larangan capres independen vs demokrasi politik
Post on 24-Jan-2023
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pendahuluan
Demokrasi sebagai sebuah system pemerintahan dan
politik semakin mendapatkan simpati dari masyarakat
dunia, karena demokrasi menjanjikan persamaan hak dalam
semua lini kehidupan. Demokarasi menafikan hegemoni
golongan tertentu terhadap golongan lain, semua golongan
atau individu mendapatkan kesempatan yang sama dalam
atmosfir demokrasi. Secara das sollen, dalam demokrasi semua
orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bidang
pemerintahan.
Namun tidak demikian halnya dalam system pencalonan
presiden di Indonesia, pasal 6 A UUD 1945 seakan menutup
peluang itu dengan memperinci tata cara pencalonan
presiden. Pasal 6 A bisa dikatakan sebagai lex specialis dari
keumuman pasal 28 D yang menjamin hak seorang warga
Negara untuk turut serta dalam pemerintahan.
1
Fadjroel Rahman mencoba mengupas makna pasal 6 A
tersebut dengan mengajukan judicial review tekait capres
dan/atau cawapres independen. Pokok permohonanya tentang
pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat 1 UU
No 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan
wakil peresiden. Pada pokok permohonan ia meminta agar
MK menafsirkan pasal 6 A ayat 2 sebagai system terbuka,
artinya pasal tersebut tidak boleh memuat kata “hanya”
sehingga dengan memohon penafasiran seperti itu, ia
meminta agar pasal-pasal terkait pencalonan presiden di
atas dianggap inkonstitusional. Ia juga “membenturkan”
hal ini dengan pasal-pasal lain dalam UUD, yakni 27 ayat
1, pasal 28 D ayat 1, pasal 28 D ayat 3 dan pasal 28 I
ayat 2, ia berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut
merupakan perwujudan dari pasal 1 ayat 2 tentang
kedaulatan rakyat. Dengan putusan MK ini maka tertutup
sudah peluang bagi calon independen dalam bursa
pencalonan presiden.
2
Pemohon juga berargumen dengan putusan MK no 5/PUU-
V/2007 tentang pemilihan kepala daerah yang
memperbolehkan bagi calon independen untuk mengikuti
pilkada. Namun itu tidak menjadikan permohonanya
diterima, karena dalam pilkada pasal 18 UUD hanya
mengatakan dipilih secara demokratis tanpa diiringi
dengan mekanismenya. Sedangkan dalam kasus pemilihan
presiden kategori demokratis dan kesamaan hak didepan
hukum dibatasi dengan kehadiran pasal 6 A yang
mengharuskan diusung oleh parpol atau gabungan parpol
peserta pemilu.
Rumusan Masalah:
Dari uraian di atas, saya mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut:
Apakah larangan capres dan cawapres independen (dalam
putusan MK No. 56/PUU-VI/2008) bertentangan dengan
demokrasi politik?
3
Pembahasan
1. Teori Demokrasi
Secara bahasa demokrasi merupakan gabungan dari demos
(rakyat) dan kratos (pemerintah)1. Demokrasi pertama-tama
adalah sebuah gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan
itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat.
Dalam pengertian yang partisipatif, demokrasi
dimaknai sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan
bersama rakyat. Menurut jimly ash-Shidiqie, kekuasaan itu
pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu
rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah
serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan
kenegaraan. Menurutnya pula bahwa keseluruhan system
penyelenggaraan Negara itu pada dasarnya juga1 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, alih bahasa I. Made
Krisna, (yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2
4
diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri, Negara
yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-
sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya2.
Makna demokrasi partisipatif yang berarti “dari,
oleh, untuk, dan bersama rakyat” kemudian dicakup dalam
konsep kedaualatan rakyat, kedaulatan rakyat
mengasumsikan bahwa kekuasan tertinggi ada ditangan
rakyat, diselenggarakan untuk rakyat dan oleh rakyat3.
Munir Fuady menjelaskan makna demokrasi sebagai
sistem pemerintahan dalam suatu Negara dimana semua warga
Negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan
yang baik dalam menjalankan kehidupanya maupun dalam
berpartisipasi terhadap kekuasaan Negara, dimana rakyat
berhak untuk ikut serta dalam menjalankan Negara atau
mengawasi jalanya kekuasaan Negara, baik secara langsung
2 Jily as-Shiddiqie, Hokum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press), hlm. 241
3 Ibid.., hlm. 242
5
misalnya melalaui ruang-ruang publik maupun melalui
wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur
dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk
kepentingan rakyat, sehingga system pemerintahan dalam
Negara tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh
rakyat dan untuk kepentingan rakyat4.
Dahl menekankan sifat dasar demokrasi ada pada
responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga
negaranya yang setara secara politis. Responsifitas
tersebut mensyaratkan warga Negara yang memiliki
kesempatan untuk: merumuskan preferensinya, menunjukan
preferensinya kepada warga-warga lain dan pemerintah
melalui tindakan pribadi dan kolektif dan memberikan
bobot yang sama pada preferensinya yang dilakukan oleh
warga Negara. Ketiga hal tersebut kemudian dijabarkan
4 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm 2
6
dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret seperti di bawah
ini5:
1. Kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggotaorganisasi
2. Kebebeasan mengeluarkan pendapat3. Hak memilih4. Kesempatan menjadi pejabat pemerintah5. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam
mencari dukungan6. Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam
meraih suara7. Sumber-sumber informasi alternative8. Pemilihan umum yang bebas dan adil9. Lembaga yang embuat kebijakan pemerintah tergantung
pada perolehan suara dan pengungkapan preferensilainya
Dipenuhinya hal-hal di atas merupakan bentuk dari
demokrasi politik. Dari sembilan penjabaran diatas
jika diringkas akan mencakup tiga dimensi utama
demokrasi politik; yaitu partisipasi, kebebasan
politik dan sipil. Dari ketiga dimensi utama itu,
Georg Sorensen kemudian menerangkan secara lebih luas5 Georg Sorensen. Op, cit., hlm. 18
7
tentang maknanya satu persatu, bahwa demokrasi politik
adalah6:
a. Kompetisi yang luas dan bermakna diantara individudan kelompok organisasi (khususnya partai-partaipolitik) pada seluruh posisi kekuasaan pemerintahyang efektif, dalam jangkan waktu yang teratur danmeniadakan penggunaan kekerasan
b. Tingkat partisipasi politik yang inklusif dalampemilihan pemimpin dan kebijakan, paling tidakmelalui pemilihan bebas secara terautur, dan tidakada kelompok social yang disingkirkan
c. Tingkat kebebasan politik dan sipil-kebebasanberpendapat, kebebasan pers, kebebasan mendirikandan menjadi anggota organisasi-cukup untukmemastikan integritas partisipasi dan kompetisipolitik.
Demokrasi politik sutau aturan main untuk
mendistribusikan kekuasaan secara adil diantra anggota
masyarakat. Adil bermakna bahwa semua warga masyarakat
memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam
pembuatan keputusan dan memiliki hak yang sama untuk
berjuang memperebutkan kekuasaan7.
6 Ibid., hlm. 197 Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. VII
8
Dalam Negara hukum baik itu rechstaat maupun rule of
law, hukum bisa saja dijadikan alat bagi orang yang
berkuasa. Demi tercapainya tujuan dari dibentuknya
neagara hukum, substansi hukum harus memiliki nilai-
nilai yang demokratis, istilah untuk hal ini adalah
democratische rechstaat yang mempersyaraktan prinsip negara
hukum harus dijalankan menurut porsedur demokrasi yang
disepakati bersama. Negara hukum haruslah demokratis
begitu juga demokrasi juga harus didasarkan pada
hukum. Jimly ash Shidiqiey memaparkan empat prinsip
pokok dalam democratische rechstaat, yakni:
a. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam
kehidupan bersama
b. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan
atau pluralitas
c. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber
rujukan bersama
9
d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa
berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati
bersama.
Keempat prinsip tersebut kemudian ditambahakan dengan
prinisp-prinsip negara hokum, yaitu8:
a. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia
b. Pembatasan kekuasaan melalui mekansime
pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai
mekanisme penyelesaian sengketa ketetanegaraan
antar lembaga Negara, baik secara vertical
maupun horizontal
c. Adanya peradilan yang bersifat independen dan
tidak memihak
d. Dibentuknya lembaga peradilan yang khsusu untuk
menjamin keadilan bagi warga Negara yang
8 Jimly ash Shidiqiey, op, cit, hlm. 246
10
dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintah
e. Adanya mekanisme “judicial review” oeleh
lembaga peradilan terhadap norma-norma
ketentuan legislative, baik ya g ditetapkan
oleh legislative maupun eksekutif
f. Dibuatnya konstitusi dan perundang-undangan
g. Pengakuan terhadap asas legalitas
2. Larangan Pencalonan Presiden Dan Wakil
Presiden Dari Calon Independen
Sebagaimana yang telah saya tuliskan dalam
pendahuluan makalah ini, bahwa dalam keputusanya
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan
Fadjroel Rachman terkait kemungkinan pencalonan
presiden dan wakil presiden dari non partai politik.
Dalam putusan tersebut Fadjroel Rachman berasumsi
11
kalau partai politik hanyalah salah satu instrument
untuk menajalanakan kekuasaan dan pemerintahan suatu
Negara. Karena merupakan salah stau instrument, parpol
tidak boleh memonompoli kekuasaan demokrasi, sebab
selain parpol terdapat pula saluran-saluran lain yang
dapat digunakan warga Negara untuk mempergunakan hak
berpartisipasinya dalam demokrasi dan saluran ini
tidak boleh ditutup jika memang menghendaki
terwujudnya demokrasi9. Hak yang diberikan kepada
partai politik tidak boleh melampaui hak warga Negara,
alat dalam hal ini parpol tidak boleh melampaui subjek
yang dalam hal ini adalah warga Negara.
Pasal yang diminta untuk dibatalkan adalah pasal 1
ayat 4, pasal 8, pasal 9 dan pasal 13 ayat 1 UU No 42
tahun 2008, yang mana jika pasal-pasal tersebut
dirangkai dalam suatu pemikiran, maka akan memunculkan
kesimpulan bahwa satu-staunya mekanisme atau jalur
9 Putusan MK no 56/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU no 42 th 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, hlm. 3
12
untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah
melalui usulan partai politik atau gabungan partai
politik dan tidak ada kemungkinan sama sekali bagi
pasangan calon independen di luar yang diusulkan
partai politik atau gabungan partai politik. Para
pemohon juga mengatakan kalau pasal 6 A ayat 2
bukanlah pengahalang bagi adanya calon predien dan
wakil presiden dai jalur independen jika dibaca secara
holisitik, apalagi MK juga telah memutuskan
diperbolehkanya calon independen dalam pilkada.
Namun MK menafsirkan pasal 6 A dalam kondisi original
intent pasal tersebut, original intent dari pasal 6A ayat 2
adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. Sehingga dengan penafsiran seperti
itu, UUD 1945 hanya memberikan kendaraan bagi parpol
atau gabungan parpol peserta pemilu sebagai kendaraan
13
utama untuk melaju dalam pencalonan presiden dan wakil
presiden. MK mengatakan pemohon bisa saja mendirikan
partai sendiri sesuai visi-misi partai yang
dikehendakinya apabila tidak suka dengan partai yang
telah ada. 10
Tidak semua hakim MK menyetujui penafsiran seperti
itu, Abdul Mukhtie Fadjar, Maruar Siahaan dan Akil
Mochtar melakukan dissenting opinion, berikut ini akan saya
paparkan pendapat mereka. Abdul Mukhtie Fadjar
berpendapat bahwa pasal 27 ayat 1, 28 D ayat 3 telah
dengan tegas menentukan prinsip bahwa setiap warga
Negara mempunyai kedudukan, hak dan kesempatan yang
sama dalam pemerintahan, sehingga tidak boleh ada
ketentuan yang menghalang-halangi akses bagi seseorang
akses bagi seseorang jika ia sudah memenuhi
persyaratan sebagai presiden. Jika seseorang dihalang-
halangi berarti ia telah didiskriminasi yang larangan
10 Ibid, hlm. 124
14
seperti ini telah dijamin dalam pasal 28 I ayat 2.
Dalam pasal 6 A ayat 1 dan 2 tidak frasa yang
mengaharuskan dari partai politik, baginya pasal 6 A
bukanlah ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan,
melainkan menganai cara pencalonan yang seharusnya
tidak menafikan siapapun yang memenuhi persyaratan
untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden, baik
melalaui parpol ataupun independen. Seharusnya
prosedur tidak boleh menganlahkan persyaratan11.
Maruar siahaan berpendapat agar pasal 6 A ayat 2
harus dibaca secara komprehensif dengna memperthatikan
pasal 1 ayat 2. Negara konstitusional menurutnya harus
menjamin kesempatan yang sama bagi setiap orang earga
Negara dalam partisipasi untuk turut menentukan arah
kebijakan pemerintah demi mewujudkan tujuan bernegara
yang digariskan dengan hak memilih dan dipilih untuk
jabatan public seperti presiden dan wakil presiden12.
11 Ibid, hlm. 12812 Ibid, hlm. 134
15
Seandaiyna pun pasal 6 A ayat 2 merupakan hak
konstitusional partai politik, maka hak yang demikian
hanyalah merupakan derivasi dari hak-hak dasar
warganegara untuk turut serta dalam pemerintahan.
Maruar Siahaan juga mengatakan kalau putusan MK
tentang pemilukada yang membolehkan calon independen
merupakan rujukan yang sangat relevan bagi tafsir 6 A
ayat 2. Dia mengutip pendapat MK dalam putusan calon
independen pilkada, dalam putusanya, MK emgnatakan
“partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi
masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi, sehingga adalah wajar apabila dibuka
partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol
secara poerseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
M. Akil Mochtar mengatkaan jika pasal 6 A ayat 2
ditafsirakan secara eksplisit, kategorikal dan
imperative yang meutup ruang untuk diartikan lain maka
16
hal yang seperti itu meruapakan suatu undang-undang,
bukan sifatnya konstitusi. Karena konstitusi, dengan
mengutip pendapatnya Kammen, hanya memasukkan prinsip-
prinsip esensial saja, karena dengan demikian dapat
dihindari terbentuknya ketentuan-ketentuan yang
bersifat permanen dan tidak dapat diubah-uabah yang
mungkin akan sulit mengakomodasikan dirinya dengan
perkembangan masa dan kejadian dalam masyarakat,
konsittusi juga seyogyanya menggunakan bahasa yang
sederhana dan akurat. Selanjutnya ia mengatakan kalau
pasal 6 A adalah pasal yang mengatur tentang prosedur
pencalonan presiden dan wakil presiden yang tidak
dapat mendiskriminasikan seoran warganegara untuk
menjadi calon presiden dan wakil presiden, jika ia
mendiskriminasikan warga Negara maka prinsip tersebut
telah mealnggar hak seriap warga Negara yang mempunyai
kedudukan, hak, dan kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. Sehingga siapapun yang telah memenuhi
17
pasal 6 A ayat 1 harus mendapat kesempatan yang sama
untuk menjadi presiden dan wakil presiden, baik
melalaui partai politik maupun dari jalur independen13.
Meskipun ketiga hakim konstitusi tersebut sepakat
kalau calon indpenden bisa mencalonakan diri dalam
pemilu presiden dan wakil presiden, namun mereka
sepakat kalau prosedur ini tidak bisa dilaksanakan
dalam pilpres 2009 karena sempitnya waktu tetapi bisa
diimplementasikan dalam pemilu 2014.
Disini saya akan menggaris bawahi makna demokrasi
politik sebagai aturan main dalam politik yang
mengharuskan setiap orang mempunyai hak yang sama baik
sebagai orang yang memilih maupun orang yang dipilih.
Jika dikaitkan dalam undang-undang dasar, maka saya
sepakat dengan makna demokrasi sebagaimana terkandung
dalam pasal 28 D ayat 3 yang menyatakan setiap warga
Negara berhak memeproleh kesempatan yang sama dalam
13 Ibid, hlm, 139
18
pemerintahan. Sehingga ketika dihadapkan dengan
penafrsiran pasal 6 A ayat 2 seharusnya MK jangan
semata-mata menggunakan penafsiran sesuai original intent,
sebagai penafsir konstitusi MK bebas menggunakan
metode penafsiran yang lain, baik secara holistik
maupun kosntekstual atau model the living constituion. Ketika
pasal 6 A ayat 2 ditafsirkan dengan dengan sifat
“tertutup” maka niscaya pasal tersebut akan
bertentangan dengan semangat demokrasi dan pasal-pasal
lain dalam konstitusi yang menjamin hak seorang warga
Negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan
dan bebas dari diskriminasi.
Berdarkan survey yang disebutkan dalam putusan
tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia menginkan
dibukanya peluang calon presiden dan wakil presiden
perseorangan/independen. Survey dilakukan pada tahun
2007 dan 2008, pemohon menggunakan tiga jenis survey:
19
1. Survey yang menyatakan persetujuanya bahwa
ketentuan yang mengatur irang yang ingin
mencalonkan diri menjad presiden harus
dicalonkan oleh parpol merupakan pengurangan
hak-hak warga Negara untuk mencalonakan
presiden. Hasilnya 57,7% di tahun 2007 dan 53,1%
di tahun 2008 yang menyatakan setuju, sedangkan
yang tidak setuju 28,5% ditahun 2007 dan 28,6%
ditahun 2008.
2. Survey yang menyatakan persetujuanya agar
pencalonan presiden tidak harus hanya oleh
parpol tetapi dibolehkan juga oleh individu tau
kelompok masyarakat dluar parpol. Hasilnya 68,8%
ditahun 2007 dan 64% ditahun 2008, sedangkan
yang tidak setuju 20,2% ditahun 2007 dan 20%
ditahun 2008.
3. Survey yang menyatakan presentase yang mendukung
calon presiden perseorangan sebesar 67% pada
20
tahun 2007 dan 64% ditahun 2008, sedangkan yang
tidak mendukung 24% ditahun 2004 dan 24% ditahun
2007 dan 20% ditahun 2008.
Hasil keseluruhan dari survey tersebut dari asumsi 10
orang, hanya 2 orang yang menolak calon presiden dari
jalur independen14.
Dalam teori perubahan konstitusi, KC. Wheare
memaparkan dalam kekutan-kekutan yang menyebabkan
berubahnya kosntitusi dalam dua bentuk. Pertama, kekutan
itu dapat menimbulkan perubahan situasi yang dengan
sendirinya tidak menyebabkan perubahan nyata pada susunan
kalimta konstitusi, namun dapat menjadikan konstitusi itu
diebrikan makna yang berbeda dari makna sebelumnya.
Kedua, kekuatan tersebut menciptakan keadaan yang
mengakibatkan perubahan pada konstitusi baik melalui
proses amandemen formal maupun melalui keputusan hakim
atau dengan berkembang dan terbangunya adat atau
14 Putusan Mahkamah Kosntitusi, op, cit, hlm. 43
21
kebiasaan konstitusi15. Apa yang dikatakan oleh Wheare
dengan penafsiran hakim bisa saja digunakan oleh MK dalam
kasus ini, MK hanya perlu memberikan tafsiran bahwa pasal
6 A ayat 2 tidak memuat kata “hanya”, sehingga dengan
penafsiran seperti itu pencalonan independen bagi capres
dan cawapres bisa terwujud.
15 KC. Wheare, Modern Constitution, alih bahasa Imam Baehaqi, (Bandung: Nusa Media, tanpa tahun) hlm. 110
22
Penutup
Dari uraian makalah ini, saya akan mentupnya dengan
memberikan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan
pada pendahuluan. Bahwa larangan capres dan cawapres
dari jalur indepeneden yang terdapat dalam putusan
Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-VI/2008 “bertentangan
dengan demokrasi politik”. Demokrasi—sebagaimana yang
dijelaskan oleh para pakar— harus menjamin hak-hak
asasi manusia. Jika dirujuk kepada undang-undang
dasar, salah satu hak asasi manusia adalah kesempatan
yang sama bagi setiap warga Negara dalam pemerintahan
yang terdapat dalam pasal 28 D ayat 3, sehingga
membatasi jalur capres dan cawapres hanya dari partai
politik melanggar hak asasi manusia dan bertentangan
dengan demokrasi.
23
Pencalonan presiden dan wakil presiden yang
didominasi parpol hanya akan menambah lingkaran
oligarki partai. Dengan adanya calon independen,
demokrasi akan bertumbuh kian subur di Indonesia,
terlepas dari terpilih atau tidaknya calon independen
tersebut. Karena democratische rechstaat mengamanatkan
bahwa prinsip negara hukum harus dijalankan menurut
prosedur demokrasi. Pembatasan hak asasi manusia
dengan undang-undang sebagaimana yang diamantakan
dalam pasal 28 J semata-mata untuk menjamin hak-hak
setiap orang agar sesuai dengan prinsip demokrasi
politik dalam Negara hokum, sehingga sebuah undang-
undang yang tidak sesuai dengan asas demokrasi dan
juga melanggar hak asasi manusia sudah selayaknya
dibatalkan.
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku
24
as-Shiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Jakarta: Konstitusi Press
Fuady, Munir, Konsep Negara Demokrasi, Bandung: Refika
Aditama, 2010, hlm 2
Held, David, Democracy and the Global Order, alih bahasa
Damanhuri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Noer Arfani, Riza, Demokrasi Indonesia Kontemporer,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi, alih bahasa I.
Made Krisna, yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2003
Wheare, KC., modern constitution, alih bahasa Imam Baehaqi,
Bandung: Nusa Media, tanpa tahun
B. Peraturan Perundang-undangan dan putusan
UUD 1945
UU No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil
presiden
Putusan MK no 5/PUU-V/2007 tentang pengujian UU no 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
25
top related