adaptasi budaya masyarakat bali aga
Post on 31-Dec-2016
350 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
DAN REGULASI NEGARA DI BIDANG AGAMA
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Cempaga merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Banjar, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Jarak dari ibu kota Kabupaten
Buleleng ke Desa Cempaga sekitar 24 km. Sarana dan prasarana transportasi
menuju Desa Cempaga sangat lancar karena jalan ke Desa Cempaga cukup lebar
dan telah diaspal. Untuk mencapai wilayah desa ini dari kota Singaraja menuju
arah barat mengikuti jalur utama dari kota Singaraja menuju pelabuhan
Gilimanuk. Setelah sampai di daerah Temukus atau di daerah sekitar Labuhan Aji,
berbelok ke arah kiri menuju wilayah perbukitan yang seolah-olah membelah Bali
menjadi dua wilayah dataran yaitu Bali Utara dan Bali Selatan.
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian (Dok. www.google.co.id)
LOKASI PENELITIAN
72
Desa Cempaga dikelilingi oleh desa-desa sebagai berikut. Di sebelah utara adalah
Desa Temukus, di sebelah selatan Desa Pedawa, di sebelah timur Desa Tigawasa,
dan di sebelah barat adalah Desa Sidatapa. Desa-desa ini dikenal sebagai desa-
desa Bali Aga.
Dari jalan utama menuju Desa Cempaga berjarak sekitar 7 km dengan
jalanan yang mendaki dan berkelok-kelok melalui wilayah perbukitan. Sepanjang
perjalanan menuju Desa Cempaga jika menengok ke bawah maka akan terlihat
hamparan pantai Lovina yang sangat mempesona. Tidaklah mengherankan jika
sekarang ini sepanjang jalan menuju Desa Cempaga telah berdiri bangunan-
bangunan vila serta bangunan restoran yang cukup megah, dengan panorama alam
pantai yang mempesona.
Di sebelah kanan jalan terjal menapaki daerah perbukitan tersebut, berdiri
sebuah monumen yang menjadi tonggak peringatan bahwa di situ pernah terjadi
perang yang sangat hebat pada masa penjajahan Belanda antara pasukan Belanda
melawan pasukan Banjar yang pada waktu itu dipimpin oleh Ida Made Rai. Tugu
ini baru didirikan oleh Pemerintah Belanda 29 tahun setelah berakhirnya Perang
Banjar, untuk memperingati gugurnya para tentara Belanda karena terbunuh oleh
pasukan Ida Made Rai pada pertempuran tahun 1868. Orang-orang Bali Aga
antara lain I Dade dan Men Blegug, dikenal sebagai pejuang gagah berani pada
waktu itu. I Dade berasal dari Desa Cempaga sementara Men Blegug berasal daeri
Desa Sidetapa, desa tetangga Cempaga. Keduanya merupakan orang-orang
handalan Ida Made Rai. Tugu peringatan ini sempat dirusak massa menjelang
peristiwa Trikora Irian. Padahal, dilihat dari sisi yang lainnya bahwa tugu ini juga
merupakan monumen yang sangat penting artinya dalam memperingati bagaimana
73
gagah beraninya orang-orang Banjar yang hanya bersenjatakan tombak dan keris
mempertahankan tanah airnya melawan Belanda yang pada waktu itu telah
dilengkapi meriam dan persenjataan modern (Sastrodiwiryo,2007:148). Orang-
orang Bali Aga sejak zaman Gelgel sudah dikenal sebagai pasukan gagah berani,
yang sangat dihandalkan oleh Patih Ularan ketika menyerang Blambangan. Patih
Ularan adalah Patih Raja Dalem Waturenggong yang dikirim untuk melawan raja
Blambangan yang telah berlaku kurang baik terhadap Danghyang Nirartha. Dia
diperintahkan untuk menangkap hidup-hidup raja Blambangan dan jangan sampai
memenggal kepalanya. Namun dalam suasana perang tanding akhirnya Patih
Ularan memenggal kepala Raja Blambangan dan membawa kepalanya ke Gelgel.
Hal ini membuat raja menjadi marah sehingga mengusir Patih Ularan. Patih
Ularan akhirnya pergi ke Den Bukit (Bali Utara). Di daerah perbukitan di atas
Seririt saat ini juga terdapat Desa Ularan. Ada yang mengatakan bahwa ketururan
Patih Ularan kini bertempat tinggal di Desa Patemon Seririt. Bila ada upacara
ngaben pada para gusti di Patemon maka orang-orang Bali Aga biasanya yang
mengusung badenya (Bade adalah tempat membawa mayat ke kuburan).
Pada saat perang Banjar, pasukan yang berasal dari desa-desa Bali Aga
dikenal sebagai pemating. Namun, kondisi monumen itu sekarang cukup
memprihatinkan sebab beberapa keramik pembungkus monumen sudah mulai
mengelupas, dan semak belukar tumbuh liar di sekitarnya. Sementara itu di sisi
barat monumen kini telah berdiri sebuah vila yang jaraknya tidak lebih dari 5
meter dari monumen dimaksud.
74
Gambar 4.2 Monumen bersejarah di Dusun Gunungsari Cempaga. (Dok. Budi Utama)
Setelah melalui Dusun Gunung Sari dan Dusun Corot akhirnya akan
sampai di pusat Desa Cempaga. Di pusat desa berdiri Pura Desa Bale Agung pada
sisi yang lebih tinggi dari pemukiman penduduk. Kantor Kepala Desa juga berdiri
di pinggir jalan utama yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-desa
lainnya seperti Pedawa, Sidatapa, dan Tigawasa, dengan bangunan gedung yang
bagus meskipun tampak sedikit sempit berdesakan dengan rumah-rumah
penduduk.
4.1.1 Keadaan Alam
Desa Cempaga berada di daerah dataran tinggi (daerah pegunungan)
dengan ketinggian 400-875 meter dari permukaan laut, dengan luas wilayah
1.257.888 ha. Kondisi tanah di Desa Cempaga tergolong tanah kering dengan
sumber air yang sangat kecil. Sebagian besar tanah di Desa Cempaga difungsikan
sebagai pertanian tegalan, perkebunan, dan persawahan yang mengandalkan pada
air tadah hujan. Tanah persawahan hanya dapat digarap pada waktu musim
penghujan dengan menanam jenis padi gaga (kini sudah sangat jarang ditanam)
75
yang sangat irit akan kebutuhan air. Penggunaan tanah di Desa Cempaga dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4.1 Luas wilayah Desa Cempaga dan Pemanfaatannya.
No Uraian Jumlah
1 Permukiman 22 Ha
2 Tanah Kuburan 5 Ha
3 Perkantoran 0,50 Ha
4 Pasar Desa 0,20 Ha
5 Pekarangan 6,80 Ha
6 Tegalan 2550 Ha
7 Persawahan Tadah Hujan 4642 Ha
8 Hutan 14 Ha
9 Bangunan Sekolah 0,40 Ha
10 Jalan 10 Ha
11 Tempat Peribadatan 1 Ha
Jumlah 7251.90 Ha
Sumber data : Monografi Desa Cempaga 2009
Bila menuju Desa Cempaga dari daerah Temukus harus melalui jalan
mendaki yang sangat terjal, mulai dari jalan di depan SMP Negeri 3 Banjar.
Begitu memasuki daerah Dusun Gunungsari, suasana gersang mulai tampak. Di
kiri kanan jalan terhampar tanah sawah tadah hujan yang mengering menunggu
musim hujan tiba. Lahan ini hanya mungkin ditanami padi pada waktu musim
hujan, sebab satu-satunya sumber air adalah hujan. Pada musim kering lahan ini
hanya berupa hamparan tanah yang tersusun berundak dengan sengkedan-
76
sengkedan yang memungkinkan menyerap air dan mencegah longsor pada musim
hujan.
Gambar 4.3 Seorang petani sedang mempersiapkan lahan tadah hujan di dusun Gunung Sari Cempaga. (Dok. Budi Utama)
Dengan kata lain, areal persawahan ini hanya bisa ditanami padi dengan umur
panen sangat pendek , yakni sekitar tiga bulan. Setahun sawah ini hanya bisa
sekali panen, itu pun jika musim hujan memberikan air yang cukup untuk
kepentingan masa tanam padi. Kondisi kering ini akan dijumpai sampai memasuki
wilayah Dusun Corot. Di daerah ini hanya mampu hidup jenis padi Pelita yang
masa panennya sekitar tiga bulan.
Menurut keterangan I Nyoman Kandel, seorang petani dari Dusun Corot,
petani di daerahnya tidak lagi menanam jenis padi gaga, yang merupakan jenis
tanaman yang dulu menjadi salah satu sumber bahan makanan desa-desa di
wilayah Desa Cempaga. Alasannya adalah karena padi ini baru dapat memberikan
hasil setelah masa waktu enam bulan. Oleh petani hal ini dianggap kurang
77
memadai, mengingat daerah ini memiliki lahan pertanian basah yang sangat
terbatas sementara sumber air hanya mengandalkan datangnya musim hujan.
Semenjak dikenalkannya jenis padi IR, masyarakat tani di Desa Cempaga mulai
meninggalkan sistem pertanian dengan menanam padi gaga (wawancara dengan
Wayan Wenten, tgl 5 Mei 2009). I Wayan Wenten juga menyatakan bahwa yang
memelopori penanaman padi jenis IR adalah Bapak I Made Dolar dari Dusun
Corot pada awal tahun 1980an. Jenis padi ini dianggap paling sesuai dengan
kondisi lahan yang ada di Desa Cempaga karena air tadah hujan hanya tersedia
sekitar tiga bulan yaitu antara bulan Desember hingga Pebruari.
Di samping jenis padi-padian masyarakat juga menanam jagung dan umbi-
umbian pada saat musim hujan. Jagung sebagai tanaman untuk makanan mulai
diperkenalkan oleh pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis pada sekitar tahun 1521
hingga 1568 (Hefner,1990:56). Kebutuhan akan produk lainnya seperti garam,
beras, dan ikan dahulu diperoleh dengan cara melakukan barter dengan daerah-
daerah pantai di bawah. Namun, perkembangan belakangan setelah transportasi
mulai lancar mereka membeli di pasar sesuai dengan kebutuhannya.
Penghasilan lain yang juga menjadi ciri khas Desa Cempaga adalah gula
aren. Desa ini dahulunya terkenal juga sebagai daerah penghasil gula aren dengan
kualitas cukup baik. Bila memasuki Desa Cempaga dari arah Temukus, maka
dalam perjalanan di daerah Dusun Corot menuju Dusun Desa masih banyak
tanaman enau yang tersisa, sebagai penghasil bahan gula aren (lihat gambar 4.4).
Tegalan lainnya kini sudah sebagian besar tertutup pohon cengkeh. Di daerah-
daerah yang berada di daerah aliran sungai para petani menanam coklat. Sungai-
sungsi ini mengalir hanya pada musin hujan.
78
Gambar 4.4 Tanaman enau yang diambil niranya untuk membuat gula aren. (Dok. Budi Utama)
Gula aren adalah sejenis gula merah yang diperoleh dengan cara merebus tuak
pohon enau (air sadapan pohon enau) dalam waktu kurang lebih lima jam
kemudian dituang ke dalam cetakan yang telah disediakan. Populasi tanaman enau
ini sekarang sudah mulai berkurang, karena para petani telah mengganti jenis
tanaman ini dengan tanaman cengkeh. Secara ekonomis hasil bertanam cengkeh
lebih menjanjikan dari pada pohon aren. Bila memandang daerah sekitar Desa
Cempaga dari ketinggian maka yang tampak adalah hamparan pohon cengkeh.
Tanaman ini mulai ditanam di Desa Cempaga sekitar tahun 1976 (Wayan Wenten,
wawancara tgl 5 Mei 2009).
4.1.2 Sejarah Desa
Penelusuran asal usul sebuah desa seringkali sangat menyulitkan karena
terbatasnya data tertulis tentang desa dimaksud. Biasanya keberadaan sebuah desa
hanya didukung oleh cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh penduduk.
79
Demikian pula halnya dengan Desa Cempaga. Di desa ini sampai saat ini tidak
ditemukan teks berupa prasasti maupun lontar yang memuat tentang desa ini.
Namun demikian masih ada kisah yang diwariskan secara turun temurun yang
diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam buku Adat Kuna Catur Desa (Simpen,1986:39) disebutkan bahwa
dalam prasasti Desa Banyusri (tetangga Desa Cempaga) Desa Cempaga dahulu
berada di bawah pemerintahan Raja Sri Suradipa sekitar tahun 1115 Masehi.
Sementara itu, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat bahwa
asal usul Desa Cempaga pada intinya dikisahkan sebagai berikut.
Pada zaman dahulu kala yang tidak diketahui persis kapan kejadiannya,
datanglah serombongan orang yang berjumlah kurang lebih 500 kk (kuren)
menuju suatu tempat. Orang-orang yang datang ini diperkirakan adalah orang-
orang yang datang dari Campa. Pada mulanya mereka menuju daerah dataran
rendah sekitar daerah Temukus sekarang. Selanjutnya mereka bergerak ke arah
pegunungan, karena wilayah itu terlihat indah dan asri. Untuk menuju daerah
pegunungan tersebut mereka harus melalui hutan belantara sehingga sangat
melelahkan, namun akhirnya mereka sampai juga di suatu tempat yang dinaungi
sebuah pohon rindang yang sedang berbunga serta mengeluarkan bau yang sangat
harum. Keteduhan yang dihasilkan oleh pohon rindang ini membuat orang-orang
yang dalam perjalanan tersebut ingin melepaskan lelahnya di bawah naungan
pohon dimaksud. Setelah cukup lama berteduh di bawah pohon ini mereka
merasakan keteduhan dan rasa nyaman, kemudian mereka bersepakat untuk
bertempat tinggal di wilayah tersebut. Pohon besar yang mengeluarkan aroma
bunga wangi itu kemudian diberi nama pohon cempaka mengingatkan kepada
80
daerah asal mereka yaitu Campa. Kata cempaka ini lambat laut mengalami
perubahan pengucapan menjadi kata cempaga.
Ada juga tafsir lain yang menguraikan bahwa kata cempaga berasal dari
kata campa dan aga. Campa adalah sebuah negeri di Muangthai dan aga adalah
penduduk yang tinggal di pegunungan. Dengan demikian cempaga pada
hakikatnya berarti daerah pegunungan sebagai tempat tinggal penduduk yang
datang dari Campa. Mereka yang datang dari Campa ini dianggap sebagai
penduduk yang pertama kali menetap di Bali. Daerah ini kemudian ditata
sedemikian rupa dengan sistem pemerintahan melalui forum paruman magelang-
gelang yaitu suatu pertemuan yang dibuat dalam bentuk melingkar bertempat di
Bale Agung yang sekarang merupakan lokasi dari Pura Desa Cempaga. Paruman
ini diikuti oleh pamwit desa, yang terdiri atas wakil-wakil warga pasek kayu selem
dan pasek runcing.
Pada suatu saat sebelum paruman magelang-gelang dilaksanakan
terjadilah perdebatan antara pasek kayu selem dengan pasek runcing tentang letak
Desa Cekik dan Desa Patas. Hal yang diperdebatkan adalah manakah diantara
kedua desa tersebut letaknya paling barat. Perdebatan ini berjalan alot dan sengit
karena kedua belah pihak masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya.
Akhirnya terjadilah perkelahian yang menyebabkan pasek kayu selem terbunuh.
Melihat kejadian tersebut I Ulun Desa menjadi sangat kecewa, dan akhirnya dia
mengutuk penduduk yang berjumlah 500 kk supaya menjadi 35 kk saja. Merasa
takut akan kutukan I Ulun Desa tersebut maka penduduk yang tidak termasuk
dalam 35 kk kemudian melarikan diri ke arah timur desa dengan mengambil
tempat nasi yang terbuat dari perunggu berbentuk setengah bola yang digunakan
81
sebagai alat mengukur banyaknya nasi (nakeh nasi) pada saat ada upacara puja
wali di Pura Desa. Penduduk yang melarikan diri ini kemudian sampai di Desa
Les dan ke Desa Batur dan akhirnya mereka berkumpul di dekat Puri Bangli dan
tempat itu diberi nama Cempaga ( Gde Wira, wawancara, tgl 7 Juli 2009)
Di sebelah utara kompleks Puri Bangli sekarang memang terdapat sebuah
desa yang bernama Cempaga. Desa ini boleh dikatakan otonom dalam arti tidak
termasuk dalam wilayah gebog domas penyanggra Pura Kehen Bangli. Namun
belum diketahui secara pasti bagaimana kaitan antara Desa Cempaga di
Kecamatan Banjar, Buleleng dan Desa Cempaga Bangli.
Versi lain tentang kisah Desa Cempaga tersebut sebagaimana dituturkan
dalam buku Adat Kuna Catur Desa karya W.Simpen AB (1986: 39) adalah
sebagai berikut. Pada zaman dahulu orang-orang desa sedang melakukan rapat
desa (paruman atau sangkepan). Mereka menggunakan pakaian khas nyaput dan
di pinggangnya terselip keris. Pada saat pertemuan tersebut terjadilah perdebatan
sengit tentang mana yang lebih tinggi posisinya di antara sarang burung gagak
dibandingkan sarang babi betina. Ada yang berpendapat sarang burung gagaklah
yang lebih tinggi sementara kelompok lainnya berpandangan bahwa sarang babi
betinalah yang lebih tinggi. Sarang gagak jelas posisinya lebih rendah karena
sarang ini diinjak ketika gagak bertelur dan punya anak, sementara sarang babi
berada di atas babi karena sebelum beranak babi sangat suka ngelumbih
sarangnya, setelah itu barulah ia tidur. Jadi sarang babi berada dalam posisi lebih
tinggi dari pada sarang gagak. Pendapat lainnya mengatakan sarang gagak lebih
tinggi karena berada di atas pohon sementara sarang babi ada di tanah, maka
sarang gagaklah yang lebih tinggi. Dalam diskusi tersebut masing-masing
82
kelompok bersikukuh dengan pendapatnya dan akhirnya terjadilah perkelahian
hebat di atara kedua kelompok dimaksud. Kelompok yang kalah melarikan diri
dan kemudian menetap di Desa Cempaga Bangli (Simpen, 1986:39).
Simpen juga menyatakan bahwa kata cempaga merupakan kata mejemuk
yang terdiri dari dua kata yaitu kata cem dan kata paga. Cem artinya kotor dn
paga artinya para-para terbuat dari bambu yang terletak di atas tempat tidur
sebagai tempat menaruh sesaji. Jadi kata cempaga berarti tempat sesaji yang telah
dikotori. Menurut Simpen inilah yang kemudian menjadi sumber masalah
terjadinya perkelahian penduduk di desa tersebut. Sarang babi betina (sebun
bangkung) di bawah tentu kotor, tetapi sarang burung gagak (sebun goak) tentulah
letaknya di atas dan bersih. Diperkirakan perkelahian tersebut memperebutkan
tempat sesaji, jika di bawah cem ’kotor’ , kalau di atas paga ’bersih’.
Menurut Simpen, perkelahian dimaksud ada hubungannya dengan kisah
perjalanan Danghyang Nirartha di Bali. Ketika sampai di Desa Gading Wani,
Danghyang Nirartha mengarang Sebun Bangkung yang berisikan ajaran
kerokhanian. Sebun artinya ’tempat pusat ’; bang artinya ’merah, simbul
Brahma’; kung artinya ’cinta’. Jadi kata sebun bangkung artinya ’pusat cinta
(bakti) kepada Brahman (Tuhan)’. Gagak = Gagak Aking, yaitu tokoh kerohanian.
Mana yang lebih tinggi, haruslah dilakukan penyelidikan secara lebih mendalam
(Simpen, 1986:39).
Menurut I Putu Mertha (wawancara tgl 24 Oktober 2009) yang juga
Pemangku/Balian Desa Cempaga, apa yang dipaparkan dalam buku yang ditulis
oleh Simpen rupanya ingin menarik sumber perdebatan yang terjadi di Desa
83
Cempaga tersebut ke wilayah spiritual dengan merujuk pada dua buah karya
sastra spiritual yaitu Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking.
”Yan rerehang ring tuture, napi sane wenten iriki pateh sekadi tutur Sebun Bangkung lan Bubuksah Gagak Aking. Napike kawentenan satuane iriki kaketus saking tuture punika, dereng janten kauningin, sakewale yening kayun-kayunin mirip gati isine. Napi ke kebetulan manten, nenten taler uningin” Artinya Jika ditelusuri dalam kitab-kitab filsafat, cerita yang berkembang dalam masyarakat di Desa Cempaga banyak kesamaannya dengan kisah Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking. Apakah kisah yang berkembang di desa ini diambil dari kitab dimaksud, sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetai bila direnungkan banyak kemiripannya. Apa ini suatu kebetulan saja, belum juga diketahui secara pasti ”
Sebun Bangkung berisi ajaran kadiatmikan yang asketik sementara Bubuksah
Gagak Aking berkisah tentang dua bersaudara yang akan pergi ke sorga dengan
cara yang berbeda. Bubuksah menempuh jalan makan segalanya, sementara itu
Gagak Aking menempuh jalan asketik dengan melakukan tapa brata yang ketat
sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Tampaknya kisah dalam Bubuksah
Gagak Aking ini mendiskusikan dua jalan berbeda antara penganut Buddhisme
yang memakan segalanya (artinya tidak terlalu banyak pantangan dalam
melaksanakan sistem keyakinan ajarannya) sedangkan Gagak Aking adalah
simbol Siwaisme yang memiliki aturan-aturan yang ketat terutama menyangkut
brata (aturan-aturan) makanan. Kedua faham ini mengaku lebih tinggi satu
dengan lainnnya. Dalam pandangan Jero Mangku Desa Cempaga kisah simbolik
ini menunjukkan persaingan antara Siwaisme dan Buddhisme Namun pada
akhirnya keduanya mencapai sorga ( Arnita dkk.,2002:128).
Melihat lokasi Desa Cempaga yang berdekatan dengan kota Kecamatan
Banjar, persaingan antara faham Siwaisme dan Buddhisme sangat mungkin terjadi
84
di wilayah ini pada masa lalu. Tinggalan-tinggalan yang ada saat ini menunjukkan
bahwa kedua faham itu berkembang pesat dalam diskusi-diskusi yang sampai saat
ini meninggalkan bentuk wihara dan gria (disebut Manca Siwa Agung), dua
bentuk simbol yang mewakili kedua faham dimaksud.
Namun demikian bisa juga berarti bahwa perkelahian yang muncul akibat
diskusi tanpa kesimpulan yang jelas mengenai sarang burung gagak dan sarang
babi betina tersebut melambangkan bahwa kedua ajaran tersebut dipandang
sebagai sesuatu yang kurang tepat bagi penduduk asli Bali saat itu. Sebagaimana
diketahui bahwa kedua kisah ini (Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking)
adalah karya-karya yang ditulis pada masa kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Penolakan ini bisa terjadi karena mereka tidak mau tunduk terhadap Majapahit
termasuk isme-isme yang muncul sebagai produk Majapahit seperti tercantum
dalam pustaka Bubuksah Gagakaking dan Sebun Bangkung ini. Sistem
keagamaan yang dianut oleh penduduk asli memang berbeda dengan ajaran-ajaran
yang dimuat dalam kedua karya sastra dimaksud. Dengan kata lain, paling tidak
belum ditemukan titik kesepahaman antara tradisi keagamaan masyarakat Bali
Aga dengan ajaran-ajaran yang datang dari Majapahit.
4.1.3 Demografi
Penduduk asli Desa Cempaga sekarang jumlahnya tinggal sedikit.
Kebanyakan penduduk Desa Cempaga sekarang adalah kaum migran yang datang
ke desa tersebut terutama dari daerah Kabupaten Karangasem, Klungkung, dan
Bangli. Penduduk Desa Cempaga sama dengan penduduk desa Bali Kuno lainnya,
tidak mengenal sistem triwangsa. Jika ada pendatang yang berasal dari kelompok
85
triwangsa kemudian menjadi penduduk di Desa Cempaga maka mereka harus
melepaskan status triwangsa-nya (kesamen) (Simpen:1986:39). Penduduk Desa
Cempaga berjumlah 2688 orang dengan rincian laki-laki 1347 orang, perempuan
1341orang. Jumlah kepala keluarga 818. Mereka semua adalah penganut agama
Hindu. Penduduk Desa Cempaga terdiri atas 27 dadia/klan. Klan yang ada di Desa
Cempaga adalah Arya Tangkas Kuri Agung, Bendesa Mas, Arya Ularan, Arya
Kubon Tubuh, Arya Batu Lepang, Arya Wang Bang Penatih, Arya Sri Kresna
Kepakisan, Pasek Gobleg, Pasek Gelgel, Pasek Toh Jiwa, Pasek Tanggun Titi,
Bujangga Waisanawa, Pande, Sangging.
4.1.4 Mata Pencaharian Penduduk
Wilayah Desa Cempaga sebagian besar adalah tegalan, oleh karena itu
mata pencaharian utama penduduknya adalah petani lahan kering. Pada sekitar
tahun enam puluhan para petani hanya menanam padi gaga, yaitu jenis padi untuk
lahan kering dengan masa panen sekitar enam bulan. Di samping itu mereka juga
menanam jagung dan umbi-umbian seperti ketela rambat dan ketela pohon yang
hasilnya memang hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri. Jadi seorang petani
menggarap lahannya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja, belum
untuk kepentingan diperjualbelikan. Melihat kondisi ini bisa dikatakan mereka
benar-benar sebagai petani tardisional.
Secara sosiologis para petani ini dikenal dengan istilah peasan (dari kata
peasant). Menurut Eric R Wolf, peasan adalah penghasil-penghasil pertanian yang
mengerjakan tanahnya secara efektif, yang melakukan pekerjaan itu untuk
mendapat nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari
86
keuntungan. Sementara itu, dalam pandangan Redfield peasan adalah orang-orang
dengan peradaban yang tua, penduduk pedesaan yang menguasai dan mengolah
tanah mereka untuk kehidupannya yang subsisten dan sebagai bagian dari cara
hidup yang tradisional yang dipengaruhi oleh orang perkotaan yang cara hidupnya
menyerupai mereka tetapi lebih tinggi peradabannya (Raharjo, 2004:70). Dapat
juga dikatakan bahwa penduduk Desa Cempaga sangat kental dengan tradisi
kecilnya. Tradisi kecil yang berorientasi pada kebudayaan lokal memiliki ciri-ciri
antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi, peternakan untuk keperluan
dagingnya, bangunan rumah dengan bentuk kamar kecil terbuat dari bahan kayu
atau bambu; sistem pura berhubungan dengan keluarga, desa dan wilayah; pada
pura terdapat sistem ritual yang cukup kompleks; bahasa setempat dengan
kesusastraan lisan; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara pura yang terdiri
atas antara lain selonding, tari sanghyang (Geria, 2000:2)
Pandangan tersebut memang sesuai dengan kondisi masyarakat Desa
Cempaga pada sekitar tahun 1960-an. Masyarakat desa Cempaga boleh dikatakan
masih sangat terisolir dengan daerah-daerah sekitarnya, karena belum tersedianya
jalan yang memadai yang menghubungkan desa tersebut dengan desa-desa di
sekitarnya. Yang tersedia hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh
kuda beban sebagai alat transportasi. Namun, saat ini keadaan sudah mulai
berubah seiring dengan perkembangan zaman. Diferensiasi pekerjaan pada
masyarakat Desa Cempaga sudah terjadi dan tampak dalam tabel berikut.
Berikut ini adalah pengelompokan penduduk berdasarkan mata pencahariannya.
87
Tabel 4.2 Penduduk Desa Cempaga berdasarkan mata pencahariannya.
No Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani 630 orang
2 Buruh Tani 340 orang
3 Pertukangan 49 orang
4 Pedagang 60 orang
5 Karyawan Swasta 40 orang
6 PNS 40 orang
7 ABRI 9 orang
8 Pensiunan 26 orang
Sumber : Monografi Desa Cempaga tahun 2009.
Para petani di Desa Cempaga tergolong petani yang sangat ulet. Dikatakan
demikian karena walaupun dihadapkan pada kondisi alam dengan sumber air yang
sangat minim mereka dapat dikatakan cukup berhasil dalam mengembangkan
tanaman industri seperti tanaman cengkeh. Saat ini wilayah Desa Cempaga
sebagaian besar sudah ditanami pohon cengkeh, namun masih ada sedikit lahan
yang digunakan sebagai persawahan tadah hujan. Mereka juga beternak sapi yang
dipelihara di sekitar rumah atau pondoknya. Sapi memberikan keuntungan ganda
bagi petani, di samping memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, juga memberikan
pupuk organik dari kotorannya yang digunakan oleh para petani untuk
meningkatkan kesuburan tanaman cengkeh mereka. Selain cengkeh daerah ini
banyak menghasilkan buah-buahan seperti manggis dan durian. Dahulu daerah ini
dikenal sebagai penghasil kopi yang bagus tetapi sekarang tanaman ini jumlahnya
sudah sangat sedikit.
88
Kendala utama yang dihadapi oleh penduduk Desa Cempaga adalah
masalah air. Hal ini juga diakui oleh Perbekel Desa Cempaga I Nyoman Ardika.
Semenjak menjabat sebagai Perbekel, upaya pendekatan dengan beberapa daerah
sekitarnya yang memiliki sumber air sudah dilakukan. Ia ingin menjalin
kerjasama dalam mengelola sumber air tersebut. Namun, idenya selalu kandas
karena desa-desa lainnya juga mengalami masalah air untuk kepentingan
penduduk dan lahan pertanian di desanya, sehingga tidak mungkin dibagi kepada
Desa Cempaga (wawancara, 24 Oktober 2009). Saat ini untuk keperluan air
bersih, penduduk Desa Cempaga hanya mengandalkan sumber air dari kayehan
desa yang debit airnya sudah sangat kecil. Penduduk terpaksa membeli air untuk
konsumsi.
4.1.5 Tingkat Pendidikan
Sekolah Rakyat pertama kali berdiri di Desa Cempaga pada tahun 1958,
setelah itu pada masa pemerintahan Orde Baru desa ini juga mendapat bantuan
sekolah inpres yang lokasinya kemudian digabung dengan sekolah tertua di Desa
Cempaga dan sekarang menjadi SD 1 Cempaga. Letaknya yang sangat strategis
yaitu pada jalan utama yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-desa
tetangga lainnya menyebabkan bangunan Sekolah Dasar 1 Cempaga sekarang
telah menjadi pusat berbagai bentuk kegiatan seperti Kejar Paket C, kegiatan
pemberantasan buta aksara, serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya. Sekolah
dasar lainnya didirikan di Dusun Corot pada tahun 1981. Data yang tercatat di
kantor Kepala Desa Cempaga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat
Desa Cempaga sudah cukup maju, tergambar dalam tabel 4.3 seperti berikut.
89
Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Cempaga
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 SD 530 orang
2 SLTP/ sederajat 53 orang
3 SLTA/ sederajat 25 orang
4 Akademi/ D1 – D3 5 orang
5 Sarjana (S1-S3) 29 orang
Sumber : Monografi Desa Cempaga Juni 2009.
Berdirinya Sekolah Rakyat di Desa Cempaga pada tahun 1958 sebenarnya
menjadi tonggak penting dalam sejarah perjalanan Desa Cempaga, paling tidak
hal ini mengindikasikan bahwa Desa Cempaga pada pertengahan abad ke- 20
sudah cukup maju mengingat lokasinya yang agak terpencil namun telah memiliki
fasilitas pendidikan. Akan tetapi kondisi perekonomian Desa Cempaga pada
sekitar akhir tahun lima puluhan sampai dengan awal tahun enam puluhan boleh
dikatakan sangat rendah. Hal ini tidak saja disebabkan oleh perekonomian negara
pada waktu memang lesu, tetapi juga oleh kondisi pertanian pada waktu itu
memang tidak terlalu menguntungkan. Hal ini berdampak pada sangat minimnya
penduduk yang melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka
yang bermaksud melanjutkan pendidikan harus menempuh perjalanan yang cukup
jauh dengan kondisi jalan dan alat transportasi yang sulit. Barulah pada akhir
tahun enam puluhan atau setelah peristiwa G30S/PKI masyarakat Desa Cempaga
menjadi sangat kompak dan sepakat untuk membuka jalan sehingga mereka bebas
dari keterpencilan. Di bawah kepemimpinan Kelian Desa pada waktu itu yaitu
90
Bapak Putu Mustika mereka secara swadaya kemudian memperlebar jalan sampai
akhirnya bisa menghubungkan Desa Cempaga dengan kota Kecamatan Banjar.
Terbukanya jalan desa yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-
desa sekitarnya khususnya dengan Kota Kecamatan Banjar, telah membawa
perubahan yang sangat besar di Desa Cempaga. Perubahan tersebut adalah
semakin diadopsinya budaya dan gaya hidup orang-orang nagari. Istilah nagari
digunakan untuk menyebut masyarakat di daerah dataran yang sangat kental
dengan tradisi besarnya yang bersumber pada ajaran agama Hindu.
Pada sekitar tahun 1968 sampai tahun 1971 mulai muncul elite-elite desa
yang sangat kental dengan tradisi besarnya dan membawa perubahan sangat
signifikan terhadap keadaan Desa Cempaga (wawancara dengan I Putu Mangku,
59 tahun, tgl 2 Nopember 2009).
4.1.6 Pola Menetap dan Sistem Kekerabatan
Masyarakat Desa Cempaga tergolong dalam kelompok Bali Aga di bagian
Bali Utara. Pada era tahun enam puluhan mereka tergolong masyarakat yang
sangat taat berpegang pada tradisi adat mereka sehingga cukup sulit menerima
gagasan-gagasan yang datang dari luar. Andai pun perubahan itu terjadi, dan
memang perubahan itulah yang akan selalu terjadi dalam masyarakat, maka
perubahan itu terjadi secara evolutif. Mereka tidak mengenal sistem pelapisan
sosial atas dasar kasta yang disebut triwangsa. Masyarakat Desa Cempaga pada
hakikatnya bersifat egaliter, pelapisan sosial yang berlaku di Desa Cempaga
adalah atas dasar senioritas perkawinan.
91
Saat ini, masyarakat Desa Cempaga telah banyak mengalami perubahan
terutama karena kemajuan dalam bidang pendidikan dan perubahan mata
pencaharian dari sektor pertanian ke sektor perdagangan dan jasa sehingga
masyarakat Desa Cempaga menjadi lebih terbuka. Hal ini didukung oleh
prasarana transportasi yang sudah semakin bagus berupa jalan aspal yang
menghubungkan Desa Cempaga dengan daerah-daerah lainnya. Jalan aspal ini
membelah Desa Cempaga sehingga pada bagian kiri dan kanan jalan ini berjajar
permukiman penduduk. Rumah-rumah tradisional penduduk pada umumnya
membelakangi jalan raya, namun belakangan ini rumah-rumah di pinggir jalan ini
sebagian sudah berubah dimodifikasi sehingga menghadap jalan. Rumah-rumah
ini selain sebagai tempat tinggal, juga menjadi tempat bisnis seperti salon,
warung, dan pertokoan. Meskipun telah banyak mengalami modifikasi, namun
ada juga penduduk yang tetap mempertahankan rumah adat mereka.
Rumah penduduk Desa Cempaga boleh dikatakan masih sederhana.
Melihat rumah adatnya yang berukuran sekitar 6 x 8 m dapat dikatakan bahwa
rumah ini pantas dihuni oleh keluarga batih saja. Oleh karena itu, setiap
terbentuknya keluarga batih baru, mereka membentuk rumah tinggal sendiri,
kecuali anak laki-laki tunggal atau anak bungsu akan mewarisi tempat tinggal
orang tuanya. Rumah tinggal keluarga batih masyarakat Desa Cempaga disebut
rumah saka roras, terdiri atas satu bangunan kecil untuk menampung segala
kegiatan domestik, seperti kegiatan majejahitan, memasak, tempat makan, tempat
tidur, sekaligus pula tempat persembahyangan (lihat gambar 4.5). Bangunan ini
disangga dengan 12 buah tiang yang disebut adegan (Dwijendra,2009:26)
92
Pada bagian depan rumah saka roras ini disebut amben, digunakan
sebagai tempat menerima tamu, tempat menyiapkan alat-alat upacara atau
kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan ruang terbuka.
Gambar 4.5 Ruang depan (amben) rumah saka roras (Dok. Budi Utama)
Dari amben ini jika menuju ke ruang dalam, untuk sampai ke dapur dan tempat
makan harus melalui satu pintu. Pada sebelah kiri pintu masuk terletak bungut
paon tempat memasak (lihat gambar 4.6), sementara di sebelah kanannya terletak
tempat air dan tempat mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Di sisi
sebelah kanan ini terdapat bale yang berfungsi sebagai tempat untuk
mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak, sekaligus pula sebagai
tempat makan (lihat gambar 4.6). Masing-masing ruang ini juga dilengkapi
dengan pepaga tempat menaruh berbagai keperluan, sehingga tidak dibutuhkan
almari untuk menyimpan benda-benda keperluan sehari-hari itu.
93
Gambar 4.6 Bungut paon Rumah Saka Roras. (Dok. Budi Utama)
Gambar 4.7 Ruang Makan Bale Saka Roras (Dok. Budi Utama)
Masuk ke dalam lagi tersedia dua bale-bale yang bisa digunakan sebagai tempat
tidur (lihat gambar 4.8). Di bagian ini juga tersedia pepaga yang diletakkan di
bagian atas sebagai tempat suci (lihat gambar 4.9).
94
Gambar 4.8 Ruang Tidur Bale Saka Roras (Dok. Budi Utama)
Gambar 4.9 Tempat Pemujaan yang berada di bagian hulu tempat tidur. (Dok. Budi Utama)
Menurut I Wayan Wenten, bangunan saka roras ini memang cocok dengan alam
sekitar Desa Cempaga. Bahan-bahan bangunan memang diambil dari tempat
sekitar desa. Tiang bangunannya terbuat dari kayu, dinding dan atap bangunan
terbuat dari anyaman bambu.Bahan-banhan ini memang tersedia cukup banyak di
daerah ini. Seiring dengan perubahan zaman, atap dan dinding bangunan sekarang
95
sudah berubah, dalam artian digantikan dengan atap seng atau genteng, dan
dinding bangunan telah diganti dengan batu bata atau batako. Saat ini masih
terdapat beberapa rumah yang menggunakan dinding dari anyaman bambu dan
kondisinya sudah sangat tua.
Gambar 4.10 Bangunan saka roras tampak dari depan. (Dok. Budi Utama)
Banyak orang yang sudah mengubah bentuk bangunan rumahnya, namun
demikian ada juga yang tetap mempertahan tiang rumah yang banyaknya 12,
tetapi tembok serta ornamen rumah sudah mengikuti pola rumah modern seperti
lantai keramik, dinding tembok, serta peralatan-peralatan dapur yang sudah
modern. Struktur dan tata letakbangunan atau bagian bangunannya seperti dapur
dan ruang makan,ruang tidur, dan tempat persembahyangan masih tetap
dipertahankan, tetapi alat-alat lainnya sudah sangat modern seperti kompor gas
dan tempat air minum (lihat gambar 4.11).
96
Gambar 4.11 Rumah Saka Roras yang sudah mengalami modifikasi tetapi tetap mempertahankan strukturnya. (Dok. Budi Utama)
4.1.7 Sistem Pemerintahan Desa
Pemerintahan di Desa Cempaga merupakan perpaduan dua sistem
pemerintahan, yaitu Sistem Pemerintahan Desa Dinas dan Sistem Pemerintahan
Desa Pakraman. Desa Dinas Cempaga terdiri atas dua banjar dinas yaitu Banjar
Dinas Desa dan Banjar Dinas Corot. Banjar Dinas Desa terdiri atas tiga
Tempekan yaitu a) Tempekan Desa, b) Tempekan Sumber, dan c) Tempekan
Kutuh Meranting. Sementara itu Banjar Dinas Corot terdiri atas dua Tempekan
yaitu a) Tempekan Corot, dan b) Tempekan Gunung Sari. Desa Pakraman
Cempaga terbagi menjadi lima banjar, yaitu a) Banjar Desa, b) Banjar Sumber, c)
Banjar Kutuh Meranting, d) Banjar Corot, dan e) Banjar Gunung Sari.
97
4.1.7.1 Sistem Pemerintahan Desa Dinas
Pemerintahan Desa Dinas diperintah oleh sebuah pemerintah desa yang
terdiri dari seorang Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) berdasarkan
Undang Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 serta petunjuk
pelaksanaannya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun
1999. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa didampingi BPD yang
merupakan peewujudan wakil-wakil dari masyarakat desa yang tugasnya adalah
melakukan kontrol terhadap Kepala Desa dalam melaksanakan tugas-tugas di
tingkat pemerintahan desa. BPD terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di Desa
Cempaga yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Kepala Desa dalam
menjalankan pemerintahan desa dibantu oleh Sekretariat Desa yang terdiri atas
seorang Sekretaris Desa dan Kepala Kepala Urusan (Kaur). Selain itu yang
termasuk ke dalam Sekretariat Desa adalah Kepala Kepala Dusun (Kadus) yang
bertugas membantu Pemerintah Desa dan atau Kepala Desa dalam hal mengatur
dan mengkoordinir masyarakat dusun yang dipimpinnya. Tugas dan kewajiban
seorang Kepala Desa sebenarnya cukup berat yaitu memimpin penyelenggaraan
Pemerintah Desa, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian
desa, memelihara ketenteraman dan ketertiban desa, mendamaikan jika terjadi
perselisihan dalam masyarakat desa, serta menjaga kelestarian adat istiadat yang
hidup dan berkembang di desa.
98
4.1.7.2 Sistem Pemerintahan Desa Pakraman Cempaga
Kepengurusan dalam sistem pemerintahan desa pakraman atau
keprajuruan ditentukan berdasarkan atas urutan (ririgan) senioritas
perkawinannya (mauluapad). Artinya, struktur kepemimpinan desa pakraman
Cempaga ditentukan atas dasar keseniorannya berdasarkan atas catatan waktu
perkawinan mereka. Setiap anggota masyarakat yang telah menikah, secara
berjenjang nantinya pasti akan sampai pada struktur kepengurusan desa pakraman
Cempaga. Kepeminpinan Desa Pakraman Cempaga dipegang secara kolektif oleh
6 orang yang disebut sebagai ulun desa. Ulun desa tersebut terdiri dari 1) baan
kenawan, 2) baan kekehe, 3) takin kenawan, 4)takin kekehe, 5) keban/pangenter,
dan 6) panglunduan/juru getek. Menurut cerita yang berkembang dalam
masyarakat Desa Cempaga konon pada zaman dahulu yang menjabat sebagai
baan kenawan (tugu) adalah Pan Sumeraji. Pada suatu saat diadakanlah paruman
di Bale Gede dan tiba-tida saja beliau menghilang tanpa meninggalkan jejak,
sehingga membuat krama desa menjadi kaget dan menganggapnya telah
mencapai moksa. Akibat peristiwa tersebut jabatan baan kenawan tersebut
menjadi lowong, dan hingga saat ini tidak ada penduduk yang berani
menggantikan kedudukan tersebut. Sejak saat itulah jabatan ulun desa hanya
berjumlah lima orang ditambah satu posisi yang dibiarkan tetap kosong, namun
secara simbolik dipandang tetap ada.
Di bawah ke lima ulun desa tersebut terdapat pasek. Orang yang
menduduki jabatan pasek ini ditunjuk oleh keluarga Pasek Gobleg yang ada di
Desa Cempaga. Artinya, dia yang ditunjuk untuk menduduki jabatan pasek
tersebut adalah berdasarkan hasil musyawarah keluarga Pasek Gobleg yang ada
99
di Desa Cempaga, kemudian disampaikan kepada ulun desa untuk selanjutnya
ditetapkan dalam paruman Magelang-gelang. Di bawah pasek disebut dengan
perbekel yang bertugas mengatur krama desa dalam rangka membantu tugas-
tugas ulun desa, termasuk juga menyampaikan informasi-informasi dari
pemerintah.
Ada yang unik dan menarik dalam struktur Desa Cempaga yaitu tentang
posisi prebekel. Prebekel ini dipilih langsung oleh masyarakat Desa Cempaga
bukan berdasarkan sistem senioritas berdasarkan perkawinan, namun demikian
posisinya tetap berada di bawah struktur ulu apad. Dengan demikian posisi
prebekel ini boleh dikatakan bersifat ganda, artinya dalam struktur kepemimpinan
tradisional berdasarkan sistem ulu apad dimasukkan sebagai pihak yang dapat
menjembatani antara kepemimpinan magelang-gelang dan krama desa (dalam hal
ini bersifat koordinatif dengan pihak internal desa); di sisi lain dia berfungsi
sebagai pihak yang berhubungan dengan pihak luar dalam urusan kedinasan
(bersifat eksternal). Hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa sistem
kepemimpinan magelang-gelang secara phisik dan psikhis agak kesulitan untuk
melakukan aktivitas ke luar desa sebab pada umumnya ulun desa itu sudah sangat
sepuh. Dengan demikian ulun dusa tersebut lebih banyak mengatur persoalan-
persoalan internal berupa aktivitas budaya dan agama, sedangkan untuk urusan
kedinasan lebih banyak dilakukan oleh Prebekel. Selama ini kondisi ini dinilai
cukup efektif oleh masyarakat Desa Cempaga dan tidak menimbulkan
permasalahan. Andaipun ada persoalan-persoalan selama ini bisa diselesaikan
secara musyawarah mufakat (I Nyoman Ardika, wawancara tgl 28 Nopember
2009). Berikut adalah struktur pemerintahan Desa Cempaga dalam bentuk bagan
100
Tabel 4. 4 Struktur Pemerintahan Desa Cempaga
Keterangan : Garis Perintah Garis Koordinasi
TUGU
TAKIN KENAWAN
TAKIN KEKEE
KABAN/PANGENTER
PANGLUNDUAN/JURU GETEK
PASEK
PREBEKEL/KELIAN TEMPEK
KELIAN DESA PEKRAMAN
PETENGEN PENYARIKANN
KELIAN BANJAR DINAS COROT
KELIAN BANJAR DINAS DESA
TEMPEKAN DESA
TEMPEKAN KUTUH
MERANTING
TEMPEKAN COROT
TEMPEKAN GUNUNG
SARI
TEMPEKAN SUMBER
KRAMA DESA CEMPAGA
BALIAN DESA
101
4.1.8 Agama dan Kepercayaan
Penduduk Desa Cempaga secara statistik adalah pemeluk Hindu, namun
demikian mereka sebenarnya memiliki tradisi keagamaan yang agak berbeda
dengan agama Hindu umum, dalam artian agama Hindu yang secara resmi diakui
oleh Pemerintah Indonesia (Selanjutnya, agama itu disebut agama Hindu saja).
Tempat peribadatan masyarakat Desa Cempaga berbeda dengan struktur tempat
peribadatan masyarakat Hindu Bali Dataran (orang Cempaga menyebutnya
dengan istilah Nagari). Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya mereka
sebenarnya memiliki tempat pemujaan yang berada dalam rumah, yaitu pada
bagian hulu dari tempat tidur yang berada di bagian paling dalam dari bangunan
saka roras yang disebut papaga. Papaga ini dibuat bertikat dua pada bagian atas
adalah tempat pemujaan bhatara/bhatari sasuhunan, pada bagian bawahnya
adalah tempat pemujaan leluhur yang sudah suci. Pada bagian atas tempat air juga
terdapat papaga yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur yang telah
meninggal namun belum melalui upacara penyucian. Bagi keluarga yang baru
dibentuk ketika mendirikan rumah mereka biasanya membuat sanggah kemulan
pengantenan setelah upacara macingkupan (sahnya sebuah perkawinan) terbuat
dari pohon dapdap memakai rong tiga (wawancara dengan I Nengah Ardika,
Kepala Desa Cempaga, tgl 12 Nopember 2009). Lambat laun mereka mulai
mengadopsi sistem bangunan suci agama Hindu dengan membuat turus lumbung.
Perkembangan lebih lanjut pada tempat suci mereka dibangun gedong catu meres,
catu mujung, taksu, dan manjangan saluang. Perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa pada bangunan suci masyarakat Desa Cempaga telah
dilengkapi dengan bangunan meru, padma, dan bangunan gedong ibu. Bangunan
102
gedong ibu ini mulai berkembang sekitar akhir tahun 1970 an ketika masyarakat
Desa Cempaga mulai mencari lalintihan atau ngalih soroh. Ngalih lalintihan atau
ngalih soroh ini boleh dikatakan sebuah perubahan besar yang terjadi pada
masyarakat Desa Cempaga. Daerah yang dahulunya dikenal sebagai daerah yang
sangat egaliter dengan sistem kesamen, mulai berubah ketika masyarakat mulai
mencari atau dikenal dengan istilah ngalih lalintihan atau ngalih soroh. Sebuah
upaya untuk menelusuri asal usul dan silsilah keluarga, yang pada umumnya
berorientasi pada sistem yang berkembang dalam tradisi Bali Nagari, tradisi besar
yang berorientasi ke Klungkung sebagai pusat kekuasaan pada masa kerajaan di
Bali.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa religiusitas masyarakat Desa
Cempaga telah berkembang secara evolutif mulai dari sistem religi sebelum
masuknya pengaruh Hindu hingga tersebar luasnya ajaran-ajaran Hindu
sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah saat ini. Data arkeologi yang ditemukan
di Desa Cempaga menunjukkan bahwa masyarakat Desa Cempaga memiliki
tradisi keagamaan yang sudah sangat tua usianya. Berdasarkan temuan beberapa
sarkofagus di kebun cengkeh bagian belakang rumah Bapak I Made Darmawan,
mengindikasikan bahwa pada masa pra-Hindu di desa ini sudah berkembang
sistem religi yang memberikan penghormatan dan perlakuan khusus terhadap
mayat. Sarkofagus-sarkofagus menurut pandangan para arkeolog adalah tempat
menyimpan tulang belulang mayat tokoh masyarakat setelah melalui sistem
penguburan sebelumnya. Pada saat tulang belulang itu dimasukkan ke dalam
sarkopag diberikan bekal kubur. Pemberian bekal kubur ini dimaksudkan sebagai
bekal dalam perjalanan menuju alam roh. Dengan demikian dapat dikatakan
103
bahwa dalam tradisi megalitik sudah dikenal adanya alam roh sebagai tempat
yang akan dituju oleh arwah para leluhur yang telah meninggal dunia
(Kusumawati, 2002: 33).
Sarkofagus-sarkofagus yang ditemukan di kebun I Made Drmawan kini
kondisinya sudah rusak, disamping karena usia, juga disebabkan oleh aktivitas
manusia dalam mengerjakan tanah perkebunan yang secara tidak sengaja
mempercepat rusaknya kondisi sarkofagus-sarkofagus dimaksud. Menurut I Made
Darmawan, di sekitar kebunnya dahulu ditemukan beberapa sarkofagus, namun
kini yang tersisa hanya dua buah seperti terlihat pada gambar berikut ini (lihat
gambar 4.12).
Gambar 4.12 Dua buah sarkopag yang masih tersisa di ladang I Made Darmawan (Dok. Budi Utama)
Tradisi pemujaan roh leluhur sebagai bentuk religi masa pra Hindu tetap berlanjut
hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari struktur bangunan palinggih di Pura Desa
Bale Agung. Nama-nama dewa-dewa yang dipuja oleh masyarakat jelas
mengindikasikan nama-nama Dewa agama lokal. Tradisi ini hingga saat ini masih
tetap berlangsung, meskipun pengaruh agama Hindu telah tersebar luas di Desa
Cempaga. Di Desa Cempaga tidak dikenal pura kahyangan tiga seperti halnya
104
pada desa-desa di Bali Dataran. Di Desa Cempaga terdapat satu Pura Desa Bale
Agung (lihat gambar 4.13), tetapi pengertiannya bukan Pura Desa sebagai tempat
pemujaan Dewa Brahma sebagaimana konsep pura kahyangan tiga di daerah Bali
Dataran.
Pura Desa Cempaga adalah tempat suci penyungsungan desa sebagai
tempat pemujaan terhadap sasuhunan desa yaitu 1) Dewa Manik Galih, 2) Dewa
Manik Merta, 3) Dewa Rambut Sedana, 4) Dewa Ratu Bagus Cili, 5) Ratu Gede
Pasek, 6) Dalem Selonding, 7) Dewa Bagus Batur. Selain Pura Desa di Desa
Cempaga juga terdapat pura lainnya yaitu 1) Pura Cepug, 2) Pura Rambut Naga
atau sering juga disebut Pura Bakung, 3) Pura Segara Labuhan Aji, 4) Pura
Pendem, 5) Pura Cescesan serta beberapa pura milik keluarga/klan. Selain pura
Desa Bale Agung terdapat beberapa tempat yang menduduki posisi penting dalam
sistem religi masyarakat Desa Cempaga yaitu Pura Cepug, Pura Rambut Naga,
Pura Buangga, dan Kayehan Desa. Bila ada upacara di Pura Desa Bale Agung,
maka harus dilakukan pamendakan terlebih dahulu ke Pura Cepug dan Pura
Rambut Naga. Sementara itu Pura Buangga memiliki posisi penting karena di sini
terdapat mata air yang biasanya digunakan sebagai air suci untuk kepentingan
upacara dewa yadnya, sedangkan mata air dari kayehan desa digunakan sebagai
sarana penting dalam upacara manusa yadnya.
105
Gambar 4.13 Pura Desa Bale Agung Cempaga (Dok. Budi Utama)
Menurut I Made Juwika Pura Desa Bale Agung ini dibangun belakangan
dari Pura Cepug (lihat gambar 4.14) dan Rambut Naga (lihat gambar 4.15). Hal
ini didasarkan pada pelaksanaan ritual di Pura Desa Bale Agung belum bisa
dilakukan bila belum mendak Ida Bhatara di Pura Cepug dan Rambut Naga.
Dengan demikian secara struktural tampaknya Pura Cepug dan Rambut Naga
memiliki posisi lebih tua (wawancara tgl 28 Nopember 2009).
Gambar 4.14 Pura Cepug (Dok. Budi Utama)
106
Gambar 4.15 Pura Rambut Naga (Dok. Budi Utama)
Sebelum masuknya pengaruh Bali Nagari dalam arti Hindu , masyarakat
Cempaga menggunakan tirtha bulakan (sumber air) di Pura Buangga dan kayehan
desa untuk kepentingan penyelesaian ritual mereka. Pada waktu itu kondisi alam
masih sangat bagus sehingga kedua sumber air ini masih sangat asri dan
memberikan air yang cukup bagi kepentingan masyarakat. Sumber air ini bukan
hanya untuk kepentingan ritual tetapi juga digunakan sebagai sumber air untuk
keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, untuk air minum dan sebagainya.
Debit airnya saat ini sudah sangat kecil, sehingga masyarakat harus
menampungnya perlahan-lahan dengan menggunakan ember atau alat penampung
lainnya.
Salah satu upacara yang sangat meriah di Desa Cempaga adalah upacara
Sabha Kuningan atau secara lebih singkat disebut Kuningan saja. Hari raya
Kuningan ini dirayakan selama tiga hari yaitu mulai hari Saniscara Kliwon
Kuningan sampai dengan hari Soma Paing Langkir. Hari raya Kuningan yang
dirayakan umat Hindu di Desa Cempaga, juga merupakan rangkaian hari raya
107
Galungan. Ada beberapa kekhasan pelaksanaan Galungan dan Kuningan di Desa
Cempaga.
Daweg tahun tujuh puhahan perayaan Galungan punika sampun dimulai ngedas lemahang ring Galungane nganti ngedan lemahang Manis Galungan. Ring suwang-suwang dadia kawentenang upacara sane kapuput antuk dane Balian Desa/Jero Mangku. Kasuen-suen leleh desane, raris ingkup pacang kemargian ring pura Desa Bale Agung.Sowang-sowang makta aturan. Sapunika taler indik Kuningane magenah ring pura Desa Bale Agung ( I Made Juwika, wawancara tgl 25 Juni 2007)
Artinya,
Pada sekitar tahun 1970-an, upacara pada saat Galungan dimulai dari subuh Galungan hingga saat subuh Manis Galungan. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing dadia diadakan upacara. Pemangku Desa memimpin upacara Galungan dari satu dadia ke dadia yang lainnya, sehingga pelaksanaan Galungan di Desa Cempaga bisa berlangsung selama 24 jam bahkan lebih. Hal ini lambat laun dirasakan oleh masyarakat cukup melelahkan. Akhirnya disepakati bahwa pada saat Galungan perayaannya dipusatkan pada Pura Desa Bale Agung, dan masing-masing dadia membawa banten ke Pura Desa Bale Agung. Demikian pula halnya dengan perayaan Kuningan di pagi hari dilaksanakan juga di Pura Desa Bale Agung.
Menurut Juwika, hari raya Kuningan di samping sebagai rangkaian hari
raya Galungan, juga merupakan piodalan Ida Bhatara yang ber-stana di pura
Labuan Aji. Bhatara ini lazim dikenal dengan sebutan Dewa Bagus Tulak Sanjata.
Perayaannya berlangsung selama 3 hari mulai dari Saniscara Kliwon Kuningan
sampai dengan Soma Paing Langkir. Pada hari terakhir pelaksanaan Sabha
Kuningan, Balian Desa akan mengalami trance dan memohon kehadiran para
dewa, sampai akhirnya Ida Bhatara di Pura Labuhan Aji (Dewa Bagus Tulak
Sanjata) berkenan hadir. Kehadiran Ida Bhatara di Pura Labuhan Aji ini menjadi
pertanda bahwa pelaksanaan upacara Sabha Kuningan berakhir. Untuk perayaan
Sabha Kuningan ini dipentaskan beberapa jenis tarian di antaranya Tari Baris
Jangkang, Tari Baris Dapdap dan Tari Pendet, serta Tari Rejang yang berjumlah
108
15 jenis Tari Rejang. Upacara Sabha Kuningan di Desa Cempaga Kecamatan
Banjar Kab Buleleng pada intinya terdiri atas tiga bagian : 1). persiapan upacara,
2). puncak upacara dan 3). penutup /pengelemek.
1) Pesiapan Upacara
Dalam persiapan upacara ini prajuru desa bersama krama desa
melaksanakan tiga kegiatan yaitu (1) kerja bhakti (ngayah), (2) berburu
(maboros) dan (3) memotong babi (ngebat). Empat hari sebelum hari raya
Kuningan yaitu tepatnya pada hari Selasa / Anggara Umanis Kuningan prajuru
desa, krama desa dan krama truna melaksanakan kerja bhakti / ngayah. Krama
desa ngayah di lingkungan Pura Desa Bale Agung yaitu melaksanakan kegiatan
pembersihan di lingkungan pura. Krama truna melaksanakan kegiatan
pembersihan di Pura Pengulu Cepug dan Pura Rambut Naga. Namun sebelum
kerja bakti dilakukan (sekitar pukul 08.00 pagi) Sayan desa memanggil krama
desa yang disebut ngauk, dengan mengambil tempat di bale agung, duduk bersila
dengan kedua tangannya memegang tiang / tampul bale agung/gede, sedangkan
kalimat yang diucapkan adalah ” Desa pesu ngudud, pesu ngudud, pesu ngudud ”
Artinya, masyarakat dimohon datang ke pura untuk melakukan kegiatan
pembersihan lingkungan pura. Setelah pengumuman itu barulah krama desa kerja
bhakti / ngaturang ayah. Setelah selesai kerja bhakti, krama desa selanjutnya
mendengarkan pengarahan dari prajuru desa. Adapun infomasi yang disampaikan
adalah Krama desa wajib berburu (selama tiga hari), mulai hari Kamis /
Werespati Pon Kuningan sampai dengan Sabtu / Saniscara Kliwon Kuningan,
109
habis berburu krama desa wajib membawa kayu api, kelapa, daun, klatkat dan
katikan sate.
Partisipasi masyarakat dalam rangka kerja bhakti ini cukup baik, sehingga
pekerjaan yang dilakukan sangat ringan, karena dilaksanakan secara bersama-
sama oleh krama desa Cempaga.Sesuai dengan infromasi yang disampaikan oleh
prajuru desa, yaitu mulai hari Kamis/ Wraspati Pon Kimingan ( selama 3 hari)
krama desa Cempaga berburu mencari kijang di sekitar wilayah Desa Cempaga.
Akan tetapi, binatang ini sudah sangat langka bahkan di Desa Cempaga binatang
ini sangat sulit didapatkan. Menurut Wayan Retug (91 tahun, wawancara tgl 25
Oktober 2009) selaku ulun desa Cempaga, jika mendapatkan kijang maka
pelaksanaan Upacara Sabha Kuningan diperpanjang waktunya lagi 2 (dua) hari.
Perpanjangan atau sambungan ini disebut Naksuin. Dalam awig-awig desa adat
Cempaga yang ditulis oleh Wy Anyaran tahun 1933 dinyatakan sebagai berikut.
”...yan polih kidang lua kaebat, luir ebatannya jqjeruk, gagecok, urab putih, timbungan. Yang polih kidang muani maebat kadi arep minakadi jajeruk, gagecok, urab putih, timbungan, maweweh jejatah lembat asem. Walunge wmangun urip urabnya kakawis, kacacarang ring samping kawian bawine, yan polih kidang muani wenang masambung karya kuningan punika, sambungane mawasta karya Naksuin”
Artinya, bila memperoleh kijang betina diolah menjadi berabagai jenis makanan seperti jajeruk, gagecok, urab putih, timbungan. Bila yang diperoleh kijang jantan diolah sebagaimana jenis olahan kijang betina, namun ditambah dengan olahan berupa sate. Olahan dimaksud ditempatkan di samping olahan makanan yang berbahan babi. Bila memperoleh kijang jantan dalam perburuan, upacara kuningan tersebut diperpanjang perayaannya yang disebut dengan Naksuin.
Paparan di atas memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan jenis makanan
olahan dari binatang hasil buruan. Bila yang diperoleh kijang jantan maka
olahannya ditambah dengan sejenis sate yang disebut sate asem. Olahan daging
kijang ini adalah sebagai tambahan dari berbagai bentuk olahan yang terbuat dari
110
daging babi. Keterangan di atas dikutip dari catatan yang dibuat oleh I Wayan
Anyaran.Wayan Anyaran adalah Keliah Desa Cempaga (pada waktu itu disebut
Prabekel) pada sekitar tahun 1930-an. Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh
putranya Bapak Wayan Ngembak. Setelah Bapak Wayan Ngembak meninggal
digantikan oleh anaknya bernama I Putu Mustika. Pada awalnya Prabekel Desa
dijabat secara turun temurun, namun sejak tahun 1971 dimulailah sistem
pemilihan langsung untuk jabatan Prabekel ini. Putu Mustika adalah Prabekel
pertama di Desa Cempaga hasil pemilihan langsung (wawancara dengan informan
I Putu Mangku, tgl 12 Nopember 2009).
Dalam kenyataannya kijang sudah sangat sulit didapatkan bahkan sudah
sejak beberapa tahun yang lalu tidak pernah melasanakan upacara Naksuin ,
sehingga Upacara Subha Kuningan tidak pernah dilaksakan dengan perpanjangan
waktu (nyambungin). (Wawancara dengan Jro Mangku Putu Mertha tgl 7 April
2009)
Sebelum acara ngebat dilaksanakan, pada pagi hari Sabtu/Saniscara
Kliwon Kuningan, sayan truna mengambil seperangkat gong, tumbak dan lain-
lain yang disimpan pada rumah prajuru desa/ngamedalang druwe desa, untuk
selanjutnya diatur sesuai dengan tempatnya masing-masing, sedangkan truna
daha yang dipimpin oleh kelian daha, dibantu oleh sayan daha menghias seluruh
palinggih dan bale-bale yang ada di pura Desa Bale Agung. Pada hari ini juga
krama daha ngamedalan pratima / pralingga.
Setelah alat-alat dimaksud dipersiapkan dilanjutkan dengan upacara
penyucian terhadap palinggih-pelinggih dan sarana-sarana upacara lainnya,
dengan menghaturkan upakara-upakara yang berbentuk banten. Adapun banten
111
yang digunakan adalah pengulapan, pegambean, suci tarpana, dan prayascita.
(wawancara dengan Balian Desa Putu Mertha, 28 Oktober 2009). Selanjutnya
sekeha gong metabuh, yang disebut dengan tabuh anggap-anggapan, segsegan,
landing (wawancara dengan Made Juwika, tgl 12 Nopember 2009). Sekitar pukul
09.30 WITA. Sayan desa memanggil krama desa dengan mengambil tempat di
bale gede/agung yang disebut dengan ngauk. Sayan desa ini duduk bersila di hale
gede/agung kedua tangannya memegang tampul /tiang bale tersebut dengan
mengucapkan kalimat-kalimat sebagai berikut. ”Desa pesu jaja nasi, Desa pesu
jaja nasi, Desa pesu jaja nasi. Desa pesu ngebat, Desa pesu ngebat, Desa pesu
ngebat” Artinya, krama desa datang ke pura untuk ngebat dan krama desa yang
perempuan bersiap-siap untuk menghaturkan jajan dan nasi yang akan digunakan
pada malam harinya.
Sementara itu sekaha gong kembali metabuh dengan tabuh : tabuh kale,
galak manis, gegerudugan, dan gegoblegan. Untuk mengiringi krama desa
memotong babi / ngebat. Pada saat ini krama desa membagi diri ada yang
memotong babi, ada yang membuat bumbu, ada yang memarut kelapa. Krama
desa membuat lawar yang berupa urab barak, urab putih, gegecok, dan
timbungan (urab kuning) sedangkan krama truna membuat sate. Lawar tersebut
dibagai menjadi dua bagian. Sebagian digunakan untuk sarana upakara dan
sebagian lagi dibagi / di- tanding berdasarkan keperluan untuk sarana upacara
ditempatkan pada bagian atas bale gede / agung. Setelah selesai barulah sayan
desa memangil krama desa / ngauk, dengan kalimat, ”Desa juang kemis, Desa
juang kemis, Desa juang kemis” (artinya, krama desa dan krama truna hadir ke
pura desa untuk mengambil haknya berupa lawar atanding).
112
Selanjutnya sayan truna memanggil taruna/ngauk dengan kalimat yang berbunyi,
”Taruna juang kemis, Taruna juang kemis, Taruna juang kemis” ( artinya krama
desa dan krama truna hadir ke pura desa untuk mengambil haknya berupa lawar
atanding ) (wawancara dengan Made Juwika, 12 Nopember 2009). Setelah krama
desa mengambil haknya yaitu berupa lawar atanding maka sekehe gong berhenti
juga menabuh.
Pada malam harinya dilanjutkan dengan sembahyang bersama yang diikuti
oleh krama desa, krama truna dan krama daha. Adapun tujuan sembahyang
adalah memohon perlindungan , memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang
Widhi. Upakara/banten yang digunakan yaitu suci, sorohan alit, peras pajati,
daupan, tebasan prayascita, pangulapan pangambean, tipat kelanan, bekakak
ayam, tumpeng adanan, gula kelapa, pangiring.Semua banten ini ditempatkan
pada Sakapat Sari palinggih I Dewa Bagus Cili Bagus, sedangkan pada
palinggih-palinggih yang lainnya dihaturkan canang sari dan pangiring.
Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan ngaturang ayah. Pada
saat ini krama desa perempuan menghaturkan nasi atakeh dan jajan. Nakeh nasi
tersebut dilakukan oleh ulu desa yaitu takin, sedangkan penglunduan / juru getek
memotong balung/ ngetek balung. Dua krama desa yang terakhir / krama desa
yang baru disebut dengan Pamwit melaksanakan tugas yaitu membagi daun
pisang, sebagai bahan untuk alas cacaran, sedangkan krama truna melakukan
tugas yaitu membagi banten. Sebelum dimulai diawali dengan memangil krama
truna ngauk, ucapan kalimatnya adalah ”Taruna pesu masagi banten, Taruna
pesu masagi banten, Taruna pesu masagi banten” (artinya, krama taruna
diharapkan mempersiapkan materi-materi upacara). Selanjutnya krama taruna
113
masagi banten dijeroan, yaitu nanding canang berisi base, buah pamor, nasi dan
lawar. Selesai nakeh nasi dan ngetek balung dilanjutkan dengan mecacar,
sebelum mecacar, sayan desa ( lihat gambar 4.16) memangil krama desa (ngauk)
dengan ucapan kalimatnya, ”Desa pesu macacar, Desa pesu macacar, Desa pesu
macacar” (artinya, krama desa disilakan untuk mengambil pembagian makanan
yang telah disiapkan bersama ).
Gambar 4. 16 Sayan Desa sedang Ngauk (Dok. Made Juwika)
Sayan taruna juga memangil krama taruna I ngauk dengan ucapan kalimatnya,
”Taruna pesu macacar, Taruna pesu macacar, Taruna pesu macacar” ( artinya,
krama taruna disilakan untuk mengambil pembagian makanan yang telah
disiapkan. Pada waktu acara pembagian makanan ini sekeha gong metabuh,
krama desa dan krama teruna mulai macacar, cacaran ini dibuat sesuai dengan
jumlah krama yang ada. Macacar dilaksanakan di bale gede / agung. Pada bagian
ulu/timur dihaturkan berupa capaan, sebagai alas capaan ini berupa kekeb yang
114
didalamnya diisi base, buah dan pamor. Bunganya bangsah yaitu bunga pinang
yang masih muda. Dalam macacar ini juga dibuat pasegeh berjumlah 9
(sembilan) untuk di jeroan , 6 (enam) untuk di jaba tengah dan dan 35 ( tiga
puluh lima) untuk prajuru desa pada saat ini kramu taruna menarikan sebuah tari
sakral yang disebut Tari Boris Tumbak (Igel Taruna).
Acara dilanjutkan dengan sayan desa membawa bakulan ke rumah balian
desa. Bakulan adalah semacam pemberitahuan agar balian desa datang ke pura
desa untuk melaksanakan upacara ritual / nganteb. Ketika sayan desa berangkat
menuju rumah balian desa, sekaha gong metabuh yang disebut dengan tabuh
taksu. Maksudnya adalah agar persembahan krama yang berupa cacaran itu dapat
dilihat dan untuk selanjutnya di terima Ida Sang Hyang Widhi (wawancara
dengan Jro Balian Desa Putu Mertha, 22-8- 2009).
2) Puncak upacara
Puncak upacara Sabha Kuningan dilaksanakan pada pagi hari
Minggu/Redite Umanis dengan menghaturkan banten berupa suci, sorohan alit,
peras pajati, daupan, tebasan, prayascita, pangulapan pangambean, tipat
kelanan bekakak ayam, tumpeng adanan, gula kelapa, pangiring, cacaran dan
sagi banten. Upacara dilaksanakan dengan menuntun Ida Bhatara yang bergelar
Dewa Bagus Tulak Sanjata yang ber-stana di Pura Labuan Aji, Dewa Gede
Ngurah Pasek, Ida Ratu Mas Manik Subandar, Dewa Bagus Ngawa Gumi, Dewa
Ayu Mas Manik Merincing, dan Sedahan Prataksu. Acara ini dilanjutkan dengan
tari wali / tari sakral yaitu tari keagamaan dalam artian tari yang khusus
dipertunjukkan dalam rangka hari raya keagamaan. Dalam mitologi tari maka
115
semua tari diciptakan oleh Dewa Brahma namun sebagai dewa tarinya adalah
Dewa Siwa yang terkenal dengan sebutan Siwa Nata Raja (Triguna, 2003:vii).
Semua gerak tangan dan tubuh Dewa Siwa memberikan arti dan mengandung
kekuatan kosmos, sehingga tarian wali ini diciptakan tidak hanya mementingkan
keindahan tari seperti rupa dan pakaian, namun tarian ini mengandung arti dari
sikap simbolik yang kesemuanya menyerupai gerakan-gerakan "Mudra" sehingga
tarian ini memiliki kekuatan sekala dan niskala.
Tari wali merupakan salah satu bagian dari kesenian yang menurut
perspektif Hindu mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Kehidupan
agama Hindu tidak bisa dilepaskan dari kesenian. Upacara yadnya di tempat-
tempat suci tak bisa dilepaskan dari seni, seperti seni suara, tari, karawitan, seni
lukis dan sastra. Dengan keterlibatan seni, upacara yadnya menjadi kelihatan
meriah dan khidmat. Setiap kesenian yang dipentaskan dilandasi oleh filsafat
agama yang tinggi. Para penari (pragina) dalam semangat ngayah
mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti. Seni adalah dunia
medium antara materialisme dunia dan kerohanian yang kekal. Seni adalah
sesuatu yang memuat hal-hal yang transendental, sesuatu yang tak dikenal
sebelumnya, dan kini dikenal lewat karya seorang seniman (Sumardjo, 2000: 10).
Adapun jenis-jenis tari wali yang dipersembahkan oleh krama desa
Cempaga dalam rangka upacara Sabha Kuningan adalah (1). Tari Jangkang, (2).
Tari Baris, (3). TariPendet, (4). Tari Rejang.
(1) Tari Jangkang (lihat gambar 4.17) ditarikan oleh anak-anak usia sekolah
dasar. Peserta Tari Jangkang ini berjumlah sekitar 20 — 25 orang, dengan
membawa tongkat dan keris.Tari Jangkang ini mempunyai makna pertahanan
116
(jangka + ng = tahan) dan ketajaman pikiran dalam melaksanakan upacara
yadnya.Tari Jangkang ini membawa perlengkapan berupa tongkat kelengisan
yang terbuat dari pelepah pohon sejenis pohon enau.
Gambar 4.17 Tari Jangkang (Dok. Budi Utama)
(2) Tari Baris yang ada di Desa Cempaga terdiri atas dua jenis yaitu Tari Baris
Jojor dan Tari Baris Dadap. Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Cempaga yang
berumur sekitar 17 tahun sampai dengan 25 tahun. Peserta bisa yang belum
menikah ataupun sudah menikah. Sarana yang dibawa tari Baris ini adalah keris
dan sebatang pohon dadap. Tari ini merupakan simbol keterangan dan ketazaman
pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tari Baris Jojor ini penarinya hanya satu orang dan tidak membawa perlengkapan
/ sarana. Tari Baris Jojor ini (lihat gambar 4.18) juga disebut dengan Nyawi.
117
Gambar 4. 18 Baris Jojor (Dok. Budi Utama)
Tari Baris Dadap ditarikan oleh empat orang atau lebih. Penarinya berpasangan
antara yang satu dengan yang lainnya dengan membawa sarana berupa cabang
pohon dadap dan dibentuk sedemikian rupa yang panjangnya sekitar 30 cm dan
pada ujungnya diisi gongseng dan membawa keris. Ketika tari Baris Dadap ini
dipentaskan, juga diiringi dengan topeng / tapel. Topeng atau tapel ini (lihat
gambar 4.19) difungsikan oleh krama desa yang membayar kaul / naur sesangi
untuk membantu membawakan bantennya dari rumahnya masing -masing untuk
selanjutnya dibawa ke Pura Desa. Banten-banten tersebut dihaturkan kepada Ida
Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya yang dipimpin oleh Balian Desa
dibantu oleh para pemangku. Biasanya setiap krama yang membayar kaul selalu
memanfaatkan topeng / tapel ini untuk membantu membawakan bantennya.
118
Gambar 4.19 Pembawa sasangi bertopeng (Dok. Budi Utama)
(3) Tari Pendet, dengan penari 6 orang. Tarian ini adalah cetusan rasa bakti
kepada Ida Bhatara. Penari Pendet ini dilakukan oleh penari pria da wanita yang
pada umumnya terdiri dari daha dan taruna yaitu mereka yang belum kawin .
Dalam pandangan masyarakat Desa Cempaga daha taruna dan taruni ini sedang
dipengaruhi oleh Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih sehingga mereka ini
merupakan bunga kesayangan masyarakat. Alat yang dibawa pada saat menari
adalah alat-alat pesucian berupa canang sari yang dipersembahkan kepada
Bhatara sebagai tanda bhakti kepada Ida Bhatara (wawancara dengan Jero
Mangku Balian Desa, 22-8-2009). Dengan demikian pada puncak upacara ini ada
3 (tiga) jenis tari yang wajib dipersembahkan kepada Ida Bhatara, sebagai tanda
bakti kepadanya.
119
(4) Tari Rejang, tarian ini khusus ditarikan dalam rangka ngalurang pangelemek
yaitu mulai Hari Mmggu/Redite Umanis Langkir pada malam hari.
3) Upacara Penutup/ Pangelemek
Upacara Pengelemek ini dilaksanakan mulai malam hari yaitu hari Minggu
/ Redite Umanis Langkir. Pada proses ritual ini banten yang digunakan adalah
banten pajati, tipat kelanan, canang raka, dan runtutan aturan / banten yang
merupakan persembahan krama Desa Cempaga. Upacara pangelemek ini diiringi
Tari Rejang. Tari Rejang di desa Cempaga merupakan media untuk menuntun Ida
Bhatara yang turun ke pura Desa Bale Agung. Melalui tari Rejang Unda (unda =
ngunda = memindahkan) inilah dipindahkan kekuatan-kekuatan super natural
kepada Balian desa, sehingga akhirnya balian desa kesurupan / trance.
Di Desa Cempaga dikenal berbagai jenis tari rejang yaitu 1). Rejang Embatan
Penyalin, 2). Rejang Tanding Pelayon, 3). Rejang Lilit Nyali, 4). Rejang Sing
Bantas, 5). Rejang Sirig Samping, 6). Rejang Kepet, 7). Rejang Embung Kelor, 8).
Rejang Galuh, 9)Rejang Renteng, 10). Rejang Depa, 11). Rejang Pengecek
Galuh, 12). Rejang Bengkol, 13). Rejang Renteng, 14). Rejang Legong, Dan 15).
Rejang Unda.
Masing-masing tari rejang tersebut ditarikan dengan mengelilingi api
unggun di halaman pura desa tepatnya pada jaba tengah pura desa Cempaga.
Setiap satu jenis tarian rejang tersebut ditarikan , diakhiri dengan istirahat selama
kurang lebih 15 sampai dengan 25 menit. Waktu tersebut dimanfaatkan oleh
topeng/tapel yang disebut topeng bebanyolan. Tapel ini menyampaikan beberapa
tema permasalahan yang sebelumnya dialami oleh masyarakat. Ketika para penari
120
topeng ini mendengar permasalahan - permasalahan yang dialami masyarakat
selanjutnya tema-tema tersebut disampaikan di hadapan umum. Maknanya adalah
agar masyarakat mengendalikan diri terhadap masalah-masalah yang seharusnya
tidak terjadi (wawancara dengan I Made Juwika, 22-8-2009).
Rejang di Desa Cempaga ditarikan oleh wanita-wanita yang belum kawin
(daha). Rejang ini menggunakan pakaian yang cukup sederhana, menggunakan
gelungan (hiasan kepala) dengan hiasan bunga-bunga yang terbuat dari perak dan
sekar taji yang terbuat dari batang pohon pelendo, serta "Onggar" yang juga
terbuat dari batang pohon pelendo, yang dibentuk seperti bunga / kembang
(wawancara dengan Jero Balian Desa, tgl 22-8-2009).
Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa melalui Rejang Unda,
balian desa kasurupan ( trance ), Ida Bhatara yang turun / tedun bergelar I Dewa
Ayu Muterin Jagat. Ketika balian desa dalam keadaan trance Prajuru desa
memohon petunjuk kepada ida bhatara melalui balian desa dengan menggunakan
canang sari (nangkil nunas rawos). Jero Balian Desa dalam kondisi sedang
kasurupan / trance, mengundang para dewa lainnya untuk hadir/ tedun. Menurut
tradisi Desa Cempaga kejadian dimaksud dikenal dengan istilah narek . Pada saat
upacara narek ini diiringi dengan Tabuh Kelepuk Tingkih, Tabuh Gegambuhan,
Tabuh Ujar-Ujar Perahu, dan Tabuh Galak Ganjur. Pada saat ini biasanya setiap
klan/keluarga ada saja yang kesurupan /trance. Mereka yang mengalami trance
ini disebut permas. Setelah memarek, para permas menari yaitu yang disebut
dengan Tari Pendet, Tari Condong, Tari Baris Acara dilanjutkan dengan
ngaturang pengeluar menggunakan sarana banten pengeluar berupa caru manca
warna.(wawancara dengan Jero Balian Desa, 22-8-2009).
121
Sebagai acara terakhir dilanjutkan dengan sembahyang bersama yang
dipimpin oleh Balian Desa/pemangku di pura desa, dengan diawali Puja Tri
Sandhya dilanjutkan dengan keramaning sembah. Sebelum Puja Tri Sandhya dan
setelah kramaning sembah, sekaa santi melaksanakan / menyanyikan kidung
dewa yadnya. Menurut I Made Juwika acara terakhir ini merupakan
perkembangan belakangan setelah adanya sosialisasi tentang kramaning sembah
oleh Parisada (wawancara 22-8-2009).
Dari paparan ini tampak bahwa tata pelaksanaan upacara keagamaan di
Desa Cempaga mengalami proses rekonstruksi secara evolusi dengan mengadopsi
tata cara persembahyangan yang direkomendasikan oleh lembaga keagamaan
Parisada Hindu Dharma Indonesia.
4.1.9 Kesenian
Kehadiran seni terkait dengan kepentingan upacara di pura Desa Bale
Agung sebenarnya belum diketahui secara pasti. Namun demikian berdasarkan
catatan yang ditemukan di Bale Gong Pura Desa Bale Agung, tercatat bahwa Bale
Gong ini pernah dipugar pada tahun 1942 (24 Nopember 1942). Catatan yang ada
pada Bale Gong dimaksud menggunakan angka tahun Jepang (lihat gambar 4.20),
jika di Indonesiakan menjadi 1942. Dari catatan ini menunjukkan bahwa kegitan
berkesenian khususnya yang berkaitan dengan kegiatan upacara di Pura Desa Bale
Agung paling tidak telah tercatat pada tahun 1942.
122
Gambar 4.20 Catatan dengan menggunakan sistem angka tahun kalender Jepang
di Bale Gong Pura Desa Bale Agung
Tentu saja kesenian yang berkembang di Desa Cempaga umurnya sudah jauh
melebihi catatan yang ada di Pura Desa Bale Agung tersebut. Hal ini didasarkan
pada catatan yang dibuat oleh I Anyaran yang diperkirakan dibuat pada sekitar
tahun tiga puluhan. Semua kesenian yang berkembang di Desa Cempaga semata-
mata diperuntukkan bagi kepentingan upacara keagamaan. Sampai saat ini, selain
seni tabuh dan tari untuk upacara, sudah berkembang pula seni pasantian, dan seni
karawitan/tabuh. Seperangkat Gong hasil swadaya masyarakat Desa Cempaga
kini baru saja dibeli dan telah dibentuk sekaa, tepatnya pada tanggal 4 Nopember
2009 (I Nyoman Ardika, wawancara tgl 12 Nopember 2009).
Untuk kesenian yang terkait dengan kegiatan upacara agama sebagaimana
terpapar sebelumnya, sepenuhnya bersifat suka rela atau dikenal dengan istilah
ngayah. Mereka tidak terikat dalam bentuk sekaa, tetapi benar-benar sebagai
spontanitas bentuk bhakti kepada bhatara dan bhatari di pura. Para penarinya
biasanya mulai berlatih Soma Kliwon Kuningan untuk pementasan pada hari
123
Redite Paing wuku Langkir. Secara teknis mereka hanya punya waktu sekitar 5
hari untuk persiapan tampil pada acara Sabha Kuningan.
4.2 Gambaran Umum Regulasi Negara di Bidang Agama pada Masyarakat
Bali Aga
Agama adalah hasil proses dialetika inspirasi Tuhan dalam bentuk wahyu,
dengan kenyataan-kenyataan pada manusia berikut kondisi objektif sejarahnya.
Agama yang diwahyukan Tuhan bukan bentuk agamanya, melainkan nilai-nilai
ajarannya. Nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persaudaraan, dan lain sebagainya
adalah inspirasi (wahyu) Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Agama bukanlah
entitas tertutup sebagaimana selama ini dipahami banyak orang. Akan tetapi
agama bersifat terbuka, terbuka bagi perubahan-perubahan yang ada, karenanya
agama tidak mengenal finalitas. Demikian juga dengan umat beragama, akan
selalu berproses, berdialog, beradaptasi, dan berinteraksi dengan lingkungan
(Abdullah, 2004: xiii). Ini berarti dalam kontekstualnya agama mengalami
tranformasi sejalan dengan perubahan pengetahuan dan kebutuhan pemeluknya.
Dengan begitu agama bisa diterima oleh pemeluknya pada setiap zamannya sesuai
dengan interpretasi dan pemahaman yang berkembang seturut dengan perubahan
lingkungan di tempat agama itu diterima. Dalam hal ini tentu termasuk sesuai
dengan kebutuhan negara di mana tempat agama itu dipraktikkan oleh para
pemeluknya karena bagi negara agama dapat dijadikan instrumen politik dan
pengendalian sosial.
Regulasi negara dalam bidang agama mengharuskan masyarakat Bali
menyesuaikan struktur ajaran agamanya mengikuti pola-pola yang telah
124
ditetapkan oleh negara sehingga agama Hindu akhirnya diakui sebagai salah satu
agama resmi di Indonesia. Penetapan agama Hindu sebagai salah satu agama yang
berada di bawah naungan Kementrian Agama pada waktu itu, memberi dampak
besar terhadap rasa percaya diri masyarakat Bali sehingga berdiri sejajar dengan
agama-agama lainnya di Indonesia. Penataan struktur agama Hindu sebagaimana
tergambar dalam kitab Upadesa selanjutnya diikuti oleh sosialisasi ajarannya
kepada masyarakat luas. Gerakan-gerakan menuju pada keseragaman ajaran mulai
dilakukan, tentunya hasil kerjasama antara pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan melalui aparatur negara serta lembaga-lembaga keagamaan seperti
Parisada Hindu Dharma ( Sudharta dan Surpha,2006:28).
Bahwasanya Bali sebagai satu kesatuan wilayah dengan penduduknya
mayoritas beragama Hindu dipandang sebagai satu kesatuan budaya Hindu.
Namun demikian, jika diselami lebih mendalam di Bali sebenarnya paling tidak
ada dua subkultur, yaitu Bali Aga dan Bali Dataran. Orang-orang Bali Aga yang
sebagian besar mendiami wilayah pegunungan Bali sebenarnya memiliki sistem
keyakinan Hindu yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Bali
Dataran.
Situasi politik pada masa kemerdekaan (masa konsolidasi agama Hindu)
telah memposisikan ajaran Hindu masyarakat Bali dataran lebih dekat dengan
pusat-pusat kekuasaan. Dengan demikian pada masa konsolidasi sumber-sumber
rujukan dalam penataan struktur ajaran agama Hindu lebih berorientasi pada
sistem ajaran agama Hindu yang bersumber pada sumber-sumber yang berasal
dari ajaran Hindu di Jawa, yang terwariskan lewat lontar-lontar. Ajaran-ajaran ini
pada umumnya lebih merujuk pada sumber awalnya di India. Situasi politik saat
125
masa konsolidasi mengharuskan Hindu di Bali merujuk pada India dengan
maksud merujuk pada ajaran agama yang lebih mendunia sehingga memudahkan
jalan bagi pengakuan keberadaannya di Indonesia. Hal ini menyebabkan
masyarakat Bali Aga menjadi termarjinalkan, sebab beberapa sistem ajarannya
berbeda dengan masyarakat Hindu Bali di daerah dataran. Posisi tawar mereka
juga kurang kuat karena berada di wilayah pinggiran pusat kekuasaan pada waktu
itu. Hal ini tampak jelas dari ketetapan Mahasabha V tangggal 16 Januari 1987,
yang menetapkan bahwa yang boleh mengikuti Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-
Aspek Agama Hindu adalah Kantor Wilayah Departemen Agama dengan Seksi
Bimas Hindu/Buddhanya, Perisada Hindu Dharma Pusat, Institut Hindu Dharma,
Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan Biro Kesra dari Unsur Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali (Sudharta dan Surpha, 2006:114).
Ketika pengakuan Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia telah
dikeluarkan oleh pemerintah maka dimulailah masa indoktrinasi ajarannya ke
seluruh Bali. Parisada mulai didirikan sampai ke tingkat kecamatan bahkan
tingkat desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan ajaran-
ajaran agama Hindu. Ajaran Hindu yang orthodoksinya diakui negara ini
disosialisasikan secara besar-besaran oleh lembaga agama, seperti Parisada, baik
langsung maupun tidak telah menempatkan sistem kayakinan masyarakat Bali
Aga pada posisi termarginalkan. Pemarginalan ini memiliki implikasi sosial yang
luas, bahkan meliputi hampir seluruh praktik keberagamaan mereka, walaupun
sebagian besar mereka tinggal di pegunungan (Nurkhoiron, 2007:9).
Meskipun tradisi keagamaan yang mereka praktikkan berbeda dengan
agama Hindu resmi di Indonesia, mereka pada umumnya memiliki sikap militan
126
untuk mempertahankan tradisinya ketika berhadapan dengan kelompok lain.
Riwayat eksistensi mereka yang jauh lebih lama dari pada eksistensi negara
Republik Indonesia cukup membuktikan kesanggupan mereka menghadapi
berbagai tantangan historisnya. Masyarakat lokal seperti masyarakat Bali Aga
tidak jarang dilihat sebagai sedang berada dalam kegelapan. Kegelapan adalah
terma teologis yang kerapkali dimunculkan untuk memberi label komunitas-
komunitas terpencil, yang disinyalir masih berada dalam fase belum beragama
atau primitif sehingga harus diagamakan. Kelompok-kelompok seperti ini sering
dipersepsikan sebagai liyan (yang di “liyan”kan) di tengah masyarakat modern
(Nurkhoiron, 2007: 11).
Kaum agamawan bersama aparatus negara lainnya kemudian memiliki
legitimasi untuk menginvasi mereka, baik melalui pemaknaan maupun melalui
cara-cara persuasif, agar mereka bersedia mengubah pandangan keagamaan
mereka yang dianggap belum sempurna. Pada titik ini dimulailah proyek
pembinaan keagamaan yang digerakkan oleh Departemen Agama. Hampir tidak
dapat disangkal bahwa intervensi agama ke dalam urusan kehidupan
kewarganegaraan dan kenegaraan berlangsung melalui departemen ini. Seiring
dengan itu pembinaan dan pengawasan terhadap komunitas-komunitas yang
dianggap belum sempurna dalam beragama juga terjadi di semua tempat. Regulasi
agama yang paling menonjol setelah pergolakan 1965 adalah invasi beberapa
agama resmi ke kelompok-kelompok lokal yang diidentifikasi sebagai masyarakat
terpencil dan terbelakang, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan
(Budiman, 2005: 59). Gejala seperti ini memang semakin tampak jelas pada
masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga.
127
Dari paparan di atas kiranya cukup jelas alasan-alasan yang
melatarbelakangi terjadinya adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa
Cempaga sebagai berikut, (1) secara genealogi agama memang terkait dengan
berbagai persoalan seperti budaya, politik, sosial dan ekonomi; (2) jika terjadi
perubahan kebijakan dalam bidang agama maka hal itu akan berimplikasi
terhadap budaya, politik, dan sosial ekonomi masyarakat; (3) adaptasi itu memang
harus dilakukan mengingat sebagai kelompok minoritas mereka harus
menyesuaikan diri dengan budaya dan agama dominan untuk mempertahankan
eksistensinya.
top related