eksistensi agama khonghucu di kabupaten...
Post on 08-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EKSISTENSI AGAMA KHONGHUCU DI KABUPATEN MAJALENGKA
(Studi Kasus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Penganut Agama Khonghucu)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
YUSUF ANBAR FIRDAUSI
NIM: 1110032100002
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
v
ABSTRAK
YUSUF ANBAR FIRDAUSI
1110032100002
Eksistensi Agama Khonghucu di Kabupaten Majalengka (Studi Kasus
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Penganut Agama Khonghucu)
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian tentang
bagaimana eksistensi atau keberadaan Agama Khonghucu di Kabupaten
Majalengka. Mengapa eksistensi menjadi suatu masalah? Seperti yang kita
ketahui, Agama Khonghucu di Indonesia adalah salah satu agama minoritas yang
memiliki masa lalu kelam di Indonesia. Pada masa Orde Baru, pelarangan
terhadap segala hal yang berhubungan dengan agama ini menjadikan
berkurangnya penganut atau bahkan fungsi rumah ibadahnya, yaitu klenteng.
Klenteng adalah bukti adanya Agama Khonghucu di suatu daerah, atau setidaknya
pernah ada. Keberlangsungan kegiatan penganut agama Khonghucu di klenteng
Hok Tek Tjeng Sin yang berada di Kabupaten Majalengka menjadi hal yang
menarik untuk dibahas. Disamping fakta bahwa klenteng ini adalah satu-satunya
klenteng yang masih hidup di Kabupaten Majalengka, bagaimana usaha pengurus
klenteng dan para penganut Agama Khonghucu untuk mempertahankan
keberlangsungan klenteng pun menarik untuk diikuti.
Penelitian ini bercorak penelitian lapangan (Field Research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan, mewawancarai
dan mengamati objek penelitian. Oleh karenanya penulis turun langsung ke
lapangan, termasuk ke Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Majalengka, masjid dan gereja yang berada di sekitar klenteng, hingga
rumah-rumah narasumber. Penelitian ini juga didukung dengan penelitian
perpustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
menelusuri dokumen-dokumen, jurnal, buku-buku yang berhubungan dengan
Agama Khonghucu di Indonesia.
Di dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa salah satu faktor yang
paling penting mengapa klenteng ini masih ada dan berfungsi adalah seorang
dokter, yaitu Dr. Iwan Satibi. Beliau adalah seorang dokter sekaligus rohaniwan
agama Khonghucu yang selalu mengusahakan agar klenteng Hok Tek Tjeng Sin
ini tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan hampir dirubuhkannya
klenteng ini pada masa Orde Baru, dan mengingat sedikitnya jumlah penganut
agama Khonghucu di Kabupaten Majalengka, Dr. Iwan Satibi adalah orang yang
sangat layak diapresiasi tinggi. Faktor lainnya ialah penganut agama Khonghucu
yang berasal dari luar Kabupaten Majalengka yang sampai penulisan skripsi ini
masih rutin berdatangan untuk beribadah pada hari-hari tertentu.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan kenikmatan baik
jasmani maupun rohani yang tak terhingga kepada kita. Puji syukur kepada Allah
SWT atas kasih serta sayang-Nya yang selalu tercurah hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “EKSISTENSI AGAMA KHONGHUCU
DI KABUPATEN MAJALENGKA (STUDI KASUS KLENTENG HOK
TEK TJENG SIN DAN PENGANUT AGAMA KHONGHUCU)” ini dengan
baik. Shalawat serta salam, selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya, serta pengikutnya yang
tercerahkan di jalan Allah.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
bantuan, petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Penulis
mengakui bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, maka sebagai tanda syukur dan penghargaan yang
tulus, penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dan Ibu kedua Orangtua tercinta, yang telah mendidik, memberikan
dukungan baik secara moril maupun materil serta do’a demi lancarnya studi
dan penulisan skripsi ini.
2. Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini,
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga pikiran dan kesabaran dalam
memberi arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Masri Mansoer, MA; Ketua Jurusan
Perbandingan Agama, Dr. Media Zainul Bahri; Sekretaris Jurusan
vii
Perbandingan agama, Ibu Halimah SM, MAg; serta seluruh Civitas
Akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Segenap dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang bersedia membekali pengetahuan selama penulis belajar di
Fakultas Ushuluddin.
5. Petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang
telah menyediakan referensi dalam bentuk buku yang penulis butuhkan.
6. Pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, Bapak Edhi Subhari selaku
narasumber yang selalu menyambut kedatangan penulis dan tidak segan-segan
memberikan apapun yang penulis butuhkan dalam skripsi ini.
7. Para narasumber, baik dari jemaat klenteng maupun masyarakat sekitar
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin di Kabupaten Majalengka yang bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan informasi yang penulis butuhkan
untuk penulisan skripsi ini.
8. Saudara dan keluarga besar penulis yang telah banyak memberi dukungan dan
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat terdekat (Imam Mufakkir, Faiz Ramadhan, Iman
Abdurrahman, Laila Nihayati, Firdaus, Haikal Rahmatullah, Kurniawan
Nugraha) yang selalu saling mendukung dan mengingatkan dalam pengerjaan
skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdo’a semoga dukungan, bimbingan,
perhatian, motivasi dari semua pihak dari awal perkuliahan sampai skripsi ini
dapat diselesaikan menjadi amal ibadah dan bermanfaat khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi para pembaca karya ini. Amin.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ............................................ iv
ABSTRAK ....................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian .................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan..................................................................................... 15
BAB II SEJARAH AGAMA KHONGHUCU DI KABUPATEN MAJALENGKA 17
A. Sekilas Pandang Agama Khonghucu di Indonesia dan Ajaran-ajarannya...... 17
B. Masuk dan Berkembangnya Agama Khonghucu di Majalengka .................. 25
C. Klenteng sebagai Tempat Ibadah Penganut Khonghucu ............................ .. 30
BAB III DINAMIKA EKSISTENSI KLENTENG HOK TEK TJENG SIN DAN
PENGANUT KHONGHUCU DI KABUPATEN MAJALENGKA.......... 43
A. Eksistensi Penganut Agama Khonghucu Pada Masa Orde Baru ................ 43
B. Agama Khonghucu dan Konversi Agama .................................................. 47
C. Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Pasca Orde Baru ........................................... 52
BAB IV EKSISTENSI KLENTENG HOK TEK TJENG SIN MASA SEKARANG 58
A. Peran Iwan Satibi Mempertahankan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin ............... 58
B. Pengaruh Abdurrahman Wahid Terhadap Klenteng ...................................... 60
C. Hubungan Masyarakat Sekitar dengan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin ........... 63
D. Fungsi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Masa Sekarang .................................... 65
BAB V PENUTUP ......................................................................................................... 70
A. Kesimpulan .................................................................................................... 70
B. Saran ............................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Khonghucu di negeri asalnya diakui sebagai agama resmi
sejak tahun 136 SM (Sebelum Masehi). Agama Khonghucu yang dibawa
oleh orang-orang Tiongkok yang datang ke Indonesia menyebar ke beberapa
daerah, tumbuh dan berkembang mengikuti pola kedaerahan dimana ia
tumbuh dan membaur dengan masyarakat asli daerah itu.1 Kehadiran orang
Tionghoa di Indonesia tidak dapat diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan
bahwa sejak zaman prasejarah telah terjadi penyebaran orang Tionghoa
dalam jumlah besar. Kedatangan orang-orang Tionghoa tersebut membawa
tradisi-tradisi yang dianggap penting, dan tata kehidupan yang berlaku di
daerah asalnya, serta sikap memelihara dan mempertahankan nilai-nilai
leluhurnya.2
Dalam perkembangannya, kehidupan masyarakat Tionghoa pun ikut
berkembang, seperti tumbuh dan berkembangnya agama dan budaya-budaya
baru lainnya. Dalam perjalanannya, banyak masyarakat Tionghoa Indonesia
yang memeluk agama Khonghucu.3 Masyarakat Tionghoa ini mempelopori
timbulnya agama Khonghucu dengan jalan menformulasikan ajaran-ajaran
dan praktik-praktik agama dan kepercayaan serta tradisi yang dilakukan oleh
1Gunawan Saidi, “Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia,” (Skripsi S1 Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 2. 2Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h.
31. 3Sulaiman. Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran, dan Keorganisasiannya di Pontianak Kalimantan
Barat. Jurnal Analisa. Volume XVI, No. 01, Januari-Juni 2009.
2
masyarakat Tionghoa di berbagai pelosok tanah air Indonesia.
Pada masa pemerintahan orde baru, agama Khonghucu dilarang oleh
pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan penganut agama Khonghucu
menjadi terhambat. Diskriminasi umat Khonghucu mulai dirasakan dengan
diterbitkannya instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau
Tionghoa. Kemudian disusul pada tahun 1978 diterbitkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18
November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh
pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, sehingga
mulailah keberadaan penganut agama Khonghucu dipinggirkan.4 Secara
sistematis dan masif dilakukan oleh para menteri dan pejabat terkait serta
penguasa setempat oleh para pelaku dan penerus kekuasaan pusat di setiap
provinsi, kota dan kabupaten melancarkan praktik diskriminasi tersebut di
atas5.
Tantangan terhadap hak warga bangsa di bidang sosial budaya ini
diikuti oleh berbagai peraturan yang mendiskriminasi kehidupan budaya
keagamaan yang dipeluk bangsa Indonesia keturunan Tionghoa sehingga
berdampak termarginalnya budaya religius Khonghucu bagi masyarakat
Indonesia Tionghoa selama 32 tahun lebih.6
4Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus pindah
agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya, h. 14-15. 5Buanajaya, B.S, Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan Khonghucu Di Indonesia
(Surakarta: Matakin-Dewan Rohaniawan Agama Khonghucu Indonesia, 2009), h. 55. 6M. Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009), h. 105.
3
Diskriminasi hak-hak sipil bagi etnis Tionghoa di berbagai bidang
kehidupan budaya keagamaannya: antara lain dianulirnya pencatatan
perkawinan secara agama Khonghucu di kantor Catatan Sipil, dihentikan
pendidikan agama bagi siswa/mahasiswa beragama Khonghucu, secara
sistematis ditiadakannya kolom agama Khonghucu pada Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Hal ini adalah salah satu
peristiwa pengebirian hak sipil untuk mereka.7
Begitu pula yang terjadi di kabupaten Majalengka, tidak jauh berbeda
dengan kondisi penganut Khonghucu di daerah lain, keberadaan penganut
agama Khonghucu di Majalengka pada akhirnya terpinggirkan. Efek dari
keluarnya kebijakan dari pemerintah tentang pelarangan agama Khonghucu
ternyata tidak sebatas pada ritual agama saja, namun merembet pada hal lain
di luar agama. Terjadi disparitas yang ekstrim dari pengetahuan yang bukan
hanya dalam bidang keagamaan dalam pengertian sempit, melainkan dalam
bidang yang lebih luas meliputi “hal-hal yang terkait dengan Tionghoa”
termasuk adat, tradisi dan filsafat8.
Klenteng, sebagai tempat ibadah agama Khonghucu, juga tidak
memiliki nasib yang lebih baik. Rumah ibadah harus menyesuaikan
mengikuti agama yang menjadi legal sesuai aturan Negara. Oleh karenanya,
muncullah ajaran Tridharma (Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme)9
7Buanajaya, B.S, Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan Khonghucu Di Indonesia
(Surakarta: Matakin-Dewan Rohaniawan Agama Khonghucu Indonesia, 2009), h. 34. 8Wawancara dengan Bratayana Ongkowijaya, SE, XDS, Ketua Bidang Organisasi dan Lintas
Agama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) pada tanggal 19 November 2016 di
Khongcu Bio Tangerang. 9Tridharma kadang-kadang dieja dalam dua kata sebagai “Tri Dharma”. Sebagaimana akan
diterangkan kemudian, organisasi yang ikut dalam jajaran Sam Kauw Hwee, dan yang akan memperluas
4
untuk adaptasi peraturan pemerintah.10
Langkah ini diambil cukup
kompromis dari sisi politis dan juga keberlangsungan klenteng sebagai
sarana ibadah secara bersama-sama penganut agama sejenis, termasuk
sebagai upaya menjaga eksistensi bangunan budaya klenteng yang berumur
ratusan tahun11
.
Merujuk pada sumber yang ada dalam prasasti yang tertulis di
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, bangunan ini didirikan sejak 1803, sejak itu
klenteng ini mengalami dua kali perubahan, pemugaran pertama kali
dilakukan tahun 1903 dan pemugaran kedua tahun 1992.12
Melihat umur
bangunan yang sudah dua abad lebih ini masih berdiri kokoh dan masih
terjaga keberadaannya, bahkan bangunan ini saat ini menjadi cagar budaya
yang tentu saja dilindungi maka tidak heran kita patut mengapresiasi upaya
penganut agama Khonghucu di kabupaten Majalengka menjaga eksistensi
klenteng Hok Tek Tjeng Sin sampai sekarang ini, mengingat selama 32 tahun
orde baru keberadaannya tidak diakui. Fungsi utama klenteng-klenteng
agama Khonghucu, adalah sebagai tempat peribadatan. Di klenteng
orang-orang mengangkat dupa, menangkupkan telapak tangan saat berdoa,
dan membakar kertas untuk menyembah dewa-dewa yang terkenal dalam
basisnya di Jawa Barat menggunakan “Tridharma” untuk menekankan kesatuan dari elemen-elemen ketiga
ajaran, sementera organisasi yang berkembang kemudian di Jawa Timur telah menggunakan kata “Tri
Dharma”. lihat dalam Tsuda Koji. 2012b. “The Legal and Cultural Status of Chinese Temples in
Contemporary Java.” Asian Ethnicity 13(4): 392. 10Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang Penataan Klenteng yang
menyatakan bahwa unsur-unsur yang terkait dengan klenteng-klenteng harus dihindarkan karena “tatabudaya
asing” itu tidak sesuai dengan “kepribadian Indonesia”. Lihat dalam I. Wibowo. dkk. 2010. Setelah Air Mata
Kering. Jakarta: Kompas. 194. 11Wawancara dengan Edi Subhari, pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada tanggal 29
November 2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka. 12Observasi awal ke Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada tanggal 12 September 2016. Prasasti yang
berupa tulisan penanggalan awal berdiri, pemugaran terdapat dalam tembok di salah satu sudut di Klenteng
Hok Tjeng Sin.
5
kepercayaan Tionghoa. Sekilas pemandangan “biasa” ini membangkitkan
sensasi “tradisi”, dari praktek-praktek upacara yang diturunkan dari generasi
ke generasi di antara orang-orang Tionghoa, melebihi batasan-batasan waktu
dan geografi.13
Namun, bidang ini, meskipun secara umum dimengerti sebagai
“kepercayaan etnik Tionghoa”, sama sekali tidak mempertahankan
keberadaannya secara “tradisional”.14
Sebaliknya, demi mengadaptasi ke
kondisi sosial dan politik, “tradisi” ini telah melewati perubahan-perubahan
berarti. Perubahan yang paling nyata terjadi pada pergantian abad ke 20 di
bawah struktur kolonial Hindia Belanda Timur, ketika para cendekiawan
Peranakan Tionghoa mencari dan secara sangat sadar mendukung konsep
“Agama Tionghoa” yang jelas sebagai tonggak spiritual untuk
memodernisasi “orang-orang Tionghoa.”15
Maka dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk menelusuri
keberadaan agama Khoghucu di Jawa Barat, khususnya kabupaten
Majalengka mengenai keberadaan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang berdiri
sejak tahun 1803, bahkan secara historis keberadaan klenteng ini lebih tua
dari pendirian kabupaten Majalengka sendiri yaitu tanggal 11 Februari 1840
berdasarkan Staatsblad nomer 7: Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jendral
13Wawancara dengan Bratayana Ongkowijaya, SE, XDS, Ketua Bidang Organisasi dan Lintas
Agama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) pada tanggal 19 November 2016 di
Khongcu Bio Tangerang. 14Tsuda Koji. 2012b. “The Legal and Cultural Status of Chinese Temples in Contemporary
Java.” Asian Ethnicity 13(4): 389-398. 15Wawancara dengan Bratayana Ongkowijaya, SE, XDS, Ketua Bidang Organisasi dan Lintas
Agama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) pada tanggal 19 November 2016 di
Khongcu Bio Tangerang.
6
Hindia Belanda nomer 2.16
Tidak banyak peninggalan fisik peninggalan
agama Khonghucu di kabupaten Majalengka. Dari ketiga bangunan klenteng
di kabupaten Majalengka, hanya klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang masih
memiliki fungsi sebagai rumah ibadah penganut agama Khonghucu. Dengan
data tersebut menunjukkan keberadaan klenteng yang cukup lama dan tentu
saja para penganutnya yang ada pada masa itu lebih dulu membaur dengan
masyarakat pada masanya merupakan kajian yang cukup menarik17
.
Berdasarkan paparan di atas maka peneliti tertarik mengembangkan
kajian yang lebih mendalam melalui sebuah penelitian dalam bentuk skripsi
dengan judul: “Eksistensi Agama Khonghucu di Kabupaten Majalengka
(Studi Kasus Penganut Khonghucu dan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin).”
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dirumuskan oleh peneliti dalam skripsi ini
adalah bagaimana cara penganut Agama Khonghucu di Kabupaten
Majalengka mempertahankan eksistensi dan fungsi klenteng Hok Tek Tjeng
Sin dari mulai masa pemerintahan Orde Baru hingga masa sekarang.
16Menurut penelusuran sejarah ada dua hal penting dalam proses pendirian kabupaten majalengka
pada masa itu, pertama pada tanggal 5 Januari 1819 pada saat itu terjadi Pembentukan Karesidenan Cirebon,
terdiri atas Keregenan (Kabupaten) Cirebon, Maja, Bengawan Wetan, Kuningan, dan Galuh
(Ciamis–Pen.)[PENDIRIAN KABUPATEN MAJA] data ini berdasarkan Besluit (Surat Keputusan)
Komisaris Jendral Hindia Belanda No. 23. Selanjutnya pada 11 Februari 1840 terjadi peristiwa (1)
Perpindahan ibu kota Kabupaten Maja ke “daerah Sindangkasih” (2) Perubahan nama Kabupaten Maja
menjadi Kabupaten Majalengka (sama makna dengan majapahit).(3) Perubahan nama tempat kedudukan (ibu
kota) baru Kabupaten Maja yang yang semula bernama “daerah” Sindangkasih menjadi “kota”
Majalengka [Pendirian Kota Majalengka]. lihat tulisan Tatang M. Amirin, “Kabupaten Majalengka: Melacak
Jejak Hindia Belanda”, https://tatangmanguny.wordpress.com/sejarah-kabupaten-majalengka-bunga-rampai/
diakses tanggal 4 September 2016. 17Wawancara dengan Edi Subhari, pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada tanggal 29
November 2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara penganut
Agama Khonghucu di Kabupaten Majalengka mempertahankan eksistensi
dan fungsi klenteng Hok Tek Tjeng Sin dari mulai masa pemerintahan Orde
Baru hingga masa sekarang.
Sedangkan manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti
dan akademisi lainnya tentang eksistensi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Majalengka dari mulai dibangun hingga masa sekarang.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bagi masyarakat tentang rumah
ibadah bagi agama Khonghucu yaitu Klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
c. Manfaat Akademis
Untuk memenuhi tugas akhir dan untuk memenuhi syarat mencapai gelar
S1 (strata satu) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin berupa penelitian
karya ilmiah/skripsi.
D. Tinjauan Pustaka
Peneliti telah melakukan tinjauan terhadap penelitian – penelitian
terdahulu dan belum menemukan penelitian yang membahas mengenai
eksistensi agama Khonghucu di Majalengka (Studi Kasus Klenteng Hok Tek
Tjeng Sin), akan tetapi peneliti menemukan penelitian yang berkaitan dengan
penelitian ini namun memiliki fokus pembahasan yang berbeda, diantaranya
8
adalah:
1. Perkembangan agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi
(Studi Kasus di Masyarakat Cina Penganut agama Khonghucu di
Tangerang) yang ditulis oleh Gunawan Saidi, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Skripsi ini membahas
perkembangan agama Khonghucu di Tangerang pada masa reformasi.
Skripsi menarik kesimpulan bahwa perkembangan agama Khonghucu di
Tangerang pada masa reformasi tidak terlepas dari peranan umat dan
misi ajaran Khonghucu. Beberapa pelarangan dan pembatasan beragama
bagi umat Khonghucu hanya akan memicu diskriminasi terhadap agama.
Namun untungnya Presiden Abdurrahman Wahid dan presiden-presiden
setelahnya selalu menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi,
sehingga umat Khonghucu di Tangerang bisa berkembang.
2. Dampak Perkembangan agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi
kasus pindah agama umat Buddha di Tangerang) yang ditulis oleh Sabar
Sukarno, dosen Sekolah Tinggi agama Buddha Negeri Sriwijaya
Tangerang Banten. Penelitian ini membahas dampak perkembangan
agama Khonghucu terhadap agama Buddha pasca reformasi di wilayah
Tangerang. Agama Khonghucu pernah dilarang keberadaannya pada
masa orde baru. Setelah terjadi reformasi, agama Khonghucu diizinkan
berkembang lagi. Ini merupakan hal positif bagi agama Khonghucu dan
warga Tionghoa pada umumnya, tetapi di sisi lain memberikan dampak
tersendiri terhadap agama Buddha dalam aspek pemeluk agama, tempat
ibadah, organisasi dan aspek sosial.
9
3. Ratio Legis Presiden Abdurrahman Wahid Menjadikan Khonghucu
Sebagai Agama Resmi Negara (Analisis Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina). Skripsi ini
ditulis oleh Airin Liemanto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang. Skripsi ini membahas kebijakan Abdurrahman Wahid
di era reformasi yang mendukung kebebasan beragama. Diawali dengan
Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 200 tentang Pencabutan Instruksi
Presiden Nomor 14 tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina. Fakta kesejarahan yang terjadi di Indonesia terbalik
dengan fakta yang terjadi di negeri Tiongkok. Masyarakat Tiongkok
lebih melihat Konfusius sebagai pendidikan filsafat dan bukan agama.18
Sedangkan di Indonesia, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000, menjadikan Khonghucu kembali lagi diakui
sebagai agama resmi negara.
Penelitian yang disebutkan di atas memiliki beberapa persamaan
dengan skripsi peneliti yaitu meneliti tentang agama Khonghucu di Indonesia.
Namun memiliki perbedaan dalam fokus pembahasan yaitu pada penelitian
pertama adalah tentang perkembangan pada masa reformasi, penelitian kedua
membahas tentang hubungan agama Khonghucu dan agama Buddha pasca
Orde Baru, dan penelitian ketiga fokus membahas Keputusan Presiden
Abdurrahman Wahid yang kembali menetapkan Khonghucu sebagai agama
18Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 120.
10
resmi Negara. Ketiga penelitian di atas memiliki signifikansi dengan
penelitian yang peneliti lakukan, yaitu bagaimana agama Khonghucu tidak
serta-merta mati atau hilang begitu saja setelah adanya pelarangan, namun
bisa bertahan dengan berbagai cara yang ditempuh.
E. Metodologi Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (Field
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung ke
lapangan, mewawancarai dan mengamati objek penelitian19
. Peneliti mulai
mengumpulkan data ke lapangan pada tanggal 12 September 2016 hingga 20
Desember 2016 dengan total 14 kali turun ke lapangan, termasuk ke
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka,
masjid dan gereja yang berada di sekitar klenteng, Sekolah Alkitab
Penyebaran Injil (SEAPIN) Majalengka, hingga rumah-rumah narasumber.
Dengan begitu, peneliti dapat melihat langsung antusiasme masyarakat
Kabupaten Majalengka dan di luar Majalengka terhadap keberadaan
klenteng.
Penelitian ini juga didukung dengan penelitian perpustakaan (Library
Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelusuri
dokumen-dokumen, jurnal, buku-buku.20
Karena dalam penelitian ini,
peneliti mempelajari sejarah Khonghucu di Indonesia, peraturan-peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan klenteng, serta pengaruh Abdurrahman
19Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 53. 20Sjamsudin, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Ombak, 2007), h. 76.
11
Wahid terhadap klenteng. Data-data tersebut peneliti dapatkan dari
penelusuran kepustakaan.
b. Sumber Data
1. Data primer dalam penelitian ini adalah data-data yang diambil dari
lapangan langsung baik melalui wawancara pengurus dan jemaat
klenteng, masyarakat sekitar klenteng di kabupaten Majalengka
maupun observasi langsung, serta dokumen-dokumen klenteng Hok
Tek Tjeng Sin. Wawancara yang dilakukan terdiri dari 1 orang
pengurus klenteng yang sangat memahami agama Khonghucu, 8 orang
jemaat klenteng yang datang setiap dua minggunya ke klenteng Hok
Tek Tjeng Sin, beberapa orang warga sekitar klenteng yang memiliki
hubungan dengan masyarakat penganut agama Khonghucu, dan
beberapa penganut agama Khonghucu yang pernah rutin beribadah ke
klenteng Hok Tek Tjeng Sin namun telah konversi ke agama lain.
2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau
literatur-literatur yang membahas agama Khonghucu, baik sejarah
masuk maupun ajaran-ajarannya serta peneletian sebelumnya yang
membahas agama Khonghucu, baik upacara, ajaran-ajaran maupun
perkembangannya di Indonesia.
c. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu kajian ilmu
tentang kemasyarakatan yang ingin mengetahui secara mendalam tentang
gejala dan struktur sosial yang ada di dalam masyarakat, yang dimana akan
12
membentuk suatu pola pikir dan tindakan pola pikir.21
Dalam ilmu sosiologi
dikenal istilah institusi sosial. Institusi merupakan satuan norma khusus yang
menata serangkaian tindakan yang berpola untuk keperluan khusus manusia
dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat, aktivitas
manusia atau kemasyarakatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar
bisa dikategorikan sebagai institusi sosial. Salah satunya adalah jika
kelompok manusia tersebut menjalankan aktivitas bersama dan saling
berhubungan menurut sistem norma-norma tersebut.22
Itu artinya klenteng
merupakan salah satu institusi sosial. Peneliti menggunakan pendekatan ini
karena objek pada penelitian ini adalah manusia, yang merupakan makhluk
sosial, dan gejala keberagamaan yang timbul dari manusia itu sendiri. Oleh
karena itu pendekatan ini digunakan untuk meneliti gejala sosial dan
keberagamaan yang timbul di klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan masyarakat
Tionghoa yang berada di Kabupaten Majalengka.
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1. Kepustakaan
Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul „Metode
Penelitian‟, studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur,
catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan
21Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 9. 22Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1987), h. 70-74.
13
masalah yang dipecahkan, dalam hal ini adalah mengenai Klenteng
sebagai rumah ibadah, dan Agama Khonghucu pada umumnya.23
Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku agama Khonghucu, jurnal,
dokumen dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.
Peneliti menggunakan data kepustakaan terutama untuk data-data
sekunder yang terkait dengan sejarah masuknya Agama Khonghucu di
Indonesia secara umum, ataupun khususnya di Kabupaten Majalengka,
juga dengan ajaran-ajarannya. Peneliti menggunakan studi kepustakaan ini
karena penelitian yang bersangkutan tidak cukup hanya dengan observasi
dan wawancara, namun juga butuh pijakan teoritis yang melandasi
penelitian lapangan.
2. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu.24
Wawancara ini dilakukan dengan tujuan menyajikan konstruksi
saat sekarang dalam suatu konteks mengenai pribadi, peristiwa, aktivitas,
organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi tingkat dan bentuk
keterlibatan25
pengurus dan para penganut agama Khonghucu pada
klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan masyarakat Tionghoa yang berada di
kabupaten Majalengka. Wawancara ini juga dilakukan terhadap
masyarakat kabupaten Majalengka yang berada di sekitar klenteng.
23M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 4-5. 24Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 180. 25Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 79.
14
3. Observasi langsung
Teknik observasi langsung dipergunakan untuk menggali data dari
sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda, gambar
atau rekaman keberadaan klenteng Hok Tek Tjeng Sin. Observasi
langsung ini dilaksanakan secara formal dan informal. Observasi dalam
penelitian kualitatif sering disebut observasi yang berperan pasif.26
Peneliti tertarik terhadap Klenteng Hok Tek Tjeng Sin di Kabupaten
Majalengka sudah sekian lama, karena Kabupaten Majalengka adalah
kampung halaman peneliti. Peneliti sering melintasi lewat Klenteng Hok
Tek Tjeng Sin sebelumnya, tetapi tidak pernah masuk ke dalamnya.
Peneliti mulai tertarik dengan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin sejak
mendapatkan mata kuliah Tao dan Konfusianisme, dan baru memulai
observasi langsung di klenteng ini sejak ada tugas penelitian skripsi untuk
syarat kelulusan Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Di sana peneliti menemui pengurus klenteng dan penganut agama
Khonghucu yang sedang datang untuk beribadah.
4. Mencatat Dokumen/Arsip
Teknik ini akan dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang
bersumber dari dokumen dan arsip27
yang berkaitan dengan agama
Khonghucu di Majalengka dan juga keberadaan klenteng Hok Tek Tjeng
Sin Majalengka, dari mulai sertifikat Klenteng, maupun dokumen yang
26Sutopo, H.B, Metodologi Penelitian Kualitatif - Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian
(Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002), h. 185. 27Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 45.
15
berhubungan dengan Dr. Iwan Satibi, tokoh Agama Khonghucu yang
paling besar perannya dalam mempertahankan eksistensi Klenteng Hok
Tek Tjeng Sin.
e. Analisa Data
Metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, yaitu
mendalami tentang eksistensi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka dari
masa ke masa, dalam penelitian ini dipersempit hanya dari masa Orde Baru
hingga masa sekarang ini. Metode anlisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kajian deskriptif yaitu metode kajian yang meneliti suatu keadaan
dengan tujuan membuat deskripsi dan gambaran secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta di lapangan pengkajian serta hubungan antar
fenomena yang sedang diteliti.
F. Sistematika Penelitian
Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab I adalah
pendahulian. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan
rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Di dalam bagian ini
juga akan diuraikan tujuan, manfaat dan metode penelitian.
Pada bab II, akan dikemukakan secara umum masuknya agama
Khonghucu di Indonesia dan khususnya di Majalengka. Dari mulai
berdirinya Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, Masuk dan berkembangnya agama
Khonghucu di Majalengka, hingga profil klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
Pada bab III, akan diuraikan tentang dinamika eksistensi Klenteng
Hok Tek Tjeng Sin dan penganut Khonghucu di Majalengka. Di dalamnya
16
terdapat eksistensi penganut Khonghucu dan klenteng pada masa Orde Baru,
masuknya masyarakat luar Majalengka di klenteng, hingga eksistensi
Penganut Khonghucu dan klenteng pasca Orde Baru.
Pada bab IV, akan diuraikan Eksistensi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
masa sekarang, dari mulai peran Iwan Satibi dalam mempertahankan
klenteng, masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, hubungan masyarakat
sekitar dengan klenteng, hingga fungsi klenteng pada masa sekarang.
Pada bab V, merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini yang
terdiri dari dua sub bab, yakni sub bab pertama yang berisikan Kesimpulan
dan sub bab kedua yang berisikan Saran.
17
BAB II
SEJARAH AGAMA KHONGHUCU DI KABUPATEN MAJALENGKA
A. Sekilas Pandang Agama Khonghucu di Indonesia dan Ajarannya
Sudah hampir satu abad agama Khonghucu berkembang di tengah-
tengah masyarakat Indonesia. Namun ada kalangan yang mengatakan bahwa
agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak orang Tiongkok pertama kali
datang ke Indonesia. Orang-orang Tiongkok sudah datang ke Jawa jauh
sebelum kedatangan orang Barat. Pada abad ke-4, Fa Hsien seorang pendeta
Buddha yang berasal dari Tiongkok melakukan perjalanan ke India. Saat
perjalanan pulang, ia singgah di Jawa selama lima bulan. Berdasarkan
catatan yang dibuatnya, saat itu belum ada orang Tionghoa yang menetap di
Jawa. Pada abad ke-7, pendeta Buddha lainnya bernama I Tsing ingin
mempelajari agama Buddha dan singgah di Nusantara untuk belajar bahasa
Sansekerta.1
Pada abad ke-9 yaitu masa Dinasti Tang, banyak orang Tionghoa
yang berdatangan ke Nusantara untuk berdagang dengan tujuan mencari
kehidupan yang baru. Dan pada masa kerajaan Airlangga ditemukan koloni
orang Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem dan Banten. Kondisi inilah
yang menggambarkan bahwa orang Tionghoa mampu mempertahankan
kedudukannya dan dapat diterima masyarakat setempat.2 Sama halnya seperti
agama Islam, agama Khonghucu bukanlah misi utama para pendatang dari
Negeri Tiongkok. Agama hanyalah salah satu warisan turun-temurun yang
dibawa, disamping misi utama, yaitu perdagangan.
1Poerwanto Hari, Orang Cina Khek Dari Singkawang (Depok: Komunitas Baru, 2005), h. 39. 2Setiono Benny, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Trans Media, 2008), h. 20.
18
Di negaranya sendiri, ajaran-ajaran klasik Tiongkok bukan dikenal
sebagai agama. Karena konsep keberagamaan, dari mulai Tuhan, kitab suci,
rumah ibadah serta ajaran-ajaannya tidak bisa disamakan dengan agama
Islam, Kristen maupun Yahudi. Menurut Ongkoham, Konfusianisme
bukanlah agama. Konfusius sama sekali tidak memikirkan akhirat. Beliau
mengajarkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan setelah
mati, seperti hubungan harmonis antar manusia. Konfusianisme mewariskan
satu tradisi yang menjadi identitas kehidupan spiritual masyarakat Tionghoa
secara umum, yakni fokus pada keluarga, baik yang masih ada maupun yang
sudah wafat. Konfusianisme biasanya dihayati oleh para mandarin elit politik
atau birokrasi. Sedangkan kaum pendatang di Indonesia bukan dari kalangan
itu. Jadi bisa dikatakan peran Konfusianisme hanyalah sedikit, kecuali dalam
hal pemujaan nenek moyang.3
Di Indonesia, agama yang dianut oleh penduduknya adalah hal yang
sangat penting, berbeda dengan beberapa negara lainnya. Agama yang dianut
pun harus jelas asal-usulnya, termasuk agama Khonghucu. Walaupun agama
Khonghucu diyakini sudah lama tersebar di tanah air, berdirinya Tiong Hoa
Hwee Koan (THHK) dan Khong Kauw Hwee adalah simbol berkembangnya
agama Khonghucu di Indonesia.4 Pada awalnya, berdirinya THHK adalah
gerakan menterjemahkan kitab Tai Hak (Ajaran Besar) dan Tiong Yong
(Yang Sempurna) ke dalam Bahasa Melayu oleh Tan Ging Tiong.
3Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 118 – 120. 4M. Ikhsan Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), h. 87.
19
Penerjemahan kitab Tai Hak dan Tiong Yong yang ditulis pada tahun 1900 ini
secara langsung telah mempromosikan ajaran Khonghucu di kalangan
masyarakat Tionghoa di Indonesia. Masyarakat keturunan Tionghoa memang
sebagian sudah tidak bisa berbahasa Mandarin.5 Oleh karena itu mereka
mendirikan sekolah-sekolah yang di dalamnya diajarkan ajaran-ajaran etika
dari Khonghucu.6
Konfusius atau Khonghucu mulai dikenal di Cina melalui pemikiran-
pemikirannya yang cemerlang yang dilontarkan pada zaman Chou Timur
(770-221 SM). Konfusius lahir pada tahun 551 SM berasal dari kota Lu,
provinsi Shandong. Konfusius dibesarkan oleh ibunya karena ia sudah
kehilangan ayahnya ketika masih berusia tiga tahun. Ketika dewasa dan
bekerja sebagai pegawai pada kuil bangsawan Zhou, ia mengikuti semua
detail-detail yang terdapat dalam perayaan yang akhirnya menjadikannya
sebagai seorang yang ahli dalam ritual agama kuno. Hal ini membuatnya
mempunyai banya pengikut yang hendak berguru kepadanya.7
Ajaran Konfusianisme atau Khonghucu atau Konfusius dalam bahasa
Mandarin, istilah aslinya adalah Ru Jiao yang berarti agama dari orang-orang
yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Dalam agama Khonghucu
terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama
Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama
manusia atau disebut „Ren Dao’ dan bagaimana cara melakukan hubungan
5Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), h. 1. 6Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 91. 7Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 16.
20
dengan Sang Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah
„Thian’ atau „Shang Di’.8
Sedangkan iman menurut ajaran Khonghucu harus dipahami sebagai
perasaan dan kebatinan yang melibatkan hati nurani, pengalaman spiritual,
keyakinan, pencarian, tindakan dan perbuatan nyata untuk menggapai suatu
kebahagiaan yang amat indah. Murid nabi Khonghucu pun selalu meraba-
raba dalam memahami iman. Ada ajaran nabi Khonghucu yang tidak bisa
diterima dengan indra pendengaran, tidak bisa dinalar dengan pikiran
manusia, dan sulit dijelaskan dengan kata-kata. Semuanya hanya bisa
diterima oleh kepercayaan dan keyakinan. Di dalam iman juga ada
peribadatan, suatu rasa syukur dan satya kepada Thian YME atau dalam
bahasa Khonghucu disebut Zhong.9
Selain pemujaan terhadap Tuhan (Thian), pemujaan terhadap leluhur
juga menjadi salah satu pokok dalam ajaran Konfusius. Pemujaan terhadap
leluhur adalah menolong seseorang untuk mengingat kembali asal-usulnya.
Disini asal mula manusia adalah dari leluhurnya. Upacara pemujaan terhadap
leluhur disini diperlukan sesaji. Sebagian aktivitas rumah tangga dalam
keluarga Cina selalu berhubungan dengan roh leluhur. Salah satu fungsi
utama keluarga adalah melaksanakan pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan
leluhur dipandang sebagai perwujudan dari bakti anak terhadap orangtua dan
leluhurnya (Xiao).10
8Pokok Ajaran Agama Khonghucu. www.matakin.or.id diakses pada tanggal 15 Desember 2016. 9Ongky Setio Kuncono, Tomorrow Spirit (Jakarta: Gerbang Kebijakan Ru, 2015), h. 27. 10Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 17.
21
Bagi orang Cina, merupakan kewajiban mereka untuk menghormati
Konfusius yang mereka anggap sebagai guru besar seperti halnya
penghormatan terhadap orang tua. Konfusius dianggap telah berjasa dalam
mengajarkan dasar-dasar ajaran moral yang sampai sekarang masih terus
diterapkan. Filsafatnya yang pada akhirnya menyatu dengan kehidupan
masyarakat Cina membuat secara keseluruhan ajaran Konfusius lebih banyak
ditujukan kepada manusia sebagai makhluk hidup. Sebagai bukti akan
kebesaran konfusius, tahun pertama dari penanggalan Imlek dihitung sejak
tahun kelahirannya.11
Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga
hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik.
Penganutnya diajarkan agar tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh
mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika
yang mengajarkan bagaimana manusia bertingkah laku.12
Konfusianisme
juga lebih mengutamakan kebaikan di dunia, dan jarang membahas
kehidupan setelah kematian. Menurut Konfusius, lebih baik jalani hidup
dengan berbuat baik terhadap sesama, karena apa yang dilakukan oleh
manusia, baik atau buruknya, akan kembali kepadanya.13
Salah satu religi dan tradisi Konfucian (Rujiao/Kongjiao) adalah
Imlek.14
Di Tiongkok terdapat dua jenis kalender: kalender tradisional yang
11Pokok Ajaran Agama Khonghucu. www.matakin.or.id diakses pada tanggal 15 Desember 2016. 12Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus
pindah agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya, h. 7. 13Konfusius, Analek Konfusius Kitab Kearifan Konfusius (Yogyakarta: New Diglossia, 2010), h.
10. 14Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
22
biasa disebut agricultural calendar dan kalender Gregorian yang biasa
disebut kalender umum atau kalender Barat. Nama lain dari kalender
Tionghoa adalah kalender "Yin”, yang dihitung atas dasar perhitungan bulan.
Sedangkan kalender Gregorian disebut kalender "Yang”, yang dikaitkan pada
perhitungan matahari. Kalender Tionghoa disebut kalender lama sedangkan
kalender Gregorian disebut kalender baru. Kalender Imlek (Yinli) adalah
kalender yang dihitung mulai dari tahun lahirnya Nabi Kongzi tahun 551
SM. Jadi tahun 2017 ini berarti tahun 551+2017 = 2568 Imlek. Karena awal
tahunnya dimulai dari awal kelahiran Sang Nabi, maka kalender Imlek juga
disebut Khongcu-lek.15
Kalender Imlek pertama kali diciptakan oleh Huang Di, seorang
Nabi/Raja agung dalam agama Ru jiao / Khonghucu. Lalu kalender ini
diteruskan oleh Xia Yu, sorang raja suci/nabi dalam agama Khonghucu pada
Dinasti Xia (2205 - 1766 SM). Dengan jatuhnya dinasti Xia dan diganti oleh
Dinasti Shang (1766 - 1122 SM), maka sistem kalendernya juga berganti.
Tahun barunya dimulai tahun 1 dan bulannya maju 1 bulan sehingga kalau
kalender yang dipakai Xia tahun baru jatuh pada awal musim semi, maka
pada Shang tahun barunya jatuh pada akhir musim dingin. Dinasti Shang lalu
diganti oleh Dinasti Zhou (1122 – 255 SM), dan bergantilah sistem
penanggalannya juga. Tahun barunya jatuh pada saat matahari berada di garis
23,5 derajat Lintang Selatan yaitu tanggal 22 Desember saat puncak musim
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 19.
15Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus
pindah agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya, h. 10-11.
23
dingin. Dinasti Zhou lalu diganti Dinasti Qin (255 – 202 SM). Berganti pula
sistemnya. Begitu pula ketika Dinasti Qin diganti oleh Dinasti Han (202 SM
– 206 M). Pada zaman Dinasti Han, Kaisar Han Wu Di yang memerintah
pada tahun 140-86 SM lalu mengganti sistem kalendarnya dan mengikuti
anjuran Nabi Kongzi untuk memakai sistem Dinasti Xia. Sebagai
penghormatan atas Nabi Kongzi, maka tahun kelahiran Nabi Kongzi 551 SM
ditetapkan sebagai tahun pertama. Dengan demikian penanggalan Imlek
adalah perayaan umat Khonghucu.16
Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia ditandai pula oleh
berdirinya lembaga-lembaga agama tersebut. Berdirinya lembaga Agama
Khonghucu dimulai pada Tahun 1918 dengan rincian seperti di bawah ini:17
1918 diresmikan Khong Kauw Hwee (Kong Jiao Hui) di kota Surakarta,
yang kemudian disusul pula oleh kota-kota lainnya.
Tahun 1920an Kong Jiao Hui Surabaya menerbitkan majalah Djiep Tek
Tjie Boen (Ru De Zhi Men).
1923 mulai dilakukan musyawarah untuk membentuk badan pusat yang
dinamakan Khong Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hui) di
Yogyakarta. Bandung dipilih sebagai kedudukan pusat organisasi dan Poei
Kok Gwan terpilih sebagai ketua umum. Keputusan ini didukung oleh
Khong Kauw Hwee dari kota Surabaya, Sumenep, Kediri, Surakarta,
Semarang, Blora, Purbolinggo, Cicalengka, Wonogiri, Yogyakarta,
16Ongky Setio Kuncono, “Penanggalan Imlek dan Kongzi li (Penanggalan Khonghucu),” artikel
diakses pada 21 Maret 2017 dari https://www.spocjournal.com/religi/591-imlek-adalah-penghargaan-
terbesar-kepada-nabi-kongzi.html 17Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 98.
24
Kartasura, dan Pekalongan. Pada tahun itu pula, diterbitkan majalah
Khong Kauw Gwat Poo atau Kong Jiao Yue Bao.
25 September 1924 diadakan Kongres di Bandung yang tujuan utamanya
membahas lebih lanjut penyeragaman tata ibadah di seluruh tanah air.18
25 Desember 1938 diadakan konferensi di Surakarta dan kedudukan pusat
dialihkan ke kota Surakarta, dengan ketua umum Tio Tjien Ik, sekretaris
Auw Ing Kiong dan diterbitkan majalah bulanan Bok Tok Gwat Po (Mu
Duo Yue Bao).
20 Februari 1939 diadakan perayaan Tahun Baru Imlek bersama di
Surakarta.
24 April 1940 diadakan konferensi Kong Jiao Zong Hui di Surabaya yang
hasil antara lain: (1) Konferensi tahun 1941 akan diselenggarakan di
Cirebon; (2) Semua sekolah Khong Kauw Hwee diberi pelajaran agama
Khonghucu; (3) Upacara pernikahan dan kematian supaya diselidiki dan
disesuaikan dengan keadaan zaman, tapi tetap berpatokan pada nilai-nilai
Ru Jiao.19
Pada tahun 1942, karena imbas perang dunia II dan masuknya bala tentara
Jepang ke Indonesia, Khong Kauw Tjong Hwee yang dianggap anti-
Jepang dibekukan.
Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Pada masa itu, Litang (tempat
ibadah umat Khonghucu) banyak menampung pengungsi tanpa
18Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 98. 19Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 99.
25
memandang ras. Hal ini sesuai dengan prinsip “Di Empat Penjuru
Samudera Semua Umat Bersaudara”.
Masa Kemerdekaan - Pada awal-awal kemerdekaan NKRI, kegiatan
Khong Kauw Hwee lebih banyak bersifat lokal. Pada bulan Desember
1954, di Solo, diselenggarakan konferensi tokoh-tokoh agama Khonghucu
untuk persiapan membangun kembali Khong Kauw Tjong Hwee.
Pada tgl 16 April 1955 dibentuk PKCHI (Perserikatan Khong Chiao Hwee
Indonesia / Perserikatan Kong Jiao Hui Indonesia) sebagai penjelmaan
kembali Khong Kauw Tjong Hwee dengan kedudukan pusat di Solo
dengan Ketua umum: Dr. Kwik Tjie Tiok. Sekretaris: Oei Kok Dhan.20
B. Masuk dan Berkembangnya Agama Khonghucu di Majalengka
Sejarah perjalanan dan perkembangan agama Khonghucu (Kong jiao)
sangatlah panjang. Tidak seperti agama-agama lain yang bersifat agresif
dalam usahanya mendapatkan banyak pemeluk, agama Khonghucu lebih
menekankan pada sikap membina diri sendiri (dan menghindari sikap
menuntut orang lain). Karena itulah perkembangan agama Khonghucu
(terutama perihal penyebaran ajaran maupun perkembangan jumlah
penganutnya) agak sulit dilacak dengan pasti.21
Dalam agama lain seperti Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain yang
umatnya gampang dikenali hanya dengan suatu „sumpah masuk agama‟
misalnya pembaptisan di agama Kristen dan pembacaan kalimat syahadat di
20Tanggok, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, h. 103. 21Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 120.
26
agama Islam, maka seorang penganut agama Khonghucu tulen sangat sulit
untuk dikenali karena „Kekhonghucuan‟ mereka diukur dalam perbuatan dan
tingkah laku mereka sepanjang hidupnya. Karena itulah seorang penganut
agama Khonghucu semasa hidupnya tidak „berani‟ menyebut dirinya sebagai
penganut agama Khonghucu karena hal ini akan dinilai sendiri oleh generasi-
generasi sesudahnya.22
Sulit untuk menyebutkan secara pasti kapan agama Khonghucu
pertama kali dibawa dari Tiongkok ke Indonesia. Seperti diuraikan di atas,
ajaran agama Khonghucu tidak disebarkan secara agresif. Ajaran agama
Khonghucu diwariskan dari generasi ke generasi melalui bimbingan keluarga
dimana seorang ayah akan memberikan teladan perbuatan kepada anaknya
dan begitu seterusnya sang anak mewariskannya kepada cucunya.
Karena alasan inilah agama Khonghucu yang „terbawa‟ ke Indonesia sudah
bercampur baur dengan ajaran agama Buddha dan agama Tao.23
Masuk dan berkembangnya agama Khonghucu di Kabupaten
Majalengka diperkirakan terjadi pada akhir Abad 18 atau awal Abad 19.
Sebagai buktinya adalah adanya Klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang berdiri
pada Tahun 1803 (lihat Gambar 1). Bagi sebagian masyarakat pendatang
Tionghoa yang mulai masuk ke Kabupaten Majalengka pada akhir abad 19,
keberadaan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin bukan merupakan daya tarik utama
bagi mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena faktor yang
22Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 121. 23Junzigroup‟s Weblog. Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia (1) Diambil dari
https://junzigroup.wordpress.com/2008/05/11/ perkembangan-agama-khonghucu-di-indonesia-1/. Diakses
pada Tanggal 22 Maret 2017.
27
membuat mereka datang ke Majalengka adalah perniagaan.24
Gambar 1: Waktu Berdirinya Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Generasi pertama dari keluarga besar masyarakat Tionghoa yang ada
di Kabupaten Majalengka saat ini adalah para kontraktor. Jadi, agama
Khonghucu hanya merupakan salah satu aspek yang mereka bawa, namun
bukan menjadi alasan utama mereka datang ke Kabupaten Majalengka. Pada
masa-masa berikutnya, barulah Klenteng Hok Tek Tjeng Sin digunakan
sebagai tempat belajar mengajar, disamping fungsi utamanya yang
merupakan rumah ibadah bagi para penganut Agama Khonghucu.25
Namun, walaupun sejarah telah mencatat bahwa Khonghucu adalah
salah satu agama yang sudah terikat dengan tanah nusantara sejak lama, hal
tersebut tidak serta merta membuat agama ini diakui secara legal. Tahun
1967 adalah tahun keterpurukan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Tidak
24Wawancara dengan Koh Aung, penganut Agama Khonghucu yang konversi ke Agama Budha,
pada 29 November 2016 di kediaman beliau di JL Abdul Halim Kabupaten Majalengka. 25Wawancara dengan Edi Subhari, Pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin tanggal 29 November
2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka.
28
ubahnya dengan penganut agama Khonghucu. Dilarangnya aktivitas
peribadatan agama Khonghucu di Indonesia tentunya menyebabkan kesulitan
bagi penganut agama Khonghucu di Indonesia, khususnya di Majalengka
untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya. Pada tahun ini juga
aktivitas klenteng Hok Tek Tjeng Sin bubar, karena ketakutan akan tekanan
yang terjadi. Aktivitas di klenteng dicap sebagai salah satu gerakan Baperki
oleh para tentara. Semuanya digeneralisasi ketika itu. Segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan klenteng dianggap Baperki.26
Masyarakat Tionghoa Majalengka tidak bisa berbuat banyak. Karena
sumber daya manusia yang rendah, dan juga masyarakat Tionghoa
Majalengka memang sedikit yang berpolitik ketika itu, jadi mereka tidak bisa
menyuarakan hak-haknya. Dikarenakan sarana yang terbatas, pembelajaran
dan peribadatan Agama Khonghucu makin sulit berkembang. Ini berimbas
kepada anak-anak muda pada masa itu tidak mendapatkan pelajaran yang
cukup mengenai agama Khonghucu. Makin hari, keluhuran anak-anak
terhadap leluhurpun makin terkikis. Pada akhirnya, banyak yang konversi ke
agama lain. Ada yang konversi ke agama Buddha, Katholik atau Protestan.
Salah satu alasannya ialah ajaran Katholik ataupun Protestan yang dinilai
lebih mudah dicerna ketimbang agama Khonghucu itu sendiri, yang dinilai
lebih rumit.27
26Wawancara dengan Edi Subhari, Pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin tanggal 29 November
2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka. 27Wawancara dengan Koh Aung, penganut Agama Khonghucu yang konversi ke Agama Budha,
pada 29 November 2016 di kediaman beliau di JL Abdul Halim Kabupaten Majalengka.
29
Dalam Buku Kabupaten Majalengka dalam Angka Tahun 2016,
penduduk Kabupaten Majalengka yang menganut agama Khonghucu pada
Tahun 2015 hanya berjumlah 8 orang yang tersebar di 6 kecamatan, yaitu
Kecamatan Lemahsugih, Kecamatan Maja, Kecamatan Majalengka,
Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Panyingkiran. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 1.28
Walaupun demikian, penduduk Kabupaten
Majalengka yang beragama Khonghucu diduga lebih dari 8 orang, tetapi
karena mereka tidak mengubah kembali nama agama di KTP nya, dan tetap
menggunakan nama agama sebelumnya ketika mereka dilarang menulis
agama Khonghucu di KTP tersebut.
28Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. Kabupaten Majalengka dalam Angka Tahun 2016.
Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka. 2016
30
Tabel 1
Penduduk Menurut Agama di Kabupaten Majalengka, Tahun 2015.
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, 2016.
C. Klenteng sebagai Tempat Ibadah Penganut Khonghucu
1. Pengertian Klenteng
Menurut Suryanto (2006), pada jaman dahulu, dari jaman Nabi Fu
Xie (2953-2838 SM), Nabi Di Yao (2357-2255 SM), Nabi Shun dari Negeri
Yu (2255-2205 SM), Nabi Gao Yao, Nabi Yi Yin, Nabi Zhou Gong dan dan
lain-lain sampai pada Nabi Agung Kong Zi (551-479 SM), belum dikenal
istilah Klenteng, dahulu yang dikenal adalah Miao (Altar Kuil Leluhur), She
(Altar Malaikat Bumi). Sekarang disebut Du Di Gong atau Hok Tek Zheng
31
Shen dan Jiao (Bangunan Ibadah untuk bersujud kepada Tian, Tuhan Yang
Maha Esa).29
Ketiga istilah ini, seiring perjalanan zaman telah mengalami derivatif
makna dan fungsi, namun demikian asal muasal dan pengertian dasarnya
tetap eksis, agar tidak bergeser pada kebenaran yang sebenarnya. Secara fisik
dari sejak dulu telah ada sebutan untuk membedakan kuil-kuil yang ada,
diantaranya; GONG artinya bangunannya megah (besar), dibangun oleh
Raja/Pejabat (Pembesar), dengan makna dan fungsi yang lebih luas; Ci
artinya Dibangun oleh masyarakat (kaum/marga) lebih untuk menghormati
leluhur; Sementara MIAO tetap dipergunakan sebagai tempat
ibadah/sembahyang yang baku.30
Seiring perkembangan zaman, makna dan fungsi mengalami
perubahan, dan nama kuilpun mengikuti perkembangan sesuai dengan
macam dan jenis, diantaranya:
YUAN :Bangunan yang bila ada pelajaran/taman baca/taman
komunikasi sosial.
TANG :Bangunan yang bila ada fungsi pelayanan
rohani/keagamaan, upacara/ritual.
TING : Bangunan yang bila berfungsi sebagai pendopo/kediaman
tempat pemujaan.
29
Suryanto. 2006. Sejarah Kelenteng dan Asal Mula Istilah Kelenteng. Diakses pada Tanggal 25
Maret 2017 dari http://www.wihara.com/topic/36117-sejarah-kelenteng-dan-asal-mula-istilah-kelenteng. 30Bratayana Ongkowijaya, Permasalahan Kelenteng di Bumi Indonesia: Selayang Pandang
Permasalahan Kelenteng Dewasa Ini.Medio Februari 2013.
32
AN :Bangunan yang bila berfungsi sebagai tempat
pengasingan, menenangkan, hening.
GUAN :Bangunan yang bila lebih sebagai sarana
umum/kemasyarakatan.31
Pada zaman Dinasty TANG (618-905 M), saat itu ada klasifikasi yang
lebih terarah yaitu:
- Bagi Ru Jiao (Agama Khonghucu), yang berdasarkan Di dan Zu
(Leluhur), maka sebutan tempat ibadahnya adalah MIAO dan CI.
- Bagi Dao Jiao (Agama Dao), yang lebih tinggi derajat
bangunannya dinamakan GONG dan yang lebih rendah/dibawahnya
dinamakan GUAN.
- Bagi Shi Jiao (Agama Budha) yaitu untuk Paderi Laki (Hwe Sio)
disebut Si dan untuk pendeta wanita (Ni Khu) disebut AN.32
Melalui perkembangan sejarah yang cukup lama akhirnya semua
istilah ini bercampur baur menjadi satu yaitu Kelenteng. Padahal masing-
masing istilah mempunyai makna tersendiri seperti yang telah dijelaskan di
atas.
Istilah klenteng sesungguhnya berasal dari istilah asli Indonesia.
Timbulnya istilah klenteng erat sekali hubungannya dengan kebiasaan
sebutan-sebutan dalam bahasa di pulau Jawa khususnya dan di Indonesia
pada umumnya yang sering menyebutkan sesuatu yang berhubungan dengan
bunyi. Istilah klenteng ini diambil dari suara yang terdengar dari bangunan
31Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 41. 32Edi Suprapto, Atribut Dalam Kelenteng. Artikel diakses pada 27 Maret 2017 dari
http://tradisitridharma.blogspot.co.id/2014/11/atribut-dalam-klenteng.html
33
suci tersebut ketika sedang menyelenggarakan upacara sembahyang yang
berbunyi klinting-klinting atau jika genta besar, maka berbunyi klonteng-
klonteng menurut pendengaran masyarakat sekitar. Kemudian untuk
memudahkan penamaan bangunan suci ini maka disebutlah dengan istilah
klenteng.33
Dalam kamus Bahasa Indonesia Kontemporer terdapat dua
bentuk penulisan, yaitu “klenteng” dan “kelenteng”, tetapi keduanya
memiliki makna yang sama yaitu bangunan tempat memuja, berdo‟a,
bersembahyang dan melakukan upacara-upacara keagamaan bagi umat
Khonghucu. Istilah yang digunakan dalam tulisan ini adalah “kelenteng”.
Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah kelenteng berasal dari Bahasa
Cina “Kwan Im Ting” yang artinya bangunan kecil tempat pemujaan Dewi
Kwan In.34
2. Arsitektur Klenteng
Arsitektur sebagai hasil karya manusia sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor georafi, geologi, dan ilkim. Secara fisik, ketiga hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap penjelmaan bentuk arsitektur
bangunan, termasuk pada bentuk arsitektur bangunan klenteng. Untuk
memahami bentuk arsitektur bangunan klenteng, sebaiknya kita melihat
arsitektur bangunan Tiongkok secara umum, terutam terhadap pola
penataan ruang, langgam dan gaya, serta struktur dan konstruksi.35
33Bratayana Ongkowijaya, Permasalahan Kelenteng di Bumi Indonesia: Selayang Pandang
Permasalahan Kelenteng Dewasa Ini.Medio Februari 2013. 34Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 21. 35Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 26.
34
Untuk pola penataan ruang, bangunan arsitektur Tiongkok dikenal
tata ruang dalam yang disebut dengan istilah Inner Court. Rumah
Tiongkok ditandai dengan adanya empluvium (Court Yard sebagai suatu
catatan dari pemikiran etnik Konfusius. Disamping itu cara hidup
masyarakat yang diwujudkan dalam wujud fisik dan spiritual kehidupan
juga ikut mewarnai bentuk dan penataan ruangnya. Kemudian untuk
langgam dan gaya bangunan berarsitektur Tiongkok dapat dijumpai pada
bagian atap bangunan. Umumnya dilengkungkan dengan cara ditonjolkan
agar besar pada bagian ujung atapnya. Hal ini yang disebabkan oleh
struktur kayu dan teknik pada pembentukan atap sopi-sopi.36
Lalu untuk
struktur dan konstruksinya, bangunan berarsitektur Tiongkok tampak jelas
pada sistem struktur dan konstruksinya. Lengkungan atapnya menonjol
sebagai suatu akibat dari sistem struktur langka yang umumnya terbuat
dari kayu.
Bagi masyarakat awam klenteng kadang kadang disebut sebagai
vihara, padahal klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam
arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur
tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan
biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang
berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran
Mahayana yang memang berasal dari Cina.37
36Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 28. 37Cokpraa, Arsitektur Kelenteng. Artikel diakses pada 27 Mei 2017 dari https://cokpra1994.
35
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu
karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah
pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional
Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu
terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian
mengadopsi nama Sansekerta atau Pali, mengubah nama sebagai vihara
dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi
kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit
membedakan klenteng dengan vihara. Setelah Orde Baru digantikan oleh
Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali
ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri
sebagai klenteng daripada vihara.38
Klenteng senantiasa memiliki keunikan tersendiri dibandingkan
dengan tempat ibadah yang lain, atribut-atribut unik tersebut senantiasa
memiliki arti/makna tertentu, baik tulisan, relief, hiasan, warna, serta
gambar-gambar tertentu yang memiliki arti tersendiri bagi umatnya (Edi
Suprapto, 2014).39
Hal utama yang pertama kali kita dapat lihat bahwa
bangunan tersebut adalah kelenteng adalah warna dinding bangunan
utama yang khas biasanya berwarna merah dan kuning bertuliskan hitam,
dipintu paling luar biasanya terdapat prasasti / papan nama, prasasti
wordpress.com/2015/05/09/arsitektur-kelenteng-2.
38Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus
pindah agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya, h. 15. 39Edi Suprapto, Atribut Dalam Kelenteng. Artikel diakses pada 27 Maret 2017 dari
http://tradisitridharma.blogspot.co.id/2014/11/atribut-dalam-klenteng.html
36
modern biasanya terbuat dari ukiran batu, sedang kelenteng lama biasa
mengunakan papan Duilan. Warna merah biasanya mendominasi setiap
bangunan klenteng karena dipercaya melambangkan kegembiraan,
kebahagiaan, dan kesejahteraan. Warna kuning (keemasan) adalah warna
kemuliaan, kerajaan, kemakmuran dan kekayaan. Sementara warna hitam
melambangkan energi positif (Yang).
Seperti klenteng-klenteng lainnya, bangunan klenteng Hok Tek
Tjeng Sin yang ada di Kabupaten Majalengka juga didominasi warna
merah. Foto-foto di bawah ini menunjukkan dominasi warna merah baik
ketika dilihat dari luar lingkungan klenteng, maupun setelah masuk ke
dalam lingkungan klenteng. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2: Foto Klenteng Hok Tek Tjeng Sin di Kabupaten Majalengka
37
Gambar 3: Tampak Depan Bangunan Utama Klenteng
Atribut yang lainnya adalah patung atau relief sepasang naga,
harimau, kura-kura, burung hong, singa (ciok say / kilin), biasanya
menghias di atas atap, di pilar-pilar penyangga, depan altar dan di pintu.
Naga adalah mahkluk suci berkepala onta, bermata kelinci, berleher ular,
bersisik ikan, bercakar elang, berperut katak, berjengot kambing,
berkumis kucing, bertanduk menjangan, bertelinga sapi, dan bertaring
harimau. Hal ini menandakan naga adalah wakil dari seluruh mahkluk
hidup di dunia, dipercaya melambangkan keselamatan, bahkan pada
jaman dulu dipercaya ukiran naga adalah symbol seorang raja. Secara
kosmologi Naga adalah pelindung arah timur (lambang musim semi,
penghidupan baru). Harimau diangap sebagai sosok penguasa yang
ditakuti, dimana harimau sendiri adalah raja hutan / penguasa gunung,
38
meskipun harimau sangat berbahaya tetapi tidak dibenci, karena
keberaniannya harimau malah dikagumi. Harimau melambangkan
keberanian dan ditakuti oleh roh-roh jahat. Seorang ksatria atau jendral
perang sering memakai atribut harimau baik di jubahnya ataupun di
rumahnya. Harimau adalah pelindung arah barat (lambang musim
gugur).40
Kura-kura adalah hewan yang besar, kuat dan memiliki umur yang
panjang, tetapi memiliki gerakan yang lambat, hal ini melambangkan
sesuatu akan tercapai bukan karena sesuatu yang instan melainkan dengan
memiliki niat yang kuat seperti kura-kura apapun dapat tercapai hingga
memiliki umur yang panjang, (keseimbangan dan umur panjang)
tempurung kura-kura memiliki guratan yang dipercaya mengandung
rahasia langit. Kura-kura adalah pelindung bawah bumi (tempurung kura-
kura seperti setengah dari bumi), ada sebuah relief yang mengambarkan
kura-kura bergulat dengan ular sebagai lambang utara, dan lambang
musim dingin. Burung Hong adalah burung gaib, dimana dia adalah
rajanya burung, ia melambangkan keindahan dan kedamaian, sebab itu dia
menjaga arah atas (langit). Burung Hong juga banyak dikiaskan dengan
permaisuri, jadi pasangan suami istri yang baru melangsungkan
pernikahan biasanya memakai simbol liong dan hong (naga dan burung
hong). 41
40Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 28. 41Edi Suprapto, Atribut Dalam Kelenteng. Artikel diakses pada 27 Maret 2017 dari
http://tradisitridharma.blogspot.co.id/2014/11/atribut-dalam-klenteng.html
39
Sepasang singa Ciok say (singa kilin), adalah hewan penjaga pintu
kelenteng, Sebagai binatang dewa, Kie Lin sendiri bentuknya sepintas
mirip singa. Tetapi, bila dilihat secara agak mendetail maka terlihat kalau
sebagian tubuh Kie Lin ini mewakili ke-18 binatang yang ada di bumi.
Seperti badannya yang merupakan badan kuda tetapi memiliki sisik ular
dan sisik ikan. Buntutnya pun dari kura-kura. Keempat kakinya juga
berbeda semuanya. Ada yang berupa kaki burung hong (rajawali), kaki
macan, kaki kerbau, dan kaki menjangan. Kedua matanya yakni mata
kepiting, dengan telinga mewakili telinga kelinci serta bertaring macan.
Sedangkan jenggot dan mulutnya merupakan mulut singa, sepasang singa
dipercaya dapat menghalau keinginan jahat makhluk sebelum memasuki
kelenteng. Ciok say biasanya ditempilkan sepasang kanan kiri dimana
sebelah kiri laki-laki (memegang bola)dan sebelah kanan perempuan
(memegang anak singga). Ciok say atau kilin dipercaya sebagai pelindung
tengah(bumi).42
Burung Vermilion (burung merah) adalah salah satu dari empat
simbol dari rasi Cina. Sistem lima unsur Tao, itu merupakan elemen api,
dan melambangkan arah selatan, dan musim panas. Jadi kadang-kadang
disebut Vermilion burung dari Selatan. Hal ini dikenal sebagai Zhu Que
dalam bahasa Cina, Suzaku di Jepang, Jujak di Korea dan Chu Tuoc di
Vietnam, digambarkan sebagai burung merah yang menyerupai burung
dengan bulu lima warna dan terus-menerus tertutup api, hampir mirip
dengan mitologi barat dimana terdapat phoenix (burung api) tetapi
42Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 28.
40
penampakan burung phoenix yang besar menjadikan tidak sama dengan
Zhu Que.43
3. Fengshui
Dalam Masyarakat Tiongkok masih banyak terdapat kepercayaan
tradisional yang turut menentukan jalan kehidupan mereka. Kepercayaan-
kepercayaan ini tidak saja dipakai dalam upacara-upacara daur kehidupan
manusia, seperti kelahiran, pernikahan dan kematian. Tetapi juga dalam
berbagai bidang, misalnya dalam menentukan letak makam seseorang,
dalam pembangunan tempat usaha, gedung-gedung maupun tempat
tinggal. Kepercayaan tradisional yang dipakai dalam hal ini disebut
Fengshui atau disebut juga geomancy, yaitu ilmu pengetahuan yang
mengolah bagaimana cara memanfaatkan suatu lingkungan. Sedangkan
dalam ensiklopedia sincia, Fengshui didefinisikan sebagai hal-hal yang
timbul dan dapat dilihat dari keindraan Yin dan Yang.
Istilah Fengshui secara harfiah diterjemahkan sebagai “angin dan
air”, yaitu sesuatu istilah tentang aturan penempatan letak gedung dan
bangunan buatan manusiab agar seimbang dan menguntungkan dengan
lingkungan fisik disekitarnya, dalam bahasa klasik Tiongkok, istilah
Fengshui disebut Kan Yu.44
Berdasarkan fungsinya, istilah angin dan air adalah untuk
mengatur penempatan letak gedung dan bangunan buatan manusia agar
43Edi Suprapto, Atribut Dalam Kelenteng. Artikel diakses pada 27 Maret 2017 dari
http://tradisitridharma.blogspot.co.id/2014/11/atribut-dalam-klenteng.html 44Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 23.
41
seimbang dengan lingkungan di sekitarnya selain juga mengungtungkan
manusianya. Kata Feng (angin) dan Shui (air) menggambarkan kekuatan
unsur-unsur yang mengalir di alam; kekuatan ini tidak hanya berada di
permukaan bumi, seperti yang telah ditimbulkan oleh angin dan air, tetapi
juga yang ada di bagian dalam bumi. Tata letak aturan Fengshui bertujuan
mengelola dan membina sumber energi vital atai Qi yang ada di dalam
tanah. Fungsi Fengshui di sini adalah mengatur letak dari suatu bangunan
beserta isinya agar serasi dengan Qi yang ada pada alam.45
Dalam pembangunan sebuah klenteng yang mempunyai hubungan
erat dengan ahli fengshui adalah penata klenteng, pemborong bangunan
dan perencanaan bangunan. Mereka percaya bahwa faktor keberuntungan
dalam fengshui diwujudkan dalam ukuran ruang, pemberian warna dan
urutan rangkaian pembangunan akan membawa berkah. Ada beberapa
peraturan dasar dalam fengshui yang digunakan untuk pembangunan
klenteng, yaitu:
a. Dalam konstruksi atap, rancangan atau dekorasi di bubungan sangat
penting. Misalnya: Naga, burung Hong, dan binatang berkaki empat
lainnya mempunyai tanda yang baik, bila digabungkan dalam bentuk
desain hubungan. Orang yang menggunakan gedung tersebut akan
mendapat keberuntungan dan kebahagiaan.
b. Pemberian warna dalam pembangunan klenteng mempunyai arti yang
penting karena warna-warna tertentu mempunyai arti tersendiri,
45Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 25.
42
misalnya warna kuning, hijau, dan biru digunakan sebagai simbol
kekuatan, panjang umur, dan rahmat Tuhan.
c. Penomoran ruang secara tepat juga memegang peranan yang besar,
sebab ada anggapan bahwa nomor 1, 5, dan 9 adalah nomor-nomor
yang baik, sedangkan nomor-nomor yang merupakan kelipatan 4 (4, 8,
12, dan seterusnya) harus dihindarkan.46
Selain hal-hal tersebut adap beberapa aspek lain yang mendapat
perhatian khusus dalam pembangunan klenteng, seperti diantaranya lokasi
memiliki karakter tanah bergelombang dan memiliki banyak warna,
berdekatan atau menghadap jalur air (sungai, danau yang tenang, dan
laut), serta ditanami tumbuhan terutama yang dapat bertahan pada
berbagai cuaca.
46Departemen Pendidikan Nasional, Klenteng Kuno di DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jakarta:
Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat, 2000), h. 24.
43
BAB III
DINAMIKA EKSISTENSI KLENTENG HOK TEK TJENG SIN DAN
PENGANUT AGAMA KHONGHUCU DI KABUPATEN MAJALENGKA
A. Eksistensi Penganut Agama Khonghucu Masa Orde Baru
Etnis Tionghoa di Indonesia sudah mengalami diskriminasi rasial
sejak masa Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1740 di bawah perintah
Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap
etnis Tionghoa di Batavia. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak
berhenti hanya pada masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga
Orde Lama dan Orde Baru.1
Jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar
terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di
Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja
berlanjut pada masa Orde Baru. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa oleh
pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya: mengeluarkan
kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk; warga etnis
Tionghoa dilarang menjadi pegawai negeri dan tentara; warga etnis Tionghoa
dilarang memiliki tanah di daerah pedesaan, dan masih banyak lagi
kebijakan-kebijakan yang bersifat mendiskreditkan serta mendiskriminasi
dimana hal itu secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga
negara Indonesia dan sebagai manusia.2
1Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina - Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 118. 2Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari, “Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia Pada Masa
Orde Lama dan Orde Baru” artikel diakses pada 9 April 2017 dari
44
Beberapa kerusuhan rasial yang terjadi menimpa warga etnis
Tionghoa:
Pada tanggal 10 Mei 1963 terjadi di Bandung, kerusuhan anti suku
peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat, awalnya terjadi di kampus
ITB, antara mahasiswa pribumi dengan mahasiswa non pribumi, menjadi
kerusuhan yang menjalar kemana-mana bahkan ke kota-kota lain seperti
Jogyakarta, Malang, Surabaya dan Medan.
Tahun 1966-1967 sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup dan
koran berbahasa Tionghoa juga ditutup.
Pada tanggal 27 Juni 1973, sekelompok pemuda menghancurkan
toko-toko Tionghoa berawal dari pemilik toko memakai kertas yang
bertuliskan arab sebagai pembungkus.
Tahun 1978, pelarangan menggunakan karakter-karakter huruf Tionghoa
di setiap barang dan media cetak.
Tanggal 14 Januari 1996, massa mengamuk usai pertunjukkan musik
Iwan Fals, mereka melempari toko-toko Tionghoa, mereka kecewa tidak
bisa masuk karena tidak punya karcis. ( warga etnis Tionghoa seringkali
jadi sasaran amuk massa, apapun masalahnya, terkadang tidak ada
hubungan dan sangkut paut dengan ke etnisan ).
Mei 1998, kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa
Indonesia. Toko-toko dan perusahaan milik Tionghoa dihancurkan massa,
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/
45
konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung dan Solo.
Sebagian wanita Tionghoa diperlakukan kasar dan tidak manusiawi,
mereka menderita fisik dan pasti bathin nya juga, namun pada waktu itu
pemerintah terkesan menutupi kejadian tersebut, hal ini menjadi
lembaran hitam sejaran di Indonesia.3
Memeluk suatu agama adalah salah satu bentuk Hak Asasi Manusia.
Di Indonesia, hal tersebut dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28 E ayat (1) menjelaskan bahwa
setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 menyatakan adanya enam agama di
Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.4
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi adalah hal berada,
atau keberadaan5. Keberadaan menjadi hal yang menarik kali ini, karena
disaat jumlah penganut Khonghucu yang memang sedikit dan minoritas,
kembali dikurangi dengan adanya larangan beragama Khonghucu, karena
Khonghucu tidak dianggap agama oleh pemerintah pada masa Orde Baru.
Perwujudan diskriminasi yang sangat dirasakan golongan etnis Tionghoa
adalah mengenai agama dan kehidupan beragama, khususnya bagi yang
beragama Khonghucu. Sejarah Khonghucu di Indonesia pada umumnya
memiliki banyak lika-liku. Dari mulai zaman kolonial, hingga perdebatan pro
3Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), h. 1. 4http: //www.hukumonline.com /klinik/ detail/ cl6556/ ham-dan-kebebasan- beragama-di-indonesia,
diakses pada tanggal 26 Desember 2016. 5http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/eksistensi, diakses pada tanggal 26 Desember 2016.
46
dan kontra Khonghucuisme antara orang-orang etnis Tionghoa sendiri.6
Agama Khonghucu, walaupun kehadirannya tersendat-sendat, tidak
mempunyai lembaga terorganisasi maupun cara-cara upacara keagamaan
yang baku, tetapi dapat bertahan sampai enam kongres. Hal yang penting
dalam Kongres keenam tersebut adalah bahwa pada pertemuan itulah
ditetapkan struktur organisasi dan pola ritualnya. Dari mulai menggunakan
lithang atau klenteng untuk upacara-upacara keagamaan; nama organisasi
menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu di Indonesia atau MATAKIN
pada tingkat nasional dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia atau
MAKIN pada tingkat daerah; menunjuk tiga macam pejabat keagamaan;
serta adanya kitab suci terjemahan bahasa Indonesia, yaitu Empat Kitab (Susi)
dan Lima Karya Klasik Gouw Khing (Wujing).7
Namun keadaan berubah ketika akan diadakan kongres kesembilan
pada Februari 1979. Kongres ini dibatalkan dan sejak itu MATAKIN tidak
boleh mengadakan kongres lagi. Pada tanggal 5 April 1979, pengurus
MATAKIN diandang Menteri Agama, yang mengumumkan bahwa agama
Khonghucu akan dikelola di bawah Dirjen Hindu dan Buddha. Akibatnya,
kedudukan agama Khonghucu menjadi tidak jelas. Khonghucu diberlakukan
sebagai bukan agama. Mereka mengandalkan Instruksi Presiden Soeharto
setelah sidang kabinet tanggal 27 Januari 1979 yang jelas-jelas menyatakan
bahwa Khonghucu bukan agama. Khonghucu dianggap hanya sebagai ajaran
6M. Ihsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Penerbit
Pelita Kebajikan, 2003), h. 101. 7Melly G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 201.
47
filsafat, sebagaimana keberadaan Khonghucu di negeri asalnya, yaitu Cina.8
Pada saat yang sama, rezim Soeharto menerapkan kebijakan
pemaksaan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Indonesia Tionghoa untuk
melepas kebudayaan dan Bahasa Mandarin. Dari mulai sekolah,
pengimporan barang cetakan berbasaha Mandarin, hingga perayaan Tahun
Baru Imlek, semuanya dilarang.9 Di Kabupaten Majalengka pun demikian.
Pelarangan atas segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Cina mulai
terjadi. Pada pelajaran PMP di sekolah, hanya dicantumkan 5 agama, yaitu
Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Pertunjukan barongsai yang
biasa muncul ketika datang Tahun Baru Imlekpun dihilangkan.
Tentu bisa dibayangkan betapa mencemaskannya kejadian ini bagi
pemimpin dan penganut agama Khonghucu di Indonesia. Anak-anak
keturunan selanjutnya tidak bisa lagi memilih Khonghucu sebagai agama
pilihan dalam pelajaran agama di sekolah. Bagi mereka yang mau menikah
pun harus memilih salah satu dari agama yang diakui pemerintah. Di KTP
dilarang dicantumkan agama Khonghucu. Jadi solusinya ketika itu ialah tetap
beragama Khonghucu dan menjalankan ibadahnya sesuai ajaran Khonghucu,
tetapi mengubah kolom agama di KTP, atau solusi lainnya adalah konversi
atau pindah agama.10
8Ongkoham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 120. 9Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), h. 1. 10Melly G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 203.
48
B. Agama Khonghucu dan Konversi Agama
Meskipun konversi merupakan istilah Yahudi dan Kristen, tapi kata
konversi bisa juga digunakan secara umum. Konversi adalah fenomena yang
berkaitan dengan metamorfosis atau perubahan keyakinan seseorang atau
kelompok. Perubahan ini bisa dikarenakan pengalaman atau hal yang lainnya.
Hampir semua agama memiliki bentuk inisiasi atau ritual peralihan agama,
baik itu masuk ke dalam agama tersebut, maupun keluar dari agama
tersebut11
.
Penyebab konversi ini bisa macam-macam. Bisa karena pengalaman,
atau bahkan perkawinan. Tapi yang akan dibahas di sini adalah konversi
karena krisis. Beberapa jenis krisis dapat menyebabkan konversi agama. Bisa
jadi krisis politik, agama, psikologis, budaya, atau mungkin situasi yang
memungkinkan penganut suatu agama tertentu mencari opsi baru dalam
beragama. Selama krisis berlangsung, segala aspek keberagamaan, seperti
ritual dan lainnya tidak berfungsi dengan baik sehingga individu si penganut
agama pun terganggu. Menurut para ilmuwan sosial, konversi dalam situasi
ini dapat disebut dengan coping mechanism atau mekanisme bertahan12
.
Inilah tepatnya yang terjadi dengan penganut agama Khonghucu di
kabupaten Majalengka. Ada beberapa keluarga keturunan Tionghoa di
kabupaten Majalengka. Mereka datang ke Kabupaten Majalengka lebih dari
satu abad yang lalu dengan agama asli Khonghucu. Ketika muncul larangan
11Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987),
h. 73. 12Coping Mechanism adalah reaksi, cara atau mekanisme individu dalam menyelesaikan suatu
masalah. Cara individu bereaksi dengan lain kepribadian dan sikap yang tampak. Ilmu yang mempelajari
tentang jiwa atau mental manusia yang dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, keturunan dan situasi.
49
terhadap agama Khonghucu, reaksi penganut agama Khonghucu di
kabupaten Majalengka beragam, bisa dikategorikan sesuai dengan usia atau
generasinya. Bagi generasi keempat keturunan Tionghoa, yang pada saat itu
berusia sekitar 30 hingga 40, mencantumkan agama Buddha di KTP menjadi
salah satu solusinya. Hal ini dikarenakan klenteng dan vihara dianggap sama
ketika itu, jadi tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal ibadah.
Generasi keempat lainnya ada juga yang konversi ke agama Katholik atau
Protestan. Hal ini pun dilakukan semata mata hanya untuk mengisi kolom
Kartu Tanda Penduduk yang tidak boleh mencantumkan agama Khonghucu.
Sebagian dari mereka hanya mencantumkan Katholik dan Protestan pada
kolom agama di Kartu Tanda Penduduk, sebagian lainnya benar-benar
konversi bahkan menjadi pastor di salah satu gereja di Kabupaten
Majalengka. Kebetulan ketika saat itu agama Katolik dan Protestan sedang
berkembang di Kabupaten Majalengka.13
Pada tahun 1970, Tanuwijaya
mendirikan Sekolah Tinggi Alkitab Penyebaran Injil, atau yang dikenal
dengan SEAPIN dan Gereja Penyebaran Injil di Kabupaten Majalengka.14
Ini adalah cikal bakal berdirinya Gereja-gereja Kharismatik di Kabupaten
Majalengka. Hingga hari ini, tercatat ada 12 bangunan gereja di Kabupaten
Majalengka.15
13Wawancara dengan Koh Aung, Penganut Agama Khonghucu yang konversi ke Agama Buddha,
pada 29 November 2016 dikediaman beliau di JL Abdul Halim Kabupaten Majalengka. 14Wawancara dengan Robert Purba, Dosen Sekolah Tinggi Alkitab Penyebaran Injil Kabupaten
Majalengka pada 19 Desember 2016 di Asrama Mahasiswa Sekolah Tinggi Alkitab Penyebaran Injil
Kabupaten Majalengka. 15Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Kabupaten Majalengka Dalam Angka (Majalengka:
BPS Majalengka, 2016), h. 106.
50
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin, yang memang fungsinya adalah rumah
ibadah bagi penganut agama Khonghucu di dalam dan luar Kabupaten
Majalengka, juga dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa beragama lain.
Masyarakat Tionghoa berkunjung ke klenteng untuk menghormati leluhur
mereka, terlepas dari agama yang mereka anut. Karena menghormati leluhur
sudah menjadi budaya, dan bukan hanya ritual dalam agama Khonghucu.16
Bagi penganut agama Khonghucu di Majalengka yang sudah konversi ke
agama lain pun, sebagian masih mengunjungi klenteng untuk menghormati
leluhurnya. Semangat ini yang belum hilang dari sebagian masyarakat
Tionghoa Majalengka.
Seperti diungkapkan Hendra, 40, yang berpindah agama dari
Khonghucu ke Protestan, masih mengunjungi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
karena masih ingin menghormati ajaran ayahnya, yang masih beragama
Khonghucu. Beliau adalah salah satu pengurus Gereja Penginjilan di
Majalengka. Menurutnya, tidak ada masalah dengan penghormatan terhadap
leluhur, dan beliau tidak merasa hal itu mengganggu keyakinannya sebagai
penganut Kristen Protestan. Meskipun beliau menyayangkan adanya
larangan untuk menganut agama Khonghucu, agama yang diyakininya
sekarang tidak menghalanginya untuk tetap menghormati
leluhur-leluhurnya.17
Hendra bukan masyarakat Tionghoa satu-satunya penganut Kristen
Protestan di Majalengka. Namun tidak semuanya masih datang ke Klenteng
16Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama I (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981), h. 41. 17Wawancara dengan Hendra, Pengurus Gereja Penginjilan Kabupaten Majalengka, pada 19
Desember 2016 di Gereja Penginjilan Kabupaten Majalengka
51
Hok Tek Tjeng Sin. Di asrama SEAPIN Majalengka saja ada lebih dari 20
mahasiswa keturunan Tionghoa, namun seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, banyak dari anak muda yang sudah tidak tertarik dengan ajaran
Khonghucu.18
Lain halnya dengan H. Otong Junaedi, 61. Beliau adalah salah satu
penganut agama Khonghucu yang pindah ke Agama Islam. Beliau pindah
agama sejak Sekolah Menengah Pertama. Menurut pendapat beliau, konversi
agama memang bisa banyak penyebabnya, apalagi pada masa Orde Baru.
Tapi beliau sendiri pindah agama setelah mendapat ajaran agama Islam di
sekolahnya. Sejak saat itu Beliau beranggapan bahwa agama harus resmi,
harus lengkap dari Tuhan, Nabi dan kitab sucinya. Meskipun beliau
mengagumi filsafat Khonghucu, namun filsafat Islam menurutnya lebih
menarik. Salah satunya adalah ajaran Konfusius yang mengajarkan manusia
untuk tidak melawan arus, tidak beda dengan filsafat Thawaf dalam ibadah
Haji.19
Bagi Christina, 63, pindah ke Agama Buddha menjadi solusi ketika
Agama Khonghucu dilarang pada masa Orde Baru. Karena menurutnya
Agama Buddha adalah yang paling dekat ajarannya dengan Agama
Khonghucu, juga tempat ibadah yang terletak pada satu lokasi. Sudah turun
temurun keluarganya menganut Agama Khonghucu, dan pada akhirnya
beliau harus konversi ke Agama Buddha, agama yang dipeluk hingga hari ini.
18Wawancara dengan Robert Purba, Dosen Sekolah Tinggi Alkitab Penyebaran Injil Kabupaten
Majalengka pada 19 Desember 2016 di Asrama Mahasiswa Sekolah Tinggi Alkitab Penyebaran Injil
Kabupaten Majalengka. 19Wawancara dengan H. Otong Junaedi, penganut Agama Khonghucu yang konversi ke Agama
Islam, pada 20 Desember 2016 di kediaman beliau di JL Abdul Halim Kabupaten Majalengka.
52
Anak-anaknya yang tinggal di luar kota pun semuanya menganut agama
Katolik.20
Beberapa contoh di atas bisa dikatakan mewakili peristiwa
konversi agama Khonghucu di Majalengka sejak dilarangnya pada masa
Orde Baru. Kebebasan beragama yang ketika itu dikekang memang menjadi
alasan utama mereka pindah agama, walaupun setiap orang memiliki
alasannya masing-masing.
Hampir semua keturunan Tionghoa Majalengka generasi ke lima
menganut agama Kristen Katholik, atau Protestan. Hal ini dikarenakan
minimnya sarana untuk belajar agama Khonghucu, dan juga agama Kristen
Katholik dan Protestan dinilai lebih mudah dan menarik untuk dipelajari.
Tidak seperti pendahulunya, yang masih bisa menerima ajaran Konfusius
yang memang lebih kompleks dan butuh pembelajaran lebih. Masalah ini
sebenarnya masih menjadi cerminan atas apa yang terjadi di seluruh
Indonesia pada hari ini. Sulitnya belajar agama Khonghucu salah satunya
dikarenakan belum adanya universitas agama Khonghucu di Indonesia. Hal
ini terjadi karena salah satu syarat untuk mendirikan universitas agama
Khonghucu adalah para pengajar yang harus memiliki gelar sarjana di bidang
agama Khonghucu. Syarat yang jelas tidak masuk akal, mengingat
mustahilnya syarat tersebut akan terpenuhi jika peraturan yang ada seperti
sekarang ini.21
20Wawancara pribadi dengan Christina, penganut Agama Khonghucu yang konversi ke Agama
Buddha, pada 20 Desember 2016 di kediaman beliau di JL Abdul Halim Kabupaten Majalengka. 21Wawancara dengan Bratayana Ongkowijaya, SE, XDS, Ketua Bidang Organisasi dan Lintas
Agama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) pada tanggal 19 November 2016 di
Khongcu Bio Tangerang.
53
C. Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Pasca Orde Baru
Di masa pasca Orde Baru, partisipasi sosial kalangan etnis Tionghoa
sangat menonjol. Pada umumnya, mereka aktif bergerak di bidang
pendidikan dan kesehatan. Banyak sekali diantara mereka memilih profesi
sebagai guru, dokter, hakim, polisi dan tentara. Mereka mendirikan berbagai
sekolah dari TK sampai universitas. Demikian juga, puluhan rumah sakit
didirkan oleh kalangan etnis Tionghoa dengan tujuan sosial semata yaitu
memberikan bantuan medis bagi yang membutuhkan tanpa memandang
kemampuan ekonomi pasien. Selaras dengan berlangsungnya reformasi,
berbagai kegiatan sosial dilakukan oleh organisasi-organisasi Tionghoa
antara lain membantu bencana alam. Di bidang pendidikan mereka banyak
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari kursus Bahasa Inggris,
Mandarin, komputer sampai akademi dan universitas. Kalangan muda
Tionghoa mulai aktif memasuki bidang-bidang profesi di luar wilayah bisnis
semata. Mereka sekarang secara terbuka menjadi artis, penyiar TV, model,
wartawan, politikus dan sebagainya. Di dalam kehidupan sosial mereka
mulai membuka diri, mau peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Dalam
hubungan mereka dengan negara leluhur (Republik Rakyat Cina) pada
umumnya mereka mengambil sikap bahwa hubungan tersebut hanya bersifat
kekerabatan semata. Mereka sudah sepenuhnya merasa menjadi bangsa
Indonesia karena lahir, besar dan meninggal serta dikuburkan di Indonesia.
Filsafat mereka sekarang adalah “Luo di Sheng Gen” yang berarti berakar di
bumi tempat berpijak, dapat diartikan menetap di Indonesia selama-lamanya
54
menggantikan filsafat sebelumnya “Ye Luo Gui Gen” yang berarti ibarat
daun rontok kembali ke bumi.22
Di Indonesia, penganut Agama Khonghucu kembali mendapatkan hak
kebebasan beragamanya setelah rezim Orde Baru berakhir. Agama
Khonghucu sekarang ini bebas untuk dianut oleh warga negara Indonesia.
Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi
kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.23
Berkembangnya kembali agama Khonghucu di Indonesia
memberikan dampak positif bagi warga keturunan Tionghoa karena tidak
hanya mendapatkan kembali hak kebebasan beragamanya tetapi juga
kebebasan untuk mengekspresikan budaya aslinya. Sebagian besar warga
Tionghoa apapun agama resminya tetap melaksanakan tradisi yang dipelihara
sejak dulu. Dapat dikatakan tradisi lebih penting dari agama. Sehingga ketika
terjadi perubahan dalam Agama Khonghucu dari kondisi tidak berkembang
kemudian muncul lagi sebagai agama resmi, maka hal ini tidak begitu
berpengaruh pada kehidupan umat. Hubungan antar umat tetap harmonis,
bahkan banyak yang tidak tahu atau tidak peduli akan munculnya kembali
Agama Khonghucu. yang penting bagi umat adalah melaksanakan agama
sesuai yang dianutnya. Tradisi Tionghoa tetap dilaksanakan dengan bebas
oleh siapapun.24
22Leo Suryadinata, “Etnis Tionghoa sejak Reformasi,” Majalah Tempo Edisi Etnis Cina di Zaman
yang Berubah (2004), h. 38-39. 23Ongky Setio Kuncono, www.spocjournal.com/ budaya/ 85-gus-dur- di-mata-orang-tionghoa-
khonghucu-html diakses pada 14 Januari 2017. 24Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus
pindah agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya, h. 37.
55
Di kabupaten Majalengka, masyarakat Tionghoa pun mengalami hal
yang sama. Mereka kembali mendapatkan kebebasan untuk melakukan
kegiatan keberagamaan secara bebas, tanpa tekanan dari manapun. Bagi yang
beragama Khonghucu, tentu kembali beraktivitas di klenteng bukan lagi
menjadi masalah. Namun ternyata tidak semudah itu agama Khonghucu
menjadi kembali hidup di kabupaten Majalengka. Ada beberapa hal yang
menjadikan agama Khonghucu tidak lagi banyak seperti sebelum masa Orde
Baru. Selain tentunya konversi agama seperti yang sudah dibahas sebelumya,
ada beberapa gesekan yang menyebabkan tidak mulusnya perkembangan
agama Khonghucu pasca Orde Baru.25
Apabila kita melihat kasus yang terjadi di Tangerang, biasanya
penganut agama Khonghucu memilih agama Buddha untuk dicantumkan
dalam Kartu Tanda Penduduk mereka. Dan Klenteng adalah tempat ibadah
dimana umat agama Buddha, Khonghucu, dan Taoisme dapat melaksanakan
ibadah. Kepemilikan klenteng adalah milik yayasan. Klenteng ada yang
mandiri dan ada juga yang milik suatu yayasan dimana yayasan itu juga
memiliki vihara dalam binaan agama Buddha. Pihak Khonghucu
beranggapan bahwa klenteng cenderung ke agama Buddha dengan memberi
nama vihara. Pihak Khonghucu mengklaim bahwa seharusnya klenteng
adalah milik agama Khonghucu. Minimal klenteng dikembalikan pada fungsi
aslinya sebagai tempat ibadah umat agama Buddha, Khonghucu, dan
Taoisme. Namun untuk selanjutnya diharapkan bahwa klenteng dapat beralih
25Wawancara pribadi dengan Horgen, penganut agama Khonghucu, pada tanggal 29 November
2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
56
fungsi sebagai Lithang yaitu tempat ibadah umat beragama Khonghucu. Dari
kepentingan yang berbeda tersebut maka terjadi sengketa dalam kepemilikan
klenteng. Hal ini disebabkan karena umat yang beribadah di klenteng
diantaranya adalah penganut Khonghucu, tetapi pemilik klenteng belum tentu
penganut Khonghucu. Ketika klenteng akan dijadikan sebagai tempat ibadah
Khonghucu maka ditolak oleh pemilik klenteng. Sehingga yang terjadi
adalah perebutan aset klenteng, bukan perebutan umat.26
Yang terjadi di Kabupaten Majalengka bukanlah gesekan antara
penganut agama Khonghucu dan Buddha. Hubungan antara keduanya sangat
baik hingga hari ini. Yang terjadi adalah gesekan penganut agama
Khonghucu dengan pihak gereja. Di Kabupaten Majalengka, Gereja Katolik
dan Protestan adalah yang paling banyak dikunjungi penganut agama
Khonghucu pada masa Orde Baru. Pada masa itu kegiatan di gereja-gereja
sedang berkembang pesat. Ibadah setiap hari Minggu pun menjadi kegiatan
rutin. Ketika larangan beragama Khonghucu telah dicabut, sebagian besar
penganut agama Khonghucu telah resmi beragama Katolik dan Protestan.
Sebagian lagi tidak melanjutkan ibadahnya di gereja, karena memang ibadah
yang dilakukan hanyalah kamuflase. karena mereka merasa jemaat yang
beribadah di gereja setiap hari Minggu menjadi berkurang, pihak gereja pun
mempertanyakan status beberapa anggota gereja. Mereka mengira bahwa
penganut agama Khonghucu yang beribadah di gereja telah konversi, tapi
26Sabar Sukarno. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi (Studi Kasus
pindah agama umat Buddha di Tangerang). Penelitian Dosen. Tangerang, Sekolah Tingi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya, h. 36.
57
nyatanya tidak semua.27
Meskipun ada yang kembali ke agama Khonghucu, statistik tetap
menunjukkan bahwa jumlah penganut Khonghucu di Majalengka tetaplah
sangat sedikit, jauh bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum Orde
Baru. Ini dikarenakan selain konversi agama, sebagian penganut agama
Khonghucu telah merantau ke luar kota.
27Wawancara pribadi dengan Li-Na, Penganut Agama Khonghucu, di kediaman beliau di Babakan
Jawa Kabupaten Majalengka.
58
BAB IV
EKSISTENSI KLENTENG HOK TEK TJENG SIN PADA MASA
SEKARANG
A. Peran Iwan Satibi Mempertahankan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Pada tahun 1967, Dr. Iwan Satibi datang ke Majalengka. Beliau
adalah orang yang sangat berjasa atas usahanya mempertahankan klenteng
Hok Tek Tjeng Sin, karena memang beberapa kali bangunan ini ingin
dirubuhkan oleh pemerintah setempat kala itu. Dr. Iwan Satibi, lahir di
Probolinggo tanggal 16 September 1931. Beliau mengenyam pendidikan
kedokteran di Universitas Airlangga Surabaya. Setelah lulus dari kuliah
kedokteran, beliau pernah ditugaskan di Jakarta, di RS Angkatan Laut. Tidak
lama tinggal di Jakarta, setelah itu pindah ke Cideres menjadi kepala dinas
kesehatan Kabupaten Majalengka merangkap kepala Rumah Sakit Cideres.
Beliau tidak mau tinggal di kota besar karena menurutnya, kebutuhan
kampung ataupun kota terhadap dokter sama besarnya. Dr. Iwan Satibi tidak
mematok harga kepada pasiennya. Banyak dari pasien yang membayar
dengan ayam, ikan atau bahkan sayuran. Banyak pula pasien yang berobat
gratis, atau bahkan diberi ongkos pulang oleh beliau. Menyumbang masjid,
panti asuhan pun sudah menjadi kebiasaannya. Jiwa sosial yang sangat tinggi
inilah yang juga menjadi gambaran betapa pedulinya seorang Iwan Satibi
terhadap kepentingan umat.1
Beliau juga sangat menghormati ajaran
Konfusius.2
1Ardian Zhang. Dr Iwan Satibi, Dokter yang Berdedikasi Tinggi http://web.budaya- tionghoa.net/
index.php/item/3704-dr-iwan-satibi-dokter-yang-berdedikasi-tinggi diakses tanggal 15 November 2016. 2Zakiah Darajat, Perbandingan Agama I (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1982), h. 42.
59
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin sempat hampir diambil alih oleh
pemerintah daerah. Bukan untuk dirawat, tapi dimaksudkan untuk
dirubuhkan. Namun Dr. Iwan Satibi mengusahakan dengan cara mengirim
surat kepada Kemendikbud agar Klenteng ini tidak diambil alih, atau bahkan
dirubuhkan.3 Karena bagaimanapun juga rumah ibadah harus tetap berfungsi
sebagaimana mestinya. Setelah berhasil mendapatkan surat dari
Kemendikbud, klenteng Hok Tek Tjeng Sin pun bisa digunakan sebagaimana
fungsinya. Klenteng ini sudah menjadi tempat peribadatan penganut
Khonghucu sejak saat itu. Klenteng ini pun menjadi cagar budaya, meskipun
sempat kurang diperhatikan. Dengan dilarangnya agama Khonghucu, jemaat
yang aktif beribadah di Klenteng ada sekitar 8 sampai 10 orang. Iwan Satibi,
dengan wataknya yang saklek, tetap mengajarkan ajaran Konfusius walaupun
yang mau belajar tidak banyak. Menurutnya, jumlah murid, sebanyak apapun
tidak masalah, walaupun hanya satu orang yang penting mau belajar. Dengan
kemampuannya, Iwan Satibi tidak kesulitan mengajarkan isi kitab Agama
Khonghucu yang memang berbahasa Mandarin. Tentu saja ketika itu
kebaktian di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin menggunakan Bahasa Sunda,
karena jemaat di sana tidak ada yang bisa berbahasa Mandarin, dan tidak ada
pembelajaran Bahasa Mandarin.4
Begitupun yang terjadi pada tahun-tahun setelahnya. Dilarangnya
agama Khonghucu di Indonesia, khususnya di Majalengka, walaupun
3Wawancara dengan Edhy Subarhi, Pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin tanggal 29 November
2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Majalengka. 4Wawancara dengan Horgen, penganut agam Khonghucu, pada tanggal 29 November 2016 di
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
60
menyebabkan konversi penganut agama Khonghucu ke agama lain, tidak
membuat surut para jemaat klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang hanya sedikit
untuk terus beribadah di klenteng, dan juga mempelajari ajaran nabi
Khonghucu. Yang paling ditekankan oleh Iwan Satibi ialah tentang
menghormati yang lebih tua. Orang tua, kakek nenek, dan juga leluhur
diatasnya. Karena dalam ajaran agama Khonghucu memang penting sekali
untuk menghormati yang lebih tua, dan tidak durhaka kepada mereka. Ajaran
ini dinamakan bakti.5
Menurut ajaran Khonghucu, manusia harus seimbang lahir dan
batinnya, karena jika tidak, hidupnya bisa hancur. Manusia juga harus pandai
membaca kehendak alam. Setiap kejadian, setiap gejala alam yang muncul,
haruslah ditafakuri karena pasti ada pelajaran yang bisa diambil darinya.
Juga setiap kejadian yang menyenangkan atau bahkan musibah, pasti ada
hubungannya dengan perbuatan manusia, sebagai bentuk keseimbangan.6
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin memiliki Sien Bing Tio Hok Tek.
Selama hidupnya, Tio Hok Tek ini adalah orang yang baik dan memiliki sifat
lemah lembut. Setelah menjadi dewa, barulah bernama Hok Tek Tjeng Sin,
yang berarti guru dari segala ilmu. Leluhur, yang sangat dihormati di dalam
Agama Khonghucu, adalah sesama manusia juga semasa hidupnya.
Begitulah ajaran Agama Khonghucu yang diajarkan oleh Iwan Satibi selama
mengurus dan mempertahankan klenteng ini. Beliau juga selalu
memperingatkan bahwa manusia memang memiliki banyak hawa nafsu, oleh
5Berbakti Kepada Orang Tua dan Agama, Kedaulatan Rakyat, 7 Mei 2006, h. 15. 6Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h.
255.
61
karenanya hati-hati dan kendalikan hawa nafsu jika tidak ingin menderita di
kemudian hari.7
Pada tahun 1997, jemaat klenteng Hok Tek Tjeng Sin mulai
bertambah, makin banyak yang beribadah di klenteng. Tapi sayangnya ini
bukan pertanda bagus karena ternyata, masalah yang ditimbulkan beberapa
oknum pengurus mengakibatkan perpecahan di tubuh kepengurusan klenteng.
Puncaknya terjadi pada tahun 2001. Iwan Satibi yang menganggap aktivitas
klenteng sudah melenceng dari apa yang diperjuangkan sebelumnya,
menggunakan hak vetonya sebagai dewan pembina untuk mengganti
kepengurusan di tubuh klenteng. Sejak saat itu, masyarakat yang aktif
beribadah di klenteng kembali berkurang. Hal ini tidak menjadi masalah
menurut Iwan Satibi, karena seperti apa yang pernah beliau sampaikan,
angka tidaklah menjadi kendala untuk keberlangsungan aktivitas di klenteng
Hok Tek Tjeng Sin.8
B. Pengaruh Abdurrahman Wahid Terhadap Klenteng
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik
dan memiliki wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai
Merauke. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang
dihuni oleh berbagai macam suku, ras, dan agama. Di Indonesia, setiap
warga negaranya diberikan kesempatan untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945
7Wahyu Wibisono, “Selamat Jalan Ie Tiong Bie, Dr. Iwan Satibi”, artikel diakses pada 15
November 2016 dari http://www.kompasiana.com/ webe/selamat-jalan-ie-tiong-bie-dokter-iwan-satibi_
568bb4df169373130af7a5d7 8Wawancara dengan Ade Susilo, Penganut Agama Khonghucu pada 29 November 2016 di
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
62
Pasal 29 Ayat (2) bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaan itu”.9
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memberikan
ruang atau tempat bagi masyarakat Tionghoa yang hidup di Indonesia.
Pemikirannya tentang konsep bangsa Indonesia merupakan konsep
pemikiran baru yang berbeda dari sebelumnya. Bhinneka Tunggal Ika yang
menjadi semboyan Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang penduduk asli
Indonesia, tetapi dimiliki oleh penduduk bukan asli Indonesia. Oleh karena
itu, etnis Tionghoa juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia.10
Keberadaan etnis Tionghoa di Nusantara telah mengalami sejarah
yang panjang, termasuk terjadinya asimilasi dan akulturasi nilai-nilai budaya
dan agama. Salah satu nilai yang paling utama yakni mengenai ajaran
Konfusius. Sampai saat ini, ajaran Konfusius terus berkembang dan memiliki
banyak penganut di Indonesia. Meskipun agama Khonghucu merupakan
agama minoritas, namun kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinan masing-masing menjadi bagian prinsipil dari kehidupan setiap
manusia.11
9“Ham dan Kebebasan Beragama di Indonesia” artikel diakses pada 26 Desember 2016 dari http:
//www.hukumonline.com/ klinik/ detail/ l6556/ham-dan-kebebasan-beragama-di-indonesia 10Ongky Setio Kuncono, “Gus Dur di Mata Orang Tionghoa Khonghucu,” artikel diakses pada 26
Desember 2016 dari http: // www. spocjournal. com/ budaya/85-gus-dur-di-mata- orang- tionghoa-
khonghucu.html 11Airin Liemanto, Ratio Legis Presiden Abdurrahman Wahid Menjadikan Khonghucu Sebagai
Agama Resmi Negara (Analisis Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina). Artikel Ilmiah
Universitas Brawijaya, Malang, 2014, h. 2.
63
Pada tahun 2000, negara memberikan pengakuan resmi terhadap
agama Khonghucu melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 6 Tahun
2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Pencabutan Inpres tersebut juga diikuti
dengan perayaan Tahun Baru Imlek yang dirayakan secara nasional. Setiap
perayaan Hari Raya Khonghucu kemudian ditetapkan sebagai hari libur
nasional guna menghormati penganut agama Konghuchu merayakan hari
raya. Walaupun sejak keluarnya Keppres RI No.6 Tahun 2000 masyarakat
Khonghucu mendapatkan kebebasan beragama, tetapi permasalahan
mengenai status administrasi kependudukan masih belum terselesaikan.
Meskipun demikian, masyarakat Khonghucu terus mengupayakan
pemenuhan hak-hak sipil mereka kepada pemerintah.12
Proses pengakuan Khonghucu menjadi agama tentu tidak secara
tiba-tiba dilakukan di era Presiden Abdurahman Wahid. Namun proses
Khonghucu menjadi agama yang diakui dan diterima di Indonesia
mengalami masa yang tidak mudah. Mengingat sebelumnya, Indonesia hanya
mengakui 5 Agama yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha.
Sebagai negara yang multikultural dan pluralis, Indonesia terdiri dari
beraneka ragam suku, ras, budaya, bahasa, etnik, dan agama. Di negara ini
banyak berkembang aliran-aliran kepercayaan. Tidak dapat dipungkiri, aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia sangat beragam dan sikap toleransi harus
menjadi bagian dari masyarakat Indonesia untuk saling menghormati.13
12Melly G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 276. 13Budhy Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama. (Jakarta: Democracy Project,
2011), h. 62
64
Pada pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berlangsung terhitung
singkat menjabat menjadi Presiden, yaitu pada tahun 1999 sampai tahun
2001 terdapat berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Pada tahun 2000, beliau
memberikan keputusan presiden untuk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967.
Pemikiran Abdurrahman Wahid dan kebijakan yang dikeluarkan tidak mudah
ditebak. Ketika Abdurrahman Wahid mempelopori penghapusan diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa merupakan suatu langkah untuk melakukan
perubahan sosial dan persamaan hak-hak minoritas.14
Melalui
kebijakan-kebijakannya, tentunya ini secara tidak langsung memberi
pengaruh yang positif terhadap para penganut agama Khonghucu yang
beribadah di klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
C. Hubungan Masyarakat Sekitar dengan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin adalah satu-satunya tempat ibadah
agama Khonghucu di Kecamatan Majalengka, disamping 4 bangunan gereja
dan 293 tempat ibadah untuk agama Islam.15
Sedangkan dari 3 klenteng di
Kabupaten Majalengka, Klenteng Hok Tek Tjeng Sin adalah satu-satunya
yang masih digunakan sebagai tempat ibadah, dan bukan hanya sebagai cagar
budaya. 2 klenteng lainnya, yang masing-masing berada di Kecamatan
Jatiwangi dan Kadipaten, sudah lama tidak berfungsi sebagai tempat ibadah.
Hanya rutin dibersihkan, itu pun oleh petugas kebersihan yang beragama
Islam. Ini berarti segala hal yang mewakili agama Khonghucu di Kabupaten
14Ongky Setio Kuncono, “Gus Dur di Mata Orang Tionghoa Khonghucu,” artikel diakses pada 26
Desember 2016 dari http: // www. spocjournal. com/ budaya/85-gus-dur-di-mata- orang- tionghoa-
khonghucu.html 15 Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka, Kabupaten Majalengka Dalam Angka
(Majalengka: BPS Majalengka, 2016), h. 106.
65
Majalengka ada di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin berada di tengah Kabupaten Majalengka
200 meter sebelah barat pendopo Kabupaten Majalengka. Masyarakat sekitar
mengakui keberadaan klenteng sebagai bagian dari budaya yang harus
dilestarikan. Karenanya mereka berkomunikasi baik dengan masyarakat
Tionghoa yang menjalankan peribadatan di klenteng. Bahkan mereka
menjadikan klenteng sebagai tempat wisata dan hiburan karena sangat
minimnya tempat wisata di Kabupaten Majalengka. Masyarakat Kabupaten
Majalengka berbagai agama dan yang lebih dominan Muslim sering bahkan
terbiasa datang ke Klenteng Hok Tek Tjeng Sin hanya untuk menikmati
suasana klenteng yang secara kasat mata terlihat sangat menarik, apalagi
untuk anak-anak karena ciri khas klenteng yang warna catnya mencolok dan
menarik perhatian.16
Di balik itu masyarakat Tionghoa penghuni dan pengurus klenteng
tersebut secara terbuka menerima warga Kabupaten Majalengka yang datang
ke tempat itu, walaupun bukan untuk beribadah. Oleh karenanya ini menjadi
pemasukan bagi klenteng dengan dibukanya pemotretan berbayar yang
bersahabat bagi kalangan menengah kebawah. Bisnis pemotretan klenteng
pada masa itu berkembang pesat bahkan sampai menyaingi bisnis foto
satu-satunya yang ada di Kabupaten Majalengka saat itu, karena di klenteng
disediakan foto dalam dan luar ruangan. Pemotretan luar ruangan pada masa
itu belum menjadi hal yang lumrah. Hal ini mempererat hubungan warga
16Wawancara Pribadi dengan Ibu Nenden, warga sekitar Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada 23
Februari 2017 di kediaman beliau di Babakan Jawa, Kabupaten Majalengka.
66
Tionghoa dengan pribumi dan karenanya terjalinlah rasa saling memiliki.
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin terbuka untuk umum setiap harinya, kecuali
hari-hari tertentu yang merupakan hari peribadatannya, termasuk Chee It dan
Cap Go. Walaupun tidak menerima kunjungan pada hari-hari besar, warga
Majalengka masih bisa datang untuk menyaksikan peribadatan di dalam
klenteng.
Bagi warga kurang mampu Kabupaten Majalengka, hari-hari besar
menjadi hari yang ditunggu-tunggu karena akan mendapatkan angpao pada
akhir peribadatan. Itu artinya warga Klenteng Hok Tek Tjeng Sin memang
sangat dekat kepada masyarakat kecil yang kurang mampu di Kabupaten
Majalengka. Bahkan ketika ada warga Tionghoa yang meninggal pun
menjadi momen untuk membagikan angpao kepada masyarakat kecil, karena
tradisi Tionghoa ketika ada yang meninggal, mereka memberikan angpao
kepada siapa saja yang datang dan memberikan dua kali lipat kepada
siapapun yang menunjukan rasa haru dan duka.17
D. Fungsi Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Masa Sekarang
Permasalahan Klenteng di Indonesia pada hari ini ialah semakin
terpinggirkannya penganut agama Khonghucu oleh penganut agama Buddha
yang beribadah di tempat yang sama. Sebutan klenteng pun semakin rancu,
Klenteng diganti nama menjadi Vihara, padahal kita sama-sama tahu bahwa
fisik Klenteng dengan Vihara baik makna maupun fungsi secara prinsip
sangat berbeda. Vihara adalah tempat ibadah para umat Buddha. Sedangkan
17Wawancara Pribadi dengan Ibu Nenden, warga sekitar Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada 23
Februari 2017 di kediaman beliau di Babakan Jawa, Kabupaten Majalengka.
67
fungsi vihara adalah sebagai tempat ibadah umat Buddha, tempat tinggal para
biksu dan biksuni, pusat latihan meditasi, tempat edukasi, dan sarana wisata
spiritual.18
Dengan munculnya istilah Tempat Ibadah Tri Dharma, klenteng
pun banyak yang berganti nama menjadi T.I.T.D yang menginduk pada
Walubi.19
Pada awalnya, guna menyelamatkan keberadaan klenteng dari
dampak Inpres No. 14 tahun 1967, klenteng yang semula menggunakan
nama sesuai dengan maksud dibangunnya klenteng tersebut, diganti menjadi
Vihara / T.I.T.D. Hal ini berjalan berpuluh-puluh tahun (sejak terbitnya
Inpres No. 14 tahun 1967 sampai sekarang). Namun kalau diperhatikan,
peribadahan umatnya tidak berubah sama sekali, masih menggunakan tata
cara peribadahan Agama Khonghucu sampai sekarang.
Secara politis, memang ada upaya pemerintah pada masa Orde Baru
untuk „melenyapkan‟ klenteng dari bumi Indonesia. Pada tanggal 29 Februari
1984, Walubi menyelenggarakan pertemuan untuk membahas masalah
klenteng, dengan tujuan mengubah klenteng menjadi Vihara. Walau Sam
Kauw Hwee menolak usulan itu, pemerintah memutuskan untuk
mengimplementasikan rencana tersebut.20
Permasalahan klenteng yang sedang terjadi di Indonesia, yang
memang masih belum selesai ini, nampaknya bukan menjadi masalah yang
berarti di Kabupaten Majalengka. Antara penganut Khonghucu dan Buddha
18Sasanasena Seng Hansen, ed., Kumpulan Wihara dan Candi Buddhis Indonesia (Yogyakarta:
Vidyasena Production, 2013), h. 8. 19Bratayana Ongkowijaya, Permasalahan Kelenteng di Bumi Indonesia: Selayang Pandang
Permasalahan Kelenteng Dewasa Ini.Medio Februari 2013 20I. Wibowo. dkk, Setelah Air Mata Kering (Jakarta: Kompas, 2010), h. 87-88.
68
yang sama-sama datang ke Klenteng tidak ada pergesekan masalah. Iwan
Satibi yang sengaja membangun Vihara pada tahun 1990, tidak sedikitpun
merasa „terjajah‟ oleh penganut Agama Buddha. Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
yang sudah berusia 200 tahun lebih masih berjalan sebagaimana fungsinya
hingga hari ini. Pengurusnya pun beragama Khonghucu. Masalah yang
terjadi bukan timbul disitu.21
Penganut yang datang dari luar kota pun beragam. Ada yang
beragama Khonghucu dan Buddha, yang memang datang untuk beribadah,
ada pula penganut Agama Kristen dan Islam yang datang untuk menghormati
arwah leluhur. Dengan alasan beragam, mereka datang ke Kabupaten
Majalengka rutin setiap Chee It dan Cap Go untuk beribadah di Klenteng
Hok Tek Tjeng Sin. Salah satu alasan mereka untuk datang ke Klenteng Hok
Tek Tjeng Sin, padahal ada banyak klenteng di sekitar tempat tinggal mereka,
adalah di sana adalah tempat yang tenang dan berkesan untuk beribadah22
.
Ada pula yang menganalogikan Klenteng dengan masjid, dimanapun
beribadah sebenarnya bisa, namun bisa diputuskan dengan perasaan, mau
beribadah dimana. Semua itu persepsi dan logika. Tidak masuk akal, tapi
itulah agama.23
Pendatang lain, berpendapat bahwa ziarah bukan masalah
tempat, tapi apa yang dilakukan, dan di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin lebih
memberikan kenyamanan. Ada pula yang sudah pindah dari Kabupaten
Majalengka, tapi tetap rutin beribadah di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin untuk
21Wawancara dengan Edhy Subarhi, pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada tanggal 29
November 2016 di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka. 22 Wawancara dengan Cahyadi, penganut Agama Khonghucu pada 29 November 2016 di
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka. 23Wawancara dengan Ade Chandra, penganut Agama Khonghucu pada 29 November 2016 di
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
69
menjaga silaturahim dengan jemaat lainnya.24
Bisa dikatakan semua yang datang ke Majalengka dari luar kota untuk
beribadah sebenarnya memiliki tempat ibadah yang jauh lebih dekat ke
rumahnya masing-masing. Namun karena Klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang
terletak di luar kota lebih dianggap lebih memberikan ketenangan, dan juga
ada nuansa ziarah dan silaturahim setiap dua minggunya, karena
masing-masing dari mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
24Wawancara dengan Andi, penganut Agama Khonghucu pada 29 November 2016 di Klenteng
Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangunan klenteng Hok Tek Tjeng Sin yang ada di Kabupaten
Majalengka ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada Tahun 1968
sehingga dapat terhindar dari upaya pembongkaran dan penghentian kegiatan
yang akan dilakukan oleh Pemda setempat. Dr. Iwan Satibi adalah sosok
yang paling berperan atas masih bertahannya fungsi klenteng Hok Tek Tjeng
Sin sampai hari ini. Beliau adalah seorang dokter yang berhasil mencegah
klenteng agar tidak dirubuhkan atau diberhentikan kegiatannya. Beliau juga
orang yang semangat mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para penganut
Agama Khonghucu yang memang tidak banyak. Jumlah yang sedikit ini
tidak pernah menjadi masalah bagi beliau untuk berbagi.
Dengan hampir tidak adanya penganut agama Khonghucu di
Kabupaten Majalengka, klenteng Hok Tek Tjeng Sin masih berfungsi
sebagaimana mestinya dengan andil dari penganut agama Khonghucu yang
datang dari luar Kabupaten Majalengka. Mereka rela pergi dari rumah
masing-masing ke tempat lain, tepatnya Kabupaten Majalengka rutin setiap
Chee It dan Cap Go hanya untuk beribadah, karena merasakan kenyamanan
yang tidak didapat di tempat lain. Hanya saja keadaan ini tidak bisa
dipastikan sampai kapan, mengingat hampir tidak adanya generasi muda
yang melanjutkan kegiatan religius mereka di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
71
Selain dipergunakan oleh penganut agama Khonghucu, Klenteng Hok
Tek Tjeng Sin dipergunakan oleh penganut agama lainnya untuk beribadah di
klenteng tersebut. Penganut agama Budha adalah jemaat yang paling banyak
mendatangi klenteng tersebut, sehingga di klenteng tersebut ada bangunan
vihara yang khusus untuk penganut Agama Budha yang dibangun pada
Tahun 1990. Penggunaan klenteng oleh penganut agama lain, khususnya
Budha, tidak menimbulkan masalah bagi pengurus klenteng.
72
B. Saran-Saran
Seluruh warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama
dalam beragama dan mendapatkan pendidikan beragama. Tidak terkecuali
penganut Agama Khonghucu di Indonesia. Mereka layak untuk mendapatkan
pendidikan agama mereka sendiri. Belum adanya universitas yang beragama
Khonghucu di Indonesia menjadi penyebab tersendatnya pendidikan Agama
Khonghucu di Indonesia.
Saran penulis terhadap pemuka Agama Khonghucu, khususnya
MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) agar memberikan
perhatian lebih terhadap Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Kabupaten Majalengka,
dengan fasilitas seperti buku, atau kunjungan rohaniwan ke Kabupaten
Majalengka, karena meskipun klenteng ini masih aktif sebagaimana mestinya,
tetap membutuhkan perhatian khusus.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Benny, Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Trans Media, 2008.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. Kabupaten Majalengka Dalam
Angka 2016. Majalengka: BPS Kabupaten Majalengka, 2016.
Buanadjaya, Sidarnanto. Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan
Khonghucu di Indonesia. Surakarta: Matakin-Dewan Rohaniawan Agama
Khonghucu Indonesia,2009.
Cokpraa. 2015. Arsitektur Kelenteng. Diambil dari https://cokpra1994.
wordpress.com/2015/05/09/arsitektur-kelenteng-2/. Diakses pada Tanggal
27 Maret 2017
Coppel, Charles. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994.
Daradjat, Zakiah. Perbandingan Agama I. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama/IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam, 1982.
Edi Suprapto. Atribut dalam Klenteng. Diambil dari http://tradisitridharma.
blogspot.co.id/2014/11/atribut-dalam-klenteng.html. 2014. Diakses pada
Tanggal 25 Maret 2017.
Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. New York: Macmillan Publishing
Company, 1987.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama Bagian I. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993.
Hari, Poerwanto. Orang Cina Khek Dari Singkawang. Depok: Komunitas Baru,
2005.
Junzigroup’s Weblog. Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia (1).
Diakses pada Tanggal 22 Maret 2017 dari https://junzigroup.
wordpress.com/2008/05/11/perkembangan-agama-khonghucu-di Indonesia
-1/ 2008.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1987.
74
Koji, Tsuda . 2012b. “The Legal and Cultural Status of Chinese Temples in
Contemporary Java.” Asian Ethnicity 13(4): 392.
Konfusius. Analek Konfusius Kitab Kearifan Konfusius. Yogyakarta: New
Diglossia.
Krippendorff, Klaus. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta:
Rajawali Press, 1933.
Kuncono, Ongky Setio. Gus Dur di Mata Orang Tionghoa Khonghucu. Diambil
dari: http://www.spocjournal.com/budaya/85-gus-dur-di-mata-orang-
tionghoa-khonghucu.html.
Kuncono, Ongky Setio. Tomorrow Spirit. Jakarta: Gerbang Kebijakan Ru, 2015.
Lan, Mely Tan Giok. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Lan, Thung Ju, dan Wibowo. Setelah Air Mata Kering. Jakarta: Kompas, 2010.
Liemanto, Airin. Ratio Legis Presiden Abdurrahman Wahid Menjadikan
Khonghucu Sebagai Agama Resmi Negara (Analisisb Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina).
Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya, Malang, 2014.
Mulyana, Dedi. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja
Rosdakarya, 2013.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Ongkoham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina (Sejarah Etnis Cina
di Indonesia). Depok: Komunitas Bambu, 2008.
Ongkowijaya, Bratayana. Permasalahan Kelenteng di Bumi Indonesia: Selayang
Pandang Permasalahan Kelenteng Dewasa Ini. 2013.
Rachman, Budhy Munawar. Membela Kebebasan Agama. Jakarta: Democracy
Project, 2011.
Saidi,Gunawan. Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia. Skripsi. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2009.
Sjamsudin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007.
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Al Husna Zikra, 1996.
75
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2012.
Sukarno, Sabar. Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi
(Studi Kasus Pindah Agama Umat Buddha di Tangerang). Penelitian
Dosen. Tangerang, Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya.
Sulaiman. “Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran, dan Keorganisasiannya di
Pontianak Kalimantan Barat.” Jurnal Analisa. Volume XVI, No. 01,
Januari-Juni 2009.
Suryanto. Sejarah Kelenteng dan Asal Mula Istilah Kelenteng. Diambil dari
http://www.wihara.com/topic/36117-sejarah-kelenteng-dan-asal-mula-
istilah-kelenteng. 2006. Diakses pada Tanggal 25 Maret 2017.
Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif - Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. 2002.
Tanggok, Ihsan. Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.2000.
Tanggok, Ihsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Pelita Kebajikan.2003.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.
Diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Agama_
Konghucu_Indonesia. Diakses pada Tanggal 25 Maret 2017.
Zhang, Ardian. Dr. Iwan Satibi, Dokter yang Berdedikasi Tinggi. Diakses pada
tanggal 15 November 2016 dari http://web.budayationghoa.net/
index.php/item/3704-dr-iwan-satibi-dokter-yang-berdedikasi-tinggi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
KEN{ENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGEzu (UIN)S YA RTF HTD AYATULLAH JAKARTA
F'AKULTAS USHULUDDIN
'l Juanda No. 95 Ciputat 15412, lndonesia
NomorLampiranPerihal
: Un.0l,f3ll/-M.O1.3/1oo\.1 12916 Jakarta. 08 November 2016
: Penelit ian / rvnvancara
Kepada Yih.
diTempat
Dengan hormat,
Bersamd ini disampaikan bahwa mahasiswa kami dari FakultasUshuluddin UIN Syalif Hidayatullah Jakarta:
'reb.: (c21) 7 49 3677 , 7 4a 1925, Fax: (02 1 ) 74 9 357 9website:wwv/.uinjkt.ac.id; E-mail : fu-uinjkt@yahoo. com
NainaNIPFak./ JurusanSemester
: YusufAnbar Firdausi: 1110032100002: Perbandingan Agama: XIII (iiga Belas )
Tahun Akademik :. 2016 I 2Ol7Program ' : Strata 1(Sl)
sedang dalam penulisan skipsi dengan judul: Eksistensi Agama lftonghucu diMajalengka ( Studi Kasus Klenteng Hok Tek 'leng Sin dan MasyarakatTionghoa Majalengka
Sehubungan dengan itu, kami mohon mahasiswa kami dapat diterimamelakukan penelitian / lvalrrancara guna penulisan skripsi dimaksud.
Demikian, atas perhatian dan bantuannya kami ucapkan teriha kasih.
Akademik,
Tanggok, M.Si /199403 1 002
Tembusan :
Dekan Fakultas UshuluddinUJN $yarif Hidayahrllah Jakarta
Lampiran 2: Foto-Foto di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Gambar L.2.1: Kura-kura yang mewakili arah mata angin utara. Kura-kura juga
sebagai simbol panjang umur
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.2: Foto Macan Putih yang Mewakili Arah Mata Angin Barat
Sumber: Hasil Observasi Penulis
Gambar L.2.3: Naga Hijau yang Mewakili Arah Mata Angin Timur
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.4: Burung Merak Merah yang Berada di Belakang Klenteng,
Mewakili Arah Mata Angin Selatan
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.5: Lengkungan Pada Bangunan dan Pagar Besi Menunjukkan
Gabungan Eropa dan Tiongkok Pada Bangunan Klenteng
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.6: Tulisan San Chai Yi Shu yang Berada di Bagian Depan Klenteng,
yang Mempunyai Arti “Tiga Unsur Terbaik”
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.7: Patung Chai Shen, Dewa Panglima Perang
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.8: Patung Dewa Bumi atau Hok Tek Tjeng Sin
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.9: Mainan Ikan yang Mewakili Ikan Bandeng. Ikan Bandeng Adalah
Simbol Kesuburan dalam Agama Khonghucu
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.10: Setiap Buah-buahan mewakili masing-masing lima unsur, yaitu
Air, Api, Tanah, Logam dan Kayu
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.11: Lonceng yang Menjadi Asal Mula Penyebutan Klenteng Karena
Bunyinya
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.12: Persembahan dari Jemaat Klenteng Hok Tek Tjeng Sin
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.13: Ucapan Terima Kasih dari Universitas California untuk Dr. Iwan
Satibi atas Sumbangan Karya Beliau tentang Khonghucu
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.14: Pengurus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Salah Satu Murid
Iwan Satibi, Bp. Edi Subarhi
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
Gambar L.2.15: Bukti Didirikannya Klenteng Hok Tek Tjeng Sin pada Tahun
1803. Perbaikan Dilakukan Sebanyak Dua Kali.
Sumber: Hasil Observasi Peneliti
I-ampiran 3: Ilasil Wawancara
SURAT PERIYYATAANBERSEDIA MENJADI II,IFORI{AN PENELITTAN
S aya yang bertanda tangan di bawah ini :
trwry 9us*.*tti(e S 'wn*^
JL, Kt+ twobLttnLtm
Nama :
Umur :
Alaruat:Ao eb4 u{AGAt6K4
Menyatakan dengan sesunggulmya bahwa seteiah rnendapatkan penjelasan perrelitian dan '
memahami informasi 1'ang diberikan oleh poneliti scrta mongetahui tujuan dan manfaat
penelitian, maka dengan ini saya secara sukarela bersedia meniadi informan dalam penelitian
yalg dilalrukan oleh saudara yusuf Anbar Firdausi, Mihasiswa per.banding4n Agama
Univeliitas Islarn Negeri Jakarta yang ber.iudul: Eksistensi Agama Khcnghucu di Kabupaten
Majalengka (Studi Kasus Klenteng Hok Tek rjeng sin da, N{asyarakat Tiongiroa
Majalengka.l.
Demikian pornyataan ini saya buat dengan sebenar.benamya dan penuh kesadaran tanpa
paksaan dari siapapun.
Majaiengka, 29 November 2016
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Kapan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin didirikan? Klenteng Hok Tek Tjeng Sin ini
didirikan ketika masih penjajahan Belanda yakni pada tahun 1803, tentunya pada
masa itu tidak mudah mendirikan tempat peribadahan dalam situasi penjajahan,
dimana kita kenal karakter penjajah bangsa Indonesia (Belanda), ingin malakukan
pembodohan secara total selain mengeruk kekayaan bangsa Indonesia. Sementara di
tempat peribadatan pasti ada pembelajaran meskipun hanya belajar agama tapi
hasilnya akan menjadikan pengikutnya pintar.
2. Apakah klenteng ini memiliki spirit? Tentu, setiap peribadatan memiliki spirit sejak
akan didirikan. Spirit klenteng ini adalah Tio Hok Tek. Beliau adalah orang sangat
baik dan lemah lembut. Karena sikap kesehariannya yang lemah lembut, maka Tio
Hok Tek menjadi banyak pengikutya. Setelah menjadi Dewa, berubahlah namanya
menjadi Hok Tek Tjeng Sin (Guru segala ilmu).
3. Apakah sejak saat itu klenteng ini selalu aktif? Ya, tentu saja, namun yang saya
ketahui, klenteng ini sempat tidak berfungsi karena krisis kepengurusan dan berbagai
kepentingan. Untungnya ada seorang jemaat yang dermawan dan bisa dikategorikan
sebagai seorang relawan karena memiliki jiwa sosial yang tinggi bernama Dr. Iwan
Satibi.
4. Siapakah Dr. Iwan Satibi? Beliau adalah seorang dokter umum, yang mengabdikan
hidupnya pada bidang kesehatan masyarakat, yang mana pada masa itu sangat minim
tenaga dokter bahkan boleh dikatakan sangat langka sehingga banyak masyarakat
yang bergantung kepadanya dari mulai orang tua sampai anak keturunannya
mempercayakan kesehatannya pada dokter tersebut. Dari situ, beliau semakin peduli
terhadap aktivitas di klenteng ini dan menghidupkannya kembali meskipun tidak
sejaya ketika awal dibangunnya klenteng ini.
5. Sejak kapan Dr. Iwan Satibi datang ke Kabupaten Majalengka? Beliau datang
tahun 1966, ketika beliau sudah menjadi dokter. Beliau menaruh perhatian terhadap
kondisi klenteng pada saat itu dan melihat keadaan klenteng hampir terlantar, oleh
karena itu beliau mengambil alih kepengurusan dan pendanaannya dari aktivitas
beliau sebagai dokter.
6. Apakah setelah itu aktivitas klenteng menjadi hidup? Ya, aktivitas sehari-hari
klenteng ini selain sebagai tampat ibadah berfungsi juga sebagai tempat kegiatan
belajar mengajar bagi warga yang beragama Khonghucu. Meskipun tidak banyak
yang belajar, tapi Dr. Iwan Satibi tidak pernah mempermasalahkan sedikit atau
banyaknya. Yang penting pembelajaran tetap berjalan sehingga klenteng terlihat ada
kehidupan dengan adanya kepengurusan bahkan pernah difungsikan untuk kegiatan
pemotretan komersil karena klenteng ditata dengan dekorasi Tiongkok. Hal itu
membuat masyarakat dari berbagai macam agama tertarik untuk datang dan berfoto.
7. Lalu apa saja hambatan yang terjadi pada masa itu? Pada masa itu adalah masa
pemerintahan Orde Baru. Agama Khonghucu pada masa itu tidak terakomodir dalam
Undang-Undang, sebagaimana yang kita ketahui agama-agama yang ada di Indonesia
hanya ada 5 yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Dengan demikian,
dilarang kegiatan peribadatan Agama Khonghucu padahal banyak pengikutnya
sehingga peribadatan dilakukan secara diam-diam. Termasuk kegiatan outdoor pun
dengan terpaksa harus dihilangkan karena peribadatan di luar Klenteng akan
mengundang banyak tanya dari orang yang melihatnya.
8. Setelah masa Orde Baru, apakah klenteng kembali beraktivitas normal? Tidak
serta merta kembali beraktivitas normal, karena pergantian penguasa tidak otomatis
mengubah Undang-Undang dan kebikjakan. Dan memang banyak yang sudah
konversi ke agama lain. Tapi uniknya, banyak jemaat dari luar Kabupaten Majalengka
datang kesini untuk beribadah. Mereka datang dari Jakarta, Bekasi, Bandung, dan
Cirebon. Apalagi setelah pemerintahan dipimpin oleh KH. Abdurrahman Wahid.
Beliau yang menambahkan Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Jadi
sekarang agama yang diakui di Indonesia menjadi 6.
9. Apakah kegiatan peribadatan Agama Khonghucu pada zaman sekarang masih
berjalan? Kegiatan peribadatan Agama Khonghucu pada hari ini masih berjalan,
hanya saja ini berlaku bagi orang-orang seangkatan kami generasi yang sudah tua.
Tapi saya tidak tahu sampai kapan bertahan seperti ini.
10. Mengapa Bapak berpikir demikian? Karena anak muda, anak-anak kami, tidak
semuanya tertarik untuk mempelajari ajaran Khonghucu. Sebagian besar dari mereka
bahkan sudah konversi ke agama lain. Agama yang dimaksud ialah Agama Buddha,
Protestan, Katolik, dan Islam.
11. Apa kira-kira penyebabnya? Sederhananya, ajaran Agama Khonghucu dinilai
terlalu rumit bagi mereka. Sementara ajaran agama lain, Agama Kristen misalnya,
ajaran dan pola peribadatannya dipandang jauh lebih sederhana serta mudah untuk
dipelajari.
SI,RAT PERNYATAANBER,SEDIA MENJADI INFORMAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nuo,u ,$gvtt6Umur : {OAta.at: {Vtrq4br"gk(
Menyatakan dengan sesurgguhnya bahwa setelah mendapatkan penjelasan penelitian dan
memahami informasi yang diberikan oleh peneliti serta mengetahui tujuan dan manfaat
penelitian, maka dengan ini saya secara srkarela benedia menjadi informan dalam penelitian
yang dilakukan oleh saudara Yusuf Anbar Firdausi, Mahasiswa perbandingan Agar4a
Universitas Islam Negeri Jokarta yang bgjudul: Eksistensi Aga'ma Khonghucu di Kabupaten
Majalengka (Studi Kasus Klenteng Hok Tek Tjeng sin dan Masyarakat Tionghoa
Majalengka).
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan penuh kesadaran tanpa
paksaan dari siapapun..,
Majalengka, ...1.9..:..!.. 2.r... zoro
'l&*"sU-L-..
lnfonnan
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak? Nama Saya Hendra
2. Apa pekerjaan Bapak? Wiraswasta
3. Apakah agama Bapak ketika lahir? Saya terlahir dengan Agama Khonghucu
4. Lalu kapan Bapak pindah ke Agama Kristen Protestan? Saya pindah agama sejak
kecil, sejak Agama Khonghucu statusnya mulai tidak jelas.
5. Mengapa Bapak pindah ke Kristen Protestan? Ketika itu, salah satu agama yang
diakui dan jelas ibadahnya adalah Kristen Protestan. Pada mulanya saya hanya ikut
beribadah setiap minggunya. Lalu lama-kelamaan saya benar-benar menganut Kristen
Protestan. Tapi tetap saja, saya diajarkan oleh ayah saya untuk tidak melupakan
leluhur-leluhur kami. Itulah alasan mengapa saya sampai saat ini masih datang ke
klenteng. Agama saya tidak menghalangi saya untuk tetap mengunjungi klenteng.
SURAT PERI\TYATAANBERSEDIA MENJADI IMORMAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nana: L|. O7t)ttL. )"Ue2)urrw:$)Namx:'2(h/
wO2DLe-ru4z@
VflHlJ/1/,
f rt,tttrDu( tfilum 18o rf '%r?,
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa setelah mendapatkan penjelasan peneritian dan
memahami informasi yang diberikan oleh peneliti serta mengetahui tujuan dan manfaat
penelitian, maka dengan ini saya secara sutarela berseclia menjadi informan dalam penelitian
yang dilakukan oleh saudara yusrf Anbar Firdausi, Mahasiswa perbaadingan Agaura
Universitas Islain Negeri Jakarta yang berjudul: Eksistensi Ag:ima Khonghucu di Kabupaten
Majalengka (Studi Kasus Klenteng Hok rek rjeng sin dan Masyarakat Tionghoa
Majalengka).
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan penuh kesadarao tanpa
paksaan dari siapapun.
Majarengka, .../. y'. :.. /2.=. zorc
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak? Nama Saya H. Otong Junaedi
2. Apa pekerjaan Bapak? Wiraswasta
3. Apakah agama Bapak ketika lahir? Saya terlahir dengan Agama Khonghucu
4. Lalu kapan Bapak pindah ke Agama Islam? Saya pindah agama ketika masa
Sekolah Menengah Pertama.
5. Mengapa Bapak pindah ke Agama Islam? Pada masa itu Agama Khonghucu
memang dilarang, dan saya jelas menyayangkan itu, tapi saya memang sudah tertarik
kepada Agama Islam setelah mendapatkan pelajaran di sekolah saya. Saya
mengagumi filsafat Khonghucu, namun tetap saja, filsafat Islam lebih menarik
menurut saya. Saya bahkan menemukan beberapa persamaan dan titik temu. Salah
satunya ialah ajaran Nabi Khonghucu yang mengajarkan manusia untuk tidak
melawan arus. Itu, menurut saya, tidak beda dengan filsafat Thawaf dalam Ibadah
Haji.
SURAT PERNYATAANBERSEDITT NIENJADI INFOR}IAN PET\ELITIAN
Saya yang bertanda langan di bawah ini:
NAMA :CAH XAP)
Umur :5g
Alamat:8!)NDVng
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa setelah mendapatkan penjelasan penelitian dan
memahami infonnasi yang dib'erikan oleh peneliti serta mengetahui tujuan dan manfaat
penelitian, maka dengan ini saya secara sukarela bersedia rnenjadi informan dalam penelitian
yang dilakukan oleh saudara Yusuf Anbar Firdausi, Mahasiswa perbandingan Agaraa
fjniversitas Islarn Negeri Jakarta yang berjudul: Eksistensi Agama Khonghucu di Kabupaten
Majalengka (Studi Kasus Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan lvlasyarakat Tionghoa
Majalengka).
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan penuh kesadaran tanpa
paksaan dari siapapun.
Majalengka,Q.$.
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak? Nama Saya Cahyadi.
2. Apa pekerjaan Bapak? Wiraswasta.
3. Di mana tempat tinggal Bapak? Saya tinggal di Bandung, Jawa Barat.
4. Apakah ada klenteng di sekitar rumah Bapak? Ya, ada banyak klenteng di sana.
5. Sejak kapan bapak beribadah di klenteng ini? Saya sudah beribadah di sini sejak
tahun 1995.
6. Apa alasan Bapak beribadah di klenteng ini? Saya merasakan ketenangan ketika
datang ke sini. Setiap perjalanan saya ke sinipun selalu memberikan kesan positif bagi
saya. Saya juga merasa doa saya dikabulkan ketika beribadah di sini.
7. Apakah Bapak kenal Dr. Iwan Satibi? Ya, Dr. Iwan adalah guru kami, yang tidak
pernah lelah untuk memberikan pencerahan kepada kami yang ingin belajar.
SURAT PERNYAT,{A,NBERSEDIA NIENJADI INFORMAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di barvah ini:
Nar:ra' : Horg.r,
Umur : {4.Alamat: 3**t SokcrstO-
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa setelah mendapatkan penjerasan penelitian dan
memahami informasi yang diberikan oreh peneriti serta mengetahui tujuan dan manfaat
penelitian, maka dengan ini saya secara sukarela bersedia menjadi infonnan dalarn penelitian
yang dilakukan oreh saudara yusuf Anbar Firdausi, Mahasiswa perbandingan Aga:na
Universitas Islam Negeri Jakarta yang berjudul: Eksistensi Agama K-honghucu di Kabupaten
Majalengka (Studi Kasus Krenteng Hok Tek 'rjeng Sin dan Masyarakat rionghoa
Majalengka).
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan penuh kesadaran tanpa
paksaan dari siapapun.
Majalengka, ...?il..fl9YfThf. zor o
ItrrSL
Informan
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak? Nama Saya Horgen
2. Apa pekerjaan Bapak? Wiraswasta.
3. Di mana tempat tinggal Bapak? Saya tinggal di Jakarta.
4. Apakah ada klenteng di sekitar rumah Bapak? Ada banyak, tidak terlalu jauh dari
rumah.
5. Sejak kapan bapak beribadah di klenteng ini? Saya sudah beribadah di sini sejak
tahun 1991.
6. Apa alasan Bapak beribadah di klenteng ini? Daripada anda mengatakan
beribadah, saya lebih condong kepada “belajar dan ziarah”. Tujuan saya datang ke
sini lebih kepada ziarah, mengingat leluhur-leluhur saya, belajar hal-hal yang baru,
dan silaturahim dengan teman-teman di sini.
7. Apakah Bapak kenal Dr. Iwan Satibi? Tentu saja kenal. Saya banyak belajar dari
beliau. Tidak hanya tentang agama, tapi juga pembelajaran hidup.
LAMPIRAN WAWANCARA
1. Siapa nama Bapak? Nama Saya Ade Susilo
2. Apa pekerjaan Bapak? Wiraswasta
3. Di mana tempat tinggal Bapak? Saya tinggal di Kuningan, Jawa Barat
4. Apakah ada klenteng di sekitar rumah Bapak? Ada, klenteng Tri Dharma
5. Sejak kapan bapak beribadah di klenteng ini? Saya sudah beribadah di sini sejak
tahun 1990
6. Apa alasan Bapak beribadah di klenteng ini? Bagi saya, beribadah bukan masalah
tempat. Bagi saya beribadah lebih mirip ziarah. Secara batin, saya lebih nyaman kalau
datang ke sini.
7. Apakah Bapak kenal Dr. Iwan Satibi? Ya, beliau adalah orang yang menghidupkan
kembali kegiatan di klenteng ini.
8. Bapak beribadah di sini sudah cukup lama. Tentunya Bapak bisa menceritakan
sedikit banyaknya pengalaman Bapak selama beribadah di sini. Tentu saja. Pada
tahun 1990-an klenteng ini mengalami masa-masa baik dan buruk. Karena memang
sesama penguruspun banyak yang berbeda pendapat, dan berdampak pada
perpecahan. Dr Iwan orangnya sangat tegas, dan beliau sangat peduli dengan
keberlangsungan kegiatan keagamaan di klenteng ini, oleh karenanya beliau
mengambil tindakan.
9. Dan tepatnya apa tindakan yang dilakukan? Beliau menggunakan hak vetonya
untuk merombak kepengurusan di tubuh klenteng. Ini tentunya menyebabkan
berkurangnya jemaat yang beribadah di sana. Tapi beliau tidak terlalu peduli dengan
sedikit atau banyaknya orang yang beribadah di klenteng
top related