aktivitas antibakteri ekstrak tanaman sarang semut ...repository.ub.ac.id/1873/1/rahmat...
Post on 13-Nov-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
AKTIVITAS ANTIBAKTERI
EKSTRAK TANAMAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans) YANG DIEKSTRAK
DENGAN METODE MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION (MAE)
DAN APLIKASINYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA IKAN KAKAP MERAH
(Lutjanus sanguineus)
TESIS
Oleh:
RAHMAT YULIANDRI
NIM. 156100100111021
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
M A L A N G
2 0 1 7
2
LEMBAR PENGESAHAN
AKTIVITAS ANTIBAKTERI
EKSTRAK TANAMAN SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans) YANG DIEKSTRAK
DENGAN METODE MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION (MAE)
DAN APLIKASINYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA IKAN KAKAP MERAH
(Lutjanus sanguineus)
TESIS
Oleh:
Nama Mahasiswa : Rahmat Yuliandri NIM : 156100100111021 Program Studi : Teknologi Hasil Pertanian
Menyetujui KOMISI PEMBIMBING
Ketua Anggota
(Dr. Erryana Martati, STP., MP.) (Agustin K. Wardani, STP., MSi., PhD.)
Mengetahui Ketua Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
( Dr. Ir. Elok Zubaidah, MP.)
3
JUDUL :
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN SARANG SEMUT
(Myrmecodia pendans) YANG DIEKSTRAK
DENGAN METODE MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION (MAE)
DAN APLIKASINYA SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA IKAN KAKAP MERAH
(Lutjanus sanguineus)
Nama Mahasiswa : Rahmat Yuliandri
NIM : 156100100111021
Program Studi : Teknologi Hasil Pertanian
KOMISI PEMBIMBING :
Ketua : Dr. Erryana Martati, STP., MP.
Anggota : Agustin Krisna Wardani, STP., MSi., PhD.
TIM DOSEN PENGUJI :
Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. Joni Kusnadi, M.Si
Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc
Tanggal Ujian : 8 Agustus 2017
SK Penguji : …………………………
4
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayatNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis dengan judul:
“Aktivitas Antibakteri Ekstrak Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans)
yang Diekstrak dengan Metode Microwave Assisted Extraction (MAE) dan
Aplikasinya Sebagai Antibakteri pada Ikan Kakap Merah (Lutjanus sanguineus)”.
Judul di atas dilatarbelakangi oleh adanya kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki oleh penduduk Papua dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.
Kelebihan yang dimiliki mereka yaitu kekayaan sumber daya alam yang
diantaranya berupa ikan dan sarang semut, sedangkan kekurangannya yaitu
jauhnya jarak dalam memasarkan ikan tersebut. Dengan memanfaatkan sarang
semut untuk memperpanjang umur simpan ikan segar, diharapkan akan menjadi
solusi bagi proses pemasaran ikan di Papua.
Penulis Menyampaikan syukur kepada Allah SWT, terima kasih kepada
kedua orang tua penulis, Ibu Dr. Erryana Martati, STP., MP. dan Ibu Agustin
Krisna Wardani, STP., M.Si., PhD., yang telah meluangkan waktunya untuk
pembimbingan ini, serta teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian
Tesis ini, serta Instansi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah
memberikan dukungan penuh dalam pelaksanaan tugas belajar ini.
Penulis menyadari akan beberapa keterbatasan dari penelitian ini sehingga
saran-saran untuk penyempurnaan model analisis diterima dengan tangan
terbuka dan sebelumnya disampaikan terima kasih.
Malang, 18 Mei 2017
Penulis,
5
PERNYATAAN ORISINALITAS
PENELITIAN TESIS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang
pengetahuan saya, di dalam naskah Penelitian Tesis ini tidak terdapat karya
ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di
suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Penelitian Tesis ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur PLAGIASI tesis, saya bersedia Tesis (MAGISTER)
dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Malang,
Rahmat Yuliandri
NIM. 156100100111021
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 3 Juli 1982 dari pasangan
Bapak H. Djauhari, S.Sos dan Ibu Eny Yulia. Penulis menamatkan pendidikan di
SDN Sungai Teluk pada tahun 1994, SLTPN 1 Sangkapura pada tahun 1997 dan
SMUN 1 Sangkapura Bawean Gresik pada tahun 2000. Pada tahun 2000 sampai
2004 penulis menjalani pendidikan sebagai taruna Sekolah Tinggi Perikanan
(STP) Jakarta.
Riwayat pekerjaan yang pernah ditekuni yaitu sebagai analis di
Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan Mataram (2005), Kepala
Laboratorium QC di PT. Minatama Sumberbahari Surabaya (2006), Manager QC
di PT. Kelola Mina Laut Gresik (2007-2009) dan Staf Produksi di PT. Indumanis
Gresik (2009-2010). Pada tahun 2010 sampai sekarang, penulis bekerja di
Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Sorong Papua Barat di bawah
Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP). Pada tahun 2015 sampai 2017
menjalani program tugas belajar di Program Magister Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Brawijaya Malang.
7
Rahmat Yuliandri. 156100100111021. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Tanaman Sarang
semut (Myrmecodia pendans) dengan Metode Microwave Assisted Extraction (MAE)
dan Aplikasinya sebagai Antibakteri pada Ikan Kakap Merah (Lutjanus sanguineus).
Tesis. Pembimbing : Dr. Erryana Martati, STP., MP. dan Agustin Krisna Wardani, STP,
M.Si, Ph.D.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu
ekstraksi dengan Microwave Assisted Extraction (MAE) sarang semut
(Myrmecodia pendans) terhadap rendemen, total fenol, total flavonoid, total tanin
dan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak sarang semut terhadap
Escherichia coli, Listeria monocytogenes dan Vibrio parahaemolyticus.
Selanjutnya ekstrak diaplikasikan pada ikan. Metode penelitian yang digunakan
yaitu Rancangan Acak Lengkap, dengan 2 faktor, yaitu Suhu MAE (50, 60 dan 70
°C) dan waktu MAE (10, 20 dan 30 menit).
Hasil terbaik diperoleh perlakuan pada suhu 70 °C dan waktu 20 menit,
menghasilkan ekstrak sarang semut dengan rendemen, total fenol, total flavonoid
dan total tanin masing-masing secara berurutan adalah 7,83 %, 150,33 ± 8,06
mg GAE/g, 56,12 ± 3,47 mg QE/g dan 20,42 ± 2,77 mg TAE/g. Aktivitas
antibakteri dengan nilai KHM pada Escherichia coli 0,5 mg/ml, Listeria
monocytogenes 0,1 mg/ml dan Vibrio parahaemolyticus 0,5 mg/ml.
Ekstrak dengan perlakuan terbaik tersebut (dengan konsentrasi 0,1 %)
diaplikasikan sebagai bahan perendaman untuk ikankakap merah yang telah
diinokulasi dengan Listeria monocytogenes dan disimpan pada suhu -8 dan 4 °C.
Jumlah Listeria monocytogenes hari ke 45 pada ikan dengan penyimpanan 4 °C
dengan perlakuan perendaman ekstrak yaitu 5,70 log10/g, dan ikan tanpa
perendaman ekstrak yaitu 6,07 log10/g, sedangkan pada penyimpanan -8 °C,
sampel dengan perendaman ekstrak yaitu 4,41 log10/g, dan sampel tanpa
perendaman ekstrak yaitu 4,95 log10/g.
Kata Kunci : KHM, Total Fenol, Total Flavonoid, Total Tanin
8
Rahmat Yuliandri. 156100100111021. Antibacterial Activity of Sarang Semut
(Myrmecodia pendans) Extract with Microwave Assisted Extraction (MAE) Methods
and this Application as Antibacterial on Red Snapper Fish (Lutjanus sanguineus).
Thesis. Supervisors : Dr. Erryana Martati, STP., MP. and Agustin Krisna Wardani, STP,
M.Si, Ph.D
---------------------------------------------------------------------------------------------------
ABSTRACT
This study aims to determine the effect of temperature and time of
extraction of “sarang semut” using Microwave Assisted Extraction (MAE) to the
yield, total phenol, total flavonoids and total tannins. Extract of “sarang semut” for
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) against Escherichia coli, Listeria
monocytogenes and Vibrio parahaemolyticus was also observed. The design
experiment used was completely randomized design, with two factors of
temperature MAE (50, 60 and 70 °C) and time of extraction (10, 20 and 30
minutes).
The best result obtained from the extraction at temperature of 70 °C for 20
minutes, resulting a yield, total phenol, total flavonoids, total tannins are
7.83%,150.33 ± 8. 06 mg GAE / g, 56.12 ± 3. 47 mg QE / g and 20. 42 TAE ±
2.77 mg / g, respectively. The values of MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
against Escherichia coli, Listeria monocytogenes and Vibrio parahaemolyticus
are 0.5 mg / ml, 0.1 mg / ml and 0.5 mg / ml, respectively.
Soaking of Snapper fish that has been contaminated with Listeria
monocytogenes in 0.1% extract and stored at -8 and 4 °C. During 45 days on
storage at 4 °C, population of Listeria monocytogenes fish with soaking extract is
5.70 Log10/g, and fish without soaking extract is 6.07 Log10/g. During 45 days
on storage at -8 °C, population of Listeria monocytogenes fish with soaking
extract is 4.41 Log10/g, and fish without soaking extract is 4.95 Log10/g.
Keywords: MIC, Total Phenol, Total Flavonoid, Total Tannin
9
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.............................................................................. i IDENTITAS TIM PENGUJI.................................................................. ii KATA PENGANTAR........................................................................... iii DAFTAR ISI......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... v I. PENDAHULUAN..................................................................... 1 1.1. Latar Belakang............................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah....................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian.......................................................... 3 1.4. Manfaat Penelitian........................................................ 4 II. KAJIAN PUSTAKA................................................................... 5 2.1. Tanaman Sarang Semut............................................. 5 2.1.1. Taksonomi Tanaman Sarang Semut................ 5 2.1.2. Senyawa Fenolik dalam Sarang Semut............. 6
2.2. Ikan Kakap Merah......................................................... 13 2.3. Bakteri Patogen Pada Ikan........................................... 13 2.3.2. Escherichia coli.................................................... 14 2.3.3. Listeria monocytogenes...................................... 14 2.3.4.Vibrio parahaemolitycus ...................................... 16 2.4. Ekstraksi Metode MAE.................................................. 17 2.4.1. Kelebihan Metode MAE...................................... 17 2.4.2. Faktor Penentu Efektifitas MAE.......................... 19 III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS....................... 21 3.1. Kerangka Pikir Penelitian.............................................. 21 3.2. Hipotesis........................................................................ 21 IV. METODE PENELITIAN............................................................ 23 4.1. Bahan-bahan................................................................. 23 4.2. Alat................................................................................. 23 4.3. Metode........................................................................... 23 4.3.1. Ekstraksi Senyawa Antibakteri dengan MAE...... 25 4.3.1. Preparasi Sampel................................... 25 4.3.2. Ekstraksi Sarang Semut (MAE).............. 25 4.3.3. Analisis Rendemen................................. 26 4.3.4. Analisis Total Fenol................................ 26 4.3.5. Analisis Total Flavonoid.......................... 26 4.3.6. Penentuan Total Tanin........................... 27 4.3.7. Penentuan Nilai KHM .............................. 27 4.3.8. Analisis LC-MS........................................ 28 4.3.2. Aplikasi Ekstrak pada Ikan.................................. 28
10
4. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 30
5.1. Karakteristik Bahan Baku................................................ 30 5.2. Ekstraksi Senyawa Antibakteri dengan MAE................. 31 5.2.1. Rendemen............................................................. 31 5.2.2. Total Fenol............................................................ 33 5.2.3. Total Flavonod...................................................... 36 5.2.4. Total Tanin............................................................ 39 5.2.5. Konsentrasi Hambat Minimum.............................. 41 5.2.6. Korelasi Senyawa Bioaktif denga KHM................ 46 5.2.7. Penentuan Perlakuan Terbaik.............................. 52 5.2.8. Analisa LC-MS ...................................................... 53 5.3. Aplikasi Ekstrak pada Ikan............................................... 55
5. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 58 6.1. Kesimpulan...................................................................... 58 6.2. Saran................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 60 LAMPIRAN............................................................................................... 66
11
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Prosedur Analisis Total Fenol.......................................................... 66 2. Prosedur Analisis Total Flavonoid................................................... 69 3. Prosedur Analisis Total Tanin.......................................................... 70 4. Prosedur Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)........... 71 5. Pengujian Listeria monocytogenes.................................................. 72 6. Analisa Rendemen........................................................................... 73 7. Anova Rendemen Ekstrak etanol.................................................... 74 8. Kurva Standar Asam Galat.............................................................. 75 9. Kurva Standar Kuersetin.................................................................. 76 10. Kurva Standar Asam Tanat............................................................. 77 11. Hasil Analisa Total Fenol................................................................. 78 12. Anova Analisa Total Fenol............................................................... 79 13. Hasil Analisa Total Flavonoid.......................................................... 80 14. Anova Analisa Total Flavonoid........................................................ 81 15. Hasil Analisa Total Tanin................................................................. 82 16. Anova Analisa Total Tanin............................................................... 83 17. Hasil Karakter Rata-rata Ekstrak Sarang Semut............................. 84 18. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Listeria monocytogenes............. 85 19. Kurva Pertumbuhan Listeria monocytogenes.................................. 86 20. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Escherichia coli........................... 87 21. Kurva Pertumbuhan Escherichia coli............................................... 88 22. Hasil Pengamatan Pertumbuhan Vibrio parahaemolyticus............. 89 23. Kurva Pertumbuhan Vibrio parahaemolyticus.................................. 90 24. KHM Ekstrak Sarang Semut............................................................ 91 25. Analisa Korelasi Senyawa Bioaktif terhadap KHM......................... 92 26. Penentuan Hasil Terbaik Metode TOPSIS...................................... 96 27. Penentuan Hasil Terbaik Metode Zeleny......................................... 98 28. Anova Jumlah Log Bakteri pada Ikan.............................................. 101 29. Penyetaraan Hasil Ekstrak Perlakuan Terbaik................................ 103 30. Spesifikasi dan Hasil Kromatogram LC-MS..................................... 104 31. Dokumentasi.................................................................................... 107
12
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil analisa serbuk sarang semut...................................................... 30 2. Rerata rendemen akibat perlakuan suhu............................................ 33 3. Rerata total fenol akibat perlakuan waktu........................................... 36 4. Rerata total flavonoid akibat perlakuan suhu...................................... 38 5. Rerata total tanin akibat perlakuan suhu............................................. 40 6. Rerata total tanin akibat perlakuan waktu........................................... 40 7. Rerata KHM bakteri setiap perlakuan ekstraksi.................................. 43 8. Regresi berganda senyawa bioaktif terhadap E. Coli.......................... 46 9. Regresi berganda senyawa bioaktif terhadap V. Parahaemolyticus... 47 10. Regresi berganda senyawa bioaktif terhadap L. Monocytogenes...... 49 11. Korelasi senyawa bioaktif terhadap ketiga jenis bakteri..................... 50 12. Penentuan perlakuan terbaik............................................................... 53
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tumbuhan sarang semut............................................................. 5 2. Klasfikasi fenol............................................................................. 7 3. Struktur cincin flavonoid.............................................................. 10 4. Struktur dasar tanin..................................................................... 11 5. Fosforilasi oksidatif...................................................................... 12 6. Bagian-bagian MAE..................................................................... 18 7. Kerangka pikir penelitian................................................ ............. 22 8. Kerangka operasional................................................................. 24 9. Pengaruh suhu dan waktu MAE terhadap rendemen................ 31 10. Pengaruh suhu dan waktu MAE terhadap total fenol................. 34 11. Pengaruh suhu dan waktu MAE terhadap total flavonoid.......... 37 12. Pengaruh suhu dan waktu MAE terhadap total tanin................. 39 13. Kromatogram LC-MS................................................................... 54 14. Pengaruh perlakuan perendaman daging ikan terhadap jumlah
L.monocytogenes......................................................................... 55
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Papua merupakan suatu Pulau yang memiliki sumber daya alam kaya,
beranekaragam dan melimpah, baik sumber daya hutan maupun sumber daya
perikanannya. Salah satu tumbuhan yang dapat ditemukan di Papua yaitu
tanaman sarang semut (Myrmecodia pendans). Tumbuhan sarang semut dapat
ditemukan menempel pada pohon di sekitar pantai sampai ketinggian dibawah
2.500 m di atas permukaan laut. Tumbuhan sarang semut tersebar di hutan
belantara tropis Papua dan Pulau sekitarnya, dan lebih banyak ditemukan di
daratan berupa hutan pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut (Subroto,
2006).
Pudjiastuti (2014) menyatakan bahwa masalah transportasi merupakan
masalah utama distribusi hasil perikanan dari suatu wilayah ke wilayah lain dan
berakibat menurunkan kualitas hasil perikanan tersebut. Wilayah Indonesia Timur
khususnya Pulau Papua yang kaya akan sumber daya laut, selama ini sebatas
hanya dikonsumsi penduduk lokal dikarenakan waktu simpan ikan lebih pendek
dari pada waktu transportasi yang dibutuhkan untuk memasarkan ikan ke pulau
lainnya. Salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting yang
dipasarkan dalam keadaan segar adalah ikan kakap merah. Menurut Susanto
(2011), ikan segar yang disimpan menggunakan es dengan perbandingan 1:1,
pada hari ke 12 mengalami penurunan mutu yang sudah tidak dapat diterima dari
sisi organoleptik dan total bakterinya. Bakteri-bakteri yang potensial terdapat
pada ikan diantaranya Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus dan
Escherichia coli (Jay et al., 2005; Shankar, 2013). Menurut Jay et al. (2005),
Listeria monocytogenes dapat tumbuh secara cepat pada suhu 1 – 45 °C dan
kisaran pH 4,1 – 9,6 sehingga akan mampu mempertahankan diri dalam waktu
2
yang lama. Kejadian-kejadian mengenai resistensi bakteri patogen akibat
penggunaan obat-obatan mendorong pencarian antibakteri alami menjadi
kebutuhan yang mendesak. Bahan alam adalah salah satu sumber antimikroba
yang belum banyak dikaji mengenai potensi sifat antibakterinya, khususnya
terhadap bakteri patogen (Ambrosio, 2008 dalam Apriyanti, 2015).
Hasil penelitian Apriyanti dkk. (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat Myrmecodia pendans dengan metode sokhletasi yang diidentifikasi
dengan kromatografi kolom mengandung Butein, 3-methoxy-epikatekin-3-O-epikatekin dan asam
dibenzi-2-dioxin-2,8-dicarboxylate yang bersifat antibakteri terhadap Enterobacter faecalis. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak kasar sarang semut mempunyai
aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Setyani, 2012),
Escherichia coli (Situmeang, 2013) dan Candida albicans (Efendi, 2013).
Komponen yang diisolasi dari ekstrak (metode maserasi, pelarut etanol
80% dan aquades 20%) sarang semut adalah kaempferol (13,767 mg/g), luteolin
(0,005 mg/g), rutine (0,003 mg/g), quercetin (0,030 mg/g) dan apigenin (4,700
mg/g) (Engida, 2013). Sedangkan menurut Suwandi (2015), ekstraksi sarang
semut dengan pelarut akuades dan maserasi selama 30 menit, ekstrak
mengandung quercetin (6,9 mg/g), kaempferol (3,7 mg/g) dan rutin (1,39 mg/g).
Quercetin dan kaempferol mempunyai diameter hambat masing-masing 9 dan
8,5 mm terhadap methycillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Xu,
2011).
Menurut Baghdikian (2015), keuntungan utama dari Microwave Assisted
Extraction (MAE) adalah efisiensi waktu ekstraksi, peningkatan selektivitas dan
hasil yang lebih tinggi dari ekstrak, reproduktifitas tinggi dalam waktu yang lebih
singkat dan mengurangi konsumsi pelarut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperlukan perlu adanya
penelitian untuk mengetahui aktifitas antibakteri tanaman sarang semut asal
3
Papua dan aplikasinya pada ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) fillet.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah Microwave Assisted Extraction (MAE).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh waktu dan suhu ekstraksi tanaman sarang semut
dengan Microwave Assisted Extraction (MAE) terhadap rendemen, total fenol,
total flavonoid dan total tanin ekstrak tanaman sarang semut yang dihasilkan.
2. Bagaimana pengaruh waktu dan suhu ekstraksi tanaman sarang semut
menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) terhadap
aktivitas anti bakteri terhadap bakteri Escherichia coli, Listeria
monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus.
3. Bagaimana pengaruh perendaman fillet ikan kakap merah dalam ekstrak
tanaman sarang semut pada penyimpanan suhu 4 dan -8 °C terhadap
pertumbuhan Listeria monocytogenes selama penyimpanan.
1.2. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi waktu dan suhu Microwave Assisted
Extraction (MAE) terhadap senyawa polar ekstrak tanaman sarang semut
yang bersifat sebagai antimikroba.
2. Untuk menganalisa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak MAE dari
tanaman sarang semut terhadap Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
Vibrio parahaemolyticus.
3. Untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak tanaman sarang semut dan
lama waktu penyimpanan pada suhu 4 dan -8 °C terhadap pertumbuhan
Listeria monocytogenes pada ikan kakap merah .
1.3. Manfaat Penelitian
4
1. Mengetahui potensi tanaman sarang semut sebagai antibakteri pada ikan
kakap merah.
2. Mengetahui pengaruh metode ekstraksi MAE terhadap total fenol, total
flavonoid dan total tanin ekstrak tanaman sarang semut.
3. Sebagai dasar pengembangan penelitian selanjutnya dalam
pengembangan tanaman sarang semut sebagai tumbuhan bernilai guna.
4. Mencari alternatif antimikroba dari bahan alam.
5
I. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans)
2.1.1. Taksonomi Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendans)
Tanaman sarang semut tumbuh sebagai tumbuhan epifit pada tumbuhan
Cajuput, Cemara Gunung, Kaha dan Beech. Tumbuhan ini disebut sarang semut
karena bagian dalam umbinya digunakan sarang oleh semut dari genus
Iridomyrmex (Soeksmanto, 2010). Genus dan spesies tumbuhan sarang semut
dibedakan berdasarkan karakteristik morfologi seperti warna dan keadaan
permukaan umbi, bentuk dan jumlah batang, bentuk dan ukuran daun, kemudian
beberapa karakter pada infloresen, bunga, bentuk polen dan jumlah poret pada
polen, buah, dan pyrenes (Susanti, 2016).
Gambar 1. Tanaman Sarang Semut (Soebroto, 2008)
Tanaman sarang semut tergolong family Rubiaceae dengan 5 genus, dan
hanya 2 genus yang memiliki hubungan dengan semut, yaitu Myrmecodia (45
spesies) dan Hypnophytum (26 species), dan dari spesies-spesies tersebut,
hanya 3 spesies yang dimanfaatkan untuk pengobatan, diantaranya Myrmecodia
6
pendans (Soeksmanto, 2010). Genus Myrmecodia, umumnya mempunyai satu
batang yang besar dan pendek, kadang bercabang.
Bentuk tumbuhan sarang semut spesies Myrmecodia pendans
ditunjukkan pada Gambar 1. Batang dan umbi genus Myrmecodia hampir selalu
berduri (Susanti, 2016). Genus Myrmecodia memiliki infloresen yang
berkembang secara tenggelam pada alveoli atau di saluran yang berada diantara
baris clypeoli . Bunganya memiliki 4 capit (hook) yang berada di ujung tabung
corolla (Susanti, 2016). Alveoli adalah rongga dipermukaan batang, tempat
munculnya kuncup bunga, sedangkan clypeoli adalah struktur berbentuk seperti
perisai yang terdapat di pangkal tangkai daun (petiole) (Susanti, 2016). Dua
spesies dari genus ini dapat dibedakan berdasarkan karakteristik batang, daun,
dan jelas-tidaknya clypeoli (Susanti, 2016). Tiap jenis sarang semut biasanya
dihuni oleh satu jenis semut. Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan,
sarang semut jenis Myrmecodia pendans dihuni oleh semut jenis Ochetellus sp.
(Soeksmanto, 2010).
2.1.2. Senyawa Fenolik dalam Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia
pendans) dan Mekanismenya sebagai Antibakteri
Tumbuhan Sarang semut telah dimanfaatkan penduduk lokal di Papua
sebagai bahan obat untuk menyembuhkan berbagai macam gangguan
kesehatan seperti kanker, jantung koroner, tumor, asam urat, leukemia, wasir,
reumatik dan beberapa penyakit lainnya. Namun demikian, apakah penggunaan
sarang semut bisa menyembuhkan penyakit atau tidak belum bisa dibuktikan
secara ilmiah (Subroto, 2006).
Menurut Brobaralla (2012), Metabolit sekunder antibakteri diklasifikasikan
dalam tiga molekul besar yaitu fenolat, terpen dan alkaloid. Fenolat dan polifenol
adalah salah satu kelompok terbesar dari metabolit sekunder yang telah
7
menunjukkan aktivitas antimikroba. Sub kelas penting dalam kelompok ini
termasuk fenol, asam fenolik, kuinon, flavon, flavonoid, flavonol, tanin dan
kumarin. Fenol adalah kelas senyawa kimia yang terdiri dari hidroksil fungsional
antibakteri senyawa alami dari tanaman.
Fenolik
Polifenol Fenol sederhana Miscellaneou
Tanin Flavonoid Asam Fenol -Lignan
-Kumarin
Terhidrolisis Terkondensasi -Flavon
-Flavonol Turunan asam Turunan asam
-Polimer dari -Polimer dari -Auron hidroksi sinamid hidroksi benzoat
Turunan katekin dan -Kalkon
Asam fenol epikatekin -Flavanon
-Isovlavon
-Anthosianin
Gambar 2. Klasifikasi Fenol (Suwandi, 2015)
Menurut Suwandi (2015), senyawa fenolik terbagi atas polifenol, fenol
sederhana dan miscellaneous. Berdasarkan Gambar 2, fenol sederhana berupa
asam fenol yang merupakan senyawa turunan asam karboksilat dari fenol, yang
terbagi menjadi turunan asam hidroksi sinamid dan turunan asam hidroksi
benzoat. Menurut Herrmann and Nagel (1989), senyawa asam hidroksi sinamid
merupakan senyawa turunan dari p-coumaric, caffeic dan ferulic acid serta
kadang berasal dari sinapic acid walaupun jarang terjadi. Sedangkan asam
hidroksi benzoat umumnya terdapat pada tumbuhan angiosperms dan
merupakan senyawa turunan dari p-hydroxybenzoic, vanillic dan protocatethuic
acid.
8
Menurit Lin (2004), bagian fenolik yang bersifat hidrofobik memungkinkan
penempelan pada membran sitoplasma bakteri yang pada akhirnya akan
mengakibatkan kematian sel. Menurut Lin (2004), bagian hidrofobik alami yang
dimiliki oleh senyawa fenol mampu bekerja secara lebih efektif dalam
menghadapi bagian lipid dan air dalam daging, sehingga cocok diaplikasikan
dalam makanan. Menurut Rehm (2008), senyawa hidrofilik golongan fenolik akan
merusak sel bakteri dengan cara mengubah permeabilitas membran sitoplasma
sehingga mengakibatkan kebocoran bahan-bahan intraseluler serta dapat
menginaktifkan dan mendenaturaasi protein seperti enzim.
2.1.1 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar
yang dapat ditemukan di alam. Flavonoid merupakan zat warna merah, ungu dan
biru dan kuning yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Flavonoid terdiri atas
kerangka dasar karbon yang mempunyai 15 atom karbon. Dua cincin benzene
pada flavonoid terikat pada suatu rantai propane sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6. Struktur senyawa Flavonoida, Isoflavonoida dan
Neoflavonoida yang merupakan kelompok flavonoid dihasilkan dari susunan
karbon tersebut (Lenny, 2005).
Menurut Kumar (2013), ekstraksi sarang semut dengan etil asetat
menghasilkan kadar flavonoid tertinggi dibandingkan ekstrak dengan n-heksana
ataupun dengan air. Ekstrak etil asetat sarang semut dapat menghambat
pertumbuhan Enterobacter faecalis. Selain itu, flavonoid memiliki banyak aktivitas
biologis seperti antikanker, antioksidan, antivirus dan antimikroba. Ekstrak kasar
dari umbi sarang semut mempunyai sifat antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus (Setyani, 2012), Escherichia coli (Situmeang, 2013) dan Candida albicans
(Efendi, 2013). Engida (2013) telah menganalisa ekstrak sarang semut dengan
9
metode maserasi menggunakan pelarut air dan diidentifikasi menggunakan
HPLC, mendapatkan lima senyawa flavonoid yaitu kaempferol (13,767 mg/g),
luteolin (0,005 mg/g), rutine (0,003 mg/g), quercetin (0,030 mg/g) dan apigenin
(4,700 mg/g).
Menurut Bobbarala (2012), flavon adalah struktur fenolik yang
mengandung satu gugus karbonil. Penambahan kelompok 3-hidroksil
menghasilkan flavonol a. Flavonoid juga merupakan hidroksilasi zat fenolik tetapi
terjadi sebagai unit C6-C3 terkait dengan cincin aromatik. Flavon, flavonoid dan
flavonol telah dikenal banyak disintesis oleh tanaman dalam melawan infeksi
mikroba sehingga tidak mengherankan bahwa mereka telah ditemukan, divitro,
untuk menjadi zat antimikroba efektif melawan berbagai macam mikroorganisme
(Dixon et al., 1983, seperti dikutip dalam Cowan, 1999). Kegiatan mereka ini
mungkin karena kemampuan mereka untuk menyatu dengan protein
ekstraseluler dan dengan dinding sel bakteri. Lipofilik flavonoid juga dapat
mengganggu membran mikroba (Tsuchiya et al., 1996, seperti dikutip dalam
Cowan, 1999).
Pada Gambar 3, Flavonoid mempunyai jenis yang bermacam-macam,
dimana setiap jenis memiliki struktur cincin A, B dan C yang berbeda-beda.
Keberadaan dan posisi gugus OH pada cincin B memegang peranan penting
dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Semakin banyak gugus OH yang
terdapat pada cincin B maka akan semakin efektif parannya sebagai antibakteri.
Mekanisme flavonoid sebagai antibakteri dapat terjadi dengan beberapa cara,
yaitu dengan cara merusak membran sitoplasma (dengan cara merusak
liposom), menurunkan kestabilan membran, menghambat sintesis asam nukleat,
menghambat metabolisme energi (dengan cara menghambat enzim sitokrom
reduktase), menghambat sintesis dinding sel (dengan cara menghambat enzim
D-alanine ligase). Flavonoid juga dapat merusak proton dalam sel bakteri yang
10
akan menyebabkan ketidakseimbangan larutan dan ATP dalam sel, dan
berpengaruh pada kemampuan menghasilkan energi, nutrien dan sintesis DNA
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel bakteri (Chusnie, 2011).
Flavon Kalkon
Gambar 3. Struktur cincin Flavonoid (Chusnie, 2011)
2.1.2. Tanin
Kandungan senyawa aktif dalam sarang semut dapat dimanfaatkan
sebagai pengawet alami pada produk pangan (Naufalin, 2013). Kandungan
senyawa kimia dari tumbuhan sarang semut, terutama senyawa-senyawa yang
diduga memiliki peranan dalam aktifitas resistensi patogen, aktifitas alelopati dan
pertahanan terhadap herbivore seperti ulat. Senyawa tanin terhidrolisa, flavonoid,
dan tanin terkondensasi yang oleh tanaman digunakan untuk sistem pertahanan
diri, oleh manusia dimanfaatkan sebagai bahan aktif untuk obat (Subroto, 2006).
Menurut Cowan (1994), tanin dapat menginaktifasi enzim pertumbuhan
sehingga dapat mengganggu transport sel protein di dalam sel. Menurut Chung
et al. (1995), senyawa tumbuhan alami salah satunya asam tanat dan
turunannya mempunyai peran penting dalam mengendalikan bakteri patogen
pada ikan di kolam.
Menurut Scalbert (1991), tanin terdiri dari banyak jenis, dan tiap jenis
tanin mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap jenis bakteri satu
11
dengan bakteri lainnya. Mekanisme tanin sebagai antibakteri dapat terjadi
dengan cara menghambat pertumbuhan enzim ekstra sel bakteri, mengambil
substrat bakteri, mengganggu metabolisme bakteri dan mengkelat ion logam
pada bakteri. Beberapa enzim yang terdapat pada mikroba seperti celulase,
pectinase, xilanase dan peroxidase, akan terhambat setelah bercampur dengan
senyawa tanin. Asam tanat juga dapat menghambat oksidasi phosphorilase
mitokondria dengan terlebih dahulu harus melewati dinding sel yang terdiri dari
polisakarida dan protein yang berbeda-beda. Gambar 4 menujukkan bahwa
tanin mempunyai lebih dari 2 grup o-diphenol dalam molekulnya sehingga dapat
mengkelat banyak ion metal dan dapat mengurangi ion metal yang dibutuhkan
oleh bakteri, dimana bakteri sangat bergantung pada ion metal yang terdapat
pada lingkungannya.
Gambar 4. Struktur Tanin (Riadi, 2017)
Menurut Duncan (1969), ketika asam tanat dapat menembus membran
sel dan mitokondria, asam tanat akan langsung berikatan dengan protein dalam
12
membran mitokondria sehingga dapat memodifikasi permeabilitas mitokondria
terhadap ion-ion dimana pergerakan ion menjadi suatu kebutuhan yang mutlak
pada reaksi fosforilasi oksidatif dalam mitokondria.
Gambar 5. Fosforilasi Oksidatif (Mulyaman, 2015)
Perubahan ini dapat mengganggu keseimbangan komposisi enzim
ATPase yang berakibat dapat menurunkan dan menghentikan aktifitas enzim
tersebut. Selain itu, asam tanat juga dapat menyebabkan translokasi pada ADP
melewati inner membran, sedangkan ADP dibutuhkan dalam reaksi fosforilasi
oksidatif pada mitokondria yang ditunjukkan pada Gambar 5 untuk menghasilkan
ATP sebagai sumber energi. Penambahan asam tanat juga dapat menurunkan
Indeks Kontrol Respirasi dan konsumsi oksigen pada mitikondria yang
dibutuhkan dalam reaksi oksidasi fosforilasi (Duncan, 1969).
13
2.2. Ikan Kakap Merah
Menurut Genisa (1999), ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus) hidup di
daerah perairan pantai hingga kedalaman 100 m. Ikan ini menyendiri dan
tergolong ikan buas. Ikan-ikan kecil dan invertebrata dasar merupakan makanan
ikan kakap merah. Ukurannya panjangnya dapat mencapai 90 cm, umumnya 35-
50 cm. Kakap merah termasuk jenis demersal, yang dapat ditangkap
menggunakan pancing, bubu, pukat dasar. Pemasarannya biasa dalam bentuk
segar, asin-kering, harga sedang. Ikan kakap merah tersebar di perairan seluruh
Indonesia, Teluk Benggala, Siam, Laut Cina Selatan, Filipina, pantai Australia
dan Afrika Selatan. Ikan kakap merah merupakan salah satu ikan ekonomis
penting di Indonesia yang dalam proses distribusi dan pemasarannya diawetkan
dengan pendinginan dan pembekuan.
2.3. Bakteri Patogen Pada Ikan
Menurut Jay et al. (2005) bakteri penyebab foodborne disease antara lain
Salmonella, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Vibrio parahaemolitycus,
Vibrio cholera, Enterobacter faecalis, Clostridium botulinum dan lain-lain. Bakteri-
bakteri tersebut dapat menimbulkan gejala penyakit mual, pusing, muntah, diare,
pingsan sampai kematian. Bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri yang
sering ditemui terdapat pada daging ikan.
Penyimpanan makanan dibawah suhu 4,4 oC akan meminimalkan dan
membebaskan bahaya enterotoksin dan bahaya keracunan makanan lainnya
yang disebabkan oleh bakteri-bakteri tersebut. Penggunaan suhu rendah dalam
pengawetan makanan didasarkan pada fakta bahwa aktivitas mikroorganisme
dapat diperlambat pada suhu dibawah titik beku. Seafood beku mempunyai
kandungan bakteri yang lebih sedikit dibandingkan dengan produk segar (Jay et
al., 2005)
14
2.3.1. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif fakultatif aerob yang
berbentuk batang, merupakan salah satu bakteri patogen yang menyerang
pencernaan manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi akut yang ditandai
dengan gejala mual dan muntah. Diare akut telah menyebabkan antara 3 sampai
4 juta kematian setiap tahun di seluruh Dunia, dimana 20-30% korban terdiri dari
anak-anak (Salminen, 1998).
Shankar (2013) mengisolasi bakteri dari 6 jenis ikan, 2 diantaranya adalah
Genus Lutjanus (kakap). Setelah diidentifikasi, kedua jenis ikan kakap tersebut
positif mengandung Escherichia coli.
Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa digunakan sebagai
indikator polusi dalam makanan atau air, bakteri ini berasal dari feses.
Escherichia coli yang terdapat pada ikan menunjukkan bahwa ikan tersebut telah
tercemar oleh kontaminan yang berasal dari luar tubuhnya dikarenakan bakteri
ini tidak biasa terdapat dalam tubuh ikan (Rio-Rodriguez et al.,1997).
2.3.2. Listeria monocytogenes
Pada tahun 2013, telah terjadi 281 kasus penolakan produk ekspor dari
Indonesia ke Amerika Serikat. Dari jumlah penolakan tersebut, sejumlah 64,1%
berasal dari produk perikanan dan 35,9% berasal dari produk non perikanan.
Beberapa kasus penolakan produk perikanan yang sering terjadi di pasar
Amerika Serikat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Listeria
monocytogenes dan Salmonella sp. (US FDA, 2013).
Terdapat 6 spesies Listeria, salah satunya adalah Listeria
monocytogenes. Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram-positif,
memiliki dinding sel, asam lemak, dan komposisi sitokrom. Genus Listeriae
tersebar luas di alam dan dapat ditemukan di vegetasi tanah, kotoran hewan,
15
limbah, silase, dan air. Biasanya, organisme ini ditemukan di susu mentah, keju
lunak, daging, produk unggas, makanan laut beku, buah-buahan dan produk
nabati (Jay et al., 2005). Bakteri ini dapat tumbuh secara cepat terhadap suhu
sekitar 1 – 45 oC dan kisaran pH 4,1 sampai 9,6 sehingga akan mampu
mempertahankan dirinya dalam waktu yang lama.
Menurut Subuh (2015), bakteri ini telah ditemukan pada setidaknya 17
spesies burung dan beberapa spesies ikan dan kerang. Sebagai bakteri yang
membentuk spora, bakteri ini mempunyai kekebalan tertentu terhadap garam,
panas dan asam. Selain itu, bakteri ini juga tahan pada suhu pembekuan dan
tetap tumbuh pada suhu 4 oC, khususnya pada makanan yang disimpan pada
lemari pendingin. Bakteri ini membentuk biofilm, yakni pembentukan lapisan
lendir pada permukaan makanan.
Gejala Listeriosis dapat muncul kapan saja antara 3-70 hari pasca infeksi
bakteri Listeria rata-rata 21 hari. Gejala umumnya yaitu demam, nyari otot
disertai mual atau diare. Infeksi yang menyebar ke saraf pusat, dapat
mengakibatkan beberapa efek yaitu kaku pada leher, sakit kepala, gangguan
keseimbangan, kejang, dan pada wanita hamil dapat mengakibatkan keguguran
bayi (Subuh, 2015).
Beberapa Negara telah menetapkan batas jumlah mikroorganisme yang
diperbolehkan terdapat dalam makanan terutama makanan siap makan.
Pemerintah Amerika Serikat bahkan memiliki kebijakan yang paling keras dimana
setiap 50 g sampel makanan siap saji yang mengandung bakteri ini dapat
dianggap sebagai makanan tercemar. Tercatat 62% dari 37 sampel air diperairan
pesisir California positif mengandung organisme ini. Listeria monocytogenes
dapat menyebar diseluruh lingkungan dengan perantara manusia (Jay et al.,
2005)
16
Adesiyun (1993) telah melakukan pengujian Listeria monocytogenes di
daerah Trinidad pada daging ikan dari 61 sampel, dan 9 sampel (14,8%) positif
mengandung Listeria monocytogenes. Frekuensi tersebut merupakan yang
tertinggi dari sampel yang diambil dari bahan pangan lain seperti daging kambing
(10%), daging sapi (6,6%), udang (4,9%), ayam (0%), daging giling (11,4), babi
(1,4%) dan daging domba (0%).
2.3.3. Vibrio parahaemolyticus
Menurut Su (2007), Vibrio parahaemolyticus merupakan penyebab utama
penyakit usus di Asia yang disebabkan oleh makanan laut. Su (2007) melakukan
pengambilan sampel daging ikan dan dilakukan identifikasi bakteri, didapatkan
bahwa Genus Vibrio mendominasi bakteri lain yang terdapat pada daging ikan,
dan setelah diidentifikasi lebih lanjut, dari 47 sampel Genus Vibrio tersebut
ditemukan terdiri dari sebanyak 20 spesies Vibrio parahaemolyticus, 17 sampel
berupa Vibrio cholera, 4 sampel Vibrio furnissi, 2 sampel Vibrio fluvial, dan
sisanya berupa Vibrio jenis yang lain.
Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri berbentuk batang lurus atau
melengkung Gram-negatif dan merupakan anggota dari keluarga Vibrionaceae.
Meskipun sebagian besar bakteri yang dikenal meracuni makanan dapat berasal
dari berbagai makanan, namun Vibrio parahaemolyticus gastroenteritis hanya
dapat berasal dari seafood. Vibrio parahaemolyticus yang terdapat pada
makanan, disebabkan kontaminasi silang dari produk makanan laut. Fitur lain
yang unik dari Sindrom ini adalah habitat alami dari etiologi agen-laut. Selain
perannya dalam gastroenteritis, Vibrio parahaemolyticus diketahui menyebabkan
infeksi ekstra-intestinal pada manusia. Genus Vibrio terdiri dari setidaknya 28
spesies, dan 3 yang sering dikaitkan dengan Vibrio Parahaemolyticus di
lingkungan perairan dan seafood adalah Vibrio vulnificus, Vibrio alginolyticus,
17
dan Vibrio cholerae. Vibrio parahaemolyticus berasal perairan laut dan pesisir. Di
perairan laut, mereka cenderung berhubungan lebih banyak dengan kerang dari
pada dengan spesies laut lain (Jay et al., 2005).
2.4. .Metode Ekstraksi Microwave Assisted Extraction (MAE)
2.4.1 Kelebihan metode Microwave Assisted Extraction (MAE)
MAE merupakan metode ekstraksi menggunakan gelombang
elektromagnetik non-ion dengan frekuensi antara 300 MHz sampai 300 GHz
yang terletak diantara spektrum gelombang sinar X dan infra merah. Pemanasan
dengan radiasi gelombang mikro bisa menghidrolisis ikatan eter dari selulosa
yang merupakan konstituen utama dari dinding sel tanaman dan dapat
mengkonversi menjadi fraksi larut (Mandal, 2007). Radiasi gelombang mikro
mengakibatkan perpindahan ion terlarut sehingga memudahkan masuknya
pelarut ke matriks bahan dan menghasilkan panas terlokalisir. Akibatnya terjadi
pengembangan volume dan perusakan sel (Mandal, 2007). Bahan menyerap
gelombang mikro yang menghasilkan panas yang berasal dari radiasi dan
pemanasan konvektif pelarut (Mandal, 2007). Suhu tinggi meningkatkan jumlah
senyawa yang keluar dari bagian aktif yang disebabkan oleh meningkatnya
kerusakan sel bahan. Suhu ekstraksi dapat menyebabkan peningkatan suhu
pelarut, sehingga pelarut panas akan mengalami penurunan tegangan
permukaan dan viskositas. Keadaan ini meningkatkan daya pembasahan bahan
dan penetrasi matriks. Rusaknya sel tumbuhan mempermudah senyawa target
keluar dan terekstraksi (Jain et al., 2009).
Ekstraksi merupakan tahap paling menentukan dalam analisa kualitatif
dan kuantitatif dari senyawa pada tumbuhan obat untuk memastikan kualitas
senyawa yang diekstrak. Metode ekstraksi secara konvensional memiliki
18
kelemahan-kelemahan yaitu memakan waktu lama dan membutuhkan jumah
pelarut yang banyak (Baghdikian, 2015).
Gambar 6. Menunjukkan posisi sensor suhu MAE yang terletak pada
salah satu tabung yang berisi bahan yang akan diekstrak, dimana suhu ekstraksi
merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam MAE.
Gambar 6. Sensor Suhu MAE (a) dan Bagian MAE (b) (Dokumentasi Pribadi)
Metode ekstraksi ini menarik perhatian para peneliti akhir-akhir ini karena
mempunyai keuntungan waktu ekstraksi yang singkat, mengurangi konsumsi
pelarut dan menurunkan tingkat polusi. Teknik ini dapat menjelajah menjadi
teknologi ekstraksi yang efisien dalam memastikan kualitas obat-obatan herbal di
seluruh dunia (Mandal, 2007).
Menurut Baghdikian (2015), keuntungan utama dari Microwave Assisted
Extraction (MAE) adalah efisiensi waktu ekstraksi, peningkatan selektivitas dan
hasil yang lebih tinggi dari ekstrak, waktu yang lebih singkat, dan mengurangi
konsumsi pelarut. Menurut Li (2004), ekstraksi dengan menggunakan Ultrasound
Assisted Extraction (UAE) juga mempunyai waktu yang lebih singkat tetapi dapat
mengkibatkan kehilangan kandungan flavonoid. Pada Microwave Assisted
Extraction (MAE), energi mengiradiasi sampel dengan dipole tinggi tetapi tidak
menyebabkan kerusakan sampel sehingga lebih meningkatkan efisiensi ekstrak
19
sampel. Transfer panas yang cepat memungkinkan waktu yang jauh lebih cepat
untuk sampel yang kompleks.
Menurut Gharekhani (2012), total fenol dan flavonoid yang didapatkan
dari ekstrak eucalyptus menggunakan metode Microwave Assisted Extraction
(MAE) selama 5 menit, ekuivalen dengan menggunakan metode Ultrasound
Assisted Extraction (UAE) selama 60 menit dan metode tradisional selama 24
jam.
2.4.2 Faktor penentu efektifitas Microwave Assisted Extraction (MAE)
Menurut Mandel (2007), dalam mengoperasikan Microwave Assisted
Extraction (MAE), jenis pelarut yang tepat merupakan penentu proses ekstraksi
yang optimal. Pelarut sebaiknya disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa
target yang akan diekstrak. Menurut Gharekhani (2012), rendemen hasil
ekstraksi Microwave Assisted Extraction (MAE) dipengaruhi antara lain oleh
waktu operasi, jenis pelarut dan konsentrasi pelarut, sama dengan pernyataan Li
(2004).
Magdalena (2015), mengekstrak daun gambir menggunakan Microwave
Assisted Extraction (MAE) dengan menggunakan dua faktor yaitu daya (320, 560
dan 800 watt) dan rasio bahan : pelarut (1:25, 1:35 dan 1:45) diperoleh hasil
terbaik dengan menggunakan daya 560 watt dan rasio bahan : pelarut 1:35
dengan hasil rendemen 63,29 %, total fenol 5581,58 ppm dengan aktivitas
antibakteri terbaik.
Gharekhani (2012) dalam penelitiannya menggunakan Microwave
Assisted Extraction (MAE) dalam ekstraksi eucalyptus dengan power 600 w pada
suhu 75 – 85 oC, pada kisaran konsentrasi etanol 10 sampai 50 %, total fenol
mengalami peningkatan, sedangkan setelah konsentrasi diatas 50 %, total fenol
mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena ketika digunakan pelarut etanol
20
murni, beberapa komponen lipid akan ikut terekstrak yang pada akhirnya akan
membatasi ekstraksi fenol. Total flavonoid mengalami peningkatan berbanding
lurus dengan peningkatan konsentrasi pelarut etanol (Garekhani, 2012). Pada
kisaran waktu 0 sampai 15 menit, semakin lama waktu ekstraksi akan semakin
tinggi total fenol dan flavonoid yang didapatkan, namun dengan waktu mulai dari
11 menit sampai 15 menit peningkatannya sudah tidak signifikan sehingga waktu
11 menit merupakan waktu optimum untuk mendapatkan total fenol dan flavonoid
(Garekhani, 2012).
Li (2004) membandingkan antara bunga flos yang diekstrak
menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) dengan waktu 5
menit dan tekanan 101 kPa menghasilkan ekstrak dengan kandungan quercetin
2,8 mg/g, sedangkan ekstraksi menggunakan metode sokhletasi dengan waktu
60 menit dengan tekanan yang sama menghasilkan quercetin 1,26 mg/g.
21
III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pikir Penelitian
Wilayah Indonesia Timur kaya akan sumber daya alam, dua diantaranya
yaitu ikan sebagai sumber protein dan tumbuhan sarang semut yang telah diteliti
mengandung antibakteri. Kelimpahan ikan perairan Papua selama ini hanya
sebatas dikonsumsi oleh penduduk lokal dikarenakan waktu simpan ikan lebih
pendek dari pada waktu transportasi yang dibutuhkan untuk memasarkan ikan ke
pulau lainnya. Hal ini disebabkan karena jauhnya jarak yang harus ditempuh
menuju pulau lain seperti Jawa, Sulawesi atau Sumatera. Pada penelitian ini
dipilih jenis ikan kakap merah sebagai obyek, karena selain ikan tersebut
merupakan ikan ekonomis penting di Indonesia Timur, sebagian besar
permintaan konsumen kakap merah menginginkan membelinya dalam keadaan
segar dan beku tanpa perlakuan pemasakan. Ikan yang tidak mengalami
pemasakan mempunyai kandungan bakteri yang lebih tinggi dari pada yang telah
mengalami pemasakan, sehingga dibutuhkan alternatif lain untuk menghambat
pertumbuhan bakterinya, disamping penggunaan es sebagai pengawet alami.
Tumbuhan sarang semut yang telah diteliti mengandung senyawa
antibakteri diharapkan dapat memperpanjang waktu simpan daging ikan segar
selama perjalanan rantai distribusi. Kerangka Pikir Penelitian ini dituangkan
dalam Gambar 7.
3.2. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini disusun sebagai berikut :
1. Ekstrak MAE sarang semut memiliki potensi sebagai sumber antibakteri
yang berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan mikroba jenis
Listeria monocytogenes, Eschericia coli, Vibrio parahaemolyticus
22
2. Ekstrak MAE sarang semut memiliki potensi sebagai sumber antibakteri
yang berpengaruh dalam meminimalkan jumlah bakteri pada ikan segar
Gambar 7. Kerangka Pikir Penelitian
PAPUA
SUMBER DAYA ALAM MELIMPAH
IKAN KAKAP MERAH TUMBUHAN SARANG SEMUT
PROTEIN & OMEGA 3
MASALAH PEMASARAN ANTAR PULAU
PENURUNAN KUALITAS
ANTIBAKTERI & ANTIOKSIDAN
JARAK & WAKTU DISTRIBUSI (LAMA)
BAKTERI
23
IV. BAHAN DAN METODE
4.1. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi dan uji fitokimia yaitu:
sarang semut jenis Myrmecodia pendans, aquades, larutan stok asam galat
(1000μg / ml), Phenol reagen, Folin-Ciocalteu reagen, larutan natrium karbonat,
etanol 95%, AlCl3 10%, Kalium Asetat 1 M, etanol, Na2CO3.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian Konsentrasi Hambat
Minimum (KHM) dan aplikasi pengujian bakteri pada ikan yaitu: Media Nutrient
Agar (NA), Nutrient Broth (NB), daging ikan, Buffer Peptone Water (BPW), plastik
polyetilen 0,3 μm, Plate Count Agar, Larutan Butterfield’s Phosphate Buffered
(BFP), BPW 0,1 %, Trypticase Soy Agar dengan Yeast Extract (TSAy).
4.2. Alat
Alat yang digunakan yaitu: MAE (merk Anton Paar), LC-MS (Quantum),
rotary evaporator (Ika, HB 10 basic), spektrofotometer UV-VIS (Unico-UV 210),
timbangan digital (Mettle denver), oven, gelas beaker 250 ml transparan Pyrex,
kertas saring halus, botol kaca, aluminium foil, sentrifuse, labu takar 100 ml,
Erlenmeyer, gelas ukur, pipet, jarum ose, tabung reaksi, kertas cakram, cawan
petri, HPLC, tabung Craigie, pipet volumetrik, botol media, gunting, pinset,
stomacher, mikroskop, pembakar Bunsen, magnetic stirrer, inkubator temperatur
30 °C ± 1 °C (WTB binder), inkubator temperatur 37 °C ± 1 °C (WTB binder),
penangas air, lemari steril (clean bench), lemari pendingin (Toshiba), freezer
(Toshiba).
4.3. Metode
Seluruh metode dalam penelitian ini tertuang dalam kerangka operasional
penelitian yang terdapat pada Gambar 8.
24
Ekstraksi Senyawa Antibakteri dengan MAE
Pemotongan & Pengeringan (70 oC, 30 menit)
Ekstraksi MAE dengan pelarut etanol 96%
Suhu ekstraksi 50, 60 dan 70 ºC ; lama waktu ekstraksi 10, 20 dan 30 menit
rotary evaporator 50 oC
Aplikasi Ekstrak pada Ikan
Perendaman dengan 0,1 % (b/v) ekstrak perlakuan terbaik (selama 15 menit, suhu 4oC)
Penirisan
Penyimpanan Penyimpanan
4 ºC -8 ºC 4 ºC -8 ºC
Gambar 8. Kerangka Operasional Penelitian
Inokulasi L. monocytogenes (107
cfu/ml)
Analisis Total Fenol Analisis Total Flavonoid Analisis Total Tanin
Uji Antibakteri Mikrodielusi: -Eschericia coli -Vibrio parahaemolitycus -Listeria monocytogenes
EKSTRAK
POTONGAN FILLET @150gr ketebalan 1-2 cm
IKAN KAKAP MERAH
Analisis flavonoid (LC-MS)
Sarang Semut
Ekstrak Perlakuan terbaik (sebagai antibakteri)
Fillet Kontrol tanpa perendaman
Pengujian Listeria
monocytogenes sebelum
perendaman, 15 hari, 30 hari
dan setelah 45 hari
perendaman pada masing-
masing perlakuan
25
4.3.1. Ekstraksi Senyawa Antibakteri dengan MAE
4.3.1.1. Preparasi sampel sarang semut
Sarang semut diperoleh dari Kabupaten Sorong Papua Barat. Sarang
semut yang telah kering dianginkan, dipisahkan dari kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dan dicuci. Sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 60-70 oC
supaya kualitas bahan tetap terjaga. Sarang semut dihaluskan menggunakan
blender dan diayak dengan ukuran 150 mesh. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan
pembungkusan dan penyimpanan pada suhu dingin. (Lampiran 32).
4.3.1.2. Ekstraksi dengan Microwave Assisted Extraction
Serbuk umbi sarang semut ditimbang 5 gram, dilarutkan dalam etanol
96% (Magdalena, 2015). kemudian ditempatkan pada beakerglass 250 ml
transparan Pyrex untuk masing-masing perlakuan. Kemudian diulang dengan
waktu dan suhu yang berbeda, yaitu waktu 10, 20 dan 30 menit dan suhu 50, 60
dan 70 oC sehingga didapatkan kombinasi sebagai berikut:
- A1B1 : Ekstraksi dengan suhu 50 ºC selama 10 menit
- A1B2 : Ekstraksi dengan suhu 50 ºC selama 20 menit
- A1B3 : Ekstraksi dengan suhu 50 ºC selama 30 menit
- A2B1 : Ekstraksi dengan suhu 60 ºC selama 10 menit
- A2B2 : Ekstraksi dengan suhu 60 ºC selama 20 menit
- A2B3 : Ekstraksi dengan suhu 60 ºC selama 30 menit
- A3B1 : Ekstraksi dengan suhu 70 ºC selama 10 menit
- A3B2 : Ekstraksi dengan suhu 70 ºC selama 20 menit
- A3B3 : Ekstraksi dengan suhu 70 ºC selama 30 menit
Ekstrak kasar disaring dua kali dengan dengan kertas saring halus,
ditempatkan pada botol kaca yang telah dilapisi aluminium foil dan disimpan
26
pada lemari pendingin suhu 4°C dan setelah itu diuapkan menggunakan rotary
evaporator.
4.3.1.3. Analisis Rendemen (Magdalena, 2014)
Perhitungan rendemen dilakukan dengan membagikan massa hasil
ekstrak kering setelah rotary evaporator, terhadap massa awal serbuk sarang
semut sebelum diekstrak. Prosedur analisa rendemen hasil ekstraksi sarang
semut dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.3.1.4. Analisa Total Fenol (Lee et al., 2003) modifikasi
Analisa kadar total fenol ekstrak sarang semut dilakukan secara
spektrofotometri dengan metode kolorimetri Folin-Ciocalteau. Standar yang
dipakai adalah asam galat dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 250 ppm.
Nilai serapan sampel pada panjang gelombang 760 nm digunakan untuk
menghitung kadar total fenol dengan menggunakan persamaan regresi y = ax+b,
dimana sumbu “x” adalah konsentrasi dengan satuan ppm dan sumbu “y”
merupakan absorbansi sampel. Lampiran 1 menunjukkan diagram alir
pembuatan kurva standar asam galat dan pengukuran total fenol pada ekstrak
tanaman sarang semut.
4.3.1.5. Analisa Total Flavonoid (Atanassova et al., 2011) modifikasi
Kadar total flavonoid ekstrak sarang semut dianalisa menggunakan
metode spektrofotometri menggunakan reagen aluminium klorida modifikasi.
Standar yang dipakai adalah quercetin dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan
100 ppm. 1 ml sampel ekstrak ditambahkan dengan akuades 4 ml dan 0,3 ml
NaNO2 5% ke dalam tabung reaksi dan divorteks hingga homogen, setelah itu
diinkubasi selama lima menit. Setelah 5 menit kemudian ditambahkan 0,3 ml
AlCl3 dan diinkubasi ulang selama 6 menit, lalu ditambahkan 2 ml NaOH 1 M dan
27
akuades hingga mencapai volume 10 ml dan divorteks hingga homogen. Nilai
serapan sampel diukur dengan panjang gelombang 510 nm dengan
menggunakan persamaan garis linear y = ax + b dimana sumbu x merupakan
konsentrasi dan sumbu y merupakan absorbansi. Diagram alir analisa total
flavonoid dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.3.1.6. Penentuan Total Tanin (Malangngi, 2012)
Penentuan total tanin berdasarkan Malangngi (2012), sebanyak 2,5 ml
etanol absolut ditambahkan 50 mg sampel, setelah itu divorteks selama 2 menit.
Kemudian disentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit, dan diambil
sebanyak 1 ml filtrat yang jernih. Ke dalam labu takar 100 ml dimasukkan 1 ml
filtrat jernih, setelah itu 5 ml Na2CO3 jenuh dan 2 ml pereaksi Folin Denis
kemudian ditambahkan akuades hingga volumenya mencapai 100 ml. Larutan
dikocok dan didiamkan selama 40 menit, kemudian diukur absorbansinya pada
λ=725 nm. Diagram alir analisa total tanin dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.3.1.7. Penentuan Nilai KHM (Doughari, 2006)
Penentuan nilai KHM (konsentrasi hambat minimum) dilakukan dengan
metode pengenceran. Ekstrak etanol sebanyak 0,5 mL dengan berbagai
konsentrasi (20, 18, 15, 10, 8, 5, 1, 0.5 dan 0.05 mg/mL) dikontakkan dalam 2 mL
media NB yang telah berisi bakteri. Semua ekstrak dengan konsentrasi diatas
ditempatkan pada tabung reaksi, lalu diinkubasi dengan suhu 37 oC selama 24
jam. Nilai KHM didapatkan dari konsentrasi ekstrak yang tidak terdapat
pertumbuhan bakteri (bening) secara visual. Prosedur penentuan nilai KHM
dapat dilihat pada Lampiran 4.
28
4.3.1.8. Analisis Flavonoid dengan LC-MS (Cui et al., 2015)
Analisis jenis flavonoid dalam ekstrak sarang semut dilakukan dengan
menggunakan LC-MS (Quantum). Dalam analisis ini dilakukan konfirmasi
keberadaan quercetin, luteolin, rutin dan kaempferol. Sampel diinjeksikan
dengan volume 400 µl pada instrumen Acella 1250. Kondisi alat ini yaitu
menggunakan gradient eluent air dengan 0,1 % (v/v) formic acid (eluent A) dan
acetonitrile dengan 0,1 % (v/v) formic acid (eluent B), dengan laju alir 200 µl /
menit. Gradien linear didapatkan dari 50 % eluen B pada waktu 7 menit.
4.3.2. Aplikasi Ekstrak pada Ikan (Goncalves et al., 2005)
Ikan kakap merah yang didapatkan dari nelayan Desa Sungai Teluk
Sangkapura Pulau Bawean, diangkut dengan kemasan sterofoam menggunakan
es menuju Laboratorium. Masing-masing sampel dicuci menggunakan akuades
steril dan dipotong / dipisahkan secara aseptis dan disterilisasi. untuk dilakukan
pengujian Listeria Monocytogenes. Semua sampel di inokulasi bakteri dengan
cara perendaman menggunakan suspensi 107 CFU/ml Listeria monocytogenes
selama 15 menit pada suhu ruang.
Fillet dipotong / dipisahkan secara aseptis sebanyak 16 sampel fillet
dengan berat masing-masing sampel 10 g dengan ketebalan 1-2 cm, dimana dari
ke 16 sampel tersebut terdiri dari 4 macam perlakuan, yaitu:
a. Penyimpanan dingin (4 oC) tanpa perendaman ekstrak (4 sampel)
b. Penyimpanan dingin (4 oC) dengan perendaman ekstrak (4 sampel)
c. Penyimpanan beku (-8 oC) tanpa perendaman ekstrak (4 sampel)
d. Penyimpanan beku (-8 oC) dengan perendaman ekstrak (4 sampel)
Setelah inokulasi, sebanyak 8 sampel direndam dalam ekstrak sarang
semut dengan konsentrasi 0,1 %, dan 8 sampel yang lain (kontrol) direndam
dalam larutan buffer phosphate masing-masing selama 15 menit. Penirisan
29
dilakukan selama 5 menit kemudian 3 sampel fillet dengan perendaman ekstrak
sarang semut disimpan pada suhu 4 oC dan 3 sampel lainnya pada suhu -8 oC,
perlakuan yang sama juga dilakukan 8 fillet control. Pengujian Listeria
monocytogenes dilakukan kembali pada semua sampel setelah 15,30 dan 45
hari penyimpanan, dengan mengambil dari sebagian potongan fillet dengan cara
aseptis.
30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Bahan Baku
Parameter bahan baku serbuk kering yang didapatkan dari hasil uji total
fenol, total flavonoid dan total tanin yang dikonversikan dari hasil uji setelah
ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 30. Data hasil analisa serbuk sarang
semut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisa Serbuk Sarang Semut
Parameter Serbuk Sarang Semut Kering
Hasil Analisa Literatur
Total Fenol (mg GAE/g)
Total Flavonoid (mg QE/g)
Total Tanin (mg TAE/g)
11,78 ± 0,24
4,39 ± 0,27
1,6 ± 0,21
16,41a
2,96a
-
Sumber : a) Sanjaya et al. (2014)
Tabel 1. Menunjukkan bahwa hasil ekstraksi sarang dengan suhu 70 °C
mempunyai nilai total fenol 11,78 mg GAE/g, total flavonoid 4,39 mg QE/g dan
total tanin 1,6 mg TAE/g pada serbuk sarang semut. Sanjaya et al. (2014),
melakukan ekstraksi Sarang semut menggunakan metode Supercritical
Extraction dengan perlakuan suhu (40, 50, 60 dan 70 oC), tekanan 9-22 MPa
dengan waktu 6-7 jam, diperoleh hasil terbaik dari perlakuan suhu 70 oC yang
menghasilkan total fenol dan flavonoid seperti pada Tabel 1. Hasil total flavonoid
pada penelitian ini 4,39 mg QE/g, bernilai lebih tinggi dari pada literatur (2,96 mg
QE/g), sesuai dengan pernyataan Li (2004) bahwa ekstraksi dengan
menggunakan Microwave Assisted Extraction (MAE) juga mempunyai waktu
yang lebih singkat dan lebih dapat meminimalkan kehilangan kandungan
flavonoid.
31
Total fenol yang didapatkan dari hasil penelitian (11,78 mg GAE/g) lebih
rendah dari pada literatur (16,41 mg GAE/g), hal ini dimungkinkan karena
perbedaan perlakuan pendahuluan seperti pengeringan, pengecilan dan
pengayakan. Fenol merupakan salah satu senyawa yang tidak stabil terhadap
suhu, kandungan oksigen dan cahaya (Vatai et al., 2009).
5.2 Ekstraksi Senyawa Antibakteri dengan MAE
Penelitian tahap I adalah melakukan ekstraksi serbuk sarang semut
menggunakan metode MAE dengan pelarut etanol 96% dengan 9 macam
perlakuan yang terdiri dari 3 perlakuan suhu (50, 60 dan 70 °C) dengan waktu
(10, 20 dan 30 menit). Setiap melakukan ekstraksi, MAE diisi dengan beberapa
tabung sebagai ulangan, dimana pada setiap tabung MAE diisi dengan 5 g
bahan sarang semut serbuk dengan pelarut etanol 96 % sejumlah 40 ml,
sehingga diperoleh perbandingan bahan dengan pelarut 1:8. Setelah itu ekstrak
diuapkan menggunakan rotary evaporator. Analisa yang dilakukan untuk setiap
perlakuan meliputi analisa total fenol, total flavonoid, total tanin, rendemen dan
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) pada bakteri Listeria monocytogenes,
Escherichia coli dan Vibrio parahaemolyticus.
5.2.1. Rendemen
Gambar 9. Pengaruh Suhu dan Waktu MAE terhadap Rendemen (● 50 °C, ▲ 60 °C, ■ 70 °C)
0
2
4
6
8
10
10 20 30
Re
nd
em
en
(%
)
Waktu ekstraksi (menit)
32
Berdasarkan uji statistik menggunakan Anova (Lampiran 7) yang
ditunjukkan pada Gambar 9, didapatkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara perlakuan terhadap rendemen yang didapatkan, dimana
semakin tinggi suhu MAE (50, 60 dan 70 °C), rendemen yang didapatkan relatif
semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani
(2013), yang mengekstraksi teh hijau menggunakan MAE dengan daya, pelarut
dan waktu yang berbeda-beda. Penelitian tersebut menggunakan daya 90, 270,
450, 630 dan 900, dimana semakin tinggi daya yang digunakan menyebabkan
semakin besar pula rendemen yang didapatkan, yaitu secara berurutan sebesar
0,46; 0,83; 1,87; 2,74 dan 4,63. Demikian pula dengan waktu 2, 4, 6, 8 dan 10
menit menghasilkan rendemen secara berurutan yaitu 1,75; 1,91; 1,97; 2,09 dan
2,1%, hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu MAE dari 0 sampai 10
menit, akan semakin besar pula rendemen yang didapatkan. Menurut mandal
(2007), dengan meningkatnya waktu MAE akan semakin banyak kuantitas
ekstrak yang didapatkan. Jika matriks tanaman diresapi dengan pelarut dengan
pemanasan tinggi dengan microwave, panas yang dicapai dengan radiasi
gelombang mikro bisa menghidrolisis ikatan eter dari selulosa, yang merupakan
konstituen utama dari dinding sel tanaman, dan dapat mengkonversi menjadi
fraksi larut dalam 1 sampai 2 menit. Selama proses MAE, pada suhu yang lebih
tinggi, panas dapat mencapai dinding sel, meningkatkan dehidrasi selulosa dan
mengurangi kekuatan mekanik dan pada gilirannya akan membantu pelarut
untuk mengakses dengan mudah senyawa di dalam sel. Daya dan suhu MAE
sangat saling terkait satu sama lain (Mandal, 2007).
Penelitian ini menghasilkan rendemen terbaik pada perlakuan MAE
dengan suhu 70 oC, dengan waktu terbaik secara berurutan yaitu 30, 20 dan 10
menit, setelah itu diikuti dengan perlakuan lain. Nilai rendemen perlakuan 70 oC
30 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan 70 oC 20 menit. Kedua
33
perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan 70 oC 10 menit, dan ketiga
perlakuan diatas berbeda nyata dengan perlakuan-perlakuan yang lain.
Rendemen terendah dihasilkan oleh perlakuan MAE pada dengan suhu 50 oC
selama 10 menit.
Tabel 2. Rerata Rendemen Ekstrak Akibat Perbedaan Suhu Ekstraksi
Suhu (oC) Rerata Rendemen (%)
50
60
70
3,8 ± 0,56 b
4,0 ± 0,93 b
7,3 ± 1,09 a
Tabel 2. menunjukkan bahwa rerata rendemen tertinggi didapatkan dari
suhu 70 oC yaitu sebesar 7,3 %, hasil tersebut lebih tinggi dan berbeda nyata jika
dibandingkan suhu 60 dan 50 oC yaitu masing-masing 4,0 dan 3,8 %. Walaupun
penggunaan suhu 60 °C mempunyai rendemen yang lebih tinggi dari pada suhu
50 °C, namun penggunaan kedua suhu tersebut tidak menghasilkan rendemen
yang berbeda nyata.
Rerata rendemen ekstrak akibat perbedaan perlakuan waktu diperoleh
rendemen dari yang tertinggi secara berurutan yaitu 30, 20 dan 10 menit, namun
ketiga rendemen tersebut tidak berbeda nyata. Diduga rentang waktu yang
terlalu kecil mengakibatkan kenaikan rendemen yang tidak signifikan. Faktor
suhu dan waktu mempunyai interaksi satu sama lain.
5.2.2. Total Fenol
Total fenol hasil ekstraksi sarang semut menggunakan MAE dengan
dengan 9 macam perlakuan yang terdiri dari 3 macam perlakuan suhu (50, 60
dan 70 OC) dengan waktu yang berbeda-beda (10, 20 dan 30 menit) terdapat
pada Lampiran 11.
34
Gambar 10. Pengaruh Suhu dan Waktu MAE terhadap Total Fenol (● 50 °C, ▲ 60 °C, ■ 70 °C)
Uji statistik menggunakan Anova (Lampiran 12) menunjukkan bahwa 9
macam perlakuan tersebut berpengaruh signifikan terhadap rendemen yang
dihasilkan. Perbedaan suhu dan waktu berpengaruh nyata terhadap hasil total
fenol, dan ada interaksi antara faktor suhu dan waktu ekstraksi.
Gambar 10 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik yang menghasilkan
total fenol tertinggi diperoleh dari perlakuan ekstraksi dengan suhu 60 oC selama
20 menit (151,86 ± 4,43 mg GAE/g) dan diikuti oleh perlakuan ekstraksi dengan
suhu 70 oC selama 20 menit. Hal ini didukung oleh penelitian Liazid (2007) yang
menyarankan penggunaan MAE dengan waktu 20 menit untuk mendapatkan
total fenol terbaik, karena pada waktu yang lebih lama akan mengakibatkan
kehilangan beberapa komponen penyusun fenol tersebut. Total fenol terendah
diperoleh dari perlakuan ekstraksi dengan suhu 50 oC selama 10 menit.
Perlakuan ekstraksi dengan total fenol terendah didapatkan dari perlakuan
ekstraksi dengan waktu 10 menit, baik pada suhu 50, 60 maupun 70 oC. Dilihat
dari faktor waktu, ekstraksi pada suhu 50 oC mengalami kenaikan total fenol
seiring dengan meningkatnya waktu ekstraksi, yaitu dengan waktu ekstraksi 10,
100
110
120
130
140
150
160
10 20 30
Tota
l fe
no
l (m
g G
AE/
g)
Waktu ekstraksi (menit)
35
20 dan 30 menit menghasilkan total fenol yang semakin tinggi. Pada suhu 60 dan
70 oC total fenol dalam jumlah yang tertinggi berada pada ekstraksi dengan
waktu 20 menit dan mengalami sedikit penurunan pada ekstraksi dengan waktu
30 menit.
Menurut Mario (2010) dalam Sari (2012), beberapa kandungan total fenol
sensitif terhadap perubahan suhu. Sari (2012) menyimpulkan pada penelitiannya,
bahwa pada ekstraksi yang dilakukan pada suhu 55 dan 60 oC, pada waktu 4
menit suatu bahan yang diekstraksi dengan suhu 60 oC akan mengalami
penurunan fenol terlebih dahulu dari pada pada suhu 55 oC. Hal ini diduga
karena senyawa fenol dalam sarang semut tersebut bermacam-macam,
sehingga stabilitasnya pada perlakuan suhu tinggi berbeda-beda. Suwandi
(2014), melakukan ekstraksi pada sarang semut dan diidentifikasi menggunakan
LC-MS, didapatkan senyawa-senyawa diantaranya myrcetin, kaempferol, caffeic
acid, p-coumaric acid, sinapic acid, 4-hydroxycoumarin, epicatechin, gallic acid,
gentisic acid dan vannilic acid terdapat dalam sarang semut. Menurut Liazid
(2006), myrcetin, kaempferol, caffeic acid, p-coumaric acid, sinapic acid, 4-
hydroxycoumarin dan epicatechin mengalami degradasi dengan peningkatan
suhu MAE dari 50 ke 75 °C, sedangkan gallic acid, gentisic acid dan vannilic acid
tidak mudah terdegradasi pada suhu 75 °C. Semakin banyak jumlah substituen
hidroksil dalam cincin aromatic atau semakin sedikit subtituen tipe metoksil,
maka suatu senyawa fenol akan semakin terdegradasi dan stabilitasnya menurun
dengan meningkatnya suhu, karena gugus hidroksil tersebut bersifat tidak stabil.
Rerata total fenol ekstrak akibat perbedaan perlakuan suhu tersebut
diperoleh total fenol dari yang tertinggi secara berurutan yaitu 70, 60 dan 50
menit, namun ketiga hasil total fenol tersebut tidak berbeda nyata.
36
Tabel 3. Rerata Total Fenol Ekstrak Akibat Perbedaan Waktu Ekstraksi
Waktu (menit) Rerata Total Fenol (mg GAE/g)
10
20
30
129,54 ± 11,90 b
146,92 ± 7,56 a
114,55 ± 6,75 b
Tabel 3 menunjukkan rerata total fenol ekstrak akibat perbedaan waktu.
Hasil analisa total fenol ekstrak etanol sarang semut menggunakan MAE
memiliki nilai terendah pada perlakuan suhu 50 oC selama 10 menit (114,72 ±
2,46 mg GAE/g) dan nilai tertinggi pada perlakuan suhu 60 oC selama 20 menit
(151,86 ± 4,43 mg GAE/g). Nilai total fenol tersebut setelah dikonversikan ke
dalam keadaan bubuk kering sebelum ekstraksi bernilai 11,77 mg GAE/g, lebih
tinggi dari nilai total fenol tumbuhan Lemon grass, Poppy, Green peppercorn,
Black pepper, White pepper, Chinese prickly, Chilli, Dill, Caraway, Coriander,
Cumin, Parsley, Ginger dan Green cardamom yang telah diuji oleh Shan et al.
(2005).
5.2.3. Total Flavonoid
Total flavonoid sarang semut yang diekstraksi dengan 9 macam
perlakuan suhu dan waktu mempunyai kisaran yang berbeda-beda (Lampiran
13). Uji statistik menggunakan Anova (Lampiran 14) menunjukkan bahwa
perlakuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap total flavonoid.
37
Gambar 11. Pengaruh Suhu dan Waktu MAE Terhadap Total Flavonoid (● 50 °C, ▲ 60 °C, ■ 70 °C)
Gambar 11 menunjukkan bahwa tiga perlakuan dengan hasil total
flavonoid tertinggi didapatkan dari perlakuan dengan menggunakan suhu
ekstraksi 60 oC dengan waktu ekstraksi secara berurutan yaitu 20 menit (62,00 ±
1,93 mg QE/g), 10 menit (61,77 ± 2,63 mg QE/g) dan 30 menit (61,62 ± 1,51 mg
QE/g). Nilai total flavonoid tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Engida
(2011) yang melakukan ekstraksi sarang semut menggunakan water bath
dengan suhu 55 oC selama 4 jam dengan perbandingan pelarut etanol : air (80
%), mendapatkan hasil total flavonoid sejumlah 63,28 ± 1,75 mg QE/g. Pada
suhu ekstraksi 50 oC, kenaikan waktu antara 10, 20 dan 30 menit berbanding
lurus dengan peningkatan total flavonoid, namun pada suhu 60 dan 70 oC, dari
waktu 20 menit ke 30 menit, total flavonoid mengalami penurunan. Total
flavonoid terendah dimiliki oleh perlakuan ekstraksi pada suhu 70 oC selama 10
menit. Menurut Murcia et al. (2009), quercetin dan kaempferol menurun 48 %
dan 68 % karena pemanasan 60 °C selama 2 jam.
50
52
54
56
58
60
62
64
66
10 20 30
Tota
l fla
von
oid
(m
g Q
E/g)
Waktu ekstraksi (menit)
38
Nilai total flavonoid perlakuan MAE terbaik pada penelitian ini (60 oC
selama 20 menit) yaitu 62,00 ± 1,93 mgQE/g, jika dikonversikan pada total
flavonoid dalam bentuk serbuk sarang semut kering sebelum ekstraksi
(Lampiran 30), sebanding dengan 4,39 mg QE/g serbuk kering. Hasil ini lebih
tinggi dari pada nilai total flavonoid pada penelitian Sanjaya et al. (2014) yang
melakukan ekstraksi sarang semut menggunakan metode Supercritical
Extraction. Sanjaya et al. (2014) melakukan ekstraksi menggunakan beberapa
perlakuan suhu ( 40, 50, 60 dan 70 oC) dengan rentang waktu antara 6-7 jam dan
diperoleh hasil terbaik total flavonoid sejumlah 2,96 mg QE/g. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Li (2004) bahwa Pada Microwave Assisted Extraction (MAE),
energi mengiradiasi sampel dengan dipole tinggi tetapi tidak menyebabkan
kerusakan sampel sehingga lebih meningkatkan efisiensi ekstrak sampel.
Transfer panas yang cepat memungkinkan waktu yang jauh lebih cepat.
Tabel 4. Rerata Total Flavonoid Ekstrak Akibat Perbedaan Suhu Ekstraksi
Suhu (oC) Rerata Total Flavonoid (mg QE/g)
50
60
70
55,74 ± 1,70 b
61,80 ± 1,80 a
53,60 ± 2,74 b
Tabel 4. menunjukkan bahwa suhu ekstraksi 60 oC merupakan suhu
terbaik dalam mendapatkan total flavonoid, dan mempunyai hasil yang berbeda
nyata dan lebih tinggi dari pada penggunaan suhu ekstraksi 50 dan 70 oC,
walaupun tidak terdapat perbedaan nyata total flavonoid dari ketiga macam
waktu ekstraksi yang digunakan. Pada tiap-tiap waktu ekstraksi yang sama, total
flavonoid meningkat dengan meningkatnya suhu dari 50 ke 60 oC, dan menurun
dengan meningkatnya suhu dari 60 ke 70 oC, sesuai dengan Shau (2012) yang
39
melakukan penelitian ekstraksi Perilla frutescens menggunakan MAE pada suhu
60-140 oC dan didapatkan bahwa total flavonoid mengalami penurunan stabilitas
dengan semakin meningkatnya suhu yang dimulai dari suhu 60 °C.
5.2.4. Total Tanin
Total tanin sarang semut yang diekstraksi menggunakan MAE dengan 9
macam perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 15.
Anova (Lampiran 16) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata
terhadap total tanin. Faktor suhu dan waktu berpengaruh nyata terhadap total
tanin, dan ada interaksi antara faktor suhu dengan waktu ekstraksi.
Gambar 12. Pengaruh Suhu dan Waktu MAE Terhadap total Tanin
(● 50 °C, ▲ 60 °C, ■ 70 °C)
Gambar 12 menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan waktu yang
sama, kenaikan suhu ekstraksi pada 50, 60 dan 70 oC berbanding lurus dengan
kenaikan total tanin, yaitu semakin tinggi suhu ekstraksi semakin tinggi nilai total
tanin. Total tanin meningkat dari waktu ekstraksi 10 menit ke 20 menit dan
menurun dari 20 menit ke 30 menit, baik pada suhu 50, 60 dan 70 oC. Hal ini
didukung oleh penelitian Jing (2007) yang mengekstraksi Purple corn dengan
0
5
10
15
20
25
10 20 30
Tota
l tan
in (
mg
TAE/
g)
Waktu ekstraksi (menit)
40
suhu kamar, 50, 75 dan 100 oC dan mendapatkan bahwa total tanin meningkat
seiring dengan peningkatan suhu ekstraksi pada kisaran suhu tersebut.
Tabel 5. Rerata Total Tanin Ekstrak Akibat Perbedaan Suhu Ekstraksi
Suhu (oC) Rerata Total Tanin (mg TAE/g)
50
60
70
6,03 ± 3,89 b
8,12 ± 3,30 b
14,78 ± 7,13 a
Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 diketahui bahwa pada perlakuan suhu
50, 60 dan 70 oC, total tanin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Suhu
70 oC menghasilkan total tanin tertinggi dan berbeda nyata terhadap suhu 50 dan
60 oC. Sedangkan pengaruh waktu terhadap tanin dapat diketahui bahwa terjadi
perbedaan antara ketiga waktu ekstraksi, dimana waktu ekstraksi 10 menit
berbeda nyata dan lebih rendah terhadap waktu ekstraksi 20 dan 30 menit. Hal
ini dikarenakan suhu tinggi dapat meningkatkan kelarutan dan difusi senyawa
dan mengurangi viskositas pelarut sehingga mengasilkan perbaikan efisiensi
ekstraksi. Waktu ekstraksi yang pendek (<20 menit) tidak cukup untuk
memungkinkan pelarut menembus partikel dan melepaskan senyawa fenolat
termasuk tanin (Jing, 2007).
Tabel 6. Rerata Total Tanin Ekstrak Akibat Perbedaan Waktu Ekstraksi
Waktu (menit) Rerata Total Tanin (mg TAE/g)
10
20
30
4,22 ± 2,28 b
13,48 ± 5,70 a
11,23 ± 5,80 a
41
5.2.5. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
Pengukuran Konsentrasi Hambat Minimim dilakukan dengan metode
dilusi dengan mengkontakkan 1 ml media NB yang berisi bakteri masing-masing
sejumlah 107 cfu/g pada 1 ml ekstrak dengan beberapa seri konsentrasi
(Lampiran 32). Untuk mendapatkan bakteri sejumlah 107 cfu/g terlebih dahulu
dibuat kurva pertumbuhan bakteri dengan mengukur absorbansinya
menggunakan spektrometer serta dilakukan plating setiap 2 jam sekali selama 24
jam.
Kurva pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus (Lampiran 23)
berdasarkan absorbansi dan hasil plating, mengalami fase lag antara jam ke 0
sampai jam ke 2, fase log antara jam ke 2 sampai ke 8 dan fase stationer jam ke
10 sampai 24. Bakteri tersebut berada pada jumlah tertinggi pada jam ke 24 yaitu
1,3x108 cfu/g. Berdasarkan persamaan yang diperoleh dari grafik pertumbuhan
bakteri tersebut, maka untuk mendapatkan bakteri sejumlah 1x107 cfu/g diambil
biakan setelah absorbansinya sebesar 0,291 yaitu pada waktu biakan berumur
antara 4 sampai 6 jam, untuk digunakan pada uji Konsentrasi Hambat minimum
Vibrio parahaemolyticus.
Kurva pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes (Lampiran 19)
berdasarkan absorbansi dan hasil plating, mengalami fase lag antara jam ke 0
sampai jam ke 2, fase log antara jam ke 2 sampai ke 10, fase stationer jam ke 10
sampai 14 dan fase kematian setelah jam ke 14. Bakteri tersebut berada pada
jumlah tertinggi pada jam ke 10 yaitu 1,1x107 cfu/g. Berdasarkan persamaan
yang diperoleh dari grafik pertumbuhan bakteri tersebut, maka untuk
mendapatkan bakteri sejumlah 1x107 cfu/g diambil biakan pada absorbansi
sebesar 0,366 yaitu pada umur antara 10 sampai 12 jam untuk digunakan pada
uji Konsentrasi Hambat minimum Listeria monocytogenes.
42
Kurva pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Lampiran 21) berdasarkan
absorbansi dan hasil plating, mengalami fase lag antara jam ke 0 sampai jam ke
2, fase log antara jam ke 2 sampai ke 20, fase stationer jam ke 20 sampai pada
jam ke 24. Bakteri tersebut berada pada jumlah tertinggi pada jam ke 24 yaitu
2,2x107 cfu/g. Berdasarkan persamaan yang diperoleh dari grafik pertumbuhan
bakteri tersebut, maka untuk mendapatkan bakteri sejumlah 1x107 cfu/g diambil
biakan E.coli pada absorbansi 0,732 yaitu setelah berumur antara 18 sampai 20
jam untuk digunakan pada uji Konsentrasi Hambat minimum Escherichia coli.
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Sarang Semut dari
berbagai perlakuan ekstrak menggunakan MAE ditunjukkan pada Tabel 7. KHM
Ekstrak etanol sarang semut menggunakan MAE terhadap Escherichia coli lebih
tinggi dari pada Listeria monocytogenes dan Vibrio parahaemolyticus. Hal ini
berarti bahwa dibutuhkan konsentrasi ekstrak etanol sarang semut metode MAE
yang lebih besar untuk menghambat pertumbuhan Escherichia coli, dari pada
kedua bakteri yang lain. Bakteri Escherichia coli yang merupakan bakteri gram
negatif cenderung lebih tahan dari pada Listeria monocytogenes yang
merupakan bakteri gram positif dikarenakan bakteri gram negatif memiliki lapisan
peptidoglikan yang lebih tipis tetapi lapisan luar yang dimilikinya lebih kompleks
dari pada bakteri gram positif sehingga untuk dapat ditembus sangat sulit (Allison
and Gilbert, 2004). Bakteri gram positif mengandung peptidoglikan yang lebih
banyak dan lipopolisakarida yang lebih sedikit sehingga lebih bersifat polar dan
akan lebih mudah ditembus oleh ekstrak (Tortora et al., 2001).
43
Tabel 7. Rata-rata KHM Bakteri dari Setiap Perlakuan Ekstraksi
Perlakuan ekstraksi Konsentrasi Hambat Minimum (mg/ml)
V.parahaemolyticus L.monocytogenes E.coli
Suhu 50 oC 10 menit 1,00 0,83 5,00
Suhu 50 oC 20 menit 0,83 0,50 1,00
Suhu 50 oC 30 menit 0,83 0,50 1,00
Suhu 60 oC 10 menit 1,00 0,50 5,00
Suhu 60 oC 20 menit 0,83 0,50 0,50
Suhu 60 oC 30 menit 0,83 0,50 1,00
Suhu 70 oC 10 menit 1,00 0,50 5,00
Suhu 70 oC 20 menit 0,50 0,10 0,50
Suhu 70 oC 30 menit 0,50 0,10 0,50
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Sarang Semut dari
berbagai perlakuan ekstrak menggunakan MAE ditunjukkan pada Tabel 7.
Berdasarkan Uji T-test menggunakan Minitabs diketahui bahwa P-Value bernilai
lebih kecil dari pada 0,05, hal ini berarti bahwa KHM Ekstrak etanol sarang semut
menggunakan MAE menunjukkan perbedaan KHM yang nyata antara ketiga
jenis bakteri tersebut, dimana KHM ekstrak mulai dari yang tertinggi ke yang
lebih rendah secara berurutan yaitu terhadap Escherichia coli, Vibrio
parahaemolyticus, dan Listeria monocytogenes. Hal ini berarti bahwa dibutuhkan
konsentrasi ekstrak sarang semut metode MAE yang lebih besar untuk
menghambat pertumbuhan Escherichia coli dan Vibrio parahaemolyticus dari
pada Listeria monocytogenes.
Bakteri Escherichia coli dan Vibrio parahaemolyticus yang merupakan
bakteri gram negatif cenderung lebih tahan dari pada Listeria monocytogenes
yang merupakan bakteri gram positif (Hansen, Aistin and Gill, 2001). Perbedaan
sensitifitas ketiga jenis bakteri tersebut disebabkan oleh perbedaan struktur
membran dinding sel antara bakteri gram positif dengan negatif (Vattem et al.
2004). Bakteri gram positif mempunyai lapisan lipo polisakarida eksternal dan
tambahan komponen membran minor selain membran plasma utuh sekitar sel
44
yang memiliki potensi hidrofobisitas dan karena itu bisa menciptakan lingkungan
yang tidak menguntungkan bagi fenolat sederhana untuk menciptakan efek
hyperacidification (Vattem et al., 2004). Bakteri gram positif mengandung
peptidoglikan yang lebih banyak dan lipopolisakarida yang lebih sedikit sehingga
lebih bersifat polar dan akan lebih mudah ditembus oleh ekstrak (Tortora et al.,
2001). Porin yang terdapat pada lipopolisakarida dapat lebih mudah ditembus
oleh zat dengan berat molekul rendah (Suryani dan Stepriyani, 2016). Menurut
Suwandi (2015), beberapa senyawa antibakteri yang terdapat pada sarang
semut beserta berat molekulnya diantaranya adalah malic acid (133), fumaric
acid (115), gallic acid (169), catechol glycoside (271), tyrosol (137), sryngic acid
glucoronide (373) dan caffeic acid (359). Gallic acid, catechol glycoside, caffeic
acid dan sryngic acid glucoronide termasuk dalam senyawa fenol dari kelompok
fenolic acid.
Vibrio parahaemolyticus mempunyai KHM yang lebih rendah dari pada
Escherichia coli walaupun kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri gram
negatif. Hal ini didukung oleh penelitian Taguri, Tanaka and Kouno (2004) yang
menyatakan bahwa bakteri Genus Vibrio sangat rentan terhadap polifenol.
Taguri, Tanaka and Kouno (2004) Menguji KHM 10 jenis polifenol terhadap 4
grup bakteri diantaranya genus Vibrio. Bakteri Genus Vibrio paling rentan
terhadap polifenol dari pada Eschericia coli, Salmonella dan Staphylococcus
aureus, dimana Genus Vibrio mempunyai KHM terendah. Dari 10 jenis polifenol
yang diteliti tersebut, diantaranya senyawa epigallocatechin, procyanidin, tanin
terdapat pada tumbuhan sarang semut jenis Myrmecodia pendans (Suwandi,
2015).
Penelitian mengenai sifat antibakteri dari daun sage dan minyak rosemary
terhadap beberapa bakteri, menyatakan bahwa bakteri Vibrio parahaemolyticus
mempunyai sensitifitas tinggi, bahkan lebih sensitif dari pada beberapa bakteri
45
gram positif yang diujikan pada daun sage dan minyak rosemary (Shelev, Naglik
and Bogen (1980). Hal ini dikarenakan perbedaan fisiologi antara kedua jenis
bakteri tersebut, dimana Esherichia coli mempunyai kemampuan dalam
menanggulangi tekanan yang disebabkan oleh asam (Vattem et al. 2004).
Bakteri enterohemorrahagic termasuk Escherichia coli mempunyai kemampuan
untuk mengelola acidic stress dengan cara menyebarkan proton dengan jalan
memperpanjang membran sel mereka. Selain itu menurut Vattem et al. (2004),
beberapa antioksida hidrofobik dimungkinkan dapat merusak sistem
keseimbangan sel Vibrio parahaemolyticus dengan menghambat fungsi saluran
ion yang biasa digunakan oleh bakteri ini untuk mempertahankan diri pada
lingkungan kadar garam tinggi (Lin, Labbe and Shetty, 2004).
Ekstrak mempunyai KHM yang berbeda-beda terhadap Escherichia coli,
dimana ekstrak dengan perlakuan MAE suhu 70 °C selama 20 dan 30 menit
mempunyai KHM tertinggi terhadap Escherichia coli, yaitu sebesar 0,5 mg/ml.
Hal ini mempunyai korelasi dengan kandungan total tanin yang dimiliki oleh
kedua perlakuan tersebut, dimana kedua perlakuan tersebut memiliki total tanin
tertinggi pertama dan kedua diantara ke-sembilan perlakuan ekstraksi MAE.
Menurut Cowan (1994), tanin dapat menginaktifkan adhesion sel dan
pertumbuhan enzim sehingga dapat mengganggu transport sel protein di dalam
sel. Menurut Chung et al. (1995), senyawa tumbuhan alami salah satunya asam
tanat dan turunannya mempunyai peran penting dalam mengendalikan bakteri
patogen pada ikan di kolam.
KHM Listeria monocytogenes diatas lebih efektif dari pada nilai KHM
ekstrak etanol lain terhadap Listeria monocytogenes yaitu Cistus (0,515), Rose
(0,9), Thyme (1,56), Artemisia (3,75), Rosemary (5,25), Geranium (6,15),
Camomile (6,75), Lavender (11,5) dan Verbena (11,5) seperti yang dinyatakan
oleh Bayoub (2010).
46
5.2.6. Uji Korelasi Senyewa Bioaktif Sarang Semut dengan Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM)
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) bakteri Escherichia coli, Vibrio
parahaemolyticus dan Listeria monocytogenes dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya total fenol, total flavonoid dan total tanin. Berdasarkan hasil analisa
yang telah didapatkan, dilakukan uji regresi linier dan uji korelasi Pearson
menggunakan SPSS untuk melihat bagaimana korelasi antara senyawa bioaktif
seperti total fenol, total flavonoid dan total tanin terhadap Konsentrasi Hambat
Minimum (KHM) ekstrak etanol sarang semut pada ketiga jenis bakteri tersebut.
Hasil uji korelasi Pearson secara umum dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 8. Regresi Berganda Senyawa Bioaktif Berupa Total Fenol, Flavonoid dan Tanin terhadap KHM Ekstrak Sarang Semut pada E. coli
Parameter Nilai
R R2
Adjusted R2
F hitung Koefisien Regresi
- Konstanta - Fenol - Flavonoid - Tanin
0,774 0,598 0,546
11,426
15,755 -0,058 -0,067 -0,166
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai R regresi antara senyawa
bioaktif (total fenol, total flavonoid dan total tanin) terhadap KHM ekstrak pada E.
coli bernilai sebesar 0,774 hal ini berarti terjadi korelasi yang kuat antara
senyawa-senyawa bioaktif diatas dengan KHM ekstrak sarang semut pada E. coli
karena R mendekati 1. Regresi linier memiliki adjusted R2 sebesar 0,598 atau
59,8% dimana hal ini menunjukkan bahwa KHM ekstrak pada E. coli dipengaruhi
oleh total fenol, total flavonoid dan total tanin, sementara itu sisanya (40,2%)
dipengaruhi oleh faktor lainnya.
47
F hitung regresi linier berganda senyawa bioaktif berupa total fenol, total
flavonoid dan total tanin terhadap KHM ekstrak pada E.coli sebesar 11,426.
Berdasarkan hasil dari uji Pearson diperoleh koefisien regresi dari semua
variabel yang berupa total fenol, flavonoid dan tanin dengan persamaan berikut.
Y = 15,755 – 0,058X1 – 0,067X2 – 0,166X3
Keterangan :
y = Nilai KHM ekstrak pada E.coli
X1= Total Fenol (mg GAE/g)
X2= Total Flavonoid (mg QE/g)
X3= Total Tanin (mg TAE/g)
Nilai konstanta 15,755 menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat ketiga
variabel bebas (total fenol, total flavonoid dan total tanin) maka nilai konstanta
tersebut yang digunakan untuk perhitungan KHM. Ketiga koefisien bernilai
negatif artinya bahwa ketiga senyawa bioaktif tersebut memiliki hubungan yang
berbanding terbalik dengan KHM ekstrak pada E.coli. Hal ini berarti, semakin
tinggi kandungan ketiga senyawa bioaktif tersebut, maka semakin kecil KHM
atau semakin sedikit konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri E.coli.
Tabel 9. Regresi Berganda Senyawa Bioaktif Berupa Total Fenol, Flavonoid dan Tanin terhadap KHM Ekstrak Sarang Semut pada Vibrio parahaemolyticus
Parameter Nilai
R R2
Adjusted R2
F hitung Koefisien Regresi
- Konstanta - Fenol - Flavonoid - Tanin
0,689 0,475 0,407 6,946
0,848 0,000 0,005
-0,027
48
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai R regresi antara senyawa
bioaktif (total fenol, total flavonoid dan total tanin) terhadap KHM ekstrak pada
Vibrio parahaemolyticus bernilai sebesar 0,689 hal ini berarti terjadi korelasi
antara senyawa-senyawa bioaktif diatas dengan KHM ekstrak sarang semut
pada Vibrio parahaemolyticus. Regresi linier memiliki adjusted R2 sebesar 0,475
atau 47,5% dimana hal ini menunjukkan bahwa KHM ekstrak pada Vibrio
parahaemolyticus dipengaruhi oleh total fenol, total flavonoid dan total tanin,
sementara itu sisanya (52,5 %) dipengaruhi oleh faktor lainnya.
F hitung regresi linier berganda senyawa bioaktif berupa total fenol, total
flavonoid dan total tanin terhadap KHM ekstrak pada Vibrio parahaemolyticus
sebesar 6,946. Berdasarkan hasil dari uji Pearson diperoleh koefisien regresi dari
semua variabel yang berupa total fenol, flavonoid dan tanin dengan persamaan
berikut.
Y = 0,848 + 0,000X1 + 0,005X2 – 0,027X3
Keterangan :
y = Nilai KHM ekstrak pada Vibrio parahaemolyticus
X1= Total Fenol (mg GAE/g)
X2= Total Flavonoid (mg QE/g)
X3= Total Tanin (mg TAE/g)
Nilai konstanta 0,848 menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat ketiga
variabel bebas (total fenol, total flavonoid dan total tanin) maka nilai konstanta
tersebut yang digunakan untuk perhitungan KHM. Koefisien total fenol bernilai
negatif artinya bahwa total fenol tersebut memiliki hubungan yang berbanding
terbalik dengan KHM ekstrak pada Vibrio parahaemolyticus. Hal ini berarti,
semakin tinggi kandungan total fenol tersebut, maka semakin kecil KHM atau
semakin sedikit konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk menghambat
49
pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus. Konstanta untuk X1 dan X2
bernilai sangat kecil dan mendekati nol, artinya bahwa total fenol dan total
flavonoid hampir tidak memiliki korelasi dengan KHM ekstrak sarang semut pada
Vibrio parahaemolyticus.
Tabel 10. Regresi Berganda Senyawa Bioaktif Berupa Total Fenol, Flavonoid dan Tanin terhadap KHM Ekstrak Sarang Semut pada Listeria monocytogenes
Parameter Nilai
R R2
Adjusted R2
F hitung Koefisien Regresi
- Konstanta - Fenol - Flavonoid - Tanin
0,829 0,688 0,647
16,880
0,978 -0,005 0,007
-0,024
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai R regresi antara senyawa
bioaktif (total fenol, total flavonoid dan total tanin) terhadap KHM ekstrak pada
Listeria monocytogenes bernilai sebesar 0,829 hal ini berarti terjadi korelasi yang
sangat kuat antara senyawa-senyawa bioaktif diatas dengan KHM ekstrak
sarang semut pada Listeria monocytogenes karena R mendekati 1. Regresi linier
memiliki adjusted R2 sebesar 0,688 atau 68,8% dimana hal ini menunjukkan
bahwa KHM ekstrak pada Listeria monocytogenes dipengaruhi oleh total fenol,
total flavonoid dan total tanin, sementara itu sisanya (31,2%) dipengaruhi oleh
faktor lainnya.
F hitung regresi linier berganda senyawa bioaktif berupa total fenol, total
flavonoid dan total tanin terhadap KHM ekstrak pada Listeria monocytogenes
sebesar 16,880. Berdasarkan hasil dari uji Pearson diperoleh koefisien regresi
dari semua variabel yang berupa total fenol, flavonoid dan tanin dengan
persamaan berikut.
50
Y = 0,978 – 0,005X1 + 0,007X2 – 0,024X3
Keterangan :
y = Nilai KHM ekstrak pada Listeria monocytogenes
X1= Total Fenol (mg GAE/g)
X2= Total Flavonoid (mg QE/g)
X3= Total Tanin (mg TAE/g)
Nilai konstanta 0,978 menunjukkan bahwa apabila tidak terdapat ketiga
variabel bebas (total fenol, total flavonoid dan total tanin) maka nilai konstanta
tersebut yang digunakan untuk perhitungan KHM. Koefisien total fenol dan total
flavonoid bernilai sangat kecil mendekati nol, sedangkan koefisien total tanin
bernilai -0,024.
Tabel 11. Korelasi Senyawa Bioaktif terhadap KHM Ekstrak pada Ketiga Jenis Bakteri
Fenol Flav Tanin KHM(EC) KHM(VP) KHM(LM)
Fenol Flavonoid Tanin KHM pada EC KHM pada VP KHM pada LM
1,000 0,207 0,601
-0,670 -0,400 -0,607
0,207 1,000
-0,130 -0,139 0,162 0,151
0,601 -0,130 1,000
-0,694 -0,685 -0,808
-0,670 -0,139 -0,694 1,000 0,592 0,572
-0,400 0,162
-0,685 0,592 1,000 0,637
-0,607 0,151
-0,808 0,572 0,637 1,000
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa korelasi antara flavonoid dan
fenol sebesar 0,207 menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara flavonoid
dengan fenol sebesar 20,7%. Nilai ini bersifat positif, artinya terdapat korelasi
yang berbanding lurus antara flavonoid dan fenol, apabila kadar flavonoid
meningkat maka akan semakin meningkat pula kadar total fenol, sebaliknya
apabila semakin menurun kadar total flavonoid maka akan semakin menurun
pula kadar total fenol.
Korelasi antara tanin dan fenol sebesar 0,601 menunjukkan bahwa ada
keterkaitan antara tanin dengan fenol sebesar 60,1%. Nilai ini bersifat positif,
51
artinya terdapat korelasi yang berbanding lurus antara tanin dan fenol, apabila
kadar tanin meningkat maka akan semakin meningkat pula kadar total fenol,
sebaliknya apabila semakin menurun kadar total tanin maka akan semakin
menurun pula kadar total fenol.
Berdasarkan persamaan regresi berganda dapat dilihat bahwa dari ketiga
senyawa bioaktif, korelasi total tanin (-0,694) merupakan paling tinggi terhadap
besarnya KHM ekstrak pada E.coli, lalu diikuti oleh total fenol (-0,670) dan total
flavonoid (-0,139), demikian pula pada KHM Listeria monocytogenes dan Vibrio
parahaemolyticus, senyawa yang mempunyai korelasi tertinggi yaitu tanin, dan
diikuti oleh total fenol dan flavonoid. Menurut Scalbert (1991), tanin terdiri dari
banyak jenis, dan tiap jenis tanin mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap jenis bakteri satu dengan bakteri lainnya. Mekanisme tanin sebagai
antibakteri dapat terjadi dengan cara menghambat pertumbuhan enzim ekstra sel
bakteri, mengambil substrat bakteri, mengganggu metabolisme bakteri dan
mengkelat ion logam pada bakteri. Beberapa enzim yang terdapat pada mikroba
seperti selulase, pectinase, xilanase dan peroksidase, akan terhambat setelah
bercampur dengan senyawa tanin. Asam tanat juga dapat menghambat oksidasi
phosphorilase mitokondria dengan terlebih dahulu harus melewati dinding sel
yang terdiri dari polisakarida dan protein yang berbeda-beda. Tanin juga
mempunyai lebih dari 2 grup o-diphenol dalam molekulnya yang dapat
mengkelat banyak ion metal sehingga dapat mengurangi ion metal yang
dibutuhkan oleh bakteri, dimana bakteri sangat bergantung pada ion metal yang
terdapat pada lingkungannya.
Ketiga nilai korelasi tersebut bersifat negatif. Hal ini berarti bahwa ketiga
senyawa bioaktif tersebut berkaitan dan mempengaruhi besarnya KHM ekstrak
MAE sarang semut pada E.coli, dan tanin merupakan golongan senyawa yang
paling berkaitan dengan KHM nya. Semakin besar tanin, total fenol dan total
52
flavonoid yang terkandung pada ekstrak, maka akan semakin kecil kebutuhan
ekstrak yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai
contoh dalam penelitian ini, ekstrak sarang semut dengan perlakuan yang
menghasilkan kandungan tanin tertinggi (20,42 mg TAE/g) yaitu pada perlakuan
suhu 70 oC selama 20 menit hanya membutuhkan 0,5 mg/ml ekstrak untuk
dapat menghambat pertumbuhan E.coli, sedangkan ekstrak dengan kandungan
tanin terendah (2,03 mg TAE/g) membutuhkan lebih banyak ekstrak yaitu 5
mg/ml untuk dapat menghambat pertumbuhan E.coli.
Berdasarkan persamaan regresi berganda, ketiga nilai korelasi tersebut
bersifat negatif. Hal ini berarti bahwa ketiga senyawa bioaktif tersebut berkaitan,
dimana semakin besar tanin, total fenol dan total flavonoid yang terkandung pada
ekstrak, maka akan semakin kecil kebutuhan ekstrak yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai contoh dalam penelitian ini, ekstrak
sarang semut dengan perlakuan yang menghasilkan kandungan fenol tertinggi
(151,86 mg GAE/g) yaitu pada perlakuan suhu 60 oC selama 20 menit hanya
membutuhkan 0,5 mg/ml ekstrak untuk dapat menghambat pertumbuhan Vibrio
parahaemolyticus, sedangkan ekstrak dengan kandungan fenol terendah (114,72
mg GAE/g) membutuhkan lebih banyak ekstrak yaitu 1 mg/ml untuk dapat
menghambat pertumbuhan Vibrio parahaemolyticus.
5.2.7. Penentuan Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik dari 9 macam perlakuan MAE dimana terdiri
dari 5 macam respon yaitu total fenol, total flavonoid, total tanin, rendemen dan
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dari ketiga jenis bakteri yang diujikan,
dilakukan dengan metode Zeleny.
53
Tabel 12. Pemilihan Perlakuan Terbaik
Perlakuan L1 L2 Lmax Nilai
A10 0,021 0,240 0,021 0,282
A20 0,007 0,142 0,007 0,156
A30 0,008 0,136 0,008 0,152
B10 0,010 0,152 0,010 0,173
B20 0,006 0,105 0,006 0,116
B30 0,008 0,132 0,008 0,147
C10 0,012 0,176 0,012 0,200
C20 0,000 0,012 0,000 0,012
C30 0,000 0,034 0,000 0,034
Berdasarkan metode Zeleny pada Tabel 12, didapatkan bahwa perlakuan
terbaik (nilai yang diarsir) adalah perlakuan MAE dengan suhu 70 oC dengan
waktu 20 menit dengan nilai 0,012 setelah itu diikuti oleh perlakuan MAE dengan
suhu 70 oC dengan waktu 30 menit (nilai 0,034) dan diikuti oleh perlakuan-
perlakuan yang lain. (Lampiran 27). Perlakuan terbaik tersebut selanjutnya
dianalisa LC-MS dan digunakan sebagai bahan untuk aplikasi pada ikan.
5.2.8. Analisa LC-MS
Analisa LC-MS dilakukan pada sampel perlakuan terbaik yaitu ekstraksi
dengan suhu 70 °C selama 20 menit pada beberapa senyawa fenolik.
Berdasarkan kromatogram pada Gambar 13, dilakukan analisa LC-MS pada
senyawa p-coumaric acid (BM 163), gallic acid (BM 169), caffeic acid (BM 179),
ferulic acid (BM 193), kaempferol (BM 285), rutin (BM 285) dan kuersetin (BM
301), dimana senyawa p-coumaric acid, gallic acid, caffeic acid dan ferulic acid
tergolong dalam asam fenol, sedangkan kaempferol, rutin dan kuersetin
tergolong dalam senyawa flavonoid. Senyawa kuersetin yang menunjukkan hasil
positif, sedangkan 6 senyawa yang lain menunjukkan hasil negatif.
54
Gambar 13. Kromatogram LC-MS
Pada kromatogram dapat diketahui adanya kandungan kuersetin pada
ekstrak etanol MAE sarang semut dengan waktu retensi 0,91 menit, dengan
berat molekul 301, mendekati berat molekul kuersetin yaitu sebesar 302
g/molekul (Lu et al., 2000).
Keberadaan kuersetin dalam tanaman sarang semut sesuai dengan hasil
penelitian Engida (2013) yang melakukan ekstraksi pada tanaman sarang semut
dengan metode maserasi menggunakan pelarut air dan didapatkan senyawa
kuersetin sejumlah 0,03 mg/g.
Peranan kuersetin sebagai antibakteri telah dikemukakan oleh Xu and
Lee (2001) yang mendapatkan bahwa senyawa kuersetin mempunyai diameter
hambat 9 mm terhadap beberapa bakteri. Kuersetin tergolong dalam senyawa
flavonoid, yang mempunyai sifat antioksidan dan antibakteri. Flavonoid
mempunyai peranan antibakteri dengan cara merusak membran sitoplasma,
menurunkan kestabilan membran, menghambat sintesis asam nukleat dan
menghambat metabolisme energi (Chusnie, 2011).
Sampel
Asam galat
Asam kafeid
Asam ferulik
Kaempferol
Rutin
Kuersetin
Asam kumarid
55
5.3 Aplikasi Ekstrak pada Ikan
Berdasarkan analisa statistik menggunakan Anova (Lampiran 29),
diketahui bahwa keempat jenis perlakuan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap laju pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes, dari hari ke 1, 15, 30
sampai hari ke 45.
Gambar 14. Pengaruh Perlakuan Perendaman Daging Ikan dengan Ekstrak Terhadap Pertumbuhan Listeria monocytogenes (♦Suhu 4 oC, ■Suhu 4 °C dengan ekstrak, ▲Suhu -8 °C, ●Suhu -8 °C dengan
ekstrak.)
Berdasarkan Gambar 14, jumlah peningkatan jumlah bakteri yang
tertinggi dialami oleh sampel dengan perlakuan penyimpanan dingin tanpa
perendaman ekstrak, kemudian diikuti secara berurutan oleh sampel perlakuan
penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak, sampel perlakuan
penyimpanan dingin tanpa perendaman ekstrak, dan sampel perlakuan
penyimpanan beku dengan perendaman ekstrak.
Pada hari pertama, jumlah sel semua perlakuan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan hari ke 0, dimana kenaikan kedua perlakuan sampel
dengan perendaman ekstrak mengalami kenaikan yang lebih sedikit dari pada
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
0 1 15 30 45
L. M
on
ocy
tog
enes
(Lo
g cf
u/g
)
Waktu penyimpanan (hari)
56
kenaikan kedua sampel yang tidak diberikan perlakuan perendaman ekstrak.
Berdasarkan penelitian tahap I, ekstrak sarang semut yang digunakan untuk
perendaman ini mempunyai kandungan fenol 150,33 mgGAE/g. Menurit Lin
(2004), bagian fenolik yang bersifat hidrofobik memungkinkan penempelan pada
membran sitoplasma bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan kematian
sel. Menurut Lin (2004), bagian hidrofobik alami yang dimiliki oleh senyawa
fenolik mampu bekerja secara lebih efektif dalam menghadapi bagian lipid dan
air dalam daging, sehingga cocok diaplikasikan dalam makanan.
Pada kedua sampel penyimpanan dingin, sampel yang tidak mengalami
perlakuan perendaman ekstrak memiliki kenaikan jumlah sel yang jauh lebih
tinggi dari pada sampel yang direndam pada ekstrak, baik pada hari ke 15, 30
dan 45. Sampel tanpa perendaman memiliki jumlah sel 28x104 cfu/g pada hari ke
0, berjumlah 3,3x104 cfu/g pada hari ke 1, berjumlah 3,1x105 cfu/g pada hari ke
15, berjumlah 6,7x105 cfu/g pada hari ke 30, dan diatas 107 cfu/g pada hari ke
45. Hasil ini sebanding dengan penelitian Lin (2004) yang meneliti bahwa
pertumbuhan Listeria monocytogenes tanpa penembahan ekstrak pada ikan
yang disimpan pada suhu 4 oC, jumlah sel bakteri tersebut mengalami
peningkatan sebesar 1 log10 cfu/g dari hari ke 0 hingga hari ke-8. Dalam
penelitian tersebut, dinyatakan bahwa kandungan fenol yang terdapat dalam
ekstrak Oregano berperan dalam menurunkan jumlah sel sejumlah 3 log10 cfu/g
pada hari kedelapan. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Miladi et al.
(2008), menyatakan bahwa Listeria monocytogenes masih mempunyai
kemampuan tumbuh pada suhu 2-5 oC. Ikan yang di inokulasi Listeria
monocytogenes kemudian disimpan pada suhu 4 °C, setelah 15 hari mengalami
kenaikan jumlah sel sejumlah 1,46 log10 cfu/g. kenaikan ini lebih kecil dari pada
ikan yang disimpan pada suhu 25 oC (Miladi et al., 2008). Pada hari ke 45,
sampel perlakuan dingin tanpa perendaman tersebut sudah akan mengalami
57
fase stationer, dimana grafik akan mengalami arah yang horizontal, dan pada
sampel penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak masih dalam fase log.
Sampel yang lain pada suhu penyimpanan yang sama dengan perlakuan
perendaman ekstrak terlebih dahulu sebelum penyimpanan dingin, memiliki
jumlah sel yang lebih sedikit di setiap waktu pengamatan, mulai dari hari ke 1,
15, 30 sampai 45 hari.
Begitu pula dengan kedua sampel yang disimpan pada suhu -8 °C,
sampel yang tidak mengalami perlakuan perendaman ekstrak memiliki kenaikan
jumlah sel yang jauh lebih tinggi dari pada sampel yang direndam pada ekstrak,
baik pada hari ke 15, 30 dan 45. Menurut Chung et al. (1993), Tanin mempunyai
daya hambat pada uji cakram terhadap 15 jenis bakteri diantaranya Listeria
monocytogenes dan Escherichia coli, sedangkan asam galat yang merupakan
produk hidrolisis dari asam tanat, tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri-
bakteri tersebut, dikarenakan rantai ester pembentuk asam tanat pada asam
galat adalah berperan penting sebagai antibakteri pada komponen tersebut.
Kedua sampel dengan perlakuan penyimpanan beku mempunyai
pertumbuhan sel lebih rendah dari pada penyimpanan beku, baik dengan
perlakuan perendaman ekstrak atau tanpa perendaman sebelum penyimpanan
beku. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Miladi et al. (2008),
bahwa penyimpanan beku ikan salmon yang telah diinokulasi Listeria
monocytogenes dapat menurunkan jumlah sel 1 sampai 2 log10 cfu/g pada hari
ke 30 penyimpanan beku. Dari hari ke 30 sampai hari ke 200 penurunan jumlah
sel tidak banyak, yaitu kurang dari 1 log cfu/g. Pada suhu dibawah 0 °C, bakteri
Listeria monocytogenes mengalami penyusutan ukuran sel dan mengalami
evolusi karakter biokimia, dimana beberapa enzim (D-arabitol, D-xylose, L-
rhamnose, α-methyl-D-glucoside, D-ribose, glucose-1-phosphate, dan D-
tagatose) memproduksi asam.
58
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran yang didapatkan dari penelitian ini yaitu sebagai
berikut.
6.1. Kesimpulan
Ekstraksi etanol sarang semut dengan metode Microwave Assisted
Extraction (MAE) dengan 9 kombinasi perlakuan suhu dan waktu dan didapatkan
perlakuan optimum pada suhu 70 oC dengan waktu 20 menit dengan rendemen
sebesar 7,83 %, total fenol 150,33 mg GAE/g, total flavonoid 56,12 mg QE/g,
total tanin 20,42 mg TAE/g, Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) pada
Escherichia coli, Vibrio parahaemolyticus dan Listeria monocytogenes sebesar
0,5 mg/g.
Pada penyimpanan suhu 4 oC maupun -8 oC, daging ikan yang
sebelumnya mengalami perlakuan perendaman dengan ekstrak perlakuan
terbaik dengan konsentrasi 0,1 % mengalami peningkatan pertumbuhan Listeria
monocytogenes lebih lambat dari pada daging ikan yang tidak mengalami
perlakuan perendaman ekstrak.
Pada pengamatan akhir hari ke 45, jumlah log Listeria monocytogenes
dari perlakuan penyimpanan dingin tanpa perendaman ekstrak 6,07 log10/g,
penyimpanan dingin dengan perendaman ekstrak 5,7 log10/g, penyimpanan
beku tanpa perendaman ekstrak 4,95 log10/g dan penyimpanan beku dengan
perendaman ekstrak sebelum penyimpanan 4,41 log10/g.
59
6.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai ekstraksi sarang semut
dengan menggunakan faktor perlakuan waktu MAE yang lebih pendek pada
suhu antara 60 sampai 70 oC dengan waktu 20 menit.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai ekstraksi tumbuhan sarang
semut menggunakan pelarut non-polar untuk mengetahui dan mengekstrak
senyawa-senyawa non-polar yang terdapat pada tumbuhan tersebut.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi senyawa-senyawa tanin
yang terdapat pada tumbuhan sarang semut.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adesiyun, A. A. (1993). Prevalence of Listeria spp., Campylobacter spp. Salmonella spp. Yersinia spp. and toxigenic Escherichia coli meat and seafoods in Trinidad. Food microbiology, 10(5), 395-403.
Allison, D., & Gilbert, P., 2004, Bacteria, in Denyer, S.P., Hodges, N.A., & Gorman, S.P. (Eds.), Hugo and Russell’s Pharmaceutical Microbiology, 7th Ed., Blackwell Science, Masssachusetts, USA
Ambarwati, R. 2014. Membangun Kelautan untuk Mengembalikan Kejayaan Sebagai Negara Maritim, http://www.ppk-pp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/ 115/
Apriyanti, E., Kurnia, D.S.D., Dharsono, H.D.A., Satari, M.H. 2015. Flavonoid dari Myrmecodia pendans dan aktifitas antibakteri terhadap Enterococcus faecalis, Pustaka Unpad. Bandung
Atanassova, M., Georgieva S., and Ivancheva K. 2011. Total Phenolic And Total Flavonoid Contents, Antioxidant Capacity And Biological Contaminants In Medicinal Herbs. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy. 46 (1): 81-88.
Baghdikian, B., Filly, A., Fabiano-Tixier, A. S., Petitcolas, E., Mabrouki, F., hemat,
F., & Ollivier, É. (2016). Extraction by Solvent Using Microwave and Ultrasound-Assisted Techniques Followed by HPLC Analysis of Harpagoside from Harpagophytum Procumbens and Comparison with Conventional Solvent Extraction Methods. Comptes Rendus Chimie. 19 (6): 692-698.
Bayoub, K., Baibai, T., Mountassif, D., Retmane, A., & Soukri, A. (2010).
Antibacterial activities of the crude ethanol extracts of medicinal plants against Listeria monocytogenes and some other pathogenic strains. African Journal of Biotechnology, 9(27), 4251-4258.
Bobbarala, V. (2012). Antimicrobial Agent. InTech. Janeza Trdine 9, 51000.
Rijeka, Croatia. Chung, K. T., SE Jr, S., Lin, W. F., & Wei, C. I. (1993). Growth inhibition of
selected food‐borne bacteria by tannic acid, propyl gallate and related compounds. Letters in Applied Microbiology, 17(1), 29-32.
Chung, K. T., Zhao, G., Stevens Jr, E., Simco, B. A., & Wei, C. I. (1995). Growth
inhibition of selected aquatic bacteria by tannic acid and related compounds. Journal of Aquatic Animal Health, 7(1), 46-49.
Cushnie, T. T., & Lamb, A. J. (2011). Recent advances in understanding the
antibacterial properties of flavonoids. International journal of antimicrobial agents, 38(2), 99-107.
61
Cowan, M.M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
Microbiology Reviews. 12 : 564 – 582. Cui, X. B., Qian, X. C., Huang, P., Zhang, Y. X., Li, J. S., Yang, G. M., & Cai, B.
C. (2015). Simultaneous determination of ten flavonoids of crude and
wine‐processed Radix Scutellariae aqueous extracts in rat plasma by UPLC‐ESI‐MS/MS and its application to a comparative pharmacokinetic study. Biomedical Chromatography, 29(7), 1112-1123.
Doughari, J. H. (2006). Antimicrobial activity of Tamarindus indica Linn. Tropical
Journal of Pharmaceutical Research. 5(2): 597-603. Duncan, C. J., Bowler, K., & Davison, T. F. (1970). The effect of tannic acid on
the phosphorylation and ATPase activity of mitochondria from blowfly flight muscle. Biochemical pharmacology, 19(8), 2453-2460.
Efendi, Y. N., & Hertiani, T. (2013). Antimicrobial potency of ant-plant extract
(Myrmecodia tuberosa Jack) against Candida albicans, Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. Trad Med J. 18 (1): 53-58.
Engida, A. M., Kasim, N. S., Tsigie, Y. A., Ismadji, S., Huynh, L. H., & Ju, Y. H.
(2013). Extraction, identification and quantitative HPLC analysis of flavonoids from sarang semut (Myrmecodia pendan). Industrial Crops and Products. 41 (1): 392-396.
Genisa, A.S. (1999). Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomis penting di
Indonesia, Oseana. 24 (1) : 17 – 38. Gharekhani, M., Ghorbani, M., & Rasoulnejad, N. (2012). Microwave-assisted
extraction of phenolic and flavonoid compounds from Eucalyptus camaldulensis Dehn leaves as compared with ultrasound-assisted extraction. Latin American applied research. 42 (3): 305-310.
Gonçalves, A. C., Almeida, R. C. C., Alves, M. A. O., & Almeida, P. F. (2005).
Quantitative Investigation on the Effects of Chemical Treatments in Reducing Listeria monocytogenes Populations on Chicken Breast Meat. Food control. 16(7): 617-622.
Grotewold, E. (2006). The Science of Flavonoids, Springer Science Business
Media, Inc. New York. Handayani, D., Mun’im, A., & Ranti, A. S. (2015). Optimation of Green Tea Waste
Axtraction Using Microwave Assisted Extraction to Yield Green Tea Extract. Traditional Medicine Journal, 19(1), 29-35.
Herrmann, K., & Nagel, C. W. (1989). Occurrence and content of
hydroxycinnamic and hydroxybenzoic acid compounds in foods. Critical Reviews in Food Science & Nutrition, 28(4), 315-347.
Jay, J.M., Loessner, M.J., Golden, D.A. (2005). Modern Food Microbiology 7th Ed. Springer Science Business Media, Inc. New York.
62
Jing, P., & Giusti, M. M. (2007). Effects of Extraction Conditions on Improving the Yield and Quality of an Anthocyanin‐Rich Purple Corn (Zea mays L.) Color Extract. Journal of food science, 72(7), C363-C368.
Junior, M. R. M., Leite, A. V., & Dragano, N. R. V. (2010). Supercritical fluid extraction and stabilization of phenolic compounds from natural sources–review (supercritical extraction and stabilization of phenolic compounds). Open Chem Eng J, 4, 51-60.
Khumaidi, A., Hertiani, T., & Sasmito, E. (2015). Analisis Korelasi antara Efek
Proliferasi Limfosit dengan Kandungan Fenolik dan Flavonoid Subfraksi Etil Asetat Myrmecodia tuberosa (Non Jack) Bl. secara In Vitro pada Mencit BALB/C (Correlation Analysis between Lymphocyte Proliferation. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia.13(1): 102-107.
Kim, S. J., Cho, A. R., & Han, J. (2013). Antioxidant and antimicrobial activities of
leafy green vegetable extracts and their applications to meat product preservation. Food Control. 29(1): 112-120.
Kumar, S., & Pandey, A. K. (2013). Chemistry and biological activities of
flavonoids: an overview. The Scientific World Journal, 2013. Lee, K. W., Kim, Y. J., Lee, H. J And Lee, C. Y. 2003. Cocoa Has More Phenolic
Phytochemical And Higher Antioxidant Than Teas And Red Wine. J. Agric. Food Chem. 51(25): 249-252.
Lenny, S. (2006). Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida, USU
Repository@2006. Li, M. J., You, J. Y., Yao, S., Ding, L., Liu, Z. Y., & Zhang, H. Q. (2004).
Microwave-assisted Extraction of Rutin and Quercetin from Flos Sophorae. Chem Res Chin Univ. 20. 703-706.
Liazid, A., Palma, M., Brigui, J., & Barroso, C. G. (2007). Investigation on
phenolic compounds stability during microwave-assisted extraction. Journal of Chromatography A, 1140(1), 29-34.
Lin, Y. T., Labbe, R. G., & Shetty, K. (2004). Inhibition of Listeria monocytogenes
in fish and meat systems by use of oregano and cranberry phytochemical synergies. Applied and environmental microbiology, 70(9), 5672-5678.
Lu, Y., & Foo, L. Y. (2000). Antioxidant and radical scavenging activities of
polyphenols from apple pomace. Food chemistry, 68(1), 81-85. Magdalena, N. V., & Kusnadi, J. (2014). Antibakteri dari Ekstrak Kasar Daun
Gambir (Uncaria gambir var Cubadak) Metode Microwave-Assisted Extraction Terhadap Bakteri Patogen [In Press Januari 2015]. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(1): 124-135.
Malangngi, L., Sangi, M., & Paendong, J. (2012). Penentuan kandungan tanin
dan uji aktivitas antioksidan ekstrak biji buah alpukat (Persea americana Mill.). Jurnal Mipa Unsrat Online. 1(1): 5-10.
63
Mandal, V., Mohan, Y., & Hemalatha, S. (2007). Microwave assisted extraction—
an innovative and promising extraction tool for medicinal plant research. Pharmacognosy Reviews. 1(1): 7-18.
Miladi, H., Chaieb, K., Bakhrouf, A., Elmnasser, N., & Ammar, E. (2008).
Freezing effects on survival of Listeria monocytogenes in artificially contaminated cold fresh-salmon. Annals of microbiology, 58(3), 471-476.
Moektiwardoyo, M., Levita, J., Sidiq, S. P., Ahmad, K., Mustarichie, R., &
Subarnas, A. (2011). The determination of quercetin in Plectranthus scutellarioides (L.) R. Br. leaves extract and its In SilicoStudy on Histamine H4 Receptor. Indonesian Journal Pharmacy. 191-196.
Murcia, M. A., Jiménez, A. M., & Martínez-Tomé, M. (2009). Vegetables
antioxidant losses during industrial processing and refrigerated storage. Food Research International, 42(8), 1046-1052.
National Center for Biotechnology Information. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ Naufalin, R., Erminawati. (2013) Sifat Fisikokimia dan Aktivitas Antioksidan
Sarang Semut (Myrmecodia pendans) Sebagai Pengawet Alami Pangan. http://www.researchgate.net/publication/260336250
Ozturk, G., Dogan, M., & Toker, O. S. (2014). Physicochemical, functional and
sensory properties of mellorine enriched with different vegetable juices and TOPSIS approach to determine optimum juice concentration. Food Bioscience, 7, 45-55.
Pudjiastuti, S. 2014. Infrasruktur, Kendala Pengangkutan Hasil Laut. Harian Kompas, 20 November 2014, hal. 4
Riadi, M. 2016. Senyawa Polifenol pada Tanaman. http://www.kajianpustaka.com/2014/06/senyawa-polifenol-pada-tanaman.html
Sanjaya, R. E., Tedjo, Y. Y., Kurniawan, A., Ju, Y. H., Ayucitra, A., & Ismadji, S. (2014). Investigation on supercritical CO 2 extraction of phenolic-phytochemicals from an epiphytic plant tuber (Myrmecodia pendans). Journal of CO2 Utilization, 6, 26-33.
Sari, D. K., Wardhani, D. H., & Prasetyaningrum, A. (2012). Pengujian
Kandungan Total Fenol Kappahycus alvarezzi dengan Metode Ekstraksi Ultrasonik dengan Variasi Suhu dan Waktu. Prosiding SNST Fakultas Teknik, 1(1).
Scalbert, A. (1991). Antimicrobial properties of tannins. Phytochemistry, 30(12),
3875-3883. Setyani, W., Hertiani, T., & Murti, Y. B. (2012). Isolation and Identification of
Antimicrobial Compound From Sarang Semut Tubers (Myrmecodia tuberosa (non Jack.) Bl.). STIFAR-Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi, 7(1).
64
Salminen, S., Bouley, C., Boutron, M. C., Cummings, J. H., Franck, A., Gibson,
G. R., ... & Rowland, I. (1998). Functional food science and gastrointestinal physiology and function. British Journal of Nutrition, 80(S1), S147-S171.
Sankar, S., Sujith, P., & Jayalaxmi, S. (2013). Microbial study and proximate
composition of six marine fish species in Mudasalodai coastal region. International Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 3(3), 398-404.
Shan, B., Cai, Y. Z., Sun, M., & Corke, H. (2005). Antioxidant capacity of 26 spice
extracts and characterization of their phenolic constituents. Journal of agricultural and food chemistry, 53(20), 7749-7759.
Shao, P., He, J., Sun, P., & Zhao, P. (2012). Analysis of conditions for
microwave-assisted extraction of total water-soluble flavonoids from Perilla Frutescens leaves. Journal of food science and technology, 49(1), 66-73.
Shelef, L. A., Naglik, O. A., & Bogen, D. W. (1980). SENSITIVITY OF SOME
COMMON FOOD‐BORNE BACTERIA TO THE SPICES SAGE, ROSEMARY, AND ALLSPICE. Journal of Food Science, 45(4), 1042-1044.
Situmeang, B., Kurnia, D., & Sumiarsa, D. Pentacyclic Triterpenes From Sarang
Semut Tuber (Myrmecodia pendans) and Their Antibacterial Activity Test Against Escherichia coli. Unpad. Bandung.
Soeksmanto, A., Subroto, M. A., Wijaya, H., & Simanjuntak, P. (2010). Anticancer
activity test for extracts of Sarang semut plant (Myrmecodya pendens) to HeLa and MCM-B2 cells. Pakistan journal of biological sciences: PJBS. 13(3): 148-151.
Su, Y. C., & Liu, C. (2007). Vibrio parahaemolyticus: a concern of seafood safety.
Food microbiology, 24(6), 549-558.
Subroto, A. 2006. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Subuh, M. 2015. Mengenal Bakteri Lysteria monocytogenes. www.depkes.go.id/article/view/15015800001/mengenal-bakteri-lysteria-monocytogenes.html. 27 Januari 2015
Suryani, L., & Stepriyani, S. (2016). Daya antibakteri infusa daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Jurnal Mutiara Medika, 7(1 (s)), 23-28.
Susanti, E. (2016). Inventarisasi Tumbuhan Sarang Semut Di Kabupaten Fakfak,
Papua Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susanto, E., Agustini, T. W., Swastawati, F., Surti, T., Fahmi, A. S., Albar, M. F.,
& Nafis, M. K. (2011). Pemanfaatan Bahan Alami Untuk Memperpanjang
65
Umur Simpan Ikan Kembung (Rastrelliger Neglectus). Journal of Fisheries Sciences. 13(2): 60-69.
Suwandi, A. C. (2015). Identification of Bioactive Compounds in Water Extract of
Sarang Semut (Myrmecodia pendans). National Taiwan University of Science and Technology. Taipei.
Taguri, T., Tanaka, T., & Kouno, I. (2004). Antimicrobial activity of 10 different
plant polyphenols against bacteria causing food-borne disease. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 27(12), 1965-1969.
Tortora GJ., Funke, BR., Case CL. 2001. Microbiology an Introduction 7th edition.
Addison Wesley Longman. United States America. p. 323-324, 549-572,690-697.
US Food and Drug Administration (US FDA). 2007. Secondary direct food
additives permitted in food for human consumption. http://www.cfsan.fda.gov/~lrd/fr040402.html.
Utomo, A.B., Suprijono, A., Risdianto, A. 2011. Uji aktifitas antioksidan kombinasi ekstrak sarang semut (Myrmecodia pendans) dan ekstrak the hitam (Camellia sinensis O.K. var. assamica (mast.)) dengan metode DPPH. MFI. 6 (1) : 2-7 .
Vatai, T., Škerget, M., & Knez, Ž. (2009). Extraction of phenolic compounds from elder berry and different grape marc varieties using organic solvents and/or supercritical carbon dioxide. Journal of Food Engineering, 90(2), 246-254.
Xu, H. X., & Lee, S. F. (2001). Activity of plant flavonoids against antibiotic-resistant bacteria. Phytotherapy Research. 15(1): 39-43.
top related