hubungan kondisi sanitasi dan persoonal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita
Post on 14-Jan-2017
418 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Saat ini indonesia menerapkan paradigma sehat yang merupakan
paradigma pembangunan kesehatan. Paradigma ini merupakan upaya untuk lebih
meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Prioritas utama pada
paradigma sehat menekankan kepada upaya pelayanan peningkatan kesehatan
(promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) (Depkes RI, 2008).
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat
terwujud melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan
sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, secara adil dan merata (Depkes RI, 2008).
Dalam rangka meningkatkan kesehatan di dunia dibentuklah Sustainable
Development Goals (SDG’s) yang merupakan kelanjutan dari program Millenium
Development Goal’s (MDG’s). Adapun tujuan dari SDG’s terdiri dari 8 tujuan
pembangunan millenium dan 17 tujuan global. Salah satu dari tujuan
pembangunan millenium adalah menurunkan angka kematian anak yaitu dengan
cara mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun
(Anonim, 2015).
Berdasarkan data WHO tahun 2010, pada Weekly Morbidity and Mortality
Report (WMMR) IDP husting and crisis affected districts, Kyberpakhtunkhwa,
1
2
Pakistan, dilaporkan bahwa dari semua jumlah kunjungan pasien 12% diantaranya
adalah kasus penyakit diare dan dari semua jumlah kunjungan pasien 23%
diantaranya adalah balita, dimana yang menderita penyakit diare adalah 9% dari
semua jumlah kunjungan pasien balita.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, insiden dan
period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 %
dan 7,0 %. Lima provinsi dengan insiden maupun period prevalen diare tertinggi
adalah Papua, Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan insiden
diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%), Sulawesi
Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%). Di Sumatera Utara insiden rate diare sebesar
4,9 % terjadi penurunan sebesar 3,9% dari tahun 2007. Karakteristik diare balita
tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan (7,6%), laki-laki (5,5%),
tinggal di daerah pedesaan (5,3%).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih
tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 insidens rate penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik
menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan
tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga
masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB
di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR
3
2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756
orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi
KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73
orang (CFR 1,74 %) (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan pada tahun
2015 angka kesakitan diare di Kota Medan sebanyak 22.952 jiwa, angka ini turun
dari tahun 2014 sebanyak 25.575 jiwa (12.364 laki-laki dan 13.211 perempuan).
Dengan mengevaluasi data ini dapat disimpulkan bahwa angka kesakitan diare
dari tahun 2014 ke 2015 mengalami penurunan.
Profil Kesehatan di Puskesmas Medan Belawan tahun 2015, penyakit diare
menempati urutan kedua dalam sepuluh penyakit terbesar setelah ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut) dengan kasus sebanyak 1205 kasus. Pada tahun 2015
jumlah balita yang terkena diare pada balita di kelurahan Belawan I sebanyak 315
jiwa.
Penyakit diare dapat disebabkan beberapa faktor seperti sanitasi dasar dan
personal hygiene ibu. Menurut Mahfazah (2013), bahwa penyakit diare memiliki
hubungan erat dengan kurang tersedianya sarana air bersih, sarana pembuangan
tinja, sarana tempat pembungan sampah, sarana pembuangan air limbah dan
personal hygiene ibu. Faktor-faktor tersebut berhubungan langsung dengan
kondisi lingkungan dan perilaku perorangan sehingga jika keduanya saling
berinteraksi maka penyebaran penyakit diare semakin terus berkembang.
Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII Kelurahan Belawan I
Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu lingkungan yang terletak di
4
seberang laut tepatnya 700 meter dari permukaan. Lokasi yang terletak di
seberang laut menyebabkan kurangnya akses air bersih pada masyarakat sehingga
dalam memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat hanya mengharapkan air sumur
bor yang terbatas.
Berdasarkan data dari Kepala Lingkungan Kampung Nelayan Sebrang
Lingkungan XII bahwa dari 2250 jiwa dengan 565 Kepala Keluarga (KK)
terdapat hanya sebanyak 40 sumur bor yang menjadi sumber air bersih. Hal ini
menggambarkan akses air bersih yang terbatas sehingga dapat menyebabkan
risiko terjadinya penyakit diare. Menurut Cita (2014), menyatakan bahwa ada
hubungan antara kondisi sarana sanitasi air bersih dengan kejadian diare.
Kampung Nelayan Sebrang juga belum memiliki sarana tempat
pembuangan sampah rumah tangga yang memenuhi syarat. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pengelolaan sampah
dibagi menjadi dua kegiatan yaitu pengurangan sampah dan penangan sampah.
Sampah yang tidak ditangani dengan baik seperti pemilahan, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah akan menimbulkan
penyakit-penyakit seperti diare. Menurut Sudasman (2014), menyatakan bahwa
ada hubungan antara pengelolaan sampah rumah tangga dengan kejadian diare.
Menurut Ketua Program Water, Sanitation dan Hygiene (WASH) dari
UNICEF Indonesia Dr. Aidan Cronin (2015), menyatakan bahwa sekitar 88%
angka kematian anak akibat diare disebabkan oleh kesulitan mengakses air bersih
dan keterbatasan sistem sanitasi. Saat ini 63 juta penduduk di Indonesia masih
5
Buang Air Besar Sembarangan seperti di sungai dan laut. Kondisi ini sesuai
dengan Kampung Nelayan Sebrang yaang sebagian besar penduduknya masih
menggunakan WC cemplung sebagai sarana pembuangan tinja dan langsung
terbuang ke laut. Menurut Saragi (2014), menyatakan bahwa ada hubungan sarana
pembuangan tinja dengan kejadian diare. Kebiasaan ini menyebabkan terjadinya
penyebaran penyakit-penyakit seperti diare. Hal ini mulai dari tinja yang terinfeksi
mencemari tanah atau air permukaan yang terkontaminasi bibit penyakit yang
berasal dari tinja diminum oleh manusia, tinja yang terinfeksi dihinggapi kecoa
atau lalat kemudian hinggap pada makanan atau alat-alat makan (piring, sendok
dan gelas) (Depkes RI, 2006).
Selain sanitasi dasar faktor penyebab diare juga salah satunya adalah
personal hygiene ibu dalam menangani balita. Wardhani (2010) menyebutkan
dalam hasil penelitiannya bahwa erat kaitannya personal hygiene dengan diare
sebagai agen pembawa penyakit. Perilaku ibu juga berkontribusi meningkatkan
kasus diare pada balita. Ibu merupakan orang terdekat dengan balita yang
mengurus segala keperluan balita seperti mandi, menyiapkan dan memberi
makanan/minuman. Perilaku ibu yang tidak hygiene antara lain seperti tidak
mencuci tangan sebelum memberi makan anak, tidak mencuci bersih peralatan
masak dan makan, tidak mencuci tangan setelah buang air besar (BAB) dan
sebelum memasak. Hal tersebut dapat menyebabkan balita terkena diare.
Berdasarkan pantauan awal yang dilakukan penulis di lokasi penelitian
status personal hygiene warga di sekitar lokasi penelitian dapat dikatakan masih
rendah, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit
6
diare pada anak balita, masih tingginya jumlah keluarga yang memiliki WC yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan masih ada sejumlah keluarga yang biasa
buang air besar di laut ketika surut. Sementara itu warga masih menggunakan
jamban cemplung tempat membuang kotoran manusia langsung ke laut yang
dapat mencemari air yang digunakan sehari-hari sehingga meningkatkan resiko
penyebaran penyakit diare pada masyarakat.
Dari data yang ada di atas penulis tertarik untuk mengetahui hubungan
sanitasi dasar dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di
Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan Tahun 2015.
1.2. Perumusan Masalah
Angka kesakitan diare di Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII
Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan Kota Medan menduduki
peringkat kedua setelah ISPA dengan jumlah 1205 jiwa dan terdapat 315 jiwa
pada balita. Penyakit ini merupakan penyakit yang berbasis lingkungan yang
sangat erat kaitannya dengan sanitasi dasar dan personal hygiene. Berdasarkan
permasalahan tersebut perlunya analisis akan hubungan sanitasi dasar dan
personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di Kampung Nelayan
Sebrang Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan.
7
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Sanitasi Dasar dan Personal Hygiene Ibu
dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan
XII Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan Kota Medan Tahun 2015.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kondisi sanitasi dasar yang meliputi sarana air bersih,
sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah, serta kondisi
sanitasi jamban.
2. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita.
3. Untuk mengetahui hubungan sanitasi dasar dengan kejadian diare pada balita.
4. Untuk mengetahui hubungan personal hygiene ibu yang meliputi kebiasaan
mencuci tangan ibu setelah Buang Air Besar (BAB), kebiasaan mencuci
tangan sebelum pemberian makan pada balita, kebiasaan buang air besar pada
balita dengan kejadian diare.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai data yang diperlukan untuk
kegiatan penyuluhan dalam rangka membangun sanitasi kesehatan
lingkungan serta membina partisipasi masyarakat dalam meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat di Kampung Nelayan Sebrang.
2. Sebagai bahan masukan bagi petugas sanitasi puskesmas dalam rangka
peningkatan peran serta masyarakat untuk menjaga kesehatan lingkungan.
8
3. Sebagai bahan informasi mengenai pentingnya sanitasi dasar, personal
hygiene di Kampung Nelayan Sebrang Kelurahan Belawan I Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan Tahun 2015.
4. Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sanitasi
Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih
dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran
dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan
menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia (Mundiatun, 2015).
2.2 Sanitasi Dasar
Sanitasi dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku disengaja dalam
pembudayaan hidup bersih dengan maksud bersentuhan langsung dengan kotoran
dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga
dan meningkatkan kesehatan manusia (Manalu, 2012). Sanitasi dasar yang dapat
menyebabkan diare, antara lain :
1. Sarana air bersih.
2. Pembuangan kotoran manusia/tinja.
3. Pembuangan air limbah.
4. Pengelolaan sampah.
2.2.1 Sarana Air Bersih
Kualitas air sangat menentukan kesehatan manusia. Menurut laporan
United Nation Environtmental Program (UNEP) dalam buku Wiryono (2013),
setiap tahun jumlah balita yang meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan
buruknya kualitas air mencapai 1,8 juta jiwa. Air merupakan kebutuhan yang
sangat penting bagi kehidupan manusia setelah udara. Dalam tubuh manusia
10
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa memiliki, sekitar 55-60%
berat badan terdiri dari air, anak-anak sekitar 65%, dan untuk bayi sekitar 80%.
Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk keperluan mandi, mencuci,
memasak, membersihkan rumah, pelarut obat, dan pembawa bahan buangan
industri (Chandra, 2012). Sedangkan Menurut WHO bahwa manusia memerlukan
60-120 liter per hari. Sedangkan dinegara berkembang termasuk Indonesia
memerlukan air antara 30-60 liter per harinya.
Penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya
penyakit di masyarakat. Volume rata-tara kebutuhan air setiap individu perhari
berkisar 150-200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi
bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan masyarakat.
(Chandra, 2012).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tertuang dua
syarat penyediaan air bersih yaitu secara kuantitas dan kualitas (Depkes RI, 2005).
a. Syarat Kuantitas
Syarat kuantitas adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari tergantung
kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Semakin banyak aktifitas yang dilakukan
maka kebutuhan air akan semakin besar. Secara kuantitas di Indonesia
diperkirakan dibutuhkan air sebanyak 138,5 liter/orang/hari dengan perincian
yaitu untuk mandi, cuci kakus 12 liter, minum 2 liter, cuci pakaian 10,7 liter,
kebersihan rumah 31,4 liter (Slamet, 2002).
11
b. Syarat Kualitas
Adapaun persyaratan kualitas air bersih meliputi :
1. Parameter Fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah tidak berwarna, tidak
berasa, suhu dibawah suhu udara diluarnya. Maka dari itu untuk mengenal syarat
fisik dikehidupan sehari-hari sangatlah tidak sukar.
2. Parameter Bakteriologis
Air bersih untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala
bakteri, terutama bakteri patogen. Sebagai indikator bateriologik adalah basil coli
(Escherichia coli). Apabila dijumpai basil coli dalam jumlah tertentu
menunjukkan air telah tercemar kotoran manusia maupun binatang.
3. Parameter Kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah
yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air,
akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat
kimia yang terdapat dalam air idealnya antara lain adalah :
Tabel 2.1 Bahan kimia dalam air
Jenis Bahan Kadar yang dibenarkan (mg/l)Flour (F)Chlor (Cl)Arsen (As)Tembaga (Cu)Besi (Fe)Zat OrganikpH (Keasaman)CO2
1-1,52500,051,00,3106,5-9,00
Sumber : Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, hal 177
12
Syarat sarana air bersih yang sehat adalah:
1. Jarak sumber air bersih dengan sumber pencemaran ≥ 10 meter.
2. Harus dijaga kebersihannya seperti tidak ada genangan air di sekitar
sumber air, tidak ada bercak-bercak kotoran, tidak berlumut pada
lantai/dinding.
3. Ember/gayung pengambil air harus tetap bersih dan tidak diletakkan di
lantai.
4. Kondisi fisik, air tidak berasa, tidak berbau, berwarna, tidak keruh
(Permenkes RI No.416 Tahun 1990).
2.2.1.1 Sumber Air Bersih
Menurut Kusnoputranto (1986) keperluan air sehari-hari dapat diperoleh
dari beberapa macam sumber diantaranya, air hujan, air permukaan, air tanah
1. Air Hujan
Air hujan merupakan penyubliman awan/uap air menjadi murni yang
ketika turun dan melalui udara akan melarutkan benda-benda yang terdapat
diudara. Diantara benda-benda yang terlarut dari udara tersebut dapat berupa gas
karbondioksida, oksigen, nitrogen, jasad renik, dan debu.
2. Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber yang dapat dipakai untuk
bahan baku air bersih. Dalam menyediakan air bersih terutama untuk air minum,
dalam sumbernya perlu diperhatikan tiga segi yang penting yaitu : mutu air baku,
banyaknya air baku, dan kontinuitas air baku. Air permukaan yang meliputi
badan-badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk, rawa, air terjun, dan
13
sumur permukaan, sebagian besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan
bumi.
3. Air Tanah
Air tanah berasal dari air hujan yang yang jatuh ke permukaan bumi yang
kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan kedalam tanah dan mengalami
proses filtrasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan tersebut,
didalam perjalanannya ke bawah tanah, membuat air tanah menjadi lebih baik dan
lebih murni dibandingkan dengan air permukaan.
2.2.1.2 Pengaruh Air Terhadap Kesehatan
Air yang tidak dikelola dengan baik akan dapat menimbulkan dampak
negatif berupa penyakit bagi penggunanya, menurut (Kusnoputranto, 1986) air
berperan dalam memindahkan penyakit kepada manusia dengan empat cara yaitu :
1. Water Borne Disease
Kuman patogen dapat berada didalam air minum untuk manusia dan
hewan. Bila air yang mengandung kuman patogen ini terminum maka dapat
terjadi penyakit. Diantara penyakit-penyakit yang disebakan olehnya seperti
kholera, thypoid, hepatitis infeksiosa, dysentri basiler.
2. Water Washed Disease
Penularan dalam penyakit ini berkaitan erat dengan air bagi kebersihan
umum alat-alat terutama alat dapur dan makan serta kebersihan perorangan.
Dengan terjaminnya kebersihan oleh tersedianya air yang cukup, maka penyakit-
penyakit tertentu dapat dikurangi penularannya pada manusia. Kelompok penyakit
ini banyak didapatkan didaerah yang beriklim tropis.
14
Peranan terbesar air bersih dalam cara penularan water washed disease
terutama berada didalam bidang hygiene dan sanitasi.
Kelompok penyakit yang sangat dipengaruhi oleh penularan cara ini sangat
banyak dan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Penyakit-penyakit infeksi saluran pencernaan seperti diare
Diare merupakan penyakit yang ditularkan melalui faecal oral. Maka dari
itu, penyakit diare dapat ditularkan melalui beberapa jalur, diantaranya air dan
peralatan dapur yang dicuci dengan air. Contoh penyakitnya berupa kholera,
thypoid, hepatitis infeksiosa dan dysentri basiler.
2. Penyakit infeksi kulit dan selaput lendir
Golongan penyakit ini sangat erat kaitannya dengan hygiene perorangan
yang buruk. Pada umumnya penyakit ini dapat diturunkan dengan menyediakan
air bagi kebersihan perorangan.
3. Penyakit-penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh insekta parasit pada kulit dan
selaput lendir.
Kelompok penyakit ini sangat ditentukan oleh tersedianya air bersih untuk
hygiene perorangan yang ditujukan untuk mencegah investasi insekta parasit pada
tubuh dan pakaian. Insekta paraasit akan mudah berkembangbiak dan
menimbulkan penyakit bila kebersihan perorangan dan kebersihan umum tidak
terjamin. Parasit yang termasuk dalam kelompok ini adalah lice, Sarcoptes
scabieae, Typhus endemik, Louse borne relapsing fever.
3. Water Based Disease
15
Penyakit yang ditularkan oleh bibit penyakit yang sebagian besar siklus
hidupnya di air seperti Schistosomiasis. Larva Schistosoma hidup di dalam keong-
keong air. Setelah waktunya larva ini akan mengubah bentuk menjadi Cercaria
dan menembus kulit (kaki) manusia yang berada di dalam air tersebut. Penyakit
ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus
kehidupannya berhubungan dengan schistosomiasis.
4. Water Related Insects Vectors
Penyakit yang ditularkan melalui vektor penyakit yang sebagian atau
seluruhnya perindukan hidupnya tergantung pada air misalnya Malaria, Demam
berdarah, Filariasis, Yellow fever, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Slamet (2002), peran air dalam menularkan penyakit
meliputi:
1. Air sebagai penyebar mikroba pathogen
2. Air sebagai sarang insekta penyebar penyakit
3. Jumlah air yang tersedia tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat
membersihkan dirinya dengan baik
4. Air sebagai sarang hospes sementara penyakit.
2.2.2 Sarana Pembuangan Kotoran Manusia/Tinja
2.2.2.1 Pengertian Tinja
Tinja adalah buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus
sebagai sisa dari proses pencernaan makanan disepanjang sistem saluran
pencernaan (tractus digestifus) (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002).
16
Pembuagan tinja merupakan salah satu bagian penting dari kesehatan
lingkungan. Hampir disemua negara, pembuangan tinja yang layak merupakan
kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Pembuangan yang tidak baik dan
tidak saniter dari tinja manusia yang terinfeksi berperan dalam kontaminasi dari
air tanah dan sumber-sumber air bersih (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002).
2.2.2.2 Sumber Tinja
Sumber tinja saat ini adalah bersumber dari manusia. Dalam hubungannya
dengan stratregi penanganan tinja, manusia sebagai sumber tinja dibedakan
menjadi dua macam, yaitu : manusia sebagai individu atau perorangan dan
manusia sebagai kelompok (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002).
2.2.2.3 Transmisi penyakit dari tinja
Manusia adalah reservoir dari sebagian besar penyakit-penyakit dan hal
ini lambat laun akan menurunkan kesehatannya. Penyakit yang penularannya
melalui tinja (faecal borne infection) merupakan salah satu penyebab kematian
maupun cacat. Tetapi dari sebagian penyakit tersebut dapat dikendalikan melalui
sanitasi yang baik terutama pembungan tinja yang saniter dan memenuhi syarat
kesehatan. Transmisi penyakit dari orang sakit atau carier ke manusia sehat
melalui suatu mata rantai tertentu. Agar transmisi penyakit dapat berlangsung
diperlukan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Agen penyebab (causative/etiological agent).
2. Reservoir atau sumber infeksi dari agen penyebab.
3. Cara menghindar dari reservoir.
4. Cara transmisi dari reservoir ke pejamu baru yang potensial.
17
5. Cara masuk ke pejamu baru.
6. Pejamu yang rentan.
Gambar 2.1Transmisi penyakit melalui tinja
Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002)
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa tinja merupakan sumber
transmisi penyakit. Banyak cara yang dilalui oleh agen penyebab dari penyakit
dalam mencapai pejamu. Tergantung kepada kondisi dan situasi sehingga mata
rantai bisa berbeda-beda. Pemutusan rantai pencegahan merupakan salahsatu
tindakan agar tidak terjadinya sakit. Salah satu caranya adalah dengan cara
penyediaan jamban agar tinja dapat terisolasi sebagai sumber infeksi.
Tinja/Sumber Infeksi
Tanah
Serangga/Tikus
Tangan
Air
Makanan/sayuran/
buah
Pejamu baru
Sembuh
Mati
Cacat
18
Gambar 2.2Pemutusan Mata Rantai Transmisi Penyakit Melalui Tinja
Sumber : (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002)
Maka dari itu, akibat mata rantai penyakit oleh tinja perlu dilakukan
tindakan pencegahan agar penyakit tidak menular. Pencegahan itu memutuskan
mata rantai penyakit menggunakan rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja
dengan jamban yang saniter. Rintangan sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja
sebagai sumber infeksi.
2.2.2.4 Karakteristik Tinja
Menurut Azrul Azwar dalam buku H.M. Soeparman & Suparmin (2002),
perkiraan manusia menghasilkan tinja rata-ratanya setiap hari sekitar 83 gram.
R
I
N
T
A
N
G
A
N
S
A
N
I
T
A
S
I
AIR
TANGAN
Pejamu Terlindung
Tinja/ Sumber Infeksi
19
Tabel 2.2 Perkiraan komposisi tinja tanpa air seniKomponen Kandungan (%)
AirBahan Organik (dari berat kering)Nitrogen (dari berat kering)Fosfor (Sebagai P2O5) (dari berat kering)Potasium (sebagai K2O) dari berat keringKarbon (dari berat kering)Kalsium (Sebagai CaO) (dari berat kering)C/N rasio (dari berat kering)
66-8088-975,0-7,03,0-5,41,0-2,540-554-55-10
Sumber : Gotaas (1956, hlm 35) dalam buku (H.M. Soeparman & Suparmin, 2002)
2.2.2.5 Pengertian Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu tempat tertentu, sehingga kotoran
tersebut dalam suatu tempat tertentu tidak menjadi penyebab penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman (Depkes RI, 1995).
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher
angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya (Proverawaty dan Rahmawaty 2012)
Penyediaan jamban merupakan salah satu upaya untuk mencegah
terjadinya penyakit. Ditinjau dari sanitasi lingkungan pembungan tinja yang tidak
saniter akan menyebabkan pencemaran lingkungan terutama pada tanah dan air.
Hal ini telah dikemukakan diatas bahwa pencemaran penyakit dapat melalui
media air yang tidak bersih.
20
2.2.2.6 Jenis Jamban
Jamban yang baik adalah jamban yang tidak menimbulkan bau, dan
memiliki kebutuhan air yang cukup dan berada di dalam rumah. Jamban/kakus
dapat dibedakan atas beberapa macam :
1. Jamban cubluk (Pit Privy)
Jamban yang tempat penampungan tinjanya dibangun dibawah tempat
injakan atau dibawah bangunan jamban. Fungsi dari lubang adalah mengisolasi
tinja sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan penyebaran dari bakteri
secara langsung ke pejamu yang baru. Jenis jamban ini, kotoran langsung masuk
ke jamban dan tidak terlalu dalam karena akan mengotori air tanah, kedalamannya
sekitar 1,5-3 meter (Mashuri, 1994).
2. Jamban Empang (Overhung Latrine)
Jamban yang dibangun diatas empang, sungai ataupun rawa. Jamban
model ini ada yang kotorannya tersebar begitu saja, yang biasanya dipakai untuk
makanan ikan, ayam.
3. Jamban Kimia (Chemical Toilet)
model ini biasanya dibangun pada tempat-tempat rekreasi, pada
transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang dan lain-lain. Disini tinja
disenfeksi dengan zat-zat kimia seperti caustic soda dan pembersihnya dipakai
kertas tissue (toilet paper). Jamban kimia sifatnya sementara, karena kotoran yang
telah terkumpul perlu di buang lagi.Jamban kimia ada dua macam, yaitu :
a. Tipe lemari (commode type)
b. Tipe tangki (tank type)
21
c. Jamban Leher Angsa (Angsa Trine)
Jamban leher angsa adalah jamban leher lubaang closet berbentuk
lengkungan, dengan demikian akan terisi air gunanya sebagai sumbat sehingga
dapat mencegah bau busuk serta masuknya binatang-binatang kecil. jamban leher
angsa merupakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan (Warsito, 1996).
2.2.2.7 Syarat Jamban Sehat
Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban tersebut sehat jika
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : (Depkes RI, 1995)
1. Tidak mencemari sumber air minum (jarak sumber air bersih ke penampungan
kotoran minimal 10 meter).
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
3.Air seni, air pembersih dan penggelontoran tidak mencemari tanah disekitarnya.
4. Mudah dibersihkan, aman digunakan dan harus terbuat dari bahan-bahan yang
kuat dan tahan lama.
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang.
6. Luas ruangan cukup.
7. Ventilasi cukup baik.
8. Tersedia air dan alat pembersih.
9. Cukup penerangan.
Menurut WSP (2009) Jamban Sehat adalah fasilitas pembuangan tinja
yang sesuai syarat
1. Mencegah kontaminasi ke badan air.
22
2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja.
3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang lainnya.
4. Mencegah bau yang tidak sedap.
5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik, aman dan mudah dibersihkan.
2.2.3 Sarana Pembuangan Air Limbah
2.2.3.1 Pengertian Air Limbah
Air limbah aadalah sisa air yang dibuang berasal dari buangan rumah
tangga, industri, maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya
mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang sangat membahayakan kesehatan
manusia dan mengganggu lingkungan hidup (Adnani, 2011). Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, air limbah adalah sisa dari
suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air limbah dapat berasal dari
rumah tangga (domestic) maupun (industry).
Air limbah rumah tangga terdiri dari 3 fraksi penting :
1. Tinja (faeces), berpotensi mengandung mikroba patogen.
2. Air seni (urine), umumnya mengandung Nitrogen dan Fosfor.
3. Grey Water, air bekas cucian dapur, mesin cuci, dan kamar mandi. Grey water
ini sering juga disebut dengan sullage.
Air limbah rumah tangga (sullage) adalah air limbah yang tidak
mengandung ekskreta manusia dan dapat berasal dari buangan kamar mandi,
dapur, air cuci pakaian, dan lain-lain yang mungkin mengandung
mikroorganisme patogen. Volume air limbah rumah tangga bergantung pada
volume pamakaian air penduduk setempat. Penggunaan air untuk keperluan
23
sehari-hari mungkin kurang dari 10 liter per orang di daerah yang sumber
airnya berasal dari sumur pompa atau sambungan rumah sendiri, penggunaan
air dapat mendapat mencapai 200 liter per orang (Chandra, 2006).
Ada 5 cara pembuangan air limbah air limbah rumah tangga menurut
Chandra (2006), yaitu :
a. Pembuangan umum, yaitu melalui tempat penampungan air limbah yang
terletak di halaman
b. Digunakan untuk menyiram tanaman kebun
c. Dibuang ke lapangan peresapan
d. Dialirkan ke saluran terbuka
e. Dialirkan ke saluran tertutup atau selokan
Volume air limbah yang dihasilkan pada suatu masyarakat dipengaruhi
oleh beberapa faktor menurut Chandra (2012), antara lain:
a. Kebiasaan manusia. Semakin banyak orang menggunakan air semakin
banyak air limbah yang dihasilkan
b. Waktu. Air limbah yang dihasilkan bervariasi, di pagi hari manusia
cenderung menggunakan air dalam aktivitas sehari-hari. Akibatnya volume
air limbah yang dihasilkan meningkat daripada siang hari.
2.2.3.2 Dampak Buruk Air Limbah
Menurut (Mulia, 2005), air limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat
menimbulkan dampak buruk bagi makhluk hidup dan lingkungannya. Beberapa
dampak buruknya yaitu :
1. Gangguan Kesehatan
24
Air limbah dapat mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan
penyakit bawaan (waterborne disease). Adakalanya air limbah yang tidak dikelola
dengan baik juga dapat menjadi sarang vektir penyakit (misalnya nyamuk, lalat,
kecoa, dan lain-lain)
2. Penurunan Kualitas Lingkungan
Air limbah yang langsung dibuang ke air permukaan dapat mengakibatkan
pencemaran air permukaan tersebut. Misalnya, bahan organik yang terdapat dalam
limbah bila dibuang langsung kesungai dapat menyebabkan penurunan kadar
oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) didalam sungai tersebut. Dengan demikian
akan menyebabkan kehidupan didalam air yang membutuhkan oksigen akan
terganggu, dalam hal ini akan mengurangi perkembangannya.
3. Gangguan Terhadap Keindahan
Air limbah yang mengandung pigmen warna yang dapat menimbulkan
perubahan warna pada badan air penerima. Walaupun tidak menimbulkan
gangguan kesehatan akan tetapi pigmen warna ini akan mengganggu estetika
keindahan.
4. Gangguan Terhadap Kerusakan Benda
Air limbah yang mengandung zat-zat yang dapat dikonversi oleh bakteri
anaerobik menjadi gas yang agresif seperti H2S. Gas ini akan mempercepat proses
perkaratan pada benda yang terbuat dari besi.
Sedangkan menurut Chandra (2012), bahwa air limbah yang tidak
menjalani pengolahan yang benar tentunya dapat menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan. Dampak tersebut antara lain :
25
1. Kontaminasi dan pencemaran pada permukaan dan badan-badan air yang
digunakan oleh manusia
2. Mengganggu kehidupan dalam air, mematikan hewan dan tumbuhan air
3. Menimbulkan bau (sebagai hasil dekomposisi zat anaerobik dan zat anorganik)
4. Menghasilkan lumpur yang dapat mengakibatkan pendangkalan air sehingga
terjadi penyumbatan yang dapat menimbulkan banjir.
Berdasarkan Depkes RI Tahun 1993, syarat SPAL yang sehat adalah:
1. Tidak mencemari sumber air bersih.
2. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.
3. Tidak menimbulkan bau.
4. Tidak menimbulkan becek, kelembaban dan pandangan yang tidak
menyenangkan.
2.2.4 Sarana Pembuangan Sampah
2.2.4.1 Pengertian Sampah
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah juga didefinisikan sebagai
sisa-sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008).
Sampah diartikan sebagai benda yang tidak terpakai, tidak diinginkan dan
dibuang atau sesuatu yang tidak digunakan, tidak terpakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, serta tidak terjadi
dengan sendirinya (Mubarak dan Chayatin, 2009).
26
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat karena dari sampah
tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri
patogen) dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit
(vektor).
2.2.4.2 Jenis-Jenis Sampah
Menurut Slamet cit Suhartono (1998) sampah dibedakan berdasarkan sifat
biologis dan kimianya untuk mempermudah pengelolaannya, yaitu :
1. Sampah yang dapat membusuk (sisa makanan, daun, sampah kebun,
pertanian,dll).
2. Sampah yang tidak membusuk (kertas, plastik, karet, gelas, logam, dll).
3. Sampah yang berupa debu/abu.
4. Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan (sampah yang berasal dari industri
yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisis berbahaya).
2.2.4.3 Sumber-sumber Sampah
Menurut Adnani (2011) sumber sampah dibedakan menjadi enam besar
yaitu :
1. Sampah dari daerah pemukiman/sampah rumah tangga.
2. Sampah dari daerah perdagangan.
3. Sampah dari jalan raya.
4. Sampah dari industri.
5. Sampah dari daerah pertanian dan perkebunan.
6. Sampah dari tempat-tempat umum.
Menurut Entjang (2000), syarat tempat sampah yang baik adalah:
27
1. Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kedap air dan tidak mudah rusak.
2. Mempunyai tutup, mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan, sangat
dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori
tangan.
3. Ukuran tempat sampah sedemikian rupa, sehingga mudah diangkut oleh satu
orang.
2.2.4.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Sampah
Sampah dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat
baik kuantitas maupun kualitasnya. Menurut Slamet (2009), ada beberapa faktor
penting yang mempengaruhi jumlah sampah antara lain :
1. Jumlah Penduduk
Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin banya jumlah sampah
yang dihasilkan. Pengelolaan sampah ini berpacu dengan laju pertambahan jumlah
penduduk.
2. Keadaan Sosial Ekonomi
Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak
jumlah jumlah per kapita sampah yang dibuang. Kualitas sampahnyapun semakin
banyak bersifat tidak dapat membusuk.
3. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah,
karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan
produk manufaktur yang semakin beragam pula.
28
2.2.4.5 Pengelolaan Sampah
Menurut Notoatmodjo (2007) cara-cara pengelolaan sampah antara lain :
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah
tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus
membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah.
Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut diangkut ke
tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat
penampungan akhir sampah (TPA).
b. Pemusnahan dan pengolahan sampah
Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan
melalui berbagai cara, antara lain :
1. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah
kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
2. Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di
dalam tungku pembakaran (incinerator).
3. Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk
(kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan
sampah lain yang dapat membusuk.
Pengelolaan sampah yang kurang baik akan menyediakan tempat bagi
vektor-vektor penyakit yaitu serangga dan binatang pengerat untuk mencari
makan dan berkembang biak dengan cepat sehingga dapat mengganggu kesehatan
manusia.
29
2.2.4.6 Pengaruh Sampah Terhadap Kesehatan
Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek
yang langsung dan tidak langsung. Efek langsung disebabkan karena kontak
langsung dengan sampah tersebut. Misalnya, sampah yang mengandung kuman
patogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Efek tidak langsung berupa
proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah yang dirasakan oleh
masyarakat. Selain itu eefek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan
vektor yang berkembangbiak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun
sembarangan dapat menjadi sarang lalat dan tikus (Slamet, 2009).
Lalat merupakan vektor dari berbagai macam penyakit saluran pencernaan
seperti: diare, typus, cholera, dan sebagainya. Sedangkan tikus disamping
merusak harta benda masyarakat sering juga membawa pinjal yang dapat
menyebarkan penyakit pes (Adnani, 2011).
Tabel 2.3 Penyakit yang Ditimbulkan Akibat SampahNama Penyakit Penyebab PenyakitBawaan lalat :Dysenterie basillarisDysenterie amoebicaTyphus abdominalisCholeraAscariasisAncylostomiasis
Shigella shigaeEntamoeba histolyticaSalmonella typhiVibrio choleraeA. lumbricoidesA. duodenale
Penyakit Bawaan Tikus/PinjalPestLeptospirosis icterohaemorrhagicaRat bite Fever
Pasteurella pestisLeptospira icterohaemorrhagicaSteptobacillus moniliformis
KeracunanMetanCarbon monoxida, dioxidaHidrogen sulfidaLogam berat, dstSumber : Benenso, A., 1970 (7) dalam buku (Slamet, 2009)
30
2.3 Personal Hygiene
2.3.1 Pengertian Hygiene
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), hygiene diartikan sebagai
ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan atau
memperbaiki kesehatan. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), personal
hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan
hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Terjaganya kebersihan seseorang akan berdampak
pada kesehatan individu tersebut sehingga tidak mudah terserang oleh penyakit.
Menurut Rezeki (2015), hygiene adalah usaha kesehatan preventif yang
menitikberatkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu, maupun usaha
kesehatan pribadi hidup manusia. Adapun maksud dari hygiene juga memelihara,
melindungi diri dari bahaya penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan
sehingga tidak akan menimbulkan gangguan kesehatan pada kesehatan individu.
Menurut Maharani dan Yusiana (2013), salah satu faktor penyebab diare
pada balita adalah makanan yang terkontaminasi dan umumnya karena higiene
perorangan yang buruk dalam pengolahan makanan yang dilakukan oleh pengasuh
balita khusunya ibu.
2.3.2 Pengertian Personal Hygiene
Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yang berarti Personalm yang
artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
31
kesejahteraan fisik dan psikis (Wartonah, 2004). Menurut Entjang dalam Saragi
(2014), bahwa maksud dari personal hygiene adalah upaya dari seseorang untuk
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.
Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Perawatan diri yang
kurang adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya. Berbagai penyakit infeksi dan menular pada manusia
disebabkan oleh tingkat kebersihan diri yang kurang (Perry dan Potter, 2005).
2.3.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Personal Hygiene
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010), ada beberapa faktor yang
memengaruhi personal hygiene seperti:
a. Citra Tubuh (Body Image)
Gambaran individu terhadap dirinya sangat memengaruhi kebersihan diri.
Misalnya, karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
terhadap kebersihannya.
b. Praktik Sosial
Interaksi sosial seseorang selama hidupnya dapat meningkatkan personal
hygiene. Selama masa kanak-kanak, anak mendapatkan praktik hygiene dari
orang tua seperti menggosok gigi sebelum tidur. Hal ini akan menjadi
kebiasaan yang berlanjut hingga dewasa.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, sampo dan alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
32
memperolehnya. Pada individu dengan ekonomi yang mampu akan ada
kesadaran untuk mandi minimal dua kali sehari karena fasilitas air bersih
yang tersedia dalam jumlah yang cukup.
d. Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita
diabetes melitus yang harus selalu menjaga kebersihan kakinya.
2.3.4 Jenis-jenis Personal Hygiene
1. Kebersihan Kulit
Gambaran orang terhadap diri sendiri berasal dari cerminan kulitnya,
kebersihan kulit sangat erat kaitannya dengan kebersihan lingkungan, seperti
dari segi pola makan, kebersihan diri. Adapun hal-hal yang dapat
mempengaruhi kebersihan kulit, yaitu :
a. Menggunakan barang keperluan sehari-hari milik sendiri.
b. Mandi minimal 2 kali sehari.
c. Mandi memakai sabun.
d. Menjaga kebersihan pakaian.
e. Makanan yang bergizi terutama sayur dan buah.
f. Menjaga kebersihan lingkungan.
2. Kebersihan Rambut
Usaha kesehatan rambut dapat diperhatikan dengan beberapa hal, yaitu :
33
a. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci rambut sekurang
kurangnya 2x seminggu.
b. Mencuci ranbut memakai shampoo atau bahan pencuci rambut lainnya.
c. Sebaiknya menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri.
3. Kebersihan Gigi
Menggosok gigi dengan teratur dan baik akan memberikan keindahan dan
kesehatan gigi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi
adalah :
a. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan.
b. Memakai sikat gigi sendiri.
c. Menghindari makan-makanan yang merusak gigi.
d. Membiasakan makan buah-buahan yang menyehatkan gigi.
e. Memeriksa gigi secara teratur.
4. Kebersihan mata
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan mata adalah :
a. Membaca di tempat yang terang.
b. Memakan makanan yang bergizi.
c. Istirahat yang cukup dan teratur.
d. Memakai peralatan sendiri dan bersih ( seperti handuk dan sapu tangan).
e. Memlihara kebersihan lingkungan.
5. Kebersihan telinga
Hal yang perlu diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah :
a. Membersihkan telinga secara teratur.
34
b. Jangan membersihkan telinga dengan benda tajam.
6. Kebersihan Tangan dan Kuku
Kebersihan tangan dan kuku sangat penting bagi kesehatan pribadi.
Sebagaimana yang diketahui bahwa kebersihan tangan dan kuku yang kotor
dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan dapat menimbulkan berbagai
penyakit. Beberapa usaha dapat dilakukan seperti :
a. Membersihkan tangan sebelum makan.
b. Memotong kuku secara teratur.
c. Mencuci kaki sebelum tidur.
2.3.5 Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hygiene
Dampak yang timbul jika seseorang tidak merawat diri dengan baik
maka akan terkena penyakit. Penyakit merupakan dampak dari kurangnya
personal hygiene pada seseorang. Berikut dampak yang sering timbul pada
masalah personal hygiene menurut Tarwoto dan Wartonah (2010):
1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang sering
terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut,
infeksi pada mata dan telinga, serta gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
35
2.3.6 Kebiasaan Mencuci Tangan Dengan Sabun Setelah Buang Air Besar
Menurut Fathonah (2005), menyatakan bahwa pencucian tangan dengan
sabun sebagai pembersih, penggosokan dan pembilasan dengan air mengalir
akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung
mikroorganisme. Menurut Depkes RI (2007), mencuci tangan dengan sabun
sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan di restoran, atau
warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak. Orang yang
mengasuh anak setiap tangannya akan terkontak dengan feses, urine, dubur
setelah buang air besar (BAB). Maka dari itu tangan akan segera dicuci dengan
sabun agar terhindar dari kuman penyakit.
2.3.7 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Sebelum Makan
Cuci tangan belum menjadi budaya yang dilakukan masyarakat luas di
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang
mencuci tangan hanya dengan menggunakan air saja dan mencuci tangan
dengan sabun hanya dilakukan setelah makan. Mencuci tangan dengan sabun
merupakan tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari
menggunakan air bersih dan sabun oleh manusia agar memutuskan mata rantai
terjadinya suatu penyakit (Rompas, Tuda dan Ponidjan, 2013).
2.3.8 Kebiasaan Buang Air Besar
Buang Air Besar (BAB) yang tidak pada tempatnya akan mengakibatkan
penyebaran penyakit yang dibawa oleh vektor. Perilaku buang air besar yang
tidak sehat seperti buang air besar di sungai, laut saat ini masih banyak
dilakukan oleh masyarakat di negara berkembang. Menurut Kusnoputranto
36
(2001), bahwa tempat-tempattersebut adalah tempat yang tidak layak dan tidak
sehat untuk buang air besar karena dapat menimbulkan masalah kesehatan
manusia.
2.4 Diare
2.4.1 Pengertian Diare
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek sampai mencair, bahkan dapat berupa air saja dan
frekuensinya lebih dari tiga kali dalam satu hari ( Depkes RI, 2011). Diare
merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air
besar lebih dari biasanya (> 3 kali sehari) disertai dengan perubahan
konsistensi tinja menjadi cair atau lembek, dengan/tanpa darah dan/atau lendir
(Suraatmadja, 2010). Sedangkan menurut Irianto (2004), diare adalah suatu
kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,
serta frekuensinya lebih dari 3 kali sehari.
2.4.2 Klasifikasi Diare
Menurut Irianto (2004), penyakit diare dapat dikelompokkan menjadi 2
jenis, yaitu diare akut dan diare kronik
a. Diare Akut
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan
anak yang sebelumnya sehat. Biasanya diare ini berlangsung selama kurang
dari 14 hari.
Diare akut pada anak adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih
dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan
37
atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Untuk
bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Akan tetapi, terkadang
pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi
konsistensinya cair, keadaan seperti ini sudah dapat disebut diare (Subagyo dan
Santoso, 2012).
b. Diare Kronik
Diare kronik adalah diare yang berlanjut selama 2 minggu atau lebih (>14
hari), dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama
masa diare tersebut.
2.4.3 Etiologi
Secara keseluruhan penyebab diare dibagi dalam dua kelompok yaitu diare
infeksius dan diare non infeksius. Penyebab infeksi utama timbulnya diare
umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar diare akut
oleh karena infeksi adalah non inflamatori dan inflamatori. Menurut World
Gastroenterology Organization global guidelines 2012, etiologi diare akut dibagi
atas tiga penyebab:
1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas
2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus
38
3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis (World
Gastroenterology Organizsation, 2012).
2.4.4 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya diare adalah kontaminasi lingkungan dan
meningkatnya paparan terhadap enteropatogen. Faktor risiko lainnya yaitu
anak-anak, defisiensi imunitas, measles, malnutrisi, dan pemberian ASI
eksklusif yang singkat serta tidak memadainya penyedian air bersih,
pencemaran air oleh tinja, kurangnya kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik (Subagyo dan Santoso, 2012).
Selain itu, lingkungan tempat tinggal mengambil peranan penting terhadap
kejadian diare. Sebuah studi yang dilakukan di Indonesia khususnya pada
masyarakat dengan sosioekonomi rendah pada tahun 2013 menunjukan adanya
hubungan higienitas makanan yang buruk yang disajikan oleh ibu kepada
anaknya menyebabkan terjadinya diare pada anak < 2 tahun (Agustina et al,
2013).
Ketersediaan air yang terkontaminasi serta kebersihan tangan pada orang
tua ataupun pengasuh menjadi faktor risiko terjadinya penyakit diare (Mattioli
et al, 2014).
2.4.5 Pencegahan Diare
Banyak faktor yang secara berhubungan langsung maupun tidak
langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare. Faktor pendorong
39
tersebut terdiri dari faktor agent penjamu, faktor lingkungan dan faktor
perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan
terhadap diare tersebut diantaranya adalah tidak mendapatkan ASI eksklusif
selama dua tahun pada balita, kurang gizi, penyakit campak dan
imunodefisiensi. Faktor lingkungan dan perilaku yang dapat menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap diare diantaranya adalah tidak memadainya
penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, pembuangan tinja tidak higenis,
kebersihan perorangan dan lingkungan yang tidak baik, serta pengolahan dan
penyimpanan makanan yang tidak semestinya.
Berdasarkan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menjadi faktor pendorong terjadinya diare yang sudah dipaparkan di atas, berikut
ini pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare :
1. Pemberian ASI
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologi dengan adanya
antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai
daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang
disertai dengan susu botol. Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah
tumbuhnya bakteri penyebab diare.
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama
kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula
merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu formula
40
biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan
terjadinya gizi buruk.
2. Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan
masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping
ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit
lain yang menyebabkan kematian.
Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan
pendamping ASI yang lebih baik yaitu :
a) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih
meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak
berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari)
setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak
dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI bila mungkin.
b) Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta
menyuapi anak dengan sendok yang bersih.
c) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa makanan pada
tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada
anak.
41
3. Menggunakan Air Bersih yang Cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur
fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan
atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan,
makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai
dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah:
a) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
b) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat
lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan
serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk menjauhkan
air hujan dari sumber.
c) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan
gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.
d) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan.
4. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
42
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare.
5. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap
penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban,
dan keluarga harus buang air besar di jamban.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
a) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh
seluruh anggota keluarga.
b) Bersihkan jamban secara teratur.
c) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air
besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan
tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari
buang air besar tanpa alas kaki.
6. Membuang Tinja Bayi yang Benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal
ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak
dan orangtuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal
yang harus diperhatikan:
a) Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun atau
kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus.
43
b) Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan
mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bilas wadahnya atau
anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas koran atau
daun besar dan buang ke dalam kakus.
c) Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya.
7. Pemberian Imunisasi Campak
Diare sering timbul menyertai campak sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare oleh karena itu beri anak imunisasi campak
segera setelah berumur 9 bulan.
Anak harus diimunisasi terhadap campak secepat mungkin setelah usia 9
bulan. Diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang
sedang menderita campak dalam 4 mingggu terakhir. Hal ini sebagai akibat dari
penurunan kekebalan tubuh penderita. Selain imunisasi campak, anak juga harus
mendapat imunisasi dasar lainnya seperti imunisasi BCG untuk mencegah
penyakit TBC, imunisasi DPT untuk mencegah penyakit diptheri, pertusis dan
tetanus, serta imunisasi polio yang berguna dalam pencegahan penyakit polio.
Pencegahan terhadap diare atau pencarian terhadap pengobatan diare pada
balita termasuk dalam perilaku kesehatan. Adapun perilaku kesehatan menurut
Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan
dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
44
2. Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
3. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan (health
seeking behavior)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan.
4. Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya, dan sebagainya. Untuk menilai baik atau tidaknya
perilaku kesehatan seseorang, dapat dinilai dari domain-domain perilaku.
Domain-domain tersebut adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dalam
penelitian ini domain sikap tidak dinilai, karena merupakan perilaku tertutup
(convert behavior). Perilaku tertutup merupakan persepsi seseorang terhadap
suatu stimulus, yang mana persepsi ini tidak dapat diamati secara jelas.
Sementara tindakan termasuk perilaku terbuka, yaitu respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Hal ini dapat
secara jelas diamati oleh orang lain (Notoadmodjo, 2003).
P
45
2.5 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.3Kerangka Konsep Penelitian
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan sanitasi dasar dengan kejadian diare pada balita di Kampung
Nelayan Sebrang Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan
Belawan Kota Medan Tahun 2015.
2. Ada hubungan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di
Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan Tahun 2015.
Sanitasi Dasar- Sarana Air Bersih- Sarana Sanitasi Jamban- Sarana Pembuangan Limbah
Rumah Tangga- Sarana Pembuangan
Sampah
Personal Hygiene- Kebiasaan Ibu Cuci Tangan
Setelah Buang Air Besar- Kebiasaan Ibu Cuci Tangan
Sebelum Memberi Makan- Kebiasaan Buang Air Besar
Diare Pada Balita
46
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penilitian ini adalah penelitian survei bersifat deskriptif analitik dengan
rancangan cross sectional, yaitu untuk menggambarkan hubungan sanitasi dasar
dan personal higiene ibu dengan kejadian diare pada balita usia 12-59 bulan di
daerah Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII Kelurahan Belawan I
Kecamatan Medan Belawan Kota Medan Tahun 2015.
3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di daerah Kampung Nelayan Sebrang
Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Belawan Kota Medan
Tahun 2015. Alasan dilakukan penelitian di daerah ini karena belum dilakukan
penelitian dan tempat ini juga merupakan salahsatu daerah pinggiran kota medan
dan memiliki sanitasi lingkungan yang buruk.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai April 2016.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang
memiliki balita sebanyak 213 ibu rumah tangga yang berada di daerah Kampung
Nelayan Sebrang Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan
Belawan.
47
3.3.2. Sampel
Sampel diambil menggunakan teknik simple random sampling. Besar
sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (Lemeshow et
al.,1997)
n≥(Z
(1−α2)√Po(1−Po )+Z (1−β )√ pa (1−Pa ))
2
( Pa−Po )2
Keterangan :
n : besar sampel
Z1 : Nilai Deviasi normal pada tingkat kemaknaan = 0,05 Z
=1.96
Z1- : Kekuatan uji (ditetapkan peneliti) bila 10% Maka Z1- = 1,282
Po : Proporsi diare pada balita pada populasi yaitu: 0,09
Pa : Proporsi ibu yang memiliki balita yang diteliti yaitu : 0,29
Pa - Po : Selisih proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,2
n≥( 1, 96√0 , 09(1−0 ,09 )+1 ,282√0 , 29(1−0 , 29))2
(0 , 29−0 , 09)2
n≥(1 , 96√0 , 08+1 ,282√0 ,20 )2
(0,2 )2
n≥1 ,27170 ,04
n≥31 ,79
n≥32
48
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan rumus
diatas, maka diketahui jumlah sampel dari 213 Ibu didapat sampel sebanyak 32
responden.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data
primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dengan wawancara
dan observasi meliputi kondisi sanitasi dasar, perilaku higiene ibu dan penyakit
diare dengan menggunakan instrumen (kuesioner) yang telah dipersiapkan oleh
penulis mengenai sarana air bersih, keberadaan jamban, sarana pembungan limbah
dan sarana pembuangan sampah sedangkan yang menjadi responden wawancara
adalah ibu rumah tangga yang memiliki balita berusia 12-59 bulan.
3.4.2 Data Sekunder
Data penelitian ini diperoleh dari puskesmas Kecamatan Medan Belawan,
Kelurahan, Dinas Kesehatan, buku, serta jurnal kesehatan yang terkait dengan
penelitian ini.
3.4.3 Teknik Pengumpulan Data
1. Melakukan wawancara kepada responden (ibu balita) yang bertempat di daerah
Kampung Nelayan Sebrang Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I, Kecamatan
Medan Belawan Kota Medan mengenai kejadian diare pada balita dan personal
higiene ibu dengan menggunakan kuesioner.
49
2. Melakukan observasi rumah responden mengenai sanitasi dasar berupa
ketersediaan sarana air bersih, keberadaan jamban, sarana pembuangan sampah
dan sarana pembuangan air limbah.
3. Melakukan wawancara mengenai personal higiene ibu yang meliputi kebiasaan
ibu cuci tangan setelah buang air besar, kebiasaan ibu cuci tangan sebelum
memberi makan balita.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Variabel
Penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu :
1. Variabel Independen
Variabel independent dalam penelitian ini adalah kondisi sanitasi dasar
(sarana air bersih, keberadaan jamban, sarana saluran pembuangan air limbah,
sarana tempat pembuangan sampah) dan personal hygiene ibu (kebiasaan ibu cuci
tangan setelah buang air besar, kebiasaan ibu cuci tangan sebelum memberi
makan balita, kebiasaan buang air besar).
2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kasus diare pada balita di
daerah Kampung Nelayan Sebrang Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan
Belawan Kota Medan.
3.5.2 Definisi Operasional
1. Sanitasi dasar adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan
lingkungan yang sehat untuk menunjang kesehatan masyarakat, syarat
kesehatan lingkungan minimal, yang meliputi:
50
a. Sarana air bersih adalah asal atau jenis air yang digunakan dalam keperluan
hidup sehari-hari seperti dari sumur, PDAM, maata air ataupun tadah hujan.
b. Kepemilikan jamban adalah sarana yang digunakan untuk buang air besar
yang dimiliki oleh responden seperti jamban cemplung, jamban leher angsa
dan lain-lain.
c. Sarana Tempat Pembuangan sampah adalah sarana/cara yang digunakan
untuk membuang sampah yang dihasilkan dari rumah tangga yang
memenuhi syarat.
d. Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah adalah saluran air limbah rumah
tangga yang selanjutnya akan diolah/dialirkan ke tempat pembuangan untuk
mengurangi kontaminasi.
2. Personal hygiene adalah pemeliharaan diri untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan diri dari penyakit diare, yang meliputi :
a. Kebiasaan cuci tangan dengan sabun setelah buang air adalah kebiasaan ibu
balita mencuci tangan dengan sabun yang disertai dengan air yang mengalir.
b. Kebiasaan cuci tangan dengan sabun sebelum makan adalah kebiasaan ibu
balita mencuci tangan dengan sabun disertai air yang mengalir secara benar
sebelum memberi makan balita.
c. Perilaku buang air besar adalah kebiasaan atau cara buang air besar setiap
hari.
3. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air
besar lebih dari biasanya (> 3 kali sehari) disertai dengan perubahan
konsistensi tinja menjadi cair atau lembek, dengan/tanpa darah dan/atau lendir.
51
4. Balita adalah anak di bawah umur lima tahun diperoleh dari keterangan
responden atau berdasarkan Kartu Menuju Sehat atau catatan lahir.
3.6 Metode Pengukuran
1. Sarana Air Bersih
Ketersediaan air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum setelah dimasak.
Syarat sarana air bersih yang sehat adalah:
1. Jarak sumber air bersih dengan sumber pencemaran ≥ 10 meter.
2. Harus dijaga kebersihannya seperti tidak ada genangan air di sekitar sumber
air, tidak ada bercak-bercak kotoran, tidak berlumut pada lantai/dinding.
3. Ember/gayung pengambil air harus tetap bersih dan tidak diletakkan di
lantai.
4. Kondisi fisik, air tidak berasa, tidak berbau, berwarna, tidak keruh
(Permenkes RI No.416 Tahun 1990).
Hasil ukur : - Ya, jika memenuhi syarat sarana air bersih yang sehat.
- Tidak, jika tidak memenuhi syarat sarana air bersih yang sehat.
Cara Pengukuran : Observasi dan wawancara
2. Sarana Pembuangan Kotoran
Ketersediaan sarana pembuangan kotoran yaitu berupa tinja, air seni dan CO2
yang digunakan oleh keluarga yang memiliki balita dalam waktu
pemeriksaan/pengamatan langsung terhadap fisik. Berdasarkan Depkes RI Tahun
2004, syarat jamban yang sehat adalah:
52
1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak
10-15 meter dari sumber air minum.
2. Konstruksi kuat.
3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya.
4. Mudah dibersihkan dan aman penggunannya.
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.
6. Cukup penerangan. Minimal 100 lux (Kepmenkes RI No.519 Tahun
2008).
7. Lantai kedap air.
8. Ventilasi cukup baik (Minimal 10% dari luas lantai).
9. Tersedia air dan alat pembersih.
Hasil ukur : - Ya, jika memenuhi syarat jamban yang sehat.
- Tidak, jika tidak memenuhi syarat jamban yang sehat.
Cara Pengukuran : Observasi dan wawancara
3. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Ketersediaan tempat pembuangan sisa air yang berasal dari rumah tangga,
industri maupun tempat-tempat umum lainnya dan pada umumnya mengandung
bahan-bahan atau zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
Berdasarkan Depkes RI Tahun 1993, syarat SPAL yang sehat adalah:
1. Tidak mencemari sumber air bersih.
2. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.
3. Tidak menimbulkan bau.
53
4.Tidak menimbulkan becek, kelembaban dan pandangan yang tidak
menyenangkan.
Hasil ukur : - Ya, jika memenuhi syarat SPAL yang sehat.
- Tidak, jika tidak memenuhi syarat SPAL yang sehat.
Cara Pengukuran : Observasi dan wawancara
4. Sarana Pembuangan Sampah
Keadaan tempat bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh
manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan
manusia dan dibuang sampah sementara dari aktifitas rumah tangga pada tempat
tinggal untuk diproses lebih lanjut. Menurut Entjang (2000), syarat tempat sampah
yang baik adalah:
4. Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kedap air dan tidak mudah
rusak.
5. Mempunyai tutup, mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan,
sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa
mengotori tangan.
6. Ukuran tempat sampah sedemikian rupa, sehingga mudah diangkut oleh
satu orang.
Hasil ukur : - Ya, jika memenuhi syarat tempat sampah yang sehat.
- Tidak, jika tidak memenuhi syarat tempat sampah yang sehat.
Cara Pengukuran : Observasi dan wawancara
54
5. Personal Hygiene Ibu
Untuk mengetahui personal hygiene responden diajukan 11 (sebelas)
pertanyaan dari nomor 1-11 dengan item jawaban selalu, kadang-kadang, dan
tidak dengan skor tertinggi adalah 2. Jawaban selalu bernilai 2, jawaban kadang-
kadang bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0. Berdasarkan jumlah nilai yang
diperoleh kemudian diklarifikasikan dalam 2 kategori yaitu :
1. Personal hygiene buruk apabila skor jawaban < 75% nilai keseluruhan atau
memperoleh skor < 16
2. Personal hygiene baik apabila skor jawaban > 75% nilai keseluruhan atau
memperoleh skor > 16 (Riduwan, 2007)
5. Diare
Hasil Ukur :
a. Diare, jika balita mengalami diare dalam satu bulan terakhir, tinja cair (lembek)
dengan/tanpa lendir dan darah dan frekuensinya lebih dari 3 kali dalam sehari.
b. Tidak diare, jika balita tidak mengalami diare dalam satu bulan terakhir, tinja
tidak cair (lembek) dengan/tanpa lendir dan darah dan frekuensinya tidak lebih
dari 3 kali dalam sehari.
Cara Pengukuran : Wawancara
3.7 Metode Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
distribusi frekuensi masing-masing variabel independen yang meliputi
55
sanitasi dasar (sarana air bersih, keberadaan jamban, sarana pembungan
limbah dan sarana pembuangan sampah) , personal hygiene ibu, serta variabel
dependen yaitu kasus diare pada balita 12-59 bulan. Data disajikan dalam
bentuk tabel distribuusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan untuk melihat hubungan
antara variabel dependen (kejadian diare pada balita) dan variabel independen
(sanitasi dasar, personal hygiene yang meliputi kebiasaan cuci tangan setelah
buang air besar ibu balita, kebiasaan cuci tangan sebelum makan ibu balita,
kebiasaan balita buang air besar serta sanitasi dasar yang meliputi sarana air
bersih, penyediaan jamban, sarana pembuangan air limbah dan sarana
pembuangan sampah). Dasar pengambilan keputusan penerimaan hipotesis
berdasarkan tingkat signifikan (nilai α) sebesar 95%. Jika nilai p > α (0,05),
maka hipotesis penelitian (Ha) ditolak dan jika nilai p < α (0,05), maka
hipotesis penelitian (Ha) diterima.
top related