gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang …thesis.binus.ac.id/doc/ringkasanind/2011-2-00079-ps...
Post on 05-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
GAMBARAN PERSEPSI
PERNIKAHAN PADA REMAJA
YANG ORANGTUANYA
BERCERAI
SKRIPSI
Oleh :
Christine Artha Rajagukguk
1100015445
JURUSAN PSIKOLOGI - FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
JAKARTA
2012
GAMBARAN PERSEPSI PERNIKAHAN PADA
REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI
Christine Artha Rajagukguk
1100015445
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Subjek penelitian dalam penelitian ini sebanyak 70 responden remaja yang orangtuanya bercerai yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok subjek SMP sebanyak 36 responden dan kelompok subjek SMA sebanyak 34 responden. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan tehnik non-probability sampling. Alat ukur dalam penelitian ini dikonstruk oleh peneliti berdasarkan pada teori Stinnett & Stinnett (dalam Sofiana, 2001). Stinnett & Stinnett menjelaskan bahwa terdapat 6 faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah yaitu commitment, one to one relationship, companionship, love, happiness, dan legitimation of sex and children. Dalam penelitian ini 6 faktor tersebut yang mencerminkan persepsi pernikahan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari total 70 responden yaitu sebanyak 40 responden (57.2%) memiliki persepsi pernikahan yang positif dan sebanyak 30 resposden (42.8%) memiliki persepsi pernikahan yang negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari domain-domain yang mencerminkan persepsi pernikahan pada masing-masing kelompok subjek, yaitu pada kelompok subjek SMP domain yang paling tinggi adalah domain companionship dengan nilai mean sebesar 3.3, dan domain yang paling rendah adalah domain commitment dengan nilai mean sebesar 2.8. Sedangkan pada kelompok subjek SMA domain yang paling tinggi adalah domain commitment dan love dengan nilai mean sebesar 3.3, dan domain yang paling rendah adalah domain one to one relationship dengan nilai mean sebesar 2.9.
Kata kunci: Persepsi Pernikahan, Perceraian Orangtua, Remaja
I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan
salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu.
Hal tersebut menjadi suatu kabar sukacita bagi keluarga, sanak saudara,
ataupun relasi jika ada seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan.
Segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut pernikahan tersebut
dipersiapkan sebaik mungkin sehingga dapat menciptakan suatu kenangan
yang tidak terlupakan bagi pasangan dan bagi orang lain.
Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang
diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan
anak, serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri
(Duvall & Miller, 1977). Terjadinya pernikahan juga mempunyai fungsi
yang menyangkut tentang hak dan kewajiban suami-isteri untuk dapat
saling memenuhi kebutuhan, saling mengembangkan diri, dan yang paling
penting adalah dapat memahami arti pernikahan itu sendiri (Olson &
DeFrain, 2006). Mendukung pernyataan di atas Garrison (2010)
mengemukakan bahwa setiap pasangan dalam pernikahan harus mampu
memahami bahwa masing-masing pasangan telah menandatangani ikatan
komitmen terhadap pasangannya yang mengandung harapan, kesetiaan,
kebersamaan, dan saling berbagi dengan pasangan.
Pada hakekatnya, setiap pasangan dalam pernikahan senantiasa
ingin agar pernikahannya dapat berjalan dengan baik, bahagia dan kekal.
Namun, untuk menciptakan pernikahan yang bahagia tidaklah mudah, ada
saatnya muncul berbagai permasalahan, perselisihan dan konflik yang
dapat membahayakan keberlangsungan pernikahan seperti terjadinya
perceraian antara suami dan isteri. Akan hal tersebut, Rosmadi (2012)
menyebutkan ada beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian di antara
suami dan isteri seperti tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga,
terus menerus berselisih di antara suami dan isteri, terjadinya poligami,
terjadinya krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, masalah ekonomi, tidak
adanya tanggung jawab, kawin dibawah umur, menyakiti jasmani dan
rohani, dihukum, cacat biologis, politis, gangguan pihak ketiga, dan lain-
lain.
Kendati demikian, terjadinya berbagai permasalahan dalam
pernikahan tersebut diharapkan dapat memperkuat ikatan antara suami dan
isteri dalam mewujudkan visi dan misi pernikahan mereka. Namun pada
kenyataannya, harapan tersebut seakan-akan hanya menjadi sebuah fiksi,
karena berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung sepanjang tahun 2011 ada sebanyak 276.690 putusan
perkara perceraian yang terjadi di Indonesia, dan pada tahun 2010 ada
sebanyak 285.184 putusan perkara perceraian yang menduduki jumlah
tertinggi sejak 5 tahun terakhir dalam perkara perceraian di Indonesia.
Atas berbagai dasar tersebut, tidak sedikit pasangan suami dan isteri dalam
pernikahan cenderung untuk memutuskan ikatan pernikahan mereka
dengan mengambil keputusan dengan bercerai (Rosmadi, 2012).
Keputusan untuk bercerai bukan merupakan suatu keputusan yang
mudah untuk dilakukan. Lazimnya, tidak satu pun pasangan berharap
bahwa pernikahan mereka akan berakhir dengan perceraian. Akan tetapi,
tidak sedikit pasangan beranganggapan bahwa perceraian dapat dijadikan
sebagai solusi terbaik guna mengatasi segala permasalahan,
ketidakcocokan dan konflik yang terjadi dengan pasangan. Menanggapi
hal tersebut, E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) menyatakan
bahwa terjadinya permasalahan dan konflik dalam rumah tangga dapat
menghancurkan cinta dan pernikahan yang dinyatakan baik di antara
kedua individu dalam pernikahan. Berpatokan juga pada pandangan
E.Jones & Gallois (dalam Rice & Dolgin, 2008) bahwa perceraian dapat
dipandang sebagai solusi positif untuk menghindari konflik yang destruktif
seperti permasalahan, perselisihan, dan pertikaian yang terjadi di antara
suami dan isteri dalam pernikahan.
Menyikapi pernyataan E.Jones & Gallois di atas, Gottman &
Notarius (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya
peningkatan pada perceraian menyebabkan meningkat pula jumlah anak-
anak yang orangtuanya bercerai. Terjadinya hal tersebut mencerminkan
perubahan sosial yang lebih luas sehingga menciptakan pergeseran dalam
persepsi dan penerimaan sosial perceraian. Berkaitan dengan pernyataan
tersebut Coontz (dalam Eldar, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya
perceraian mengakibatkan peran pernikahan dalam mengkoordinasikan
kehidupan sosial semakin terkikis dan banyak anak dibesarkan dalam
pengaturan alternatif.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, Garrison (2010) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan
menimbulkan dampak terhadap suami, isteri dan anak. Hal tersebut juga
dinyatakan oleh Turner & Helms (1995) yang menyatakan bahwa apabila
suatu pernikahan berakhir dengan perceraian, maka dampak yang
ditimbulkan tidak hanya kepada suami dan isteri saja, melainkan juga
kepada anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Mendukung
pernyataan tersebut, Shienvold (2011) dalam penelitiannya berpendapat
bahwa remaja dengan orangtua yang bercerai mengalami masalah pada
perilaku internal dan eksternal, mengalami kesulitan dalam menjalin
hubungan dengan teman sebaya, mengalami kesulitan dalam beradaptasi
dengan situasi baru, dan mempunyai masalah sebagai orang dewasa
dengan keintiman, mengalami kesulitan dalam membangun dan
mempertahankan hubungan menuju pernikahan.
Dalam hubungannya dengan pernikahan, terjadinya perceraian
orangtua menimbulkan dampak terhadap sikap dan pandangan setiap
individu akan pernikahan dan kehidupan berkeluarga (Amato, 2012).
Dalam penelitiannya, Amato (2012) mengemukakan bahwa individu yang
mengalami perceraian orangtua cenderung memiliki pandangan yang
kompleks terhadap pernikahan. Individu menghargai pernikahan namun
menyadari akan adanya keterbatasan dan bersikap lebih toleran terhadap
alternatif-alternatif pernikahan. Selain itu, Wallerstein & Kelly (dalam
Amato, 2012) juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian
orangtua cenderung menunjukkan sikap dengan memperlihatkan
kecemasan akan pernikahannya kelak, seperti individu memutuskan untuk
tidak menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam
menentukan pasangan hidup. Amato (2012) juga menambahkan bahwa
remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai akan menjadi lebih
pesimis terhadap kelanggengan pernikahannya kelak. Selanjutnya, Amato
(2012) juga menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung
meningkatkan resiko perceraian pada keturunannya. Melalui proses
sosialisasi, perceraian orangtua cenderung meningkatkan kemungkinan
keturunannya membentuk suatu persepsi atau pandangan yang diwujudkan
melalui sikap dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu
hubungan intim di masa dewasa.
Berbagai dampak terjadinya perceraian orangtua menimbulkan
sejumlah reaksi terhadap pikiran dan perilaku remaja (Amato, 2012).
Untuk mendukung pernyataan tersebut Turner & Helms (1995)
mengemukakan bahwa dalam proses berpikir, remaja cenderung
menekankan pada unsur seperti mengamati, berpikir, dan memahami
terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami individu tersebut untuk
kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap individu terhadap
peristiwa atau objek tersebut. Proses berpikir tersebut yang membentuk
suatu persepsi individu akan suatu hal yang diamatinya Dengan demikian,
remaja yang mengalami perceraian orangtua, mampu mengamati, berpikir,
dan memahami akan terjadinya peristiwa perceraian orangtuanya tersebut
yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap remaja
terhadap makna dari suatu pernikahan yang mencerminkan persepsi atau
pandangan remaja yang orangtuanya bercerai terhadap pernikahan.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, Cunningham & Thornton
(2012) dalam penelitiannya, menyelidiki hubungan pernikahan orangtua
dan sikap individu yang orangtuanya bercerai pada saat remaja terhadap
perilaku seks pranikah, kumpul kebo, hidup sendiri atau tanpa mempunyai
pasangan seumur hidup dan perceraian. Cunningham & Thornton (2012)
mempunyai hipotesis bahwa kualitas pernikahan orangtua yang negatif
mempunyai hubungan terhadap anak-anak dalam perilaku di masa
dewasanya, bahwa anak yang orangtuanya bercerai cenderung membawa
sikap bawaan dari orangtuanya terhadap pernikahan. Dalam penelitiannya
Cunningham & Thornton (2012) menemukan bukti bahwa kualitas
pernikahan orangtua mempengaruhi sikap anak yang cenderung kuat
terhadap perceraian, seks pranikah, anak menjadi selektif dalam
menentukan pasangan hidup atau memilih untuk tidak menikah.
Selain itu, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menyatakan
bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap
perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang
perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan
berada di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti
perasaan depresi, dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan
menimbulkan pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang
ditunjukkan remaja ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Dengan demikian, Johnston & Thomas (dalam Martin, 2011)
menyatakan bahwa perceraian orantua telah menjadi suatu peristiwa
penting dalam kehidupan setiap individu yang orangtuanya mengalami
perceraian, dengan mengingat bahwa angka perceraian yang cenderung
tinggi. Akan adanya kecenderungan yang lebih tinggi terhadap perceraian
sehingga menyebabkan peran pernikahan menjadi semakin terkikis,
ditunjukkan melalui sikap dan perilaku individu yang orangtuanya bercerai
terhadap pernikahan, seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya
terhadap lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam
mengambil keputusan untuk menikah dan untuk membangun sebuah
keluarga.
Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005) (dalam
Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa terjadinya perceraian
menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai
implikasi bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang
akan dikaitkan dengan sikap dan perilaku individu terhadap pernikahannya
kelak. Hal tersebut disebabkan karena individu mengamati pernikahan
orangtua mereka, dan karena pernikahan orangtua merupakan indikator
anak untuk meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan
pernikahannya kelak. Perceraian orangtua cenderung meningkatkan
keturunannya membentuk sifat dan orientasi antar individu yang dapat
mengganggu hubungan intim di masa dewasa. Individu cenderung
memiliki sikap yang lebih positif terhadap perceraian, yang mencerminkan
persepsi atau pandangan individu tersebut akan sebuah pernikahan. Atas
dasar itu, melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana
‘gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai’.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah peneliti
ingin mengetahui bagaimana ‘gambaran persepsi pernikahan pada remaja
yang orangtuanya bercerai”?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui ‘gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya
bercerai’.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini terdiri dari
manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam
bidang psikologi, terutama dalam psikologi perkembangan yang
berkaitan gambaran persepsi pernikahan pada remaja yang
orangtuanya bercerai, serta dapat menjadi gerbang pembuka bagi siapa
saja untuk dapat lebih dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
pembaca, khususnya:
• Bagi Pasangan Suami dan Isteri
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan
informasi bagi pasangan suami-isteri untuk dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam membangun dan
mempertahankan pernikahan. Meskipun akan terjadi berbagai
permasalahan dan konflik dalam pernikahan, namun
diharapkan pasangan dapat dengan bijaksana untuk
memutuskan segala sesuatu yang berkaitan terhadap
keberlangsungan pernikahan, terutama dengan kaitannya
terhadap anak dalam tahap perkembangannya.
• Bagi Remaja
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dan
informasi bagi remaja khususnya bagi remaja yang
orangtuanya bercerai. Setidaknya, melalui informasi yang ada
dalam penelitian ini dapat membantu menumbuhkan
pandangan atau persepsi yang lebih baik terhadap pernikahan
pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pernikahan
2.1.1 Definisi Pernikahan
Dalam pengertiannya, Olson & DeFrain (2006)
mendefinisikan pernikahan sebagai komitmen emosional dan
hukum dari dua individu dalam berbagi keintiman emosional dan
fisik, berbagi tugas dan sumber daya ekonomi. Selain itu, Duvall &
Miller (1977) mendefinisikan pernikahan sebagai suatu hubungan
antara pria dan wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan
hubungan seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian
hubungan kerja antara suami dan isteri, yang bertujuan untuk
membangun keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian berdasarkan pada definisi-definisi di atas,
dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk
perwujudan dalam komitmen antara pria dan wanita yang diakui
oleh masyarakat dan hukum dalam mensahkan hubungan seksual,
pengasuhan anak, serta membentuk pembagian tugas antara suami
dan isteri dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan
kekal.
2.1.2 Alasan Menikah bagi Individu
Menurut Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001)
kebahagiaan dan kesuksesan dalam pernikahan tercermin dari
alasan menikah bagi individu. Setiap individu mempunyai alasan
yang berbeda untuk menikah. Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana,
2001) mengemukakan beberapa faktor yang menjadi alasan bagi
individu untuk menikah yaitu sebagai berikut:
a. Commitment
Setiap individu berharap ada seseorang yang diperuntukkan bagi
mereka sepenuhnya. Individu beranggapan bahwa pernikahan
sebagai lembaga untuk mengekspresikan komitmen antara kedua
individu yang juga dilandasi dengan kesepakatan yang jelas.
Individu memperlihatkan cinta dan penghargaan satu sama lain
terhadap pasangannya dengan spontan dan jujur. Individu dan
pasangan lebih bekerja sama daripada berkompetisi satu sama lain.
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam suatu komitmen yaitu:
- Terciptanya komunikasi yang efektif
Terciptanya komunikasi secara spontan, jujur, terbuka, dan
saling menghargai dalam suatu hubungan, mampu
mengekspresikan perasaan negatif maupun positif individu
terhadap konflik yang dihadapi sehingga dapat diatasi dengan
baik.
- Adanya kebersamaan
Menghabiskan waktu bersama-sama, saling mencurahkan
perasaan, saling berbagi pengalaman, saling melibatkan
pasangan dalam suatu kegiatan, serta melakukan rekreasi
bersama mampu menciptakan hubungan yang harmonis dalam
rumah tangga.
- Mempunyai nilai dan aturan
Mempunyai nilai dan aturan yang telah disepakati dan harus
dipatuhi bersama. Namun, penting bagi kedua individu untuk
mendiskusikan dan mempraktekkan nilai dan aturan tersebut,
sehingga dapat menciptakan rasa toleransi dan saling
menghargai satu sama lain.
- Kemampuan mengatasi masalah secara efektif
Masalah yang muncul dapat dihadapi secara optimis dengan
tujuan untuk menemukan pemecahan masalah dengan
melibatkan pasangan untuk dapat saling membantu.
b. One to One Relationship
Pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk menjalin
hubungan intim dengan oranglain yang diharapkan langgeng dan
bersifat monogami. Setiap individu juga mengharapkan seseorang
yang dapat memenuhi kebutuhan dasar akan harga diri, kasih
sayang, penghargaan, dan saling percaya satu sama lain.
c. Companionship
Pernikahan memungkinkan kesempatan untuk mengatasi rasa
kesepian dan terisolasi dengan adanya aktivitas yang dapat
dilakukan bersama dengan pasangan hidup. Turner & Helms
(dalam Sofiana, 2001) mengatakan bahwa cinta, penghargaan, dan
persahabatan merupakan kualitas yang penting di dalam suatu
pernikahan. Selain itu, companionship memungkinkan pasangan
dalam pernikahan mendapatkan tempat berlindung dalam
menghadapi gejolak kehidupan yang dialami individu tersebut.
d. Love
Setiap individu dapat merasakan kepuasan hidup apabila dirinya
berarti bagi oranglain. Setiap individu berharap menemukan
seseorang yang dapat memberikan cinta tak terbatas dan dapat
membalas perasaan tersebut.
e. Happiness
Pada dasarnya setiap individu dalam segi kehidupannya berusaha
mencari kebahagiaan dengan menikah, walaupun sebenarnya
kebahagiaan tidak terletak pada lembaga pernikahan melainkan
bersumber pada masing-masing pribadi individu dalam berinteraksi
antara satu sama lain.
f. Legitimation of sex and children
Hubungan seksual disetujui oleh norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat bagi pasangan individu yang sudah menikah. Selain itu
dengan menikah, individu dapat mensahkan anak menurut hukum
yang berlaku.
2.2 Persepsi
2.2.1 Definisi Persepsi
Persepsi merupakan salah satu bagian dari aspek yang
paling mendasar dalam tahap perkembangan manusia. Menurut
Lahey (2007) persepsi merupakan suatu proses mental dari adanya
stimulus yang diterima oleh otak kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan ke dalam perilaku. Santrock (2009)
mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman individu terhadap
suatu objek atau peristiwa yang dituangkan ke dalam cara pandang
individu tersebut terhadap objek atau peristiwa yang diamati.
Melalui pengalaman tersebut individu mempunyai pengetahuan
dan pemahaman terhadap suatu objek ataupun peristiwa yang
diamati.
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses mental dalam
memberikan arti terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami
individu yang kemudian diinterpretasikan ke dalam sikap dan
perilaku individu terhadap objek atau peristiwa yang diamati.
Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
persepsi pernikahan merupakan suatu proses mental yang dialami
oleh individu dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan
individu terhadap pernikahan yang kemudian diinterpretasikan ke
dalam perilaku dan sikap individu tersebut terhadap pernikahan.
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Menurut Golinko (dalam Rice & Dolgin, 2008) “remaja”
berasal dari bahasa latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti “tumbuh”
atau “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam Kamus Psikologi, remaja
merupakan suatu tahap periodisasi perkembangan manusia yang
berada pada di antara usia pubertas sampai dengan memasuki usia
dewasa.
Secara lebih luas dalam tahap perkembangannya, Hurlock
(1978) mengemukakan bahwa masa remaja mencakup pada proses
menuju kematangan kognitif seperti individu sudah mampu
membedakan dan membandingkan hal yang satu dengan hal yang
lain, individu mampu menghubungkan suatu peristiwa yang satu
dengan yang lain, dan individu mampu mengolah cara berpikir
sehingga mampu memunculkan suatu ide baru; kematangan
psikososial seperti cara individu berhubungan dengan orang lain
dan menyatakan emosi secara unik; dan kematangan fisik seperti
terjadinya perubahan pada bentuk tubuh, tinggi badan, dan berat
badan, serta menuju pada kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi.
Sedangkan di Indonesia, Sarwono (2006) mendefinisikan
masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak ke masa
dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai
persiapan memasuki masa dewasa. Oleh karena keberadaan remaja
yang dalam masa transisi atau peralihan tersebut membuat pola
sikap dan tindakan remaja diarahkan untuk memperoleh
penghargaan terhadap eksistensi atau keberadaannya di dalam
lingkungan.
2.4 Perceraian
2.4.1 Definisi Perceraian
Menurut definisinya, Hurlock (1978) menyatakan bahwa
perceraian merupakan akumulasi dari penyesuaian pernikahan
yang buruk yang terjadi bila di antara suami dan isteri sudah tidak
mampu lagi untuk menyelesaikan permasalahan dalam pernikahan.
Papalia, Olds & Feldman (2009), perceraian bukanlah suatu
kejadian tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai
sebelum perpisahan fisik dan berpotensial menjadi pengalaman
stress serta menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi suami,
isteri dan anak.
Selain itu, Duvall & Miller (1977) menyatakan bahwa
perceraian tidak hanya didasarkan pada ketidakpuasan dalam
pernikahan saja, tetapi bisa juga disebabkan karena adanya tekanan
dari luar seperti pilihan karir, ketertarikan fisik dengan orang lain
di luar pernikahan. Lemer & Hultsch (dalam Rice & Dolgin, 2008),
perceraian merupakan suatu proses yang menyakitkan serta dapat
membuat seseorang yang mengalaminya mengalami stres, depresi,
kesepian, merasa rendah diri, merasa sangat bersalah dan tidak
berguna, kurang produktif dalam bekerja, dan merasa cemas dalam
menghadapi situasi sosial yang disebabkan karena adanya
pengalaman baru seperti pengaturan keuangan, pengaturan hidup,
menangani masalah rumah tangga dan anak.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
perceraian merupakan serangkaian proses dari terjadinya hal yang
tidak diinginkan, penuh dengan tekanan, serta menimbulkan
konsekuensi yang tidak diinginkan oleh seluruh anggota keluarga,
dimulai dari sebelum perpisahan fisik pasangan dan diakhiri
dengan pemutusan hubungan pernikahan secara hukum.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian
3.1.1 Variabel Penelitian & Definisi Operasional
3.1.1.1 Persepsi Pernikahan
Dalam pengertiannya, Olson & DeFrain (2006) mendefinisikan
pernikahan sebagai komitmen emosional dan hukum dari dua individu
untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagi tugas dan sumber
daya ekonomi. Selain itu, Duvall & Miller (1977) mendefinisikan
pernikahan sebagai suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui
secara sosial dalam mensahkan hubungan seksual dan pengasuhan anak,
serta adanya pembagian hubungan kerja antara suami dan isteri, yang
bertujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal.
Sedangkan definisi persepsi itu sendiri menurut Lahey (2007)
persepsi merupakan suatu proses mental dari adanya stimulus yang
diterima oleh otak kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan ke
dalam perilaku. Santrock (2009) mendefinisikan persepsi sebagai
pengalaman individu terhadap suatu objek atau peristiwa yang
dituangkan ke dalam cara pandang individu tersebut terhadap objek atau
peristiwa yang diamati. Melalui pengalaman tersebut individu
mempunyai pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu objek ataupun
peristiwa yang diamati.
Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan dicerminkan dari
faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah. Stinnet & Stinnet
(dalam Sofiana, 2001), mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menjadi alasan bagi individu untuk menikah, yaitu commitment, one to
one relationship, companionship, love, happiness, dan legitimation of sex
and children. Keenam faktor-faktor yang menjadi alasan individu untuk
menikah tersebut yang mencerminkan persepsi pernikahan pada individu
yang dalam penelitian ini adalah remaja yang orangtuanya bercerai.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
pernikahan merupakan suatu proses mental yang dialami oleh individu
dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan individu terhadap
pernikahan yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan sikap
individu tersebut terhadap pernikahan.
Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif yaitu
ditunjukkan dari sikap dan pandangan positif individu terhadap
pernikahan yang dijadikan sebagai lembaga dalam mempersatukan ikatan
komitmen antara pria dan wanita. Sedangkan persepsi pernikahan yang
negatif ditunjukkan dari sikap dan pandangan negatif individu terhadap
pernikahan seperti dengan menunjukkan rasa kurang percaya terhadap
lembaga pernikahan, seperti menunjukkan perasaan takut dalam
mengambil keputusan untuk menikah dan membangun sebuah keluarga.
3.2 Subyek Penelitian & Tehnik Sampling
3.2.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Berdasarkan pada tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu
ingin mengetahui gambaran persepsi pernikahan pada remaja di
Jakarta yang orangtuanya bercerai. Maka dari itu, subjek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Remaja laki-laki dan Remaja perempuan
2. Berusia antara 11 sampai 18 tahun
Batasan usia remaja yang digunakan dalam penelitian ini berdasar
pada batasan usia remaja Indonesia yaitu 11 sampai 24 tahun
(Sarwono, 2006). Namun, subjek yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang
mempunyai rentang usia antara 13 sampai 18 tahun dan belum
menikah, yang terdiri dari dua kelompok subjek berdasarkan pada
tingkat pendidikan yaitu remaja SMPN dan remaja SMAN di
Jakarta Timur. Hal tersebut dikarenakan, peneliti mengambil
responden pada instansi pendidikan atau sekolah. Namun, dalam
penelitian ini instansi pendidikan tempat peneliti mengambil
responden tidak dipublikasikan.
3. Remaja yang orangtuanya telah bercerai
Dalam penelitian ini, responden remaja mempunyai karakteristik
khusus yaitu remaja yang orangtuanya telah bercerai, sehingga
dengan karakteristik subjek tersebut penelitian ini diharapkan dapat
menjawab tujuan dari dilakukannya penelitian ini.
4. Bersekolah
Responden dalam penelitian ini adalah remaja yang bersekolah.
Hal ini dilakukan karena responden diwajibkan untuk mampu
dalam membaca kuesioner, sehingga dapat menjawab kuesioner
tersebut dengan baik dan tepat.
3.2.2 Tehnik Sampling
3.2.2.1 Populasi
Nazir (2005) mengatakan bahwa populasi adalah
sekumpulan individu dengan kualitas serta ciri yang telah
ditetapkan. Nazir mengatakan bahwa populasi merupakan
keseluruhan atau totalitas objek psikologis yang dibatasi
oleh kriteria tertentu.
Dalam penelitian ini, populasi subjek terdiri dari
seluruh siswa-siswi di salah satu SMPN di Jakarta Timur
dan seluruh siswa-siswi di salah satu SMAN di Jakarta
Timur yang orangtuanya bercerai. Peneliti mengambil
subjek pada siswa-siswi SMPN dan SMAN yang terletak di
daerah Jakarta Timur tersebut karena pada lokasi tersebut
peneliti mempunyai kerabat sehingga memberikan
kemudahan kepada peneliti dalam mengambil subjek
penelitian yaitu remaja yang orangtuanya bercerai.
3.2.2.2 Sampel
Nazir (2005) juga mengatakan bahwa sampel
merupakan suatu kelompok kecil yang diambil dari
populasi atau suatu anggota kelompok tertentu yang ingin
diukur. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan
adalah sebagian dari siswa-siswi di salah satu SMPN di
Jakarta Timur dan sebagian dari siswa-siswi di salah satu
SMAN di Jakarta Timur yang orangtuanya bercerai yaitu
berjumlah 70 responden pada field test yang terdiri atas 36
remaja tingkat SMPN yang orangtuanya bercerai dan 34
remaja tingkat SMAN yang orangtuanya bercerai.
Hal tersebut sesuai dengan pandangan Guilford dan
Frutcher (1978) yang berpendapat bahwa dalam penelitian
kuantitatif responden yang digunakan sebaiknya tidak
kurang dari 30 responden. Hal tersebut dilakukan agar tidak
terjadi bias dalam hasil penelitian yang disebabkan karena
jumlah subjek yang kurang mencukupi.
3.2.2.3 Tehnik Sampling
Menurut Nazir (2005), kata sampling berarti
mengambil sampel atau mengambil sesuatu dari bagian
populasi. Maka dapat dikatakan bahwa tehnik sampling
adalah suatu tehnik untuk mengambil sampel.
Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tehnik non-probability sampling, karena
pengambilan sampel tidak dilakukan secara acak. Tehnik
non-probability sampling digunakan karena dalam
pengambilan sampel, tidak setiap anggota populasi
mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
anggota sampel penelitian, sehingga cara pemilihan
sampelnya adalah accidental sampling.
Nazir (2005) menyatakan bahwa pertimbangan yang
paling mendasar dalam pemilihan tehnik accidental
sampling ini adalah bila sampel penelitian didapat karena
menurut peneliti, individu tersebut memenuhi kriteria
subjek yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Dengan
kata lain, setiap individu yang ditemui peneliti dan
memiliki karakteristik sampel yang telah ditentukan dapat
dijadikan sebagai subjek untuk penelitian ini.
3.3 Desain Penelitian
Nazir (2005) mengemukakan definisi penelitian sebagai suatu
proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu yang lama dengan
menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku. Dalam
suatu penelitian terdapat berbagai macam jenis desain penelitian. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif
berbentuk deskriptif dengan menggunakan desain non-eksperimental.
Nazir (2005) menjelaskan bahwa penelitian studi deskriptif merupakan
studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat.
Penelitian ini juga dilakukan peneliti guna memperoleh gambaran
secara sistematis akan suatu situasi, masalah, dan fenomena. Hal tersebut
sesuai dengan tujuan dari penelitian yaitu untuk mendapatkan gambaran
persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai. Menurut
Nazir (2005), desain non-eksperimental merupakan telaah empirik
sistematis dimana penelitian tidak mengontrol secara langsung variabel
bebas karena manifestasi dari variabel bebas telah ada atau karena variabel
bebas tersebut tidak dapat dikontrol. Penelitian ini tidak melakukan
manipulasi terhadap variabel-variabel yang ada.
3.4 Alat Ukur Penelitian
Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan berupa kuesioner.
Menurut Nazir (2005) kuesioner merupakan seperangkat pertanyaan
tertulis yang ditujukan kepada subjek penelitian agar kemudian
pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh subjek penelitian. Pertanyaan
dalam kuesioner tersebut dirancang sesuai dengan indikator-indikator yang
telah ditentukan.
3.4.1 Alat Ukur Persepsi Pernikahan
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat
ukur Persepsi Pernikahan yang dikonstruk oleh peneliti berdasar
pada Stinnett & Stinnett (dalam Sofiana, 2001) yang dicerminkan
dari beberapa faktor yang menjadi alasan individu untuk menikah
yaitu: commitment, one to one relationship, companionship, love,
happiness, dan legitimation of sex and children.
Adapun skala pengukuran alat ukur tersebut berupa skala
Likert, dimana skala tersebut digunakan untuk mengukur sikap
terhadap variabel yang ingin diukur dalam suatu penelitian, dengan
menggunakan angka-angka sebagai metode perhitungannya (Nazir,
2005). Pada item favorable, perhitungan skala 1 menunjukkan
bahwa responden ”sangat tidak setuju” dengan pernyataan tersebut,
skala 2 menunjukkan bahwa responden ”tidak setuju” dengan
pernyataan tersebut, skala 3 menunjukkan bahwa responden
”setuju” dengan pernyataan tersebut, dan skala 4 menunjukkan
bahwa responden ”sangat setuju” dengan pernyataan tersebut.
Perhitungan tersebut berlaku untuk item favorable.
Sedangkan untuk item unfavorable, perhitungan skala 4
menunjukkan bahwa responden ”sangat tidak setuju” dengan
pernyataan tersebut, skala 3 menunjukkan bahwa responden ”tidak
setuju” dengan pernyataan tersebut, skala 2 menunjukkan bahwa
responden ”setuju” dengan pernyataan tersebut, dan skala 1
menunjukkan bahwa responden ”sangat setuju” dengan pernyataan.
Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif dan
persepsi pernikahan yang negatif ditentukan berdasarkan hasil
perolehan mean dari mean yang diperoleh dari total skor subjek
pada keenam domain yang mencerminkan persepsi pernikahan.
Apabila nilai yang diperoleh masing–masing domain berada di atas
mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu
tersebut positif yang dicerminkan dari domain yang dijadikan
alasan individu untuk menikah. Begitu juga sebaliknya, apabila
nilai yang diperoleh masing-masing domain berada di bawah
mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu
tersebut negatif yang dicerminkan dari kurangnya rasa percaya
individu terhadap domain-domain yang menjadi alasan individu
untuk menikah.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
4.2.1 Gambaran Persepsi Pernikahan pada Remaja yang
Orangtuanya Bercerai
Tabel 4.4 Gambaran Persepsi Pernikahan 70 Responden SMP (%) SMA (%) TOTAL SUBJEK
(%)
Positive 19 52.8% 21 61.8% 40
57.2%
Negative 17 47.2% 13 38.2% 30 42.8%
Mean 3.1
Total 36 100% 34 100% 70 100%
Sumber : Data Penelitian 2012
Berdasarkan pada tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa hasil yang
diperoleh dari 70 responden remaja yang orangtuanya bercerai yaitu
terdapat sebanyak 40 responden atau sebesar 57.2% yang mempunyai
persepsi pernikahan yang positif. Sedangkan total subjek yang mempunyai
persepsi pernikahan negatif terdapat sebanyak 30 responden atau sebesar
42.8%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek yang memiliki
persepsi pernikahan positif cenderung lebih tinggi dari subjek yang
memiliki persepsi pernikahan yang negatif.
Persepsi pernikahan positif dan persepsi pernikahan negatif
ditentukan berdasarkan pada mean, dimana persepsi pernikahan positif
memiliki nilai di atas nilai mean, dan persepsi pernikahan yang negatif
memiliki nilai di bawah nilai mean. Perolehan mean dari 70 responden
dalam penelitian ini yaitu sebesar 3.1.
Menanggapi hasil tersebut, menurut Hetherington & Anderson
(dalam Hines, 2012) dalam tahap perkembangannya, remaja mengalami
beberapa perubahan perkembangan, dan efek dari terjadinya perceraian
orangtua mengakibatkan timbulnya kerentanan terhadap proses
perkembangan remaja seperti adanya perubahan struktur keluarga yang
membentuk perubahan pola dan rutinitas pada remaja, timbulnya masalah
dalam hubungan sosial dan interpersonal remaja.
Kendati demikian, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012)
juga mengemukakan bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu
memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dalam
penelitiannya, ditemukan beberapa remaja yang memperoleh kekuatan
tertentu dari pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa
tanggung jawab dan meningkatnya kemampuan kompetensi anak. Akan
hal tersebut, Santrock (2007) mengatakan bahwa dalam perkembangan
remaja, individu lebih cenderung mempersiapkan diri untuk memasuki
masa dewasa, mencurahkan perhatian terhadap perencanaan dan persiapan
masa depannya, termasuk persiapan untuk kehidupan berkeluarga.
Sedangkan subjek yang mempunyai persepsi pernikahan yang
negatif, cenderung menganggap bahwa pernikahan bukanlah suatu
lembaga yang dapat dipercaya untuk dapat mempertahankan suatu
hubungan antara suami dan isteri yang ada dalam pernikahan. Sehubungan
dengan hal tersebut, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) berpendapat
bahwa persepsi yang dimiliki individu tercermin dari cara pandang, sikap
dan tingkah laku individu terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang
terjadi disekelilingnya. Individu mempunyai persepsi akan sesuatu hal
yang dialaminya baik bersifat positif maupun negatif. Hal tersebut terjadi
karena individu yang menentukan cara pandangnya dalam mengambil
sikap atau tingkah laku dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang
dimilikinya. Dari nilai yang dimiliki individu yang berasal dari
pengalamannya akan perceraian orangtuanya tersebut menimbulkan
persepsi yang positif maupun persepsi yang negatif terhadap pernikahan.
4.2.2 Gambaran Persepsi Pernikahan pada Remaja yang
Orangtuanya Bercerai Berdasarkan Domain pada
masing-masing Kelompok Subjek yaitu SMP dan
SMA.
Tabel 4.6 Diagram Persepsi Pernikahan Pada Kelompok SMP dan SMA Berdasarkan Domain
Sumber: Data Penelitian 2012
Tabel-tabel di bawah ini adalah tabel perolehan gambaran
persepsi pernikahan pada remaja yang orangtuanya bercerai
berdasarkan domain pada kelompok subjek SMP dan SMA, yaitu:
Tabel 4.7 Gambaran persepsi pernikahan berdasarkan domain pada kelompok responden SMP
SMP N Mean
Commitment 36 2.8
One to One Relationship 36 3.2
Companionship 36 3.3
Love 36 3.0
Happiness 36 3.2
Legitimation of Sex and
Children 36 3.1
Valid N (listwise) 36
Tabel 4.7 merupakan tabel gambaran persepsi pernikahan
berdasarkan pada domain-domain yang menjadi alasan menikah
bagi individu yang mencerminkan persepsi pernikahan pada
kelompok responden SMP.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada kelompok subjek
SMP terhadap persepsi pernikahan yang tercermin dari keenam
domain-domain yang menjadi alasan menikah bagi individu, dapat
dilihat bahwa dari keenam domain tersebut domain yang paling
tinggi yaitu domain companionship dengan nilai mean sebesar 3.3,
dan domain yang paling rendah yaitu domain commitment dengan
nilai mean sebesar 2.8.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
kelompok subjek SMP domain companionship dapat dijadikan
sebagai alasan bagi individu untuk menikah. Berdasarkan teori
(Stinnett & Stinnett, dalam Sofiana, 2001) tentang alasan individu
untuk menikah, companionship menggambarkan bahwa pernikahan
memungkinkan kesempatan untuk mengatasi rasa kesepian dan
terisolasi dengan adanya aktivitas yang dapat dilakukan bersama
dengan pasangan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan
hasil mean dimana hasil yang diperoleh pada domain
companionship berada di atas mean.
Sedangkan pada domain commitment yang merupakan
domain terendah pada kelompok subjek SMP memiliki nilai mean
sebesar 2.8. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa dari
keenam domain yang menggambarkan persepsi pernikahan yang
diperoleh dari kelompok responden SMP bahwa responden
menunjukkan persepsi yang negatif terhadap domain commitment,
dimana domain tersebut menggambarkan bahwa responden
menunjukkan rasa kurang percaya bahwa lembaga pernikahan
dapat dijadikan sebagai lembaga untuk mengekspresikan komitmen
antara kedua individu yang juga dilandasi dengan kesepakatan
yang jelas. Mendukung hal tersebut dalam penelitiannya,
Wallerstein & Blakeslee (dalam Jacquet, 2012) menyatakan bahwa
remaja dari keluarga bercerai ragu untuk berkomitmen dalam
menjalin hubungan dan kurang mampu untuk mengekspresikan
keinginan untuk hubungan jangka panjang.
Tabel 4.8 Gambaran persepsi pernikahan berdasarkan domain pada
kelompok responden SMA
Tabel 4.8 merupakan tabel gambaran persepsi pernikahan
yang berdasar pada enam domain dari faktor-faktor yang menjadi
SMA N Mean
Commitment 34 3.3
One to One Relationship 34 2.9
Companionship 34 3.2
Love 34 3.3
Happiness 34 3.0
Legitimation of Sex and Children 34 3.0
Valid N (listwise) 34
alasan menikah bagi individu yang mencerminkan persepsi
pernikahan pada kelompok responden SMA. Berdasarkan pada
domain tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dua domain yang
memiliki nilai tertinggi dari keenam domain pada kelompok
responden SMA yaitu domain commitment dan love dengan nilai
mean sebesar 3.3, sedangkan nilai yang terendah dari keenam
domain pada kelompok responden SMA yaitu domain one to one
relationship dengan nilai mean sebesar 2.9.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa dari keenam
domain yang mencerminkan persepsi pernikahan yang diperoleh
dari kelompok responden SMA bahwa domain tertinggi yaitu
domain commitment dan love dan domain yang terendah yaitu
domain one to one relationship, dimana domain commitment dan
love tersebut menggambarkan bahwa pernikahan merupakan
sebagai suatu lembaga dalam mengekspresikan komitmen dengan
pasangan yang bersifat kekal serta perlu dilandasi dengan cinta
yang tak terbatas guna memperkuat suatu hubungan. Sedangkan
pada domain one to one relationship yang merupakan domain
dengan nilai terendah pada kelompok subjek SMA. Dari hasil yang
diperoleh pada domain one to one relationship kelompok subjek
SMA menggambarkan bahwa individu dalam kelompok subjek
SMA mempunyai kesulitan untuk menjalin hubungan intim dengan
oranglain yang
diharapkan langgeng dan bersifat monogami, sehingga hasil yang
diperoleh terhadap domain one to one relationship berada di bawah
nilai mean.
Dalam penelitiannya, Amato & Booth (dalam Risch, 2012)
yang menyatakan bahwa remaja yang mengalami perceraian
orangtua cenderung memiliki pandangan dan sikap yang lebih
positif terhadap perceraian. Sikap dan pandangan remaja tersebut
yang mencerminkan persepsi remaja terhadap pernikahan. Dalam
hal tersebut, remaja mampu mengamati bagaimana orangtua
mereka berhubungan, dengan menggunakan pengetahuan dan
pengalaman sebagai bagian dari landasan untuk mengembangkan
hubungan dengan oranglain yang akan dikaitkan terhadap
pernikahan remaja tersebut kelak (Risch, 2012).
Namun dalam penelitian ini. sebagian besar responden
yaitu sebanyak 40 responden dengan persentase sebesar 57.2%
memiliki persepsi pernikahan positif. Akan hal tersebut, responden
dalam penelitian ini masih menganggap bahwa pernikahan
merupakan suatu lembaga yang dapat menyatukan suatu komitmen
dari dua individu menjadi sepasang suami-isteri. Akan hal tersebut,
dapat disimpulkan bahwa remaja yang orangtuanya bercerai
mempunyai suatu harapan, keinginan dan cita-cita untuk
mempunyai suatu pernikahan dan keluarga yang bahagia dengan
pasangannya kelak. Hal tersebut didukung oleh, Hetherington &
Anderson (dalam Hines, 2012) mengemukakan bahwa terjadinya
perceraian orangtua tidak selalu memberikan dampak buruk
terhadap perkembangan anak. Dalam penelitiannya, ditemukan
beberapa remaja yang memperoleh kekuatan tertentu dari
pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa
tanggung jawab dan meningkatnya kemampuan kompetensi anak.
Akan hal tersebut, Santrock (2007) mengatakan bahwa dalam
perkembangan remaja, individu lebih cenderung mempersiapkan
diri untuk memasuki masa dewasa, mencurahkan perhatian
terhadap perencanaan dan persiapan masa depannya, termasuk
persiapan untuk kehidupan berkeluarga.
5 SIMPULAN, DISKUSI dan SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil yang diperoleh dalam menggambarkan persepsi pernikahan
pada remaja yang orangtuanya bercerai berdasarkan total keseluruhan 70
responden yaitu terdapat 40 responden yang memiliki persepsi pernikahan yang
positif yaitu sebesar 57.2% dan sebanyak 30 responden yang memiliki persepsi
pernikahan yang negatif yaitu sebesar 42.8%.
Dalam penelitian ini, persepsi pernikahan yang positif dan persepsi
pernikahan yang negatif ditentukan berdasarkan hasil perolehan mean dari mean
yang diperoleh dari total skor subjek pada keenam domain yang mencerminkan
persepsi pernikahan. Apabila nilai yang diperoleh masing-masing domain berada
di atas mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan individu tersebut
positif yang dicerminkan dari domain yang dijadikan alasan individu untuk
menikah. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai yang diperoleh masing-masing
domain berada di bawah mean, maka dapat dikatakan bahwa persepsi pernikahan
individu tersebut negatif yang dicerminkan dari kurangnya rasa percaya individu
terhadap domain-domain yang menjadi alasan individu untuk menikah.
Hasil yang diperoleh dari dua kelompok subjek yaitu SMP dan SMA
terhadap persepsi pernikahan, yaitu pada responden SMP terdapat 19 responden
dengan persepsi pernikahan yang positif atau sebesar 52.8% dan sebanyak 17
responden dengan persepsi pernikahan yang negatif atau sebesar 47.2%.
Sedangkan pada kelompok subjek SMA, terdapat 21 responden dengan persepsi
pernikahan yang positif yaitu sebesar 61.8% dan sebanyak 13 responden dengan
persepsi pernikahan yang positif atau sebesar 38.2%.
Sedangkan hasil yang diperoleh berdasarkan pada masing-masing
domain dari kedua kelompok subjek yaitu bahwa dalam kelompok subjek SMP
domain tertinggi terdapat pada domain companionship dengan nilai mean sebesar
3.3 sedangkan domain terendah terdapat pada domain commitment dengan nilai
mean sebesar 2.8. Sedangkan pada kelompok subjek SMA domain terbesar
terdapat pada domain commitment dan love yang jumlah keduanya mean-nya
sebesar 3.3 sedangkan domain terendah terdapat pada domain one to one
relationship dengan nilai mean sebesar 2.9.
5.2 Diskusi
Terjadinya perceraian orangtua tidak dapat membawa dampak yang
positif terhadap anak. Hal tersebut didukung oleh Amato (2012) yang dalam
penelitiannya menyatakan bahwa perceraian orangtua cenderung membawa
dampak buruk pada anak yang orangtuanya bercerai. Selain itu, Hetherington &
Anderson (dalam Hines, 2012) juga mengemukakan bahwa dalam tahap
perkembangannya, remaja mengalami beberapa perubahan perkembangan, dan
efek dari terjadinya perceraian orangtua mengakibatkan timbulnya kerentanan
terhadap proses perkembangan remaja seperti adanya perubahan struktur
keluarga yang membentuk perubahan pola dan rutinitas pada remaja, timbulnya
masalah dalam hubungan sosial dan interpersonal remaja, dan remaja sulit untuk
menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Mendukung hal tersebut, Amato (dalam Rice & Dolgin, 2008) juga
menyatakan bahwa terjadinya perceraian orangtua menimbulkan reaksi terhadap
perilaku remaja seperti reaksi emosional pada remaja yang memandang
perceraian orangtua sebagai kejadian traumatis yang bersifat tiba-tiba dan berada
di luar kontrol, sehingga muncul sejumlah reaksi negatif seperti perasaan depresi,
dan tertekan, marah, trauma, sulit untuk memaafkan, dan menimbulkan
pandangan yang negatif terhadap pernikahan yang ditunjukkan remaja ketika
menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Mendukung hal tersebut juga, Cunningham & Thornton (2012)
menyatakan bahwa pernikahan orangtua yang buruk cenderung berpengaruh
terhadap sikap dan pandangan individu terhadap pernikahannya kelak. Hal
tersebut ditunjukkan dengan perilaku seks pranikah, hidup sendiri tanpa
mempunyai pasangan, lebih selektif dalam memilih pasangan hidup, dan juga
perceraian terhadap pernikahannya kelak pada individu yang orangtuanya
bercerai. Maka dari itu, Rogers & Amato (1997) dan Umberson et.al. (2005)
(dalam Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa terjadinya perceraian
menyebabkan penurunan akan makna pernikahan yang mempunyai implikasi
bagi pandangan dan sikap individu terhadap pernikahan yang akan dikaitkan
dengan sikap dan perilaku individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut
disebabkan karena individu mengamati pernikahan orangtua mereka, dan karena
pernikahan orangtua merupakan indikator anak untuk meniru orangtua mereka
yang akan dikaitkan dengan pernikahannya kelak.
Apabila merujuk pada beberapa pernyataan dari tokoh-tokoh di atas,
seharusnya terjadinya perceraian orangtua cenderung menimbulkan dampak yang
buruk terhadap sikap, perilaku dan pandangan remaja terhadap pernikahan dan
perceraian. Namun dalam penelitian ini, berdasarkan hasil yang diperoleh dari
total 70 responden yaitu terdapat sebanyak 40 responden memiliki persepsi
pernikahan yang positif dan 30 responden memiliki persepsi pernikahan yang
negatif. Dengan demikian hasil yang diperoleh dalam penelitian ini terkait
dengan gambaran persepsi pernikahan yang dimiliki remaja yang orangtuanya
bercerai cenderung memiliki jumlah yang lebih tinggi terhadap persepsi
pernikahan yang positif dibandingkan dengan persepsi pernikahan yang negatif.
Akan hal tersebut, Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012)
mengemukakan bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu memberikan
dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dengan demikian, dari hasil yang
diperoleh bahwa terjadinya perceraian orangtua tidak selalu membawa dampak
buruk terhadap anak. Walaupun dalam prosesnya tidak dapat dipungkiri bahwa
hal tersebut sangat menyakitkan bagi anak, sehingga membutuhkan beberapa
waktu bagi anak untuk dapat menerima dan beradaptasi akan terjadinya
perceraian orangtuanya.
Hetherington & Anderson (dalam Hines, 2012) yang dalam penelitiannya
menemukan beberapa remaja yang memperoleh kekuatan tertentu dari
pengalaman perceraian orangtuanya, khususnya dalam rasa tanggung jawab dan
meningkatnya kemampuan kompetensi anak. Akan hal tersebut, Santrock (2007)
mengatakan bahwa dalam perkembangan remaja, individu lebih cenderung
mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa, mencurahkan perhatian
terhadap perencanaan dan persiapan masa depannya, termasuk persiapan untuk
kehidupan berkeluarga.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah peneliti tidak mengambil data
subjek secara mendalam sebagai informasi tambahan seperti pengelompokkan
usia yang lebih banyak, jumlah bersaudara, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, jenis
perceraian orangtua, perasaan yang dirasakan saat orangtua bercerai dan lain-lain.
Dan setelah disimpulkan bahwa informasi-informasi tersebut di atas mampu
memberikan penguatan terhadap hasil perolehan persepsi pernikahan responden,
sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding dalam tahap perkembangan.
Responden dalam penelitian ini harusnya terdiri minimal 161 responden dari
remaja yang orangtuanya bercerai, namun karena keterbatasannya waktu
sehingga peneliti tidak dapat mengambil responden sebanyak 161 responden.
5.3 Saran
Penulis menyadari bahwa banyaknya kekurangan dalam penelitian ini
dari segala aspek. Untuk itu diharapkan dalam penelitian selanjutnya, jika peneliti
selanjutnya tetap ingin melakukan penelitian terhadap remaja, diharapkan peneliti
dapat meneliti tentang hubungan atau gambaran mengenai dampak perceraian
orangtua terhadap perilaku kencan di kalangan remaja. Namun, jika peneliti
selanjutnya ingin memperdalam lagi mengenai penelitian ini, diharapkan dalam
menentukan karakteristik subjek penelitian, peneliti sebaiknya menggunakan
subjek yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda, agar memperoleh
hasil yang lebih baik dan relevan terhadap variabel yang ingin diukur yaitu
persepsi pernikahan.
Tidak hanya itu saja, dalam penelitian selanjutnya diharapkan peneliti
dapat menggunakan campuran dalam metode penelitian yaitu dengan metode
kuantitatif dan metode kualitatif yang dapat digunakan sebagai untuk
memperoleh informasi yang lebih mendalam yang dapat mendukung penelitian.
Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat menentukan beberapa
data kontrol seperti usia, jenis kelamin, tinggal bersama, pekerjaan ayah,
pekerjaan ibu, lamanya perceraian orangtua, jenis perceraian apa yang terjadi saat
orangtuanya bercerai, yang dapat dijadikan sebagai perbandingan hasil sehingga
dapat memperkaya suatu penelitian dengan tujuan untuk memperoleh suatu
gambaran tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Amato, P.R. (2012). Parental Divorce and Attitudes toward Marriage and Family
Life. Journal of Marriage and the Family, 50(2), 453. Retrieved from
ProQuest Education Journals database.
Amato, P.R. (2012). Explaining the Intergenerational Transmission of Divorce.
Journal of Marriage and the Family, 58(3), 628-640. Retrieved from ProQuest
Education Journals database.
Anastasi, A., & Urbina, S. (2007). Tes Psikologi. (edisi ke-7). Jakarta: Indeks.
Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bird, G., & Melville, K. (1994). Families and Intimate Relationship (6th ed.).
New York; Prentice Hall.
DeGenova, Mary.K., & Rice, Philip.F. (2005). Intimate Relationships, Marriages,
and Families (6th ed.). New York: McGraw-Hill.Inc.
Duvall, E.M., & Miller, B.C. (1977). Marriage and Family Development (5th ed.).
New York: J.B Lippincott Company.
Eldar, D.A. (2012). Divorce Is A Part Of My Life…Resilience, Survival, and
Vulnerability: Young Adults’ Perception of the Implications of Parental
Divorce. Journal of Marital and Family Therapy, 35(1), 30-46. Retrieved from
ProQuest Education Journals database.
Garrison, M. (2010). The Decline of Formal Marriage: Inevitable or Reversible?
Journal of Family Law Quarterly, 41(3), 491-520. Retrieved from ProQuest
Education Journals database.
Hines, A.M. (2012). Divorced-Related Transitions, Adolescent Development, and
the Role of the Parent-Child Relationship: A Review of the Literature. Journal
of Marriage and the Family, 59(2), 375-388. Retrieved from ProQuest
Education Journals database.
Hurlock, E.B. (1978). Child Growth and Development (5th ed.). New York:
McGraw-Hill.Inc.
Jacquet, S.E., Surra, C.A. (2012). Parental Divorce and Premarital Couples:
Commitment and Other Relationship Characteristics. Journal of Marriage and
Family, 63(3), 627-638. Retrieved from ProQuest Education Journals
database.
Lahey, B.B. (2007). Psychology an Introduction (9th ed.). New York:
McGraw-Hill.Inc.
Martin, P.D. (2010). Expressed Attitudes of Adolescents Toward Marriage and
Family Life. Adolescence, 38, 359-67. Retrieved from ProQuest Education
Journals database.
Mulcahy.J. (2011). Get Real on Divorce's Damage to Kids. Journal of Marriage
and the Family, A 14. Retrieved from ProQuest Education Journals database.
Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Olson, David. H., & DeFrain, J. (2006). Marriages and Families; Intimacy,
Diversity, and Strengths (5th ed.). New York: McGraw-Hill.Inc.
Orbuch, T.L., Thornton, A., & Cancio, J. (2010). The Impact of Marital Quality,
Divorce, and Remarriage on the Relationships Between Parents and Their
Children. Marriage and Family Review, 29(4), 221. Retrieved from ProQuest
Education Journals database.
Papalia, D., Olds., & Feldman, R.D. (2009). Human Development (11th ed.).
Boston: McGraw-Hill.Inc.
Priyatno, D. (2011). Buku Saku Analisis Statistik Data SPSS. Jakarta:
PT. Buku Seru.
Rice, P.F., Dolgin, K.G. (2008). The Adolescent: Development, Relationship, and
Culture (12th ed.). Boston: Pearson education, Inc.
Richardson, S. (2011). Parental Divorce during Adolescence and Adjustment in
Early Adulthood. Adolescence, 36(143), 467-89. Retrieved from ProQuest
Education Journals database.
Risch, S.C., Jodl, K.M., Eccles, J.S. (2012) . Role of the Father – Adolescent
Relationship in Shaping Adolescents’ Attitudes Toward Divorce. Journal of
Marriage and Family, 66(1), 46-58. Retrieved from ProQuest Education
Journal database.
Rosmadi. (2012). Informasi Keperkaraan Peradilan Agama Tahun 2011.
Retrieved from http://badilag.net/statistik-perkara/10119-informasi-
keperkaraan-peradilan-agama-tahun 2011.html
Sarwono. S.W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: CV.Rajawali.
Santrock, J.W. (2009). Adolescence (12th ed.). New York: McGraw-Hill.Inc.
Shienvold, A.T. (2011). High Conflict Divorce and Children Adjustment. Journal
of Marriage and The Family, 34(1), 32-34. Retrieved from ProQuest Education
Journals database.
Sofiana, Y. (2001). Perbedaan persepsi mengenai perkawinan pada dewasa
muda dari keluarga bercerai dan keluarga utuh. Program Sarjana Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Statistik Perkara. (2011). Rekap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Pada Tiap-tiap MSy.P/PTA Seluruh Indonesia. Retrieved from
http://badilag.net/data/ditbinadpa/Subdit%20Stadok/Rekap%20faktor%20perce
raian%20tabel%20IV.pdf
Stinnett, N., & Stinnett, N. (2005). Relationship in Marriage and The Family (8th
ed.). New York: Pearson Custom Publishing.
Wardhani, A.K. (2012). Berselisih Jadi Alasan Perceraian Tamara dan Mike
Lewis. Retrieved from http://www.tribunnews.com/2012/05/04/berselisih-jadi-
alasan-perceraian-tamara-dan-mike-lewis
top related