alsa indonesia law journal

100
ACADEMIC COMPILATION ALSA INDONESIA LAW JOURNAL & ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW COMPETITION: BEST LEGAL REVIEW

Upload: alsa-indonesia

Post on 26-Jul-2016

279 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Compilation of legal writings from lecturers and law students of ALSA National Chapter Indonesia 2015 - 2016.

TRANSCRIPT

Page 1: ALSA Indonesia Law Journal

0

ACADEMIC

COMPILATION

ALSA INDONESIA LAW JOURNAL & ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW

COMPETITION: BEST LEGAL REVIEW

Page 2: ALSA Indonesia Law Journal

1

DAFTAR ISI ACADEMIC COMPILATION 2016 ALSA INDONESIA

Kata Pengantar 2

ALSA Indonesia Law Journal 4

“Ambivalensi Pengaturan Tenaga Kerja Indonesia” 5

“Penyelesaian Perselisihan Pengupahan Dalam Hubungan Industrial” 24

“Perlindungan Hukum Pekerja Perempuan di Indonesia Berdasarkan

Peraturan” 38

“Sistem Hukum Perburuhan di Indonesia” 55

ALSA LEGAL REVIEW COMPETITION: BEST LEGAL REVIEW 85

“Buramnya Garis Demarkasi Dimensi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi

Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Berorientasi

Pada Pembangunan Daerah” 86

Page 3: ALSA Indonesia Law Journal

2

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, Academic Compilation National

Board ALSA Indonesia 2015-2016 telah rampung. Academic Compilation

diharapkan dapat menjadi bukti nyata dari perkembangan akademik ALSA

Indonesia dan juga menjadi sumber pembelajaran bagi siapapun yang

membutuhkannya. Academic Compilation juga merupakan perwujudan dari Tri

Darma Mahasiswa yang merupakan kewajiban moral dari seluruh mahasiswa

yang tergabung dalam ALSA Indonesia. Besar harapan saya Academic

Compilation ini dapat memberikan efek masif dan konkrit kepada Indonesia. ALSA

Always be One! -Bayu Sri Harudito, President of ALSA Indonesia 2015-2016

Di balik seorang siswa yang berhasil, tentu terdapat guru yang baik. Untuk itulah,

kami ingin mengapresiasi pemikiran bapak ibu guru yang telah mendidik anggota

ALSA Indonesia melalui ALSA Indonesia Law Journal (AILJ). Kami harap, AILJ dapat

menjadi wadah apresiasi bagi tenaga pengajar yang telah bekerja keras mendidik

kami, anggota ALSA Indonesia. Besar harapan kami agar pemikiran-pemikiran

yang tertuang di dalam journal ini dapat memberi manfaat positif kepada

masyarakat luas. ALSA, Always be One! –Marvin Octavdio, Vice President of

Academic Activities & Training I ALSA Indonesia 2015-2016

Merupakan suatu kebanggaan bagi saya untuk dapat menyelesaikan Academic

Compilation ini. Tujuan dari pembuatan Academic Compilation ini ialah tidak lain

yaitu untuk kembali menghidupkan produk kajian hukum ALSA Indonesia,

terlebih dengan adanya ALSA Indonesia Law Journal yang merupakan bagian dari

kompilasi ini. Semoga dengan adanya pembuatan kompilasi tulisan ini dapat

bermanfaat untuk orang banyak, dan tentunya semakin mendorong ALSA

Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas karya tulis hukum dengan

menyatukan pemikiran-pemikiran kritis tiap Universitas membernya. –Adistra

Kusuma Waligalit, Vice President of Academic Activities & Training II ALSA

Indonesia 2015-2016

Page 4: ALSA Indonesia Law Journal

3

Page 5: ALSA Indonesia Law Journal

4

ALSA INDONESIA

LAW JOURNAL

Page 6: ALSA Indonesia Law Journal

5

AMBIVALENSI PENGATURAN TENAGA KERJA INDONESIA - REFLEKSI

PENGOLAHAN DAN PENGATURAN TENAGA KERJA INDONESIA

Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn

Abstract

Lack of jobs in Indonesia led to a lot of

people working abroad. The existence

of migrant workers cannot be separated

from the problems, such as; Non

Procedural TKI departure, offenses

committed by PPTKIS, institutional tug.

Unconsciousness to reflect the

occurrence of contradiction towards the

same situation (ambivalence), the

issues surrounding migrant workers,

will only lead management systems and

the setting of TKI will fall on the same

issue in the future. In these cases be

understood that the protection of the

employment abroad is closely related to

the management and control system

carried out by various parties involved

in the sending of Indonesian workers

abroad.

Key Words: Indonesian Worker - Legal

Protection - Placement of Indonesian

Worker.

Inti Sari

Terbatasnya lapangan pekerjaan di

Indonesia menyebabkan banyak angka

kerja yang bekerja ke luar negeri.

Keberadaan TKI juga tidak terlepas dari

permasalahan-permasalahan, seperti;

pemberangkatan TKI Non Prosedural,

pelanggaran yang dilakukan oleh PPTKIS,

tarik menarik kelembagaan. Ketidak

sadaran untuk merefleksi terjadinya

pertentangan terhadap situasi yang sama

(ambivalensi), terhadap permasalahan-

permasalahan seputar TKI hanya akan

membawa sistem pengelolaan serta

pengaturan TKI akan jatuh pada persoalan

yang sama dikemudian hari. Pada kasus-

kasus tersebut dipahami bahwa aspek

perlindungan terhadap penempatan

tenaga kerja di luar negeri sangat terkait

pada sistem pengelolaan dan pengaturan

yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat

pada pengiriman tenaga kerja Indonesia

keluar negeri.

Kata Kunci: Tenaga Kerja Indonesia -

Perlindungan Hukum - Penempatan

Tenaga Kerja Indonesia.

Page 7: ALSA Indonesia Law Journal

6

A. Latar Belakang

Tidak sedikit permasalahan seputar

penempatan dan perlindungan tenaga

kerja Indonesia (selanjutnya disingkat

TKI) yang bekerja di luar negeri. Setiap

tahun, lebih dari setengah juta orang

Indonesia yang berangkat ke luar

negeri.1 Permasalahan TKI juga

menjadi agenda besar pada

pemerintahan Jokowi. Sebagaimana

dilansir dalam Siaran Pers Nomor:

01/Humas PMK/I/2015 (Kementerian

Koordinator Bidang Pembangunan

Manusia Dan Kebudayaan Republik

Indonesia), menegaskan bahwa TKI-

TKI yang bermasalah harus

diselesaikan pada tahun 2015. Adapun

isi materi siaran pers tersebut

menerangkan bahwa, jumlah Warga

Negara Indonesia Overstay (WNIO)

atau Tenaga Kerja Indonesia

Bermasalah (TKIB), semakin tahun

terus meningkat perlu segera

diselesaikan oleh semua pihak, tidak

saja Pemerintah tetapi juga Instansi

terkait. Pemerintah hingga kini terus

mendata validasi jumlah tenaga kerja

yang bermasalah yang berada di luar

1 Sekitar separuh dari para pekerja tersebut berangkat ke negara-negara di Timur

Tengah. Pada umumnya mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari kota-kota kecil atau

desa-desa dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar dan pengalaman kerja yang terbatas,

dan sebagian besar mereka dipekerjakan untuk pekerjaan rumah tangga di rumah pribadi. Lihat

dalam: Bassina Farbenblum, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh

Migran Terhadap Keadilan Di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, diterbitkan oleh Open

Society Foundations, New York, Amerika Serikat, Hlm. 16-17.

negeri sekaligus menyiapkan

anggaran. Sejauh ini jumlah

WNIO/TKIB yang berada di Malaysia

sebanyak 1.250.000 orang, di Arab

Saudi 588.075 orang dan negara lain

32.073 orang. Dari jumlah tersebut,

pemerintah telah memulangkan selama

tahun 2014 WNIO dari Arab Saudi

sebanyak 20.379 orang, sedangkan

dari Malaysia sebanyak 26.428 orang.

Permasalahan klasik yaitu, terkait

dengan kelengkapan administratif juga

masih menjadi coretan merah dalam

dunia tenaga kerja. Kontradiksi antara

memperlancar proses pemberangkatan

dengan perlindungan juga masih

menjadi momok sarat kepentingan.

Pihak-pihak dalam lingkaran sistem

pengelolaan juga masih indisipliner

terhadap aturan hukum yang berlaku.

Merujuk pada latar belakang di atas,

serta ketidak sadaran untuk merefleksi

terjadinya pertentangan terdapat

situasi yang sama (ambivalensi),

terhadap permasalahan-permasalahan

seputar TKI hanya akan membawa

sistem pengelolaan serta pengaturan

TKI akan jatuh pada persoalan yang

Page 8: ALSA Indonesia Law Journal

7

sama dikemudian hari. Tulisan ini akan

mencoba mengungkap serta merefleksi

secuil persoalan-persoalan di bidang

penempatan dan perlindungan tenaga

kerja Indonesia.

B. Kilas Singkat Seputar Tenaga Kerja

Indonesia (TKI)

Campur tangan pemerintah dalam

bidang ketenagakerjaan telah

menyebabkan sifat hukum

perburuhan/ketenagakerjaan menjadi

publik serta ruang lingkup yang diatur

menjadi lebih luas, tidak hanya pada

aspek hukum pada hubungan kerja

saja, tetapi meliputi aspek hukum

sebelum hubungan kerja (pra

employment), dan sesudah hubungan

kerja (post employment) karena itulah

sangat tepat jika istilahnya disebut

dengan hukum Ketenagakerjaan.2

Tenagakerja merupakan salah satu

instrument maupun modal dalam

pembangunan nasional.Tenaga kerja

mempunyai peranan dan kedudukan

yang sangat penting sebagai salah satu

komponen pelaku untuk mencapai

tujuan pembangunan. Pembangunan

nasional dilaksanakan dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan

2 Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenaga Kerjaan Indonesia, Edisi Revisi, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.v

masyarakat Indonesia seluruhnya

untuk mewujudkan masyarakat yang

sejahtera, adil, makmur, yang merata,

secara materiil berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Pasal 1 bagian (1)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga

negara Indonesia yang memenuhi

syarat untuk bekerja di luar negeri

dalam hubungan kerja untuk jangka

waktu tertentu dengan menerima upah.

Sementara itu dalam Pasal 1 Kep.

Manakertrans RI No Kep

104A/Men/2002 tentang penempatan

TKI keluar negeri disebutkan bahwa

TKI adalah baik laki-laki maupun

perempuan yang bekerja di luar negeri

dalam jangka waktu tertentu

berdasarkan perjanjian kerja melalui

prosedur penempatan TKI. Prosedur

penempatan TKI ini harus benar-benar

diperhatikan oleh calon TKI yang ingin

bekerja ke luar negeri tetapi tidak

melalui prosedur yang benar dan sah

maka TKI tersebut nantinya akan

menghadapi masalah di negara tempat

ia bekerja karena CTKI tersebut

Page 9: ALSA Indonesia Law Journal

8

dikatakan TKI ilegal karena datang ke

negara tujuan tidak melalui prosedur

penempatan TKI yang benar.

Berdasarkan beberapa pengertian TKI

tersebut, maka dapat dikemukakan

bahwa TKI adalah setiap warga negara

Indonesia yang memenuhi syarat untuk

bekerja di luar negeri dalam jangka

waktu tertentu berdasarkan perjanjian

kerja melalui prosedur penempatan TKI

dengan menerima upah. Sedangkan

menurut Pasal 1 yang bagian (2)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

di Luar Negeri, Calon Tenaga Kerja

Indonesia adalah setiap warga Negara

Indonesia yang memenuhi syarat

sebagi pencari kerja yang akan bekerja

di luar negeri dan terdaftar di instansi

pemerintah kabupaten/kota yang

bertanggungjawab di bidang

ketenagakerjaan.

Terkait perlindungan terhadap

penempatan tenaga kerja di luar negeri

sangat terkorelasi pada sistem

pengelolaan dan pengaturan yang

3 Penempatan TKI ke luar negeri, merupakan program nasional dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya serta pengembangan kualitas

sumber daya manusia.penempatan TKI dalam program antar kerja antar negara (AKAN),

dilakukan dengan memanfaatkan pasar kerja internasional melalui peningkatan kualitas

kompetensi tenaga kerja dengan perlindungan yang optimal sejak sebelum keberangkatan,

selama bekerja di luar negeri sampai tiba kembali di Indonesia. Lihat dalam: Mohd. Syaufii

Syamsuddin, 2004, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Penerbit Sarana Bhakti

Persada, Jakarta, hlm. 34.

dilakukan berbagai pihak yang terlibat

pada pengiriman tenaga kerja

Indonesia keluar negeri. Untuk langkah

penempatan tenaga kerja di luar

negeri, Indonesia telah menetapkan

mekanisme melalui tiga fase tanggung

jawab penempatan yakni fase pra

penempatan, selama penempatan dan

purna penempatan.3 Perlindungan TKI

adalah segala upaya untuk melindungi

kepentingan calon TKI/TKI dalam

mewujudkan terjaminnya pemenuhan

hak-haknya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, baik sebelum,

selama dan sesudah bekerja.

Sebagaimana diatur di dalam Pasal

5, 6, 7 Undang-Undang No. 39 Tahun

2004, pemerintah bertugas mengatur,

membina, melaksanakan, dan

mengawasi penyelengaraan

penempatan dan perlindungan TKI di

luar negeri, pemerintah

bertanggungjawab untuk meningkatkan

upaya perlindungan TKI di luar negeri,

dan pemerintah berkewajiban,

antaralain:

Page 10: ALSA Indonesia Law Journal

9

a. Menjamin terpenuhinya hak-hak

calon TKI/TKI, baik yang

berangkat melalui pelaksana

penempatan TKI maupun yang

berangkat secara mandiri;

b. Mengawasi pelaksanaan

penempatan calon TKI;

c. Membentuk dan

mengembangkan sistem

informasi penempatan calon TKI

di luar negeri;

d. Melakukan upaya diplomatik

untuk menjamin pemenuhan hak

dan perlindungan TKI secara

optimal di negara tujuan; dan

e. Memberikan perlindungan

kepada TKI selama masa

sebelum pemberangkatan, masa

penempatan, dan masa purna

penempatan.

4 Ni Ketut Supasti Dharmawan, Made Gde Subha Karma Resen, Cokorda Dalem

Dahana, & Cok. Istri Diah Widyantari P. D., 2015, Implementasi Ketentuan Hukum Tentang

Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Provinsi Bali Di Luar Negeri,

Hasil Penelitian Hibah Unggulan Program Studi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.

2. 5 Lihat dalam: Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Diduga Lakukan Penempatan Non

Prosedural ke Rusia, dapat diakses pada: http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI-Ditahan-

Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS-- Sebagai contoh Kasus

pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta

(PPTKIS) PT. Nahelindo Pratama, karena telah menempatkan empat Buruh Migran Indonesia

(BMI) secara non prosedural ke Rusia. Lihat juga pada: Tiga TKW asal Bali Di Penjara di

Rusia, dapat diakses pada: http://www.nusabali.com/opendoc.php?id=32190&page=&date=

Sebanyak tiga orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bali yang semuanya wanita/ tenaga

kerja wanita (TKW)5 saat ini dipenjara di Rusia. Mereka adalah Ketut Sukarni dengan nomor

paspor A0491163, Yanika Sriwedari dengan nomor paspor A0489558 dan Ni Kadek Yuli

Marisa Dewi dengan nomor paspor A1649489.

6Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17 April 2014

tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja di

C. Refleksi Pengelolaan dan

Pengaturan Tenaga Kerja Indonesia

Trend bekerja ke luar negeri tidak luput

dari masalah dan persoalan,4 seperti;

kasus pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh Pelaksana Penempatan

Tenaga Kerja Indonesia Swasta

(PPTKIS);5 serta persoalan TKI pelaut

yang mengalami tarik menarik

kepentingan di antara Kepala BNP2TKI

dengan Kementerian Perhubungan

yang menyatakan TKI pelaut tidak

diwajibkan memiliki Kartu Tenaga Kerja

Luar Negeri (KTKLN), hal ini

mengancam perlindungan tenaga kerja

pelaut, sebab identitas mereka tidak

akan terdata di BP3TKI.6

Pada tulisan ini berikut disajikan

contoh kasus terkait dengan

Page 11: ALSA Indonesia Law Journal

10

penempatan TKI serta pentingnya

kelengkapan administrasi sebagai

salah satu bentuk perlindungan.

1. Kasus Pelaksanaan Penempatan

TKI Non Prosedural.

Penempatan TKI menurut Pasal 1

angka (3) UU No. 39 Tahun 2004

adalah kegiatan pelayanan untuk

mempertemukan TKI sesuai bakat,

minat, dan kemampuannya dengan

pemberi kerja di luar negeri yang

meliputi keseluruhan proses

perekrutan, pengurusan dokumen,

pendidikan dan pelatihan,

penampungan, persiapan

pemberangkatan, pemberangkatan

sampai negara tujuan, dan

pemulangan dari negara tujuan.

Penempatan TKI di luar negeri

merupakan suatu upaya untuk

mewujudkan hak dan kesempatan

yang sama bagi tenaga kerja untuk

memperoleh pekerjaan dan

penghasilan yang layak, yang

pelaksanaannya dilakukan dengan

tetap memperhatikan harkat, martabat,

hak asasi manusia, dan perlindungan

Atas Kapal Berbendera Asing. Surat Edaran tentang KTKLN itu dikeluarkan karena adanya

surat yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut kepada Dirjen Imigrasi Kementerian

Hukum dan Ham No. PK 302/1/3/DJPL.13 tanggal 27 Desember 2013 perihal Tidak

Mempersyaratkan Kepemilikan KTKLN Bagi Pelaut/ Awak Kapal. Selengkapnya baca dalam:

http://www.bnp2tki.go.id/read/9810/BNP2TKI-Menangkan-Gugatan-Perkara-Hukum-atas-

KTKLN

7Laboratorium Pusat Data Hukum Fakultas Hukum UAJY, 2006, Himpunan

Lengkap Undang-Undang Bidang Perburuhan, C.V. Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 261.

hukum serta pemerataan kesempatan

kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan hukum nasional.7

Menjadi persoalan ketika

terdapat pelanggaran penempatan

yang dilakukan oleh PPTKIS selaku

badan hukum yang memperoleh izin

tertulis dari pemerintah guna

menyelenggarakan pelayanan

penempatan TKI di luar negeri. Salah

satu PPTKIS yang melakukan

pelaksanaan penempatan TKI secara

non prosedural adalah PT. Nahelindo

Pratama. PT. Nahelindo Pratama

melakukan penempatan TKI secara

non prosedural dikarenakan

menggunakan visa kunjungan/visa

belajar. PT. Nahelindo Pratama

merupakan PPTKIS yang secara resmi

terdaftar sebagai perusahaan

pengerah tenaga kerja. PT.Nahelindo

Pratama telah melanggar asas terbuka,

yaitu pemberian informasi kepada

tenaga kerja secara jelas meliputi jenis

kerja, jam kerja, dan upah yang akan

diterima oleh TKI di Negara tujuan,

yang dimana dalam hal ini

Page 12: ALSA Indonesia Law Journal

11

PT.Nahelindo memberikan iming-iming

berupa gaji yang tinggi sebagai terapis

di Rusia dengan menggunakan visa

kunjungan/ visa belajar dan bukan

menggunakan visa kerja yang

mengakibatkan ditahannya 4 TKI di

Rusia. Ke 4 TKI tersebut dinyatakan

melanggar Bab 1 Pasal 18.10 KUHP

Federasi Rusia mengenai pelanggaran

adminisratif yaitu sebagai orang asing

yang telah bekerja di Federasi Rusia

tanpa memiliki izin bekerja. Mereka

semua tidak memiliki KTKLN

dikarenakan mereka diberangkatkan

dengan visa kunjungan/visa belajar.

Kronologis kasus Pelaksana

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia

Swasta (PPTKIS) PT. Nahelindo

Pratama, karena telah menempatkan

empat Buruh Migran Indonesia (BMI)

secara non prosedural ke Rusia.8

8 Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Diduga Lakukan Penempatan Non Prosedural

ke Rusia, dapat diakses pada:

http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-Pelajari-

Pelanggaran-PPTKIS--

9 Lihat dalam: Tiga TKW asal Bali Di Penjara di Rusia, dapat diakses pada:

http://www.nusabali.com/opendoc.php?id=32190&page=&date= 10 Lihat dalam: Tiga TKI asal Bali Dipenjara di Rusia, dapat diakses pada:

http://daerah.sindonews.com/read/922973/27/tiga-tki-asal-bali-dipenjara-di-rusia-

1415638800 11 Lihat dalam: PT. Nahelindo Pratama Lakukan Penempatan Non Prosedural Bp3tki

Bali Bnp2tki, dapat diakses pada:

http://pantaupjtki.buruhmigran.or.id/index.php/read/%E2%80%8Bpt.-nahelindo-pratama-

diduga-lakukan-penempatan-non-prosedural-ke-rusia-2 12 Berita Acara Kronologis Penanganan Kasus TKI Spa atas nama Ni Kadek Yuli Marisa

Dewi, Jessica Herlina Mila Agnesia, Yanika Sriwedari, Ni Ketut Sukerni, Nomor:

B2698/BP3TKI-DPS/PL/XI/2014 Tanggal 14 November 2014.

Sebanyak tiga orang Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) asal Bali yang

semuanya wanita/ tenaga kerja wanita

(TKW)9 dipenjara di Rusia. Mereka

adalah Ketut Sukarni dengan nomor

paspor A0491163, Yanika Sriwedari

dengan nomor paspor A0489558 dan

Ni Kadek Yuli Marisa Dewi dengan

nomor paspor A1649489. Juga ikut

dipenjara di Rusia seorang TKI lainnya

yang diduga bukan berasal dari Bali

yakni atas nama Jesica Herlina Mila

Agnesia Tobo.10 Keempat TKI tersebut

sudah tiba ke Indonesia pada 6

November 2014 lalu, setelah sempat

dipenjara di Isuram 8 City of Kazan

Tatarstand, Rusia sejak 23 September

2014.11

Kronologis kasus dapat diuraikan

sebagai berikut:12

Page 13: ALSA Indonesia Law Journal

12

Pada tanggal 29 September 2014

KBRI Moscow menerima informasi

telepon dari Dinas Imigrasi Federal

Rusia mengenai penahanan 4 TKI

di rumah detensi Kazan, Republik

Tatarstan (Sekitar 800 km timur

Moscow). Dalam rangka

menindaklanjuti informasi tersebut

dan mengetahui duduk perkara

penahanan dan kondisi para WNI

dimaksud, pada tanggal 6 sampai

dengan 8 Oktober 2014 KBRI

Moscow menugaskan wakil dan

fungsi protokoler Konsuler

menjenguk 4 TKI tersebut.

Pada tanggal 23 September 2014

pukul 10.45 ditempat magang

(Tairai Spa Kazan) keempat TKI

ditangkap berdasarkan Berkas

Acara Penangkapan (BAP) yang

ditandatangani TKI, dilaksanakan

sidang hari itu juga dan keempatnya

dinyatakan melanggar Bab 1 Pasal

18.10 KUHP Federasi Rusia

mengenai pelanggaran administratif

yaitu sebagai orang asing telah

bekerja di Federasi Rusia tanpa

memiliki izin bekerja dan

menghukum mereka denda 2000

rubel dan dideportasi ke luar

wilayah Federasi.

Kondisi TKI selama ditahan sejak 23

September 2014 cukup baik karena

memperoleh fasilitas makan 3 kali,

kamar ukuran 4 x 6 dengan ranjang

tingkat, kamar mandi terpisah, dan

pemisahan ruang laki-laki dan

wanita.

Rumah detensi menahan uang dan

barang-barang pribadi keempat TKI

yang kesemuannya akan

dikembalikan ketika para TKI akan

dideportasi.

Mengingat para TKI mengajukan

banding (sidang banding telah

dilaksanakan 4 Oktober 2014

dengan hasil menguatkan

keputusan pengadilan tanggal 23

September 2014) maka masa

penahanan ditambah karena

menunggu waktu sidang dan

keputusan pengadilan. Jika TKI

tidak mengajukan banding kedua,

maka proses deportasi baru bisa

dibicarakan tanggal 14 Oktober

2014.

Pemerintah Rusia akan

menanggung biaya kepulangan TKI

ke Bali sesuai ketersediaan

anggaran yang bisa memakan

waktu 2-3 bulan.

Berdasarkan informasi yang

berkembang Kepala BP3TKI

Denpasar juga melakukan

pembicaraan via telepon dengan

Thai-Waay St. Petersbug (sdr.

Page 14: ALSA Indonesia Law Journal

13

Andre Konakh), Tairai – Moscow

(sdr. Elena) dan Direktur Akademi

Inovasi Teknologi (sdr. Arthur)

dengan hasil sebagai berikut:

a) Sdr. Andre Konakh menyatakan

bahwa pihak yang mengundang

para TKI ke Rusia adalah

akademisi Inovasi Teknologi

dipimpin sdr. Arthur Surin

menggunakan Visa Training.

Pihak Thai-Way Spa juga

menggunakan jasa Akademi,

namun belum pernah terdapat

kasus. Kasus penahanan TKI di

Kazan adalah semata karena

para TKI dijebak dan dipaksa

menandatangani BAP yang

tidak benar dan karenanya

kejadian di Kazan manjadi

tanggungjawab terapis itu

pribadi.

b) Sdr. Elena mengatakan

penahanan 4 TKI terapis di

Cabang Tairai di Kazan menjadi

tanggungjawab personal terapis

dan manager Kazan karena

Tairai sebagai lembaga tidak

mempekerjakan terapis

pemagang Visa Training.

c) Sdr. Arthur membenarkan

sebagai pihak yang

mengundang TKI ke Rusia untuk

belajar di akademi yang

dipimpinnya.

Adapun tindakan-tindakan yang telah

dilakukan oleh BP3TKI Denpasar di

antaranya:

Pada tanggal 12 November

2014 menghubungi saudari Ni

Ketut Sukerni melalui SMS dan

menanyakan kabar dari beliau

beserta teman-teman lainnya.

Pada tanggal 13 November

2014 BP3 TKI berkoordinasi

dengan Dinas Kesejahteraan

Sosial Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Kabupaten

Jembrana dan mendatangi

keluarga Ni Kadek Yuli Marisa

Dewi di kediamannya di

Jembrana dan juga menemui

keluarga Ni ketut Sukreni di

daerah Kuta Bali.

Pada tanggal 14 November

2014 pihak BP3TKI Denpasar

bersama dengan Pihak Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kabupaten Buleleng bersama-

sama melakukan pengecekan

ke Kantor Desa Banyuasri

Kabupaten Buleleng dan

bertemu dengan Kepala Desa

setempat dan memberitahukan

bahwa ada salah satu warganya

yang bernama Jessica Herlina

Page 15: ALSA Indonesia Law Journal

14

Mila Agnesia Tobo telah di

deportasi, tetapi setelah

dilakukan pencocokan data,

ternyata data atas nama

tersebut tidak ada di dalam

berkas dokumen yang ada di

Kantor Desa tersebut.

Akhir penanganan kasus;

Pada hari Rabu 5 November

2014 keempat TKI telah

dibebaskan dan pada pukul

09.50 waktu setempat telah

diterbangkan dari Kazan menuju

Bali (via Moscow, Dubai dan

Jakarta) dengan penerbangan

S7 Emirates dan Garuda.

Seluruh biaya deportasi

(termasuk pendampingan Polisi

dari Kazan ke Moskow)

ditanggung pemerintah Federasi

Rusia.

Tanggal 6 November 2014,

keempat TKI tiba di Bandara

Ngurah Rai Bali Pukul

00.55/01.00 WITA di perkirakan

menggunakan pesawat GA

0424/652 dari Jakarta.

Ni Kadek Yuli Marisa Dewi

mengatakan bahwa kabarnya

beserta ketiga TKI yang lain

telah tiba di Bali dengan selamat

dan baik-baik. (Berdasarkan

keterangnnya yang

memberangkatkannya ke Rusia

adalah sdr. Vita Amelia). Ni

Ketut Sukerti- pun menerangkan

keadaanya baik-baik saja

(berdasarkan keterangannya,

yang memberangkatkannya ke

Negara Rusia dengan Visa

Sekolah adalah sdr. Rai Asri.

Pada kasus tersebut di atas dipahami

bahwa aspek perlindungan terhadap

penempatan tenaga kerja di luar negeri

sangat terkait pada sistem pengelolaan

dan pengaturan yang dilakukan

berbagai pihak yang terlibat pada

pengiriman tenaga kerja Indonesia

keluar negeri. Pelanggaran-

pelanggaran hukum juga dilakukan

oleh agen-agen tenaga kerja atau agen

keberangkatan yang dikenal dengan

“Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja

Indonesia Swasta” atau disingkat

PPTKIS atau mengacu pada

perusahaan perekrutan tenaga kerja

migran swasta, yang pada umumnya

antara lain dikenal sebagai agen

tenaga kerja. Selain itu kerapkali

pelanggaran-pelanggaran juga

dilakukan oleh calon TKI maupun TKI di

Negara dimana mereka bekerja.

Menurut catatan KBRI Moskow,

penahanan TKI di pusat detensi

imigrasi di Rusia adalah yang kedua

kalinya (yang pertama pada tahun

Page 16: ALSA Indonesia Law Journal

15

2010). Meski fasilitas di pusat detensi

Rusia relatif baik, namun dalam

beberapa kasus yang dihadapi TKI,

KBRI moskow senantiasa berupaya

mencegah TKI ditahan dan seandainya

pun ditahan KBRI Moskow senantiasa

memonitor dan mengupayakan

pembebasan mereka secepatnya.

Untuk mencegah hal serupa

terjadi lagi dikemudian hari, KBRI

Moskow kembali memohon kerjasama

pihak-pihak berwenang di Indonesia

untuk secara aktif memantau para agen

penyalur TKI perseorangan di

Indonesia yang mempunyai relasi

dengan Mr. Andrey Konakh serta

meghimbau para calon TKI agar tidak

cepat tergiur oleh iming-iming para

agen/calo TKI yang menjanjikan

pekerjaan sebagai terapis di Rusia

dengan gaji tinggi menggunakan Visa

Kunjungan/Bisnis dan bukan Visa

Kerja. Pastikan bahwa kontrak kerja

dipahami sepenuhnya dan jika

diperlukan agar dikomunikasikan

terlebih dahulu ke KBRI Moskow

sebelum ditandatangani. Pelanggaran

peruntukan visa masuk Rusia dapat

menyebabkan penahanan TKI di rumah

detensi, konfiskasi uang dan

pencekalan masuk Rusia selama 5

tahun atau lebih.

13 Ni Ketut Supasti Dharmawan, dkk, Op.cit., hlm. 43.

Penempatan tenaga kerja

Indonesia di luar negeri perlu dilakukan

secara terpadu antara instansi

Pemerintah baik Pusat maupun Daerah

dan peran serta masyarakat.

Terbukanya peran masyarakat dalam

melakukan Penempatan TKI melalui

Pelaksana Penempatan TKI swasta

tentunya menimbulkan kewajiban bagi

PPTKIS itu mulai dari pra penempatan,

penempatan, dan purna penempatan.

2. Kasus Kartu Tenaga Kerja Luar

Negeri (KTKLN)

Kasus yang terjadi terhadap I Nyoman

Bagiade13 yang merupakan Tenaga

Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja

sebagai chef di Kapal Pesiar

berbendera asing (Cruiser/Kapal

Niaga) sejak tahun 2000. Sekitar bulan

Februari 2014, keluarga Bagiade

mendapat kabar bahwa Bagiade yang

bekerja di Kapal Pesiar di Amerika

meninggal dunia dengan cara

melompat ke laut (Over jump).

Terhadap kejadian tersebut keluarga

mencari dokumen-dokumen yang

terkait dimana dan dengan siapa

Bagiade bekerja, hanya di temukan

fotocopy Kartu Tenaga Kerja Luar

Negeri (KTKLN). Selanjutnya keluarga

mencari agen yang memberangkatkan

Page 17: ALSA Indonesia Law Journal

16

korban bekerja di luar negeri. Akan

tetapi perusahaan tersebut (PT. Cipta

Wira Tirta) tidak merespon baik justru

melempar tanggungjawab dengan

menyatakan hanya berperan meng-

higher calon pelaut dan

meneruskannya ke agensi di negara

penerima (user) sedangkan kontrak

kerja pun dilaksanakan oleh Pelaut

dengan user di atas kapal (on board).

Akhirnya keluarga menemui

pihak BP3TKI Provinsi Bali dan

perwakilan pelaut untuk mendapatkan

informasi mengenai kematian Bagiade

pada saat bekerja di luar negeri.

BP3TKI Bali memperoleh informasi dari

Kementrian Luar Negeri, mengenai

keberadaan Bagiade yang secara

resmi dinyatakan meninggal dunia.

Selanjutnya atas bantuan BP3TKI

keluarga memperoleh hak-hak Bagiade

selaku TKI yang bekerja di kapal

berbendera asing.14

Dengan memanfaatkan data-data yang

terekam pada database pada saat

Bagiade melengkapi syarat-syarat

administratif ketika membuat KTKLN,

BP3TKI Bali dapat memberikan

proteksi kepada TKI dan keluarganya,

14 Lihat juga Putusan Perkara PTUN Nomor: 140/G/2014/PTUN-JKT, terkait dengan

gugatan terhadap Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17

April 2014 tentang Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang diwajibkan bagi TKI

yang bekerja di Atas Kapal Berbendera Asing.

dalam hal ini diberikannya santunan

kepada keluarga I Nyoman Bagiade

sebesar 1, 2 Milyar Rupiah.

Gambar: Kartu Tenaga Kerja Luar

Negeri (KTKLN)

Keberadaan kelangkapan-

kelengkapan administratif maupun

dalam hal ini KTKLN menjadi sangat

penting, meskipun terjadi perbedaan

pendapat antara Dirjen Perhubungan

Laut (dengan surat yang dikirimkannya

kepada Dirjen Imigrasi Kementerian

Hukum dan Ham No. PK

302/1/3/DJPL.13 tanggal 27 Desember

2013 perihal Tidak Mempersyaratkan

Kepemilikan KTKLN Bagi Pelaut/ Awak

Kapal), dengan Badan Nasional

Page 18: ALSA Indonesia Law Journal

17

Penempatan dan Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang

mengeluarkan surat edaran atas

respon surat dari Dirjen Perhubungan

Laut tersebut.

Keluarnya surat Dirjen Imigrasi

Kementerian Hukum dan Ham No. PK

302/1/3/DJPL.13 telah mendorong lima

Perwira Pelaut Niaga untuk menggugat

Surat Edaran Kepala BNP2TKI tentang

kewajiban KTKLN bagi TKI yang

bekerja di Atas Kapal Berbendera

Asing. Padahal kewajiban KTKLN ini

diamanatkan oleh UU No. 39 Tahun

2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI di Luar Negeri,

khususnya Pasal 62. TKI Pelaut,

disebutkan dalam UU No. 39 tahun

2014 sebagai jabatan khusus sesuai

bunyi pada pasal 28 dan akan diatur

dengan Peraturan Menteri. Namun

karena para stakeholder seperti

Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)

Jakarta dan Indonesian Fishery

Manning Agency (IFMA) di lapangan

menunggu terlalu lama keluarnya

peraturan tentang TKI Pelaut,

akhirnya pada 10 April 2013 Kepala

BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat

menerbitkan peraturan Nomor : PER-

12/KA/IV/2013 tentang Tata Cara

Perekrutan dan Perlindungan Pelaut Di

Kapal Berbendera Asing.

Kelima Perwira Niaga itu

beralasan, dengan adanya kewajiban

memiliki KTKLN bagi TKI Pelaut

Perikanan hal itu telah menghilangkan

kesempatan bekerja ke luar negeri

karena banyak TKI yang ditolak

berangkat karena ketika di airport tidak

membawa KTKLN. Karena dalam Surat

Edaran BNP2TKI dimaksud Para

Penggugat diwajibkan memiliki Kartu

Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)

yang proses kepemilikannya dikenakan

biaya, menambah panjang birokrasi

dan mengeluarkan uang/biaya

tambahan untuk pembuatan KTKLN

yang sebenarnya tidak diperlukan

menurut Undang-Undang Nomor 1

tahun 2008 tentang Pengesahan ILO

Convention 185 Concerning Revising

The Seafarers Identity Documents

Convention. Namun alasan tersebut

tidak diterima oleh Majelis Hakim,

sehingga gugatan mereka di tolak.

Badan Nasional Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (BNP2TKI) memenangkan

gugatan perkara yang diajukan oleh 5

orang Perwira Pelayaran Niaga

Indonesia atas Kartu Tenaga Kerja

Luar Negeri (KTKLN). Kelima Perwira

ini menggugat Surat Edaran Kepala

BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014

tanggal 17 April 2014 tentang Kartu

Page 19: ALSA Indonesia Law Journal

18

Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)

yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja

di Atas Kapal Berbendera Asing.

Berdasarkan Putusan Majelis

Hakim Nomor 140/G/2014/PTUN-JKT

menolak gugatan kelima orang Perwira

Pelayaran Niaga Indonesia atas Kartu

Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Alasan hakim memenangkan BNP2TKI

juga didasarkan atas fakta-fakta yang

diungkapkan saksi-saksi tergugat,

seperti kesaksian yang disampaikan

oleh I Made Patera perwakilan dari

keluarga korban I Nyoman Bagiade.

Serta beberapa kesaksian yang

mengungkapkan pentingnya KTKLN

tersebut, di antaranya:

I Komang Swastana, yang memberikan

keterangan bahwa, Swastana adalah

TKI yang bekerja sebagai waiter

(pramusaji) di Kapal Pesiar Karnaval

(Cruiser/Kapal Niaga) yang merupakan

kapal berbendera asing. Sebagai

pelaut Swastana melengkapi dirinya

dengan dokumen-dokumen pelaut, di

antaranya Buku Pelaut dan Sertifikasi

keahlian yang diwajibkan bagi TKI

Pelaut. Swastana mengatakan bahwa

KTKLN-nya telah dimiliki sejak 2010

dan terus diperbaharui setiap berakhir

masa berlaku. Pengurusan KTKLN itu

mudah, setelah seluruh persyaratan

dipenuhi, pembuatan KTKLN memakan

waktu tidak lebih dari 3 (tiga) jam.

Pembuatan KTKLN di BP3 TKI Bali dan

pengurusan KTKLN sama sekali tidak

dipungut biaya.

Kesaksian juga datang dari

Sony Patiselano, merupakan

Sekretaris Pimpinan Pusat Kesatuan

Pelaut Indonesia (KPI), sebelum

bergabung dalam kepengurusan KPI,

Sony pernah bekerja sebagai Pegawai

Negeri Sipil (PNS) Kementrian

Perhubungan Ditjen Perhubungan

Laut. KPI merupakan Serikat Pekerja

Laut yang telah didirikan sejak tanggal

18 April 1976 dan KPI beranggotakan

Pekerja Pelaut dengan asas

keanggotaan sukarela. Sony

menegaskan bahwa, TKI Pelaut tunduk

pada peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan dan hukum positif di

Indonesia. Kewajiban KTKLN bagi TKI

telah diatur dalam Pasal 62 Undang-

Undang No. 39 Tahun 2004. Selain itu

kewajiban TKI Pelaut diatur dalam

Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor 13

Tahun 2009 dikeluarkan dengan

memperhatikan surat dari CIMA. Yang

disebut pelaut adalah mereka yang

memiliki buku pelaut, dengan demikian

baik pelaut kapal ikan maupun pelaut

kapal niaga sepanjang mempunyai

buku maka dapat dinyatakan sebagai

Page 20: ALSA Indonesia Law Journal

19

pelaut. KTKLN merupakan kewajiban

negara sebagai pendataan TKI.

Kesaksian berikutnya dari Del

Agus, yang merupakan Ketua dari

Indonesia Fisherman Manning Agent

(IFMA), selain itu juga menjabat

sebagai Direktur Manning Agent PT.

Dwiyana Eka Lestari. Bahwa sebelum

diterbitkannya obyek sengketa a quo

pernah dilakukan sosialisasi di Hotel

Horrison Bekasi di awal tahun 2014,

pertemuan tersebut dihadiri oleh

berbagai asosiasi manning agent di

Indonesia yang diundang oleh

BNP2TKI. Pada pertemuan tersebut

diterangkan pentingnya KTKLN.

KTKLN merupakan kewajiban bagi TKI,

KTKLN berguna sebagai pendataan

TKI yang bekerja di luar negeri

termasuk di dalamnya TKI Pelaut,

pembuatan KTKLN tidak dipungut

biaya dan relatif cepat.

Berdasarkan pertimbangan

tersebutlah, Hakim memutuskan untuk

memenangkan tergugat dalam perkara

tersebut. KTKLN merupakan wujud

perlindungan, KTKLN merupakan

kelengkapan dokumen-dokumen bagi

TKI yang bekerja di luar negeri, baik

pelaut kapal ikan ataupun pelaut kapal

niaga.

D. Catatan Akhir

Sesuai dengan penjelasan yang tertera

pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor PER.14/MEN/X/2010 tentang

Pelaksanaan Penempatan dan

Perlindungan TKI di luar negeri, KTKLN

merupakan kartu identitas bagi TKI

yang memenuhi prosedur dan syarat

syarat untuk bekerja di luar negeri dan

wajib dimiliki oleh TKI yang bekerja di

luar negeri, karena melalui program

pembuatan KTKLN ini sekaligus

digunakan mendata TKI yang bekerja

di luar negeri oleh pemerintah.

Latar belakang terjadinya

penempatan TKI secara non

procedural adalah karena kurangnya

pemahaman masyarakat tentang

prosedur penempatan dan

perlindungan TKI. Biasanya pratik ini

dilakukan oleh pihak calo ataupun agen

TKI yang ingin mencari keuntungan.

Menjadi TKI non prosedural sangat

merugikan bagi TKI itu sendiri, resiko

yang akan dialami oleh TKI apabila

menjadi TKI yang non prosedural , di

antaranya :

- Sponsor / calo / orang yang

menjanjikan pekerjaan dapat

melarikan uang yang disetor

oleh calon TKI;

- Tidak aman, dikarenakan tidak

mendapat jaminan

Page 21: ALSA Indonesia Law Journal

20

perlindungan yang pasti di

Negara penempatan TKI

tersebut;

- Diperlakukan tidak manusiawi

mulai dari penampungan

sampai diberangkatkan ke luar

negeri;

- Gaji yang diterima oleh TKI

tersebut sangatlah rendah,

bahkan beberapa ada yang

tidak mendapatkan gaji.

- Dibatasi hak dan kewajibannya

oleh majikan tempat TKI

tersebut bekerja;

- Selalu khawatir dan was-was

ditangkap oleh aparat

keamanan Negara setempat,

karena apabila diketahui

merupakan TKI illegal akan

ditangkap (dipenjara) bahkan

kemudian dipulangkan secara

paksa (deportasi);

- Tidak mendapatkan jaminan

asuransi yang jelas jika

mengalami sakit, musibah,

kecelakaan kerja, maupun

kematian.

Kedepannya diharapkan para

CTKI maupun TKI yang sudah pernah

15BNP2TKI, 2015, Materi Sosialisasi Bidang Penempatan: Pencegahan TKI Non

Prosedural, URL : http://www.bnp2tki.go.id/read/10002/Materi-Sosialisasi-Bidang-

Penempatan-:-Pencegahan-TKI-Non-Prosedural.html, diakses pada tanggal 12 Agustus 2015.

bekerja ke luar negeri, diharapkan lebih

bisa berhati-hati dalam memilih dan

menggunakan agen-agen penyalur

TKI, para TKI diharapkan

menggunakan PPTKIS yang sudah

terdaftar secara resmi.

Langkah-langkah yang dapat di

tempuh TKI atau CTKI yang ingin

bekerja di luar negeri secara legal /

prosedural adalah sebagai berikut :15

- Carilah informasi PPTKIS yang

resmi dan terdaftar di kantor

dinas yang menangani

Ketenagakerjaan

Kabupaten/Kota, BP3TKI/UPT-

P3TKI, LP3TKI, dan P4TKI,

PPTKIS, Disnaker

Kabupaten/Kota setempat;

- Ikuti penyuluhan oleh petugas

BNP2TKI/BP3TKI/UPT-

P3TKI/LP3TKI, dan P4TKI,

PPTKIS, dan Disnaker

Kabupaten/Kota setempat;

- Mendaftar di Disnaker

Kota/Kabupaten;

- Ikuti proses seleksi yang

dilakukan oleh PPTKIS dan

Disnaker Kota/Kabupaten;

- Menandatangani perjanjian

penempatan dengan PPTKIS

Page 22: ALSA Indonesia Law Journal

21

yang disahkan oleh Disnaker

Kota/Kabupaten;

- Pastikan mendapatkan

asuransi, pendidikan dan

pelatihan, mendapatkan paspor

dan visa kerja;

- Memahami isi dan

menandatangani Perjanjian

Kerja (PK) yang tela disahkan

oleh perwakilan RI;

- Wajib mengikuti Pembekalan

Akhir Pemberangkatan (PAP)

dari BP3TKI/UPT-P3TKI;

- Wajib memiliki KTKLN yang

dapat diperoleh secara gratis di

BP3TKI/UPT-P3TKI, LP3TKI,

dan P4TKI;

- Melapor ke Perwakilan RI

setelah tiba di Negara

penempatan yang telah

ditentukan;

- Setelah kontrak kerja berakhir,

kembali ke tanah air dan bagi

yang bermasalah diharapkan

melapor ke petugas BNP2TKI

dan BP3TKI/UPT-P3TKI di

bandara maupun pelabuhan.

E. Kesimpulan

Refleksi terhadap permasalah-

permasalahan penempatan dan

perlindungan TKI menyiratkan bahwa,

masih banyak diperlukan pembenahan,

baik dari pengaturan, kelembagaan

yang terkait di dalamnya, serta

pengelolaan. Pada kasus tersebut di

atas dipahami bahwa aspek

perlindungan terhadap penempatan

tenaga kerja di luar negeri sangat

terkait pada sistem pengelolaan dan

pengaturan yang dilakukan berbagai

pihak yang terlibat pada pengiriman

tenaga kerja Indonesia keluar negeri.

Page 23: ALSA Indonesia Law Journal

22

F. Daftar Pustaka

Bassina Farbenblum, Eleanor Taylor-

Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses

Buruh Migran Terhadap Keadilan Di

Negara Asal: Studi Kasus Indonesia,

diterbitkan oleh Open Society

Foundations, New York, Amerika

Serikat.

Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum

Ketenaga Kerjaan Indonesia, Edisi

Revisi, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Mohd. Syaufii Syamsuddin, 2004,

Norma Perlindungan Dalam Hubungan

Industrial, Penerbit Sarana Bhakti

Persada, Jakarta.

Ni Ketut Supasti Dharmawan, Made

Gde Subha Karma Resen, Cokorda

Dalem Dahana, & Cok. Istri Diah

Widyantari P. D., 2015, Implementasi

Ketentuan Hukum Tentang

Penempatan Dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia Asal Provinsi

Bali Di Luar Negeri, Hasil Penelitian

Hibah Unggulan Program Studi,

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Surat Edaran Kepala BNP2TKI Nomor

SE.11/PEN/IV/2014 tanggal 17 April

2014 tentang Kartu Tenaga Kerja Luar

Negeri (KTKLN)

http://www.bnp2tki.go.id/read/9810/BN

P2TKI-Menangkan-Gugatan-Perkara-

Hukum-atas-KTKLN

Laboratorium Pusat Data Hukum

Fakultas Hukum UAJY, 2006,

Himpunan Lengkap Undang-Undang

Bidang Perburuhan, C.V. Andi Offset,

Yogyakarta.

Berita Acara Kronologis Penanganan

Kasus TKI Spa atas nama Ni Kadek

Yuli Marisa Dewi, Jessica Herlina Mila

Agnesia, Yanika Sriwedari, Ni Ketut

Sukerni, Nomor: B2698/BP3TKI-

DPS/PL/XI/2014 Tanggal 14 November

2014.

Putusan Perkara PTUN Nomor:

140/G/2014/PTUN-JKT, terkait dengan

gugatan terhadap Surat Edaran Kepala

BNP2TKI Nomor SE.11/PEN/IV/2014

tanggal 17 April 2014 tentang Kartu

Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN)

yang diwajibkan bagi TKI yang bekerja

di Atas Kapal Berbendera Asing.

BNP2TKI, 2015, Materi Sosialisasi

Bidang Penempatan: Pencegahan TKI

Non Prosedural, URL :

http://www.bnp2tki.go.id/read/10002/M

Page 24: ALSA Indonesia Law Journal

23

ateri-Sosialisasi-Bidang-Penempatan-

:-Pencegahan-TKI-Non-

Prosedural.html, diakses pada tanggal

12 Agustus 2015.

PT. Nahelindo Pratama Diduga

Lakukan Penempatan Non Prosedural

ke Rusia, dapat diakses pada:

http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI

-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-

Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS--

PT. Nahelindo Pratama Diduga

Lakukan Penempatan Non Prosedural

ke Rusia, dapat diakses pada:

http://www.bnp2tki.go.id/read/9498/TKI

-Ditahan-Petugas-Rusia-BP3TKI-Bali-

Pelajari-Pelanggaran-PPTKIS--

Tiga TKW asal Bali Di Penjara di Rusia,

dapat diakses pada:

http://www.nusabali.com/opendoc.php

?id=32190&page=&date=

Page 25: ALSA Indonesia Law Journal

24

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PENGUPAHAN DALAM HUBUNGAN

INDUSTRIAL

Dr.Lanny Ramli, S.H., M.Hum

Inti Sari

Dalam hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja rentan terjadi perselisihan.

Perselisihan ini disebabkan sudut pandang yang berbeda. Pekerja menginginkan

mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya (berupa upah) tetapi dengan

mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin. Pihak pemberi kerja menginginkan

mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari tenaga pekerja dengan mengeluarkan

uang sesedikit mungkin. Perselisihan yang menonjol adalah tentang pengupahan.

Perselisihan tentang upah yang menyangkut orang perorangan (individual)

dikategorikan sebagai perselisihan hak. Perselisihan tentang upah yang menyangkut

kepentingan orang banyak (kolektif) dan ada kaitannya dengan tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan / atau perubahan syarat-syarat kerja

yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan. Pihak yang berselisih

apabila tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, wajib

diselesaikan melalui mediasi. Produk hukum dari mediator di Dinas Ketenagakerjaan

adalah anjuran. Jenis perselisihan pengupahan hanya perselisihan hak bukan

perselisihan kepentingan karena perselisihan kepentingan menyangkut perubahan

tentang syarat-syarat kerja. Pihak yang tidak setuju dengan anjuran mediator dapat

menggugat di Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan tingkat

pertamanya dan ada upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung.

Kata Kunci : Pemberi Kerja – Pekerja – Perselisihan Pengupahan - Mediator – Mediasi

– Perselisihan Hak – Perselisihan Kepentingan – Pengadilan Hubungan Industrial -

Kasasi

Page 26: ALSA Indonesia Law Journal

25

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Hubungan industrial adalah suatu

system hubungan yang terbentuk

antara para pelaku dalam proses

produksi barang dan / atau jasa yang

terdiri dari unsur pengusaha, pekerja /

buruh dan pemerintah yang didasarkan

pada nilai-nilai Pancasila dan Undang

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Hubungan kerja

adalah hubungan antara pengusaha

dengan pekerja / buruh berdasarkan

perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah dan perintah.

Perselisihan hubungan industrial

adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara

pengusaha atau gabungan pengusaha

dengan pekerja / buruh atau serikat

pekerja / serikat buruh karena adanya

perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan

pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/

serikat buruh dalam satu perusahaan.

Dalam Undang Undang Nomor 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial

terdapat 4 macam perselisihan yang

diatur yaitu perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan

PHK dan perselisihan antar serikat

pekerja dalam satu perusahaan.

Perselisihan hak adalah

perselisihan yang timbul karena tidak

dipenuhinya hak, akibat adanya

perbedaan pelaksanaan atau

penafsiran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan,

perjanjian kerja, peraturan perusahaan

atau perjanjian kerja bersama.

Perselisihan kepentingan adalah

perselisihan yang timbul dalam

hubungan kerja karena tidak adanya

kesesuaian pendapat mengenai

pembuatan, dan/atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja

bersama.

Perselisihan pemutusan hubungan

kerja adalah perselisihan yang timbul

karena tidak adanya kesesuaian

pendapat mengenai pengakhiran

hubungan kerja yang dilakukan oleh

salah satu pihak.

Perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh adalah

perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dengan serikat

pekerja/serikat buruh lain hanya dalam

satu perusahaan, karena tidak adanya

kesesuaian paham mengenai

Page 27: ALSA Indonesia Law Journal

26

keanggotaan, pelaksanaan hak dan

kewajiban keserikat pekerjaan.

Berbagai macam cara digunakan

untuk menyelesaikan sengketa yang

mereka hadapi, mulai dari

penyelesaian oleh para pihak secara

kooperatif, dengan bantuan orang lain

atau pihak ketiga yang bersifat netral

dan sebagainya. Penyelesaian

semacam ini lazim disebut

penyelesaian sengketa di luar

pengadilan atau alternative dispute

resolution (ADR) yang dalam

masyarakat Indonesia penyelesaian

sengketa semacam ini sudah lama

dikenal, yakni melalui musyawarah

mufakat baik dengan melibatkan pihak

lain maupun tidak. Jika tidak mencapai

titik temu, para pihak akan menempuh

jalur pengadilan.

Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial dapat ditempuh

melalui bipartit, mediasi, konsiliasi,

arbitrase dan sistem pengadilan ad

hoc. Dalam perundingan bipartit,

apabila telah mencapai kesepakatan

perlu dibuatkan Perjanjian Bersama

yang ditandatangani para pihak.

Perjanjian Bersama itu wajib

didaftarkan para pihak pada

Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri (PN) di wilayah para

pihak mengadakan Perjanjian

Bersama. Perjanjian Bersama itu wajib

dilaksanakan oleh para pihak, apabila

ada pihak yang dirugikan dapat

mengajukan permohonan eksekusi

pada Pengadilan Hubungan Industrial

pada PN di wilayah Perjanjian Bersama

itu didaftar untuk mendapat penetapan

eksekusi (Pasal 7 ayat (5) UUPPHI).

Adapun tatacaranya sebagai berikut :

1. Setelah tercapai kesepakatan

maka dibuat perjanjian bersama

yang ditandatangani para pihak

dan disaksikan mediator

2. Perjanjian Bersama tersebut

didaftar di Pengadilan

Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri di wilayah

hukum pihak-pihak yang

mengadakan Perjanjian

Bersama untuk mendapatkan

akta bukti pendaftaran dan

merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari Perjanjian

Bersama.

3. Apabila Perjanjian Bersama

tidak dilaksanakan oleh salah

satu pihak, maka pihak yang

dirugikan dapat mengajukan

permohonan eksekusi kepada

Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri di

wilayah Perjanjian Bersama

didaftar.

Page 28: ALSA Indonesia Law Journal

27

4. Dalam hal pemohon eksekusi

berdomisili di luar wilayah

hukum Pengadilan Hubungan

Industrial tempat pendaftaran

Perjanjian Bersama, maka

pemohon eksekusi dapat

mengajukan permohonan

eksekusi melalui Pengadilan

Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri di wilayah

domisili pemohon eksekusi

untuk diteruskan ke Pengadilan

Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri yang

berkompeten melaksanakan

eksekusi.

Demikian pula yang diamanatkan

oleh Undang Undang Nomor 2 Tahun

2004, ada sarana yang disebut dengan

mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

Instansi yang bersangkutan wajib

menawarkan kepada para pihak untuk

menyepakati memilih penyelesaian

melalui konsiliasi atau melalui

arbitrase. Dalam hal para pihak tidak

menetapkan pilihan penyelesaian

melalui konsiliasi atau arbitrase maka

wajib diselesaikan melalui mediasi. Hal

ini diatur dalam Pasal 4 ayat (4)

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (selanjutnya

disebut UU PPHI) :

Dalam hal para pihak tidak menetapkan

pilihan penyelesaian melalui konsiliasi

atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh)

hari kerja, maka instansi yang

bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan melimpahkan

penyelesaian perselisihan kepada

mediator.

Pasal 8 UU PPHI menyatakan

bahwa penyelesaian perselisihan

melalui mediasi dilakukan oleh

mediator yang berada di setiap kantor

instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan Kabupaten /

Kota, sedangkan mengenai status

mediator secara jelas dapat diketahui

dari penjelasan Pasal 9 UU PPHI yaitu

:

Oleh karena mediator adalah seorang

pegawai negeri sipil, maka selain

syarat-syarat yang ada dalam pasal ini

harus dipertimbangkan pula ketentuan

yang mengatur tentang pegawai negeri

sipil pada umumnya.

Hal ini dipertegas oleh

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor : KEP-92/MEN/VI/2004 tentang

Pengangkatan Dan Pemberhentian

Mediator Serta Tata Kerja Mediasi dan

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja

Page 29: ALSA Indonesia Law Journal

28

dan Transmigrasi R.I Nomor : SE-

01/PHIJSK/I/2006 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Penanganan Perselisihan

Hubungan Industrial Di Luar

Pengadilan Sebagai Pelaksanaan

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004

merupakan penyempurnaan dari

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Penyelesaian sengketa

perburuhan pada awalnya diatur dalam

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Perselisihan perburuhan

menurut Pasal 1 ayat 1 huruf c adalah

pertentangan antara majikan atau

perkumpulan majikan dengan serikat

buruh atau gabungan serikat buruh

berhubung dengan tidak adanya

persesuaian paham mengenai

hubungan kerja, syarat-syarat kerja

dan / atau keadaan perburuhan.

Pada UU No 22 Tahun 1957

terdapat 2 macam perselisihan

perburuhan yakni perselisihan hak

(rechtsgeschil, conflict of right ) dan

perselisihan kepentingan

(belangengeschillen, conflict of

interest). Hal ini membedakan kasus

perselisihan perburuhan dengan kasus

perkara perdata pada umumnya.

Perselisihan hak semula diperiksa dan

diputus oleh pengadilan (116 g

Reglement op de rechterlijke

organitatie S 1847 Nomor 23), namun

Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P4) berdasarkan UU

Nomor 22 Tahun 1957 juga berwenang

menyelesaikan perselisihan hak

dengan ketentuan yang diperkenankan

beracara di muka P4 hanyalah serikat

buruh atau gabungan serikat buruh

dengan majikan atau perkumpulan

majikan. Dalam hal ini buruh

perorangan atau sekumpulan buruh

yang tidak tergabung dalam serikat

buruh tidak diperkenankan beracara di

P4.

Perumusan Masalah

Yang menjadi masalah dalam tulisan ini

adalah pergeseran jenis perselisihan

dalam perselisihan tentang

pengupahan.

II. PEMBAHASAN

Penyelesaian Non Litigasi dan

Litigasi

Segala warga Negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya. Setiap orang berhak

Page 30: ALSA Indonesia Law Journal

29

atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum. Pokok-

pokok pikiran dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 itu tadi

dijabarkan dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia di dalam Pasal 3

ayat (2) yaitu :

“Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan

dan perlakuan yang sama di depan

hukum”

Hak-hak asasi ini dituangkan

dalam Pernyataan Sedunia Tentang

Hak Hak Asasi Manusia atau

disebut juga Deklarasi Sedunia

Tentang Hak Hak Asasi Manusia.

Ketentuan-ketentuan dalam

International Covenant Economy

Social and Culture 1966 ini

dituangkan lebih rinci dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penuangannya ada dalam Pasal 3

dan Pasal 5. Berdasar ketentuan-

ketentuan ini maka pihak pekerja

yang biasanya mendapat

kedudukan secara sosiologis dan

ekonomis lebih rendah daripada

pemberi kerja, berhak

memperjuangkan keadilan dan

mendapatkan keadilan terutama

dalam hal pengupahan.

Ada tiga hal pokok yang

diharapkan oleh setiap pencari

keadilan. Menurut A. Mukti Arto tiga

hal pokok itu adalah:

1.Mendapat perlakuan yang adil

dan manusiawi;

2.Mendapat pelayanan yang

simpati dan bantuan yang

diperlukan;

3.Mendapat penyelesaian atas

perkaranya itu secara efektif,

efisien, tuntas dan final sehingga

memuaskan.

Pekerja sangat memerlukan

perlakuan yang adil dan manusiawi,

sangat memerlukan pelayanan

yang simpati dan bantuan yang

diperlukan dan patut mendapat

penyelesaian secara efektif, efisien,

tuntas, final. Peraturan perundang-

undangan memberikan sarana ini

dengan adanya mediator dari Dinas

Ketenagakerjaan setempat.

Hadirnya pihak ketiga dalam

mekanisme penyelesaian sengketa

apapun, pada dasarnya

menghadirkan kelompok

kepentingan baru, menggeser

konflik kepentingan ke arah konflik

nilai. Setelah berlakunya Undang

Page 31: ALSA Indonesia Law Journal

30

Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial (selanjutnya

disingkat UUPHI) perselisihan

perburuhan disebut sebagai

perselisihan hubungan industrial.

Perselisihan hubungan industrial

adalah perselisihan yang

disebabkan :

1. Perbedaan

pendapat/kepentingan mengenai

keadaan ketenagakerjaan yang

belum diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, perjanjian

kerja bersama atau peraturan

perundang-undangan.

2. Kelalaian/ketidakpatuhan salah

satu/para pihak dalam

melaksanakan ketentuan normatif

yang telah diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan,

perjanjian kerja bersama atau

peraturan perundang-undangan

3. Pengakhiran hubungan kerja

4. Perbedaan pendapat antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam

satu perusahaan mengenai

pelaksanaan hak dan kewajiban

keserikatpekerjaan. 1

1 Penjelasan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial 2 Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia Fakultas Hukum

Program Pascasarjana, Jakarta, 2001 , h.216.

Adapun jenis perselisihan

hubungan industrial menurut

UUPHI meliputi :

1. Perselisihan Hak

2. Perselisihan Kepentingan

3. Perselisihan Pemutusan

Hubungan Kerja

4. Perselisihan Antar Serikat

Pekerja/serikat buruh haya dalam

satu perusahaan

Obyek sengketa dalam

perselisihan hak adalah tidak

terpenuhinya hak yang telah

ditetapkan karena adanya

perbedaan

implementasi/penafsiran ketentuan

peraturan perundang-undangan,

perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja

bersama yang melandasi hak yang

disengketakan.2

Dalam perselisihan

kepentingan, obyek sengketanya

karena tidak adanya kesesuaian

paham/pendapat mengenai

pembuatan dan atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja, atau

Page 32: ALSA Indonesia Law Journal

31

peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama.3

Penyelesaian perselisihan

menurut Undang Undang Nomor 22

Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan dilakukan

juga oleh pegawai perantara.

Keberadaan pegawai perantara

dilegalkan oleh Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Dalam hal perusahaan

telah melaksanakan perundingan

tidak membawa hasil maka para

pihak atau salah satu pihak yang

berselisih dapat menyerahkan

perselisihannya ke kantor

Departemen Tenaga Kerja

setempat di mana para pihak yang

berselisih atau secara bersama-

sama dapat menunjuk juru/dewan

pemisah untuk menyelesaikan

perselisihan mereka dengan syarat

bahwa keputusan dari juru/dewan

pemisah akan disetujui oleh kedua

belah pihak. Keputusan juru/dewan

pemisah sesudah disahkan oleh

Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Pusat (P4P)

mempunyai kekuatan hukum

3 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di

Luar Pengadilan, Raja Grafindo, Jakarta, 2004, h.45 4 Lanny Ramli, Hukum Ketenagakerjaan, Airlangga University Press, Surabaya, h.47

sebagai putusan P4P. Panitia

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Daerah (P4D) dan

Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Pusat (P4P) termasuk

peradilan semu pada masa

berlakunya Undang Undang Nomor

22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan.

Di dalam Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan dikenal adanya dua

macam perselisihan perburuhan 4

yaitu : Perselisihan hak dan

Perselisihan kepentingan.

Perselisihan hak adalah tidak

adanya persesuaian paham

mengenai hubungan kerja.

Penyelesaian perselisihan hak

dapat ditempuh di Pengadilan

Negeri dan dapat pula ditempuh

melalui Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan. Ada dua

perbedaan pokok dalam

menyelesaiakan perselisihan ini

yaitu :

1.Yang dapat menuntut di Panitia

Penyelesaian Perselisihan

Page 33: ALSA Indonesia Law Journal

32

Perburuhan Daerah (P4D)

hanyalah najikan dan

organisasipekerja, tidak

perseorangan, sedangkan di

Pengadilan Negeri pekerja

perorangan dapat mengajukan

tuntutannya.

2.Sanksi putusan Pengadilan

Negeri adalah sanksi perdata,

sedangkan pihak yang tidak tunduk

pada putusan Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan Daerah

(P4D) dikenakan pidana kurungan

atau denda. Perselisihan

kepentingan adalah mengenai

usaha mengadakan perubahan

dalam syarat-syarat perburuhan

yang oleh organisasi dituntutkan

pada pihak majikan atau

pertentangan berhubungan dengan

tidak adanya persesuaian paham

mengenai syarat-syarat perburuhan

yang oleh organisasi dituntutkan

pada pihak majikan. Berdasar

undang-undang ini perselisihan

pengupahan , terutama yang

menyangkut kepentingan orang

banyak, dikategorikan sebagai

perselisihan kepentingan.

Keberadaan pegawai perantara

dalam Undang Undang Nomor 22

Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan

nampaknya dioperalih oleh

mediator dalam Undang Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.Pengertian

mediator menurut Undang Undang

Nomor 2 Tahun 2004 adalah

pegawai instansi pemerintah yang

bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan yang memenuhi

syarat-syarat sebagai mediator

yang ditetapkan oleh Menteri untuk

bertugas melakukan mediasi dan

mempunyai kewajiban memberikan

anjuran tertulis kepada para pihak

yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihan hak,

perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan

kerja, dan perselisihan antarserikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam

satu perusahaan.

Dalam hal para pihak tidak

menetapkan pilihan penyelesaian

melalui konsiliasi atau arbitrase

dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja,

maka instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan

melimpahkan penyelesaian

perselisihan kepada mediator.

Keberadaan mediator dalam

Undang Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian

Page 34: ALSA Indonesia Law Journal

33

Perselisihan Hubungan Industrial

setara dengan pegawai perantara

dalam Undang Undang Nomor 22

Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan.

Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial ditempuh

melalui beberapa langkah.

Perselisihan hubungan industrial

wajib diupayakan penyelesaiannya

terlebih dahulu melalui perundingan

bipartit secara musyawarah untuk

mencapai mufakat. Perselisihan

hubungan industrial bisa

dikategorikan sebagai konflik atau

sengketa yaitu situasi (keadaan) di

mana dua atau lebih pihak-pihak

memperjuangkan tujuan masing-

masing yang tidak dapat

dipersatukan dan di mana tiap-tiap

pihak mencoba meyakinkan pihak

lain mengenai kebenaran tujuan

masing-masing.

Dalam Pasal 56 Undang

Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial dijelaskan

bahwa pengadilan hubungan

industrial mengadili di tingkat

pertama untuk perselisihan hak.

Dilanjutkan dalam Pasal 108 dan

Pasal 110 dijelaskan bahwa untuk

perselisihan hak masih ada upaya

kasasi. Salah satu pihak yang

hendak mengajukan permohonan

kasasi harus menyampaikan secara

tertulis melalui Sub Kepaniteraan

Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri setempat.

Hal itu diatur dalam Pasal 11

Undang Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan

Industrial.Tata cara permohonan

kasasi perselisihan hak diatur

dalam Pasal 114 dan

penyelesaiannya selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal penerimaan

permohonan kasasi (diatur dalam

Pasal 115 Undang Undang Nomor 2

Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial).

2.Perselisihan Pengupahan

Pengertian upah berdasar

Undang Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan

adalah hak pekerja / buruh yang

diterima dan dinyatakan dalam

bentuk uang sebagai imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja

kepada pekerja / buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut

suatu perjanjian kerja, kesepakatan

atau peraturan perundang-

undangan, termasuk tunjangan bagi

Page 35: ALSA Indonesia Law Journal

34

pekerja / buruh dan keluarganya

atas suatu pekerjaan dan / atau jasa

yang telah atau akan dilakukan.

Secara umum : upah adalah

pembayaran yang diterima pekerja

selama ia melakukan pekerjaan

atau dipandang melakukan

pekerjaan.

Beberapa pendapat tentang

pengupahan 5:

1.Nurimansyah Haribuan : upah

adalah segala bentuk penghasilan

(caring) yang diterima buruh /

pegawai baik berupah uang

ataupun barang dalam jangka

waktu tertentu pada suatu kegiatan

ekonomi

2.G.Reynold mengkategorikan

upah menurut pandangan buruh ,

majikan dan serikat buruh.

Bagi majikan : upah itu adalah biaya

produksi yang harus ditekan

serendah-rendahnya agar harga

barangnya nanti tidak terlalu tinggi

atau keuntungannya menjadi lebih

tinggi .

Bagi organisasi buruh adalah obyek

yang menjadi perhatiannya untuk

dirundingkan dengan majikan agar

dinaikkan

Bagi buruh adalah jumlah uang

yang diterimanya pada waktu

5 Lalu Husni, Dasar Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 86-87

tertentu atau lebig penting lagi :

jumlah barang kebutuhan hidup

yang ia dapat beli dari upah itu.

Ada 3 (tiga) jenis teori upah yang

dikemukakan dalam tulisan ini yaitu

:

1.David Ricardo : Upah ditetapkan

dengan berpedoman kepada biaya-

biaya yang diperlukan untuk

mengongkosi segala keperluan

hidup buruh / tenaga kerja.

2.Lassale , Teori Undang Undang

Upah Besi :

Menurut teori ini, upah normal di

atas hanya memenangkan majikan

saja karena menurut teori upah

normal ya cuma itu saja

kemampuan perusahaan.

Menurut teori ini, buruh harus

berusaha menentangnya agar ia

dapat mencapai kesejahteraan

hidup.

3.John Stuart Mill Senior , Teori

Dana Upah :

Buruh tidak perlu menentang

seperti yang disarankan oleh teori

Undang Undang Upah Besi , karena

upah yang diterimanya sebetulnya

adalah berdasarkan kepada besar

kecilnya jumlah dana yang ada

pada masyarakat.

Page 36: ALSA Indonesia Law Journal

35

Jenis-jenis upah adalah sebagai

berikut6 :

1.Upah Nominal : sejumlah uang

yang dibayarkan kepada buruh

yang berhak secara tunai sebagai

imbalan pengerahan jasa-jasa atau

pelayanannya sesuai ketentuan

yang terdapat dalam perjanjian

kerja

2.Upah Nyata : uang yang nyata

yang benar-benar harus diterima

oleh seseorang buruh yang berhak.

3.Upah Hidup : upah yang diterima

buruh relatif cukup untuk membiayai

keperluan hidupnya secara luas

yang tidak hanya kebutuhan

pokoknya melainkan kebutuhan

sosial dan keluarganya.

4.Upah Minimum : upah terendah

yang akan dijadikan standar oleh

majikan untuk menentukan upah

yang sebenarnya dari buruh yang

bekerja di perusahaannya

5.Upah Wajar : upah yang secara

relatif dinilai cukup wajar oleh

pengusaha dan buruh sebagai

imbalan atas jasa-jasanya pada

perusahaan

Perselisihan mengenai upah

pada waktu lalu sesuai dengan

6 Ibid.,h.88

Undang Undang Nomor 22 Tahun

1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan adalah

perselisihan kepentingan tetapi

sesuai dengan Undang Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial perselisihan

kepentingan menyangkut

pembuatan dan atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan

dalam perjanjian kerja, atau

peraturan perusahaan, atau

perjanjian kerja bersama.

Perselisihan tentang upah baik

yang menyangkut perorangan

maupun orang banyak (kolektif)

termasuk perselisihan hak apabila

tidak menyangkut perubahan syarat

kerja yang ditetapkan dalam

perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja

bersama.

Dalam menyelesaikan

perselisihan pengupahan melalui

mediasi, mediator akan

mengeluarkan anjuran tertulis

sebagai tindak lanjut atas tidak

tercapainya kesepakatan selambat-

lambatnya 10 hari kerja sejak

sidang kepada para pihak. Mediator

menyelesaikan tugasnya dalam

Page 37: ALSA Indonesia Law Journal

36

waktu selambat-lambatnya 30 hari

terhitung sejak menerima

pelimpahan penyelesaian

perselisihan.

Produk hukum mediator adalah

anjuran. Anjuran tertulis dalam

waktu selambat-lambatnya 10

(sepuluh) hari kerja sejak sidang

mediasi pertama harus sudah

disampaikan kepada para pihak.

Para pihak harus sudah

memberikan jawaban tertulis

kepada mediator yang isinya

menyetujui atau menolak anjuran

tertulis dalam waktu selambat-

lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja

setelah menerima anjuran tertulis.

Pihak yang tidak memberikan

pendapatnya dianggap menolak

anjuran tertulis dari mediator

tersebut.

Dalam kaitan apabila ada pihak

yang tidak menyetujui isi anjuran

dari mediator, pihak tersebut

mengajukan gugatan ke Pengadilan

Hubungan Industrial. Pengadilan

Hubungan Industrial merupakan

pengadilan khusus yang berada

pada lingkungan peradilan umum.

Pengadilan hubungan industrial

bertugas dan berwenang

memeriksa dan berwenang

memeriksa dan memutus di tingkat

pertama mengenai perselisihan

hak. Gugatan perselisihan

hubungan industrial diajukan

kepada pengadilan hubungan

industrial pada Pengadilan Negeri

yang daerah hukumnya meliputi

tempat pekerja / buruh bekerja.

Dalam hal tertentu, yaitu apabila

perselisihan hak dan / atau

perselisihan kepentingan diikuti

dengan perselisihan hubungan

kerja , maka pengadilan hubungan

industrial wajib memutus terlebih

dahulu perkara perselisihan hak

dan / atau perselisihan kepentingan.

Kesimpulan

Pergeseran pengertian dan jenis

perselisihan untuk perselisihan

upah yang diusung oleh Undang

Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial yang

menggantikan Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan lebih menguntungkan

bagi pekerja yang menuntut

keadilan.

Rekomendasi

Perlu diberikan pemahaman

mendalam bagi setiap pihak yang

terlibat dalam perselisihan

Page 38: ALSA Indonesia Law Journal

37

pengupahan karena pada Undang

Undang Nomor 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan perselisihan tentang

upah dapat dikategorikan sebagai :

1.Perselisihan Hak untuk masalah

perselisihan pengupahan secara

perorangan (individual).

2.Perselisihan Kepentingan untuk

masalah perselisihan pengupahan

secara kolektif ;

sedangkan dalam Undang Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial , perselisihan

pengupahan itu termasuk

perselisihan hak.

Hal ini penting difahami karena ada

perbedaan upaya hukum antara

perselisihan hak dan perselisihan

kepentingan.

Pihak yang tidak menyetujui isi

anjuran dari mediator , menggugat

di Pengadilan Hubungan Industrial

dan dimungkinkan adanya upaya

hukum kasasi di Mahkamah Agung.

Page 39: ALSA Indonesia Law Journal

38

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA PEREMPUAN DI INDONESIA

BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG

BERLAKU

Rosita Indrayati. S.H., M.H.

Inti Sari

Perlindungan terhadap pekerja perempuan secara keseluruhan terkait dengan

perlindungan ekonomis, perlindungan sosialdan perlindungan teknis. Dalam lingkup

perlindungan ekonomis di antaranya menyangkut upah dan tunjangan lainnya, tidak

boleh dibedakan dengan pekerja laki-laki untuk jenis pekerjaan dan jabatan yang

sama. Tenaga kerja perempuan merupakan bagian dari tenaga kerja yang telah

melakukan kerja baik untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau

dibawah perintah pemberi kerja (pengusaha, badan hukum atau badan-badan hukum

lainnya). Pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah-

langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.

Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus

terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara

efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan. Mengingat tenaga kerja wanita

sebagai pihak yang lemah dari majikannya, atasannya yang kedudukannya lebih kuat,

maka perlu mendapatkan perlindungan atas hak-haknya. Kebutuhan yang semakin

meningkat dan keinginan untuk mengkualifikasi diri merupakan sebagai alasan

mengapa wanita itu ingin bekerja. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa

apapun alasannya wanita itu ingin bekerja tetap saja tidak dapat dipungkiri karena

pekerjaan akan memberikan kontribusi yang tidak sedikit kepada semua pihak secara

langsung maupun tidak langsung. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap permpuan, memberikan pengertian diskriminasi sebagai

berikut. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengesampingan atau pembatasan

apa pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan

untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan

hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,

Page 40: ALSA Indonesia Law Journal

39

budaya, sipil atau bidang apapun lainnya, oleh kaum perempuan, terlepas dari status

perkawinan mereka atas dasar persamaan antara, lelaki dan perempuan”.

Kata Kunci: Perempuan, Perlindungan, Pekerja, Pengusaha

Latar Belakang

Pembangunan Nasional bertujuan

untuk mewujudkan suatu masyarakat

adil dan makmur yang merata materiil

dan spiritual berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan dari pembangunan nasional

tersebut merupakan pengamalan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945. Hal ini sesuai dengan

Pembukaan UndangUndang Dasar

1945 alinea ke-empat yaitu melindungi

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan

sosial.1 Dalam Undang-Undang Dasar

1945 pasal 1 ayat(3) secara tegas

dinyatakan bahwa “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”. Ini berarti

setiap pemegang kekuasaan dalam

Negara menjalankan tugas dan

wewenangnya berdasarkan atas

norma-norma dalam bentuk hukum

tertulis maupun yang tidak tertulis,

dengan demikian maka setiap warga

Negara memiliki hak-hak konstitusional

yang dijamin oleh hukum. Hal ini sesuai

dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945

yang menyatakan bahwa “tiap-tiap

warga Negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. Lebih lanjut tentang hak

konstitusional ini, disebutkan bahwa

dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945

yang mengamanatkan bahwa “Setiap

orang berhak untuk bekerja serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang

adil dan layak dalam hubungan kerja.

Pembangunan ketenagakerjaan

sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, dilaksanakan untuk dan dalam

rangka pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia

seluruhnya. Dalam arti yang lebih

khusus adalah guna meningkatkan

harkat, martabat, dan harga diri

pekerja serta mewujudkan

kesejahteraan, keadilan, kemakmuran

yang merata, baik materiil maupun

Page 41: ALSA Indonesia Law Journal

40

spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 pada

pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan

Ketenagakerjaan adalah segala hal

yang berhubungan dengan tenaga

kerja pada waktu sebelum, selama, dan

sesudah masa kerja. Pembangunan

ketenagakerjaan harus diatur

sedemikian rupa sehingga terpenuhi

hak-hak dan perlindungan yang

mendasar bagi tenaga kerja dan

pekerja atau buruh serta pada saat

yang bersamaan dapat mewujudkan

kondisi yang kondusif bagi

pengembangan dunia usaha.

Pertumbuhan ekonomi yang sangat

cepat ditandai dengan tumbuhnya

industri-industri baru yang

menimbulkan banyak peluang bagi

angkatan kerja pria maupun

perempuan. Sebagian besar lapangan

kerja di perusahaan pada tingkat

organisasi yang rendah yang tidak

membutuhkan keterampilan yang

khusus lebih banyak memberi peluang

bagi tenaga kerja perempuan.

Tenaga kerja perempuan

merupakan bagian dari tenaga kerja

yang telah melakukan kerja baik untuk

diri sendiri maupun bekerja dalam

hubungan kerja atau dibawah perintah

pemberi kerja (pengusaha, badan

hukum atau badan-badan hukum

lainnya). Masalah tenaga kerja saat ini

terus berkembang semakin kompleks

sehingga memerlukan penanganan

yang lebih serius. Pada masa

perkembangan tersebut pergeseran

nilai dan tata kehidupan akan banyak

terjadi. Pergeseran dimaksud tidak

jarang melanggar peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Menghadapi pergeseran nilai dan tata

kehidupan para pelaku industri dan

perdagangan, pengawasan

ketenagakerjaan dituntut untuk mampu

mengambil langkah-langkah antisipatif

serta mampu menampung segala

perkembangan yang terjadi. Oleh

karena itu penyempurnaan terhadap

sistem pengawasan ketenagakerjaan

harus terus dilakukan agar peraturan

perundang-undangan dapat

dilaksanakan secara efektif oleh para

pelaku industri dan perdagangan.

Dengan demikian pengawasan

ketenagakerjaan sebagai suatu sistem

mengemban misi dan fungsi agar

peraturan perundang-undangan di

bidang ketenagakerjaan dapat

ditegakkan. Penerapan peraturan

perundang-undangan ketenagakerjaan

juga dimaksudkan untuk menjaga

keseimbangan/ keserasian hubungan

antara hak dan kewajiban bagi

Page 42: ALSA Indonesia Law Journal

41

pengusaha dan pekerja/buruh

sehingga kelangsungan usaha dan

ktenagakerjaan dalam rangka

meningkatkan produktivitas kerja dan

kesejahteraan kerja dapat terjamin.

Pengawasan ketenagakerjaan dapat

dipahami dalam dua pengertian, yaitu

secara luas dan sempit. Secara luas,

pengawasan ketenagakerjaan adalah

segala tindakan dan perbuatan yang

tujuannya untuk mengawasi

pelaksanaan kesehatan kerja,

keamanan kerja, pelaksanaan

peraturan perlindungan kerja seperti

waktu kerja, waktu istirahat, K3 dan

sebagainya. Pengawasan ini dapat

dilakukan oleh siapa saja, baik oleh

pemerintah, asosiasi pengusaha,

serikat pekerja/buruh, dan sebagainya.

1

Pada kenyataan sekarang ini

banyak tenaga-tenaga kerja

perempuan yang dipekerjakan malam

hari, seperti halnya pada perusahaan-

perusahaan produksi, perkebunan,

pertenunan dan perusahaan elektronik,

dan lain-lain. Peranan hukum di dalam

pergaulan hidup adalah sebagai

sesuatu yang melindungi, memberi

rasa aman, tentram dan tertib untuk

mencapai perdamaian dan keadilan

setiap orang. Maka dari itu

1 Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hal.79

ketenagakerjaan juga membutuhkan

suatu pengawasan. Keberadaan

perusahaan sudah pasti

mengakibatkan dibutuhkannya tenaga

kerja dimana selama dibutuhkan

tenaganya perlu pula diperhatikan hak-

hak pekerja, karena pekerja itu adalah

manusia bukan mesin. Dengan

memperhatikan kehidupan tenaga

kerja akan memberikan keuntungan

bagi pengusaha sebagai pemimpin

perusahaan. Tenaga kerja merupakan

motor penggerak dari faktor-faktor

lainnya serta merupakan faktor

penentu berhasil atau tidaknya

perusahaan dalam mencapai tujuan,

tanpa adanya pekerja perusahaan tidak

mungkin berjalan dan berpartisipasi

dalam pembangunan. Oleh karena itu

wajar apabila pekerja ditempatkan

diurutan teratas dari faktor-faktor

produksi lainnya.

Tenaga kerja wanita merupakan

bagian dari tenaga kerja yang telah

melakukan kerja baik untuk diri sendiri

maupun bekerja dalam hubungan kerja

atau dibawah perintah pemberi kerja

(pengusaha, badan huium atau badan-

badan hukum lainnya). Mengingat

tenaga kerja wanita sebagai pihak yang

lemah dari majikannya, atasannya

yang kedudukannya lebih kuat, maka

Page 43: ALSA Indonesia Law Journal

42

perlu mendapatkan perlindungan atas

hak-haknya. Kebutuhan yang semakin

meningkat dan keinginan untuk

mengkualifikasi diri merupakan sebagai

alasan mengapa wanita itu ingin

bekerja. Kenyataan ini memberikan

gambaran bahwa apapun alasannya

wanita itu ingin bekerja tetap saja tidak

dapat dipungkiri karena pekerjaan akan

memberikan kontribusi yang tidak

sedikit kepada semua pihak secara

langsung maupun tidak langsung.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang muncul dari latar

belakang di atas adalah sebagai berikut

:

1. Bagaimanakah perlindungan

hukum terhadap pekerja

perempuan di Indonesia yang

bekerja pada sebuah

perusahaan?

2. Bagaimanakah kendala-kendala

pelaksanaan perlindungan

hukum yang sering dihadapi

oleh para pekerja perempuan

tersebut?

Perlindungan Hukum Terhadap

Pekerja Perempuan di Indonesia

2 Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2003),

hal. 3

Istilah buruh sangat populer dalam

dunia perburuhan/ketenagakerjaan,

selain istilah ini sudah dipergunakan

sejak lama bahkan mulai zaman

pejajahan Belanda juga karena

peraturan perundang-undangan yang

lama (sebelum Undang Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan) menggunakan istilah

buruh. Pada zama penjajahan Belanda

yang dimaksudkan dengan buruh

adalah pekerja kasar seperti kuli,

tukang, mandor yang melakukan

pekerjaan kasar,

orang-orang ini disebutnya sebagai

Blue Collar. Sedangkan yang

melakukan pekerjaan di kantor

pemerintahan maupun swasta disebut

sebagai Karyawan/Pegawai (White

Collar). Pembedaan yang membawa

konsekuensi pada perbedaan

perlakuan dan hak-hak tersebut oleh

pemerintah Belanda tidak terlepas dari

upaya untuk memecah belah orang-

orang pribumi.2

Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 3 memberikan

pengertian pekerja/buruh adalah setiap

orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk

Page 44: ALSA Indonesia Law Journal

43

apapun. Pengertian ini agak umum

namun maknanya lebih luas karena

dapat mencakup semua orang yang

bekerja pada siapa saja baik

perorangan, persekutuan, badan

hukum atau badan lainnya dengan

menerima upah atau imbalan dalam

bentuk apapun. Penegasan

imbalan dalam bentuk apapun ini perlu

karena upah selama ini diidentikan

dengan uang, padahal ada pula

buruh/pekerja yang menerima imbalan

dalam bentuk barang.3 Pengertian

tenaga kerja adalah setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan atau jasa,

baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk

masyarakat.Tenaga kerja (man power)

adalah penduduk yang sudah atau

sedang bekerja, sedang mencari

pekerjaan, dan yang melaksanakan

kegiatan lain, seperti bersekolah dan

mengurus rumah tangga. Pengertian

tenaga kerja dan bukan tenaga kerja

menurutnya ditentukan oleh

umur/usia.4

Pengertian pengusaha, yaitu

sebagai berikut:

3 Ibid. hal. 35 4Payaman Simanjuntak dalam bukuAgusmidah, Hukum ketenagakerjaan Indonesia,

(Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hal.6

1. orang perseorangan,

persekutuan, atau badan

hukum yangmenjalankan suatu

perusahaan milik sendiri;

2. orang perseorangan,

persekutuan, atau badan

hukum yang secaraberdiri

sendiri menjalankan perusahaan

hukum miliknya;

3. orang perseorangan,

persekutuan atau badan

hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam

huruf adan b yang

berkedudukan di luar wilayah

Indonesia.

Maksud dari pengertian di atas adalah:

a. orang perseorangan adalah

orang pribadi yang menjalankan

atau mengawasi operasional

perusahaan.

b. persekutuan adalah suatu

bentuk usaha yang tidak

berbadan hukum seperti CV,

Firma, Maatschap, dan lain-lain,

baik yang bertujuan untuk

mencari keuntungan maupun

tidak.

Page 45: ALSA Indonesia Law Journal

44

c. badan Hukum (recht person)

adalah suatu badan yang oleh

hukum dianggap sebagai orang,

dapat mempunyai harta

kekayaan secara terpisah,

mempunyai hak dan kewajiban

hukum dan berhubungan hukum

dengan pihak lain.5

BerdasarkanPasal 1 angka 15 Undang-

Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa:

Hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan

demikian jelaslah bahwa hubungan

kerja terjadi karena adanya perjanjian

kerja antara pengusaha dan

pekerja/buruh.

Setiap pekerja mempunyai hak dan

kewajiban sebagaimana di atur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan dan beberapa

undang-undang serta peraturan

pemerintah yang berkaitan dengan

ketenagakerjaan, di mana hak

merupakan suatu hal yang selayaknya

5 Danang Sunyoto, Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja dan Pengusaha. (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2013), hal. 28 6 Imam Soepomo dalam buku Agusmidah, Hukum ketenagakerjaan Indonesia, (Bogor:Ghalia

Indonesia, 2010), hal.61

di terima oleh pekerja sesuai

kesepakatan atau perjanjian dengan

pihak pemberi kerja,dalam hal

inimenerima upah atau penghasilan

lainnya. Sedangkan kewajiban

merupakan sesuatu yang wajib

dijalankan atau wajib di laksanakan

oleh pekerja sesuai dengan

kesepakatan atau perjanjian dengan

pihak pemberi kerja. Dengan

melaksanakan hak dan kewajiban,

antara pekerja dengan pemberi Kerja

berarti telah memenuhi apa yang sudah

di sepakati bersama atau sudah

diperjanjikan,masing-masing pihak

telah memenuhi prestasinya.

Kedudukan pekerja pada hakikatnya

dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari

segi yuridis dan dari segi sosial

ekonomis. Dari segi sosial ekonomis,

pekerja membutuhkan perlindungan

hukum dari negara atas kemungkinan

adanya tindakan sewenang-wenang

dari pengusaha. Perlindungan pekerja

dibagi ini menjadi 3 (tiga) macam, yaitu

sebagai berikut.6

a. Perlindungan ekonomis, yaitu

suatu jenis perlindungan yang

berkaitan dengan usaha-usaha

untuk memberikan kepada

Page 46: ALSA Indonesia Law Journal

45

pekerja suatu penghasilan yang

cukup memenuhi keperluan

sehari-hari baginya beserta

keluarganya, termasuk dalam

hal pekerja tersebut tidak

mampu bekerja karena sesuatu

di luar kehendaknya.

Perlindungan ini disebut dengan

jaminan sosial.

b. Perlindungan sosial, yaitu suatu

perlindungan yang berkaitan

dengan usaha kemasyarakatan,

yang tujuannya memungkinkan

pekerja itu mengenyam dan

mengembangkan

prikehidupannya sebagai

manusia pada umumnya, dan

sebagai anggota masyarakat

dan anggota keluarga; atau

yang biasa disebut kesehatan

kerja.

c. Perlindungan teknis, yaitu suatu

jenis perlindungan yang

berkaitan dengan usaha-usaha

untuk menjaga pekerja dari

bahaya kecelakaan yang dapat

ditimbulkan oleh pesawat-

pesawat atau alat kerja lainnya

atau oleh bahan yang diolah

atau dikerkana perusahaan.

Perlindungan jenis ini disebut

dengan keselamatan kerja.

Dalam UU No.13 Tahun 2003

dinyatakan bahwa perlindungan

terhadap tenaga kerja, dimaksudkan

untuk menjamin hak-hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin

kesamaan kesempatan serta perlakuan

tanpa diskriminasi atas dasar apapun,

untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja/buruh dan keluarganya.

Diskriminasi dalam segala bentuknya

dilarang, karena bertentangan dengan

prinsip masyarakat umum. Pengertian

diskriminasi dapat dilihat dalam kamus

besar bahasa Indonesia yang disusun

oleh Poerwadarminta. Istilah

diskriminasi diartikan sebagai

Perbedaan perlakuan terhadap

sesama warga negara (seperti dengan

memandang asli/tidak asli, perbedaan

warna kulit dan sebagainya.

Konvensi tentang penghapusan segala

bentuk diskriminasi terhadap

permpuan, memberikan pengertian

diskriminasi sebagai berikut.

”Diskriminasi adalah setiap

pembedaan, pengesampingan atau

pembatasan apa pun yang dibuat atas

dasar jenis kelamin yang mempunyai

pengaruh atau tujuan untuk

mengurangi atau menghapuskan

pengakuan, penikmatan atau

penggunaan hak-hak asasi manusia

dan kebebasan pokok di bidang politik,

Page 47: ALSA Indonesia Law Journal

46

ekonomi, sosial, budaya, sipil atau

bidang apapun lainnya, oleh kaum

perempuan, terlepas dari status

perkawinan mereka atas dasar

persamaan antara, lelaki dan

perempuan”.

Konvensi ILO No. 111 tahun 1958

tentang diskriminasi (kesempatan kerja

dan jabatan) yang telah diratifikasi

melalui UU No. 21 Tahun 1999 tentang

Pengesahan ILO No. 111 mengenai

diskriminasi dalam pekerjaan dan

jabatan pada tanggal 7 Mei 1999. Pada

Pasal 1 (a) menetapkan bahwa istilah

diskriminasi meliputi:

a. setiap bembedaan,

pengecualian atau

pengutamaan atas dasar ras,

warna kulit, agama, keyakinan

politik, kebangsaan atau asal

usul sosial yang berakibat

meniadakan atau mengurangi

persamaan kesempatan atau

perlakuan dalam pekerjaan atau

jabatan;

b. pembedaan,pengecualian atau

pengutamaan lainnya yg

berakibat meniadakan atau

mengurangi persamaan

kesempatan atau perlakuan

dalampekerjaan atau jabatan,

sebagaimana ditentukan

olehanggota yang bersangkutan

setelah berkonsultasi dengan

wakil organisasi pengusaha,dan

pekerja,jika ada dan dengan

badan lain yang sesuai.

Adanya peraturan ketenagakerjaan

yang substansi dan materinya khusus

di tujukan bagi perempuan,

dimaksudkan untuk:

a. Mencegah timbulnya perlakuan

diskriminasi (pembedaan,

pengecualian dan

pengutamaan) yang berakibat

mengurangi persamaan

kesempatan atau perlakuan

dalam pekerjaan atau jabatan;

b. Melindungi pekerja perempuan

untuk melangsungkan dan

melaksanakan tugas

reproduksinya sesuai kodrat,

tanpa harus kehilangan

kesempatan hak atas pekerjaan.

Perlindungan terhadap pekerja

perempuan secara keseluruhan terkait

dengan perlindungan ekonomis,

perlindungan sosialdan perlindungan

teknis. Dalam lingkup perlindungan

ekonomis di antaranya menyangkut

upah dan tunjangan lainnya, tidak

boleh dibedakan dengan pekerja laki-

laki untuk jenis pekerjaan dan jabatan

yang sama. Selain itu,terhadap

perempuan yang menjalankan masa

istirahat dikarenakan haid,melahirkan

Page 48: ALSA Indonesia Law Journal

47

atau keguguran kandungan tetap

mendapat upah penuh.Perlindungan

sosial dan teknis menyangkut

perlindungan di tempat kerja,antara lain

di muat dalam Pasal 76 UU 13 Tahun

2003.7

Perlindungan hukum merupakan

hal yang mutlak dan harus

dilaksanakan secara maksimal. Tujuan

pembangunan ketenagakerjaan

menurut Pasal 4 Undang Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yaitu.8

a. Memberdayakan dan

mendayagunakan tenaga kerja

secara optimal dan manusiawi;

b. Mewujudkan pemerataan

kesempatan kerja dan

penyediaan tenaga kerja sesuai

dengan kebutuhan

pembangunan nasional daerah;

c. Memberikan perlindungan

kepada tenaga kerja dalam

mewujudkan kesejahteraan;

d. Meningkatkan kesejahteraan

tenaga kerja dan keluarganya.

Tujuan dari perlindungan pekerja/buruh

adalah untuk menjamin

berlangsungnya hubungan kerja yang

harmonis tanpa adanya tekanan dari

7 Agusmidah, Op.Cit. hal.70 8 Danang Sunyoto, Hak dan Kewajiban Bagi Pekerja dan Pengusaha. (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2013), hal. 73

pihak yang kuat kepada pihak yang

lemah. Perlindungan pekerja/buruh

dapat dilakukan, baik dengan jalan

memberikan santunan maupun dengan

jalan meningkatkan pengakuan hak-

hak asasi manusia, perlindungan fisik

dan teknis serta sosial ekonomi melalui

norma yang berlaku dalam lingkungan

kerja tersebut.

Dalam Pasal 88 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003

menyatakan “Bahwa setiap pekerja

atau buruh berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. Maksud dari

penghidupan yang layak, dimana

jumlah pendapat pekerja/buruh dari

hasil pekerjaannya mampu untuk

memenuhi kebutuhan hidup

pekerja/buruh dan keluarganya secara

wajar, yang meliputi makanan dan

minuman, sandang, perumahan,

pendidikan, kesehatan dan jaminan

hari tua.

Dalam rangka memberikan

perlindungan upah maka pemerintah

menetapkan upah minimum di setiap

propinsi/kabupaten/kota. Upah

minimum diarahkan pada pencapaian

Page 49: ALSA Indonesia Law Journal

48

kebutuhan hidup layak yang

besarannya ditetapkan oleh menteri

tenaga kerja. Pencapaian kebutuhan

hidup layak perlu dilakukan secara

bertahap karena kebutuhan hidup

minimum yang sangat ditentukan oleh

tingkat kemampuan dunia usaha.

Motivasi utama seorang pekerja/buruh

di perusahaan adalah mendapatkan

upah, upah merupakan hak bagi

pekerja/buruh yang bersifat sensitif.

Karenanya tidak jarang pengupahan

menimbulkan perselisihan. Untuk

menghindari timbulnya perselisihan

antara pengusaha dan pekerja

khususnya tenaga kerja perempuan

maka pengusaha tidak boleh

mengadakan diskriminasi upah bagi

pekerja/buruh laki-laki dan perempuan

untuk jenis pekerjaan yang sama.

Berdasarkan peraturan perundang-

undangan pada prinsipnya tenaga kerja

perempuan dilarang untuk bekerja

pada malam hari, akan tetapi

mengingat berbagai alasan, maka

pekerja/buruh perempuan diizinkan

untuk bekerja pada malam hari antara

lain karena adanya alasan sosial,

alasan teknis, dan alasan ekonomis.

Tata cara mempekerjakan

pekerja/buruh perempuan pada malam

hari telah dikeluarkan dengan

Peraturan Mentri Tenaga Kerja R.I.

Nomor Per-04/MEN/1989 tentang tata

cara mempekerjakan pekerja/buruh

wanita pada malam hari yaitu:

1. Harus ada izin dari Depnaker

setempat dengan syarat

yang harus dipenuhi,

misalnya, mutu produksi

harus lebih baik bila

memepekerjakan wanita.

2. Pengusaha harus menjaga

keselamatan.

3. Kesehatan dan kesusilaan

(tidak boleh mempekerjakan

wanita dalam keadaan hamil

ada angkutan antar jemput

dan sebagainya).

4. Penyediaan makanan

ringan, ada izin dari orang

tua atau suami dan lain-lain.

Pekerja/buruh perempuan merupakan

kelompok yang karena kudratnya

mempunyai karakteristik tertentu yang

mendapat perhatian, oleh karena itu

dalam beberapa hal terhadap

pekerja/buruh perempuan ini

deberlakukan peraturan khusus karena

terutama yang menyangkut

perlindungan pekerja/buruh

perempuan, mencakup larangan kerja

pada malam hari, larangan melakukan

pekerjaan yang membahayakan

kesehatan, kesusilaan perempuan.

Page 50: ALSA Indonesia Law Journal

49

Bentuk-bentuk perlindungan tersebut

berupa:

a. Peraturan cuti haid

Bagi wanita yang normal dan sehat,

pada usia tertentu akan mengalami

haid, dalam prakteknya banyak wanita

yang sedang dalam masa haid tetap

bekerja tanpa gangguan apapun.

Tetapi kalau keadaan fisiknya tidak

memungkinkan sehingga yang

bersangkutan tidak dapat melakukan

pekerjaan tersebut. Hal ini diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951

tentang Pernyataan Berlakunya

Undang-Undang Kerja Tahun 1948

Nomor 12 Terkait Cuti.

Pasal 13 ayat (1) dinyatakan : “Buruh

wanita tidak boleh diwajibkan bekerja

pada hari pertama dan hari kedua

waktu haid. Pelaksanaan dari

ketentuan tersebut diatur. Pelaksaan

dari ketentuan tersebut diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun

1951, Pasal 1 Sub Pasal 1 ayat (2)

dalam menjalankan aturan tersebut

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1951 Pasal 13 ayat (1), maka majikan

dianggap tidak mengetahui tentang

keadaan haid dari buruhnya, bila yang

bersangkutan tidak memberitahukan

hal itu kepadanya”.

b. Peraturan cuti hamil,

melahirkan dan gugur

kandungan.

Bagi tenaga kerja wanita yang hamil,

dilindungi oleh undang- undang dalam

Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) yang

menyatakan:

“Buruh wanita harus diberi istirahat

selama satu setengah bulan sebelum

saatnya ia melahirkan menurut

perhitungan dan satu setengah bulan

setelah melahirkan anak atau gugur

kandungan”.

Ketentuan tersebut dinyatakan berlaku

dengan Peraturan Pemerintahan

Nomor 4 Tahun 1951 Pasal 1 Sub

Pasal 1 yang berbunyi Bagi tenaga

kerja yang akan menggunakan hak

cutinya diwajibkan : a.

a. Mengajukan permohonan yang

dilampiri surat keterangan dokter,

bidan atau keduanya tidak ada,

dapat dari pegawai pamong praja

atau sederajatnya camat.

b. Permohonan diajukan selambatnya

10 hari sebelum waktu cuti mulai.

c. Kesempatan menyusui anak pada

waktu jam kerja

Di dalam penjelaskan Pasal 13 ayat (4)

ditentukan bahwa dipikirkan oleh

pemerintah kemungkinan mengadakan

tempat penitipan anak. Kesempatan

sepatutnya adalah lamanya waktu yang

Page 51: ALSA Indonesia Law Journal

50

diberikan kepada pekerja/buruh

perempuan untuk menyusui bayinya

dengan memperhatikan tersedianya

tempat yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan perusahaan yang diatur

dalam peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama.

d. Pengapusan perbedaan perlakuan

terhadap pekerja/buruh perempuan

Peningkatan perlindungan bagi

pekerja/buruh perempuan dapat dilihat

pula dengan adanya beberapa

ketentuan yang menghapuskan adanya

pebedaan perlakuan terhadap

pekerja/buruh perempuan.

Kendala-kendala Pelaksanaan

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja

Perempuan

Hambatan-hambatan yang dihadapi

dalam pelaksanaan perlindungan

hukum terhadap pekerja wanita adalah

adanya kesepakatan antara pekerja

dengan pengusaha yang kadang

menyimpang dari aturan yang berlaku,

tidak adanya sanksi dari peraturan

perundangan terhadap pelanggaran

yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang

tidak menggunakan haknya dengan

alasan ekonomi. Agar langkah ini dapat

efektif maka negara harus

9 Sugiyono, Konvensi-Konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, alumni, Bandung, 1997,

hal. 118

menjabarkannya dan mengusahakan

untuk memasukkan jabaran konvensi

tersebut ke dalam rumusan undang-

undang negara dan menegakkannya

dengan cara mengajukan para

pelanggarnya ke muka sidang

pengadilan. Namun demikian,

perempuan sendiri masih belum

banyak yang sadar bahwa hak-haknya

dilindungi dan bahwa hal tersebut

mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan perempuan. Adalah sangat

prematur untuk mengadakan bahwa

CEDAW sudah dihormati dan

dilaksanakan secara universal.

CEDAW memerintahkan kepada

seluruh negara di dunia untuk tidak

melakukan diskriminasi terhadap

perempuan. Di dalam CEDAW

ditentukan bahwa diskriminasi

terhadap perempuan adalah perlakuan

yang berbeda berdasarkan gender

yang:9

a. Secara sengaja atau tidak

sengaja merugikan

perempuan;

b. Mencegah masyarakat

secara keseluruhan memberi

pengakuan terhadap hak

perempuan baik di dalam

maupun di luar negeri; atau

Page 52: ALSA Indonesia Law Journal

51

c. Mencegah kaum perempuan

menggunakan hak asasi

manusia dan kebebasan

dasar yang dimilikinya.

Perempuan mempunyai atas

perlindungan yang khusus sesuai

dengan fungsi reproduksinya

sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat

(1) CEDAW huruf f bahwa hak atas

perlindungan kesehatan dan

keselamatan kerja termasuk usaha

perlindungan terhadap fungsi

reproduksi. Selain itu seringkali adanya

pemalsuan dokumen seperti nama,

usia, alamat dan nama majikan sering

berbeda dengan yang tercantum di

dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak

berdokumen tidak diberikan dokumen

perjanjian kerja. Hal ini juga sering

terjadi pada pekerja perempuan yang

bekerja di luar negeri. Maka untuk itu

CEDAW pada pasal 15 ayat (3)

mengatur yaitu negara-negara peserta

bersepakat bahwa semua kontrak dan

semua dokumen yang mempunyai

kekuatan hukum, yang ditujukan

kepada pembatasan kecakapan hukum

para wanita, wajib dianggap batal dan

tidak berlaku.

Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja

wanita dalam semua macam tambang

di bawah tanah. Isi Pasal 2

menyebutkan bahwa setiap wanita

tanpa memandang umurnya tidak

boleh melakukan pekerjaan tambah di

bawah tanah. Pengecualiannya

terdapat pada pasal 3.

Dalam konvensi ILO Nomor 100

mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki

dan Wanita untuk Pekerjaan yang

Sama nilainya menyebutkan,

“Pengupahan meliputi upah atau gaji

biasa, pokok atau minimum dan

pendapatan-pendapatan tambahan

apapun juga, yang harus dibayar

secara langsung atau tidak, maupun

secara tunai atau dengan barang oleh

pengusaha dengan buruh berhubung

dengan pekerjaan buruh”.

Hak untuk menerima upah timbul pada

saat adanya hubungan kerja dan

berakhir pada saat hubungan kerja

putus. Pengusaha dalam menetapkan

upah tidak boleh diskriminasi antara

buruh laki-laki dan buruh wanita untuk

pekerjaan yang sama nilainya.

Kendala yang ditemukan dalam

pelaksanaan peraturan perundangan

dalam pelaksanaan perlindungan

hukum pekerja/buruh perempuan,

adalah kendala yang bersifat eksternal

dan kendala internal. Namun demikian

peraturan perundangan tersebut dapat

dilaksanakan secara efektif untuk

memberikan perlindungan terhadap

pekerja/buruh perempuan, khususnya

Page 53: ALSA Indonesia Law Journal

52

pekerja/buruh perempuan yang bekerja

pada malam hari. Kendala internal

yang timbul dari perlindungan hukum

pekerja/buruh perempuan yang bekerja

pada malam hari yaitu merupakan

kendala yang timbul dari diri

pekerja/buruh itu sendiri. Kendala-

kendala tersebut adalah kendala factor

pendidikan, kendala factor kesehatan.

Kendala eksternal merupakan kendala

perlindungan hukum bagi

pekerja/buruh perempuan yang bekerja

pada malam hari yang berasal dari luar

lingkungannya (bukan dari diri sendiri).

Adapun kendala eksternal yang terjadi

menurut informasi yang didapat penulis

yakni kendala yang berkaitan dengan

aturan yang berlaku dan kendala yang

biasanya berasal dari pengusaha itu

sendiri.

Kesimpulan

Tujuan dari perlindungan

pekerja/buruh adalah untuk menjamin

berlangsungnya hubungan kerja yang

harmonis tanpa adanya tekanan dari

pihak yang kuat kepada pihak yang

lemah. Perlindungan pekerja/buruh

dapat dilakukan, baik dengan jalan

memberikan santunan maupun dengan

jalan meningkatkan pengakuan hak-

hak asasi manusia, perlindungan fisik

dan teknis serta sosial ekonomi melalui

norma yang berlaku dalam lingkungan

kerja tersebut.

Hambatan-hambatan yang

dihadapi dalam pelaksanaan

perlindungan hukum terhadap pekerja

wanita adalah adanya kesepakatan

antara pekerja dengan pengusaha

yang kadang menyimpang dari aturan

yang berlaku, tidak adanya sanksi dari

peraturan perundangan terhadap

pelanggaran yang terjadi, faktor

pekerja sendiri yang tidak

menggunakan haknya dengan alasan

ekonomi.

Saran

1. Perlindungan hukum terhadap

tenaga kerja perempuan

hendaknya dilakukan perusahaan

dengan sepenuh hati, sehingga

dapat mengangkat harkat dan

martabat perempuan yang juga

merupakan manusia yang memiliki

hak dan kewajiban yang sama

dengan laki-laki. Kepada

perusahaan dan pihak pemerintah

hendaknya melakukan sosialisasi

yang cukup terhadap perlindungan

hukum tenaga kerja perempuan.

2. Pemerintah dalam hal ini harus

memberikan penyuluhan kepada

pekerja/buruh perempuan

mengenai Undang-Undang Nomor

Page 54: ALSA Indonesia Law Journal

53

13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan agar setiap

pekerja/buruh perempuan

mengetahui perlindungan

hukumnya sebagimana mestinya

yang diberikan oleh perusahaan.

3. Pengusaha seharusnya

memberikan tanggung jawab

perusahaan kepada pekerja/buruh

perempuan harus selalu

memberikan perlindungan bagi

pekerja/buruh perempuan yang

bekerja pada malam hari yang

dimana telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

Page 55: ALSA Indonesia Law Journal

54

DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah, 2010. Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia

Indonesia, Bogor.

Danang Sunyoto, 2013. Hak dan

Kewajiban Bagi Pekerja dan

Pengusaha, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Imam Soepomo, 1983. Pengantar

Hukum Perburuhan. Djambatan,

Jakarta.

Lalu Husni, 2003. Pengantar Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali

Pers, Jakarta.

Sugiyono, 1997. Konvensi-Konvensi

tentang Perlindungan Tenaga Kerja,

Alumni, Bandung.

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 56: ALSA Indonesia Law Journal

55

SISTEM HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

Dr. H. Zulkarnain Ibrahim, S.H., M. Hum

Page 57: ALSA Indonesia Law Journal

56

Pendahuluan

Ditinjau dari aspek historis, hukum

perburuhan atau hukum

ketenagakerjaan Indonesia tidak lepas

dari aspek politik hukum pemerintah

pada waktu itu, yaitu: 1 pertama,

sebelum masa Kemerdekaan R.I. 17

Agustus 1945, meliputi: a. Masa

Perbudakan; b. Masa penjajahan

Hindia Belanda, terdiri dari Rodi yang

dibagi tiga, yaitu rodi gubernemen

(untuk kepentingan gubernemen dan

pegawai), rodi perorangan (untuk

kepentingan kepala atau pembesar

Indonesia), dan rodi desa (untuk

kepentingan desa). Selanjutnya

menurut Jan Breman, poenale sanctie

diterapkan dalam kaitannya dengan

penerapan Koeli ordonantie serta

agrarisch wet dalam melakukan

hubungan kerja antara buruh yang

bekerja di tanah pertanian dan

pekerbunan. Poenalie sanctie itu

bertujuan untuk mengikat buruh supaya

tidak melarikan diri setelah melakukan

kontrak kerja; dan c. Masa

Pendudukan Jepang. Pada masa

pendudukan Jepang mulai tanggal 12

Maret 1942. Pemerintah militer Jepang

membagi menjadi tiga daerah

pendudukan, yaitu Jawa, Madura, dan

1 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pascareformasi, Refika Aditama,

Bandung, 2009, hlm. 12-15.

Sumatera yang dikontrol dari

Singapura dan Indonesia Timur. Pada

masa ini diterapkan romusnya dan

kinrohosyi.

Kedua, masa Pasca Proklamasi 17

Agustus 1945, meliputi: a. Masa

Pemerintahan Soekarno; b. Masa

Pemerintahan Soeharto; c. Masa

pemerintahan B.J. Habibie; d. Masa

Pemerintahan Abdurahman Wahid; d.

Masa Pemerintahan Megawati

Soekarno Putri. dan e. Masa

Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono.

Masa Pemerintahan Abdurahman

Wahid, diberlakukan UU No. 21 Tahun

2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat

Buruh. Masa Pemerintahan Megawati

Soekarno Putri, dengan disahkannya

UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan tanggal 25 Maret

2003. Undang-undang No. 13 Tahun

2003, telah menghapuskan banyak

peraturan Perundang-undangan

Ketenagakerjaaan sebelumnya,

termasuk KUHPerdata Bab 7 A menjadi

tidak berlaku lagi.

Sistem Civil Law

Hukum Romawi, merupakan cikal

bakal dari sistem hukum Eropah

Page 58: ALSA Indonesia Law Journal

57

Kontinental. Perkembangan sistem

hukum Eropah Kontinental terjadi

dalam beberapa fase sebagai berikut:2

pertama, 1. fase formasi hukum

Romawi dimulai sejak lahirnya sistem

hukum Eropa Kontinental, yakni ketika

mulai berlakunya undang-undang dua

belas pasal (The Twelve Tables) di

romawi. Hal tersebut terjadi di sekitar

tahun 400 SM; 2. fase kematangan

hukum Romawi; terjadi pada saat mulai

berlakunya kumpulan undang-undang

yang sangat spektakuler di Romawi,

yakni saat mulai berlakunya Corpus

juris civilis, yang di buat atas supervisi

dari raja Justinian,di abad VI Masehi; 3.

fase kebangkitan kembali dari hukum

Romawi ini terjadi takkala timbulnya

semangat di eropah untuk memahami

dan menerapkan kembali hukum

Romawi, yang terjadi pada abad XI

Masehi. Hal ini dimulai dengan mereka

beramai-ramai mempelajari hukum

Romawi di Univerity of Bologna (Italia),

yang dilakukan dalam tahun 11 Masehi;

2 Meskipun hukum Romawi merupakan roh dari sistem hukum Eropah Kontinental,

tetapi pengaruh hukum Romawi tersebut juga kuat terasa dalam perkembangan sistem

hukum Anglo Saxon. karena, banyak pencipta kaidah dalam sistem hukum Anglo Saxon,

sudah terlebih dahuku mempelajari sistem hukum Romawi, atau sistem hukum Eropa

Kontinental. misalnya hukum Amerika serikat dalam perkembangannya, dalam beberapa

bidang justru lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari hukum Romawi ketimbang dari

ajaran sistem hukum Anglo Saxon sendiri. misalnya pengaruh hukum Romawi sangat jelas

kelihatan dalam Uniform Comercial Code (UCC) di USA, kerena para perancang UCC

banyak yang telah mendapat pendidikan hukum Romawi. Lihat: Munir Fuady,

Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 57-58

4. fase resep hukum romawi ini terjadi

tatkala sistem hukum romawi,

khususnya yang disebut dengan jus

commune, diberlakukan diberbagai

negara eropa, yang terjadi sejak awal

abad XVII Masehi; 5. fase kodifikasin

hukum; fase kodifikai ini terjadi tatkala

dibuat beberapa kodifikasi diberbagai

negara, yang paling spektakuler tentu

saja Code Napoleon di Perancis, yang

terdiri dari Code Civil, Code Panel,

Code Du Commerce, dan Code tentang

Hukum Acara Perdata dan Pidana. Hal

ini terjadi sejak awal abad XIX; dan 6.

fase resepsi kodifikasi. Fase resepsi

kodifikasi ini terjadi tidak lama setelah

terciptanya kodifikasi di Perancis

(dengan Code Napoleon), di tandai

dengan banyaknya negara bi benua

Eropa dan juga negara-negara di

benua lain yang memberlakukan Code

Napoleon, dengan disana-sini

dilakukan perubahan. Belanda

misalnya mulai antara lain

memberlakukan Burgelijeke Wetboek

Page 59: ALSA Indonesia Law Journal

58

dalam tahun 1838, yang kemudian di

bawa ke Indonesia dan berlaku dalam

tahun 1848.

Kedua, Di samping itu menurut

John Merryman,3 ada juga para ahli

perbandingan hukum yang membagi

tahap-tahap perkembangan sistem

hukum Eropa Kontinental sebagai

berikit: a) tahap pra-klasik; b) tahap

klasik; c) tahap Corpus juris Civilis; d)

tahap komentar dari para Glassators

dan Commentator; e) tahap penulisan

oleh the humanist; f) tahap kodifikasi di

Perancis; g) tahap aliran sejarah hukum

dari von Savigny; dan h) tahap BGB

(Kodifikasi di Jerman).

Ketiga, sejarah hukum

menunjukkan bahwa pembentukan dan

perkembangan hukum Romawi terjadi

sekitar 1000 tahun. Dimulai dari awal

berlakunya undang-undang Dua Belas

Pasal (The Twelve Tables) di tahun 450

SM, sampai dengan terbentuknya

komplisasi hukum justinian, sekitar

tahun 543 Masehi, dengan para ahli

hukum Romawi seperti Ulpianus,

3 John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, University Press, Stanford,

California, USA, 1969, hlm. 15; Dalam: Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2007, hlm. 57-58.

4 The institute hanya berisikan teks yang merupakan pengantar saja, sedangkan the code

merupakan kumpulan aturan legislasi bangsa romawi yang disusun secara sistematis, dan the

novels merupakan aturan legislasi yang di buat setelah selesainya pembuatan The digest dan

the code. Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah The digest, yang merupakan kumpulan

aturan hukum yang paling lengkap, dan yang sangat mempengaruhi perkembangan hukum

Papianianus, dan Gaius. Namun

demikian, setelah lebih kurang 1000

tahun perkembangan ilmu, teori,

doktrin, dan kaidah ilmu hukum romawi,

hukum romawi masih mengepak

sayapnya, dan berlakunya semakin

meluas ke berbagai negara, terutama

hukum romawi versi Justinian yang

terdapat dalam Corpus Juris Civilis,

yang berisikan banyak perbedaan

dengan aturan hukum klasik yang

sebelumnya telah berlaku di romawi.

Corpus juris civilis itu sendiri

merupakan komplisasi aturan hukum

yang di buat atas arahan dari raja

Byzantine yaitu justinian di abad VI

Maehi tersebut, yakni dimasa setelah

jatuhnya kekuasaan dari barat

(Western Empirime). dan, karena

dibuat di zaman pertengahan, maka

sedikit banyaknya Corpus juris civilis

juga dipengaruhi oleh ide-ide

gereja/kristen.

Pembahasan dari Corpus Juris

Civilis itu, 4 pertama, terdiri dari empat

bagian: 1. the institute; 2. the Digest; 3.

Page 60: ALSA Indonesia Law Journal

59

the code; 4. the novels. Kedua, hukum

Romawi sebagaimana terdapat dalam

Corpus juris civilis terus saja berlaku

dan berkembang, kecuali beberapa

abad di masa invasi dari bangsa Arab,

Slavia, dan Lombardia. Bahkan setelah

jatuhnya kerajaan Romawi, di dunia

barat terdapat kerajaan-kerajaan kecil

yang saling terpecah-pecah, hukum

Romawi tetap diberlakukan oleh para

penahluk dari bangsa Germania, di

samping berlakunya hukum kanonik

(gerejawi). Memang, dengan jatuhnya

kerajaan Romawi, penggunaan corpus

juris civilis juga semakin meredup. para

penakluk, disamping membawa

hukumnya yang merupakan hukum

Germania disamping juga

memberlakukan hukum Romawi tetapi

dalam versi yang kurang jelimet dan

lebih kasar pengaturannya, kususnya

yang diberlakukan di semenanjung

italia. Sehingga hukum romawi yang

asli (bukan dari corpus juris civilis) yang

bercampur dengan hukum germania

kemudian berlaku diitalia, perancis

selatan dan semenanjung lberia.

Namun demikian, sejarah

menunjukkan bahwa hukum romawi

selanjutnya dalam sistem hukum eropah kontinental, khususnya dalam bidang-bidang seprtti

status personal, perbuatan melawan hukum, kepemilikan barang tanpa hak, kontrak, masalah

ganti rugi, dan lain-lain. Bahkan dapat dikatakan bahwa the digest bersama dengan the code

inilah yang merupakan daar hukum Romawi yang berkembang melalui sistem hukum eropa

kontinental sampai saat ini. Ibid. hlm. 58-59.

campuran germania, yang dianggap

hukum romawi yang vulgar dan barbar,

dikemudian hari tidak diikuti lagi, dan

hanya tinggal dalam sejarah saja.

Ketiga, dalam abad

pertengahan, hukum kebiasaan

bangsa Germania yang mulai di tulis

pada abad V Masehi itu juga sedikit

banyaknya mempengaruhi

perkembangan sistem hukum Eropa

Kontinental, seperti dalam bidang

hukum harta perkawinan dan hukum

waris.

Keempat, masa kebangkitan

kembali hukum Romawi terjadi diabad

XI Masehi, dengan munculnya kembali

keinginan dari para ahli hukum, setelah

bersusah payah memberlakukan

instrument-instrumen hukum

peninggalan zaman Romawi klasik dan

karya cipta ahli hukum zaman Byzantie,

untuk kembali memberlakukan hukum

Romawi, dan kemudian

memberlakukan kembali corpus juris

civilis. Selanjutnya, muncul berbagai

universitas untuk mempelajari hukum

Romawi di Italia, dimana

mahasiswanya datang dari berbagai

Negara Eropa. Di unuversitas-

Page 61: ALSA Indonesia Law Journal

60

universitas tersebut kemudian

terbentuk kelompok-kelompok ahli

hukum yang disebut dengan Glassator

dan commentator. Mereka banyak

mengarang buku-buku hukum.

Glasator adalah generasi utama dari

universitas Bologna yang mencoba

menafsirkan kembali hukum Romawi

yang sudah banyak tidak dimengerti

lagi oleh orang-orang saat itu.

Sedangkan commentator datang lebih

kemudian (abad XIII Masehi), yang

juga menafsirkan hukum Romawi.

Bortolus dikenal sebagai commentator

terhebat saat itu.

Sistem Anglo Saxon

Sistem hukum Anglo Saxon atau

disebut juga dengan sistem hukum

Common Law, merupakan suatu

sistem hukum yang berlaku di Inggris

dan di negara-negara bekas jajahan

sampai saat ini. Karena itu, sistem

hukum Anglo Saxon ini berlaku sampai

saat ini misalnya di Inggris, Amerika

Serikat, Kanada, Australia, India,

Malaysia, Singapura, dan lain-lain.

Karena merupakan hukum kebiasaan

(common law) dari sinilah muncul istilah

sistem hukum “common law” yang

merupakan istilah lain dari sistem

5 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm.

68-69.

hukum “Anglo Saxon. Berbeda dengan

hukum Romawi yang dibuat oleh

bangsa Romawi sendiri, dalam sejarah

terbukti bahwa hukum Inggris

umumnya berasal dari hukum para

penjajahnya, meskipun kemudian

menjadi hukum kebiasaan. Tahun 1066

Masehi dianggap tahun lahirnya sistem

hukum Anglo Saxon (common law),

saat bangsa Norman tersebut

menaklukan Inggris.5

Sejarah perkembangan hukum

Anglo Saxon selanjutnya, ternyata

dalam banyak kesempatan, hukum

Romawi menginfiltrasi sistem hukum

Anglo Saxon, meskipun pengaruh dari

hukum Romawi tersebut sampai

sekarang masih tidak begitu dominan.

Infiltrasi hukum Romawi ke dalam

hukum Anglo Saxon tersebut seperti

terlihat dalam peristiwa-peristiwa

sejarah sebagai berikut:

1. Di Inggris, awal mulanya berlaku

Celtics Laws. Bangsa Celt (Ras

Aria dari bangsa Eropa Tengah)

adalah penjajah daratan Eropa

pertama yang dikenal dalam

sejarah, yang telah menguasai

Eropa sejak tahun 900 SM, dan

menguasai Inggris sejak tahun

390 SM.

Page 62: ALSA Indonesia Law Journal

61

2. Bangsa Romawi pernah

menjajahInggris (abad I sampai

V M) dan memberlakukan

hukum romawi, dan

menggantikan Celtics Laws.

Julius Caesar (dari Romawi)

menaklukan Inggris dalam tahun

55 dan 54 SM.

3. St. Agustine menerapkan hukum

di Inggris, yang berdasarkan

pada agama, tetapi juga

memiliki elemen dari hukum

Romawi. Paham kristiani mulai

menguasai Inggris pada

permulaan abad IV M.

4. Awal abad V M adalah masa

kejatuhan Imperium Romawi

atas Inggris. Garrisons yang

merupakan gubernur Romawi

terakhir di Inggris ditarik kembali

dalam tahun 407 M.

5. Orang-orang Angels dan

Saxons, (yaitu dua suku bangsa

Germanik dari pantai Laut Baltik)

ditambah dengan suku bangsa

Jutes, dapat menaklukkan

Inggris yang ditinggalkan pergi

oleh Bangsa Romawi, dalam

serangkaian perang berdarah

dari tahun 477 sampai 577 M.

6. Jadi, sebelum bangsa Norman

membawa hukumnya, hukum

yang dipraktikan di Inggris

adalah hukum Germanik (hukum

bangsa Angels dan Saxons).

7. Penaklukan oleh Bangsa

Norman (tahun 1066) yang juga

membawa hukum yang

mempunyai unsur hukum

Romawi, meskipun yang

terutama dilakukan oleh bangsa

Romawi adalah mangumpulkan

dan menerapkan hukum

kebiasaan (Common Law)

Inggris sendiri, yang telah di

kuasai hukum Jerman.

8. Kemudian, muncul kembali

pembelajaran terhadap hukum

Romawi dan hukum Kanonik

yang dimulai dari Italia dan

menyebar ke seluruh Eropa

Barat termasuk Inggris.

9. Pembuatan sistem hukum

Equity di Inggris dalam abad XV

juga banyak dipengaruhi oleh

hukum Romawi.

10. Namun demikian, unsur hukum

Romawi dalam sistem hukum

Inggris saat ini tidak signifikan.

Jadi yang menjadi dasar utama

hukum Inggris adalah Hukum

Inggris Kuno dan Hukum

Kebiasaan Germanik (dari

bangsa Angels dan Saxons) dan

pengembangannya oleh raja,

Page 63: ALSA Indonesia Law Journal

62

parlemen dan pengadilan di

Inggris.

Sebagai dua sistem hukum dari dua

tradisi hukum yang berbeda, antara

sistem hukum Eropa Kontinental (civil

law) dengan sistem hukum Anglo

Saxon (Common Law), banyak

terdapat perbedaan, meskipun ada

juga pergerakan diantara keduanya

menuju suatu konvergensi hukum.

Perbedaan yang paling utama diantara

kedua sistem hukum tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Berbeda dengan sistem hukum

Eropa Kontinental yang sangat

berorientasi pada undang-

undang tertulis, sistem hukum

Common Law adalah sebuah

“judge Made Law” (hukum

buatan pengadilan), sedangkan

Peradilan tidak begitu berperan

dalam pembentukan dan

perkembangan Hukum Romawi.

2. Meskipun Common Law pernah

mengalami proses Romanisasi,

tetapi tidak banyak

6 Keduabelas, Konsep aturan hukum (concept of the legal rule). Di Negara-negara yang

memberlakukan Romano-Germanic Family, di mana doktrin yang tertulis dipresentasikan

dengan kewibawaan, aturan hokum dianggap lebih sebagai sesuatu yang tepat untuk

memecahkan kasus konkret. Melalui upaya sistemasi karya-karya pengarang, aturan hukum

telah muncul dengan level abstraksi yang tinggi. Dalam pandangan ahli-ahli hukum Inggris,

konsep-konsep abstrak dengan tingkat generalitas yang tinggi dengan contoh, regle de droit

sebagai legal principle dianggapnya lebih sebagai persepsi moral daripada sebagai aturan

hukum yang sebenar-benarnya. Sebaliknya system hukum Inggris yang mengondisikan

penyelesaian kasus-demi kasus secara konkret dianggapnya oleh ahli hukum Prancis sebagai

judicial application yang sangat mudah untuk dipahami, tapi tidak well organized dan tidak

meninggalkan bekas

dibandingkan dengan hukum

Eropa Kontinental.

3. Kebiasaan-kebiasaan lokal tidak

memainkan peranan di dalam

evolusi Common Law,

sedangkan di Eropa Kontinental

pengaruh-pengaruh kebiasaan

lokal sampai abad XVII masih

tetap penting.

4. Undang-undang sampai dengan

abad XIX tidak penting dalam

Common law, sedangkan di

eropa Kontinental sejak abad

XIII sampai abad XIX, undang-

undang secara gradual menjadi

sumber hukum terpenting.

Negara-negara yang menganut sistem

hukum Anglo Saxon tidak mengenal

kitab undang-undang.

Perbedaan antara Civil Law dengan

Common Law

Perbedaan antara system Civil Law

dengan Common Law, sebagai

berikut:6 pertama, Order and priority:

Page 64: ALSA Indonesia Law Journal

63

jurisprudence and doctrine. Perbedaan

mendasar antara system civil law dan

common law dalam civil law prioritas

diberikan pada doktrin (termasuk

codified reports) bukan jurisprudence

yang sebaiknya menjadi prioritas dalam

system common law. Selain itu,

perbedaan lainnya adalah peranan

legislator dalam kedua tradisi hukum

tersebut. Kode sipil Prancis (French

civil Law) mengadopsi teori

Montesquieu tentang pemisahan

kekuasaan dimana fungsi legislator

adalah melakukan legislasi, sedangkan

pengadilan berfungsi untuk

menerapkan hokum. Di lain pihak

system common law menganut prinsip

judge made precedent sebagai hal

memuaskan karakter tersebut. Sebagai konsekuensinya, system civil law merupakan system

hukum tertutup dalam arti setiap keadaan yang mungkin hanya diatur oleh aturan dan prinsip-

prinsip umum yang sangat terbatas, sementara system common law merupakan system hukum

yang terbuka dengan pengertian bahwa setiap aturan baru dapat diciptakan atau dimaksudkan

ke dalam fakta-fakta baru (new rules may be created or imported for new facts)

Ketigabelas, Pengkategorian hukum (categories of laws). System civil law menentukan

kategori hukum berdasarka aturan itu sendiri, misalnya public law dan private law. Sementara

common law dapt dijumpainya berbagai yurisdiksi pengadilan yang menangani perkara

berbeda oleh pengadilan berbeda, yang dalam common law dikenal adanya common law court

dan court of equity. Tidak mengherankan apabila dalam system civil law, hukum adjektif atau

hukum yang mengatur tentang prosedur dan pembuktian lebih mendapat perhatian dalam

yurisdiksi common law, sedangkan hukum substantive biasanya memperoleh penekanan atau

perhatian lebih.

Keempat belas, Hak versus remedi (right versus remedies). System civil law

memfokuskan pada hak dan kewajiban, sementara dalam common law yurisdiksi pengadilan

tertentu untuk memberikan hak dan kewajiban setelah melalui remedi (remedies precede

rights). Dalam civil law tidak memiliki definisi yang jelas tentang system remedi yang tepat.

Sebaliknya common law tidak memiliki system yang unitair mengenai hak dan kewajiab.

Pengadilan mempunyai yurisdiksi untuk mendengarkan persoalan atau perkara yang diajukan

dengan meneliti cause of action yang melahirkan hak dan kewajiban. Lihat: Ade Maman

Suherman, Pengantar Sistem Hukum, Civil Law, Common Law dan Hukum Islam, PT.

RajaGrafinda Persada, Jakarta, 2004, hlm. 116-123

yang utama dari hokum (judge made

precedent the core of it’s law).

Kedua, Fungsi doktrin. Fungsi doktrin

hukum dalam kode sipil adalah untuk

menggambarkan atau menjelaskan

terhadap tidak terorganisasinya kasus-

kasus, buku dan kamus hukum, aturan-

aturan dan prinsip-prinsip yang akan

menjelaskan suatu subjek yang

elemennya tidak murni. Ketiga,

Doctrine style. Dalam system Common

Law, pengarang memfokuskan pada

patern kenyataan (facts patern), ia

(common law) akan menganalisis

kasus yang muncul secara mirip, tetapi

tidak identik secara factual,

mengekstrak dari aturan yang spesifik,

kemudian melalui metode deduksi,

Page 65: ALSA Indonesia Law Journal

64

menentukan frekuensi variasi dalam

skop yang sempit setiap aturan, dan

terkadang mengusulkan aturan baru

untuk mengcover fakta yang belum

muncul.

Keempat, Fungsi yurisprudensi.

Yurispudensi dalam system common

law men set out sebuah aturan baru

yang spesifik serta menyediakan

(provide) sumber prinsipil utama

sumber hukum, sementara

yurisprudensi dalam hokum kode sipil

menerapkan prinsip-prinsip umum, dan

penjelasannya melalui sumber-sumber

hukum yang sekunder.

Kelima, Stare decisis. Dalam doktrin

system hukum Inggris, pengadilan

yang tingkatnya lebih rendah harus

mengikuti keputusanyang lebih tinggi.

Namun demikian, menentukan suatu

sumber-sumber order of priority

berdasarkan suatu reason authority.

Stare decisis sebagai salah satu

metode untuk mengadili suatu perkara

yang mirip atau sama, similar case

should be tried similarly. Sebaliknya,

stare decisis tidak dikenal dalam

system kode sipil.

Keenam, Yurisprudensi: style. Dalam

bentuk putusan pengadilan, system

kode sipil merumuskannya dalam

bentuk tertulis, lebih formalistic style-

nya daripada putusan dalam system

common law. Keputusan dalam system

civil law memeng lebih pendek

daripada common law dan terpisah ke

dalam dua bagian: pertama, adalah

motif atau reason dan dispositif atau

order. Hal ini disebabkan bahwa hakim

dalam suatu system hukum sipil secara

khusus dilatih pada sekolah atau

lembaga tertentu dan di-create sesuai

dengan tujuan-tujuan tertentu,

sementara para hakim common law

ditunjuk antara para pengacara praktik

(practicing lawyears) tanpa

memperoleh pelatihan khusus.

Ketujuh, Fungsi undang-undang

(Statutes: fnction). Walaupun statute

(peraturan yang diundangkan)

merupakan suatu produk hukum yang

ada di kedua system hukum, baik sipil

maupun common law, tetapi terdapat

perbedaan dalam fungsinya. Kitab

undang-undang dalam hukum kode

sipil mengupas core of the Law dan

prinsip-prinsip umum secara sistematik

dam menyeluruh dan diekspose dalam

suatu kode (Kitab) dan statute-statuta

tertentu melengkapi kode tersebut.

Kedelapan, Gaya perumusan hukum

(style of drafting laws). Perbedaan yang

menyolok antara kedua system hukum

tercermin dari ungkapan berikut ini:

Civil law codes and statutes are concise

( le style francais), while common law

Page 66: ALSA Indonesia Law Journal

65

statutes are precise (le style anglais).

Memang dalam statute hukum sipil

tidak menyajikan definisi dan prinsip-

prinsip secara luas dan frase umum. Di

lain pihak Statute common law

menyajikan definisi secara detail,

setiap aturan secara spesifik dijabarkan

dengan enumerasi yang panjang

dikaitkan dengan aplikasi spesifik, serta

eksepsi atau pengecualiannya.

Kesembilan, Penafsiran hokum

(interpretation of law). Dalam yurisdiksi

hukum sipil, langkah pertama dalam

menafsirkan hukum menurut Mazaud

adalah untuk menemukan maksud atau

intention dari legislator dengan

memeriksa semua legislasi termasuk

travaux preparatories juga termasuk

teks yang berkaitan dengan itu dan

mengandung teks yang obscure.

Kesepuluh, Pengangkatan hakim

(appointment of judges). Hakim

common law memegang peran penting

dalam memutuskan apa dan

bagaimana suatu hukum dibuat,

ditunjuk dari sekian praktisi lawyer.

Hakim civil law yang memegang fungsi

utama dalam adjudkasi diangkat dan

dipilih dari sekolah hukum yang fresh

graduate dengan spesialisasi tertentu.

7 A. Wiyono, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum U.I.,

Jakarta, 2001, hlm. 22

Kesebelas, Konsekuesi evolusi hukum

(consequences – evolution of the law).

Semntara itu, prinsip-prinsip civil law

dibakukan dan mengkristal ke dalam

suatu kode dan sering diwarnai dengan

doktrin yang rigid dan ditetapkan oleh

pengadilan, sedangkan kebanyakan

common law dapat berubah dari waktu

ke waktu dengan mendasarkan pada

doktrin stare decisis.

Sistem Hukum Perburuhan di

Indonesia

Suatu pembangunan tidak serta-merta

dapat berlangsung singkat, namun

berlangsung secara bertahan. Menurut

Profesor Organski, Negara – negara

modern sekarang ini seperti Amerika

Serikat, Inggris, dan Jepang telah

melaksanakan pembangunan secara

bertahap.7

Pertama, tahap unifikasi,

dimana negara baru pada tahap

mengupayakan proses penciptaan

persatuan bangsa dan kesatuan suatu

negara. Stabilitas politik merupakan

persyaratan untuk masuk ke tahap

industrialisasi.

Kedua, tahap industrialissai,

dimana negara memfokuskan

usahanya pada pertumbuhan ekonomi

Page 67: ALSA Indonesia Law Journal

66

melalui peningkatan akumulasi modal.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

merupakan persyaratan untuk

mencapai negara kesejahteraan.

Ketiga, tahap negara

kesejahteraan, dimana negara

menyadari industrialisasi tidak selalu

positif. Pada negara kesejahteraan,

Pemerintah mencoba memperbaiki

implikasi negatif dari industrialisasi

dengan melindungi pihak yang lemah.

Jika dikaitkan dengan teori

politik mengenai tahap pembangunan

negara modern yang dikemukakan oleh

Organski, pada masa Industrialisasi,

umumnya buruh di tekan atau

dikorbankan untuk suksesnya

pertumbuhan ekonomi, yang

merupakan persyaratan untuk masuk

ke tahap negara kesejahteraan. Hal ini

disebabkan dalam tahap industrialisasi

fungsi utama pemerintah adalah

mendorong terciptanya elit baru yaitu

para manager industri, dan mendorong

peningkatan akumulasi modal.8

Indonesia juga melalui tiga

tahap juga, yaitu tahap unifikasi,

industrialisasi dan tahap negara

kesejahteraan. Pertama, tahap

unifikasi telah dilalui melalui masa yang

8 Ibid. hlm. 22-23 9 Edi Suharto, Kemiskinan dan Perlindungamn Sosial di Indonesia, Alfabeta,

Bandung, 2009, hlm. 15

panjang semenjak Sriwijaya,

Mojopahit, kerajaan Islam, penjajahan,

dan kebangkitan nasional, dan

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus

1945. Kedua, tahap Industrialisasi

yang sangat menonjol dengan

mengundang investor asing dan dalam

negeri untuk berivestasi di Indonesia.

Perangkat hukumnya dengan

diundangkannya UU. PMA dan UU.

PMDN tahun 1967. Ketiga, tahap

negara kesejahteraan, dimana negara

menyadari industrialisasi tidak selalu

positif. Pada negara kesejahteraan,

Pemerintah mencoba memperbaiki

implikasi negatif dari industrialisasi

dengan melindungi pihak yang lemah.

Pihak yang lemah adalah

bahasa lain dari mereka yang hidup

miskin. Piven dan Cloward ( 1993 ) dan

Swanson ( 2003 ) menunjukkan

kemiskinan berhubungan dengan

kekurangan materi, rendahnya

penghasilan, dan adanya kebutuhan

sosial, sebagi berikut:9

1. Kekuranganh materi.

Kemiskinan menggambarkan

adanya kelangkaan materi atau

barang-barang yang diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari,

Page 68: ALSA Indonesia Law Journal

67

seperti makanan, pakaian dan

perumahan;

2. Kekurangan penmghasilan dan

kekayaanmemadai. Makna ”

memadai” di sini sering dikaitkan

dengan standar atau garis

kemiskinan ( poverty line ) yang

berbeda-beda dari satu negara

ke negara lainnya. Bank Dunia

menetapkan seseorang itu

miskin jika ia pendapatannya

kurang dari $ 2 per hari. PBS

Indonesia diukur dengan asupan

kalori 2.200 calori. Penghasilan

per kapita pada Maret 2007

sebesar Rp. 166. 697,-;

3. Kesulitan memenuhi kebutuhan

sosial, termasuk keterkucilan

sosial, ketergantungan, dan

ketidakmampuan berpartisipasi

dalam masyarakat.

Pihak-pihak yang masuk kreteria

miskin ini di Indonesia, secara umum

sebagian besar adalah petani, nelayan,

pedagang asongan, dan buruh. Maka

pemahaman teks ( undang-undang )

saja tidak cukup untuk membela hak-

hak kaum miskin tetapi bagaimana teks

tersebut dimaknai dengan realitasnya.

Namun kendalanya ada pada sistem

10 FX Adji Samaekto, Sistem Hukum Modern, Rule of Law dan Kemiskinan Di

Indonesia, hlm. 69-70; Dalam: Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum,

Dari Konstruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

hukum modern yang dipelopori oleh

kapitalisme.

Sebab menurut FX Adji Samaekto10,

pertama, terdapat hubungan antara

sistem hukum modern, prinsip rule of

law dan timbulnya kemiskinan di

Indonesia yang merupakan hubungan

sebab akibat. Sistem hukum modern

adalah sistem hukum yang berasal dari

Eropah barat yang tumbuh pada abad

ke-19 bersamaan dengan tumbuhnya

kapitalisme. Karakteristik sistem hukum

modern dengan mengutip Satjipto

Rahardjo, dapat diidentifikasikan

sebagai berikut: a. merupakan sistem

hukum yang berasal dari tatanan sosial

Eropah Barat pada abad ke-19; b.

Sangat dipengaruhi oleh paradigma

positivisme dalam dalam ilmu

pengetahuan alam; c. rasional, lepas

dari pengaruh ketuhanan, d. Meyakini

bahwa hukum dapat dokonstruksi dan

dikelola secara netral tidak berpihak,

impersial, dan objektif; e. Mendukung

terciptanya kepastian dan

prediktabilitas; f. Melindungi HAM dan

kebebasan.

Kedua, rule of law ( rol ) tidak pro

kemiskinan, dikarenakan : a. rol bukan

sebagai sarana untuk mencapai tujuan

Page 69: ALSA Indonesia Law Journal

68

masyarakat atau memecahkan

masalah kemiskinan; b. rol, cocok

dalam konteks kekinian ekonomi

Indonesia yang mempasilitasi dan

memberi ruang bagi perkembangan

kapitalisme dan pasar bebas dengan

privatisasinya; c. aturan hukum yang

berpihak pada kapitalisme telah

mendorong pemerintah Indonesia

untuk mendapatkan bantuan dari

lembaga atau negara donor dengan

imbalan antara lain berupa:

swastanisasi sektor publik, penegakan

perlindungan HAKI dan aturan

perburuhan yang tidak memihak kaum

buruh. Sebagai akibatnya antara lain

kebijakan negara yang berpihak pada

pengentasan kemiskinan, pemenuhan

kebutuhan dasar, dan perwujudan

keadilan sosial menjadi terpinggirkan.

Negara Civil law dan Anglo Saxon

merupakan motor dari modernisme dan

kapitalisme. Menurut H.R. Otje Salman

dan Anthon F. Susanto bahwa: 11

pertama, harus diakui bahwa,

pergeseran dari era modern kepada

post-modern, merupakan sebuah

proses pengikisan. Pandangan

demikian itu paling tidak didukung dua

hal dengan alasan sebagai berikut.

Pertama terjadi proses "pergantian"

11 H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama,

Bandung, 2009, hlm. 117-118

sejauh bahwa modernisme telah

memenuhi sebagian janji-janjinya; dan

kedua sebagian lagi sebagai suatu

proses "keusangan" sejauh,

modernisme tidak lagi mampu

memenuhi sebagian janji-janji yang

lainnya. tulisan ini, seperti tulisan

lainnya tidak bertujuan untuk

mempertentangkan dua hal di atas,

karena dalam perkembangan ilmu

keduanya memberikan kontribusi yang

luar biasa dan memiliki posisi penting.

Kedua, apabila kita bermaksud

membandingkan persoalan di atas

dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

modernisme selalu bersanding dengan

kapitalisme, dan selalu dianggap selalu

saling bertautan, serta tidak dapat

dilepaskan, meski pada kenyataannya

berbeda secara otonom dari sudut

pandang historis. 2. proses historis

tersebut (modernisme dan kapitalisme)

saling mengkonvergensi dan

menginterpenetrasi satu sama lain,

meski kondisi-kondisi dan dinamika

perkembangannya tetap terpisah dan

relatif otonom. Modernisme tidak

mensyaratkan kapitalisme sebagai

mode produksinya, bahkan dipahami

sebagai sesuatu mode produksi

tersendiri.

Page 70: ALSA Indonesia Law Journal

69

Para sarjana yang membahas tentang

kapitalisme dan modernisme, pertama,

Bryan Turner, menjelaskan keterkaitan

di antara dua hal tersebut di atas

"modernitas secara umum dapat

dipandang sebagai suatu perubahan

sosial budaya yang bersifat massif

yang telah berlangsung dari

pertengahan abad keenam belas, yang

pada gilirannya, dan tentu saja

sebagaimana diurai di atas berkaitan

dengan suatu analisis terhadap

masyarakat kapitalis industrial sebagai

suatu perubahan yang revolusioner

stabilitas tradisi dan sosial di bangun

dalam peradaban agraris yang agak

stagnan.12

Kedua, oleh Bell, modernisme

digambarkan secara lebih kritis yaitu

sebagai sifat budaya yang mencakup

semua seni; buram, sangat

mengganggu, eksperimetal dalam

bentuknya yang tiruan. Lebih jauh

dikatakan bahwa modernisme

merupakan respon terhadap

perubahan sosial akhir abad ke19

dalam persepsi makna dan kesadaran

diri yang timbul dari disorientasi ruang

12 Bryan Turner, Teori-Teori Sosiologi, Modernisme dan Postmodernisme, Pustaka

Pelajar, Yokyakarta, 2000, hlm. 8-10; dalam : H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto,

Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 118 13 . Daniel Bell, The Cultural Contradiction of Capitalism, Heinemann, London,

1973, hlm., 50; Dalam: H.R. Otje salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2009, hlm. 118

waktu yang berkaitan dengan

transformasi penting dalam komunikasi

dan transportasi, dan suatu krisis

kesadaran diri yang mengikuti erosi

kepercayaan dan nilai-nilai secara

berturut-turut. Bell berpandangan

bahwa modernisme hanyalah sebagai

jalan lintas dari aturan kehidupan

borjuisme tradisional dengan bentuk-

bentuk yang berkaitan dengan

rasionalitas dan ketenangannya yang

menjadi Sasaran kekecewaan. Dalam

membahas persoalan-persoalan

tersebut, pendirian yang teguh

terhadap penolakan watak moral dan

budaya modernisme diungkapkan oleh

Bell, terutama melalui rujukan pada

sifat anti-rasional.13

Sedangkan Post-Modernisme lebih

mengedepankan pandangan bahwa

berbagai lapangan dan spesialisasi

ilmu merupakan strategi utama atau

kesepakatan di mana realitas dapat

dibagi, terutama sebagai upaya serius

untuk mencapai kebenaran yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok

sosial dalam mencari kekuasaan."

pandangan ini sckaligus menjelaskan

Page 71: ALSA Indonesia Law Journal

70

sentralitas tesis Nietzsche kehendak

untuk kuasa dalam epistimologis

kontemporer di mana pencarian

kebenaran selalu berarti membangun

kekuasaan. Penekanannya terhadap

sifat arbiter dari struktur argumen dan

retorika bahasa tetap merupakan

bagian yang penting sebagai senjata

kritik dekonstruksi postmodernisme."14

Hukum Perburuhan Indonesia

Termasuk Hukum Modern

(bersubstansi Civil Law dan Anglo

Saxon)

Kenapa hukum perburuhan Indonesia

termasuk hukum modern ? ciri-cirinya:

15

1. Mempunyai bentuk tertulis

2. Hukum itu berlaku untuk seluruh

wilayah negara. Apabila kita

memperhatikan sejarah, maka

keadaanya tidak selalu

demikian. Pada masa-masa

yang lalu, dalam suatu wilayah

negara bisa berlaku berbagai

macam hukum dengan otoritas

yang bersaing. Seperti

dikatakan oleh Marc Galanter,

14 Ibid., hlm. 119. 15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlml. 213-

214. 16 Marc Galanter, The Modernization of Law, dalam Modernization, The dynamics

of growth, Voice of America Forum Lectures, t.t., hlm. 167-179; Dalam: Satjipto rahardjo,

Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 213-214

maka hukum modern sekarang

ini terdiri dari peraturan-

peraturan yang bersifat uniform

serta diterapkan tanpa

mengenal variasi. Peraturan-

peraturan tersebut lebih bersifat

teritorialo daripada “pribadi”,

artinya peraturan yang sama itu

diterapkan terhadap anggota-

anggota masyarakat dari semua

suku, agama, kelas, daerah dan

kelamin. Apabila disitu diakui

adanya perbedaan-perbedaan,

maka ia bukan sesuatu yang

disebabkan oleh kualitas yang

intrinsik, seperti antara

bangsawan dan budak atau

antara kaum Brahmana dan

kelas-kelas yang lebih rendah di

India, melainkan yang

disebabkan oleh fungsi, kondisi

dan hasil-hasil karya yang

didapat oleh seseorang dalam

kehidupan keduniaan ini. 16

3. Hukum merupakan instrumen

yang dipakai secara sadar untuk

mewujudkan keputusan-

keputusan politik

Page 72: ALSA Indonesia Law Journal

71

masyarakatnya. Hal ini telah kita

bicarakan pada bab terdahulu.

Berbicara mengenai sumber hukum

ketenagakerjaan, berarti membahas

mengenai sumber-sumber-sumber

hukum dibidang

Ketenagakerjaan.sumber hukum pada

umumnya dibedakan menjadi dua,yaitu

sumber hukum dalam arti materil dan

sumber hukum arti formil. Sumber

hukum dalam arti formil,artinya sumber

hukum yang dikenal dari

bentuknya.(Tempat dimana dapat

ditemukan dan dikenal hukum).Adapun

macam dari sumber hukum formil

adalah : a. Peraturan perundang-

undangan; b. Hukum kebiasaan; c.

Yurisprudensi; d. Traktat/perjanjian;

dan e. Doktrin

Khusus UU. No. 3 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan ( UUK ),

pada konsiderannya secara filosofis

adalah Pancasila dan konsideran

mengingatnya UUD 1945. Namun

substansial pasal-pasalnya ada

muatan civil law dan kapitalisme.

Sebagai contoh, antara lain:

1. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja dan

Perjanjian Kerja Bersama17

17 Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 46

Setiap perjanjian kerja dapat dibuat

secara tertulis atau lisan. Dalam hal

perjanjian kerja ini dibuat secara

tertulis, harus dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Syarat-

syaratnya adalah: a) kesepakatan

kedua belah pihak; b) kemampuan atau

kecakapan melakukan perbuatan

hukum; c) adanya pekerjaan yang

diperjanjikan; dan d) pekerjaan yang

diperjanjikan tidak bertentangan

dengan ketertiban umum, kesusilaan,

dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. (Pasal 52 UU No.13

Tahun 2003).

2. Asas kebebasan berkontrak dalam

pasal 1338 KUHPerdata, juga masuk

dalam UUK.

3. Outsourcing, asas-asasnya telah

masuk ke dalam UU. No. 13 tahun 2003

dalam pasal 64, 65, dan 66.

Dari contoh tersebut untuk

menyatakan bahwa asas-asas hukum

ketenagakerjaan adalah produk Barat

atau kapitalisme dengan sistem civil

law dan anglo saxon. Prilaku

kapitalisme nampak dalam proses

perjanjian kerja atau tawar-menawar

Page 73: ALSA Indonesia Law Journal

72

pada kenyataannya tidak ada tawar-

menawar. Sebagai akibatnya buruh

selalu dalam posisi di pihak yang

lemah. Oleh karena itu keadialn bagi

buruh jauh dari kenyataan untuk

mencapai buruh yang sejahtera

menurut keinginan negara

kesejahteraan ( welfare state ).

Dalam kajian teoritis seperti dalam

pandangan Organski, menuurt penulis

bahwa Hukum Romawi merupakan

cikal bakal dari sistem hukum Eropah

Kontinental. Meskipun hukum Romawi

merupakan roh dari sistem hukum

Eropah Kontinental, tetapi pengaruh

hukum romawi tersebut juga kuat

terasa dalam perkembangan sistem

hukum Anglo Saxon. karena, banyak

pencipta kaidah dalam sistem hukum

18di Negara asal istilah welfare –state, ‘kebijakan’ dan ‘kegiatan negara’ sudah

mengalami banyak perkembangan, sejak setidaknya secara formal ditetapkan pasca Perang

Dunia II. Seiring dengan itu, perdebatan yang mewarnai itu juga terus berjalan. Dalam dekade

terakhir, wealfare –state juga mempunyai ciri khusus, yang jelas berbeda dengan apa yang ada

di tahun 40 an, bahkan 80 an. Welfare-state saat ini menjadi sasaran kritik tak kunjung habis

dan dijadikan kambing hitam atas mandengnya pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Untuk

sebagian masalah, alasan ini cukup tepat, namun dilain pihak, welfare-state justru menjadi

salah satu senjata pokok pemerintah dalam mensukseskan transisi ekonomi, sebagaimana hal

itu terjadi dinegara-negara Eropah.

Landasan utama pengembangan kebijakan walfare-state. Saat ini, semua kelompok

politik, semua pemerintah negara-negara, semua pengambil kebijakan telah menyudahi

perdebatan mengenai apakah welfare-state diperlukan atau tidak. Artinya, semuanya sudah

mengakui bahwa welfare-state diperlukan iti mutlak perlu. Yang menjadi persoalan adalah

sekarang soal apakah welfare-state itu sudah tetapi sasaran, tepat guna dan apakah welfare-

state itu sudah dapat menghasilkan siklus menuju kemakmuran. Selain itu, kita juga

melihat tantangan yang amat besar dimasa sekarang dan dimasa mendatang. Problem terbesar

kemanusiaan sekarang adalah bagaimana mengembangkan keadilan dan kemakmuran. Salah

satu persoalan besar adalah apakan keadilan itu dapat diibaratkan ide. Amartya Sen, untuk

menyebut salah satu contoh penggambaran persoalan, menggambarkan bagaimana

sekarang ini keadilan itu dibagi. Persoalan yang ditegaskan oleh Sen, adalah bukan pertama-

Anglo Saxon, sudah terlebih dahuku

mempelajari sistem hukum Romawi,

atau sistem hukum eropa kontinental.

misalnya hukum amerika serikat dalam

perkembangannya, dalam beberapa

bidang justru lebih banyak dipengaruhi

oleh ajaran dari hukum romawi

ketimbang dari ajaran sistem hukum

Anglo Saxon sendiri. misalnya

pengaruh hukum Romawi sangat jelas

kelihatan dalam Uniform Comercial

Code (UCC) di USA, kerena para

perancang UCC banyak yang telah

mendapat pendidikan hukum Romawi.

Inti dari Pasal 33 dan 34 UUD 1945

adalah kesejahteraan warganegara.

Untuk memahami persoalan negara

kesejahteraan, menurut Tim Peneliti

PSIK diketuai Yudi Latif, bahwa: 18 di

Page 74: ALSA Indonesia Law Journal

73

Indonesia, sedikit saja istilah yang kita

gunakan untuk menerjemahkan

welfare-state secara pas. Secara

singkat, welfare –state dijabarkan

secara singkat sebagai serangkaian

kebijakan publik dan kegiatan negara

dalam mengintegrasikan kebijakan

ekonomi dan kebijakan sosial demi

sebuah pencapaian kemakmuran.

Globlaisasi memberi

banyak manusiawi, tetapi juga

mengambil amat banyak dari manusia

lain. Kenyataan ini menjadi

pertimbangan yang amat mendalam

dalam pemerintahan negara-negara,

baik negara maju maupun negara

berkembang. Tahun-tahun 2005-2006,

misalnya, kita melihat gelombnag balik

dari negara maju dimana mereka justru

melakukan proteksi terbuka ( overt

protection). Kritik dari negara

berkembang amat terbuka dan pedas

atas tindakan negara maju ini. Namun,

pemerintah negara maju juga berada

pada bahaya bahwa warga negara

mereka akan melakukan perlawanan

terbuka. Dalam siklus demokrasi yang

tama persoalan bahwa tidak ada keadilan, tetapi bagaimana membagi keadilan disaat keadilan

itu merupakan entitas yang terbatas. Bagaimana membagi keadilan untuk mereka yang berhak,

sedang yang berhak tidak terbatas, sedang keadilan itu terbatas. Sumber inspirasi mengenai

bagaimana memperjuangkan keadilan tidak ada habisnya. Kita dapat menemukan dalan

banyak nilai dan pemikiran. Menjadi tantangan bagaimana mewujudkannya dengan

manusiawi, ditengah situasi yang semakin sulit untuk dikatakan manusiawi. Liohat: Yudi Latif

dkk., ( Tim Peneliti PSIK ), Negara Kesejahteraan dan Glonbalisasi, Pengembangan

Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Univ. Paramadina, Jakarta, 2008, hlm. xxx1-xxxii

amat cepat, misalnya di Maerika

Serikat, perlawanan terbuka ini jelas

tidak membutuhkan waktu lama untuk

dapat terwujud. Pemeilihan sela

kongres Amerika Serikat November

2006, misalnya mengisyaratkan bukan

hanya perlawanan terhadap perang

Irak, melainkan juga perlawanan atas

kebijakan Pemerintah Amerika Serikat

yang melakukan pemotongan pajak

untuk top eranes dan membuat banyak

pengeluaran yang tak terkontrol.

Tujuan negara Republik

Indonesia, telah dtuangkan dalam

Pembukaan UUD 1945 oleh para

Pendiri Negara ( The Founding Father

), sebagai berikut: ”Kemudian daripada

itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial,

maka disusunlah Kemerdekaan

Page 75: ALSA Indonesia Law Journal

74

Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar Negara

Indonesia…".

Tujuan Negara Indonesia

tersebut, pertama, terdiri atas tiga

pokok, yaitu :19 (1) melindungi seluruh

bangsa dan tumpah darah Indonesia;

(2) memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa ;

dan (3) ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan social.

Pada bagian pertama dan kedua

merupakan tujuan interen ketiga, tujuan

ekstern. Disadari bahwa Indonesia

tidak dapat hidup sendirian dan tidak

dapat berkembang sewajarnya sesuai

dengan perkembangan umat manusia

dan kemajuan dalam segala bidang,

lepas dari negara-negara lain. Lagi pula

sesuai dengan sila kemanusiaan yang

adil dan beradab dan keadilan sosial,

Indonesia merasa wajib ikut

memperhatikan kesejahteraan seluruh

umat manusia.

Kedua, memajukan

kesejahteraan umum adalah sama

dengan mewujudkan masyarakat yang

adil dan makmur. Itulah tujuan jangka

panjang Negara kita yang hanya dapat

19 Yudi Latif dkk., (Tim Peneliti PSIK ), Negara Kesejahteraan dan Glonbalisasi,

Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Univ. Paramadina, Jakarta,

2008, hlm. 4

dicapai secara bertahap. Bersama-

sama dengan rakyat pemerintah harus

menciptakan kemakmuran dan pada

waktu yang sama mengusahakan agar

setiap warga Negara memperoleh

bagian yang wajar sesuai dengan jasa

dan kebutuhannya. Kemakmuran

(prosperity) ialah suatu keadaan di

mana kebutuhan manusia dapat

dipenuhi dengan wajar secara mantap

atau terus-menerus. Secara konkrit itu

berarti tersedianya barang dan jasa

kebutuhan hidup, tidak hanya untuk

memungkinkan hidup tetapi juga untuk

mempermudah, menyenangkan dan

meningkatkannya, sehingga orang-

orang dapat hidup layak sebagai

manusia, mengembangkan diri dan

mencapai kesejahteraan lahir batin15.

Ketiga, tanggungan Negara ialah

kemakmuran umum (public prosperity).

Kemakmuran perorangan atau pribadi

adalah urusan orang masing-masing,

dan mencakup barang dan jasa-jasa

yang tersedia bagi orang-orang,

keluarga dan kelompok-kelompok

untuk kesejahteraannya: sandang

pangan, perawatan kesehatan,

perumahan, pendidikan, kemerdekaan,

kebudayaan, ilmu pengetahuan, moral,

Page 76: ALSA Indonesia Law Journal

75

agama dan lain sebagainya. Orang-

orang dapat mencapainya sendiri,

bairpun biasanya memerlukan bantuan

masyarakat. Makin makmur dan adil

masyarakat makin mudah pula orang-

orang mendapatkan kemakmuran

pribadi mereka. 20.

Keempat, kemakmuran umum

ialah tersedianya barang dan jasa bagi

rakyat, sehingga orang-orang dapat

mencapai kemakmuran pribadinya.

Kemakmuran umum merupakan

pelengkapan bagi orang-orang. Negara

dimaksud untuk menjaga dan mengatur

agar barang dan jasa itu tersedia dan

terjangkau oleh daya beli rakyat

banyak. Bukanlah tugasnya

menghadiahkan semuanya itu kepada

orang-orang secara mudah. Orang-

orang harus berusaha sendiri sebaik

mungkin, tetapi untuk kekurangannya

mereka dapat mengharapkan bantuan

Negara. Dalam hal ini, bantuan yang

paling baik dan paling selaras dengan

martabat manusia berupa pertolongan

yang memungkinkan orang bekerja

secara produktif dan lambat laun berdiri

di atas kaki sendiri. Dengan demikian

dapat dikatakan, hakikat kesejahteraan

umum ialah melengkapi usaha orang-

orang: (1) dengan menyediakan apa

20 Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial, Erlangga, Jakarta, 1993, hlm. 12.

yang perlu bagi kemakmuran pribadi

mereka tetapi tidak dapat mereka capai

dengan kekuatan mereka sendiri; (2)

bagi semua warga masyarakat, tetapi

secara proporsional menurut prestasi

dan kebutuhan masing-masing yang

wajar; dan (3) dengan memperhatikan

anggota masyarakat yang lemah dan

memerlukan bantuan istimewa seperti

fakir miskin, yaitm piatu, kaum

pengangguran, kaum cacat, kaum

jompo, gelandangan, dan lain

sebagainya.

Kelima, masyarakat adil makmur

berdasarkan Pancasila kiranya dapat

dibatasi sebagai masyarakat di mana

(1) kepastian hukum dijamin dan

keadilan ditegakkan, dan (2) tersedia

bagi setiap warganya hal-hal sebagai

berikut:

a. Cukup sandang pangan dan

perumahan yang layak,

sehingga dia dapat hidup

aman, tidak perlu selalu hidup

dalam kecemasan

menghadapi hari depan.

b. Fasilitas kesehatan termasuk

tenaga medis, obat-obatan,

rumah sakit dan pusat

kesehatan dengan

perlengkapan dan tenaga

Page 77: ALSA Indonesia Law Journal

76

seperlunya, sedangkan biaya

terjangkau oleh daya beli

rakyat banyak.

c. Kesempatan pendidikan pada

segala tingkat, baik umum

maupun

kejuruan/professional,

sehingga barang siapa mau

dan berbakat dapat menjadi

orang yang cerdas dan cakap

untuk menunaikan tugasnya

terhadap Negara dan

masyarakat sambil

mewujudkan kesejahteraan

lahir batinnya.

d. Jaminan bagi hari tua,

sehingga orang tidak hidup

dalam ketakutan bahwa dia

akan terlantar jika sudah tidak

berdaya untuk mencari

nafkahnya.

e. Sarana perhubungan

secukupnya, sehingga dia

dapat dengan mudah, cepat

dan murah bergerak atau

berpergian, baik untuk urusan

usaha dan dinas maupun

keperluan lain.

f. Sarana komunikasi

seperlunya, sehingga dapat

mengadakan hubungan

dengan orang lain lewat pos,

telepon, telegram dan radio

dengan cepat, mudah dan

murah

g. Kesempatan kerja yang

selaras dengan keingingan

dan kecakapannya di mana

dia dapat bekerja dengan

syarat-syarat baik dan balas

karya yang wajar sehingga

mencukupi kebutuhan diri dan

keluarganya.

h. Kesempatan untuk menikmati

dan mengembangkan

kebudayaan dan

menyempurnakan hidup moral

keagamaannya serta hidup

intelektualnya sehingga di

samping kehidupan materiil

juga kehidupan batinnya

terpelihara dengan baik.

i. Kemungkinan untuk

beristirahat pada waktunya

dan menikmati hiburan-

hiburan seperti pertunjukkan,

pagelaran dan lain

sebagainya.

j. Suasana di mana hidup moral

keagamaan yang baik tidak

hanya menjadi mungkin, tetapi

juga menjadi mudah dan

menarik. Negara tidak hanya

bertugas untuk memajukan

kesejahteraan materiil, tetapi

juga ikut serta membina

Page 78: ALSA Indonesia Law Journal

77

mental dan moral rakyat yang

luhur. Negara dapat

memainkan perannya yang

penting itu dengan berbagai

cara, khususnya lewat

undang-undang, pendidikan

dan kerja sama dengan

lembaga-lembaga yang

bergerak di bidang itu. Tetapi

dalam semuanya itu Negara

harus menghormati otonomi

orang dan lembaga dalam

bidang-bidang itu.

Salah satu upaya untuk mencapai

kesejahteraan tersebut, adalah

insttrumen hukum ekonomi

mendapatkan dasar dan Pasal 33 UUD

1945 ,21 dengan ciri-cirinya:

1. Perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan [Pasal 33 (1)];

2. Cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

negara [Pasal 33 (2)];

3. Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat

[Pasal 33 (3)];

21 Sumantoro, Hukum Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 23.

Kemudian setelah diamandemen,

ditambah dengan ayat 4 dan ayat 5

sebagai berikut:

4. Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip

kebersamaan, efisiensi-berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional [Pasal 33

(4)****];

5. Ketentuan lebih lanjut menegnai

pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang ( pasal 33 ( 5 ) **** ).

Hukum Perburuhan Islam

Sistem Hukum Perburuhan Indonesia

secara filosofis berdasarkan Pancaila.

Sila I. Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi

sebagian besar bangsa Indonesia

adalah pemeluk agama islam, nilai-nilai

Pancasila tersebut koheren dengan

ajaran agama ilam. Maka wajar kalau

masyarakat perburuhannya, khusunya

pengusaha dengan nilai-nilai keislaman

di dalam dirinya mempunyai prilaku

yang islami terhadap terhadap buruh-

buruhnya.

Islam sangat memperhatikan nasib

buruh, dengan menganugerahkannnya

Page 79: ALSA Indonesia Law Journal

78

gambaran-gambaran paling utama dan

sifat-sifat paling mulia. Perhatikanlah

bagaimana islam menjadikannya

sebagai kekasih Allah; Namun, apakah

seorang buruh merasa puas dengan

penghargaan yang sangat tinggi ini?

sebenarnya cukup baginya untuk

merasa terhormat dan bangga pada

penghormatan yang diberikan oleh

Rasulullah SAW kepadanya.

Rasulullah berkata : Bahwa tangan

para pekerja atau buruh yang kasar dan

penuh luka karena bekerja untuk

menghidupi keluarga mereka, adalah

tangan yang sangat dicintai oleh Allah

dan tangan itu tidak akan disentuh oleh

api neraka. 22

Islam sangat memperhatikan

keselamatan kaum Buruh, oleh karena

itu islam mengeluarkan aturan-aturan

yaitu:Islam mengharamkan segala

jenis kezaliman dan mengajak

dihilangkannya berbagai bencana dan

keburukan terhadap kaum buruh dan

pekerja. Di antara bentuk-bentuk

kezaliman yang paling jelas adalah

memeras kaum buruh dan menahan

upah kerja mereka. Sesungguhnya hal

semacam itu sangat diharamkan dan

sangat jelas pelanggarannya karena

22. Ibid 23 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi, Dalam: Baqir Sharief Qorashi,

Keringat Buruh , Al-Huda, Jakarta:2007, hlm 2.

dapat dikategorikan sebagai memakan

harta secara batil. Rasullulah saw

bersabda: Tiga jenis orang yang

menjadi musuhku pada hari kiamat

diantaranya adalah orang yang

mempekerjakan seorang buruh namun

tidak memenuhi upahnya ( Ibnu Majah

dan baihaqi ). Selanjutnya sebagai

berikut: 23

a. Pemberian Upah

Di antara hak-hak buruh yang

paling penting adalah yang

berhubungan dengan masalah

penentuan upah kerjanya. Karenanya,

seorang buruh jangan sampai tidak

mengetahui upahnya karena hal itu

dapat membuka peluang terjadinya

proses penipuan. Diriwayatkan dari

Imam Shadiq yang berkata:

”Barangsiapa beriman kepada Allah

dan hari kiamat, janganlah

memperkerjakan seorang buruh

sampai ia mengetahui berapa

upahnya.”

Islam sangat menginginkan

upah buruh itu diberikan secara adil.

Karena itulah Islam menetapkan pilihan

untuk membatalkan akad apabila jelas

bahwa seorang pekerja ditipu dalam

hal upahnya; sebagaimana Islam

Page 80: ALSA Indonesia Law Journal

79

dalam banyak kesempatan

menetapkan tentang tidak sahnya

sistem pengupahan dengan

memberikan kepada seluru buruh upah

yang sama. Demikianlah hal-hal yang

dihargai tradisi agar buruh tidak sampai

mengalami perlakuan zalim atau

tindakan sewenang-wenang dalam

bentuk apapun. Sementara itu, pihak-

pihak yang dapat menentukan upah

adalah sebagai berikut :

1. Buruh dan pemilik usaha; keduanya

bersepakat dalam menentukannya.

Serikat buruh. Ini dikarenakan

mereka berkompeten dalam

menentukan upah buruh bersama

pemilik usaha, dengan syarat kaum

buruh memberikan kewenangan

kepada mereka untuk

melakukannya.

2. Negara, namun disyaratkan bahwa

dalam intervensinya negara tidak

menghilangkan hak-hak buruh

maupun hak-hak pemilik usaha.

Apabila upah telah ditentukan, maka

buruh memiliki kemerdekaan penuh

untuk menerima atau menolaknya

tanpa adanya unur paksaan. 24

b. Melindungi Keselamatan &

Kesehatan Buruh

24 Ibid, hlm. 250 – 251.

Pemilik usaha berkewajiban

menyiapkan sarana-sarana pengaman

di tempat kerja untuk melindungi para

buruh dari kemungkinan mendapat

bahaya dan terjangkit penyakit-

penyakit yang terkait dengan resiko

pekerjaannya. Itu bisa dihindarkan jika

telah diperoleh kepastian tentang

keselamatan atau kelaikan alat-alat

dan perkakas-perkakas yang

ditempatkan yang ditempatkan di

bawah pengaturan mereka. Pemilik

usaha juga berkewajiban untuk selalu

melakukan pengawasan teknis demi

keselamatan para buruh, khusus

pertambangan, perusahaan air raksa,

minyak dan sebagainya. Sebab, dalam

pekerjaan-pekerjaan seperti ini, tempat

kerja harus terlindung dan aman dari

perembesan gas yang berbahaya bila

dihirup para buruh.

Para pengamat pekerjaan telah

melakukan pembahasan- tentang

sarana-sarana tersebut, yang

diharuskan tersedia di tempat-tempat

kerja demi melindungi para buruh dari

berbagai marabahaya dan bencana.

Islam juga telah mengukuhkannya

seraya mengharuskan para pemilik

usaha untuk menyediakannya demi

Page 81: ALSA Indonesia Law Journal

80

melindungi dan memelihara kesehatan

para buruh25.

c. Diakuinya Hak Mogok bagi Buruh

atau pekerja Dalam Islam

Pemogokan bermakna menolak

bekerja. Dan penolakannya dilakukan

kaum buruh untuk memaksa majikan

agar menerima sudut pandang mereka

tentang perselisihan yang terjadi

diantara kedua belah pihak. Konsep

pemogokan sendiri telah meluas

hingga meliputi hal-hal lain yang terkait

dengan penghentian kerja, meskipun

tidak terdapat perselisihan di antara

orang-orang yang berhenti kerja dan

pihak majikan. Pemogokan tidak

memiliki penyebab khusus, melainkan

dipicu banyak faktor. Kebanyakannya

yang paling menonjol adalah tuntutan

kenaikan upah dan pengurangan jam

kerja, atau adanya unsur pelanggaran

dalam konteks kemerdekaan

berserikat, atau menuntut kembalinya

para pekerja yangg dibebas tugaskan.

Adapun sikap hukum Islam

terhadap perbagai penyebab ini adalah

bahwa Islam mengakui pemogokan

kerja untuk menuntut kenaikan upah

atau pengurangn jam kerja, serta

berbagai persoalan lainnya yang

mengusung kepentingan buruh dan

25 Ibid., hlm. 251 - 252

meninggikan derajat hidupnya. Karena

sesungguhnya buruhat atau pekerja

memiliki kemerdekaan penuh dalam

hal ini. Sehingga, seandainya

pemogokan itu sejalan dengan

kepentingan buruh atau pekerja, maka

tak seorang pun yang berhak

menghentikannya. Pemerintah juga

tidak boleh berdiri menentangnya,

melainkan sebaliknya harus ikut

berperan aktif melindungi mereka dan

memperhatikan betul tuntutan-

tuntutannya.

Apabila buruh atau pekerja

diberikan upah bekerja dalam waktu

tertentu, maka ia tidak boleh

melakukan pemogokan, kecuali bila

terjadi penipuan dalam hal pembayaran

upahnya. Nah, pada saat itulah ia

berhak melakukan pemogokan dan

berhenti bekerja sampai majikannya

berlaku adil terhadapnya dan tidak lagi

menipunya. Sedangkan pemogokan

dalam bentuk solidaritas terhadap

buruh lainnya, dapat diterima selama

itu legal. Sementara menunjukan

solidaritas demi membantu para buruh

atau pekerja lain melakukan dosa dan

permusuhan, terlarang dalam Islam.

Berhentinya pemogokan terjadi

karena tiga faktor: pemogokan berakhir

dengan kesuksesan. Maksudnya,

Page 82: ALSA Indonesia Law Journal

81

seluruh tuntutan yang diajukan oleh

para pelaku pemogokan dikabulkan.

Pemogokan berakhir dengan

kegagalan yang mengandaskan

tuntutan-tuntutan para pelaku

pemogokan. pemogokan berakhir

dengan terkabulnya sebagian tuntutan

dan kandasnya sebagian tuntutan lain.

Perselisihan Perburuhan dalam

Islam, umumnya hampir sama dengan

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

yang diatur dalam Undang-Undang No.

2 tahun 2004 tentang Perselisihan

Hubungan Industrial. Hukum islam

untuk menyelesaikan Perselisihan

Perburuhan Hukum Isla, menyebutkan

dapat diselesaikan dalam Rekonsiliasi

dimana kedua belah pihak harus

bertemu untuk berunding tentang

bagaimana menyelesaikan

perselisihan dan mencari solusinya.

Mediasi tampilnya orang ketiga yang

bersikap netral dan tidak memiliki

kepentingan dalam konteks

perselisihan kedua belah pihak. Ia

harus berdiri di antara kedua pihak

yang berselisih dan bertindak sebagai

penengah agar tercipta ishlah dengan

cara damai. Metode ini tidak diwajibkan

bagi kedua belah pihak, melainkan

membiarkan keduanya bebas

menerima atau menolaknya.26

26 Ibid, hlm. 246-247.

Penutup

1. Hukum Indonesia, juga hukum

perburuhan telah menerima Sistem

Civil Law dengan asas concordansi.

Sistem hukum ini berasal dari hukum

Romawi. Meskipun hukum Romawi

merupakan roh dari sistem hukum

Eropah Kontinental, tetapi pengaruh

hukum Romawi tersebut juga kuat

terasa dalam perkembangan sistem

hukum Anglo Saxon. karena, banyak

pencipta kaidah dalam sistem hukum

Anglo Saxon, sudah terlebih dahuku

mempelajari sistem hukum Romawi,

atau sistem hukum eropah kontinental.

misalnya hukum Amerika Serikat dalam

perkembangannya, dalam beberapa

bidang justru lebih banyak dipengaruhi

oleh ajaran dari hukum Romawi

ketimbang dari ajaran sistem hukum

Anglo Saxon sendiri. Misalnya

pengaruh hukum Romawi sangat jelas

kelihatan dalam Uniform Comercial

Code (UCC) di USA, kerena para

perancang UCC banyak yang telah

mendapat pendidikan hukum Romawi.

2. Buruh ( juga Indonesia )

sebagai pihak yang lemah adalah

bahasa lain dari mereka yang hidup

miskin. Kemiskinan berhubungan

dengan kekurangan materi, rendahnya

penghasilan, dan adanya kebutuhan

Page 83: ALSA Indonesia Law Journal

82

sosial, sebagi berikut: a. kekuranganh

materi. Kemiskinan menggambarkan

adanya kelangkaan materi atau

barang-barang yang diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari, seperti

makanan, pakaian dan perumahan; b.

kekurangan penghasilan dan kekayaan

memadai. Makna ” memadai” di sini

sering dikaitkan dengan standar atau

garis kemiskinan yang berbeda-beda

dari satu negara ke negara lainnya.

Bank Dunia menetapkan seseorang itu

miskin jika ia pendapatannya kurang

dari $ 2 per hari. PBS Indonesia diukur

dengan asupan kalori 2.200 calori.

Penghasilan per kapita pada Maret

2007 sebesar Rp. 166. 697,-; c.

kesulitan memenuhi kebutuhan sosial,

termasuk keterkucilan sosial,

ketergantungan, dan ketidakmampuan

berpartisipasi dalam masyarakat.

3. Tujuan Negara Indonesia

tersebut, pertama, terdiri atas tiga

pokok, yaitu : (1) melindungi seluruh

bangsa dan tumpah darah Indonesia;

(2) memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa ;

dan (3) ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan social.

Pada bagian pertama dan kedua

merupakan tujuan interen ketiga, tujuan

ekstern. Disadari bahwa Indonesia

tidak dapat hidup sendirian dan tidak

dapat berkembang sewajarnya sesuai

dengan perkembangan umat manusia

dan kemajuan dalam segala bidang,

lepas dari negara-negara lain. Lagi pula

sesuai dengan sila kemanusiaan yang

adil dan beradab dan keadilan sosial,

Indonesia merasa wajib ikut

memperhatikan kesejahteraan seluruh

umat manusia.

Page 84: ALSA Indonesia Law Journal

83

Daftar Pustaka

A. Wiyono, Hak Mogok Di Indonesia,

Program Pascasarjana Fakultas

Hukum U.I., Jakarta, 2001

Asri Wijayanti, Hukum

Ketenagakerjaan Pascareformasi,

Refika Aditama, Bandung, 2009

Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh,

Al-Huda, Jakarta, 2007

Bell, Daniel, The Cultural Contradiction

of Capitalism, Heinemann, London,

1973;

Dalam: H.R. Otje salman dan Anthon

F. Susanto, Teori Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2009

Edi Suharto, Kemiskinan dan

Perlindungan Sosial di Indonesia,

Alfabeta, Bandung, 2009

FX Adji Samaekto, Sistem Hukum

Modern, Rule of Law dan Kemiskinan

Di Indonesia;

Dalam: Satya Arinanto dan Ninuk

Triyanti, Memahami Hukum, Dari

Konstruksi sampai Implementasi,

Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Galanter, Marc, The Modernization of

Law, dalam Modernization, The

dynamics of growth, Voice of America

Forum Lectures, t.t., hal. 167-179;

Dalam: Satjipto

Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2006

H.R. Otje Salman dan Anthon F.

Susanto, Teori Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2009

Henry Merryman, John, The Civil Law

Tradition, University Press, Stanford,

California, USA, 1969; Dalam: Munir

Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum,

Refika Aditama, Bandung, 2007

Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial,

Erlangga, Jakarta, 1993

Munir Fuady, Perbandingan Ilmu

Hukum, Refika Aditama, Bandung,

2007

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006

Turner, Bryan, Teori-Teori Sosiologi,

Modernisme dan Postmodernisme,

Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2000,

dalam : H.R. Otje Salman dan Anthon

F. Susanto, Teori Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2009

Page 85: ALSA Indonesia Law Journal

84

Yudi Latif dkk., ( Tim Peneliti PSIK ),

Negara Kesejahteraan dan

Glonbalisasi, Pengembangan

Kebijakan dan Perbandingan

Pengalaman, Univ. Paramadina,

Jakarta, 2008

Zaeni Asyhadie, Hukum

Ketenagakerjaan Bidang Hubungan

Kerja, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2004

Page 86: ALSA Indonesia Law Journal

85

ALSA LEGAL REVIEW

COMPETITION:

BEST LEGAL REVIEW

Page 87: ALSA Indonesia Law Journal

86

BURAMNYA GARIS DEMARKASI DIMENSI HUKUM PIDANA DAN HUKUM

ADMINISTRASI DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI YANG BERORIENTASI PADA PEMBANGUNAN DAERAH1

oleh Adhimas P. Hutomo, Adya Sepasthika, Elizabeth B. V. Simanjuntak, Josua Collins dan

Guspita Arfina.2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikat Indonesia sebagai welfare state atau Negara kesejahteraan dinyatakan secara

tegas dalam alinea keempat pembukaan UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa tujuan

Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konsep Negara kesejahteraan, Pemerintah

ditempatkan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, sehingga

Negara dan pemerintah harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.3

Adapun jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menyelenggarakan

pemerintahan yang berorientasi pembangunan. Dalam rangka tersebut, daerah diberikan

otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

diakomodir dalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tersebut juga meliputi perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dengan daerah yang merupakan subsistem keuangan Negara.

Berbicara mengenai keuangan Negara, Muchsan berpendapat bahwa anggaran Negara

merupakan inti dari keuangan Negara, sebab anggaran Negara merupakan alat penggerak

untuk melaksanakan penggunaan keuangan Negara.4 Sedangkan, salah satu konsekuensi

hukum dari otonomi tersebut adalah adanya pembagian antara anggaran pemerintah pusat

1 Tulisan ini ditujukan untuk ALSA Legal Review Competition 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa/i dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 14. 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara (Yogyakarta: Grasindo, 2013), hlm. 2.

Page 88: ALSA Indonesia Law Journal

87

dengan daerah, yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Adapun pengelolaan APBD

sendiri diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah Nomor 58 Tahun 2005.

Pengeluaran Pemerintah Daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan harus direncanakan secara cermat mengingat terbatasnya sumber pendanaan

daerah, sebab efisiensi pengeluaran daerah merupakan salah satu indikator dalam

menentukan kualitas belanja daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Namun, pada

praktiknya, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah kepala daerah sebagai pemimpin

pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dihadapkan

dilema karena takut bersinggungan dengan ketentuan pidana korupsi yang disebabkan

tumpang tindihnya konsep kerugian keuangan Negara bila ditinjau dari dimensi hukum

pidana korupsi dan administrasi Negara, dalam hal menafsirkan kerugian keuangan Negara

dari dua perspektif hukum tersebut. Menurut hukum administrasi Negara, kerugian

keuangan Negara harus ditentukan secara tepat jumlahnya, namun menurut hukum pidana

korupsi, kerugian keuangan Negara tersebut bahkan dapat hanya dilihat potential loss-nya

saja.

Dampak dari hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari fakta tidak terserapnya APBD

secara maksimal. Bahkan, pada semester I tahun anggaran 2015, Kementerian Dalam

Negeri mencatat rata-rata realisasi belanja APBD di tingkat provinsi hanya 25,9%,

sedangkan di tingkat kabupaten sebesar 24,6%.5 Hal ini membuat sisa anggaran daerah

yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan justru mengendap di Bank.

Tersendatnya pencairan anggaran daerah oleh sejumlah daerah telah menyebabkan banyak

daerah tak mampu mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan

Daerah (RKPD), dan Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD).6

Terkait hal ini, Reydonnyzar Moenek mengatakan bahwa satu hal mencolok yang

menyebabkan hal tersebut adalah kekhawatiran pada Pejabat Daerah untuk diseret ke

wilayah pidana korupsi saat melaksanakan suatu kebijakan7 karena terindikasi

menyebabkan kerugian Negara dan kelalaian administrasi. Padahal, apabila tidak ada

5 Chandra G. Asmara Rochimawati, “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-rendah, diakses

pada 20 Januari 2016 6 W. Riawan Tjandra, “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?page=all, diakses

pada 20 Januari 2016. 7 Sabrina Asril, “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.Anggarannya.Sanga

t.Rendah, diakses pada 18 Januari 2016.

Page 89: ALSA Indonesia Law Journal

88

kekhawatiran tersebut, para Pejabat Daerah dapat saja menciptakan inovasi-inovasi

berorientasi pembangunan dengan diskresinya.

Diskresi sendiri merupakan sarana hukum yang diberikan oleh hukum administrasi

Negara kepada Pejabat pemerintahan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan

berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara

terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum

penyelesaiannya oleh lembaga legislatif.8 Secara teoritis, diskresi merupakan jalan keluar

yang diberikan atas berbagai kelemahan aliran legisme yang melahirkan asas legalitas,

dimana asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh rezim hukum pidana, sedangkan hukum

administrasi tidak mengikuti asas ini.9 Lebih lanjut, S.F. Marbun10 mengatakan bahwa

kebebasan bertindak (freies ermessen) ini diberikan kepada pejabat Negara dalam

kepentingannya untuk melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan.

1.2 Rumusan Masalah

Bila dicermati, kekhawatiran para pejabat daerah itu berawal dari ketidakpastian hukum

antara lain disebabkan biasnya persepsi kerugian keuangan Negara dan kaburnya batas

demarkasi antara hukum administrasi Negara dan hukum pidana yang dalam hal ini adalah

tindak pidana korupsi. Hal tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi langkah kebijakan

pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah, yang pada akhirnya

menghambat pembangunan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, akan dikaji mengenai:

1) Bagaimana Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara di Indonesia memandang

konsep kerugian keuangan Negara dan penerapannya oleh Para Penegak Hukum?

2) Bagaimana seharusnya hukum di Indonesia mengakomodir kepentingan

pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pembangunan sehingga dapat berjalan

beriringan?

II. PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana Korupsi dan

Administrasi Negara

8 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam

Penyelengaraan Pemerintahan, dalam S.F. Marbun et.al., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum

Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73. 9 Arfan Fair Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”, dalam Jurnal

Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012, hlm 101. 10 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di

Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73.

Page 90: ALSA Indonesia Law Journal

89

2.1.1.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana

Korupsi

Perlu dipahami, dalam melakukan penilaian terhadap dugaan korupsi, UU 31 Tahun

1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)

mengetengahkan tiga unsur, yakni ‘melawan hukum’, ‘menyalahgunakan wewenang’,

yang diikuti ‘merugikan keuangan negara’. Adapun, terkait konsep kerugian keuangan

Negara dalam dimensi hukum pidana, yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi

sangatlah luas. UU PTPK tidak memberikan definisi maupun penjelasan yang rigid terkait

pengertian kerugian keuangan Negara, karena yang diatur di dalamnya hanyalah penjelasan

mengenai keuangan Negara saja. Artidjo Alkostar mengatakan keuangan Negara

mencakup seluruh kekayaan Negara termasuk uang dan sesuatu yang berharga. Dalam

hubungannya dengan tindak pidana korupsi, yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian

keuangan Negara yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan terdakwa.11

Namun, konsep kerugian keuangan Negara tidak ditentukan secara tegas dalam kerangka

hukum pidana, menyebabkan kerugian keuangan Negara telah secara tegas dinyatakan

sebagai delik formil yang menekankan pada perbuatan terlepas dari akibat yang

ditimbulkan. Hal ini disebabkan dengan perumusan frasa ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan

keuangan atau perekonomian Negara’ dan juga sehubungan dengan keberadaan norma

Pasal 4 UU PTKP yang mengatur bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak

menghapuskan dipidananya pelaku korupsi.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penggunaan frasa ‘dapat’ dalam UU PTPK dapat

dimaknai bahwa perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara merupakan perbuatan pidana meski kerugian Negara tersebut belum

terjadi. Pada praktiknya, terdapat perdebatan akan pemahaman dan penerapan kata “dapat

merugikan”. Kata “dapat merugikan” bertentangan dengan konsep actual loss di mana

kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi.12 Pendapat ini didukung oleh Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa akan sangat

sulit bila harus membuktikan jumlah tepat kerugian keuangan Negara dalam skema perkara

korupsi yang besar. Jadi, dapat dikatakan, tindakan merugikan keuangan Negara dalam

konstruksi hukum pidana tipikor hanya menekankan pada unsur melawan hukum,

11 H. Abdul Latif, Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada

Media Group, 2014), hlm. 255. 12 Emerson Yuntho, et.al., Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dlam Delik Tindak

Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hlm. 28.

Page 91: ALSA Indonesia Law Journal

90

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan

atau kedudukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi kerugian

keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana sangatlah luas. Hal ini berarti penafsiran

kerugian keuangan Negara hanyalah secara argumentum a contrario dari definisi keuangan

Negara menurut Penjelasan dalam UU PTKP.

Junifer Girsang13 menyatakan bahwa terdapat ketidakpastian hukum dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat tidak jelasnya definisi kerugian keuangan

Negara yang berimplikasi pada tidak jelasnya lembaga mana yang secara hukum

berwenang dan berhak untuk menyatakan bahwa telah terjadi kerugian keuangan Negara

tersebut. Pada prakteknya, Kejaksaan dan Polisi bergantung pada hasil audit institusi di luar

penegak hukum, yaitu BPK dan BPKP. Namun di sisi lain, Polisi Penyidik dan Jaksa

Penyidik terkadang memiliki perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian keuangan

Negara yang dituduhkannya. Dengan demikian, diperlukan adanya kejelasan definisi

secara hukum mengenai pengetian kerugian keuangan Negara, sebab dengan tidak jelas dan

tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian

(kerugian) keuangan Negara telah menyebabkan multitafsir terhadap suatu perbuatan yang

dianggap melawan hukum, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian hukum.

2.1.2 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara

Berbeda dengan konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana

korupsi, konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum administrasi Negara

memiliki pengertian yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka UU

Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004 (UU Perbendaharaan Negara) juncto Pasal

1 angka 15 UU Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK). Kedua UU

tersebut secara hukum mengartikan kerugian keuangan Negara/Daerah sebagai suatu

kondisi kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya

sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal ini berarti

kerugian keuangan Negara dapat berbentuk kerugian uang, surat berharga, dan barang

dalam ruang lingkup definisi keuangan Negara yang diatur oleh UU Keuangan Negara

Nomor 17 Tahun 2003, UU BPK, dan UU PTPK, namun diperjelas dengan spesifikasi

berupa ‘yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja

13 Junifer Girsang, Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam

Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012), hlm. 181.

Page 92: ALSA Indonesia Law Journal

91

maupun lalai’. Jadi, kerugian keuangan Negara harus nyata dan pasti jumlahnya dan

sebanding dengan pengertian keuangan Negara itu sendiri.

Berbicara tentang hukum administrasi Negara, tentu tidak dapat terlepas dari aspek

kewenangan, sehingga akan selalu mengacu pada legalitas yang berintikan pada wewenang

dan legitimasi. Adapun lembaga yang secara implementatif dan atributif berwenang untuk

menilai dan/atau menetapkan kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa

Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU BPK. Hal ini juga merupakan

konsekuensi hukum dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa

untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan Negara diadakan satu

badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, walaupun secara operasional BPK

dapat saja mendelegasikan weenang itu kepada delegataris (e.g. Akuntan Publik)

sebagaimana diakomodir dalam Pasal 9 ayat (3) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan

Tanggung Jawab Keuangan Negara Nomor 15 Tahun 2004 (UU PPTJKN).

Dalam melakukan pemeriksaan, BPK akan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan

(LHP) sebagai output dari pemeriksaannya, jadi dapat dikatakan BPK menuangkan hasil

kerjanya dalam LHP BPK.14 Sedangkan, dalam melakukan pemeriksaan ini, BPK wajib

memenuhi seluruh standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh UU PPTJKN dan UU BPK,

yaitu meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan

yang selanjutnya dituangkan dalam Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan

Negara (SPKN) Nomor 1 Tahun 2007 yang merupakan pedoman dalam pemeriksaan

keuangan Negara dan ukuran pelaksanaan kerja BPK. Adanya SPKN tersebut tentunya

membuat pemeriksa tidak akan bekerja secara sembarangan tanpa panduan dan standar

baku yang jelas. Bahkan, semua kondisi yang terungkap oleh pemeriksa tersebut

merupakan fakta yang dialami secara langsung oleh pihak terperiksa sebagai pihak yang

mengalami langsung kejadian, sehingga pihak terperiksa mengetahui semua fakta yang

terjadi.15

Adapun, jenis LHP BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh Pemerintah

Daerah adalah LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). LKPD ini akan

disampaikan kepada BPK dan Kepala Daerah yang bersangkutan setelah sebelumnya

14 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN

BPK RI, Tanpa Tahun), hlm. 82. 15 M. Yusuf Jhon dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 141.

Page 93: ALSA Indonesia Law Journal

92

menerima laporan keuangan dari Kepala Daerah tersebut setelah tahun anggaran berakhir.16

Sedangkan fungsi dari LHP BPK sendiri salah satunya adalah mengomunikasikan hasil

pemeriksaan kepada Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.17

Dengan demikian, dapat dikatakan LHP BPK ini memiliki kedudukan penting sehubungan

dengan kepastian hukum terkait tidak jelasnya lembaga yang berwenang melakukan

penghitungan kerugian keuangan Negara dalam UU PTPK serta menciptakan

keharmonisan antara dimensi hukum pidana dengan administrasi Negara sebagai suatu

kesatuan yang integral untuk memberantas korupsi tanpa menghambat pembangunan.

2.2 Buramnya Batas Demarkasi Antara Dimensi Hukum Pidana Korupsi dan

Administrasi Negara dalam Penegakan Hukum

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 (UU AP) dan

Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 (UU Pemda) secara hukum sebenarnya sudah cukup melindungi

pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Hal ini dapat dilihat

dalam pengaturannya mengenai Inovasi Daerah dan Diskresi. Di dalamnya diatur bahwa

dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraanya pemerintahan, Pemda dapat

melakukan inovasi, dan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan

Pemda tidak mencapai sasaran yang ditetapkan, maka aparatur sipil Negara tidak dapat

dipidana.18 Adapun mengenai diskresi, diatur secara tegas bahwa diskresi harus sesuai

dengan tujuan filosofis dari diskresi itu sendiri, tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, sesuai dengan AAUPB, berdasarkan alasan yang subjektif, tidak

menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.19 Penggunaan

diskresi tersebut diatur secara limitatif dengan mengacu pada Pasal 22 UU AP, yaitu untuk

melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi

stagnansi pemerintahan. Selain itu, diskresi dengan akibat hukum yang berpotensi

16 Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum

Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 169. 17 Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Nomor 1 Tahun 2007, TLN…., Lampiran VI butir 3. 18 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN..., Pasal

386 jo. Pasal 389. 19 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…,

Pasal 24.

Page 94: ALSA Indonesia Law Journal

93

membebani keuangan Negara harus mendapat persetujuan dari atasan pejabat sesuai

Undang-Undang.20

Jika dicermati ketentuan-ketentuan tersebut, sejatinya ingin mengonstruksikan suatu

penegasan garis demarkasi antara dimensi administrasi Negara dengan dimensi pidana

korupsi. Selanjutnya, untuk memperkuat garis demarkasi tersebut dalam tujuannya untuk

mengakomodir kepentingan pemberantasan korupsi dan pembangunan dalam kerangka

Negara hukum, Penulis berpendapat perlu diterapkan doktrin high degree of differentiation

yang berpandangan bahwa keberadaan sanksi administrative harus dipisahkan secara tegas

dari sanksi pidana. Jadi, masing-masing stelsel hukum berjalan sesuai koridornya masing-

masing dalam satu konstruksi Negara hukum. Hal ini sehubungan dengan asas hukum ne

bis in idem dan demi menjamin hak asasi manusia. Dengan diterapkannya hal ini,

seharusnya Pemda tidak perlu lagi khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi dengan

alasan-alasan subyektif dari penegak hukum.

2.3 Analisis

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpandangan bahwa terdapat ketidakpastian

hukum yang disebabkan oleh multitafsir konsep Kerugian Keuangan Negara dan tidak

jelasnya garis batas antara dimensi hukum pidana korupsi dengan administrasi Negara

dalam upaya penegakan hukum.

Terkait kerugian keuangan Negara, sebagai salah satu unsur pokok dari tindak pidana

korupsi, ternyata masih terdapat ketidakpastian hukum terkait kompetensi kewenangan

lembaga dalam menilai adanya kerugian keuangan Negara. Hal ini dikarenakan, dalam

dimensi hukum pidana, UU PTPK tidak secara jelas mengatur mengenai kompetensi

lembaga yang berwenang untuk menilai kerugian tersebut. Hal ini yang kemudian membuat

Polisi Penyidik maupun Jaksa Penyidik seringkali memiliki penghitungan sendiri dan tidak

berdasarkan LHP yang dibuat BPK atau BPKP dalam menilai jumlah kerugian keuangan

Negara yang dituduhkan. Bahkan, Dian Puji Simatupang21 berpendapat bahwa Indonesia

merupakan salah satu Negara dengan cara menilai dan menghitung kerugian Negara yang

paling mudah, kurang rasional, dan tidak standar, sehingga sulit menjadikannya sebagai

hasil pemeriksaan yang meyakinkan dan memadai (reasonable assurance), sebab pada

prakteknya terlampau mudah untuk menilai dan menghitung kerugian Negara sehingga

20 Ibid., Pasal 25 ayat (1) dan (2) 21 Dian Puji N Simatupang, BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara, dalam Harian Media

Indonesia tanggal 16 Januari 2016.

Page 95: ALSA Indonesia Law Journal

94

tidak ada standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan. Hal ini

yang kemudian menyebabkan diskriminasi, karena indikator penilaian terhadap dugaan

korupsi yang dilakukan Pejabat Daerah mutlak dipegang instansi tertentu atas nama

kewenangan yang hanya didasari pada subjektivitas penilainya dalam koridor hukum

pidana korupsi (i.e. UU PTPK).

Terkait hal ini, dengan mengacu pada asas kesesuaian (congruency) yang terdapat

dalam teori perundang-undangan, yang berpandangan bahwa UU harus diterapkan sesuai

dengan tujuan pembentukannya sehingga harus dicegah perbedaan antara bunyi UU dan

penegakannya, maka, Penulis berpandangan bahwa seharusnya penegak hukum melihat

konsep kerugian keuangan Negara melalui koridor hukum administrasi Negara,

dikarenakan:

1) Istilah kerugian keuangan Negara justru didefinisikan dan diatur secara rinci dalam

Undang-Undang Perbendaharan Negara dan UU BPK, di mana kedua Undang-

Undang tersebut berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara dalam

konteks menjalankan fungsi pemerintahan.

2) Kerugian keuangan Negara merupakan akibat dari pelaksanaan kewenangan di

bidang keuangan Negara melalui pemberian delegasi atau mandat. Hal ini

memperjelas kedudukan kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum

administrasi Negara.

3) Istilah kekuasaan, jabatan dan discretion by officials (wewenang pejabat)

merupakan istilah yang selalu berhubungan dengan penyelenggaraan Negara yang

lazim disebut pemerintahan, sehingga pada hakekatnya berada dalam ruang lingkup

hukum administrasi Negara.

4) Pejabat daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya menggunakan

instrumen hukum administrasi Negara.

Selain itu perlu dipahami bahwa keputusan pemerintahan lebih mengutamakan pada

pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku

(rechtmatigheid). Namun, penegak hukum seringkali serta-merta hanya menempatkan

unsur ‘kerugian keuangan negara’ pada kerangka hukum pidana, tanpa mempertimbangkan

ketika Pejabat Daerah melakukan tindakan pemerintahannya tersebut berada pada dimensi

hukum administrasi Negara. Padahal seharusnya penilaian terhadap tindakan pejabat

tersebut ditinjau dalam koridor hukumnya, yaitu dimensi hukum administrasi Negara

dengan menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), terkhusus

Asas Kecermatan, Asas Penyalahgunan Wewenang, dan Asas Motivasi. Dengan demikian,

Page 96: ALSA Indonesia Law Journal

95

jelas bahwa secara konseptual tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan Negara berada

dalam dimensi ilmu hukum yang berbeda, di mana korupsi berada dalam dimensi ilmu

hukum pidana, sedangkan keuangan Negara terkait dengan pengelolaan dan tanggung

jawabnya berada dalam dimensi ilmu hukum administrasi Negara, sehingga pasti terdapat

prinsip-prinsip hukum yang berbeda. Jangan sampai tuduhan korupsi hanya didasari

dengan kesalahtindakan dan selisih biaya yang kemudian menimbulkan kerugian keuangan

Negara.

Selanjutnya, ketidakpastian hukum disebabkan oleh buramnya garis batas dimensi

hukum pidana korupsi dan administrasi Negara. Sebenarnya diterbitkannya UUAP dan UU

Pemda baru, telah memberikan penegasan batas antara kedua dimensi hukum tersebut.

Terkait hal ini, Penulis berpendapat bahwa penerapan doktrin high degree of differentiation

di Indonesia akan mempertegas batas antara dua disiplin ilmu hukum tersebut. Doktrin

tersebut sesuai bila diterapkan di Indonesia, mengingat kedudukan Indonesia sebagai

Negara hukum yang selain berkepentingan dalam penegakan hukum juga wajib

menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu, penegasan tersebut juga dapat

menghindari dari kekacauan politik hukum akibat seolah menghalalkan segala cara untuk

kepentingan pemberantasan korupsi tanpa mempertimbangkan kepentingan awal dari

welfare state yaitu pembangunan dan juga hak asasi manusia.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1) Terdapat ketidakjelasan penafsiran mengenai konsep kerugian keuangan Negara

akibat tidak adanya standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi

keadilan.

2) Para Penegak Hukum seharusnya bukan menggunakan parameter hukum pidana dalam

menilai adanya kerugian keuangan Negara, melainkan menggunakan parameter hukum

administrasi Negara, mengingat kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pejabat

daerah dalam konteks menjalankan administrasi pemerintahan.

3) Hukum pidana dan hukum administrasi Negara sejatinya dapat diposisikan pada

kedudukan yang tidak saling bersinggungan dalam kepentingannya memberantas

korupsi dan memacu pembangunan. Salah satunya adalah dengan penerapan doktrin

high degree of differentiation diperlukan untuk menegaskan garis demarkasi terkait

ruang lingkup administrasi Negara dan tindak pidana korupsi, sehingga proporsi hak,

kewajiban, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah akan sejalan dengan tujuan awal

Page 97: ALSA Indonesia Law Journal

96

Indonesia sebagai welfare state, yaitu mewujudkan kesejahteraan. Sebab, apabila

pemisahan antara keduanya tidak jelas atau kabur, maka secara tidak langsung akan

memperjelas etatisme perekonomian dan menghambat laju pembangunan yang pada

akhirnya seolah memperlemah tanggung jawab publik Negara untuk mewujudkan

kesejahteraan.

3.2 Saran

Diperlukan suatu kesepakatan mengenai standar penilaian kerugian keuangan Negara

yang jelas yang sebaiknya dirumuskan secara bersama-sama oleh pihak-pihak

berkepentingan (i.e. Penyidik Korupsi, Pemerintah Daerah) sehingga penegakan hukum

mempunyai penilaian yang rasional, tidak hanya didasari penilaian subyektif atas nama

kewenangan. Selain itu diperlukan penegasan garis batas antara konsep hukum pidana

korupsi dan administrasi Negara dengan menerapkan doktrin high degree of differentiation,

sehingga penegak hukum dalam melakukan penilaian tidak lagi mendasarinya dengan

penilaian subyektif hanya atas dasar kewenangan. Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih

yang menyebabkan ketidakpastian hukum, dimana trickle down effect dari ketidakpastian

hukum tersebut membuat para Pejabat Daerah khawatir apabila ingin melakukan tindakan

pemerintahan seperti misalnya diskresi inovatif yang bersentuhan langsung dengan

keuangan Negara, walaupun sesungguhnya memiliki motivasi baik yaitu mencapai tujuan

pembangunan.

Page 98: ALSA Indonesia Law Journal

97

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN

BPK RI, Tanpa Tahun).

Girsang, Junifer. Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam

Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012)

HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)

Jhon, M. Yusuf dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

Latif, H. Abdul. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada

Media Group, 2014)

Marbun, S.F. et.al.. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta:

UII Press, 2001).

Marbun, S.F. Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di

Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2001)

Sinaga, Patuan. Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam

Penyelengaraan Pemerintahan.

Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum

Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015).

Tjandra, W Riawan. Hukum Keuangan Negara. (Yogyakarta: Grasindo, 2013)

Yuntho, Emerson. et.al.. Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak

Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014)

JURNAL

Muhlizi, Arfan Fair. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”. Jurnal

Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Nomor 1 Tahun 2007, TLN….

Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN...

Page 99: ALSA Indonesia Law Journal

98

Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…

MEDIA

Asril, Sabrina. “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapa

n.Anggarannya.Sangat.Rendah

Rochimawati, Chandra G. Asmara. “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-

pemda-rendah.

Simatupang, Dian Pudji N. “BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara”, dalam Harian Media

Indonesia tanggal 16 Januari 2016.

Tjandra, W. Riawan. “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam

http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?

page=all, diakses pada 20 Januari 2016.

Page 100: ALSA Indonesia Law Journal

99