dampak pengetatan investasi asing terhadap...
Post on 07-Jun-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Laporan Analisis Kebijakan
DAMPAK PENGETATAN INVESTASI ASING
TERHADAP INDUSTRI PERBENIHAN HORTIKULTURA
0leh
Erwidodo, Muchjidin Rachmat dan Erma Suryani
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tanggal 11 Februari 2016, Pemerintah telah mengubah aturan daftar
negative investasi untuk mendorong pertumbuhan penanaman modal di dalam
negeri dalam Paket Kebijakan ke-X. Perubahan aturan itu dilakukan dengan
memperjelas sejumlah ketentuan tentang investasi di berbagai bidang usaha. Di
beberapa sektor usaha, pemerintah mengeluarkan 35 bidang usaha dari daftar
negatif investasi. Bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI tersebut 100 persen
sahamnya dapat (boleh) dimiliki oleh pemodal asing, diantaranya industry karet
kering (crumb rubber), gudang berpendingin (cold storage), restoran, bar, kafe
dan usaha rekreasi.
Pemerintah menjamin bahwa ketentuan dalam Paket kebijakan X ini tidak
akan berdampak negatif terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang
memiliki kekayaan bersih kurang dari Rp 10 miliar. Perubahan ketentuan DNI
tersebut justeru diyakini akan memotong mata rantai oligopoly dan kartel yang
selama ini hanya diikmati oleh kelompok tertentu. Kebijakan ini untuk mendorong
peningkatan investasi baik melalui UKM, penanaman modal dalam negeri (PMDN)
maupun penanaman modal asing (PMA).
Selain itu, 39 bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKM dan koperasi
diperluas nilai pekerjaannya, dari semula sampai dengan Rp 1 miliar menjadi Rp
50 miliar. Penguasaan modal asing untuk budidaya hortikultura dan pembenihan
hortikultura yang semula maksimum 30 persen (sesuai Perpres 39/2014, UU
Hortiukultura no 13/2010) ditingkatkan menjadi 67 persen. Demikian juga bidang
usaha “cold storage” yang batas penguasaan modal asing semula 33 persen
meningkat menjadi 100 persen.
Yang menarik adalah UU Hortikultura No 13/2010 sampai sekarang masih
berlaku. Belum jelas apakah mungkin Paket kebijakan ke-X untuk bidang usaha
budidaya dan perbenihan hortikultura menyalahi UU Hortikultura No 13/2010 yang
masih berlaku? Apakah UU Hortikultura ini akan segera diamendemen atau
pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)?
2
Pemberlakuan paket kebijakan ke-X perlu diantisipasi dan ditindaklanjuti
pelaksanaannya agar sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga
kemungkinan akan direvisinya (lewat amendemen UU Hortikultura No 13/2010
ataupun lewat Perpu, terkait batas maksimum kepemilikan asing di usaha
perbenihan hortikultura) perlu diantisipasi dan dikaji dampaknya terhadap
kegiatan investasi perbenihan hortikultura dan sektor hortikultura secara
keseluruhan. Kajian pendahuluan ini bertujuan untuk memahami dampak
ketentuan batas maksimum kepemilikan asing sebagaimana tertuang dalam Pasal
100 ayat 3 UU Hortikultura No 13/2010 terhadap kinerja sektor hortikultura dan
usaha perbenihan hortikultura selama ini dan potensi dampaknya bilamana
Pemerintah pada akhirnya merevisi ketentuan tersebut, baik lewat Perpu maupun
lewat amandemen UU No 13/2010 tersebut.
1.2. Dasar Pertimbangan
Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura telah mengatur
penyelenggaraan usaha hortikultura termasuk usaha perbenihan hortikultura.
Dalam pasal 100 ayat 3 UU No. 13/2010 dinyatakan bahwa maksimal modal asing
untuk usaha hortikultura adalah 30 persen, dan dalam waktu 4 tahun setelah
penetapan UU No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang
sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura
wajib mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga
kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen (Pasal 131).
Dengan demikian pelaksanaan UU No. 13/2010, khususnya tentang
pembatasan modal asing dalam subsektor hortikultura, berpotensi menimbulkan
pertentangan diantara para pihak terutama dalam industri perbenihan. Sebagian
kalangan menyetujui UU No.13/2010 karena dianggap akan memberdayakan
produsen benih lokal. Sebagian pihak tidak setuju dengan aturan tersebut karena
bisa merugikan perkembangan benih nasional. Pelaku usaha terutama PMA yang
bergerak dalam investasi terutama perbenihan keberatan dengan peraturan
tersebut. Pembatasan ini dinilai menciptakan ketidakpastian hukum berinvestasi
karena UU yang lain memungkinkan kepemilikan modal asing hingga 100 persen.
3
Disamping itu adanya ketentuan tentang alih modal dan alih teknologi sebagai
latar belakang pembatasan modal asing diNILAI tidak tepat.
Namun pembatasan modal asing boleh jadi disambut baik oleh produsen
benih PMDN. Dengan ketentuan tersebut diharapkan peran produsen benih
PMDN bisa semakin meningkat. Walaupun dampak selanjutnya perlu
dipertanyakan berkaitan dengan terobosan teknologi terutama penemuan varietas
unggul dari produsen PMDN. Dengan demikian sejak awal beberapa kalangan
berpendapat sebaiknya pembatasan saham asing dalam bisnis hortikultura ditinjau
kembali. Dengan demikian Paket Kebijakan ke-X tanggal 11 Februari 2016 yang
telah mengubah aturan daftar negative investasi diharapkan akan mampu
memberikan iklim investasi yang lebih baik bagi PMA tanpa mengorbankan pelaku
UMKM dalam negeri.
Pada bagian lain, peraturan yang terkait dengan usaha hortikultura juga
cukup banyak antara lain yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan
Permentan. Seperti Permentan No. 05/2012 tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih Hortikultura, Permentan No. 38/2011 tentang pendaftaran
varietas hortikultura. Permentan No. 48/2012 mengatur tentang produksi,
sertifikasi, dan pengawasan peredaran benih. Permentan No. 42/2012 tentang
Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-
buahan Segar dan Sayuran Buah Segar, Permentan No. 43/2012 tentang
Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Umbi
Lapis Segar ke dalam Wilayah Negara Indonesia. Untuk mendukung
pengembangan hortikultura dalam negeri, Pemerintah juga telah mengeluarkan
Permentan No. 60/2012 yang merupakan revisi dari Permentan No. 03/2012
tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Secara paralel Menteri
Perdagangan mengeluarkan Permendag No. 60/2012 yang merupakan revisi dari
Permendag No. 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
1.3. Tujuan
Terlepas dari pertanyaan yang menyangkut landasan konstitusi/legal diatas,
analisis kebijakan ini juga ditujukan untuk melihat dampak potensial dari paket
kebijakan ke X, khususnya DNI di bidang usaha dan perbenihan hortikultura,
4
terhadap kinerja subsektor hortikultura kedepan, termasuk produksi dan impor
benih dan produk hortikultura. Secara lebih sepesik, tujuan analisis kebijakan ini
adalah sebagai berikut:
(1) Menganalisis dampak UU Hortikultura No 13/2010 dan pembatasan DNI
dalam Perpres 39/2014 terhadap kinerja bidang usaha budidaya dan
perbenihan hortikultura: kinerja realisasi PMA dan PMDN bidang usaha dan
perbenihan hortikultura, jumlah perusahaan budidaya dan perbenihan,
produksi dan impor benih hortikultura, produksi dan impor produk
hortikultura (ex-post analysis).
(2) Menganalisis potensi dampak ekonomis Paket Kebijakan ke-X terkait DNI
bidang usaha budidaya dan perbenihan hortikultura terhadap kinerja
subsektor hortikultura secara keseluruhan: potensi jumlah perusahaan
PMDN/PMA budidaya dan perbenihan hortikultura, produksi dan impor benih
hortikultura, produksi dan impor produk hortikultura (ex-ante analysis).
(Catatan: saat analisis kebijakan ini dilakukan, diperoleh informasi bahwa
rencana untuk keluarnya PERPU pengganti UU Hortikultura No 13/2010
belum akan dilakukan dan masih sebatas wacana sampai saat ini).
1.4. Metodologi
a. Jenis dan Sumber data
Analisis kebijakan ini menggunakan data sekunder dan primer. Data
sekunder akan dikumpulkan dari berbagai sumber instansi terkait, baik di tingkat
pusat dan daerah (Jawa barat dan Jawa Timur). Data primer akan dikumpulkan
dari lokasi penelitian melalui kegiatan wawancara dengan beberapa narasumber
dan didukung dengan diskusi kelompok di lokasi penelitian.
b. Lokasi Penelitian
Kunjungan/pengecekan singkat ke lapang diperlukan untuk memperoleh
data dan informasi terkait permasalahan dan faktor-faktor penjelas dalam analisis
ini. Lokasi penelitian dipilih Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Dasar
pertimbangan pemilihan lokasi Jawa Barat (Lembang), selain melakukan
kunjungan ke Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), juga kunjungan ke beberapa
pelaku perbenihan dan budidaya sayuran mengingat Jawa Barat umumnya dan
5
Lembang khususnya merupakan daerah produksi sayuran. Sementara pemilihan
lokasi Jawa Timur (Malang), karena selain mengunjungi lokasi budidaya sayuran
tim berkepentingan untuk melakukan diskusi dan pengumpulan data dan informasi
di Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropis (BalitJestro). Tim juga berkunjung
dan mengumpulkan informasi di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih tanaman
Pangan dan Hortikultura (BPSBTH) di Malang.
c. Metode Analisis
Analisis data dilakukan secara dekriptif dengan mengkombinasikan data
sekunder dan data primer. Analisis deskriptif dan tabulatif dilakukan mencakup: (i)
perubahan aturan perundangan dan iklim investasi, (ii) dampak pengetatan
investasi terhadap industri hortiklutura, (iii) perkembangan produksi hortikultura,
(iv) perkembangan ekspor dan impor produk hortikultura, dan (v) Kinerja
penelitian perbenihan hortikultura.
II. PERUBAHAN ATURAN PERUNDANGAN DAN IKLIM INVESTASI
2.1. UU No 13/2010 tentang Hortikultura
Undang-Undang No. 13 Tahun 2010 tentang hortikultura mengatur
penyelenggaraan subsektor hortikultura termasuk usaha perbenihan hortikultura.
Hortikultura didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan buah,
sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut,
dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau
bahan estetika. Usaha hortikultura tersebut mencakup usaha perbenihan,
budidaya, indudtri pengolahan, penelitian, wisata agro dan jasa hortikultura.
Undang-Undang No. 13/2010 dalam kaitan dengan bidang investasi, pasal
100 ayat 3 UU No. 13/2010 dinyatakan bahwa maksimal modal asing untuk usaha
hortikultura adalah 30 persen. Dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU No.
13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah melakukan
penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib mengalihkan
atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga kepemilikannya
tinggal maksimal 30 persen (Pasal 131).
6
Aturan lain dari investasi asing dalam UU tersebut antara lain:(a) investor
asing harus bermitra dengan pelaku usaha Indonesia, dengan membentuk badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (b) besarnya investasi asing
maksimal 30 persen dari total investasi; (c) investor asing di bidang hortikultura
harus memberi kesempatan pemagangan dan melakukan alih teknologi bagi
pelaku usaha hortikultura Indonesia.
Secara teknis terdapat beberapa peraturan pemerintah yang juga berkaitan
dengan investasi hortikultura, antara lain :
a. Peraturan tentang pendaftaran varietas hortikultura diatur melalui Permentan
No. 38/2011. Peraturan ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan
pendaftaran varietas. Tujuannya adalah melindungi konsumen dari perolehan
benih yang performa/keragaman varietasnya tidak sesuai dengan deskripsi.
b. Permentan No. 48/2012 mengatur tentang produksi, sertifikasi, dan
pengawasan peredaran benih. Peraturan ini digunakan sebagai dasar hukum
dalam pelayanan pelaksanaan produksi, sertifikasi dan pengawasan
peredaran.
c. Permentan No. 42/2012 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina
Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan Segar dan Sayuran Buah Segar
dan Permentan No. 43/2012 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan
Karantina Tumbuhan unutk Pemasukan Umbi Lapis Segar ke dalam Wilayah
Negara Indonesiasebagai perubahan atas Permentan No. 15/2012. Impor
buah segar dan sayuran buah segar serta umbi lapis segar hanya diijinkan
melalui Pelabuhan Laut Belawan (Sumatera Utara), Bandara Soekarno-Hatta
Cengkareng (Banten), Pelabuhan Laut Tanjung Perak (Jawa Timur), dan
Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar (Sulawesi Selatan).
d. Permentan No. 05/2012 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih
Hortikultura untuk menjamin ketersediaan benih bermutu secara cukup dan
berkesinambungan, menumbuhkembangkan industri benih dalam negeri,
meningkatkan keragaman genetik dan menjaga keamananan hayati,
meningkatkan devisa negara.
7
e. Untuk mendukung pengembangan hortikultura dalam negeri, Pemerintah
telah mengeluarkan Permentan No. 60/2012 yang merupakan revisi dari
Permentan No. 03/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.
Secara paralel Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag No. 60/2012
yang merupakan revisi dari Permendag No. 30/2012tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura.
2.2. Daftar Negatif Investasi: Perpres 36/2010 menjadi Perpres
39/2014
Sektor pertanian (tanaman pangan dan perkebunan termasuk peternakan
serta hortikultura) merupakan salah satu sektor yang diminati oleh para investor
asing, dilihat dari realisasi nilai investasi PMA, yaitu urutan ke-4 (empat) terbesar
pada tahun 2014 setelah sektor perindustrian, sektor pertambangan/penggalian,
dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi.
Kinerja PMA agregat (semua sektor) setelah berlakunya Perpres 36/2010
(2010-2013) memperlihatkan pertumbuhan pesat, baik dari jumlah maupun nilai
proyeknya. Nilai total investasi meningkat hampir dua kali lipat dari USD 16.2b
pada tahun 2010 menjadi USD 28.5b pada tahun 2013, atau tumbuh dengan laju
rata-rata 19.0% per tahun selama periode tersebut. Namun, pertumbuhan ini
tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana laju pertumbuhan investasi justru
menurun 0.31% dari USD 28.6b pada tahun 2013 menjadi USD 28.5b. Realisasi
nilai investasi tahun 2015 diperkirakan akan terus menurun, karena realisasi
sampai dengan triwulan ketiga 2015 baru mencapai USD 21.3b lebih rendah dari
nilai investasi pada reriode yang sama pada tahun 2014.
Kinerja PMA di sektor pertanian (subsektor tanaman pangan dan
perkebunan serta peternakan) pada periode 2010-1014 saat diberlakukannya
Perpres 36/2010 ( atau sebelum Perpres 39/2014) memperlihatkan pertumbuhan
pesat, baik dari jumlah maupun nilai proyeknya. Nilai total investasi meningkat
hampir dua kali lipat dari USD 775,98 juta pada tahun 2010 menjadi USD 2237,5
juta pada tahun 2014, atau kenaikan sebesar 288,6 persen dalam empat tahun
atau tumbuh dengan laju rata-rata 72,16% per tahun selama periode tersebut.
8
Pada era pemberlakuan Perpres 39/2014, sampai triwulan ketiga tahun 2015 nilai
investasi baru mencapai USD 1435,9 juta, lebih rendah dari nilai investasi pada
periode yang sama tahun 2014 sebesar USD 1646,3 (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan investasi PMA sektor pertanian, 2010-2015
Sektor 2010 2011 2012 2013 2014 2015 (Q3)
A. Jumlah Proyek 170 278 275 539 350 446
1. Tanaman Pangan &
Perkebunan 159 264 261 520 324 401
2. Peternakan / Livestock 11 14 14 19 26 45
B. Nilai Investasi (US Juta) 775,981 1243,629 1621,692 1616,647 2237,538 1435,944
1. Tanaman Pangan &
Perkebunan 750,955 1222,493 1601,87 1605,345 2206,722 1421,017
2. Peternakan / Livestock 25,026 21,1356 19,822 11,30222 30,816 14,9265
Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik
Menurunnya nilai investasi usaha pertanian pada periode 2013-2014
seharusnya menjadi alasan yang ‘legitimate’ bagi pemerintah (dhi kementan)
untuk menggulirkan revisi aturan investasi di sektor pertanian kearah yang lebih
longgar baik untuk PMDN dan PMA. Perkembangan investasi 2014-2015 yang
terus menurun dapat menjadi alasan kuat untuk kembali melakukan revisi Perpres
no 39/2014 yang masa berlakunya baru genap satu tahun.
Perpres 39/2014 merupakan penyempurnaan dari Perpres 36/2010. Dalam
Perpres 36/2010 kepemilikan asing di bidang usaha hortikultura tidak diatur.
Jenis-jenis bidang usaha yang memungkinkan adanya PMA dan segala
persyaratannya semula diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007
kemudian diubah dengan Perpres No. 36/2010. Dalam Lampiran Perpres No.
36/2010 bidang usaha perbenihan termasuk yang terbuka bagi PMA. Maksimal
modal asing dalam usaha perbenihan/pembibitan tanaman pangan pokok maupun
budidaya tanaman pangan pokok (jagung, kedele, kacang tanah, kacang hijau,
padi, ubikayu, ubijalar) lebih dari 25 ha adalah 49 persen. Untuk usaha
perbenihan/pembibitan tanaman pangan lainnya maupun budidaya tanaman
pangan lainnya dengan luas lebih dari 25 ha (termasuk hortikultura) masing-
masing pemilikan modal asing bisa mencapai 95 persen dengan rekomendasi dari
Menteri Pertanian. Pembatasan pemilikan modal asing dalam usaha hortikultura
9
tampaknya didasari keinginan untuk kedaulatan dan kemandirian industri benih
hortikultura domestik.
III. DAMPAK PENGETATAN INVESTASI ASING TERHADAP
INDUSTRI PERBENIHAN HORTIKULTURA
3.1. Struktur Industri Benih Hortikultura
Bidang investasi utama di sub sektor hortikultura yang dominan adalah
perbenihan, terutama perbenihan sayuran. Kegiatan investasi perbenihan telah
diminati oleh investasi asing (PMA) dan domestik (PMDN). Banyaknya minat
investasi ini menunjukkan bahwa bisnis benih sayuran relatif menjanjikan
Beberapa produsen benih sayuran PMA yang dominan antara lain PT East
West Seed Indonesia (ESWI), PT Branita Sandhini (Monsanto), PT BISI
Internasional Tbk (BISI), PT Clause Indonesia (Clause), PT Oriental Seed
Indonesia (Oriental), dan PT Koreana Seed Indonesia (Koreana). Sedangkan
produsen benih PMDN meliputi PT Inko Seed Makmur, PT Prabu Agro Mandiri, PT
Primaseed, PT Aditya Sentana Agro (Aditya), CV Aura Seed Indonesia (Aura), dan
PT Benih Citra Asia (BCA). Disamping itu juga terdapat produsen benih yang
memproduksi benih skala kecil dan dikelola oleh koperasi instansi pemerintah,
yaitu UPTD Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura
Yogyakarta, UPBS Balitsa Lembang, dan BPTP Jawa Timur di Malang.
Benih sayuran yang dihasilkan oleh PMA maupun PMDN umumnya relatif
sama dan yang banyak diproduksi antara lain cabe, tomat, timun, kacang
panjang, semangka, melon dan jagung manis. Harga benih sayuran yang relatif
mahal dibanding harga benih tanaman pangan tidak menjadi hambatan bagi
petani karena nilai produksi yang diperoleh juga relatif jauh tinggi. Sebagian
produk PMA dan PMDN juga telah diekspor ke negara lain misalnya PT Koreana
Seed Indonesia, dan ada juga PMDN yang sudah melakukan ekspor benih sayuran
seperti PT BCA. Peran PMA yang dominan adalah dalam penemuan varietas yang
unggul dan beradaptasi luas. Peran ini belum dapat sepenuhnya dilakukan oleh
produsen benih sayuran PMDN. Disamping itu PMA juga telah berperan dalam
10
memberi kesempatan magang dan alih teknologi kepada pelaku usaha dalam
negeri.
Tidak dipungkiri bahwa perusahaan PMA mendominasi produksi beberapa
benih sayuran, hal ini tercermin dari nilai rasio konsentrasi empat produsen
terbesar atau concentration ratio of four largest producers (CR4) industri benih
sayuran yang hampir sebagian besar adalah produsen benih PMA (Tabel 2).
Tabel 2. Struktur pasar benih hortikultura, 2012
No. Industri Benih CR-4 (%) Produsen Benih *)
1. Tomat 88.02 BCA (58,31), Aura (16,11), Oriental (8,59), EWSI (5,01)
2. Cabe 79,40 BCA (28,46), BISI (13,68), EWSI (12,56), Oriental (7,35)
3. Jagung manis 87,26 BISI (46,59), Agri (22,18), EWSI (14,79), Prabu (3,70)
4. Timun 89,60 EWSI (45,21), BCA (27,31), BISI (12,54), Agri (4,54)
5. Kacang panjang 76,55 BCA (22,94), BISI 19,67), EWSI (19,24), Aura (15,59)
6. Terung 98,29 BCA (86,18), EWSI (7,88), BISI (2,92), Oriental (1,31)
7. Kangkung 86,82 BISI (56,36, Agri (15,65), Primasid (9,39), Inko Seed
(5,41)
8. Melon 71,43 MGA (20,41), BCA (17,01), Koreana (17,01), Agri (17,01)
9. Semangka 77,44 BCA (44,49), Oriental 14,32), Aditya (11,46), Mulia
Bintang (7,16)
10. Sawi 98,03 Mulia Bintang (56,20), B C A(20,85), Royal (18,73), BISI (2,25)
11. Caisim 100,00 BCA (58,65), Prabu (39,10), Oriental (1,27), Aditya (0,98)
12. Paria 90,35 BCA (40.30), EWSI (39,38), BISI (5,59), Raja Pilar (5,08)
13. Gambas (Oyong) 93,77 BCA (57,24), Oriental (16,60), AgriMakmur (16,60), Aditya (3,32)
14. Buncis 78,52 BCA (39,47), BISI (19,02), Aura Seed (10,75), Balitsa (10,33)
15. Bayam 100,00 BCA (43,62), BISI (28,19), Mulia Bintang (15,66), Aditya (12,53)
Sumber : Sayaka, 2012.
Catatan: *) angka dalam kurung menunjukkan persentase
Memperhatikan tingkat konsentrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pasar benih sayuran utama cenderung bersifat oligopoli. Sebagian besar produksi
11
benih tomat dikuasai oleh PT BCA, yaitu 58,3 persen, diikuti oleh CV Aura Seed
Indonesia (Aura), PT Orieantal Seed Indonesia (Oriental), dan PT East West Seed
Indonesia (ESWI) masing-masing 16,1 persen, 8,5persen, dan 5,0 persen. Pasar
benih cabe dikuasai oleh empat produsen terbesar, yaitu BCA PT BISI
International Tbk (BISI), EWSI, dan Oriental masing-masing 38,4 persen, 18,5
persen, 12,6 persen, dan 9,9 persen. Pasar benih jagung manis didominasi oleh
BISI (47%), PT Agri Makmur Pertiwi (Pertiwi) 22 persen, ESWI 15 persen, dan PT
Prabu Agro Mandiri (Prabu) 3,7 persen. Produsen ESWI, BCA, BISI, dan Pertiwi
merupakan empat produsen terbesar benih timun masing-maisng memiliki pangsa
45,2 persen, 27,3 persen, 12,5 persen, dan 4,5 persen.
Struktur pasar industri benih kacang panjang juga bersifat oligopoli yang
diindikasikan oleh penguasaan empat produsen terbesar sebanyak 77 persen,
masing masing adalah BCA 22 persen, BISI 20 persen, ESWI 19 persen, dan Aura
16 persen. Pasar industri benih terung hampir 90 persen dikuasai oleh BCA,
selebihnya ESWI 7,9 persen, BISI 2,9 persen, dan Oriental 1,3 persen. Benih
kangkung sebagian besar (87%) dikuasai oleh empat produsen yaitu, BISI
(56,3%), Pertiwi (15,7%), PT Primasid Andalan Utama (Primasid) 9,4 persen, dan
ESWI 5,4 persen. Pasar benih melon juga dikuasai oleh empat produsen besar,
yatu CV Multi Global Agrindo (MGA) 20,4 persen, BCA, PT Koreana Seed Indonesia
(Koreana), dan Pertiwi masing-masing 17,0 persensehingga kumulatif keempat
perusahaan tersebut sebesar 71,4 persen. Benih semangka didominasi (77,4
persen) oleh BCA yang memproduksi benih semangka dengan pangsa terbesar
(44,5%), diikuti oleh Oriental 14,3 persen, CV Aditya Sentana Agro (Aditya) 11,5
persen, dan PT Mulia Bintang Utama 7,2 persen.
CR4 yang nilainya lebih dari 40 persen juga ditemukan pada industri benih
sawi, caisim, paria, gambas (oyong), buncis, dan bayam (Tabel Lampiran 10-15).
Produksi benih sawi dikuasai oleh Multi Bintang, benih paria, gambas, bayam, dan
caisim didominasi oleh BCA masing-masing 40 persen, 57 persen, 44 persen, dan
59 persen.
Besarnya nilai CR tidak selalu negatif. Untuk industri yang bersifat padat
modal dan padat teknologi yang memerlukan investasi sangat besar umumnya
12
dicirikan dengan nilai CR diatas 90% yang bersifat oligopoli bahkan cenderung
duopoli atau monopli. Industri perbenihan secara utuh, yang bukan sekedar
perbanyakan benih, memerlukan investasi besar dengan kandungan teknologi
yang tinggi. Oleh karenanya, tidak heran jika CR4 dari industri benih hortikultura
diatas 80%. Diperlukan tingkat keuntungan perusahaan yang tinggi, umumnya
diatas keuntungan normal, agar perusahaan dapat terus berinvestasi dan
berinovasi untuk menghasilkan dan mengembangkan benih/bibit yang lebih
unggul.
Secara teoritis, dan empiris, keunggulan seperti ini tidak mungkin dihasilkan
oleh perusahaan benih berskala kecil. Perusahan benih berskala kecil umumnya
terbatas pada kegiatan perbanyakan benih yang mutu/kualitasnya sering tidak
terjamin. Demikian juga perusahaan PMDN termasuk BUMN (misalnya PT
SangHyang Sri) tidak berkinerja seperti yang diharapkan, tidak berkembang dan
bahkan terus merugi. Fakta empiris di Indonesia juga membuktikan bahwa
perusahaan benih yang maju dan berkembang umumnya perusahaan PMA dan
berstatus Multi-national Corporation (MNC). Penjelasannya adalah, perusahaan
benih PMA yang berstatus MNC terintegrasi dalam sistem rantai pasok yang
efisien, dimana investasi dalam kegiatan riset dan inovasi menjadi tumpuan
kegiatan untuk terus bertahan dan memenangkan persaingan di era pasar global.
Oleh karenanya, membatasi secara berlebihan investasi asing (PMA) dalam
perbenihan hortikultura diperkirakan akan berdampak negatif. Dibatasinya
kepemilikan modal asing dalam bidang perbenihan hortikultura dan keharusan
melakukan divestasi dapat mendorong perusahan benih PMA di Indonesia
mengurangi kegiatannya dan secara bertahap memindahkan operasinya ke negara
lain. Harapan tumbuhnya PMDN perbenihan hortikultura untuk menggantikan
perusahan benih PMA hanyalah ilusi yang jauh dari kenyataan. Hal ini karena
PMDN (swasta dan BUMN) belum tertarik dan belum siap untuk berinvestasi di
bidang usaha perbenihan, yang padat teknologi, padat modal dan berjangka
panjang. Keberadaan perusahaan PMDN, termasuk perusahaan skala kecil, yang
umumnya melakukan perbanyakan benih sebar tidak dapat menggantikan posisi
13
PMA benih. Bila situasi ini dibiarkan terus berlangsung maka Indonesia akan
menjadi importir besar dunia, baik produk maupun benih hortikultura.
3.2. Dampak Kebijakan Investasi Terhadap Industri Perbenihan Hortikultura
Dalam kaitan pemberlakuan UU No 13/2010, sebagian kalangan menyetujui
UU No.13/2010 karena dianggap akan memberdayakan produsen benih lokal.
Sebagian pihak tidak setuju dengan aturan tersebut karena bisa merugikan
perkembangan benih nasional. Produsen benih PMA keberatan dengan peraturan
tersebut. Produsen benih tersebut sudah lama menanamkan modalnya di
Indonesia dan melakukan penelitian dan pengembangan secara intensif. Produsen
benih asing berharap peraturan tersebut berlaku bagi investor baru, sementara itu
investor lama tetap mengendalikan perusahaan seperti saat ini yaitu bisa memiliki
saham secara penuh.
Pembatasan modal asing disambut baik oleh produsen benih PMDN.
Namun demikian peluang yang ada yang ditimbulkan dari UU tersebut tidak dapat
sepenuhnya dimanfaatkan olek industri benih PMDN. Dalam masa perberlakuan
UU No.13/2010 kinerja industri benih lokal (PMDN) juga tidak memperlihatkan
peningkatan kinerjanya.
Hambatan utama bagi investor untuk masuk ke industri benih adalah modal
yang besar untuk rekruitmen tenaga ahli pemuliaan (breeders), pembuatan
fasilitas penelitian dan pengembangan, pengolahan benih, maupun jaringan
pemasaran termasuk biaya promosi. Hambatan lainnya adalah pembatasan impor
maksimal dua tahun untuk varietas hibrida yang sudah dapat diproduksi di dalam
negeri. Walaupun demikian peraturan ini juga merupakan peluang bagi produsen
benih lokal untuk memproduksi benih tersebut di dalam negeri.
Hambatan berikutnya, khususnya bagi PMA, adalah aturan pemerintah
melalui UU No. 13/2010 (pasal 100 dan pasal 131) tentang pembatasan investasi
asing dalam bidang hortikultura maksimal 30 persen. Bagi produsen benih PMA hal
ini dapat menyebabkan penguasaan saham menjadi minoritas yang berdampak
tidak bisa mengendalikan perusahaan secara penuh atau penutupan perusahaan
benih asing dan akan pindah ke negara lain. Bagi produsen benih PMDN maupun
14
PMA yang sudah mapan umumnya tidak akan mudah keluar dari industri ini.
Besarnya investasi yang sudah ditanamkan serta banyaknya keuntungan yang
diperoleh akan menjadi hambatan utama jika harus meninggalkan industri ini.
Ada dua dampak yang mungkin ditimbulkan karena pembatasan pemilikan
saham oleh pihak asing. Pertama, pembatasan ini menciptakan ketidakpastian
hukum berinvestasi karena UU yang lain memungkinkan kepemilikan modal asing
hingga 100 persen. Kedua, alih modal dan alih teknologi sebagai latar belakang
pembatasan modal asing tidak tepat. Penjualan saham secara terbuka tergantung
pemegang saham mayoritas. Di pihak lain, penguasaan teknologi harus dilakukan
melalukan penelitian dan pengembangan secara terstruktur jangka panjang.
Dalam kasus industri benih hortikultura di Jawa Timur, pelaku usaha
(produsen) benih sayuran di Jawa timur khususnya di sekitar Kota/kabupaten
Malang berkembang cukup pesat, hal ini sejalan dengal lokasi malang yang
sangat stretagis dataran tinggi pada area sekitar kawasan pengembangan
sayuran. Dalam memperoduksi benih, umumnya perusahaan perbenihan tersebut
bekerja dengan petani. Problem kualitas hasil dengan kerjasama dengan petani
tersebut sering dikeluhkan dengan banyaknya produksi yang dibawah ketentuan
dan harus di dibuang dan menyebabkan biaya produkti total menjadi mahal.
Usaha perbenihan skala besar umumya telah melakukan sertifikasi mendiri dengan
menerapkan standar ISO dan standar sertifikasi lain.
Sampai saat ini kinerja usaha perbenihan sayuran berjalan dengan
sebagaimana mestinya. Pelaku usaha PMDN seperti PT A di Malang dapat
mengembangkan usaha dengan baik dalam mengisi peluang pasar yang
berkembang, juga usaha PMA juga berkembang. Beberapa usaha berkembang
maju ditandai dengan meningkatnya omset produksi dan penjualan diikuti oleh
penambahan staf, gudang, akat transportasi dan lainnya (Tabel 3 dan Lampiran
1 - 4 ).
15
Tabel 3. Perkembangan produksi benih PT. A di Malang, 2013-2015
Jenis Komoditas Produksi (kg) Rataan Pertumbuhan
2013 2014 2015 (kg) (%/thn)
1. Bayam 43,754 41,960 56,986 47,567 15.85
2. Buncis 27,064 32,798 11,839 23,900 (21.36)
3. Cabe Keriting 698 970 750 806 8.16
4. Cabe Rawit 2,077 2,136 2,165 2,126 2.09
5. Caisim 626 347 368 447 (19.28)
6. Jagung Manis 18,388 7,002 8,937 11,442 (17.14)
7. Kacang Panjang 101,418 112,540 73,456 95,804 (11.88)
8. Kangkung 166,335 165,125 128,609 153,356 (11.42)
9. Ketimun 2,561 2,690 2,884 2,712 6.13
10.Oyong 958 628 735 774 (8.69)
11.Paria 1,000 627 795 807 (5.25)
12.Pepaya 148 163 86 133 (18.61)
13.Semangka 1,628 1,442 1,140 1,403 (16.19)
14.Terong 1,108 815 694 872 (20.64)
15.Tomat 879 682 503 688 (24.35)
Jumlah 368,642 369,924 289,948 342,838 (10.64)
Sumber : PT.A, 2016
Perkembangan produksi tersebut juga diikuti oleh perkembangan ekspor
benih yaitu benih bayam dan benih kankung. Dalam tahun 2013 -2014 ekspor
bayam oleh PT A meningkat dari 100 kg menjadi 165 kg atau kenaikan 65 persen
dan ekspor kankung meningkat dari 200 kg menjadi 250 kg atau peningkatan 25
persen (Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan ekspor benih dan negara tujuan ekspor PT. A, 2013-2014
Jenis Komoditas Jumlah Ekspor (kg)
Tujuan Ekspor 2013 2014
Bayam 100 165 Malaysia
Kangkung 200 250 Malaysia Sumber : PT. A, 2016
UU 13 tahun 2010 mengharuskan pananaman modal asing maksimal 30 %
(pasal 100 UU 13/2010) dan untuk itu PMA yang memiliki modal diatas ketentuan
tersebut harus melakukan divestasi. Tampaknya aturan adanya divestasi modal
PMA tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya, meskipun beberapa PMA
mulai melalukan analisa alternatif divestasi apabila aturan harus dilaksanakan. Di
16
PT Namddhari Seed, beberapa alternatif divesasi mulai dikaji antara lain : (a)
merger dengan peruashaan PMDN sejenis, (b) go publik, (c) penambahan aset,
dan (d) pengalihanpemilikan aset ke staf (karyawan).
Dalam kasus di Jawa Barat, industry benih sayuran di Jawa Barat juga
berkembang. Sebagian besar produsen benih tersebut umumnya bermula dari
pedagang benih (dengan status CV) yang umumnya sebagai agen pemasaran
dari benih atau mengimpor benih dari luar dan menjualnya di dalam negeri, dan
kemudian terlibat menjadi produsen benih tertentu dengan tetap juga sebagai
pedagang benih. Untuk mendukung kegiatan produksi benih Pelaku usaha PMDN
tersebut merekrut pemulia untuk membantu menseleksi atau menghasilkan
varietas baru.
Pelaku produsen benih umumnya adalah produsen dari luar negeri
(perusahaan multi nasional PMA) yang membuka cabang di Indonesia. Banyak
produsen benih PMDN yang semula sebagai pedagang merekrut eks pegawai
perusahaan benih dari perusasahaan PMA. Dalam kerjasama dengan perusahaan
benih PMDN pemulia yang direkrut bekerja sangat pragmatis. Seringkali bahan
dasar yang diseleksi dan atau dijadikan materi induk untuk disiangkan dan
dijadikan varietas baru berasal dari pertanaman masyarakat atau mengambil dari
luar negeri. Kondisi ini menurut penilaian BPSBTH kurang sesuai dengan aturan
perbenihan dan menyebabkan konflik dalam kegiatan sertifikasi. BPSBTH selalu
menuntut bukti kebenaran varietas yang dihasilkan sesuai dengan aturan dalam
perbenihan, dan tuntutan tersebut oleh produsen benih dinilai menghambat dan
membuat proses sertifikasi menjadi lama dan bertele.
Keberadaan perusahaan benih PMA dinilai tidak berpengaruh besar terhadap
industry benih dalam negeri (PMDN). Hal ini karena disamping pasar benih dalam
negari cukup besar dan belum tergarap sepenuhnya, juga karena masing masing
produk yang dihasilkan mempunyai pangsa pasar sendiri. Keberadaan PMA benih
dinilai dibutuhkan terutama untuk penyediaan benih yang memang tidak bisa
dihasilkan di dalam negeri seperti kubis ubisan (brasica). Keberadaan PMA benih
juga dinilai positip dalam alih teknologi perbenihan ke petani domestic (karena
17
hampir seluruh produksi benih bekerjasama dangan petani local) dan sumber
plasma nuftah dan teknologi benih.
IV. PERKEMBANGAN PRODUKSI HORTIKULTURA
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai
nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Sesuai SK Menteri Pertanian
Nomor : 511/Kpts/PD310/9/2006, komoditas binaan Direktorat Jenderal
Hortikultura mencakup 323 jenis komoditas yang terdiri dari : 60 jenis buah-
buahan, 80 jenis komoditas sayuran, 66 jenis komoditas tanaman obat dan 117
jenis komoditas florikultura. Penetapan komoditas unggulan didasarkan pada
beberapa kriteria, yaitu (1) berdampak terhadap ekonomi makro, (2) produksi, (3)
luas area, (4) potensi ekspor, (5) substitusi impor, (6) jumlah pelaku usaha, (7)
nilai ekonomi, (8) potensi nilai tambah, (9) ketersediaan teknologi, (10) kebutuhan
bahan baku industri, (11) permintaan domestik, (12) pangsa pasar relatif dalam
kelompok komoditas (Renstra Ditjen Hortikultura, 2015-2019). Terkait dengan
penetapan komoditas unggulan hortikultura maka telah diterbitkan Permentan No.
76/Permentan/OT.140/12/2012 tentang Syarat dan Tatacara Penetapan Produk
Unggulan Hortikultura dan mengacu pada Permentan No.50/Permentan/OT.140/
8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian dan Kementan No.
45/Kpts/PD.200/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Cabai, Bawang Merah, dan
Jeruk Nasional. Adapun komoditas hortikultura yang secara intensif mendapat
perhatian utama pada level nasional pada periode 2015 – 2019 adalah aneka
cabai, bawang merah, dan jeruk.
Komoditas hortikultura yang dikelompokkan menjadi komoditas sayuran,
buah-buahan, florikultura, dan biofarmaka secara umum mengalami peningkatan
selama periode 2005-2013 (Tabel 5). Jenis komoditas yang tergolong sayuran
yang produksinya relatif tinggi, adalah bawang merah, cabe besar, cabe rawit,
dan kentang. Untuk kelompok buah-buahan, jenis komoditas yang produksinya
relatif tinggi adalah pisang, jeruk, mangga, dan durian.
Sentra produksi bawang merah selama periode 2008-2012 masih
didominasi wilayah Jawa, yaitu Jawa Tengah (43,32%), Jawa Timur (20,91%),
18
Jawa Barat (12,15%), dan NTB (10,29%). Sedangkan untuk komoditas kentang,
daerah sentra produksi berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan pangsa
produksi masing-masing 25,57% dan 24,63%, sementara untuk Jawa Timur,
Sumatera Utara, dan Gorontalo masing-masing pangsa produksinya sekitar 11%.
Produksi cabe besar banyak dihasilkan di Jawa Barat (22,76%), Sumatera Utara
(19,14%), dan Banten (12,10%). Untuk komoditas cabe rawit, wilayah sentra
berada di Provinsi DI Yogyakarta (22,13%), Jawa Barat (15,84%), Banten
(9,15%), dan Jawa Timur (8,88%).
Tabel 5. Perkembangan produksi tanaman hortikultura di Indonesia, 2005-2013
Tahun Produksi tanaman hortikultura
Sayuran Buah-Buahan Florikultura Biofarmaka
(000 ton) (000 ton) (000 tangkai) (ton)
2005 9,102 14,787 173,240 321,889
2006 9,527 16,171 167,670 416,871
2007 - 17,117 179,374 444,201
2008 10,035 18,028 205,565 398,809
2009 10,628 18,654 263,531 408,187
2010 10,706 15,490 378,916 351,155
2011 10,871 18,314 486,852 316,572
2012 11,265 18,917 616,859 374,657
2013 11,558 18,288 684,098 453,206
Sumber : Pusdatin Kementan, Statistik Pertanian 2012 dan 2014 Keterangan : (-) tidak ada data
Untuk kelompok buah-buahan, sentra produksi pisang dengan pangsa
diatas 10 % selama periode 2008-2012 berada di Provinsi Jawa Barat (20,93%),
Jawa Timur (18,31%), Jawa Tengah (13,20%), dan Lampung (11,52%). Produksi
jeruk didominasi Provinsi Sumatera Utara dengan pangsa mencapai 32,99% dan
Jawa Timur sebesar 18,97% selama periode 2008-2012. Dalam periode waktu
yang sama, untuk komoditas mangga, produksi tertinggi dihasilkan di Jawa Timur
dengan pangsa mencapai 33,50%, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan
pangsa masing-masing sebesar 17,26% dan 16,87%.
Pada kelompok florikultura, jenis tanaman hias yang banyak diproduksi
antara lain anggrek, krisan, mawar, dan sedap malam. Pada periode 2008-2012,
produksi bunga anggrek banyak diproduksi di Jawa Barat dengan pangsa
19
mencapai 30,97%, diikuti Banten dan Jawa Timur dengan pangsa masing-masing
17,47% dan 14,32%. Untuk bunga krisan, dapat dikatakan hanya diproduksi di
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan total pangsa sebesar 96,35%.
Kondisi yang sama berlaku untuk produksi bunga mawar, dimana total pangsa
produksi dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mencapai 97,67%.
Perkembangan produksi tanaman hortikultura secara umum mengalami
peningkatan dengan tingkat pertumbuhan per tahun bervariasi antar kelompok
tanaman. Pertumbuhan kelompok tanaman sayuran berkisar antara 0,73%/tahun
hingga 5,91%/tahun, sedangkan kelompok tanaman buah-buahan berkisar antara
-16,96%/tahun hingga 18,23%/tahun. Kelompok tanaman florikultura secara
umum mengalami pertumbuhan produksi relatif tinggi berkisar antara -
3,22%/tahun hingga 43,78%/tahun. Sementara untuk kelompok tanaman
biofarmaka, pertumbuhan produksinya fluktuatif berkisar antara -13,97%/tahun
hingga 29,51%/tahun. Diantara keempat kelompok tanaman hortikultura,
kelompok tanaman florikultura pertumbuhan produksinya paling tinggi
(19,55%/tahun) selama periode 2005-2013 dibandingkan kelompok tanaman
lainnya berkisar antara 3,16%/tahun hingga 5,46%/tahun (Tabel 6).
Tabel 6. Perkembangan pertumbuhan produksi tanaman hortikultura di Indonesia,
2005-2013
Tahun
Pertumbuhan produksi tanaman hortikultura
Sayuran (%/thn)
Buah-Buahan (%/thn)
Florikultura (%/thn)
Biofarmaka (%/thn)
2005/2006 4.67 9.36 -3.22 29.51
2006/2007 - 5.85 6.98 6.56
2007/2008 - 5.32 14.60 -10.22
2008/2009 5.91 3.47 28.20 2.35
2009/2010 0.73 -16.96 43.78 -13.97
2010/2011 1.54 18.23 28.49 -9.85
2011/2012 3.62 3.29 26.70 18.35
2012/2013 2.60 -3.32 10.90 20.97
Rataan 3.18 3.16 19.55 5.46
Sumber : Pusdatin Kementan, Statistik Pertanian 2012 dan 2014
20
Peningkatan produksi salah satunya perlu didukung dengan ketersediaan
luas panen. Mengacu pada Tabel 7. perkembangan luas panen komoditas sayuran
dan buah-buahan secara umum meningkat selama periode 2008-2013. Sementara
untuk tanaman florikultura dan biofarmaka relatif fluktuatif dalam periode waktu
yang sama. Rata-rata luas panen komoditas sayuran mencapai lebih dari 1 juta
hektar, sedangkan untuk komoditas buah-buahan rata-rata luas panennya
mencapai 722 ribu hektar. Luas areal tanam komoditas florikultura relatif kecil,
rata-rata 1638 hektar dan untuk luas lahan tanaman biofarmaka rata-rata 20,530
hektar.
Tabel 7. Perkembangan luas panen tanaman hortikultura di Indonesia, 2005-2013
Tahun Sayuran
(000 ha)
Buah-Buahan
(000 ha)
Florikultura
(ha)
Biofarmaka
(ha)
2005 945 717 1,479 18,292
2006 1,008 728 632 22,266
2007 - 757 919 24,525
2008 1,027 781 1,673 23,529
2009 1,078 826 1,997 21,484
2010 1,111 668 2,322 18,263
2011 1,080 823 1,868 16,947
2012 1,089 819 1,912 18,503
2013 1,100 830 1,940 20,963
Rataan 1,055 722 1,638 20,530
Sumber : Pusdatin Kementan, Statistik Pertanian 2012 dan 2014
1) Tanaman hias dalam satuan tangkai meliputi : anggrek, kuping gajah, gladiol, pisang-pisangan,
krisan, mawar, sedap malam, anyelir dan gerbera 2) Merupakan penjumlahan dari jahe, kencur, kunyit, lengkuas, lempuyang, temulawak,
temuireng, temukunci dan dringo.
Ketersediaan luas panen untuk tanaman hortikultura berfluktuasi untuk
semua kelompok tanaman (Tabel 8). Pertumbuhan luas tanam paling tinggi terjadi
pada tanaman florikultura, sedangkan untuk tanaman sayuran, buah-buahan, dan
biofarmaka relatif sama, yaitu berkisar antara 2,29 %/tahun hingga 2,42 %/tahun
selama periode tahun 2005-2013.
21
Tabel 8. Perkembangan pertumbuhan luas panen tanaman hortikultura di
Indonesia, 2005-2013
Tahun
Sayuran (%/thn)
Buah-Buahan (%/thn)
Florikultura (%/thn)
Biofarmaka (%/thn)
2005/2006 6,68 1,50 -57,26 21,73
2006/2007 - 3,92 45,38 10,15
2007/2008 - 3,25 81,99 -4,06
2008/2009 4,98 5,77 19,39 -8,69
2009/2010 3,01 -19,19 16,29 -14,99
2010/2011 -2,73 23,17 -19,56 -7,21
2011/2012 0,85 -0,43 2,37 9,18
2012/2013 0,96 1,28 1,46 13,29
Rataan 2,29 2,41 11,26 2,42
Sumber : Pusdatin Kementan, Statistik Pertanian 2012 dan 2014
Terkait komoditas unggulan sesuai SK Kementan No. 45/Kpts/PD.200/
1/2015 telah ditetapkan ada empat jenis komoditas, yaitu bawang merah, jeruk,
cabe besar, dan cabe rawit. Perkembangan produksi keempat jenis komoditas
tersebut selama periode 2008-2012 menunjukkan untuk bawang merah terjadi
peningkatan selama periode 2008-2010, namun ada penurunan pada tahun 2011
dan kembali meningkat pada tahun 2012 (Gambar 1).
Gambar 8.1. Perkembangan produksi, luas areal, dan produktivitas komoditas
unggulan hortikultura di Indonesia, 2008-2012
22
Pola peningkatan/penurunan produksi bawang merah ternyata memiliki
pola yang sama dengan perkembangan luas areal tanamnya. Sementara untuk
produktivitasnya relatif stabil, yaitu berkisar antara 9,28 ton/ha hingga 9,69
ton/ha (Lampiran 5). Stabilnya produktivitas bawang merah menunjukkan bahwa
belum ada penerapan teknologi yang mampu meningkatkan produksi. Oleh karena
itu, peningkatan produksi hanya mengandalkan ketersediaan lahan.
Perkembangan produksi jeruk selama periode 2008-2012 cenderung
menurun seiring penurunan luas areal tanamnya. Daerah sentra penghasil jeruk
yang dominan hanya di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur, tingkat
produktivitasnya relatif stabil bahkan ada kecenderungan menurun dari 35 ton/ha
menjadi 31 ton/ha (Lampiran 5). Kondisi ini menunjukkan bahwa penanganan
budidaya jeruk kurang mendapat perhatian serius. Informasi yang diperoleh dari
Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Tropika, Malang menyatakan bahwa banyak
kendala untuk mengembangkan varietas jeruk dengan kualitas super. Selain
membutuhkan waktu yang lama untuk proses pemuliaan, jumlah pemulia
(breeder) juga relatif terbatas. Kendala lain yang kadang terjadi yaitu alokasi
anggaran untuk pemuliaan tidak dapat terjamin ketersediaannya hingga proses
pemuliaan varietas selesai. Permasalahan-permasalahan tersebut secara tidak
langsung berkontribusi terhadap kurang berkembangnya budidaya jeruk di
Indonesia.
Perkembangan produksi cabai besar dan cabai rawit memiliki pola yang
hampir sama, cenderung meningkat selama periode 2008-2012. Peningkatan
produksi ini selain didukung adanya peningkatan luas areal tanam, juga ada
peningkatan produktivitas (Lampiran 5). Produktivitas cabai besar pada tahun
2008 sebesar 6,37 ton/ha, meningkat menjadi 7,93 ton/ha pada tahun 2012.
Sementara untuk produktivitas cabai rawit mencapai 4,47 ton/ha pada tahun
2008, selanjutnya meningkat menjadi 5,75 ton/ha.
23
V. PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA
Gambaran ekspor sektor pertanian pada data tahun 2014 menunjukkan
ekspor subsektor perkebunan mendominasi dengan pangsa mencapai 95,79%,
urutan kedua dari subsektor peternakan sebesar 1,89 %, sedangkan subsektor
hortikultura dan subsektor tanaman pangan masing-masing 1,65 % dan 0,66%.
Sebaliknya untuk impor sektor pertanian, subsektor tanaman pangan
mendominasi dengan pangsa sebesar 48,27 %, urutan kedua subsektor
peternakan sebesar 23,95 %, sedangkan pangsa subsektor perkebunan dan
subsektor hortikultura masing-masing sebesar 17,50 % dan 10,29 % (Pusdatin
Kementan, 2015).
Untuk produk subsektor hortikultura yang menjadi fokus pembahasan
dalam penelitian ini menunjukkan volume dan nilai impor lebih tinggi dibandingkan
volume dan nilai ekspor selama periode 2008-2014 (Gambar 2). Kondisi ini
menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit, baik volume maupun nilai
perdagangan. Data volume dan nilai ekspor, impor dan neraca perdagangan
secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 2. Perkembangan volume dan nilai ekspor dan impor komoditas
hortikultura di Indonesia, 2008-2014
24
Perkembangan ekspor hortikultura sejak tahun 2008 sedikit menurun
hingga tahun 2010, selanjutnya meningkat lambat hingga tahun 2014. Sementara
untuk perkembangan nilai ekspor cenderung seiring dengan pola perkembangan
volume ekspor. Komoditas ekspor produk hortikultura yang menjadi andalan pada
tahun 2014, antara lain nenas, cabai, manggis, dan kentang. Total nilai ekspor
keempat jenis komoditas tersebut mencapai US$ 231,65 juta (Pusdatin Kementan,
2015).
Perkembangan volume impor komoditas hortikultura cenderung meningkat
selama periode 2008-2012, selanjutnya menurun tahun 2013 dan sedikit
meningkat pada tahun 2014. Nilai impor terlihat tidak seiring dengan
meningkatnya volume impor. Pada periode 2008-2009, ketika volume impor
meningkat, justru nilainya menurun, hal ini diduga disebabkan perubahan faktor
harga. Pada periode 2009-2012, perubahan nilai impor memiliki pola yang sama
dengan volume impor.
Volume dan nilai impor yang lebih tinggi dibandingkan volume dan nilai
ekspor, menyebabkan neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit selama
periode 2008-2014. Defisit neraca volume perdagangan komoditas hortikultura
cenderung meningkat pada periode 2008-2012, selanjutnya defisit neraca volume
menurun akibat volume impor menurun pada tahun 2013.
Pertumbuhan volume dan nilai ekspor dan impor selama periode 2008-2014
bervariasi antar waktu (Tabel 9). Angka rataan pertumbuhan selama periode
2008-2014 menunjukkan bahwa volume ekspor cenderung menurun, sedangkan
nilai ekspor cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 3,8%/tahun.
Peningkatan pertumbuhan nilai ekspor diduga adanya peningkatan harga
beberapa komoditas ekspor.
25
Tabel 9. Perkembangan pertumbuhan ekspor, impor, dan neraca perdagangan
komoditas hortikultura di Indonesia, 2008-2014
Tahun
Pertumbuhan (%/thn)
Volume
ekspor
Nilai
ekspor
Volume
impor
Nilai
impor
Neraca
volume
Neraca
nilai
2008/2009 (14.66) (12.48) 6.62 (33.99) 18.95 (41.77)
2009/2010 (18.65) 2.90 2.37 20.00 11.11 29.31
2010/2011 4.81 25.74 31.49 30.41 39.61 32.43
2011/2012 0.84 (3.75) 0.58 4.08 0.53 7.30
2012/2013 (7.16) (10.65) (25.26) (12.85) (29.41) (13.66)
2013/2014 21.27 21.23 6.73 6.72 2.34 1.18
Rataan (2.26) 3.83 3.75 2.40 7.19 2.46
Sumber : Pusdatin Kementan, Statistik Pertanian 2012 dan 2014
Keterangan : ( ) angka negatif
Mengacu pada Tabel 9, pertumbuhan volume impor meningkat tajam
(31,49%) pada tahun 2010/2011, sebaliknya pada tahun 2012/2013 terjadi
penurunan relatif tinggi (-25,26%). Pertumbuhan nilai impor menurun tajam
(33,99%) pada tahun 2008/2009, namun selama periode 2008-2014 masih
tumbuh positif sebesar 2,40%/tahun.
Pertumbuhan neraca perdagangan baik volume maupun nilai selama periode
2008-2014 memiliki pertumbuhan positif dengan nilai rataan masing-masing 7,19
%/tahun dan 2,46%/tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa defisit
perdagangan komoditas hortikultura cenderung meningkat. Berdasarkan data
neraca perdagangan produk hortikultura tahun 2014, nenas merupakan komoditas
yang mengalami surplus sebesar US$ 193 juta. Sementara untuk komoditas
lainnya mengalami defisit seperti bawang putih, apel, jeruk, anggur, dan kentang
dengan total defisit sebesar US$ 999,94 juta.
Berdasarkan negara tujuan ekspor komoditas pertanian pada tahun 2014,
ada tiga negara andalan tujuan ekspor, yaitu India, China, dan Amerika Serikat.
Untuk subsektor hortikultura, total ekspor ke India untuk beberapa komoditas
termasuk cabai, nenas, dan lainnya seluruhnya senilai US$ 11,93 juta selama
periode Januari-Desember 2014. Sementara untuk tujuan ekspor ke China,
komoditas hortikultura yang diekspor antara lain pisang, nenas, salak, dan lainnya
dengan total nilai US$ 23,08 juta pada periode yang sama (Pusdatin Kementan,
2015).
26
Berdasarkan jenis komoditi yang diperdagangkan, dalam tahun terakhir
benih komoditi dengan status net ekspor adalah benih bayam, pare, labu
manis/pumkin, cabe, jagung manis, kankung, buncis, gambas, labu botol dan
terong; sedangkan yang berstatus net impor adalah sawi sawian (hijau dan putih),
wortel dan tomat (Tabel 10).
Tabel 10. Pengeluaran dan pemasukan benih sayuran, 2013-2015
(kg)
No
Komoditas
2013 2014 2015
Penge- luaran
Pema- sukan
Penge- luaran
Pema-sukan
Penge- luaran
Pema- sukan
1. Bayam/Spinach 20 - 2,92 1,7 8,101 1,5
2. Buncis/French bean - - 5,502 - 705 -
3. Cabe/Hot Pepper 1,264 1,646 6,348 2,935 3,875 256
4. Gambas/Luffa - - 882 - 559 -
5. Jagung Manis 270 12,162 2,09 59 1,012 1,93
6. Kacang Panjang - - 3,221 4 - -
7. Kangkung - 300 742,451 251 848,234 -
8. Labu Botol - - 4,204 - 151 -
9. Labu Air/Pumpkin 1,922 - 10,138 - 7,556 57
10. Lobak/Radish 30 - 4,5 - -
11. Mentimun/Cucumber 3,101 - 10,421 - 5,08 -
12. Pare/Bittergourd 537 281 15,176 656 8,035 -
13. Sawi Putih/Chinese cabbage
- 4,88 - - - 3,878
14. Sawi Hijau/Caisim 100 500 75 7,293 - 41,221
15. Sawi Pahit/Mustard - 0 - 121,3 - -
16. Sawi Sendok/Pok Choy - 850 - 12,154 - 6,36
17. Terong/Eggplant - - 196 - 77 -
18. Tomat - 31 546 1,86 527 1,286
19. Wortel - 2,2 - 6,6 - 5,975
Jumlah Biji (kg) 7,214 22,88 804,17 159,312 883,911 62,463
Sumber: Ditjen Hortikultura
VI. Kondisi dan Kinerja Riset Perbenihan Hortikultura
Dalam usaha perbenihan hortikultura di Indonesia, peran swasta dalam
usaha benih buah relatif terbatas kepada buah musiman seperti semangka, melon
dan sejenisnya, namun belum ada yang bergerak dibidang usaha benih tanaman
tahunan seperti jeruk, apel, mangga dan lainnya. Dengan demikian,
pengembangan teknologi dan penyediaan benih bermutu buah tahunan umumnya
mengandalkan peran dari Balai Penelitian lingkup Badan Litbang. Namun demikian
27
penanganan perbenihan oleh balai penelitian tersebut juga relatif terbatas, seperti
halnya di Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Sub Tropis (Balijestro), perhatian
lebih terfokus kepada tanaman Jeruk, sementara tanaman lain yang juga menjadi
mandatnya seperti Apel, Strawberi, dan lainnya belum ditangangi secara serius.
Upaya Balijestro untuk menyediakan benih jeruk bermutu juga tetap saja tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan.
Berbeda dengan buah, investasi usaha perbenihan sayur oleh swasta (PMA
dan PMDN) tumbuh pesat. Namun demikian secara umum industri perbenihan
hortikultura nasional adalah, sebagai berikut: (a) industri benih hortikultura
dikuasai oleh investasi asing (PMA), (b) beberapa tahun terakhir impor benih
meningkat pesat, (b) plasma nuftah benih sayur yang umumnya merupakan
sayuran sub tropis sebagian besar masuk ke Indonesia secara illegal, (3) benih
tersebut umumnya dikuasai oleh perusahaan besar, dan (4) belum berperannya
Balitsa dan perguruan Tinggai dalam menghasilkan benih bermutu (sangat
terbatas).
Balitsa sebagai institusi penelitian sayuran pemerintah menghadapi kendala
semakin dibatasinya tugas yang diberikan yaitu hanya kepada penelitian dasar
untuk komoditi cabe, bawang merah dan kentang. Dana yang diberikan juga
terbatas dan terfokus kepada ketiga komoditi tersebut. Namun demikian peneliti
juga berupaya menjaga kegiatan penelitian dasar untuk komoditi lain yang selama
ini digelutinya, sehingga dana yang ada juga harus berbagi untuk kegiatan lain
tersebut. Dana penelitian juga dirasakan semakin kecil.
Pada era otonomi daerah dimana posisi BBI dan BBU berada di pemerintah
daerah (tidak lagi dibiayai dana pusat) dirasakan terjadinya penurunan fungsi BB
tersebut sehingga menghambat alur diseminasi teknologi perbenihan yang
dihasilkan oleh Balitsa.
Upaya kerjasama Balitsa dengan swasta telah dilakukan, namun yang baru
berjalan terbatas kepada produsen swasta kecil dan pemula, sementara
perusahaan benih swasta besar justru memandang hasil produk yang dihasilkan
Balitsa kurang bersaing/kurang bernilai komersial. Balitsa menghadapi kendala
berkaitan dengan lamanya waktu untuk menghasilkan varietas. Untuk itu peneliti
28
balitsa mengharapkan output penelitian dan bidang kerjasama dengan swasta bisa
dimulai dari galur. Balitsa juga selama ini lebih terfokus kepada kegiatan penelitian
perbenihan yang open pollination, dan baru melangkah ke hibrida.
Lebih jauh lagi, keberadaan sumberdaya peneliti di Balitsa khususnya dan
Puslitbanghort umumnya berkurang, baik dari segi kualitas dan kuantitas karena
sebagian telah dan akan segera pensiun sementara rekruitmen baru dan
pendidikan lanjutan dibatasi. Akibatnya, jumlah dan komposisi tenaga peneliti di
bidang hortikultura tidak memenuhi ‘critical mass’ dan mengalami ketimpangan.
Jumlah tenaga peneliti utama bidang ‘pemuliaan’ di Balitsa, misalnya, sangat
terbatas untuk memenuhi kebutuhan. Sebagian dari tenaga di bidang pemulian di
Balitsa merupakan tenaga teknisi. Kalau situasi ini dibiarkan berlangsung lama,
tidak mustahil bila subsektor hortikultura akan semakin tertinggal, pasar Indonesia
akan semakin kebanjiran baik benih maupun produk hortikultura.
Terbatasnya sumberdaya penelitian dan peneliti, khususnya jumlah tenaga
peneliti pemulia, di Balitsa juga merupakan kendala tersendiri untuk menghasilkan
dan mengembangkan varietas unggul baru sayuran. Situasi ini juga membuat
Balitsa menghadapi keterbatasan untuk melakukan kerjasama dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk mengawal diseminasi teknologi dan
uji-multilokasi varietas serta untuk menghasilkan benih induk unggul yang sangat
dibutuhkan oleh penakar benih. Disamping itu Balitsa juga tidak dapat memenuhi
harapan untuk melakukan pengawalan pengadaan benih sebar yang dilakukan
para penakar benih di seluruh wilayah tanah air.
Dalam kondisi seperti ini, keberadaan perusahaan perbenihan BUMN dan
swasta, baik PMDN maupun PMA, menjadi keharusan. Sementara PMDN belum
tertarik untuk masuk di industri perbenihan (terbukti dari pertumbuhannya yang
relatif lambat), maka keputusan pemerintah untuk membatasi secara ketat
keberadaan PMA, bukan keputusan yang tepat karena akan berakibat terpuruknya
subsektor hortikultura untuk memenuhi permintaan masyarakat terhadap produk
hortikultura yang terus meningkat. Jika aturan pembatasan kepemilikan modal
asing masimal 30%, sebagaimana tertuang dalam UU No UU 13 tahun 2010,
29
hampir dipastikan beberapa tahun mendatang Indonesia akan kebanjiran impor
benih dan produk hortikultura.
Melonggarkan ketentuan investasi bidang perbenihan hortikultura kedalam
Paket Kebijakan ke-X tentang DNI tidak memungkinkan karena terkendala oleh UU
No 13 tahun 2010 yang masih berlaku sampai saat ini. Melihat potensi dampak
akibat dibatasinya kepemilikan asing maksimal 30%, sebagaimana tertuang dalam
pasal 100 ayat 3 UU No UU 13 tahun 2010, maka sebaiknya pemerintah untuk
mengeluarkan Perpu untuk menggatikan UU No 13 tahun 2010 tersebut. Dengan
keluarnya Perpu, maka pemerintah dapat segera melakukan revisi Paket Kebijakan
no X dengan memasukan revisi (melonggarkan) batas maksimum kepemilikan
modal asing bidang perbenihan hortikultura.
VII. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Sebagai negara dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, seharusnya
indonesia dapat menjadi eksportir utama produk pertanian, termasuk produk
hortikultura tropis. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan produksi
pertanian yang berdaya saing, dengan mendayagunakan semaksimal mungkin
potensi sumberdaya yang dimiliki dan membuka peluang pengembangan
usaha pertanian melalui kegiatan investasi di sektor pertanian umumnya dan
hortikultura khususnya. Jika kenyataan selama ini kinerja PMDN di subsektor
hortikultura masih sangat terbatas, maka PMA seharusnya dapat menjadi
alternatif untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing produk
hortikultura, sehingga Indonesia mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri
dan juga menjadi eksportir utama produk hortikultura tropis.
2. Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan
untuk meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh investasi
untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah produk pertanian. Idealnya
untuk memaksimalkan nilai tambah, kegiatan investasi usaha pertanian dapat
dilakukan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha domestik (PMDN), namun
kenyataannya hal ini belum dapat sepenuhnya dilakukan, sehingga dibutuhkan
30
investasi asing (PMA). Disamping membantu peningkatan produksi dan
ketersediaan produk dalam negeri, PMA juga berguna dalam rangka
mendorong alih teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara efisien,
berkualitas dan berdaya saing.
3. Upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan asing (PMA) di
bidang usaha perbenihan hortikultura tidak dapat dilakukan karena akan
bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Oleh
karena itu, Paket Kebijakan ke-X tahun 2016 belum termasuk bidang usaha
perbenihan hortikultura. UU 13 tahun 2010 mengharuskan pananaman modal
asing maksimal 30% (pasal 100 UU 13/2010) dan untuk itu PMA yang memiliki
modal diatas ketentuan tersebut harus melakukan divestasi.
4. Sampai saat ini, aturan tentang keharusan divestasi modal PMA tersebut belum
berjalan sebagaimana mestinya, meskipun beberapa PMA mulai melalukan
analisa alternatif divestasi apabila aturan harus dilaksanakan. Di PT Namddhari
Seed, misalnya, beberapa alternatif divestasi mulai dikaji antara lain: (a)
merger dengan peruashaan PMDN sejenis, (b) go publik, (c) penambahan aset,
dan (d) pengalihan pemilikan aset ke staf dan karyawan.
5. Namun perlu disadari dan diantisipasi bahwa pembatasan kepemilikan modal
asing (PMA) ini menjadi dilematis karena dikuatirkan akan menjadi
penghambat pertumbuhan sub-sektor hortikultura yang berakibat terjadinya
stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk hortikultura. Akibat
lebih lanjut, Indonesia tidak akan mampu memenuhi permintaan domestik
produk hortikultura yang terus meningkat sehingga akan semakin tergantung
impor.
6. Keberadaan perusahaan benih PMA dinilai tidak berpengaruh besar terhadap
industry benih dalam negeri (PMDN). Hal ini karena disamping pasar benih
dalam negari cukup besar dan belum tergarap sepenuhnya, juga karena
masing masing produk yang dihasilkan mempunyai pangsa pasar sendiri.
Keberadaan PMA benih dinilai dibutuhkan terutama untuk penyediaan benih
yang memang tidak bisa dihasilkan di dalam negeri seperti kubis ubisan
(brasica). Keberadaan PMA benih juga dinilai positip dalam alih teknologi
31
perbenihan ke petani domestic (karena hampir seluruh produksi benih
bekerjasama dangan petani local) dan sumber plasma nuftah dan teknologi
benih.
7. Terbatasnya sumberdaya penelitian dan peneliti, khususnya jumlah tenaga
peneliti pemulia, di Balitsa juga merupakan kendala tersendiri untuk
menghasilkan dan mengembangkan varietas unggul baru sayuran, termasuk
menghasilkan benih induk unggul yang dibutuhkan oleh penakar benih. Situasi
ini juga membuat Balitsa menghadapi keterbatasan untuk melakukan
kerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk
mengawal diseminasi teknologi dan uji-multilokasi varietas unggul yang
dihasilkan. Para peneliti Balitsa juga tidak dapat turut melakukan pengawalan
untuk pengadaan benih sebar yang dilakukan para penakar benih di seluruh
wilayah tanah air.
8. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan perusahaan perbenihan BUMN dan
swasta, baik PMDN maupun PMA, menjadi keharusan. Sementara PMDN belum
tertarik untuk masuk di industri perbenihan (terbukti dari pertumbuhannya
yang relatif lambat), maka keputusan pemerintah untuk membatasi secara
ketat keberadaan PMA, bukan keputusan yang tepat karena akan berakibat
terpuruknya subsektor hortikultura untuk memenuhi permintaan masyarakat
terhadap produk hortikultura yang terus meningkat. Jika aturan pembatasan
kepemilikan modal asing masimal 30%, sebagaimana tertuang dalam UU No
UU 13 tahun 2010, hampir dipastikan beberapa tahun mendatang Indonesia
akan kebanjiran impor benih dan produk hortikultura.
9. Melonggarkan ketentuan investasi bidang perbenihan hortikultura kedalam
Paket Kebijakan X tentang DNI tidak memungkinkan karena terkendala oleh
UU No 13 tahun 2010 yang masih berlaku sampai saat ini. Melihat potensi
dampak akibat dibatasinya kepemilikan asing maksimal 30%, sebagaimana
tertuang dalam pasal 100 ayat 3 UU No UU 13 tahun 2010, maka sebaiknya
pemerintah untuk mengeluarkan Perpu untuk menggatikan UU No 13 tahun
2010 tersebut. Dengan keluarnya Perpu, maka pemerintah dapat segera
melakukan revisi Paket Kebijakan no X dengan memasukan revisi
32
(melonggarkan) batas maksimum kepemilikan modal asing bidang perbenihan
hortikultura.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia : Perkembangan Investasi PMA
sektor pertanian 2009-2015. Jakarta.
[Kementan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor 45/Kpts/PD.200/1/2015 tentang
penetapan kawasan cabai, bawang merah, dan jeruk nasional. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/OT.140/1/2012
tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Berita Negara Republik Indonesia No. 148 Tahun 2012. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 05/Permentan/OT.140/2/2012
tentang pemasukan dan pengeluaran benih hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Permentan/OT.140/7/2011
tentang pendaftaran varietas hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/OT.140/6/2012 tentang persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk
pemasukan buah-buahan segar dan sayuran buah segar. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/6/2012
tentang persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan umbi lapis segar ke dalam wilayah negara Indonesia.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/SR.120/8/2012 tentang produksi, sertifikasi, dan pengawasan peredaran benih. Berita Negara Republik Indonesia No. 818 Tahun 2012. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang pedoman pengembangan kawasan pertanian. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/9/2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 76/Permentan/OT.140/12/2012 tentang syarat dan tatacara penetapan produk unggulan hortikultura. Jakarta.
[Permendag] Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Jakarta.
[Permendag] Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Jakarta.
33
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang
daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
2012. Statistik Pertanian 2012.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
2014. Statistik Pertanian 2014.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2015. Buletin Triwulanan Ekspor Impor Komoditas Pertanian, Volume 7
No.1.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang
hortikultura. Jakarta.
34
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan volume penjualan benih bayam PT. A, 2013-2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 3,197.42 4,125.02 2,630.12
Sumbar - Riau 2,658.91 2,591.86 4,383.53
Jambi 1,884.80 2,094.79 1,753.41
Sumsel 5,721.71 5,374.15 7,452.01
Babel - Kepri 918.84 603.58 1,315.06
Bengkulu 3,830.18 2,966.27 4,383.53
Lampung 3,574.38 3,431.06 4,383.53
Jabar - Banten 1,130.88 974.77 1,315.06
Jateng - DIY 2,958.46 1,946.31 3,945.18
Jatim 1,255.41 2,139.98 3,945.18
Papua - Maluku 2,207.91 2,562.81 3,945.18
Bali - Nustra 306.28 103.29 438.35
Sulawesi 3,348.88 1,742.97 1,753.41
Kalimantan 652.95 1,620.31 2,191.77
Total 33,657.10 32,277.18 43,835.34
Sumber : PT.A, 2016
Lampiran 2. Perkembangan volume penjualan benih buncis PT.A, 2013-2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 1,977.77 3,224.25 546.43
Sumbar - Riau 1,644.67 2,025.88 910.72
Jambi 1,165.84 1,637.35 364.29
Sumsel 3,539.16 4,200.60 1,548.22
Babel - Kepri 568.35 471.78 273.22
Bengkulu 2,369.16 2,318.53 910.72
Lampung 2,210.94 2,681.83 910.72
Jabar - Banten 699.5 761.91 273.22
Jateng - DIY 1,829.95 1,521.30 819.65
Jatim 776.53 1,672.67 819.65
Papua - Maluku 1,365.70 2,003.17 819.65
Bali - Nusra 189.45 80.73 91.07
Sulawesi 2,071.45 1,362.36 364.29
Kalimantan 403.88 1,266.49 455.36
Total 20,818.60 25,228.85 9,107.20 Sumber : PT.A, 2016
35
Lampiran 3. Perkembangan volume penjualan benih cabe keriting PT.A, 2013-
2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 51.00 95.37 34.61
Sumbar - Riau 42.41 59.92 57.69
Jambi 30.06 48.43 23.08
Sumsel 91.26 124.25 98.07
Babel - Kepri 14.65 13.95 17.31
Bengkulu 61.09 68.58 57.69
Lampung 57.01 79.33 57.69
Jabar - Banten 18.04 22.54 17.31
Jateng - DIY 47.19 45.00 51.92
Jatim 20.02 49.48 51.92
Papua - Maluku 35.21 59.25 51.92
Bali - Nusra 4.88 2.39 5.77
Sulawesi 53.41 40.30 23.08
Kalimantan 10.41 37.46 28.84
Total 536.81 746.24 576.89
Sumber : PT.A, 2016
Lampiran 4. Perkembangan jumlah barang inventaris PT.A, 2013-2015
No. Jenis Barang Jumlah (unit)
Keterangan 2013 2014 2015
1. Gudang penyimpanan terkendali 2. Mesin brushing 1 1 1
3. Mesin blowup 1 1 1 4. Mesin air seperator 1 1 1
5. Mesin pewarna 1 1 1
6. Mesin labeling switch 1 1 1 7. Mesin horizontal packing 1 1 1 8. Mesin vertikal packing 1 1 1 9. Kolam limbah prosessing - - 1 10. Phytopatologi
Laminar 1 1 1
Autoclaf 1 1 1
Microskop 1 1 1
Micropipet (set) 1 1 1
Screen house 1 1 1 Uk. 10 x 10 M2
11. Lab. quality control
Magnifer lampu 1 1 1
Timbangan digital and 1 1 1
Moisture meter keet 1 1 1
Mousiture meter gmk 1 1 1
Oven memert 1 1 1
Grinder 1 1 1
Desikator 1 1 1
Devaider 1 1 1
36
Truck pengiriman 1 1 2
Mobil 5 5 9
Motor 3 4 5
12. R & D
Screen house 2 3 5 luasan 24 x 8 M2
Lahan R & D 3 ha 3 ha 3 ha
Traktor 1 1 1
Lahan R & D Jember 0.25 ha 0.25 ha 0.25 ha
13. Produksi
Mesin prosesing cabe 1 1 2
Mesin prosesing bayam 2 2 4
Semangka - - 1
Mesin cuci 4 4 4
Screen house - - 3
Mesin grading 2 2 2
Mesin blower 3 3 3
Mesin treser 2 4 6
Luasan lahan petani mitra 200 ha 230.5 ha
235.5
ha 14. Sumber Daya Manusia (SDM)
Staff 90 org 94 org 99 org
Karyawan harian 40 org 45 org 58 org
Sumber : PT. A, 2016
Lampiran 5. Perkembangan produksi, luas areal, dan produktivitas komoditas unggulan hortikultura, 2008-2012
Jenis Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (ton)
Bawang Merah 853,615 965,164 1,048,934 893,124 964,195
Cabe Besar 695,707 787,433 807,160 888,810 954,310
Cabe Rawit 457,353 591,294 521,704 594,204 702,214
Jeruk 2,467,632 2,131,768 2,026,689 1,818,949 1,611,768
Luas Areal (ha)
Bawang Merah 91,339 104,009 109,634 93,667 99,519
Cabe Besar 109,178 117,178 122,755 121,063 120,275
Cabe Rawit 102,388 116,726 114,350 118,707 122,091
Jeruk 68,673 60,190 57,026 51,688 51,795
Produktivitas (ton/ha)
Bawang Merah 9.35 9.28 9.57 9.54 9.69
Cabe Besar 6.37 6.72 6.58 7.34 7.93
Cabe Rawit 4.47 5.07 4.56 5.01 5.75
Jeruk 35.93 35.42 35.54 35.19 31.12
Sumber : Pusdatin Kementerian Pertanian, Statistik Pertanian 2012 dan 2014
37
Lampiran 6. Perkembangan ekspor, impor, dan neraca perdagangan komoditas
hortikultura Di Indonesia, 2008-2014
Tahun
Ekspor Impor Neraca
Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(000 ton) (US$ juta) (000 ton) (US$ juta) (000 ton) (US$ juta)
2008 524.5 433.9 1,430.0 1,632.2 (905.5) (1,198.3)
2009 447.6 379.7 1,524.7 1,077.5 (1,077.1) (697.7)
2010 364.1 390.7 1,560.8 1,293.0 (1,196.7) (902.2)
2011 381.6 491.3 2,052.3 1,686.1 (1,670.6) (1,194.8)
2012 384.8 472.9 2,064.3 1,755.0 (1,679.4) (1,282.1)
2013 357.3 422.5 1,542.7 1,529.4 (1,185.4) (1,106.9)
2014 433.3 512.2 1,646.5 1,632.2 (1,213.2) (1,120.0)
Sumber : Pusdatin Kementerian Pertanian (data BPS diolah)
Keterangan : ( ) angka negatif
top related