catatan - jejakrahman.files.wordpress.com · ayat-ayat allah yang bisa kita saksikan ada dua macam:...
Post on 22-Mar-2019
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Catatan :
1. Buku KAIS I tentang Ma’rifatullah ini hanya bersifat referensi dan pembantu semata
untuk menambah wawasan tentang ma’rifatullah. 2. Untuk teknis penyampaian materi diserahkan kepada tiap kakak bina karena tiap
orang mempunyai cara penyampain sendiri, akan tetapi harus mengikuti kepada poin
– poin silabus yang telah dibuat dan tujuan dari KAIS tentang ma’rifatullah harus
tercapai.
BAB I
PENTINGNYA MENGENAL ALLAH
(AHAMMIYYATU MA’RIFATULLAH)
1.1 Definisi Ma’rifatullah
Secara bahasa ma’rifatullah artinya yaitu mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagai
muslim, istilah mengenal hanya tidak cukup tapi istilah ma’rifatullah dapat diartikan
mengenal Allah Azza wa Jalla dengan nama – nama-Nya yang maha indah, sifat – sifat-Nya
yang maha terpuji sebagaimana dijelaskan dalam Al – Qur’an dan hadist tanpa at-tahrîf
(menyelewengkan maknanya yang benar), at-ta’thîl (menolak/ mengingkarinya), at-takyîf
(membagaimanakannya) dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak boleh menyifati Allâh Azza
wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya (dalam
al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-
hadits yang shahih), kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.”
(Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (5/26)).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar)
adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal
perbuatan-perbuatan-Nya.”
(Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104)).
Tidak akan mungkin seorang hamba bisa beribadah kepada-Nya dengan rasa cinta,
mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya tanpa dia mengenal
kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahasempurnaan sifat-sifat-Nya yang semua ini
menunjukkan betapa Allâh maha agung dan maha tinggi. Dia satu-satunya yang berhak
dibadahi dan tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Azza wa Jalla.
(Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 10).
Salah seorang Ulama salaf mengungkapkan makna ini dalam ucapannya, “Sungguh
kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini,
padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” Lalu ada yang
bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini ?” Ulama itu menjawab, “Cinta
kepada Allâh, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu
dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”
(Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighâtsatul Lahfân (1/72)).
1.2 Ahammiyah Ma'rifatullah (Pentingnya mengenal Allah)
Ada Riwayat yang menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilaksanakan dalam
agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma'rifatullah). Dengan mengenal Allah, kita akan
mengenal diri. Siapakah kita? Bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan makhluk-
makhluk lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang? Apakah tanggungjawab kita
dan ke manakah akhir hidup kita? Semua pertanyaan itu akan terjawab secara tepat setelah
kita mengenal Allah sebagai Rabb dan Ilah Yang Mencipta, Yang Menghidupkan, Yang
Mematikan dan seterusnya.
Dengan mengenal Allah, kita akan mendapatkan banyak keuntungan di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu sangat perlu kita mengenal Allah. Selain itu, perlunya mengenal
Allah karena begitu banyak dalil yang terhampar di sekitar kita yang tidak mungkin dinafikan
baik secara akal sehat ataupun dengan berbagai pendekatan ilmu.
a. Mengenal Allah hukumnya wajib
Artinya :
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
(QS. Muhammad (47) : 19)
Ayat diatas mengarahkan kepada kita dengan kalimat "Fa'lam annahu" (ketahuilah oleh
mu) bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk
mukminin dan mukminat. Apabila Al – Qur’an menggunakan sighah amar (perintah) maka
wajib bagi kita menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau
mengenali Allah (makrifatullah) adalah wajib.
b. Allah menyatakan bahwa tiada tuhan melainkan Allah.
Artinya :
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. Ali ‘Imran (3) : 18)
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia dan telah mengakui pula para
malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada
tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
c. Allah menjanjikan bagi hamba-Nya yang mengingkari Allah dengan api neraka.
Artinya :
“Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu
melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir
mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka.
Katakanlah: "Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu
neraka?" Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu
adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah
(pulalah) yang disembah.”
(QS. Al – Hajj (22) : 72 -73)
Allah telah menjanjikan mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dengan api neraka.
Karena itu mengenal Allah dengan mentadaburi ayat – ayat-Nya adalah sangat penting dan
utama agar selamat dari api neraka.
d. Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
Artinya :
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”
(QS. Az – Zumar (39) : 67)
Orang-orang kafir tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya
karena mereka salah dalam mengenal Allah. Ayat ini mengajak kita agar tidak salah
mengagungkan terhadap hakikat ketuhanan Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu kita
harus shahih dan tepat dalam ma’rifatullah.
1.3 Tema Pembahasan ma’rifatullah
Pembahasan mengenai ma’rifatullah adalah berbicara tentang Rabb, Malik, Ilah dan
Asma wa Sifat. Kata Rabb dalam Al – Qur’an berarti bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemilik,
Pemelihara dan Penguasa. Kata Malik berarti bahwa Allah sebagai Raja. Kata Ilah
mengandung arti bahwa Allah-lah yang paling dicintai, paling ditakuti dan sebagai sumber
pengharapan. Dan kalimat Asma wa Sifat menerengkan bahwa dalam mengenai Allah
dengan nama – nama dan sifat – sifat-Nya.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah
mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-
perbuatan-Nya.”
(Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104)).
1.4 Manfaat Ma’rifatullah
Hasil dari pengenalan kepada Allah adalah bertambahnya iman dan takwa sehingga
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Dengan mengenal Allah maka kita akan
mendapatkan beberapa manfaat seperti :
a. Al Hurriyah (Kebebasan)
Mengenal Allah berarti menyerahkan dirinya dan semua urusannya kepada Allah.
Dengan mengenal Allah akan timbul keyakinan kepada taqdir dan menjadikan diri
kita hanya bergantung kepada sang Pencipta saja. Dengan demikian kita menjadi
bebas dari segala tuntutan hawa nafsu yang dapat membelenggu diri kita dan juga
lepas dari segala ikatan yang membuat kita sangat bergantung dan menjadi tidak
aman.
Artinya :
“Orang – orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al – An’aam (6) : 82)
b. Thuma’ninah (Memberikan ketenangan)
Mengenal Allah akan menuntut kita untuk ingat kepadaNya melalui dzikir
dan menjalankan ibadah. Ketenangan akan diperoleh dengan mengingatNya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang beriman akan
mendapatkan ketentraman hati.
Bahkan dalam surat yang lain disebutkan bahwa hanya dengan mengenal Allah, hati
menjadi tenang. Cara lain selain mengingat Allah, hati belum tentu tenang dan
tentram. Dengan demikian kepentingan kita mengenal Allah adalah untuk
kepentingan kita sendiri.
Artinya :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”
(QS. Ar – Ra’d (13) : 28)
c. Al Barakat (Keberkahan)
Allah akan melimpahkan keberkahan kepada manusia yang beriman dan bertaqwa, ini
merupakan janji Allah. Iman dan taqwa hanya diperoleh dari pengenalan dan
pemahaman kita kepada Allah dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Artinya :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.”
(QS. Al – A’raaf (7) : 96)
d. Al Hayatul Thayibah (kehidupan yang baik)
Kehidupan yang baik untuk diukur dari materi. Banyak mereka yang mempunyai
kecukupan dan kelebihan materi tetapi tidak mendapatkan kehidupan yang baik.
Hidup mereka susah, tidak tenang, tidak tentram, gelisah dan merasakan kekurangan
terus menerus.
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang tenang walaupun tidak mempunyai
kecukupan materi, kita mempunyai kedamaian hati. Dapat mengatasi berbagai
masalah kehidupan manusia dan dunia dengan iman dan amal shaleh.
Artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. An – Nahl (16) : 97)
e. Al Jannah (Syurga)
Kepentingan mengenal Allah juga akan mengantarkan kita ke surga. Mengimani Allah
mesti diikuti dengan melaksanakan amal shaleh. Misalnya kita telah mengenal Allah
tentang berbagai kebaikanNya yang diberikan kepada manusia seperti rezki,
kesehatan, kehidupan, anak, pekerjaan, makan, minum dan banyak lagi kebaikan Allah
lainnya. Dengan mengenal kebaikan Allah maka sangat tidak wajar kita tidak berterima
kasih dan tidak bersyukur kepada Allah, oleh karena itu rasa syukur kita perlu
diwujudkan dalam amal shaleh dan ibadah.
Artinya :
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik,
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan
muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah
penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Yunus (10) : 25 – 26)
f. Nardhatillah (Keridhaan Allah)
Seorang yang mengenal Allah akan selalu mengharap ridha-Nya dalam setiap
perbuatannya, dalam perjalanan hidupnya ia tidak akan berbuat sesuatu kecuali bila
hal itu diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lain halnya dengan orang yang tidak
mengenal Allah. Ia berbuat berdasarkan kemauan syahwat dan kehendak hawa
nafsunya. Jadilah hawa nafsunya Tuhan selain Allah, yang memerintah dan
melarangnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan ridha kepada kita apabila kita ridha menjalankan
semua perintah-Nya. Salah satu bentuk keridhaan Allah kepada hamba-Nya adalah
dengan memberikan tiket ke syurga-Nya.
Artinya :
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya.”
(QS. Al – Bayyinah (98) : 8)
BAB II
CARA MENUJU MA’RIFATULLAH
(ATHTHARIIQ ILA MA’RIFATILLAH)
2.1 Memahami bahwa Jalan mengenal Allah adalah melalui ayat-ayat-Nya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di
hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama
makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti
itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir
tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah
inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang
kebesaran Allah.
2.2 Ayat-ayat
Ayat-ayat Allah yang bisa kita saksikan ada dua macam:
a. Ayat Allah yang ada di Al-Qur’an (Ayat Qauliyah).
b. Ayat Allah yang ada di alam semesta (Ayat Qauniyah).
a. Ayat Qauliyah
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di
dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, ajaran-ajaran konsep hidup,
peraturan yang lengkap adalah merupakan mu'jizat yang nyata yang menunjukan akan
adanya Allah.
Artinya :
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang
aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”.
(QS. At – Tin (95) : 1 – 5)
b. Ayat Qauniyah
Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah.
Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di
dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala
sistem dan peraturan-Nya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan
Penciptanya. Hal tersebut dapat dilihat pada QS. Nuh (41): 53 berikut :
Artinya :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?”.
(QS. Nuh (41) : 53)
Sesungguhnya banyak sekali fenomena – fenomena yang yang menunjukkan kebesaran
Allah. Di antara sesuatu yang wajib diterima akal adalah bahwa setiap sesuatu yang ada pasti
ada yang mengadakan. Begitu juga alam semesta ini, tentu ada yang menjadikannya.
Artinya :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?”
(QS. Ath – Thuur (52) : 35)
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan
awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS. Al – Baqarah (2) : 164)
Artinya :
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. Adz – Dzaariyat (51) : 20 – 21)
2.3 Metode Islam
Memahami pendekatan dalam mengenal Allah menggunakan metode Islam, diantaranya
sebagai berikut :
a. Naqli dan Akal
Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini,
manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan
akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup
terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur (anasir) hawa nafsu dan zhan (prasangka).
Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan
pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar
apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada
beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya :
“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan
kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah,
“Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
(QS. Yunus (10) : 100-101)
Artinya :
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai
orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatan kepadamu.”
(QS. Ath-Thalaaq (65): 10)
Artinya :
“Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
(QS. Al-Mulk (67): 10)
b. Tasdiq (membenarkan)
Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang
sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi
ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm (53): 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya
mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya). Hati mula membenarkan dan akur
kepada kebijaksanaan Tuhan.”
Artinya :
“ (Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS. Ali Imran (3): 191)
Artinya :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya.”
(QS. Qaf (50) : 37)
c. Menghasilkan Iman.
Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara
berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah Azza Wa Jalla. Iman
seseorang bisa dikatakan bagus dengan salah satunya beriman kepada Allah. Unsur iman
merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
2.4 Metode Selain Islam
Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir
dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya.
Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya
metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan (natijah) yang sebenar karena bayang-bayang
khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang
berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha,
dan seumpamanya.
a. Dugaan dan Hawa Nafsu
Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang
benar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat
tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih. Hal tersebut dapat dilihat
pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu
sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang
kamu menyaksikannya.”
(QS. Al-Baqarah (2): 55)
Artinya :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Yunus (10) : 36)
Artinya :
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-An’am (6) : 115)
b. Ragu-Ragu
Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat
tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya.
Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak
menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin
Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang
dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan
itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
Artinya :
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an,
hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada
mereka azab hari kiamat.”
(QS. Al – Hajj (22) : 55)
Artinya :
“Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku
zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. An-Nur (24) : 50)
c. Berakibat Kufur
Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu
mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara', kufur adalah tidak
beriman kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, baik dengan mendustakannya
atau tidak mendustakannya.
BAB III
PENGHALANG MENGENAL ALLAH
(AL MAWANI’ FII MA’RIFATULLAH)
Artinya :
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
(QS. Al A’raf (7) : 172)
Secara fitrah, semua manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya, jauh sebelum ia
dilahirkan. Yang menghalangi manusia dari mengenal Allah adalah sifat-sifat manusia itu sendiri
seperti yang Allah sebutkan dalam Qur’an .
Artinya :
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh
beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)”
(QS. Asy Syam (91) : 8 – 9)
Sifat-sifat penghalang mengenal Allah berasal dari 2 sumber:
1. Sifat yang berasal dari penyakit syahwat
- Fasiq
Yaitu sifat seorang muslim yang secara sedar melanggar ajaran Allah (Islam) atau
dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tetapi dalam tindak perbuatannya
mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerosakan
dan kemaksiatan.
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang
lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa
perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan:
"Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dengan perumpamaan
itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak
orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-
orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka)
untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi.”
(QS. Al – Baqarah (2) : 26 – 27)
Artinya :
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al Hasyr (59) : 19)
- Sombong
Sombong adalah sifat yang menganggap dirinya lebih dengan meremehkan orang lain.
karenanya orang yang takabbur itu seringkali menolak kebenaran, apalagi bila
kebenaran itu datang dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya.
Artinya :
“Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman
kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri
adalah orang-orang yang sombong.” (QS. An Nahl (16) : 22)
Artinya :
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api
sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
(QS. Al A’raf (7) : 12)
Artinya :
“(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai
kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang
yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-
wenang.”
(QS. Ghafir / Al – Mu’min (40) : 35)
- Zalim
Zalim adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya dan zalim adalah
perbuatan menyakiti seseorang ataupun diri sendiri.
Artinya :
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.”
(QS. As Sajdah (32) : 22)
Artinya :
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta
terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang zalim.” (QS. As Shaff (61) : 7)
- Dusta
Dusta adalah sifat dimana memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan
ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau
mengangguk.
Artinya :
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah (2): 10),
(QS. Al Mursalat (77) : 10 – 19)
- Banyak dosa (QS. Al Mutaffiffin: 14) Hasil dari penyakit syahwat ini akan menyebabkan pelakunya mendapat murka Allah.
Penyakit ini dapat ia sembuhkan dengan ber-mujahadah (mendekat) kepada Allah.
2. Sifat yang berasal dari penyakit subhat ()
- Jahil atau bodoh (QS. Az Zumar (39) : 65)
- Ragu-ragu (Qs. Al Hajj (22) : 55)
- Menyimpang (Qs. Al Ma’idah (50) : 13)
- Lalai (Qs. Al A’raf (7) : 179)
Puncak atau akibat dari penyakit subhat ini sangat fatal. Karena akan menyebabkan
pelakunya berada pada kesesatan. Namun, ia dapat kembali kepada jalan yang lurus, saat
ia mau diobati dan mengobati jiwanya dengan ilmu.
BAB IV
BUKTI KEBERADAAN ALLAH
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan berbagai sarana dan jalan hingga kita dapat memiliki
kepercayaan kepada-Nya sampai kadar keyakinan yang ilmiah, sebagaimana keyakinan kita melihat
benda yang dapat ditangkap dengan indra.
Secara umum, ilmu ada dua katagori, yaitu ilmu dharuri (aksiomatis) dan ilmu nazhari
(teoritis). Ilmu dharuri adalah pengetahuan akan sesuatu yang tidak membutuhkan dalil, karena
keberadaannya dapat disentuh dengan indra. Ketika kita berada di dpn suatu masjid, kita tidak
memerlukan dalil untuk mengatakan bahwa masjid itu ada. Sedangkan ilmu yang hanya dapat
diperoleh dengan dalil disebut ilmu nazhari. Misalnya luas segitiga adalah setengah kali alas kali
tinggi (1/2 x a x t).
Dan sesungguhnya, fenomena alam dan perangkat kehidupan yang dianugerahkan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dapat menuntun kita pada ma’rifat kepada-Nya dengan ma’rifat yang sangat
dekat, sebagaimana ilmu dharuri yang dapat dilihat dengan mata kepala.
Berikut ini kita bahas dalil-dalil yang dapat menguatkan keyakinan kita akan keberadaan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
1. Ad dalil al fithri (dalil fitrah)
Ketika kita menghadapi musibah berat yang tak mampu kita hadapi, spontan kita akan
meminta perlindungan dan pertolongan kepada “kekuatan ghaib” di balik alam ini. Inilah ‘fitrah
imaniah’ (karakter dasar keimanan) yang pasti muncul pada saat-saat seseorang tidak sanggup
menghadapi ujian duniawi. (lihat QS. Az Zumar ayat 8, Ar Rum ayat 33, An Naml ayat 62, Al Ankabut
ayat 65, Lukman ayat 32, An Nahl ayat 53).
Dikatakan kepada Rabi’ah al Adawiyah, seorang tokoh muslimah ahli ibadah, bahwa seseorang
dapat menunjukkan seribu dalil akan adanya tuhan. Ia tertawa dan berkata, “Satu dalil sudahlah
cukup.” “Apa itu ?” tanya orang itu. “Kalau kamu berjalan di tengah padang pasir, lalu kakimu
tergelincir dan jatuh ke lubang sebuah sumur hingga tidak bisa keluar darinya, apa yang akan kamu
perbuat ?” tanya Rabi’ah. “Kami akan berkata, ya Allah,” jawabnya. “Nah, itulah dalil…,” tegas
Rabi’ah.
Demikianlah fitrah manusia. Dia memang diciptakan Allah Subahanahu Wa Ta’ala di atas fitrah
agama Allah, sehingga keimanan kepada Allah sesungguhnya telah bersemayam dalam hati setiap
insan, siapapun orangnya dan yang lahir dari siapapun.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum, 30: 30).
Dalil lain yang mendukung (QS. 7:172, 29:61, 43:9, 75:14-15)
2. Ad dalil al hassiy (dalil panca indera)
Panca indra manusia diciptakan sebagai alat untuk mengenal alam benda di sekitar kita.
Namun apa yang ada pada diri kita itu memiliki banyak sekali keterbatasan. Mata kita misalnya. Ada
hal-hal yang sebenarnya ada di dunia ini, tetapi mata tidak mampu melihatnya. Misalnya arus listrik,
udara, aroma dan sebagainya. Apa yang kita lihat juga kadang tidak menunjukkan fakta yang
sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan dalam segelas air terlihat patah padahal sebenarnya
tidak. Rel kereta api bila kita lihat semakin jauh terlihat bertemu pada satu ujung, padahal tidak
demikian faktanya. Lautan terjauh yang kita lihat seolah-olah bertemu dengan ujung dunia, padahal
realitanya tidaklah demikian.
Keterbatasan indra inilah yang justru menjadi dalil bahwa sesungguhnya di balik dunia yang
kita tangkap dengan indra masih terdapat dunia lain. Termasuk di dalamnya adalah dunia ghaib, di
mana Allah Subahanahu Wa Ta’ala termasuk bagian darinya. Dengan demikian, barangsiapa
mengingkari wujud Allah Subahanahu Wa Ta’ala hanya karena indra tidak menangkapnya, maka ia
harus juga mengingkari banyak sekali realita yang ada di dunia ini, yang tidak bisa ditangkap oleh
indra manusia. Benarlah apa yang Allah firmankan,
“ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am, 6: 103).
Dalil lain yang mendukung (QS. 54:1, 17:1, 8:9, 3:125, 36:37-40)
3. Ad dalil al ‘aqli (dalil akal)
Akal memiliki keistimewaan berupa kemampuan membuat kesimpulan dari data-data yang
tertangkap panca indra kita. Kesimpulan inilah yang akan menghadirkan berbagai hakikat penting
yang sangat dibutuhkan manusia dalam beragama.
Seorang Arab badui suatu ketika ditanya tentang keberadaan Allah, lalu dia menunjuk
seonggok kotoran onta sambil balik bertanya, ‘Tahukah Anda, kotoran apakah itu ?’ ‘Kotoran onta
jawabnya,’ jawabnya.
Sang badui kemudian bertanya lagi, ‘Apakah Anda melihat ontanya ?” “Tidak”, jawabnya. Sang
badui bertanya lagi, ‘Lalu, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa kotoran itu adalah kotoran onta,
tanpa Anda tahu ontanya ?” ‘Dengan melihat ciri-cirinya,” jawabnya lagi.
Sang badui kemudian berkata, “Lihatlah ke atas dan lihatlah alam semesta. Jika kotoran onta
menunjukkan adanya onta tanpa harus terlihat ontanya, apakah tidak cukup bahwa alam semesta ini
menunjukkan adanya pencipta tanpa harus terlihat sang pencipta ? Dialah Allah.”
Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman,
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),
“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa api neraka.” (QS. Ali Imron, 3: 190-191).
Dalil lain yang mendukung (QS. 41:53, 27:88, 87:1-4)
4. Dalil Naql
Pendekatan dalili akal hanya sampai pada kesimpulan akan adanya dzat ghaib yang berada di
balik alam semesta ini. Namun siapakah dia? Nash (teks) wahyu Al Quran memperkenalkannya
dengan sangat jelas. Ayat-ayat Al Quran telah menunjukkan kepada kita akan keberadaan Sang Maha
Pencipta. Ayat-ayat yang terangkai dalam Al Quran merupakan untaian mukjizat untuk menunjukkan
keberadaan-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat-Nya berikut ini ;
“Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia sengaja menciptakan Arsy. Dia tutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan
cepat. Matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Berkat Allah, tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raf, 7: 54).
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha, 20: 14)
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata.
Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Raja
yang Mahas Suci, yang Maha Sejahtera, yang mengkaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara,
yang Maha Perkasa, yang Maha Esa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk
rupa, yang Mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan
apa yang di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr: 22-24).
Dalil lain yang mendukung (QS. 4:82, 17:88, 30:1-3, 15:9, 47:4)
5. Ad dalil at tarikhi (dalil sejarah)
Peninggalan situs-situs sejarah yang masih dapat kita saksikan hingga kini, menunjukkan
adanya kepercayaan umat manusia akan keberadaan Tuhannya. Ritual haji di depan Ka’bah oleh
musyrikin Arab, candi Borobudur di Indonesia, Pagoda Songkla dan lainnya menunjukkan pengakuan
manusia akan adanya Sang Pencipta.
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka dapat
memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah menimpakan
kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS.
Muhammad,47: 10).
Dalil lain yang mendukung (QS. 3:137, 7:176, 12:111, 11:120)
BAB V
MENGESAKAN ALLAH (TAUHIDULLAH)
5.1 Tauhidullah
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat tentang keberadaan Allah, (Rabb)
yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan sifat kemuliaan, satu-satunya yang
berhak diibadahi. Iman kepada Allah merupakan asas dan inti ‘aqidah Islamiyah. Iman
kepada Allah meliputi beberapa cakupan, diantaranya; Iman terhadap Rububiyah-Nya, Iman
terhadap Mulkiyah-Nya, Iman terhadap Uluhiyah-Nya, Iman terhadap Asma wa Sifat-Nya.
5.1.1 Tauhid Rububiyatullah
Yaitu mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah, baik mencipta, memberi rezeki,
menghidupkan dan mematikan, serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa, dan Yang
mengatur segala sesuatu.
Dalil-dalil yang menunjukkan pembagian Tauhid Rububiyah
- QS. Al-Fatihah : 1
- QS Al-A’raf : 54
- QS Ar-Ra’d : 16
- QS Al-Mu’minum : 84-89
- QS Ghofir : 64
- QS Az-Zumar : 62
Penetapan Tauhid Rububiyah saja tidak menjadikan seseorang masuk, artinya
penetapan keislaman seorang muslim bukan hanya tauhid Rububiyah, karena kaum
Kandungan
Tauhid Rububiyah
Allah Sebagai Al-
Khaliq
Allah Sebagai Ar-
Raziq
Allah Sebagai Al-
Mudabbir
Musyrikin pun ternyata menetapkannya, akan tetapi itu tidak menjadikannya sebagian
Muslim (lihat QS Luqman : 25)
Imam Ibnul Qayyi rahimahullohu ta’ala berkata; “Seandainya keimana kepada tauhid
Rububiyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrik telah diselamatkan.
Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada tauhid
uluhiyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang-orang
mentauhidkan Allah.
5.1.2 Tauhid Mulkiyatullah
Yaitu mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah dalam segala perbuatan-Nya diakherat.
Caranya adalah menetapkan keesaan Allah dalam kekuasaan-Nya di akhirat, terutama
kekuasaan-Nya dalam menegakkan hari akhir, menyelesaikan segala urusan, menegakkan
keadilan dan membalas semua perbuatan. Tauhid mulkiyah mencakup seluruh keesaan Allah
dalam segala perbuatannya di akhirat.
Menegakkan dan menguasai hari pembalasan
Tidak ada keraguan bahwa Allah akan menegakkan hari kiamat, memusnahkan dunia dan
membangkitkan kembali manusia. Pada hari itu, kekuasaan sepenuhnya di tangan Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 26:
“Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan
adalah (hari itu), satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.”
Serta disebutkan pula dalam Al-Quran surat Ghafir ayat 16-17:
“(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur), tiada suatu pun dari keadaan mereka yang
tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari
ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Pada hari ini tiap-tiap jiwa
diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.
Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.”
Menyelesaikan semua urusan
Tentang keesaan Allah dalam hal kembalinya segala urusan untuk diputuskan, disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 210:
“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari
kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah
dikembalikan segala urusan.”
Serta yang utama adalah memutuskan perselisihan dalam perkara agama, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Jatsiyah ayat 17:
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan
(agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka
pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu
akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu
berselisih padanya.”
Menegakkan keadilan, membuat perhitungan dan membalas semua perbuatan
Tentang keesaan Allah dalam memberi hukuman dan perhitungan, disebutkan dalam Al-
Quran surat Al-An’am ayat 62:
“Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang
sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum hanya kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat
perhitungan yang paling cepat.”
Tentang keesaan-Nya dalam memberi balasan, pahala dan pertolongan, disebutkan dalam
Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 44:
“Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala
dan sebaik-baik Pemberi balasan.”
Konsekuensi
Tanda seseorang beriman kepada tauhid mulkiyah adalah ikhlas mengharapkan ampunan
dan balasan hanya kepada Allah. Sebab tidak ada yang dapat memberikan kebaikan dan
keselamatan di akhirat kecuali Allah. Serta tidak ada satupun makhluk yang mampu memberi
pertolongan tanpa izin dari-Nya. Adapun di antara dalil-dalilnya yaitu :
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka
hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah
mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai (Nya).” (QS. An-Najm : 24-26)
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang
(di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insan : 9-10)
Kedudukan tauhid mulkiyah dalam Islam
Tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar. Semua
cabang keimanan berasal dari tauhid dan kembali menuju kepadanya. Tauhid diibaratkan
batang utama sebuah pohon dimana cabang-cabang lain berasal darinya. Dalam sebuah
hadits disebutkan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Cabang paling utamanya adalah perkataan ‘laa
ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”
Setiap bagian tauhid memiliki kedudukan masing-masing termasuk tauhid mulkiyah. Dimana
tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang penciptaan manusia, tauhid rububiyah sebagai
modal bagi manusia, tauhid uluhiyah sebagai tugas bagi manusia sedangkan tauhid mulkiyah
sebagai balasan bagi manusia.
Dalil yang menunjukkan tentang balasan bagi orang yang bertauhid dan tidak, contohnya :
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh,
(bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (surga). Adapun orang-orang
yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (QS.
Al-Maidah : 9-10)
“Barangsiapa yang mati tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia
wajib masuk surga. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah
dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk neraka.” (HR. Muslim dari Jabir)
5.1.3 Tauhid Uluhiyahtullah
Yakni mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah dengan segala bentuk ibadah yang
nampak maupun tersembunyi, dengan ucapan maupun amalan, serta meniadakan segala
bentuk ibadah kepada selain Allah.
Pentingnya (Kedudukan) Beriman Kepada Tauhid Uluhiyah
- Jin dan manusia diciptakan untuk merealisasikan tauhid Uluhiyah. (QS Adz-Dzariyat: 56)
- Para rasul dan kitab-kitab diturunkan untuk menyeru kepada tauhid Uluhiyah. (QS An-
Nahl : 36)
- Tauhid Uluhiyah pembeda antara orang-orang yang bertauhid dan orang musyrik. (QS
Az-Zukhruf : 9)
- Sebab inti permusuhan antara para Rasul dengan kaumnya adalah dalam hal Tauhid
Uluhiyah.
Mengenal Kalimat Laa ilaahaillallah
Makna Kalimat
Yakni tiada tuhan yang berhak disembah (diibadahi) kecuali Allah. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan dia mengerti bahwa tidak ada sesembahan
yang haq kecuali Allah, niscaya ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Rukun-rukun
Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu (peniadaan) dan Al-Itsbat
(penetapan).
- An-Nafyu
Yakni menafikan (meniadakan) ibadah kepada selain Allah dan pembatalan
kemusyrikan serta kewajiban mengingkari segala apa disembah selain Allah.
- Al-Itsbat
Yakni menetapkan bahwa ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah semata, serta
meng-Esa-kan-Nya dalam segala bentuk dan macam ibadah. (lihat QS Al-Baqarah :
256)
Syarat-syarat
Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 7 syarat yaitu ilmu, yakin, inqiyad (patuh), shidq
(jujur), ikhlas, dan mahabbah (cinta).
- Ilmu, yakni mengetahui makna kalimah ‘Laa ilaahaillallah.’ (QS Muhammad : 19]
- Yakin, hendaknya orang-orang yang mengucapkannya yakin. (QS Al-Hujarat:15)
- Qabul (menerima), apa yang ditunjukkan oleh makna kalimat tersebut. (QS As-
Shaffat : 35-36)
- Inqiyad (patuh) terhadap makna yang ditunjukkannya. (QS Luqman : 22)
- Shidq (jujur), hendaknya orang-orang yang mengucapkan kalimat ini benar-benar
jujur dari dalam hatinya.
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan Yang Berhak disembah
melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya secara jujur
dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkan dirinya dari Neraka.” (HR Bukhari-
Muslim)
- Ikhlas, membersihkan amal dari segala debu syirik yaitu dengan cara tidak
mengucapkan kalimat tersebut karena tujuan duniawi.
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan ‘laa
ilaaha illallah’ (dengan ikhlas dari hatinya) karena mengrapkan (pahala melihat)
wajah Allah.” (HR Bukhari-Muslim)
- Mahabbah (cinta), cinta terhadap kalimat tersebut dan memahami isinya. (QS Al-
Baqarah : 256)
Pengertian Ibadah
Yakni sebutan nama yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridhoi Allah, baik
yang dzohir ataupun yang bathin. Ibadah adalah perkara taufiqiyah, artinya tidak ada suatu
bentuk ibadahpun yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan apa
yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak). Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak atas perintah kami, maka ia
ditolak.” (HR Bukhari-Muslim)
Ibadah digolongkan menjadi 3 bagian ibadah yakni, ibadah hati, ibadah lisan serta
ibadah anggota badan.
Contoh Ibadah Hati, seperti
- Khauf (takut)
- Raja’ (berharap)
- Tawakkal, berpasrah kepada Allah
- Raghbah, berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang ia cintai
- Rahbah, perasaan cemas yang menimbulkan keinginan untuk melarikan diri dari yang
ditakutinya. Ini adalah rasa yang ditakuti dengan perbuatan.
- Khsyu’
- Dan lain-lain
Contoh Ibadah Lisan, seperti
- Takbir
- Tasbih
- Tahmid
- Tahlil
- Dan lain-lain
Contoh Ibadah Anggota Badan
- Shalat
- Puasa
- Zakat
- Haji
- Dan lain-lain
Paham-paham yang salah dalam masalah Ibadah
Tafrith
Yakni yang mengurangi masalah ibadah serta meremehkan pelaksanaanya.
Ifrath
Yakni berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai batas ekstrim, yang sunah mereka
angkat sampai wajib, sebagaimana yang mubah sampai menjadi haram.
Syarat diterimanya amal ibadah terdapat 2 yaitu ikhlasunniat (niat yang ikhlas) dan
Ittiba’ u Rasul (mengikuti contoh dari Rasulullah).
Tiga pilar sentral landasan dalam ibadah meliputi Khauf/takut (QS 17 : 57),
raja’/berharap (QS 17 : 57) dan Mahabbah/Cinta (QS Al-Baqarah : 165, QS 5 : 54)
5.1.4 Tauhid Asma wa Sifat
Yakni mentauhidkan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya tanpa tahrif,
ta’thil, tamsil, takyif dan tafwidh.
Tahrif, merubah dari makna yang sebenarnya tentang nama dan sifat Allah.
Ta’thil, meniadakan seluruh atau sebagian dari nama-nama dan sifat Allah
Tamsil, menyamakan atau menyerupakan nama-nama dan sifat Allah dengan
makhluknya.
Takyif, menanyakan sifat-sifat Allah (kaifa) yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunah.
Tafwidh, menyerahkan nama dan sifat Allah seluruhnya kepada Allah.
Kaidah-kaidah umum dalam memahami tauhid Asma’ wa Sifat meliputi :
- Wajibnya beriman dengan seluruh nama-nama dan sifat Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih.
- Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat Allah.
- Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut, seperti bagaimana
Tangan Allah, Wajah Allah, dan lain-lain.
Mengenal pembagian sifat-sifat Allah
Pertama, Sifat Tsubutiyah
Yakni setiap sifat yang ditetapkan Allah bagi Diri-Nya didalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Semua sifat ini adalah sifat kesempurnaan, seperti Hayaah (Hidup), Ilmu
(Mengetahui), Nuzul (Turun), Qudrah (Berkuasa), dan sifat lainnya yang merupakan sifat
kesempurnaan Allah.
Sifat Tsubutiyah tergolong menjadi dua macam;
- Sifat Dzaatiyah, yakni sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada diri Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
- Sifat Fi’liyah, yakni sifat yang terikat dengan masyi’ah (kehendak Allah), seperti Istiwa,
Nuzul.
Kedua, Sifat Salbiyah
Yakni setiap sifat yang dinafikan (ditolak) Allah bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an dan As-
Sunah. Dan seluruh ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, seperti Maut, Naum,
Jahl, Nis-yan, ‘Ajz, Ta’ab, dan sifat-sifat lainnya yang tertolak bagi Allah.
5.2 Tauhidul ‘Ibadah
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia,
karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal, menurut tuntunan Islam, tauhidullah yang
akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagian yang hakiki di
alam akhirat nanti. Dan amal yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, tidak
dikabulkan oleh Allah dan lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan
menyengsarakannya didunia dan diakhirat. Sebagaimana Allah berfirman :
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada (nabi-nabi) sebelum kamu, jika kamu
mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS Az-Zumar: 65-66]
Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini
adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud
(keberadaan)Nya dan wahdaniyah (ke-Esa-an)Nya dan bukan pula sekedar mengenai ‘Asma
dan sifatNya. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui ke-Esa-an
dan ke Mahakuasaan Allah dengan permintaanya kepada Allah melalui ‘Asma dan sifat-Nya.
Kaum Jahiliah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa Pencipta, Pengatur,
Pemelihara dan Penguasa alam semesa ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman :
“Dan sesunggunya jika kamu tanyakan kepada mereka; ‘Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab ‘Allah’” [QS Lukman: 25]
Namun kepercayaan mereka dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka
sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Dari sini lalu
timbullah pertanyaan, “Apakah hakikat tauhid itu?”
Hakikat Tauhid, ialah pemurnian ibadah kepada Allah (tauhidul ‘ibadah), yaitu;
menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen, dengan menaati
segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dengan penuh rendah diri, cinta,
harap, dan takut kepadaNya. Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan. Dan
sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid. Mulai Rasul yang pertama,
Nabi Nuh, hingga Rasul terakhirm Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” [QS
Adz-Dzariyat: 56]
“Dan sesungguhnya Kamu telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaugat.” [QS An-Nahl: 36]
Tauhidul ‘ibadah adalah ikhlasul ibadah (memurnikan ibadah) hanya dengan untuk
Allah saja. Peng-Esa-an Allah dan ikhlasul ibadah hanya akan tercapai dan benar apabila
memenuhi konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” yaitu menolak segala bentuk ilah
dan hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah, tiada sekutu bagi-Nya. Karena itu
tauhid ‘ibadah baru akan tercapai apabila dilakukan dengan dua sayapnya yaitu :
Mengingkari Thaghut
Kata thaghut diambil dari thagha yang berarti melampui batas. Menurut Imam Ibnu
Taimiyah, thabhut segala sesuatu yang disikapi sebagaimana sikapnya kepada Allah, baik
berupa jin, manusia, maupun makhluk lainnya. Demikian itu karena sesungguhnya yang
berhak mendapatkan peribadatan hanyalah Allah. Ketika ada dzat lain yang mendapat
perlakuan sebagaimana Tuhan atas permintaanya atau diperlakukan oleh pihak lain
padahal tidak pantas mendapat perlakuan demikian, maka itulah perlakuan yang
melampaui batas hingga ia disebut thaghut.
Untuk menjamin kemurnian tauhidul ‘ibadah, penolakan terhadap thaghut harus
dilakukan secara preventif-antisipatif sehingga setiap muslim diperintahkan untuk
menjauhi thaghut agar tidak terlibat dalam kemusyrikan, betapa pun kecil dan samar.
Diantara karakteristik orang yang bertaqwa adalah menjauhi thaghut. Sebagaimana Allah
berfirman:
“Diatas mereka ada lapisan-lapisan dari api dan dibawahnya juga disediakan lapisan-
lapisan yang disediakan bagi mereka. Demikianlah Allah mengancam hamba-hamba-Nya
(dengan azab itu). “Wahai hamba-hamba-Ku, maka bertakwalah kepada-Ku. {16} Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, mereka pantas mendapat kabar gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira
itu kepada hamba-hamba-Ku. {17} (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.
{18}” [QS Az-Zumar: 16-18]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa kemusyrikan itu lebih
tersembunyi disbanding bekas tapak kaki seekor semut hitam diatas batu karang
dikegelapan malam. (HR. Ahmad)
Iman Kepada Allah
Diatas penolakannya terhadap thaghut itu, manusia harus membangun imannya
kepada Allah. Demikian itu karena apabila ia hanya menolak tuhan-tuhan tapi tidak
percaya kepada Tuhan yang satu, pada saat itu ia disebut atheis. Saat itu ia telah
mempertuhankan dirinya sendiri, berarti ia telah thaghut (melampaui batas) dan inilah
yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ia memandang dirinya serba
cukup.” [QS Al-‘Alaq : 6-7]
Iman yang hanya diberikan kepada Allah haruslah diwujudkan dalam bentuk ibadah
(penghambaan) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Misi pembebasan
manusia dari pengambaan atas sesama (makhluk) kepada penghambaan Allah inilah
yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
“Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk
menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’, kemudian diantara mereka ada
yang diberi petunjuk oleh Allah da nada ppula yang tetap dalam kesesatan. Maka
berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang
mendustakan (rasul-rasul).” [QS An-Nahl: 36]
Dengan dua sayap tauhid inilah, pemurnian ibadah hanya kepada Allah dapat dicapai,
dengannya pula seseorang disebut telah berpegang pada tali yang kokoh.
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat
kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah :
256]
5.3 Akhtar Asy-Syrik (Bahaya Syirik)
Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah dan
disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah.
Thaghut
Al-Allamah Ibnu Qayyim telah mendefinisikan Thaghut secara menyeluruh, dia berkata:
Thaghut adalah segala apa saja yang disikapi seorang hamba dengan melampaui batas
padanya, baik dalam bentuk sesembahan, atau yang diikuti, atau yang ditaati.
Thaghut adalah segala sesuatu yang diabdi selain Allah dan dia ridho diibadahi.
Artinya :
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat
dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).”
(QS. Al – Alaq (96) : 6 – 8)
Macam – macam thaghut
1. Syetan (QS. Yaasiin (36) : 60, An –Nisaa (4) : 118, Ibrahim (14) : 22)
2. Pemerintah Zalim (QS. Al – Ma’idah (5) : 44, 45, 47)
3. Hukum Jahiliyah (QS. An – Nisaa (4) : 60, Al – Ma’idah (5) : 50)
4. Dukun dan tukang sihir (QS. Al – Jin (72) : 6, Al – Baqarah (2) : 102)
5. Berhala (QS. An – Nisaa (4) : 117, Ibrahim (14) : 35-36)
Bahaya syirik
1. Kedzaliman yang besar (QS. Luqman (31) : 13)
2. Tidak mendapat ampunan (QS. An – Nisaa (4) : 48)
3. Kesesatan yang jauh (QS. An – Nisaa (4) : 60 & 116)
4. Diharamkan surga (QS. Al – Ma’idah (5) : 72)
5. Masuk neraka (QS. Al – Ma’idah (5) : 72)
6. Dihapuskan amal (QS. Az – Zumar (39) : 65, Al – An’am (6) : 88)
REFERENSI :
1. Materi akidah Islamiyah PPM Daarut Tauhiid oleh Abu Nida’ Mardais Al – Hilali
2. Kitab Tauhid Karangan Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab
3. Dakwatuna.com. 2008. Ma’rifatullah bagian 2.
http://www.dakwatuna.com/2008/03/22/443/marifatullah-bagian-2/#ixzz3r3fxuOj0 .
Diakses : 07-11-2015
4. Al-Qur’an Sunnah. 2015.Kufur.http://www.alquran-sunnah.com/audio-kajian/hadits-
akhlaq/58-tauhid-3/bab-i/627-13-kufur-definisi-dan-jenisnya. Diakses: 07-11-2015
5. dll
top related