bab ii tinjauan pustaka 2.1 landasan teori 2.1.1 koleksi...
Post on 06-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Koleksi Seni
Menurut US GAAP, koleksi karya seni memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Dimiliki untuk pameran publik, pendidikan, atau penelitian lanjutan untuk
pelayanan publik daripada keuntungan finansial
2. Dilindungi, kept unencumbered, dirawat untuk, dan dipelihara
3. Tunduk pada kebijakan entitas yang mensyaratkan hasil dari penjualan item
koleksi yang akan digunakan untuk memperoleh item koleksi lainnya.
Sedangkan menurut Soedarso (1988) karya seni memiliki arti sebagai berikut :
1. Karya manusia yang mengandung kualitas dan nilai estetis
2. Aneka keahlian yang didapatkan dari pengalaman yang memungkinkan
sesorang memiliki kecakapan membuat, menyusun dan merencanakan sesuatu
secara sistematis dan tujuan mengungkapkan makna kejiwaan dan untuk
mencapai hasil-hasil yang menyenangkan sesuai dengan prinsip-prinsip estetis,
baik secara intuitif maupun kognitif.
Karya seni sendiri menurut Caecilia S dan Widia P (2014) memiliki tiga
kategori utama yaitu :
13 a. Seni rupa, yang merupakan suatu konsep atau bentuk seni yang diciptakan
untuk memenuhi kebutuhan fungsi ekspresi dan fungsi terapan melalui berbagai
medium dalam wujud dua dimensi, tiga dimensi, atau multidimensi yang dapat
direspons secara indrawi oleh publik seni. Seni rupa sendiri digolongkan
kedalam kategori sebagai berikut.
• Seni murni, dimana penciptaannya mengutamakan unsur gagasan dan
kebebasan ekspresi, perasaan/emosi, dan imajinasi dari seniman.
• Seni terapan, yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia yang berkaitan dengan fungsi komunikasi, fungsi pakai, dan
fungsi hias.
• Seni pertunjukan, yang merupakan suatu konsep atau bentuk seni yang
diciptakan oleh seorang seniman dan dipentaskan di hadapan penonton
di sebuah panggung atau daerah pertunjukan oleh seorang atau
sekumpulan orang sebagai seniman pelaku yang didukung oleh media
intrinsik serta media ekstrinsik. Seni pertunjukan sendiri memiliki
kategori seperti seni tari, seni musik, seni teater, film, dll.
b. Seni sastra, yang merupakan suatu konsep atau bentuk seni yang merupakan
ekspresi penghayatan dan pengalaman batin si penutur terhadap masyarakat
dalam suatu situasi dan waktu tertentu. Seni sastra dapat berupa prosa, puisi,
dll.
c. Seni pertunjukan adalah suatu konsep atau bentuk seni yang diciptakan oleh
seorang seniman dan dipentaskan di hadapan penonton di sebuah panggung atau
14
daerah pertunjukan oleh seorang atau sekumpulan orang sebagai seniman
pelaku yang didukung oleh media intrinsik (berupa busana, make-up, properti,
dan instrumen musik pengiring) serta media ekstrinsik (berupa bakat dan
keterampilan). Seni pertunjukan mencakup beberapa jenis seni, yaitu seni tari,
musik, drama, dan film.
Menurut Caecilia S dan Widia P (2014) karya seni memiliki fungsi individual
dan fungsi sosial dimana dalam fungsi individual, karya seni dipahami sebagai
ungkapan pikiran dan pengalaman jiwa terdalam yang diekspresikan dan
dikomunikasikan melalui medium tertentu serta di dalamnya terkandung nilai
estetis, etis, dan kemanusiaan. Sedangkan dalam fungsi sosial, seni dipahami
sebagai aktivitas berkesenian yang berakat kuat dalam kehidupan kolektif atau
masyarakat.
2.1.2 Aset Bersejarah
Menurut International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) 17
mengenai property, plant, and equipment, aset dikatakan bernilai sejarah
dikarenakan oleh pentingnya nilai kultural, lingkungan atau sejarah dari aset
tersebut. Sementara menurut Pedoman Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP),
aset bersejarah merupakan aset tetap yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah
yang karena umur dan kondisinya aset tetap tersebut harus dilindungi oleh
peraturan yang berlaku dari segala macam tindakan yang dapat merusak aset tetap
tersebut.
15
Aset bersejarah memiliki karakteristik khusus seperti yang dijelaskan oleh
Aversano dan Ferrone (2012) yaitu:
1. Nilai budaya, lingkungan, pendidikan
2. Terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi nilai buku berdasarkan harga pasar
yang sepenuhnya mencerminkan nilai seni, budaya, lingkungan, pendidikan
atau sejarah
3. Terdapat larangan dan pembatasan yang sah menurut undang- undang untuk
masalah penjualan
4. Keberadaan aset tidak tergantikan dan nilai aset memungkinkan untuk
bertambah seiring bejalannya waktu, walaupun kondisi fisik aset memburuk
5. Terdapat kesulitan untuk mengestimasikan masa manfaat aset karena masa
manfaat yang tidak terbatas, dan pada beberapa kasus bahkan tidak bisa
didefinisikan.
6. Aset tersebut dilindungi, dirawat serta dipelihara
2.1.3 Museum
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995, museum adalah
lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-
benda bukti materil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna
menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Sedangkan Menurut International Council of Museum (ICOM) pada ICOM Statute
(2007), museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari
keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum,
16 memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan artefak-artefak perihal
jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.
Akbar (2010) mendefinisikan museum sebagai tempat menyimpan koleksi baik
alam maupun budaya dan aktivitas yang bertujuan untuk dapat dimanfaatkan
seluas-luasnya oleh masyarakat
Menurut Frey dan Meier (2003), museum memiliki beberapa bentuk, yaitu
museum publik, museum swasta, dan museum yang tergantung pada donasi.
Museum ini memiliki pendekatannya masing-masing. Pada museum publik,
direktur dari museum bergantung secara sepenuhnya pada bantuan publik.
Pemerintah mengalokasikan dana yang tepat untuk menutup pengeluaran yang
dibutuhkan untuk museum. Meskipun museum diharapkan untuk memenuhi
anggaran mereka, apabila terdapat defisit anggaran maka defisit tersebut akan
ditutupi oleh dana masyarakat. Ini membuat museum publik memiliki insentif yang
kecil untuk membuat pendapatan dan meminimalisir biaya. Selain itu, museum
publik juga cenderung berlaku sebagai berikut :
• Museum publik tidak akan menjual koleksi seni mereka karena manajemen
dihalangi untuk menggunakan pendapatan yang didapat secara sesuka hati.
• Direktur dari museum publik tidak terlalu peduli terhadap jumlah
pengunjung karena mereka tidak tergantung terhadap pendapat dari biaya
masuk atau toko.
• Fasilitas pengunjung pada museum publik serta profitabilitas pada toko
museum, restoran dan kafetaria museum tidak terlalu diperhatikan.
17
Pada museum swasta, manajer memiliki insentif yang kuat untuk
meningkatkan pendapatan karena keberlangsungan mereka ditentukan oleh
pendapatan yang didapat dari biaya masuk museum, restoran, toko dan tambahan
uang dari sponsor dan donor. Apabila manajer mendapatkan surplus, maka
manajemen bias menggunakannya untuk masa depan. Maka dari itu museum
swasta cenderung untuk berlaku sebagai berikut :
• Mereka akan bergantung pada pasar ketika mengelola koleksi mereka.
Museum akan menjual lukisan yang tidak pas terhadap koleksi dan akan
menggunakan uangnya untuk membeli koleksi seni yang baru.
• Mereka akan secara aktif menggunakan pendapatan tambahan dari toko
museum, restoran, dan kafetaria, dan mereka akan selalu bersiap untuk
mengadakan acara non-artistik pada fasilitas mereka.
• Museum swasta akan peduli terhadap menarik pengunjung.
• Museum swasta akan mengutamakan fasilitas untuk pengunjung, seperti
kafetaria dan toilet bersih.
Pada museum yang dependen terhadap donasi, mereka cenderung berlaku
sebagai berikut :
• Donor akan secara langsung mempengaruhi kebijakan museum dengan
menginterferensi dalam program, atau dapat menentukan batasan yang
mengikat dalam donasi yang diberikan.
• Museum harus membuat impresi bahwa donasi digunakan dengan baik,
sehingga donor memiliki perasaan bahwa mereka menyumbang terhadap
18
aksi yang bermanfaat. Maka dari itu sangatlah penting untuk sebuah
institusi seni untuk memiliki reputasi yang bagus terhadap masyarakat dan
media untuk mendorong mereka menyumbang secara berkala.
2.1.4 Organisasi Nirlaba
Menurut Pahala Nainggolan (2005), Lembaga atau Organisasi Nirlaba
merupakan suatu lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki
tujuan tertentu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam pelaksanaanya
kegiatan yang mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan laba atau
kekayaan semata.
Dijelaskan pada PSAK 45 yang dikeluarkan oleh IAI (2015), organisasi
nirlaba memiliki karakteristik sebagai berikut : sumber daya dari entitas nirlaba
berasal dari pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan pembayaran kembali
atau manfaat ekonomik yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang
diberikan, menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan
jika entitas nirlaba menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada
pendiri atau pemilik entitas nirlaba tersebut, dan tidak ada kepemilikan seperti
umumnya pada entitas bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entitas nirlaba
tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali atau kepemilikan tersebut tidak
mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas nirlaba pada saat likuidasi
atau pembubaran entitas nirlaba.
2.1.4.1 Contoh Laporan Keuangan Nirlaba
Contoh Laporan Posisi Keuangan
19
ENTITAS NIRLABA Laporan Posisi Keuangan Per 31 Desember 20X2 dan 20X1
(dalam jutaan rupiah) 20X2 20X1 ASET Aset Lancar Kas dan setara kas Piutang bunga Persediaan dan biaya dibayar di muka Piutang lain-lain Investasi jangka pendek
188
5.325 1.525 7.562 3.500
1.150 4.175 2.500 6.750 2.500
Aset Tidak Lancar Properti investasi Aset tetap Investasi jangka panjang
13.025
154.250 545.175
11.400
158.975 508.750
Jumlah aset 730.550 730.550 LIABILITAS
Liabilitas Jangka Pendek Utang Dagang Pendapatan diterima di muka yang dapat dikembalikan Utang lain-lain Utang wesel
6.425
-
2.187 -
2.625
1.625 3.250 2.850
Liabilitas Jangka Panjang Kewajiban tahunan Utang jangka panjang
4.213
13.750
4.250
16.250 Jumlah liabilitas 26.575 30.850 ASET NETO Tidak terikat Terikat temporer Terikat permanen Jumlah aset neto Jumlah liabilitas dan aset neto
288.070 60.855
355.050 703.975 730.550
259.175 63.675
342.500 665.350 696.200
Tabel 2.1 Contoh Laporan Posisi Keuangan
Sumber: IAI (2015)
Contoh Laporan Aktivitas
Ada tiga bentuk laporan aktivitas yang disajikan sebagai contoh dalam lampiran
ini. Setiap bentuk memiliki keunggulan.
1. Bentuk A menyajikan informasi dalam kolom tunggal
20
2. Bentuk B menyajikan informasi sesuai dengan klasifikasi aset neto, satu
kolom untuk setiap klasifikasi dengan tambahan satu kolom untuk jumlah.
3. Bentuk C menyajikan informasi dalam dua laporan dengan jumlah
ringkasan dari laporan pendapatan, beban, dan perubahan terhadap aset neto
tidak terikat disajikan dalam laporan perubahan aset neto.
Bentuk A
ENTITAS NIRLABA Laporan aktivitas untuk tahun berakhir pada 31 Desember 20X2
(dalam jutaan rupiah) PERUBAHAN ASET NETO TIDAK TERIKAT
Pendapatan Sumbangan Jasa layanan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan investasi lain-lain Penghasilan neto investasi jangka panjang belum direalisasi Lain-lain Jumlah
21.600 13.500 14.000 2.125
20.570
375 72.170
Aset neto yang berakhir pembatasannya Pemenuhan program pembatasan Pemenuhan pembatasan pemerolehan peralatan Berakhirnya pembatasan waktu Jumlah
29.975 3.750 3.125
36.850 Jumlah Pendapatan 109.020 Beban Program A Program B Program C Manajemen dan umum Pencarian dana Jumlah beban Kerugian akibat kebakaran
32.750 21.350 14.400 6.050 5.375
79.925 200
Jumlah 80.125 Kenaikan aset neto terikat temporer 28.895 PERUBAHAN ASET NETO TERIKAT TEMPORER Sumbangan Penghasilan investasi jangka panjang
20.275 6.450
21
Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang Kerugian aktuarial untuk kewajiban tahunan Aset neto terbebaskan dari pembatasan
7.380
(75) (36.850)
Penurunan aset neto terikat temporer (2.820) PERUBAHAN ASET NETO TERIKAT PERMANEN Sumbangan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang
700 300
11.550
Kenaikan aset neto terikat permanen 12.550 KENAIKAN ASET NETO ASET NETO AWAL TAHUN ASET NETO AKHIR TAHUN
38.625 665.350 709.975
Tabel 2.2. Contoh Laporan Aktivitas
Sumber: IAI (2015)
Bentuk B
ENTITAS NIRLABA Laporan aktivitas untuk tahun berakhir pada 31 Desember 20X2
(dalam jutaan rupiah) Tidak
Terikat Terikat
Temporer Terikat
Permanen Jumlah
PENDAPATAN Sumbangan Jasa layanan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan investasi lain Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang Lain-lain
21.600 13.500
14.000 2.125
20.570 375
20.275 -
6.450 -
7.380 -
700 -
300 -
11.550 -
42.575 13.500
20.750 2.125
39.500 -
ASET NETO YANG BERAKHIR PEMBATASANNYA
Pemenuhan program pembatasan Pemenuhan pembatasan pemerolehan peralatan Berakhirnya pembatasan waktu
29.975
3.750 3.125
(29.975)
(3.750) (3.125)
-
- -
-
- -
22 Jumlah Pendapatan 109.020 (2.745) - - BEBAN Program A Program B Program C Manajemen dan umum Pencarian dana Jumlah beban Kerugian akibat kebakaran Kerugian aktuarial dan kewajiban tahunan Jumlah beban
32.750 21.350 14.400 6.050 5.375
79.925 200
-
80.125
- - - - - - -
75 75
- - - - - - -
- -
32.750 21.350 14.400 6.050 5.375
79.925 200
75
80.200 KENAIKAN ASET NETO ASET NETO AWAL TAHUN ASET NETO AKHIR TAHUN
28.895 259.175 288.070
(2.820) 63.675 60.855
12.550 342.500 355.050
38.625 665.350 709.975
Tabel 2.3. Contoh Laporan Aktivitas
Sumber: IAI (2015)
Bentuk C
ENTITAS NIRLABA Laporan pendapatan, beban, dan perubahan aset neto tidak terikat
Untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 20X2 PENDAPATAN TIDAK TERIKAT Sumbangan Jasa layanan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan investasi lain Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang Lain-lain Jumlah
21.600 13.500 14.000 2.125
20.570
375 72.170
ASET NETO YANG BERAKHIR PEMBATASANNYA Penyelesaian program pembatasan Penyelesaian pembatasan pemerolehan peralatan Berakhirnya waktu pembatasan Jumlah Jumlah pendapatan tidak terikat
29.975 3.750 3.125
36.850 109.020
BEBAN TIDAK TERIKAT Program A Program B
32.750 21.350
23 Program C Manajemen dan umum Pencarian dana Jumlah beban Kerugian akibat kebakaran Jumlah beban
14.400 6.050 5.375
79.925 200
80.125 KENAIKAN ASET NETO TIDAK TERIKAT 28.895 ASET NETO TIDAK TERIKAT Jumlah pendapatan tidak terikat Aset neto yang dibebaskan dari pembatasan Jumlah beban tidak terikat Kenaikan aset neto tidak terikat
72.170 36.850
(80.125) 28.895
ASET NETO TERIKAT TEMPORER Sumbangan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang Kerugian aktuarial untuk kewajiban tahunan Aset neto terbebaskan dari pembatasan
20.275 6.450
7.380
(75) (36.850)
Penurunan aset neto terikat temporer (2.820) ASET NETO TERIKAT PERMANEN Sumbangan Penghasilan investasi jangka panjang Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang
730 300
11.550
Kenaikan aset neto terikat permanen 12.550 KENAIKAN ASET NETO ASET NETO AWAL TAHUN ASET NETO AKHIR TAHUN
38.625 665.350 703.975
Tabel 2.4. Contoh Laporan Aktivitas
Sumber: IAI (2015)
Contoh Laporan Arus Kas
Metode Langsung
ENTITAS NIRLABA Laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 20X2
(dalam jutaan rupiah)
24 AKTIVITAS OPERASI Kas dari pendapatan jasa Kas dari pemberi sumber daya Kas dari pituang lain-lain Bunga dan dividen yang diterima Penerimaan lain-lain Bunga yang dibayarkan Kas yang dibayarkan kepada karyawan dan supplier Utang lain-lain yang dilunasi Kas neto yang diterima untuk aktivitas operasi
13.050 20.075 6.537
21.425 375
(955) (59.520) (1.062)
(75) AKTIVITAS INVESTASI Ganti rugi dari asuransi kebakaran Pembelian peralatan Penerimaan dari penjualan investasi Pembelian investasi Kas neto yang diterima untuk aktivitas investasi
625 (3.750)
190.250 (187.250)
(125) AKTIVITAS PENDANAAN Penerimaan dari kontribusi berbatas dari: Investasi dalam endowment Investasi dalam endowment berjangka Investasi bangunan Investasi perjanjjian tahunan
500 175
3.025 500
4.200 Aktivitas pendanaan lain: Bnga dan dividen berbatas untuk reinvestasi Pembayaran kewajiban thunan Pembayaran utang wesel Pembayaran liabilitas jangka panjang
750
(362) (2.850) (2.500)
(4.962) Kas neto yang diterima untuk aktivitas pendanaan (762) KENAIKAN NETO DALAM KAS DAN SETARA KAS KAS DAN SETARA KAS PADA AWAL TAHUN KAS DAN SETARA KAS PADA AKHIR TAHUN
(962) 1.150
188 Rekonsiliasi perubahan dalam aset neto menjadi kas neto yang digunakan untuk aktivitas operasi: Perubahan dalam aset neto Penyesuaian untuk rekonsiliasi perubahan dalam aset neto menjadi kas neto yang digunakan untuk aktivitas operasi: Depresiasi Kerugian akibat kebakaran
38.625
8.000 200
25 Kerugian aktuarial pada kewajiban tahunan Kenaikan piutang bunga Penuruan dalam persediaan dan biaya dibayar dimuka Kenaikan dalam piutang lain-lain Kenaikan dalam utang dagang Penurunan dalam penerimaan dimuka yang dapat dikembalikan Penurunan dalam utang lain-lain Sumbangan terikat untuk investasi jangka panjang Bunga dan dividen terikat untuk investasi jangka panjang Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari invstasi jangka panjang Kas neto diterima untuk aktivitas operasi Data tambahan untuk aktivitas investasi dan pendanaan nonkas: Peralatan yang diterima sebagai hibah Pembebasan premi asuransi kematian, nilai kas yang diserahkan
75 (1.150)
975 (813) 3.800
(1.625) (1.062) (6.850)
(750)
(39.500) (75)
350 200
Tabel 2.5 Contoh Laporan Arus Kas
Sumber: IAI (2015)
Metode Tidak Langsung
ENTITAS NIRLABA Laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 20X2
(dalam jutaan rupiah) AKTIVITAS OPERASI Rekonsiliasi perubahan dalam aset neto menjadi kas neto yang digunakan untuk aktivitas operasi: Perubahan dalam aset neto Penyesuaian untuk rekonsiliasi perubahan dalam aset neto menjadi kas neto yang digunakan untuk aktivitas operasi: Depresiasi Kerugian akibat kebakaran Kerugian aktuarial pada kewajiban tahunan Kenaikan piutang bunga Penuruan dalam persediaan dan biaya dibayar dimuka Kenaikan dalam piutang lain-lain Kenaikan dalam utang dagang Penurunan dalam penerimaan dimuka yang dapat dikembalikan Penurunan dalam utang lain-lain Sumbangan terikat untuk investasi jangka panjang Bunga dan dividen terikat untuk investasi jangka panjang Penghasilan neto terealisasikan dan belum terealisasikan dari invstasi jangka panjang Kas neto diterima untuk aktivitas operasi
38.625
8.000 200 75
(1.150) 975
(813) 3.800
(1.625) (1.062) (6.850)
(750)
(39.500) (75)
26 AKTIVITAS INVESTASI Ganti rugi dari asuransi kebakaran Pembelian peralatan Penerimaan dari penjualan investasi Pembelian investasi Kas neto yang diterima untuk aktivitas investasi
625 (3.750)
190.250 (187.250)
(125) AKTIVITAS PENDANAAN Penerimaan dari kontribusi berbatas dari: Investasi dalam endowment Investasi dalam endowment berjangka Investasi bangunan Investasi perjanjjian tahunan
500 175
3.025 500
4.200 Aktivitas pendanaan lain: Bnga dan dividen berbatas untuk reinvestasi Pembayaran kewajiban thunan Pembayaran utang wesel Pembayaran liabilitas jangka panjang
750
(362) (2.850) (2.500)
(4.962) Kas neto yang diterima untuk aktivitas pendanaan (762) KENAIKAN NETO DALAM KAS DAN SETARA KAS KAS DAN SETARA KAS PADA AWAL TAHUN KAS DAN SETARA KAS PADA AKHIR TAHUN
(962) 1.150
188 Data tambahan Aktivitas investasi dan pendanaan nonkas: Peralatan yang diterima sebagai hibah Pembebasan premi asuransi kematian, nilai kas yang diserahkan Bunga yang dibayarkan
350 200 955
Tabel 2.6 Contoh Laporan Arus Kas
Sumber: IAI (2015)
2.1.5 Pengukuran
Menurut IAI (2015), Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang
untuk mengakui dan memasukan setiap unsur laporan keuangan dalam neraca dan
laporan laba rugi. Proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran tertentu.
27 Sejumlah dasar pengukuran yang berbeda digunakan dalam derajat dan kombinasi
yang berbeda dalam laporan keuangan. Berbagai dasar pengukuran tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Biaya historis. Aset dicatat sebesar pengeluaran kas yang dibayar atau
sebesar nilai wajar dari imbalan yang diberikan untuk memperoleh aset
tersebut pada saat perolehan. Liabilitas dicatat sebesar jumlah yang
diterima sebagai penukar dari kewajiban, atau dalam keadaan tertentu,
dalam jumlah kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi
liabilitas dalam pelaksanaan usaha yang normal.
b) Biaya kini. Aset dinilai dalam jumlah kas yang seharusnya dibayar bila
aset yang sama atau setara aset diperoleh sekarang. Liabilitas dinyatakan
dalam jumlah kas yang tidak didiskontokan yang mungkin akan
diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban masa kini.
c) Nilai realisasi/penyelesaian. Aset dinyatakan dalam jumlah kas yang
dapat diperoleh sekarang dengan menjual aset dalam pelepasan normal/
Liabilitas dinyatakan sebesar nilai penyelesaian; yaitu, jumlah kas yang
tidak didiskontokan yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi
liabilitas dalam pelaksanaan usaha normal.
d) Nilai sekarang. Aset dinyatakan sebesar arus kas masuk bersih di masa
depan yang didiskontokan ke nilai sekarang dari pos yang diharapkan
dapat memberikan hasil dalam pelaksanaan usaha normal. Liabilitas
dinyatakan sebesar arus kas keluar bersih di masa depan yang
28
didiskontokan ke nilai sekarang yang diharapkan akan diperlukan untuk
menyelesaikan liabilitas dalam pelaksanaan usaha normal.
Dasar pengukuran yang lazimnya digunakan perusahaan dalam penyusunan
laporan keuangan adalah biaya historis. Ini biasanya digabungkan dengan dasar
pengukuran yang lain. Sebagai contoh, persediaan biasanya dinyatakan sebesar
nilai terendah dari biaya historis atau nilai realisasi bersih, akuntansi dana pension
menilai aset tertentu bersasarkan nilai wajar.
2.1.6 Nilai Wajar
Menurut IAI (2015), nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar, bukan
pengukuran yang spesifik atas suatu entitas. Untuk beberapa aset dan liabilitas lain,
hal tersebut mungkin tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan pengukuran nilai wajar
dalam kedua kasus tersebut adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana
transaksi teratur untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan terjadi antara
pelaku pasar pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat ini.
Ketika harga aset atau liabilitas yang identic tidak dapat diobservasi, entitas
mengukur nilai wajar menggunakan Teknik penilaian lain yang memaksimalkan
penggunaan input yang dapat diobservasi yang relevan dan meminimalkan
penggunaan input yang tidak dapat diobservasi. Karena nilai wajar merupakan
pengukuran berbasis pasar, maka nilai wajar diukur menggunakan asumsi yang
akan digunakan pelaku pasar ketika menentukan harga aset atau liabilitas, termasuk
asumsi mengenai risiko. Sebagai hasilnya, intensi entitas untuk memiliki aset atau
29 untuk menyelesaikan atau memenuhi liabilitas menjadi tidak relevan ketika
mengukur nilai wajar.
Definisi nilai wajar focus pada aset dan liablitas karena keduanya
merupakan subjek utama pengukuran akuntansi. Sebagai tambahan, pernyataan ini
diterapkan atas instrument ekuitas milik entitas sendiri yang diukur pada nilai
wajar.
Pada pengukuran secara nilai wajar, terdapat hirarki pengukuran yaitu:
• Level 1 : Menggunakan harga kuotasian di pasar aktif untuk item yang identik
yang dimiliki oleh pihak lain sebagai aset, jika harga tersebut tersedia
• Level 2 : Jika harga tersebut tidak tersedia, maka menggunakan input lain yang
dapat diobservasi, seperti harga kuotasian di pasar yang tidak aktif untuk item
yang identik yang dimiliki oleh pihak lain sebagai aset
• Level 3 : Jika harga yang dapat diobservasi dalam Level 1 dan Level 2 tidak
tersedia, maka menggunakan teknik penilaian lain, seperti :
o Pendekatan penghasilan, dengan contoh dimana teknik nilai kini yang
memperhitungkan nilai arus kas masa depan yang diharapkan akan
diterima pelaku pasar dari kepemilikannya atas liabilitas atau instrumen
ekuitas sebagai aset
o Pendekatan pasar, dengan contoh dimana menggunakan harga kuotasian
untuk liabilitas atau instrumen ekuitas yang serupa yang dimiliki oleh
pihak lain sebagai aset
30 2.1.7 Laporan Keuangan
2.1.7.1 Definisi Laporan Keuangan
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2015), Laporan Keuangan
merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi
keuangan, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan. Di samping itu juga termasuk skedul dan informasi
tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, sebagai contoh, informasi
keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan
harga.
2.1.7.2 Unsur-Unsur Laporan Keuangan
Menurut IAI (2015) Laporan keuangan yang lengkap menurut Ikatan Akuntan
Indonesia meliputi:
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas, dan
5. Catatan atas Laporan Keuangan.
Komponen-komponen dari Laporan Keuangan di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Neraca
31
Neraca adalah laporan yang menyajikan sumber-sumber ekonomis dari
suatu perusahaan atau aset-aset kewajibannya atau utang, atau para hak para
pemilik perusahaan yang tertanam dalam perusahaan tersebut atau ekuitas
pemilik suatu saat tertentu (Harahap, 2008)
2. Laporan Laba Rugi
Laporan Laba Rugi adalah suatu laporan yang sistematis tentang
penghasilan, biaya, laba-rugi yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama
periode tertentu (Munawir, 2012)
3. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan Perubahan Ekuitas adalah laporan yang berisi informasi tentang
perubahan modal pemilik selama satu periode yang dihasilkan dari jumlah debet
dan jumlah kredit kelompok pemodal (Darsono, 2006)
4. Laporan Arus Kas
Menurut IAI (2015), Laporan Arus Kas adalah laporan yang melaporkan
arus kas selama periode tertentu dan diklasifikasikan menurut aktivitas operasi,
investasi, dan pendanaan. Entitas menyajikan arus kas dari aktivitas operasi,
investasi, dan pendanaan dengan cara yang paling sesuai dengan bisnisnya.
Klasifikasi arus kas berdasarkan aktivitas menyediakan indormasi yang
memungkinkan pengguna untuk menilai dampak aktivitas tersebut terhadap
posisi keuangan entitas serta terhadap jumlah kas dan setara kas. Informasi ini
dapat juga digunakan untuk mengevaluasi hubungan di antara ketiga aktivitas
tersebut.
32 5. Catatan atas Laporan Keuangan
Menurut IAI (2015), Catatan atas Laporan Keuangan adalah Catatan yang
menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan
kebijakan akuntansi spesifik yang digunakan, mengungkapkan informasi yang
disyaratkan oleh SAK yang tidak disajikan dibagian manampun dalam laporan
keuangan, dan menyajikan informasi yang tidak disajikan di bagian manapun
dalam laporan keuangan, tetapi informasi tersebut relevan untuk memahami
laporan keuangan.
2.1.7.3 Tujuan Laporan Keuangan
Sedangkan menurut IAI (2015), tujuan dari laporan keuangan adalah untuk
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan
posisi keuangan suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam
pengambilan keputusan ekonomik. Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan
ini memenuhi kebutuhan Bersama sebagian besar pengguna. Namun demikian,
laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan
pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomik karena secara umum
menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak
dijawabkan untuk menyediakan informasi nonkeuangan.
Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen,
atau pertanggung jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan
kepadanya. Pengguna yang ingin menilai apa yang telah dilakukan atau
pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian agar mereka dapat membuat
33 keputusan ekonomik; keputusan ini mungkin mencakup, sebagai contoh, keputusan
untuk menahan atau menjual investasi dalam entitas atau keputusan untuk
mengangkat kembali atau mengganti manajemen.
2.1.8 Analisa Laporan Keuangan
2.1.8.1 Definisi Analisa Laporan Keuangan
Menurut K.R. Subramanyam dan J. J. Wild (2010), analisa laporan
keuangan adalah aplikasi dari alat dan teknik analisa untuk laporan keuangan
bertujuan umum dan data-data yang berkaitan untuk menghasilkan estimasi dan
kesimpulan yang bermanfaat dalam analisa bisnis
2.1.8.2 Tujuan Analisa Laporan Keuangan
Menurut Kasmir (2009) tujuan dan manfaat analisis laporan keuangan adalah:
1. Untuk mengetahui posisi keuangan perusahan dalam satu periode tertentu, baik
harta, kewajiban, modal, maupun hasil usaha yang telah dicapai untuk beberapa
periode
2. Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan apa saja yang menjadi kekurangan
perusahaan
3. Untuk mengetahui kekuatan-kekuatan yang dimiliki
4. Untuk mengetahui langkah-langkah perbaikan apa saja yang perlu dilakukan ke
depan yang berkaitan dengan posisi keuangan perusahaan saat ini
5. Untuk melakukan penilaian kinerja manajemen ke depan apakah perlu
pembaruan atau tidak karena sudah dianggap berhasil atau gagal
34 6. Dapat digunakan sebagai pembanding dengan perusahaan sejenis tentang hasil
yang mereka capai
2.1.9 Pengukuran Performa
Menurut Office of Financial Management (2009), pengukuran performa
merupakan deskripsi numerik dari pekerjaan suatu agensi dan hasil dari pekerjaan
yang dikerjakan. Pengukuran performa didasari oleh data, dan memberitahukan
cerita mengenai apakah suatu agensi atau aktivitas tertentu memenuhi tujuan dan
apakah terdapat kemajuan dalam menuju kebijakan atau tujuan organisasi. Dalam
istilah teknis, pengukuran performa merupakan ekspresi kuantitatif dalam jumlah,
biaya, atau hasil dari aktivitas yang mengindikasikan seberapa banyak, seberapa
baik, dan pada tingkat apa, suat produk atau jasa diberikan kepada pelanggan dalam
suatu periode waktu tertentu. Manfaat dari pengukuran performa antara lain adalah
untuk keputusan anggaran, manajemen yang lebih baik, dan akuntabilitas
Pada museum seni, Dellapasqua dan Nobili (2017) mengatakan bahwa
pengukuran performa dilakukan untuk mengukur antara lain : efektivitas dan
efisiensi, dampak ekonomi, dan dampak social daripada operasi museum seni. Pada
pengukuran efisiensi, terdapat 7 pengukuran utama antara lain :
1. Efisiensi operasi
Efisiensi operasi merupaka indikator umum terhadap efisiensi. Efisiensi operasi
mengukur kapabilitas museum untuk memberikan pendapatan, dibandingkan
dengan donasi yang didapatkan. Pengukuran efisiensi operasi menggunakan
rumus : Pendapatan operasi / Total donasi yang diterima.
35 2. Biaya per pengunjung
Kunci performa ini berusaha mengevaluasi biaya opeasi yang dikeluarkan oleh
museum dalam satu tahun aktivitas dan disebarkan pada jumlah kunjungan pada
tahun yang sama. Pengukuran biaya per pengunjung menggunakan rumus :
Biaya operasi / jumlah kunjungan
3. Insidensi akuisisi baru
Kunci performa ini berusaha mengacu pada aktivitas utama museum yaitu
manajemen koleksi museum. Kunci performa ini berusaha untuk mengevaluasi
berapa banyak museum membayar untuk meningkatkan koleksinya dan
dikomparasikan terhadap pengeluaran yang digunakan untuk tidak hanya tahun
ini, namun pada tahun-tahun kedepannya. Insidensi akuisisi baru menggunakan
rumus : pengeluaran untuk pembelian koleksi baru / modal yang diinvestasikan
4. Insdensi publikasi
Kunci performa ini digunakan untuk mengevaluasi level efisiensi dari aktivitas
yang berhubungan dengan studi ilmiah dan publikasi. Kunci ini
mengkomparasikan tingkat pendapatan yang didapatkan dari aktivitas ini
dengan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan mereka. Rumus dari insidensi
publikasi ini adalah : Pendapatan yang didapat dari publikasi / Pengeluaran
untuk riset dan studi
5. Biaya manajemen dan perawatan
36
Kunci performa ini berusaha mengevaluasi pengeluaran rata-rata dari
konservasi koleksi museum. Rumus dari kunci performa ini adalah : biaya
manajemen dan perawatan koleksi / total unit yang berada di katalog
6. Biaya perawatan
Pada kunci performa biaya perawatan, ini hampir mirip dengan biaya
manajemen dan perawatan, namun dengan memasukan juga biaya yang
berhubungan seperti konservasi bangunan, taman, dan properti. Rumus dari
kunci performa ini adalah : Biaya perawatan / luas museum
7. Sumber daya yang digunakan per aktivitas
Pada kunci performa ini, kita dapat melihat aktivitas utama yang menggunakan
personil paling banyak. Rumus dari kunci performa ini adalah : Jumlah jam
kerja pada aktivitas utama / total jam kerja
2.2 Penelitian Terdahulu
Pada penelitian terdahulu terdapat 2 kategori utama dalam pembahasan
mengenai pengukuran koleksi barang seni yaitu mengenai kepantasan seorang
akuntan untuk menilai koleksi seni. Kategori yang akan dibahas adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.7. Penelitian Terdahulu Berdasarkan Kategorinya
Etika, Manfaat dan Kerugian dari Penerapan Pengukuran
Metode dan Masalah dalam Pengukuran
Carnegie dan Wolnizer (1995), mengenai ketidakpantasannya menilai koleksi seni
sebagai aset
Christensen dan Mohr (2003), mengenai korelasi antara ukuran museum dengan data keuangan
Micallef dan Peirson (1997), mengenai argumen Carnegie dan Wolnizer (1995)
Biondi dan Lapsley (2014), mengenai sulitnya mencapai
37
Selain itu, terdapat juga kategori lain seperti penelitian oleh Masitta dan
Chariri (2015) yang menjelaskan bahwa tidak ada definisi yang tepat untuk
menjelaskan aset sejarah. Lalu, terdapat juga penelitian oleh Sunanto (2017)
mengenai observasi akan perlakuan akuntansi pada aset sejarah di Kabupaten Musi
Banyuasin. Selanjutnya, terdapat juga penelitian oleh Aversano dan Christiaens
yang tidak sesuai dengan kerangka konseptual oleh AASB dan PSASB
transparansi pada organisasi dengan aset warisan dikarenakan oleh
masalah penilaian
Barton (2005), mengenai alasan mengenai mengapa koleksi seni tidak bias digunakan pada laporan keuangan
Stanton dan Stanton (1997), mengenai kegagalan akuntansi
dalam menilai jasa atau manfaat ekeonomi pada aset sejarah
Gstraunthaler dan Piber (2007), mengenai kepuasan akan system laporan
keuangan masa kini pada Museum di Austria
Porter (2004), mengenai mengukur aset sejarah dengan perspektif
turisme
Barton (2000), mengenai aset sejarah yang tidak sesuai dengan klasifikasi aset
oleh SAC4
Ellwood dan Greenwood (2015), mengenai pengaplikasian teori
Schrodinger’s Cat untuk pengukuran aset sejarah
O’Hare (2005), mengenai manfaat dari kapitalisasi koleksi seni untuk dunia seni
dan masyarakat
Held (2014), mengenai pentingnya untuk menilai aset tidak hanya sesuai dengan kriteria ekonomi
namun, karena tugas khusus museum, namun juga menilai aset setelah keuntungan sosial mereka.
Carnegie dan Wolnizer (1997), mengenai kegagalan metode penilaian kontinjensi untuk memberikan manfaat objektif dari
koleksi publik
Adam et. al. (2011), mengenai akuntansi anggaran berbasis kas, mengabaikan infrastruktur, aset seni dan warisan,
karena seringkali tidak dapat direalisasikan
Aversano dan Ferrone (2012), mengenai peran IPSAS 17 dalam pengukuran
38 (2014) mengenai observasi akan IPSAS 17 terhadap pengguna laporan keuangan
pemerintah tentang aset warisan.
39
Tabel 2.8. Penelitian Terdahulu No. Nama Peneliti Jurnal Judul Hasil Penelitian
1. G.D. Carnegie, P.W. Wolnizer (1995)
Australian Accounting
Review
The Financial Value Of Cultural, Heritage And Scientific Collections:
An Accounting Fiction
Makalah ini menunjukkan bahwa secara teknis tidak tepat mengakui koleksi
budaya, warisan dan ilmiah sebagai aset untuk tujuan pelaporan keuangan.
2. Anne L. Christensen, Rosanne M. Mohr (2003)
Financial Accountability &
Management
Not-for-Profit Annual Reports: What do Museum Managers Communicate?
Analisis regresi menunjukkan bahwa jumlah data keuangan museum
dikaitkan secara positif dengan ukuran museum, sejumlah besar halaman
pengungkapan donor, dan jenis museum (seni dan sejarah, tapi bukan sains,
sejarah alam, atau umum).
3. Frank Micallef, Graham Peirson (1997)
Australian Accounting
Review
Financial Reporting of Cultural, Heritage, Scientific and Community
Collections
Argumen Carnegie dan Wolnizer yang menentang pengakuan CHSCC
umumnya tidak sesuai dengan kerangka konseptual untuk pelaporan keuangan
tujuan umum yang telah dikembangkan oleh AASB dan PSASB.
4. Retha Maya Masitta, Anis Chariri (2015)
Diponegoro Journal of Accounting
Problematika Akuntansi Heritage Assets: Pengakuan, Penilaian, dan Pengungkapannya Dalam Laporan
Keuangan
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tidak ada definisi
yang tepat untuk aset warisan.
5. Allan Barton (2005)
Accounting, Auditing &
Accountability Journal
The conceptual arguments concerning accounting for public heritage assets
Makalah ini menjelaskan mengapa pendekatan "sektor netral", yang
mendasari penerapan standar akuntansi komersial terhadap aset warisan publik, tidak sehat; mengapa "harga pasar yang wajar" tidak dapat diperoleh untuk aset
warisan publik karena barang publik mereka; dan mengapa mereka harus
40
diperhitungkan di luar laporan posisi keuangan sebagai aset yang dipercaya
oleh entitas kustodian.
6. Thomas
Gstraunthaler & Martin Piber (2007)
Museum Management and
Curatorship
Performance Measurement and Accounting: Museums in Austria
Wawancara telah menunjukkan bahwa baik manajer museum maupun lembaga
menteri tidak puas dengan sistem pelaporan yang ada.
7. Keith Hooper, Kate Kearins, Ruth Green (2005)
Accounting, Auditing &
Accountability Journal
Knowing “the price of everything and the value of nothing”: accounting for
heritage assets
Museum daerah Selandia Baru membuktikan bahwa identitas diikat
lebih kuat dengan gagasan tentang nilai estetika, budaya dan sosial yang tersirat dalam kurator, daripada mempedulikan nilai ekonomi dari kepemilikan mereka.
8. Allan D. Barton (2000)
Accounting, Auditing &
Accountability Journal
Accounting for public heritage facilities – assets or liabilities of the government?
Dalam tulisan ini, dikatakan bahwa fasilitas pusaka merupakan barang
publik karena eksternalitas yang terkait dengan penggunaannya. Meskipun
mereka berharga sebagai bagian dari warisan kita, fasilitas warisan publik tidak memenuhi definisi aset SAC4
(atau kewajiban) karena peran khusus yang mereka mainkan dalam penyediaan tunjangan sosial bagi masyarakat luas.
9. Michael O'Hare (2005) Goldman School of Public Policy Working Paper
Capitalizing Art Museum Collections: Awkward for Museums But Good for Art
and for Society
Dari makalah ini disimpulkan dari pembahasan di atas bahwa penilaian dan
kapitalisasi koleksi museum bersifat praktis dan tidak terdapat alasan untuk
tidak melakukannya.
10. Lucia Biondi, Irvine Lapsley (2014)
Qualitative Research in
Accounting, transparency and governance: the heritage assets problem
Penyelidikan yang dilakukan mengungkapkan bahwa tingkat pertama, atau tingkat minimal, transparansi tidak
41
Accounting & Management
mungkin dicapai untuk organisasi publik dengan aset warisan, terutama karena masalah penilaian dan penilaian aset
yang mendalam.
11. P.J. Stanton, P.A. Stanton (1997)
International Journal of Social
Economics
Governmental accounting for heritage assets: economic, social implications
Pendekatan akuntansi gagal mengukur nilai layanan atau manfaat ekonomi dari
aset warisan pemerintah.
12. Stacy Porter (2004)
Qualitative Research in
Accounting & Management
An examination of measurement methods for valuing heritage assets using a
tourism perspective
Aplikasi ini dapat memperluas pelaporan nilai aset warisan terkini
dengan memasukkan aspek sosial dan lingkungan sesuai dengan pergerakan pergerakan terhadap pelaporan triple
bottom line dan sustainability.
13. Sheila Ellwood, Margaret Greenwood (2015)
Critical Perspectives on
Accounting
Accounting for heritage assets: Does measuring economic value ‘kill the cat?
Akuntansi aset warisan dapat dieksplorasi dalam hal realitas
terstruktur dan wawasan dapat diperoleh dari teori interpretatif yang diambil dari fisika kuantum. Aset warisan menjadi
bagian dari realitas akuntansi, 'kita membuat mereka nyata, dengan mengakui mereka sebagai nyata'
14. G.D. Carnegie, P.W. Wolnizer (1997)
Australian Accounting
Review
The Financial Reporting of Publicly-owned Collections: Whither Financial
(market) Values and Contingent Valuation Estimates?
Dalam kelanjutan perdebatan tentang penilaian koleksi seni publik untuk tujuan pelaporan keuangan, penulis
menanggapi artikel sebelumnya dengan penegasan pandangan mereka bahwa
item koleksi pada umumnya tidak dapat dinilai sebagai aset keuangan.
Selanjutnya, mereka menolak proposisi bahwa metode penilaian kontinjensi
memberikan pendekatan objektif untuk
42
mengukur manfaat yang mengalir dari koleksi publik.
15. Bärbel Held (2014) Oeconomia Copernicana
Valuation Model of Heritage Assets in a Public Museum – A Transdisciplinary
Approach
Penting untuk menilai aset tidak hanya sesuai dengan kriteria ekonomi namun,
karena tugas khusus museum, juga menilai aset setelah keuntungan sosial
mereka.
16. Berit Adam, Riccardo Mussari, Rowan Jones
(2011)
Financial Accountability &
Management
The Diversity Of Accrual Policies In Local Government Financial Reporting: An Examination Of Infrastructure, Art And Heritage Assets In Germany, Italy
And The UK
Akuntansi anggaran berbasis kas secara tradisional, dan secara sah, mengabaikan
infrastruktur, aset seni dan warisan, karena seringkali tidak dapat
direalisasikan, tidak menghasilkan pendapatan, dan kaitan mereka hanya
dengan arus kas adalah arus keluar dana untuk mempertahankan atau
melestarikannya. Kewajiban pemerintah daerah untuk memelihara atau
melestarikannya mungkin merupakan berkah dan / atau beban, dengan
penekanan yang berbeda pada waktu yang berbeda, tapi tugas itu berarti aset
itu tidak bisa diabaikan. Itu hanya laporan keuangan pemerintah yang bisa
mengabaikannya dengan baik.
17. Sunanto (2017) Jurnal ACSY Politeknik Sekayu
Perlakuan Akuntansi untuk Aset Bersejarah di Kabupaten Musi
Banyuasin
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah di Kabupaten Musi Banyuasin (studi kasus pada
pengelolaan Tugu Pahlawan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa)
43
adalah sebagai berikut : (1) Aset bersejarah diakui dalam golongan aset,
dalam penelitian ini yaitu Tugu Pahlawan Taman Makam Pahlawan
Kusuma Bangsa.
18. Natalia Aversano, Johan Christiaens (2014)
Financial Accountability &
Management
Governmental Financial Reporting of Heritage Assets from a User Needs
Perspective
Makalah ini menyelidiki sejauh mana IPSAS 17 menanggapi kebutuhan
pengguna laporan keuangan pemerintah tentang aset warisan dengan melakukan survei terhadap walikota dan dewan di
pemerintah daerah Italia.
19. Natalia Aversano, Caterina Ferrone (2012)
Arsa - Proceedings In
Arsa - Advanced Research In
Scientific Areas
The accounting problem of heritage assets
Aset warisan merupakan aset penting bagi budaya, sejarah dan identitas
sebuah negara. Penting untuk mengenali mereka dalam pelaporan keuangan
pemerintah karena pengguna tertarik untuk menilai apakah Pemerintahan Publik telah mengelola sumber daya
publik yang ada dengan cara yang tepat. Tujuan makalah ini adalah untuk
menguji masalah akuntansi penilaian, pengakuan dan pengungkapan aset
warisan dan untuk menganalisis peran IPSAS 17 dalam menyelesaikan
kesulitan penilaian ini.
44
2.3. Kerangka Pemikiran
2.3.1 Tidak terdapatnya pengaruh pengukuran koleksi seni dan aset sejarah
terhadap performa museum seni utama di dunia
Menurut Carnegie (1995), koleksi bukan merupakan aset dalam segi
finansial atau komersial, maupun termasuk dalam definisi konvensional akuntansi
dalam sebuah aset. Maka dari itu, pengukuran terhadap koleksi seni tidak memiliki
artian komersial sama sekali. Ia juga memaparkan bahwa tidak terdapat bukti yang
cukup kuat untuk mengautentikasi jumlah koleksi seni, dan pengukuran seni
dikatakan tidak dapat membantu meningkatkan efesiensi finansial dimana museum
seni dikelola
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis pertama yang
diajukan yaitu:
Ho : Pengukuran koleksi seni dan aset sejarah tidak berpengaruh signifikan pada
performa museum seni
2.3.2 Terdapatnya pengaruh pengukuran koleksi seni terhadap performa
museum seni utama di dunia
Menurut O’Hare (2005), pengukuran koleksi seni memiliki pengaruh terhadap
distribusi donasi koleksi seni dari museum besar ke museum kecil, turunnya
dukungan masyarakat dan sumbangan terhadap museum yang tidak dapat
menunjukkan tingkat pengembalian yang menarik, serta pengembangan dari
pengukuran performa yang inovatif dan efektif untuk nilai yang tidak memiliki
harga.
45
Performa, menurut Dellapasqua dan Nobili (2017) performa dari museum dapat
diukur dari perspektif efisiensi, efektivitas, dampak ekonomi, serta dampak social.
Hubungan antara pengukuran dan performa menurut O’Hare (2005) menunjukkan
bahwa pengukuran dapat dibuat untuk melakukan penyeimbangan dan
penyampaian performa secara pengukuran finansial.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka hipotesis kedua
dirumuskan sebagai berikut :
Ha: Pengukuran koleksi seni dan aset sejarah berpengaruh signifikan terhadap
performa museum seni
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Pengukuran Koleksi Seni Performa Museum Seni
Variabel Kontrol : • Jumlah
Pengunjung • Jumlah Koleksi
top related