen
menempuh cara lain dengan menimba ilmu secara sorogan dari Syaikh Ied Washif
dalam bidang fiqih dan belajar pada Prof. Dr. Hasan Jad dalam bidang sastra.
Sehingga dalam waktu setahun, ia pun tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa
“mustami” yang mendapat beasiswa di Fakultas Sastra Universitas al-Azhar.8
Selama 4 tahun menempuh kuliah di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir,
Ibrahim Hosen tidak hanya berkutat di bidang akademis dengan menimba ilmu
7 Ibid., h. 22-23 8 Ibid., h. 42-43
27
sebanyak-banyaknya dari berbagai ulama di sana, mamun ia juga berusaha
mendalami adat istiadat yang berlaku di Mesir dan mencoba menyatu dengan
masyarakatnya. Karena pergaulannya yang luas dan senioritasnya, iapun terpilih
sebagi Ketua Umum Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) di Kairo saat itu. Maka tak
heran kiranya jika Ibrahim Hosen sangat dikenal oleh para mahasiswa Indonesia di
Mesir dan orang-orang yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia.9
Ibrahim Hosen menamatkan pendidikan formalnya dan mendapat ijazah dari
Universitas al-Azhar Kairo berupa Syahadat al-Aliyah li Kuliyat al-Syari’ah pada
bulan Desember tahun 1960 M/ Rajab 1380 H. Yang menurut Undang-Undang
Mesir, sama derajatnya dengan Licence dalam bidang syari’ah (hukum Islam).
Prestasinya sangat memuaskan (mumtaz), sebab ia tercatat telah lulus dari semua
ujian pada tahun 1959 M/1379 H dengan nilai ushul al-fiqh mencapai 39 dan fiqih 38
dari nilai tertinggi 40. Iapun berada pada rangking ketiga dari keseluruhan mahasiswa
al-Azhar dari Fakultas Syariah masa itu yang berjumlah 87 orang. Dan menurut
ketentuan UU Mesir tahun 1936 yang berlaku hingga saat itu, bagi yang telah
mendapatkan gelar Licence diperbolehkan langsung promosi doktor tanpa harus
melewati jenjang S2. Dengan syarat, yang bersangkutan harus kuliah tiga tahun dan
ditambah dua tahun untuk menyusun disertasi. Atau, bisa juga dengan mengajar
selama lima tahun. Setelah lima tahun, lalu harus kembali lagi ke Mesir dengan
9 Toha Andiko, “Ijtihad Ibrahim Hosen Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia,” (Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.29.
28
membawa disertasi yang siap diuji, untuk meraih gelar doktor dari Universitas al-
Azhar.10
Bekal dari pendidikannya dari Fakultas Syari’ah di al-Azhar inilah kiranya
yang telah mengubah pandangan Ibrahim Hosen tentang syari’ah dan fiqih. Ia yang
sebelumnya sangat fanatik pada kebenaran pendapat dari mazhab Syafi’I kini mulai
membuka diri terhadap kebenaran pendapat dari mazhab-mazhab lainnya. Di sini
mulai terbuka cakrawala berfikirnya tentang keaneka ragaman fiqih dan kewajaran
perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan imam mazhab dan pengikutnya karena
memang watak fiqih itu sendiri “berbeda pendapat” sebagai hasil dari seorang
mujtahid yang hanya mengikat bagi mujtahidnya saja, tapi tidak terhadap yang
lainnya. Oleh sebab itu, iapun tidak terikat lagi hanya pada satu madzhab tertentu.
Ibrahim Hosen lalu memutuskan untuk memilih alternatif kedua yaitu dengan
pulang ke tanah air untuk mengajar di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU)
Medan, Jami’ah al-Washliyah, dan IAIN Raden Fatah Palembang. Disela-sela
kesibukannya mengajar, ia tetap terus menulis disertasi untuk meraih gelar doktornya.
Tapi, baru saja dua tahun berjalan pengabdiannya, tepatnya pada tanggal 17 Juli
tahun 1962, Ibrahim Hosen mendapat anugerah gelar Profesor. Maka menurut
kelaziman Universitas, promosi doktornya tidak perlu lagi diteruskan, sebab yang
memberi gelar doktor adalah Profesor. Walupun demikian, tulisan untuk disertasinya
tetap ia teruskan penyelesaiannya yang sebagiannya belakangan diterjemahkan ke
10 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen, h. 46.
29
dalam bahasa Indonesia dengan judul “Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah,
Thalaq, Ruju’ Dan Kewarisan” Jilid I .
Tabel: Pendidikan Ibrahim Hosen
No Nama/Tempat Tingkat Tahun Keterangan 1 Madrasah As-Sagaf Singapura Ibtidaiyah 1925-1930 2 Muawanatul Khair Arabische
School (MAS) Teluk Betung Tsanawiyah 1932-1934
3 Pesantren Cibeber Cilegon - 1934 2 bulan 4 Pesantren Lontar Serang Banten - 1934 6 bulan 5 Pesantren Buntet Cirebon - 1934 4 bulan 6 Jami’at Khaer Solo - 1935 +1 bulan 7 Pesantren Gunung Puyuh
Sukabumi - 1942
8 Gunsei Gakko Batu Sangkar Tanah Datar Sumatra Barat
Sekolah Karir 1942
9 Universitas Al-Azhar, Mesir Licence 1955-1959
Karya-Karyanya
Ibrahim Hosen adalah seorang ulama yang aktif berdakwah melalui lisan dan
tulisan. Namun kapasitasnya sebagai ulama ilmuwan lebih menonjol daripada sebagai
ulama mubaligh. Terbukti, ia sangat produktif untuk masanya dalam hal penyampaian
ide-idenya melalui berbagai tulisan, seperti dalam bentuk buku, tulisan di jurnal
ilmiah, makalah-makalah seminar, maupun artikel ilmiah populer yang dimuat
dimajalah dan koran. Tulisan-tulisannya mayoritas adalah counter dan tanggapan
terhadap pendapat umum yang berkembang saat itu yang dianggapnya kurang sesuai,
baik tidak sesuai dalam tujuan secara kebahasaan, dalil hukum dan kaedah-
kaedahnya, maupun yang bertentangan dengan maqasid al-syari’ah dikaitkan dengan
sosio kultural dan politik pada masa itu yang perlu diluruskan. Ada kalanya sebagai
30
solusi untuk menjawab permasalahan yang masih samar sehingga terjadi kesimpang-
siuran karena belum ditemukan jawabannya yang meyakinkan masyarakat, dan ada
pula sebagai tawaran ilmiah yang lebih bersifat akademis.
Tabel: Klasifiksi Karya-karya Ibrahim Hosen
No Judul Jenis Tahun Tempat &
Penerbit Keterangan
A. IBADAH 1 Sahkah Khutbah dengan bahsa
‘Ajam? Buku 1940 Bengkulu Belum
ditemukan 2 Tuntutan Sabil Buku - Bengkulu Belum
ditemukan 3 “Hukum Memakai
Jilbab/Kerudung Bagi Muslimah Menurut Hukum Islam”
Artikel 1989 Jakarta Tempo
4 “Modernisasi Pengembangan dan Pemberdayagunaan Zakat”
MDT 1991 Jakarta
5 “Sekitar Pengertian Islam dan Aurat Wanita (Catatan Buat Dr. Nurcholis Madjid)”
MDT 1992 Jakarta Komisi Fatwa MUI
6 “Peranan Zakat Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan: Peningkatan Wawasan dan Pemahaman Terhadap Pensyari’atan Zakat”
MDT 1993 Jakarta
7 “Hikmah Puasa dan Kaitannya Dengan Pemerataan Kesejahteraan Sosial”
Artikel 1993 Jakarta Media Al-Furqan
8 “Konstribusi Ibadah Haji Bagi Kesejahteraan Umat (Analisis Terhadap Pensyari’atan al-Hadyu) ”
MDT 1993 Jakarta Komisi Fatwa MUI
9 “Penetapan Awal Bulan Qaamariah Menurut Islam dan Permasalahannya”
Artikel 1994 Jakarta Mimbar Hukum
10 “Pandangan Islam Tentang Patung”
MDT - - Belum Ditemukan
31
B. MU’AMALAH 1 Penjelasan Tentang Hukum Bir Buku 1969 Jakarta
Depag RI
2 “Status Hukum Transplantasi Kornea Mata, Katub Jantung dan Ginjal ”
MDT - Jakarta
3 “Hubungan Muslim Dengan Non Muslim Di Atas Dasar Kerukunan”
Artikel 1976 Jakarta Mimbar Ulama
4 “Ukhuwah Islamiyah Jangan Menjadi Retak Dikarenakan Masalah Khilafiyah”
MPGB 1981 Jakarta IAIN Syahid
5 Ma Huwal Maisir, apakah Judi itu?
Buku 1987 Jakarta LKI IIQ
6 Keluarga Berencana Menurut Islam
Buku 1987 Jakarta LKI IIQ
7 “Tuntutan Islam Dalam Masalah Kependudukan Dan Lingkungan Hidup”
MDT 1988 Jakarta
8 “Konsep Keluarga Sejahtera Menurut Pandangan Islam”
MDT 1989 Jakarta
9 “Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam”
Msn 1990 Bogor Lokakarya MUI
10 “Sumpah Jabatan Dalam Pandangan Islam”
MDT 1995 Jakarta
11 “KB Sebagai Ikhtiar Manusia Menuju Terbentuknya Keluarga Bahagia”
MDT 1996 Jakarta
12 “Perluasan Bidang Usaha Bank Syariah Ditinjau dari Hukum Fiqih”
MDT 1997 Jakarta
13 “Hukum Islam Tentang Beberapa Bahan Produk Makanan”
MSN 1998 Jakarta LP-POM MUI
14 “Urgensi Labelisasi Halal (Kewajiban adanya lembaga yang menjamin kehalalan produk bagi Muslim )”
MDT - Jakarta
15 “Bunga Bank Dalam Hubungannya Dengan Ongkos Naik Haji (ONH) Cicilan”
MDT - Jakarta Belum Ditemukan
32
16 “Perempuan Sah Menjadi Hakim” MDT - Jakarta C. MUNAKAHAT 1 Fiqih Perbandingan Dalam
Masalah Nikah, Ruju’, dan Kewarisan
Buku 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
2 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqih Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kearisan”, Bagian I
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
3 “Tinjauan perbandingan Mazhab Fiqih Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian IV
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
4 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian V
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
5 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian VI
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
6 “Tinjauan Perbandingan Mazhab Fiqh Tentang Nikah, Talak, Rudju’ dan Kewarisan”, Bagian VII
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulimuddin
7 “Hukum Nikah Dari Segi Perseorangan”
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
8 “Kedudukan Wali Dalam Aqad Nikah”
Artikel 1972 Jakarta Ihya Ulumuddin
D. JINAYAH DAN SIYASAH 1 “Jenis-jenis Hukuman Dalam
Hukum Pidana Islam Dan Perbedaan Ulama Dalam Penerapannya”
MSN 1993 Jkarta IAIN Syahid
2 “Konsep Hukum Islam Tentang Penanggulangan AIDS (Sebuah Alternatif) ”
Artikel 1993 Jakarta Mimbar Hukum
3 “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik”
MSN 1993 Jakarta UQ-ICMI
33
E. PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
1 Fiqh Mazhab Pemerintah Buku 1982 Jakarta PKPQ
2 “Sampai Dimana Ijtihad Dapat Berperan”
MSN 1983 Bandung IAIN Sunan Gunung Jati
3 “Kerangka Landasan Pemikiran Islam”
MSN 1984 Jakarta Depag RI
4 “Masa Depan Hukum Islam di Indonesia”
MSN 1985 Padang IAIN Imam Bonjol
5 “Pemahaman Al-Qur’an” Artikel 1985 Jakarta Mimbar Ulama
6 “Ulama Ikut Yang Awam; Bagaimana Berijtihad ?”
Artikel 1987 Jakarta Mimbar Ulama
7 “Perbandingan Mazhab” MDT 1987 Jakarta 8 “Kajian Tentang Imam Ahmad
Bin Hanbal Sebagai Mujtahid/Faqih”
MDT 1987 Jakarta
9 Sekitar Masalah Syubhat Buku 1989 Jakarta LPPI IIQ
10 “Peranan Lembaga Ijtihad Dalam Pengembangan Hukum Islam”
MDT 1989 Jakarta
11 “Mujtahid Jama’i Dan Implementasinya Dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”
MSN 1991 Jakarta Litbang Depag RI
12 “Ijtihad Jama’I dan Implikasinya Dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ”
MSN 1991 Jakarta Litbang Depag RI
13 “Menyongsong Abad ke-21: Dapatkah Hukum Islam Direaktualisasikan? ”
Artikel 1992 Jakarta Pelita
14 “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”, dalam Jalaludin Rahmat (ed.) Ijtihad Dalam Sorotan
Artikel 1992 Bandung Mizan
34
15 “Pokok-pokok Pemikiran Hukum Islam Sebuah Kerangka Konseptual”
Artikel 1994 Jakarta Media al-Furqan
16 “Sekitar Fatwa Majelis Ulama Indonesia”
MSN 1995 Jakarta MUI
17 “Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam”. Dalam Wahyuni Nafis et, al, Kontekstualisasi Ajaran Islam
Artikel 1995 Jakarta IPHI – Paramadina
18 “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam”, dalam Amrullah (ed) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
Artikel 1996 Jakarta Gema Insani Press
19 Bunga Rampai dari Percikan Filsafat Hukum Islam
Buku 1997 Jakarta YIIQ
F. SOSIAL KEAGAMAAN 1 Jadikanlah Islam Agama
Masyarakat Buku 1969 Jakarta
Arinayudi
2 “Mengapa Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah Tersebar Luas di Dunia Islam?” Bagian IV
Artikel 1970 Jakarta Ihya Ulumuddin
3 “Mengapa Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah Tersebar Luas di Dunia Islam?” Bagian VII
Artikel 1971 Jakarta Ihya Ulumuddin
4 “Peningkatan Pengalaman Ajaran Islam”
Artikel 1985 Jakarta Mimbar Ulama
5 “Ulama Adalah Pelita Di Zamannya”
Artikel 1985 Jakarta Mimbar Ulama
6 “Benarkah Pemerintah Saudi Arabia Mengikuti Mazhab Wahabi”
Artikel 1989 Jakarta Mimbar Ulama
7 “Peran Ulama Dalam Memasyarakatkan Keluarga Berencana di Indonesia”
MSI 1990 Jakarta
8 “Peran Ulama Dalam Mensukseskan KB”
MSI 1990 Aceh
35
9 Benarkah Ahmadiyah Qadian (Mirza Ghulam Ahmad) Menerima Wahyu?
Buku 1994 Jakarta LPPI IIQ
10 “Upaya Pelayanan Kesehatan Dipandang Dari Segi Hukum Islam”
Artikel 1996 Jakarta Media al-Furan
11 “Menangkap Rasa Keadilan Masyarakat Oleh Penegak Hukum”
MDT - Jakrta
Keteranagan :
MPGP : Makalah Pengukuhan Guru Besar
MSI : Makalah Seminar Internasional
MSN : Makalah Seminar Nasional
MDT : Makalah Diskusi Terbatas
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ibrahim Hosen termasuk faqih
Indonesia yang progresif, proaktif, dan produktif dalam berkarya, ia tidak hanya
menyampaikan ide-idenya secara lisan, tapi juga melalui tulisan.
Karir Dan Aktifitas Sosial Keagamaannya
Tabel: Karir dan Aktifitas Sosial Keagamaan Ibrahim Hosen
No Karir/Aktivitas Tahun Tempat 1 Muballigh 1938 Bengkulu 2 Imam Besar 1942 Bengkulu 3 Komandan Hizbullah (pejuang senior)
Pada Perang Grilya Melawan Belanda 1944 Bengkulu
4 Anggota Komisi Nasional Indonesia (KNI) Daerah Bengkulu
1945 Bengkulu
5 Wakil Ketua Masyumi Daerah Bengkulu 1946 Bengkulu
36
6 Juru bicara Delegasi Residen Hazairin dalam perundingan dengan pemberontak (ikut menyelesaikan konflik perbatasan)
1946 Muara Saung (Perbatasan Bengkulu-
Palembang) 7 Anggota tim perunding dengan Belanda 1948 Bengkulu 8 Anggota Badan Pekerja DPRD 1948 Bengkulu 9 Koordinator Urusan Agama 1950-1955 Bengkulu 10 Anggota Tim Kecil pada sidang Majlis
Tarjih Muhammadiyah mewakili Bengkulu 1954 Yogyakarta
11 Dosen di Fakultas Dakwah Al-Washliyah 1960-1961 Medan Sumut 12 Pegawai Tinggi Depag RI Pusat 1961-1964 Jakarta 13 Dosen Terbang di UISU 1961-1969 Medan Sumut 14 Guru Besar Luar Biasa IAIN Palembang 1962 Palembang 15 Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Palembang
marangkap IAIN Jambi 1962-1964 Palembang
16 Rektor IAIN Raden Fatah 1964-1966 Palembang 17 Ketua Umum Majlis Ulama Daerah
Sumatra Selatan 1964-1966 Palembang
18 Ketua Yayasan Baitul Mal Sumsel 1964-1966 Palembang 19 Kepala Biro Hubbungan Masyarakat dan
Luar Negeri Depag RI 1966-1971 Jakarta
20 Penggagas dan salah satu pendiri PTIQ bersama KH. Muhammad Dahlan, KH. Zaini Miftah, dan KH. Mukti Ali
1971 Jakarta
21 Menggags perlunya UU Perkawinan bagi umat Islam Indonesia yang disampaikan dalam berbagai forum dan seminar, menulis buku fiqh Perbandingan dan membuat draft yang dijadikan pegangan bagi Fraksi PPP
1971-1974 Jakarta
22 Penasehat Ahli Mentri Agama RI 1971-1982 Jakarta 23 Rektor PTIQ 1972-1976 Jakarta 24 Pendiri dan Rektor IIQ 1977-2001 Jakarta 25 Anggota Komisi Fatwa MUI 1975-1980 Jakarta 26 Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN Syarif
Hidayatullah 1979-1982 Jakarta
27 Salah satu Ketua MUI merangkap Ketua Komisi Fatwa MUI
1980-1995 Jakarta
28 Penatar pada Pelatihan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
1982 Pontianak
29 Penatar Hakim Pengadilan Agama 1983 Bukit Tinggi Sumbar
37
30 Konsultan BKKBN 1983-1986 Jakarta 31 Guru Besar Hukum Islam di UNISBA 1984 Bandung 32 Salah satu nara sumber KHI (pelaksana
bid. Kitab-kitab/yursprudensi) dan berperan aktif dalam mensosialisasikannya ke berbagai daerah
1985-1991 Jakarta, Jatim, Jateng, Medan,
Aceh, dan Kalimantan
33 Ikut mendukung dan meyakinkan DPR, konsultan Fraksi PPP tentang arti penting RUUPA agar disahkan menjadi UUPA
1989 Jakarta
34 Anggota Dewan Pengawas Syari’ah BMI 1991 Jakarta 35 Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI Jakarta 36 Pembicara dalam berbagai Seminar,
Simposium, Lokakarya, dan Konferensi Islam di dalam dan luar negeri
1971-1998 Jakarta, Bogor, Bandung, Padang,
Aceh, Kairo, Islamabad,
Moskwa dan Malaysia
37 Dewan Pembina LP.POM MUI Pusat 1998-2002 Jakarta 38 Guru Besar Hukum Islam di IAIN Sumatra
Utara, IAIN Sultan Syarif Qasim, dan IAIN Sunan Gunung Djati
Medan, Pekan Baru, Bandung
Walaupun sederet jabatan penting pernah dijabat, begitu banyak prestasi yang
telah diraih, dan besarnya konstribusi yang telah ditorehkannya bagi bangsa
Indonesia, namun Ibrahim Hosen tetap bersifat humanis dengan tampilan rapi,
bersahaja, sederhana, santun, rendah hati, dan suka menolong kepada siapa saja yang
memerlukan bantuan. Ia juga tidak malu untuk belajar kepada orang lain walaupun
orang lain itu sebenarnya selevel dengan dirinya. Ini terlihat misalnya sewaktu Kyai
Rohim dari Jawa Barat berkunjung kerumahnya. Sebelum membaca kitab kuning
38
yang akan dibahas, ia meminta sang Kyai untuk bersedia mengoreksi bacaannya
kalau salah, karena Kyai tersebut hafal kitab Alfiyah ibn Malik.11
Dalam kesehariannya, Ibrahim Hosen dikenang anak-anaknya sebagai Bapak
yang disiplin dan tegas tapi tetap demokratis. Ia selalu mengajak anak-anaknya
berdoa sebelum makan dan mensyukuri nikmat Tuhan karena masih bisa makan
sampai hari itu. Pada kesempatan lain, ia juga tak ragu untuk berdiskusi dan bertanya
pada anak-anaknya jika ada hal-hal yang belum ia ketahui betul masalahnya. Ketika
akan membahas masalah KB dalam perspektif hukum Islam misalnya, ia bertanya
dahulu kepada anaknya Nadratuzzaman tentang masalah anatomi tubuh manusia, dan
minta diterangkan ilmu biologi serta hal-hal yang berkaitan erat dengannya. Begitu
juga saat akan menullis makalah tentang ekonomi syari’ah dan beberapa bahan
produk makanan yang diragukan kehalalannya, Ibrahim Hosen sering bertanya
kepada Nadratuzzaman yang memang ahli di kedua bidang tersebut.12
Ibrahim Hosen selalu menekankan kepada anak-anaknya agar gemar
membaca. Dan dalam mempelajari sesuatu, ia berpesan: “kalau belajar itu harus
paham betul, jangan terang-terang kain.” Maksudnya supaya anak-anaknya jika ingin
menguasai sesuatu ilmu harus mendalam, tidak setengah-setengah atau tanggung-
tanggung. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “Ulama itu kalu ditanya jangan
buka buku dulu baru menjawab. Ulama itu ada dua macam: pertama, ulama tabel
11 Nadratuzzaman, disampaikan pada “Memorial Conference Refleksi Pemikiran Al-
Magfurlah Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML (1971-2001)”. Gedung MUI Jakarta, 21 Oktober 2008. 12 Ibid.,
39
yang bisa buat kalender sendiri (mandiri dan benar-benar ahli). Kedua, ulama jendela,
yaitu ulama yang menunggu lebih dahulu bagaimana orang lain berpendapat, baru ia
berani mengeluarkan pendapatnya.” Dan Ibrahim Hosen selalu memotivasi anaknya
agar menjadi ulama tabel13 (ahli, pelopor, dan responsif).
Walaupun beberapa pemikiran Ibrahim Hosen dianggap liberal, melawan
arus, dan terkadang dikonotasikan negatif, ternyata dalam beribadah ia termasuk
orang yang sangat taat. Zikirnya setelah salat cukup panjang dan diakhiri dengan
membaca Al-Qur’an kecil yang selalu berada disakunya kemanapun ia pergi.14
Pada tahun 1998, ia termasuk menjadi sebagai salah satu dewan pembina di
Lembaga Pangkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LP.POM MUI) pada kepengurusan periode 1998-2002. Dan pada periode
kepengurusan 2000-2005 ia terpilih kembali dan menjabat sebagai ketua dewan
pembina pada lembaga yang sama, yang tugasnya antara lain melakukan sosialisasi
dan komunikasi pada masyarakat tentang perlu dan pentingnya sertifikasi halal agar
masyarakat muslim mendapat keamanan, kenyamanan dan ketentraman dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman serta menggunakan obat-obatan dan
kosmetika.15
Sejak delapan bulan sebelum ajal menjemput Ibrahim Hosen, ia banyak
menghabiskan waktunya dengan khusyu’ membaca al-Qur’an. Lalu enam bulan
13 Hasil wawancara Toha Andiko dengan Nadratuzzaman, Jakarta 23 Februari 2008 14 Risman Musa, Pribadi KH. Ibrahim Hosen Yang Kukenal, h.3. 15 LPPOM MUI, Dari Sertifikasi Menuju Liberalisasi Halal, (Jakarta: Pustaka Jurnal
Halal,2008), h.147, 150, 158.
40
sebelum meninggal dunia, Ibrahim Hosen bermimpi bertemu dengan sesosok
makhluk yang diduganya adalah malaikat. Ia bertanya: “kapan saya akan menghadap
Allah? Makhluk itu menjawab: “tidak lama lagi” sebab berjuang selama 8 hari
melawan penyakit jantungnya yang kambuh, maka pada hari Rabu tanggal 07
Nopember 2001 Allah SWT menepati janjinya dengan memanggil Ibrahim Hosen di
usianya 84 tahun untuk kembali ke pagkuannya di Rumah Sakit Elizabeth Singapura.
Jenazahnya kemudiah dikuburkan pada kamis siang di pemakaman IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Biografi Yusuf al-Qaradhawi
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah al-Qaradhawi, disingkat Yusuf al-
Qaradhawi. Ia digelari juga dengan “Abu Muhammad”, karena anaknya yang terbesar
bernama Muhammmad. Kapasitas keilmuan al-Qaradhawi sesungguhnya tak lepas
dari latar belakang pendidikan dan keluarganya. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana
pada 9 September 1926 di Desa Shafth Turab, Provinsi Manovia, yang masih ikut
pada Pusat Distrik Besar, dan merupakan bagian dari aktivitas Propinsi Barat di
Mesir.16 Sejak kecil al-Qaradhawi sarat dengan pendidikan keagamaan. Tidak heran
pada umur sembilan tahun, dia sudah hafal 30 juz Al-Qur’an.
16 Yusuf al-Qardawi, Perjalanan Hidupku,. Terj. H. Cecep Taufiqurrahma, Lc. Dan H.
Nandang Burhanuddin. Lc., (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h.1-2.
41
Ketika ia menginjak usia dua tahun ayahnya yang seorang petani meninggal
dunia, maka ia sebagai anak yatim diasuh dan dididik oleh pamannya.17 Walaupun al-
Qaradhawi tidak pernah mendapat bimbingan dan didikan langsung dari ayahnya,
namun pamannya ini cukup banyak memperhatikan pendidikannya dengan baik
sebagaimana terhadap anak-anaknya sendiri al-Qaradhawi pun menganggap
pamannya ini seperti orang tuanya sendiri. Keluarga pamannya merupakan keluarga
yang teguh dan tekun menjalankan ajaran Islam. Sehingga al-Qaradhawi ikut
dibesarkan dan dididik dalam lingkungan yang agamis.
Pada waktu berusia lima tahun, al-Qaradhawi dimasukkan kepada salah satu
kuttab di desanya.18 Ketika berusia tujuh tahun, ia diserahkan ke Madrasah Ilzamiyah
yang berada di bawah Departemen Pendidikan Mesir. Disekolah ini ia mempelajari
ilmu pengetahuan seperti, matematika, sejarah, ilmu kesehatan, dan sebagainya. Sejak
saat itu, al-Qaradhawi bersekolah dua kali sehari, pagi hari di Madrasah Ilzamiyah,
sedangkan sore harinya di pendidikan kuttab.
Al-Qaradhawi telah berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an pada usia sepuluh
tahun, suaranya merdu dan bacaannya fasih. Sejak saat itu al-Qaradhawi kecil sering
diangkat menjadi imam salat oleh penduduk desanya, terutama dalam salat berjamaah
jahriyah (magrib, isya dan subuh). Tidak sedikit orang yang menangis ketika
mengikuti salat bersama al-Qaradhawi. Penduduk desa menyebutnya Syeikh Yusuf.
17 Yusuf Al-Qardawi, Pokok-pokok Pikiran Nasyid Islami, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), h. 2
18Kuttab adalah semacam pesantren di Indonesia atau pendidikan non formal di masjid-masjid yang terdapat hampir di setiap pelosok Mesir. Lihat kupaasan ‘Biografi singkat Dr. yusuf Qaradhawi dan Karya-Karyanya’ dalam buku Pemikiran Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam timbangan, karangan Sulaiman bin Shallih Al-Khuraisyi.
42
Penghargaan ini menyebabkan al-Qaradhawi kecil tidak bisa banyak bermain seperti
anak-anak lain sebayanya. Dari sini dapat dipahami bahwa al-Qardhawi berasal dari
keluarga yang taat beragama, kondisi tersebut tidak lepas dari lingkungan desanya
yang agamis.
Setamat dari Madrasah Ilzamiah, al-Qaradhawi berkeinginan kuat untuk
melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah di Thanta. Namun, pamannya yang berekonomi
lemah merasa keberatan. Karena perjalanan menuntut ilmu adalah perjalanan panjang
yang membutuhkan biaya besar. Pamannya mengusulkan agar al-Qaradhawi remaja
menempuh jalan pintas dengan memilih sekolah keterampilan (kejuruan). Karena
kuatnya kemauan al-Qaradhawi dan kesediannya untuk bersekolah secara prihatin,
akhirnya ia direstui pamannya untuk bersekolah di Thanta. Madrasah Ibtidaiyah
diselesaikannya selama lima tahun. Karena kecerdasannya yang luar biasa ia selalu
mendapatkan rangking pertama, maka guru-gurunya memberi gelar ‘Allamah.19
Kecintaannya terhadap lembaga pendidikan Islam ternama, Al-Azhar,
membuat tekat bulatnya menempuh pendidikan dasar hingga pendidikan tingginya di
lembaga ini. “Saya cinta Al-Azhar sejak kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah
satu ulamanya. Al-Azhar menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan
ilmu pengetahuan. Atas bimbingan ulama Al-Azhar, orang-orang bodoh bisa belajar
19‘Allamah adalah sebuah gelar yang biasanya diberikan kepada seseorang yang memiliki
ilmu yang sangat luas. Lihat ‘Isam Talimah, dalam Manhaj Yusuf al-Qardhawi, tej. Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 4.
43
dan para pelaku maksiat mau bertaubat.” Katanya dalam satu kesempatan ceramah di
Kairo, Mesir beberapa waktu lalu.20
Pendidikan yang ditempuhnya dalam waktu yang relatif singkat dengan
prestasi yang rata-rata terbaik. Kecerdasannya mulai tampak ketika ia berhasil
menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ushuluddin al-Azhar Kairo, dengan predikat
terbaik yang diraihnya pada tahun 1952-1953. Kemudian ia melanjutkan pendidikan
kejurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Tidak berbeda ketika ia lulus dari Fakultas
Ushuluddin, dan ia berhasil mendapatkan ijazah pengajaran bahasa Arab dengan
peringkat pertama dari lima ratus orang mahasiswa al-Azhar.21
Pada tahun 1957 ia melanjutkan studinya di Lembaga Tinggi Riset dan
Penelitian Masalah-Masalah Islam dan Perkembangannya (Ma’had al-Buhuts wa al-
Dirasah al-‘Arabiyah al-‘Aliyah) yang berada di bawah Liga Arab dan berhasil
mendapat diploma tinggi dari jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Pada tahun 1957 M itu
pula al-Qaradhawi mengikuti kuliah pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar
untuk tingkat pascasarjana (S2, Magister) oleh dekan fakultasnya ia disarankan untuk
memilih salah satu jurusan yaitu Tafsir Hadits atau jurusan Akidah Filsafat, karena al-
Qaradhawi dipandang memenuhi syarat untuk kedua jurusan tersebut.
Untuk itu ia minta pendapat seniornya Dr. Muhammad Yusuf Musa. Dia
memberikan penjelasan tentang kelebihan jurusan tafsir hadits dan menyatakan
20 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
(Jakarta: PT.Mizan Publika, 2003), cet.I, h.360. 21 Muhammad al-Mahjub, ‘Ulama wa Mutafakkiruun ‘Araftuhum, (Beirut: Dar al-Nafais,
1977), h.442.
44
bahwa al-Quran dan Sunnah merupakan sumber utama syari’at Islam, walaupun ia
sendiri adalah dosen senior di jurusan Akidah Filsafat, sehingga al-Qaradhawi
memilih Jurusan Tafsir Hadits. Menurut Muhammad Yusuf Musa, jurusan Akidah
Filsafat sebenarnya hanya untuk mengikuti perkembangan pemikiran filsafat
internasional dan filsafat kontemporer secara radikal serta meluruskan kesalahan-
kesalahan menurut pandangan Islam.22
Ia menyelesaikan program magisternya selama tiga tahun dan berakhir pada
tahun 1960 M. Setelah itu ia melanjutkan ketingkat doktor (S3) pada fakultas dan
spesialisasi yang sama. Disertasi yang diajukan berjudul “al-Zakat fi al-Islam”.
Disertasi itu direncanakan akan selesai dalam waktu dua tahun, tetapi karena terjadi
krisis politik di Mesir sehingga penyelesaiannya tertunda selama tiga belas tahun dan
baru berhasil mendapat gelar doktor pada tahun 1973 M dengan peringkat cumlaude.
Dalam suasana gejolak politik Mesir yang tidak menentu, beliau aktif berdakwah
meneruskan cita-cita gerakan Ikhwanul Muslimin dan menulis buletin, majalah dan
lain sebagainya. Klimaksnya tahun 70-an beliau sempat meninggalkan Mesir menuju
Doha, Qatar.
Aktivitasnya setelah menyelesaikan studinya (S1), tahun 1956 M Yusuf al-
Qaradhawi pernah bekerja dibagian pengawasan pendidikan agama pada Kementrian
Wakaf, Mesir. Kemudian pada tahun 1959 M, ia pindah kebiro umum bidang
22Terjemah; Faridh Uqbah KK, (jakarta: Madia Dakwah, 1987), h.153.
45
kebudayaan Islam al-Azhar bagian pembinaan dakwah. Pada saat yang sama pula ia
pun menjadi dosen pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar.
Kendati demikian, beliau sosok yang banyak terlibat intens dalam bidang
dakwah dan anggota pergerakan yang kemudian membawa beliau masuk dalam
kegiatan gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh tokoh gerakan mesir,
Hassan al-Banna. Perjalanan beliau sebagai anggota Ikhwanul Muslimin banyak
mengalami rintangan dari pemerintah Mesir yang waktu itu dipimpin oleh Jamal
Abdul Annaser. Klimaksnya terjadi pada tahun 1954 M ketika pemerintah Mesir
membubarkan gerakan ini.
Implikasi dari keputusan tersebut kekayaan Ikhwanul Muslimin dirampas,
para pengikutnya disiksa dan sebagian dijebloskan kedalam penjara, termasuk
dilamnya Yusuf al-Qaradhawi bersama beberapa orang kawan pengikut gerakan
Ikhwanul Muslimin.10 Pada tahun 1956 M, beliau masih menulis makalah di majalah
mimbar Islam dengan nama samaran Yusuf Abdalah. Hal itu beliau lakukan untuk
menghindari intel yang terus mengikuti dan mengawasi beliau.11
Sekitar tahun 70 an akibat kejamnya rezim pada masa itu al-Qaradhawi
meninggalkan Mesir menuju Doha, Qatar. Disana beliau diangkat menjadi Direktur
Yusuf al-Qaradhawi, Pokok-pokok Pikiran Nasyid Islami, (Bandung: Sinar Algesindo, 1995), h.3.
Jhon L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, cet.I, (Bandung: Mizan, 2001), jilid 1, h.271.
10 Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal: Setengah Abad
Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, cet.I, (Jakarta: Robbani, Press, 1997), h.14. 11 Yusuf Qardawi, Membangun Masyarakat Baru,terj. Rusydi Helmi, cet.II, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), h.10.
46
lembaga pendidikan agama tingkat lanjut atas (Aliyah). Ia melaksanakan kerangka
dasar materi pelajaran agama sehingga menjadi model bagi sekolah sekolah lainnya.
Sekolah ini merupakan cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah yang didirikannya
bersama Ibrahim Qadim, dan kemudian di perluas menjadi Unversitas Qatar dengan
beberapa Fakultas. Pada tahun 1977 M al-Qaradhawi di tugaskan untuk memimpin
pendirian dan sekaligus menjadi dekan pertama Fakultas Syariah dan Studi Islam di
Universitas Qatar. Beliau menjadi dekan di fakultas itu hingga akhir tahun ajaran
1989-1990 M, dan sekarang menjadi Dewan Pendiri dari Pusat Riset Sunnah dan
Sirah Nabi di universitas Qatar.12
Beliau kini menjadi anggota di berbagai lembaga ilmiah, dakwah, bahasa
Arab, bidang keislaman, baik dikalangan nasional maupun internasional. Diantaranya
adalah Lembaga Fiqh di Rabithah al-Alam al-Islami, Lembaga kerajaan Bidang Studi
Peradaban Islam di Yordania, Pusat Studi Islam di Oxford, Majelis Sekretaris Islam
Dunia di Islamabad, Lembaga Dakwah Islam di Khortum, beliau juga mengepalai
Unit Pengawasan Syariah di berbagai bank Islam.
Beliau pernah menguji berbagai wilayah dunia Islam, diundang di berbagai
forum seminar kampus maupun di luar kampus dan terkenal dengan sebutan “Dai
Moderat” karena beliau mendakwahkan Islam dengan format menghimpun antara
12 Muhammad al-Mahjub, ‘Ulama wa Mutafakkirun ‘Araftuhum, h. 452.
47
semangat salaf dan pembaharuan, antara pemikiran dan gerakan, antara teks dan
konteks serta antara kebekuan hukum dan elastisitas zaman.13
Karya dan Produktivitasnya
Al-Qaradhawi merupakan tokoh, ulama, ilmuan dan cendikiawan yang
mumpuni, berwawasan luas dan memiliki produktivitas yang tinggi dalam menulis
melalui artikel dan majalah, buletin maupun dalam bentuk buku. Bila masa
produktivitasnya dimulai pasca beliau lulus S1 tahun 1953 M, terbentang waktu 51
tahun, namun tentunya harus difahami pula aktivitas beliau dalam pergerakan
Ikhwanul Muslimin dan dunia pendidikan yang telah menyita waktu. Pada tahun
1997 saja, buku-buku karyanya sudah mencapai 73 judul dan memasuki tahun 2003
karyanya telah bertambah menjadi 96 judul buku. Al-Qaradhawi termasuk ulama
yang berwawasan luas, karya-karyanya banyak membahas masalah-masalah syariah
(fiqh, ushul al-fiqh), tafsir, hadits, tauhid (al-‘aqidah), pemikiran politik (fiqh al-
siyasah) dan gerakan dakwah. Fantastisnya buku-buku Qaradhawi banyak
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia Islam.
Namun menurut komentar Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi dalam bukunya
Al-Qaradhawi fi al-Mizan, karya al-Qaradhawi terbilang banyak dibanding waktu
luang yang dimilikinya untuk menulis. Tetapi jika diperhatikan secara seksama,
niscaya pemikiran-pemikiran yang disampaikan dalam buku-buku tersebut banyak
13 ‘Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhawi, h. 4-5.
48
bersifat pengulangan. Bahkan sebagian kitab hanya sebatas pembahasan terhadap bab
tersendiri dari kitab lain.14
Berikut ini beberapa judul buku yang ditulis oleh Yusuf al-Qaradhawi:
1. Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam
2. Al-‘Ibadah fi al-Islam
3. Al-Iman wa al-Hayat
4. Al-Khasha-ish al-‘Ammah li al-Islam
5. Musyqilat al-Faqr wa Kayfa ‘Alajah al-Islam
6. Fiqh al-Zakat
7. Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi as-Syira’
8. Al-Jihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyyah ma’a Nazharat Tahliliyyah fi al-Ijtihad
al-Mu’ashir
9. Al-Fatwa Baina Al-Indhibath wa Tasayyub
10. Hady Al-Islam Fatawa Mu’ashirah
11. ‘Awamil al-Syi’ah wa Murunah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah
12. Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah an-Nabawiyyah
13. Taisir al-Fiqh fi Dhau’I al-Qur’an wa al-Sunnah
14. Saur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami
15. Qadlaya Mu’ashirah ‘ala Bahshat al-Bahts
16. Fawa’id al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Muharram
14 Sulaiman bin Shahih Al-khuraisyi, Pemikiran Dr.Yusuf Al-Qaradhawi Dalam Timbangan,
terj. M. Abdul Ghofar, cet.I, (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2003), h. pendahuluan.
49
17. Al-Hulu al-Mustauridah wa Kayfa Janat ‘ala Ummatina?
18. Al-Hal al-Islami Faridlatan wa Dlaruratan
19. Bayanat al-Hal al-Islami wa Syubuhat al-‘Ilmaniyyin wa al-Mutagharribin
20. Asy-Syab fi al-Qur’an al-Karim
21. An-Nas wa al-Haq
22. Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’I al-Islami
23. Darsun Naqbah ats-Tsaniyah
24. Tsaqafatu al-Da’iyyah
25. At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Madrast al-Hasan al-Banna
26. Risalat al-Azhar bain al-Amsi wa al-Yaum wa al-Ghad
27. Jilu an-Nashr al-Masyud
28. Zhahirat al-Ghuluw fi at-Takfir
29. Ash-Shahwah al-Islamiyyah bain al-Juhud wa at-tatharruf
30. Ash-Shahwah al-Islamiyyah wa Humun al-Wathan al-‘Arabi wa al-Islami
31. Ash-Shahwah al-Islamiyyah bain al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-
Mazmum
32. Min Ajli Shalawatin Rasyidatin, Tujaddidu al-Din wa Tanhadlu bi-al-Dunya
33. Aulawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah fi al-Marhalat al-Qadimah
34. Al-Islam al-‘Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin
35. Ar-Rasul wa ‘Ilm
36. Al-Waqt fi Hayat al-Muslim
37. Wujud al-Allah
50
38. Haqiqat al-Tauhid
39. Nisa’un Mu’minatun
40. Al-Fiqh al-Islam bain al-Shalah wa al-Tajdid
41. Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi Al-Qur’an al-Karim
42. Syari’at al-Islam Shalihatun li kulli Zamanin wa Makanin
43. Madkhal li Dirasat al-Sunnah an-Nabawiyyah
44. Taisir al-Fiqh: Fiqh as-Shiyam
45. Al-Imam al-Ghazali baina Madihi wa Naqihi
46. Al-Ummah al-Slamiyah Haqiqah La Wahm
Penulis hanya mencantumkan sebagian dari karya beliau dan masih banyak
lagi kurang lebih masih ada sekitar 50 judul. Mengingat wawasan beliau yang cukup
luas, meskipun usianya sudah lanjut penulis yakin al-Qaradhawi masih akan cukup
produktif untuk terus berkarya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam dengan buku-bukunya yang mayoritas berisi komentar problematika
kehidupan kontemporer.
B. Pemikiran Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi Terhadap Status Hukum
Bunga Bank
1. Pemikiran Ibrahim Hosen
Menurut Ibrahim Hosen, menentukan status hukum bunga bank apakah termasuk
kategori riba yang dilarang ataukah tidak, dapat dilakukan lewat dua pendekatan,
sebagai berikut.
51
1. Mengaplikasikan kaidah Al-Ibrah Bikhususissabab La Bi’umumilafdhi (yang
dijadikan pedoman atau pegangan adalah khususnya sebab, bukan umumnya
lafadh).
Menurut Ibrahim Hosen mempelajari ayat yang menerangkan haramnya riba
latar belakang turunya adalah karena ada sebab, yaitu praktek riba di zaman jahiliyah
yang dilakukan perorangan yang didalamnya terjadi praktek penindasan terselubung
yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang memberi pinjaman terhadap orang-orang
lemah yang mendapatkan pinjaman yang seharusnya dibantu. Atas dasar ini maka
ayat riba tersebut hanya berlaku untuk praktik riba di zaman jahiliyah yang dilakukan
oleh perorangan dan praktik lain yang bisa dikiaskan seperti renternir atau lintah
darat.
Mengenai bunga bank tidak termasuk kedalam umumnya lafadh riba. Sebab
bank adalah badan hukum, bukan perorangan, dimana sistem perbankan pada waktu
itu (zaman jahiliyah atau permulaan Islam) belum ada.
Menurutnya jika melihat ayat-ayat riba maka dapat dipahami bahwa riba yang
dilarang itu adalah yang dilakukan oleh perorangan. Seperti salah satu ayat riba yang
ada dalam surat al-Baqarah ayat 278-280:
52
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.maka jika kamu tidak megerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tagguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Dalam ayat-ayat diatas nampak jelas bahwa khitab riba itu ditujukan
kepada pribadi atau perorangan tidak kepada lembaga atau badan hukum. Menurut
beliau melihat lafadh riba yang bersifat umum itu semestinya tercakuplah di
dalamnya pribadi atau perorangan dan badan hukum. Akan tetapi karena melihat
fakta yang ada, di mana waktu itu badan hukum, yaitu bank belum ada maka jelas
bank belum tercakup di dalamnya. Karena itu dalam hal ini tidak berlaku kaidah “AL
‘IBRAH BI’ UMUMILLAFDHI LA BIKHUSUSISSABAB.” Seandainya bank tercakup
dalam umumnya lafadh riba tentu untuk mengeluarkannya atau mengecualikannya
diperlukan takhsis. Menurut beliau takhsis ini tidak diperlukan, karena tidak termasuk
dalam umumnya lafadh riba tersebut.
Jadi yang berlaku dalam ayat ini adalah kaidah AL ‘IBRAH
BIKHUSUSISSABAB LA BI’UMUMILLAFDHI, artinya ayat riba itu hanya berlaku
untuk riba yang karenanya ayat itu diturunkan, yaitu riba jahiliyah dan yang sejenis
seperti renternir atau lintah darat. Dengan demikian maka bank tidak tercakup dalam
ayat-ayat riba tersebut maka status hukumnya maskut ‘anhu, menurut Ibrahim Hosen
dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya.
53
2. Adakah Fiqh Mengenal Badan Hukum Ataukah Tidak?
Menurut Ibrahim Hosen, berdasarkan kaidah-kaidah Ushul Fiqih
Ushuliyyin Mutaqaddimin dapat diketahui bahwa Fiqih tidak mengenal badan hukum
(badan hukum adalah badan atau lembaga yang oleh undang-undang dianggap seperti
manusia dalam tindak-tindak perdata tertentu) dengan pengertian bahwa badan
hukum bebas dari tuntutan khitab taklif, dengan uraian sebagai berikut:
1. Mahkum ‘alaih (pelaku hukum yang terkena khitab) adalah manusia dewasa
yang memiliki ahliyah wujub dan ahliyah al-ada’.
2. Ahliyah wujud adalah kepatutan manusia untuk menerima hak dan kewajiban
yang bersendikan pada sifat-sifat khas yang diciptakan oleh Allah untuk
manusia dan dengan sifat khasnya itu manusia dibedakan dari hewan. Sifat-
sifat khas yang ada pada manusia itu menurut fuqaha disebut zimmah
(tanggung jawab) yaitu sifat-sifat dasar yang terdapat pada manusia, di mana
dengan adanya sifat-sifat itu manusia berhak menerima hak dari yang lain dan
kewajiban-kewajiban terhadap yang lain.
3. Ahliyah Wujub tersebut layak diterima oleh manusia dipandang dari sisi
bahwa ia adalah manusia baik lelaki, perempuan, janin, anak kecil yang telah
mumayyiz atau belum, telah dewasa atau belum, bodoh atau pandai, sehat
atau sakit. Sebab ‘illat kenapa manusia itu dipandang layak atau pantas
menerima kewajiban adalah insaniyahnya. Oleh karena itu semua manusia
dipandang sebagai Ahliyah Wujub.
54
4. Ahliyah ada’ adalah kepatutan manusia untuk di anggap atau dibenarkan oleh
Agama ucapan dan perbuatannya, sehingga apabila orang tersebut melakukan
sesuatu, transaksi atau tindakan hukum maka apa yang dilakukan itu dinilai
oleh agama dan akan ada hukumnya. ‘Illat ahliyah ada’ pada manusia adalah
akal dan dewasa.23
5. Hukum adalah Khitab Allah yang berhubungan dengan tingkah laku atau
perbuatan orang-orang dewasa. Hukum dalam definisi ini erat hubungannya
dengan mahkum ‘alaih. Karena itu dapat diketahui bahwa objek hukum adalah
perbuatan yang pelakunya adalah manusia sebagai mahkum ‘alaih.
Dari uraian di atas maka secara jelas dapat dipahami bahwa sesusai dengan
pengertian mahkum ‘alaih dan definisi hukum menurut rumusan Ushuliyyin, fiqh
tidak mengenal badan hukum dengan arti bahwa badan hukum tidak terkena atau
bebas dari tuntutan khitab taklif. Kalau seandainya fiqh mengenal badan hukum tentu
berkewajiban melakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana mukallaf, seperti shalat,
zakat, puasa, ibadah haji dan lain-lain. Hal ini jelas mustahil.
Ibrahim Hosen juga mengungkapkan adanya pandangan pujangga-pujangga
fiqih angkatan baru pendidikan Barat seperti Mustafa az-Zarqa’ dan Yusuf Musa
yang menyatakan bahwa fiqih mengenal badan hukum yang dalam bahasa Arabnya
dikenal dengan istilah “Syakhsiyah Ma’nawiyah” atau “Syakhsiyah I’tibariyah”.
Akan tetapi menurut penelitian Ibrahim, yang kuat adalah pendapat yang mengatakan
23 Abd Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqhi, cet.II, (Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyah, 1986), h. 135-
136. dan lihat juga Abu Zahroh, Ushul Al-Fiqh, h. 327-333.
55
bahwa fiqih tidak mengenal badan hukum. Sebab, hal ini sejalan dengan kaidah-
kaidah Ushul Fiqih yang telah disepakati. Sementara itu dalil yang dijadikan alasan
oleh ulama yang menyatakan bahwa fiqih mengenal badan hukum, menurut Ibrahim
Hosen banyak mengandung kelemahan-kelemahan.24
Bank konvensional adalah badan hukum. Oleh karena itu fiqih tidak
mengenal badan hukum, bank statusnya adalah bebas dari tuntutan khitab taklif.
Demikian menurut pandangan Ibrahim Hosen.
Hukum umum mengakui adanya dua manusia. Pertama, manusia dalam arti
sebenarnya dan kedua, sesuatu yang dianggap sebagai manusia, yaitu badan hukum.
Badan hukum adalah persekutuan sekelompok manusia yang berdasarkan undang-
undang dapat bertindak sebagai manusia dalam pergaulan hukum. Ia dapat melakukan
jual-beli, sewa-menyewa, bisa memiliki, berhutang, mempunyai hak, dan kewajiban-
kewajiban. Badan hukum ini dalam istilah fiqih baru disebut dengan Syakhsiyah
Ma’nawiyah atau Syakhsiyah I’tibariyah.
Bagaimana mengenai fiqih? Fiqih sesuai dengan kaidah-kaidah Ushul Fiqih
di atas memandang manusia menjadi dua kategori, yaitu:
1. Manusia muslim (akil baligh/manusia dewasa yang beriman).
2. Manusia non muslim.
Manusia muslim tidak bebas dari khitab taklif, dengan arti di pundaknya
terpikul pembebanan-pembebanan hukum (taklif). Mengenai non muslim, ia belum
24 Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h.196.
56
terkena khitab (pembebanan hukum). Ia baru dituntut untuk beriman terlebih dahulu
atas dasar prinsip tanpa ada paksaan sejalan dengan penegasan al-Qur’an “La ikraha
fi ad-din”.25
Demikian juga, menurut kaidah Ushul Fiqih, badan hukum yang dianggap
sebagai manusia tersebut adalah bebas dari tuntutan taklif, sekalipun ia tidak bebas
dari tuntutan undang-undang. Nah, sekarang bagaimana mengenai bank Islam
berbeda dengan bank konvensional. Dalam bank Islam, pemegang saham memberi
kuasa atau berwakil kepada pengurus bank untuk menjalankan bank tersebut menurut
peraturan dan hukum Islam. Pengurusan bank itu tidak boleh menyimpang dari
hukum dan tata aturan Islam. Di sinilah letak perbedaan antara bank konvensional
dan bank Islam, bank konvensional hanya terikat dan tunduk pada peraturan atau
perundang-undang yang berlaku di suatu negeri, sedangkan bank Islam, selain terikat
dan harus tunduk dengan peraturan atau perundang-undang yang berlaku, harus
dijalankan sesuai dengan hukum dan tata aturan Islam.
2. Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi
Lain halnya dengan Ibrahim Hosen, menurut Yusuf al-Qaradhawi telah
lahir sebuah kesepakatan ulama (ijma) dari berbagai lembaga, pusat penelitian,
muktamar, dan seminar-seminar Fikih dan Ekonomi Islam, yang mengharamkan
25 Ibid., h.197
57
bunga bank, dan bunga bank itulah riba yang haram tanpa diragukan lagi.
Kesepakatan itu telah lahir sejak tahun 1965 sampai sekarang.26
Menurutnya ijma yang keluar dari tiga lembaga ilmiah internasional yang
sangat kondang, telah cukup dijadikan standar.
1. Pusat Riset Islam (institute of Islamic Research) Al-Azhar, Mesir.
2. Lembaga Fikih (Al-Majma’ Al-Fiqihi) Rabithah Alam Islami, Mekah.
3. Lembaga Fikih Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI), Jeddah, Arab
Saudi.
Dahulu, ulama ushul fikih pernah berbeda pendapat mengenai bisa atau
tidaknya ijma dihapuskan (mansukh). Sebagian ulama berpendapat bahwa ijma tidak
dapat dihapuskan. Sebagian lagi berpendapat bahwa ijma yang bersumber dari
pendapat dan bersifat ijtihad bisa dihapuskan, ijma tidak dapat dibatalkan kecuali
oleh ijma lain yang setara dengan yang pertama.27
Jika aturan ini kita terapkan dalam masalah bunga bank, dalam arti bahwa
ijma ulama yang mengharamkan bunga bank kita anggap sebagai ijma ijtihadi
meskipun itu mungkin secara berlebihan, maka ijma tersebut tidak bisa dihapuskan
atau dibatalkan hanya oleh pendapat segelintir orang.
Memang sekiranya timbul masalah baru dalam hal yang telah disepakati,
maka lembaga-lembaga tersebut perlu mengadakan pertemuan untuk menganalisis
perkembangan-perkembangan baru tadi. Akan tetapi, dalam perkembangan riba ini,
26 Yusuf Al-Qaradhawi, Bunga Bank, Haram, cet.IV, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2003), h. 83. 27 Ibid., h. 84
58
tidak ada sesuatu yang baru. Banknya tetap sama, sistemnya tidak berubah, serta
filosofi dan paradigmanya sama seperti yang lama.
Syekh Al-Azhar, Jadal Haq Ali Jadal-Haq mengatakan dalam surat kabar Al-
Ahram adisi 18 Agustus 1989 dengan lugas dan telak. Kata kunci yang ditegaskan
dalam masalah bunga bank, yang merupakan isu kontroversial. Ia menyebutkan
bahwa muktamar ulama-ulama Islam sedunia yang berlangsung pada bulan
Muharram 1385 H/ Mei 1965M. Diselenggarakan oleh Lembaga Riset Islam (Majma’
Al-Buhuts Al-Islamiayah), Al-Azhar. Di antara tugas-tugasnya berdasarkan undang-
undang Al-Azhar dan pengaturan pelaksanaannya yang ditetapkan berdasarkan surat
keputusan Republik Mesir, ialah melahirkan keputusan menyangkut berbagai masalah
yang timbul, baik yang berkaitan dengan masalah mazhab, ekonomi, maupun masalah
sosial.28
Dalam muktamar diatas telah hadir sejumlah ahli dan pakar dari berbagai
disiplin ilmu dan bidang hukum, ekonomi, dan sosial dari seluruh penjuru dunia. Di
antara hasil keputusannya ialah sebagai berikut.
1. Bunga dari berbagai jenis pinjaman adalah “riba”, yang diharamkan. Tidak
ada perbedaan dalam masalah ini, antara apa yang dikenal dengan “pinjaman
konsumtif” dan “pinjaman produktif”. Karena, nash-nash Al-Qur’an dan
Sunnah secara keseluruhan menetapkan haramnya kedua jenis tersebut.
2. Banyak dan sedikitnya riba, adalah haram, sebagaimana isyarat firman Allah
dalam surat Ali Imran ayat 130, yang dipahami secara benar, “Wahai orang-
28 Ibid., h. 85
59
orang yang beriman, janganlah kau memakan riba dengan berlipat ganda.
takutilah Allah, semoga kamu beruntung.”
3. Meminjamkan sesuatu dengan bunga (riba) hukumnya haram, dan tidak
boleh walaupun karena darurat ataupun keperluan. Bahkan, meminjam dengan
bunga (riba) diharamkan juga. Dosanya tidak terangkat kecuali karena
kebutuhan yang benar-benar mendesak. Dalam menentukan sejauh mana batas
darurat disini, seseorang sangat tergantung pada imannya.
4. Aktivitas-aktivitas bank—seperti giro, membayar cheque, leter of credit, draft
(bill of exchange)—dalam negeri yang bebas bunga, yang merupakan dasar
hubungan bank dengan pengusaha dalam negeri, merupakan praktik-praktik
kegiatan usaha bank yang boleh. Uang yang diambil sebagai fee jasa
perbankan di atas bukanlah riba.
5. Deposito berjangka, membuka giro dengan memakai “bunga”, dan semua
bentuk pinjaman berbunga merupakan bentuk muamalah riba.
6. Sedangkan yang menyangkut praktik bank yang berkaitan dengan draft (bill
of exchange) luar negeri, maka keputusannya ditangguhkan sampai
pembahasan masalah ini rampung.
- Mengenai keresahan masyarakat perihal deposito mereka yang ada di
bank-bank konvensional dan status hukumnya, apakah halal atau haram,
Syekh Jadal Haq Ali Jadal-Haq menjawab tandas, “itu termasuk butir 1
dari keputusan ini, yang menerangkan bahwa pinjaman dengan tambahan
tertentu adalah “bunga” dalam istilah “hukum syariat Islam”.
60
- Tentang cara-cara memodali proyek-proyek negara dengan uang yang
halal, Syekh Azhar menghimbau, “Bank seharusnya turut bersama untuk
melakukan kontrak kemitraan syariah dengan pemerintah dengan proyek-
proyek itu—yang dananya berasal dari pinjaman-pinjaman yang diberikan
bank, yang berasal dari deposito dan tabungan masyarakat—ketimbang
bank memberikan pinjaman dengan bunga yang jelas riba kemudian
membagikan sebagian bunga itu kepada deposan.”
- Menyangkut status proyek-proyek pelayanan publik (public services),
dimana pihak bank turut memodali sebagian dari investsi-investasinya, ia
menjelaskan, “Ketika membicarakan hukum sertifikat-sertifikat deposito”,
pihak yang berwenang dalam masalah ini menjelaskan kepada kami,
bahwa dana dari “setrifikat deposito” disalurkan kepada proyek-proyek
pelayanan umum dan negara membayar deviden dari sertivikat ini dari
rekeningnya sendiri. Dalam peraturan-peraturan mentri sebagai peraturan
pelaksana dari undang-undang, dijelaskan bahwa negara membayar
deviden atau bagi hasil kepada pemilik-pemilik sertifikat.”
Itulah teks ucapan Syekh Al-Azhar, Syeikh Jadal Haq Ali Jadal-Haq yang
dijadikan pedoman bagi Yusuf al-Qaradhawi dalam mengambil keputusan hukum
bunga bank.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi dalam hukum bunga bank itu mutlak haram
karena sudah jelas sumber keharamannya dari Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak ada
lagi jalan ijtihad dalam keputusan pengambilan hukum. Karena menurut Yusuf al-
61
Qaradhawi setiap upaya yang bertujuan menghalalkan apa yang sudah jelas
diharamkan Allah atau menjustifikasi pelanggaran hukum Allah dengan cara apapun
karena dalil menyesuaikan diri dengan kondisi moderen atau pola Barat sehingga
melepaskan kepribadian Islam, adalah sikap tidak sopan kepada Allah dan lancang
kepada-Nya, lemah imannya dan kegoncangan dalam akidah serta keyakinan.29
C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Antara keduanya
Persamaan dalam pemikiran dari kedua tokoh ini dalam menyikapi berbagai
macam pendapat ulama dan para ahli tentang status hukum yang menghalalkan bunga
bank adalah mereka sama-sama menyikapinya berdasarkan analisis fikih, al-Qur’an
dan sunnah serta pendapat para ulama klasik dan modern. Dan karena mereka berdua
adalah seorang yang faqih tentunya faham betul pokok dari permasalahan yang terjadi
yaitu dengan melihat mafhum mukhalafah dan mentaksis inti dari permasalan, dan
merekapun sangat berhati-hati agar tidak melanggar kaidah hukum islam yang telah
disepakati oleh Ushuliyyin.
Sedangkan perbedaannya adalah, dalam menyikapi status hukum bunga bank
Ibrahahim Hosen, menurut hemat penulis terjadi pergeseran pemikiran yaitu
pandangan pertama berpendapat bahwa bunga bank adalah bukan riba dan karena itu
hukumnya halal dan dalam pandangan kedua berpendapat bahwa bunga bank riba,
dan karena itu hukumnya haram. Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi dalam menyikapi
29 Ibid., h.143.
62
status hukum bunga bank, menurut hemat penulis beliau konsisten mengatakan
bahwa bunga bank itu riba dan hukumnya mutlak haram.
Menurut hemat penulis yang melatarbelakangi perbedaan pemikiran dari
kedua tokoh ini adalah keadaan dan kenyataan hidup yang terjadi pada saat itu, serta
kondisi masyarkat yang berbeda, kondisi masyarakat di Indonesia pada saat itu hanya
menggunakan bank konvensional dan memang belum terdapat bank syariah, sehingga
Ibrahim Hosen menurut asumsi penulis berdasarkan qaidah fiqih pada permasalahan
ini, yaitu Tagayyarul ahkam bitayyarul azminah, walamkinah, walahwal. Artinya
Berubahnya hukum karena berubahnya zaman, tempat dan keadaan. Dan dari sinilah
Ibrahim Hosen mengalami transformasi pemikiran yang beliau bahasakan sebagai
ijtihad. Bahwa bunga bank bukan termasuk riba.
63
BAB III
ARGUMEN IBRAHIM HOSEN DAN YUSUF AL-QARADHAWI
TERHADAP STATUS HUKUM BUNGA BANK
A. Pendapat Ulama dan Para Ahli Terhadap Status Hukum Bunga Bank
Dalam pembahasan bab ini penulis akan memaparkan pendapat status hukum
bunga bank dari berbagai macam pendapat ulama dan para ahli, kemudian Ibrahim
Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi memberikan argumen dari pendapat itu.
1. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Tidak Termasuk Kategori
Riba Yang Terlarang.
Sebab yang dilarang adalah pinjaman yang bunganya berlipat ganda
sebagaimana yang terjadi di zaman Jahiliyah, sejalan dengan mafhum mukhalafah
ayat:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Ali Imran, 130)
Demikian pandangan Syekh Abdul Aziz Jawaisy. 1 Sementara kalangan
masyarakat kita juga ada yang berpendapat demikian.
1 Ibrahim Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, makalah disampaikan
pada “Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan”. Cisarua-Bogor, 19-22 Agustus 1990, h. 13.
63
64
B. Argumen Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Ibrahim Hosen ushuliyyin telah konsensus bahwa qaid atau
keterangan yang sudah ada faidahnya tidak ada mafhum mukhalafah. Qaid atau
keterangan yang sudah ada faedahnya antara lain:
a. Untuk menyesuaikan jawaban dengan pertanyaan.
Misalnya seorang mahasiswa bertanya kepada dosen: “ Apakah
mahasiswa yang berbaju putih itu boleh masuk?”. Maka dosen menjawab:
“ Oh ya, mahasiswa yang bajunya putih itu boleh masuk”. Ucapan dosen ini
tidak bisa dipahami ( sebagai mafhum mukhalafahnya) bahwa yang bajunya
tidak putih tidak boleh masuk, itu tidak. Karena keterangan yang berbaju
putih tadi sudah ada faedahnya, yaitu sekedar untuk menyesuaikan dengan
pertanyaan yang diajukan.
b. Menerangkan fakta atau kejadian yang terjadi
Contohnya seperti ayat 130 Ali Imran diatas. Kata “Adl’afan
Mudla’afah”, yang artinya “berlipat ganda” dalam ayat tersebut sudah ada
faedahnya, yaitu menerangkan fakta atau kejadian yang terjadi, dimana riba
yang terjadi di zaman jahiliyah itu pada umumnya bunganya berlipat ganda.
Oleh karena itu “Adl’afan Mudha’afah” tidak ada mafhum mukhalafahnya,
sehingga tidak dapat dipahami bahwa riba yang bunganya tidak berlipat ganda
maka hukumnya halal atau boleh. Itu tidak. Dalam hal ini Ulama telah
konsensus.
65
Kalau seandainya ayat 130 Ali Imran di atas ada mafhum mukhalafahnya
maka nash-nash lain yang senada atau sejenis harus pula dipahami demikian (ada
mafhum mukhalafahnya). Misalnya:
1. Al-Isra’, 31:
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan”. Sebagai mafhum mukhalafahnya maka kita tidak boleh membunuh anak-anak
kita kalau motivasinya bukan karena khawatir miskin atau tidak bisa memberi makan.
Nah apakah memang demikian?
2. Al-Nisa’, 101:
“Apabila kamu berpergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut di serang orang-orang kafir”. Sebagai mafhum mukhalafahnya berarti dalam kondisi aman kita tidak
dibenarkan mengqasar shalat dalam berpergian. Nah apakah memang demikian?
Ulama’ telah konsensus bahwa kebolehan mengqashar sholat bagi musafir adalah
mutlak, baik -dalam kondisi khawatir diserang musuh atau dalam keadaan aman.
66
3. Al-Nisa’, 23:
“Dan haram menikahi anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaan atau asuhanmu dari istri yang telah kamu campuri”.
Sebagai mafhum mukhalafahnya berarti boleh menikahi anak tiri, kalau anak
tiri itu tidak dalam pemelliharaan atau asuhan kita. Nah, apakah memang demikian?
4. Hadits Nabi
Ǽǵǟ ǢȽǽ ǟǽǟǿǠȞǹǟ ǦǭɎǮǣ ǢȖǪȆɆȲȥ ȔǝǠȢȱǟ ȴȭ
“Apabila salah satu diantara kamu pergi buang air besar maka hendaklah bersuci dengan tiga batu”.
Mafhum mukhalafahnya berarti kita tidak boleh atau tidak sah beristinjak
dengan selain tiga batu.
Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat atau hadits semacam itu memang tidak
ada mafhum mukhalafahnya. Dalam hal ini Ulama telah konsensus. Jadi kalau kita
mengatakan bahwa “Adl-’fan Mudla’afah ada mafhum mukhalafahnya, sehingga
difahami bahwa riba yang bunganya tidak berlipat ganda halal atau mubah, maka
berarti kita melanggar kaidah hukum Islam yang telah disepakati oleh Ushuliyyin.
67
Disamping itu juga pemahaman tersebut Adl’afan Mudla’afah ada mafhum
mukhalafahnya juga kontra dengan mantuq (pengesahan tekstual) ayat 279 Al-
Baqarah:
“ Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya” Menurut kaidah Ushul Fiqih apabila mafhum (pemahaman kontekstual atau
pengertian tersirat) berlawanan dengan mantuq (pengesahan tekstual atau pengertian
tersurat) maka yang dimenangkan adalah mantuq. Pemahaman mafhum semacam itu
menjadi gugur.
Atas dasar itu semua maka sekali lagi pendapat yang mengatakan bahwa
bunga bank itu boleh atau halal apabila tidak berlipat ganda adalah tidak benar. Hal
itu muncul dari orang-orang yang tidak memahami metodelogi pengambilan hukum
Islam sebagaimana diuraikan dalam buku-buku Ushul Fiqh. Dengan tidak
berpedoman dan tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati oleh
para ulama tersebut akibatnya akan merusak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ini
berbahaya.
Argumen Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-Qaradhawi orang-orang yang memiliki kemampuan
memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retrorikanya, sangat
68
memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini “adh’afan mudha’afah”
adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya.
Mereka telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipat gandakan bunga. Pola
berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria (syarat) dalam pelarangan riba.
Dalam arti bahwa yang tidak berlipat ganda, hukumnya boleh.
Jika kita mau berpegang kepada makna eksplisit ayat, maka yang disebut
berlipat ganda itu besarnya 600% sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Prof. Dr.
Muhammad Daraz kata “adh’af” itu sendiri bentuk jamak, paling sedikitnya tiga.
Maka, jika tiga dilipatgandakan walau sekali, maka akan menjadi enam. Adakah yang
membenarkan hal ini? Dalam surat al-Baqarah, yaitu pada ayat terakhir turun dari Al-
Qur’an, terdapat penghapusan riba secara total,2
“Wahai orang yang beriman, takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah semua sisa atau peninggalan-peningggalan riba, jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melepaskan seluruh sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat, maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (al-Baqarah: 278-279) 2. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Untuk Tujuan Produktif
Halal/Boleh, Sedangkan Untuk Tujuan Konsumtif Haram.
2 Yusuf al-Qaradhawi, Bunga Bank, Haram, cet III, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2003), h.75.
69
Menurut Wahbah al-Zuhaili sebab riba yang dilarang pada zaman Jahiliyah
adalah bersifat konsumtif.3
Argumen Ibrahim Hosen
Menurut Ibrahim Hosen Tepatkah pendapat yang mengatakan bahwa bunga
bank untuk tujuan produktif boleh atau halal dan untuk tujuan konsumtif haram,
dengan alasan karena riba di zaman Jahiliyah adalah bersifat komsumtif?
Pendapat ini menurut pendapat Ibrahim Hosen juga tidak tepat. Kenapa?
Karena kata RIBA dalam ayat Al-Qur’an adalah memakai al (AL-RIBA). Al disini
adalah Liljinsi atau Lil-Istighraq yang berarti umum. Jadi mencangkup yang
produktif dan konsumtif. Keduanya sama-sama tidak ada bedanya, yakni sama-sama
haram.
Menurut kaidah-kaidah hukum Islam untuk mengeluarkan atau
mengecualikan sesuatu diperlukan dalil yang mentakhsis atau mengecualikannya baik
naqli maupun aqli. Disini tidak ada dalil yang mentakhis baik naqli maupun aqli.
Mengadakan pentakhsisan (pengecualian) tanpa dalil adalah Tahakkum (membuat-
buat hukum sendiri atau mengada-ngada). Hal ini sangat berbahaya.
Demikian juga apabila Al yang ada di kata RIBA tersebut dimaksudkan
sebagai Al-Lil’ahdi, yang berarti menunjuk kepada riba yang berlaku dizaman
Jahilliyah maka kesimpulannya juga sama saja, yakni tidak dapat dikatakan bahwa
riba atau bunga produktif itu boleh. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
3 Wahbah al-Zuhaili, Nadzariyah al-Dlarurah al-Syar’iyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1985), h. 232.
70
riba Jahiliyah yang dilarang itu adalah bersifat konsumtif saja, sedangkan yang
produktif boleh atau halal. Itu tidak.
Argumen Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-qaradhawi, pada tahapan justifikasi sistem bunga yang
konvensional, ada sementara orang berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan
Rasul-Nya, adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif. Yaitu bunga yang
khusus dibebankan bagi orang yang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, seperti makan, minum, dan pakaiannya serta orang yang berada dalam
tanggungannya. Hal ini terjadi karena dalam jenis riba tersebut terdapat unsur
pemerasan (eksploitasi) terhadap kepentingan orang yang sedang membutuhkan.
Karena itu, ia terpaksa meminjam. Namun sipemilik uang menolak untuk memberi
pinjaman, kecuali dengan riba (bunga), agar jumlah uang yang dikembalikan nanti
bertambah.4
Menurut Yusuf Qardhawi ungkapan ini tidak pernah keluar dari mulut
seorang faqih (ahli syariah) pun sepanjang tiga belas abad yang silam. Ini jelas
merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum berdasarkan selera dan
asumsi belaka. Perbuatan ini sangat dikecam Allah dalam firman-Nya.
4 Al-Qardhawi, Bunga Bank, Haram, h.47
71
“Mereka tidak lain hanya mengikut perasangka dan kecendrungan selera (nafsu). Padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.” (an-Najm:23) Fakta sejarah membantah penafsiran ngawur seperti ini. Karena jenis riba
yang dominan pada era jahiliah bukanlah riba konsumtif. Sebab, waktu itu tidak ada
orang yang berutang karena untuk makan. Juga tidak pernah dikenal bahwa seorang
arab yang kaya menimpakan riba kepada orang yang datang kepadanya untuk
mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan hidupnya seperti
makan dan minum. Kalaupun ada, kasusnya amat langka sehingga tidak dapat
dijadikan tolok ukur.5
Sekiranya jenis riba yang diharamkan Allah dan Rasul itu hanyalah riba
konsumtif-maksudnya, bunga yang dikenakan bagi orang yang berutang untuk
kebutuhan pribadi dan keluarganya, seperti yang dilontarkan sebagian orang sekarang
ini tentu saja Rasulullah saw. Tidak perlu melaknat si debitor pemberi bunga (orang
yang berutang), sebagai mana beliau melaknat kreditor pemakan riba (pihak yang
menerima bunga). Karena, bagaimana mungkin seseorang bisa dilaknat karena
berutang untuk makan, padahal Allah dan Rasul sendiri membolehkan memakan
bangkai, darah, dan daging babi dalam kondisi terpaksa akibat lapar yang sangat.
Firman Allah.
5 Ibid., h.48
72
“Tetapi, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak ingin dan tidak melampaui batas, maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (al-Baqarah:173) Akan tetapi, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Jabir r.a. Ia
berkata, “Rasulullah saw. Melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatat
(administrasi), dan para saksinya (notariat).” Dan katanya, “Status hukum mereka
sama.”
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah saw, melaknat penerima bunga dan
pemberinya.” Hadits ini diriwayatkan juga oleh sahabat-sahabat lain.6
3. Ada Yang Benpendapat Bahwa Bunga Bank itu Bukan Riba. Sebab Pada
Hakikatnya Sistem Yang Ada Pada Bank Itu Adalah Sewa-menyewa.
Pendapat ini berdasarkan pandangan kepada pengertian bahasa dan
perkembangan perekonomian yang menhendaki adanya pasar uang di samping pasar
barang. Hal mana yang menunjukkan bahwa uang termasuk kategori komoditi.7
Argumen Ibrahim Hosen
Menurut Ibrahim Hosen Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu Fiqih, pendapat ini
juga tidak tepat. Sebab dalam ilmu Fiqih disebutkan bahwa di antara syarat sewa-
menyewa adalah hendaknya barang yang disewakan zatnya tetap (Baqa’ ‘ainihi).
Untuk itu maka tidak sah menyewakan makanan atau minuman. Sebab makanan atau
minuman bila diambil manfaatnya (dimakan atau diminum) barangnya atau zatya
6 Ibid., h.50 7 Hosen, Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, h.14.
73
menjadi abis. Demikian juga uang zatnya atau bendanya tidak tetap, sebab ia berputar.
Karena itu tidak sah ntuk disewakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu fiqih.
Atas dasar ini maka tidak tepat kalau hal itu dijadikan argumentasi bagi
halalnya atau bolehnya melakukan bunga bank.
Argumen Yusuf al-Qaradhawi
Dalam menyikapi pendapat ini Yusuf al-Qaradhawi menyinggung sewa tanah.
Sebagian pihak pembela riba mengatakan bahwa orang yang menyerahkan uangnya
kepada bank untuk didagangkan kemudian mengambil bunga tertentu, sama seperti
seseorang yang menyewakan tanahnya kepada orang lain yang menanaminya, dan
mengambil sewa dengan jumlah tertentu. Baginya tidak menjadi persoalan, apakah
pertanian itu menghasilkan atau tidak. Yang jelas, ia berhak menerima upah/sewa
sebagai imbalan dari penyerahan tanah tersebut. Sedangkan, risiko bukanlah
tanggungannya.
Ungkapan ini menurut Yusuf al-Qaradhawi mengandung kekeliruan yang
sangat besar. Kalau kita mau menggunakan “bahasa fikih”, maka analogi di atas
adalah “mengkiaskan uang dengan tanah” dan “mengkiaskan bunga dengan sewa”.
Analogi seperti ini batal dari asasnya. Karena syarat sahnya kias (analogi), mesti
terdapat persamaan “illat”. Dalam kasus ini persamaan itu tidak ditemukan.
“illat” dalam menyewakan tanah, adalah memanfaatkan tanah itu sendiri
dengan menanaminya. Sedangkan, uang itu sendiri (bendanya) tidak dimanfaatkan.
Tidak ada orang yang berkeinginan dengan benda “uang” itu, seperti yang dikatakan
74
Imam al-Ghazali. Oleh sebab itu, berbeda sekali antara “uang” dan “tanah pertanian”.
Selama ada perbedaan, maka tidak bisa dikiaskan.
Sejak dahulu kala, kaum filsuf telah membantah riba dan menganggapnya
suatu kejahatan. Karena, riba adalah menyewakan uang, yakni menyewakan benda
yang tidak mungkin disewakan (bukan objek sewa). Meskipun demikian, sebenarnya
masalah menyewakan tanah dengan imbalan uang bukanlah suatu masalah yang
disepakati secara konsensus (ijma) tentang bolehnya oleh seluruh ulama.
Ada diantara dua salaf (terdahulu) yang tidak menyetujui masalah penyewaan
tanah dengan emas atau perak. Mazhab ini dilakukan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-
Muhalla. Ia berpendapat bahwa mu’ajarah ‘sewa-menyewa’ dan menyewakan tanah
itu hukumnya haram. Yusuf al-Qaradhawi cenderung kepada pendapat ini.
Ada pula diantara fuqaha yang membolehkan sewa-menyewa tanah dengan
imbalan uang, dengan syarat wajib memperhitungkan kerugian pihak penyewa.
Maksudnya, pemilik tanah rela mengurangi sewa yang disepakati semula, sebesar
kerugian yang menimpa tanaman karena hama. Pendapat inilah yang dilakukan oleh
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ah Fatawa-nya.8
4. Pendapat Yang Mengatakan Bahwa Bunga Bank Bukan Riba, Karena itu
Hukumnya Halal/Boleh. Sebab Bunga Bank itu Adalah Pemanfaatan Uang.
8 Al-Qaradhawi, Bunga Bank, Haram, h.78
75
Argumen Ibrahim Hosen
Tepatkah pendapatkan ini untuk dijadikan alasan bagi pembenaran bunga
bank? Menurut Ibrahim Hosen, pendapat ini juga tidak tepat. Sebab berlawanan
dengan Hadits Nabi:
ǠǣǿɀȾȥ ǦȞȦȺȵ ȀDZ ȏȀȩ Ȱȭ
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba ” (Al-Harts dari Ali, Sunan Sa’id bin Manshur). Hadits diatas sekalipun keshahihannya diperselisihkan, namun telah menjadi
kaidah fiqhiyah yang diakui kebenarannya oleh para Ulama. Berdasarkan hadits
tersebut secara jelas dapat kita fahami bahwa pemanfaatan uang di balik pinjaman
atau hutang piutang itulah yang namanya riba yang dilarang oleh Islam.
Selain itu, pendapat di atas juga berlawann dengan fatwa Syekh Jadal Haq Ali
Jadal Haq ketika itu menjadi Mufti Besar Mesir (Sekarang Syaikhul Azhar) yang
mengatakan bahwa setiap pinjaman atau hutang yang menarik manfaat adalah riba
dan hukumnya haram, sejalan dengan pengertian Hadits diatas.9
Beberapa alasan yang dijadikan alasan oleh sementara kalangan untuk
menghalalkan bunga bank sebagaimana disebutkan diatas mengingatkan kita terhadap
alasan orang-orang Arab Jahiliyah yang mengatakan bahwa riba itu sama dengan jual
beli (Innamal Ba”u Mitslurriba). Struktur kalimat (Uslub) yang mereka pergunakan
9 Bayanun Linnas Minal Azhar Al-Syarif, Juz II, h. 386-388.
76
ini merupakan tasybih maqlub menutut Ilmu Balaghah untuk menunjukkan (menurut
mereka) bahwa riba itu sama atau persis dengan jual beli, tidak ada bedanya.
Ungkapan mereka yang menyamakan, riba dengan jual beli itu jelas tidak
benar. Dan untuk itulah Allah membantah dengan penegasannya:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah.275) Artinya riba itu tidak sama dengan jual beli, sebab riba itu haram sedangkan jual beli itu hukumnya halal.
Pandangan Jahiliyah ini rupanya sampai hari ini masih ada yang meneruskan,
mereka menyatakan bahwa bunga bank itu halal dengan alasan karena hal itu
termasuk bisnis atau perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridla sama ridla
(suka sama suka), sejalan dengan ayat “ ILAA ANTAKUNA TIJARATAN
‘ANTARAADLIN” . Pandangan ini sama saja dengan pandangan orang-orang
Jahiliyah yang mengatakan bahwa riba sama dengan jual beli. Sebab tijarah atau
bisnis atau perdagangan itu sinonim dengan jual beli atau bai’.
Perlu diketahui bahwa ridla sama ridla atau suka sama suka hanyalah
merupakan salah satu syarat sahnya tijarah atau perdagangan atau jual beli. Selain itu
masih ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yang dapat kita ketahui dari Hadits
Nabi. Kalau ridla sama ridla atau suka sama suka ini merupakan satu-satunya syarat
syahnya akad maka zina bisa jadi halal kalau dilakukakan atas dasar suka sama suka.
77
Nah, apakah demikian? Istisna’ dalam ayat ini (ILLAA ANTAKUNA TIJARATAN
‘ANTARADLIN) adalah istisna’ munqathi’ (mustasna atau yang dikecualikan
bukan jenisnya mustasna minhu atau sesuatu dari mana mustasna itu dikecualikan).
Artinya janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara batil seperti menipu,
mencuri, riba, berkhianat, merampok, dan lain-lain, kecuali harta yang diperoleh
lewat perdagangan atau jual beli yang didasari ridla sama ridla. Dalam hal ini kita
tentu harus menyadari bahwa syarat sahnya perdagangan atau jual beli itu bukan
hanya ridla sama ridla, tetapi masih ada beberapa syarat lain yang mesti dipenuhi
yang dapat kita ketahui dari Hadits Nabi.
Mengenai perbedaan jual beli dengan riba ini pengarang Tafsir Al-Manar
menyebutkan antara lain bahwa jual beli adalah trasaksi dalam bentuk penukaran
barang yang satu dengan barang yang lain, sedangkan riba adalah tambahan yang
diambil dari orang yang berhutang sebagai imbalan dari tempo penundaan
pembayaran hutangnya. Jadi tidak sama. Sisi lain, Islam hanya menghalalkan suatu
keuntungan yang diperoleh lewat usaha, seperti keuntungan jual beli. Islam melarang
menarik keuntungan dari orang lain yang tidak ada imbalan yang kongkrit, yang pada
hakikatnya hal ini adalah memakan harta benda orang lain dengan cara batil, seperti
yang terjadi pada praktek riba.10
Argumen Yusuf al-Qaradhawi
10 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar. Juz III, (Kairo: al-Manar, 1954), h.97 dan
108.
78
Yusuf al-Qaradhawi memiliki beberapa alasan dari pendapat yang
menyatakan bahwa bunga bank boleh atau halal karena adanya pemanfaatan uang
tersebut. Alasanya antara lain:
1. Orang yang mengamati secara cermat hukum-hukum syariat, akan mengetahui
secara yakin bahwa Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak akan
mengharamkan bagi manusia terhadap sesuatu yang baik dan dapat mendatangkan
manfaat yang sesungguhnya. Akan tetapi, Allah mengharamkan bagi manusia
semua yang keji, yang bisa mendatangkan bahaya (mudharat) terhadap mereka,
baik secara pribadi atau komunitas. Oleh karena itu, sifat Rasulullah saw. Yang
tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu yang dicatat oleh Al-Qur’an adalah,
Artinya: “Menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang keji.”
Ada sebagian orang yang berkata bahwa “di mana ada maslahat, maka di
sana terdapat hukum Allah”. Ungkapan ini benar tetapi hanya mengenai
kasus-kasus yang tidak ditegaskan oleh Allah dan kasus-kasus yang untuk
mengambil keputusannya diserahkan kepada kebijaksanaan ijtihad dan
intelektualitas kita. Sedangkan, masalah-masalah yang di luar cakupan itu,
kaidah yang tepat adalah “ di mana ada hukum Allah, maka pasti terdapat
79
maslahat (kebaikan)”. Inilah yang sudah dibuktikan oleh sejarah, dikuatkan
oleh fakta, dan dikukuhkan oleh hasil penelitian yang objektif.
2. Dari sudut pandang teori ekonomi, banyak ahli di bidang ekonomi dan
politik menguatkan pendapat bahwa bunga bank merupakan faktor penyebab
mayoritas krisis yang menimpa dunia. Perekonomian dunia tidak akan membaik
sampai tingkat bunga dapat ditekan menjadi nol, artinya penghapusan bunga
secara total.
3. Dari sisi empiris praktik ekonomi, dalam konteks negara-negara Arab dan
negara muslim, perlu kita bertanya, “Selama menganut sistem bunga, apa
yang mereka hasilkan dari riba, yang mereka sebut ‘bunga’ ini?” Di dalam
negeri ia (riba) merugikan banyak pengusaha kecil yang mempunyai
kemampuan terbatas, sehingga yang kaya semakin kaya. Karena bank-bank
itu memberikan kepada si kaya modal yang besar untuk memperluas
usahanya dengan aset yang bukan miliknya, dengan mengorbankan
mayoritas besar konsumen dan kaum lemah.
Sejak masuknya kolonialisme ke negeri kita, kita telah bertransaksi dengan riba.
Namun, selama itu pula kita belum pernah keluar dari lingkaran “keterbelakangan” ke
tingkat “kemajuan”. Maka kita juga belum juga sampai pada era “kemandirian”
dalam bidang pertanian, industri sipil atau militer. Kita masih terus dilanda oleh
kutukan berupa “peperangan dari Allah dan Rasul-Nya” yang telah dimaklumatkan
Allah sebelumnya bagi pelaku riba dengan firman-Nya,
“Allah mamusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (al-Baqarah: 276)
80
Memang, riba benar-benar seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang pakar
ekonomi bahwa riba merupakan AIDS dalam kehidupan dunia ekonomi yang bisa
merontokkan kekebalan dan mengancamnya dengan kemusnahan serta keruntuhan.
.
81
BAB IV
KONTRIBUSINYA TERHADAP PERTUMBUHAN PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Dalam meningkatkan dan melestarikan pembangunan dan hasil pembangunan,
semakin disadari arti penting pendekatan peran serta masyarakat dalam pembangunan
nasional. Suatu sasaran penting dalam pembangunan nasional ialah pembangunan
sosial ekonomi masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi keuangan.
Upaya intensif pendirian bank Islam (disebut oleh peraturan perundang-
undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak
tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober
(Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia.1 Tanpa menafikan
dua tokoh penting yang merupakan sumber inspirasi dari perkembangan Ekonomi
secara global yaitu Ibarhim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi, Para ulama waktu itu
telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satupun perangkat
hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-
undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol
persen).
1 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah- Linkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta:
Penerbit Alfabet, Desember 1999), h. 191-192.
82
A. Kontribusi Yang Diberikan Ibrahim Hosen
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank
dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990. Dalam kokakarya
tersebut Ibrahim Hosen memegang peranan yang penting, beliau membuat pemikiran
tentang “Kajian Bunga Bank Menurut Hukum Islam”, apa yang dituangkan Ibrahim
Hosen dalam tulisannya itu benar-benar merupakan kajian baru yang belum
ditemukan dalm buku-buku fiqih manapun, baik yang klasik maupun yang dikarang
pada abad waktu itu, yang pembahasannya telah penulis paparkan sebelumnya.
Dan hasil pemikirannya disampaikan pada lokakarya tersebut, yang kala itu
beliau menjabat sebagai ketua MUI atau Ketua Komisi Fatwa MUI, Menurut
pandangan Ibrahim Hosen bahwa bunga bank halal karena khitab dalam surat al-
Baqarah ayat 278-280 ditujukan kepada pribadi/perorangan bukan untuk lembaga
atau badan hukum, hal ini berlaku untuk bank pemerintah pada waktu itu.
Dan menurut beliau bunga bank itu boleh atau halal dengan alasan darurat
adalah tidak tepat. Sebab apa yang mereka katakan sebagai darurat itu berlawanan
dengan pengertian darurat yang dikehendaki dalam dunia hukum Islam, yang
rumusannya sebagai berikut:
منوع ھلك او قاربمبلو غھ حدا ان لم یتنا ول ال
“ Sampainya seorang pada batas suatu kondisi yang apabila orang itu tidak melakukan hal-hal yang dilarang maka akan binasa ( rusak atau mati) atau mendekatinya”.2
2 Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nadzair, (Beirut: Dar al-Fikri,
1996), h. 61
83
Sesuai dengan definisi darurat diatas maka menurut pandangan Ibrahim Hosen
adalah tidak tepat kalau darurat dijadikan argumentasi untuk menghalalkan bunga
bank. Apakah mereka yang mendirikan bank itu kondisinya sudah sampai batas itu?
Apakah mereka-mereka yang meminjamkan uang di bank itu kondisinya sudah
sampai batas tersebut? Dan seandainya hal itu bisa diterima, juga tetap tidak dapat
dipertahankan. Sebab yang namanya darurat tentu ada batasan-batasannya dan ada
masa berlakunya, sejalan dengan kaidah:
“ Masa berlakunya darurat harus dibatasi atau diperkirakan sesuai dengan batasan-
batasan atau ukurannya”.3
Atas dasar ini seharusnya kalau pemerintah sudah mendirikan bank maka
pihak swasta tidak dibenarkan untuk mendirikan bank lagi. Disamping itu kebolehan
mendirikan bank bagi pemerintah pun tidak selamanya, dengan pengertian
pemerintah harus mengusahakan berdirinya bank yang serupa tanpa bunga. Demikian
juga dalam kaitannya dengan orang yang bermuamalah dengan bank, tentu
kebolehannya ada batas-batasnya, tidak terus menerus. Di samping itu untuk
mengetahui kapan limit darurat itu selesai atau berhenti menurut Ibrahim Hosen juga
sulit.
Atas dasar alasan tersebut beliau menfatwakan mendirikan bank islam
hukumnya adalah fardu kifayah dengan pengertian bila dalam suatu wilayah atau
daerah tidak ada bank Islam, semuanya berdosa. Sebab bank Islam inilah yang akan
3 Ibid., h. 61 dan lihat juga Wahbah al-Zukhaili, Nadzariyah al-Dlarurah al-Syar’iyah,
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), h.68 dan h.240.
84
menyelamatkan umat dari segala macam praktek riba. Untuk itu, umat islam harus
berusaha secara bersungguh-sungguh bagaimana agar umat Islam sanggup
mendirikan bank Islam atau bank tanpa bunga. Karena kehadiran lembaga perbankan
telah dimanfaatkan oleh umat Islam untuk mengembangkan berbagai usaha, baik
dalam bidang ekonomi, sosial, maupun pendidikan.
Dan hasil lokakarya tersebut di bahas lebih mendalam pada Musyawarah
Nasional IV Majelis Ulama Nasional (MUI) yang berlangsung di hotel Sahid Jaya,
Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas tersebut, maka
dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Bank
Muamalat Indonesia lahir sebagai kerja tim Perbankan MUI tersebut, akta pendirian
PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada
saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 miliar. Pada tanggal
3 November 1991, pada acara silaturrahmi presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi
total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106.126.382,-. Dana tersebut dari
presiden dan wakil presiden, sepuluh mentri kabinet pembangunan V, juga Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Darmais, Purna Bhakti
Pertiwi, PT PAL, dan PINDAD.
Selanjutnya Yayasan Dana Dhakwah Pembangunan ditetapkan sebagai
yayasan penopang bank syariah. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada
tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroprasi. Namun,
sebelum pendirian BMI tersebut, sebenarnya bank syariah yang pertama kali
memperoleh izin usaha adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Berkah
85
Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, serta
BPRS Amanah Rabanish pada tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiganya beroprasi di
Bandung dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh.4
Yang kemudian diikuti dengan kemunculan UU No.7/1992 tentang Perbankan
di mana perbankan bagi hasil mulai diakomodasi. Dalam UU tersebut pada pasal 13
ayat (c) menyatakan bahwa salah satu usaha BPR menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia No.119 Tahun 1992.
Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi
Islam pertama di Indonesia, yaitu; Syarikat Takaful Indonesia,dan menjadi salah satu
pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori
Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti dengan
beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Pada tahun yang sama,
berdiri pula sebuah lembaga pembiayaan (Multifinance) Syariah, yaitu BNI-Faisal
Islamic Finance Company.
Perkembangan lembaga-lembaga keuangan Islam tersebut tergolong cepat,
terbukti per Desember 2008 tercatat ada lima bank syariah (Bank Muamalat
4 Zainul Arifin, “Menguntip Peluang Pengembangan Perbankan Syariah Pasca Pemberlakuan UU Perbankan Syariah”. (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Menggagas Ekonomi Syariah yang mantap dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Depok, 25-27 Februari 2003), h. 1.
86
Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Indonesia, Bank Syariah BRI,
dan Bank Syariah Bukopin), 28 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 131 Bank Perkreditan
Rakyat Syariah.5 Dari jumlah ini, terdapat 951 kantor jaringan, belum termasuk
kantor Office Channeling yang jumlahnya hampir mencapai 1.500 (Desember 2008).
Sementara disektor asuransi, per 10 Juli 2008 terdapat 42 asuransi syariah
(unit maupun yang berdiri sendiri), 3 lembaga reasuransi syariah, dan 6 broker
asuransi dan reasuransi. 6 Banyaknya pendirian bank syariah karena salah satu
alasannya ialah adanya keyakinan kuat dikalangan masyarakat muslim bahwa
perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang oleh agama Islam.
Rekomendasi hasil lokakarya Ulama tentang bunga bank dan perbankan tersebut
ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pemerintah dan kepada
seluruh umat Islam.7
Dalam keputusan lokarya tersebut juga terdapat pengakuan adanya dua
pandangan yang berbeda terhadap bunga bank. Seperti yang telah penulis uraikan
diatas. Pendapat pertama berpendapat bahwa bunga itu bukan riba, karena itu
hukumnya halal. Sedang pandangan yang ke dua, berpendapat bahwa bunga bank itu
riba, oleh karena itu hukumnya haram.
5 Statistik Perbankan Syariah Desember 2008. 6 MUI. “Product-product”. Info lembaga keuangan syariah diakses pada 9 Februari 2009 dari
http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=67 7 H. M Amin Aziz, “Mengembangkan Bank Islam di Indonesia”. Lampiran 3: Keputusan
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan MUI, 19-22 Agustus 1990 (Jakarta: Penerbit Bangkit, h. 126-144.
87
Meski diakui oleh Lokakarya bahwa pandangan kedua tersebut adalah
Rukhsoh (penyimpangan) dari ketentuan baku, namun dengan melihat kenyataan
hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan yang ada, karena sebagian umat
Islam terlibat dalam sistem bunga bank, maka hal itu dapat dimungkinkan ditempuh
sepanjang dapat dipastikan adanya kebutuhan umum demi kelanjutan pembangunan
nasional, dan secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat
kecukupan. Oleh karena itu usaha pengembangan perbankan yang sistem operasinya
tidak menggunkan bunga (interst free banking sistem) lebih ditujukan kepada
pemantapan pengerahan dana bangunan dari masyarakat yang menganggap bunga
bank adalah riba dan meragukan.8
B. Kontribusi Yang Diberikan Yusuf al-Qaradhawi
Sedangkan kontribusi secara global yang diberikan oleh Yusuf Qardhawi
melalui pemikirannya terhadap hukum bunga bank yang beliau tuangkan dalam
bukunya yang berjudul “fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram”, yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Bunga Bank, Haram” Dalam pemikirannya
ini dijadikan acuan untuk menjawab keraguan oleh kalangan akademisi, cendikiawan,
ekonom, ulama dan masyarakat Indonesia secara umum akan keharaman bunga bank.
Demi tumbuh kembangnya perbankan syariah di Indonesia.
8 Zainul Arifin, “Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah”, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2005),
cet. Ke III, h.6-7.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas tentang status hukum bunga bank dalam pandangan
Ibrahim Hosen dan Yusuf al-Qaradhawi, berikut ini penulis dapat memberikan
kesimpulan, bahwa:
1. Dalam menyikapi status hukum bunga bank Ibrahim Hosen berijtihad dengan
melakukan pendekatan kajian ilmu fiqh dan ushul fiqh, yaitu: lewat dua
pendekatan. a. Kaidah “Al-Ibrah Bikhususissabab La Bi ‘umumillafdhi”
(yang dijadikan pedoman adalah khususnya sebab, bukan umumnya lafadh). b.
Adakah fiqh mengenal badan hukum ataukah tidak. Secara normatif
(berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqh) menurut Ibrahim Hosen yang kuat
adalah pandangan yang mengatakan bahwa fiqh tidak mengenal badan hukum,
karena itu badan hukum bebas dari tuntutan hukum atau khitab taklif.
Lain halnya dengan Yusuf al-Qaradhawi menurutnya ijma ulama yang
mengharamkan bunga bank dianggap sebagai ijma ijtihadi, maka ijma
tersebut tidak bisa dihapuskan atau dibatalkan oleh pendapat segelintir orang.
2. Persamaan dalam pemikiran dari kedua tokoh ini dalam menyikapi berbagai
macam pendapat ulama dan para ahli tentang status hukum yang
menghalalkan bunga bank adalah mereka sama-sama menyikapinya
berdasarkan analisis fikih, al-Qur’an dan sunnah serta pendapat para ulama
89
klasik dan modern. Sedangkan perbedaannya adalah dalam menyikapi status
hukum bunga bank Ibrahim Hosen, menurut hemat penulis terjadi pergeseran
pemikiran yaitu pandangan pertama berpendapat bahwa bunga bank adalah
bukan riba dan karena itu hukumnya halal dan dalam pandangan kedua
berpendapat bahwa bunga bank riba, dan karena itu hukumnya haram.
Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi dalam menyikapi status hukum bunga bank,
menurut hemat penulis beliau konsisten mengatakan bahwa bunga bank itu
riba dan hukumnya haram.
3. Kontribusi dari Ibrahim Hosen beliau tampak pada setelah adanya
rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di
Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990. Dalam kokakarya tersebut Ibrahim
Hosen memegang peranan yang penting beliau membuat pemikiran tentang
“Kajian Bunga Bank Menurut Hukum Islam”, apa yang dituangkan Ibrahim
Hosen dalam tulisannya itu benar-benar merupakan kajian baru yang belum
ditemukan dalm buku-buku fiqih manapun, baik yang klasik maupun yang
dikarang pada abad waktu itu. Dan hasil pemikirannya disampaikan pada
lokakarya tersebut, pada waktu itu beliau menjabat sebagai ketua MUI atau
Ketua Komisi Fatwa MUI, menurutnya bunga bank halal khitab dalam surat
al-Baqarah ayat 278-280 untuk individu bukan untuk badan hukum dalam hal
ini bank. Halal bunga bank ini ditujukan untuk bank pemerintah pada waktu
itu. Dan menurutnya kehalalan bunga bank pada bank pemerintah tidak
selamanya karena itu beliau menfatwakan mendirikan bank islam hukumnya
90
adalah fardu kifayah. Dan hasil lokakarya tersebut di bahas lebih mendalam
pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Nasional (MUI) yang
berlangsung di hotel Sahid Jaya, Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan amanat Munas tersebut, maka terbentuklah kelompok kerja untuk
mendirikan bank syariah di Indonesia. Dan Bank Muamalat Indonesia lahir
sebagai kerja tim Perbankan MUI tersebut, akta pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Sedangkan
kontribusi secara global yang diberikan oleh Yusuf al-Qaradhawi melalui
pemikirannya terhadap hukum bunga bank yang beliau tuangkan dalam
bukunya yang berjudul “fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram”, yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Bunga Bank, Haram” Dalam
pemikirannya ini dijadikan acuan untuk menjawab keraguan oleh kalangan
akademisi, cendikiawan, ekonom, ulama dan masyarakat Indonesia secara
umum akan keharaman bunga bank. Demi tumbuh kembangnya perbankan
syariah di Indonesia. Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk
memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara
optimal bagi perekonomian nasional.
B. Saran-Saran
1. Indonesia adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Walaupun bukan negara islam, sudah selayaknya negara ini menerapkan
91
hukum Islam dalam setiap sendi kehidupan termasuk di dalamnya yang
mengatur tentang perekonomian yaitu dalam bidang perbankan.
2. Satu hal yang dianggap sangat perlu oleh negara (pemerintah) untuk saat ini
adalah memberikan dukungan sepenuhnya untuk perkembangan lembaga
keuangan yang berlandaskan pada hukum Islam yang bebas dari sistem bunga
(riba).
3. Bagi para pengusaha, khususnya pengusaha muslim sudah selayaknya
menerapkan sistem hukum islam dalam setiap kegiatan perekonomian atau
bisnis yang dijalankannya seperti mengharamkan sistem bunga (riba) yang
sudah jelas dikecam oleh Allah dan Rasul-Nya.
4. Bagi para cendikiawan dan ulama diharapkan dapat selalu membantu dan
memberikan penjelasan, arahan dan masyakat umum tentang perekonomian
yang berlandaskan kepada hukum Islam, seperti diharamkannya riba atau
bunga bank dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan riba. Dengan
begitu, diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
sistem ekonomi syariah kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui
bahwa sistem ekonomi syariah adalah sebuah alternatif yang lebih baik dari
sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis dan layak diperhitungkan dalam
kancah perekonomian nasional maupun internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Da’ur, M. Ahmad. Bantahan Atas Kebohongan-kebohongan Hukum Seputar Riba
dan Bunga Bank. Bogor: Al-Azhar Press, 2004.
Amin, R. Riawan. Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional.
Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sabtu, 11 Juli 2009.
Andiko, Toha. “Ijtihad Ibrahim Hosen Dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam di Indonesia” Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani:
Jakarta 2001.
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah- Linkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. Jakarta: Penerbit Alfabet, Desember 1999.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, cet.III. Jakarta: Pustaka
Alfabet, 2005. Aziz, M. Amin. “Mengembangkan Bank slam di Indonesia”. Lampiran 3: Keputusan
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan MUI, 19-22 Agustus 1990 Jakarta: Penerbit Bangkit.
Bank Indonesia. Sistem Perbankan dan Peran Perbankan dan Dampaknya Dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi. Keputusan dan Makalah Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan, Safari Garden Hotel, Cisarua – Bogor, 19-22 Agustus 1990.
Bayanun Linnas Minal Azhar Al-Syarif, Juz II. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Al-Qur’an,
2007. Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah
Di Indonesia, cet.II. Jakarta: Kencana, 2004.
Hosen, Ibrahim. Kajian Tentang Bunga Bank Menurut Hukum Islam, Keputusan dan Makalah Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan, Safari Garden Hotel, Cisarua – Bogor, 19-22 Agustus 1990.
Hosen, Nadratuzzaman. dkk, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank
Syariah, cet.I. Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007. Hosen, Nadratuzzaman. Disampaikan pada “Memorial Conference Refleksi
Pemikiran Al-Magfurlah Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML (1971-2001)”. Gedung MUI Jakarta, 21 Oktober 2008.
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa Al-Nadzair. Beirut: Dar al-Fikri,
1996 Jhon L. Esposito ed., Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, jilid 1, cet.I.
Bandung: Mizan, 2001. Al-Khuraisyi, bin Sulaiman. Pemikiran Dr.Yusuf Al-Qaradhawi Dalam Timbangan,
terj. M. Abdul Ghofar, cet.I. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2003. LPPOM MUI. Dari Sertifikasi Menuju Liberalisasi Halal. Jakarta: Pustaka Jurnal
Halal, 2008. Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997. al-Mahjub, Muhammad. ‘Ulama wa Mutafakkiruun ‘Araftuhum. Beirut: Dar al-
Nafais, 1977. Musa, Risman. Pribadi KH. Ibrahim Hosen Yang Kukenal MUI. “Product-product”. Info lembaga keuangan syariah diakses pada 9 Februari
2009 dari http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=67 Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, cet.X. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999. Nata, Abudin. Metodelogi Studi Islam, cet.IX. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004. Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Putra Harapan, 1990.
“Proposal Tingkat Suku Bunga”. Proposal Skripsi diakses pada 11 Oktober 2010 dari http://www.infoskripsi.com/Proposal/Proposal-Tingkat-Suku-Bunga.html.
Al-Qardawi, Yusuf. Bunga Bank, Haram, cet.III. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2003. Qardawi, Yusuf. Perjalanan Hidupku,. Terj. H. Cecep Taufiqurrahma, Lc. Dan H.
Nandang Burhanuddin. Lc. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001. Qardawi, Yusuf. Pokok-pokok Pikiran Nasyid Islami. Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 1995. Qaradhawi, Yusuf. Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal: Setengah Abad
Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, cet.I. Jakarta: Robbani, Press, 1997.
Qardawi, Yusuf. Membangun Masyarakat Baru, terj. Rusydi Helmi, cet.II. Jakarta:
Gema Insani Press, 2000. Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, cet.II. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 2002. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz III. Kairo: al-Manar, 1954.
Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, cet.II. Jakarta: Paramadina, 2004.
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
cet.I. Jakarta: PT.Mizan Publika, 2003. Talimah, ‘Isam. Manhaj Yusuf al-Qardhawi. Penerjemah Rahman, Samson. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2001. Terjemah; Faridh Uqbah KK. Jakarta: Madia Dakwah, 1987. Al-Wahab Khalaf, Abd, Ilmu Ushul al-Fiqhi, cet.II, Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyah, 1968. al-Zukhaili, Wahbah. Nadzariyah al-Dlarurah al-Syar’iyah. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1985.
top related