amar makruf

Upload: ibn-ghazali

Post on 12-Jul-2015

192 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNGKARAbul -Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar bin Abdul-Aziz berkata: "Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyiksa orang-orang umum kerana dosadosanya orang-orang yang tertentu tetapi apabila perbuatan dosa itu merahajalela dan terang-terangan kemudian tidak ada yang menegur, maka bererti semuanya sudah layak menerima hukuman." Dan diriwayatkan bahawa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Yusya bin Nuh a.s.: "Aku akan membinasakan kaummu empat puluh ribu orang yang baik-baik dan enam puluh ribu orang yang derhaka." Nabi Yusya bertanya: "Ya Tuhan, itu orang derhaka sudah layak, maka mengapakah orang yang baik-baik itu?" Jawab Allah s.w.t.: "Kerana mereka tidak murka terhadap apa yang Aku murka, bahkan mereka makan minum bersama mereka yang derhaka itu." Abu Hurairah r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Anjurkan lah kebaikan itu meskipun kamu belum dapat mengerjakannya dan cegahlah segala yang mungkar meskipun kamu belum menghentikannya." Anas r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Sesungguhnya diantara manusia itu ada yang menjadi pembuka untuk kebaikan dan penutupan dari kejahatan, dan ada juga manusia yang menjadi pembuka kejahatan dan penutupan kebaikan, maka sesungguhnya untung bagi orang yang dijadikan Allah s.w.t. sebagai pembuka kebaikan dan binasa bagi yang dijadikan Allah s.w.t. pembuka kejahatan itu ditangannya." Ertinya: Orang yang menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar itulah pembuka kebaikan dan penutupan dari kejahatn dan ia termasuk orang mukmin sebagaimana firman Allah s.w.t.: "Wal mu'minuna wal mu'minaatu ba'dhuhum auliyaa'u ba'dh ya'muruuna bil ma'rufi wayanhauna anil mungkar." Yang bermaksud: "Orang-orang mukmin lelaki dan perempuan setengah menjadi wali pembantu pada setengahnya, menganjurkan kebaikan dan mencegah dari mungkar." Adapun yang menganjurkan mungkar dari mencegah dari kebaikan maka itu tanda munafiq sebagaimana firman Allah s.w.t.: "Almunafiquuna walmunafiqatu ba'dhuhum min ba'dh ya'muruuna bil mungkari wayanhauna anil ma'ruf" Yang bermaksud: "Orang munafiq lelaki dan perempuan masing-masing menjadi wali pembantu setengahnya menganjurkan kejahatan dan mencegah kebaikan." Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: "Seutama-utama amal ialah amar ma'ruf dan nahi mungkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan), dan membenci

orang yag fasiq (melanggar hukum). Maka siapa yang menganjurkan kebaikan bererti memperkuat orang mukmin dan siapa mencegah mungkar bererti menghina orang munafiq. Said meriwayatkan dari Qatadah berkata: "Ada seorang datang kepada Nabi Muhammad s.a.w. ketika diMekah lalu bertanya: "Benarkah engkau mengaku sebagai utusan Allah s.w.t.?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w. : "Ya" Lalu bertanya: "Amal apakah yang lebih disukai Allah s.w.t?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Menghubungi keluarga." Tanyanya lagi: "Kemudian apakah?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar." Lalu ditanya lagi: "Amal apakah yang sangat dimurkai Allah s.w.t.?" Jawab Nabi Muhammad s.a.w. " Syirik, mempersekutukan Allah s.w.t." "Kemudian apakah?" tanyanya lagi. Nabi Muhammad s.a.w. menjawab: "Memutuskan hubungan kekeluargaan." "Kemudian apakah?" tanyanya lagi. Jawab Nabi Muhammad s.a.w.: "Meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar (tidak suka menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar)." Sufyan Atstsauri berkata: "Jika kau melihat orang yang pandai quran itu disayangi oleh tetangganya dan dipuji oleh kawan-kawannya, maka ketahuilah bahawa ini suka mengambil hati (yakni tidak tegas amar ma'ruf dan nahi mungkar)." Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Tidak terjadi pada suatu kaum seorang yang berbuat durhaka, sedang mereka dapat menghentikannya tetapi mereka tidak mencegahnya melainkan Allah s.w.t. akan meratakan mereka siksaanNya sebelum mati mereka." Abul-Laits berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. mensyaratkan berkuasa untuk mencegah bererti bahawa orang-orang yang baik-baik berkuasa (berwibawa), kerana itu maka kewajipan mereka harus mencegah merahajalelanya orang-orang ahli maksiat." Allah s.w.t. memuji ummat ini didalam ayat yang berbunyi: "Kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnaasi ta'muruna bil ma'rufi watanhauna anil mungkari watu'minuna billah." Yang bermaksud: "Kamu sebaik-baik ummat yang dilahirkan untuk manusia kerana menganjurkan kebaikan dan mencegah mungkar dan beriman kepada Allah." Didalam ayat lain pula berbunyi: "Wal takun minkum ummatun yad'uuna jlal khori waya'muruuna bil ma'ruufi wayanhauna anil munkar wa'ulaika humul muflihuun." Yang bermaksud: "Harus ada dari kamu golongan (orang-orang) yang mengajak kepada kebaikan dan menganjurkan segala ma'ruf (yang baik) dan mencegah mungkar dan merekalah orang-orang yang beruntung (bahagia)." Juga Allah s.w.t. mencela orang-orang yang tidak suka mencegah munkar dalam ayat yang berbunyi: "Kaa nu laa yatana hauna an mungkharin fa'aluhu labi'samaa kaanuu yaf'alun." Yang bermaksud: "Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang mereka perbuat, sesungguhnya busuk perbuatan mereka itu."

Didalam ayat yang lain pula Allah s.w.t. berfirman: "Lau laa yanhahumur robbaniyuna wal ahbaaru an qaulihimul itsma wa aklihimus suhta, labi'sa maa kaanu yash ma'uun." Yang bermaksud: "Mengapa para ulama dan orang-orang yang mengerti agama itu tidak melarang mereka dari kata-kata yang keji dan makan yang haram, sungguh busuk apa yang mereka perbuat." Seharusnya orang yang akan menganjurkan amar maruf itu melaksanakan sendiri peribadi supaya lebih mantap manishat peringatannya. Abud Dardaa r.a. berkata: "Siapa yang menasihati saudaranya dimuka umum (terang-terangan) maka bererti telah memalukannya dan siapa memberi nasihat itu sendirian maka benar-benar akan memperbaiki dan bila tidak berguna nasihat dengan rahsia maka boleh minta tolong kepada orang yang baik-baik untuk mencegahnya dari perbuatan maksiat, maka jika tidak dikerjakan yang demikian pasti perbuatan maksiat itu akan menjalar dan bermahajalela sehingga membinasakan mereka semua." Abul-Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Annu'man bin Basyir r.a. berkata: "Saya telah mendengar Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Perumpamaan orang yang tegak dalam hukum Allah s.w.t. dan orang yang tergelincir bagaikan rombongan yang naik kapal maka masing-masing bertempat diatas dan dibawah, maka ketika mereka sedemikian, tiba-tiba orang yang berada dibahagian bawah mengambil kapak lalu ditanya oleh kawan-kawannya: Apakah maksudmu? Jawabnya: Saya akan melubangi tempatku supaya dekat dengan air sehingga mudah bagiku mengambil atau membuang air. Maka sebahagian yang lain berkata: Biarkan ia berbuat sesukanya dibahagiannya, sebahagian yang lain pula berkata: Jangan kamu biarkan dia melubangi bahagian bawah dari kapal ini, nescaya ninasa dan membinasakan kita semua, maka bila mereka dapat menahannya bererti selamat dan selamat semuanya tetapi bila mereka tidak mencegahnya maka binasa dan binasa semuanya." Abu-Dardaa r.a. berkata: "Kamu harus melakukan amar maruf nahi mungkar, kalau tidak Allah s.w.t. akan mengguasakan diatas kamu seorang yang zalim, yang tidak menghargai orang tua dan tidak kasih kepada anak-anak, kemudian pada saat itu orang-orang yang baik diantara kamu berdoa, maka tidak diterima doa mereka, minta pertolongan juga tidak ditolong minta ampun tidak diampun." Huszaifah ra.a berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Demi Allah yang jiwaku ada ditangaNya, kamu harus melakukan amar maruf dan nahi mungkar atau jika tidak melakukan itu bererti sudah hampir Allah akan menurunkan siksa kepadamu, kemudian kamu berdoa maka tidak diterima oleh." Ali r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Jika ummatku telah takut berkata kepada orang yang zalim itu: "Engkau zalim!", maka ucapkan selamat tinggal pada ummat itu (mereka akan binasa dan hina)." Abul Said Alkhudi r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud) Jika kamu melihat perbuatan mungkar maka kamu harus roboh (tentang) dengan kekuatan kekuasaan (tangan), jika tidak dapat maka dengan nasihat lidahnya, jika

tidak dapat maka dibenci dengan hatinya dan ini menunjukkan selemah-lemah iman. Menggunakan kekuatan kekerasan itu bagi orang yang berkuasa dan dengan lisan bagi para ulama (cerdik pandai) dan denganb hati bagi umum. Masing-masing orang menggunakan menurut kedudukannya, kekuatannya dan kekuasaannya." Abul-Laits berkata: "Seharusnya bagi orang yang maruf (menganjurkan kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kejahatan) itu harus niat ikhlas kerana Allah s.w.t. dan menegakkan agama Allah s.w.t. bukan semata-mata membela kepentingan diri sendiri, sebab bila ia benar-benar ikhlas kerana Allah s.w.t. dan agama Allah s.w.t., maka pasti mendapat bantuan pertolongan Allah s.w.t. sebagaimana ayat yang berbunyi: "In tanshurullaha yan shurkum." (Yang bermaksud: "Jika kamu benar-benar menegakkan khalimatullah, maka Allah akan menolong kamu.) Juga pasti ia terpimpin dengan taufiq dari Allah s.w.t. Ada riwayat dari Ikrimah berkata: "Ada seorang berjalan tiba-tiba ia melihat sebuah pohon disembah orang maka ia marah dan langsung ia pulang mengambil kapaknya lalu naik himar menuju ketempat pohon itu untuk memotongnya, maka dihadang iblis laknatullah ditengah jalan tetapi merupai orang, maka ditanya: "Engkau akan kemana?" Jawab orang itu: "Saya melihat pohon yang disembah orang, maka saya berjanji kepada Allah s.w.t. akan memotong pokok itu, kerana itu saya pulang mengambil kapak dan naik himarku ini untuk pergi kepohon itu." Iblis laknatullah berkata: "Apa urusanmu dengan sembahan orang, biar orang lain, mereka telah jauh dari rahmat Allah." Disebabkan rintangan iblis laknatullah itu maka ahkirnya mereka berkelahi tetapi ternyata Iblis laknatullah itu kalah, sampai berulang tiga kali tetap iblis laknatullah kalah lalu Iblis laknatullah itu berkata: "Lebih baik kau kembali dan saya berjanji kepadamu tiap hari aku akan berikan kepadamu empat dirham diujung tempat tidurmu." Orang itu bertanya: "Apakah betul kau akan begitu?" Jawab iblis laknatullah: "Ya, aku jamin tiap hari." Maka kembalilah orang itu kerumahnya, maka benarlah pada esok hari ia mendapat wang itu selama dua hari dan pada hari ketiga ternyata tidak ada apa-apa, kemudian esok harinya lagi tiada juga. Maka kerana ia tidak mendapat wang itu, maka ia segera mengambil kapak dan naik himar untuk pergi kepohon itu, maka ditengah jalan dihadang oleh iblis laknatullah yang merupai manusia dan ditanya: "Kemana kau mahu pergi?" Jawabnya: "Kepohon yang disembah orang itu untuk memotongnya." Iblis laknatullah berkata: "Engkau tidak dapat berbuat demikian, adapun yang pertama kali itu kerana kau keluar dengan marahmu itu benar-benar kerana Allah sehingga umpama semua penduduk langit dan bumi akan menghalangi kamu tidak akan dapat, adapun sekarang maka kau keluar kerana tidak mendapat wang maka bila kau berani maju setapak aku akan patahkan lehermu.", maka ia kembali kerumahnya dan membiarkan pohon itu. Abul-Laits berkata: "Seorang yang akan menjalankan amar maruf dan nahi mungkar harus melengkapi lima syarat iaitu: 1. Berilmu, sebab orang yang bodoh tidak mengerti maruf dan mungkar 2. Ikhlas kerana Allah s.w.t. dan kerana agama Allah s.w.t. 3. Kasih sayang kepada yang dinasihati, dengan lunak dan ramah tamah dan jangan menggunakan kekerasan sebab Allah s.w.t. telah berpesan keppada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. supaya berlaku lunak kepada Fir'aun

4. Sabar dan tenang, sebab Allah s.w.t. berfirman yang berbunyi: "Wa'mur bil ma'rufi wanha anilmunkar wash bir ala maa ashabaka." Yang bermaksud: "Anjurkan kebaikan dan cegahlah yang mungkar dan sabarlah terhadap segala penderitaanmu." 5. Harus mengerjakan apa-apa yang dianjurkan supaya tidak dicemuh orang atas perbuatannya sendiri sehingga tidak termasuk pada ayat yang berbunyi: "Ata'murunannasa bil-birri watansauna anfusakum." Yang bermaksud: "Apakah kamu menganjurkan kebaikan kepada orang lain tetapi melupakan dirimu sendiri." Anas r.a. berkata: "Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Ketika malam isra' saya melihat orang-orang yang digunting bibirnya dengan gunting dan ketika aku bertanya pada Jibril: Siapakah mereka itu, ya Jibril? Jawabnya: Mereka pemimpin-pemimpin dari ummatmu yang menganjurkan orang lain berbuat baik tetapi lupa pada diri sendiri, padahal mereka membaca kitab Allah s.w.t. tetapi mereka tidak memperhatikan dan mengamalkannya." Qatadah berkata: "Didalam kitab Taurat ada tertulis: Hai anak Adam, engkau mengingatkan lain orang dengan ajaranKu sedang engkau melupakan Aku, dan mengajak orang kembali kepadaKu sedang engkau lari daripadaKu, maka sia-sia perbuatanmu itu." Abu Mu'awiyah Alfazari meriwayatkan dengan sanadnya bahawa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Kamu kini dalam hal yang sangat jelas dari jalan Tuhanmu sehingga nampak jelas bagimu dua macam mabuk iaitu mabuk penghidupan dan mabuk kebodohan dan kamu kini masih menjalankan amar maruf dan nahi mungkar, dan kamu berjuang bukan dalam jalan Allah s.w.t. dan orang-orang yang dapat menegakkan ajaran kitab dengan sembunyi atau terang-terangan sama pahalanya dengan orang-orang dahulu dari sahabat Muhajirin dan Anshar." Alhasan berkata Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Siapa yang lari dari daerah kelain daerah untuk mempertahankan agamanya, walau baru melangkah satu jengkal, maka telah pasti (berhak) masuk syurga dan menjadi kawan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad s.a.w." (Sebab) Nabi Ibrahim a.s. telah berhijrah dari Hiraan ke Syam iaitu yang tersebut didalam ayat yang berbunyi: "Wa qaala inni muhajirun ila robbi innahu huwal aziizul hakiem. Yang bermaksud: "Dan berkata Ibrahim, sungguh aku akan berhijrah kepada Tuhanku, sungguh Dialah yang mulia, jaya dan bijaksana." Dan Ayat yang berbunyi: "Inna dzahibun ila robbi sayahdini." Yang bermaksud: "Sungguh aku akan pergi kepada Tuhanku, Dialah yang memberi hadayat dan memimpin aku." Dan Nabi Muhammad s.a.w. telah berhijrah dari Mekkah ke Madinah, maka siapa didaerah yang penuh maksiat lalu ia keluar daripadanya kerana mengharapkan keridhaan Allah s.w.t., maka telah mengikuti jejak Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., maka insyaallah akan menjadi kawan keduanya disyurga.

Firman Allah s.w.t. yang berbunyi: "Waman yakhruj min baitihi muhajiran illalahi warasulihi tsumma yudrikhul mautu faqad waqa'a ajrunu alallah wakaanallahu ghafura rahima." Yang bermaksud: "Dan siapa yang keluar dari rumahnya berhijrah kepada Allah dan Rasulullah kerana taat kepada Allah dan Rasulullah kemuadian mati, maka pahalanya telah dijamin oleh Allah, dan Allah itu maha pengampun lagi penyayang." Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Tiap-tiap muslim yang keluar dari rumahnya berhijrah menuju taat dan keridhoaan Allah s.w.t. dan RasulNya, lalu meletakkan kakinya diatas kenderaannya walau baru berjalan selangkah kemudian mati, maka Allah s.w.t. akan memberi pahala orang-orang yang berhijrah. Dan tiap-tiap orang muslim keluar dari rumahnya untuk berperang jihad fisabilillah, mendadak terinjak oleh kenderaannya atau tergigit oleh binatang berbisa sebelum perang atau mati bagaimanapun keadaannya, maka ia mati syahid. Dan tiap orang muslim yang keluar dari rumahnya menuju ke Baitillahil Haram (berbuat haji) kemudian mati sebelum sampai, maka Allah s.w.t. akan mewajibkan baginya syurga." Abul-Laits berkata: "Dan siapa tidak hijrah dari daerahnya sedang ia sanggup menunaikan ibadat kepada Allah s.w.t., maka tidak apa-apa asalkan ia membenci pada maksiat yang terjadi disekitarnya, maka ia dimaafkan." Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: "Cukup bagi seorang yang melihat mungkar dan ia tidak dapat merubahnya, asalkan Allah s.w.t. mengetahui dalam hatinya bahawa ia tidak suka pada mungkar itu." Sebahagian sahabat r.a. berkata: "Jika seorang melihat mungkar dan tidak dapat mencegahnya, maka hendaklah dia membaca: Allahuma inna hadzaa munkaran fala tu'aa khidzni bihi. Yang bermaksud: Ya Allah, maka jangan menuntut aku dengan adanya mengkar. (Sebanyak 3 kali) Maka jika membaca yang demikian ia mendapat pahala seperti orang amar maruf dan nahi mungkar. Umar bin Jabir Allakhmi dari Abu Umayyah berkata: "Saya tanya pada Abu Tsa'labah Alkhusyani r.a. tentang ayat yang berbunyi: "Ya ayyuhai ladzina aamanu anfusakum laa yadhurrukum man dholla idzah tadaitum." Yang bermaksud: "Hai orangorang yang beriman, jagalah dirimu, tidak apa-apa bagimu kesesatan orang yang sesat bila kamu telah mendapat hidayat dan berlaku baik." Jawab Abu Tsa'labah: "Engkau telah tanya pada orang-orang yang benar mengetahui, saya telah tanya kepada Rasulullah s.a.w. maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Hai Abu Tsa'labah, laksanakan amar maruf dan nahi mungkar, maka apabila engkau telah melihat dunia sudah diutamakan dari lain-lainnya, dan orang yang kikir telah diikuti orang, dan tiap orang sombong dan berbangga dengan pendapatnya sendiri, maka jagalah dirimu, sebab dibelakangmu adalah saat kesabaran dan ketahanan dan bagi orang yang kuat mempertahankan sebagaimana yang kamu lakukan sekarang ini akan mendapat pahala sama dengan lima puluh orang." Sahabat bertanya: "Sama dengan lima puluh orang dari kami atau dari mereka?" Jawab Rasullullah s.a.w.: "Sama dengan lima puluh orang dari kamu." Qais bin Abi Hazim berkata: "Saya telah mendengar Abu Bakar Assiddiq r.a. berkata: "Kamu membaca ayat ini (yang berbunyi): "Ya ayyuhallazlina amanu

alaikum anfusakum ia yadhurrukum man dholla idzah tadaitum, ilallahi marji'ukum kami'an." Yang bermaksud: "Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tidak bahaya bagimu kesesatan orang-orang yang sesat jika kamu sendiri mengikuti petunjuk, kepada Allah kamu semua akan kembali." Dan saya telah mendengar Nabi Muhammad s.a.w. bersabda (yang bermaksud): "Tiada satu kaum yang memaharajalela ditengah-tengah mereka perbuatan maksiat kemudian tiada yang berusaha merubahnya dan mencegahnya melainkan telah hampir tiba pada mereka siksa umum merata dari Allah s.w.t." dan kamu letakkan tidak pada tempatnya. Ibn Mas'ud r.a. ketika ditanya mengenai ayat ini, ia menjawab: "Bukan masanya tetapi itu berlaku bila hawa nafsu telah mengusai dan merata dan orang-orang suka berdebat, maka tiap orang harus menjaga keselamatan dirinya, maka pada saat itulah tiba masanya.(Tafsirannya)http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/amarmaruf.htm

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas. Lompat ke: pandu arah, cariSebahagian dari siri berkaitan

IslamRukun Iman

Allah Kitab Malaikat Nabi Hari Akhirat Qada dan QadarRukun Islam

Syahadah Solat Puasa Zakat HajiKota Suci

Makkah Madinah BaitulmuqaddisHari Raya

Aidilfitri Aidiladha Hukum Al-Quran Sunnah Hadis Sejarah Garis Masa Sejarah Islam Khulafa al-Rasyidin Khalifah Khilafah Tokoh Islam Nabi Muhammad s.a.w Ahlul Bait Sahabat Nabi Mazhab Ahli Sunah Waljamaah

Hanafi Syafie Maliki Hanbali Budaya Dan Masyarakat Akademik Haiwan Seni Takwim Kanak-kanak Demografi Perayaan Masjid Dakwah Falsafah Sains Wanita Politik Lihat juga Kritikan Islamofobia Glosari Portal Islampbs

Amar makruf dan nahi mungkar (Arab: ) berasal daripada peristilahan ayat al-Quran yang bermaksud "mendekati perkara-perkara yang baik dan menjauhkan perkara-perkara yang tidak baik". Firman Allah: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (at-Taubah: 71) Dalam Al-Qur'an dijumpai lafaz "amar ma'ruf nahi munkar" beberapa kali seperti dalam surah Ali Imran ayat 104: Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya. Secara prinsipnya pengamal agama Islam dituntut untuk menyampaikan kebenaran dan melarang perkara-perkara yang tidak baik (mungkar). Hadis Rasulullah "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". (Hadis riwayat Muslim) Prof Hamka berpendapat bahawa asas kepada amar ma'ruf adalah dengan cara mentauhidkan Allah dan asas nahi munkar adalah dengan mencegah syirik kepada Allah.

BAGAIMANA SASTERA ISLAM MENEPATI KONSEP DAKWAH

DEFINISI DAN KONSEP DAKWAH Dakwah berasal daripada perkataan Bahasa Arab daa yang bermaksud menjemput, mempelawa, mengajak. Dari segi istilah, dakwah didefinisikan oleh Doktor Abdul Karim Zaydan dalam bukunya Usul al-Dawah sebagai pelawaan, ajakan dan jemputan untuk mengikuti ajaran Islam. Dalam al-Quran dan Hadith, terdapat beberapa konsep yang mempunyai hubungan yang kuat dengan konsep dakwah contohnya al-jihad fi sabil Allah (berjihad di jalan Allah), al-amr bil maruf wa al-nahi an al-munkar (melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang salah), al-Islah (memperbaiki), al-tadhkir (memperingati), al-tabligh (menyampaikan), altawun ala al-birr (bantu-membantu ke arah kebenaran) dan lain-lain. Bertitik-tolak daripada itu, sastera Islam seperti yang telah dihuraikan sebelum ini dilihat sebagai menepati konsep-konsep di atas. Dalam kertas projek yang terhad ini, kami akan cuba menghubung-kaitkan teori sastera Islam dengan salah-satu konsep dakwah iaitu amar maruf nahi munkar (mengajak melakukan amalan kebaikan dan meninggalkan amalan kejahatan) bagi menjelaskan lagi kaitan antara kedua-dua konsep ini. HUBUNG-KAIT ANTARA SASTERA ISLAM DAN KONSEP AMAR MARUF NAHI MUNKAR Pendekatan sastera Islam seperti yang ditekankan oleh A.Hasjmy dan Shahnon Ahmad adalah lebih kepada pendekatan amar maruf nahi munkar. Sastera Islam cuba merangkumkan ilmu dan amalan agama dalam konteks kesusasteraan serta mengambil kira konsep amar maruf nahi munkar yang terkandung dalam ajaran Islam untuk diterapkan dalam karya sastera. Ini amat berbeza dengan konsep sastera Barat yang cuba memisahkan kesusasteraan daripada agama. Untuk melihat dengan lebih jelas lagi hubung-kait antara sastera Islam dan konsep amar maruf nahi munkar ini, kami akan cuba menghuraikannya dengan merujuk kepada beberapa aspek penting dalam sesebuah karya sastera iaitu penulis, mesej serta bahasa dan teknik penceritaan. .1 Penulis

Dalam konsep dakwah amnya dan amar maruf nahi munkar khasnya, setiap individu Muslim mempunyai tanggungjawab untuk mengajak orang lain melakukan amalan kebaikan dan mencegah segala amalan kejahatan dan kemaksiatan. Ini bertepatan dengan firman Allah dalam Surah Ali-Imran ayat 110: Anda adalah umat pilihan, yang ditampilkan untuk manusia (Dengan ketentuan agar anda) menyuruh berbuat maruf, mencegah perbuatan mungkar dan beriman kepada Allah Sehubungan dengan itu, penulis yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya juga adalah tergolong dari kalangan umat pilihan ini yang turut sama memikul tanggungjawab untuk mengajak orang lain melakukan kebaikan dan mencegah amalan kejahatan menerusi karya dan tulisan-tulisannya. Ciri-ciri penulis atau sasterawan Muslim seperti yang telah diperincikan oleh A.Hasjmy menunjukkan betapa sastera Islam tidak mengabaikan keperibadian penulis. Ini kerana, penulis yang mempunyai ciri-ciri seperti yang disebutkan pasti akan menampilkan kebenaran dan kebaikan dalam karya-karyanya. Sastera Islam adalah hasil ilham penulis yang dikurniakan oleh Allah kepada penulis. Oleh sebab itu, penulis harus menggunakan dan memanfaatkan kurniaan Ilahi ini dengan rasa tanggungjawab, ikhlas, jujur dan semata-mata untuk mendapat keredaan Allah dengan tidak menghasilkan karya yang memaparkan kisah-kisah yang dibenci Allah, sebaliknya menghasilkan karya yang dapat mengajak para pembaca untuk melakukan amal kebaikan dan meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan. Ini adalah selari dengan konsep amar maruf nahi munkar yang tidak menggunakan kelebihan dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada kita ke arah jalan yang menyimpang dari landasan-Nya. Selain itu, berbalik kepada firman Allah dalam Surah Ali-Imran ayat 110 seperti yang disebutkan tadi, konsep amar maruf nahi munkar ini hanya dikhususkan kepada umat Islam sahaja. Maka bertitik-tolak dari inilah, sastera Islam mestilah dihasilkan oleh umat Islam sendiri supaya kebenaran Islam itu dapat dilihat dalam karya mereka secara jujur dan jelas. Sebaik-baiknya sastera Islam adalah hasil penulis yang kuat berpegang kepada ajaran Islam dan mempraktiskannya dalam penulisan. Para penulis Islam juga disarankan untuk membentuk organisasi atau kelompok dari kalangan mereka serta bekerjasama dan saling membantu bagi memastikan misi dakwah melalui karya ini dapat dilaksanakan dengan sempurna. Ini bertepatan dengan firman Allah dalam Surah Ali-Imran ayat 104: Perlu ada di antara anda, satu kekuatan organisasi, yang tugasnya mengajak ke jalan kebaikan, menyuruh berbuat maruf, mencegah perbuatan mungkar. Mereka itulah yang berjaya. 2. Mesej Hubung-kait yang paling jelas antara konsep amar maaruf nahi mungkar ialah pada mesej yang dibawa oleh sastera Islam. Mesej utama yang dibawa oleh kedua-dua konsep ini ialah mesej Tauhid. Dalam konsep amar maruf nahi mungkar khasnya dan dakwah amnya, mesej yang ingin dibawa ialah mengimani kewujudan Allah, mengimani keesaan-Nya serta mengimani bahawa

Dialah Tuhan sekalian alam selain menyeru sekalian manusia untuk mengikuti ajaran Islam. Justeru, setelah mengimani kewujudan Allah ini, maka segala amalan kebaikan yang kita lakukan akan menjurus kepada satu niat iaitu dilakukan hanya kerana Allah begitu juga kita menghindari diri daripada kejahatan adalah jua kerana Allah. Sastera Islam juga turut meletakkan konsep Tauhid ini sebagai asasnya. Oleh sebab itulah, Shahnon Ahmad mendefinisikan sastera Islam sebagai Sastera kerana Allah, berhikmah untuk manusia, kesusteraan berakhlak yang telah ditetapkan oleh Khaliq, karya yang jelas dan satu ibadah. Apabila mesej sastera Islam dihubungkaitkan dengan konsep Tauhid ini (sastera kerana Allah), maka penulis bakal merasakan adanya hubungan dengan Allah. Penulis yang menjiwai Islam dan mempunyai hubungan yang erat dengan Penciptanya, tidak mungkin akan menghasilkan karya yang bertentangan dengan ajaran Islam sebaliknya akan menghasilkan karya amar maruf nahi mungkar. Hubungan antara penulis dan Penciptanya inilah yang telah memperlihatkan keistimewaan dan keunikan konsep sastera Islam berbanding konsep sastera bukan Islam. Setelah perhubungan antara penulis dan Penciptanya jelas, maka karya yang dihasilkan dalam sastera Islam tentulah akan menepati konsep amar maruf nahi mungkar, sejajar dengan firman Allah dalam Surah al-Taubah ayat 71: Mereka menyuruh mengerjakan amar maruf mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Radul-Nya. Salah satu isi penting dalam konsep amar maruf nahi mungkar ialah prinsip akhlak dan moral. Prinsip ini harus disuburkan dalam karya sastera Islam. Karya sastera Islam harus tampil sebagai satu karya moral dengan jalan pilihan ke arah kebaikan yang jelas. Justeru, karya-karya sastera yang tidak ada nilai dan etika serta moral, picisan dan sia-sia, dan membawa kepada kerosakan tidak termasuk dalam kategori Sastera Islam. Bahkan karya sastera yang mendorong lahirnya masyarakat yang tidak bermoral dengan menampilkan kehidupan watak yang bergelumang dosa dan penulis pula tidak menjelaskan bahawa kehidupan sebegitu adalah bertentangan dengan Islam bahkan memuja watak tersebut juga tidak termasuk dalam Sastera Islam. Penulis sastera Islam yang berpegang kepada konsep amar maruf nahi mungkar ini tentu sahaja akan menyebarkan nilai-nilai keIslaman, membanteras kejahatan, membongkar ketidakadilan, penindasan, korupsi dan memperjuangkan kebenaran melalui karya-karyanya supaya kebenaran ini dapat ditegakkan dalam masyarakat seperti yang dikehendaki dalam Islam. Penulis haruslah menegakkan ajaran Allah dengan menampilkan watak-watak yang beriman dan beramal soleh dalam karya-karyanya, karyanya berterusan membenarkan yang benar dan mengharamkan yang haram, mendorong lahirnya masyarakat yang adil dan makmur serta tidak memberi hak kepada watak-wataknya untuk melakukan sesuatu mengikut kehendak hawa nafsunya sebaliknya berlandaskan hukum dalam Islam.

Justeru dapat kita simpulkan di sini bahawa sastera Islam meletakkan mesej di tempat teratas. Di samping itu, sekiranya penulis mempunyai hubungan yang erat dengan Penciptanya, atau dengan kata lain, penulis menjiwai Islam dalam kehidupan sehariannya, maka keimanan dan keperibadian penulis ini akan terjelma dalam karya-karyanya yang bakal mengajak pembaca melakukan amal kebaikan dan mencagah amal kemaksiatan dan kemungkaran. 3. Bahasa dan Teknik Penceritaan Dalam konsep amar maruf nahi munkar khasnya dan konsep dakwah amnya, terdapat beberapa metodologi dakwah yang telah diberi garis panduan oleh Islam. Imam Fakhrul Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib telah menggariskan tiga metod dakwah berdasarkan ayat 125 daripada Surah al-Nahl yang bermaksud: Ajaklah ke jalan Tuhan kamu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan cara yang baik dan berdebatlah dengan baik. Melalui ayat ini, dapat kita simpulan tiga metod atau cara dakwah yang berbeza iaitu hikmah, mau`izah dan mujadalah. Menurut Imam Fakhrul Razi, hikmah ialah cara menyampaikan dakwah yang pertama dan ia merupakan cara yang harus disertakan dengan bukti-bukti yang kukuh dan bebas daripada sebarang kecacatan serta kontradiksi. Manakala mau`izah pula ialah cara menyebarkan dakwah secara menyebarkan dan memberi nasihat. Caranya boleh dikatakan sebagai suatu cara memujuk. Mujadalah pula ialah cara menyampaikan dakwah dengan berdebat dan berdiskusi. Maka di sini letaknya persamaan antara metod atau kaedah menyampaikan dalam kedua-dua konsep. Seperti juga dalam konsep amar maruf nahi munkar yang menyampaikan sesuatu dengan cara yang jelas dan menyediakan hujah-hujah yang kukuh, Shahnon Ahmad mengatakan bahawa sastera Islam juga bukanlah suatu hasil karya yang kabur, boleh mengelirukan pembaca dan hasilnya tidak menjelaskan petunjuk yang benar. Selain itu menurutnya lagi, penggunaan bahasa dalam sastera Islam haruslah mudah supaya maksudnya tepat dan tidak mengelirukan. Gaya bahasa yang berputar-putar ditentang oleh Islam begitu juga dengan teknik penceritaan yang melampau atau berlebih-lebihan contohnya menceritakan secara terperinci perbuatan munkar seperti zina dan khalwat dalam karya. Justeru, dapat kita simpulkan di sini bahawa bahasa dan teknik menulis dalam sastera Islam haruslah mudah dan jelas supaya mesej yang bersifat kebenaran dan bermanfaat yang ingin disampaikan dalam karya sastera Islam itu dapat sampai dengan mudah kepada pembaca dan tidak mengelirukan mereka. Dikhuatiri, andai bahasa yang digunakan dalam sastera Islam itu sukar difahami, penuh dengan kata-kata yang kabur dan janggal, maka mesej kebenaran yang ingin disampaikan itu tidak dapat memberi kesedaran kepada pembaca sebaliknya menyesatkan mereka pula. Kesimpulannya, keindahan sastera Islam yang meletakkan hubungan penulis dan Tuhan serta mesej dan matlamat di tempat teratas menjadikannya istimewa, unik dan mempunyai ciri-ciri dan

konsep tersendiri berbanding sastera bukan Islam. Harus disebutkan di sini, mengajak ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak hanya dilakukan dengan lisan tetapi mungkin lebih berkesan melalui tulisan sepertimana sumber utama umat Islam, al-Quran yang megajarkan ayatayat Allah dalam kaedah cerita contohnya kisah Nabi Yusuf dan Nabi Musa. Sastera Islam yang mempunyai kaitan akrab dengan Tuhan, seharusnya membawa mesej yang tidak menyesatkan pembaca sebaliknya mengutamakan kebaikan daripada kejahatan seperti yang disarankan dalam Islam. Selain itu, sastera Islam turut mementingkan keperibadian menulis dan mengangkat prinsip moral dan akhlak. Penulis yang berperibadi mulia tentunya tidak akan menghasilkan karya-karya yang melanggar batasan agama, moral dan akhlak sebaliknya menghasilkan karya yang mengajak pembacanya melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Kesimpulannya, asas, konsep dan prinsip yang dibawa oleh sastera Islam menepati konsep dakwah daripada semua sudut; penulis, mesej, bahasa serta teknik penceritaan dan seharusnya semua penulis Muslim menyimpan hasrat untuk sedaya upaya cuba menepati konsep sastera Islam ini dalam karya-karya mereka. Sumber: http://ghafirah-idris.blogspot.com/

Analisis teori Takmilah Buku Puncak Jihad (Kumpulan Puisi Animas ar)PENGENALAN Konsep Sastera Islam di alam Melayu dibentuk oleh Kiyal Cabul, diketuai oleh Hamka, di Medan, pada 1930-an. Di Malaysia, wacana sastera Islam yang bersifat konseptual mula-mula muncul pada tahun 1965 oleh Yusof Zaki Yaakob dalam kertas kerjanya, yang dibentangkan pada Hari Sastera di Kota Bharu. Walau bagaimanapun, gelombang besar perbincangan mengenainya timbul ekoran daripada polemik antara Shahnon Ahmad dengan Kasim Ahmad pada dekad 1980-an. Impaknya cukup besar bukan sahaja di Malaysia tetapi juga di Singapura dan Indonesia. Misalnya, Kompas, 24 November 2002 melaporkan konsep Seni untuk masyarakat yang menjadi motif perjuangan Asas 50 berteraskan nasionalisme, sejak begitu lama menguasai alam pemikiran sastera Melayu, merosot apabila tercetusnya polemik sastera di antara dua sasterawan besar Shahnon Ahmad dan Kasim Ahmad pada pertengahan tahun 1980an. Sejak itu, tradisi sastera yang berunsurkan Islam semakin mendapat tempat dikalangan masyarakat. Sesuai dengan zaman kebangkitan Islam, ramai sasterawan di Malaysia dan Indonesia sudah mulai kembali menghayati karya-karya sastera yang berunsurkan Islam dan sufi. Di Indonesia ini dipelopori oleh penyair besar Abdul Hadi WM. Di Malaysia dipelopori oleh Yusof Zaki dan Shahnon Ahmad. Perkembangan sastera Islam negara juga dipercayai bermula pada 1930-an. Ia semakin ketara pada 1970-an kerana ketika itulah berlakunya kebangkitan Islam. Melalui kerjasama antara DBP dan persatuan penulis setiap negeri, karya sastera berunsur Islam semakin bercambah dengan kemunculan penulis-penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan agama. Sastera Islam Berasaskan Teori Takmilah Teori Takmilah merupakan perkembangan baru dalam dunia kritikan sastera tempatan. Ia menjadi pendekatan alternatif tengah-tengah keghairahan teori sastera dari Barat yang menguasai dunia sastera tempatan hari ini, berasaskan nilai-nilai estetika daripada al-Quran dan al-hadis. Hasil daripada pengamatan teliti Prof. Madya Dr. Shafei Abu Bakar bersumberkan nilai-nilai estetika ini dan falsafah Islam yang berprinsipkan tauhid, teori sastera ini direalisasikan. Dari aspek penerapannya, takmilah mengarah kepada pemahaman bahawa sesebuah karya sastera merupakan salah satu unsur seni yang menekankan kesempurnaan serta keindahan. Ia secara umumnya didasarkan kepada tujuh prinsip utama iaitu kesempurnaan dari aspek ketuhanan (kamal), kerasulan (kamil), keislaman (akmal), prinsip ilmu (takamul), kesusasteraan (takmilah), pengkarya (istikmal) dan insan (kamil). Ketua Jabatan Pengajian Melayu Universiti Malaya (UM) Prof. Madya Dr. Mohd. Mokhtar Abu Hassan melihat teori takmilah ini memberi sumbangan yang begitu penting dalam asas kritikan sastera tempatan dalam lingkup epistemologi Islam. Menurutnya, secara takmilah, seseorang pengarang dan karya sastera yang sempurna menggabungkan unsur-unsur tersebut membentuk satu karya yang mampu mewadahi khalayak

Islamnya sendiri. Pengindahan dalam sastera untuk mencapai takmilah melibatkan semua aspek yang merangkumi penghasilan sesebuah karya. Ia merangkumi bentuk, isi, tema, struktur, teknik, watak, perwatakan, sudut pandang, nilai, mesej, ideologi dan sebagainya. Bagi karya-karya berbentuk puisi pula terdapat aspek-aspek khusus yang mencirikan kepuisian yang meliputi estetika, simile, metafora, alegori, personafikasi, simbol, citra, hiperbola, aliterasi, asonasi, pembayang dan maksud. Seseorang pengarang harus bertanggungjawab menyempurnakan hasil-hasil kreatif mereka dengan nilai-nilai estetika seni selaras dengan kehendak dan kesempurnaan-Nya. Dengan mengambil contoh Puisi Anbiya karya Shamsuddin Jaafar, Mohd. Mokhtar melihat ianya begitu jelas memaparkan nilai-nilai takmilah yang berkait rapat kisah para nabi (ulama penerus ajaran Junjungan Besar). Keagungan Allah juga dipancarkan oleh penyair dalam peristiwa pembinaan kapal ketika Nabi Nuh ditentang oleh pengikut-pengikut yang ingkar terhadap perintah-Nya. Kebesaran dan Keagungan-Nya dipaparkan oleh penyair dengan begitu teliti dan jelas menerusi kisah-kisah ini, termasuk pelbagai peristiwa sekitar Nabi Ibrahim a.s, Nabi Muhammad s.a.w dan lain-lain, sekali gus mengajak manusia merenungi serta menghayati pengajaran daripada kisah-kisah ini. Jelas, segala yang diungkapkan oleh penyair dalam Puisi Anbiya mengarah kepada orientasi keislaman iaitu berhubung mengenai ketuhanan, akidah nabi dan Rasul. Ini sesuai dengan teori sastera Islam itu sendiri dari segi keindahan penyampaian melalui sastera dan indah dari segi nilai yang menyempurnakan pegangan keislaman serta falsafah tauhidnya. Segala-galanya dipaparkan semula oleh penyair dalam bentuk puisi untuk 'mentakmilahkan' manusia agar kehidupan manusia akan lebih sempurna. Penyair turut menampilkan unsur-unsur keindahan dalam pelbagai aspek termasuklah unsur bunyi yang biasanya berulang dan persamaan bunyi untuk menyempurnakan bentuk, bunyi dan makna yang dianggap indah. Antara lain dalam Puisi Anbiya diperlihatkan menerusi teknik perulangan yang sesungguhnya banyak ditemukan di Al Quran. Dr Shafei Abu Bakar sesungguhnya berjaya melahirkan satu kerangka teori yang lengkap dan jelas dengan meliputi definisi, konsep, falsafah, prinsip dan dikemukakan contoh-contoh karya yang boleh diaplikasi dengan teori tersebut. Teori yang dikemukakan ini ternyata telah mendapat tempat kepada peneliti sastera dan pencinta teori kesusasteraan Islam. Menurut Pensyarah Kanan Jabatan Bahasa Melayu, Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, Universiti Putra Malaysia (UPM), Dr. Hjh Samsina bt Hj Abd. Rahman, teori takmilah berdasarkan kepada tujuh prinsip dengan bertunjangkan sifat kamal (kesempurnaan) Allah s.w.t. dan al-kamil Rasulullah s.a.w. dalam membina karya berunsur Islam. Teori ini bersifat holistik kerana prinsip-prinsipnya melibatkan pelbagai aspek iaitu ketuhanan yang bersifat kamal, kerasulan sebagai insan kamil, keislaman yang bersifat akmal, ilmu dengan sastera yang bersifat takamul, sastera yang berciri estetik dan bersifat takmilah, pengkarya yang mengistikmalkan diri dan khalayak ke arah insan kamil.

Istikmal merujuk kepada pengkarya yang perlu melengkapkan diri mereka dengan ilmu agama, sastera dan ilmu bantu yang lain. Dalam hal ini, sastera boleh berperanan dalam menyempurnakan ilmu lain seperti sains, perubatan, kejuruteraan, geografi dan sejarah. Kebanyakan penulis mempunyai latar belakang berbeza seperti Aminah Mokhtar, seorang jururawat yang menghasilkan karya-karya berunsur agama. Karya sastera Islam yang asli bersifat lebih syumul (menyeluruh). Teori takmilah, menurut Dr Shafie, mempunyai dua komponen utama iaitu komponen falsafah dan teknik berkarya, Dr Samsina yang mengkhusus dalam Kesusasteraan Melayu khusus dalam Puisi Islam, Teori Sastera Islam (Takmilah) dan Kesusasteraan Melayu Mistik (tasawuf). Beliau berpendapat, perkembangan sastera Islam di Malaysia terbahagi kepada dua. Pertama, penulis muda yang berlatar belakang pendidikan agama yang cenderung menulis tentang Islam. Sudut kedua ialah penulis terkenal yang memilih karya berunsur Islam sesuai dengan peningkatan umur mereka. Antara hasil karya berunsur Islam ialah novel Imam oleh Sasterawan Negara Abdullah Hussin, kumpulan puisi al-Amin karya A. Samad Said yang juga Sasterawan Negara dan novel Muhammad Akhir karya Anas K. Hadi Maja.Contohnya, Shamsudin Othman dan Rahimidin Zahari yang aktif melahirkan puisi Islam serta Faisal Tehrani dengan genre cerpen dan novel menunjukkan kesedaran yang tinggi dalam kalangan penulis muda. Sastera Islam perlu lebih fokus kerana ia membabitkan ilmu agama, fardu ain dan fardu kifayah. Penulis sastera Islam mempunyai tugas berat kerana setiap karyanya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Soal agama bukan perkara yang boleh dipermain-mainkan. Latar Belakang Teori dan Pendekatan Takmilah Teori dan pendekatan Takmilah kini sudah menjangkau usia hampir 16 tahun iaitu apabila ia mula diperkenalkan oleh Dr Shafie bin Abu Bakar pada 29 hingga 31 Oktober 1992. Pada awalnya beliau tidak menggunakan istilah Takmilah tetapi menggunakan tajuk Sastera Islam: Teori Pengindahan dan Penyempurnaan dalam Rangka Tauhid. Kertas kerja ini dibentangkan dalam satu seminar anjuran Dewan Bahasa dan Pustaka di Port Dikson. Lanjutan daripada itu beliau telah menjelaskan idea mengenai teori Takmilah dalam Seminar Antarabangsa Kesusasteraan Melayu anjuran Universiti Kebangsaan Malaysia dengan kerjasama Dewan Bahasa dan Pustaka pada 5 hingga 8 September 1993. Beliau membentangkan kertas kerja yang bertajuk Teks Hadiqat al-Azhar wa al-Rayahin: Sebagai model Sastera Islam. Dr Shafie Abu Bakar menggunakan istilah Takmilah dengan pengolahan teks yang dipilih tetapi bukan sebagai judul utama kertas kerja. Penggunaan istilah Takmilah sebagai judul kertas kerja dikemukakan oleh beliau dalam satu Nadwah Sastera Islam Antarabangsa , juga dianjurkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada 1 hingga 3 Disember 1993. Kertas kerja itu bertajuk Takmilah: Teori Sastera Islam. Kertas kerja ini disiarkan dalam majalah Dewan Sastera terbitan bulan Ogos dan September 1994. Aplikasi teori ini kemudianya telah dilakukan oleh Dr Shafie Abu Bakar terhadap kumpulan

puisi Kau dan Aku karya A. Aziz Deraman dengan judul Kau dan Aku: Analisis Takmilah. Ia dijadikan esei kritikan dan disiarkan dalam majalah Dewan Sastera keluaran bulan Januari 1995, seterusnya beliau terus mengaplikasi teori Takmilah dengan menganalisis puisi-puisi melayu moden berunsur tasawuf hingga beliau menamatkan pengajian peringkat Ph.D pada tahun 1996. Penerapan dan aplikasi teori ini terus dilakukan hingga kini menjadi projek penyelidikan pelajar pada peringkat Bachelor, Sarjana, dan Doktor Falsafah sama ada di Universiti Putra Malaysia, Universiti Malaya malah di Universiti Kebangsaan Malaysia sendiri. Menurut Dr Shafie Abu Bakar teori Takmialh yang dibina secara berhubung rapat dengan falsafah dan prinsip-prinsip keislaman adalah bersifat syumul (menyeluruh) dan holistik. Sifat syumul dijelaskan iaitu ia mesti bertolak dari falsafah tauhid yang bersifat doktirinik yang kukuh dalam islam. Dari sifat Kamal Allah yang menjadi unsur bagi Takmilah sebagai elemen mendidik dan tajmilah (keindahan/estetik) sebagai elemen seni dan sastera yang meningkatkan martabat insan seperti yang tergambar pada sifat Rasulullah S.A.W. Beliau menegaskan ada dua komponen utama iaitu Komponen Falsafah yang mewarnai nilainilai seperti kebaikan, kebenaran, kemulian, dan ketinggian serta Komponen Seni yang mewarnai karya melalui teknik-teknik berkarya itu sendiri. Kedua-dua komponen ini merangkumi nilai baik dan buruk yang ditegaskan dalam teori ini adalah sebagai pendorong Dr Shafie Abu Bakar . Beliau juga mengenengahkan nilai-nulai yang tidak diketemui dalam teoriteori kesusasteraan yang terdahulu agar dapat digunakan dalam menganalisis karya-karya kesusasteraan Melayu-Islam. Teori ini dikatakan bersifat holistik kerana prinsip-prinsipnya yang tujuh melibatkan segala aspek iaitu Ketuhanan, Kenabian, Keislaman, Keilmuan, Karya, Pengkarya dan Khalayak. Tujuh prinsip tersebut sebagai mana diutarakan melalui Dewan Sastera 1996 dan diperhalusi dalam kertas kerja yang dibentangkan pada tahun 2000 adalah seperti berikut: 1) Prinsip ketuhanan yang bersifat Kamal. 2) Prinsip kerasulan sebagai insan Kamil. 3) Prinsip keislaman yang bersifat Akmal. 4) Prinsip ilmu dengan sastera yang bersifat Takamul. 5) Prinsip sastera sendiri yang bercirikan estetika dan bersifat Takmilah. 6) Prinsip pada pengkarya yang seharusnya mengistikmalkan diri. 7) Prinsip khalayak bertujuan memupuk mereka kearah insan Kamil. Analisis Takmilah dalam Puisi Puncak Jihad. Kumpulan Puisi Anismas Ar Analisis puisi ini akan merujuk kepada tujuh prinsip yang berteraskan teori Takmilah yang diutarakan oleh Dr Shafie Abu Bakar dalam kumpulan puisi Anismas Ar karya Dr Hjh Samsina bt Hj Abdul Rahman yang diterbitkan oleh Universiti Putra Malaysia pada tahun 2008. 1. Prinsip ketuhanan yang bersifat Kamal

Prinsip teori takmilah dalam pengetian Dr Shafie Abu Bakar mengenal sifat Allah yang mempunyai sifat yang sempurna iaitu sifat Kamalnya. Maksud takmilah itu ialah Menyempurnakan. Dalam puisi ini penyair mencatatkan pengalamannya semasa mengerjakan haji dan sewaktu penyair hampir bertolak ke Mekah, beliau merakamkan pujian-pujian yang berbentuk doa kepada tuhan melalui bait- bait puisi tersebut yang mengagung-agungkan sifat Allah dalam puisi Muqadimah Catatan Suci Puncak Jihad Maha suci-Mu ya Quddus Maha Agung-Mu ya Azim Maha Pemurah-Mu ya Rahman Maha Pengasih-Mu ya Rahim Pabila sampai saatku ini Permudah kembaraku ke puncak jihad-Mu (2008: 1) Perasaan berserah kepada Allah ini timbul kerana penyair bersyukur kerana menjadi tetamu Allah iaitu pergi menunaikan haji yang dapat kita lihat pada bait pertama hingga bait keempat dalam puisi tersebut iaitu: Sekali telah tercatat di tangan taqdir Panggilan-Mu tiada mungkir Menjemputku sebagai tetamu-Mu Haji puncak Ketaatan ibadah (2008: 1) Penyair juga membawa pembaca dalam mengenal sifat-sifat Allah apabila merakamkan pengalaman ketika bersembahyang subuh di Masjid Nabawi melalui syair Masjid Nabawi (i) ungkapannya berikut: Alhamdulillah ya Rahman Alhamdulillah ya Rahim Alhamdilillah ya Qahhar Alhamdulillah ya Razzaq Alhamdulillah ya Kamal Hanya itu yang mengalir di bibir Lalu sujud menyerah diri Meneruskan jihad rohani-jasmani Di bumi sucimurni ini (2008: 4) Konsep kesempurnaan ini dapat kita garap apabila kita membaca tafsir Pimpinan ar-Rahman cetakan kelima dalam Surah Al Mumin ayat 64 dan 65 yang membawa maksud: Allah yang menjadikan bumi sebagai tempat penetapan untuk kamu, dan langit sebagai bumbung yang kukuh binaannya; dan ia membentuk kamu lalu memperelokkan rupa kamu, serta dikurniakan kepada kamu dari benda-benda yang baik lagi halal. Yang demikian (KekuasaanNya dan kemurkaanNya) ialah Allah, Tuhan kamu; maka nyatalah kelebihan dan kemurahan Allah, tuhan sekian alam. (1992: 1257) Dialah yang tetap hidup; tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal ugama kamu kepadaNya semata-mata. Segala puji

tertentu bagi Allah, tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekian alam. (1992: 1257) Di dasari perasaan rendah diri dan berjiwa tauhid serta mengharapkan keampunan dari Allah, penyair berdoa setelah bersolat sunat dua rakaat di Tanaeem memperlihatkan bahawa dirinya sebagai hamba yang serba kekurangan dan lemah dan mengharapkan agar tuhan memberikan perlindungan baik di dunia apatah lagi azab di alam kubur. Kita dapat menghayati syair apabila membaca syair yang bertajuk Jihad Umrah Sunat Pemula seperti berikut : Memulakan miqat di Tanaeem Dengan solat sunat 2 rakaat Diriku dan kekasihku Serta beberapa tetamu-Mu Menuju Baitul Atiq-Mu Sebelum kukitari rumah-Mu Ku angkat tangan sambil berdoa Alllah Yang Maha Agung (5X) Tiada tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya Melainkan Allah yang Maha Esa Tiada sekutu bagi-Mu Tiada tuhan memerintah segala sesuatu Segala puji untuk-Mu Dialah Tuhan Yang berkuasa atas setiap sesuatu Aku berlindung daripada kekufuran Aku berlindung daripada kemiskinan Aku berlindung daripada azab kubur (2008: 22) Pengalaman penyair sewaktu diuji dengan cuaca yang sejuk ketika di Arafah sehingga menukarkan suasana yang panas menjadi sangat sejuk memberi kesan kepada pembaca bahawa kuasa Allah menentukan segalanya, penyair berdoa dengan menyebut sifat-sifat Allah serta menyerahkan segalanya kepada takdir. Syair Doa di Bumi Arafah-Mu pada bait 10 hingga 20 seperti berikut: Apa yang termampu Kupohon pada-Mu Hidup dan matiku Hanya untuk-Mu Hanya kerana-Mu Ya Aziz Ya Qahhar Ya Malik Ya Khaliq Aku redha dengan jihat ini Aku pasrah dengan taqdir-Mu (2008: 52) Di halaman yang terakhir syair ini iaitu pada halaman 67, penyair banyak memanjatkan syukur

kepada Allah kerana segalanya cita-citanya untuk menyempurnakan rukun Islam kelima telah dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya dihamburkan dengan kata-kata yang penuh kesyukuran . Diri kembali ke fitrah suci Berkaca-kaca bercahaya-cahaya Meliputi rohani jasmani Meliputi rohani jasmani Meliputi akal dan jiwa Mentakmilah puncak jihad ini Alhamdulillah Moga jihad ini bukanlah Al-khatimah hakiki Masih terhimpun redupnya cinta abadi Masih menggunung tingginya kasih sejati Masih menguntum mawar saying hakiki Buat-mu Ya Ilahi Rabbi Buat-mu Ya Ilahi Rabbi Maha suci Maha suci Maha suci Maha suci Maha suci Maha suci (2008: 66-67) 2. Prinsip Kerasulan sebagai Insan Kamil Menurut Dr Shafie Abu Bakar, teori takmilah juga mempunyai pertalian dengan Rasulullah sebagai insan Kamil yang bererti manusia sempurna dalam falsafah pemikiran Islam bermaksud tergabung tiga-tiga konsep ideal keinsanan iaitu insan Kamil, insan Khalifah dan insan Rabbani (Dewan sastera, 1996:28). Ketiga-tiga konsep ini terbukti dalam sejarah Islam dimiliki oleh baginda Rasulullah yang mendapat gelaran al-Amin (yang jujur dan yang benar), al-Mustafa (yang terpilih) dan habibullah (kekasih Allah). Rasullullah sebagai insan khalifah merupakan seorang pemimpin, pentadbir, hakim dan panglima perang. Baginda mempunyai peribadi yang mulia dan akhlak yang terpuji dengan segala sifat yang istimewa (mukjizat) dari baginda kecil hingga ke saat kewafatannya (Samsina Abd. Rahman, 2001: 17) Penyair membawa tumpuan para pembaca dengan meletakkan puji-pujian kepada Rasulullah dalam syairnya yang bertajuk Masjid Nabawi (i) di mana beliau telah berselawat dan memujimuji baginda sebagai insan kamil : Setinggi-tinggi salawat buat kekasih-Mu Ya Rasululah penuh kemulian Ya Rasululah penuh kebekatan Ya Rasululah penuh kekamilan

Kecintaan penyair terhadap Rasulullah dapat kita perhatikan dalam menafsir syair beliau yang mana penyair melafazkan selawat dan salam kepadanya dan memohon syafaat daripada rasulnya pada hari kiamat nanti, ini jelas menunjukkan kepada kita bahawa penyair amat memahami konsep insan kamil yang dibawa dalam teori ini. Penyair melahirkan perasaannya melalui syair Masjid Nabawi (v) dan Masjid Nabawi (vii) Selawat dan salam Buat ya kekasih Allah Selawat dan salam Buatmu ya insan al-Kamil Selawat dan salam Buatmu ya rasul terakhir Kupohon Syafaat darimu di sana nanti Amin Amin ya Rabbal alamin (2008: 9) Di sini Mulut seakan terkunci untuk yang lain Bibir mengalir zikir Bibir mengalir tasbih Bibir mengalir tahmid Bibir mengalir takbir Bibir meluncur salawat dan salam Bibir meluncur salawat dan salam Buat Nabi Junjungan Habibullah-Mu Segala cinta dan rinduku Hanya untuk-Mu ya Allah Hanya untukmu ya kekasih Allah Terimalah cinta dan jihad ini Terimalah cinta dan jihad ini Terimalah cinta dan jihad ini (2008: 11) Perasaan kasih dan sayang kepada Rasulullah bukan sahaja dengan baginda sahaja malah dengan seluruh kaum kerabatnya. Sewaktu melawat kawasan pemakaman keluarga dan sahabat Rasulullah dan digambarkan dengan ingatan bahawa nabi sering berdoa keampunan terhadap mereka di perkampungan Baqi, ini menunjukkan keistimewaan Rasul yang sentiasa berdoa demi kesejahteraan seluruh umatnya. Sayang Rasulullah terhadap umatnya dipaparkan dalam sirahnya , ketika hampir ajalnya nabi masih menyebut umatku,umatku, begitu sayangnya Rasulullah terhadap umatnya. Perasaan cintakan nabi dan keluarganya di interpitasikan dalam syair Al-Baqi al-Tayyibah Di samping rumah-Mu Di sisi rumah kekasih-Mu

Telah bersemadi jasad-jasad suci Di pemakaman Baqi Antaranya ahlul bait, keluarga Rasulullah (2008: 25) 3. Prinsip Keislaman yang Bersifat Akmal Melalui prinsip ketiga teori Takmilah, Dr Shafie Abu Bakar (1996:29) ingin menjelaskan bahawa islam adalah sebagai agama yang sempurna dan mampu menyempurnakan segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek bersastera. Karya yang terhasil dapat memainkan peranan kepada individu dan seluruh masyarakat agar dapat mempraktikkan segala ajaran Islam . Jelas beliau kesempurnaan Islam bukan sahaja mengenai konsep keimanan sahaja tetapi tentang praktik amalan dan mematuhi segala syariat Islam. Dalam Kumpulan Puisi Puncak Jihad ini jelas tergambar tentang pengalaman penyair sewaktu menunaikan haji yang dipenuhi dengan sembahyang, doa, selawat dan segala rukun ibadah haji yang lain akan kita lihat dengan contohcontoh syair beliau di bawah ini. Penyair memanjatkan kesyukuran beliau dalam syair Kota Makkah Al-Mukarramah setelah menjejakkan kaki ke Makkah, pengucapan kalimah syahadah juga memperjelaskan asas rukun Islam yang pertama diucapkan oleh beliau, bait-bait syairnya seperti berikut: Menjejak bumi penuh kesucian ini Merasai bumi penuh keberkatan ini Menjamah bumi penuh kemuliaan ini Bibir mengalir tahmid Bibir mengalir tasbih Bibir mengalir takbir Dua kalimah syahadah terluah Dua kalimah syahadah tercurah Tiada kalimah yang lain terukir (2008: 18) Amalan bertawaf di Kaabah juga diperlihatkan oleh penyair sewaktu selepas menunaikan solat Maghrib dan Isyak dilihat dalam syair yang bertajuk Lorong-lorong Jihad. Menunjukkan kepatuhan beliau kepada suruhan Allah. Menuju ke pintu Malik Abdul Aziz Menyahut pangilan suci-Mu Menyahut seruan suci-Mu Meneruskan kembara jihad rohani jasmani Selepas Maghrib dan Isyak Kukitari Baitul Atiq-Mu Kukitari rumah-Mu ya Allah Kukitari Kaabah-Mu ya Rahman Kukitari Baitullah-Mu ya Rahim (2008: 21) Bermiqat di Tanaeem jelas digambarkan dalam syair Jihad Umrah Sunat Pemula. Penyair dan suaminya bermiqat dan solat sunat dua rakaat sebagai langkah mula menunaikan umrah.

Memulakan miqat di Taneeem Dengan solat sunat 2 rakaat Diriku dan kekasihku Serta beberapa tetamu-Mu Menuju Baitul Atiq-Mu (2008: 22) Amalan bersaie juga diceritakan dalam rakaman pengalaman penyair sewaktu mengerjakannya dan ia merupakan salah satu rukun haji dapat kita lihat dalam syair yang bertajuk Ketika Bersaie Aku Bermunajat. Sesungguhnya safa dan marwah itu Sebahagian daripada syiar (lambang) agama Allah Maka sesiapa yang menunaikan ibadat Haji ke Baitullah atau mengerjakan umrah Maka tidaklah menjadi salah ia Bersaie (berulang-alik) di antara kedua-duanya (2008: 24) 4. Prinsip Ilmu Dengan Sastera Yang Bersifat Takamul Konsep Takmilah boleh dilihat dalam hubungan sastera dengan ilmu yang mempunyai pertalian dengan fakulti diri yang penting khususnya akal dan hati. Dalam Islam, diterima bahawa akal adalah alat yang paling utama bagi mencapai keilmuan. Karya sastera dalam Islam bukan sahaja berbentuk hiburan tetapi boleh menyampaikan mesej pendidikan kepada pembaca dan yang pentingnya ia bukanlah sesuatu yang dibaca semasa senggang tetapi boleh mendidik serta mengingatkan kebesaran Allah S.W.T . Bagi membicarakan tentang prinsip keempat ini teori Takmilah dilihat dari hubungan puisi sebagai genre dan ilmu sastera dengan sejarah Islam khususnya Nabi Muhammad S.A.W, keluarganya, Nabi Ibrahim dan Keluarganya, tempattempat bersejarah, ilmu perubatan, keagamaan dan kerohanian. Sejarah kerasulan Nabi Muhammad S.A.W cuba dibangkitkan oleh penyair dimana beliau terkenang akan sirah wahyu yang diturunkan kepada Baginda semasa sembahyang di Masjid Nabawi ini kita dapat lihat dalam syair Raudhah Al-Mutahharah. Selepas solat subuh Aku ke taman syurga-Mu Taman penuh kemuliaan Raudhah penuh kesucian Raudhah penuh keberkatan Terkenang detik turunnya Wahyu kekasih-Mu (2008: 6)

Proses kerasulan nabi-nabi jelas digambarkan dalam Surah An-Nahl ayat kedua yang dilihat proses kerasulan melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat, petikan ini diambil dari tafsir ArRahman; Ia menurunkan malaikat membawa wahi dengan perintahNya kepada sesiapa yang dikehendakinya dari hamba-hambaNya (yang layak menjadi Rasul); (lalu ia berfirman kepada Rasul-rasulnya); Hendaklah kamu menegaskan kepada umat manusia bahawa tiada Tuhan melainkan Aku. Oleh itu, bertakwalah kamu kepadaKu (1993: 629) Unsur-unsur perubatan juga didapati dalam syair Sumur Zamzam-Mu. Penyair menyatakan tentang kebaikan air zam-zam sebagai penawar, penyembuh dan azimat kepada segala penyakit . Air Zam-zam juga dikatakan sebagai air yang penuh khasiat. Zamzam-Mu Adalah penawar-penyembuh-azimat Adalah minuman penuh khasiat Tak terbandingkan Tak tertandingkan (2008: 28) Penyair juga tidak ketinggalan dalam menceritakan tentang sejarah yang terdapat di sana semasa mengejakan haji . Penyair cuba membawa pengalaman beliau menerusi syair Bukit Kasih Sayang-mu mengenai tempat pertemuan Nabi Adam dan isterinya Siti Hawa. Setelah menerima kaffarah-Mu Adam dan Hawa dipertemu Di Jabal Rahmah-Mu Penuh mesra Penuh makna Mencatat sejarah di bumi Arafah (2008: 34) Apabila penyair menjejakkan kaki ke Hudaibiyah beliau teringat tentang perjanjian Hudaibiyah yang menjadi punca perdamaian antara Islam dan Kaum Quraisy ini menjadi titik tolak jatuhnya Kota Makkah ke tangan orang-orang Islam, menerusi syair Hudaibiyah dan Janji-Mu. Menjejak bumimu Hudaibiyah Terpandang kebijaksanaan Rasulullah Menghantar Uthman Affan Berunding dengan Suhail Amru Di bawah Baiah al-Ridwan Termeteri perjanjian Hudaibiyah Mencipta perdamaian Islam-Quraisy Mencipta keharmonian tanpa perang

Setiap warga Arab bebas memilih Islam atau penyembah berhala Di sini dalam lawatan ini Hanya tinggal sisa-sisa sejarah (2008: 40) 5. Prinsip Sastera Sendiri yang Berciri Estetik dan Bersifat Takmilah Menurut Shafie abu Bakar (1996: 29-30), prinsip ini dilihat dari dua aspek keindahan lahiriah dan keindahan maknawi. Aspek keindahan lahiri menyentuh soal teknik, bentuk, struktur dan gaya bahasa yang dapat dilihat secara luaran. Manakala aspek keindahan maknawi pula merujuk kepada mesej, pemikiran, sudut pandangan, dan falsafah yang tersirat di dalamnya. Tegasnya, prinsip ini menjurus kepada proses penciptaan dan pembinaan karya sastera secara kreatif, indah dan sempurna baik dari aspek dalaman mahupun luaran. Hasil analisis terhadap puisi Puncak jihad ini kita dapati terdapat unsur penggunaan bahasa Arab ini kerana penyair banyak menggunakan laras bahasa doa yang sinonim penggunaannya di kalangan masyarakat melayu khasnya. Misalnya penggunaan bahasa Arab seperti berikut: 1. Maha suci-Mu ya Quddus (2008: 1) 2. Subahanallah Maha suci-Mu ya Allah (2008: 2) 3. Akhirnya kami menjejaki kota Tayyibah (2008: 3) 4. Alhamdulillah ya Rahman (2008: 4) 5. Raudhah penuh keberkatan (2008: 6) 6. Ya Rabbi (2008:8) 7. Amin ya Rabbal alamin (2008: 14) 8. Al-khatimah hakiki (2008: 67) Penyair juga gemar menggunakan teknik perulangan dalam syair-syairnya ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam memohon keampunan dari tuhan dan doa kepada anak-anaknya dapat kita lihat dalam syair-syairnya. Teknik perulangannya seperti berikut: 1. Aku datang menyahut panggilan-Mu ya Allah (2008: 2) 2. Hamba datang menyahut panggilan-Mu (2008: 2) 3. Terimalah cinta dan jihad ini (2008: 11) 4. Aku datang menyahut panggilan suci-Mu (2008: 17) 5. Maha Suci Allah Yang Esa (2008: 19) 6. Allah Yang Maha Agung (2008: 22) 7. Jadikan mereka anak-anak yang soleh (2008: 42) 8. Moga hajiku haji yang mabrur (2008: 63) 9. Buat-Mu Ya Ilaahi Rabbi (2008: 67) 10. Maha suci (2008: 67) Penyair juga mengunakan unsur-unsur gaya bahasa yang menarik dalam menghiaskan syairnya supaya menarik dibaca. Penggunaan metafora digunakan untuk mengindahkan dan memberi kesan yang baik dalam syair beliau.

Kota penuh kemuliaan Sejuta laut kesyukuran Sejuta laut pujian ((2008: 3)

Dalam mendaki puncak jihad ini Sujud sejuta kesyukuran Lantaran peluang terbentang Menziarahi taman syurga-Mu Menyerahdiri keedilfakir Mengabdi setaat seikhlasnya Mengalunkan kalam-kalam-Mu Di taman syuarga ini Bersama mutiara-mutiara jernih Menuju puncak insaf Memasuki pinti taubat Menyelami mada hakikat (2008: 6) Lemas dalam lautan manusia (2008: 13) 6. Prinsip Kepada Pengkarya yang Seharusnya Mengistikamalkan Diri Penghasilan karya sastera Islam yang sempurna lagi menyempurnakan akan terhasil sekiranya pengkarya melengkapkan diri dengan menguasai ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu berhubung dengan sastera. Ilmu-ilmu keislaman dan merujuk bukan sahaja bersifat asas malah yang khusus dan mendalam serta seterusnya menerapkannya ke dalam kehidupan seharian. (Dr Shafie Abu Bakar, 1996: 30). Menurut Muhammad Kamal Hasan menjelaskan bahawa sastera Islam perlu lahir daripada sasterawan yang mempunyai jiwa keislaman. Ilmu-ilmu Islam yang terdapat dalam jiwa penyair akan memberinya ruang yang baik dalam menjiwai karya-karya yang berunsur keislaman. Penyair dalam karya ini merupakan dibesarkan dalam satu keluarga yang mengamalkan dan mempratikkan ajaran Islam dimana ayahnya seorang tokoh pendakwah yang terkenal di kawasannya, telah berjaya meniupkan roh keislaman kepada setiap anak-anaknya. Penyair banyak mempraktikkan segala ajaran oleh ayahandanya dalam bicara puisinya. Penyair juga pakar dalam ilmu kesusasteraan Islam di mana dalam tesis Ph D, beliau telah menggunakan

teori Takmilah yang dikemukakan oleh Dr Shafie Abu Bakar untuk menganalisis unsur-unsur tasawuf dalam puisi-puisi Melayu moden di Malaysia dan Indonesia sepanjang dekat 1970 hingga 1990. contoh-contoh syair yang membuktikan pengarang telah mengistikmalkan dirinya dengan segala ilmu yang perlu dalam menghasilkan puisi Puncak Jihad ini ialah: Maha Suci-Mu ya Quddus Maha Agung-Mu ya Azim Maha Pemurah-Mu ya Rahman Maha Pengasih-Mu ya Rahim Pabila sampai saat ini Permudahkan kembaraku ke puncak jihad-Mu (2008: 1) Alhamdulillah ya Rahman Alhamdulillah ya Rahim Subhanallah ya Qahhar Subhanallah ya Razzaq Subhanallah ya Kamal (2008: 4) Buatmu ya Rasul terakhir Kupohon Syafaat darimu di sana nanti Amin amin ya Rabbal alamin (2008: 9)

Satu lagi ciptaan-Mu perlu diperhati di Baitul Atiq Hajar Aswad-Mu Yang menjadi hitam lantaran Dosanoda umat-Mu Ya Allah bersihsucikan diri sesuci-sucinya (2008: 27)

Penyair juga seorang anak, seorang isteri dan seorang ibu sentiasa menginginkan kesejahteraan buat kaum keluarganya, tidak berhenti-henti berdoa agar rahmat Allah sentiasa menyelubungi diri dan keluarganya. Pengistikmalan diri dapat digarap dalam doa-doa nya seperti berikut: Demi melangit luas Rahmat dan kasih sayang-Mu Jadikan diriku muslimat sejati Jadikan diriku isteri terpuji

Jadikan diriku ibu mithali Jadikan diriku hamba hakiki Amin Amin ya Rabbal alamin (2008: 8)

Daku berdoa sekhusyuknya Ampunilah segala dosaku Ampunilah segala dosa ibubapaku Ampunilah segala dosa putera-puteraku Ampunilah dosa seluruh umat Islam (2008: 14) Ku pohon Moga cinta kasih sayangnya Kekal seabadi cinta-Mu Kerana aku dan dia adalah Milik-Mu jua Amin (2008: 20) 7. Prinsip Khalayak bertujuan memupuk Mereka ke Arah Insan Kamil Prinsip akhir teori Takmilah adalah menentukan penghasilan sesebuah karya sastera perlu sampai kepada khalayak dan ia benar-benar serasi dengan kehendak dan kepentingan sastera Islam. Matlamat dalam prinsip terakhir ini adalah bertujuan untuk memupuk khalayak pembaca ke arah pembentukan insan kamil iaitu mencontohi peribadi terpuji dan akhlak mulia baginda Rasulullah S.A.W. Penyajak telah berjaya merakamkan karyanya semasa beliau dan suaminya menunaikan haji, dalam catatan pengalaman semasa mengerjakan haji itu beliau telah berjaya meluahkan perasaan kecintaannya terhadap Allah, Rasulnya. Segala luahan perasaan telah diterjemahkan dalam karyanya yang diberi nama Puncak Jihad ini jelas tergambar apabila kita membaca setiap baitbait sajaknya yang penuh dengan doa-doa memohon keampunan dari Allah. Kepakaran dan kefahaman penyair terhadap teori Takmilah ini membawa para pembaca dapat menghayati teori ini dengan lebih jelas apabila saat mula membaca hinggalah selesai. Tidak terlalu sukar untuk kita memahami tentang teori ini kerana hampir setiap syairnya mengandungi terjemahan teori ini. Catatan pengalaman beliau dari saat mula untuk menunaikan fardu haji tersusun hinggalah beliau selesai menunaikannya amat menarik perhatian pengkaji apabila catatan dibuat hampir setiap hari dengan penuh teliti.seperti membaca sebuah novel. Tegasnya karya ini memiliki sifat memupuk pembaca ke arah menjadi insan kamil bukan sahaja

kerana teorinya tetapi jiwa penyair yang mempraktiknya dalam mengerjakan ibadah haji amat mengkagumkan pengkaji. Kesimpulan Hasil analisis terhadap syair Kumpulan puisi Anismas Ar Puncak Jihad ini mendapati bahawa segala elemen-elemen yang terdapat dalam teori Takmilah terdapat dalam sajak ini dan ia berjaya mengungkapkan konsep kesempurnaan dalam karya ini. Justeru dengan itu dapat dikatakan kumpulan syair (Puncak Jihad) ini boleh dikategorikan sebagai sebuah karya sastera Islam, kerana menepati konsep Takmilah. Keakuran dan kesebatian penyair dengan ajaran Islam jelas menunjukan bahawa karya yang dihasilkan bukannya suatu karya yang cuba dibuat-buat kerana tanpa kefahaman tentang ajaran Islam yang mendalam, tidak memungkinkan pengkarya boleh menghasilkan suatu karya sebaik ini. Prinsip Ketuhanan yang Bersifat Kamal (sempurna) telah dibawa dengan cukup jelas dan baik dalam hasilan beliau, di mana banyak hasilan dari syair ini memuji-muji Allah dengan memperlihatkan sifat-sifat Allah yang amat sempurna melalui doa-doa penyair yang mengharapkan keampunannya. Prinsip Kerasulan Sebagai Insan Kamil juga dapat kita lihat dengan jelas dalam karya ini. Kecintaannya terhadap Rasulullah dapat dibuktikan dalam doanya dan memohon agar diberi syafaat di akhirat nanti. Perasaan kagumnya juga terhadap kecekalan nabi Ibrahim dan anaknya Ismail yang ikhlas mengabdikan diri dan sanggup berkorban untuk mendapat keredaan Allah . Prinsip Keislaman yang Bersifat Akmal juga berjaya diterapkan dalam karya ini, di mana penyair berjaya mempraktikkannya dalam mengerjakan ibadat haji seperti bersembahyang, berdoa, berzikir, dan segala rukun haji diterangkan di dalamnya dan ia menepati ciri-ciri insan Kamil. Prinsip Ilmu Dengan Sastera yang Bersifat Takamul yang tertumpu kepada konsep ilmu sastera yang dapat menyempurnakan ilmu-ilmu lain boleh kita lihat dalam syair tersebut contohnya terdapat sirah Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Nabi Adam, perjanjian Hudaibiyah serta ilmu sains tentang kebaikan atau kegunaan air Zamzam yang boleh menjadi penayar segala penyakit. Prinsip Sastera Sendiri yang Berciri Estetik dan Bersifat Takmilah dilihat dari aspek keindahan lahiran dan maknawi. Penyair berjaya menghiasi hasilannya dengan cara yang cukup puitis dengan menggunakan pelbagai teknik gaya bahasa yang baik supaya pembaca dapat menghayati keindahan syairnya. Prinsip Kepada Pengkarya yang Seharusnya Mengistikamahkan Diri dapat kita fahami apabila membaca puisi tersebut dan disitulah terbitnya kefahaman pembaca terhadap pengetahuan dan keilmuan penyair terhadap ajaran Islam. Sesungguhnya kefahaman tentang Islam telah meresapi setiap bait-bait syairnya. Prinsip Khalayak Bertujuan Memupuk Mereka ke Arah Insan Kamil telah berjaya diselitkan

dalam karya ini dengan sempurna, ini kerana penyair telah berjaya membuka minda pengkaji dan juga pembaca dengan menerapkan perasaan kecintaan terhadap Allah dan Rasulullah, serta berjaya mempraktikkan dengan amalan-amalannya. Kesimpulannya syair Puncak Jihad memiliki ciri-ciri yang sempurna yang melayakkannya dikategori sebagai sebuah karya sastera Islam kerana terdapat elemen-elemen tauhid, syariat,akhlak dan ilmu-ilmu lain.

Bibliografi Samsina Abd Rahman.Puncak Jihad (Kumpulan Puisi Anismas ar).Selangor: Universiti Putra Malaysia, 2008. SheikhAbdullah Basmeh. Tafsir Pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian Al-Quran. Kuala Lumpur : Bahagian Hal Ehwal Islam Jabatan Perdana Menteri, 1992. Mohamed Anwar Omar Din. Sastera Islam Citra Nurani Ummah.Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2005.http://akumelayutulen.blogspot.com/2009/04/analisis-teori-takmilah-bukupuncak.html

TEORI TAKMILAH

Teori Takmilah diperkenalkan oleh Dr.Shafie Abu Bakar, pensyarah di Jabatan Persuratan Melayu (JPM) Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1993. Teori ini dianggap satusatunya teori sastera Islam di Malaysia yang memberi penekanan analisis dan kritikan bersandarkan secara langsung kepada konsep tauhid. Kemunculan teori ini telah membuka jalan alternatif kepada para sarjana dan pengkritik untuk melakukan kajian, analisis, ulasan dan kritikan berasaskan prinsip-prinsip keislaman. Kritikan sastera berasaskan teori-teori Barat selama ini masih gagal untuk menghubungkan satu pertalian yang bermakna di antara pengkarya, karya dan khalayak dengan pencipta. Kritikannya lebih bersifat luaran dan konseptual tanpa menjurus kepada paksi penglahiran karya secara ma'nawi. Teori Takmilah muncul hasil daripada pembentangan beberapa siri kertas kerja yang membincangkan teori dan konsep sastera Islam. Pada peringkat awal satu kertas kerja telah dibentangkan oleh Shafie berjudul `Sastera Islam : teori pengindahan dan penyempurnaan dalam rangka tauhid` di Port Dickson pada 29 - 31 Oktober 1992 (Shafie Abu Bakar, 1997). Walau bagaimanapun, istilah Takmilah tidak muncul sebagaimana yang difahami hari ini. Perbincangan umum dalam kertas kerja itu, ternyata telah membuahkan idea kepada Shafie untuk mengagaskan satu kerangka teori yang boleh digunakan sebagai landasan kritikan dan analisis karya. Istilah `Takmilah` hanya disebut dan diketengahkan sebagai satu gagasan apabila Shafie membentangkan kertas kerja berjudul `Takmilah: teori Sastera Islam` sempena Nadwah Sastera Islam antarabangsa, anjuran Dewan Bahasa Pustaka (DBP) pada 1 - 3 Disember 1993. Untuk menguat dan mengukuhkan Takmilah sebagai sebuah teori yang dapat menampuh keberhasilan analisis dan kritikan karya, aplikasi pertama telah dilakukan oleh Shafie ke atas kumpulan puisi Kau dan Aku oleh A.Aziz Deraman dan hasilnya telah dibentangkan pada majlis Diskusi Buku Sempena Minggu Sastera Malaysia 1994 di Dewan Bahasa dan Pustaka. Bagi mengukuhkan kerangka teori, Takmilah telah diberikan beberapa prinsip untuk mengangkat legitemasinya (Abdul Halim Ali,1997). Takmilah dibina atas kepercayaan yang didasarkan kepada konsep kesyumulan. Shafie percaya, segala aspek dan bidang kehidupan manusia terangkum dalam lingkungan tauhid. Sempadan tauhid menjadi garis pemisah yang akan memaknakan sesuatu karya di sisi Takmilah. Oleh itu, bidang sastera yang teradun di dalamnya unsur estetika tidak terkecuali dari ketauhidan ini. Aspek ketauhidan yang memuncakkan kesyumulan itulah menjadi falsafah kepada pembinaan teori Takmilah. Takmilah boleh dianggap satu teori yang bersifat universal yang merangkumkan semua aspek kepengarangan ke dalam acuan Islam. Takmilah menuntut, semua pihak yang berada dalam lingkungan sastera menyedari bahawa, sastera itu sebagaimana juga bidang lain dalam Islam, mempunyai fungsi pelengkap yang akan melengkapkan jati diri keIslaman pada diri seseorang pengarang Islam dan karya yang dihasilkannya. Dengan kata lain, Takmilah

menyempurnakan sifat keislaman menerusi sastera. Dalam Islam, sastera bukan sesuatu yang wajib, tetapi hanya merupakan suatu keperluan yang boleh ditunaikan padanya beberapa tuntutan-tuntutan agama. Dalam hal ini, menunaikan tuntutan Islam itu merupakan suatu kewajipan yang akan mengangkat segala bentuk aktiviti dalam sastera itu sebagai suatu ibadah. Dan, dalam Islam semua ibadah itu disyariatkan hanya kerana Allah, sebagaimana ungkapan lafaz dalam doa Qunu` yang bermaksud sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya kerana Allah. Oleh itu, kegiatan sastera, baik yang melibatkan pengarang, teks dan khalayak semestinya bertali arus dan berkait secara berangkai dengan Allah. Takmilah membuka ruang kepada para pengarang, teks dan khalayak agar dapat diterima hasilnya sebagai sesuatu yang haq dan bernilai (berpahala) di sisi Allah. Sebagaimana bidangbidang lain yang berangkaian dengan Islam, maka sastera juga tidak terkecuali. Oleh kerana itu Takmilah bertitik tolak daripada asas yang meyakini bahawa semua manusia (temasuk pengkarya/penulis) itu mempunyai tanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak akan sempurna sifat kepengkaryaan seseorang pengkarya itu, melainkan berusaha untuk membawa karyanya ke tahap yang boleh diterima Allah sebagai ibadah. Oleh itu, sandaran pengkaryaan mengikut teori Takmilah ialah Tauhid. Yakni menanggapi bahawa pengarang, karya dan khalayak tidak boleh memisahkan diri dari lingkungan syariat Allah S.W.T. dan Rasul-Nya. Asas teori ini amat relevan dengan kehendak Allah supaya semua manusia memilih Islam sebagai satu cara hidup (termasuk kegiatan sastera tadi) yang akan diterima oleh-Nya. Barang siapa mencari agama lain selain Islam maka tidak akan diterima agama itu dan sia-sia di sisi Allah. Firman Allah (Bermaksud); `Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterma (agama itu) daripadanya dan di akhirat kelak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang rugi'- Surah alImran, Ayat 85. Oleh itu, sastera hadir dalam masyarakat semestinya sastera yang menjurus kepada Allah. Segala aktiviti kepengarangan semestinya tidak terkeluar dari landasan Islam, maka dengan itu, hasilnya akan menemukan hakikat kesempurnaan yang akan melengkapkan sebahagian daripada tuntutan iman pada diri pengarang, teks dan khalayak di sisi Allah S.W.T. Selain menetapkan asas kesyumulan Islam yang menunjangi segala kegiatan sastera, Takmilah juga mengangkat ilmu sebagai sebagai satu media yang akan merealisasikan segala bentuk kegiatan sastera. Untuk mencapai matlamat ketauhidan dalam Sastera ini, maka ilmu menjadi keperluan yang paling asasi di samping sifat kreatif pengkarya itu sendiri. Takmilah menuntut seseorang pengarang memiliki ilmu. Menerusi ilmu ini, seseorang pengarang akan dapat menemukan keagungan Allah, Kekuasaan-Nya dan apa jua yang menjadi tanda-tanda kewujudan Allah di dunia ini, kisah-kisah para Rasul, Sahabat, pejuang-pejuang Islam dan sebagainya dalam karya-karya mereka. Tidak akan sempurna sesebuah karya sastera itu jika hasilnya terkeluar dari prinsip-prinsip ilmu Islam, khususnya asas ilmu yang dapat membawa khalayak dan diri pengarang kepada ma'rifat Allah. Jelasnya, teori Takmilah membawa diri pengkarya, karya dan khalayak kepada sifat jati diri KeIslaman dalam erti kata sastera itu seperti mana juga bidang-bidang kehidupan yang lain tidak dapat dipisahkan hubungannya daripada Allah yang mempunyai sifat-sifat Kesempurnaan hakiki. Sedang pengarang, karya dan khalayak itu bertanggungjawab dan berusaha untuk mencapai tahap kesempurnaan Islamnya dalam sastera dengan mempertautkan semua aspek pengkaryaan kepada Allah S.W.T. Dari perspektif Islam, al-Khaliq adalah tunjang estetika yang asasi dan menjadi paksi segala

penglahiran unsur-unsur estetika di alam ini. Allah itu indah dan Allah suka kepada keindahan. Keindahan itu pula merupakan salah satu daripada sifat Allah, dan keindahan ini terpancar secara syumul merangkumi segala elemen dalam alam ini. Keindahan yang menjadi sifat Allah ini, menjadi paksi yang asasi kepada segala aspek estetika, baik yang terungkap mahupun yang tergambar dalam fikiran manusia, terlukis dan tercatat dalam karya mahupun yang tersembunyi. Unsur-unsur estetika ini sewajarnya menuju kepada kesempurnaan makna dan apreasiasi keindahan yang hakiki itu. Keindahan ini juga memancar dan membuahkan keindahan kepada aspek-aspek yang lain pula. Dalam sastera, aspek estetika menjadi tunjang yang memberi wajah keunikannya berbanding dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Aspek estetika dilihat bukan sahaja kepada binaan luaran karya sebagaimana yang dilihat oleh golongan strukturalis, tetapi turut menjangkau kepada unsur dalamannya serta linguistika bahasa yang menyelimutinya. Pelbagai teori yang kebanyakannya dilahirkan oleh sarjana Barat digunakan untuk menganalisis sesuatu karya khususnya untuik menyelongkari nilai estetika yang tersembunyi di dalamnya. Teori-teori era klasik, moden dan pascamoden yang dihasilkan bermula dari Plato dan Aristotle, teori Formalisme, Moral, Historisisme, Strukturalisme, Semiotik hingga kepada Pascastrukturalisme, Dekonstruksi terus berusaha untuk menggampai makna dan unsur estetik pada sesuatu karya. Namun, hasilnya tidak pernah menjangkau kepada al-Khaliq yang menjadi puncak keindahan. Teori-teori Barat tidak mampu menelurkan analisis yang bersifat berpaksi, sebaliknya hanya mampu menyudahkan sandaran kepada makna yang dicipta sendiri, bukannya kepada makna estetika yang hakiki. Sedihnya, para sarjana Islam turut terpengaruh dengan gagasan analisis sarjana Barat ini, sekalipun terbukti, teori-teori Barat banyak kelemahan dan tidak mampu menghasilkan analisis yang bermakna. Dalam banyak perkara, teori-teori sastera Barat langsung tidak menyumbangkan kepada peningkatan ilmu yang boleh membawa khalayak kepada mengenal puncak keindahan yang hakiki. Jauh sekali untuk membimbing khalayak kepada beriman kepada `keindahan` yang menjadi salah satu daripada sifat Allah. Teori Takmilah yang mengalurkan landasan analisis yang bersifat syumuliah yang merangkumkan semua pihak dalam sastera ialah pengkarya, karya dan khalayak kepada alKhaliq yang menjadi puncak estetik dan bersifat hakiki. Karya, dari sudut Takmilah semestinya sebuah karya yang berjaya menjalinkan satu rangkaian hubungan iman di antara pengkarya dan khalayak kepada Allah. Khalayak pula semestinya mampu meningkatkan imannya atau menghasilkan kritikan yang mampu menyedarkan khalayak lain tentang keimanan kepada Allah. Dan, pengkarya pula semestinya berusaha untuk menghasilkan karya yang dapat menimbulkan kesedaran khalayak terhadap Allah atau mencerakinkan hubungan khalayak dengan Allah. Ketiga-tiga pihak ini bergerak dalam lingkungan tauhid, sebagai sempadan yang akan memperlihatkan sifat kesempurnaannya. Dengan tidak mengabaikan unsur estetika luaran, Takmilah pergi lebih jauh menjangkau makna keindahan yang lebih kudus dan universal. Bagi Takmilah, keindahan-keindahan yang wujud dan terungkap dalam sesuatu karya tidak semestinya terbatas kepada makna luaran dan berakhir pada tafsiran yang diberikan oleh manusia, tetapi bertalian dengan keindahan hakiki yang menjadi salah satu sifat Allah. Usaha Shafie Abu Bakar melahirkan teori Takmilah bukan sahaja bertujuan untuk menyediakan landasan analisis teks yang mampu menyelongkari unsur estetika yang lebih syumul, tetapi juga untuk mengangkat teks-teks yang dihasilkan `berpahala` dan diterima Allah sebagai salah satu amal ibadah. Sebagaimana kata Mohd Kamal Hassan ` sebarang commitment sasterawan kepada

ideologi dan falsafah hidup yang lain dari Islam seperti humanisme, materialisme, sosialisme, nihilisme atau saintime dengan sendiri tidak melayakkan karya sastera itu digolong sebagai sastera yang setia kepada nilai-nilai Islam`. Jelasnya, karya sedemikian tidak berpahala dan tiada maknanya di sisi Islam. Takmilah muncul sebagai satu pendekatan tauhid untuk memaknakan teks dan mengangkatkan darjatnya di sisi Islam.http://teorisastera.blogspot.com/2009/11/teori-takmilah.html