bab ii kajian pustaka 2.1. psoriasis vulgaris 2.1.1 definisi...kasus baru per 100.000 penduduk per...
Post on 13-Oct-2020
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Psoriasis Vulgaris
2.1.1 Definisi
Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit kulit inflamasi kronis residif yang
dicirikan oleh lesi berupa plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal, kasar,
kering berwarna putih keperakan pada area predileksi seperti ekstensor
ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah,
bokong dan genitalia. Selain tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada
umbilikus dan ruang intergluteal (Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis terdapat di seluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi dari 1%
sampai 3%. Di Amerika Serikat, prevalensi berkisar antara 2,2% - 2,6%,
sedangkan di Asia 0,4%. Di Eropa insiden tertinggi dilaporkan terjadi di Denmark
sebesar 2,9% (Gudjonsson dan Elder, 2012). Insiden penyakit ini diperkirakan 60
kasus baru per 100.000 penduduk per tahun. Hal ini dipengaruhi oleh lokasi
geografis, ras dan faktor lingkungan lain. Psoriasis dapat dijumpai pada laki-laki
dan perempuan dalam jumlah yang sama (Griffiths dan Barker, 2010). Puncak
insiden psoriasis terjadi pada usia dewasa awal (20 sampai 30 tahun) dan dewasa
lanjut (50 sampai 60 tahun), psoriasis dapat dijumpai pada segala usia (Sales dan
Torres, 2014).
7
2.1.3 Etiologi
Meskipun pola pewarisan psoriasis masih belum sepenuhnya dipahami, telah
banyak penelitian menemukan adanya bukti akan keterlibatan faktor genetik pada
terjadinya psoriasis. Psoriasis terjadi pada 50% saudara kandung penderita
psoriasis dengan kedua orang tua yang juga menderita psoriasis. Tujuh puluh satu
persen penderita psoriasis usia anak memiliki riwayat keluarga positif akan
psoriasis. Tingginya angka prevalensi psoriasis pada kembar monozigot, yaitu
70% sementara kembar dizigot 20% juga mendukung konsep predisposisi genetik.
(Schon dan Boehncke, 2005). Diduga adanya keterkaitan faktor genetik dengan
beberapa lokus gen yaitu PSORS1, PSORS2, PSORS3, PSORS4, PSORS5,
PSORS6, PSORS7, PSORS 8 dan PSORS 9. Diantara lokus gen suseptibel
psoriasis tersebut didapatkan hubungan yang paling kuat dengan insiden psoriasis
adalah PSORS1 (Chandran dkk., 2010).
Faktor lingkungan memegang peranan penting pada terjadinya psoriasis.
Pencetus dari lingkungan antara lain infeksi (streptokokus, stapilokokus dan
human immunodeficiency virus), stress, obat-obatan (litium, beta blockers, anti
malaria, obat antiinflamasi non steroid, tetrasiklin, angiotensin converting enzyme
inhibitors, calcium channel blockers, kalium iodida), trauma fisik, paparan sinar
ultraviolet, faktor metabolik (pubertas, kehamilan), merokok, dan konsumsi
alkohol yang berlebihan (Gudjonsson dan Elder, 2012; Griffiths dan Barker,
2010; Kuchekar dkk., 2011).
8
2.1.4 Patogenesis
Psoriasis vulgaris ditandai oleh hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi
keratinosit epidermal, hiperaktivasi sel inflamasi seperti sel T, sel dendritik, atau
neutrofil, dan peningkatan angiogenesis di dermis (Krueger dan Bowcock, 2005;
Sun dan Zhang, 2014).
Terdapat beberapa jenis sel yang terlibat pada patogenesis terjadinya
psoriasis antara lain sel penyaji antigen (antigen-presenting cell/APC) termasuk
sel limfosit T, sel keratinosit, sel langerhans (Langerhans cell/LC) dan makrofag.
Sistem imunitas seluler alami dan didapat terutama aktivasi sel T memainkan
peran utama pada terjadinya psoriasis (Krueger dan Bowcock, 2005; Cao dkk.,
2007).
Pada individu dengan predisposisi genetik, rangsangan eksternal seperti
trauma (dikenal sebagai fenomena Koebner), infeksi, stres, obat-obatan, dan
alkohol dapat memicu episode awal psoriasis. Keratinosit yang terstimulasi
melepaskan deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang
membentuk kompleks dengan katelisidin leusin-leusin 37 (LL37) yang kemudian
menginduksi produksi IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid (pDC), yang
kemudian mengaktivasi sel dermal dendritik (dDC). Sel dDC bermigrasi ke
kelenjar limfe regional menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur
berinteraksi dengan sel T naif dan memproduksi sitokin yang akan memicu
diferensiasi dan ekspansi sel seperti sel Th1, Th17 dan Th22. Sel Th1 akan
menstimuli proliferasi keratinosit dengan mengekspresikan chemokine (c-x-c
motif) receptor 3 (CXCR3) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-
9
x-c motif) ligand 9/10/11 (CXCL9/10/11). Sel Th17, menstimuli keratinosit dalam
menghasilkan kemokin penarik neutrofil yaitu chemokine (c-c motif) receptor 6
(CCR6) dan dikemoatraksi oleh ligannya yakni chemokine (c-c motif) ligand 20
(CCL20) yang akan memicu proliferasi keratinosit. Sel Th-17 mensekresikan IL-
17A dan IL-17F, juga IFN-γ dan IL-22 yang menstimulasi proliferasi keratinosit
dan melepaskan β-defensin 1/2, S100A7/8/9 dan kemokin perekrut neutrofil
CXCL1, CXCL3, CXCL5, dan CXCL8. Neutrofil menginfiltrasi stratum korneum
dan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan α-defensin dengan aktivitas
antimikrobial, seperti CXCL8, IL-6, dan CCL20. Keratinosit juga melepaskan
vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor
(bFGF), dan angiopoetin untuk meningkatkan proliferasi sel endotel dan
merangsang angiogenesis (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Sel Langerhans pada stratum basalis berhubungan dan berinteraksi erat
dengan sel keratinosit melalui E-cadherin. Sel Langerhans berperan melalui
produksi IL-22 dan akhirnya Th22 (Fujita dkk., 2009). Makrofag berinteraksi
dengan sel keratinosit dan mensekresikan berbagai sitokin proinflamasi seperti
TNF-α, IFN-α/β, IL-1β, IL-6, IL-12, IL-10 dan IL-18 (Wang dkk., 2009). Pada
perbatasan dermis dan epidermis, sel T cluster of differentiation-8 (CD-8)
mengekspresikan very late antigen-1 (VLA-1) berikatan kolagen tipe IV,
melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-17, IL-21, IL-22 dan IFN-γ.
IL-17 dan IL-22 ini meningkatkan produksi LL-37 menyebabkan aktivasi terus
menerus dari sistem imunitas (Van de Kerkhoff, 2012; Gudjonson dan Elder,
10
2012; Davidovici dkk., 2010). Gambaran patogenesis psoriasis vulgaris dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Patogenesis psoriasis vulgaris (Van de Kerkhoff, 2012)
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis pada penderita psoriasis vulgaris biasanya memperoleh adanya
keluhan gatal dan bercak merah berisisik pada lokasi predileksi. Keluhan dapat
bersifat akut (hitungan hari) maupun kronis (bulanan sampai tahunan), dengan
ataupun tanpa riwayat rekurensi. Penyakit yang bersifat kronis dengan frekuensi
rekurensi tinggi memiliki prognosis yang lebih buruk karena sering dijumpai
perluasan lesi yang progresif (Krueger dan Bowcock, 2005). Selain hal diatas,
11
anamnesis juga sangat penting dalam mengetahui adanya konsumsi obat-obatan
yang dapat memicu psoriasis vulgaris, onset penyakit dan adanya riwayat
psoriasis pada anggota keluarga lain. Psoriasis beronset dini dengan adanya
anggota keluarga lain yang menderita psoriasis telah dihubungkan dengan lesi
yang lebih luas dan bersifat rekuren. Selain lesi kulit penderita psoriasis sering
kali mengeluhkan adanya nyeri sendi, kerusakan kuku maupun nyeri di lidah
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan
presentasi klasik dan yang paling sering dijumpai pada psoriasis. Lesi klasik
psoriasis berupa plak eritema berbatas tegas dan ditutupi skuama berwarna putih.
Skuama pada lesi tampak berwarna putih menyerupai lilin ketika dikerok
(fenomena Kaarsvlek atau tetesan lilin). Ketika pengerokan dilanjutkan maka
akan dijumpai bintik-bintik perdarahan berukuran kecil (pin point bleeding) yang
disebut sebagai tanda Auspitz. Kulit sehat yang sebelumnya digaruk oleh
penderita dapat berkembang menjadi lesi dalam jangka waktu kurang lebih dua
minggu (fenomena koebner atau isomorfik). Fenomena Kaarsvlek dan tanda
Auspitz merupakan ciri khas lesi psoriasis vulgaris yang sangat mudah diperiksa
secara klinis (Kuchekar dkk., 2011; Gudjonsson dan Elder, 2012). Lesi psoriasis
vulgaris cenderung simetris dijumpai pada bagian ekstensor ekstremitas terutama
siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia
Selain di tempat-tempat tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan
celah intergluteal (Meffert, 2016).
12
Berdasarkan gambaran klinisnya psoriasis dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bentuk antara lain (Gudjonsson dan Elder, 2012):
1. Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris merupakan 90% dari seluruh kasus psoriasis yang ditemukan.
Lesi khas dijumpai pada area predileksi psoriasis pada tipe ini. Meskipun
demikian variasi ukuran dan bentuk lesi menyebabkan lesi ini sering kali disebut
dengan nama yang berbeda-beda seperti psoriasis geografika (menyerupai peta),
psoriasis girata (gabungan beberapa plak), psoriasis anularis (menyerupai cincin),
psoriasis rupioid (menyerupai kerucut) dan psoriasis ostrasea (menyerupai kulit
kerang).
2. Psoriasis gutata
Dicirikan oleh munculnya plak berukuran kecil (diameter 0,5-1,5 cm) pada bagian
proksimal badan dan ekstremitas yang terjadi secara akut. Psoriasis gutata
umumnya dijumpai pada usia dewasa muda, dihubungkan dengan HLA-Cw6 dan
didahului oleh infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh streptokokus.
3. Psoriasis plak kecil
Dibedakan dengan psoriasis gutata oleh onsetnya yang terjadi pada usia tua,
sifatnya yang kronis serta ukuran lesi yang lebih besar (diameter 1 sampai 2 cm).
Selain itu lesi juga lebih tebal dan lebih berskuama.
4. Psoriasis inversa/fleksural
Sesuai namanya, lesi psoriasis inversa/fleksural umumnya dijumpai pada lipatan-
lipatan utama tubuh seperti aksila, genitokrural dan leher. Skuama biasanya sangat
sedikit atau tidak ada dan lesi menunjukkan eritema mengkilap berbatas jelas.
13
5. Psoriasis eritroderma
Psoriasis eritroderma merupakan bentuk psoriasis generalisata yang mengenai
seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas.
Meskipun gejala klasik psoriasis dapat dijumpai, pada tipe ini eritema adalah
gejala yang paling dominan.
6. Psoriasis pustulosa
Gejala utama psoriasis pustulosa ialah dijumpainya pustul multipel steril yang
menyebar di atas kulit yang eritema. Terdapat beberapa varian klinis psoriasis,
antara lain psoriasis pustulosa generalisata (tipe von Zumbusch), psoriasis
pustulosa anularis, impetigo herpetiformis dan psoriasis pustulosa lokalisata yaitu
pustulosis palmaris et plantaris dan akrodermatitis kontinua Hallopeau.
7. Sebopsoriasis
Sebopsoriasis ditandai oleh plak eritema dengan skuama berminyak terlokalisir
pada daerah-daerah seboroik seperti kulit kepala, lipatan nasolabial, perioral,
presternal dan intertriginosa.
8. Psoriasis popok
Psoriasis popok biasanya terjadi pada usia 3 sampai 6 bulan. Lesi awalnya muncul
pada area popok sebagai eritema multipel yang berkonfluen, kemudian diikuti
oleh munculnya papul eritema kecil. Papul ini memiliki skuama putih psoriasis
yang tipikal.
9. Psoriasis linearis
Bentuk ini merupakan bentuk psoriasis yang sangat jarang dijumpai. Lesi yang
dijumpai berbentuk linear dan berlokasi di ekstremitas.
14
Selain pada kulit, lesi psoriasis juga dapat dijumpai pada sendi, kuku dan
lidah. Empat puluh persen penderita psoriasis mengalami artritis yang disebut
dengan artritis psoriatik. Gejala yang djumpai berupa nyeri, bengkak, kaku,
kemerahan dan penurunan mobilitas sendi perifer, aksial, seluruh jari, tendon
maupun entesis (tempat perlekatan ligamen atau tendon ke tulang). Terdapat
beberapa manifestasi psoriasis pada kuku antara lain pitting nail, oil drop atau
salmon patch sign, beau lines, splinter hemorrhages, onikoreksis, leukonikia,
onikolisis, penipisan lempeng kuku, hiperkeratosis subungual dan onikolisis.
Meskipun tidak bersifat spesifik pada penderita psoriasis dapat dijumpai lidah
geografik yang juga dikenal sebagai glositis migratori benigna atau glositis areata
migrans. Kondisi ini terjadi akibat hilangnya papila filiformis lokal pada lidah
(Gudjonsson dan Elder, 2012; Boehncke dkk., 2015).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam menegakkan
diagnosis psoriasis vulgaris terdiri dari pemeriksaan darah, pemeriksaan
histopatologi. Pemeriksaan darah lengkap bersifat tidak spesifik dan berbagai
penanda inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), makroglobulin 2 dan laju
endap darah menunjukkan peningkatan. Albumin serum biasanya menurun akibat
hilangnya stratum korneum sementara profil lipid menunjukkan peningkatan.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya hiperkeratosis jenis
parakeratosis, akantosis, papilomatosis, dilatasi pembuluh darah, spongiform
pustules of Kogoj maupun mikroabses Munro. (Gudjonsson dan Elder, 2012;
Gerkowicz, 2012).
15
2.1.6 Penilaian Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris
Metode perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris yang digunakan adalah
Psoriasis Area and Severity Index (PASI). Penilaian ini membagi tubuh menjadi 4
regio, yaitu kepala (10% luas permukaan tubuh), lengan (20%), badan (30%) dan
tungkai (40%). Terdapat tiga faktor yang dinilai yaitu eritema (E), indurasi (I) dan
skuama (S), yang masing masing diberi angka 0 sampai 4 untuk menunjukkan
tidak adanya gejala sampai kondisi yang paling berat. Luasnya permukaan kulit
yang tertutup lesi kemudian diberi angka 0 sampai 6 (Oakley, 2016).
Nilai akhir PASI diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian dari
penjumlahan nilai eritema, indurasi dan deskuamasi tiap-tiap regio tubuh dengan
luas permukaan tubuh yang terlibat (angka 0 sampai 6) dengan koefisien peregio
tubuh (kepala 0,1, lengan 0,2, badan 0,3 dan tungkai 0,4). Nilai 0 menunjukkan
tidak adanya penyakit dan 72 menunjukkan kondisi penyakit yang paling berat.
Berdasarkan nilai PASI maka penderita psoriasis diklasifikasikan menjadi ringan
jika PASI < 7, sedang jika PASI 7-12 dan berat jika PASI > 12 (Oakley, 2016).
2.1.7 Penatalaksanaan
Terdapat 3 jenis terapi yaitu terapi topikal, fototerapi dan sistemik seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 2.2. Terapi pada psoriasis vulgaris diberikan
berdasarkan pada luas area tubuh yang terkena. Bila area permukaan tubuh yang
terkena kurang dari 10% (ringan), pilihan pengobatannya adalah pengobatan
topikal dan dapat dikombinasi dengan fototerapi. Bila area yang terlibat antara 10-
30 % (sedang) dapat diberikan terapi kombinasi antara terapi topikal, fototerapi
16
dan pusat perawatan harian. Sementara itu untuk kategori berat dengan
keterlibatan lesi lebih dari 30% area permukaan tubuh diperlukan pengobatan
sistemik yang dikombinasi dengan pusat perawatan harian, fototerapi dan terapi
topikal (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Terapi topikal terdiri dari emolien, glukokortikoid, analog vitamin D,
asam salisilat, dithranol, tazaroten dan tar. Fototerapi terdiri dari narrow-band
ultraviolet B (NB-UVB), broad-band ultraviolet B (BB-UVB), psoralen yang
dikombinasikan dengan sinar ultraviolet A (PUVA), laser excimer dan
klimatografi. Terapi sistemik terdiri dari metotreksat, asitretin, agen biologis
(alefacept, etanercept, adalimumab, infliximab, ustekinumab), siklosporin A,
hidroksiurea, 6-tioguanin, celcept dan sulfasalazin (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Gambar 2.2 Algoritme pemilihan terapi pada psoriasis vulgaris
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
17
2.2 Insulin
2.2.1 Metabolisme Glukosa dan Peranan Insulin
Karbohidrat yang masuk ke dalam tubuh akan dicerna dalam saluran
gastrointestinal untuk membentuk monosakarida yang kemudian diabsoprsi ke
dalam sirkulasi. Glukosa adalah hasil utama metabolisme karbohidrat. Glukosa ini
kemudian akan berperan sebagai sumber energi utama tubuh. Konsentrasi glukosa
dalam darah ditentukan oleh beberapa proses diantaranya penyerapan glukosa dari
saluran pencernaan, transportasi glukosa ke dalam sel, serta pembentukan glukosa
oleh hati (glikogenolisis) dan ginjal (glukoneogenesis) (Aronoff dkk., 2004).
Metabolisme glukosa terkait dengan insulin dalam pengaturannya. Insulin
disekresi sebagai respon atas meningkatnya konsentrasi glukosa darah. Insulin
mengatur konsentrasi glukosa darah dengan cara membawa glukosa masuk ke
dalam sel melalui reseptor yang terdapat pada membran sel. Glukosa tidak dapat
masuk dan diproses ke dalam sel tanpa adanya insulin. Target utama insulin
adalah hati, otot dan jaringan adiposa. Pada saat yang sama, produksi glukosa
endogen ditekan oleh efek langsung insulin yang disampaikan melalui vena portal
di hati dan efek parakrin atau komunikasi langsung dengan pankreas yang
menyebabkan penekanan glukagon. Setelah proses tersebut kadar glukosa dalam
tubuh akan kembali normal (Wilcox, 2005; Napolitano dkk., 2015).
2.2.2 Proses Pembentukan dan Sekresi Insulin
Insulin merupakan adalah hormon polipeptida yang disintesis dan diekskresikan
oleh sel β dari pulau langerhans pankreas. Fungsi insulin adalah mengatur kadar
18
normal glukosa darah. Ketika terjadi peningkatan kadar glukosa dalam plasma
darah, akan terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel β Langerhans. Tujuannya
adalah untuk memasukkan glukosa darah tersebut ke dalam sel sebagai sumber
energi, cadangan energi, dan mempertahankan kadar normal gula di dalam darah.
(Wilcox dkk., 2005; McAuley dkk., 2011)
Insulin memiliki struktur dipeptida yang terdiri dari rantai A dan rantai B.
kedua rantai ini dihubungkan dengan jembatan sulfida yang menghubungkan
struktur helix dari rantai A dengan struktur sentral helix dari rantai B. insulin
mengandung 51 asam amino dengan berat molekul 5,8 kDA. Rantai A terdiri dari
21 asam amino dan rantai B 30 asam amino. (McAuley dkk., 2011; Ozougwu
dkk., 2013)
Preproinsulin merupakan produk translasi pertama dari gen insulin. Sinyal
peptida diikat oleh partikel pengenal sinyal (signal recognition particle, SRP),
kemudian melalui interaksi dengan reseptor SRP pada membran retikulum
endoplasma (RE), terjadi penetrasi preproinsulin ke dalam lumen RE yang diikuti
pembelahan proteolitik sinyal peptida dari preproinsulin menjadi proinsulin.
Selanjutnya proinsulin akan mengalami lipatan yang sesuai untuk membentuk
ikatan disulfida. Pada saat itu proinsulin yang telah dilipat dipindahkan ke
aparatus golgi untuk menghasilkan insulin dan peptida C (Senel E dkk., 2011; Fu
dkk., 2013).
Sekresi insulin dari sel-sel beta pulau langerhans diatur oleh sejumlah
faktor, tetapi sinyal stimulasi yang dominan ialah peningkatan glukosa darah yang
terjadi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat. Selain
19
glukosa yang merangsang terjadinya sekresi insulin, pada sel beta secara
langsung, hal ini dimungkinkan juga oleh fungsi potensial dari efektor lainnya
seperti asam lemak bebas, asam amino, dan hormon inkretin (glucagon-like
peptide-1, GLP-1). Kesemuanya ini memerlukan tingkat ambang glukosa tertentu
untuk dapat berefek. (Joshi dkk., 2007; Tosson dkk., 2013).
Setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa, tahap pertama adalah
proses glukosa diangkut dari dalam darah melewati membran sel masuk ke dalam
sel; proses ini memerlukan senyawa pengangkut glukosa yaitu glucose
transporter (GLUT). Glukosa akan mengalami fosforilasasi dan oksidatif oleh
aktivasi glukokinase (mengubah glukosa menjadi glukosa-6 fosfat) didalam sel
dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk
dibutuhkan untuk proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel.
Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sel. Selanjutnya akan terjadi
pembukaan voltage-gated Ca2+
channel diikuti dengan masuknya Ca2+
ekstrasel
yang berfungsi untuk mengaktifkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Selanjutnya molekul insulin masuk ke dalam sirkulasi darah terikat dengan
reseptor (Wilcox dkk., 2005; Boucher dkk., 2014; King, 2016 ).
2.2.3 Aktivitas Insulin
Insulin dalam melakukan aksinya harus berikatan dengan reseptor spesifik insulin.
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel
20
tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal
yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan
lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah
berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas glucose
transporter-4 (GLUT-4) dan selanjutnya juga pada mendorong penempatannya
pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolisme (Wilcox, 2005). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa
normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal,
dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya DM tipe 2 (Boura dkk., 2009).
Insulin membantu mengatur glukosa postprandial dengan tiga cara.
Pertama, insulin mengirimkan sinyal kepada sel-sel jaringan perifer yang sensitif
terhadap insulin, terutama otot skelet untuk meningkatkan ambilan atau uptake
glukosa. Kedua, insulin meningkatkan terjadinya glikolisis pada hati. Terakhir,
insulin secara simultan menghambat sekresi glukagon dari sel α pankreas, yang
memberi sinyal kepada hati untuk menghentikan produksi glukosa melalui
glikogenolisis dan glukoneogenesis. (Arora dkk., 2011).
2.2.4 Resistensi insulin
Resistensi insulin adalah ketidakmampuan dari sejumlah insulin endogen atau
eksogen untuk meningkatkan pengambilan dan penggunaan glukosa. Akibatnya
21
untuk kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak
daripada normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemik. Pankreas akan
melepas lebih banyak insulin untuk menyeimbangkan glukosa darah, namun
sebagian besar dari insulin tersebut tidak akan berfungsi efektif (Napolitano dkk.,
2015).
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, reseptor
dan post reseptor. Gangguan pre reseptor dapat disebabkan oleh antibodi insulin
dan ganguan pada insulin. Gangguan reseptor dapat disebabkan oleh jumlah
reseptor yang kurang atau kepekaan reseptor yang menurun. Sedangkan gangguan
post reseptor disebabkan oleh gangguan pada proses fosforilasi dan pada signal
transduksi didalam sel. Daerah utama terjadinya resistensi insulin adalah pada
post reseptor sel target dijaringan otot skeletal dan sel hati. Kerusakan post
reseptor ini menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi insulin oleh sel beta
sehingga terjadi hiperinsulinemia pada keadaan puasa maupun postprandial
(Huang, 2009).
Resistensi insulin lebih sering terjadi pada dewasa dengan usia lebih dari
40 tahun. Resistensi terhadap insulin dihubungkan pada banyak gangguan
metabolisme tubuh dan penyakit, seperti sindroma polikistik ovarium, kanker,
infeksi, obesitas dan diabetes (khususnya tipe 2). Resistensi insulin juga berkaitan
dengan kondisi hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia, suatu kumpulan gejala
yang disebut sebagai sindroma metabolik. Resistensi insulin diyakini menjadi
faktor inisiasi terjadinya sindroma metabolik dan mendasari patofisiologi gejala-
gejla yang ada pada sindroma metabolik. Resistensi insulin menyebabkan
22
hiperinsulinemia yang dapar berlanjut menjadi intoleransi glukosa, dislipidemia
aterogenik, hipertrigliseridemia dan peningkatan tekanan darah. Korelasi kuat
resistensi insulin dengan sindroma metabolik menyebabkan sindroma metabolik
juga disebut sebagai sindroma resistensi insulin. Resistensi insulin biasanya telah
terjadi jauh sebelum munculnya penyakit-penyakit tersebut. Pola hidup seperti
olahraga juga menjadi faktor pendukung terjadinya resistensi insulin. Olahraga
akan meningkatkan sensitivitas insulin. Orang yang sangat jarang berolahraga
cenderung memiliki tubuh yang tidak sensitif terhadap fungsi insulin di dalam
tubuh. Oleh karena itu, olahraga juga termasuk salah satu penanganan terhadap
diabetes, untuk merangsang tubuh mengurangi resistensi terhadap insulin
(Takahashi dkk.,2012).
2.2.5 Homeostatic Model Assessment of Insulin Resistance
Homeostatic model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) adalah suatu
pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas insulin pada keadaaan
basal (Lestari, 2011). Nilai HOMA-IR didapatkan dari penghitungan kadar insulin
puasa (μU/ml) x glukosa puasa (mg/dL)/405 dalam plasma (Matthew dkk., 1985).
Berdasarkan cut off dari penelitian di Jepang untuk HOMA-IR adalah 2,5.
Resistensi insulin akan meningkat bila nilai HOMA lebih besar dari nilai cut off
(Yamada dkk., 2011).
Terdapat beberapa tehnik lain untuk mengukur sensitivitas insulin. Tehnik
hiperinsulinemic-euglycemic clamp adalah gold standard untuk mengukur
sensitivitas insulin, dapat mengukur kerja insulin secara kuantitatif. Namun
23
karena tehnik ini mahal, perlu banyak waktu dan perhatian intensif, menjadikan
tehnik ini kurang praktis. Beberapa pemeriksaan alternatif seperti frequently
sampled IV glucose tolerance test (FSIVGTT), insulin tolerance test (ITT),
insulin sensitivity test (IST), dan continous infusion of glucose with model
assesssment (CIGMA). Sayangnya, semua metode ini memerlukan akses
intravena dan vena punksi yang multipel. Tehnik pemeriksaan lain yang tidak
invasif adalah Oral Glucose Tolerance Test (OGTT), mudah dikerjakan namun
dipengaruhi penyerapan glukosa usus. Selain itu metode puasa adalah pengukuran
Insulin Puasa, Glucose/insulin Ratio (G/I ratio), Insulin Severity Index,
Quantitative Insulin Sensitivity Check index (QUICKI) dan Homeostatic Model
Assesment (HOMA). Metode yang paling sering digunakan adalah HOMA
(Wilcox dkk., 2005; Sing dkk., 2013).
2.2.6 Resistensi Insulin Pada Psoriasis Vulgaris
Pada psoriasis vulgaris terjadi suatu proses inflamasi kronis. Mekanisme
molekuler melibatkan psoriasis vulgaris dengan disregulasi fungsi metabolik
dengan meningkatnya sitokin-sitokin proinflamasi. Hubungan antara inflamasi
dengan resistensi insulin pertama kali dicetuskan oleh Hotamisligil pada tahun
1993 yang menyatakan bahwa sitokin proinflamasi TNF-α dapat menginduksi
resistensi insulin (Hotamisligil, 2000).
Inflamasi pada psoriasis vulgaris terjadi akibat peningkatan kadar sitokin
proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-7, IL-8, IL-17, IL-18 dan IL-23.
Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi ini akan menyebabkan terganggunya
transduksi sinyal insulin pada ketiga jaringan target dan akhirnya menyebabkan
24
hambatan pada transporter glukosa sensitif insulin yang utama yaitu GLUT 4
(Khan dan Flier, 2000; Gerkowicz dkk., 2012; Gudjonsson dan Elder, 2012;
Zheng, 2007). Reseptor insulin merupakan tirosin kinase. Ikatan insulin dengan
reseptornya menyebabkan fosforilasi pada residu tirosin dari IRS-1 yang
mengaktivasi enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme glukosa yang
normal. Pada resistensi insulin, terjadi inhibisi pada ikatan insulin dan reseptornya
yang mengakibatkan penurunan fosforilasi tirosin pada IRS-1 serta peningkatan
fosforilasi serin pada IRS-1. Selanjutnya akan terjadi penurunan aktivitas
fosfoinositida 3-kinase (PI3-K) yang mengakibatkan terganggunya translokasi,
penyimpanan, dan fusi dari vesikel yang mengandung GLUT 4 dengan membran
plasma. Akibatnya terjadi penurunan transpor glukosa ke dalam sel sehingga
menyebabkan hiperglikemia. Inhibisi pada reseptor insulin juga menurunkan
aktivitas heksokinase yang berfungsi dalam fosforilasi glukosa dan enzim
fosfofruktokinase serta glikogen sintase yang mengakibatkan peningkatan glukosa
dalam darah. Pada keadaan hiperglikemia ini, akan merangsang sel beta pankreas
untuk menghasilkan insulin dalam jumlah yang banyak sebagai kompensasi tubuh
atau disebut juga hiperinsulinemia. Produksi insulin yang berlebihan ini
selanjutnya akan menyebabkan penurunan sensitivitas reseptor insulin. Keadaan
hiperglikemia dan hiperinsulinemia akan menyebabkan resistensi insulin yang
akan ditandai dengan peningkatan nilai HOMA-IR. Apabila sel β pankreas tidak
mampu untuk mengimbangi proses ini maka selanjutnya akan terjadi diabetes
mellitus tipe 2 (Shulman, 2000; Sulistyoningrum, 2010).
25
Tumor necrosis factor-α menyebabkan resistensi insulin melalui jalur
gangguan perlekatan insulin melalui inhibisi aktivitas tirosin kinase reseptor
insulin. TNF-α menyebabkan supresi adiponektin yang merupakan molekul
antiinflamasi yang penting dalam regulasi sensitivitas insulin. TNF-α
meningkatkan produksi leptin yang dapat meningkatkan resistensi insulin melalui
mekanisme autokrin dan parakrin. TNF-α juga dapat menyebabkan resistensi
insulin melalui down regulation ekspresi gen GLUT-4 sehingga menyebabkan
penurunan transport glukosa (Azfar dan Gelfand, 2008).
Interleukin-1 berperan sebagai antagonis uptake glukosa yang
diperantarai insulin oleh sel adiposit, yang disintesis oleh TNF-α dan dapat terikat
dengan reseptor TNF-α di jaringan lemak, menyebabkan penghambatan kerja
insulin. Interleukin 6 yang dijumpai meningkat pada pasien psoriasis vulgaris juga
terlibat pada patogenesis terjadinya obesitas, intoleransi glukosa dan resistensi
insulin. IL-6 dan IL-1β secara bersamaan meningkatkan faktor risiko terjadinya
resistensi insulin. Peran IL-7 dalam menyebabkan resistensi insulin belum
sepenuhnya jelas, namun pada penelitian menggunakan mencit dikatakan ekspresi
berlebihan IL-7 menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Peningkatan IL-8 juga
ditemukan pada psoriasis vulgaris dan resistensi insulin. IL-8 menghambat aksi
insulin melalui jalur MAP kinase, yaitu jalur pensinyalan ekstraseluler yang
mempengaruhi sensitivitas atau derajat respon insulin untuk mengontrol ekspresi
gen reseptor seperti insulin (insulin-like receptor). Jalur MAP kinase ini berfungsi
mengontrol keseimbangan dan homeostasis kadar glukosa sistemik. Sitokin
proinflamasi seperti TNF-, IL-1 dan CRP merangsang sintesis IL-8 (Gerkowicz
26
dkk., 2012).
Interleukin 17 yang dihasilkan oleh sel Th17 menyebabkan
mobilisasi neutrofil dan merangsang sekresi IL-6, IL-8. Peningkatan IL-17
dijumpai pada psoriasis vulgaris dan diabetes mellitus tipe 2. Interleukin 17
berperan dalam regulasi adipogenesis dan metabolisme glukosa (Azfar dan
Gelfand, 2008; Gerkowicz dkk., 2012). Interleukin 18 merangsang sintesis IFN
oleh sel T helper, T sitotoksik dan NK. Akibatnya akan terjadi penurunan respon
Th-2 dan peningkatan respon Th1. Kadar IL-18 berhubungan dengan lingkar
pinggang, kadar trigliserida, tekanan darah, kadar insulin. Peningkatan kadar IL-
18 dijumpai baik pada psoriasis maupun sindroma metabolik. (Gerkowicz dkk.,
2012). Interleukin 23 memainkan peran penting pada respon imun sel T, berperan
dalam differensiasi sel Th17 yang kemudian teraktivasi dan memproduksi IL-17,
IL-6, TNF-α dan IL-22. Peningkatan IL-23 dijumpai pada penderita psoriasis
vulgaris dan resistensi insulin (Zheng 2007).
Terdapat beberapa penanda biokimia lain selain TNF-α dan interleukin
yang fluktuasinya dijumpai serupa baik pada psoriasis vulgaris maupun resistensi
insulin (Gerkowicz dkk., 2012; Sales dan Torres, 2014; Davidovici dkk., 2010).
Penanda ini antara lain ialah Plasminogen-activator-inhibitor 1 (PAI-1),
adiponektin, resistin dan leptin (Gerkowicz dkk., 2012, Davidovici dkk., 2010).
Plasminogen-activator-inhibitor 1 (PAI-1), adalah inhibitor serin protease dan
merupakan penghambat utama fibrinolisis dengan menginaktifkan aktivator
plasminogen tipe jaringan. Peningkatan PAI-1 juga terbukti berkaitan dengan
resistensi insulin. Adiponektin merupakan suatu polipeptida yang terutama
dihasilkan oleh adiposit, suatu polipeptida yang memiliki efek anti inflamasi dan
27
anti aterogenik. Adiponektin berfungsi dalam menghambat sintesis dan sekresi
TNF- di jaringan lemak dan otot jantung, selain juga menghambat produksi IL-
6, IL-8, vascular adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan reactive oxygen species
(ROS) di sel endotel (Gerkowicz dkk., 2012). Penurunan kadar adiponektin
dijumpai pada resistensi insulin dan psoriasis vulgaris. Sementara itu terjadi
peningkatan kadar resistin, leptin baik pada psoriasis vulgaris maupun resistensi
insulin (Gerkowicz dkk., 2012; Ulyanik dkk., 2002).
Resistin adalah suatu polipeptida yang disintesis oleh monosit dan
makrofag pada jaringan lemak yang mampu menstimulasi sintesis TNF- yang
terkait dengan patogenesis psoriasis vulgaris. Hubungan resistin dan resistensi
insulin sudah banyak diteliti, walaupun belum sepenuhnya dijelaskan. Dilaporkan,
seekor tikus yang diberi resistin mempunyai sensitivitas yang rendah terhadap
insulin, dan penderita obesitas mempunyai resistin dengan kadar yang tinggi
dibandingkan bukan obesitas (Melis dkk., 2016).
Leptin adalah suatu polipeptida yang juga disintesis oleh adiposit,
berperan sebagai neuropeptida yang berfungsi untuk mengurangi nafsu makan dan
mengatur asupan makanan. Suatu keadaan hiperleptinemia merupakan faktor
risiko diabetes mellitus tipe 2. Dilaporkan, pasien dengan psoriasis vulgaris
mempunyai kadar leptin yang tinggi dibandingkan kontrol. Diketahui bahwa
kadar leptin yang tinggi terlibat pada patogenesis psoriasis vulgaris dengan
menstimulasi sintesis sitokin Th-1 (Melis dkk., 2016).
Untuk lebih memahami mekanisme terjadinya resistensi insulin pada
psoriasis vulgaris, dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.
top related