jurnal hukum lingkungan vol. 4 issue 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah...
Post on 06-Sep-2018
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Jurnal Hukum
lingkungan indonesia
Volume 4 Issue 2, Februari 2018
ISSN: 2355-1305
Indonesian Center for Environmental Law
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia
ii
Jurnal Hukum lingkungan indonesia
Vol. 4 Issue 2 / Februari / 2018ISSN: 2355-1305Website: www.icel.or.id/jurnalE-mail: jurnal@icel.or.id
Diterbitkan oleh:IndonesIan Center for envIronmental law (ICel)Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran BaruJakarta Selatan 12120Telp. (62-21) 7262740, 7233390Fax. (62-21) 7269331
Desain Sampul : Tata Letak : Gajah Hidup
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)
DISCLAIMEROpini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL, melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
iii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
r e d a k s I d a n m I t r a B e B e s t a r I
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.Prof. Dr. Muhammad Zaidun, S.H., M.Si.Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H.
Indro Sugianto, S.H., M.H.Sandra Moniaga, S.H., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Margaretha Quina, S.H., LL.M.
Redaktur Pelaksana
Shafira Anindia Alif Hexagraha, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.
Sukma Violetta, S.H., LL.M.Josi Khatarina, S.H., LL.M.
Rino Subagyo, S.H.Windu Kisworo, S.H., LL.M.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si.Feby Ivalerina, S.H., LL.M.
Dyah Paramitha, S.H., LL.M.Raynaldo G. Sembiring, SH.
Astrid Debora, S.H.Rika Fajrini, S.H.Ohiongyi Marino, S.H.Isna Faitmah, S.H.Rayhan Dudayev, S.H.Wenni Adzkia, S.H.Fajri Fadhillah, S.H.Adrianus Eryan, S.H.Angela Vania Rustandi, S.H.
Mitra Bebestari
Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iv
v
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
P e n g a n t a r r e d a k s I
“Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
di Indonesia dalam Laju Akselerasi Pembangunan ”
T enggat waktu target pembangunan jangka menengah Indonesia semakin
semakin mendekati akhirnya.1 Selain tekanan waktu, faktor demografis
_dan pertumbuhan ekonomi pun telah mendorong munculnya berbagai
permintaan akan fasilitas yang menunjang kegiatan dan standar hidup yang lebih
baik.2 Tekanan ini, di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia acapkali
ditindaklanjuti dengan pembangunan infrastruktur secara masif.3 Akibatnya, hal
ini justru meningkatkan pula tekanan terhadap ketersediaan sumber daya alam
dan kerusakan lingkungan hidup oleh karena akselerasi pembangunan terus
dijalankan tanpa disertai dengan pertimbangan yang cukup baik mengenai daya
dukung lingkungan.4
Berhadapan dengan situasi tersebut, hukum lingkungan juga didorong
untuk dapat mengendalikan dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup
melalui berbagai instrumennya. Pada kenyataannya, kerangka hukum lingkungan
yang telah ada saat ini masih menyisakan celah baik dari sisi regulasi, kebijakan,
maupun penegakan hukum. Akibatnya hal tersebut melemahkan perlindungan
terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
1 Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, Peraturan Pres-iden Nomor 2 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 3), Pasal 1 angka 1-2.
2 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “OECD Environmental Outlook to 2003: Summary in English”, (Paris: OECD, 2008), hlm. 6. Studi ini menyampaikan bahwa tekanan tertinggi terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup berada di emerging economies terutama Brazil, Rusia, India, Indonesia, China, dan Af-rika Selatan (the BRIICS).
3 Protimos dan UN Habitat, “Environmental and Social Impact Assessments: what is its Impact and Effectiveness for the Poor in African Cities” (presentation, The 9th World Urban Forum, Kuala Lumpur, 6-13 Feburari 2018) cf . Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Infrastructure Development Aims to Create Higher Economic Growth, President Jokowi Says, http://setkab.go.id/en/infrastructure-development-aims-to-create-higher-economic-growth-president-jokowi-says/, (diakses pada 20 Maret 2018).
4 Chris Hope, et. al, Making Indonesia’s Growth Green and Resilient, bab dalam Muhammad Eh-san Khan, et.al (eds.), Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusive and Green Growth, (London: Anthem Press, 2013), hlm. 429-433 cf. OECD, Op.Cit.
vi
masyarakat. Salah satunya ditunjukkan dari ketiadaan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada 20 provinsi.5 Kenyataan ini tentu
bersifat kontraproduktif dengan besarnya ambisi pemerintah dalam melakukan
pembangunan.6 Padahal, RTRW wajib dimiliki oleh masing-masing daerah7
sebab RTRW berfungsi untuk menjamin keseimbangan ruang hidup manusia dan
lingkungan hidup serta memiliki fungsi rujukan penting terhadap penyusunan
dokumen-dokumen seperti izin lingkungan.8
Oleh karena itu, secara akademis, hukum lingkungan memiliki peran
penting untuk turut merefleksikan dan menyusun strategi mengenai pengendalian
pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup melalui pendalaman
terhadap instrument hukum lingkungan seperti penetapan standar, larangan
dan pembatasan, perizinan, analisa mengendai dampak lingkungan.9 Eksaminasi
terhadap berbagai instrumen lingkungan maupun telaah praktis, melalui diseminasi
publik, dapat mendorong pemerintah untuk menjernihkan bias pembangunan
infrastruktur terutama pada kegiatan yang merupakan solusi jangka pendek dan
memiliki dampak besar terhadap lingkungan hidup dan hak asasi manusia ke arah
pembangunan yang lebih berkelanjutan.10
5 Yeremia Sukoyo, Daerah Tidak Miliki Perda RTRW Hambat Pembangunan Nasional, http://www.beritasatu.com/nasional/394911-daerah-tidak-miliki-perda-rtrw-hambat-pembangunan-na-sional.html, (diakses 20 Maret 2018).
6 Indonesia, Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksa-naan Proyek Strategis Nasional, Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 119), Lampiran. Terdapat 248 Proyek Strategis Na-sional yang terdaftar pada Peraturan Presiden tersebut. Selain Proyek Strategis Nasional, ter-dapat 37 infrastruktur yang menjadi prioritas pembangunan Pemerintah dalam kurun waktu 2015-2019. Daftar infrastruktur tersebut dapat dilihat di: Komite Percepatan Penyediaan In-frastruktur Prioritas, Proyek Prioritas: Status Terakhir Proyek Prioritas KPPIP, https://kppip.go.id/proyek-prioritas/, (diakses 20 Maret 2018).
7 Indonesia, Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, (Lembaran Negara Ta-hun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725), Pasal 78 ayat (4)
8 Indonesia, Izin Lingkungan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5285), Pasal 4 ayat (2).
9 Donald K. Anton dan Dinah L. Shelton, Environmental Protection and Human Rights, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm. 37-48.
10 Jon Strand dan B. Gabriela Mundaca, Impacts of Macroeconomic Policies on the Environment, Natural Resources, and Welfare in Developing Countries, bab dalam Ramon Lopez dan Michael A. Toman, Economic Development & Environmental Sustainability: New Policy Options, (New York: Oxford University Press), hlm. 100-1.
vii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah
mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini
dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat
dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota
Sidang Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan
substantif bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Prof. Dr.
Ida Nurlinda, S.H., M.H., dan Dr. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D., yang telah
melakukan blind peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini.
Akhir kata, JHLI Vol. 4 Issue 2 (Februari 2018) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
Jakarta, Februari 2018,
Redaksi
viii
ix
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
d a f t a r I s I
Redaksi & Mitra Bebestari ...........................................................................................iii
Pengantar Redaksi ........................................................................................................ iv
Daftar Isi .........................................................................................................................vi
Artikel Ilmiah
1. Kajian tentang Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan
Keadilan Sosial (Perspektif Hukum Pancasila)
Dr. Suparjo Sujadi, S.H., M.H. .................................................................... 1
2. Konteks Politik Hukum di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat:
catatan ke Arah Transisi 2019
Muki T. Wicaksono, S.Sos dan Malik, S.H. .......................................... 25
3. Analisis terhadap Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan sebagai
Instrumen Penaatan Hukum Lingkungan
Fadhil Muhammad Indrapraja, S.H. ........................................................ 47
4. Rekonstruksi Hukum Pembangunan dalam Kebijakan Pengaturan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
Wahyu Nugroho, S.H., M.H., dan Dr. Agus Surono, S.H., M.H. ........ 77
5. Prinsip Pencemar Membayar untuk Mendorong Akses Kompensasi di
Kebijakan ASEAN dalam Kasus Polusi Kabut Asap Lintas Batas
Gandar Mahojwala Paripurno, S.H. ....................................................... 111
6. Penerapan Plastic Deposit Refund System sebagai Instrumen Penanggulangan
Pencemaran Limbah Plastik di Wilayah Perairan Indonesia
Irawati Puteri, Rizkina Aliya, dan Satria Afif Muhammad .............. 129
x
Catatan Akhir Tahun 2017 Indonesian Center for Environmental Law
Kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK Tahun 2017: Ambisi Megaproyek, Minim
Perlindungan Lingkungan ...................................................................................... 151
Ulasan Buku: Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Pertanggungjawaban Perdata
Adrianus Eryan Wisnu Wibowo, S.H. ................................................................. 183
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia .................................. xi
1
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
kaJian tentang Pembangunan
Proyek strategis nasional (Psn) dan keadilan sosial
(PersPektif Hukum Pancasila)
Oleh: Suparjo Sujadi1
Abstrak
Isu kesesuaian RTRW dan perlindungan hak atas tanah bukanlah bersifat
kontemporer. Kedua persoalan tersebut menyertai hampir pada setiap pelaksanaan
pembangunan infrastruktur dalam rentang dominan hingga tidak signifikan
secara kuantitas dan kualitasnya. Kajian ini masih menunjukkan nuansa kuatnya
kepentingan pragmatik yang mengabaikan tatanan hukum dalam proyek strategis
nasional. Pemahaman penting dari permasalahan yang muncul dari program PSN
dengan menggunakan Hukum Pancasila sebagai perspektif solusi sebagai usulan
logis dalam tatanan hukum Indonesia.
Kata kunci: proyek strategis nasional, tata ruang, hak atas tanah, keadilan sosial,
hukum pancasila
Abstract
The issue of the appropriateness of the spatial planning and the protection of land
rights is not contemporary one. These two issues accompany almost every implementation
of infrastructure development in the dominant range to be insignificant in quantity and
quality. This study still shows the strong nuance of pragmatic interests that ignore the rule
1 Pengajar Senior Hukum Tanah dan Penatagunaan Tanah Program Sarjana dan Pascasarjana FHUI dan pengkaji Hukum Pancasila. Alumni program sarjana (SH-1994), MH (2002) dan Doktor Ilmu Hukum (2014) semuanya di almamater FHUI
2
of law in national strategic projects. An important understanding of the influence problem
of national strategic project (PSN) by using Pancasila Law as a solution perspective as a
logical proposal in the Indonesian legal order.
Keywords: national stategic project, spatial planning, land right, sosial justice, law
of pancasila
I. Pengantar
Salah satu isu hukum yang penting dan mengemuka saat ini muncul pada
Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional (selanjutnya disingkat dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2017). Ada dua
permasalahan mendasar dari perspektif hukum yang muncul dari keberlakuan
Perpres tersebut. Permasalahan pertama, adalah berkenaan dengan substansi
pengaturan hasil perubahan yang diadopsi penambahan ketentuan dalam
Pasal 20 ayat (3) Perpres Nomor 3 Tahun 2016 yang memberikan legitimasi
bagi Proyek Strategis Nasional untuk menyimpangi rencana tata ruang baik di
tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional. Kemungkinan mengubah
rencana tata ruang yang berlaku sah juga diperkokoh melalui pemberian atribusi
kewenangan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional yang memberikan rekomendasi penyesuaian tata ruang atas lokasi
Proyek Strategis Nasional.
Permasalahan kedua, berkenaan dengan tataran kepemilikkan tanah
sebagaimana ditemukan di Pasal I angka 3 Perpres Nomor 58 Tahun 2017 (Pasal
21 ayat (5)) yang melampaui prinsip pengakuan dan perlindungan kepemilikkan
tanah di dalam UU No.5 tahun 1960 (UUPA). Ketentuan pasal tersebut menerapkan
semacam prinsip “the right of first refusal2 atau juga dikenal the rights of pre-emption”3,
kepada pihak yang akan melakukan perolehan tanah dan mereduksi kewenangan
pemegang hak atas tanah. Hal itu secara substansial jelas melanggar prinsip
2 Justia US Law, “Campbell v. Alger (1999)”, https://law.justia.com/cases/california/court-of-appeal/4th/71/200.html, diakses 1 November 2017
3 Raymond Cooper, “Rights of Pre-Emption and the Rule Against Perpetuities”, http://www.raymondcooper.co.uk/business-leases/rights-pre-emption-rule-perpetuities/, diakses 1 No-vember 2017
SUPARJO SUJADI
3
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
musyawarah-mufakat yang menjadi prinsip pengaturan perolehan tanah didalam
UUPA dan UU No.2 tahun 2012.
Kedua permasalahan tersebut berpengaruh terhadap banyak aspek
fundamental setidaknya perihal kepastian hukum dan keadilan sosial. Dua
prinsip yang seyogyanya harus termanifestasikan dalam rangka melindungi
hak masyarakat atas ruang dan hak atas tanah mereka. Hal itu pun termasuk
kenyataan bahwa harus terjadi perubahan akibat adanya program yang tematik
pembangunan nasional semacam implementasi Perpres Nomor 58 tahun 2017
tersebut.
Dalam pandangan atau pendirian hukum adat yang menjadi dasar
pembentukkan UUPA, kedua aspek yaitu ruang dan tanah adalah sebagai bagian
dari hidup manusia yang tidak terpisahkan. Hal itu tertata dalam berbagai
konsepsi hukum adat yaitu dalam tatanan harmoni manusia dengan unsur-unsur
alam semesta (tanah, ruang). Terlebih lagi bahwa UUPA dan UU Nomor 26 tahun
2007, dibangun berlandaskan falsafah negara Pancasila yang mengajarkan harmoni
unsur manusia alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa Shang Penciptanya.4
Oleh karenanya dalam pembahasan ini akan melihat dan menjelaskan hakekat
permasalahan hukum yang muncul dari implementasi Perpres Nomor 58 tahun
2017 akan dijelaskan dari perspektif Hukum Pancasila. Istilah ini dibangun dari
pemahaman terhadap Pancasila dari dua sisi yang bersatu ibarat mata uang. Satu
sisi Pancasila dalam tatanan negara adalah sebagai falsafah negara (sumber dari
segala sumber hukum), sisi lainnya adalah Pancasila sebagai acuan nilai-nilai
pedoman hidup (way of life) Bangsa Indonesia.
II. Proyek Strategis Nasional dalam Tatanan Keadilan Sosial
Dalam tatanan perencanaan pembangunan nasional, maka pembangunan
proyek strategis nasional adalah sebagai implementasi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari
4 Hal itu dapat ditemukan dalam UU No.26 tahun 27 yang dalam konsiderans menimbang huruf b. yang menegaskan bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan interna-sional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hu-kum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila;
4
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah
ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007.
Berlandaskan tujuan pembentukkan Negara dalam Pembukaan UUD RI 1945
dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),
RPJMN 2015-2019 sekaligus adalah penjabaran dari Visi, Misi, dan Agenda (Nawa
Cita) Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. RPJMN
2015-2019 yang disusun Bappenas menggunakan Rancangan Teknokratik dan
berpedoman pada RPJPN 2005-2025. RPJMN 2015-2019 adalah pedoman untuk
menjamin pencapaian visi dan misi Presiden, RPJMN sekaligus untuk menjaga
konsistensi arah pembangunan nasional dengan tujuan di dalam Konstitusi
Undang Undang Dasar 1945 dan RPJPN 2005–2025.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah
memandang perlu dilakukan upaya percepatan pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional. Terkait kebijakan tersebut Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari
2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Dalam Perpres ini disebutkan, Proyek Strategis Nasional adalah proyek
yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha
yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan daerah.
Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota memberikan
perizinan dan non-perizinan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 3 Perpres
Nomor 3 Tahun 2016 tersebut. Menteri atau kepala lembaga selaku Penanggung
Jawab Proyek Strategis Nasional mengajukan penyelesaian perizinan dan
nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional sejak diundangkannya Peraturan Presiden tersebut.
Perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan
Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud, yaitu: a. Penetapan Lokasi; b.
Izin Lingkungan; c. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; dan/atau d. Izin Mendirikan
SUPARJO SUJADI
5
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Bangunan. Ketentuan yang sama berlaku bagi Gubernur atau bupati/walikota
selaku Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional di daerah memberikan
perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional sesuai kewenangannya sejak diundangkannya Peraturan
Presiden tersebut.
Sementara bagi Badan Usaha selaku Penanggung Jawab Proyek Strategis
Nasional berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perpres, mengajukan izin prinsip untuk
pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Pusat yang
akan menerbitkan izin prinsip sebagaimana dimaksud, paling lambat 1 (satu) hari
kerja sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar (vide Pasal 6 ayat (2)
Perpres) tersebut.
Dalam hal izin prinsip telah diberikan, Badan Usaha mengajukan penyelesaian
perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional kepada PTSP Pusat, yaitu: a. Izin Lokasi; b. Izin Lingkungan;
c. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; d. Izin Mendirikan Bangunan; dan/atau e.
Fasilitas fiskal dan non fiskal.
Waktu penyelesaian perizinan dan nonperizinan sebagaimana dimaksud
dikecualikan untuk: a. Izin Lingkungan yang diselesaikan paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja; b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja; c. Nonperizinan untuk fasilitas perpajakan (Pajak Penghasilan dan/atau
Pajak Pertambahan Nilai) paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja; atau d.
yang diatur waktunya dalam undang-undang dan/atau peraturan pemerintah.
Dalam dinamikanya pelaksanaan pembangunan proyek strategis nasional
memang terdapat tiga kendala yaitu berkenaaan dengan pertama, hambatan
perolehan tanah lalu kedua, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan
ketiga, pendanaan yang mencapai empat ribu trilliun rupiah lebih.5
Persoalan yang muncul dari berbagai perolehan tanah yang dilakukan dalam
rangka pembangunan proyek strategis nasional tidak juga terhindarkan. Hal itu
5 Dewi Aminatuz Zuhriyah,” Proyek Strategis Nasional : Ini Tiga Hambatan Besarnya”, dalam Bisnis Indonesia 7 Juli 2017, http://finansial.bisnis.com/read/20170707/9/ 669321/proyek-strategis-nasional-ini-tiga-hambatan-besarnya, diakses 20 November 2017
6
mengingat sudah ada UU No.2 tahun 2012 yang menjadi payung hukum dalam
perolehan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Hal itu bisa diketahui
dari beleid yang diterbitkan presiden pada tanggal 31 Mei 2017 (Perpres Nomor 56
Tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka
Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional), dalam upaya percepatan
pengadaan tanah yang dikuasai masyarakat dan meminimalisasi dampak sosial
yang timbul terhadap masyarakat sebagai akibat dibebaskannya lahan masyarakat
dimaksud untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional.
Dinamika kebijakan terus berlanjut pada tanggal 15 Juni 2017, Presiden
Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Perubahan Perpres Nomor 58
Tahun 2017 tersebut adalah berkenaan dengan beberapa aspek penting, pertama
aspek pembiayaan pembangunan PSN dapat pula dilakukan melalui non anggaran
pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) Perpres Nomor 58 Tahun
2017 Proyek Stategis Nasional yang bersumber dari non anggaran Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas).
Kedua, Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, terhadap lokasi Proyek
Strategis Nasional yang tidak berkesesuaian dengan rencana tata ruang kabupaten/
kota atau rencana tata ruang kawasan strategis nasional, sesuai Pasal 19 ayat (3),
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dapat memberikan rekomendasi kesesuaian tata ruang atas lokasi PSN.6
Ketiga, aspek pertanahan dalam hal penetapan tanah lokasi PSN berdasarkan
ketentuan Pasal 21 Ayat (4) dilakukan oleh Gubernur. Implikasi penetapan lokasi
tersebut, selanjutnya tanah yang telah ditetapkan lokasinya tersebut tidak dapat
dilakukan pemindahan hak atas tanahnya oleh pemilik hak kepada pihak lain selain
kepada Badan Pertanahan Nasional sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (5) Perpres yang
belakangan berlaku sebagai pengganti Perpres Nomor 3 Tahun 2016 itu.
6 Untuk keperluan tersebut sudah disiapkan beleid tertanggal 8 Mei 2017 berupa Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah
SUPARJO SUJADI
7
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Tulisan ini secara akademik akan membahas dua persoalan terakhir sesuai
ranah pembahasan dalam lingkup ilmu hukumnya yang akan diulas dalam bagian
berikutnya.
III. Mengurai Permasalahan Proyek Strategis Nasional dalam Tatanan Ideal
Hukum Pancasila
3.1. Perpres PSN sebagai Masalah dalam Tataran Normatif
Dalam lingkup ilmu perundang-undangan Perpres Bagi sekelompok ahli,
penyebutan peraturan presiden (perpres), pengganti keputusan presiden yang
bersifat peraturan (regeling), adalah lebih tepat. Alasannya karena istilah keputusan
merupakan penetapan (beschikking), bersifat individual, nyata, dan sekali selesai
final, einmaligh)7. Maria Farida memiliki pendapat berbeda, bahwa istilah Keppres
lebih tepat dibandingkan Perpres. Istilah keputusan dalam arti luas dibagi dua
jenis: keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan keputusan yang bersifat
menetapkan(beschikking). Keputusan merupakan pernyataan kehendak, yang
dibedakan: (1) sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-
undangan (wetgeving), (2) keputusan yang merupakan peraturan perundang-
undangan semu (beleidsregel, pseudo-wetgeving), (3) keputusan yang berentang
umum lainnya (besluiten van algemene strekking).8
Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 memberikan definisi bahwa Peraturan
Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Undang-undang
tersebut telah mendefinisikan secara lebih baik dibandingkan dengan Pasal 1
angka 6 UU No. 10 Tahun 2004, yang mendefinisikan bahwa Peraturan Presiden
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
Presiden juga dapat menetapkan keputusan presiden (kini disebut peraturan
presiden) yang tidak merupakan delegasi dari UU dan peraturan pemerintah.
7 Lihat dalam Dr. R. Herlambang P. Wiratraman,” Peraturan Presiden Istilah, Wewenang, Ma-teri dan Penyusunannya”, Surabaya, 12 November 2015
8 Maria Farida Indrati Soeprapto dan Hamid Attamimi, Ilmu Perundang-undangan 1 : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,Yogyakarta:Kanisius,2007, hlm.101
8
Keputusan presiden (peraturan presiden) ini biasa disebut keputusan presiden
mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudo-wetgeving),
bersumber dari kewenangan diskresi (freies emerssen).
Dari definisi Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 mencakup dua hal
yang penting, yaitu pertama, untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi, atau kedua, yaitu dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan. Unsur yang pertama jelas mengacu pada ketentuan norma yang lebih
tinggi, yang biasanya disebutkan secara eksplisit (ius scriptum). Ada perbedaan
dengan unsur kedua yang memberikan keleluasaan bagi seorang Presiden untuk
memastikan bahwa Perpres diperlukan atau dikeluarkan dalam rangka menjamin
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan berjalan lebih baik. Dari ruang
lingkupnya, membuka peluang tafsir luas bagi Presiden untuk menerjemahkan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
3.2. Perpres PSN dalam Tataran Praktik Implementasinya
Pembahasan dari tataran praktik implementasi Perpres PSN adalah dilihat
dari substansinya menyangkut pengaturan yang memiliki ranah perdebatan
secara akademik berkenaan dengan dua hal, yaitu pertama, kesan pertentangan
antara rencana tata ruang wilayah dengan PSN dan kedua, jaminan perlindungan
dan kepastian hak atas tanah.
Penjelasan terhadap dua persoalan implementasi tersebut dimulai dari aspek
substansi/materi dan fungsi Perpres. Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011
disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dalam
Penjelasan Pasal 13, Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Materi yang dimaksudkan dalam pasal tersebut dari penjelasannya hanya ada
SUPARJO SUJADI
9
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
dalam tiga kategori9, yaitu pertama, materi yang diperintahkan oleh Undang-
Undang; kedua, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau ketiga,
materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pada aspek fungsi Perpres, menurut pandangan Maria Farida10 disebutkan,
Pertama, menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penye-
lenggaraan kekuasaan pemerintahan (atribusi); Kedua, menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-
tegas menyebutnya (delegasi) dan ketiga, menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah, meskipun tidak tegas-tegas
menyebutnya.
Atas uraian di atas maka kemudian dapatlah dibuat pemetaan persoalan
dalam ranah implementasinya sebagai berikut.
Gambar1. Pemetaan Persoalan PSN
Pembahasan dalam dua lingkup Perpres PSN tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan perspektif doktrin hukum berkenaan dengan Stufen theory, yang
memberikan acuan dalam tatanan hirarki norma peraturan perundang-undangan.
Lex superiori derogat legi inferiori yang mengajarkan bahwa norma peraturan yang
lebih rendah tingkatannya tidaklah dapat menyimpangi norma peraturan yang
lebih tinggi di atasnya.
9 Batasan tersebut selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 64 Perpres No. 87 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa Pemrakarsa menyusun Rancangan Peraturan Presiden yang berisi materi: a. yang diperintahkan oleh Undang-Undang; b.untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah; atau c. untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan.
10 Maria Farida, Opcit.hlm.223-225 sebagaimana ditemukan dalam tulisan Wiratraman. Opcit
MATERI PERPRES PSN• MATERI UNTUK MELAKSANAKAN
PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAH
FUNGSI PERPRES PSN• MENYELENGGARAKAN PENGATURAN
SECARA UMUM DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAH (ATRIBUSI)
10
Menggunakan pendekatan tersebut maka kemudian dapat dijelaskan
perdebatan akademik mengenai kesesuaian RTRW dengan PSN. Dalam ranah
akademik terdapat acuan di dalam Pasal 14 UUPA. Pasal ini mengatur soal
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8).
Pasal 14 UUPA sudah memberikan proyeksi bahwa mengingat akan corak
perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan
mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian
perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (Pasal 14
ayat (1) huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah
untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga
ditujukan untuk memajukannya.11
Menurut ketentuan Pasal 14 UUPA, maka dapatlah diketahui bahwa
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa untuk berbagai keperluan baik dalam sektor pertanian maupun sektor
lainnya harus dibuat oleh pemerintah pusat dan di daerah. Hal itu baik dalam ranah
pembuatan rencana persediaan (implikasinya berupa pengadaan dan perolehan
tanahnya) juga terhadap penataan ruang (peruntukkan dan penggunaannya).
Kedua aspek tersebut kemudian dapat dijelaskan dalam dua kemungkinan
alternatif secara akademik. Pertama, rencana pembangunan (PSN) dalam arti rencana
umumnya dibuat terlebih dahulu baru kemudian dibuatkan rencana tata ruang
(peruntukkan dan penggunaannya), atau sebaliknya yang kedua, dibuatkan rencana
tata ruang (peruntukkan dan penggunaannya) terlebih dahulu baru kemudian
disusun rencana pembangunannya (PSN) dalam konteks pembahasan ini.
Dalam perkembangannya pascaberlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentan
Penataan Ruang mulai dilakukan penataan ruang yang lebih komperehensif
daripada UU Nomor 24 tahun 1992. Hal itu dapat diketahui dari pertimbangan
11 Sesuai judul Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam pembahasan isu tata ruang (dari perspektif Pasal 14 UUPA) haruslah dipa-hami sebagai kaidah hukum yang secara formil masih berlaku dan secara prinsipil memiliki arahan tujuan dan sasaran pengaturan ranah teknis tata ruang. Hal itu tentu saja valid bahwa dalam memahami kaidah hukum via penafsiran sistematik-holistik. Pemahaman yang keliru ketika membahas isu dalam ranah teknis-sektoral (tata ruang) tanpa merasa perlu/meng-abaikan dasar-dasar kaidah hukum pertanahan di dalam UUPA.
SUPARJO SUJADI
11
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
pertama keberlakukan UU Nomor 26 tahun 2007, yang terdiri dari pertama, karakter
ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara
kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah , kedua unsur ruang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
ketiga, aspek lain dari ruang sebagai sumber daya, keempat, skema intensitas
upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna, kelima,
sandaran normatif dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga
kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya, keenam tujuan
akhir penataan ruang demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial
sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.12
Kembali pada perdebatan kesesuaian RTRW versus PSN, bahwa ada
konsekuensi dari kesenjangan antara RTRW dengan rencana pembangunan PSN
(turunan dari rencana pembangunan nasional yang menghasilkan RPJM dan
PSN), yaitu kemungkinan terjadinya peninjauan kembali (revisi) RTRW. Sandaran
hukumnya secara normatif dapat ditemukan dalam Pasal 16 UU Nomor 26 tahun
2007 dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Pasal
81 – Pasal 92), serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.16 tahun 2017, tentang Tata Cara Peninjauan Kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah.
Implikasinya berdasarkan landasan hukum tersebut maka RTRW dari semua
tingkatan (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) dapat direvisi dengan dua
pertimbangan, pertama, terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi
penataan ruang wilayah nasional; dan/atau kedua, terdapat dinamika pembangunan
nasional yang menuntut perlunya peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
Dari sisi lain terdapat penegasan efek atau dampak dari akibat perubahan
RTRW tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No.26 tahun
2007. Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang
dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan
12 Huruf tebal dari penulis sekadar membuat lebih jelas saja
12
ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu hanya bersifat pendekatan
tunggal terhadap dampak yang muncul adanya PSN menyangkut (seolah-olah)
perlindungan Hak atas tanah.
Menurut penulis dari pemahaman yang komperhensif adanya perubahan
RTRW sebagai respon terhadap PSN tidak memiliki dimensi tunggal seperti Pasal
16 ayat (3) saja. Pendekatan holistik dalam unsur-unsur ruang memiliki konten
ekologis yang berubah atau bahkan timbul dampak negatif akibat PSN yang luput
dari pengaturan Pasal 16 UU No.26 tahun 2007.
Adapun dalam dimensi perlindungan hak atas tanah di atas absurd. Hal itu
karena secara keliru kemudian di dalam Perpres 58 tahun 2017 Pasal 21 ayat
(5) yang mereduksi perlindungan hak pemilik tanah dalam hal letak tanahnya
termasuk di dalam lokasi yang telah ditetapkan gubernur sebagai lokasi PSN,
hanya boleh mengalihkan haknya kepada Badan Pertanahan Nasional saja tidak
boleh kepada pihak lain.
Dalam ranah hukum tanah nasional hal itu jelas bertentangan terhadap
ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 UUPA yang melindungi dan menjamin perlindungan
hak atas tanah warganegara. Praktik semacam itu seharusnya tidak boleh
diterapkan di Indonesia,13 hanya lazim dijumpai dalam sistem hukum common law
yang dikenal sebagai ‘the right first refusal’ yang notabene hanya bisa dilakukan
berdasarkan asas konsensual-kontraktual bukan sepihak sebagaimana ketentuan
Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017.14
Jadi dari sifat Perpres yang secara substansi dan fungsinya tidak bersumber dari
delegasi undang-undang atau peraturan pemerintah tentunya tidak benar karena
telah melanggar undang-undang (Pasal 9 dan 10 UUPA) dalam hal perlindungan hak
pemilikkan atas tanah. Larangan menjual atau mengalihkan hak atas tanah adalah
ranah hukum perdata (ansich!). Sekalipun akibat adanya perubahan (penyesuaian)
RTRW secara mendadak tetaplah di luar kuasa pemilik tanah dan tidak tepat
13 Bagaimana merajalela praktik mengadaptasi secara sengaja atau kerancuan berpikir dalam konteks hukum Indonesia lihat dalam disertasi Suparjo “Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara dalam Politik Hukum Agraria Pascaproklamasi 1945 Hingga Pascareformasi 1998 (Kajian Teori Keadilan Amartya Sen)”, Disertasi Program Doktor Pas-casarjana FHUI, Jakarta:Agustus 2014
14 Lihat kembali catatan kaki nomor 1 dan 2
SUPARJO SUJADI
13
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
larangan di dalam Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017.15
Adapun implikasi yang lebih tepat adalah dengan menerapkan asas
musyawarah-mufakat dengan menggunakan mekanisme perolehan tanah
sebagaimana di atur di dalam UU Nomor 2 tahun 2012. Cara ini lebih tepat dengan
mengingat keseimbangan kepentingan pribadi (pemilikkan tanah/perdata) dengan
kepentingan umum yang lebih luas (RTRW dan dalam rangka PSN/publik).
Dari dua persoalan dalam ranah penegakkan hukum penataan ruang dan
hak atas tanah yang sudah diuraikan di atas maka selanjutnya perlu diberikan
pencerahan dalam konteks tatanan ideal Hukum Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan bermuara akhir kesejahteraan rakyat. Penjelasan sebagai bentuk
pencerahan akan ditemukan pada bagian berikut ini.
IV. Pancasila dan Hukum Pancasila Prasyarat Menuju Keadilan Sosial
Permasalahan kesesuaian tata ruang perolehan tanah untuk pembangunan
infrastruktur melalui program PSN memiliki kesamaan ceritanya dari masa
ke masa. Pada permasalahan yang dibahas ini justru berkenaan dengan isu
kesesuaian RTRW dalam rangka PSN (ranah hukum publik) berhadapan dengan isu
perlindungan pemilikkan hak atas tanah (ranah hukum perdata). Tentunya dalam
ilmu hukum hal itu tidak terlepas dari antinomi nilai yang menjadi pasangannya
ibarat dua sisi mata uang.
Adanya keragaman nilai dan kepentingan pada diri pribadi manusia dalam
kehidupannya itulah yang menjadi potensi terjadinya benturan kepentingan.
Dalam hal ini pula benturan kepentingan antara pemilik tanah dan kebijakan PSN
pemerintah serta kepentingan ekologis mempertahankan RTRW menurut kaedah
hukum dan teknis penataan ruang yang berlaku.
15 Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017 dapat dipahami sebagai kaidah hukum yang tidak valid karena secara hirarki bertentangan dengan Undang-Undang (UUPA dan UU No-mor 2 tahun 2012), yang mengedepankan asas dan prosedur musyawarah mufakat dalam hal perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana karakter dan sasaran PSN itu sendiri, bahkan UU Nomor 26 tahun 2007 (Pasal 35-39) yang menerapkan model insentif-disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Model seperti itu sejauh ini lebih tepat dalam menjembatani kesenjangan aspek pemilikkan dan penggunaan tanah (privat) dengan aspek RTRW (ranah publik).
14
Apabila direnungkan secara jernih dalam tatanan NKRI sudah ada nilai-nilai
yang menjadi acuannya, bahkan menjadi manifestasi pribadi, kepribadian Bangsa
Indonesia. Nilai-nilai yang dapat ditemukan dari makna sesungguhnya dari
Merah Putih (sebagai jiwanya), Pancasila (sebagai pribadi) dan Bhineka Tunggal
Ika (watak/karakternya ) sejatinya adalah sebagai “Trisakti Pilar Bangsa.”16
Pada perspektif Pancasila selaras dengan dogma hukum yang menempatkan
manusia sebagai pusat dari berbagai modus pengaturan dan tujuan pengaturan
itu sendiri. Namun kiranya yang harus dipahami adalah bahwa dalam perspektif
Hukum Pancasila memiliki perbedaan perspektif menjelaskan manusia
sebagaimana dogma-dogma hukum barat yang hingga kini sayangnya masih
menjadi anutan dalam hukum Indonesia.
Berpegang pada pemahaman manusia dan konteks hukum maka dapat
diperoleh pemahaman bahwa hukum adalah hidup (sebagai pedoman yang hidup
dan tidak statis) dalam kehidupan manusia. Sejalan dengan dinamika kehidupan
manusia maka hukum pun selalu mengikutinya dan tidak bersifat statis dan tidak
pula justru membatasi kehidupan manusia itu sendiri. Hukum yang dinamis
itu dapat berjalan dengan bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi
pandangan hidup manusia (way of life).
Pada pemahaman nilai-nilai Pancasila yang menjadi kepribadian kita itu
pun dapat disampaikan bahwa manusia yang berkeribadian seyogyanya akan
mampu melaksanakan hidup dan kehidupannya secara lebih baik. Kepribadian
itu akan termanifestasikan dari kesadaran rahsa (rasa terdalamnya atau puncak
kesadarannya) akan membuatnya mencapai pada dimensi Ketuhanan sebagai
causa prima terjadinya segenap unsur dan tatanan semesta raya.
16 Sebagaimana pernah diulas Suparjo Sujadi dalam “Permasalahan dan Hambatan Perolehan Tanah dalam Pembangunan Infratruktur PSN (Perspektif Hukum Pancasila)”,Makalah seb-agai urun rembug pada Seminar Nasional dengan tema “Mengurai Hambatan Lahan Dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional Sebagai Komitmen Nawacita”, diseleng-garakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI), Jakarta 21 Desember 2016. Lihatlah bahwa Trisakti Pilar Bangsa identik dengan simbol negara Garuda Pancasila. Merah Putih sebagai “jiwa” yang tersembunyi di belakang gambar simbol sila-sila Pancasila yang lebih dominan terlihat di depan warna merah-putih, karena Pancasila adalah “Pribadi” nyata terlihat. Ke-tika sudah sadar akan jiwanya dan pribadinya maka muncul “karakter/watak” Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus sebagai tanggungjawab untuk menjaganya sebagaimana Burung Ga-ruda mencengkeram seloka yang tertulis di atas pita. Pita yang rawan sobek, putus harus dicengkeram dijaga penuh sebagai bentuk tanggungjawab sebagai karakter/watak manusia yang berkepribadian Pancasila dan memiliki jiwa Merah-Putih.
SUPARJO SUJADI
15
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Pemahaman itu tidak lain melalui mengerti dan paham makna “Merah Putih”
menjadi perspektif yang mengantarkan pemahaman terhadap Pancasila. Merah-
Putih adalah jati diri manusia sehingga Sang founding father menjadikan bendera
nasional sekaligus simbol negara. Esensi ajaran dari Merah-Putih adalah perihal
manusia itu sendiri, yaitu merah adalah raga dan putih adalah suksma. Ketika
suksma masuk dan menyatu dengan raga manusia maka ada nyawanya itulah
identitas dari hidupnya manusia yang tercipta dan hidup menurut kodrat Tuhan
Yang Maha Esa (Sang Pencipta).17
Ketika manusia yang sudah berkepribadian seperti itu maka dia sadar akan
jati dirinya yang sejati sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Inilah dasar pemahaman
sebagai perspektif memahami sila-sila Pancasila yang tidak ansich sebagaimana
urutan sila-silanya, melainkan dimulai dari sila kedua adanya manusia yang sadar
akan kemanusiaannya. Manusia yang sudah paham “Merah Putih” sebagai jati
dirinya akan sadar asalnya-penciptaanya, keberadaannya di alam semesta. Dia
memahami dan akan bersifat adil, berperilaku penuh adab (beradab) yang dalam
konteks historis penyusunan Sila-Sila Pancasila telah menempatkan Tuhan lebih
tinggi daripada dirinya (pada sila pertama).
Manusia-manusia Indonesia yang sudah mengenal siapa dirinya dan
mengenal Tuhan sebagai Pencipta dengan seluruh sifat-sifat Ketuhanan hanya
ada atau memiliki keinginan rasa bersatu yang menimbulkan persatuan. Adapun
yang disatukan adalah rahsa (rasa terdalamnya) sebagai manusia pada tiap-tiap
individu manusianya (sila ketiga).
Adanya berbagai atau banyaknya manusia yang bersatu memerlukan tatanan
(musyawarah dan perwakilan). Sila keempat adalah tatanan sebagai konsekuensi
adanya persatuan. Tatanan yang terbentuk atas landasan kesadaran manusia
Indonesia yang didasari sila kesatu, kedua dan ketiga akan mengarah pada
keadilan sosial (sila kelima) sebagai sesuatu keniscayaan yang logis.
Uraian pada bagian ini tentunya bermaksud memberikan sebuah perspektif
solusi. Sebentuk solusi yang berangkat dari kondisi nyata adanya hambatan yang
senantiasa atau seringkali dijumpai dalam perolehan tanah untuk pembangunan
17 Secara biologi Merah-Putih juga merupakan konsep dari apa yang dimakan dan diminum manusia yang berasal dari bumi (tanah) maka niscaya mengalir bersama sumpahnya manu-sia dalam darahnya (Merah) adalah merupakan zat-zat sebagai esensi hidupnya manusia.
16
infrastruktur, maupun yang terjadi pada modus perolehan tanah untuk keperluan
lainnya. Tataran solusi yang pada intinya justru sebagai jawaban dari refleksi
gagalnya tatanan hukum yang diasumsikan sistematik-logis-adil.18
Pada tujuannya pemberlakuan hukum (undang-undang) secara ideal sudah
terdapat di dalamnya format susunan, substansi dan arah implementasi dan
implikasinya. Khususnya berkenaan dengan persoalan yang dibicarakan ini sudah
dijelaskan dalam bagian kedua di muka. Singkatnya tujuan akhirnya keadilan
sosial tidak atau masih belum tercapai, malah jelas masih menjadi “hambatan” bagi
program PSN berupa pertama, timbulnya persoalan RTRW versus PSN dan kedua,
masalah perlindungan hak atas tanah rakyat akibat proyek infrastruktur publik.
Oleh sebab itu perlu diuraikan keruwetan itu dari sifat isu RTRW dan kegiatan
perlindungan pemilikkan hak atas tanah itu sendiri yang terdiri dari faktor-faktor
: (1) manusia (pemilik proyek dan pemilik tanah); dan (2) aturan hukum (peraturan
perundang-undangan) sebagai sarananya notabene hasil buatan manusia.
Dari pemilahan secara substansial dari permasalahan itu pada akhirnya
bertumpu pada faktor manusia sebagai pusatnya, inti persoalannya. Hal itu dapat
dijelaskan dari tiga aspek:(1) Subyeknya manusia dan/atau kumpulan manusia
(badan hukum publik); (2) Alat/Sarana berupa peraturan-buatan manusia; dan (3)
target/tujuannya yaitu tersedianya infrastruktur publik (PSN) yang tidak lain juga
buatan manusia sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.
Gambar 2. Faktor Manusia dalam Isu RTRW dan Hak atas Tanah
18 Skema yang sama oleh Suparjo Sujadi disampaikan dalam “Penguasaan atas Tanah Masyara-kat Ulayat dan Desa (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila)”, dalam FGD “Eksistensi Tanah Ulayat, Hutan Adat, dan Peta Desa Sebagai Sebuah Informasi Geospasial dan Pengelolaan Ruang di Indonesia”, Kementrian Koordinator Perekonomian RI (Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta), Jakarta 7 Maret 2017
SARANA: ATURAN HUKUM TATA
RUANG+TANAH (BUATAN MANUSIA)
PSN-BERKEADILAN SOSIAL (UNTUK
RAKYAT-MANUSIA)
MANUSIA: PEMILIK TANAH, APARAT PSN
SUPARJO SUJADI
17
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Apabila pendirian itu dipahami bahwa manusia sebagai pusatnya persoalan
dalam pembicaraan ini maka pembahasannya kemudian dapat dilanjutkan secara
logis. Logis dalam tataran dan tatanan hukum di Indonesia yang bersumber
pada nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai yang menjadi sumber pembentukkan
peraturan perundang-undangan (sumber segala sumber hukum) di Indonesia. Pun
sekaligus sebagai nilai-nilai kepribadian yang menjadi acuan hidup, pandangan
hidup (way of life) Bangsa Indonesia.
Pembahasan pada ranah tatanan hukum Indonesia adalah berkenaan dengan
fungsi Pancasila sebagai rechtsidee (Cita Hukum). Berdasarkan pemikiran Hans
Kelsen, Gustav Radbruch dan Hans Nawiasky, pemikiran yang menyatakan bahwa
Pancasila adalah semacam “Leitstern” (bintang pemandu) yang mengarahkan hukum
bukan kepada dirinya sendiri melainkan kepada apa yang dicita-citakan masyarakat
(termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai fokus kajian ini).
Disamping itu sebagai cita hukum, Pancasila juga mempunyai fungsi regulatif dan
konstitutif. Fungsi regulatif berkaitan dengan penentuan keadilan sebagai isi dari
hukum. Sementara itu sebagaimana telah dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi
bahwa fungsi konstitutif cita hukum adalah sebagai dasar atau landasan pemakna
sistem hukum.19 Dari pendapat-pendapat tersebut dapatlah ditegaskan bahwa
Hukum Pancasila adalah hukum yang dibangun dari nilai-nilai Pancasila yang
menjadi kepribadian atau pandangan hidup ‘way of life’ Bangsa Indonesia (secara
materil) dan kemudian dalam membangun tatanan negara dimana Pancasila menjadi
cita hukum atau landasan pemakna sistem hukum yang juga dapat dipahami sebagai
sumber segala sumber hukum (secara formil). Dalam berbagai aspek kehidupan,
Hukum Pancasila menjadi inspirasi secara materil dan formil penyelenggaraan
negara, termasuk PSN sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini.
19 A. Hamid S.Attamimi dalam Oetojo Oesman & Alfian ed., (1991), hlm.62-83 sebagaimana dikutip oleh Hyronimus Rhity, (2011), Filsafat Hukum Dari Klasik sampai Postmodernisme, Yog-yakarta: Universitas Atma Jaya , hlm.369
18
Gambar 3. Pancasila dan Implementasi Tatanan Hukum Indonesia
Pancasila yang sudah menjadi pribadi (manifestasi) manusia (aparatur
pembuat peraturan, penegak hukum, masyarakat) pada ranah hukumnya (Hukum
Pancasila) maka, pertama, dalam pembentukkan Hukum/Keppres-Keppres PSN
akan meniadakan disharmoni-disinkron dengan peraturan yang lebih tinggi20 dan
kedua, dalam implementasi/pelaksanaan PSN akan menuju tercapainya keadilan
sosial dan meniadakan ketidakadilan.
Bertitik tolak dari pemahaman Pancasila dan Hukum Pancasila itu, selanjutnya
persoalan ranah tata ruang dan perlindungan hak atas tanah dalam PSN dapat
dijelaskan sebagai persoalan keadilan sosial. Pemahaman terhadap keadilan sosial
sendiri masih banyak belum dipahami meski sesungguhnya sudah ditemukan
dalam konsitusi melalui pemahaman secara utuh-sistematik isi UUD RI 1945
dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan baik secara formal
maupun substansinya.
Keadilan sosial sebagai manifestasinya dapat ditemukan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD RI 1945 (1) terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia (2) kemajuan kesejahteraan umum, (3) cerdasnya
kehidupan bangsa, dan (4) terlaksananya ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.21
20 Lihat inti solusinya dalam konteks PSN di dalam catatan kaki nomor 15 di atas21 Keempat manifestasi itu haruslah dapat ditunjukkan dan dibuktikan relevansinya dari Daftar
Proyek Strategis Nasional yang dilampirkan dalam Keppres Nomor 3/2016 maupun dalam Keppres Nomor 58/2017, sesuai dengan diktum menimbang Keppres Nomor 3/2016 huruf a. dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apakah sepenuhnya infrastruktur PSN adalah sebagai kebutuhan dasar rakyat dan apakah tidak ada kebutuhan dasar rakyat lainnnya yang lebih dasar daripada itu?
PANCASILA DALAM TATANAN NEGARA (SUMBER SEGALA SUMBER
HUKUM)
PANCASILA DALAM TATANAN PRIBADI (WAY OF
LIFE) BANGSA INDONESIA
PSN YANG BERKEADILAN SOSIAL DALAM
TATANAN HUKUM
PANCASILA
SUPARJO SUJADI
19
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Dalam perspektif Hukum Pancasila, maka persoalan kesenjangan aspek
pemilikkan dan penggunaan tanah (privat) dengan aspek RTRW (ranah publik)
dapat dipahami terjadinya antinomi nilai yang saling berhadapan. Antara
kepentingan publik (penyesuaian RTRW-PSN) dengan kepentingan pribadi
(pemilik tanah). Padahal dibalik pertentangan keduanya terdapat satu titik yang
sama yaitu keadilan sosial. Atas pemahaman seperti itu tentunya ada kesamaan
titik temu diantara kepentingan RTRW-PSN dengan pemilik tanah.
Atas permasalahan yang muncul pada ketiga ranah tersebut maka dalam
perspektif Hukum Pancasila yang dalam konteksnya diletakkan dalam tatanan
formal peraturan perundang-undangan yang ada maka dapat dijelaskan secara
komperehensif dan solusinya. Tatanan formal perundang-undangan itu harus bisa
membuktikan bahwa keadilan sosial sebagai tujuan akhir dapat dicapai jika ada
tatanan (tatanan hukum, demokrasi, musyawarah-mufakat) yang dibangun dari
semangat persatuan. Persatuan yang bisa terbentuk hanyalah jika diantara manusia-
manusianya menyadari dan memiliki harkat kemanusiannya masing-masing.
Harkat kemanusiaan pada tiap-tiap individu akan dimiliki setelah manusia sadar
akan dirinya dan mengenal dirinya hingga pada akhirnya mengenal siapa Tuhannya.
Dalam konsepnya PSN yang memiliki perspektif kesejahteraan sosial sebagai
manifestasi keadilan sosial sendiri masih mengandung kesenjangan (lihat dalam
catatan kaki nomor 21). Ketika memproyesikan pembangunan infrastruktur sebagai
kebutuhan dasar masyarakat dengan perdebatan apakah sepenuhnya demikian
RTRW
PSNHAK
MILIK
KEADILAN SOSI
AL
20
dan secara langsung menjadi kebutuhan dasar masyarakat?22
Kedua, adanya permasalahan yuridis yaitu Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58
tahun 2017 dapat dipahami sebagai kaidah hukum yang tidak valid karena secara
hirarki bertentangan dengan Undang-Undang (UUPA dan UU Nomor 2 tahun
2012), yang mengedepankan asas dan prosedur musyawarah mufakat dalam hal
perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana karakter dan sasaran PSN
itu sendiri, bahkan UU Nomor 26 tahun 2007 (Pasal 35-39) yang menerapkan model
insentif-disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan
ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
Ketiga, terdapat perdebatan substansi kesesuaian RTRW versus PSN, bahwa
ada konsekuensi dari kesenjangan antara RTRW dengan rencana pembangunan
PSN (turunan dari rencana pembangunan nasional yang menghasilkan RPJM dan
PSN), yaitu kemungkinan terjadinya peninjauan kembali (revisi) RTRW vide Pasal
16 UU Nomor 26 tahun 2007 dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Pasal 81 – Pasal 92), serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.16 tahun 2017, tentang Tata Cara
Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah. Implikasinya bahwa RTRW
dari semua tingkatan (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) dapat direvisi
dengan dua pertimbangan, pertama, terjadi perubahan kebijakan nasional yang
mempengaruhi penataan ruang wilayah nasional; dan/atau kedua, terdapat
dinamika pembangunan nasional yang menuntut perlunya peninjauan kembali
dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Dari uraian permasalahan tersebut maka dalam perspektif Hukum Pancasila
dalam mencapai keadilan sosial (kesejahteraan rakyat) harus dibuat pembedaan
terhadap PSN, yaitu: (1)PSN yang secara langsung dinikmati rakyat yaitu
rumah,air,listrik dan sisanya (2)PSN yang tidak secara langsung dinikmati rakyat,
yaitu infrastruktur pendukung kehidupan rakyat.
22 Lihat kembali Daftar Proyek Strategis Nasional yang dilampirkan dalam Keppres Nomor 58/2017 sebagai hasil revisi daftar serupa dalam Keppres Nomor 3/2016, selain program Satu Juta Rumah (huruf I), Proyek Penyediaan Air Minum (huruf M.) dan Program Pem-bangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (huruf X.), infrastruktur selebihnya dalam huruf A hingga Y sifatnya tidak langsung menjadi kebutuhan dasar rakyat banyak atau sifatnya infrastruktur pendukung saja atas kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan.
SUPARJO SUJADI
21
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Dari pembedaan karakter PSN tersebut maka akan menjadi penentu implikasi
adanya perubahan (penyesuaian) RTRW dan perlakuan terhadap pemilik Hak atas
Tanah. Terhadap PSN yang secara langsung dinikmati rakyat, maka penyesuaian
RTRW seyogyanya dapat lebih fleksibel dan terbuka lebar dilakukan. Hal itu juga
perlakuan terhadap pemilik tanah yang tanahnya harus direlakan demi PSN yang akan
juga dinikmati langsung oleh rakyat sebagaimana dirinya sebagai pemilik tanah.23
Implikasi dari PSN yang tidak secara langsung dinikmati rakyat harus
dilakukan secara berbeda. Dalam hal penyesuaian RTRW harus dihitung lebih
rinci akibat dampak perubahan RTWR dalam ranah ekologis dan sosial rakyatnya.
Demikian pula perlakuan terhadap rakyat pemilik tanah yang notabene tidak
menjadi penikmat secara langsung infrastruktur PSN kategori ini.24
Dalam dinamika pembangunan fisik infrastruktur PSN akan menimbulkan
perbedaan nilai-nilai dan kepentingan dengan arah tujuan awal rencana tata ruang
sekaligus dengan harapan rakyat pemilik tanah. Sekalipun secara bersamaan
ketiganya mengarah pada satu titik ‘keadilan sosial’ sebagaimana proyeksi akhir
Pancasila dan Hukum Pancasila.
Hukum Pancasila yang memiliki sandaran nilai-nilai keselarasan antara
mannusia-alam semesta-Sang Pencipta menjadi perspektif landasan solusi dengan
mempertanyakan relevansi proyeksi PSN sebagai kebutuhan dasar rakyat sebagai
titik awalnya25 dan pembedaan dua jenis PSN dan implikasinya terhadap perubahan
RTRW dan perlakuan terhadap pemilik tanah yang terkena pembangunan PSN.
Adanya perubahan RTRW dan pengambilan tanah rakyat dalam rangka
mendukung PSN tentunya menimbulkan gangguan harmoni ekologis dan
23 Dalam PSN yang hasilnya langsung menjadi ‘jatah’ dimiliki rakyat implikasi perubahan RTRW harus diupayakan sesederhana mungkin dan mengikuti asas-asas di dalam UU No-mor 26 tahun 2007. Implikasi perolehan tanah dari pemiliknya pun demikian mengedepank-an musyawarah-mufakat dan menerapkan asas-asas di dalam UU Nomor 2 tahun 2012
24 Bagi PSN yang out-put nya tidak langsung dinikmati dan/atau menjadi milik pribadi rakyat maka perubahan RTRW dan perolehan tanahnya harus dihitung lebih mengingat sifat in-frastrukturnya lebih bersifat komersial mencari keuntungan jasa penyediaan infrastruktur. Perdebatan akan muncul diantara nilai-nilai kelestarian versus keuntungan finansial, nilai sosial versus bisnis
25 Lihat catatan kaki nomor 22 dalam hal kebutuhan dasar manusia tidak jauh dari kebutuhan yang langsung berkenaan dengan kebutuhan fisik dan spiritual manusia agar tetap hidup dan memenuhi kodratnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudi luhur sesuai aja-ran nilai-nilai Pancasila
22
gangguan sosiologis dan memperoleh restu Tuhan Yang Maha Esa. Gangguan
harmoni keduanya harus disadari menjadi tanggungjawab penyelenggara PSN
kepada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa dan memerlukan penanganan yang
proporsial taat aturan, taat asas dan taat tujuan keadilan sosial.
Hal itu harus dilakukan dengan mengutamakan asas musyawarah-mufakat
sebagaimana tatanan sila keempat Pancasila dan sudah ditetapkan dalam
UU Nomor 26 tahun 2007 bagi persoalan penyesuaian RTRW dan UU Nomor
2 tahun 2012 bagi persoalan perolehan tanah rakyat untuk keperluan PSN.
Musyawarah-mufakat dalam perspektif Hukum Pancasila seyogyanya juga harus
mempertimbangkan persatuan Indonesia yang tersusun dari bersatunya rahsa
manusia-manusia yang meletakkan harkat kemanusiaannya setelah dia mengenal
dirinya dan Tuhannya. Secara komperhensif seperti itulah PSN akan menghasilkan
tujuan dan hasil akhir kesejahteraan sosial sebagai manifestasi keadilan sosial sila
kelima Pancasila.
V. Penutup
Wasana kata sebagai penutup kajian ini menurut pendapat penulis bahwa
persoalan kesesuaian RTRW dan perlindungan hak atas tanah dalam konteks
program PSN menurut perspektif tatanan Hukum Indonesia (Hukum Pancasila)
dapat dipahami sebagai:
Pertama, terdapat kesenjangan pada sasaran PSN yang memiliki proyeksi
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan Daftar PSN yang terlampir di
dalam Perpres Nomor 3 tahun 2016 dan Perpres Nomor 52 tahun 2017.
Kedua, dari jenis proyek infrastruktur dalam Daftar PSN harus dibedakan yang
proyeknya dinikmati langsung dan menjadi hak milik rakyat dan tidak langsung
menjadi milik masyarakat. Pembedaan tersebut penting untuk membedakan kans
dan penghitungan perubahan RTRW dan perlakuan terhadap pemilik tanah yang
menjadi lokasi pembangunan PSN.
Ketiga, belum terwujudnya nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian (menjadi
acuan nilai pribadi) dan sebagai landasan filosofis negara (sumber segala sumber
hukum) yang ditampakkan dalam praktek perumusan kebijakan PSN dalam
SUPARJO SUJADI
23
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Perpres Nomor 3 tahun 2016 dan Perpres Nomor 52 tahun 2017. Hal itu akan
menentukan dan tercermin dalam tingkatan dan rentang keberhasilan tujuan PSN
memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Daftar Pustaka
Indonesia. (1). Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU
No.5 Tahun 1960. Lembaran Negara 1960 No.104 Tambahan Lembaran Negara
No. 2043
_______. (2). Undang-undang Tentang Penataan Ruang. UU No.26 Tahun 2007. Lem-
baran Negara tahun 2007 No. 68 Tambahan Lembaran Negara No. 4725
_______.(3). Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. PP No.
15 Tahun 2010. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103.
_______.(4). Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasi-
onal. Perpres No.3 tahun 2016. Lembaran Negara Tahun 2106 No.4
_______. (5). Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasi-
onal. Perpres No.58 tahun 2017. Lembaran Negara Tahun 2107 No.119
_______. (6). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Na-
sional Nomor 6 tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata
Ruang Wilayah. Berita Negara Tahun 2017 No.661
Justia US Law. “Campbell v. Alger (1999)”. https://law.justia.com/cases/califor-
nia/court-of-appeal/4th/71/200.html. diakses 1 November 2017
Maria Farida Indrati Soeprapto dan Hamid Attamimi. Ilmu Perundang-undangan 1 :
Jenis. Fungsi. dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007
Raymond Cooper. “Rights of Pre-Emption and the Rule Against Perpetuities”. http://
www.raymondcooper.co.uk/business-leases/rights-pre-emption-rule-perpe-
tuities/. diakses 1 November 2017
24
Sujadi. Suparjo “Permasalahan dan Hambatan Perolehan Tanah dalam Pembangu-
nan Infratruktur PSN (Perspektif Hukum Pancasila)”.Makalah sebagai urun
rembug pada Seminar Nasional dengan tema “Mengurai Hambatan Lahan
Dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional Sebagai Komit-
men Nawacita”. diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI). Jakarta
21 Desember 2016
Sujadi. Suparjo “Penguasaan atas Tanah Masyarakat Ulayat dan Desa (Sebuah
Perspektif Hukum Pancasila)”. dalam FGD “Eksistensi Tanah Ulayat. Hutan
Adat. dan Peta Desa Sebagai Sebuah Informasi Geospasial dan Pengelolaan
Ruang di Indonesia”. Kementrian Koordinator Perekonomian RI (Tim Per-
cepatan Kebijakan Satu Peta). Jakarta 7 Maret 2017
Suparjo. Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara dalam Poli-
tik Hukum Agraria Pascaproklamasi 1945 Hingga Pascareformasi 1998 (Kajian
Teori Keadilan Amartya Sen). Disertasi Program Doktor Pascasarjana FHUI.
Jakarta:Agustus 2014
Wiratraman. R. Herlambang P.” Peraturan Presiden Istilah. Wewenang. Materi dan
Penyusunannya”. Surabaya. 12 November 2015
Zuhriah. Dewi Aminatuz.” Proyek Strategis Nasional : Ini Tiga Hambatan Be-
sarnya”. dalam Bisnis Indonesia 7 Juli 2017. http://finansial.bisnis.com/
read/20170707/9/669321/proyek-strategis-nasional-ini-tiga-hambatan-be-
sarnya. diakses 20 November 2017
SUPARJO SUJADI
25
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
konteks Politik Hukum di balik PercePatan PenetaPan
Hutan adat: catatan ke araH transisi 2019
Oleh: Muki T. Wicaksono1 dan Malik2
Abstrak
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, tahapan baru bagi
masyarakat adat sebagai subjek pengelola hutan adat berdampak positif terhadap
transformasi pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya alam di Indonesia.
Konteks politik-hukum menjadi hal yang penting untuk dipahami secara historis
dan kontekstual dalam melihat beragam strategi yang dilakukan oleh NGO dalam
mendorong pengakuan bagi masyarakat adat di dalam kawasan hutan. Tulisan
ini muncul dari hasil observasi penulis selama kurun waktu 2015-2017 atas arah
advokasi NGO pegiat masyarakat adat di Indonesia dalam proses regularisasi
tentang hutan adat. Berfokus pada proses regularisasi sebagai proses sosial, tulisan
ini menelaah dinamika Pasca keluarnya Putusan MK 35 yang mengoreksi UU
No.41/1999 tentang kehutanan, yang kini memposisikan ‘hutan adat adalah
berada terpisah dari hutan negara’. Dengan memahami proses terbentuknya aturan
sebagai sebuah proses sosial, tulisan ini melihat sebuah produk hukum sebagai
dokumen yang hidup dan menghasilkan perubahan sosial dalam menempatkan
masyarakat adat sebagai subjek pengelola kawasan hutan. Berfokus pada 215
1 Penulis merupakan peneliti di Divisi Riset Sosial dan Ekonomi di Epistema Institute. Sejak tahun 2009 menekuni bidang antropologi di FISIP – Universitas Indonesia, dan melakukan beragam kajian tentang petani, masyarakat lokal, perubahan iklim, dan masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan melalui studi etnografi. (muki.wicaksono@epistema.or.id).
2 Penulis merupakan peneliti di Divisi Hukum dan Agraria di Epistema Institute sejak tahun 2013 dan telah menuliskan beragam kajian socio-legal, terkait aspek hukum adat, hutan adat dan masyarakat adat. Selain itu pengalamannya sebagai legal drafter dalam penyusu-nan produk hukum daerah tentang MHA menjadi refleksi yang digunakan dalam tulisan ini (malik@epistema.or.id).
26
produk hukum daerah tentang masyarakat adat selama kurun waktu 1979-2017,
dan proses penetapan hutan adat oleh Negara, tulisan ini menyimpulkan bahwa
pentingnya mendorong proses regularisasi dalam bentuk diskresi yang efektif
untuk mengisi kekosongan hukum pada upaya percepatan penetapan hutan adat
di Indonesia. Upaya tersebut telah dilakukan oleh NGO pegiat masyarakat adat
dengan melakukan sejumlah advokasi untuk mendorong kebijakan di tingkat
daerah, kementerian, hingga peraturan perundang-undangan di tingkat nasional.
Pada akhir bagian, tulisan ini memperlihatkan salah satu inisiatif NGO dalam
mewacanakan konsep Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM atau ICCAs)
sebagai salah satu strategi untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan
kawasan konservasi dengan cara yang berkelanjutan. Selain itu, momentum tahun
politik pilkada serentak di tahun 2018, dan Pilpres di tahun 2019, menjadi peluang
sekaligus tantangan untuk mendorong masyarakat adat sebagai subjek aktif
pengelola kawasan hutan.
Kata Kunci: Diskresi, Hutan Adat, Masyarakat Adat, NGO, Produk Hukum Daerah,
dan Proses Regularisasi
Abstract
After the released of Constitutional Court No.35/PUU-X/2012, a new step for
masyarakat adat (indigenous peoples), as an important actor for customary forest
management, have provided impact for transformation on forest and natural resources
management in Indonesia. Legal-politic context has become the important facet to be assess
in historical and contextual. It relates to identify various NGOs’ strategy in supporting
the recognition of masyarakat adat within state forest areas. This paper is based on
authors’ observation on NGOs advocacy who concern in legal recognition for adat land
in the period 2015-2017, its particularly in process of regularization on gazettement of
customary forests. By focusing on process of regularization as social process, this paper
is assessing on the dynamic after the enactment of Ruling No.35/2012 which resolved
misconceptions on Indonesia’s Forestry Law No.41/1999, and it revised to be ‘customary
forests are no longer a part of state forests but part of the titled forests’. By understanding
the process of regularization as social process, this paper want to see the legal product
as living document, and it generated social change in positioning masyarakat adat as
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
27
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
the main subject to manage forest areas. This paper focused on 215 regional legislation
product on masyarakat adat in the period 1979-2017, and it compares to the process of
gazettement of customary forest by State. This paper concluded that how important to
support process of regularization to produce discretion effectively to fill the legal gaps on
accelerating the gazettement of customary forests in Indonesia. This effort has conducted
by NGOs who support the recognition of masyarakat adat through several advocacy to
support policy at regional, ministry, until national regulations. At the end part, this paper
want to show one of initiative NGO in introducing approach on Indigenous Peoples and
Community Conservation Areas (ICCAs) as one of strategies to involve masyarakat adat
in managing conservation areas within sustainable ways. In addition, the political moment
in 2018-2019 will very important to take into account in this paper, while government of
Indonesia will prepare Regional Election for District and Provincial level, and Presidential
Election in 2019. It becomes opportunity and challenge to support masyarakat adat as the
main subject to manage forest areas.
Keywords: Customary Forests, Discretion, Masyarakat Adat, NGOs, Process of
Regularization, and Regional Legislation Products.
I. Latar belakang
“Dari 8,3 juta hektar, kemenangan yang sangat kecil (±17.000 hektar bagi
hutan adat) tetapi sangat berat, susahnya mencapai hak konstitusi bagi
masyarakat adat” – Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara Periode 2017-2022
Kutipan di atas merupakan pernyataan Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara) saat menyampaikan hasil Catatan Akhir Tahun lembaga
tersebut di tahun 2017. Capaian yang sangat sedikit dibandingkan dengan
realitas luas wilayah dan hutan adat di Indonesia. AMAN menjadi lembaga
yang konsisten dalam menyuarakan pengakuan terhadap masyarakat adat sejak
Kongres Masyarakat Adat Nasional (KMAN I) dilakukan pada tahun 1999. Saat
itu pernyataan ‘jika Negara tidak mengakui masyarakat adat, kami tidak akan
mengakui Negara’ menjadi pameo yang banyak disampaikan oleh komunitas
adat di Indonesia. Dalam suasana atmosfer demokrasi dan keterbukaan, Kongres
Masyarakat Adat pertama membentuk AMAN menjadi organisasi masyarakat
28
adat pertama di Indonesia. AMAN juga menjadi salah satu agensi yang mendorong
perubahan regulasi atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Bersama dengan
dua representasi masyarakat adat dari Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau; dan Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, AMAN
mengajukan permohonan uji materiil atas UU Kehutanan tersebut di Mahkamah
Konstitusi. Upaya tersebut menghasilkan tonggak baru arah advokasi masyarakat
adat pada ranah hukum dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/
PUU-X/2012 (kemudian disebut Putusan MK35).
Putusan MK 35 menjadi capaian progresif yang menyelesaikan miskonsepsi
dari penetapan kawasan hutan di Indonesia. Putusan MK 35 mengoreksi kekeliruan
UU Kehutanan, dengan memutuskan bahwa ‘hutan adat adalah bukan lagi
bagian dari hutan negara, tetapi merupakan bagian dari hutan hak’. Sebelumnya,
Pemerintah Indonesia hanya melihat hutan adat sebagai areal yang berada di dalam
hutan negara dengan mengacu pada UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Baik di
tingkat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, regularisasi kebijakan mengenai
masyarakat adat dan hutan adat terus mengalami perbaikan selama kurun
waktu 2012-2016. Namun, perlu waktu lebih dari tiga tahun untuk mewujudkan
pengakuan terhadap hutan adat di dalam kawasan hutan oleh Negara. Pada 30
Desember 2016, untuk pertama kali Pemerintah Indonesia mengakui 9 hutan adat
dengan total luasan 13.121,99 hektar. Progress tersebut semakin bertambah hingga
tahun 2017, terdapat 8 hutan adat yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia,
dan membuat total luas hutan adat yang diakui bertambah menjadi hampir 17.000
hektar.
Capaian tersebut muncul karena upaya jejaring masyarakat sipil untuk
mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi
arena diskresi yang efektif guna mempercepat penetapan hutan adat (lihat Safitri,
Berliani, dan Suwito, 2015). Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan, KLHK, menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P. 32/
Menlhk-Setjen/ 2015 tentang Hutan Hak yang menjadi salah satu dasar hukum
penetapan hutan adat, dan memberikan jawaban terhadap kebuntuan proses
pengakuan hutan adat di Indonesia (Malik, dkk, 2015). Permenlhk No.32/2015
juga menjadi wadah dalam mengakomodir sejumlah inisiatif pemerintah daerah
yang telah menerbitkan beragam produk hukum daerah tentang pengakuan
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
29
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
masyarakat adat dan penetapan wilayah serta hutan adatnya. Terlepas dari
capaian penetapan hutan adat di atas oleh pemerintah Indonesia, sejumlah literatur
telah memperlihatkan analisis atas pembelajaran dari penetapan Hutan Adat di
Indonesia.
Myrna Safitri (2016) dalam tulisannya Dividing the Land: Legal Gaps in the
Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas, memperlihatkan bahwa
terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pengakuan hutan
adat di Indonesia, khususnya Pasca Putusan MK 35. Ketiga faktor tersebut
terdiri dari: i) inkonsistensi hukum nasional terkait payung hukum pengakuan
masyarakat adat dan wilayahnya; ii) masih bertahannya pola pikir di antara
birokrat kehutanan yang memandang bahwa ‘kawasan hutan’ adalah hanya
hutan negara; dan iii) kuatnya motivasi politik-ekonomi di antara pemerintah
daerah untuk memprioritaskan alokasi lahan untuk investasi skala besar daripada
pengakuan wilayah adat. Selain itu, Arizona, dkk (2017) dalam Outlook Produk
Hukum Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat 2017 mengidentifikasi tiga model
pengakuan hutan adat yang menjadi pembelajaran penting dalam mendorong
pengakuan hutan adat, yakni: i) pengakuan hutan adat yang berasal dari bukan
kawasan hutan; ii) pengakuan hutan adat yang berasal dari kawasan hutan (negara);
dan iii) pengakuan melalui pencadangan untuk dijadikan sebagai hutan adat. Kedua
tulisan tersebut pada dasarnya melihat ragam faktor keberhasilan dan hambatan
dari diskresi penetapan hutan adat di Indonesia. Namun, kedua tulisan tersebut
belum memperlihatkan secara detail tentang dinamika dan kontestasi pada proses
regularisasi yang dimainkan juga oleh jejaring masyarakat sipil dalam menciptakan
perubahan terhadap: i) penetapan hutan adat; dan ii) pengelolaan kawasan hutan
di Indonesia.
Tulisan ini akan menyampaikan ide bahwa proses regularisasi merupakan
sebuah aktivitas yang terus berlanjut di dalam masyarakat (lihat Moore, 1983).
Proses regularisasi menjadi kategori penting di dalam menciptakan perubahan
pada masyarakat. Dengan memahami regularisasi sebagi sebuah proses (law as
process), tulisan ini berupaya melihat proses sosial yang membentuk sebuah aturan,
apa yang menyebabkan sejumlah perangkat hukum di tingkat nasional dan daerah
dapat mendukung atau menolak masyarakat adat sebagai pelaku pengelola
kawasan hutan yang berwawasan lingkungan? Bagaimana reinterpretasi dan
30
perubahan regulasi dapat terjadi untuk mewujudkan percepatan penetapan hutan
adat? Apa yang membuat jejaring masyarakat sipil berperan dalam mendorong
masyarakat adat sebagai subjek pengelola utama kawasan hutan3 (baca: hutan adat)
yang berwawasan lingkungan? Serta, bagaimana arena diskresi yang efektif dapat
juga dimunculkan bukan hanya dalam fase mendorong penetapan hutan adat,
tetapi juga mengisi agenda pasca penetapan hutan adat?
Tulisan ini juga dipersiapkan dalam momentum penting di akhir tahun
2017, dan memasuki tahun politik 2018, saat Pilkada serentak akan dilakukan.
Selain itu momentum ini juga menguji komitmen pemerintahan saat ini, sebelum
memasuki arena politik 2019 yang menjadi penghujung periode pemerintah
Jokowi-JK. Komitmen Pemerintahan Jokowi-JK terhadap isu hutan adat dalam
sembilan agenda pembangunan Nawa Cita menjadi tantangan yang harus dijawab
dengan sejumlah capaian penetapan hutan adat oleh Pemerintah Indonesia guna
mempertahankan konstituen presiden, yakni masyarakat adat. Tidak dipungkiri
posisi masyarakat adat dan isu pengakuan hutan adat adalah arena politik baik
di tingkat daerah dan nasional untuk memperoleh pengakuan secara hukum
dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Secara singkat tulisan ini dibagi
ke dalam tiga bagian. Pertama adalah telaah singkat atas produk hukum daerah
tentang pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan hutan adat hingga
periode 2017 untuk menunjukkan sejumlah catatan penting selama hampir lima
tahun keluarnya Putusan MK35. Bagian ini juga sekaligus memperlihatkan
perubahan dan progress terkait peningkatan jumlah produk hukum daerah
tentang masyarakat hukum adat dari tahun ke tahunnya; kedua adalah dinamika
politik-hukum dalam mewujudkan posisi masyarakat adat sebagai pelaku utama
pengelolaan kawasan hutan; dan ketiga adalah tantangan kedepan saat masyarakat
adat dihadapkan pada agenda pasca penetapan hutan adat.
3 Berdasarkan istilahnya, UU No.41/1999 tentang Kehutanan membedakan antara ‘hutan’ dan ‘kawasan hutan’ . ‘Hutan’ adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkun-gannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1, ayat 2); sedangkan ka-wasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai ‘hutan tetap’. Hutan tetap berarti hutan yang tidak dapat diubah untuk peruntukkan tanah lainnya. Hingga saat ini Pemerintahan Indo-nesia masih belum berhasil dalam menetapkan hutan tetap.Hal itu terjadi proses pengukuhan kawasan hutan tidak dilakukan dengan sempurna. Lihat Safitri, 2015. Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas. Halm. 35-37.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
31
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Studi tentang hukum yang dilakukan pada tulisan ini mengombinasikan
beberapa metode, bukan hanya menginterpretasi muatan dari 215 produk
hukum daerah, tetapi juga memperlihatkan refleksi penulis selama kurun waktu
2015-2017 saat arah advokasi hutan adat mulai membuahkan hasil. Refleksi
tersebut diperoleh dengan mengikuti sejumlah proses regulariasi dalam lingkup
penyusunan perundang-undangan terkait pengakuan Subjek Masyarakat Hukum
Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adat, serta Desa Adat; penyusunan Peraturan
Menteri terkait Hutan Adat, dan dialog bersama Pemerintah Daerah dalam
menyusun Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Bupati atau Walikota, dan
Gubernur tentang masyarakat hukum adat. Mengutip Sally Falk Moore (1978)
dalam Law as Process, studi antropologi telah memberikan kontribusi terhadap studi
tentang hukum, yakni memahami norma hukum dengan mengaitkannya pada
dimensi ‘waktu’ dan ‘konteks’. Menurut Moore, ada tiga hal dalam memahami
munculnya sebuah aturan, pertama adalah relasi dari aturan yang ada terhadap
faktor yang mendorong terbentuknya perilaku sosial; kedua adalah analisis historis
tentang peristiwa apa yang mendorong terbentuknya sebuah aturan dan menjadi
konsekuensi dari kondisi sebelumnya; ketiga adalah masalah konteks, jenis dan
tingkatan hubungan sistematis antara suatu aturan dengan beberapa bagian
lainnya dalam masyarakat secara sosio-kultural. Ketiga aspek tersebut merupakan
dasar dari persoalan kausalitas yang mendorong terbentuknya sebuah aturan
(Moore, 1978: 6-7).
II. Progress Regularisasi tentang Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan
MK 35: Dari produk hukum daerah hingga RUU Masyarakat Adat
Putusan MK 35 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 telah memberikan dampak
pada pembaruan hukum di tingkat nasional, serta mendorong hadirnya berbagai
produk hukum daerah mengenai masyarakat hukum adat. Setelah Putusan MK
35 terdapat 69 produk hukum daerah baru mengenai masyarakat hukum adat,
mulai dari pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, wilayah
adat, hutan adat, lembaga dan peradilan adat, serta desa adat (lihat Arizona, dkk,
2017). Sementara luas wilayah adat dari 15.199,16 hektar sebelum Putusan MK 35
menjadi 213.541,01 hektar. Artinya terjadi penambahan seluas 197.541,85 hektar
32
dalam tiga tahun (2014-2016), terdapat 65.847,28 hektar setiap tahunnya. Menurut
riset Epistema Institute tahun 2015-2017, meskipun telah banyak produk hukum
daerah mengenai masyarakat hukum adat, tetapi belum banyak wilayah adat yang
ditetapkan. Dari 215 produk hukum daerah tentang Masyarakat Hukum Adat yang
telah diterbitkan sepanjang kurun waktu 1979-2017, terdapat 57 produk hukum
daerah yang berkaitan dengan wilayah, tanah, hutan, dan sumber daya alam
yang dikelola oleh masyarakat adat.4 Namun, hanya 21 produk hukum daerah
yang menyebutkan luas dan menampilkan peta wilayah dengan keseluruhannya
mencapai 13.558,02 hektar. Hal ini penting diperhatikan agar pengakuan terhadap
masyarakat adat dan hak tradisionalnya bisa memiliki implikasi langsung terhadap
pengakuan dan perlindungan wilayah, tanah, dan hutan adat.
Dari tahun ke tahun, jumlah produk hukum daerah mengenai masyarakat
hukum adat terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tahun 1979-
1998; 5 produk hukum daerah, 1999-2008; 65, 2004-2012; 57, 2013-2016; 69, dan
tahun 2017; 12 produk hukum daerah. Jika dibandingkan materi muatan produk
hukum daerah sebelum dan Putusan MK 35, masing-masing lembaga adat,
peradilan adat, dan hukum adat 65,51%; 21,30%, keberadaan masyarakat adat dan
wilayah adat 8,6%; 17,25%, wilayah adat dan hutan adat 41,32%; 18,26%, desa adat
13,10%; 9,13%, dan lembaga pelaksanaan urusan masyarakat adat 1,1%; 4,6%.
Sebelum Putusan MK 35,5 wilayah adat yang ditetapkan melalui produk
hukum daerah hanya seluas 15.199,16 hektar dan hutan adat seluas 10.097,31
hektar. Setelah 3 tahun Putusan MK 35 luas wilayah adat bertambah menjadi
197.541,85 hektar dan hutan adat seluas 6.451,74 hektar. Sehingga sampai tahun
2016, luas wilayah adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah
seluas 212.741 hektar dan hutan adat seluas 16.549 hektar. Penetapan wilayah dan
hutan adat mengalami peningkatan 12 kali lipat. Hal ini menunjukan signifikansi
Putusan MK 35 dalam memperluas pengakuan terhadap wilayah dan hutan adat
melalui produk hukum daerah.
Dari sisi jumlah produk hukum, sejauh ini antara sebelum dan setelah putusan
MK 35 sama-sama terdapat 17 produk hukum daerah yang berisi mengenai
4 Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah Menge-nai Masyarakat Adat, (Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015), hlm 7.
5 Lihat Outlook Epistema 2017, hlm. 7.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
33
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
wilayah adat dan hutan adat yang ditandai dengan peta maupun penyebutan
luasnya. Namun, setelah Putusan MK 35, sebaran produk hukum daerah mengenai
wilayah dan hutan adat semakin bertambah dan luasannya juga meningkat sangat
signifikan di beberapa wilayah Indonesia.
Kontribusi masyarakat adat terhadap pengelolaan kawasan hutan adat yang
berwawasan lingkungan juga diakomodir oleh beberapa Pemerintah Daerah
melalui penerbitan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan identifikasi data Produk
Hukum Daerah selama kurun waktu 1979-2017, terdapat 53 Produk hukum daerah
yang memiliki muatan tentang aspek Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup di dalam wilayah dan hutan adat. REDD, Pengelolaan Hutan Adat, Hutan
Adat sebagai buffer zone dari Kawasan Konservasi, hingga model Konservasi
Kemitraan, menjadi beberapa muatan yang diatur di dalam produk hukum daerah
tersebut. Sejumlah bentuk pengetahuan lokal masyarakat dalam pengelolaan
kawasan hutan berbasis konservasi masyarakat adat diformulasikan di dalam
klausul pasal-pasal pada produk hukum daerah. Pasang ri Kajang di Hutan Adat
Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan; dan Tatali Paranti Karuhun di
Hutan Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten, merupakan beberapa ragam
pengetahuan lokal masyarakat adat yang diakomodir di dalam produk hukum
daerah untuk menjamin posisi mereka sebagai subjek utama pengelola hutan dan
sumber daya alam di dalam hutan adat.
Namun, tidak terjadinya harmonisasi antara produk hukum daerah tentang
masyarakat hukum adat dengan rezim undang-undang kehutanan saat ini, UU
No.41/1999, memperlihatkan masih adanya perdebatan bahwa apakah masyarakat
hukum adat dan hutan adatnya cukup diakui dan ditetapkan melalui ‘Peraturan
Daerah’ atau ‘produk hukum daerah’? Berdasarkan Pasal 67, ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, dan ayat (2), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memperlihatkan
bahwa ‘Peraturan Daerah’ menjadi satu-satunya mekanisme pengakuan eksistensi
masyarakat adat.
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan, melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, dan berhak
34
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan Peraturan Daerah”.6
Padahal dari 215 produk hukum daerah yang telah diterbitkan untuk
pengakuan MHA, penetapan wilayah adat, hutan adat, dan kampung adat atau
desa adat, tidak semua berupa peraturan daerah, tetapi terdapat juga 44 produk
hukum daerah berupa Keputusan Bupati, Keputusan Bersama, Keputusan Kepala
Desa, dan Peraturan Gubernur. Besarnya biaya dan waktu dalam mendorong
penerbitan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi kendala
yang dirasakan oleh masyarakat adat di Indonesia. Seperti Peraturan Daerah
Kabupaten Lebak No.8/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat Kasepuhan, setidaknya diperlukan waktu lebih dari tiga tahun untuk
memperoleh pengakuan secara legal dari Pemerintah Kabupaten Lebak, Banten.
Pasal 67, UU No.41/1999 tentang Kehutanan memang menjadi salah satu pasal
yang ditinjau kembali melalui Mahkamah Konstitusi, tetapi upaya tersebut tidak
dikabulkan di dalam Putusan MK 35. UU Kehutanan ini merupakan perundang-
undangan di bidang sumber daya alam yang paling sering dilakukan Judicial
Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga saat ini terdapat sembilan
kali JR terhadap UU Kehutanan ke MK, empat di antaranya dikabulkan oleh
MK, yaitu Putusan Perkara No. 34/PUU-IX/2011, Putusan Perkara No. 45/PUU-
IX/2011, Putusan Perkara No 35/PUU-X/2012, dan Putusan Perkara No. 95/PUU-
XII/2014.7
6 Lihat Pasal 67 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan ayat (2), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
7 Yance Arizona, Erasmus Cahyadi, dan Malik, Mengakhiri Rezim Kriminalisasi Kehutanan: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/Puu-XII/2014 Mengenai Pengujian Un-dang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, (Jakarta: Epistema Institute dan AMAN, 2015), hlm. 14-16.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
35
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Tabel 1. Ragam Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review terhadap
UU No.41/ 1999 tentang Kehutanan
NoNomor Putusan
Mahkamah Konstitusi
Pasal yang ditinjau
1 Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011
Pasal 4 ayat 3, menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penguasaan kawasan hutan oleh pemerintah tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sehingga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat hukum adat dan hak masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2 Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011
Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menjadi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Perubahan ini menyebabkan kawasan hutan yang baru selesai ditunjuk tidak memiliki legalitas sebagai kawasan hutan sampai selesai dilakukan seluruh tahapan pengukuhan kawasan hutan.
3 Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum Adat”. Akibatnya, pemerintah harus mengembalikan dan mengakui hutan adat yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.
4 Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014
Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan sebagai berikut “Setiap orang dilarang: e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;” Putusan ini mengakhiri kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan yang selama ini mengelola dan mempertahankan wilayahnya. Hal ini sejalan dengan Putusan MK No. 55/PUU-VII/2010 mengenai pengujian ketentuan pidana dalam UU Perkebunan. Putusan ini menyatakan bahwa dalam menghadapi konfik tenurial harus terlebih dahulu diselesaikan secara perdata daripada melakukan pendekatan represif melalui ketentuan pidana.
36
Arena Mahkamah Konstitusi menjadi ruang advokasi untuk proses
perubahan regulasi yang lebih mendukung bagi masyarakat adat khususnya
dalam pengelolaan kawasan hutan. Namun, tidak hanya melalui upaya judicial
review di dalam Mahkamah Konstitusi, tetapi juga upaya lobbying di tingkat
Kementerian/Lembaga dalam mendorong peraturan yang lebih operatif untuk
percepatan penetapan hutan adat di Indonesia. Berdasarkan pengamatan penulis,
Peraturan Menteri dan Peraturan Direktorat Jenderal menjadi dua bentuk aturan
paling operasional untuk mengakomodir inisiatif pemerintah daerah yang telah
menerbitkan produk hukum daerah tentang MHA, sekaligus mempercepat proses
penetapan hutan adat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi
institusi Negara yang paling proaktif dalam mendorong pengakuan masyarakat
adat dan penetapan hutan adat jika dibandingkan dengan kementerian lainnya.8
Selama kurun waktu 2015-2017, terdapat tiga Peraturan Menteri (Peraturan
Menteri LHK No.32/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri LHK No.
83/2016 tentang Perhutanan Sosial), Peraturan Menteri LHK No.34/2017 tentang
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Hidup yang juga mengatur praktik kearifan lokal dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Sumber Daya Genetik satu
Peraturan Direktorat Jenderal PSKL No.P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016 tentang
Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak, serta Rancangan Peraturan Direktorat
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK tentang Kemitraan
Konservasi yang akan diterbitkan di akhir tahun 2017 ini. Peraturan Menteri dan
Peraturan Direktorat Jenderal di KLHK tersebut merupakan beberapa diskresi
untuk menjawab kekosongan hukum di tengah upaya percepatan penetapan
hutan adat di Indonesia. Sebagai contoh, Peraturan ini menjadi produk hukum
Menteri yang melahirkan diskresi dengan menerima segala bentuk ‘Produk
Hukum Daerah’ di Kabupaten atau Provinsi untuk dapat digunakan sebagai dasar
dari pengakuan hutan adat di Indonesia.
8 Meskipun terdapat beberapa kementerian lainnya seperti Kementerian Dalam Negeri yang telah menerbitkan Permendagri No.52/tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlind-ungan Masyarakat Hukum Adat, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN juga telah menerbitkan Permen ATR No.10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Na-mun, belum ada satupun eksekusi secara nyata dari kedua peraturan tersebut yang dirasakan oleh masyarakat adat.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
37
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
2.1. Progress Penetapan Hutan Adat
Pada tingkat nasional terdapat 13.097,99 hektar hutan adat yang ditetapkan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 30 Desember 2016. Dengan
demikian terdapat 1.713,99 hektar atau 9,6% hutan adat9 yang ditetapkan melalui
produk hukum daerah yang ditindaklanjuti oleh Kementerian lingkungan Hidup
dan Kehutanan sekitar 5.700 Kepala Keluarga (KK). Genap 10 bulan pasca penetapan
hutan adat tepatnya tanggal 25 Oktober 2017, pemerintah kembali menetapkan
3,99210 hektar hutan adat, antara lain: (1) Hutan adat di Desa Marena, Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah seluas 1.161 hektar; (2) Hutan adat di
Desa Tapang Semedak, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat seluas 41 hektar; (3)
Hutan adat di Desa Juaq Asa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur seluas 49
hektar; (4) Hutan adat di Desa Batu Kerbau, Kabupaten Bungo seluas 323 dan 326
hektar; (5) Hutan adat di Desa Senamat Ulu, Kabupaten Bungo seluas 223 hektar;
(6) Hutan adat di Desa Baru Pelepat, Kabupaten Bungo seluas 245 dan 821 hektar;
(7) Hutan adat di Desa Ngaol, Kabupaten Merangin seluas 278 hektar; (8) Hutan
adat di Desa Merangin, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi seluas 525 hektar. Kini
kurang lebih terdapat 17.000 hektar hutan adat yang tersebar di beberapa wilayah
di Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut data Kementerian
Sosial tahun 201711, sebanyak 231.268 KK komunitas adat terpencil yang hidup di
Indonesia. Dari 231.268 KK, sebanyak 123.977 KK sudah diberdayakan melalui
penetapan hutan adat. Sedang 3.955 KK sedang diberdayakan. Sisanya belum
diberdayakan 123.336 KK.
Konsekuensi menarik lainnya dari proses penetapan hutan adat selama kurun
waktu 2016-2017 adalah perubahan status kawasan hutan dari ‘hutan negara’
menjadi ‘hutan adat’, ternyata memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk
menjadi subjek pengelola kawasan konservasi. Tiga hutan adat yang telah ditetapkan
yakni, Hutan Adat Kasepuhan Karang di dalam kawasan Taman Nasional Gunung
9 Ibid, Outlook Epistema 2017, hlm. 10.10 http://www.mongabay.co.id/2017/10/24/sembilan-komunitas-peroleh-penetapan-hutan-
adat/ diakses tanggal, 16 Oktober 2017.11 https://nasional.sindonews.com/read/1249146/15/123-ribu-keluarga-adat-terpencil-di-in-
donesia-hidup-terbelakang-1508231965 diakses tanggal, 16 Oktober 2017.
38
Halimun Salak, Hutan Adat Wana Posangke di dalam Cagar Alam Morowali, dan
Hutan Adat Marga Serampas di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat ,
berada di dalam kawasan konservasi. Perubahan status tersebut tidak serta merta
mengubah fungsi kawasan hutan sebagai areal konservasi. Penyesuaian zonasi
areal konservasi dilakukan oleh sejumlah birokrat Direktorat Jenderal KSDAE
untuk menyesuaikan perubahan status kawasan hutan tersebut.
2.2. Kontestasi Legislasi RUU Masyarakat Adat
Ragam jalur advokasi juga diikuti dengan upaya menyusun Rancangan
Undang-Undang tentang Masyarakat Adat di tingkat DPR. Salah satu draft
versi AMAN dan jejaring masyarakat sipil pegiat masyarakat adat mengusulkan
pembentukan Komisi Nasional Masyarakat Adat yang dibentuk oleh Presiden
di tingkat pusat. Komisi tersebut kemudian menjalankan 10 peran terkait
menjamin pengakuan hak masyarakat adat dan wilayahnya pada lebih dari dua
provinsi, penyelarasan kebijakan pembangunan baik di pusat dan daerah untuk
memerhatikan hak masyarakat adat, melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran
hak-hak masyarakat adat, mediasi konflik yang melibatkan masyarakat adat, dan
penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang melibatkan masyarakat
adat. Wacana mendorong Undang-Undang tentang Masyarakat Adat sebenarnya
telah muncul sejak tahun 2009, saat AMAN bersama beberapa NGO mendorong
pembentukan tim yang bekerja pada draft Rancangan Undang-Undang Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) (lihat Arizona
dan Cahyadi, 2013: 51). Namun, hingga akhir tahun 2017 belum ada progress
signifikan terkait pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat di tingkat DPR,
meski RUU tersebut telah masuk menjadi prolegnas di tahun 2017. Lambatnya
progress pembahasan RUU tentang Masyarakat Adat, sempat memunculkan rasa
pesimis dari AMAN terhadap komitmen Pemerintahan Jokowi-JK. Komitmen
RUU Masyarakat Adat merupakan salah satu agenda pembangunan Nawa
Cita Jokowi-JK saat di awal pemerintahannya. Bahkan AMAN berencana untuk
mencabut dukungan secara politik kepada Presiden Joko Widodo saat Pilpres
2019, jika komitmen tersebut tidak tercapai di penghujung periode pemerintahan
saat ini (lihat Catatan Akhir Tahun AMAN, 2017).
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
39
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Meskipun demikian, beragam upaya dari proses regularisasi yang dilakukan
di tingkat daerah, kementerian/lembaga, hingga nasional, ragam jalur advokasi
gerakan masyarakat sipil untuk mendorong pengakuan terhadap masyarakat
adat dan wilayah serta hutan adatnya telah membuahkan hasil. Isu pengakuan
masyarakat adat tidak hanya sebatas pengakuan akan subjeknya, tetapi juga
direplikasi ke dalam beragam opsi hukum terkait pengakuan wilayah adat-hutan
adat, desa adat, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat sebagai hak
warga negara, dan hak komunal. Tidak dipungkiri bahwa dalam proses advokasi
penetapan hutan adat, tidak ada cara tunggal untuk mendorong kehadiran Negara
dalam menjamin hak bagi masyarakat adat. Dari kondisi tersebut, peran organisasi
masyarakat sipil sangat signifikan dalam melakukan replikasi ke dalam beragam
opsi pengakuan bagi masyarakat adat untuk menjadi loncatan ke arah pengakuan
hutan adat di Indonesia. Bagaimana replikasi tersebut dapat terjadi? Dan bagaimana
upaya percepatan pengakuan terhadap hutan adat tetap juga memastikan posisi
masyarakat adat sebagai subjek yang tepat dalam mengelola kawasan hutan secara
berwawasan lingkungan? Bagian selanjutnya akan menelaah dinamika politik-
hukum posisi masyarakat adat sebagai salah satu subjek pengelola kawasan hutan
di Indonesia.
III. Dinamika Politik-Hukum Posisi Masyarakat Adat sebagai Subjek
Pengelola Kawasan Hutan di Indonesia
Tahun 2017 menjadi momentum berarti bukan hanya terdapat pertambahan
luas hutan adat yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga tahun 2017
terdapat ruang-ruang yang terbuka antara pemangku kebijakan untuk bersinergi
dengan NGO dan masyarakat adat dalam mempercepat penetapan hutan adat
di Indonesia. Sinergi tersebut terbuka dengan masuknya sejumlah aktor-aktor
NGO di dalam diskusi perencanaan kebijakan Negara di tingkat Kementerian/
Lembaga hingga masuk ke dalam arena politik daerah dengan menjadi salah
satu kandidat Gubernur atau Bupati, serta menjadi Tim Ahli di dalam Kantor Staf
Kepresidenan (KSP).
Jauh sebelum capaian progress advokasi penetapan hutan adat ini, sebenarnya
telah terdapat tiga rezim perundang-undangan yang menempatkan masyarakat adat
40
sebagai subjek pengelola kawasan hutan sumber daya alam. Produk perundangan
tersebut terdiri dari: i) UU No.41/1999 tentang Kehutanan; ii) UU No.32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH); dan (iii) UU
No.27 tahun 2008 jo. UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) (lihat Safitri, dkk, 2015; Uliyah, Wicaksono, Safitri,
2017). Pasca Putusan MK35 di tahun 2013, beberapa pasal di dalam UU Kehutanan
telah mengalami perubahan, seperti Pasal 1 angka 6 yang sebelum putusan MK35
berisi “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”, menjadi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”. Kedua, UU PPLH selanjutnya menuangkan beberapa
asas kearifan lokal yang memperhatikan nilai-nilai luhur dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan pada Pasal 10 huruf (d) menjadikan dasar
‘hak ulayat’ dalam setiap penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup baik oleh Menteri di bidang PPLH, gubernur atau bupati/
walikota (lihat Uliyah, Wicaksono, dan Safitri, 2017).
Tidak hanya pada sektor kehutanan, tetapi juga sektor wilayah pesisir
melalui UU PWP3K telah mengakui posisi MHA sebagai salah satu kategori yang
mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1, angka 34 dan angka
35, UU No. 1 Tahun 2014). Dengan demikian, MHA mempunyai wewenang
untuk memanfaatkan dengan menerapkan hak ulayat laut mereka, tetapi tetap
harus tunduk pada kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan mengenai UU PWP3K ini penting untuk pengakuan terhadap
penguasaan MHA atas hutan-hutan mangrove di wilayah pesisir ataupun
kawasan hutan yang ada di pulau-pulau kecil.12 Dengan demikian, konteks hutan
adat seharusnya tidak sekadar mengacu pada UU Kehutanan, tetapi juga merujuk
UU PWP3K. Hal itu juga seharusnya berlaku di dalam rancangan UU Konservasi
Keanekaragaman Hayati yang kini masuk menjadi salah satu agenda prolegnas
di DPR.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
41
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
IV. Memperluas konteks pengakuan hutan adat di dalam kawasan
konservasi
Agenda menempatkan masyarakat adat sebagai subjek pengelola kawasan
hutan juga dilakukan dengan mengenalkan konsep Kawasan Konservasi
Masyarakat Adat ke dalam kebijakan negara. KKMA muncul sebagai wacana yang
disampaikan secara global melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention
on Biological Diversity) yang telah mengakui Areal Konservasi Kelola Masyarakat
(AKKM atau ICCAs). Secara definisi AKKM adalah bentuk pengakuan terhadap
praktik konservasi oleh masyarakat yang terdiri dari 3 (tiga) aspek yang tidak
bisa dipisahkan, yakni: lingkungan dan konservasi, budaya, dan ekonomi mata
pencahariaan (Eghenter, 2016:13). Working Group ICCAs (Indigenous Peoples’ and
Community Conserved Territories and Areas) Indonesia memainkan peran dalam
mengkampanyekan konsep KKMA dengan kolaborasi antara NGO pegiat
masyarakat adat dan WWF pasca dilaksanakan Simposium mengenai ICCA di
CIFOR, Bogor (Eghenter, 2017). Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang masuk
ke dalam WGII tersebut berperan sebagai Koordinator konsorsium WGII. Melalui
data spasial BRWA menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 6,28 juta hektar dari
total 9,3 juta luas wilayah adat yang telah dipetakan, bertumpang tindih dengan
kawasan hutan. 1,6 juta wilayah adat tersebut di antaranya berlokasi di kawasan
konservasi (Widodo, 2016:9).
Secara perlahan inisiatif yang muncul dari peran WGII berupa 9,3 juta hektar
wilayah adat yang dipetakan diakomodir oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, serta Badan Informasi Geospasial (BIG). BIG dengan mengacu
pada Peraturan Presiden No. 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan
Satu Peta, telah mengakomodir dengan menginisiasi penyusunan standar
pelibatan masyarakat adat dalam: i) membuat; dan ii) memverifikasi dan validasi
peta wilayah adat untuk penetapan wilayah adat di seluruh Indonesia. Inisiasi
tersebut dilakukan pasca dilakukan rapat koordinasi yang dimotori oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya, bersama Kemen ATR,
Kemendagri, dan BIG, guna percepatan penetapan hutan adat di Indonesia.
12 Lihat Myrna Safitri, H. Berliani dan Suwito. “Penetapan Hutan Adat: Interpretasi Hukum dan Diskresi,” dalam Partnership Policy Paper No. 7/2015. (Jakarta: Kemitraan). Halm. 12-13.
42
28 Desember 2017 juga sekaligus menutup capaian akhir tahun dalam
mereplikasi pengakuan hutan adat di dalam kawasan konservasi. Setelah sekian
lama masyarakat adat menjadi subjek yang selalu dikriminalisasi di dalam
kawasan konservasi, upaya menempatkan masyarakat adat sebagai pelaku
konservasi dilakukan dengan merancang satu Perdirjen tentang Konservasi
Kemitraan. Melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem (KSDAE), KLHK, draft Peraturan Dirjen KSDAE tentang Konservasi
Kemitraan dirancang untuk menempatkan Kawasan Konservasi Masyarakat
Adat sebagai salah satu klausul yang diatur untuk mendorong model konservasi
yang lebih inklusif dengan melibatkan aktor lain selain Negara sebagai
pengelola kawasan konservasi. KKMA mengutip istilah yang digunakan oleh
Dirjen KSDAE, Ir. Wiratno, merupakan salah satu ‘Cara Baru Kelola Kawasan
Konservasi’ yang mempertimbangkan prinsip–prinsip penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia. Berbagai permasalahan yang menyangkut hubungan
masyarakat atau masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi
diselesaikan melalui pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog. Biaya
untuk menjaga kawasan konservasi juga dapat dikelola secara efektif saat petugas
kawasan konservasi dapat menjaga wilayahnya bersama-sama masyarakat adat.
Beberapa kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Lebak
Banten, memperlihatkan dari satu resort Gunung Bongkok yang tersebar di 11
desa seluas 6.000 hektar hanya dijaga oleh 12 petugas Taman Nasional. Padahal,
sejumlah inisiatif dari Masyarakat Adat Kasepuhan telah memberlakukan ronda
leuweung (patroli hutan) untuk memastikan kawasan konservasi TNGHSaman
dari perambah kayu illegal.
Inisiatif masyarakat adat kasepuhan tersebut hanya menjadi satu contoh
dari Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi. Cara baru yang dilakukan melalui
pelibatan masyarakat di ± 5.860 Desa yang berada di pinggir atau di dalam
kawasan konservasi seluas 27,2 Juta Ha. Upaya ini sekaligus memperlihatkan
keseriusan Negara dalam merespons dua isu pada kawasan konservasi: i)
kriminalisasi masyarakat adat dalam kawasan hutan; dan ii) jaminan akses kelola
masyarakat adat di dalam konservasi yang lebih inklusif. Masyarakat diposisikan
sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan,
pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil Hutan
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
43
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, penjagaan kawasan,
restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, budidaya dan penangkaran satwa.
Beragam upaya di atas menjadi sejumlah perubahan yang terjadi dalam
sektor peraturan untuk mendorong masyarakat adat sebagai salah satu subjek
pengelola kawasan hutan kedepannya. Tidak dipungkiri, bahwa isu masyarakat
adat dan hutan adat menjadi persoalan politik, saat pemerintah Jokowi-JK telah
menyebutkan bahwa jumlah luas hutan adat yang akan diverifikasi dan ditetapkan
seluas 5.080.000 hektar dalam Nawa Cita yang telah diadopsi ke dalam RPJMN
periode 2015-2019 (Catatan Akhir Tahun AMAN, 2017). Bagi Pemerintahan
Jokowi-JK saat ini, diperlukan ragam cara untuk mempercepat pengakuan hutan
adat guna mencapai target tersebut di penghujung masa pemerintahannya. Upaya
kolaborasi bersama jejaring masyarakat sipil dan masyarakat adat menjadi satu-
satunya cara yang dapat dilakukan untuk merancang proses penetapan hutan adat
yang lebih inklusif hingga akhir tahun 2019.
V. Kesimpulan dan Tantangan Kedepan bagi Gerakan Advokasi Hutan
Adat
Jalan panjang pengakuan masyarakat adat di Indonesia telah memberikan
beragam pelajaran untuk memperbaiki pengelolaan kawasan hutan. Mahalnya
proses regulasisasi pengakuan masyarakat adat dan penetapan hutan adat melalui
Peraturan Daerah telah disiasati dengan beragam proses regularisasi untuk
menghasilkan diskresi yang efektif guna percepatan hutan adat di Indonesia.
Namun, apa yang perlu diperhitungkan untuk memperkuat prospek pengelolaan
kawasan hutan berbasis masyarakat adat di masa depan?
Secara kelembagaan, khususnya dalam mendorong RUU Masyarakat Adat,
tantangan Indonesia saat ini adalah bagaimana memitigasi kesewenangan dalam
kekuasaan pada organisasi yang dibentuk untuk mendukung masyarakat adat
dan apa bentuk organisasi serta mekanisme yang dapat meyakinkan bentuk
efektif pada proses pengakuan dan perlindungan keragaman masyarakat adat di
Indonesia. Kedua, dalam persoalan politik anggaran, dari sekian jalur pengakuan
MHA itu tidak diikuti dengan anggaran yang memadai. Sehingga tidak
jarang implementasi dari pengakuan tersebut menjadi terhambat. Keseriusan
44
pemerintah dalam menetapkan hutan adat hingga saat ini masih sangat minim.
Salah satunya, anggaran untuk identifikasi, verifikasi, dan penetapan hutan adat
di tahun 2018 hanya Rp. 1 miliar. Hal tersebut terlihat dalam pagu indikatif 2018
untuk diajukan dalam RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
2018. Besar anggaran terus menurun, dimana tahun 2016 Rp. 1,7 miliar dan tahun
2017 Rp. 1,4 miliar.13 Bagaimana bisa percepatan penetapan hutan adat dapat
tercapai jika tidak didukung oleh persiapan politik anggaran yang kuat? Ketiga,
dalam aspek legislasi, bahwa masih terdapat pekerjaan rumah berupa sekitar 32
rancangan peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat yang masih belum
terselesaikan, serta RUU Masyarakat Adat yang belum disahkan menjadi undang-
undang hingga penghujung tahun 2017. Sinergi seperti yang telah diinisiatifkan
oleh jejaring masyarakat sipil pada WG ICCAs Indonesia dapat menjadi contoh
bahwa pentingnya kerja secara kolaborasi untuk mendorong sebuah produk
hukum guna memberikan kepastian bagi arah pengakuan masyarakat adat.
Hal itu penting untuk diperhitungkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK, jika masih
ingin mempertahankan masyarakat adat sebagai salah satu konstituennya dalam
Pilpres 2019.
13 Roy Salam Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Anggaran Minim, Program DIpertanyakan, (Kompas: Jumat, 14 Juli 2017).
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
45
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Daftar Pustaka
Arizona, Yance, Cahyadi, Erasmus dan Malik. 2015. “Mengakhiri Rezim Kriminalisasi
Kehutanan: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/Puu-XII/2014
Mengenai Pengujian Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan,” Jakarta: Epistema Institute dan AMAN 2015.
Arizona, Yance, Malik, Ishimora L. Irene. 2017. “Pengakuan Hukum Terhadap
Masyarakat Adat: Trend Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK
35/PUU-X/2012,” Jakarta: Epistema Institute 2017.
Arizona, Yance., and Cahyadi, Erasmus 2013. ‘The Revival of Indigenous Peoples:
Contestations over Special Legislation on Masyarakat Adat’, in Hauser-Schȁublin,
Brigitta (Ed). Adat and Indigeneity in Indonesia: Culture and Entitlements between
Heteronomy and Self-Ascription. Gottingen University Press: p.43-62.
Arumingtyas, Lusia. Pemerintah Tetapkan Lagi sembilan Hutan Adat, http://www.
mongabay.co.id/2017/10/24/sembilan-komunitas-peroleh-penetapan-hutan-
adat/, diakses tanggal, 16 Oktober 2017.
Eghenter, C. 2016. ‘Catatan AKKM dan Jasa Ekosistem’ dalam Tinjauan Kritis Atas
RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Bogor: Working Group
ICCAs Indonesia.
Eghenter, C. 2017. Tenure Rights in Conservation Areas: Recognition and Role of
Indigenous Peoples and Local Communities. Tulisan dipersiapkan dalam diskusi
Panel 5 tentang Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi, Pra-Konferensi
Tenure, Oktober 2017.
Kurniawan, Hasan. 123 Ribu Keluarga Adat Terpencil di Indonesia Hidup Terbelakang,
https://nasional.sindonews.com/read/1249146/15/123-ribu-keluarga-adat-
terpencil-di-indonesia-hidup-terbelakang-1508231965, diakses tanggal, 16
Oktober 2017.
46
Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. 2015. “Analisis Trend Produk Hukum
Daerah Mengenai Masyarakat Adat,” Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol.
01/2015.
Moore, Sally F. 1983. Law as Process: An anthropological approach. London: Routledge.
Safitri, Myrna. 2015. ‘Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of
Customary Land in Indonesian Forest Areas’ in Kasarinlan: Philippine Journal of
Third World Studies 2015-16 30 (2)-31 (1): p.31-48.
Safitri, Myrna. 2015. Indigenous peoples in ASEAN: Indonesia. Chiang Mai: AIPP
Foundation.
Safitri, Myrna., Berliani, H., dan Suwito. 2015. “Penetapan Hutan Adat: Interpretasi
Hukum dan Diskresi,” Partnership Policy Paper No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan
Uliyah, L., Wicaksono, M.T., dan Safitri, M. 2017. Kontinuitas dan Transformasi
Hukum Adat di Tengah Kebutuhan Hukum Konservasi Keanekaragaman Hayati
di Indonesia. Jakarta: Winrock Internasional. Inpress. Tulisan dipersiapkan
sebagai materi ‘Konservasi dan Masyarakat Hukum Adat’ pembahasan RUU
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Widodo, Kasmita. 2015. ‘Pengakuan AKKM dalam Kawasan Konservasi’ dalam
Tinjauan Kritis Atas RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.
Bogor: Working Group ICCAs Indonesia.
MUKI T. WICAKSONO dan MALIK
47
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
analisis terHadaP sertifikasi minyak kelaPa sawit
berkelanJutan sebagai instrumen Penaatan Hukum
lingkungan
Oleh: Fadhil Muhammad Indrapraja1
Abstrak
Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang digunakan untuk berbagai
macam produk, seperti minyak goreng, margarin, kosmetik, dan bahan bakar
hayati. Didorong oleh tuntutan global, permintaan pasar terhadap minyak kelapa
sawit di berbagai belahan dunia membuat kelapa sawit menjadi sumber minyak
nabati terbesar. Perkembangan produksi minyak kelapa sawit tersebut memberikan
dampak ekonomi yang positif. Kendati demikian, perkembangan produksi minyak
kelapa sawit juga berdampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut
adalah dengan menerapkan standar minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui
sistem sertifikasi. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji secara normatif tiga
sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, yaitu Sertifikasi Roundtable
on Sustainable Palm Oil, Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil, dan Sertifikasi
Malaysian Sustainable Palm Oil sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.
Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa ketiga sistem sertifikasi
tersebut belum optimal sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Untuk
itu, ketiga sistem sertifikasi tersebut perlu disempurnakan.
Kata kunci: Berkelanjutan, minyak kelapa sawit, sertifikasi lingkungan
1 Penulis adalah lulusan hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi di surel fadhilindrapraja@gmail.com.
48
Abstract
Palm oil is an important commodity that is used for various products, such as cooking
oil, margarine, cosmetics, and biofuel. Driven by global demands, market demand for palm
oil in many parts of the world makes oil palm the highest yielding source of vegetable oil. The
expansion of palm oil production plays an important role in providing positive economic
impact. Nevertheless, the expansion of palm oil production also has negative impact socially
and environmentally. One of the efforts needed to achieve sustainable palm oil production
is to apply sustainable palm oil standards through a certification system. This thesis tries to
study normatively three certification systems of palm oil, namely Roundtable on Sustainable
Palm Oil Certification, Indonesian Sustainable Palm Oil Certification, and Malaysian
Sustainable Palm Oil Certification as an environmental law compliance instrument. The
result of this research shows us that the three certification systems are not yet optimal.
Therefore, that three certification systems need to be revised.
Keywords: environmental certification, palm oil, sustainability
I. Pendahuluan
Pada awal keberadaannya di Indonesia, kelapa sawit hanyalah tumbuhan
hias yang menjadi koleksi di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit baru dibudidayakan
dalam bentuk usaha perkebunan pada tahun 1875 oleh perusahaan asal Belanda
yang bernama Deli Maatschappij.2 Pada saat itu, produksi kelapa sawit di Indonesia
cukup memuaskan dan memiliki kualitas lebih baik daripada hasil produksi di
Afrika Barat, habitat asal kelapa sawit.3 Sejak saat itu, industri kelapa sawit nasional
terus berkembang hingga menjadikan tanaman kelapa sawit menjadi sumber
minyak nabati terbesar di dunia. Dalam hal ini, sejak tahun 2006 Indonesia berhasil
mengungguli dominasi Malaysia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit
terbesar di dunia. Padahal, Malaysia telah lebih dulu mengembangkan komoditas
kelapa sawit.
2 Bungaran Saragih, Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global, ed. 2 (Bogor: PASPI, 2016), hlm. 1.
3 Ibid.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
49
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, industri minyak
kelapa sawit Indonesia berperan strategis bagi perekonomian nasional dan global.
Merujuk pada produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2016, Menteri
Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani mengatakan “kontribusi ekspor sawit
mencapai US$ 17,8 miliar atau senilai Rp. 231,4 triliun dengan penyerapan tenaga
kerja mencapai 5,6 juta orang, yang berarti industri sawit merupakan sektor penting
untuk dijaga keberlangsungannya.”4 Selain itu, menurut Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pengembangan industri produksi minyak kelapa
sawit mayoritas dilakukan di wilayah pedesaan, sehingga berdampak positif
dalam mendorong pembangunan wilayah pedesaan. Hal ini merupakan upaya
yang tepat untuk mengurangi tingkat kemiskinan penduduk Indonesia karena
mayoritas penduduk miskin di Indonesia berada di wilayah pedesaan. Hingga
tahun 2013 paling tidak terdapat lima puluh kawasan pedesaan terbelakang atau
terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis
sentra produksi minyak kelapa sawit.5
Kendati berkontribusi positif bagi perekonomian, perkembangan produksi
kelapa sawit juga berdampak negatif bagi lingkungan dan kehidupan sosial.
Berbagai investigasi menemukan bukti-bukti yang menunjukkan permasalahan-
permasalahan lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh aktivitas industri
minyak kelapa sawit. Menurut catatan Forest Watch Indonesia, dalam periode 2009
- 2013 Indonesia kehilangan hutan alam seluas 515,9 ribu hektar akibat alih fungsi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.6 Deforestasi yang terjadi menimbulkan
berbagai permasalahan lingkungan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati,
banjir, kekeringan, longsor, dan perubahan iklim.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga dilakukan di lahan gambut. Pada
tahun 2014 terdapat 429.587 hektar tutupan hutan di lahan gambut yang sudah
4 Tempo, “Sri Mulyani Minta Industri Sawit Sumbang Pendapatan Negara,” https://m.tempo.co/read/news/2017/02/02/090842383/sri-mulyani-minta-industri-sawit-sumbang-pendapatan-negara, diakses tanggal 27 Maret 2017.
5 Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, “Industri Minyak Sawit Indonesia Merupakan Industri Strategis Nasional,” https://gapki.id/industri-minyak-sawit-merupakan-industri-strategis-nasional/#more-1860, diakses tanggal 31 Maret 2017.
6 Forest Watch Indonesia, Enam Tahun ISPO Kajian Terkait Penguatan Instrumen ISPO dalam Merespon Dampak-dampak Negatif Seperti Deforestasi, Kerusakan Ekosistem Gambut, Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Konflik Tenurial (Bogor: Forest Watch Indonesia, 2017), hlm. 33.
50
dibebani izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit.7 Penanaman kelapa sawit
di lahan gambut mengakibatkan lahan gambut kehilangan fungsinya untuk
menyimpan karbon dioksida dan tempat berkembangnya berbagai macam flora
dan fauna.
Kemudian, merujuk laporan yang dibuat oleh Amnesty International terdapat
bukti keterlibatan pekerja anak di perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh
dua anak perusahaan Wilmar (PT. Daya Labuhan Indah dan PT. Milano) dan
tiga pemasok Wilmar (PT Abdi Budi Mulia, PT Sarana Prima Multi Niaga, dan
PT Hamparan).8 Padahal, pekerjaan di perkebunan kelapa sawit tergolong
berat dan beresiko terhadap kesehatan anak. Paling tidak terdapat dua undang-
undang yang melarang anak untuk bekerja berat, yakni Undang-undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi alasan dari munculnya
beragam kampanye untuk mendorong masyarakat menghentikan konsumsi
produk-produk minyak kelapa sawit. Pada bulan Juni tahun 2015, Menteri Ekologi
Prancis, Segolene Royal menyeru masyarakat untuk menghentikan konsumsi
produk Nutella karena mengandung minyak kelapa sawit. Ia mengatakan “we
have to replant a lot of trees because there is massive deforestation that also leads to global
warming. We should stop eating Nutella, for example, because it’s made with palm oil.9
Tidak terbatas pada seruan tersebut, Pemerintah Prancis juga merumuskan
kebijakan pajak progresif impor minyak kelapa sawit. Pada tanggal 4 April 2017,
Parlemen Uni Eropa juga telah mengesahkan European Parliament Resolution on
Palm Oil and Deforestation of Rainforests10 yang dalam mukadimahnya mengakui
bahwa industri produksi minyak kelapa sawit merupakan penyebab berbagai
masalah lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Atas dasar maraknya
permasalahan yang mucul serta kewajiban untuk merespon kampanye-kampanye
7 Ibid., Hlm. 39.8 Amnesty International, Skandal Besar Minyak Kelapa Sawit: Pelanggaran Ketenagakerjaan di
Belakang Nama-nama Merek Besar (London: Amnesty International Ltd., 2016), hlm. 5.9 Justin Worland, “Why The French Ecology Minister Just Said We Should Stop Eating Nutella,”
http://time.com/3924050/french-ecology-minister-nutella/, diakses tanggal 26 Mei 2017.10 Parlemen Uni Eropa, Resolution 2222 (2016), 4 April 2017, butir 47.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
51
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
negatif terhadap minyak kelapa sawit muncul kebutuhan untuk memastikan
penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Kebutuhan
tersebut berupaya dipenuhi dengan menerapkan sistem sertifikasi. Sistem
sertifikasi ini diharapkan dapat mendorong pelaku industri minyak kelapa sawit
untuk menerapkan prinsip dan kriteria produksi minyak kelapa sawit yang dapat
menyerasikan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Terdapat tiga sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, yakni
Sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Sertifikasi Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
Dalam perkembangannya, ketiga sistem sertifikasi ini dianggap belum mampu
untuk memastikan penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan.
Hal ini terbukti dengan masih ditemukannya permasalahan lingkungan dan sosial
yang disebabkan aktivitas industri minyak kelapa sawit.
Dalam European Parliament Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforests
disebutkan bahwa salah satu rekomendasi yang termuat dalam resolusi tersebut
ialah meminta Komisi Uni Eropa untuk meningkatkan penelusuran (traceability)
dari produk minyak kelapa sawit yang diimpor oleh Uni Eropa, hingga sistem
sertifikasi tunggal produksi minyak kelapa sawit diterapkan.11 Parlemen Uni
Eropa meminta Komisi Uni Eropa untuk membentuk sistem sertifikasi tunggal
minyak kelapa sawit yang dapat memastikan bahwa produk minyak kelapa sawit
yang diimpor oleh Uni Eropa telah diproduksi secara berkelanjutan. Kondisi ini
mengindikasikan adanya keraguan pada sistem Sertifikasi RSPO, Sertifikasi ISPO,
dan Sertifikasi MSPO.
Berdasarkan persoalan tersebut, tulisan ini akan menganalisis ketiga sistem
sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum
lingkungan. Analisis akan didahului dengan latar belakang sertifikasi minyak kelapa
sawit. Kemudian, akan dipaparkan secara singkat mengenai munculnya kesadaran
akan lingkungan dan perkembangan instrumen penaatan hukum lingkungan.
Paparan ini bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami konsep sertifikasi
lingkungan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Setelah itu, akan
diulas konsep sertifikasi lingkungan dan penerapannya pada industri minyak
11 Ibid., butir 47.
52
kelapa sawit berkelanjutan. Tulisan ini akan ditutup dengan usulan-usulan yang
terkait dengan upaya untuk menyempurnakan sertifikasi minyak kelapa sawit
berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.
II. Kesadaran Lingkungan dan Perkembangan Instrumen Penaatan
Hukum Lingkungan
Sebelum masuk pada pembahasan inti, penting untuk mengetahui awal
mula lahirnya kesadaran lingkungan yang kemudian diikuti oleh perkembangan
instrumen-instrumen penaatan hukum lingkungan.
Perhatian negara-negara di dunia terhadap isu lingkungan didorong
oleh ketidakteraturan alam yang semakin marak menghadirkan bencana.
Ketidakteraturan tersebut merupakan akibat ulah manusia yang memanfaatkan
lingkungan secara serampangan. Kondisi ini tidak terlepas dari perubahan
pola kehidupan manusia yang mulanya bersifat tradisional menjadi mekanisasi
paska era revolusi industri. Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan
yang terpadu dengan lingkungannya.12 Kesatuan yang terpadu dapat dimaknai
bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan saling membutuhkan.
Ketika manusia mencoba untuk menguasai lingkungan, maka lingkungan akan
menghadirkan bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Kesadaran dan kepentingan untuk menentukan tata susunan lingkungan
di tengah kebutuhan pembangunan menuntut hadirnya hukum yang mengatur
tatanan lingkungan. Dalam perkembangannya, paling tidak terdapat tiga
pendekatan yang dilakukan untuk mencapai penaatan hukum lingkungan, yakni
melalui pendekatan atur dan awasi (command and control), instrumen ekonomi, dan
penaatan sukarela.
a. Pendekatan Atur dan Awasi
Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai upaya penaatan hukum lingkungan
generasi pertama. Pada awalnya, masyarakat mempunyai akses bebas pada
sumber daya alam. Masyarakat juga berpandangan bahwa jumlah sumber daya
12 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 43.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
53
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
alam tidak terbatas, sehingga setiap individu berusaha meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya.13 Peningkatan kuantitas manusia beserta kebutuhannya
mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara berlebihan,
sehingga melampaui kemampuan sumber daya alam yang kemudian menyebabkan
kerusakan pada sumber daya alam.14 Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan
pembatasan terhadap akses masyarakat untuk menggunakan sumber daya alam.
Pembatasan tersebut diwujudkan melalui tindakan pemerintah untuk mengatur
dan mengawasi. Pendekatan ini menggunakan peraturan-peraturan administrasi
yang ditujukan sebagai sistem kontrol.15 Regulator menyusun sebuah kerangka
bagi kegiatan-kegiatan dengan maksud untuk mengondisikan, mengawasi, serta
menetapkan aturan bagi kegiatan-kegiatan tersebut.16
Pendekatan atur dan awasi berupaya untuk menekan egoisme dan mendorong
setiap orang untuk berkelakuan lebih ramah lingkungan dengan ancaman sanksi
tindakan hukum.17 Pendekatan ini sangat mengandalkan paksaan, sehingga
memerlukan peran pemerintah yang dominan. Dalam hal ini, pemerintah perlu
menentukan target atau batasan emisi yang harus dicapai, prosedur dan cara
seperti apa yang harus diambil, bahkan teknologi apa yang harus digunakan oleh
individu dalam pemanfaatan lingkungan.18 Setelah menentukan target atau batas
yang harus dicapai, pemerintah mengawasi dan menegakkan peraturan yang
sudah ditetapkan.
Kendati marak digunakan sebagai upaya penaatan hukum lingkungan, namun
pendekatan ini dinilai memiliki beberapa kelemahan. Otto Soemarwoto dalam
bukunya yang berjudul Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup mengatakan:
13 Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 94-95.
14 Ibid., hlm. 95.15 Andri G. Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen
Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” draft Buku Hukum Lingkungan Indonesia (Januari 2016), hlm. 3.
16 Ibid.17 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 9318 Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan,” dalam Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, eds. Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana [s.l.: s.n., s.a.], hlm. 262-263.
54
“Tindakan itu berlawanan dengan egoisme yang berakar di dalam diri
manusia, orang selalu berusaha untuk menghindari tindakan yang
merugikan dirinya itu. Cara yang termudah ialah untuk diam-diam
melanggarnya dengan harapan tidak akan diketahui oleh pihak yang
berwenang.”19
Akibatnya muncul penolakan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan
pemerintah. Pelaku usaha cenderung berupaya untuk menghindari aturan-aturan
tersebut dengan beragam cara. Hal inilah yang menjadi kritik terbesar pendekatan
atur dan awasi.
Kemudian, pendekatan ini juga dinilai tidak efektif dan efisien. Pendekatan
atur dan awasi menuntut pemerintah atau regulator untuk memiliki pengetahuan
yang komprehensif dan akurat tentang cara kerja dan kapasitas industri.20 Di lain
sisi, terdapat perbedaan pengetahuan antara pemerintah dan pelaku usaha.21
Ketika suatu standar sudah ditetapkan, maka pelaku industri hanya dapat terpaku
terhadap apa-apa yang sudah ditetapkan tanpa bisa menggunakan cara-cara lain
yang lebih efektif dan efisien.22 Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak dapat
beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan atau perubahan populasi,
teknologi, dan aktivitas ekonomi yang memengaruhi kebutuhan atau kemampuan
pelaku usaha dan perkembangan masalah-masalah lingkungan.23
Kemudian, pendekatan ini tidak memberikan insentif bagi pelaku industri
atau usaha untuk mencapai penaatan di atas standar (beyond minimum standards).24
Melakukan penaatan di atas standar memerlukan biaya tambahan, tidak adanya
insentif terhadap hal tersebut berlawanan dengan tujuan setiap pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini mengakibatkan pelaku
usaha beranggapan sepanjang emisi yang dikeluarkan tidak melebihi batas, hal itu
19 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 98.20 Neil Gunningham, Darren Sinclair, dan kontribusi dari Peter Grabosky, “Instrument for
Environmental Protection” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 44.
21 Ibid.22 Pemerintah menentukan secara spesifik teknologi atau performa yang harus digunakan oleh
pelaku usaha, sehingga menghambat pengadopsian teknologi baru.23 Alvin L. Alm, “A Need For New Approaches: Command-and-control is no longer a cure-all,”
EPA Journal 18 (May/June 1992), hlm. 7.24 Ibid., hlm. 45.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
55
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
sudah dianggap cukup, sehingga tidak perlu lagi mengurangi emisi.25
Kekurangan lainnya ialah pendekatan atur dan awasi sangat birokratis, mahal,
serta rawan manipulasi. Pejabat hanya bisa bertindak dalam ruang lingkup apa-apa
yang sudah diatur, sehingga para pejabat cenderung mengedepankan kepentingan
birokrasi daripada tercapainya perlindungan lingkungan hidup yang baik.26
Mengingat luas dan banyaknya objek yang diawasi, untuk mencapai pengawasan
dan penegakan hukum yang optimal tentu pendekatan ini memerlukan biaya besar.
Terakhir, pendekatan ini juga rawan manipulasi politik.27 Hal ini diindikasikan
dengan ditemukannya peraturan yang dibentuk sebatas untuk mengakomodasi
kepnggaentingan pihak-pihak tertentu dan permasalahan lain yang terkait dengan
penegakan hukum.
b. Instrumen Ekonomi
Instrumen ekonomi lahir dari gagasan yang dikemukakan ahli-ahli ekonomi,
seperti Arthur C. Pigou dan Ronald Coase. Setiap akan mengambil suatu
keputusan, manusia selalu mempertimbangkan potensi untung dan rugi yang
mungkin didapatkannya. Terkait hal ini, Mas Achmad Santosa menyebutkan
bahwa “pihak yang bertanggung jawab atas sebuah kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan, secara rasional menghitung terlebih dahulu
sejauh mana melaksanakan penaatan akan mendatangkan keuntungan secara
ekonomis.”28 Hal inilah yang menjadi alasan penerapan instrumen ekonomi
sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Berbeda dengan pendekatan
atur dan awasi yang mengandalkan paksaan, instrumen ekonomi mengandalkan
insentif dan disinsentif.
Instrumen ekonomi berkaitan erat dengan prinsip pencemar membayar (polluter
pays principle).29 Perwujudan prinsip pencemar membayar melalui instrumen
ekonomi dapat dilakukan dalam bentuk pajak lingkungan, sistem jaminan uang
25 Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 9.
26 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 105.27 Gunningham, Darren Sinclair, dan kontribusi dari Peter Grabosky, “Instrument for
Environmental Protection,” hlm. 46.28 Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 234.29 Andri Gunawan Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control,
Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 9.
56
(deposit-refund system), dan izin yang dapat diperjualbelikan (tradeable permits).
Selain bentuk-bentuk tersebut, dalam perkembangannya terdapat pula bentuk
insentif pemberian subsidi bagi pelaku usaha untuk melakukan upaya-upaya
ramah lingkungan. Dalam hal ini, instrumen ekonomi juga membutuhkan peran
yang dominan dari pemerintah, mulai dari pengaturan, perizinan (tradeable permits),
penetapan harga (terutama dalam penetapan tax rate), hingga pengawasan.30
Kendati dinilai memberikan dampak positif bagi upaya penaatan hukum
lingkungan, instrumen ekonomi juga memiliki beberapa kelemahan. Instrumen
ekonomi ini seolah memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mencemari
atau merusak lingkungan dengan membayar sejumlah dana.31 Kondisi tersebut
ditambah dengan sulitnya regulator untuk menentukan dengan tepat besaran
dan kegunaan insentif atau disinsentif yang akan didapat oleh pelaku usaha dari
perilakunya terhadap lingkungan. Kemudian, terdapat persoalaan terkait jumlah
pungutan pemerintah. Jika pungutan pemerintah lebih kecil daripada dana yang
harus dikeluarkan pelaku usaha untuk berperilaku ramah lingkungan atau jumlah
dana yang dipungut tidak sebanding dengan kebutuhan dana untuk pemulihan
lingkungan, maka instrumen ini tidak optimal bagi upaya pengendalian
lingkungan. Terakhir, instrumen ekonomi juga membutuhkan peran yang
dominan dari pemerintah, mulai dari pengaturan, perizinan (tradeable permits),
penetapan harga (terutama dalam penetapan tax rate), hingga pengawasan.32 Hal
ini mengakibatkan instrumen ekonomi memiliki kelemahan-kelemahan yang
serupa dengan pendekatan command and control yang bersifat birokratis, mahal,
dan rawan manipulasi.
c. Penaatan Sukarela
Penaatan sukarela merupakan penaatan hukum lingkungan generasi ketiga.
Berbeda dengan dua generasi sebelumnya, penaatan sukarela memberikan pilihan
bagi individu atau pelaku usaha untuk secara sukarela melakukan penaatan hukum
lingkungan. Merujuk pada pendapat Oates dan Baumol sebagaimana dikutip oleh
30 Ibid., hlm. 17.31 Dalam penerapan instrumen tradeable permit, pemerintah memberikan kuota untuk
mencemari lingkungan kepada pelaku usaha.32 Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan
Penaatan Sukarela,” hlm. 17.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
57
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Andri G. Wibisana, penaatan sukarela didasarkan pada ketiadaan penegakan
hukum, sehingga penaatan menjadi keputusan individual yang bersifat sukarela.33
Pada penaatan sukarela ini, inisiatif pada umumnya berasal dari pemerintah,
namun berbeda dengan penaatan command and control dan penaatan ekonomi,
pada penaatan sukarela peran pemerintah sangat terbatas sebagai pendorong atau
fasilitator.34
Karp dan Gaulding sebagaimana dikutip Naoufel Mzoughi dan Gilles
Grolleau, menyebutkan “sebagai upaya membentuk perilaku manusia, penaatan
sukarela didasarkan adanya etik dan tanggung jawab sosial.”35 Kemudian, Peter
Borkey, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque dalam laporannya yang berjudul
Voluntary Approaches for Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment
menyebutkan:
“Voluntary Approaches have been developed by policymakers and industrialists
to provide pragmatic responses to new policy problems, namely the need for more
flexible ways to achieve sustainability, and the need to take into account the rising
concerns about industrial competitiveness and the increasing administrative
burden after three decades of command and control based environmental policy.”36
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan pendekatan
penaatan sukarela diharapkan dapat mengurangi peran pemerintah dan mendorong
partisipasi dari aktor-aktor non pemerintah, khususnya pelaku industri. Atas dasar
itu, berbagai hambatan seperti upaya penaatan yang tidak efisien, mahal, dan rawan
manipulasi diharapkan dapat dihindari. Sebaliknya, pelaku usaha diharapkan
dapat mengembangkan inovasi-inovasi untuk pengendalian lingkungan dan
mencapai upaya penaatan yang lebih optimal berdasarkan adanya motivasi diri
sendiri untuk berperilaku ramah lingkungan. Motivasi tersebut diidentifikasi
berasal dari tiga aspek, yakni motivasi etik, motivasi kompetitif, dan motivasi
33 Ibid., hlm. 16-17.34 Ibid., hlm. 18.35 Naoufel Mzoughi dan Gilles Grolleau, “Voluntary Instrument for Environmental Management:
a Critical Review of Definitions,” (makalah disampaikan pada Annual Conference of Canadian Economic Association, Ottawa, 29 Mei-1 Juni 2003), hlm. 5.
36 Peter Borkey, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque, “Voluntary Approaches for Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment,” Centre d’economie Industrielle, hlm. 8
58
relasi.37 Motivasi etik berkaitan dengan tanggung jawab lingkungan (ekologi) yang
dibebankan kepada pelaku usaha, motivasi kompetitif muncul atas kepentingan
untuk memperoleh keuntungan dengan praktik-praktik yang berkelanjutan, dan
motivasi relasi bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang lebih
baik dengan para pemangku kepentingan.38
Dalam pelaksanaannya, diketahui bahwa nilai etik dan tanggung jawab sosial
sebagai dasar pendekatan penaatan sukarela tidak cukup untuk memastikan
pelaku industri untuk berperilaku ramah lingkungan. Dalam hal ini dibutuhkan
faktor-faktor eksternal lain, seperti dorongan masyarakat untuk berperilaku ramah
lingkungan. Menurut Dirk Schmelzer dalam buku yang ditulis oleh Al Iannuzzi
yang berjudul Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance
disebutkan “companies want to be recognized as socially responsible by customers,
employees, and neighbors.”39 Dalam hal ini, pelaku usaha secara sukarela melakukan
upaya penaatan demi memperoleh reputasi yang baik. Pada kondisi tertentu,
pelaku usaha secara sukarela melakukan penaatan atau bergabung dengan
program-program sukarela atas adanya opsi penaatan yang lebih fleksibel. Terkait
hal ini Robert Gibson berpendapat:
“If firms can pick the methods that best fit their operations, they will incur fewer
expenses and will implement the programs more quickly. The cost savings that
result from preventing pollution are also a motivating factor in proactively
eliminating pollution.”40
Sebagai contoh, pada program sertifikasi ISO-14001 yang berisikan standar-
standar sistem manajemen lingkungan, tidak ada kewajiban bagi perusahaan atau
institusi untuk mendapatkan sertifikat ISO-14001. Perusahaan atau institusi secara
sukarela berupaya untuk mendapatkan sertifikat ISO-14001 berdasarkan adanya
kepentingan untuk meningkatkan reputasi atau nilai dagang perusahaan atau
institusi yang bersangkutan. Demi mendapatkan kepercayaan masyarakat, pada
37 Javier Gonzalez dan Oscar Gonzalez, “An Analysis of the Relationship Between Environmental Motivations and ISO14001 Certification,” British Journal of Management 16 (Juni 2005), hlm. 136.
38 Ibid.39 Alphonse Iannuzzi, Jr., Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance,
(Washington DC: Lewis Publishers, 2002), hlm. 13-14.40 Ibid., hlm. 14.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
59
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
umumnya standar-standar yang diterapkan lebih berat daripada standar yang
ditentukan pemerintah (peraturan perundang-undangan).41 Selain itu, menerapkan
standar ISO-14001 dianggap dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja
manajemen lingkungan perusahaan. Contoh-contoh lain dari penerapan penaatan
sukarela ialah audit lingkungan sukarela dan perjanjian sukarela.
Sama seperti dua pendekatan sebelumnya, penaatan sukarela juga memiliki
kelemahan-kelemahan, di antaranya kurangnya transparansi, tidak jelasnya
insentif bagi pelaku usaha atau kegiatan, kurangnya kepercayaan publik, maupun
kemungkinan adanya persoalan free-rider atau regulatory capture.42 Agar persoalan
tersebut dapat diselesaikan, Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD) sebagaimana dikutip Andri G. Wibisana menyebutkan bahwa terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu target yang jelas dan transparan,
adanya patokan yang dijadikan ukuran untuk membandingkan dengan target
yang ingin dicapai, adanya insentif atau disinsentif yang kredibel dari pemerintah,
adanya pengawasan yang kredibel, partisipasi pihak ketiga pada saat penentuan
target dan monitoring pelaksanaan, adanya ancaman sanksi bagi kegagalan
mencapai target, adanya ketentuan terkait penyediaan informasi, dan adanya
upaya untuk memastikan bahwa penaatan sukarela tidak memiliki efek persaingan
usaha yang tidak sehat.43
III. Sertifikasi Lingkungan sebagai Instrumen Penaatan Hukum
Lingkungan Sukarela
Dalam perkembangannya, salah satu instrumen yang diterapkan untuk
mencapai penaatan hukum lingkungan ialah instrumen sertifikasi. Instrumen
sertifikasi dipilih untuk mendorong kesukarelaan pelaku usaha agar berupaya
mencapai penaatan hukum lingkungan.
41 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.42 Free-rider atau regulatory capture sebagaimana dimaksud mengacu pada situasi yang mana
pemerintah tidak bekerja maksimal atau tidak memiliki kinerja. Terkait hal ini dapat pula terjadi dalam situasi pemerintah yang seyogyanya melindungi kepentingan masyarakat, justru didominasi oleh kepentingan industri (objek yang diatur).
43 Andri Gunawan Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 18-19.
60
Ditinjau dari definisi dan fungsinyanya, sertifikasi merupakan terjemahan dari
kata certification. International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan
sertifikasi sebagai “the provision by an independent body of written assurance (a certificate)
that the product, service or system in question meets specific requirements.”44 Terkait
dengan fungsinya, sertifikasi dapat bermanfaat untuk menambah kredibilitas
suatu produk atau jasa dengan menunjukkan bahwa produk atau jasa tersebut
memenuhi harapan konsumen dengan memenuhi standar-standar tertentu.45
Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
sertifikasi lingkungan (environmental certification) pada umumnya merupakan
bentuk regulasi yang mendorong perusahaan untuk secara sukarela berperilaku
ramah lingkungan dengan memenuhi standar-standar tertentu demi menunjukkan
kepada konsumen bahwa kegiatan usahanya telah dilakukan secara berkelanjutan.
Sertifikasi lingkungan berkaitan erat dengan sistem label ramah lingkungan yang
dikenal dengan istilah eco-labelling. Bagi pelaku usaha yang memperoleh sertifikat
lingkungan, maka ia dapat menggunakan label ramah lingkungan yang disediakan
oleh penyelenggara sertifikasi pada produknya.
Motivasi pelaku usaha untuk memperoleh sertifikat lingkungan sebagaimana
sudah disinggung sebelumnya dapat diidentifikasi ke dalam tiga aspek, yakni
motivasi etik, motivasi kompetitif, dan motivasi relasi.46 Motivasi etik berkaitan
dengan tanggung jawab lingkungan (ekologi) yang dibebankan kepada pelaku
usaha, motivasi kompetitif muncul atas kepentingan untuk memperoleh
keuntungan dengan praktik-praktik yang berkelanjutan, dan motivasi relasi
bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang lebih baik dengan para
pemangku kepentingan.47
Salah satu fungsi utama sertifikasi ialah meningkatkan nilai dagang suatu
kegiatan, produk atau jasa suatu perusahaan atau institusi. Demi mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat, maka standar-standar yang dimuat pada umumnya
44 International Organization for Standardization, “Certification and Conformity Certification,” https://www.iso.org/certification.html, diakses tanggal 12 April 2017.
45 Ibid.46 Javier Gonzalez dan Oscar Gonzalez, “An Analysis of the Relationship Between Environmental
Motivations and ISO14001 Certification,” British Journal of Management 16 (Juni 2005), hlm. 136.
47 Ibid.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
61
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
lebih tinggi dari standar-standar yang ditentukan peraturan perundang-undangan
(beyond compliance).48 Pada kondisi inilah sistem sertifikasi dapat optimal dalam
meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap kegiatan, produk, atau jasa yang
dilakukan oleh perusahaan atau institusi. Selain itu, pembentukan standar di
atas peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk menghindari kombinasi
instrumen yang duplikatif, sehingga tidak menjadi kontra produktif.49
Terakhir, sistem sertifikasi lingkungan sangat mengandalkan peran aktif
aktor-aktor non pemerintah. Inisiatif untuk melakukan penaatan dilakukan atas
dasar kesukarelaan setiap perusahaan atau institusi. Kemudian, proses sertifikasi
atas suatu produk atau jasa juga selalu dilakukan oleh pihak ketiga, yakni lembaga
sertifikasi yang bersifat independen.50 Lembaga sertifikasi ini akan menilai apakah
suatu produk atau jasa sudah memenuhi standar atau belum. Jika suatu produk atau
jasa sudah memenuhi seluruh standar yang ditentukan, maka lembaga sertifikasi
akan menerbitkan sertifikat bagi produk atau jasa tersebut. Lembaga sertifikasi ini
pula yang akan mengawasi produk atau jasa yang telah mendapatkan sertifikat.
Hal ini dapat mengurangi dominasi peran pemerintah sebagaimana yang ada
pada pendekatan atur dan awasi dan instrumen ekonomi.
IV. Sertifikasi sebagai Upaya Mewujudkan Industri Minyak Kelapa Sawit
Berkelanjutan
Kampanye dan boikot konsumen yang terjadi di Perancis sebagaimana
diuraikan dalam bagian Pendahuluan seyogyanya tidak ditanggapi dengan serta
merta menghentikan produksi minyak kelapa sawit. Menghentikan produksi
minyak kelapa sawit dan menggantinya dengan dengan minyak nabati lain justru
akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Sebagai contoh, mengganti
minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, rapeseed,
48 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.49 Dalam hal ini yang dimaksud dengan kombinasi instrumen yang duplikatif ialah kombinasi
instrumen command and control yang menggunakan standar peraturan perundang-undangan dan instrumen sertifikasi sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.
50 Cora Dankers, Environmental and Social Standards, Certification and Labelling for Cash Crops, (Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2003), hlm. 8.
62
dan bunga matahari akan meningkatkan kebutuhan penggunaan lahan. Hal
ini disebabkan rendahnya produktivitas tanaman-tanaman minyak nabati lain
dibandingkan kelapa sawit. Sebagai contoh, 110 juta hektar tanaman kedelai hanya
menghasilkan minyak sejumlah 47 juta ton, sedangkan 19 juta hektar area tanaman
kelapa sawit mampu menghasilkan minyak sejumlah 62 juta ton.51 Kemudian,
menghentikan konsumsi minyak kelapa sawit berarti menghentikan perkembangan
industri produksi kelapa sawit. Industri produksi kelapa sawit memberikan
banyak manfaat ekonomi bagi berbagai pihak. Jika industri produksi kelapa sawit
dihentikan, maka akan ada jutaan rakyat yang akan kehilangan pekerjaan. Selain
itu, negara produsen minyak kelapa sawit juga akan merugi dengan hilangnya
devisa negara yang seyogiyanya dapat diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit.
Menurut data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian
Pertanian Repubik Indonesia, rata-rata nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia
dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.52 Pada tahun 2016, nilai ekspor
minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) mencapai 14.7 miliar US$.53
Berdasarkan kondisi ini, dibutuhkan instrumen yang dapat mendorong
penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, sehingga dapat
menjawab atau menangkis kampanye-kampanye negatif terhadap produk minyak
kelapa sawit. Terkait hal ini, sistem sertifikasi minyak kelapa sawit dianggap
menjadi solusi yang paling tepat. Sertifikasi minyak kelapa sawit diharapkan dapat
mendorong para pelaku industri minyak kelapa sawit untuk menerapkan prinsip
dan kriteria minyak kelapa sawit berkelanjutan dalam setiap aktivitas industrinya.
Bagi pelaku industri yang telah memenuhi prinsip dan kriteria minyak kelapa
sawit berkelanjutan, maka akan mendapatkan sertifikat. Pemilikan sertifikat
tersebut menjadi simbol atau bukti bahwa produksi minyak kelapa sawit telah
dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini yang diyakini dapat meningkatkan nilai
dagang produk tersebut, membuka akses produk ke pasar yang lebih luas, dan
menangkis kampanye negatif terhadap produksi minyak kelapa sawit. Dalam hal
ini, konsumen dan berbagai organisasi lingkungan dan sosial memandang bahwa
51 Bungaran Saragih, Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global, hlm. 11.
52 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015), hlm. 5.
53 Ibid.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
63
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
produsen minyak kelapa sawit telah memenuhi tanggung jawab lingkungan dan
sosialnya.
Sertifikasi RSPO merupakan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit
berkelanjutan yang bersifat global dan pertama kali diterapkan. Pembentukan RSPO
berawal pada tahun 2001 ketika World Wildlife Fund for Nature (WWF) berupaya
untuk membentuk wadah yang dapat mempertemukan berbagai pemangku
kepentingan di industri minyak kelapa sawit.54 Para pemangku kepentingan
tersebut meliputi produsen minyak kelapa sawit, pengolah atau penjual minyak
kelapa sawit, produsen barang untuk konsumen (manufaktur), pedagang, bank dan
investor, LSM di bidang lingkungan, dan LSM di bidang sosial. Setelah terbentuk,
pada tahun 2007 RSPO meluncurkan instrumen sertifikasi RSPO. Sertifikasi RSPO
ini bersifat sukarela, sehingga tidak ada paksaan bagi pelaku industri untuk
memperoleh sertifikat RSPO. Pelaku industri yang mendapatkan sertifikat RSPO
dapat menggunakan merek dagang atau logo RSPO pada produknya. Penggunaan
logo ini menjadi simbol bahwa produksi minyak kelapa sawit telah dilakukan
secara berkelanjutan. Hal ini diyakini dapat meningkatkan kredibilitas produk
minyak kelapa sawit di mata konsumen. Sertifikasi RSPO juga dianggap dapat
membuka akses minyak kelapa sawit ke pasar internasional.
Pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia meluncurkan sistem sertifikasi
minyak kelapa sawit berkelanjutan nasional yang diberi nama Sertifikasi ISPO.
Pembentukan Sertifikasi ISPO merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban
Pemerintah Indonesia untuk memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan
ekonomi, sosial, dan penegakan peraturan perundang-undangan Indonesia
di bidang perkelapa-sawitan.55 Selain itu, Sertifikasi ISPO dianggap lebih
mencerminkan kepentingan nasional.56
54 Roundtable on Sustainable Palm Oil, “About Us,” http://www.rspo.org/about, diakses tanggal 27 Maret 2017.
55 Indonesia, Menteri Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System / ISPO), Nomor PM 11 Tahun 2015, lampiran I, hlm. 9.
56 Ica Wulansari dan Ridzki R. Sigit, “Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan,” http://www.mongabay.co.id/2016/03/18/sawit-berkelanjutan-standard-sertifikasi-dan-desakan-perubahan/, diakses tanggal 6 Juli 2017.
64
Kepesertaan Sertifikasi ISPO bersifat wajib bagi perusahaan perkebunan dan
bersifat sukarela bagi pekebun kelapa sawit.57 Penerapan kepesertaan Sertifikasi
ISPO secara sukarela bagi pekebun kelapa sawit swadaya didasarkan masih
terbatasnya kemampuan sebagian pelaku industri kelapa sawit Indonesia untuk
memenuhi prinsip dan kriteria ISPO. Pada tahun 2020, Kementerian Pertanian
menargetkan sistem sertifikasi ini dapat diterapkan secara wajib bagi seluruh
pelaku industri kelapa sawit di Indonesia.58 Sistem sertifikasi ISPO merujuk
pada prinsip dan kriteria ISPO yang disusun berdasarkan peraturan perundang-
undangan Indonesia.
Pada tahun 2015, Pemerintah Malaysia juga secara resmi meluncurkan Sertifikasi
MSPO. Sertifikasi MSPO ini diimplementasikan dan dikelola oleh Malaysian Palm
Oil Certification Council (MPOCC).59 Sertifikasi MSPO ini merupakan upaya untuk
memastikan bahwa minyak produksi kelapa sawit Malaysia telah diproduksi
secara berkelanjutan berdasarkan standar MSPO. Pada awal pembentukannya,
kepesertaan Sertifikasi MSPO bersifat sukarela, namun Pemerintah Malaysia
telah mengumumkan bahwa Sertifikasi MSPO akan diterapkan secara wajib.
Periode pemenuhan kewajiban untuk mendapat Sertifikat MSPO adalah paling
lama tanggal 31 Desember 2018 bagi seluruh perusahaan minyak kelapa sawit di
Malaysia yang telah memiliki Sertifikat RSPO dan paling lama tanggal 30 Juni 2019
bagi perusahaan yang tidak memiliki sertifikat RSPO.60 Bagi pekebun kelapa sawit
skala kecil diberi tenggat waktu hingga tanggal 31 Desember 2019.61
Dari penjabaran tersebut, dapat diketahui bahwa Sertifikasi ISPO dan MSPO
dirancang sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan yang kepesertaannya
bersifat wajib. Hal ini menjadikan Sertifikasi ISPO dan MSPO memiliki karakter
57 Indonesia, Menteri Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System / ISPO), Nomor PM 11 Tahun 2015, Ps. 2.
58 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, “Siaran Pers: Pemerintah Siapkan Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan,” http://www.ekon.go.id/press/view/siaran-pers-pemerintah.2490.html, diakses tanggal 1 Mei 2017.
59 Sanath Kumaran dan Harnarinder Singh, “Oil Palm Sustainability Standards in Malaysia and Peat Land Management,” (makalah disampaikan pada International Peat Congress ke-15, Sarawak, 15-19 Agustus 2016), hlm. 2.
60 Malaysian Palm Oil Council, “Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) to Be Made Mandatory by 2019,” http://www.mpoc.org.in/2017/03/30/malaysian-sustainable-palm-oil-mspo-to-be-made-mandatory-by-2019/, diakses tanggal 8 Mei 2017.
61 Ibid.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
65
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
penaatan hukum lingkungan atur dan awasi. Hal inilah yang berpotensi
menghambat Sertifikasi ISPO dan MSPO untuk mencapai upaya penaatan hukum
lingkungan yang optimal. Untuk itu, sistem sertifikasi minyak kelapa sawit
seyogyanya dibentuk sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Hal
ini bertujuan agar upaya penaatan hukum lingkungan melalui sertifikasi minyak
kelapa sawit dapat menyerasikan hubungan pemerintah atau penyelenggara
sistem sertifikasi dengan pelaku industri.
Terkait hal tersebut, pemerintah tidak lagi berperan dominan dengan
mengandalkan paksaan yang disertai ancaman sanksi, namun mengandalkan
partisipasi sukarela pelaku industri atas motivasi motivasi etik, motivasi kompetitif,
dan motivasi relasi sebagaimana disinggung sebelumnnya. Hal ini diharapkan
dapat mengatasi kelemahan utama pendekatan atur dan awasi yang menurut
Prof. Otto Soemarwoto berlawanan dengan egoisme yang berakar di dalam diri
manusia.62 Sertifikasi minyak kelapa sawit yang diterapkan sebagai instrumen
sukarela diharapkan dapat mengurangi pola hubungan pemerintah versus pelaku
industri, mengingat telah banyaknya instrumen atur dan awasi yang diterapkan
bagi pelaku industri minyak kelapa sawit. Apabila pola hubungan ini dapat
tercapai, diharapkan partisipasi pelaku industri minyak kelapa sawit terhadap
sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dapat meningkat.63
Kemudian, salah satu fungsi utama sertifikasi ialah meningkatkan nilai
dagang suatu kegiatan, produk atau jasa suatu perusahaan atau institusi. Sertifikasi
menjadi petunjuk bahwa suatu produk atau jasa telah memenuhi standar-standar
tertentu sebagai upaya melindungi lingkungan. Demi mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat, maka standar-standar yang dimuat pada umumnya lebih
62 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 98.63 Tingkat partisipasi dalam sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan masih rendah.
Hingga bulan Juni tahun 2015, baru 96 perusahaan perkebunan yang mendapat sertifikat ISPO dengan luas area perkebunan 756.743 hektar dan total produksi minyak kelapa sawit mentah sebesar 3,85 juta ton. Lihat: Rosediana Suharto, dkk. Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO, [Jakarta: s.n., 2015], hlm. 15. Jumlah tersebut masih jauh dibandingkan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 11 juta hektar dengan total produksi minyak kelapa sawit mentah mencapai 30 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015). Hingga bulan Maret tahun 2017 total lahan perkebunan yang bersertifikat MSPO baru mencapai 245.599 hektar. Jumlah tersebut masih cukup jauh dari total luas area perkebunan kelapa sawit Malaysia yang hingga tahun 2016 telah mencapai 5,74 juta hektar. Lihat: Malaysian Palm Oil Board, “Area Summary,” http://bepi.mpob.gov.my/images/area/2016/Area_summary.pdf, diakses tanggal 8 Mei 2017.
66
tinggi dari standar-standar yang ditentukan peraturan perundang-undangan
(beyond compliance).64 Pada kondisi inilah sistem sertifikasi dapat optimal dalam
meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap kegiatan, produk, atau jasa yang
dilakukan oleh perusahaan atau institusi. Selain itu, pembentukan standar di
atas peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk menghindari kombinasi
instrumen yang duplikatif, sehingga menjadi kontra produktif.65 Hal-hal tersebut
yang diperlukan agar sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dapat optimal
sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.
Kendati demikian, sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang
dibentuk sebagai instrumen sukarela, seperti Sertifikasi RSPO juga belum optimal
sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Sebagai contoh, terdapat
persoalan terkait tingkat partisipasi peserta Sertifikasi RSPO yang masih rendah.
Hingga bulan Maret tahun 2017, luas lahan perkebunan yang bersertifikat RSPO
baru mencapai 2,5 juta Ha.66 Luas lahan tersebut bahkan hanya mencapai sekitar
22% luas lahan kelapa sawit yang ada di Indonesia.
Terkait hal ini, diperlukan suatu strategi dari pemerintah atau regulator
untuk mengoptimalkan sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai
instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela, sekaligus memastikan
tercapainya perlindungan lingkungan dalam kaitannya dengan aktivitas industri
minyak kelapa sawit. Pemerintah atau regulator dapat menerapkan konsep
regulasi responsif yang dikemukakan oleh Ian Ayres dan John Braithwaite. Contoh
penerapan konsep regulasi responsif tersebut dapat tergambar melalui piramida
strategi regulasi67 dan piramida penegakan hukum68 sebagai berikut:
64 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.65 Dalam hal ini yang dimaksud dengan kombinasi instrumen yang duplikatif ialah kombinasi
instrumen command and control yang menggunakan standar peraturan perundang-undangan dan instrumen sertifikasi sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.
66 Roundtable on Sustainable Palm Oil, “Certified Growers,” http://www.rspo.org/certification/certified-growers, diakses tanggal 8 Mei 2017
67 Ian Ayres dan John Braithwaite, Responsive Regulation Transcending the Deregulation Debate, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 39.
68 Ibid., hlm. 35.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
67
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Gambar 4.1 Piramida Strategi Regulasi; Gambar 4.2 Piramida Penegakan Hukum
Secara sederhana, piramida tersebut menggambarkan hierarki strategi
regulasi dan respon sanksi dari pemerintah terhadap pelaku industri atau individu
berdasarkan perilakunya. Pada bagian dasar piramida, pemerintah membuka
ruang bagi pelaku industri untuk mengatur dirinya sendiri. Pada tahap ini tidak
ada paksaan dan sanksi. Pemerintah sekedar membujuk atau mengajak pelaku
industri untuk bekerja sama. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan kondisi
atau target pencapaian tertentu yang biasanya dituangkan dalam perizinan atau
perjanjian.69 Apabila ekspektasi pemerintah tidak terpenuhi atau pelaku industri
tidak melakukan penaatan sesuai batas standar yang ditetapkan pemerintah
(peraturan perundang-undangan), maka pemerintah akan merespon ketidaktaatan
tersebut dengan regulasi dan sanksi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Regulasi dan sanksi pada tiap tingkatan di dua piramida tersebut tidak
kaku. Ian Ayres dan John Braithwaite menyebutkan bahwa “this is (the Pyramid
of Regulatory Strategies) just one example of the particular strategies that might be
installed at different layers of the strategy pyramid [kalimat bercetak tebal merupakan
tambahan dari penulis].”70 Begitu juga halnya dengan jenis sanksi pada piramida
penegakan hukum yang mana jenis sanksinya dapat beragam tergantung lingkup
wilayah pengaturan.71 Dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem sertifikasi
69 Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 260.70 Ayres dan John Braithwaite, Responsive Regulation Transcending the Deregulation Debate, hlm. 38.71 Ibid., hlm. 36.
68
minyak kelapa sawit berkelanjutan, maka penerapan konsep regulasi responsif
dapat tergambar melalui piramida berikut:
Gambar 4.3 Piramida Penegakan Hukum Berdasar Konsep Regulasi Responsif dalam Pelaksanaan Sistem Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pada dasar piramida, pemerintah menyelenggarakan sertifikasi minyak
kelapa sawit berkelanjutan yang kepesertaannya bersifat sukarela. Dalam hal
ini, pemerintah memberi ruang kepada pelaku industri minyak kelapa sawit
untuk secara sukarela mencapai penaatan dengan memenuhi seluruh prinsip
dan kriteria sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Pada tahap ini,
pemerintah mendorong partisipasi pelaku industri dengan pendekatan persuasif,
misalnya dengan mengajak pelaku industri terlibat dalam pembentukan prinsip
dan standar sertifikasi dan pengembangan sistem sertifikasi. Kendati demikian,
pemerintah telah terlebih dahulu memiliki standar yang tidak boleh dilewati atau
dilanggar oleh pelaku industri, agar upaya perlindungan lingkungan dan sosial
tetap terjamin. Standar tersebut merupakan standar yang ditentukan peraturan
perundang-undangan yang biasanya berbentuk instrumen perizinan.
Sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan yang kepesertaannya
sukarela, prinsip dan kriteria sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan
haruslah dibentuk lebih kuat atau di atas standar peraturan perundang-undangan
(beyond compliance). Jika prinsip dan kriteria yang digunakan sama dengan standar
yang ditentukan peraturan perundang-undangan, maka akan terdapat dua
instrumen yang duplikatif, sehingga upaya penaatan hukum lingkungan menjadi
Pendekatan Command & Control
Instrumen Ekonomi Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan sebagai Instrumen
Penaatan Sukarela
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
69
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
kontra produktif.72
Pada tingkatan selanjutnya, pemerintah berupaya untuk mendorong partisipasi
pelaku industri untuk memenuhi prinsip dan kriteria sistem sertifikasi dengan
menyediakan insentif-insentif. Insentif tersebut dapat berupa bantuan dana atau
finansial bagi pelaku industri untuk membantu pelaku industri memenuhi prinsip
dan kriteria sistem sertifikasi yang sudah ditetapkan. Merujuk pada contoh-contoh
yang diberikan oleh Al Iannuzzi, insentif juga dapat berupa mitigasi hukuman
(penalty mitigation), prioritas pengawasan yang rendah (lowest inspection priority),
dan pengakuan (recognition) sebagai a star company.73 Jika pelaku industri tetap
tidak berpartisipasi dalam sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan
dan justru berperilaku tidak taat dengan melanggar standar yang ditentukan
peraturan perundang-undangan, maka pemerintah akan merespon dengan sanksi
yang lebih berat, yakni denda administratif (civil penalty). Jika kemudian masih
terdapat ketidaktaatan, baru pemerintah akan meresponnya dengan sanksi pidana.
Terakhir, pemerintah akan merespon dengan sanksi berupa penundaan izin usaha
dan pencabutan izin usaha. Mas Achmad Santosa menyebut “penundaan dan
pencabutan izin usaha merupakan tindakan pamungkas mengingat implikasi
ekonomi seperti implikasi terhadap nasib para pekerja dan implikasi terhadap
perekonomian daerah dan nasional pada umumnya.”74
Kendati demikian, adanya hierarki instrumen command and control dalam
piramida penegakan hukum berupa sanksi pidana, denda administratif,
penangguhan sementara, hingga pencabutan izin seyogyanya tidak dipandang
hierarkis secara mutlak karena masing-masingnya memiliki karakter dan fungsi
yang berbeda. Penerapan salah satu instrument tidak menyebabkan instrumen
lain menjadi gugur. Sebagai contoh, ketika pelaku usaha dikenakan sanksi pidana,
maka terhadap pelaku usaha tersebut juga masih dapat dicabut izinnya.
Namun, penerapan konsep regulasi responsif seperti yang tergambar pada
piramida strategi regulasi dan piramida penegakan hukum tersebut masih sangat
72 Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.
73 Alphonse Iannuzzi, Jr., Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance, hlm. 168-170.
74 Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, hlm. 261
70
terkonsentrasi pada hubungan dan interaksi antara pemerintah atau regulator
dan pelaku industri.75 Untuk mengoptimalkan penyelenggaraan sistem sertifikasi
minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen sukarela, sertifikasi minyak
kelapa sawit berkelanjutan perlu didukung oleh peran aktif pihak ketiga. Terlebih,
penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dilakukan
untuk mendorong pelaku industri untuk mencapai penaatan di atas standar
peraturan perundang-undangan (beyond compliance).
Mas Achmad Santosa menyebutkan “untuk mendorong dunia usaha
memiliki proaktivisme lingkungan dengan pendekatan beyond compliance, sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dalam wujud tekanan (pressure).”76
Dalam hal ini:
“Paling tidak terdapat 6 (enam) jenis pressure yang memacu dunia usaha
melakukan aktivitas beyond compliance: (1) Tekanan pemerintah dengan piranti
penegakan hukum lingkungannya (melalui pendekatan command & control), (2)
tekanan konsumen, (3) tekanan masyarakat, (4) tekanan pemegang saham, (5)
tekanan dari pengecer dan pemasok (retailer dan supplier), dan (6) tekanan dari
komunitas keuangan (financial community).”77
Sebagaimana diketahui, konsumen merupakan elemen terpenting bagi pelaku
industri. Jika pelaku industri kehilangan konsumennya, maka keberlanjutan
kegiatan usahanya akan terancam. Terkait hal ini, konsumen hanya akan
mengonsumsi produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan. Tekanan
bagi pelaku industri agar mencapai upaya penaatan beyond compliance juga dapat
berasal dari elemen-elemen masyarakat, seperti LSM di bidang lingkungan dan
sosial, serta komunitas-komunitas lokal.
Kemudian, diperlukan pula tekanan dari pemegang saham untuk mendorong
perilaku ramah lingkungan oleh pelaku industri dengan menciptakan eco
investing atau green invesment. Green investing mengindikasikan adanya investasi
yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Dalam hal
ini, hal yang ingin dicapai dari green investing ialah meningkatkan kekayaan
75 Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” hlm. 397.76 Ibid., hlm. 259.77 Ibid.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
71
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
pribadi sembari menghindari kerugian bagi orang dan lingkungan.78 Terkait
penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, investor
hanya akan menginvestasikan uangnya pada perusahaan-perusahaan kelapa
sawit yang tersertifikasi dan terbukti memiliki kinerja atau manajemen lingkungan
terbaik. Terakhir, untuk menjamin bahwa produk yang dikonsumsi benar-benar
berkelanjutan diperlukan juga tekanan dari pengecer dan pemasok. Hal ini untuk
memastikan bahwa produk minyak kelapa sawit diproduksi secara berkelanjutan
dari hulu hingga hilir industri kelapa sawit.
V. Kesimpulan dan Saran
Sertifikasi lingkungan merupakan instrumen penaatan hukum lingkungan
sukarela. Sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela, sertifikasi
lingkungan mengandalkan kesukarelaan pelaku industri untuk mencapai
penaatan di atas standar peraturan perundang-undangan (beyond compliance) atas
motivasi etik yang berkaitan dengan adanya tanggung jawab lingkungan pelaku
usaha, motivasi kompetitif yang muncul atas kepentingan pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan dengan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan, dan
motivasi relasi yang bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang
lebih baik dengan para pemangku kepentingan.
Pembentukan Sertifikasi ISPO dan MSPO sebagai instrumen penaatan hukum
lingkungan belum optimal karena Sertifikasi ISPO dan MSPO dirancang sebagai
instrumen dengan karakter atur dan awasi. Hal ini membuat Sertifikasi ISPO
dan MSPO menjadi duplikatif dengan instrumen-instrumen command and control
lain yang sudah ada, sehingga penerapan instrumen sertifikasi tersebut justru
menjadi kontra produktif. Kendati demikian, Sertifikasi RSPO yang dibentuk
sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela juga belum mampu
mengoptimalkan upaya penaatan hukum lingkungan di sektor industri minyak
kelapa sawit. Hal ini disebabkan tidak adanya daya paksa dan kekosongan peran
pemerintah dalam pengawasan dan pemberian insentif atas perilaku pelaku
industri minyak kelapa sawit.
78 Rebecca Silver dan Kristin Underwood, “How to Go Green: Investing,” https://www.tree-hugger.com/htgg/how-to-go-green-investing.html, diakses tanggal 12 Juni 2017.
72
Untuk itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen
minyak kelapa sawit terbesar seyogiyanya memperbaiki sertifikasi minyak
kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan
sukarela. Dalam hal ini, sertifikasi yang dibentuk wajib memperhatikan aspek-
aspek keserasian hubungan pemerintah dan pelaku industri, partisipasi publik
dan keterbukaan informasi yang memadai, prinsip dan kriteria sertifikasi yang
mendorong penaatan di atas standar peraturan perundang-undangan (beyond
compliance), kekuatan mengikat dan sanksi yang relevan, dan insentif untuk
mendorong partisipasi pelaku usaha agar memperoleh sertifikat minyak kelapa
sawit berkelanjutan.
Sebagai upaya untuk mengatasi kelemahan-kelemahan sertifikasi minyak
kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan
sukarela, sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan perlu didukung atau
dikaitkan dengan pendekatan command and control dan instrumen ekonomi.
Kemudian, agar penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit
berkelanjutan tersebut dapat lebih optimal dibutuhkan pula tekanan-tekanan dari
pihak-pihak ketiga yang terdiri dari konsumen, masyarakat, pemegang saham,
pengecer dan pemasok, dan komunitas keuangan.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
73
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Daftar Pustaka
Achmad Santosa, Mas. (2001). Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta:
ICEL.
Alm, Alvin L. (1992). A Need For New Approaches: Command-and-control is no
longer a cure-all. EPA Journal, 18, 7-11.
Ayres, Ian dan John Braithwaite. (1992). Responsive Regulation Transcending the
Deregulation Debate. New York: Oxford University Press.
Borkey, Peter, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque. Voluntary Approaches for
Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment. Centre d’economie
Industrielle.
Chandra, Ardan Adhi. (2016). Petani Sawit Bisa Dapat Bantuan Rp 25 Juta/Hektar,
Ini Syaratnya. Accessed on July 8, 2017 from https://finance.detik.com/
industri/3190634/petani-sawit-bisa-dapat-bantuan-rp-25-jutahektar-ini-
syaratnya.
Ching, Ooi Tee. (2017). Gov’t Assures Implementation of MSPO Certification
Practical, Financial Aid for Smallholders. Accessed on July 8, 2017 from https://
www.nst.com.my/news/2017/02/215108/govt-assures-implementation-
mspo-certification-practical-financial-aid.
Dankers, Cora. (2003). Environmental and Social Standards, Certification and
Labelling for Cash Crops. Roma: Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Forest Watch Indonesia. (2017). Enam Tahun ISPO Kajian Terkait Penguatan
Instrumen ISPO dalam Merespon Dampak-dampak Negatif Seperti
Deforestasi, Kerusakan Ekosistem Gambut, Kebakaran Hutan dan Lahan,
serta Konflik Tenurial. Bogor: Forest Watch Indonesia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. (2017). Industri Minyak Sawit
Indonesia Merupakan Industri Strategis Nasional. Accessed on March 31, 2017
from https://gapki.id/industri-minyak-sawit-merupakan-industri-strategis-
nasional/#more-1860.
74
Gonzalez, Javier dan Oscar Gonzalez. (2005). An Analysis of the Relationship
Between Environmental Motivations and ISO14001 Certification. British
Journal of Management, 16, 133-148.
Gunningham, Neil dan Peter Grabosky. (2004). Smart Regulation Designing
Environmental Policy. Oxford: Oxford University Press.
Hadjon, Philipus M. et al. (2011). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
HR., Ridwan. (2014). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Indonesia, Menteri Pertanian. Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem
Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable
Palm Oil Certification System / MSPO), Nomor PM 11 Tahun 2015.
International Organization for Standardization. Certification and Conformity
Certification. Accessed on April 12, 2017 from https://www.iso.org/
certification.html.
Jr., Alphonse Iannuzzi. (2002). Industry Self-Regulation and Voluntary
Environmental Compliance. Washington DC: Lewis Publishers.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2016).
Siaran Pers: Pemerintah Siapkan Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Accessed on May 1, 2017 from http://www.ekon.go.id/press/view/siaran-
pers-pemerintah.2490.html.
Malaysian Palm Oil Certification Council. Board of Trustees. Accessed on May 30,
2017 from https://www.mpocc.org.my/board-of-trustees-mpocc.
Malaysian Palm Oil Certification Council. (2016). Stakeholder Consultation
Requirements During Oil Palm Management Certification Audits for
Certification Bodies Operating Oil Palm Management Certification Under
The Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) Certification Scheme (MSPO
Document).
Mamudji, Sri. et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
75
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Mzoughi, Naoufel dan Gilles Grolleau. (2003). Voluntary Instrument for
Environmental Management: a Critical Review of Definitions. Makalah
disampaikan pada Annual Conference of Canadian Economic Association,
Ottawa.
Parlemen Uni Eropa. Resolution 2222 (2016). 4 April 2017.
Roundtable on Sustainable Palm Oil. About. Accessed on March 27, 2017 from
http://www.rspo.org/about.
Roundtable on Sustainable Palm Oil. (2016). RSPO Impact Report 2016. Accessed
on April 27, 2017 from http://www.rspo.org/publications/download/
df716d24dd1ee80.
Roundtable on Sustainable Palm Oil. RSPO Smallholders Support Fund (RSSF).
Accessed on June 7, 2017 from http://www.rspo.org/smallholders/rspo-
smallholders-support-fund.
Roundtable on Sustainable Palm Oil. (2017). RSPO Standard Operating Procedure
for Standard Setting and Review (RSPO Document).
Saragih, Bungaran. (2016). Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia
dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global. Ed. 2. Bogor: PASPI.
Singh, Harnarinder dan Sanath Kumaran. (2016). Malaysian Palm Oil Certification
Council’s Role in The Implementation of The MSPO Certification Scheme.”
Makalah disampaikan pada Konferensi Minyak Kelapa Sawit Eropa, Warsaw.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. (1979). Peranan dan Penggunaan Kepustakaan
di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI.
Soekanto, Soerjono. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press.
Soemarwoto, Otto. (2004). Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tempo. (2017). Sri Mulyani Minta Industri Sawit Sumbang Pendapatan
Negara. Accessed on March 27, 2017 from https://m.tempo.co/read/
news/2017/02/02/090842383/sri-mulyani-minta-industri-sawit-sumbang-
pendapatan-negara.
76
Wibisana, Andri G. (2016). Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control,
Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela. Draft Buku Hukum Lingkungan
Indonesia.
Wibisana, Andri G. Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan. Dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana (Eds.), Hukum
Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus. [s.l.: s.n.].
Wulansari, Ica dan Ridzki R. Sigit. (2016). Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari
Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan. Accessed on July 6, 2017 from
http://www.mongabay.co.id/2016/03/18/sawit-berkelanjutan-standard-
sertifikasi-dan-desakan-perubahan/.
FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA
77
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
rekonstruksi Hukum Pembangunan dalam kebiJakan
Pengaturan lingkungan HiduP dan sumber daya alam
Oleh: Wahyu Nugroho1 dan Agus Surono2
Abstrak
Fungsi hukum dalam pembangunan nasional sebagai sarana pembaruan
masyarakat secara singkat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
pertama, bahwa hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat didasarkan atas
anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan
atau pembaruan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang
(mutlak) perlu; kedua, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang bisa berfungsi sebagai sarana pembangunan dalam arti penyalur arah
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.
Proses pembentukan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan
sumber daya alam, diperlukan grand design hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat, yang bertitik tolak kepada perubahan-perubahan sosial. Rekonstruksi
hukum pembangunan dalam pembentukan hukum pasca reformasi, diarahkan
pada daya dukung masyarakat, kesejahteraan sosial, dan lingkungan hidup. Selain
1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran & Dosen Fakultas Hu-kum Universitas Sahid Jakarta Fakultas Hukum USAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH. No. 84 Tebet Jakarta Selatan 12870, Telepon +6221 8312813-15 Ext. 202, Faximile +6221 8354763, Email: nugie_hukum@yahoo.co.id, wahyulaw86@yahoo.com.
2 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jl. Kompleks Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Selong, RT.2/RW.1, Selong, Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110. Memperoleh gelar dok-toral dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis dapat dihubungi melalui suro-no_uai@yahoo.com.
78
itu, proses pembentukan hukum harus menggunakan pendekatan yang holistik
dan interdisipliner.
Kata kunci: hukum pembangunan, kebijakan, sumber daya alam, lingkungan hidup.
Abstract
The legal functions of national development as a means of social reform are briefly
put forward as follows: first, that law is a means of social renewal based on the assumption
that regularity or order in development or renewal is something desirable or even perceived
(absolute ) need; secondly, that law in the sense of rule or rule of law can indeed serve
as a means of development in the sense of channeling the direction of human activity in
the direction desired by development or renewal. The process of forming legislation in the
field of environment and natural resources, required the grand design of law as a means
of renewal of society, which dotted to social changes. Reconstruction of development law
in the formation of post-reform law, directed to the support of society, social welfare,
and environment. In addition, the legal establishment process should use a holistic and
interdisciplinary approach.
Keywords: law of development, policy, natural resources, environmental.
1. Pendahuluan
Keterlibatan publik dalam setiap penentu kebijakan, keputusan hukum dan
kekuasaan dapat memiliki daya laku yang efektif ketika sebuah peraturan atau
kebijakan tersebut memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Hal ini seperti gagasan
Eugen Ehrlich, seorang yuris berkebangsaan Austria penganut legal pluralism yang
memperkenalkan konsep living law of the people (hukum yang hidup dari rakyat).
Dalam konsepnya, Ehrlich berpendapat bahwa hukum yang hidup dan baik itu
adalah berasal dari rakyat atau hukum yang relevan sesuai kehendak rakyat.3
3 Hedar Laudjeng dan Rikardo Simarmata, Pendekatan Madzhab Hukum Non-Positivistik dalam Bidang Hukum Sumber Daya Alam dalam Wacana, Edisi 6 Tahun II, (Jakarta: HuMa, 2000), hlm. 119.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
79
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Konsep Ehrlich kemudian diikuti oleh Roscoe Pound melalui teori hukumnya
law as a tool of social engineering atau hukum sebagai alat perekayasa sosial.4
Konsep-konsep dan kemudian menjadi teori hukum pembangunan oleh Mochtar
Kusumaatmadja secara historis merupakan modifikasi dari konsep Roscoe
Pound di Amerika dengan menyesuaikan kondisi Indonesia dan dimulai dari
pembentukan hukum (law making), selain putusan pengadilan. Politik hukum
perundang-undangan dan kebijaksanaan akan sangat menentukan arah suatu
kebijakan apakah memiliki nilai kemanfaatan atau kontraproduktif. Rumusan
kedua pemikir tersebut menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum yang
tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum dengan the living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan
hukum dan orientasi hukum.5
Teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja
mengenai fungsi hukum dalam pembangunan nasional yang digambarkan
dengan ungkapan “sebagai sarana pembaruan masyarakat” atau sebagai sarana
pembangunan” dapat secara singkat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut: pertama, bahwa hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat
didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam
usaha pembangunan atau pembaruan itu merupakan sesuatu yang diinginkan
atau bahkan dipandang (mutlak) perlu; kedua, bahwa hukum dalam arti kaidah
atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki
oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat
4 Roscoe Pound membahas secara rinci, teliti dan luas terhadap Sociological Jurisprudence di Amerika dengan lebih mengutamakan enam hal, yakni: (a) membahas dampak sosial yang nyata dari peran lembaga dan pemberlakuan doktrin-doktrin hukum; (b) mengajukan studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk menyiapkan perundang-undangan, karena hukum dianggap sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha sosial bi-jaksana untuk menemukan cara-cara terbaik; (c) mengembangkan efektivitas studi tentang cara membuat peraturan yang lebih menekankan pada tujuan sosial untuk dicapai oleh/secara hukum, dan bukan pada sanksi; (d) melakukan studi sejarah hukum sosiologis ten-tang dampak sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan cara mengembangkannya; (e) membela pelaksanaan hukum yang adil, dengan mendesak agar ajaran-ajaran hukum ha-rus dianggap sebagai petunjuk pada hasil yang adil bagi masyarakat; dan (f) mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum. Lihat: RB. Soemanto, Hukum dan Sosiologi Hukum, Lint-asan Pemikiran, Teori dan Masalah, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006), hlm. 102.
5 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 83.
80
dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk
menjamin adanya kepastian dan ketertiban.6 Dalam konteks produk legislasi
melalui proses pembentukan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup
dan sumber daya alam oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah,
diperlukan kerangka dasar hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Kerangka ini bertitik tolak kepada perubahan-perubahan sosial (social of change)
atau rekayasa sosial (social engineering) disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
kontemporer. Hal tersebut didesain sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial (social justice). Dinamika masyarakat yang selalu bergerak ke arah
partisipasi dalam proses pembuatan kebiijakan dan perundang-undangan, seperti
dengar pendapat umum, aspirasi daerah, dan lain sebagainya sebagai bahan
masukan untuk diakomodasi ke dalam kebijakan sesuai dengan kehendak rakyat.
Amandemen UUD 1945 mengenai rumusan Pasal 337 merupakan rumusan
yang mengatur secara prinsip mengenai perekonomian negara yang dibangun
pada masa reformasi. Dalam kurun waktu lebih tiga dasawarsa terakhir, politik
pembangunan hukum nasional diarahkan menganut ideologi sentralisme hukum
(legal centralism). Hal ini secara sadar dimaksudkan untuk mendukung paradigma
pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth development paradigm). Implikasinya, sumber daya alam
sebagai modal utama pembangunan bukan dikelola secara berkelanjutan, tetapi
justru dieksploitasi untuk mengejar target-target pertumbuhan ekonomi. Karena itu,
instrumen hukum yang digunakan untuk mendukung paradigma pembangunan
ekonomi seperti dimaksud di atas cenderung bercorak sentralistik, sektoral,
memihak kepada pemodal besar (capital oriented), eksploitatif, dan bernuansa
6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. I, (Bandung: PT Alumni, 2002), hlm. 87-88.
7 Konstitusionalitas Norma dalam Pasal 33 UUD 1945 hasil empat kali amandemen terdiri dari 5 ayat dengan rumusan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemak-muran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasi-onal; dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur didalam undang-undang.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
81
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
represif dengan menggunakan pendekatan keamanan (security approach).8
Pemikiran hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja
pada masa pemerintahan Orde Baru telah merasuk ke dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1972. Dalam GBHN, pembangunan
hukum senantiasa mengorientasikan hukum sebagai sarana untuk melakukan
pembaharuan masyarakat. Muatan substansial yang kental dengan teori hukum
pembangunan tersebut ternyata sulit diterapkan di masa itu dengan penyebab
utamanya pemerintahan yang bersifat otoriter, sekalipun karakter hukumnya
responsif. Permasalahan lingkungan hidup (environmental problem) pada masa
kejayaan teori hukum pembangunan yang berorientasi pada hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat sulit terpecahkan dengan baik. Penyebabnya,
karena budaya hukum masyarakat yang belum terbangun, serta rendahnya tingkat
ketaatan badan usaha dan masyarakat terhadap instrumen, peraturandan perizinan
lingkungan. Dalam rangka mendorong ketaatan industri terhadap peraturan
lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
melaksanakan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER).
PROPER bertujuan untuk mendorong industri menerapkan prinsip ekonomi
hijau dengan kriteria penilaian kinerja sistem manajemen lingkungan, efisiensi
energi, konservasi air, pengurangan emisi, perlindungan keanekaragaman
hayati, 3R limbah B3 dan limbah padat non-B3 serta mengurangi kesenjangan
8 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Otonomi: Tinjauan Hukum dan Kebijakan, Jurnal Suloh, Vo. V, No. 1, (Lhokseumawe: Fakultas Hukum Unimal, April 2007), hlm. 1.
82
ekonomi dengan menerapkan program pemberdayaan masyarakat.9
Dalam konteks penegakan hukum lingkungan, yang bertanggungjawab di
level pusat adalah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (Gakum LHK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK). Direktorat tersebut terbentuk sejak pada Juni 2015 dan telah bertugas
efektif melaksanakan upaya-upaya penegakan hukum. Selain penanganan kasus,
KLHK juga melakukan pencegahan tindakan pidana peredaran hasil hutan dan
pengamanan kawasan hutan, yang dilaksanakan pada 187 lokasi di seluruh
9 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) telah dimulai sejak tahun 1996 yang diikuti 96 perusahaan, dan saat itu tingkat ketaatan baru 46%. Hal yang menggembirakan, pada tahun 2017 ini tingkat ketaatan perusahaan mencapai 92% atau meningkat 7% dari tahun lalu. PROPER telah mendapat apresiasi dari World Bank, PROPER juga dijadikan penilaian Key Performance Index (KPI) perusahaan. PROPER dijadikan sebagai prasyarat analisa perbankan, bahkan PROPER menjadi acuan pem-berian penghargaan oleh kementerian lain. Pengalaman di tahun 2016, jumlah peserta PROPER mencapai 1.930 perusahaan yang terdiri dari 111 jenis industri, dengan tingkat ketaatan PROPER mencapai 85%. Peraih peringkat EMAS sebanyak 12 perusahaan, HIJAU 172 perusahaan, BIRU 1.422 perusahaan, MERAH 284 perusahaan, HITAM 5 perusahaan, dan 35 perusahaan lainnya tidak diumumkan terdiri dari 13 perusahaan dalam proses penegakan hukum dan 22 perusahaan tutup/tidak beroperasi. Parameter capaian PROPER yang bisa dihitung selama 2 tahun terakhir (2016 – 2017) menunjuk-kan bahwa dana bergulir di masyarakat melalui program CSR mencapai Rp. 7 Triliun; Efisiensi energi 230 juta GJ; Penurunan emisi Gas Rumah Kaca 33 juta ton CO2 Equiva-len; Efisiensi Air 492 juta m3; Penurunan emisi konvensional 135 juta ton; Penurunan beban air limbah 535 juta ton; Reduksi limbah padat non B3 11 juta ton; dan Reduksi limbah B3 13 juta ton. Peringkat PROPER dibagi menjadi 5 yaitu EMAS, HIJAU, BIRU, MERAH, dan HITAM. Peringkat tertinggi adalah EMAS dan peringkat terburuk adalah HITAM. Perusahaan yang memperoleh peringkat EMAS adalah perusahaan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi, melak-sanakan bisnis yang beretika, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Aspek pe-nilaian ketaatan yang dievaluasi dalam penghargaan PROPER meliputi izin lingkungan, pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, pengolahan limbah B3, dan potensi kerusahan lahan khusus untuk kegiatan pertambangan. Lihat: http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/943, diakses pada tanggal 2 Februari 2018.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
83
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Indonesia.10
Rekonstruksi pemikiran hukum pembangunan sangat perlu dilakukan pasca
reformasi yang dimulai sejak tahun 1999 hingga saat ini, khususnya perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal tersebut
dikarenakan pemikiran dan peran masyarakat berkembang sangat dinamis dalam
merespon kebijakan maupun penegakan hukum.
Dasar argumentasi tersebut sebagai latar belakang pemikiran juga diperkuat
dalam literatur yang lain tentang teori-teori besar dalam hukum (grand theory),
menyatakan bahwa di masa pemerintahan Presiden Soeharto, hukum sebagai
sarana (alat) pembangunan (a tool of development) dimana sektor hukum sangat
didayaupayakan untuk ikut menyukseskan pembangunan. Namun, sayangnya
karena rendahnya kesadaran hukum dari para pembuat dan penegak hukum
waktu itu, menyebabkan hukum sebagai sarana (alat) pembangunan berubah
fungsi menjadi hukum sebagai alat untuk mengamankan pembangunan, yang
10 Menurut Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, sebanyak 200 pengaduan kasus yang diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada 2017, sampai Mei ini telah tertangani hampir 95%. Sebanyak 75 persen terselesaikan dan sisanya dalam proses. Ber-dasarkan hasil kegiatan tersebut, selama tahun 2015-2017, tercatat pembalakan liar sebanyak 7.090 m3, perambahan kawasan seluas kurang lebih 4,2 juta Ha, dan peredaran tumbuhan dan satwa liar sebanyak 11.636 unit. “Dalam melakukan penegakan hukum, KLHK meng-gunakan tiga instrumen yaitu penerapan sanksi administrasi, penegakan hukum pidana, dan penegakan hukum perdata, termasuk untuk penanganan kasus pencemaran lingkun-gan, serta kebakaran hutan dan lahan”. Sebanyak 393 sanksi administrasi diterbitkan selama dua tahun ini, terdiri dari 189 surat peringatan, 23 teguran tertulis, 156 paksaan pemerin-tah, 21 pembekuan izin, dan 3 pencabutan izin. Dalam penanganan kasus pidana, sebanyak 381 kasus telah masuk P-21, sedangkan untuk kasus perdata. Rasio Radho menerangkan telah dilakukan melalui kesepakatan di luar pengadilan sebanyak 40 kasus, serta melalui pengadilan dihasilkan beberapa putusan dan eksekusi. Kemajuan proses penegakan hukum terhadap beberapa kasus strategis, antara lain yaitu : 1. Bersama-sama Kementerian Koor-dinasi Bidang Kemaritiman, mendaftarkan gugatan terhadap tiga perusahaan asing asal Thailand ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (23/5/2017), atas kasus ledakan tidak terk-endali di Sumur Minyak H1 – ST1 yang terjadi 21 Agustus 2009, sekitar 51 mil laut sebelah tenggara Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur; 2. Perambahan lahan oleh kebun sawit seluas total 47.000 ha di kawasan hutan Padang Lawas, Sumatera Utara, dimana pemilik perusahaan dengan inisial DLS telah ditetapkan sebagai tersangka (17/5/2017); 3. Kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT. JJP, yang telah diputuskan oleh Pengadilan Tingggi DKI Jakarta, harus membayar ganti rugi Rp 119.888.500.000 dan memulihkan lahan 1.000 ha dengan biaya pemulihan Rp 371.137.000.000 (10/03/2017); 4. Pengenaan sanksi admin-istrasi Tahun 2017 terhadap 53 perusahaan; dan 5. Penanganan kasus kandasnya kapal di perairan Bangka Belitung dan Taman Nasional Karimun Jawa. Lihat: http://www.medi-aindonesia.com/news/read/106307/95-persen-kasus-penegakan-hukum-lhk-tertangani-hingga-mei-2017/2017-05-26, diakses pada tanggal 02 Februari 2018.
84
mempunyai konsekuensi munculnya banyak hukum yang sangat represif dan
melanggar hak-hak masyarakat, mengantarkan banyak aktivis ke rumah penjara
atau ke liang kubur.11
Pemikiran hukum pembangunan bertumpu pada aspek hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat, dalam hal ini permasalahan lingkungan di
segala sektor di bidang sumber daya alam akan menjadi perubahan sosial bagi
masyarakat sekitar. Diharapkan melalui pembentukan hukum, teori hukum
pembangunan mampu diterapkan dengan baik oleh aparat pemerintahan dan
aparat hukum dengan orientasi rekayasa sosial. Hukum pembangunan akan
direkonstruksi dalam konteks pembentukan hukum di bidang lingkungan hidup
dan sumber daya alam pasca reformasi sejak tahun 1999 hingga sekarang. Dengan
demikian, berdasarkan ruang lingkup tersebut, permasalahan yang muncul dalam
paper ini adalah:
1. Bagaimana diagnosa hukum pembangunan dalam kebijakan pembentukan
perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam sebelum dan
sesudah reformasi?
2. Bagaimana rekonstruksi hukum pembangunan dalam kebijakan pengaturan
lingkungan hidup dan sumber daya alam?
II. Diagnosa Hukum Pembangunan Dalam Kebijakan Pembentukan
Perundang-Undangan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
Sebelum dan Sesudah Reformasi
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk
menegakkan martabat manusia. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan ialah
mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.12 Oleh
karena itu, hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat
hendaknya diwujudkan dalam pembentukan hukum (regulasi) di sektor-sektor
strategis berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
11 Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prena-damedia Group, 2013), hlm. 259.
12 Laksanto Utomo, “Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim un-tuk Menciptakan Keadilan”, dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Cet. I, (Yo-gyakarta, Diterbitkan atas Kerjasama Thafa Media dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. 284.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
85
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Dalam kaitannya dengan fungsi kaidah hukum, Sudikno Mertokusumo
mengatakan fungsi kaidah hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan
tatanan didalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuan hukum tercapai,
yaitu ketertiban masyarakat.13 Agar kepentingan manusia terlindungi, maka
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum
yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah,
hukum menjadi kenyataan.14 Sejumlah kaidah atau norma yang diatur dalam
perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam sudah semestinya
melindungi perilaku manusia dari perbuatan eksploitasi sumber daya alam dan
perusakan lingkungan, seperti pembakaran hutan, pencemaran sungai dan lautan.
Khudzaifah Dimyati dalam disertasinya mengklasifikasikan perkembangan
teorisasi hukum dari hukum alam, hingga hukum modern masa transisi.
Disini penulis lebih menyoroti teori hukum pembangunan yang berkembang
pesat di era orde baru kemudian menjelma dalam bentuk GBHN (Garis-garis
Besar Haluan Negara). Seiring dengan pesatnya teori hukum pembangunan
pada waktu itu, berkembang pula isu-isu lingkungan hidup, pencemaran atau
kerusakan lingkungan.15 Teori hukum yang berkembang orde baru dalam hal
ini teori hukum pembangunan. Karakteristik tipologi pemikiran hukum pada
periode era orde baru sangat dipengaruhi oleh suasana fenomena hukum yang
melingkupinya. Kecenderungan pemikiran-pemikiran hukum dipandang sebagai
pemikiran yang bersifat transformatif. Artinya pemikiran transformatif bukan
13 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 4.14 Ibid., hlm. 11.15 Teori hukum pembangunan yang berkembang pada tahun 1970-an dalam tataran konsep-
tual sebenarnya sudah bagus yang dikonkretkan melalui perumusan dalam garis-garis besar haluan negara. Dalam konteks substansi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam hendaknya mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup secara nasional. Permasalahan lingkungan hidup bukannya berkurang, malah justru bertambah karena akibat manusia yang eksploitatif terhadap pengelolaan sum-ber daya alam, Terlebih, karakter pemerintahan tidak mendukung adanya konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Namun terjadi konfigurasi politik dan hukum, sehingga dipengaruhi oleh karakter pemerintahan di zaman orde baru, sehingga substansi hukum pembangunan atau sebagai sarana pembaharuan masyarakat masih jauh dari ha-rapan untuk diwujudkan dalam kenyataan. Hal tersebut dikarenakan pemerintahan orde baru yang sangat otoriter. Konfigurasi politik dan hukum tersebut pernah dijadikan sebagai bahan kajian disertasi Mahfud MD tentang politik hukum di Indonesia.
86
hanya menyentuh aspek-aspek normatif dan doktrinal semata-mata, melainkan
berusaha mentransformasikan fenomena-fenomena hukum dari aras empirik
tentang keharusan untuk membicarakan hukum dalam konteks masyarakatnya
yang dikonstruksikan ke dalam tataran teoritik-filosofis.16
Secara konstitusionalitas, penguasaan sumber daya alam oleh negara,
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dengan tujuan dari
penguasaan tersebut, yaitu guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir
Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:17
a. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan
alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat;
b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau
di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan
secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.
Pembangunan ekonomi nasional maupun lokal sebagai implementasi dari
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dimana terdapat hak penguasaan negara atas sumber
daya alam, diikuti oleh ayat ke (4) dengan memerhatikan beberapa prinsip,
diantaranya keadilan, berwawasan lingkungan dan keberlanjutan. Kebijakan
di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam bentuk perundang-
undangan lingkungan hidup telah mengalami dua kali revisi, yakni Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai
hasil dari revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1984 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dari Undang-
Undang Nomor 23 tahun 1997 terakhir diubah menjadi Undang-Undang Nomor
16 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indone-sia 1945-1990, Cet. I, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hlm. 161-162.
17 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 17.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
87
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Semangat yang dibawa undang-undang perubahan tersebut sama dalam konteks
pelestarian lingkungan. Selain itu, judul undang-undang mengalami perubahan
pula hingga yang terakhir terkandung spirit perlindungan dan spirit pengelolaan.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur keterpaduan sebagai pedoman
dalam penerbitan, pelaksanaan dan pengawasan izin bidang lingkungan hidup.18
Selain itu, Undang-Undang Nomor 32/2009 juga disebut sebagai undang-undang
payung (umbrella lex) atau perundang-undangan lingkungan hidup yang umum
(general environmental law). Instrumen-instrumen tersebut memuat hal-hal yang
utuh dan menyeluruh berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Undang-undang payung tersebut dapat diartikan memayungi kebijakan
pengaturan (undang-undang) yang bersifat sektoral.
Sebagai sebuah diagnosa awal, teori hukum pembangunan di masa orde baru
lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik daripada semangat yang
dibawa teori hukum pembangunan yang tertuang didalam GBHN, merupakan
sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia yang
dibuat MPR lalu dilaksanakan dengan sebaik baiknya oleh presiden. Isi wacana
yang sudah tersemat didalam GBHN tidak diperbolehkan bersimpangan atau
bertentangan dan berbeda tujuan dengan UUD 1945. Fungsinya, pertama, sebagai
visi dan misi rakyat Indonesia yang ditujukan untuk rencana pembangunan
nasional dimana proses pembangunan yang akan dijalankan harus sesuai dengan
apa yang dibutuhkan masyarakat secara merata adil dan makmur, dan kedua,
18 Dalam konteks peraturan perundangan lingkungan hidup dan sumber daya alam, instru-men lingkungan hidup erat kaitannya dengan kebijakan publik. Hukum dalam bentuk per-aturan adalah perwujudan dari kebijakan publik penguasa, dan kebijakan publik itu sendiri merupakan proses politik, karena itu kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari isu-isu lingkungan politik. Lihat: Sigler, Jay A. dan Benyamin R. Beede, The Legal Sources of Public Policy, (Toronto: Lexington Books, 1978), hlm. 3. Hukum adalah produk politik, karena fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan seringkali diintervensi oleh kekuatan politik. Hu-kum sebagai perwujudan dari kebijakan publik adalah peraturan, karena itu peraturan juga sangat dipengaruhi oleh paradigma atau cara pandang penguasa terhadap hukum. Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. v-viii. Penguasa memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka penguasa akan men-gambil kebijakan publik yang kemudian diwujudkan menjadi peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem sosial yang dapat mengatur dan mengendal-ikan masyarakat. bandingkan dengan: Nonet, Philippe and Philip Selznick, terj., Hukum dan Masyarakat Dalam Transisi Menuju Hukum yang responsif, (Jakarta: Media Nusantara, 2001), hlm. 28.
88
pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk kepentingan rakyat; dan kedua, pelaksanaannya mencakup
beberapa aspek penting yaitu aspek kehidupan berbangsa, politik, sosial budaya,
pertahaanan keamanan dan ekonomi, dimana dilakuakan dengan memperkuat
manfaat dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan memperkuat ketahanan
nasional secara merata.
Budiono Kusumohamidjojo19 menyoroti dengan tajam mengapa Roberto
Mangabeira Unger mengamati bahwa hukum itu senantiasa merupakan bulan-
bulanan perebutan kekuasaan dalam masyarakat. seperti pemahaman Marx,
hukum itu semata-mata alat di tangan yang berkuasa untuk mempertahankan
kedudukan nikmat mereka. Hukum pada akhirnya adalah realisasi dari politik,
hukum itu tidaklah bersifat bebas nilai. Pada akhirnya tidak dapat terhindarkan
bahwa ‘hukum adalah politik’, tetapi tidaklah sekaligus niscaya bahwa ‘politik
adalah hukum’.20 Studi kritik hukum (critical legal studies) versi Unger dan
kelanggengan ruang sosial yang tunduk pada dominasi hegemonial yang
bersandar pada positivisme hukum.
Penulis menilai bahwa fenomena pengembangan hukum pembangunan masa
masa orde baru yang secara eksplisit tertanam didalam GBHN ternyata tidak
diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya, sehingga tidak ada garis
pemisah antara politik dan hukum. Alam pemikiran studi hukum kritis (critical
legal studies) melihat bahwa hukum pembangunan pada masa itu berorientasi pada
kelanggengan status quo, dan kesetiaan terhadap hukum yang represif, yakni
kebijakan hukum tidak memerhatikan kebutuhan-kebutuhan dan perubahan di
masyarakat, khususnya dinamika isu lingkungan hidup yang semakin kompleks,
sehingga kerusakan dan atau pencemaran lingkungan sedemikian masifnya.
Pembangunan hukum dan masyarakat ternyata tidak memberikan pengaruh yang
signifikan, karena tidak didukung oleh rezim yang lebih mengedepankan politik
dan ekonomi.
Studi hukum kritis dalam konteks kebijakan hukum pembangunan di
sektor lingkungan hidup menyoroti isu-isu lingkungan baik kerusakan hutan,
19 Budiono Kusumohamidjojo, Cet. I, Teori Hukum, Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, (Band-ung: Penerbit Yrama Widya), 2016, hlm. 217.
20 Roberto M. Unger, Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal Kasim, (Jakarta: ELSAM), 1999, hlm. 23.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
89
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
pencemaran sungai, industrialisasi yang berimbas pada pencemaran lingkungan,
serta pengambilan keputusan dan kebijakan negara didominasi oleh kelompok
kapitalis. Ditegaskan lagi, secara radikal, gerakan studi hukum kritis menggugat
teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi
hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics
distinction).21 Sebagai contoh lain dominasinya kekuasaan/politik dalam undang-
undang pertama kali lingkungan hidup di masa orde baru, yakni semangat
perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat sebagaimana dinyatakan eksplisit
melalui GBHN di sektor pengelolaan lingkungan hidup melalui Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1984 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dalam praktik kekuasaan eksekutif terjadi ego sektoral diantara kementerian atau
lembaga untuk menangani permasalahan pencemaran atau kerusakan lingkungan,
penaatan terhadap instrumen lingkungan hidup lemah, dan berbagai macam
sanksi lingkungan hidup, antara lain sanksi administrasi berupa teguran hingga
pencabutan izin usaha, dan sanksi pidana ternyata tidak cukup memberikan
pengaruh yang signifikan. Dua kali perubahan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi
faktor penentu keberhasilan kebijakan pembangunan hukum lingkungan yang
berorientasi pada kelestarian lingkungan ditengah maraknya investasi saat ini di
berbagai sektor, diantaranya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Tolok
ukurnya adalah pelaku usaha taat terhadap instrumen perizinan lingkungan
hidup dan ketegasan pemerintah dalam memberikan sanksi.
Permasalahan yang substansial tersebut diikuti pula oleh ego sektoral diantara
kementerian atau lembaga yang memiliki titik persinggungan. Misalnya terdapat
persinggungan tugas antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Empat permasalahan utama terkait agraria dan tata ruang di Indonesia, yakni
ketidakpastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah, ketimpangan penguasaan tanah, sengketa, dan konflik pertanahan yang
berkepanjangan serta konflik tata ruang yang menghambat pembangunan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 13,1
21 W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjemahan: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa), 1993, hlm.169-200.
90
juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi di seluruh daerah di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sekitar 6,6 juta ha sudah dipakai untuk kebun. Lahan
selebihnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebanyak 4-5 juta ha.22 Selain itu,
termasuk juga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dari dinamika legislasi tersebut, dapat diidentifikasi bahwa teori hukum
pembangunan pada awal kelahirannya tidak mendapatkan dukungan oleh
karakter pemerintahan yang represif dan otoriter. Hukum itu senantiasa
merupakan alat perebutan kekuasaan dalam masyarakat, yakni dominasinya
kekuasaan/politik dalam undang-undang lingkungan hidup pertama kali di
masa orde baru, yakni semangat perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat
dalam desain Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pengelolaan lingkungan
hidup yang dikonkretkan ke dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1984 tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 23
tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Perjalanan kedua regulasi
tersebut melahirkan kekuasaan yang represif, ego sektoral antar kementerian atau
lembaga dalam menangani masalah pencemaran atau kerusakan lingkungan dan
tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku perusakan lingkungan, yakni
kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan, dan kementerian agraria
yang selalu tumpang tindih kewenangan dalam aspek perizinan. Sedangkan dalam
pengembangan teori hukum pembangunan pasca reformasi terkait kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup adanya menunjukkan transparansi dan peran
publik dalam pembuatan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, teori
hukum pembangunan pasca reformasi akan memiliki daya laku yang efektif disaat
masyarakat terlibat dan ikut serta dalam proses penyusunan dokumen lingkungan
22 Lihat: http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/17/01/06/ojcjg640-tekan-ego-sektoral, diakses pada tanggal 03 Februari 2018.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
91
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
dan aktif menyuarakan hak-hak atas lingkungannya.23
Kebijakan pengelolaan lingkungan tidak lepas dari persoalan penataan ruang.
Pengertian penataan ruang adalah proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang.24 Mengacu pada pengertian ini, penataan
ruang semestinya menjadi wadah bagi kegiatan pembangunan yang memanfaatkan
ruang, sehingga penataan ruang dapat menjadi acuan dan pedoman bagi perumusan
kebijakan pembangunan sektor dan daerah.25 Keterkaitan perencanaan tata ruang
dan pembangunan berkelanjutan merupakan suatu aksioma, yakni sesuatu
yang sudah pasti dan tidak memerlukan pembuktian serta telah diketahui oleh
masyarakat umum. Meskipun aksiomatik, namun kita memperoleh pemahaman
tambahan dari kenyataan tersebut, yakni praktik pelaksanaan sistem perencanaan
tata ruang yang memengaruhi tujuan akhir pembangunan berkelanjutan, yakni
proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumber alam yang
ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam
batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan akan memungkinkan generasi
sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi
generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.26 Jika pelaksanaan
sistem perencanaan tata ruang berjalan dengan baik, maka tujuan pembangunan
23 Didalam Pasal 70 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelo-laan lingkungan hidup dinyatakan secara eksplisit bahwa: (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian infor-masi dan/atau laporan. (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan ke-peloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
24 Lihat: Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang25 Didalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penge-
lolaan Lingkungan Hidup berkenaan dengan pencegahan, salah satu instrumen pencega-han pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah tata ruang. Selain itu, Pasal 15 undang-undang tersebut mengatur tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga mengatur mengenai tata ruang sebagai dasar penyusunan KLHS oleh pemerintah dan pemerintah daerah, Pasal 15 ayat (2) huruf a dinyatakan: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Ren-cana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
26 Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas, Bandung: Departe-men Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran Bandung, 2006, hlm. 22.
92
berkelanjutan akan tercapai, demikian pula sebaliknya.27
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pasca reformasi dalam pengembangan
teori hukum pembangunan terejawantahkan dalam melalui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, yang dipandang cukup komprehensif bila dibandingkan dengan produk
hukum sebelumnya, dimulai dari instrumen perizinan lingkungan, peran serta
masyarakat, asas-asas, sanksi-sanksi yang tegas. Tidak hanya pelaku usaha, tetapi
pemerintah daerah dapat juga dikenakan sanksi oleh pusat, hingga ke persoalan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Instrumen terpenting lainnya dalam
undang-undang payung (induk) yaitu terkait dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, yang dapat ditemukan di dalam Pasal 22 Paragraf 5 Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 33 dari
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam
27 Terdapat tolok ukur pencapaian keberhasilan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan penataan ruang. Ruang yang baik dan sesuai dengan perkembangan karena, dampak dari pembangunan akan mengakibatkan perubahan besar baik terhadap struktur ekonomi, sos-ial, fisik, wilayah, pola konsumsi, sumber alam dan lingkungan hidup, tekhnologi, maupun perubahan terhadap sistem nilai dan kebudayaan. Di sisi lain, perubahan besar itu sendiri membawa pengaruh yang tidak diharapkan dan tidak direncanakan, terutama dalam bentuk dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Sesungguhnya, terjadinya kerusakan lingkun-gan lebih banyak disebabkan oleh, sikap penghilafan pembangunan yang kurang menyadari pentingnya segi lingkungan hidup. Pembangunan yang dilakukan pada saat ini, adalah un-tuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dampak negatif dari pembangunan sering terjadi pada lingkungan akibat penataan ruang yang kurang baik dan tidak dihar-monisasikan dengan lingkungan. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah baru yang jus-tru dapat memperburuk kehidupan masyarakat. Karena saat ini kebijakan penataan ruang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah masing-masing, maka usaha meminimalisasi dampak negatif akibat pembangunan perlu dilakukan dengan pengaturan penataan ruang yang baik, karena penataan ruang akan menjadi penentu kualitas lingkungan.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
93
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.28 Di dalam
Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut, Amdal disusun oleh pemrakarsa pada
tahap perencanaan suatu usaha atau kegiatan yang wajib sesuai dengan rencana
tata ruang, apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal
tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada pemrakarsa.
Implementasi teori hukum pembangunan pasca reformasi ditandai dengan
keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam proses penyusunan dokumen
lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dalam penyusunan dokumen lingkungan
hidup yang lebih teknis, diatur di dalam Peraturan Menteri.29 Sedangkan khusus
mengenai pengikutsertaan masyarakat dalam penyusunan Amdal, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) PP No. 27 tahun 2012, yakni: a. masyarakat yang
terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; c. dan atau yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, diatur lebih teknis di dalam
Peraturan Menteri berkaitan dengan tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam
penyusunan Amdal.30
28 Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 ten-tang Izin Lingkungan. PP tersebut sebagai perubahan dari PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Di dalam Pasal 74 PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dinayatakan: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
29 Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Ling-kungan Hidup, sebagai pelaksana dari Pasal 6 dan Pasal 16 PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Dalam Peraturan Menteri ini, Pasal 10 menyatakan: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman-
Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; dan b. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Penyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
30 Peraturan Menteri dimaksud adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Repub-lik Indonesia No. 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, untuk melaksanakan Pasal 9 ayat (6) dan Pasal 52 PP No. 27 tahun 2012. Adapun Muatan Pedoman keterlibatan masyara-kat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Izin Lingkungan dinyatakan dalam Pasal 4 Permen. Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2012: a. pendahuluan; b. tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan; dan c. tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses izin lingkungan.
94
Sistem Amdal di Indonesia telah ada sekitar 20 tahun lamanya. Pada akhir tahun
2003, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meluncurkan suatu tahap lanjutan
dari reformasi sistem kajian dampak lingkungan. Revitalisasi Amdal bertujuan
untuk menjawab berbagai tantangan, misalya Bank Dunia telah menyediakan
bantuan dari revitalisasi Amdal melalui riset untuk mengadaptasikan peraturan
lingkungan hidup yang berubah. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh
Helmi,31 di tingkat Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Timur dengan melihat
berbagai sistem Amdal ada pada saat ini dapat divariasikan untuk memungkinkan
berbagai perbedaan di dalam prioritas lingkungan yang ada dari satu daerah ke
daerah lain atas praktik Amdal yang baik.
Amdal dan UKL-UPL merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
Izin Lingkungan.32 Pada dasarnya, proses penilaian Amdal atau pemeriksaan
UKL-UPL merupakan satu kesatuan dengan proses permohonan dan penerbitan
izin lingkungan. Dengan dimasukkannya Amdal dan UKL-UPL dalam proses
perencanaan usaha dan/atau kegiatan, maka Menteri, Gubernur, atau Bupati/
Walikota sesuai dengan kewenangannya mendapatkan informasi yang luas dan
mendalam terkait dengan dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dan langkah-langkah pengendaliannya,
baik dari aspek teknologi, sosial, dan keagamaan.33 Tujuan diterbitkannya izin
lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup. Disamping
itu juga untuk memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antar
instansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk usaha dan/atau kegiatan bagi
31 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 132. 32 Dalam Pasal 36 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, mengatur tentang izin lingkungan. Dinyatakan: ayat (1) Setiap usaha dan/atau ke-giatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. ayat (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. Ayat (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantum-kan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomen-dasi UKL-UPL. Ayat (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
33 Bachrul Amiq, Penerapan Sanksi Administrasi dalam Hukum Lingkungan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2013), hlm. 86.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
95
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
setiap pelaku usaha.34
Satjipto Rahardjo juga menekankan bahwa fungsi hukum sebagai sarana
social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana
untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini,
hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada di dalam
masyarakat untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.
Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi35 keputusan-keputusan
yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-
tujuan yang dikehendaki. Demokrasi yang sedang membangun di masa transisi
saat ini membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan atau
perumusan kebijakan publik di sektor usaha dalam kaitannya dengan persoalan
lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pasca reformasi, hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat hendaknya diorientasikan kepada kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dan peran serta masyarakat dalam proses perumusan
kebijakan di sektor lingkungan hidup. Teori hukum pembangunan harus mampu
menjawab sejumlah kasus belakangan ini diantaranya illegal loging, pembakaran
hutan dan lahan,36 reklamasi pantai dengan penolakan warga, pembangunan
pabrik semen yang merusak lingkungan di kawasan lindung dan telah ditetapkan
berdasarkan Perda Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah Kabupaten Rembang
34 Ibid., hlm. 87.35 Artinya manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan
memberikan ancaman pidana, insentif, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dan pe-rubahan sosial adalah jelas sekali, karena hukum disini justru dipanggil untuk mendatang-kan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Ibid., hlm. 126.
36 Lihat: Presiden dinyatakan bersalah terkait kebakaran hutan di indonesia, http://regional.kompas.com/read/2017/03/23/17590361/presiden.dinyatakan.bersalah.terkait.kebakaran.hutan.di.indonesia, diakses pada tanggal 24 Maret 2017.
96
Provinsi Jawa Tengah Nomor 14 Tahun 2011,37 serta aktivitas pertambangan yang
mendapatkan perlawanan dengan masyarakat adat/tradisional.
37 Dalam kasus masyarakat petani di pegunungan kendeng Kabupaten Rembang Jawa Tengah, kawasan pegunungan kendeng ditetapkan pemerintah sebagai lokasi pendirian pabrik se-men gresik (sekarang menjadi PT Semen Indonesia, tbk. persero), didirikan sejak tahun 2010. Kasus ini terus-menerus muncul di media, menyedot perhatian publik dan menjadi isu nasi-onal. Melalui proses litigasi, pihak perwakilan Masyarakat Rembang, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Hidup, dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menga-jukan upaya Hukum Peninjauan Kembali pada perkara Putusan PK No. 99/PK/TUN/ 2016 dengan mengajukan Novum baru, adapun Amar Putusanya Majelis Hakim PK menyatakan mengabulkan permohon PK Masyarakat Rembang, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Hid-up, dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pada putusan PK No. 99/PK/TUN/ 2016 memerintahkan juga agar Gubernur Jawa Tengah mencabut Surat Keputu-san Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012. Ketentuan mengenai perintah MA tersebut telah dilakukan pencabutan oleh Gubernur Jawa Tengah yakni dengan dicabutnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012. Namun, kendatinya Gubernur Jawa Tengah menerbitkan keputusan baru dengan dikeluarkannya Surat No. 660.1/6 tahun 2017 tentang Penerbitan Izin Lingkungan Semen di Rembang, sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Penilai Amdal (KPA), yang men-gizinkan PT. Semen Indonesia melakukan penambangan pabrik di Rembang, Jawa Tengah tersebut. Meskipun demikian, kegiatan pertambangan semen hingga saat ini belum beroper-asi dikarenakan masih terjadi penolakan warga. Bahkan, sejak hari Kamis, tanggal 16 Maret 2017 warga kendeng berdatangan di Jakarta melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen berlokasi di sebrang kantor presiden hingga berlangsung 2 minggu. Dalam aksi tersebut, terjadi insiden meninggalnya Ibu Patmi salah seorang warga kendeng yang pada saat itu kakinya masih dicor semen, dimana sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, diduga terkena serangan jantung pada tanggal 21 Maret 2017. Oleh para aktivis lingkungan, Ibu Patmi disebut sebagai pahlawan kartini kendeng yang berjuang melawan rezim otori-tarianism dan justru kontradiktif terhadap program pemerintah yang selalu menyatakan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya ke-anekaragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
97
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
III. Rekonstruksi hukum pembangunan dalam kebijakan pengaturan
lingkungan hidup dan sumber daya alam
Dalam kaitannya dengan hierarki norma38 hukum, Hans Kelsen mengemukakan
teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Kelsen berpendapat bahwa
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif, yakni norma dasar (Grundnorm).39
Menurut Bruggink sebagaimana dialihbahasakan oleh B. Arief Sidharta,40
bahwa orang berbicara tentang keberlakuan normatif suatu kaidah hukum, jika
kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang
didalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap
lainnya. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan
hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum
umum. Didalamnya, kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari
kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Karena pada keberlakuan ini diabstraksi
dari isi kaidah hukum, tetapi perhatian hanya diberikan pada tempat kaidah
38 Perkataan ‘norm’ (dalam bahasa-bahasa Barat) berasal dari bahasa latin “norma”, dan di Jerman telah memperoleh sifat dari sebuah perkataan-pinjaman, yang menunjukkan teru-tama jika tidak secara eksklusif suatu ketertiban, preskripsi, atau perintah. Akan tetapi, hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma. Memberikan ke-wenangan (authorising), mengizinkan dan penderogasian adalah juga fungsi-fungsi dari norma-norma. Menunjuk pada (merefer) norma-norma dari moralitas atau hukum sebagai preskripsi-preskripsi bagi tingkah lakubertimbal-balik antar manusia, dan dengan demikian berusaha untuk memunculkan (mengungkapkan) bahwa apa yang kita namakan “morali-tas” atau “hukum” terdiri dari norma-norma, adalah suatu agregasi, atau sistem dari norma-norma. Kita juga berbicara tentang “norma-norma” dari logika sebagai preskripsi-preskripsi bagi berpikir (menalar), tetapi asumsi bahwa asas-asas logikal yang demikian seperti hukum non-kontradiksi atau aturan-aturan inferensi mempunyai sifat dari norma-norma, bhwa logika sebagai sebuah ilmu (a science) berurusan dengan norma-norma sama sebagaimana etika dan ilmu hukummelakukannya adalah terbuka bagi perdebatan. Lihat: Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy, Hukum dan Logika, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Cet. 2, (Bandung: PT Alumni, 2006), hlm. 1-2.
39 Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1945), hlm. 113.40 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa dari Bruggink dengan judul buku asli
“Rechtsreflecties”, Cet. 2, (Bandung: PT Citra Aditya, 1999), hlm. 150.
98
hukum itu didalam sistem hukum, maka keberlakuan ini disebut juga keberlakuan
formal. Dalam pendekatan keberlakuan kaidah hukum ini, maka dengan demikian
tiap kaidah hukum harus diderivasi dari sistem hukum itu, tanpa memerhatikan
isi kaidah hukum itu.
Konsistensi antar norma berdasarkan hierarkhi peraturan tersebut senada
dengan kelompok positivis dari pemikiran H.L.A. Hart,41 sebagai tokoh aliran
positivis berusaha menjelaskan perubahan hukum dalam kehidupan modern,
dimana sebagian besar tatanan kehidupan masyarakat adalah hukum. Perubahan
masyarakat atau kehidupan berdasarkan kepada ‘primary rules of obligation’
(hukum yang muncul alami) kepada ‘secondary rules of obligations’ (struktur hukum
41 Hart mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem aturan-aturan primer dan aturan-aturan sekunder. aturan primer berhubungan dengan aksi-aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh individu-individu, sedangkan aturan-aturan sekunder berhubungan dengan pembuatan, penafsiran, penerapan dan perubahan aturan-aturan primer, seperti misalnya aturan-aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang-undang, pengadilan, dan administrator pada saat mereka membuat, menafsirkan, dan menerapkan aturan-aturan (primer). Lihat: Hart, H.L.A., The Concept of Law, (London: Oxford University Press, 1972), p.77.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
99
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
perundang-undangan).42 Kendati peralihan kepada sistem hukum modern43 dapat
disebut sebagai revolusi, tetapi kehadiran dan kekuatan dari tatanan masa lalu
tidak sama sekali hilang. Hukum yang diorientasikan kepada pembaharuan
masyarakat dalam perspektif Hart perlu adanya keseimbangan dengan primary
rules of obligations (hukum yang muncul alami), dalam bentuk kearifan lokal,
nilai-nilai, budaya hukum dan hukum yang ditemukan dan telah mendapatkan
kesepakatan masyarakat tersendiri.
42 Seorang eksponen Critical Legal Studies (CLS) Roberto M. Unger lebih jauh menegaskan bahwa dengan lahirnya hukum modern, maka telah lahir suatu institusi yang benar-benar disebut hukum. Dengan demikian, bentuk dan sistem pada masa lalu yang juga disebut hukum, sebetulnya tidak layak disebut sebagai demkian. Hukum modern itulah yang boleh menyandang sebutan hukum, sehingga disebut ‘the legal system’, sedang yang pernah ada tidak layak untuk disebut demikian. Lihat: Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, Toward a Criticism of Social Theory, (New Yok: The Free Press, 1976), hlm. 66-76. Hu-kum semakin menjadi tipe penataan masyarakat yang sangat khas (distinct), sejak kelahiran sistem hukum moder di dunia. Tidak ada sistem hukum lain yang layak disebut ‘legal sys-tem’, kecuali sistem hukum modern. Lihat: Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Cet. I, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hlm. 94.
43 Sistem hukum modern dicirikan oleh Marc Galanter sebagai berikut: (a) hukum uniform, terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan tidak berbeda pula dengan penerapan-nya. Peraturan-peraturan yang sama dapat diterapkan bagi umat segala agama, warga semua suku bangsa, daerah kasta, dan golongan; (b) hukum transaksional, lebih cender-ung untuk membagi hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi dari pihak-pihak yang bersangkutan daripada mengumpulkan didalam himpunan yang tak berubah-ubah yang disebabkan oleh hal-hal yang menentukan diluar transaksi-transaksi tertentu; (c) hukum universal, cara-cara khusus pengaturan dibuat untuk memberikan contoh tentang suatu pa-tokan yang sahih bagi penerapannya secara umum daripada menunjukkan sifat-sifatnya yang unik dan intuitif; (d) hierarki, terdapat suatu jaringan tingkat naik banding dan telaah ulang yang teratur untuk menjamin bahwa tindakan lokal sejalan dengan patokan nasional; (e) birokrasi, untuk menjamin adanya uniformitas, sistem hukum tersebut harus berjalan secara impersonal dengan mengikuti prosedur tertulis untuk masih-masing kasus dan me-mutuskan masing-masing kasus itu sejalan dengan peraturan yang tertulis pula; (f) rasion-alitas, peraturan dan prosedur dapat dipastikan dari sumber tertulis dengan cara-cara yang dapat dipelajari dan disampaikan tanpa adanya bakat istimewa yang non rasional; (g) pro-fesionalisme, sistem tersebut dikelola oleh orang-orang yang dipilih menurut persyaratan, yang dapat diuji untuk pekerjaan ini. persyaratan mereka ditentukan oleh penguasaannya atas cara-cara sistem hukum itu sendiri; (h) perantara, karena sistem itu menjadi lebih teknis dan lebih kompleks, maka ada perantara professional khusus diantara mahkamah pengadi-lan; (i) dapat diralat, tidak ada ketetapan hati didalam sistem prosedur itu. Sistem tersebut berisi kode biasa untuk merevisi peraturan-peraturan dan prosedur, agar memenuhi kebu-tuhan yang berubah-ubah atau untuk menyatakan kecenderungan yang berubah-ubah; (j) pengawasan politik, sistem demikian sangat berhubungan dengan negara yang memiliki persengketaan di kawasannya; dan (k) pembedaan., tugas untuk mendapatkan hukum dan menerapkannya pada kasus-kasus konkret dibedakan dari fungsi-fungsi kepemerintahan lainnya dalam hal personel dan teknik. Lihat: Galanter, Marc, “Hukum Hindu dan Perkem-bangan Sistem Hukum India Modern”, dalam A.A.G. Peters dan Koesriani-Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 147-149.
100
Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme,44 tidak
dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern sebelum abad ke-18, pikiran
itu sudah hadir dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern.
Jauh sebelum tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum positif itu,
masyarakat lebih menggunakan apa yang disebut interactional law atau customary
law. Akan tetapi, dengan semakin tidak sederhana lagi hubungan dan proses
dalam masyarakat, maka semakin kuat tuntutan terhadap pemositifan tersebut
atau terhadap the statutoriness of law. Hal ini karena dikehendaki adanya dokumen
tertulis, bukti-bukti tertulis, untuk meyakini dan mendasari terjadinya proses atau
transaksi hukum. Seperti diamati Roberto M. Unger, menyusul tipe hukum yang
interaksional tersebut, datang fase hukum yang positif dan publik. Perkembangan
tersebut mengiringi yang oleh Unger disebut sebagai tipe bureaucratic law.45
Penulis mengeksplorasi melalui gagasan diperlukannya rekonstruksi teori
hukum pembangunan. Rekonstruksi tersebut dapat dimaknai sebagai penataan
ulang atau menata kembali teori hukum pembangunan yang pada masa orde
baru terejawantahkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),
untuk kemudian diterapkan era reformasi dalam konteks kebijakan (legal policy)
perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Semangat
yang terkandung dalam teori hukum pembangunan ternyata tidak diikuti oleh
semangat kekuasaan orde baru yang otoritarian dan represif, sehingga teori
hukum pembangunan gagal diimplementasikan dengan baik dalam konteks
kebijakan perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dalam
permasalahan lingkungan muncul ego sektoral antar kelembagaan atau instansi
pemerintahan, kelompok masyarakat sipil tidak berdaya melawan kekuasaan
44 Dalam pergulatan positivisme hukum yang lahir pada abad ke-18, terdapat dua bentuk: yaitu pertama, positivisme yuridis. Bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab, hukum dipandang sebagai hasil pengo-lahan sistem belaka, akibatnya, pembentukan hukum menjadi makin professional. Dalam positivism yuridis ditambahkan bahwa hukum adalah closed logical system. Artinya, per-aturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimb-ingan dari norma sosial, politik dan moral. Tokoh-tokohnya seperti R. von Jhering dan John Austin. Kedua, positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah. Tokoh yang mengawalin-ya adalah Auguste Comte, sebagai perintis positivism ini dengan menciptakan suatu ilmu pengetahuan antara hukum dan negara. Lihat: Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 32.
45 Roberto M. Unger, op.cit, hlm. 46.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
101
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
yang represif, meskipun pencemaran dan atau kerusakan lingkungan sedemikian
parahnya.
Dalam kasus yang terjadi di Samarinda sebagai ibukota Kalimantan Timur yang
70% wilayahnya adalah wilayah pertambangan,46 warga Samarinda merasakan
berbagai dampak terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Pembukaan
tambang batubara sangat memengaruhi kerusakan lingkungan, karena pembukaan
tambang batubara akan membuka lapisan permukaan dan dalam tanah yang
akan meningkatkan hilangnya humus, erosi dan mengakibatkan sedimentasi
berlebihan, sehingga meningkatkan peluang banjir. Pembukaan tambang batubara
juga berakibat pada pencemaran air dan udara yang berdampak pada kesehatan
masyarakat. Melihat kondisi yang demikian, interaksi hukum lokal dengan hukum
negara melahirkan suatu penghindaran hukum lokal terhadap hukum negara dan
terjadilah konflik.
Penyelesaian konflik ditengah kondisi lingkungan yang rusak, tidak adanya
reklamasi pasca tambang dan gangguan kesehatan bagi masyarakat lokal,
menjadi faktor penyebab dilakukannya gugatan class action oleh masyarakat.47
Gugatan ke pengadilan menjadi pilihan terakhir, seakan forum-forum mediasi
gagal diterapkan pemerintah daerah terhadap kasus ini. Dalam kajian ICEL
(Indonesian Center for Environmental Law),48 warga Samarinda melakukan gugatan
kepada pemerintah untuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Kasus ini diputus dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Samarinda
Nomor 55/Pdt.G/2013/PN Smda, dengan tergugat Walikota Samarinda, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Provinsi Kalimantan Timur,
Kementerian Lingkungan Hidup dan DPRD Kota Samarinda. Warga Samarinda
46 Energy Today, “Jatam Kaltim: tambang batubara kurangi ruang hidup warga”, http://ener-gytoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-warga/, diakses pada tanggal 2 Nopember 2016.
47 Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat 3 kelompok yang diberikan hak gugat, yakni pemerintah, masyarakat dan organ-isasi lingkungan hidup. Sebagai dasar hukumnya, hak gugat masyarakat diatur dalam Pasal 91 ayat (1) dinyatakan “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila men-galami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
48 Rizkita Alamanda, Gugatan Warga Negara (Studi Kasus: Gerakan Samarinda Menggugat), dalam Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. I, Issue 2, Desember 2014, Jakarta: diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Lembaga Pengembangan Hukum Ling-kungan Indonesia, 2014, hlm. 118.
102
menggugat pemerintah karena kelalaiannya untuk tidak dipenuhi kewajiban
mereka dalam memberikan lingkungan yang baik dan sehat, dalam hal ini
terkait dengan meningkatnya kerentanan warga Samarinda dalam menghadapi
perubahan iklim, dikarenakan banyaknya izin usaha pertambangan yang
beroperasi di wilayah Samarinda. Gugatan tersebut diputus oleh majelis hakim
dengan mengabulkan sebagian gugatan warga Samarinda, yaitu menyatakan para
tergugat lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan
hidup yang baik dan sehat, yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum
bagi warga negara, khususnya warga kota Samarinda, menghukum para tergugat
untuk mengatur kembali suatu kebijakan umum mengenai pertambangan
batubara yang meliputi: evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan batubara
yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha untuk merealisasikan reklamasi
dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup, melakukan upaya
strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan masyarakat dari
pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara. Selain itu, dalam
pertimbangannya majelis hakim juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim
telah terjadi di seluruh dunia tidak terkecuali di Samarinda, yang ditandai dengan
perubahan intensitas curah hujan, sehingga menyebabkan banjir di wilayah
Samarinda serta menurunnya kualitas hidup warga karena tempat tinggal yang
berdebu, panas dan sulit mendapatkan air bersih akibat aktivitas tambang.49
Rekonstruksi dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, penaatan hukum lingkungan
terletak pada instrumen perizinan lingkungan hidup yang utama, yakni tata
ruang, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan Amdal sejatinya perlu
mendapatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan dan
dokumen lingkungan hidup. Dengan partisipasi, diharapkan pelaku usaha atau
masyarakat mampu meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup dalam artian ketaatan terhadap instrumen perizinan lingkungan
hidup. Filosofi dibalik norma instrumen perizinan lingkungan adalah dalam
rangka menghadirkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Bahkan,
teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja memiliki
49 Untuk selebihnya lihat: Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kota Samarinda Nomor 55/Pdt.G/2013/PN Smda, perkara antara Komari, dkk (penggugat) melawan Walikota Sa-marinda, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 134.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
103
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
kesamaan dengan pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum dan perubahan
sosial.50 Dalam tataran praksis operasional, pascareformasi dari instrumen
perizinan lingkungan hidup memberikan nuansa baru kesadaran hukum bagi
pelaku usaha untuk taat terhadap hukum perizinan. Proses penerbitan instrumen
perizinan tersebut diharuskan melibatkan peran serta masyarakat berkaitan
dengan dampak lingkungan yang timbul di kemudian hari, termasuk manfaat
dan keseimbangan lingkungan. Namun, kelemahannya adalah pengendalian
sebagai bagian dari pengawasan dari pemerintah daerah terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan tidak tegasnya dalam
memberikan sanksi administrasi. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat pascareformasi dalam perspektif perundang-undangan lingkungan
hidup dan sumber daya alam perlu direkonstruksi yang senantiasa berorientasi
kepada kesejahteraan masyarakat yang ramah lingkungan, atau ekonomi
berkelanjutan. Negara wajib memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, budaya warga
masyarakat sekitar yang tinggal di wilayah-wilayah sumber daya alam strategis,
karena hak-hak tersebut sebagai bagian dari HAM dalam kebijakan lingkungan
hidup dan sumber daya alam. Hubungan antara masyarakat dengan lingkungan
adalah masyarakat yang merupakan sekumpulan dari anggota-anggota individu
memiliki ketergantungan dengan lingkungan sebagai kehidupannya. Lingkungan
sangatlah kompleks, merupakan kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup
keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan
fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan
yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan
lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu
yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan
manusia yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Dalam tataran praksis
50 Satjipto Rahardjo mengidentifikasi apabila berbicara mengenai hukum dan perubahan sos-ial, maka relevansi masalah yang dikajinya itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a) Berhubun-gan dengan fungsi hukum sebagai lembaga atau mekanisme untuk menertibkan masyara-kat; dan (b) Berhubungan dengan masalaha perubahan sosial yang nampaknya merupakan suatu proses yang menjadi ciri masyarakat di dunia pada abad sekarang ini. Maka pem-bicaraan mengenai hukum dan perubahan sosial akan berkisar pada pengkajian tentang bagaimana hukum yang bertugas untuk menertibkan masyarakat dapat bersaing dengan perubahan sosial itu. Beberapa variabel yang mendorong timbulnya perubahan sosial dian-taranya adalah: a. variabel fisik, biologi, dan demografi; b. variabel teknologi; dan c. variabel ideologi. Lihat: Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hu-kum, Cet. 2, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 122.
104
operasional, hukum pembangunan akan berjalan dengan baik apabila diikuti
dengan kesadaran hukum masyarakat baik pemerintah, pelaku usaha, maupun
masyarakat sekitar dalam konteks kesadaran melestarikan lingkungan. Hukum
sebagai sarana pembaruan masyarakat bisa dicapai melalui instrumen peraturan,
perizinan, dan kesadaran hukum masyarakat, atau terdapat timbal balik yang baik
dengan masyarakat, dalam hal ini di bidang lingkungan hidup.
Hukum yang tidak mempunyai dimensi operasional, tidak mungkin
berperanan untuk mengatur perilaku dan mengendalikan hubungan antar
manusia dalam kesehariannya. Edmund Husserl seorang perintis fenomenologi,
lebenswelt mengatakan bahwa dunia kehidupan itu hanya ada dalam pengalaman
keseharian, atau seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann bahwa
hidup manusia yang merupakan konstruksi sosial dari kenyataan itu terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menjadikan alasan mengapa semua perumus
undang-undang atau peraturan seharusnya selalu berusaha untuk menyusun
ketentuan yang memuat rumusan dari suatu norma hukum dengan sejelas dan
selogis mungkin, sehingga sejauh mungkin menutup kemungkinan, bahwa
norma tersebut dibaca dan dipahami secara berlainan oleh para subjek hukum
yang berbeda.51 Dalam konteks demikian, para pembuat undang-undang sudah
seharusnya mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebagai
bahan masukan dalam proses pembuatan peraturan dan kebijakan yang konkrit,
dengan demikian kemanfaatan akan tercapai karena bersumber dari kehendak
masyarakat. Sementara pendapat Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana yang
dikutip oleh Suparnyo menyatakan bahwa hukum merupakan salah satu dari
kaidah sosial (disamping kaidah moral, agama, kaidah susila, kesopanan, adat
kebiasaan, dan lain-lain) yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang hidup (living
51 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit., hlm. 238.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
105
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
law).52 Untuk merekonstruksi teori hukum pembangunan dalam kebijakan (legal
policy) pembentukan hukum di bidang lingkungan dan sumber daya alam, haruslah
memiliki optik dan pendekatan secara holistik komprehensif dan interdisipliner.
Kerusakan lingkungan dan pencemaran pasca reformasi yang dikemas dalam
bentuk regulasi dan kebijakan (keputusan pejabat tata usaha negara) menunjukkan
proses pembentukannya tidak melibatkan peran serta masyarakat dan menjauhkan
dari spirit hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Hukum tidak selamanya menjalankan fungsinya dengan baik apabila dalam
penerapannya menimbulkan kekakuan, penuh dengan lobi dan pemilik modal
yang besar. Hal tersebut merupakan konsekuesi logis dari hukum yang disetir
untuk kepentingan politik dan ekonomi oleh kebijakan penyelenggara negara,
khususnya baik eksekutif dan legislatif. Agar penyusunan hukum dapat berjalan
dengan baik, steril dan responsif, maka perlu adanya diskursus-diskursus
dari masyarakat sipil yang berjalan secara komunikatif untuk mencapai suatu
konsensus bersama tanpa adanya pertikaian.53
Untuk mengakhiri proses penyusunan undang-undang yang sarat
kepentingan, menjauhkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan
menjerat masyarakat ke ranah proses hukum, maka filosofi yang terkandung dalam
cita hukum (rechtsidee) Pancasila sebenarnya diwujudkan dalam model-model
partisipasi dan aspirasi masyarakat, membuka ruang komunikasi dan mendorong
52 Suparnyo, dalam Pembentukan dan Penegakan Hukum Progresif, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Cet. I, (Yogyakarta: Diterbitkan atas kerjasama Thafa Media den-gan Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro Semarang, 2013), hlm. 155-156. Menurut Bruggink sebagaimana dialihbahasakan oleh Arief Sidharta mendefinisikan kai-dah hukum adalah isi aturan hukum, dan bahwa aturan hukum itu dapat tertulis maupun tidak tertulis. pertanyaan apakah suatu aturan hukum tertulis atau tidak tertulis adalah ti-dak selalu dapat dijawab secara sederhana. Jika sebuah aturan hukum dirumuskan dalam sebuah undang-undang, maka orang dengan kepastian dapat mengatakan bahwa ia ditetap-kan oleh pengemban kewenangan hukum dan karena itu termasuk dalam hukum positif. Namun memang ada aturan hukum yang oleh pembentuk undang-undang diandaikan pada waktu pembentukan aturan perundang-undangan, tanpa mereka dirumuskan sebagai demikian oleh pembentuk undang-undang. Dengan itu, aturan tersebut memang menjadi bagian dari hukum sebagai sistem konseptual, tetapi aturan itu tetap merupakan hukum tidak tertulis dan dengan demikian tidak termasuk dalam hukum positif. Arief Sidharta, op.cit., hlm. 91-92.
53 Wahyu Nugroho, “Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasar-kan Cita Hukum Pancasila”, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 10, No. 3 September, (Ja-karta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2013), hlm. 215.
106
untuk mampu melihat fakta sosial sehingga keputusan hukum yang dibuat
pembentuk undang-undang mencerminkan keadilan sosial dan memberikan
manfaat bagi rakyatnya. Konsep yang digunakan Mochtar Kusumaatmadja dengan
konsep Satjipto Rahardjo memiliki kesamaan dalam konteks fungsi hukum sebagai
sarana perubahan sosial dan atau pembaharuan masyarakat. Satjipto Rahardjo
selalu mengingatkan kepada kita semua, khususnya penyelenggara negara dan
yang duduk di parlemen bahwa hukum dibuat untuk menyejahterakan rakyat,
bukan malah menyengsarakan rakyatnya yang terlihat seperti di beberapa undang-
undang yang sering diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (seperti UU Agraria,
UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, UU Pertambangan, Mineral dan Batubara dan UU Perkebunan).
IV. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat
memberikan simpulan sebagai berikut:
Pertama, teori hukum pembangunan di sektor pengelolaan lingkungan hidup
dalam perkembangan awal tidak berjalan dengan baik dikarenakan kuatnya
kepentingan penguasa. Hukum itu pada akhirnya merupakan alat perebutan
kekuasaan dalam masyarakat, yakni dominasi kekuasaan/politik dalam undang-
undang lingkungan hidup dengan semangat perubahan sosial dan pembaharuan
masyarakat. selain hal tersebut, ditemukan terjadi ego sektoral diantara
kementerian atau lembaga yang mestinya secara koordinatif menangani dan
menyelesaikan permasalahan pencemaran atau kerusakan lingkungan, termasuk
tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku kerusakan lingkungan. Perbedaan dari
teori hukum pembangunan sebelumnya di bidang kebijakan lingkungan hidup,
yakni pengembangan teori hukum pembangunan pascareformasi terkait kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup adalah ditunjukkan dengan transparansi dan
peran masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan melalui Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
termasuk proses pembuatan instrumen perizinan lingkungan dan pengawasan.
Selain itu, teori hukum pembangunan pasca reformasi akan memiliki daya laku
yang efektif disaat masyarakat terlibat dan ikut serta dalam proses penyusunan
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
107
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
dokumen lingkungan dan aktif menyuarakan hak-hak atas lingkungannya.
Kedua, rekonstruksi teori hukum pembangunan dalam kebijakan pembentukan
hukum di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam pascareformasi,
senantiasa diarahkan kepada daya dukung masyarakat (legal culture), kesejahteraan
sosial, dan lingkungan hidup. Dalam konteks kebijakan pembentukan hukum
lingkungan, partisipasi masyarakat menjadi hal yang utama dan diharapkan pelaku
usaha, termasuk masyarakat mampu meminimalisasi terjadinya pencemaran dan
atau kerusakan lingkungan hidup dalam artian ketaatan terhadap instrumen
perizinan lingkungan hidup. Filosofi dibalik daya dukung masyakarat (legal
culture) adalah dalam rangka menghadirkan hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Dalam merekonstruksi teori hukum pembangunan, pembuat
kebijakan (legal policy) pembentukan hukum ranah legislatif di bidang lingkungan
dan sumber daya alam, haruslah memiliki optik dan pendekatan secara holistik
komprehensif dan interdisipliner.
108
Daftar Pustaka
Amiq, Bachrul. 2013. Penerapan Sanksi Administrasi dalam Hukum Lingkungan. Cet. I,
Yogyakarta: Laksbang Mediatama.
Dimyati, Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990. Cet. I, Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Friedmann, W. 1993. Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjema-
han: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Fuady, Munir. 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Cet. 2, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Galanter, Marc. 1988. “Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India
Modern”, dalam A.A.G. Peters dan Koesriani-Siswosoebroto (ed). Hukum dan
Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Hart, H.L.A.. 1972. The Concept of Law. London: Oxford University Press.
Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika.
Huijbers, Theo. 1991. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius.
Kelsen, Hans. 1945. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell.
______. 2006. Essays in Legal and Moral Philosophy, Hukum dan Logika. Alih bahasa: B.
Arief Sidharta, Cet. 2, PT Alumni, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Cet. I,
Bandung: PT Alumni.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2016. Cet. I, Teori Hukum, Dilema antara Hukum dan
Kekuasaan. Bandung: Penerbit Yrama Widya.
Laudjeng, Hedar dan Simarmata, Rikardo. 2000. Pendekatan Madhab Hukum Non-
Positivistik dalam Bidang Hukum Sumber Daya Alam dalam Wacana. Edisi 6 tahun
II. Jakarta: HuMa.
WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO
109
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Manan, Bagir. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara.
Bandung: Mandar Maju.
MD., Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan hukum di Indonesia. Yogyakarta:
Gama Media.
Mertokusumo, Sudikno. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Nonet, Philippe and Selznick, Philip. 2001. terj., Hukum dan Masyarakat Dalam
Transisi Menuju Hukum yang responsif. Jakarta: Media Nusantara.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum. Cet. I, Malang:
Bayumedia Publishing.
______. 2010. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cet. 2,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Rasjidi, Lili dan Putra, I.B. Wyasa. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Sidharta, Arief. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa dari Bruggink dalam
buku “Rechtsreflecties”, Cet. 2, PT Citra Aditya, Bandung.
Sigler, Jay A. and Beede, Benyamin R. 1978. The Legal Sources of Public Policy. To-
ronto: Lexington Books.
Soemanto, RB. 2006. Hukum dan Sosiologi Hukum, Lintasan Pemikiran, Teori dan Ma-
salah. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suparnyo, 2013. ‘Pembentukan dan Penegakan Hukum Progresif’, Dekonstruksi
dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Cet. I, Yogyakarta: Diterbitkan atas
kerjasama Thafa Media dengan Konsorsium Hukum Progresif Universitas Di-
ponegoro Semarang.
Unger, Roberto Mangabeira. 1976. Law and Modern Society, Toward a Criticism of
Social Theory. New York: The Free Press.
______. Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies). 1999. Diterjemahkan oleh Ifd-
hal Kasim, Jakarta: ELSAM.
Utomo, Laksanto. 2012. “Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum
110
111
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
PrinsiP Pencemar membayar untuk mendorong akses
komPensasi di kebiJakan asean dalam kasus Polusi kabut
asaP lintas batas
Oleh: Gandar Mahojwala Paripurno1
Abstrak
Kebakaran hutan telah terjadi semenjak 1980-an dan tiga tahun lalu masih
terjadi dengan dampak masif di Asia Tenggara. ASEAN selaku organisasi regional
menjadi pelopor untuk membuat perjanjian asap lintas batas yang mengatur
pencegahan asap lintas batas. Namun, tidak ada alur pemenuhan kompensasi
untuk korban dalam perjanjian tersebut. Artikel ini mengargumentasikan bahwa
Prinsip pencemar membayar (polluter-pays principle/PPP) dapat digunakan sebagai
salah satu upaya dalam untuk memberikan akses kompensasi dari pencemar untuk
korban. Terutama, dalam perkembangannya PPP menjadi prinseip yang memiliki
banyak alternatif dalam alur pemberian kompensasi. Artikel ini merupakan tulisan
yuridis-normatif dengan bentuk deskriptif.
Kata Kunci: prinsip pencemar membayar, polusi asap lintas batas, kompensasi.
Abstract
Forest fires have occurred since the 1980s and still occur until three years ago, with
massive impacts in Southeast Asia. ASEAN as a regional organization pioneered the
transboundary smoke agreement governing the prevention of transboundary haze. However,
there is no scheme of compensation for victims in the agreement. This article argues that the
1 Penulis adalah Pengacara Publik di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesaia dengan kekhususan Hukum Lingkungan. Penulis dapat dihubungi melalui gandarmahojwala@gmail.com.
112
polluter-pays principle (PPP) can be used as an effort to provide compensatory access from
polluters to victims. Particularly, in its development PPP became a principle that has many
alternatives in the scheme of compensation. This article is a juridical-normative writing
with a descriptive form.
Keywords: polluter-pays principle, transboundary haze peollution, compensation.
I. Pendahuluan
Dua tahun telah berlalu semenjak kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
bersamaan dengan kabut asap lintas batas terjadi di Asia Tenggara, walaupun
kasus ini memang bukan hal yang baru dan telah terjadi semenjak 1980 dan
1990-an.2 Karhutla memang terjadi paling banyak di Sumatera dan Kalimantan3
sehingga penunjukkan atas tanggung jawab sangat lekat pada Indonesia. Padahal
Indonesia, Malaysia, dan Singapura sama-sama berkepentingan dan mengambil
untung dari agrobisnis di Indonesia. Kasus karhutla dan asap, baik yang terjadi
pada 2015 maupun sebelumnya, tidak bisa dipisahkan dari teknik tebas dan bakar.4
Walaupun awalnya teknik ini hanya dilakukan oleh masyarakat lokal pada tahun
19945 namun perkembangannya pun menjadi kebiasaan perusahaan.6
Di sisi lain, ASEAN sebagai organisasi regional sudah seharusnya dapat
mengambil posisi untuk membuat strategi penanganan baik pada pencegahan
kejadian di lapangan, hingga mengatur mekanisme paska kejadian asap lintas
batas - termasuk pada mekanisme kompensasi. Namun hingga saat ini langkah
Perjanjian AATHP (Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution) sebagai
upaya pusat dari ASEAN belum juga menciptakan persepakatan turunan maupun
mekanisme untuk korban pencemaran dalam meraih hak atas kompensasi.
2 ASEAN Haze Action Online, Information on Fire and Haze, http://haze.asean.org/about-us/information-on-fire-and-haze/
3 Ibid.
4 Indro Tjahjono, Hutan Kita Dibakar, (ISAI-SKEPHI, 1999), hlm. 13.5 Yayat Ruchiat, “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus Tump-
ang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat,” Makalah Lokakarya Perencanaan Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata Grasslands Using Trees: A Model Ap-proach Growing Vitex Pubescens for Charcoal Production in Kalimantan Indonesia (ACIAR). Ponti-anak: ACIAR, 2001, hlm. 1.
6 BBC News, “South East Asia Haze: What is Slash-and-Burn?”, http://www.bbc.co.uk/news/business-23026219
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
113
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Dalam hal pemenuhan kompensasi, sudah seharusnya ASEAN menggunakan
instrumen polluter pays principle (PPP) untuk memberikan akses bagi korban asap
lintas batas. PPP dikenal sebagai salah satu prinsip umum hukum internasional7
dan dianggap sebagai instrumen ekonomi yang paling mendasar8 dan efisien9
dalam kebijakan lingkungan modern. PPP juga telah menjadi dasar bagi banyak
putusan lingkungan hidup dan diterima secara luas oleh negara-negara dan
organisasi regional.10 Secara sederhana, PPP berarti biaya pengurangan polusi
harus dibayar oleh pencemar, bukan oleh pemerintah.11 PPP dapat digunakan oleh
organisasi regional – misalnya Uni Eropa yang telah berpengalaman mengadopsi
PPP secara terus menerus - atau digunakan dalam peraturan domestik bagi tiap-
tiap negara. Prinsip ini sendiri dikenal sebagai peran penting dalam kebijakan
lingkungan nasional dan internasional.12 Sehingga, implementasi prinsip ini secara
penuh dapat dilakukan untuk meraih akses kompensasi dari pencemar untuk
korban pencemaran,13 dan relevan untuk dilaksanakan pada konteks ASEAN
secara organisasi regional dalam menghadapi kasus kabut asap lintas batas. Artikel
ini mengargumentasikan bahwa PPP dapat digunakan sebagai salah satu upaya
dalam untuk memberikan akses kompensasi dari pencemar untuk korban. Artikel
ini merupakan tulisan yuridis-normatif dengan bentuk deskriptif.
II. Prinsip Pencemar Membayar dalam Hukum Internasional
2.1. Awal Perkembangan Prinsip Pencemar Membayar
PPP secara esensial adalah kebijakan ekonomi untuk mengalokasikan biaya
polusi atau kerusakan lingkungan.14 Organisation for Economic Co-operation and
7 Malcolm N. Shaw, International Law, (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 870.8 Ibid.
9 Muhammad Munir, “History and Evolution of the Polluter Pays Principle: How an Economic Idea Became a Legal Principle?” Social Science Research Network. https://ssrn.com/abstract= 2322485. 2013, hlm. 2.
10 Dinah Shelton, Judicial Handbook on Environmental Law (Kenya: United Nations Environment Programme, 2005), hlm 6.
11 Ibid.12 Margaret Rosso Grossman, “Agriculture and the Polluter Pays Principle: An Introduction,”
Oklahoma Law Review, Volume 59, 2006. US: University of Oklahoma College of Law, hlm. 3. 13 Patricia Birnie, International Law & Environment, (UK: Oxford University Press, 2009), hlm.
324.14 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.
114
Development (OECD) membuka jalan untuk adopsi formal bagi PPP. Praktek untuk
melaksanakan PPP menjadi rekomendasi bagi negara-negara anggota OECD yang
tertuang secara formal dalam sebagai “Guiding Principle Concerning the International
Economic Aspects of Environmental Policies”,15 yang mendapat penerimaan dan
dukungan secara cepat.16
Konsep dasar dari prinsip panduan ini adalah internalisasi biaya eksternal.17
Biaya eksternal tumbuh saat aktivitas ekonomi maupun sosial dari suatu kelompok
memberikan dampak pada kelompok lain, dan membutuhkan pencemar untuk
membayar biaya pencegahan dan kontrol polusi.18 Namun, ukuran biaya pencegahan
dan pengendalian pencemaran untuk harus direfleksikan dalam harga barang dan
jasa yang menjadi sumber polusi.19 Diasumsikan bahwa agar biaya produksi tetap
rendah, produsen akan berusaha mengurangi polusi.20 Ada beberapa cara untuk
internalisasi, salah satu kemungkinannya dengan pajak lingkungan (eco-tax), yaitu
dengan mengenakan pajak bahan bakar dan teknologi yang merusak lingkungan
sesuai dengan biaya eksternal yang ditimbulkan.21 Namun, standar lingkungan
yang diciptakan OECD tidak jelas, hanya menyatakan standar lingkungan adalah
dalam ‘keadaan yang dapat diterima’.22 Sehingga, konsep PPP dalam OECD masih
membutuhkan banyak penjabaran.
PPP pada awalnya tidak lebih dari sekedar prinsip efisiensi untuk
mengalokasikan biaya, sehingga pengurangan polusi tidak termasuk dalam
konsepnya meskipun tidak ada batasan ataupun larangan untuk melakukannya.23
Prinsip ini juga tidak melarang implementasi yang mengarah pada hukuman untuk
pencemar.24 Dengan kata lain, prinsip ini lebih didasarkan pada pertimbangan
efisiensi dagang dan ekonomi daripada perbaikan dan perlindungan lingkungan.
Sehingga awalnya PPP lebih dianggap sebagai prinsip ekonomi daripada prinsip
15 Ibid.
16 Ibid., hlm. 7.17 Ibid., hlm. 4.18 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 10.19 Pierre-Marie Dupuy, International Environmental Law, (UK: United Kingdom, 2015), hlm. 72.20 Patricia Birnie, Op.Cit.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Muhammad Munir, Loc.Cit., hlm. 10.24 Ibid., hlm. 9.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
115
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
lingkungan. 25 Terlepas dari kekurangannya, OECD merekomendasikan bagi
negara-negara anggota untuk melindungi lingkungan dengan mengambil tindakan
yang lebih luas.26
2.2. Perkembangan Prinsip Pencemar Membayar Setelah OECD Guiding
Principle
Sejak Konfrensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992, PPP untuk
pertama kalinya mendapat dukungan internasional sebagai sebuah kebijakan
lingkungan.27 Langkah ini menggambarkan pentingnya prinsip sebagai prinsip
fundamental yang diakui di tingkat global,28 tidak lagi seperti OECD yang terbatas
pada negara-negara anggota.
Prinsip ke-16 dalam Deklarasi Rio – sebagai produk dari Konferensi PBB
tentang Lingkungan dan Pembangunan – juga menekankan arti PPP yang
diberikan oleh OECD.29 Deklarasi Rio menjelaskan bahwa otoritas nasional harus
berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan
instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar
pada prinsipnya harus menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan
kepentingan publik dan tanpa distorsi terhadap perdagangan internasional dan
investasi. Walaupun, berdasarkan prinsip tersebut, tidak dapat dikatakan bahwa
PPP dimaksudkan untuk mengikat secara hukum.30 Selain tidak memiliki karakter
normatif dari sebuah peraturan hukum,31 ini juga berdasarkan sifat hukum lunak
dari Deklarasi Rio.32
25 Ibid., hlm. 7.26 Ibid., hlm. 9.27 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.28 Ayobomi Olaniyan, “Imposing Liability for Oil Spill Clean-Ups in Nigeria: An Examination
of the Role of the Polluter-Pays Principle” Journal of Law, Policy, and Globalization, Volume 40, 2015. IISTE, hlm. 76.
29 Ibid.
30 Patricia Birnie, Op.Cit.
31 Ibid.
32 Pierre-Marie Dupuy, Op.Cit., hlm. 72.
116
Dalam perkembangannya, beberapa perjanjian setelah Rio mewajibkan pihak-
pihak perjanjian untuk menerapkan PPP,33 dan lainnya menggunakan istilah
panduan yang lebih lunak.34 PPP hanya muncul dalam beberapa perjanjian yang
terbatas pada pencemaran saluran air internasional (watercourse), polusi laut,
kecelakaan industri lintas batas, dan energi.35 Meskipun ada contoh implementasi
secara lebih luas dalam kebijakan dan perundang-undangan nasional – misalnya
dalam European Community Treaty – namun hal tersebut tidak berarti menunjukkan
pola praktik dalam negara secara umum.36
Namun dalam perkembangannya sebagaimana dimaksud dalam Convention
on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation in 1990 dan Convention on
the Transboundary Effects of Industrial Accidents in 1992, PPP diakui sebagai ‘prinsip
umum hukum lingkungan internasional’.37 Prinsip umum hukum diakui sebagai
sumber hukum internasional oleh Pasal 38 (1)(c) Statuta Mahkamah Internasional.38
2.3. Prinsip Pencemar Membayar dalam Perpsektif Hukum Internasional
Prinsip umum hukum dipandang sebagai instrumen yang lemah, dikarenakan
keterikatannya sering dipertanyakan,39 dan juga dianggap tidak tepat, samar,40
dan ketidakpastian dalam implementasi41 serta dikenal sebagai instrumen yang
tidak dapat ditegakkan secara hukum.42 Sehingga, prinsip umum hukum masih
bergantung pada pengakuan dalam perjanjian dan kebiasaan. Hal ini terlihat
dari pendapat Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa prinsip umum
33 Mentioned in 1992 Paris Convention for the Protection of the Marine Environment of the NE Atlantic, Article 2(2)(b); 1992 Helsinki Convention on the Protection of the Marine En-vironment of the Baltic Sea Area, Article 3 (4); 1994 Danube River Protection Convention, Article 2(4); 1995 Barcelona Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean, Article 4.
34 Mentioned in 1990 Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation, Preamble: 1992 Helsinki Convention on the Protection and Use of Transboundary Water-courses and Lakes, Article 2(5); 1995 Protocol to the Londong Dumping Convention, Article 3; 1999 Convention on the Protection of the Rhine, Article 4.
35 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.36 Ibid.
37 Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 870.38 Martin Dixon MA, International Law, (London: Blackstone Press Limited, 2000), hlm. 41.39 Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 279.40 Ibid., hlm. 49.41 Ibid., hlm. 871.42 Ibid., hlm. 279.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
117
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
hukum membutuhkan penekanan dengan argumen yang terfokus baik pada
kebiasaan maupun perjanjian internasional.43 Meskipun demikian, prinsip umum
hukum masih dapat memberikan dampak mendasar terhadap perkembangan
hukum internasional, baik memberikan alasan mengapa norma-norma tertentu
harus diadopsi atau sebagai stimulus untuk praktik negara yang mengarah pada
penciptaan kebiasaan dan perjanjian.44
Pada kondisi tertentu, sifat tidak tepat dari prinsip umum hukum adalah
menguntungkan, karena prinsip ini menjadi mudah berkembang dan mengisi
kondisi baru yang asing. Contohnya, dalam prinsip tidak merugikan (no
harm principle) awalnya hanya untuk melindungi teritori bagi negara, namun
implementasinya berkembang pada posisi perlindungan terhadap lingkungan
baik didalam maupun diluar jurisdiksi negara.45
PPP sebagai prinsip umum hukum pun berkembang. Variasi yang berbeda
dari PPP muncul, terutama pada kebutuhan untuk memberikan kompensasi segera
untuk korban kerusakan lingkungan.46 Secara umum variasi tersebut menjadi tiga,
yaitu instrumen pajak Pigouvian, instrumen ekonomi (market-based), dan atur dan
awasi (command and control).47 Instrumen ekonomi dan atur dan awasi merupakan
instrumen yang juga digunakan untuk memecahkan permasalahan eksternalitas.48
Atur dan awasi adalah instrumen yang dikenali dengan pendekatan peraturan
atau standar,49 yang juga kerap disebut sebagai pendekatan konvensional yang
kurang fleksibel.50 Instrumen ekonomi mendorong perilaku melalui sinyal pasar,
bukan melalui petunjuk eksplisit mengenai tingkat atau metode pengendalian
43 Ibid., hlm. 41.44 Martin Dixon MA, Op.Cit., hlm. 41.45 Pierre-Marie Dupuy, Op.Cit., hlm. 53.46 Barbara Luppi, “The Rise and Fall of the Polluter-Pays Principle in Developing Countries”,
International Review of Law and Economics, Volume 32, 2012. Netherlands: Elsevier. Hlm. 135.
47 Ibid.
48 Muhammad Munir, “Implementation of the Polluter Pays Principle or Economic Approach-es to Pollution: Command and Control, Taxes/Charges, and Tradable Discharges Permits (TDPs)” Social Science Research Network, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2378796, hlm. 8.
49 Ibid.
50 Richard L. Revesz, “Environmental and Policy”, Social Science Research Network, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=552043, hlm. 33
118
pencemaran.51
PPP juga berkembang yang awalnya sebagai kebijakan yang berorientasi
ekonomi, menjadi prinsip lingkungan untuk mencari pertanggungjawaban dari
pencemar.52 Negara tidak lagi hanya menggunakan metode internalisasi dengan
merefleksikan harga barang dan jasa, namun juga dengan aturan pajak, ataupun
beban biaya.
Hal yang juga mempengaruhi perkembangan dan perbedaan dari penerapan
PPP ialah dikarenakan tiap negara memiliki kapasitas lingkungan yang berbeda,
terutama dalam berhadapan dengan polusi.53 Tiap negara juga memiliki tujuan
dan prioritas sosial yang berbeda terkait perlindungan lingkungan, dan perbedaan
pada tingkat industrialisasi dan kepadatan populasi.54 Dengan demikian, kebijakan
lingkungan dari satu negara bagian ke negara lain akan berbeda, dan otoritas
publik seperti pemerintah dan pengadilan dapat dan harus mempertimbangkan
PPP dalam pengembangan hukum dan kebijakan lingkungan,55 tetapi harus
memutuskan cara menerapkan PPP untuk menjadi kewajiban yang mengikat,
melalui instrumen kebijakan, peraturan, standar, atau instrumen ekonomi56 yang
meliputi standar proses dan produk, peraturan dan larangan bagi individual, atau
biaya polusi.57 Sehingga, PPP tidak dapat dianggap sebagai aturan yang kaku dan
diterapkan secara seragam pada semua kasus.58
2.4. PPP Sebagai Akses Kompensasi Untuk Korban Pencemaran
Variasi implementasi PPP ada untuk menjamin kompensasi bagi korban
pencemaran.59 Komisi Hukum Internasional juga mendukung upaya dengan
menyatakan bahwa ‘PPP adalah komponen penting untuk menjamin bahwa
51 Ibid.
52 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.53 Muhammad Munir, Loc.Cit., hlm. 12.54 Ibid.,
55 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 323.56 Jean-Philippe Barde, “Economic Instruments in Environmental Policy; Lessons From the
OECD Experience and Their Relevance to Developing Economies”, OECD Development Centre Working Paper No. 92. France: OECD, 1994, hlm. 6.
57 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 7.58 Ibid.
59 Mizan R. Khan, Loc.Cit., hlm. 645.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
119
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
korban yang menderita atas kerusakan dari insiden yang berkaitan dengan
aktifitas berbahaya mampu mendapatkan kompensasi yang segera dan
memadai’.60 Namun unsur subjektif negara juga mempengaruhi variasi tersebut
menjadi berbeda-beda.61 Dalam mengimplementasikan dalam instrumen hukum,
tidak semua negara menyebut terminologi ‘prinsip pencemar membayar’, namun
menggunakan konsep dari prinsip tersebut tanpa menggunakan istilahnya.62
Banyak perundang-undangan lingkungan hidup sesuai dengan kondisi ini.63
Beberapa implementasi PPP yang paling sering dilakukan negara-
negara adalah dengan internalisasi melalui pajak ataupun denda, dan juga
aturan tentang pertanggungjawaban melalui proses hukum perdata maupun
publik. Selain melaksanakan PPP untuk kepentingan efek jera bagi pencemar64
dengan mencabut lisensi pencemar, denda, ataupun hukuman pidana,65 negara
dengan memberlakukan PPP dapat mencari kompensasi dari pencemar, dan
menghubungkannya pada pembayaran kompensasi untuk korban pencemaran
dan melakukan pemulihan dan konservasi lingkungan.66 Fungsi ini sekaligus
melengkapi pemenuhan prinsip pencegahan.67 Implementasi PPP dengan proses
perdata dapat membuka akses bagi korban untuk menuntut kompensasi langsung
ke pencemar tanpa campur tangan pemerintah.68 Keuntungan lain tuntutan perdata
adalah mengembangkan pendekatan berbasis hak terhadap masalah lingkungan.69
Upaya perdata memang menjadi peluang dikarenakan kasus polusi lintas batas
maupun domestik sebagian besar disebabkan oleh pihak privat, dan menyebabkan
pihak privat lain menjadi korban.70
60 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 324.61 Ibid., hlm. 323.62 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 32.63 Ibid.
64 Chen-Ju Chen, “The Liability and Compensation Mechanism under International Marine Environmental Law: Adopting the Polluter Pays Principle to Control Marine Pollution un-der International Law from Aspect of International Cooperation”, LOSI Conference Papers, Conference on Securing the Ocean for the Next Generation, California: LOSI, 2012, hlm. 10.
65 Ibid.
66 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 9.67 Ibid., hlm. 32.68 Ibid.
69 Ibid.
70 Ibid.
120
III. Tantangan atas Kabut Asap di Asia Tenggara
Kasus kabut asap yang terjadi di Asia Tenggara pada tahun 2015 lalu dapat
menjadi momentum bangkitnya kerjasama ASEAN untuk kembali bekerja sama
dalam mengatasi kebakaran hutan yang secara faktual lintas kepentingan berbagai
negara. Perlu dipahami bahwa pertanggungjawaban tidak dapat diletakkan hanya
pada Indonesia, terutama dengan melihat bahwa kepentingan bisnis dari agrobisnis
dinikmati Singapura dan Malaysia melalui perusahaannya, yang disisi lain juga
menjadi korban kabut asap. Hal ini terlihat dari lima puluh persen kepemilikan
lahan perkebunan di Indonesia dimiliki oleh asing, terutama perusahaan Malaysia
dan Singapura.71 Malaysia juga merupakan investor nomer satu dalam sektor
kelapa sawit di Indonesia.72 Namun, isu perusahaan tersebut tidak didiskusikan
dan tidak mendapat perhatian dalam negosiasi perjanjian AATHP (Asean
Agreement on Transboundary Haze Pollution) dikarenakan dinilai terlalu sensitif.73
Padahal, ASEAN juga memahami bahwa pembakaran lahan adalah sumber utama
dari asap.74
Perjanjian AATHP merupakan upaya pusat dari ASEAN untuk memberantas
asap.75 Persetujuan ini pada intinya meminta pihak-pihak untuk melakukan, antara
lain, (i) tindakan legislatif dan administratif untuk mencegah dan mengendalikan
kegiatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan dan hutan yang dapat
mengakibatkan pencemaran lintas batas, dan (ii) tindakan bersama dan nasional
untuk mengintensifkan kerja sama regional dan internasional untuk mencegah,
menilai, dan memantau pencemaran kabut lintas batas yang berasal dari darat dan
71 Helena Varkkey, “Transboundary Haze and Human Security in Southeast Asia: National and Regional Perspectives”, Georgetown Journal of Asian Affairs, 3(1), 2016. US: Georgetown Uni-versity, hlm. 44.
72 Daniel Helimann, “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on Transbound-ary Haze Pollution and its Effectiveness As a Regional Environmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume 34 (3) (2015) hlm. 109.
73 Euston Quah, “The Political Economy of Transboundary Pollution: Mitigation Forest Fires and Haze in Southeast Asia”, dalam The Asian Community – Its Concepts and Prospects. Tokyo: Soso Sha. (2013), hlm. 18.
74 Ibid.
75 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 96.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
121
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
hutan.76 Perjanjian AATHP menekankan pada kooperasi, koordinasi, dan konsultasi
antara para pihak.77 Sementara itu, AATHP memiliki kelemahan berkaitan dengan
ketidakadaan dalam penanganan masalah teknis yang penting, seperti: (i) tidak
ada mekanisme penyelesaian sengketa dengan jelas78; (ii) tidak ada kewajiban dan
sanksi yang ditetapkan79 dan; (iii) tidak ada ganti rugi secara langsung.80 Ketiadaan
mekanisme pencarian ganti rugi maupun kompensasi untuk korban menunjukkan
bahwa Perjanjian AATHP tidak mengadopsi PPP. Bagaimanapun, ganti rugi adalah
salah satu aspek penting dari PPP.81
IV. Implementasi PPP dalam Skema Kompensasi
4.1. Mengejar Pemenuhan Kompensasi dengan Implementasi Polluter
Pays Principle dalam konteks Hak Akses yang Setara untuk Upaya
Perbaikan Tingkat Nasional
Dalam menjamin hak-hak korban, salah satu elemen penting dari PPP adalah
hak akses yang setara untuk upaya perbaikan tingkat nasional (equal rights to
access national remedies). Hak ini bertujuan memberikan perlakuan setara untuk
korban pencemaran domestik maupun lintas batas untuk mengakses perbaikan
dari negara asal pencemaran.82 Hak ini termasuk akses untuk informasi, partisipasi
dalam pemeriksaan administratif dan proses hukum, dan penerapan standar
non-diskriminatif untuk menentukan ilegalitas pencemaran domestik maupun
lintas batas.83 Hak ini tidak dapat dipisahkan dengan prinsip non-diskriminasi
dikarenakan keterkaitannya yang dekat. Non-diskriminasi menekankan pentingnya
pemulihan domestik (yang dapat dilakukan melalui aturan-aturan domestik
maupun internasional) untuk menjamin bahwa keuntungan dari perbaikan dan
76 Fadhilah Abdul Ghani, “Review on ASEAN Transboundary Haze Pollution Agreement 2002: Problems and Solutions,” Journal of Humanities, Language, Culture, and Business, Volume 1(1), (2017) hlm. 156.
77 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 111.78 Ibid.
79 Apichai Sunchindah, Loc.Cit.
80 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 108.81 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 324.82 Chen-Ju Chen, Loc.Cit., hlm. 10.83 Ibid.
122
prosedurnya diperluas hingga penggugat lintas batas.84 Sehingga, korban diluar
jurisdiksi negara mendapatkan alur akses langsung untuk pemulihan domestik
dari negara dimana pencemaran dan sumber kerusakan berasal. Juga, menjamin
bahwa pencemar lintas batas menjadi subjek hukum yang tidak lebih ringan dari
pencemaran domestik.85
Namun dengan melaksanakan hak akses yang setara dan non-diskriminasi,
tidak lantas implementasi PPP terhadap korban lintas batas menjadi mudah. Perlu
dipastikan pula penyelesaian masalah hukum seperti pilihan hukum (choice of law)
dan yurisdiksi bagi hukum perdata internasional dan harmonisasi hukum nasional
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan. Deklarasi
Rio dan Stockholm tidak menunjukkan dukungan secara jelas atas prinsip non-
diskriminasi86 namun Komisi Hukum Internasional memberikan dukungan yang
konsisten dalam konteks kasus lingkungan lintas batas.87 Subjek bagi hak ini tidak
hanya untuk individual, namun juga organisasi non-pemerintah dan otoritas
publik. Hal ini yang perlu dikejar dalam pembuatan kerangka-kerangka kebijakan
ASEAN setelah Perjanjian AATHP. Harmonisasi aturan-aturan tersebut yang
seharusnya dilakukan oleh ASEAN dalam perjanjian paska AATHP. Terutama,
melihat kondisi ASEAN yang masih sulit untuk memberikan akses kompensasi
dalam kerangka litigasi, dikarenakan cara-cara litigasi dipandang kontradiksi
dengan nilai-nilai ASEAN khususnya prinsip non-intervensi dan kedaulatan
(sovereignty).88
Harmonisasi tidak terbatas pada aturan ASEAN dengan PPP, namun juga
kebijakan lingkungan apa yang akan ditentukan dan diterapkan bagi negara
anggota. Dengan demikian, kebijakan lingkungan dari satu negara bagian ke
negara lain akan keterkaitan.
4.2. Reinterpretasi PPP dalam Government-Pays dan Victim-Pays
Dalam mengedepankan hak kompensasi bagi korban, beberapa negara
84 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 304.85 Ibid., hlm. 305.86 Ibid.
87 Ibid.
88 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 110.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
123
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
memberlakukan metode pemerintah-membayar (government-pays).89 Metode
tersebut dilakukan untuk menjamin kompensasi efektif dan tepat waktu. Sehingga,
pemerintah mempercepat pemenuhan hak kompensasi bagi korban pencemaran.90
Metode pemerintah-membayar sering dilakukan ketika pencemar tidak dapat
diidentifikasi atau pailit,91 maupun saat kompensasi memakan waktu lama.92
Metode ini menyusun ulang dasar pemikiran orisinil dari PPP.93 Reinterpretasi ini
menetapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat bersama-sama menanggung
kerusakan lingkungan.94 Sehingga, kelak pemerintah menggantikan korban untuk
mencari kompensasi dari pencemar. Prinsip subrogasi dapat dilaksanakan oleh
pemerintah ke pencemar.95
Namun dalam konteks untuk mengurangi tingkat polusi, beberapa negara
memilih untuk melakukan metode korban-membayar (victim-pays). Metode ini
dilakukan oleh suatu negara untuk membujuk negara lain untuk mengurangi
polusi.96 Hal ini juga berarti negara yang lingkungannya telah dicemari (korban)
memberikan bantuan finansial kepada negara yang menyebabkan pencemaran
(pencemar).97 Dengan begitu, pencemar mendapatkan subsidi untuk melakukan
upaya kontrol polusi.98 OECD memahami bahwa pada beberapa kasus, PPP harus
diabaikan dalam melakukan victim-pays.99 Walaupun, implementasi victim-pays
bukan merupakan kontradiksi atas pelaksanaan PPP.100
Tentu, harus ada persepakatan bentuk interpretasi mana yang akan
dilaksanakan dari negara-negara anggota ASEAN dalam mengimplementasikan
interpretasi diatas. Termasuk, dalam konteks mana ASEAN akan membuat
89 Barbara Luppi, Loc.Cit., hlm. 142.90 Mizan R. Khan, Polluter-Pays-Principle: The Cardinal Instrument for Addressing Climate
Change, Laws, Volume 4, 2015. Switzerland: MDPI, hlm. 645.91 Ibid.
92 Ibid.
93 Ibid.
94 Barbara Luppi, Loc.Cit., hlm. 142.95 Ibid.
96 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 325.97 Hyung-Jin Kim, “Subsidy, Polluter Pays Principle and Financial Assitance among Coun-
tries,” Journal of World Trade, Volume 34(6), 2000. Netherlands: Kluwer Law International. Hlm. 129.
98 Jean-Philippe Barde, Loc.Cit. hlm. 6.99 Hyung-Jin Kim, Loc.Cit., hlm. 129.100 Ibid., hlm. 133.
124
target dalam kebijakannya. Implementasi government-pays jelas mengedepankan
kompensasi untuk korban dengan cara pemenuhan secepat mungkin dengan
pendanaan yang dibayarkan oleh pemerintah terlebih dahulu. Sedangkan untuk
upaya pencegahan, victim-pays dapat menjadi alternatif untuk dipertimbangkan
dalam implementasinya, mengingat bahwa ada relasi ekonomi yang kuat diantara
ketiga negara (Singapura, Indonesia, Malaysia) dan kepentingan bisnis di
perkebunan Indonesia.
V. Penutup
Memang, baik Indonesia, Singapura, dan Malaysia memiliki kepentingan di
balik kebakaran di Indonesia dan tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan
pendekatan kesepakatan bersama ASEAN, tanpa ada keinginan politik dari tiap
negara. PPP dalam bentuk implementasi maupun variasinya dapat menjadi
rujukan dalam mendorong kompensasi untuk korban dari polusi udara yang
terjadi di ASEAN, ataupun menjadi instrumen pencegahan. Hal tersebut dapat
dilaksanakan ASEAN, walaupun sebagai organisasi regional yang memiliki
kondisi politik dan keputusan kebijakan yang bersifat diplomatis.
Tentu, PPP tidak lantas menjadi prinsip sapu jagad. Beberapa hal perlu
dipersiapkan terutama oleh negara-negara yang berdampak dan mempunyai
relasi langsung dengan kabut asap ini dan juga kesiapan ASEAN sebagai
organisasi regional yang akan menjadi penentu kebijakan regional pula. Perlu
untuk menetukan target kedepan dari kebijakan lingkungan yang akan ditentukan
oleh ASEAN, tentu dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang
lekat pada Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
125
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Daftar Pustaka
ASEAN Haze Action Online. Information on Fire and Haze, http://haze.asean.
org/about-us/information-on-fire-and-haze/, diakses tanggal 1 November
2017.
Tjahjono, Indro. 1999. Hutan Kita Dibakar. Indonesia: ISAI-SKEPHI.
Ruchiat, Yayat. “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus
Tumpang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat”. Makalah Lokakarya
Perencanaan Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata
Grasslands Using Trees: A Model Approach Growing Vitex Pubescens for Charcoal
Production in Kalimantan Indonesia (ACIAR). Pontianak: ACIAR, 2001.
BBC News, South East Asia Haze: What is Slash-and-Burn?, http://www.bbc.
co.uk/news/business-23026219, diakses tanggal 1 November 2017.
Shaw, Malcolm N. 2008. International Law. New York: Cambridge University Press.
Munir, Muhammad. 2013. “History and Evolution of the Polluter Pays Principle:
How an Economic Idea Became a Legal Principle?” Social Science Research Net-
work. https://ssrn.com/abstract=2322485, 2013.
Shelton, Dinah. 2005. Judicial Handbook on Environmental Law, Kenya: United Na-
tions Environment Programme.
Rosso Grossman, Margaret. 2006. “Agriculture and the Polluter Pays Principle: An
Introduction,” Oklahoma Law Review, Volume 59, 2006. US: University of Okla-
homa College of Law.
Birnie, Patricia. 2009. International Law & Environment. UK: Oxford University Press.
Dupuy, Pierre-Marie. 2015. International Environmental Law. UK: Cambridge Uni-
versity Press.
Olaniyan, Ayobomi. 2015. “Imposing Liability for Oil Spill Clean-Ups in Nigeria:
An Examination of the Role of the Polluter-Pays Principle,” Journal of Law,
Policy, and Globalization, Volume 40, 2015. IISTE.
Dixon MA, Martin. 2000. International Law, London: Blackstone Press Limited.
126
Barde, Jean-Philippe. 1994. “Economic Instruments in Environmental Policy; Les-
sons From the OECD Experience and Their Relevance to Developing Econo-
mies,” OECD Development Centre Working Paper No. 92. France: OECD.
Climate Action. UN Environment Chief Calls for Polluters to Pay for Environ-
mental Damage- Not Taxpayers, http://www.climateactionprogramme.org/
news/un-environment-chief-calls-for-polluters-to-pay-for-environmental-
damage-no/, diakses tanggal 1 November 2017.
Khan, Mizan R. 2015. “Polluter-Pays-Principle: The Cardinal Instrument for Ad-
dressing Climate Change,” Laws, Volume 4, 2015. Switzerland: MDPI.
Kim, Hyung-Jin. 2000. “Subsidy, Polluter Pays Principle and Financial Assitance
among Countries,” Journal of World Trade, Volume 34(6), 2000. Netherlands:
Kluwer Law International.
Varkkey, Helena. 2016. “Transboundary Haze and Human Security in Southeast
Asia: National and Regional Perspectives”, Georgetown Journal of Asian Affairs,
Volume 3(1), 2016.
Chen, Chen-Ju. 2012. “The Liability and Compensation Mechanism under Inter-
national Marine Environmental Law: Adopting the Polluter Pays Principle to
Control Marine Pollution under International Law from Aspect of Internation-
al Cooperation,” LOSI Conference Papers, Conference on Securing the Ocean
for the Next Generation, University of California, 2012.
Luppi, Barbara. 2012 “The Rise and Fall of the Polluter-Pays Principle in Develop-
ing Countries”, International Review of Law and Economics, Volume 32, 2012.
Netherlands: Elsevier.
Quah, Euston. 2013. “The Political Economy of Transboundary Pollution: Mitiga-
tion Forest Fires and Haze in Southeast Asia”, dalam The Asian Community –
Its Concepts and Prospects. Tokyo: Soso Sha.
Helimann, Daniel. 2015. “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution and its Effectiveness As a Regional Envi-
ronmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume
34(3), 2015. German: GIGA.
GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO
127
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Mustafa, Maizatun. 2016. “The Position of Environmental Law in Malaysia in Deal-
ing with Domestic and Regional Air Pollution Problems”, Jurnal Sultan Alaud-
din Sulaiman Shah, Volume 3 (2), 2016. Malaysia: Universiti Islam Antarbangsa
Selangor.
Nurul Alfia, Ayu. 2016. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional dalam Keba-
karan Hutan di Riau dalam Perspektif Hukum Internasional,” Diponegoro Law
Journal, Volume 5(3), 2016. Semarang: Universitas Diponegoro.
Adolf, Huala. 2011. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar. Bandung: Keni
Media.
The Jakarta Post, Pulp Firm Bumi Mekar Hijau Found Guilty of Starting Illegal
Fires, http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/31/pulp-firm-bumi-
mekar-hijau-found-guilty-of-starting-illegal-fires-.html/, diakses tanggal 1
November 2017.
BBC News, Dapatkah Kebakaran Hutan di Indonesia Diakhiri?, http://www.bbc.
com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160314_indonesia_kebakaran_
hutan_2016/, diakses tanggal 1 November 2017.
Tempo, Kebakaran Hutan, PT Bumi Mekar Hijau Cuma Bayarar Rp. 78 Miliar,
https://bisnis.tempo.co/read/800226/kebakaran-hutan-pt-bumi-mekar-hi-
jau-cuma-bayar-rp-78-miliar/, diakses tanggal 1 November 2017.
Khee-Jin TAN, Alan. 2015. “The Haze Crisis in Southeast Asia: Assessing Singa-
pore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014,” National University of Sin-
gapore Working Paper 2015/002, 2015. Singapore: National University of Sin-
gapore.
Sunchindah, Apichai. 2015. “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast
Asia: Reframing ASEAN’s Response,” ERIA Discussion Paper Series, 2015. Ja-
karta: ERIA.
Fadhilah Abdul Ghani, 2017. “Review on ASEAN Transboundary Haze Pollution
Agreement 2002: Problems and Solutions,” Journal of Humanities, Language,
Culture, and Business, Volume 1(1).
128
129
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
PeneraPan Plastic dePosit refund system sebagai instrumen
Penanggulangan Pencemaran limbaH Plastik di wilayaH
Perairan indonesia
Oleh: Irawati Puteri,1 Rizkina Aliya,2 Satria Afif Muhammad3
Abstrak
Sebagai poros maritim dunia, perairan dan laut Indonesia merupakan
instrumen fundamental sebagai pemberi kehidupan bagi ekosistem, ekonomi,
dan masyarakat secara luas. Namun keberlanjutan kualitas perairan dan laut
yang memiliki fungsi strategis tersebut rentan oleh pencemaran plastik. Limbah
plastik kian menjadi suatu ancaman non-tradisional (non-traditional threat)
terhadap keberlangsungan lingkungan hidup perairan Indonesia. Pada tahun
2015, penelitian oleh Jenna Jamback menemukan bahwa 3,2 juta ton limbah
plastik mencemari perairan Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai sumber
limbah plastik laut terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kedua di dunia (dengan
Republik Rakyat Cina menempati posisi nomor satu). Indonesia membutuhkan
suatu rencana kebijakan praktis untuk menanggulangi pencemaran limbah plastik
di wilayah perairannya; oleh karena itu, makalah ini membahas upaya penerapan
plastic deposit refund system terhadap produk-produk plastik sebagai suatu
diversifikasi solusi alternatif yang dapat efektif mengurangi laju pencemaran
limbah plastik di lautan berdasarkan prinsip perluasan tanggung jawab (extended
producer responsibility).
1 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: irawati.puteri@ui.ac.id.
2 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: rizkina.aliya@ui.ac.id.
3 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: satria.afif@ui.ac.id.
130
Kata kunci: Limbah plastik, perairan Indonesia, plastic deposit refund system,
Abstract
As the maritime axis of the world, the waters and seas of Indonesia are fundamental
instruments to support the ecosystem, economic, and society; however, the sustainability
of marine environment is vulnerable to plastic contamination. Plastic waste has become a
pressing non-traditional threat to the environmental sustainability of Indonesia’s marine
environment. By 2015, research done by Jenna Jamback found that 3.2 million tons of plastic
waste has contaminated Indonesian waters, making Indonesia the largest contributor of
marine plastic waste in Southeast Asia and the second largest in the world. Indonesia
urgently needs a practical policy plan to tackle the pollution of plastic debris in its marine
environment; therefore, this paper discusses the application of a plastic deposit refund
system for plastic products as an economic instrument that can effectively reduce the rate
of plastics pollution in the ocean based on the concept of extended producer responsibility.
Keywords: Plastic waste, Indonesian waters, non-traditional threats, plastic deposit
refund system
I. Pendahuluan
“Bernegara hukum untuk apa? Bernegara hukum untuk membahagiakan
rakyat.” – Prof. Satjipto Rahardjo.
Determinasi untuk menggapai kebahagiaan rakyat diejawantahkan secara
afektif dalam sendi mulia tujuan negara maupun penjaminan hak-hak asasi manusia
dalam konstitusi. Secara philosophische grondslag, staatsfundamentalnorm Indonesia
yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menghendaki pemajuan kesejahteraan umum dan perlindungan terhadap segenap
bangsa Indonesia. Pengejawantahan secara konkrit dan konstruktif dari hal ini
dalam konteks lingkungan hidup salah satunya adalah penjaminan hak asasi
manusia akan lingkungan hidup yang sehat sebagaimana tertuang dalam Pasal
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
131
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai
staatsgrundgezet. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”4
Jika ditilik lebih lanjut, sejatinya konstruksi pasal 28 H UUD NRI 1945
mencerminkan gagasan ekokrasi dalam paradigma hak asasi manusia dan
memberikan basis konstitusional bagi konstitusi hijau (green constitution).
Menurut Prof. Jimly Asshidiqqie doktrin demokrasi yang bersifat
anthroposentris harus diseimbangkan dengan ekokrasi yang bersifat ekosentris.
Paham antroposentrisme harus berada dalam posisi hubungan yang saling
imbang-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme. Paham
ini mengimani bahwa alam semesta ini merupakan suatu kesatuan sistim yang
saling berhubungan dan saling bergantung sama sama lain dan tidak berada pada
posisi subordinatif. Alam kehidupan merupakan suatu kesatuan ekosistem. Oleh
karena itu, paradigma berpikir manusia harus berubah dari “anthroposentris‟
ke “theosentrisme‟ sampai ke titik keseimbangan (equilibrium) dan menyadari
pentingnya “ekosentrisme”.5
Sejalan dengan paham ekosentrisme, Prof. Jimly Asshidiqqie mengintrodusir gagasan
konstitusi hijau, yakni melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan
dengan menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat
konstitusi. Dengan demikian, pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup
memiliki pijakan kuat dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu,
konstitusi hijau secara aspiratif turut menekankan pentingnya kedaulatan
lingkungan.
Dengan demikian merujuk pada landasan filosofis yakni Pasal 28 H ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, norma
perlindungan lingkungan hidup di Indonesia sebetulnya telah memiliki pijakan
yang cukup kuat. Namun, diseminasi gagasan konstitusi hijau yang mengusung
urgensi penegakkan hak atas lingkungan hidup perlu digalakkan.
4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1)5 Jimly Asshidiqie, “Demokrasi dan Ekokrasi”, http://www.jimly.com/makalah/na-
mafile/160/Demokrasi_dan_Ekokrasi.pdf diakses 1 Desember 2017
132
Dalam tulisan ini, berangkat dari refleksi akan hak atas lingkungan hidup
yang sehat, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah menjadi
tanggung jawab Negara dalam memenuhinya, Penulis akan membahas upaya
pengejawantahan kedaulatan lingkungan pada permasalahan pengelolaan limbah
plastik melalui perumusan salah satu instrumen kebijakan lingkungan hidup yakni
instrumen ekonomi lingkungan hidup. Internalisasi eksternalitas biaya lingkungan
dalam produksi barang yang akrab dalam lalu lintas keseharian masyarakat
Indonesia akan dirangkum dalam suatu deposit refund system berkaitan dengan
pengelolaan limbah plastik, secara spesifik yakni botol-botol kemasan plastik.
Secara yuridis normatif, tinjauan proyeksi efektivitas deposit refund system dalam
pengelolaan limbah plastik juga akan diuji dengan teori Friedman yakni efektivitas
sistem hukum dengan bercermin pula pada status quo upaya pengelolaan sampah
dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Secara garis besar, tulisan ini
dapat didikotomikan menjadi pembahasan deposit refund system sebagai instrumen
ekonomi penataan hukum lingkungan dan kajian proyektif implementasi deposit
refund system yang melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat dengan
teori efektivitas sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai batu uji dalam
penerapan deposit refund system.
II. Status quo Permasalahan Plastik Indonesia
Permasalahan sampah di Indonesia mulai menggugah nurani dan logika
pada saat terjadinya tragedi longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Leuwigajah. Problematika penimbunan sampah di TPA Leuwigajah yang semakin
hari semakin menggunung ditambah dengan manajemen pengelolaan sampah
yang buruk, berhilir pada longsornya TPA Leuwigajah setelah diguyur hujan
deras secara konstan selama 3 hari berturut-turut.6 Tepat jam 02:00 pagi tanggal
21 Februari 2005, 27 juta m3 sampah mengubur 3 kampung di bawahnya, yang
setidaknya menyebabkan7 141 orang meninggal dunia, 6 orang luka berat, kerugian
6 Amelia Hastuti, “Tragedi Longsor TPA Leuwigajah Harus Jadi Cambuk bagi Masyarakat Agar Peduli Sampah”, http://rri.co.id/post/berita/363673/feature/tragedi_longsor_tpa_leuwigajah_harus_jadi_cambuk_bagi_masyarakat_agar_peduli_sampah.html diakses 28 November 12:15 WIB.
7 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Surat Edaran tentang Pelaksanaan Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Tahun 2017, Surat Edaran Nomor SE.1/MenLHK-SetJen/Rokum/PLB.3/1/2017, hlm. 1.
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
133
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
materiil mencapai 65 miliar dan pembebasan 68 rumah pada lahan 12 hektar yang
tertimbun longsor di sekitar TPA Leuwigajah dengan biaya mencapai Rp 15 Miliar.
Tragedi naas ini menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Indonesia dan kemudian
menjadi Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari
setiap tahunnya.
Menggunungnya sampah di Indonesia secara dramatis setiap tahun menjadi
suatu konsekuensi logis sebagai akibat dari jumlah manusia yang terus bertambah,
aktivitas dan gaya hidup yang makin praktis, dan tingkat konsumsi masyarakat
yang naik secara signifikan. Hal ini diperparah dengan rendahnya kesadaran
masyarakat mengenai persoalan sampah, buruknya pengelolaan sampah di
berbagai TPA, serta norma hukum yang belum tepat sasaran dan efektif menjadikan
problematika terkait pengelolaan sampah kerap dianggap sebagai permasalahan
yang tak kunjung terpecahkan.8
Dalam perkembangannya, permasalahan sampah terutama sampah plastik di
Indonesia kian kompleks saat sampah plastik ini menyentuh air, laut dan samudera
kita. Tamparan telak bagi Indonesia dirasakan saat dipublikasikannya hasil
penelitian oleh Jenna R. Jambeck yang berjudul Platic Waste Inputs from Land into the
Ocean dan menyatakan bahwa potensi sampah plastik yang ada di lautan Indonesia
pada tahun 2015 mencapai 187,2 juta ton/tahun.9 Statistik ini memboyong piala bagi
Indonesia menjadi Negara kedua terbesar di dunia yang menyumbang sampah
ke laut setelah Cina yang menduduki peringkat pertama.10 Sampah plastik laut
(marine plastic debris) adalah aktor pencemar laut yang merupakan ancaman serius
bagi kehidupan ekosistem dalam laut. Sampah plastik laut merupakan substansi
padat yang diproduksi atau diproses secara langsung atau tidak langsung, sengaja
atau tidak sengaja, dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut.11 Sebagian
besar dari sampah plastik laut ini merupakan hasil dari kegiatan antropogenik
(manusia), dimana rata-rata 20% sampah plastik yang dibuang di daratan akan
menemukan jalannya menuju perairan, baik itu sungai maupun lautan.12 Namun
8 Hartuti Purwaeni, “Bom Waktu Sampah”, Suara Merdeka (Februari 2017), hlm. 1.9 Jambeck, J.R., Andrady, A., Geyer, R., Narayan, R., Perryman, M., Siegler, T., Wilcox, C., Lav-
ender Law, K., “Plastic waste inputs from land into the ocean”, Science, 347 (2015), p. 768-771.10 Ibid. 11 Akbar Tahir, “Anthropogenic Debris in Seafood”, Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Ke-
lautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, hlm. 2.12 Ibid., hlm. 3.
134
angka 20% ini dapat meningkat tajam di Indonesia mengingat Indonesia adalah
negara perairan yang memiliki jumlah sungai, danau, laut dan samudera yang
lebih besar dibanding negara-negara lain di dunia.13 Sehingga angka probabilitas
bertemunya sampah plastik daratan ke daerah perairan menjadi jauh lebih tinggi
daripada di negara-negara lain pula.
Plastik memang menjadi salah satu bahan yang paling penting, praktis, dan
populer dengan beragam kebutuhan di dunia. Penggunaannya sendiri telah
meningkat 20 kali lipat dalam waktu 50 tahun ke belakang ini dan diprediksi akan
meningkat sebanyak dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan.14 World Economic
Forum dalam laporannya yang berjudul “The New Plastics Economy: Rethinking the
future of plastics” mengatakan bahwasanya pada tahun 2050, rasio perbandingan
antara plastik dan ikan akan mencapai 1:1.15 Tentu, jika Indonesia tidak bergerak
menyelesaikan permasalahan kronis ini secara progresif dan komprehensif, bukan
tidak mungkin beberapa tahun ke depan kita akan menggusur tempat Cina untuk
menyandang status poluter sampah plastik terbesar dunia.
III. Deposit Refund System sebagai Instrumen Ekonomi Penaatan Hukum
Lingkungan
Penanganan permasalahan plastik di perairan Indonesia berkaitan erat
dengan penaatan atas hukum lingkungan oleh produsen maupun konsumen
produk-produk plastik sebagai pencemar. Penegakan yang dulunya ekslusif
berada di tangan pemerintah dalam bentuk atur dan awasi dapat dipandang
sebagai upaya yang kurang komprehensif untuk menanggulangi permasalahan
yang menyangkut berbagai pemangku kepentingan pasar.
Generasi kedua dari pendekatan penegakan hukum lingkungan adalah market-
based approach melalui penggunaan instrumen-instrumen ekonomi. Instrumen
13 Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jendera Satuan Kerja Dewan Maritim Indo-nesia., “Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UN-CLOS 1982) di Indonesia”, (DKP: Jakarta, 2008), hal. 2.
14 Ivan, “Sampah plastik diprediksi penuhi lautan pada 2050”, https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/sampah-plastik-diprediksi-penuhi-lautan-pada-2050 diakses pada 28 Novem-ber 2017.
15 World Economic Forum, “The New Plastics Economy: Rethinking the future of plastics”, World Economic Forum (2016), hlm. 14.
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
135
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
ekonomi bertujuan untuk mempengaruhi pasar secara artifisial agar setiap
pelaku terdorong untuk mempertimbangkan biaya pencemaran.16 Instrumen
ekonomi juga menjadi suatu komponen yang penting dalam pendekatan refleksif
sebagai perkembangan penataan generasi berikutnya selain daripada komponen
instrumen sukarela, keterbukaan informasi publik, sertifikasi oleh pihak ketiga,
partisipasi pengelolaan lingkungan oleh kelompok kepentingan, dan prosedur
bagi pelembagaan refleksi dan kritik diri.17
Instrumen ekonomi adalah manifestasi dari penerapan prinsip pencemar
membayar (polluter pays principle) yang merupakan sebuah kebijakan ekonomi
untuk menginternalisasi biaya-biaya pencemaran atau kerusakan lingkungan
(eksternalitas). Untuk dapat menerapkan instrumen ekonomi, pemerintah tetap
harus berperan, secara khusus karena telah terjadi suatu kegagalan pasar18 dalam
bentuk adanya perbedaan antara biaya marjinal dari produksi swasta dengan
biaya marjinal dari eksternalitas sosial. Eksternalitas terjadi saat pasar gagal
mempertimbangkan total biaya dari proses produksi yang termasuk biaya-biaya
pencemaran dan kerugian yang harus ditanggung oleh lingkungan dan masyarakat
(social costs) dan hanya menghitung biaya pribadi produsen (private costs).19
Salah satu manifestasi dari prinsip pencemar membayar adalah adanya
extended producer responsibility. Konsep extended producer responsibility berarti bahwa
produsen bertanggung jawab atas setiap tahap produksi yang dilakukan, dimulai
dari awal rantai produksi dengan desain produk sampai post-comsumer phase.
Dengan adanya perluasan tanggung jawab tersebut diharapkan dapat mengurangi
beban kepada negara untuk memproses limbah yang dihasilkan dengan cara
mengurangi jumlah limbah melalui peningkatan daur ulang.20 Realisasi dari konsep
16 Eric W. Orts, Reflexive Environmental Law, “Northwestern University Law Review”, Vol. 89, 1995a, hal. 1242. Sebagaimana dikutip dari Andri Wibisana (2014, October). Prinsip-Prinsip Hukum Lingkingan. Depok, Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
17 Eric W. Orts, A Reflexive Model of Environmental Regulation, “Business Ethics Quarterly”, Vol. 5(4), Oct., 1995b, hal. 788. Sebagaimana dikutip oleh Andri Wibisana (2014, October). Prinsip-Prinsip Hukum Lingkingan. Depok, Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Indo-nesia.
18 Andri G. Wibisana, “Campur Tangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Lingkungan: Sebuah Penelusuran Teoretis Berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law), Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2 (2017): 151-182, hlm. 157
19 Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, “Microeconomics”, (Prentice Hall, 2001), hal. 59220 OECD, Extended Producer Responsibility: Guidance for efficient waste management, (Paris: OECD
Pubishing, 2016), hlm.1
136
tersebut yang dapat menguntungkan bagi produsen, konsumen, dan negara adalah
penerapan sistem pengembalian deposit atas produk plastik sekali pakai.
Sistem pengembalian deposit (deposit refund system) adalah suatu bentuk
instrumen ekonomi di mana seseorang harus membayar di muka sejumlah uang
untuk menjamin bahwa ia tidak akan melakukan pencemaran atau bahwa dia akan
melakukan suatu kewajiban, fungsinya adalah untuk memfasilitasi pengembalian
produk (product take-back).21 Jika kewajiban tersebut telah dilakukan, maka uang
jaminan tersebut akan dikembalikan. Sistem pengembalian deposit memungkinkan
tingkat pengumpulan kembali yang tinggi dari material produk yang berpotensi
menjadi pencemar lingkungan seperti plastik dengan kualitas bahan yang masih
tetap terjaga untuk mempermudah daur ulang dan menurunkan kebutuhan
penggunaan bahan mentah yang harus diekstraksi kembali dari sumber daya
alam. Selain meningkatkan pengumpulan kembali produk-produk plastik dan
tingkat daur ulang, penerapan deposit-refund system diharapkan dapat mendorong
perbaikan terhadap pengolahan limbah dan perbaikan terhadap desain produk.
Keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari penerapan deposit-refund system
yang teratur tersebut pada akhirnya dapat turut mengurangi konsentrasi
pencemaran plastik di perairan.
Upaya ini telah dilakukan oleh berbagai negara termasuk Jerman dan Swedia
yang menerapkan sistem one-way deposit di mana kemasan plastik sekali pakai
dapat diambil kembali oleh produsen dengan pengembalian sejumlah uang kepada
konsumen (refund). Di Jerman, distributor dari kemasan plastik yang wajib dilekati
nilai deposit diwajibkan untuk menerima kemasan-kemasan gelas, plastik, besi,
dan bahan-bahan komposit yang disebarkan22. Hasil dari Verpackungsverordnung
(Packaging Ordinance) atau Peraturan Pengemasan , di Jerman 98,5% dari botol-botol
kemasan dikembalikan oleh para konsumen sejak negara tersebut mengesahkan
legislasi mengenai uang jaminan untuk produk-produk sekali pakai (Einwegpfand)
pada tahun 2003. Kualitas dari botol-botol tersebut pun terjaga sehingga botol
21 Yasuhiko Hotta, et.al., eds., Extended Producer Responsibility Policy in East Asia: in Consider-ation of International Resource Circulation (Japan:Institute for Global Environmental Strategies,
2009), hlm. 5. 22 “Each distributor shall be obliged to accept returned one-way drinks packaging made of such types
of materials (glass, plastics, metals, composite material materials) as the distributor supplies in his own product range.” DPG-Pfandsystem, “Function of the Deposit-Scheme,” http://www.dpg-pfandsystem.de/index.php/en/ diakses pada 5 Februari, 2018
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
137
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
baru kemungkinan besar dapat dibentuk dari botol lama. Deposit refund system
Jerman (Deutsch Pfandsystem GmbH atau dikenal sebagai DPG) dibiayai oleh iuran
keanggotaan asosiasi berbagai pihak yang terkait dengan produksi dan distribusi
single-use containers seperti produsen, distributor, dan kolektor yang dapat berupa
retailer yang dikenal oleh masyarakat23.
Sedangkan di Swedia, tingkat pengembalian bahan plastik mencapai 77%
sejak pendauran ulang bahan-bahan plastik dan kemasan lain dikelola oleh
perusahaan AB Svenska Returpack dengan penerapan Förordning om retursystem
för plastflaskor och metallburkar (Ordinance on the Return System for Plastic Bottles
and Metal Cans).24 Undang-undang tersebut mengatur pemberian insentif untuk
meningkatkan pengembalian dan pendauran ulang dari botol-botol plastik serta
kaleng aluminium. Tingkat daur ulang yang tinggi atas kemasan-kemasan plastik
di negara-negara tersebut dapat membantu mengurangi jumlah sampah plastik
yang mencapai laut pada akhir masa pemakaiannya.
Meskipun contoh-contoh global menjanjikan, deposit-refund system bukan
suatu obat mujarab bagi semua segala permasalahan yang dibawa oleh
pemakaian plastik secara ekses. Di Taiwan, diadakan suatu program deposit-
refund system untuk botol-botol PET yang dikelola dengan cara para produsen
dan importir botol-botol plastik tersebut diwajibkan untuk membayar sejumlah
uang untuk kepada suatu recycling fund yang juga menjadi sumber refund bagi
konsumen yang mengembalikan kemasan-kemasan botol plastik kepada titik-titik
pengembalian. Jumlah uang yang dibayarkan oleh para produsen sesuai dengan
proporsi penjualan botol plastik mereka. Meskipun sistem ini serupa dengan yang
diterapkan di Jerman, Taiwan menemui beberapa masalah yang mencolok yaitu
pengelolaan recycling fund yang ada dan penegakan kewajiban bagi para produsen
yang tidak membayar.
Penerapan deposit refund system di Indonesia harus berangkat dari pelajaran-
pelajaran yang didapatkan dari negara-negara lain dengan turut mempertimbangkan
23 Anker Andersen, “Deposit system law- Germany,” http://anker-andersen.dk/deposit-laws/germany.aspx, diakses pada 5 Februari, 2018
24 Zero Waste Europe, “Beverage packaging and Zero Waste,” https://www.zerowasteeurope.eu/tag/germany-deposit-refund-system/, diakses pada 28 November, 2017 Bottle Bill Re-source Guide, “Sweden,” http://www.bottlebill.org/legislation/world/sweden.htm, diak-ses pada 7 Februari, 2018
138
konteks kerangka hukum lingkungan yang ada serta budaya masyarakat. Jika
sistem tersebut diharapkan dapat mengubah status quo pencemaran air oleh limbah
plastik di Indonesia, efektivitas dari sistem pengembalian deposit sebagai inisiatif
instrumen ekonomi yang baru harus dijamin oleh adanya sistem hukum penopang
yang efektif pula.
IV. Teori Efektivitas Sistem Hukum oleh Friedman sebagai Batu Uji dalam
Penerapan Deposit Refund System
Lawrence M. Friedman mengintrodusir “Legal System Theory” yang
mensyaratkan adanya pemenuhan akan 3 komponen sistem hukum, yakni
substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum untuk dapat menilai
efektifitas suatu sistem hukum.25
Substansi hukum berarti produk yang dihasilkan oleh legislator yang berada
dalam sistem hukum. Substansi tak terestriksi hanya pada hukum yang tertulis
namun juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang
ada dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum yakni infrastruktur
yang menjamin serta memfasilitasi hukum tersebut berjalan. Selain itu elemen
yang ketiga yakni budaya atau kultur hukum. Budaya hukum menurut Friedman
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan
kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat. Terpenuhinya tiga komponen
esensial ini secara paripurna, akan berimplikasi pada terwujudnya suatu sistem
hukum yang efektif.
A. Substansi hukum untuk penerapan deposit refund system
Efektivitas deposit refund system sebagai sebuah instrumen ekonomi diukur
melalui parameter yang abstrak dan bersifat kualitatif yakni bagaimana pelaku
usaha/kegiatan telah mengubah perilaku atau proses kegiatan mereka menjadi
ramah lingkungan untuk menghindari biaya yang mahal, bukan dari seberapa
25 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975)
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
139
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
besar pendapatan negara yang didapatkan oleh penerapan instrumen ekonomi
tersebut. Jika merujuk kembali kepada teori legal system dari Friedman maka
komponen utama adalah adanya susbtansi (legal substance) yang dapat memfasilitasi
penerapan dari deposit refund system.
Pada konteks pengelolaan sampah, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,26 Pemerintah dan pemerintahan
daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan.27
Mengejawantahkan secara ekstensif tujuan mulia tersebut, regulasi
merumuskan perihal kewajiban produsen yakni, produsen wajib mengelola
kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai
oleh proses alam.28 Menilik lebih lanjut, pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor
81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga secara derivatif turut mengartikulasikan kewajiban
produsen untuk melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan salah satu
cara yakni menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk
diguna ulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 1) produsen wajib mengelola
kemasan yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam dan 2) produsen
wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan mendaur ulang kemasan
produk. Klausula ini merupakan klausula yang akomodatif terhadap adanya
cetusan deposit refund system.
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa: “Dalam
rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan dan menerapkan Instrumen Ekonomi Lingkungan
Hidup,” menindaklanjuti hal tersebut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017
mengelaborasikan secara rinci mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.
26 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008, LN No. 69 Tahun 2008, TLN No. 69, Pasal 4
27 Ibid., Pasal 528 Ibid., Pasal 15
140
Secara definitif, instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat
kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau
setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup29 Instrumen ekonomi
lingkungan hidup ini meliputi:
1. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
2. Pendanaan lingkungan hidup;
3. Insentif dan/atau disinsentif.30
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dirumuskan dengan bertujuan
untuk menjamin akuntabilitas dan penataan hukum dalam penyelenggaraan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, mengubah pola pikir dan
perilaku pemangku kepentingan dalam pembangunan dan kegiatan ekonomi,
mengupayakan pengelolaan pendanaan lingkungan hidup yang sistematis,
teratur, terstruktur, dan terukur, membangun dan mendorong kepercayaan publik
dan internasional31 dalam pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup.32
Instrumen ini dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk menginternalisasikan aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan
dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Internalisasi Biaya
Lingkungan Hidup dilaksanakan dengan memasukkan biaya pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya
suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Internalisasi biaya lingkungan hidup dilaksanakan
oleh penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.33
Peran Pemerintah yang pertama dan utama agar sistem pengembalian deposit
plastik (plastic deposit refund system) ini dapat berjalan dan dipatuhi adalah dengan
menormakan sistem ini melalui peraturan perundang-undangan. Sejatinya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah memiliki
semangat yang sama mengenai tanggung jawab produsen dan konsumen plastik
29 Ibid., Pasal 1 angka 3330 Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam perencanaan pembangunan” adalah
upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Ibid., Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Huruf a
31 Ibid., Pasal 232 Ibid., Pasal 3 33 Pasal 2
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
141
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
untuk melakukan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, substansi hukum yang perlu dibentuk oleh pemerintah untuk
mengakomodasi sistem pengembalian deposit plastik adalah dengan membuat
Peraturan Pemerintah mengenai Sistem Pengembalian Deposit Plastik sebagai
derivasi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Peraturan perundang-undangan yang disusun harus dapat mengikutsertakan
berbagai pemeran dalam rantai produksi plasti seperti produsen, distributor,
pengecer (retailer) serta konsumen apabila take-back dari kemasan-kemasan plastik
sekali-pakai dapat diterapkan dengan efektif.
Peran kedua dari pemerintah agar dapat menjalankan sistem pengembalian
deposit plastik ini dengan efektif, adalah dalam hal pembangunan infrastruktur-
infrastruktur yang dibutuhkan agar pengumpulan plastik ini dapat dijangkau oleh
masyarakat. Pemerintah daerah di Indonesia atau pengusaha dapat membangun
titik-titik pengumpulan plastik di pusat kota atau tempat ramai penduduk,
sehingga masyarakat dapat dengan mudah menjangkau titik pengumpulan ini
untuk mengembalikan plastik yang mereka miliki dan langsung mendapatkan
uang deposit mereka.
Instrumen ekonomi secara fundamental memperkuat sistem yang bersifat
mengatur (regulatory). Pendekatan ini menekankan adanya keuntungan ekonomi
bagi penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan bila menaati persyaratan
lingkungan hidup karena antara lain terhindar dari membayar pinalti atau
mendapat hukuman, menghemat pengeluaran karena menggunakan praktik
efisiensi, dan mendapatkan insentif apabila kegiatannya memberikan dampak
positif pada upaya pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup.
Penerapan instrumen ekonomi sebagai insentif dan disinsentif diibaratkan
sebagai koin dengan 2 (dua) sisi mata uang. Kemudahan dan dorongan diberikan
ketika terpenuhi ketaatan, dan bahkan besaran insentif dapat terus meningkat
sejalan dengan semakin membaiknya kinerja. Sebaliknya, beban dan tambahan
kewajiban ditimpakan saat kinerja terus turun dan bahkan terindikasi tidak taat.
Setelah menormakan sistem ini melalui peraturan perundang-undangan,
maka substansi hukum yang paling penting untuk dirumuskan oleh pemerintah
adalah kontraprestasi atau keuntungan ekonomi bagi penanggung jawab Usaha
142
dan/atau Kegiatan bila menaati sistem pengembalian deposit plastik ini. Ada
banyak alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah, namun tentu diperlukan
kajian mendalam mengenai preferensi dari penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan di Indonesia agar alternatif yang dipilih nanti dapat ditaati dan dipatuhi
secara efektif oleh penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.
Implementasi instrumen ekonomi dibutuhkan karena sebagian besar modal
alam dan lingkungan hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman
hayati, adalah sumber daya milik bersama atau barang publik. Barang publik
memiliki karakteristik akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal,
dan secara umum dihargai rendah (undervalue). Instrumen ekonomi melalui
perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi diantaranya mengutamakan
pendekatan valuasi yang telah memasukkan manfaat ekosistem yang tidak
mempunyai pasar atau non market sebagai nilai yang harus diperhitungkan secara
riil. Dalam praktiknya, pendekatan seperti ini akan memudahkan penghargaan
atas jasa-jasa lingkungan hidup oleh para penggunanya dan terdorong keinginan
untuk menjaga keberlanjutannya.
B. Struktur hukum dalam penerapan deposit refund system
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ada
beberapa prinsip otonomi daerah yang digunakan sebagai pedoman dalam
pendirian dan penyelenggaraan daerah otonom, yaitu:
1. Sebuah aspek pelaksanaan demokrasi, keadilan, persamaan dan keragaman
dan potensi daerah;
2. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan otonomi, nyata dan bertanggung
jawab;
3. Implementasi luas otonomi daerah dan ditempatkan utuh di Kabupaten dan
Kota, sedangkan Provinsi adalah otonomi terbatas;
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara menjamin
adanya hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah serta
antar daerah;
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
143
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan independensi Daerah
Otonom.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi
ditangan pemerintahan pusat. Dalam proses desentralisasi tersebut, kekuasaan
pemerintahan pusat diderivasikan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah
sebagaimana mestinya sehingga terwujud pelimpahan kekuasaan dari pusat ke
daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka secara ideal
bahwa sejak diterapkan kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan
akan bergerak sebaliknya yaitu dari pusat ke daerah.34
Sesuai ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang dikenal
dengan tiga (3) prinsip tata kelola pemerintahan di daerah, yaitu asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pokok. Prinsip Desentralisasi berarti
pengalihan kewenangan pemerintah oleh pemerintah ke daerah otonom dalam
rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi Prinsip adalah
pendelegasian wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai perwakilan
pemerintah dan / atau pusat di daerah tersebut, sedangkan Asas Tugas diberikan
kepada pemerintah daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan
tugas, bersama dengan dana, sarana dan infrastruktur serta sumber daya manusia
hingga pelaksanaan pelaporan wajib dan pertanggungjawaban kepada pihak yang
menunjuknya.
Dalam hal pengelolaan sampah di Indonesia, Pemerintah dan pemerintahan
daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Pasal 8 UU Pengelolaan Sampah, dalam
menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi mempunyai
kewenangan:
1. Menetapkan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan
kebijakan Pemerintah;
34 H.M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasin-ya, (Yogyakarta: Total Media, 2013), hlm. 62.
144
2. Memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan
jejaring dalam pengelolaan sampah;
3. Menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja
kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah; dan
4. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antar-kabupaten/
antar-kota dalam 1 (satu) provinsi.
Lalu dalam Pasal 9 UU yang sama, pemerintah kabupaten/kota sendiri
mempunyai kewenangan:
1. Menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional dan provinsi;
2. Menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
3. Melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain;
4. Menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan
sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
5. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan
selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah
dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
6. Menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan
sampah sesuai dengan kewenangannya.
Dapat dilihat bahwa UU Pengelolaan Sampah telah secara jelas mengatur
dikotomi kewenangan pengelolaan sampah dengan struktur otonomi daerah,
dimana pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam mengatur pengelolaan sampah di daerahnya
masing-masing. UU ini menjadikan pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sebagai aktor utama dalam menyelesaikan peliknya permasalahan
sampah. Guna memperkuat landasan hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan
sampah di Indonesia, terutama di daerah, maka Kementerian Lingkungan Hidup
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
145
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah ini mengatur secara rinci mengenai kebijakan dan strategi
pengelolaan sampah yang setidaknya harus memuat arah kebijakan pengurangan
dan penanganan sampah serta program pengurangan dan penanganan sampah.
Namun, sedemikian baiknya struktur hukum ini diatur, pengelolaan sampah kota
di Indonesia masih menjadi masalah aktual, terutama seiring dengan semakin
meningkatnya tingkat pertumbuhan penduduk.35
Mekanisme Deposit Refund System dapat menjadi salah satu instrumen ekonomi
yang dapat membantu mengurai kusutnya masalah pengelolaan sampah. Agar
mekanisme ini dapat diterapkan secara efektif dan efisien, maka sesuai dengan
struktur hukum pengelolaan sampah yang sudah dibangun melalui Undang-
Undang Pengelolaan Sampah beserta dengan peraturan derivatifnya, maka
mekanisme Deposit Refund System dapat menjadi bagian yang teralienasikan dari
program pengurangan dan penanganan sampah di provinsi dan di kabupaten/
kota seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Jika belajar dari negara lain seperti Jerman dan Swedia, maka jenis plastik yang
dicakup dalam sistem ini adalah Polyethylene Terephthalete Bottle (Botol PET). Botol
ini adalah botol plastik yang paling banyak digunakan untuk kemasan air mineral
maupun air dengan pemanis, serta botol ini mudah untuk didaur ulang oleh
penyelenggara usaha. Botol ini pula yang paling sering ditemukan mengambang
di tengah lautan dan samudera dunia.
Pelaksanaan mekanisme Deposit Refund System dalam kerangka otonomi
daerah akan membuatnya menjadi mekanisme yang tepat sasaran dan akan
lebih mudah dikontrol sesuai dengan daerah kewenangannya masing-masing.
Penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran dari kewajiban
menerapkan mekanisme Deposit Refund System ini juga akan menjadi lebih efektif
jika ditempatkan dalam kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota melalui aparat penegak hukum tingkat provinsi dan kabupaten/
kota ketimbang terpusat di Pemerintah Pusat.
35 Rizqi Puteri Mahyudin, “Kajian Permasalahan Pengelolaan Sampah dan Dampak Lingkun-gan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)”, Jurnal Teknik Lingkungan 3, (2017), hlm. 67.
146
C. Budaya hukum untuk penerapan deposit refund system
Pengoperasian hukum di masyarakat bergantung pada sikap perilaku
masyarakat tersebut. Friedman mejelaskan bahwa suatu legal culture adalah suatu
konsep di mana perubahan hukum terjadi karena transformasi sosial yang besar.
Dalam hal ini, transformasi sosial yang dimaksud bisa jadi adalah peningkatan
kesadaran dan permintaan untuk perlindungan dan reformasi lingkungan.
Tuntutan-tuntutan untuk perubahan tersebut diklasifikasikan oleh Friedman
sebagai bagian dari hukum “eksternal” yang merupakan pendapat, minat, dan
tekanan oleh masyarakat yang dapat membentuk hukum. Opini dan dorongan
masyarakat tersebut dapat membangun jalan bagi Total Justice yang pada saat
yang bersamaan menghasilkan perubahan sosial.36 Pengakuan pada legal culture
intinya mengenal bahwa keberlakuan hukum tidak semata-mata bergantung pada
efektivitas suatu perangkat peraturan perundang-undangan (law on the books)
namun juga hukum yang hidup (law in action).37 Terkait dengan pembahasan
mengenai sistem pengembalian dana deposit, efektivitas penerapan deposit-refund
system tidak hanya bergantung pada intervensi pemerintah melalui berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan, namun juga pada seberapa baik pihak-pihak
lain yang berperan sepanjang rantai produksi kemasan plastik menginternalisasi
pentingnya upaya pengumpulan kembali sampah plastik. Masyarakat harus mawas
akan keberlanjutan lingkungan. Pihak-pihak yang terletak pada sisi produksi,
distribusi, dan koleksi pada rantai produksi harus menyadari bahwa inisiatif ini
tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan
namun juga bagi kegiatan usaha mereka. Walaupun munculnya budaya tersebut
bisa dicetuskan oleh penekanan terhadap insentif ekonomi berupa refund, namun
ke depannya jika pengaturan deposit refund system diharapkan untuk langgeng,
maka perlu pembentukan budaya yang berkelanjutan pula melalui pendidikan
dan sosialisasi melalui sekolah-sekolah dan kepada unit-unit masyarakat terkecil
seperti Rukun Tetangga untuk mengasah tingkat kepekaan masyarakat terhadap
masalah plastik di lingkungan.
36 David Nelken, 2004 “Using the Concept of Legal Culture,” Australian Journal of Legal Philoso-phy, Vol. 29, hlm. 9
37 Susan S. SIlbey, “Legal culture and cultures of legality,” Handbook of Cultural Sociology, July 2010, hlm. 471
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
147
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
V. Kesimpulan
Jika Indonesia tidak bergerak dengan cepat untuk menyelesaikan
permasalahan plastik kronis yang melanda perairannya secara progresif dan
komprehensif, kesehatan lingkungan perairan Indonesian akan terancam oleh
pencemaran plastik yang dilanggengkan oleh rakyatnya sendiri sebagai produsen
dan konsumen bahan praktis dan populer tersebut.
Penanganannya plastik di perairan Indonesia sudah tidak bisa bergantung
pada penegakan hukum lingkungan yang eksklusif berada di tangan pemerintah
dalam bentuk atur dan awasi. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan sudah
seharusnya melirik inisiatif-inisiatif instrumen ekonomi agar pelaku ekonomi
pengguna dan pembuat plastik dapat menginternalisasi biaya-biaya pencemaran
sebagai suatu eksternalitas kembali ke dalam biaya produksi dan pemakaian.
Deposit refund system adalah suatu mekanisme ekonomi lingkungan di mana
seseorang harus membayar di muka sejumlah uang untuk menjamin bahwa ia tidak
akan melakukan pencemaran atau bahwa dia akan melakukan suatu kewajiban.
Dengan kaitannya dalam penanggulangan pencemaran plastik fungsinya
adalah untuk memfasilitasi pengembalian produk. Sebagai salah satu bentuk
dari instrumen ekonomi dalam penaatan hukum lingkungan adalah manifestasi
dari penerapan prinsip pencemar membayar, namun apabila sistem tersebut
diharapkan dapat mengubah harus dijamin adanya suatu sistem legal system yang
efektif pula. Menurut Friedman, sistem hukum yang efektif harus memiliki tiga
komponen yaitu adanya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum
yang mendukung penaatan hukum yang ada.
Dari segi substansi, Indonesia sendiri sudah mempunyai landasan-landasan
penerapan deposit refund system dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun substansi yang lebih spesifik
mengenai sistem tersebut harus ditetapkan agar program deposit refund tidak hanya
menjadi suatu wacana yang tidak mempunyai pengaturan normatif.
148
Komponen struktur yang penting bagi penerapan deposit refund system adalah
pembagian kewenangan daerah dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan
pada unit terkecil yang dapat dijangkau oleh masyarakat agar product take-back
kemasan-kemasan plastik dapat terlaksana. Namun, selain fondasi normatif dan
fasilitas, harus ada elemen budaya masyarakat jika mekanisme tersebut diharapkan
memiliki keberlanjutan. Patut dicatat bahwa budaya masyarakat sendiri dapat
dibentuk dan diubah oleh kebiasaan-kebiasaan sosial baru jika memang itu yang
dibutuhkan untuk melanggengkan kesehatan lingkungan.
Indonesia sudah tidak mempunyai hak istimewa untuk mengabaikan
keberadaan sampah-sampah plastik di perairan yang menjadi konsekuensi dari
tingkat konsumsi bahan serba guna tersebut. Suatu non-traditional threat terhadap
pemberi kehidupan bangsa kita harus dihadapi dengan solusi yang non-traditional
pula, sehingga diharapkan bahwa penerapan deposit refund system dapat menjadi
suatu solusi yang progresif, tepat guna dan kolaboratif untuk memecahkan
polemik plastik Indonesia.
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
149
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Daftar Pustaka
Amelia Hastuti, “Tragedi Longsor TPA Leuwigajah Harus Jadi Cambuk bagi Ma-
syarakat Agar Peduli Sampah”, http://rri.co.id/post/berita/363673/fea-
ture/tragedi_longsor_tpa_leuwigajah_harus_jadi_cambuk_bagi_masyara-
kat_agar_peduli_sampah.html
Anker Andersen, “Deposit system law- Germany,” http://anker-andersen.dk/
deposit-laws/germany.aspx
Busrizalti, H.M. 2013. Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya. Yogyakarta:
Total Media.
Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jendera Satuan Kerja Dewan
Maritim Indonesia. 2008. Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia. Jakarta: DKP.
DPG-Pfandsystem, “Function of the Deposit-Scheme,” http://www.dpg-
pfandsystem.de/index.php/en/.
Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science Perspectiv., New
York: Russel Sage Foundation.
Hotta, Yasuhiko, et.al., eds. 2009. Extended Producer Responsibility Policy in East Asia:
in Consideration of International Resource Circulation. Japan: Institute for Global
Environmental Strategies.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008,
LN No. 69 Tahun 2008, TLN No. 69, Pasal 4.
Ivan, “Sampah plastik diprediksi penuhi lautan pada 2050”, https://beritagar.id/
artikel/sains-tekno/sampah-plastik-diprediksi-penuhi-lautan-pada-2050.
Jambeck, J.R., Andrady, A., Geyer, R., Narayan, R., Perryman, M., Siegler, T.,
Wilcox, C., Lavender Law, K. 2015. “Plastik waste inputs from land into the
ocean”, Science, 347.
Jimly Asshidiqie, “Demokrasi dan Ekokrasi”, http://www.jimly.com/makalah/
namafile/160/Demokrasi_dan_Ekokrasi.pdf
150
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Surat Edaran tentang Pelaksanaan
Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Tahun 2017, Surat Edaran No-
mor SE.1/MenLHK-SetJen/Rokum/PLB.3/1/2017.
Mahyudin, Rizqi Puteri. 2017. “Kajian Permasalahan Pengelolaan Sampah dan
Dampak Lingkungan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)”, Jurnal Teknik Ling-
kungan 3.
Nelken, David. 2004. “Using the Concept of Legal Culture,” Australian Journal of
Legal Philosophy, Vol. 29.
OECD, Extended Producer Responsibility: Guidance for efficient waste management,
(Paris: OECD Pubishing, 2016),
Orts, Eric W. 1995. “A Reflexive Model of Environmental Regulation, “Business
Ethics Quarterly”, Vol. 5(4).
Orts, Eric W. 1995. “Reflexive Environmental Law, “Northwestern University Law
Review”, Vol. 89.
Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Prentice Hall.
Purwaeni, Hartuti. “Bom Waktu Sampah”, Suara Merdeka (Februari 2017).
Silbey, Susan S. 2010. “Legal culture and cultures of legality,” Handbook of Cultural
Sociology.
Tahir, Akbar. s.n. “Anthropogenic Debris in Seafood”, Departemen Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1)
Wibisana, Andri G. 2017. “Campur Tangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Ling-
kungan: Sebuah Penelusuran Teoretis Berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hu-
kum (Economic Analysis of Law), Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2.
World Economic Forum. 2016. “The New Plastics Economy: Rethinking the future
of plastics”, World Economic Forum.
Zero Waste Europe, “Beverage packaging and Zero Waste,” https://www.
zerowasteeurope.eu/tag/germany-deposit-refund-system/.
IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD
151
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
C a t a t a n a k h I r t a h u n 2 0 1 7IndonesIan Center for envIronmental law
kebiJakan PemerintaHan Jokowi-Jk taHun 2017:
ambisi megaProyek, minim Perlindungan lingkungan
Pengantar
Tahun 2017 merupakan tahun krusial dalam Pemerintahan Jokowi-JK.
Dalam tahun ini kebijakan Jokowi-JK mulai menunjukan arahnya. Namun masih
banyak kebijakan yang menjadi sorotan publik karena dianggap belum optimal
memberikan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta ruang
hidup masyarakat.
Catatan akhir tahun ICEL ini akan memberikan pandangan mengenai kinerja
Pemerintahan Jokowi-JK selama 2017 dan implikasinya terhadap perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alam. Catatan-catatan ini dibuat berdasarkan
advokasi kasus, penelitian dan pendampingan yang dilakukan oleh ICEL bersama
dengan jaringan masyarakat sipil maupun pemangku kepentingan lainnya.
Catatan akhir tahun ini akan membahas mengenai kebijakan dan penegakan
hukum terhadap empat isu pokok dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup serta sumber daya alam, yaitu: (1) kebijakan dan penegakan
hukum lingkungan; (2) kehutanan dan lahan; (3) pencemaran lingkungan hidup;
dan (4) kelautan dan pesisir.
I. Kebijakan dan Penegakan Hukum Lingkungan di Tahun 2017
1. Penataan Ruang: Karut Marut dengan Proyek Strategis Nasional
PP Nomor 13 Tahun 2017 dan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 adalah katalog
152
megaproyek eksploitatif yang menggunakan klaim kepentingan publik. Tahun
2017 menegaskan bagaimana arah pembangunan Jokowi-JK pada periode pertama
pemerintahannya. Seperti yang sudah sering terdengar, pemerintah mempercepat
pembangunan secara massif yang dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan fungsi lingkungan
hidup. Kebijakan kontroversial pertama adalah ketika pada bulan April 2017,
Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Nomor 13 Tahun 2017). Di dalamnya
terdapat banyak perubahan signifikan yang telah berdampak maupun memiliki
dampak potensial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
di Indonesia. Secara umum, PP Nomor 13 Tahun 2017 cenderung akomodatif
terhadap pelaksanaan proyek megainfrastruktur dengan memberikan sejumlah
ketentuan pengecualian yang toleran terhadap pembangunan infrastruktur
terutama Proyek Strategis Nasional. Contohnya adalah kebolehan untuk
melanggar rencana tata ruang yang telah lebih dahulu ada terutama RTRW dan
RDTR Daerah dan juga diperkokoh dengan memberikan dasar bagi Menteri untuk
memberikan rekomendasi atas kegiatan pemanfaatan ruang yang bernilai strategis
nasional maupun berdampak besar yang belum dimuat dalam RTRW dan RDTR
Daerah tanpa disertai dengan kondisi dan parameter yang jelas. Hal tersebut juga
membuka jalan untuk eksekusi 248 Proyek Strategis Nasional yang lebih rawan
mengeksploitasi lingkungan hidup maupun hak asasi manusia, diantaranya oleh
karena toleransi untuk melanggar RTRW, RDTR Daerah dan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).1
Salah satu contoh eksploitasi tersebut telah terjadi, yaitu pada gugatan
tata usaha negara yang diajukan oleh masyarakat terhadap Izin Lingkungan
untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Cirebon yang dasar hukum
penerbitannya meliputi PP Nomor 13 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor
58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres Nomor 58
1 Indonesia, Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, Pasal 19.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
153
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Tahun 2017).2 Izin Lingkungan PLTU Cirebon ini diterbitkan kembali pada tahun
2017 setelah sebelumnya pada tahun 2016 melalui Putusan No. 124/.G.LH/2016/
PTUN-BDG diperintahkan untuk dicabut oleh karena bertentangan dengan
RTRW Kabupaten Cirebon yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut berada pada
kawasan lindung.3 Izin Lingkungan PLTU Cirebon yang diterbitkan pada tahun
2017 masih menggunakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang
sama dengan penerbitan Izin Lingkungan yang telah dicabut dan cacat secara
substantif dalam hal penurunan kualitas udara, kesehatan publik, dan penurunan
kualitas air laut.4
2. Penghormatan yang Rendah Terhadap Putusan Pengadilan
Sepanjang tahun 2017 banyak putusan pengadilan yang mengoreksi
kebijakan atau keputusan Pemerintah untuk kepentingan perlindungan
lingkungan hidup. Namun atas putusan-putusan tersebut, sikap Pemerintah lebih
banyak menunjukan penghormatan yang rendah: tidak patuh atau berpura-pura
mematuhi. Salah satu putusan yang penting untuk mendapat apresiasi adalah
putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK
yang mengabulkan gugatan beberapa warga Kota Palangkaraya yang menggugat
kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana kabut asap tahun 2015.
Dalam kaitannya dengan pencemaran udara, pemerintah diwajibkan antara lain
membuat peta jalan pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban
kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan; mendirikan rumah
sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi
Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi korban asap; membuat tempat
evakuasi ruang bebas pencemaran untuk mengantisipasi potensi pencemaran
udara dari karhutla; serta menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama
2 Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor: 660/07/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 × 1.000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana.
3 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031
4 Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Propinsi Jawa Barat Nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izi Lingkungan Kegitan Pembangunan dan Opera-sional PLTU Kapasitas 1 × 1.000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana.
154
dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar. Putusan ini
sesungguhnya mengoreksi kelalaian pemerintah selama ini dalam mengendalikan
pencemaran dan kerusakan yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan pada
2015 lalu. Putusan ini kemudian dikuatkan pula pada tingkat banding. Namun
sampai saat ini belum ada respon konkrit pemerintah dalam menjalankan putusan
tersebut. Meskipun terhadap putusan tersebut terbuka untuk adanya upaya
hukum, sikap pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mengoreksi kelalain
tersebut. Hal ini merupakan ciri negara hadir sebagaimana Pemerintahan Jokowi-
JK dengungkan.
Putusan Mahkamah Agung RI yang membatalkan Peraturan Presiden No. 18
Tahun 2016 yang diketahui publik pada Februari 2017 juga patut untuk diapresiasi.
Putusan ini mempertimbangkan aspek pencemar udara berbahaya dari insinerasi
sampah kota yang pada saat putusnya perkara belum memiliki baku mutu emisi,
sehingga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang
Bahan Pencemar Organik Yang Persisten). Terhadap putusan ini, seharusnya
pemerintah melakukan koreksi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada maupun
yang sedang direncanakan. Namun sikap tersebut tidak terlihat dengan tetap
disusunnya Rancangan Peraturan Presiden (RanPerpres) baru dengan substansi
dan tujuan yang esensinya tidak berbeda.
Apresiasi juga patut diberikan terhadap putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung No. 99PK/TUN/2016, yang membatalkan Izin Lingkungan
PT Semen Indonesia. Dalam putusannya, majelis hakim melarang ada tambang di
karst yang disamakan oleh majelis hakim sebagai sumber air. Terhadap putusan
ini, Gubernur Jawa Tengah malah membuat “addendum” AMDAL dan menyetujui
Izin Lingkungan yang baru dalam waktu singkat. Hal senada juga terjadi terhadap
Izin Lingkungan PLTU Cirebon II yang dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Bandung. Terhadap pembatalan tersebut, Pemerintah Provinsi
Jawa Barat malah menerbitkan izin lingkungan baru untuk PT Cirebon Energi
Prasarana. Keputusan kontroversial seperti ini tentunya merupakan preseden
yang buruk bagi tata kelola lingkungan hidup di Indonesia.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
155
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Dari sekian banyak penghormatan pemerintah yang lemah terhadap putusan
pengadilan, masih ada beberapa kebijakan yang menjalankan putusan pengadilan
yang patut diapresiasi. Putusan tersebut adalah Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Nomor 187K/TUN/LH/2017. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ini
mengukuhkan preseden bahwa pemberian izin pembuangan air limbah wajib
mempertimbangkan daya tampung beban pencemaran air (DTBPA). Putusan
Cikijing memberikan teguran keras bagi pemerintah untuk serius memperhitungkan
daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup dalam pemberian perizinan,
tidak hanya bagi pengendalian pencemaran dari ketiga sumber pencemar besar
yang digugat izinnya tersebut. Putusan ini seharusnya ditindaklanjuti dengan
implementasi DTBPA Citarum dalam izin bagi sumber pencemar tertentu (point
sources) dan melalui pengelolaan lingkungan terbaik bagi sumber pencemar tidak
tertentu (non point sources). Di sisi lain, kasus ini memberikan dorongan yang
kuat bagi KLHK untuk lebih tepat waktu dalam mencapai target penetapan dan
penghitungan DTBPA sungai-sungai prioritas nasional sebagaimana ditargetkan
dalam Renstra KLHK 2015 – 2019. Pada tahun 2017, akhirnya KLHK menetapkan
DTBPA Sungai Ciliwung, Citarum dan Cisadane melalui 3 (tiga) Surat Keputusan
MenteriLHK. Ketiga SK ini menegaskan kembali bahwa DTBPA yang ditetapkan
menjadi dasar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan izin
lingkungan dan izin PPLH, izin lokasi bagi usaha dan/atau kegiatan, baku mutu
air limbah, dan mutu air sasaran. Selain itu, terdapat tambahan sungai yang telah
dihitung DTBPA-nya. Terhadap sungai-sungai yang telah dihitung dan ditetapkan
ini, penting bagi KLHK untuk memastikan penghitungan dan penetapan DTBPA
ditindaklanjuti dalam instrumen hukum yang bisa diawasi dan ditegakkan. Selain
itu, KLHK juga perlu mempersiapkan penambahan parameter dalam penghitungan
DTBPA agar lebih komprehensif dari BODe.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017: Potensi Pengalihan
Tanggungjawab Beban Biaya Pemulihan Lingkungan Hidup
Pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup patut diapreasiasi, namun substansinya
bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip yang dimaksud
adalah prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) yang dalam PP No.
156
46 Tahun 2017 justru dilanggar. Dalam Pasal 26 PP No. 46 Tahun 2017 disebutkan
bahwa dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup disiapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal
ini memungkinkan dana yang digunakan berasal dari APBN dan APBD. Padahal,
jika merujuk kepada prinsip pencemar membayar, maka seharusnya usaha dan/
atau kegiatan yang mencemari-lah yang menyediakan dana ini. Substansi Pasal 26
ini merupakan kemunduran dalam penyusunan kebijakan yang selaras dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan. Terkait dengan hal ini, semestinya ada
mekanisme yang jelas terhadap dana APBN dan APBD yang digunakan tersebut,
antara lain mekanisme pemerintah untuk memaksakan biaya penggantian kepada
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan digunakannya
dana dari APBN dan APBD dalam penanggulangan kerusakan dan/atau
pencemaran lingkungan hidup.
4. Pentingnya Mengawal Penyusunan Regulasi Pelaksana UU No. 32 Tahun
2009 di tahun 2018
Ironisnya, PP yang mengatur pengendalian pencemaran di dua media
lingkungan yang paling berdampak terhadap kualitas hidup manusia, udara
dan air, masih belum disahkan di tahun ini. Perubahan kedua PP ini penting
mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan berbagai
peraturan lain yang berdampak terhadap beberapa instrumen dalam kedua PP.
Perubahan peraturan tersebut utamanya adalah penyesuaian dengan UU PPLH
yang mencakup perencanaan, instrumen pencegahan yang lebih komprehensif
keterbukaan informasi dan partisipasi publik; serta penyesuaian dengan UU
Administrasi Pemerintahan dan UU Pemerintahan Daerah.
Rancangan PP yang akan menggantikan PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air telah mulai dibahas
intensif tahun ini hingga melalui tahapan konsultasi publik untuk memperkuat
materi muatannya. Sekalipun masih dalam tahap penguatan materi, beberapa
muatan baru dalam RPP ini yang cukup penting, antara lain ketentuan kerjasama
antar wilayah administrasi yang mengelola sumber air yang merupakan satu
kesatuan, evaluasi kinerja dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran air, serta
kemungkinan integrasi perizinan terkait pengelolaan pencemaran air ke dalam
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
157
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Izin Lingkungan. Komitmen kuat KLHK di tahun 2018 untuk mengalokasikan
sumber daya yang cukup dan memasukkan RPP ini dalam program prioritas
regulasi dibutuhkan untuk memastikan RPP ini segera terselesaikan.
Sementara, PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
telah selesai dirumuskan rancangannya dan sedang berproses menuju Biro
Hukum KLHK. RPP ini telah mendapatkan tempat prioritas dalam program
regulasi KLHK, dan diharapkan bisa disahkan di tahun 2018. Beberapa inisiatif
baru yang perlu pengawalan adalah pengaturan mengenai ruang udara (airshed),
perencanaan, instrumen ekonomi terkait udara, penentuan baku mutu udara
ambient yang berdasarkan kesehatan publik, serta ketentuan kedaruratan dalam
hal kebakaran hutan dan lahan.
158
Untuk tahun 2018, ICEL mengidentifikasi beberapa Peraturan Pemerintah
yang perlu untuk segera diundangkan.
NO PERATURAN PEMERINTAH KETERANGAN
Inventarisasi Lingkungan Hidup (Pasal 11)
Inventarisasi menjadi acuan menetukan daya dukung, dayan tamping dan cadangan sumber daya alam. Substansi dapat digabung dengan PP RPPLH.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) (Pasal 11)
RPPLH penting sebagai acuan perlindungan dan pemanfatan LH-SDA. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi publik.
Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (Pasal 12)
Sebagai acuan penyusunan RPPLH dan analisis dalam KLHS. Tidak diketahui statusnya.
Tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 53 ayat (3))
Sebagai acuan bagi usaha dan/atau kegiatan terutama untuk penyiapan sarana dan pra saran serta rencana mitigasi.
Tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup (Pasal 54 ayat (3))
Tidak diketahui statusnya.
Pengendalian Pencemaran Air Penting untuk mengatur kerjasama antar wilayah administrasi yang mengelola sumber air yang merupakan satu kesatuan, evaluasi kinerja dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran air. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi publik
Pengendalian Pencemaran Udara Penting untuk mengatur mengenai ruang udara (airshed), perencanaan, instrumen ekonomi terkait udara, penentuan baku mutu udara ambient yang berdasarkan kesehatan publik, serta ketentuan kedaruratan dalam hal kebakaran hutan dan lahan. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi public.
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (Pasal 58)
Sudah ada draf RPP-nya.
Sanksi administratif (Pasal 83) Yang diundangkan baru Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013. Sudah ada draf RPP-nya.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
159
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
10. Peran serta masyarakat Tidak dimandatkan dalam bentuk PP, tapi penting untuk disusun karena akan menjadi acuan bagi tata cara peran masyarakat mulai dari perumusan kebijakan, keputusan sampai dengan pengawasan dan penegakan hukum. Substansi dapat digabung dengan PP yang relevan,
Tabel 1 Peraturan Pemerintah Yang Penting Untuk Segera Diundangkan
II. Tata Kelola Hutan dan Lahan
1. Pengendalian Karhutla: Turunnya Jumlah Titik Panas Bukan Cerminan
Mutlak
Berkurangnya titik panas pada tahun ini perlu diapresiasi. Walau demikian, potensi
terulang kembalinya tragedi Karhutla bila tahun basah telah berlalu masih mengancam.
Berdasarkan data yang disajikan BMKG, secara umum trend curah hujan sepanjang
tahun 2016 dan 2017 lebih tinggi dan lebih basah dibandingkan dengan curah
hujan pada tahun 2014 dan 2015. Bahkan Kepala BMKG Andi Eka Sakya pada awal
tahun 2017 ini menyatakan bahwa tahun 2016 merupakan “kemarau basah” di mana
terdapat kenaikan curah hujan tahunan di seluruh wilayah Indonesia.5
Figure 1 Pengendalian Karhutla
160
Sementara peningkatan curah hujan ternyata tidak selalu berbanding lurus
dengan penurunan titik panas.6
Tindakan responsif pemerintah sepanjang tahun 2017 untuk memadamkan
Karhutla patut diapresiasi, namun mandat untuk peningkatan pengendalian
5 http://bmkg.go.id/berita/?p=kilas-balik-kejadian-cuaca-iklim-dan-gempabumi-indonesia-rentan-bencana&lang=ID, diakses 4 Desember 2017.
6 Simpulan dan deskripsi infografis merupakan hasil pengolahan data yang diperoleh dari website Sipongi Karhutla Monitoring System, website Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Laporan Penelitian Pelaksanaan Kewajiban bidang Pengendalian Ke-bakaran Hutan dan Lahan oleh ICEL.
KINERJA KARHUTLA PEMERINTAH DAERAH
Penelitian yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Selatan menunjukkan setidaknya ada 3 tindakan pencegahan Karhutla yang diperintahkan peraturan perundangan namun belum dilaksanakan. Selain itu, dari 3 perintah terkait pemulihan yang didelegasikan pada Pemerintah Daerah, kontribusi yang dilaksanakan Pemda sangat minim, bahkan hampir mendekati tidak ada (ICEL, 2017).
Terkait pemulihan khususnya di lahan gambut, persepsi yang berkembang di tingkat daerah adalah anggaran untuk pemulihan ada pada Badan Restorasi Gambut dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal peraturan perundang-undangan dengan tegas dan berulang-ulang memerintahkan kepada Pemda untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk pemulihan gambut akibat Karhutla.
KINERJA KARHUTLA PEMERINTAH PUSAT
Di tingkat pusat, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan:1. Kekosongan hukum terutama dalam hal regulasi terkait pencemaran dan karhutla
seperti belum adanya penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional, PP rehabilitasi penanganan pasca karhutla, pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan karhutla, dan RPP Usaha Perkebunan yang belum juga selesai hingga sekarang.
2. Perencanaan dan pelaksanaan yang belum matang pada ketentuan mengenai lahan gambut, terindikasi pada belum adanya RPPEG (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut) serta identifikasi penguasaan dan pemanfaatan lahan gambut yang belum terlaksana meskipun telah dimandatkan Inpres 11/2015 (Kementerian ATR/BPN yang diberi mandat)
Catatan lain yang perlu disorot bagi pemerintah pusat adalah tidak transparannya tindak lanjut penegakan hukum administratif terhadap perusahaan yang mendapatkan sanksi administratif akibat Karhutla. Dari kurang lebih 23 sanksi administratif, kabar tentang langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam kapasitas sebagai penerbit izin dan pengawas untuk memastikan pelaku usaha melaksanakan sanksi tersebut hingga saat ini tidak transparan. Selain itu, masyarakat belum mengetahui upaya pemerintah untuk menindaklanjuti putusan kasus perdata Karhutla terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi dan/atau melakukan pemulihan.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
161
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Karhutla tidak hanya bicara pemadaman tetapi juga pencegahan dan pemulihan.
Jika dalam pemadaman secara kasat mata telah terjadi peningkatan kinerja yang
signifikan, penelusuran yang dilakukan ICEL terhadap dua aspek pengendalian
lain menunjukkan hasil yang belum memuaskan.
Selain pencegahan dan pemulihan, tindakan penanggulangan yang
mengalami peningkatan signifikan tidak luput dari catatan terutama pada aspek
koordinasi dan optimalisasi peran penanggungjawab usaha. Pertama, koordinasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum didasarkan pada sistem yang
jelas dan terstandar. Belum ada kriteria dan alur koordinasi terstandar untuk
memandu dalam hal apa pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha
atau cukup kelompok masyarakat binaan yang melakukan pengecekan lapangan
dan melakukan penanggulangan. Semua tindakan yang dilakukan cenderung
mengandalkan siapa yang bisa merespon lebih cepat dan tidak jarang terjadi
kelebihan tenaga, sarpras dan sumber daya manusia untuk menangani satu
titik api. Akibatnya, ada hipotesa bahwa pada saat yang sama, wilayah dengan
titik api yang perlu ditanggulangi mengalami kekurangan resources. Kedua, ada
kecenderungan memberlakukankan toleransi tinggi kepada penanggungjawab
usaha yang tidak mampu mengendalikan7 api di konsesinya dengan dalih bahwa
tujuan utama yang harus dicapai adalah pemadaman api. Hingga saat ini, riwayat
konsesi yang wilayahnya terbakar pada tahun 2016-2017 tidak dipublikasikan.
2. Evaluasi Perizinan Tambang dan Kebun: Hasilnya Jauh Panggang dari Api
Walaupun telah berkomitmen memperbaiki tata kelola perizinan sumber
daya alam, masyarakat pada nyatanya di lapangan masih menemukan masalah
birokrasi mendasar yang belum juga terbenahi.
7 Pengertian mengendalikan meliputi pencegahan, penanggulangan (pemadaman) dan pemulihan (terutama dalam hal berada di lahan gambut).
162
3. RUU Perkelapasawitan: Kebijakan yang Mengancam Perlindungan
Hutan dan Lahan
Masuknya RUU Perkelapasawitan ke dalam Prolegnas RUU Prioritas 2018
merupakan kesalahan politik hukum. Ngototnya DPR RI untuk melanjutkan
pembahasan RUU Perkelapasawitan melalui Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2018
merupakan bentuk lemahnya DPR RI memahami persoalan. Alih-alih menuntaskan
berbagai persoalan terkait dengan hutan dan lahan, DPR RI justru mendorong
RUU Perkelapasawitan yang dapat menambah kusutnya persoalan hutan dan
lahan. Perdebatan perlu tidaknya RUU Perkelapasawitan sudah terjadi sejak satu
tahun yang lalu. Setidaknya ada beberapa hal mengapa RUU Perkelapasawitan ini
perlu segera dihentikan:
(1) RUU Perkelapasawitan bertujuan untuk memfasilitasi sektor perkelapasawitan
ditengah berbagai persoalan yang terkait dengan perkebunan sawit yang
selama ini terjadi, mulai dari konflik lahan, struktur penguasaan lahan
perkebunan yang timpang, perambahan hutan untuk komoditas sawit,
kebakaran hutan dan lahan, dan berbagai persoalan lainnya.
Tabel 2 Tipologi masalah klise tata kelola perizinan
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
163
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
(2) Munculnya RUU Perkelapasawitan di tengah persoalan-persoalan tersebut
justru akan memicu ekspansi sawit yang tidak terkendali sehingga
memperbesar persoalan-persoalan yang ada selama ini.
(3) RUU Perkelapasawitan memberikan keleluasaan bagi pelaku kejahatan
lingkungan di bidang perkelapasawitan melalui pengurangan ancaman
pidana bagi pelaku.
(4) Lemahnya jaminan akses keadilan bagi masyarakat yang mengalami kerugian
akibat aktifitas perkebunan kelapa sawit.
(5) RUU Perkelapasawitan mengancam pengakuan hak masyarakat adat akibat
ekspansi sawit yang terjadi.
4. Perhutanan Sosial: 12,7 Juta Hektar, Masih Mungkinkah Tercapai?
Kebijakan perhutanan sosial perlu diapresiasi. Namun realisasi capaian
perhutanan sosial masih jauh dari harapan dan terganjal berbagai permasalahan
di lapangan. Sejak target alokasi areal 12,7 juta hektar dicanangkan dalam RPJMN
hingga akhir 2017 ini, pemerintah baru menetapkan areal seluas 1,1 juta hektar.8
Padahal, di tahun 2017 capaian target tersebut seharusnya sudah mencapai 7,6
juta hektar atau sekitar 60% dari total target. Aspek kelembagaan dan sumber
daya manusia yang belum memadai serta tumpang tindih perizinan di area PIAPS
ditengarai menjadi isu yang menghambat percepatan perhutanan sosial. Ketiga isu
ini sangat mendasar dan mendesak untuk segera dibenahi.
Fig.3. Target alokasi perhutanan sosial
164
Dari sisi kelembagaan, pada kenyataannya belum semua provinsi memiliki
Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang fungsinya
adalah membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.
Terkait Pokja yang sudah ada pun, dalam kenyataannya belum ditemukan format
kelembagaan ataupun kepengurusan Pokja PPS yang ideal dan efektif. Komposisi
Pokja lebih banyak diisi oleh pejabat/birokrat, meskipun aturan mengamanatkan
bahwa Pokja PPS harus melibatkan multistakeholder.
Kondisi kelembagaan di daerah yang belum ideal diperburuk oleh sumber
daya manusia yang tidak memadai, yang ditandai dengan tidak tersedianya ahli
pemetaan/GIS di setiap Pokja. Akibatnya, proses verifikasi lapangan terhadap
permohonan masyarakat menjadi terhambat. Selain itu banyak anggota Pokja
yang tidak atau kurang memiliki kapasitas untuk melakukan pendampingan.
Tak mengherankan apabila di sebagian besar daerah, proses pendampingan
masyarakat untuk pengajuan areal kerja banyak bertumpu pada kinerja organisasi
masyarakat sipil. Di samping itu, melalui penelitian Land and Forest Governance
Index (LFGI) yang dilakukan oleh ICEL di 12 provinsi di Indonesia, mengenai
Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa pemerintah daerah provinsi masih bersifat
pasif. Artinya, pemerintah provinsi belum melakukan upaya untuk memfasilitasi
masyarakat dalam mengajukan usulan.
Permasalahan selanjutnya adalah terkait tumpang tindih perizinan di area
PIAPS. PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) merupakan peta yang
memuat areal kawasan hutan negara yang dicanangkan untuk perhutanan sosial.
Dalam hal ini, PIAPS yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan masih tumpang tindih dengan perizinan lain, dan butuh proses panjang
untuk menguraikan persoalan tumpang tindih ini.
Untuk menggenjot capaian target, sempat ada wacana untuk mendelegasikan
pemberian HPHD, IUPHKm, dan IUPHHK-HTR dari Menteri kepada Gubernur
pada provinsi yang sudah memasukkan perhutanan sosial dalam RPJMD-nya.
Namun upaya ini dinilai tidak akan begitu berdampak secara signifikan apabila
tidak diiringi dengan perbaikan pada ketiga isu yang dikemukakan di atas. Jika
8 Data disampaikan pada Diskusi “Percepatan Perhutanan Sosial” Sarasehan Pesona, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 6 September 2017.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
165
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
tidak, maka target perhutanan sosial pada 2019 mendatang terancam tidak dapat
terealisasikan.
5. Manuver Korporasi Melawan Kewajiban Hukum Perlindungan Gambut
Penolakan RAPP untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) mengancam
ekosistem gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
membatalkan persetujuan RKU PT. RAPP 2010-2019 melalui Surat Keputusan No.
5322/MenLHK-PHPL/UPL.1/10/2017. Penolakan ini dikarenakan RKU tersebut
belum disesuaikan dengan kebijakan perlindungan gambut yang ada. Alih-
alih merevisi RKU-nya, PT.RAPP malah mengajukan permohonan pencabutan
SK pembatalan tersebut kepada KLHK, kemudian mengajukan permohonan
penetapan keputusan fiktif-positif atas permohonan tersebut ke Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta.
Alasan PT. RAPP menolak merevisi RKU karena pada ketentuan peralihan
PP No. 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
menyatakan bahwa izin usaha dan/atau kegiatan yang sudah terbit sebelum PP ini
terbit dinyatakan tetap berlaku. Hal ini keliru karena RKU bukanlah bentuk izin,
serta dalam ketentuan peralihan yang sama mengamanatkan pelaku usaha yang
izinnya tetap berlaku berkewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut, merevisi
RKU merupakan salah satu bentuk kewajiban tersebut.
PT. RAPP juga mengutip putusan Mahkamah Agung yang mencabut
beberapa pasal dalam Permen LHK No. 17 Tahun 2017 tentang Pembangunan
Hutan Tanaman Industri. Dalam hal ini dapat terlihat jelas manuver pelemahan
upaya perlindungan lingkungan hidup, dari mulai menggerogoti regulasi-regulasi
pengaman hingga upaya hukum pembangkangan terhadap kewajiban pelaku
usaha. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan bertindak tegas terhadap upaya-
upaya manuver Korporasi yang dapat mengancam kebijakan perlindungan dan
pengelolaan ekosistem gambut serta pencegahan Karhutla di lahan gambut tersebut.
Pembatalan Beberapa Pasal Permen LHK No. 17 Tahun 2017 makin
melemahkan upaya konservasi. Pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku dalam
putusan Mahkamah Agung adalah pasal-pasal krusial untuk perlindungan
ekosistem gambut.
166
Pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan penambahan
fungsi lindung ekosistem gambut dalam hutan produksi bertentangan dengan UU
No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa fungsi pokok hutan produksi adalah
memproduksi hasil hutan. Kekeliruan terbesar dalam pertimbangan majelis
hakim ini adalah pemahaman bahwa konservasi hanya dilakukan pada areal
yang berstatus sebagai kawasan konservasi, serta fungsi pokok hutan diartikan
sebagai fungsi tunggal hutan tersebut. Konservasi harus dilakukan dimana saja,
terlepas dari status kawasan, selama berdasarkan data ilmiah wilayah atau objek
tersebut memang perlu dikonservasi.9 Sementara itu fungsi pokok suatu kawasan
hutan tidak berarti bahwa ia meniadakan fungsi-fungsi lain, seperti fungsi
lindung untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, kebijakan
perlindungan ekosistem gambut haruslah dipikul oleh semua pengelola kawasan,
baik pemerintah, masyarakat maupun swasta sebagai pelaku usaha.
6. Konservasi Keanekaragaman Hayati : Jalan gelap revisi UU Konservasi
Keanekaragaman Hayati
Sulitnya akses informasi terhadap rancangan UU Konservasi Keanekaragaman
Hayati di DPR RI menghambat partisipasi dan pengawasan masyarakat sipil.
Pada 5 Desember lalu, Sidang Paripurna DPR RI telah mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati (RUU KKH) yang akan
dibahas bersama pemerintah dalam prolegnas 2018. Anehnya hingga saat ini
masyarakat sipil belum bisa mengakses naskah RUU KKH yang disahkan tersebut,
bahkan jauh sebelum adanya sidang paripurna, masyarakat sudah kesulitan
mengakses naskah RUU yang dibahas oleh DPR ini. Hal ini tentu menyulitkan
masyarakat sipil untuk mengawasi, berpartisipasi dan memberi masukan
terhadap RUU KKH tersebut. Jangankan untuk memberi masukan, substansi
teraktual yang diatur di dalam RUU KKH ini pun tidak diketahui oleh masyarakat.
Naskah RUU yang sulit diakses oleh publik dapat menimbulkan kecurigaan akan
transaksi yang terjadi di belakang layar, menimbang permasalahan konservasi ini
akan bersinggungan juga dengan kepentingan-kepentingan lain seperti investasi
eksploitatif yang rawan terjadi di kawasan konservasi. Mengingat RUU KKH ini
9 Dalam ketentuan hutan tanaman industri pun, jika di dalam kawasan terdapat tumbuhan dilindungi maka tidak boleh ditebang.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
167
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
masuk kembali dalam prolegnas 2018, di tahun depan diharapkan pembahasan
antara Pemerintah dan DPR RI dapat lebih transparan dan partisipatif melibatkan
masyarakat sipil terkait.
I. Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
1. Tahun Revisi Baku Mutu Lingkungan Hidup: Sebuah Laboratorium
Partisipasi
Masyarakat menuntut keterbukaan dan partisipasi, baku mutu diharapkan
berdasarkan data dan ilmu pengetahuan termutakhir. Tahun 2017 merupakan
tahun dimana revisi baku mutu lingkungan mendapatkan porsi yang cukup besar
dalam diskursus publik.
Sekalipun tidak ada Permen LHK terkait baku mutu baru yang muncul terkait
air, revisi baku mutu air (BMA) pada Lampiran PP No. 82 Tahun 2001 mulai
dilakukan dengan mempertimbangkan masukan publik. Salah satu kelompok
pencemar yang diminta diatur dalam BMA nasional adalah pencemar organik
persisten (POPs) dan bahan kimia disruptor endoktrin (EDCs). Sementara itu,
Permen LHK No. 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik yang
seharusnya mulai diimplementasikan masih belum menghasilkan perubahan
perilaku pengelolaan limbah domestik seperti kanalisasi sumber pencemar
domestik dan IPAL komunal.
Di sisi lain, masyarakat sipil cukup proaktif dalam menyuarakan pembuatan
standar lingkungan yang lebih transparan dan partisipatif terkait udara. Revisi baku
mutu udara ambien (BMUA) pada Lampiran PP No. 41 Tahun 1999 mendapatkan
sorotan masyarakat sipil, yang menuntut nilai baku mutu ditentukan pada level
yang dapat melindungi kesehatan manusia berdasarkan ilmu pengetahuan
termutakhir. KLHK diminta merujuk panduan World Health Organization (WHO)
dalam menentukan nilai beberapa parameter, serta memastikan pengaturan khusus
terkait penentuan baku mutu parameter pencemar udara berbahaya. Selain itu,
rencana KLHK merevisi PermenLH No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi
(BME) Pembangkit Listrik Tenaga Termal juga cukup disorot sepanjang 2017.
KLHK diminta untuk memperketat BME PLTU, khususnya PLTU Batubara, yang
168
sekarang jauh lebih longgar dibandingkan standar global, misal India dan Cina.
Revisi ini mencakup penambahan parameter merkuri dalam BME PLTU, sebagai
konsekuensi ratifikasi Perjanjian Minamata tentang Merkuri. Baku mutu lain yang
juga sedang dalam proses revisi, namun tidak begitu mendapatkan sorotan, adalah
ambang batas kebisingan untuk kendaraan tipe baru dan produksi terkini yang
sebelumnya diatur dalam PermenLH No. 7 Tahun 2009.
Proses pengetatan standard lingkungan ini tentunya perlu didukung
oleh publik, serta didorong dan diawasi agar penetapan standar semakin baik
mencerminkan perkembangan teknologi terbaik dan dibuat berdasarkan data.
Sudah saatnya KLHK proaktif dalam mengumumkan parameter dan nilai baku
mutu yang diusulkan kepada semua pihak agar standar yang diundangkan
mempertimbangkan data, fakta dan kepentingan sekomprehensif mungkin. Baru-
baru ini, penolakan Dit. Pengendalian Pencemaran Udara KLHK untuk melibatkan
beberapa ICEL, WALHI dan Greenpeace dalam konsultasi publik revisi PermenLH
No. 21 Tahun 2008 menorehkan catatan buruk di akhir tahun. Masyarakat sipil
menginginkan jangan sampai ada lagi baku mutu emisi yang secara prosedural
buruk dan menghasilkan substansi yang buruk, seperti PermenLHK No. 70 Tahun
2016 tentang BME PLTSa Termal yang diminta ditinjau ulang karena mengizinkan
pemantauan zat pencemar beracun dioksin dan furan hanya dalam rentang waktu
5 (lima) tahun sekali. Sekalipun belum digunakan karena belum adanya proyek
PLTSa yang lahir, namun BME ini dinilai membahayakan dan mengompromikan
kesehatan publik. Oleh karena itu, mekanisme yang jelas untuk mengatur pelibatan
masyarakat dan ahli independen dalam penetapan baku mutu merupakan salah
satu pekerjaan rumah KLHK di tahun 2018.
Satu-satunya peraturan terkait standar udara yang lahir di 2017 adalah
PermenLH No. P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2017 tentang Baku Mutu
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N dan O, yang
memberlakukan standar Euro 4 pada September 2018 untuk kendaraan berbahan
bakar bensin dan pada tahun 2021 untuk diesel. Sayangnya, implementasi
standar baru ini tidak diiringi kebijakan scrapping, sehingga kendaraan yang
standarnya sudah terlalu ketinggalan jaman dimungkinkan tetap berada di jalanan
sementara sumber pencemar baru terus bertambah. Selain itu, masyarakat sipil
juga menyuarakan tuntutan agar tenggat waktu pemberlakuan standar ini jangan
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
169
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
sampai mundur, karena akan memberikan ruang pada penjualan kendaraan di
bawah standar yang sangat mungkin menambah jumlah kendaraan bermotor
secara signifikan.
2. Menangani tanpa Mengurangi: Pendekatan Penanganan Sampah di
Hilir yang Problematik Masih Dipertahankan
Sebaikinya pemerintah berhenti membuang-buang energi dengan memaksakan
pembangunan PLTSa melalui teknologi termal. Tahun 2017 diawali dengan
munculnya Putusan Mahkamah Agung No. 27 P/HUM/2016 yang memutus
perkara permohonan uji materiil terhadap Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016
tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit
Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI
Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya
dan Kota Makassar (Perpres PLTSa di Tujuh
Kota). Putusan MA tersebut mencantumkan
pertimbangan yang penting bagi pengelolaan
sampah di Indonesia, yakni: Pembangkit
Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) dengan
teknologi termal bertentangan dengan esensi
pengelolaan sampah. Esensi pengelolaan
sampah berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah
kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Dengan kata lain, pengelolaan sampah
yang terfokus pada penerapan PLTSa dengan teknologi termal merupakan
pengelolaan sampah yang keliru karena mengesampingkan upaya pengurangan
sampah.
Paska dijatuhkannya Putusan MA tersebut, Pemerintah Indone-
sia masih mendorong pendekatan penanganan sampah di hilir yang prob-
lematik. Misalnya, pembangunan PLTSa dengan teknologi termal di Kota
Bekasi serta proyek jalan aspal dengan campuran plastik. Bahkan berkaitan
dengan proyek PLTSa, Pemerintah Indonesia berencana mengganti Per-
pres yang dibatalkan MA dengan rancangan regulasi yang masih berklib-
Rencana program yang problematik dari Jakstranas
adalah pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah melalui teknologi termal dan pemanfaatan
sampah menjadi bahan bakar substitusi untuk industri
semen atau Refused Derived Fuel (RD
170
lat ke percepatan PLTSa termal, yakni Rancangan Peraturan Presiden tentang
Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik
Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Gawatnya, peraturan ini justru gagal
mendefinisikan “teknologi ramah lingkungan” dengan baik, dan dengan demikian
membuka lebar potensi “greenwashing” insinerator, atau bahkan tungku bakar, se-
bagai teknologi ramah lingkungan. Ironis pula bahwa dalam Raperpres tersebut ti-
dak ada satupun inisiatif yang dapat mempercepat pembangunan, sehingga secara
esensi Raperpres tersebut tidak memiliki nilai tambah.
Terbaru, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Presiden No.
97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Perpres Jakstranas) pada
tanggal 24 Oktober 2017. Perpres Jakstranas ternyata masih juga mencantumkan
pendekatan penanganan sampah di hilir yang problematik, yakni melalui strategi
“penerapan teknologi penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga yang ramah lingkungan dan tepat guna,” yang dalam
programnya diturunkan sebagai PLTSa teknologi termal dan RDF. Lagi-lagi, salah
sasaran penanganan sampah yang berpotensi greenwashing.
Padahal, fokus utama Jakstranas seharusnya adalah kebijakan pengurangan
sampah. Salah satu strategi yang seharusnya mendapatkan porsi besar adalah
“Penguatan komitmen dunia usaha melalui penerapan kewajiban produsen
dalam pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga.” Rencana program tersebut adalah pengembangan dan penerapan peta
jalan persepuluh tahunan kewajiban produsen dalam pengurangan sampah untuk
sektor manufaktur, peritel, dan industri jasa makanan dan minuman. Program
lainnya adalah pengembangan pilot project kewajiban produsen dalam pengurangan
sampah. Desain produk dan mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR)
atau Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas perlu diatur dalam peta jalan
persepuluh tahunan tersebut.
3. Dikepung Racun Merkuri: Mandat Konvensi Minamata Harus Segera
Direalisasikan
Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri melalui UU No. 11 Tahun
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
171
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
2017 merupakan langkah penting pemerintah Indonesia di tahun 2017. Namun,
pemerintah perlu fokus mengimplementasikan konvensi ini melalui Rencana Aksi
Nasional yang komprehensif, pada level kedetailan yang dapat diimplementasikan,
memiliki kerangka waktu yang tegas, serta mampu menyasar semua sektor terkait
sesuai tupoksi masing-masing. Koordinasi antara KLHK, ESDM, Kemendag,
Kemenkeu/Bea Cukai serta kepala daerah, lembaga akademis dan masyarakat
sipil perlu dilakukan secara rutin dan ditindaklanjuti hingga ke level kebijakan,
rencana dan program masing-masing sektor. Mengingat Konvensi Minamata
mencakup materi muatan yang luas, mulai dari komitmen tentang penghentian
tambang merkuri primer (cinnabar) hingga penghapusan merkuri dalam alat
kesehatan, pentingnya pembuatan RAN perlu memastikan fokus ke semua materi
muatan yang telah menjadi komitmen Indonesia tersebut.
Di tahun 2017 ini, bisa dibilang perhatian publik tersita ke kontaminasi merkuri
di situs-situs PESK – yang sekaligus mengindikasikan seriusnya permasalahan ini.
Langkah ESDM dengan menyusun RAN Penghapusan Merkuri pada Penambangan
Emas Skala Kecil (PESK) 2017-2021 serta Kemenkes dengan Permenkes No. 57 Tahun
2016 tentang RAN Pengendalian Dampak Kesehatan akibat Pajanan Merkuri 2016
– 2020 patut diapresiasi. Namun, monitoring dan kedisiplinan pemerintah dalam
mengimplementasikan RAN ini masih dirasakan kurang, serta cenderung bersifat
reaktif. Selain itu, pengendalian dampak kesehatan dari merkuri akan sangat sulit
apabila tidak diiringi dengan pemutusan rantai pasok merkuri ke situs-situs PESK
serta pemulihan lingkungan di titik-titik tersebut.
Dalam hal rantai pasok, koordinasi antara sektor dan lembaga penegak
hukum setidaknya diperlukan dengan fokus pada tiga hal: (1) Penghentian laju
pertambangan cinnabar (merkuri primer) ilegal dan mata rantai perdagangannya;
(2) Memutus mata rantai merkuri illegal, terutama mempersempit gap data impor
– ekspor, dengan prioritas rantai pasok ke pertambangan emas skala kecil (PETI);
dan (3) Menghubungkan ongkos lingkungan dan kesehatan yang timbul dengan
pertanggungjawaban perdata pemasok merkuri ilegal. Sebagaimana penanganan
kasus-kasus ilegal, koordinasi setidaknya diperlukan antara POLRI dan Kejaksaan
beserta jajarannya; PPNS sektor terkait, bea cukai, Bakamla, serta PPATK. Dalam
penegakan hukum yang dapat berpengaruh ke ketertiban umum / pertahanan
kemananan, keterlibatan TNI diperlukan.
172
Terkait pemulihan wilayah tercemar, KLHK merupakan sektor yang
harus memimpin, dengan fokus pada: (1) Identifikasi wilayah terkontaminasi
serta pembuatan prioritas pemulihan lingkungannya; (2) Pembuatan standar
pemulihan lingkungan hidup di berbagai media (tanah, sedimen); (3) Optimalisasi
pengurangan resiko paparan merkuri melalui instrumen informasi atau peringatan,
seperti peringatan level kontaminasi pada ikan (fish advisory warning); serta (4)
Pembuatan mekanisme pembiayaan pemulihan lingkungan yang berkelanjutan,
tidak tergantung donor, dan dengan mengutamakan prinsip pencemar membayar
(termasuk melalui pertanggungjawaban perdata oleh pencemar/pedagang
merkuri ilegal).
IV. Kelautan dan Pesisir
1. 2017, Lampu Hijau Bagi Para Pengembang: Melanjutkan Reklamasi Pulau
Buatan yang minim Kepentingan Masyarakat dan Lingkungan Hidup
Penerbitan Izin Usaha Pelaksanaan Reklamasi dan Pencabutan Moratorium
Reklamasi oleh Pemerintah dengan menabrak payung hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah sendiri menjadi Fenomena yang terjadi selama 2017 untuk
memuluskan kelanjutan proyek reklamasi. Reklamasi pulau buatan menjadi salah
satu perhatian masyarakat luas dalam setahun terakhir. Reklamasi dilakukan
dan direncanakan di tujuh tempat yaitu Pantai Utara Jakarta, Teluk Benoa Bali,
Pantai Losari Makassar, Pelabuhan Semayang Balikpapan, Bandara Ahmad Yani
Semarang, Dermaga Logistik Balikpapan, dan Teluk Palu Sulawesi Tengah. Khusus
untuk Jakarta, reklamasi pantura dijadikan pesan kampanye oleh Gubernur
terpilih: Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Komitmen setengah hati dari Anies-Sandi
terasa setelah hampir 2 bulan menjabat Pemimpin Propinsi DKI Jakarta untuk
memenuhi janjinya. Sampai sekarang, masih tidak jelas kebijakan apa yang akan
diambil oleh Anies-Sandi untuk memenuhi janji menghentikan reklamasi tersebut.
Selama tahun 2017, ICEL memandang bahwa proyek reklamasi di berbagai
daerah terus memihak kepada kepentingan pengembang dengan pengambilan
kebijakan termasuk penerbitan izin oleh pemerintah dengan menerobos payung-
payung hukum untuk memuluskan proyek reklamasi. Dalam melihat permasalahan
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
173
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
mengenai reklamasi ini, terdapat beberapa permasalahan hukum reklamasi yang
seringkali diterobos oleh pemerintah atau pengembang yang muncul di berbagai
daerah:
a) Reklamasi dilakukan tanpa adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Reklamasi daratan atau pulau buatan di Indonesia dilakukan di wilayah
daratan pesisir atau di wilayah laut 0-12 mil. Dengan fakta bahwa wilayah
tempat dilakukannya reklamasi maka pemanfaatannya mengacu Undang-
Undang No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (UU WP3K). Berdasarkan UU tersebut, pemanfaatan wilayah
pesisir dan pulau pulau kecil -termasuk reklamasi-, maka jelas arahan
pemanfaatanya harus mengacu pada RZWP3K. Reklamasi yang berjalan di
beberapa daerah dilakukan tanpa adanya RZWP3K seperti DKI Jakarta, Bali
dan Sulawesi Selatan.
b) Reklamasi dilakukan tanpa didahului Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS)
Penyusunan KLHS menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memastikan
prinsip pembangunan keberlanjutan terintegrasi dalam pembangunan suatu
wilayah termasuk Reklamasi. Dan kemudian hasil KLHS harus menjadi dasar
pertimbangan bahwa pembangunan suatu wilayah layak dilanjutkan atau
harus diperbaiki. Reklamasi yang ada di Indonesia ditetapkan tanpa terlebih
dahulu membuat KLHS. Reklamasi Pantura DKI Jakarta disusun KLHS ketika
Pulau-Pulau Reklamasi hampir selesai dilakukan, demikian pula dengan Teluk
Benoa dan Teluk Makassar yang tidak ada KLHS dalam melakukan reklamasi.
Dengan tidak adanya KLHS, maka dapat dikatakan bahwa reklamasi tersebut
dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
c) Regulasi pengaturan Reklamasi yang lebih mementingkan Kepentingan
Ekonomi tanpa pertimbangan Kepentingan Lingkungan Hidup dan Sosial
Permasalahan rekalamasi di berbagai tempat memiliki kesamaan seperti
adanya konflik antara pengembang dan masyarakat beserta lingkungan
174
hidup. ICEL mencatat dari sejak 2016 sampai dengan berakhirnya tahun 2017,
terdapat beberapa pasal peraturan terkait reklamasi yang tidak memihak pada
masyarakat dan lingkungan hidup yang berdampak laten pada konflik sosial
dan ekologis yang terjadi. Pengaturan pasal tersebut tidak ada perubahan
sampai dengan saat ini. Beberapa aturan yang bermasalah yaitu:
REGULASI CATATAN
Pasal 1 angka 23 UU No. 27 Tahun 2007 Reklamasi dimaknai sebatas kegiatan komersil.
Pasal 34 (2) UU No. 27 Tahun 2007 Penjelasan limitasi reklamasi yang masih setengah hati
Pasal 3 Perpres No. 122 Tahun 2012 Walaupun Presiden Jokowi menyatakan bahwa reklamasi harus dikendalikan oleh negara, tetapi peraturan yang ada tidak selaras dengan pernyataan tersebut karena siapapun bisa mereklamasi laut (tidak ada skema lelang)
Pasal 29 Perpres No. 122 Tahun 2012 bertentangan dengan Ketentuan Pidana UU 27 Tahun 2007
Pasal 27 Perpres No. 122 Tahun 2012 Pasal ini tidak berpihak pada nelayan.
Tabel 3 Regulasi Yang Berpotensi Menimbulkan Masalah Lingkungan Hidup dan Sosial
d) Pelaksanaan Reklamasi yang tidak
transparan dan tidak melibatkan peran serta
masyarakat
Persoalan reklamasi di berbagai daerah juga
dilakukan secara tidak transparan dan tidak
melibatkan masyarakat terdampak. ICEL mencatat terdapat beberapa hal
yang mendasari hal-hal ini antara lain:
1. Pencabutan sanksi administrasi Pulau C, D dan G di Pantura Jakarta oleh
Menteri LHK ditetapkan tanpa adanya akuntabilitas mengenai kepatuhan
pengembangan sesuai dengan kewajiban dalam sanksi administrasi yang
dijatuhkan.
2. Penyusunan dokumen Lingkungan Hidup reklamasi pulau buatan tidak
menyertakan masyarakat terdampak dalam penyusunan dan penilaian Do-
Penerbitan SK pemberian HGB
dilakukan di hari yang sama permohonan
pengajuan HGB yaitu 23 Agustus 2017
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
175
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
kumen Amdal serta Penerbitan Izin Lingkungan.
3. Penerbitan HPL dan HGB pulau D diterbitkan saat Pengembang Pulau D
masih terkena sanksi administrasi oleh Menteri LHK. Lebih jauh prosesnya
sangat tidak transparan dan tidak cermat.
Selain tindakan-tindakan pemerintah yang memuluskan kelanjutan reklamasi,
tahun 2017 juga diwarnai putusan pengadilan mengenai reklamasi yang tidak
mempertimbangkan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, yaitu:
1. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Reklamasi Teluk Makassar yang
menguatkan Putusan tingkat pertama dan tingkat banding yaitu menolak
gugatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk membatalkan
izin reklamasi.
2. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Reklamasi Pulau G di Pantura Jakarta yang
menguatkan Putusan tingkat banding yaitu menolak gugatan masyarakat dan
organisasi lingkungan hidup untuk membatalkan izin reklamasi
3. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Reklamasi Pulau F, I
dan K yang membatalkan Putusan Tingkat Pertama dan mengadili sendiri
yaitu menolak gugatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk
membatalkan izin reklamasi
2. Penetapan Standar Baku Mutu Limbah Cair PLTU Batubara: Lemahnya
Komitmen Pemerintah untuk Melindungi Lingkungan Hidup dari
Pencemaran/Kerusakan
Peninjauan ulang pengetatan standar baku mutu melaui revisi PermenLH No.
8 Tahun 2009 menjadi penting untuk segera dilakukan. Pembangunan PLTU-B yang
akan dibangun maupun telah beroperasi tersebut sebagian besar berada di wilayah
pesisir. Aktivitas pembangunan dan operasi PLTU-B tentu memiliki dampak
terhadap wilayah pesisir dan masyarakat dalam hal ini nelayan. Dampak aktivitas
PLTU-B, antara lain: (1) Menurunnya pendapatan nelayan akibat menurunnya
jumlah tangkapan ikan ataupun semakin jauhnya wilayah tangkap nelayan, (2)
Dampak air bahang yang dibuang oleh PLTU-B terhadap kualitas air laut serta
flora dan fauna air, (3) buruknya pengelolaan air limbah yang mengakibatkan
176
pencemaran air laut, (4) Dampak abrasi dan akresi pantai akibat pembangunan
Jetty.5
Dampak-dampak tersebut dapat diminimalisir atau dicegah dengan adanya
aturan tentang standar baku pencemaran air limbah oleh PLTU yang obyektif bagi
perlindungan lingkungan hidup. Saat ini terdapat peraturan mengenai standar
baku tersebut, yaitu Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun
2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit
Listrik Tenaga Termal (“PermenLH No. 8 Tahun 2009”). Terhadap aturan ini, studi
yang dilakukan oleh ICEL menemukan bahwa:
1. Standar baku air limbah yang lebih rendah dibandingkan dengan pengaturan
standar baku air limbah akibat pembangkit listrik di negara lain
2. Standar baku air limbah enfluent PTLU juga tidak dapat mendukung standar
baku air laut ambien. Salah satu parameter yang dilihat adalah standar
baku air limbah bahang effluent akibat PLTU ditetapkan 40 derajat celcius,
sedangkan standar baku air laut ambien ditetapkan sebesar delta 2 derajat dari
suhu normal rata-rata air laut. Suhu normal perairan laut di Indonesia sebesar
29-30 derajat laut, sehingga masih terdapat delta 10 derajat standar baku air
limbah effluent dengan standar baku mutu ambien.
3. Kemudian terdapat beberapa parameter yang dihasilkan dari air limbah PLTU
pembangkit listrik tenaga yang berdampak terhadap penurunan kualitas air
laut namun tidak diatur dalam peraturan tentang standar baku effluent seperti
seharusnya diatur dalam standar baku effluent pencemaran air limbah yang
ada antara lain AOX, PCBs, PCDFs, dan PCDDs.
4. Belum adanya pengaturan baku mutu kerusakan pesisir akibat usaha/
kegiatan pembangkit listrik tenaga termal.
Terhadap temuan-temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa standar baku
yang ditetapkan masih jauh untuk melindungi lingkungan hidup dari dampak
pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat PLTU. ICEL memandang
diperlukannya pengetatan standar baku pencemaran air limbah akibat usaha/
kegiatan akibat pembangkit listrik tenaga termal untuk mendukung kelestarian
5 Jetty merupakan bangunan yang dibangun oleh operator PLTU yang menjorok ke laut untuk pembongkaran batu bara dari kapal yang mengangkut batu bara.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
177
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
dan keberlanjutan lingkungan hidup terutama ekosistem pesisir dan laut. Aturan
ini sudah berlaku sejak 8 (delapan) tahun lalu, namun sampai dengan saat ini belum
ada niat untuk melakukan revisi dari pemerintah. Sedangkan, dengan adanya
perubahan karateristik lingkungan hidup Indonesia dan perkembangan teknologi
seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia, maka diperlukannya
adanya penyesuaian standar baku mutu air limbah.
3. Peran Kemenkomaritiman dalam Pengurangan Sampah Plastik di Laut:
Bekerja Melampaui Kewenangan dan Tidak Tepat Sasaran
Lebih strategis bagi Kemenkomaritiman untuk mengoordinasikan
pembentukan kebijakan hukum terkait sampah di laut. Indonesia menjadi salah
satu negara kontributor terbesar penghasil sampah plastik di laut. Indonesia
tercatat sebagai negara kedua penghasil sampah plastik ke laut terbesar setelah
China.6 Pada tahun 2015, Indonesia menghasilkan sampah sebesar 3,2 juta ton,
sebanyak 1,29 juta ton diantaranya sampai ke laut. Fakta-fakta ini menunjukkan
bahwa manajemen pengelolaan sampah di Indonesia sangatlah buruk. Buruknya
manajemen pengelolaan sampah yang pada akhirnya menyebabkan pencemaran
sampah plastik tentu berdampak buruk bagi ekosistem pesisir dan maritim. Pada
World Ocean Summit 2017 dan 2017 G20 Hamburg Summit, Indonesia berkomitmen
akan mengurangi sampah plastik sebesar 70% pada tahun 2025.
Dalam implementasi kebijakan mengurangi sampah plastik, Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomaritiman) banyak “turun
langsung” dan seolah-olah mengambil peran KKP dan KLHK. Hal ini terlihat dari
beberapa program dimana Kemenkomaritiman turun langsung dalam gerakan
membersihkan sampah plastik di laut. Tindakan ini kurang strategis mengingat
fungsi Kemenkomaritiman sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara, adalah menyelenggarakan koordinasi,
sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidangnya. Langkah-langkah tersebut akan lebih baik jika
dibarengi dengan pembentukan peraturan terkait pengurangan sampah plastik
6 Amri Mahbub, “Indonesia Peringkat Kedua Pembuang Sampah Laut di Dunia,” https://m.tempo.co/read/news/2015/11/06/061716482/indonesia-peringkat-kedua-pembuang-sampah-ke-laut-di-dunia, diakses tanggal 8 desember 2016 pukul 12.30
178
hasil kegiatan manusia di darat. Akar pemasalahan terdapat banyaknya sampah
di laut akibat kegiatan manusia di darat seakan tidak dilakukan penyelesaiannya.
Mengingat sampai saat ini Indonesia belum memiliki dasar hukum yang
khusus mengatur mengenai sampah plastik, maka akan lebih strategis bagi
Kemenkomaritiman mengambil peran untuk mengoordinasikan pembuatan
kerangka hukum pengelolaan sampah secara komprehensif dari hulu ke hilir.
Tanpa adanya kerangka hukum, komitmen Pemerintah untuk mengurangi
sampah plastik pada tahun 2025 hanyalah janji yang tidak bisa diminta
pertanggungjawabannya.
4. Realisasi Ekonomi Maritim di Nawacita: Mengedepankan Aspek
Perekonomian dan Menihilkan Aspek Lingungan Hidup
Banyak fakta menunjukkan bahwa perwujudan ekonomi maritim di Indonesia
dengan mengedepankan kelestarian lingkungan laut masih hanya sebatas visi dan
misi saja. Di satu sisi, Pemerintah ingin menciptakan lingkungan laut yang lestari
dan berkualitas baik. Di sisi lain, Pemerintah mendorong percepatan pembangunan
yang memiliki risiko tinggi merusak lingkungan. Dua hal yang sangat sulit
dijalankan bersamaan untuk mencapai satu cita-cita yang sama. Dalam Rencana
Pembangunan Menengah Nasional (“RPJMN”) 2015-2019, peran ekonomi
kelautan dan sinergitas pembangunan kelautan nasional akan dikedepankan
dengan melakukan rehabilitasi kawasan pesisir yang rusak dan mengendalikan
bencana alam dan dampak perubahan iklim.7 Hal ini akan dilakukan melalui:
(1) penanaman vegetasi pantai termasuk mangrove, (2) pengembangan kawasan
pesisir yang meningkatkan ketahanan terhadap dampak bencana dan perubahan
iklim, (3) pengembangan sabuk pantai, serta (4) pengurangan pencemaran wilayah
pesisir dan laut.8 Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas, daya dukung, dan kelestarian fungsi lingkungan laut.9
7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178.
8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178
9 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
179
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia Selaku Ketua Pengarah Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator
Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional (Permenkoeko No. 4 Tahun
2017). Tujuan dari Permenkoeko No. 4 Tahun 2017 adalah untuk menciptakan
ekosistem mangrove berkategori baik seluas 3,49 juta hektar pada tahun 2045.
Akan tetapi, walaupun sudah dibentuk kerangka hukum mengenai pengelolaan
ekosistem mangrove, belum ada tindak lanjut dari pelaksanaan Permenkoeko No.
4 Tahun 2017. Pasal 3 Permenkoeko No. 4 Tahun 2017 mewajibkan kementerian
atau Lembaga terkait untuk menetapkan kegiatan atau rencana aksi paling lama
dua bulan sejak ditetapkannya Permenkoeko No. 4 Tahun 2017. Sampai dengan
bulan November 2017, belum ada rencana aksi atau kegiatan yang dikeluarkan oleh
kementerian atau Lembaga terkait yang bertanggungjawab mengelola ekosistem
mangrove.
Di samping itu, dua strategi lainnya yang diamanatkan dalam RPJMN 2015-
2019 adalah meningkatkan ketahanan kawasan pesisir terhadap dampak bencana
dan perubahan iklim serta mengurangi pencemaran wilayah pesisir dan laut.
Kedua strategi ini pun belum dilaksanakan secara sepenuhnya bahkan seakan
setengah hati. Program kelistrikan 35.000 MW yang mendorong pembangunan
PLTU Batubara baru dan ekspansi yang sudah beroperasi saat ini akan menurunkan
daya tahan kawasan pesisir terhadap dampak bencana alam dan perubahan
iklim serta memperparah pencemaran wilayah pesisir dan laut. Salah satu sarana
prasarana PLTU Batubara yang akan dibangun adalah dermaga (jetty) sebagai
tempat berlabuh kapal-kapal yang membawa batubara. Kehadiran dermaga (jetty)
akan menghambat pengangkutan sedimen dari arah laut ke pantai. Sedimen akan
terperangkap di sekitar area dermaga sehingga mengakibatkan pendangkalan di
pelabuhan dermaga (jetty).10 Sementara di tempat lain akan terjadi abrasi karena
pantai kekurangan suplai sedimen.11 Akibatnya, pembangunan PLTU Batubara
akan mengakibatkan kawasan pesisir semakin rawan terhadap bencana abrasi dan
10 L. Arifin dan B. Rachmat, “Abrasi Pantai dan Pendangkalan Kolam Pelabuhan Jetty Per-tamina Balongan, Indramayu Melalui Analisis Arus Pasang Surut, Angin dan Gelombang,” Jurnal Geologi Kelautan Vol. 9 No. 1 (April 2011), hlm. 16.
11 L. Arifin dan B. Rachmat, “Abrasi Pantai dan Pendangkalan Kolam Pelabuhan Jetty Per-tamina Balongan, Indramayu Melalui Analisis Arus Pasang Surut, Angin dan Gelombang,” Jurnal Geologi Kelautan Vol. 9 No. 1 (April 2011), hlm. 16
180
akresi. Di samping itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan PLTU
Batubara menurunkan kualitas air laut dan menganggu flora dan fauna air. Air
bahang yang dihasilkan dari PLTU Batubara akan meningkatkan suhu air laut.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan bahwa suhu permukaan
laut yang terpengaruhi air bahang dari PLTU Tanjung Jati B Jepara menyebar
dengan jarak 4.709 meter dan suhu maksimal mencapai 34,5oC.12 Ketika suhu laut
meningkat, polip karang akan kehilangan algae simbiotik di dalamnya, sehingga
mengubah warna terumbu karang menjadi putih (coral bleaching) dan akhirnya
mati.13 Padahal terumbu karang merupakan spesies kunci yang berfungsi sebagai
tempat tinggal, berlindung, mencari makan, dan memijah ikan dan biota laut lain.14
Selain PLTU Batubara, proyek reklamasi juga menganggu ekosistem laut. Proyek
reklamasi memberikan dampak sedimentasi, penurunan kualitas air akibat logam
berat dan bahan organik serta terjadinya penurunan arus laut sehingga material
yang masuk ke laut cenderung tertahan.15
Selain itu, instrumen pencegahan yang ada saat ini pun belum mampu
melakukan pencegahan penurunan kualitas wilayah pesisir dan laut secara
maksimal. Salah satunya adalah mengenai daya tahan kawasan pesisir terhadap
bencana abrasi dan akresi. Sulit sekali untuk menilai tingkat kerusakan abrasi dan
akresi. Untuk itu, dampak dari abrasi dan akresi ini dapat dinilai dari sedimentasi
dengan mengukur parameter kekeruhan dan kandungan padat tersuspensi.16
Tapi sampai sekarang baku mutu sedimentasi pun belum ada. Selain baku
mutu sedimentasi, baku mutu untuk biota laut yang ada saat ini juga hanyalah
fitoplankton yang diatur dalam KepmenLH No. 51 Tahun 2004. Baku mutu
fitoplankton pun hanya sebatas komunitas fitoplankton tidak mengalami bloom,
yaitu tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
12 Bagus Rahmattulah Dwi Angga, Baskoro Rochaddi, dan Alfi Satriadi, “Analisa Sebaran Suhu Permukaan Laut Akibat Air Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara,” Jurnal Oseano-grafi volume 4 nomor 2 (2015), hlm. 399.
13 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Lampiran II, hlm. 10.
14 Giyanto, et.al., Status Terumbu Karang Indonesia 2017, (Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2017), hlm. 8.
15 Koalisi Pakar Interdisiplin, Selamatkan Teluk Jakarta, (Jakarta: Rujak Center for Urban Studies, 2017), hlm. 9.
16 Sigid Hariyadi dan Hefni Effendi, Penentuan Status Kualitas Perairan Pesisir, (Institut Perta-nian Bogor: Bogor, 2016), hlm. 9.
CATATAN AKHIR TAHUN 2017
181
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
eutrofikasi.17 Tidak ada pula baku mutu kerusakan untuk jenis-jenis biota laut
lainnya yang memiliki peranan penting pula, misalkan benthos dan nekton. Tanpa
adanya standard baku mutu yang komprehensif untuk keseluruhan ekosistem laut
dan pesisir menyebabkan cukup sulit untuk melakukan penilaian kualitas suatu
ekosistem laut dan pesisir.
V. Kesimpulan
Berdasarkan catatan yang telah disampaikan kesimpulan yang diambil tidak
jauh berbeda bahkan cenderung sama dengan kesimpulan pada catatan akhir
tahun ICEL tahun 2016, yaitu:
(1) Kebijakan Pemerintah selama tahun 2017 lebih berpihak kepada pembangunan
mega proyek tanpa diimbangi dengan kebijakan dan upaya perlindungan
fungsi lingkungan hidup secara memadai. Bahkan beberapa kebijakan secara
substantif melanggar putusan pengadilan.
(2) Pembaruan hukum dan kebijakan untuk perlindungan fungsi lingkungan
hidup dan sumber daya alam belum berjalan secara optimal.
(3) Kebijakan dan upaya redistribusi hutan dan lahan memberikan warna positif
namun masih banyak kendala yang disebabkan oleh masih timpangnya
komitmen pusat-daerah serta kapasitas kelembagaan di daerah.
17 Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
182
183
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Banyak konsep dalam hukum lingkungan yang seringkali tidak dipahami
secara menyeluruh karena kurangnya literatur nasional yang membahasnya.
Sebagai bkarya tulis yang membahas hukum lingkungan secara komprehensif,
terutama dalam aspek pertanggungjawaban perdata, kehadiran buku ini menjadi
angin segar. Penulis buku ini adalah Andri G. Wibisana, seorang pengajar
hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Awalnya penulis
hanya merencanakan naskah ini sebagai salah satu bab dalam buku ajar hukum
lingkungan. Namun karena dinamika yang menyertainya, akhirnya naskah awal
dikembangkan dan diputuskan untuk diterbitkan menjadi satu buku tersendiri.
Setidaknya terdapat beberapa hal menarik yang dapat kita temukan saat
membaca buku ini, yaitu: (1) pembahasan mendalam mengenai konsep dan
praktik strict liability, (2) pembuktian dalam hal terdapat ketidakpastian kausalitas,
(3) pembelaan dalam kasus perdata, (4) pemulihan dan valuasi ekonomi kerugian
lingkungan hidup, serta (5) sumber-sumber yang digunakan sebagai rujukan
Pertama, mengenai pembahasan konsep strict liability. Penulis telah menjabarkan
dengan sangat lengkap mulai dari sejarah kemunculannya, peristilahan yang
digunakan beserta konsekuensinya, pengadopsian dan penafsiran strict liability
di negara-negara common law dan civil law, termasuk strict liability di Indonesia
u l a s a n b u k u
“Penegakan Hukum lingkungan melalui
PertanggungJawaban Perdata”
Pengarang : Dr. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M.
Kota Terbit : Depok
Penerbit : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Tebal : 297 halaman
184
dari segi teori, legislasi, hingga studi kasus, yang menurut pemahaman penulis,
cenderung unik dan berbeda dengan konsep yang dianut negara lain. Sehingga
perdebatan strict liability tidak hanya berkutat di seputar penerapan Pasal 88 UU
PPLH saja. Buku ini menjadi referensi penting karena untuk pertama kalinya
pertanggungjawaban perdata strict liability di Indonesia diulas secara lengkap dari
berbagai aspek secara menyeluruh.
Kedua, mengenai kausalitas. Dalam hal terjadi kesulitan atau ketidakpastian
pembuktian kausalitas, misalnya dalam kasus kabut asap di mana sangat sulit
bahkan tidak mungkin membuktikan bahwa asap yang dihirup seseorang
berasal dari lahan milik perusahaan X, penulis telah mengelaborasikan teori-
teori kausalitas dan pertanggungjawaban yang memungkinkan untuk menjadi
solusi atas permasalahan pelik tersebut seperti teori market-share liability ataupun
proportional liability.
Ketiga, mengenai pembelaan dalam kasus perdata. Menurut penulis
setidaknya terdapat tiga dalil yang dapat digunakan, yaitu (a) bencana alam, (b)
kesalahan penggugat, dan (c) adanya kontribusi dari pihak ketiga. Namun hingga
saat ini masih terdapat perdebatan, misalnya bencana alam seperti apa yang dapat
membebaskan tergugat dari tanggung jawab? Ketiadaan standar seperti ini dan
tidak adanya literatur yang membahas tentunya menimbulkan permasalahan
tersendiri. Buku ini secara fair turut memberikan referensi yang lengkap dan
penting beserta rasionalisasi mengenai pembelaan dalam kasus lingkungan hidup.
Keempat, mengenai pemulihan dan valuasi ekonomi. Penulis dalam bukunya
dengan sederhana namun berbobot berhasil menjelaskan konsep pemulihan dan
valuasi ekonomi lingkungan hidup. Misalnya, mengapa air sungai yang jernih dan
pantai yang indah memiliki nilai? Apakah hutan hanya memiliki nilai ekonomis
berdasarkan harga jual kayu gelondongan saja? Sudut pandang yang cenderung
antroposentris ini berusaha diubah oleh penulis dengan membawa konsep-konsep
yang sebenarnya sudah ada namun seringkali luput dari perhatian. Misalnya
bahwa dana ganti rugi untuk kerugian lingkungan seharusnya tidak diperlakukan
sebagaimana ganti rugi perdata biasa, namun harus digunakan untuk pemulihan
lingkungan itu sendiri.
ULASAN BUKU
185
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Kelima, mengenai rujukan yang digunakan. Tercatat setidaknya 166 literatur
dalam bentuk buku, jurnal, dan artikel ilmiah, 31 peraturan di berbagai tingkat
baik nasional maupun internasional, serta 115 putusan di Indonesia, Belanda,
dan Amerika Serikat yang menjadi sumber rujukan dalam buku. Kasus-kasus
aktual yang terjadi di Indonesia seperti longsornya Gunung Mandalawi maupun
semburan lumpur panas Lapindo turut dibahas secara menyeluruh dari berbagai
sudut pandang, utamanya hukum lingkungan. Kuantitas maupun kualitas literatur
dari segi teori, legislasi, maupun studi kasus tentunya telah sangat mencukupi
untuk mendukung argumen penulis dalam buku ini.
Buku ini memang terasa kurang ramah apabila dibaca sebagai pengantar oleh
mereka yang baru saja mempelajari hukum lingkungan. Namun bagi mereka yang
telah memahami dasar-dasar hukum lingkungan dan hendak mendalami aspek
pertanggungjawaban perdata, buku ini wajib menjadi pegangan karena kedalaman
pembahasannya yang mencakup berbagai sudut pandang yang dapat berguna
bagi akademisi, praktisi, hakim, peneliti, penegak hukum, pengambil kebijakan,
bahkan mahasiswa.
Tentang Penulis
Andri G. Wibisana lulus S.H. dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(1998), LL.M. on Law and Economics dari Utrecht University, Belanda (2002),
dan Ph.D. dari Maastricht University, Belanda (2008). Berpengalaman
luas dalam mengajar hukum lingkungan, hukum pengelolaan sumber
daya alam, hukum perubahan iklim, hukum lingkungan internasional,
dan analisis ekonomi terhadap hukum pada program sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Selain aktif menulis dalam berbagai jurnal
internasional dan menjadi narasumber dalam berbagai forum diskusi,
penulis saat ini juga diamanahkan mengajar pada program pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
186
xi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
P e d o m a n P e n u l I s a n
J urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan
yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum
lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara
Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan
permasalahan tata kelola sumber daya alam.
Tema dan Topik
JHLI Volume 5 Issue 1, Juli 2018, memuat tulisan yang mengangkat tema umum
“Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy
Making) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema
tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah dan bahan beracun berbahaya
(B3); (2) Pengelolaan sampah; Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman
hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan
lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; dan lain-lain.
Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih
pertanyaan kunci berikut:
1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan
dalam tataran norma?
2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-
tasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?
3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan
hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?
*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk
mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa
saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.
xii
Prosedur Pengiriman**
Untuk Vol. 5 Issue 1 (Juli 2018), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak
sebelum 30 April 2018 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal; (3)
nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang
naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30 Juni 2018.
Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik
maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@
icel.or.id dengan di-cc ke margaretha.quina@icel.or.id. Pengiriman melalui pos
disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas
amplop, ditujukan ke alamat berikut:
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
DKI Jakarta
Pemilihan Tulisan
Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan
dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti
ICEL.
Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh
Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi
yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat
akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan
diberikan notifikasi dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi
dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis
terhadap tulisannya.
Persyaratan Formil
1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.
PEDOMAN PENULISAN
xiii
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018
Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil
dan kesimpulan;
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif;
3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin
kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,
dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan
kaki, daftar pustaka);
4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka;
5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya
namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;
6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;
7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau
catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam
poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.
8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk
memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)
mengikuti ketentuan:
a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), hlm. 342 – 344;
b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-
5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;
c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der
Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;
d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15
Januari 2014;
xiv
Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:
a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:
Cambridge University Press.
b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water
Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd
Conference of the International Association for Water Law (AIDA).
Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.
c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil
Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of
British Columbia Press.
d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:
Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15
Januari 2014.
g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://
www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk
Abstrak yang diterima.
9. Identitas penulis meliputi:
a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)
b. Asal institusi penulis
c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor
telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail
**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan
PEDOMAN PENULISAN
e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,
http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
top related