iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · telah beroperasi selama 10 tahun. unit...
Post on 13-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa dari 13 (tiga belas) desa yang terdapat di
kecamatan Ciampea, dan wilayahnya masuk dalam Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Tiga belas
Desa tersebut yaitu Desa Ciampea Udik, Desa Cinangka, Desa Cibuntu, Desa Cicadas, Desa Tegal
Waru, Desa Bojong Jengkol, Desa Cihideung Udik, Desa Cihideung Ilir, Desa Cibanteng, Desa
Bojong Rangkas, Desa Cibadak, Desa Benteng, dan Desa Ciampea.
Desa Cihideung Ilir memiliki luas wilayah sekitar 192.5 ha dengan lahan sawah seluas 165
ha. Jumlah penduduk Cihideung Ilir pada tahun 2009 adalah 9,425 jiwa, yang terdiri atas 4,486 jiwa
berjenis kelamin laki-laki dan 4,539 jiwa berjenis kelamin perempuan. Desa Cihideung Ilir terletak di
kawasan dataran rendah (180-220 m dpl), dan memiliki suhu rata-rata 29-30˚C. Batas-batas wilayah
Desa Cihideung Ilir adalah sebagai berikut (i) sebelah utara berbatasan dengan Desa Cibanteng, (ii)
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cihideung Udik, (iii) sebelah timur berbatasan dengan Desa
Babakan, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cihideung Udik dan Desa Cibanteng. Jarak Desa
Cihideung Ilir dari ibu kota kecamatan adalah 1 km, dari ibu kota kabupaten adalah 35 km, dan dari
ibu kota popinsi adalah 132 km. Pada tahun 2009, jumlah panen padi di Desa Cihideung Ilir dengan
luas lahan panen ± 283 ha mencapai 1,694.19 ton GKP atau 10.6% dari total panen keseluruhan di
Kecamatan Ciampea, dengan produktivitas rata-rata lahan 5.99 ton GKP/ha.
Gambar 6. Fasilitas bangunan giling dan lantai jemur
Di desa Cihedeung Ilir, hanya terdapat 1 (satu) unit penggilingan padi, yaitu unit
penggilingan padi yang di miliki Bapak H. Sulaiman. Sistem penggilingan padi di Desa Cihideung Ilir
tergolong sistem penggilingan padi kecil (PPK) sederhana. Tempat berdirinya penggilingan termasuk
strategis, karena dekat dengan sawah sehingga mempermudah dalam hal transportasinya pada saat
panen, dan letak penggilingan juga dekat dengan perumahan penduduk, sehingga memudahkan para
konsumen datang ke penggilingan untuk menggiling gabahnya. Unit penggilingan padi yang dimiliki
Bapak H. Sulaiman tergolong tua. Fasilitas yang dimiliki terdiri dari bangunan, lantai jemur/
lamporan, mesin penggilingan, timbangan duduk, dan alat pengangkut karung beras. Bangunan
dibangun pada tahun 1984, dengan luas bangunan penggilingan 6x5 m2. Lantai jemur juga dibangun
bersamaan dengan bangunan penggilingan. Untuk biaya awal pembangunan bangunan dan lantai
jemur menghabiskan biaya Rp 5,000,000,-. Lantai jemur/ lamporan berukuran 10x7 m2
yang dapat
28
menampung sekitar 800-900 kg GKP untuk dijemur. Untuk menjemur biasanya tidak dikenai biaya
karena petani yang menjemur di penjemuran ini akan menggiling padinya di penggilingan ini.
Selama penggilingan beroperasi pada awal berdirinya tahun 1984, telah berganti mesin
penggilingan (huller, polisher, dan 1 motor penggerak) sebanyak 1 kali. Mesin penggilingan (huller,
polisher, dan 1 motor penggerak) di beli pada tahun 2000 seluruhnya senilai Rp 14,700,000,- dan
telah beroperasi selama 10 tahun. Unit penggilingan terdiri dari 1 unit huller, 1 unit polisher, dan 1
motor penggerak yaitu motor diesel KUBOTA 22 PK untuk menggerakkan huller (merk RM tipe
LM24-2C(H)) dan polisher (merk ICHI tipe N-70). Untuk menjemur biasanya tidak dikenai biaya
karena petani yang menjemur padinya di penjemuran ini akan menggiling padinya di penggilingan ini
juga. Namun ada juga petani yang membawa gabah yang sudah siap untuk digiling menjadi beras.
Namun tidak terlalu banyak dibandingkan dengan petani yang menjemurkan padi terlebih dahulu di
penggilingan ini.
(a) (b) (c)
Huller Polisher Motor diesel
(merk RM tipe LM24-2C(H)) (merk ICHI tipe N-70) KUBOTA 22 PK
Gambar 7. Fasilitas mesin penggilingan padi
Proses pemecahan kulit sekam pada penggilingan padi ini menggunakan mesin pemecah
kulit kelompok friksional, tipe rubber roll husker karena memecahkan sekam dengan dua buah rol
karet yang dipasang berdekatan. Kedua rol karet tersebut diputar dengan kecepatan yang berbeda dan
arah yang berlawanan. Agar lebih ekonomis setelah rol utama mengalami keausan, maka akan ditukar
posisinya dengan rol pembantu. Setelah kedua rol itu mengalami keausan, maka baru dibeli rol yang
baru. Di penggilingan ini penggantian rol dilakukan setelah kira-kira melakukan giling padi sebanyak
35 ton GKG.
Setelah gabah mengalami proses pecah kulit, maka beras yang keluar masih belum bersih,
belum mengkilap, dan cenderung masih berwarna kecoklatan. Untuk menghasilkan beras yang putih
dan mengkilap, maka setelah digiling, beras di sosoh di polisher. Prinsip pemisahan sekam sangat
sederhana, yaitu memisahkan sekam dari beras pecah kulit dan gabah utuh berdasarkan perbedaan
berat jenisnya. Pada umumnya mesin pemisah sekam dilengkapi dengan kipas untuk menghisap
sekam dan debu. Beras pecah kulit dan gabah akan tetap mengalir ke bawah karena tidak terisap oleh
kipas akibat daya beratnya. Polisher juga dilengkapi ayakan untuk memisahkan beras pecah kulit dan
dedak kasar sebelum proses pemisahan sekam. Hal ini perlu dilakukan karena beras patah dan dedak
kasar memiliki nilai ekonomis. Ayakan polisher merupakan bagian dari polisher yang sering diganti
29
agar kualitas hasil ayakan menjadi semakin baik. Di penggilingan padi ini ayakan polisher diganti
pada saat telah menggiling sekitar 30 ton GKG.
Hasil limbah sisa dari penggilingan yaitu sekam dan dedak/ bekatul. Sekam boleh diambil
secara gratis oleh masyarakat sekitar dan dimanfaatkan sendiri oleh pemilik penggilingan, biasanya
dipakai untuk media tanam, abu gosok, dan sebagainya. Jika tertumpuk sekam dibuang dan dibakar.
Proses dihasilkannya dedak/ bekatul yaitu, dimulai dari beras pecah kulit yang dimasukkan ke dalam
mesin penyosoh/ polisher untuk diputihkan, kemudian menghasilkan beras sosoh dan dedak. Dedak
tersebut diambil oleh pemilik untuk pakan ternak, dan sisanya jika ada yang menginginkan biasanya
diambil secara gratis di penggilingan, dan jika dijual dihargai Rp 1500,-/kg, tetapi itupun tidak tentu,
tergantung dari musim ternak, atau ada tidaknya peternak ayam yang ingin membelinya.
Di penggilingan padi juga selain mempunyai fasilitas seperti bangunan giling, lantai jemur,
mesin giling (huller), mesin sosoh (polisher), dan motor penggerak. Penggilingan juga mempunyai
fasilitas penunjang lainnya, diantaranya timbangan duduk (merk : Nam Wo Batavia) dan alat
penangkut karung beras. Timbangan duduk ini berguna sekali untuk mengetahui berat gabah yang
akan digiling dan berat beras yang dihasilkan. Alat pengangkut karung beras berfungsi untuk
mengangkut karung dengan prinsip mendorong alat tersebut, agar mempermudah dalam
memindahkan karung beras tanpa menggunakan banyak tenaga.
(a) (b)
Timbangan duduk Alat pengangkut karung beras
Merk : Nam Wo Batavia
Gambar 8. Fasilitas penunjang penggilingan
Musim tanam di Desa Cihideung Ilir tidak tentu, umumnya petani menanam padi 2-3 musim
dalam setahun dan digilir dengan menanam tanaman palawija. Biasanya padi yang dijemur tidak
semuanya digiling, karena sebagian disimpan dan digiling jika perlu. Penggilingan beroperasi selama
6 (enam) bulan selama 1 (tahun) dengan perkiraan hari kerja 26 hari dalam satu bulan . Pada saat
penelitian, jumlah panen yang tinggi biasanya pada musim panen diantaranya bulan Juli, Agustus, dan
mendekati lebaran karena masyarakat sekitar membutuhkan beras untuk zakat dan persiapan lebaran
karena harga kebutuhan bahan pokok, khususnya beras meningkat harganya menjelang lebaran. Jadi
masyarakat mempersiapkan gabah yang telah disimpan sebelumnya untuk digiling menjelang lebaran
karena harganya lebih terjangkau masyarakat. Jenis padi yang biasanya digiling di penggilingan ini
yaitu Ciherang dan IR 64.
30
B. Performansi Teknis Mesin Penggilingan Padi
Performansi teknis mesin penggilingan padi yang diukur pada penelitian ini adalah rendemen
penggilingan, kapasitas giling, dan pemakaian bahan bakar. Pengamatan dilakukan untuk huller dan
polisher yang digerakkan oleh 1 (satu) motor diesel. Kapasitas huller dilihat dari jumlah gabah yang
dapat digiling per jamnya dan kapasitas polisher dilihat dari jumlah beras yang dihasilkan per jamnya
Tabel 6. Performansi teknis mesin penggilingan padi
Nilai
Kapasitas
Huller
(kg GKG/jam)
Kapasitas
Polisher
(kg Beras/jam)
Pemakaian
Bahan Bakar
Huller+Polisher
(liter/jam)
Rendemen
Giling
%
Maksimum 203.78 220.69 1.27 67.04
Rata-Rata 196.85 201.52 1.16 59.44
Minimum 186.74 190.50 1.05 52.29
Dari pengamatan di penggilingan dapat diketahui faktor-faktor yang menentukan besarnya
kapasitas yaitu kondisi gabah yang digiling, kondisi mesin, dan keterampilan operator. Kondisi gabah
yang digiling berpengaruh pada kapasitas penggilingan karena apabila gabah yang digiling kadar
airnya belum optimal, maka proses penggilingan akan dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan
beras pecah kulit dan beras sosoh yang baik. Pengulangan proses tersebut akan membutuhkan waktu
yang lebih banyak dan otomatis membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak pula. Kondisi mesin
juga menyebabkan rendahnya kapasitas giling pada usaha penggilingan padi ini, makin tua kondisi
mesin, maka akan menyebabkan semakin rendah kapasitas penggilingannya. Keterampilan operator
juga berpengaruh dalam menentukan besar kecilnya kapasitas karena semakin terampil operator, maka
semakin besar kapasitas penggilingan, dan sebaliknya, jika operator kurang terampil maka akan
menyebabkan menurunnya kapasitas penggilingan.
Dari Tabel 6 di atas dan data giling harian (Lampiran 1), nilai konsumsi bahan bakar juga
dapat dianalisis. Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang, konsumsi bahan bakar
tersebut termasuk boros, karena pemakaian bahan bakar maksimum tidak terjadi saat kapasitas huller
dan kapasitas polisher mempunyai nilai maksimum. Dari Tabel 6 di atas juga dapat dilihat, rendemen
giling rata-rata yang dihasilkan pada unit penggilingan tersebut adalah 59.44%, dimana nilai
rendemen maksimum adalah 67.04% dan nilai rendemen minimum adalah 52.29%. Nilai rendemen
maksimum tersebut sangat jarang terjadi. Nilai rendemen tersebut terdiri dari beras kepala, beras
patah, dan menir. Jika menir tidak dimasukkan dalam perhitungan rendemen, maka nilai rendemen
giling yang dihasilkan akan lebih rendah lagi. Rendahnya rendemen giling tersebut dipengaruhi oleh
keadaan mesin-mesin yang tidak dapat lagi bekerja secara maksimal, varietas padi yang digiling, dan
berpengaruhnya kondisi gabah yang akan digiling (kadar air, kemurnian gabah, dan sebagainya).
Susut (losses) penggilingan terjadi pada huller dan polisher. Pada huller, banyak gabah yang belum
terkupas kulitnya ikut terbuang bersama sekam dan gabah muda yang disebabkan kerja blower dan
rubber roll husker yang tidak maksimal. Pada polisher, sistem one pass yang diterapkan
menyebabkan beras pecah kulit yang disosoh dipaksa untuk mejadi beras putih (beras slyp), sehingga
beras yang dihasilkan banyak mengandung beras patah dan menir.
Dari Tabel 6, mesin huller mampu menggiling gabah dengan kapasitas giling rata-rata gabah
sebesar 195.95 kg gabah/jam dan kapasitas giling rata-rata polisher sebesar 201.52 kg beras/jam,
sehingga menurut sistem penggilingan padi, penggilingan ini tergolong dalam penggilingan padi kecil
31
(PPK) sederhana karena mempunyai kapasitas giling lebih kecil dari 2 (dua) ton per jam, selain itu
disebut tipe sederhana karena hanya melalui proses pecah kulit, proses pemisahan gabah dengan beras
pecah kulit secara sederhana, dan proses pemutihan beras pecah kulit.
C. Performansi Ekonomi Mesin Penggilingan Padi
Berdasarkan data teknis dari pengamatan harian yang dilakukan dan survey di Kecamatan
Ciampea, maka analisis ekonomi dari sistem penggilingan padi dapat di bahas sebagai berikut :
1. Biaya Penggilingan
Suatu usaha bertujuan untuk memperoleh suatu keuntungan. Keuntungan diperoleh dari
selisih pendapatan dan biaya yang dikeluarkan. Agar dapat memperoleh biaya produksi, maka
dilakukan suatu analisis biaya dari proses produksi, sehingga didapat biaya pokok, yaitu biaya
produksi persatuan output produksi.
Biaya pokok diperoleh dengan menjumlahkan biaya tetap dengan biaya tidak tetap.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang selama satu
periode akan tetap jumlahnya. Biaya tetap sering juga disebut biaya kepemilikan (owning cost)
yaitu biaya yang selama satu periode kerja, jumlah biayanya tetap dan tidak tergantung dari
produk yang dihasilkan. Unsur biaya tetap di penggilingan padi ini yaitu penyusutan, bunga
modal, dan pajak.
Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar dan kecilnya tergantung dari produk yang
dihasilkan untuk pemakaian alat atau mesin produksi. Untuk mesin penggilingan padi, biaya tidak
tetap diantaranya biaya perbaikan dan penggantian suku cadang untuk huller, polisher dan motor
penggerak, biaya bahan bakar (solar), biaya perbaikan dan perawatan motor penggerak, biaya
pelumas, upah montir, upah tenaga kerja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Mesin penggilingan (huller, polisher, dan 1 motor penggerak) di beli seharga Rp
14,700,000,-. Unit penggilingan terdiri dari 1 unit huller, 1 unit polisher, dan 1 motor penggerak
yaitu motor diesel KUBOTA 22 PK untuk menggerakkan huller (merk RM tipe LM24-2C(H))
dan polisher (merk ICHI tipe N-70). Motor penggerak menggunakan bahan bakar solar yang pada
saat penelitian harga solar Rp 4500,-/liter. Untuk menjaga mesin agar tidak slip, maka diperlukan
pelumas. Total pemakaian pelumas per bulan untuk huller, polisher, dan motor penggerak sekitar
8.5 liter/bulan, harga pelumas yang dipakai Rp 20,000,-/liter.
Rubber roll pada huller perlu diganti untuk menjaga hasil, efektivitas dalam proses
pemecahan kulit, sistem penggantian rol yaitu pada saat rol utama aus sehingga posisi rol utama
ditukar dengan rol pembantu, dan pada saat sudah aus semua, maka rubber roll diganti dengan
yang baru. Rubber rol diganti satu kali per 35 ton gabah yang digiling, dengan harga satu set
rubber roll sebesar Rp 180,000,-/set. Sedangkan pada polisher, komponen yang secara periodik
perlu diganti yaitu ayakan polisher karena sangat berpengaruh untuk kualitas ayakan. Polisher
diganti satu kali per 30 ton gabah yang digiling, dengan harga ayakan polisher yaitu Rp 80,000,-
/set.
Penggantian untuk suku cadang yang lain, misal as besi dan puli penggerak diperkirakan
diganti setiap 35 ton gabah yang digiling, dimana sekali penggantian membutuhkan biaya Rp
250,000,-. Untuk perbaikan dan perawatan motor penggerak dilakukan setiap dua kali dalam
setahun dengan perkiraan biaya Rp 250,000,-/perbaikan, dan membutuhkan montir untuk
memperbaiki bagian mesin yang sulit dan rumit untuk diperbaiki sendiri, maka dalam setahun
membutuhkan dua kali perbaikan oleh montir dengan upah montir Rp 50,000,-/perbaikan. Dalam
32
melaksanakan penggilingan pada hari kerja, dalam mempertimbangkan aspek efektivitas dan
dapat mempercepat dalam operasional penggilingan, maka pemilik usaha penggilingan padi ini
menggunakan dua operator, dengan upah harian Rp 25,000,-/orang/hari kerja atau Rp 650,000,-
/orang/26 hari kerja untuk 1 (satu) bulan. Sebenarnya jika mengunakan standar upah minimum
regional (UMR) masih kurang layak, karena upah minimum kabupaten bogor pada tahun 2010
sebesar Rp 987.000,- untuk tahun 2011 UMR meningkat menjadi Rp 1.056.914,-, sehingga perlu
dilakukan kenaikan upah bagi operator penggilingan yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Perkiraan jumlah gabah yang digiling, diperkirakan berdasarkan jumlah panen dan
petani yang menggiling padinya ke penggilingan ini selama satu tahun. Dari data teknis rata-rata
menggiling padi per hari 356.75 kg/hari kerja, dengan rata-rata hari kerja 26 hari, penggilihan
hanya beroperasi selama 5 (lima) bulan atau 130 hari kerja selama 1 (satu) tahun yaitu pada
waktu musim panen padi dan menjelang hari raya lebaran, maka dalam 1 (satu) tahun
penggilingan mampu menggiling sebanyak 46,378 kg GKG/tahun atau 46.38 ton GKG/tahun atau
dengan rata-rata giling sebesar 9.27 ton GKG/bulan.
a. Biaya pokok penggilingan
Biaya pokok penggilingan (Rp/kg gabah) dapat dianalisis dari komponen biaya tetap
(Rp/tahun) dan biaya tidak tetap (Rp/jam), kapasitas perontokan (kg/jam) dan jam kerja rata-
rata per tahun (jam/tahun). Dari hasil perhitungan diperoleh biaya pokok untuk setiap
kilogram GKG yang digiling adalah sebesar Rp 189,-/kg GKG atau Rp 318,-/kg beras yang
dihasilkan. Untuk biaya pokok penggilingan Rp 318,-/kg beras dicari dengan menggunakan
patokan rendemen giling rata-rata sebesar 59.44% atau 100 kg GKG menghasilkan 59.44 kg
beras. Dalam penentuan biaya pokok sebaiknya disesuaikan dengan rendemen giling yang ada
supaya petani yang mempunyai rendemen giling yang rendah tidak dirugikan dalam hal
pemberian upah jasa giling. (Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4).
Semakin tinggi jumlah giling, maka semakin rendah biaya pokok penggilingan padi.
Untuk mendapatkan keuntungan maksimal, biaya pokok harus diusahakan serendah mungkin
(Pramudya dan Dewi, 1992). Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengusahakan volume
giling untuk mesin penggilingan padi semaksimal mungkin dalam setahun, sehingga mesin
tersebut mencapai jam kerja yang tinggi.
b. Upah jasa giling
Upah jasa giling yang diterapkan di penggilingan ini dibayar dengan menggunakan
perbandingan 10 : 1. Maksudnya adalah untuk 10 kilogram beras yang dihasilkan, maka upah
jasa giling adalah 1 kilogram beras. Jika diuangkan dengan harga beras Rp 6000,-/kg, maka
diperoleh harga giling per kilogram beras yaitu Rp 600,-/kg beras. Jika harga giling dikonversi
ke satuan gabah dengan rendemen giling rata-rata adalah 59.44% maka 10 kg beras dihasilkan
dari 16.82 kg gabah. Jika diuangkan dengan harga minimum gabah kering giling (GKG) Rp
2800,-/kg GKG maka upah jasa giling adalah Rp 357,-/ kg GKG (Perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran 3).
Ditinjau dari biaya pokok yang diperoleh, maka usaha penggilingan ini telah
dijalankan dengan tepat, karena upah penggilingan yang dikenakan pada setiap gabah yang
digiling lebih tinggi dari pada biaya pokok.
33
2. Analisis Titik Impas (Break Event Point)
Analisis titik impas digunakan untuk mengetahui hari kerja dan jumlah giling minimum
setiap tahun agar usaha penggilingan padi ini tidak mengalami kerugian. Komponen-komponen
analisis titik impas dalam usaha penggilingan padi ini adalah biaya tetap (Rp/tahun), biaya tidak
tetap (Rp/jam) dan upah penggilingan.
Setelah dilakukan perhitungan (Lampiran 4), dengan jumlah giling tahunan 46.38 ton
GKG/tahun, maka diperoleh volume giling pada titik impas untuk usaha penggilingan padi, yaitu
sebesar 38,504.75 kg GKG/tahun atau 38.50 ton GKG/tahun atau dengan jam kerja 195.60
jam/tahun pada titik impas. Jika dilihat dari jumlah giling dari penggilingan ini yaitu sebesar 46.38
ton GKG/tahun, maka usaha penggilingan padi ini layak untuk dijalankan. Hal ini disebabkan
karena volume giling per tahun pada usaha penggilingan padi ini lebih besar dari volume giling
yang ada pada titik impas. Jadi dapat dikatakan, usaha penggilingan padi tersebut harus menggiling
padi dengan volume giling minimal pada titik impas yaitu 38.50 ton GKG/tahun agar usaha
penggilingan tidak mengalami kerugian.
3. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penggilingan Padi
Perhitungan analisis finansial dilakukan dengan tiga macam analisis, yaitu :
1. Net Present Value (NPV)
2. Internal Rate of Return (IRR)
3. B/C Ratio
Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan pada
analisis biaya, upah untuk penggilingan, jam kerja per tahun dan jumlah gabah yang digiling per
tahun pada tingkat bunga sebesar 15%/tahun.
Setelah dilakukan perhitungan (lampiran 19), maka diperoleh nilai NPV sebesar
Rp14,447,356,-, nilai IRR sebesar 27.03 % dan B/C ratio 1.68. Jadi dapat diketahui bahwa usaha
penggilingan padi ini dari segi finansial layak dengan jumlah giling 46.38 ton GKG/tahun. Hal ini
disebabkan karena nilai NPV, IRR, dan B/C ratio memenuhi syarat kelayakan, yaitu nilai NPV
lebih besar dari 0 (nol), nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku (15%), dan B/C ratio
yang lebih besar dari 1 (satu).
4. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas pada usaha penggilingan padi dilakukan untuk mempelajari
kemungkinan bila terjadi perubahan pada salah satu atau lebih komponen biaya. Sebelum
dilakukan analisis sensitivitas, perlu ditentukan terlebih dahulu variabel kritis yang diperkirakan
dapat dengan cepat berubah karena pengaruh dari keadaan sosial, politik, dan ekonomi saat itu dan
dapat mengakibatkan perubahan biaya serta timbulnya resiko pada usaha. Untuk penelitian ini,
variabel kritis yang dipilih untuk dimasukkan dalam perhitungan analisis sensitivitas adalah harga
solar, upah tenaga kerja, dan jumlah giling tahunan.
Dari situasi yang terjadi selama ini, harga bahan bakar minyak (BBM) selalu saja
mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan berkurangnya cadangan minyak di dunia karena minyak
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dan keberadaannya semakin hari
semakin berkurang, sehingga mempengaruhi harga minyak di pasaran internasional. Indonesia
merupakan salah satu negara pengimpor minyak, sehingga perubahan harga minyak dunia juga
34
sengat mempengaruhi sektor perekonomian. Kenaikan harga BBM di pasaran juga menyebabkan
naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari, termasuk upah tenaga kerja. Perubahan harga kedua
komponen tersebut dapat berpengaruh terhadap biaya operasional penggilingan. Karena itu
dilakukan analisis sensitivitas untuk memperkirakan perubahan biaya dan resiko apa saja yang
terjadi. Selain harga bahan bakar dan kenaikan upah tenaga kerja, jumlah giling tahunan juga dapat
mempengaruhi kelayakan suatu usaha penggilingan. Jumlah giling tahunan yang tinggi akan
memperkecil biaya pokok, sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih besar, dan begitu juga
sebaliknya.
Tabel 7. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja
dengan NPV
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
NPV
(Rp)
10 10 8,909,603
10 20 4,471,847
10 30 373,829
10 40 -3,894,058
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa apabila terjadi kenaikan harga solar sebesar 10%
(dari harga normal solar yang berlaku Rp 4,500,-) dan diikuti dengan kenaikan upah hingga 40%
(dari upah normal yang berlaku Rp 25,000,-/orang/hari kerja), maka akan mempengaruhi usaha
penggilingan tersebut. Pada saat kenaikan harga solar 10% dan diikuti dengan kenaikan upah dari
10%, 20%, dan 30%, maka NPV yang dihasilkan masih positif dan bila kenaikan upah mencapai
40%, maka usaha penggilingan padi ini menjadi tidak layak karena NPV bernilai negatif.
Tabel 8. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja
dengan IRR
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
IRR
(%)
10 10 22.67
10 20 19.01
10 30 15.41
10 40 11.88
Pada Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa kenaikan harga solar 10% dapat mempengaruhi
nilai IRR. Pada saat kenaikan upah dari 10% hingga 30% maka didapat nilai IRR yang
menunjukkan usaha layak untuk dijalankan karena nilai IRR tidak kurang dari suku bunga yang
berlaku, yaitu 15%. Sedangkan pada saat kenaikan harga solar 10% dengan kenaikan upah 40%,
maka didapatkan IRR sebesar 11.88% yang kurang dari tingkat suku bunga yang berlaku (15%),
dengan demikian usaha penggilingan padi menjadi tidak layak.
35
Tabel 9. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja
dengan B/C Ratio
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
B/C
Ratio
10 10 1.42
10 20 1.21
10 30 1.02
10 40 0.82
Pada Tabel 9 dapat diketahui pada saat kenaikan harga solar sebesar 10% dengan
kenaikan upah 10%, 20%, dan 30% dapat diketahui usaha penggilingan padi masih layak untuk
dijalankan. Sedangkan pada saat kenaikan upah mencapai 40% didapat B/C Ratio yang nilainya
kurang dari 1 (satu), sehingga pada saat kenaikan upah mencapai 40% usaha penggilingan padi
menjadi tidak layak.
Tabel 10. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 10% dan upah tenaga kerja
denganNPV, IRR, dan B/C Ratio.
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
NPV
(Rp)
IRR
(%)
B/C
Ratio
10 10 8,909,603 22.67 1.42
10 20 4,471,847 19.01 1.21
10 30 373,829 15.41 1.02
10 40 -3,894,058 11.88 0.82
Tabel 10 di atas merupakan gabungan dari hasil analisis sensitivitas yang dilakukan
terhadap kenaikan bahan bakar solar sebesar 10% dari harga yang berlaku (harga solar yang
dipakai Rp 4,500/liter) dengan kenaikan upah giling 10%, 20%, 30%, dan 40%, dari upah normal
(upah Rp 25,000/orang/hari) dan dihasilkan nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio seperti pada Tabel 10,
hasil perhitungannya dapat juga dilihat pada Lampiran 20-23.
Tabel 11. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja
dengan NPV
KenaikanHarga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
NPV
(Rp)
20 10 7,639,735
20 20 3,371,849
20 30 -896,038
20 40 -5,163,925
Selanjutnya kita lakukan analisis sensitivitas dengan kenaikan harga solar 20% (dari
harga normal solar yang berlaku Rp 4,500,-) dengan kenaikan upah 10%, 20%, 30%, 40% (dari
upah normal yang berlaku Rp 25,000,-/orang/hari kerja). Dari Tabel 11 di atas, dapat kita lihat
bahwa jika terjadi kenaikan harga solar 20% dari harga normal, dengan diikuti kenaikan upah 10%
dan 20%, maka NPV masih positif atau usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan,
tetapi pada saat kenaikan upah 30% dan 40% didapatkan NPV negatif sehingga usaha
penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan.
36
Tabel 12. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja
dengan IRR
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
IRR
(%)
20 10 21.60
20 20 18.17
20 30 14.32
20 40 10.45
Pada Tabel 12, dapat dilihat nilai IRR pada saat kenaikan harga solar 20% dengan diikuti
kenaikan upah 10% dan 20%, nilai IRR masih diatas nilai suku bunga yang berlaku (15%),
sehingga usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan. Pada saat kenaikan upah
mencapai 30% dan 40% yang mengakibatkan nilai IRR di bawah nilai suku bunga, maka usaha
menjadi tidak layak untuk dijalankan.
Tabel 13. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja
dengan B/C Ratio
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%) B/C Ratio
20 10 1.36
20 20 1.16
20 30 0.96
20 40 0.76
Dari tabel di atas dengan kenaikan harga solar 20%, usaha penggilingan padi masih layak
jika mengalami kenaikan upah dari 10% dan 20%, karena nilai B/C Ratio > 1, sedangkan usaha
penggilingan padi menjadi tidak layak jika mengalami kenaikan upah sebesar 30% dan 40%.
Tabel 14. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 20% dan upah tenaga kerja
dengan NPV, IRR, dan B/C Ratio
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
NPV
(Rp)
IRR
(%) B/C Ratio
20 10 7,639,735 21.60 1.36
20 20 3,371,849 18.17 1.16
20 30 -896,038 14.32 0.96
20 40 -5,163,925 10.45 0.76
Tabel 14 di atas merupakan gabungan dari Tabel 11,12, dan 13. Analisis sensitivitas
terhadap kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 20% dengan harga yang berlaku Rp 4,500/liter,
dengan kenaikan upah giling 10%, 20%, 30%, dan 40% dari upah normal Rp 25,000/orang/hari.
Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan 20% harga bahan bakar solar dapat dilihat
pada Lampiran 24-27.
37
Tabel 15. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja
dengan NPV
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan
Upah
(%)
NPV
(Rp)
30 10 6,369,868
30 20 2,134,720
30 30 -2,165,905
30 40 -6,433,792
Pada Tabel 15 di atas perubahan variabel kritis yaitu kenaikan harga solar dan kenaikan
upah bisa dilihat bahwa dengan kenaikan solar 30% (dari harga normal solar yang berlaku Rp
4,500,-) dan diikuti dengan kenaikan upah 30% dan 40% (dari upah normal yang berlaku Rp
25,000,-/orang/hari kerja) dapat mempengaruhi kelayakan pada usaha penggilingan padi ini. Pada
saat kenaikan upah 10% dan 20%, usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan karena
NPV masih positif, sedangkan pada saat mengalami kenaikan upah sebesar 30% dan 40% usaha
penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan karena NPV negatif.
Tabel 16. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja
dengan IRR
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
IRR
(%)
30 10 20.43
30 20 17.13
30 30 13.22
30 40 9.39
Pada Tabel 16, dengan kenaikan harga solar 30% mengakibatkan pada saat kenaikan
upah 10% dan 20% menghasilkan nilai IRR yang lebih besar dari pada suku bunga yang
ditetapkan (15%) sehingga usaha penggilingan padi layak untuk dijalankan. Hal ini berbeda pada
saat kenaikan upah mencapai 30% dan 40% yang menyebabkan nilai IRR yang lebih kecil dari
tingkat suku bunga yang ditetapkan (15%) yang mengakibatkan usaha penggilingan padi menjadi
tidak layak untuk dijalankan.
Tabel 17. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja
dengan B/C Ratio
Kenaikan Harga Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%) B/C Ratio
30 10 1.30
30 20 1.10
30 30 0.90
30 40 0.70
Pada tabel 17, menunjukkan nilai B/C Ratio yang dihasilkan. Dengan kenaikan harga
solar 30% dengan kenaikan upah 10% dan 20% akan menyebabkan usaha penggilingan padi
38
menjadi layak untuk dijalankan karena B/C Ratio > 1, sedangkan kenaikan upah 30% dan 40%
menyebabkan usaha penggilingan padi tidak layak untuk dijalankan karena B/C Ratio < 1.
Tabel 18. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar 30% dan upah tenaga kerja
dengan NPV, IRR, dan B/C Ratio
Kenaikan Harga
Solar
(%)
Kenaikan Upah
(%)
NPV
(Rp)
IRR
(%)
B/C
Ratio
30 10 6,369,868 20.43 1.30
30 20 2,134,720 17.13 1.10
30 30 -2,165,905 13.22 0.90
30 40 -6,433,792 9.39 0.70
Tabel 18 merupakan gabungan dari Tabel 15, 16, dan 17. Hasil perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran 28-31.
Jadi, kenaikan harga solar dengan diikuti kenaikan upah tenaga kerja dapat menaikkan
biaya operasional usaha penggilingan padi, sehingga keuntungan yang didapat juga berkurang.
Kenaikan harga yang tinggi juga dapat menyebabkan usaha penggilingan padi tersebut menjadi
tidak layak.
Gambar 9. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan NPV
-10
-5
0
5
10
10 20 30 40
NP
V (
Ju
ta R
p)
Kenaikan Upah (%)
Kenaikan Harga Solar
10%
Kenaikan Harga Solar
20%
Kenaikan Harga Solar
30%
39
Gambar 10. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan IRR
Gambar 11. Grafik perbandingan antara kenaikan harga solar dan upah dengan B/C Ratio
Dari grafik pada Gambar 9, 10, dan 11 terlihat grafik linier untuk berbagai perubahan
variabel kritis yaitu kenaikan harga solar 10%, 20%, dan 30% dengan diikuti nilai masing-masing
untuk NPV, IRR, dan B/C Ratio. Dari ketiga grafik dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai
variabel kritis yang berubah yaitu bahan bakar solar dan upah tenaga kerja, akan mengakibatkan
semakin kecil nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio yang didapatkan.
Selain analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan upah juga dilakukan
analisis sensitivitas untuk perubahan jumlah giling tahunan. Penurunan jumlah giling tahunan
mungkin dapat disebabkan karena gagal panen, warga lebih memilih bertanam palawija,
tumbuhnya usaha penggilingan lain, dan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman
penduduk. Untuk analisis sensitivitas, dilakukan untuk penurunan jumlah giling tahunan sebesar
10% dan 20%.
0
5
10
15
20
25
10 20 30 40
IRR
(%
)
Kenaikan Upah (%)
Kenaikan Harga Solar
10%
Kenaikan Harga Solar
20%
Kenaikan Harga Solar
30%
0.00.20.40.60.81.01.21.41.61.82.02.22.42.62.83.0
10 20 30 40
B/C
Ra
tio
Kenaikan Upah (%)
Kenaikan Harga Solar
10%
Kenaikan Harga Solar
20%
Kenaikan Harga Solar
30%
40
Tabel 19. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV
Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa penurunan jumlah giling tahunan mempengaruhi
nilai NPV yang dihasilkan. Dengan penurunan jumlah giling tahunan 10% (dari jumlah giling
tahunan sebesar 46,378 kg GKG/tahun atau 46.38 (ton GKG/tahun) usaha penggilingan padi
masih layak untuk dijalankan karena NPV positif, sedangkan jika penurunan jumlah giling
tahunan menjadi 20% terlihat bahwa NPV negatif, sehingga pada saat penurunan jumlah giling
tahunan sebesar 20% akan menyebabkan usaha penggilingan padi menjadi tidak layak untuk
dijalankan.
Tabel 20. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan IRR
Pada Tabel 20, menunjukkan bahwa pada saat penurunan jumlah giling tahunan usaha
penggilingan padi sebesar 10% (dari jumlah giling tahunan sebesar 46,378 kg GKG/tahun atau
46.38 ton GKG/tahun) menujukkan usaha penggilihan padi masih layak untuk dijalankan karena
nilai IRR masih lebih besar dari nilai suku bunga yang ditetapkan yaitu (15%), sedangkan pada
saat penurunan jumlah giling tahunan mencapai 20% mengakibatkan usaha penggilingan padi
menjadi tidak layak untuk dijalankan karena nilai IRR lebih kecil dari nilai suku bunga yang
ditetapkan.
Tabel 21. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan B/C Ratio
Untuk Tabel 21 menjelaskan pada saat penurunan jumlah giling tahunan 0% dan 10%
usaha penggilingan padi masih layak untuk dijalankan karena nilai B/C Ratio > 1. Sedangkan
pada saat penurunan jumlah giling tahunan 20% membuat usaha penggilingan padi menjadi tidak
layak karena tidak memenuhi syarat kelayakan.
Penurunan Jumlah
Giling Tahunan
(%)
NPV
(Rp)
0 14,447,356
10 3,576,215
20 -7,294,927
Penurunan Jumlah
Giling Tahunan
(%)
IRR
(%)
0 27.03
10 18.33
20 9.94
Penurunan Jumlah
Giling Tahunan
(%)
B/C
Ratio
0 1.68
10 1.17
20 0.66
41
Tabel 22. Analisis sensitivitas terhadap penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV, IRR,
dan B/C Ratio
Pada Tabel 22 merupakan gabungan dari Tabel 19, 20, dan 21. Dapat kita lihat bahwa
penurunan jumlah giling tahunan akan mempengaruhi kelayakan dari usaha penggilingan padi.
Pada saat penurunan jumlah giling mencapai 10 % usaha penggilingan padi masih layak karena
NPV > 0, IRR > discount rate (15%), B/C Ratio > 1, tetapi pada saat penurunan jumlah giling
tahunan mencapai 20%, maka usaha penggilingan padi menjadi tidak layak. Hal ini dapat dilihat
dari NPV, IRR, dan B/C ratio yang tidak memenuhi syarat kelayakan. Hasil perhitungan dapat
dilihat pada Lampiran 32-33.
Gambar 12. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan NPV
Gambar 13. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan IRR
14
4
-7
-10
-5
0
5
10
15
20
0 10 20
NP
V (
Ju
ta R
p)
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
27.03
18.33
9.94
0
5
10
15
20
25
30
0 10 20
IRR
(%
)
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
Penurunan Jumlah
Giling Tahunan
(%)
NPV
(Rp)
IRR
(%)
B/C
Ratio
0 14,447,356 27.03 1.68
10 3,576,215 18.33 1.17
20 -7,294,927 9.94 0.66
42
Gambar 14. Grafik hubungan antara penurunan jumlah giling tahunan dengan B/C Ratio
Grafik pada Gambar 12, 13, dan 14 terlihat grafik linier untuk perubahan variabel kritis
yaitu penurunan jumlah giling tahunan 0%, 10%, dan 20% dengan diikuti nilai masing-masing
untuk NPV, IRR, dan B/C Ratio. Dari ketiga grafik dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai
variabel kritis yang berubah yaitu penurunan jumlah giling tahunan akan mengakibatkan semakin
kecil nilai NPV, IRR, dan B/C Ratio yang didapatkan. Dengan jumlah giling tahunan yang tinggi
memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap perubahan-perubahan faktor kristis. Hal
tersebut dikarenakan dengan jumlah giling yang tinggi, biaya pokok akan rendah dan pemasukan
yang diperoleh tinggi, sehingga dapat menutupi biaya operasional yang tinggi.
1.68
1.17
0.66
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
0 10 20
B/C
Ra
tio
Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)
top related