bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i ngurah...berbuat sesuatu (pasal 1234 bw). dengan...
Post on 04-Apr-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga
orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya.
Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi
hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli
pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak di mana pihak
pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.1
Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian
dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya
kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan
antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat.
Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi
bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional.
1 R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10, PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya
disebut Subekti I).
2
Fungsi kontrak sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang
dibentuk dari janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal
terjadi pelanggaran, maka terdapat kompensasi yang harus dibayar dan
konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Dalam dunia bisnis, waktu dan
kepastian merupakan faktor yang penting. Hukum kontrak dalam hal ini
memberikan sarana yang memungkinkan para pihak mengakomodasi seluruh
kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji-janji tersebut
menimbulkan harapan-harapan yang layak. Hukum kontrak dalam hal ini
merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji
dan harapan itu.2
Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Titel II Pasal 1313
sampai dengan Pasal 1351 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No. 23 (selanjutnya
disebut BW). Menurut Pasal 1313 BW, yang dimaksud dengan perjanjian adalah
suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan
atau tertulis. Dari sini timbul suatu penawaran dan suatu acceptance
(penerimaan), sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan
timbulnya ikatan-ikatan bagi masing-masing pihak.
Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan
untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan. Hak dan kewajiban yang
perlu diwujudkan ini, berupa prestasi yang tersimpul dalam suatu kewajiban untuk
2 Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian ; (Prinsip Hukum Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 32-33.
3
memberikan atau menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).
Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat
antara para pihak. Pihak yang satu dapat menuntut prestasi yang diperjanjikan
pada pihak lainnya. Untuk itu para pihak diwajibkan untuk secara efektif berperan
dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan. Mengingat perjanjian berlaku sebagai
undang-undang maka jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak
lainnya dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui gugatan dipengadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Pemenuhan persyaratan ini membuat setiap orang dapat membuat perjanjian
apa saja. Pasal 1320 BW disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas
konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal-
hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan
berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat (1) BW, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi
ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang
kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari
pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian
4
adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak
dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.3 Asas itikad baik dengan
demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat
perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad
baiknya.4
Pengaturan itikad baik di Indonesia ditemukan yang dalam Pasal 1338 ayat
(3) BW yang menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.
Ketentuan ini sangat abstrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik
dalam BW. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur
itikad baik tersebut.
Asas iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa
para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan
dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma
hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik
sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan
tujuan hukum.5 Pelaksanaan perjanjian mengacu kepada itikad baik yang objektif.
Itikad baik objektif mengacu kepada suatu norma yang objektif. Itikad baik
tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula
mengacu kepada pengaturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan makna
3 Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26.
(Selanjutnya disebut Subekti II). 4 Sutan Remy Sjahdeni, 2008, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 49.
5 Arthur S. Hartkamp dan Marianne dalam Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 56-62. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I)
5
yang demikian itu menjadikan standar itikad baik sebagai suatu universal social
force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warga negara
harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua
warga negara.6
Penyamaan perilaku itikad baik dengan ketaatan pada standar objektif
membatasi elastisitas konsep itikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang
menunjukkan perilaku itikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang
tidak adil. Standar pengukuran perilaku dalam pembentukan perjanjian,
pelaksanaan perjanjian, atau penegakan hukum perjanjian harus menjadi sesuatu
yang elastis. Standar tersebut harus dibuat fleksibel dengan gagasan itikad baik,
yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas. Gagasan itikad baik merupakan a
single mode of analysis comprising a spectrum of related, factual considerations.7
J.M van Dunn membagi tahapan berkontrak dalam tiga fase, yakni fase pra
kontrak, fase pelaksanaan kontrak dan fase pasca kontrak itikad baik sudah harus
ada sejak fase pra-kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga
mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak8 Itikad baik pada tahap pra-
kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan
meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah yang
dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu, putusan-putusan Hoge Raad
menyatakan para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki itikad baik.9
6 Ibid. 7 Ridwan Khairandy, 2011, “Kebebasan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda Versus
Itikad Baik: Sikap yang harus diambil Pengadilan,” disampaikan pada, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum kontrak, Universitas Islam Indonesia, tanggal 8 februari, hal. 26-27. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II).
8 Ibid, hal. 190. 9 Ibid, hal. 190.
6
Itikad baik subjektif dapat dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Seorang
pembeli yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan niat
untuk membeli suatu benda yang diinginkan dengan kesadaran bahwa untuk
membeli benda tersebut diperlukan pembayaran. Pembeli yang beritikad baik ini
adalah seorang pembeli yang jujur. Sebaliknya adalah pembeli yang beritikad
buruk atau pembeli yang tidak jujur.
Jadi, itikad baik di dalam hukum benda di artikan sebagai kejujuran.
Penjual yang beritikad baik atau penjual yang jujur adalah orang yang jujur yang
menunjukkan adanya cacat yang melekat pada barang yang dijualnya itu, dalam
hal jual beli tanah, penjual jujur menunjukkan cacat mengenai asal usul tanahnya.
Dalam hal ini, itikad baik merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik subjektif
ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan yaitu apakah yang bersangkutan
menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan
itikad baik atau kejujuran.
Pihak yang memiliki itikad baik dalam tahap pra perjanjian/kontrak jual
beli tanah namun menderita kerugian pada tahap pelaksanaan perjanjian/kontrak,
hak-haknya patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjian/kontrak
akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya, dimana asas itikad baik harus
sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau pelaksaan kontrak.
Sementara itu, masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat sehari-hari dan itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang
penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan
hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum.
7
Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli
atas tanah, seperti status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau
tidak dan sedang dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam
surat pernyataan tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan
diketahui oleh pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad
baik yang ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang
telah disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli
yang telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan
ke instansi manapun. Hal ini merupakan salah satu problem hukum apabila
penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya
mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti misalnya tanah sedang dijaminkan
tetapi tidak dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masih
dalam sengketa tetapi dikatakan tidak dalam sengketa. Selain itu, bila pembeli
atau penjual tidak mempunyai itikad baik akan menyulitkan notaris untuk
membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat notaris kesulitan dalam menilai
itikad baik dari para pihak baik penjual maupun pembeli.
Iktikad baik sebernarnya tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para
pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik
ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.10 Dengan
makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu tekanan
sosial yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara
10 P. van Warmelo, 1976, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co
Ltd, Cape Town, hal. 151.
8
harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua
warganegara.25 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan
dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan Roscoe Pound yang menyatakan
jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang
didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang
serupa terhadap dirinya.11
Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak pada
berbagai sistem hukum tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan
sejumlah permasalahan hukum lainnya. Permasalahan hukum tersebut diantaranya
berkaitan keabstrakan atau kekaburan makna itikad baik sehingga timbul
pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan
orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik, dalam praktik (praktek)
timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut.
Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak
disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per
kasus.12 Permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya berkaitan dengan
kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang
berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada
makna tunggal itikad baik tersebut, timbul pula permasalahan mengenai tolak
ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta
fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim
11 Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di
Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 51-71.
12 Budi Untung, 2012, Hukum dan Etika Bisnis, Andi, Yogyakarta, hal.87
9
yang ditentukan secara kasus per kasus. Demikian juga bila dikaitkan dengan
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang pada saat ini seringkali penjual
maupun pembeli banyak menggunakan penipuan atau itikad buruk pada waktu
melakukan transaksi jual beli tanah. Hal ini terjadi mengingat harga tanah
semakin hari semakin meningkat pesat sehingga mengundang minat orang untuk
meraih keuntungan sesaat yang besar namun dengan cara melakukan penipuan
dalam transaski jual beli tanah yang mengabaikan asas itikad baik.
Penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus
didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang
mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua
belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum
sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus
memuat nilai-nilai keadilan.
Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu
kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang
daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun
kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian.
Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau
doktrin kejelasan makna (plain meaning rules).13 Idealnya suatu kontrak tidak
memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam
kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari
klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis
13Suhardana, 2008, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 65.
10
dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi
memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan
mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.14
Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual
beli hak atas tanah yaitu :
1. Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan judul ”Kajian Kontrak Baku
dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam
Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara
Nyonya X dengan Pt. Putra Surya Perkasa)”. Magister Hukum Ekonomi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2012. Rumusan masalah
dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku
khususnya pada perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun?
b. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi calon
pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam perjanjian
pengikatan jual beli satuan rumah susun?
Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya
jika penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka membahas perjanjian pengikatan
14 Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Iuq Quia Iustum, No.2, Vol.20, hal. 208-209.
11
jual beli tanah satuan rumah susun permata Gandaria, sedangkang pada
penelitian yang akan dilakukan membahas itikad baik dalam perjanjian
pengikatan jual beli tanah pada umumnya.
2. Penelitian Erna Widjajati dengan judul ”Itikad Baik dalam Jual Beli Tanah
di Indonesia”. Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2010. Rumusan masalah dari tesis ini
adalah sebagai berikut :
a. Apakah perbuatan penjual yang menyatakan bahwa tanah yang
dijualnya kepada pembeli tidak dalam sengketa baik mengenai haknya
atau batas-batasnya, namun dalam pelaksanaan perjanjian ternyata
tidak sesuai dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum
menurut KUH Perdata?
b. Apakah penjual memiliki itikad tidak baik dalam perjanjian jual beli
tanah tersebut?
c. Apakah pengadilan agama memiliki kewenangan untuk meletakkan
sita jaminan terhadap tanah yang merupakan harta bersama antara A
dengan S?
Penelitian Erna Widjajati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama
meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian
Erna Widjajati membahas mengenai itikad baik dalam jual beli tanah di
Indonesia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas
mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas
tanah.
12
3. Penelitian Bronto Hartono dengan judul “Prinsip Itikad Baik dalam
Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di
Regional Office Semarang”. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan,
Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2013. Rumusan masalah dari
tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Apakah cacat (kesehatan) tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip
Utmost Good Faith?
b. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat
(kesehatan) tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa, jika
dihubungkan dengan prinsip Utmost Good Faith?
c. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian
asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi?
Penelitian Bronto Hartono dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya
jika penelitian Bronto Hartono membahas tentang prinsip itikad baik
dalam pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwasraya
(Persero) di Regional Office Semarang, sedangkan pada penelitian yang
akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian
pengikatan jual beli hak atas tanah.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
13
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Asas Itikad Baik dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan
jual beli hak atas tanah?
2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas
itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini merupakan upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas
tanah. Berdasarkan hal ini tujuan umum dari penelitian ini adalah “untuk
mengetahui dan menganalisis asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual
beli hak atas tanah.”
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana mewujudkan asas itikad
dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
14
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang terjadi jika tidak
merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak
atas tanah.
1.4 Manfaat Penelitian
Tiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah yang
diselidiki. Untuk itu perlu dirumuskan secara jelas tujuan penelitian yang bertitik
tolak dari permasalahan yang diungkap. Suatu penelitian setidaknya harus mampu
memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam kehidupan masyarakat.
Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu
dari segi teoritis dan segi praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan
hukum khususnya hukum perdata dalam hal perjanjian pengikatan jual beli
hak atas tanah dan ilmu pengetahuan lainnya.
2. Memberi masukan bagi para pihak yang membutuhkan pengetahuan
mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas
tanah.
3. Bermanfaat sebagai bahan kajian awal yang lebih mendalam bagi peneliti
lainnya yang akan melakukan kajian atas asas itikad baik dalam perjanjian
pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau masyarakat dalam
memaknai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas
tanah.
15
2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
dapat memberikan informasi dalam memahami asas itikad baik dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger15 sebuah teori adalah
seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan
variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan
konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.
Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian
sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan
Teori Kehendak, sedangkan asas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Asas Kepatutan dan Prinsip Rasionalitas serta konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah Konsep Jual Beli.
1.5.1.1 Teori Keadilan
Transaksi jual beli tanaj mempersyaratkan adanya itikad baik antara
penjual dan pembeli. Itikad baik penjual dengan menunjukkan kejujuran
mengenai tanah yang dijualnya meskipun ada cacat yang tersembunyi yang
15 Fred N. Kerlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-
17.
16
mungkin tidak mudah untuk diketahui pembeli, sedangkan itikad baik pembeli
ditunjukkan dengan sikap percaya dari pembeli atas penawaran yang diajukan
oleh penjual. Adanya itikad baik antara penjual dan pembeli itu dapat
mewujudkan keadilan dalam transaksi jual beli tanah yang berarti juga tidak ada
pihak baik penjual ataupun pembeli yang dirugikan. Oleh karena itu, Teori
Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis rumusan masalah
yang pertama yaitu cara mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual
beli hak atas tanah yang berarti juga mewujudkan keadilan diantara pihak penjual
dan pembeli..
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,16 yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga
menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.17
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi
rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen
oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
16Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,
Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.
17Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.
17
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian
menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan
Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa
Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek
kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya
tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang
lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama
dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.18
Oleh karena itu hukum diciptakan untuk menggapai keadilan melalui peraturan
perundang-undangan yang adil sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi orang
banyak. Dengan demikian dari 3 tujuan hukum, keadilan, kepastian dan
kemanfaatan, keadilan didudukan pada urutan yang pertama dan utama.
Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik
Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan
secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal
itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu
dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila
hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.19
18 Achmad Ali, Op.Cit., hal. 69 19Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone,
Jakarta, hal. 95-96.
18
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang
kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian
hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap
kasus.
Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran
yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam
hukum semenjak masa Yunani Kuno.20 Memang secara hakiki, dalam diskursus
hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam
arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti
materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita
keadilan masyarakat.21 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,
pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-
beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku
atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori
hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal
hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua)
arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan
yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis
diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran
Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato,
20E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.96. 21Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.
19
menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.
Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-
prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.22
Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum
membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan
korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok
persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa
kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan
perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the
law)23. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian
keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan
secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak
siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang
turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya
John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.
Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang
individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian
keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta
mendukung upaya tersebut).24
22W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 23Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 24 John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Mahendra, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.
11.
20
Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan
merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan
atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri
pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur
manfaat).25
1.5.1.2 Teori Kehendak
Teori kehendak dalam penelitian ini digunakan untuk membahas rumusan
masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik
dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua
yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual
beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Tidak adanya itikad baik dari para pihak atau
salah satu pihak sebenarnya terjadinya kehendak para pihak adalah semu. Jika saja
piha yang bertikad baik mengetahui bahwa pihak lain tidak memiliki itikad baik
tentunya tidak ada pertemuan kehendak yang berarti juga tidak terjadainya
perjanjian diantara para pihak.
Teori kehendak termasuk salah satu teori hukum kontrak klasik yang
berasal dari prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para
pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang demikian
25 Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal, 48-
51.
21
memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut (1) hukum yang berlaku bagi
mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari
pihak yang berjanji; (2) maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum
dibuatnya kontrak; (3) hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah
dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang
tidak terduga; dan (4) pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya.26
Teori kehendak adalah salah satu teori dari hukum kontrak klasik.
Menurut teori kehendak suatu kehendak menghadirkan suatu ungkapan kehendak
di antara para pihak, yang harus dihormati. Dalam teori kehendak berasumsi
bahwa suatu kontrak melibatkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para
pihak. Para pihak dalam suatu perjanjian memiliki hak untuk memenuhi
kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya
ialah bahwa para pihak harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan
mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya.
Subekti mengungkapkan bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian. Kontrak atau perjanjian semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada. Para pihak membuat kontrak dengan beberapa kehendak yaitu :
a. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji; b. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih; c. Pihak dalam suatu perjanjian; d. Kebutuhan terhadap janji-janji yang dimuat dalam bentuk kewajiban, dan; e. Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakkan hukum.27
Perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah sebenarnya mencantumkan
janji-janji antara pihak penjual dengan pihak pembeli melalui klausula-klausula
26 Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18, hal. 46.
27 R. Subekti, Op.Cit, hal. 3.
22
hak dan kewajiban para pihak. Kehendak para pihak yang disebutkan dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah ini harus dinyatakan oleh para
pihak. Suatu pernyataan kehendak antara pihak penjual dengan pihak pembeli
merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat tidak akan pernah ada.
Teori kehendak dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah adalah
sebagai teori yang menegaskan bahwa terdapat kebebasan bagi para pihak untuk
mewujudkan kehendaknya yang dinyatakan dalam transaksi hukum dua belah
pihak yaitu dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.5.1.3 Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 BW berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya Suatu perjanjian dilaksanakan dengan terlebih dahulu harus
menetapkan secara tegas dan cermat apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut.
Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak. Akan tetapi dalam kenyataannya seseorang dalam
mengadakan kontrak tidak mengatur maupun menetapkan secara teliti mengenai
hak dan kewajiban mereka. Biasanya para pihak hanya menyebutkan hal-hal yang
pokok dan penting saja.28
Berdasarkan Pasal 1339 BW, satu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan,
28 O.C.Kaligis, 2009, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, Alumni, Bandung, hal.. 191.
23
kebiasaan, dan undang- undang. Dengan kata lain, setiap perjanjian dilengkapi
dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan. Sedangkan
kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh keputusan (norma kepatutan) juga
harus diindahkan. Dalam Pasal 1339 BW inilah,dapat diketahui bahwa kepatutan
dan adat kebiasaan ditunjuk sebagai norma di samping undang-undang yang ikut
berperan dalam menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Kepatutan dalam perjanjian berkaitan dengan kesesuaian dan keselarasan
antara perjanjian dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Kepatutan dengan acuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan
tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan pula dengan prinsip itikad baik dan
prinsip kehati-hatian. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada
waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian
obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada
norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam
masyarakat.29 Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan dalam perjanjian terdapat
asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian tidak terbatas
pada hal yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur-unsur lain sepanjang
sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan serta moral.
1.5.1.4 Prinsip Rasionalitas
Prinsip rasionalitas pertama kali diperkenalkan oleh John Rawl. Rawls
menawarkan suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan
29 Purwahid Patrik, 2006, Asas lktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan
Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 36.
24
membangun teori keadilan berbasis kontrak.30 Menurutnya suatu teori keadilan
yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas
keadilan yang dipilih merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu
yang bebas rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori
keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan
kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls
menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap
konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi
kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as
fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan
kesamaan.31 Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih
mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip keadilan distributif
dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut:32
a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi)
yang harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya
jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan
terwujud (prinsip kesamaan hak).
b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial
ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak
30 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 31 Ibid. 32 Ibid.
25
mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan
prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan
dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan
prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality
of opportunity.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa keadilan hanya dapat
dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank
tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan
maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi
konsep justice as fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan
kesamaan.
1.5.1.5 Konsep Jual Beli
Dalam Teori Jual Beli, jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian atau
persetujuan khusus yang ada dalam BW mulai Pasal 1457 BW sampai dengan
Pasal 1540 BW. Sedangkan untuk definisi dari jual beli sendiri disebutkan dalam
Pasal 1457 BW.33
Jadi perjanjian jual beli adalah perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu
pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana si penjual berjanji akan menyerahkan
hak sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar
harga barang tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara
penjual dan pembeli.
33 Salim, H. S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal. 49.
26
Dari pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 BW tersebut,
persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :
a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli.
b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam
pihak yang satu (penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga
barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.34
Disamping jual beli yang diatur oleh BW (yang tertulis) di dalam
pergaulan masyarakat di Indonesia juga dikenal suatu pengertian jual beli yang
diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).
Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang
artinya bahwa jual beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya
bahwa jual beli itu dianggap telah dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga
yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi menurut Hukum Adat
yangdinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka yang dilakukan antara
kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si
pembeli dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan
pembayaran harga pembelian. Maka selama penyerahan belum terjadi, belumlah
34 R. Subekti I, Op.Cit, hal.1.
27
ada terjadi jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si
pembeli.35
Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan
asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah
dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka
lahirlah jual beli yang sah dan mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah
berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui
dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”, sekalipun barangnya
belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 BW). Pasal 1458 BW
ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang dirumuskan dalam Pasal
1457 BW.
Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 1457 BW dan Pasal 1458 BW
pengertian jual beli yang dianut oleh BW adalah harus mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Persetujuan/kata sepakat
2. Kewajiban menyerahkan barang
3. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.
Apabila diteliti unsur-unsur tersebut sifatnya terbatas, sehingga
berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat dikatakan jual beli menurut BW hanya
mempunyai sifat ”obligatoir” (mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke
werking,” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.36
35 A. B Loebis, 1976, Jual Beli Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta, hal. 5. 36 Djoko Prakoso dan Bambang Riyani Lany, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu
Di Indonesia, Jakarta, hal. 3
28
Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenarnya adalah hak dan
kewajiban si penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si
pembeli. Perihal kewajiban yang utama terdapat pada Pasal 1474 BW, yaitu ia
mempunyai kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung.
Sedangkan dalam Pasal 1516 BW, adalah memberikan hak kepada pembeli untuk
menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai akibat gangguan yang dialami
oleh pembeli atas barang yang dibelinya.
1. Kewajiban pihak penjual
Dalam sistematika BW, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab
Kelima, Bagian Kedua mulai dari Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512
BW. Menurut BW, bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu :
a. Kewajiban menyerahkan barangnya
Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai
suatu penyerahan pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan
hak milik atas barang-barang yang diperjualbelikan. Kewajiban
menyerahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum
diperlakukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang
diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli.
BW, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu : barang bergerak,
barang tetap dan barang tak bertubuh, sehingga menurut BW, terdapat tiga
macam penyerahan hak milik yang masingmasing barang itu :
1) Barang bergerak
Untuk barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan atas
barang itu. Dalam Pasal 612 BW disebutkan : “penyerahan kebendaan
29
bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan
yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau
dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan
itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang
harus diserahkan dengan alas an hak lain telah dikuasai oleh orang
yang hendak menerimanya.”
2) Barang tetap (tak bergerak)
Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan
perbuatan yang dinamakan “nama”melalui pegawai kadaster yang juga
dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpanan hipotik,
yaitu Pasal 616 BW: ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak
bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan
dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 BW.” Pasal 620 BW:
“dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga Pasal
lalu, pengumuman tersebut di atas dilakukan dengan memindahkan
sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau
keputusan yang bersangkutan ke Kantor penyimpanan hipotik, yang
mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus
diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam register.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang
berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik,
sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau
Keputusan itu agar penyimpan mencatat dari register yang
bersangkutan”.
30
3) Barang tak bertubuh
Barang tak bertubuh penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang
dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 BW yang
berbunyi : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan
tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik
atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiaptiap piutang surat
bawa, dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan piutang
karena surat tunjuk, dilakukan dengan menyerahkan surat disertai
dengan endorsement’.
Sehingga berdasarkan BW, hak milik belum berpindah dengan
perjanjian jual beli. Hak milik baru berpindah dengan levering atau
penyerahan. Maka dalam BW, levering merupakan suatu perbuatan hukum
guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari macam barang
yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas.
b. Kewajiban menanggungnya
Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si
pembeli tidak akan diganggu dalam menikmati barang yang ia sudah beli
dan sudah di terimanya.
Menurut Pasal 1491 BW, penanggungan yang menjadi kewajiban si
penjual terhadap si pembeli adalah:
1) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram
2) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
2. Kewajiban pihak pembeli
Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk
membayar harga barang yang dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal
31
1513 BW yaitu: kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga
pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana di tetapkan menurut
perjanjian.
“Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai
hal ini tidak ditetapkan dalam suatu Pasal Undang-undang namun sudah
dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual beli, oleh karena bila
tidak maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya apabila harga itu
berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila
harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja.
Dalam perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa
disatu pihak ada barang dan dipihak lain ada uang. Tergantung macamnya
uang tidak harus dalam bentuk rupiah karena terjadinya di Indonesia tetapi
para pihak bisa menentukan lain.
Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun
diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang
pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak yang ketiga ini tidak
mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi
suatu pembelian (Pasal 1465 BW).
Hal ini berarti, bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus
ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adealah suatu perjanjian
dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan jadi kalau harga itu
sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian
tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli
32
harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering)
barangnya dilakukan (Pasal 1514 BW).
Transaksi jual beli menurut hukum perdata menganut asas konsensualitas,
yang berarti kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini adalah suatu asas
dalam perjanjian yang timbul sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah
sah apabila telah tercapai mengenai hal-hal yang pokok, yakni adanya
kesepakatan, kedua belah belah pihak cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab
yang halal. Dalam hal ini tidak diperlukan suatu formalitas.37
Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan
perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan
perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW, yang
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak
melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.38
Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau
terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang
berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat
penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada
yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul
sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah.
Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas
baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang
37 R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 15.
(Selanjutnya disebut Subekti III). 38 Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian
Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta, hal.38
33
sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan
melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak
pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya
sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di
sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga
hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang
disepakati.39
Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara
memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan
pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab
sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut R. Subekti40
dalam bukunya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi
untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam
proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono,
perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.41
Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian
pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau
perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka
kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan
39 Ibid. 40 R. Subekti I, Op.Cit, hal.75. 41 Herlien Budiono, 2004, “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Artikel Majalah
Renvoi, edisi Tahun I, No 10, Bulan Maret, hal. 57.
34
maka perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan
memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian
pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya.
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa
janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang
disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya
biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak
pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya
yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan
pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta
pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli
sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga
dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi
apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan
akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi
yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa
tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak
atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.42
42 Kamaluddin Patradi, 2010, Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Hak Atas Tanah, Gamma Press, Yogyakarta, hal.20
35
Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara
tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan
jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat
dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan
yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.
Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris adalah
suatu perjanjian pengikatan jual beli atas objek tanah yang dibuat antara calon
penjual dan calon pembeli yang dibuat sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli
(AJB). Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang bersertipikat hak milik
dapat dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan pembuatan akta jual beli wajib
dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena objek yang
diperjualbelikan yakni tanah merupakan benda yang tidak bergerak yang
pengalihan haknya melalui suatu perbuatan hukum jual beli harus dibuat melalui
suatu akta PPAT maka sebelum dibuat, akta jual beli tersebut pada umumnya
perlu dilakukan pemenuhan sejumlah persyaratan baik oleh penjual maupun oleh
pembeli.43 Pemenuhan persyaratan dari pihak penjual pada umumnya
berhubungan dengan surat-surat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah tersebut
maupun surat keterangan hak waris yang masih dalam pengurusan apabila tanah
yang akan dijual tersebut merupakan harta warisan.44
Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara
tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan
43 Aditya Sudarnanto, 2009, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Antara Kewenangan Dan
Kewajiban, Pelita Ilmu, Semarang, hal.21. 44 Muchtar Rudianto, Op. Cit., hal. 39.
36
jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat
dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan
yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.45
Selanjutnya mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al
Rashid, pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.46 Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA), di
negara kita masih terdapat “dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi
hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat
juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat (tanah
Eropah).47
Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya
kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga
(walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah
telah beralih dari penjual kepada pembeli.
Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik
atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain adalah suatu
perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan
45 Ibid, hal. 57. 46 Harun Al Rashid, 1987, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-
peraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50. 47 A.P. Parlindungan, 1973, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hal.
40.
37
bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata”
(konkrit).48
Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa dalam
hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli, tukar-manukar, hibah)
merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum
adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran
harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan
penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual
pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli
telah menjadi pemegang haknya yang baru.49
Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem yang
dianut BW. Menurut sistem BW jual beli hak atas tanah dilakukan dengan membuat
akta perjanjian jual beli hak dihadapan notaris, dimana masing-masing pihak saling
berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang
menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan
tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya.50
Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir, karena
perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah
dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam
sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna
memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).51
48 K. Wantjik Saleh, 1973, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 30. 49 Boedi Harsono, 1983, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak
Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Bandung-Jakarta, hal. 14. (selanjutnya disebut Boedi Harsono I)
50 Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung, hal. 86.
51 R. Subekti I, op.cit, hal. 11.
38
Sedangkan pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal 1457
BW menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana
penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah
yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk
membayar kepada penjual harga yang telah disetujui.52
Selanjutnya Pasal 1458 BW mengatakan : “Jual beli telah terjadi antara
kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang
benda dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas barang yang
dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum
dilakukan menurut Pasal 612 BW, Pasal 613 BW dan Pasal 616 BW”.
Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat, bahwa jual
beli menurut hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu : perjanjian jual belinya
dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu terpisah satu dengan yang lainnya,
sehingga walaupun yang pertama sudah selesai, biasanya dengan suatu akta
notaris, tetapi kalau yang kedua belum dilakukan, maka status tanah masih milik
penjual, karena disini akta notaris hanya bersifat obligatoir.53 Setelah Berlakunya
UUPA sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA, hanya manyatakan, jual beli,
penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52Wiryono Prodjodikoro I, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, hal. 13. (selanjutnya disebut Prodjodikoro, Wiryono I). 53 K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 32.
39
Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat mengingat
bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat,
maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan
hukum yang berupa penyerahan hak milik/penyerahan tanah untuk selama-
lamanya oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan
harganya pada penjual.54
Dengan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA, maka jual beli tanah setelah
UUPA mempergunakan sistem dan asas dalam hukum adat. Berbeda dengan
pendapat tersebut adalah pendapat Saleh Adiwinata yang menyatakan: bilamana
kita perhatikan jual beli menurut UUPA ini dengan membandingkan caranya
dengan jual beli menurut hukum adat sebelum UUPA berlaku, maka dari saat
terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si pembeli menjadi pemilik penuh
adalah barbeda sekali caranya beserta formalitas lainya adalah lebih mirip kepada
jual beli eigendom dari jual beli tanah dengan Hak Milik Indonesia.55 Pengertian
jual beli tanah tidak mengacu secara fisik obyek yang diperjualbelikan adalah
tanah. Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Hak atas
tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar dengan tujuan membeli hak
atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan
tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas
tanahnya.56
54 Boedi Harsono, 1972, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria,
Bagian I dan II Jilid I, Djambatan, Jakarta, hal. 68. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II). 55 Saleh Adiwinata, 1976, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Alumni, Bandung,
hal. 74. 56 Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8
40
Hak atas tanah menurut Pasal 16 UUPA ialah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak sewa, Hak Membuka Tanah, Hak
Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan,
Hak Guna Ruang Angkasa dan hak-hak lain yang bersifat sementara (Pasal 53
UUPA).
Pengertian hak milik menurut Pasal 20 yang dihubungkan dengan Pasal 6
UUPA merumuskan :
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai
fungsi sosial”.
Sedangkan menurut pendapat R. Susanto, Hak milik adalah hak untuk
menguasai tanah dengan cara yang seluas-luasnya dan memungut hasil dari tanah
itu dengan sepenuhnya, dengan mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah
dan hukum adat setempat. Unsur-unsur yang terpenting dari hak milik adalah:
1. Menguasai tanah; artinya si pemilik tanah dapat menyewakan,
menggadaikan, meminjamkan; menukarkan, menghadiahkan, menjual
tanah menurut kehendak si pemilik.
2. Memungut hasil.57
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA dijelaskan bahwa hak milik
bersifat “zakelijk”. Sehingga karena tak bersifat pribadi (persoonlijk) maka hak ini
dapat dialihkan dan beralih pada pihak lain.58
57R. Susanto., 1980, Hukum Pertanahan (Agraris)., Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 26. 58 Sudargo Gautama, 1973, Tafsiran UUPA, Alumni, Bandung, hal. 124.
41
Peralihan/beralihnya hak milik atas tanah apabila dilihat dari segi hukum
dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (istilah lain adalah perbuatan hukum),
atau karena suatu peristiwa hukum.
Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian
dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan
hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena peristiwa hukum
misalnya karena pewarisan.59
Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak karena tindakan hukum adalah
peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut berpindah pada
pihak lain. Sedangkan karena peristiwa hukum, terjadi apabila seseorang yang
mempunyai salah satu hak meninggal dunia, sehingga secara otomatis haknya
berpindah pada ahli warisnya.60
1.5.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang
telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
59 Harun Al Rashid, Op.Cit, hal. 51. 60 K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 19.
42
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang
mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan asas itikad baik
dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
Judul
- Teori Keadilan - Teori Kehendak - Asas Kepatutan - Prinsip Rasionalitas - Konsep Jual Beli
Metode Penelitian
Rumusan Masalah
Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah
Teori, Asas, Konsep
1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?
2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?
Analisis Bahan Hukum
Kesimpulan dan Saran
43
Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian
yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan
pustaka.61 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.62
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan
meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup
dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.63
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam
kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan
yaitu:64
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
61Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.
34. 62Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295. 63Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metodeologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal 13-14. 64 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
44
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat
permasalahan yang diteliti adalah mengenai asas itikad baik dalam perjanjian
pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan
data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau
yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri.
Adapun bahan hokum sekunder terdiri dari:65
1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b. Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No.23.
65Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.
45
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58-Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 643.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 50-
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969.
f. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
g. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
h. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Pertanahan.
3. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum
primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,
dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk
dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian
penelitian hukum ini.66
4. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
66Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24.
46
sekunder, seperti kamus hukum,67 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.68
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan
mengenai jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang
dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data
dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi
pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,
dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek
penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi
informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,
melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat
kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara
67Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15.
68Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
47
deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai
berikut:
1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi
pidananya.
2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya
bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif
,sistematis dan argumentatif.
3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam
baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum
atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun
tidak sederajat.
5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum.69
69 Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi
Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.
top related