akuntabilitas manajemen kinerja satuan pendidikan
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Visi pendidikan nasional menghadapi era millenium ketiga terkait
dengan kesadaran kolektif bangsa terhadap karakteristik dunia pendidikan dan
keterbatasan kita sebagai bangsa untuk mewujudkan pendidikan yang
diidamkan. Karakteristik dan keterbatasan yang dimaksud, menurut
Djojonegoro (2000), meliputi empat aspek.
Pertama, bahwa bangsa Indonesia sedang memasuki sebuah
transformasi total yang diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar yang
sangat cepat, dengan berbagai akibat pada tatanan maupun nilai kehidupan
serta persepsi masyarakat. Salah satu akibatnya ialah terjadinya pergeseran
nilai, yang berdampak besar terhadap kegiatan belajar mengajar. Oleh karena
itu, perencanaan pendidikan perlu memperhitungkan faktor perubahan tata
kehidupan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pergeseran nilai.
Kedua, bahwa pendidikan merupakan proses yang memakan waktu
yang lama. Tenggang waktu yang diperlukan bagi seseorang untuk mempunyai
kemampuan atau kepakaran di bidang tertentu memerlukan waktu yang cukup
panjang. Di sisi lain, lulusan pendidikan diharapkan mampu berkarya dalam
masyarakat sesuai dengan kebutuhan pada saat dan tempat mereka berada pada
waktu itu.
Dengan demikian, dikaitkan dengan kebutuhan bangsa di masa depan,
lulusan hasil pendidikan juga diharapkan mempunyai daya saing yang tinggi
2
dalam berbagai bidang, sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional
menghadapi persaingan dunia.
Ketiga, bahwa proses pendidikan seseorang bersifat irreversible sekali
dilakukan tidak dapat diulang. Apabila hasilnya tidak sesuai, maka ilmu yang
diperoleh tidak dapat diganti begitu saja. Kenyataan ini menghajatkan suatu
perencanaan yang benar-benar sahih (valid) terhadap kebutuhan nyata di masa
mendatang, karena panjangnya tenggang waktu pendidikan. Kesahihan tersebut
menyangkut aspek kualitas dan kompetensi lulusan, maupun relevansinya
dengan dunia kerja dalam jenis maupun jumlahnya.
Keempat, bahwa tanggung jawab terselenggaranya pendidikan nasional
yang baik tidak mungkin diserahkan pada satu pihak saja, yakni pemerintah.
Keterlibatan semua pihak (pemerintah, keluarga dan masyarakat) merupakan
prasyarat bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Perkecualian dalam hal
ini adalah pendidikan dasar sembilan tahun, yang secara moral dan legal
merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah.
Aspek-aspek tersebut di atas menimbulkan beberapa konsekuensi yang
perlu dilakukan. Pertama, diperlukan visi pendidikan yang sahih dan jelas
untuk digunakan sebagai acuan dalam mengantisipasi berbagai perubahan dan
tantangan pendidikan di masa depan.
Kedua, diperlukan suatu perencanaan yang tepat dalam rangka
mewujudkan visi tersebut, baik yang berkaitan dengan kurikulum, kesiapan
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, serta pengembangan
program. Perencanaan ini di samping bersifat antisipatif juga harus bersifat
3
lentur (flexible), karena perubahan-perubahan yang terjadi sering tak
teramalkan (unpredictable).
Ketiga, diperlukan langkah-langkah penyesuaian atau perbaikan dan
pengembangan yang cepat dan tepat, tanpa harus menunda-nunda, oleh karena
kita didesak oleh waktu. Sebaliknya kita tidak dapat melaksanakan perubahan
secara total, mengingat besarnya organisasi pendidikan di Indonesia.
Dalam hubungan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat,
pendidikan mengemban tiga sifat penting. Ketiga sifat tersebut, oleh
Sukmadinata (1997:30) diperinci berikut ini. Pertama, pendidikan
mengandung dan memberikan pertimbangan nilai, yang diarahkan pada
pengembangan pribadi anak, agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan
diharapkan masyarakat. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam
masyarakat, menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Ketiga,
pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat
tempat pendidikan berlangsung.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi
kesejahteraan rakyatnya masih jauh tertinggal. Hal ini dikarenakan daya
saingnya masih rendah. Hasil survei Growth Competitivenenss Index yang
dilansir oleh World Economic Forum (WEF), melaporkan bahwa pada tahun
2007-2008 Indonesia berada di peringkat ke-54 dari sekitar 131 negara yang
disurvei. Di tingkat ASEAN, Indonesia hanya lebih baik dari Filipina,
Vietnam, dan Kamboja. Adapun Singapura dan Malaysia melesat di peringkat
ke-7 dan ke-21.
4
Daya saing bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusianya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh
sistem pendidikan, baik jalur formal, informal maupun nonformal pada semua
jenjang pendidikan. Sementara itu, pendidikan nasional Indonesia masih
menghadapi tiga tantangan besar yang kompleks.
Pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut
untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
Kedua, untuk mengantisipasi tantangan era global, pendidikan dituntut untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing
dalam pasar global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah,
perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional
sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis,
memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik,
serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Kritik berbagai pihak terhadap pendidikan nasional pun menyiratkan
permasalahan: (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2)
masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya
manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi.
Sejalan dengan tantangan dan kritik tehadap pendidikan itu, kondisi
pendidikan angkatan kerja kita pun memprihatinkan. Sekitar 53% angkatan
kerja tidak berpendidikan dan tidak memiliki kecakapan serta keahlian
enterpreneur (Budiono, dalam Suyanto, 1997). Kondisi seperti itu
5
menunjukkan mismatch antara pendidikan dengan dunia kerja, dan rendahnya
kecakapan hidup serta daya saing angkatan kerja baik di tingkat nasional
maupun global.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) menandaskan bahwa:
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional
dan global. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah dan berkesinambungan.
Untuk kurun waktu 2005-2009, kebijakan pendidikan nasional
difokuskan kepada upaya mewujudkan pendidikan yang berkeadilan, bermutu
dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global sehingga mampu
membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Hal tersebut
dituangkan dalam rencana strategik Depdiknas, yang meliputi peningkatan
pemerataan dan perluasan akses; peningkatan mutu, relevansi dan daya saing;
peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.
Pasal 13 UU Sisdiknas menggariskan pula bahwa jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling
6
melengkapi dan memperkaya. Maksud yang terkandung dalam kalimat “saling
melengkapi dan memperkaya“ adalah menyatukan manfaat antara tiga jalur
pendidikan yang berbeda dan berlainan fungsi namun tujuannya adalah
memperkaya individu pembelajar dengan ilmu dan keterampilan yang lengkap
untuk mampu bersaing pada tataran lokal maupun global.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional
serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26; ayat 2). Salah
satu bidang garapan pendidikan nonformal adalah pendidikan kecakapan hidup
(life skills).
Brolin (dalam Anuar, 2004:20) menjelaskan bahwa “Life skills
constitute a continuum of knowledge and uptitude that a necessary for a person
to function effektivety and to avoild interruption of employment experience”.
Life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Program
pendidikan life skills adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal
keterampilan yang praktis terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja,
peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat.
7
Pendidikan life skills sebagai salah satu program unggulan dari
pendidikan nonformal memainkan peran strategik dalam rangka membekali
warga belajar dengan kecakapan hidup yang sesuai dengan kebutuhan pasar
agar mereka dapat hidup bersaing sejajar dengan bangsa lain.
Menurut Ditjen PLS Depdiknas (2007: 2), program pendidikan
kecakapan hidup secara khusus bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada
peserta didik agar mereka memiliki:
(1) pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja baik bekerja secara mandiri (wirausaha) dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa dengan penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
(2) motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global.
(3) kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk dirinya sendiri maupun untuk anggota keluarganya.
(4) kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat.
Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Nonformal dan Informal, Depdiknas, mengembangkan program
pendidikan kecakapan hidup ke dalam tiga spektrum, yaitu: (1) nasional dan
internasional; (2) perkotaan; dan (3) pedesaan. Di antara program-program
tersebut terdapat dua jenis program yang pelaksanaan kegiatannya
diselenggarakan oleh dinas pendidikan provinsi dalam wilayah kesatuan
Republik Indonesia. Kedua jenis program yang dimaksud adalah Kursus
Wirausaha Orientasi Perkotaan (KWK) dan Kursus Wirausaha Orientasi
Pedesaan (KWD).
8
Salah satu provinsi yang saat ini sedang giat-giatnya mengembangkan
program tersebut adalah Provinsi Jambi. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Jambi Nomor 800/3633.a/BTU/2008 tanggal 17
September 2008 tentang Penerima Bantuan Kursus dan Magang pada Lembaga
Pendidikan dan Lembaga Kursus serta Pusat Kegiatan Belajar Mengajar
(PKBM), telah disalurkan jenis-jenis bantuan kepada: (1) lembaga kursus dan
latihan; (2) penyelenggaraan PKBM; (3) pendidikan kecakapan hidup kerja
sama dengan SMK/Politeknik; (4) pendidikan kecakapan hidup orientasi
pedesaan; (5) pendidikan kecakapan hidup orientasi perkotaan.
Dari observasi awal yang penulis lakukan, diperoleh data empirik
sebagaimana diringkaskan berikut ini. Pertama, program keterampilan
otomotif bekerja sama dengan SMK Satria Kota Jambi, 25 orang warga
belajar; keterampilan penggemukan sapi potong (agrobisnis) bekerja sama
dengan SMK I Kayu Aro Kabupaten Kerinci, 25 orang warga belajar;
keterampilan mekanik otomotif bekerja sama dengan SMK 2 Sungai Penuh
Kabupaten Kerinci, 25 orang warga belajar.
Kedua, program kecakapan hidup orientasi pedesaan yang
dilaksanakan pada lembaga kursus, PKBM, SKB dan sekolah kejuruan di
setiap kabupaten dalam Provinsi Jambi dengan jumlah warga belajar sebanyak
405 orang. Keterampilan yang dikembangkan adalah bordir dan menjahit
pakaian, pembibitan karet dan okulasi, pembibitan sawit, budidaya ikan kolam,
budi daya nilam, sirup buah pidada, pertanian, dan pembuatan genteng pres
beton.
9
Ketiga, program kecakapan hidup yang berorientasi perkotaan
dilaksanakan pada lembaga kursus di setiap kota dalam Provinsi Jambi dengan
jumlah warga belajar sebanyak 234 orang. Keterampilan yang dikembangkan
adalah komputer dan maintenence, wisata terpadu, tata rias dan kecantikan,
bordir dan menjahit, bengkel las, dan pembuatan paving block.
Jenis dan muatan program-progam pengembangan kecakapan hidup
yang diberikan kepada warga belajar tersebut, tampaknya masih lebih
berorientasi kepada penguasaan keterampilan umum yang selama ini telah
dimiliki oleh masyarakat setempat, bahkan untuk sebagian tergolong
keterampilan yang bersifat memelihara nilai sejarah, bukan bernilai ekonomi
dan bukan berorientasi nilai potensi budaya setempat.
Selain itu, program-program tersebut tidak ditindaklanjuti, misalnya
dengan pemberdayaan tenaga-tenaga terampil melalui pemberian subsidi dana
usaha atau bimbingan manajemen usaha yang sejalan dengan perkembangan
dunia usaha dan industri.
Apabila dikaitkan dengan isu program unggulan yang bernilai jual
tinggi dan berorientasi pasar, dapat dikatakan bahwa program-program belum
memenuhi akuntabilitas, terutama dilihat dari perspektif strategiknya.
Sedangkan dari sudut pandang administrasi pendidikan, kondisi tersebut
termasuk ke dalam wilayah permasalahan akuntabilitas kinerja kelembagaan
atau kinerja satuan pendidikan yang diberi mandat untuk mengembangkan
kecakapan hidup warga belajarnya.
10
UU Sisdiknas pasal 26 menandaskan bahwa: “pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan
sikap dan kepribadian profesional” (ayat 1); dan “pendidikan kecakapan hidup
merupakan bagian dari pendidikan nonformal” (ayat 3).
Secara teoretik dan berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu,
ditemukan banyak faktor determinan yang dapat menjelaskan permasalahan
kinerja satuan pendidikan, termasuk pendidikan nonformal. Dalam pandangan
penulis, terdapat tiga faktor determinan yang cukup penting, yaitu perencanaan
pendidikan, kepemimpinan pendidikan, dan iklim organisasi pada satuan-
satuan pendidikan pengembangan kecakapan hidup.
B. RUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas,
penulis merasa tertarik untuk menelaah kebermaknaan pengaruh faktor-faktor
perencanaan pendidikan, kepemimpinan pendidikan, dan iklim organisasi
terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan pengembangan kecakapan hidup.
Pokok masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: bagaimanakah
makna dan sumbangan pengaruh perencanaan pendidikan, kepemimpinan
pendidikan, dan iklim organisasi terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan
pengembangan kecakapan hidup?
2. Pertanyaan Penelitian
11
Pada tingkat pengujian hipotesis, pokok masalah tersebut penulis
jabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apakah terdapat pengaruh langsung perencanaan pendidikan terhadap
kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di Provinsi Jambi?
b. Apakah terdapat pengaruh langsung kepemimpinan pendidikan
terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di Provinsi
Jambi?
c. Apakah terdapat pengaruh langsung iklim organisasi terhadap kinerja
satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di Provinsi Jambi?
d. Apakah terdapat pengaruh gabungan ketiga faktor tersebut terhadap
kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di Provinsi Jambi?
e. Berapa besarkah pengaruh kausal langsung, kausal tidak langsung,
kausal total maupun simultan ketiga variabel terhadap kinerja satuan
pendidikan kecakapan hidup?
f. Bagaimanakah model hipotetik manajemen kinerja satuan-satuan
pendidikan kecakapan hidup yang mendukung peningkatan
kewirausahaan angkatan kerja di Provinsi Jambi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi aktual
faktor-faktor strategik dalam manajemen satuan-satuan pendidikan pelaksana
pengembangan kecakapan hidup. Faktor-faktor strategik tersebut, penulis
batasi pada perencanaan pendidikan, kepemimpinan pendidikan, dan iklim
12
organisasi. Sehubungan dengan tujuan umum tersebut, penelitian ini hendak
mencapai tujuan-tujuan khusus untuk:
1. Mengukur koefisien dan makna pengaruh perencanaan pendidikan
terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan pelaksana program
pengembangan kecakapan hidup di Provinsi Jambi.
2. Mengukur koefisien dan makna pengaruh kepemimpinan pendidikan
terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan pelaksana program
pengembangan kecakapan hidup di Provinsi Jambi.
3. Mengukur koefisien dan makna pengaruh iklim organisasi terhadap
kinerja satuan-satuan pendidikan pelaksana program pengembangan
kecakapan hidup di Provinsi Jambi.
4. Mengukur koefisien dan makna pengaruh gabungan ketiga faktor
tersebut terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan pelaksana program
pengembangan kecakapan hidup di Provinsi Jambi.
5. Mengajukan model hipotetik akuntabilitas manajemen kinerja satuan-
satuan pendidikan pelaksana program pengembangan kecakapan hidup
yang bernilai budaya lokal dan mendukung peningkatan kewirausahaan
angkatan kerja di Provinsi Jambi.
D. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretik berupa
pengayaan khasanah penelitian empirik bidang administrasi pendidikan,
terutama kinerja dan manajemen satuan pendidikan nonformal.
13
Dari segi praktik, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
umpan balik bagi para pengambil kebijakan dan penyelenggara pendidikan,
terutama dalam kerangka perbaikan kinerja dan manajemen satuan-satuan
pendidikan pengembangan kecakapan hidup di daerah penelitian. Model
hipotetik yang ditawarkan dalam penelitian ini diharapkan pula dapat
menginspirasi peneliti lain, untuk memperdalam fokus dan memvalidasinya
melalui uji coba yang intensif dalam manajemen pendidikan nonformal.
E. ASUMSI
Penelitian ini didasari oleh beberapa asumsi mengenai pengembangan
kecakapan hidup dan pendidikan nonformal, urgensi perencanaan pendidikan,
kepemimpinan pendidikan, iklim organisasi, dan kinerja satuan pendidikan.
1. Pengembangan Kecakapan Hidup dan Pendidikan Nonformal
Pengembangan kecakapan hidup merupakan salah satu bidang garapan
pendidikan nonformal. Sasaran pendidikan nonformal adalah warga
masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah, anak usia dini, pencari
kerja yang memerlukan bekal keterampilan dan mereka yang ingin
meningkatkan keterampilannya. Di dalam dokumen Rencana Strategis
Pendidikan Nasional 2005-2009 (Depdiknas, 2005) dinyatakan bahwa program
pendidikan nonformal bertujuan untuk:
memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak/belum pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah, dan warga masyarakat yang mengalami hambatan lainnya baik laki-laki maupun perempuan, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan,
14
kecakapan hidup serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, sehingga pendidikan nonformal dapat pula berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat, sehingga dapat menjadi pendidikan alternatif yang dapat memenuhi standar nasional maupun internasional.
Program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat
memberikan bekal keterampilan yang praktis terpakai, terkait dengan
kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang
ada di masyarakat. Konsep kecakapan hidup mencakup. Konsep kecakapan
hidup merujuk kepada dimensi-dimensi kecakapan diri (personal skill);
kecakapan sosial (social skill); kecakapan akademik (akademic skill); dan
kecakapan bekerja (vocational skill).
2. Urgensi Perencanaan Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun nonformal, dalam konteks mikro
harus mampu memberikan layanan belajar mengajar kepada para peserta didik
sesuai dengan kebutuhannya. Dalam konteks makro, pendidikan harus mampu
merealisasikan relevansi antara hasil-hasil pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat.
Kedua tuntutan tersebut mengharuskan dimilikinya dua aspek
kemampuan para penyelenggara pendidikan. Pertama, kemampuan
memadukan berbagai komponen sumber daya potensial pendidikan sebagai
kekuatan bagi terselenggaranya pendidikan. Kedua, kemampuan
mengupayakan pendidikan yang relevan, sebagai manifestasi konsep
community based education.
15
Dalam hubungan itulah perencanaan pendidikan berperan penting.
Perencanaan pendidikan sebagai sistem, memuat langkah-langkah: (1)
identifikasi dan dokumentasi berbagai kebutuhan; (2) pemilihan kebutuhan-
kebutuhan yang mempunyai prioritas untuk pelaksanaan; (3) perincian hasil
yang harus dicapai untuk setiap kebutuhan yang telah dipilih; (4) identifikasi
syarat-syarat untuk memenuhi setiap kebutuhan dengan cara problem solving;
(5) urutan hasil-hasil yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan yang telah
diidentifikasi; dan (6) identifikasi alternatif-alternatif metode dan alat yang
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan, termasuk menentukan kebaikan dan
keburukan dari setiap set metode dan alatnya.
Pertanyaan kritis mengenai perencanaan pendidikan untuk
pengembangan satuan pendidikan adalah: sudahkah mengakomodasi
pendekatan demand drive? Pendekatan perencanaan tersebut menurut
Djojonegoro (2001) menuntut agar sekolah: (1) memiliki sense of quality; (2)
memahami kebutuhan pasar; (3) menerapkan wawasan mutu dan wawasan
keunggulan; dan (4) mengubah pola pengajarannya dari pengajaran mata
pelajaran ke program berbasis kompetensi.
3. Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan adalah inti manajemen, dan merupakan kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang-orang lain agar bekerja
mencapai tujuan dan sasaran. Kepemimpinan mengandung arti pola
keharmonisan interaksi antara pemimpin dengan bawahan sehingga
16
kewenangan pemimpin diimplementasi dalam bentuk pembimbingan dan
pengarahan terhadap bawahan.
Kepemimpinan pada satuan pendidikan akan tampak pada cara
pemimpin menentukan kebijakan, dasar pertimbangan pengambilan keputusan,
cara dan pihak yang menerima delegasi, acuan sikap dalam bekerja, dan acuan
pengawasan. Oleh karena itu, setiap institusi, tak terkecuali satuan pendidikan,
memerlukan pemimpin yang memiliki visi dan misi, dekat pada pelanggan,
memiliki gagasan inovatif yang luas, bersahabat, dan mempunyai semangat
kerja yang tinggi (Peters dan Austin, 1992).
4. Iklim Organisasi Satuan Pendidikan
Iklim organisasi merupakan konsep sistem yang mencerminkan
keseluruhan gaya hidup organisasi. Dalam hal ini seorang pegawai akan
merasakan bahwa iklim tempat mereka bekerja menyenangkan apabila dapat
melakukan suatu yang bermanfaat dan menimbulkan perasaan yang berharga
yang akan memberikan kepuasan bagi mereka yang mampu mengerjakannya
dengan baik. Mereka menginginkan tanggung jawab dan mempunyai
kesempatan yang sama untuk berhasil, ingin didengarkan, dipandang dan
diperlakukan sebagai orang yang bernilai, sebagai bagian dari organisasi.
Secara operasional dan fungsional penyelenggaraan pendidikan
kecakapan hidup masih sangat memerlukan upaya-upaya perbaikan. Urgensi
iklim organisasi nonformal terkait dengan kenyataan bahwa di tengah
pergulatan masyarakat informasional, keluaran program pendidikan nonformal
ditantang memasuki ruang persaingan yang makin ketat.
17
5. Kinerja Satuan Pendidikan
Kinerja merupakan prestasi atau penampilan perilaku bekerja yang
dicapai oleh perorangan maupun kelompok atau lembaga. Kinerja berkenaan
dengan penyelesaian tugas pokok yang mendatangkan hasil dalam bentuk
prestasi. Produk pekerjaan merupakan hasil yang diperoleh dari aktivitas
dinamik dalam mencapai tujuan tahap demi tahap secara berkesinambungan.
Kinerja satuan pendidikan adalah konsep yang merujuk kepada
keefektifan organisasinya, yaitu kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan
harapan atau kemampuan mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan
perspektif tersebut, terdapat dua hal penting yang berkenaan dengan kinerja
organisasi. Pertama, saling berfungsinya kelompok-kelompok informal,
kebutuhan-kebutuhan individu, dan tujuan-tujuan birokrasi secara optimal satu
sama lain, yang didukung oleh teknologi, perkembangan lingkungan, peluang-
peluang yang baik, kecakapan perorangan, dan motivasi yang kuat. Kedua,
mencakup elemen-elemen capaian jangka pendek seperti produksi, efisiensi,
dan kepuasan; jangka menengah yaitu penyesuaian diri terhadap lingkungan,
pengembangan, dan pertumbuhan; jangka panjang yaitu kebertahanan hidup
(survive) organisasi.
F. KERANGKA FIKIR PENELITIAN
Kerangka fikir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gambaran
mengenai sudut pandang peneliti terhadap objek penelitian, prosedur
penelitian, dan kaitan antarkonsep penelitian. Menurut Atmadja (1997:89),
18
kerangka fikir merupakan dukungan teoretik dan pendekatan dalam rangka
pemecahan masalah dengan bukti dari pakar terdahulu. Sugiyono (2007:95)
mengemukakan bahwa kerangka fikir perlu dinyatakan dalam bentuk diagram
(paradigma penelitian) selanjutnya pihak lain dapat memahami kerangka fikir
yang dikemuka dalam penelitian.
Berdasarkan pengertian tersebut, kerangka fikir penelitian ini memuat
proses identifikasi pokok masalah penelitian. Selanjutnya, pokok masalah
penelitian tersebut diberi penjelasan teoretik dan dikomparasikan dengan
beberapa hasil penelitian terdahulu.
Setelah mendapatkan penjelasan teoretik, kemudian dilakukan
konfirmasi pada wilayah empirik yang dibatasi pada kemungkinan-
kemungkinan pengaruh perencanaan pendidikan, kepemimpinan pendidikan,
dan iklim organisasi terhadap kinerja satuan-satuan pendidikan pengembangan
kecakapan hidup di daerah penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan
pengukuran kosefisien dan pengujian kebermaknaan determinasi antara
variabel-variabel bebas dengan variabel terikat yang dihipotesiskan.
Hasil pengujian tersebut dimaknai sebagai excisting model faktor-
faktor determinan kinerja satuan pendidikan. Selanjutnya, excisting model
tersebut ditelaah dan dibandingkan dengan kajian teoretik, hasil-hasil
penelitian terdahulu, dan tantangan faktual pendidikan pengembangan
kecakapan hidup, sehingga dapat diajukan sebuah model hipotetik manajemen
satuan pendidikan pengembangan kecakapan hidup yang memiliki perspektif
19
strategik dilihat dari kebutuhan warga belajarnya. Ringkasan kerangka fikir
tersebut disajikan secara skematik dalam gambar 1.1.
NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL
MODEL HIPOTETIK AKUNTANBILITAS MANAJEMEN SATUAN PENDIDIKAN PENGEMBANGAN KECAKAPAN HIDUP
KONDISI EMPIRIK
PERENCANAAN PENDIDIKAN
(X1)
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(X2)
IKLIM ORGANISASI PENDIDIKAN
(X3)
KINERJA SATUAN
PENDIDIKAN (Y)
(Xn)
MASALAH PENELITIAN:
AKUNTABILITAS KINERJA SATUAN
PENDIDIKAN KECAKAPAN
HIDUP
KAJIAN TEORETIKADMINISTRASI PENDIDIKAN; PERENCANAAN PENDIDIKAN;
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN; IKLIM ORGANISASI; KINERJA SATUAN PENDIDIKAN
ANALISIS
Gambar 1.1
KERANGKA FIKIR PENELITIAN
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Objek Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan descriptive survey dan
explanatory survey yang menurut Singarimbun dan Effendi (1989), bertujuan
menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian
hipotesis. Untuk dipilih rancangan deskriptif-verifikatif, yang dimaksudkan
20
untuk menggambarkan kondisi ciri-ciri objek atau variabel-variabel penelitian
sebagaimana adanya, dan kemudian menguji hipotesis.
Penelitian ini berlokasi di wilayah Provinsi Jambi, dengan objek
penelitian berupa satuan-satuan pendidikan pelaksana pendidikan kecakapan
hidup. Satuan-satuan pendidikan tersebut terdiri atas Lembaga Kursus dan
Pelatihan, Pendidikan Kecakapan Hidup Kerjasama SMK/Politeknik,
Pendidikan kecakapan Hidup Orientasi Pedesaan, dan Pendidikan Kecakapan
Hidup Orientasi Perkotaan.
Fokus kajian dibatasi pada satu variabel terikat, yaitu kinerja satuan
pendidikan kecakapan hidup; dan tiga variabel bebas yang terdiri atas
perencanaan pendidikan, kepemimpinan pendidikan, iklim organisasi satuan
pendidikan kecakapan hidup.
2. Instrumen Penelitian
Data primer yang dikumpulkan dan dianalisis dalam pengujian
hipotesis merupakan persepsi para responden mengenai kondisi empirik
variabel-variabel penelitian tersebut. Responden meliputi unsur-unsur
pimpinan satuan pelaksana program, Guru/Tutor, tenaga penunjang, dan warga
belajar. Data primer dikumpulkan dengan instrumen berupa angket, yang
terlebih dahulu diuji validitas dan relibilitasnya.
Uji validitas dimaksudkan untuk memastikan ketepatan atau
kecermatan instrumen dalam mengukur apa yang ingin diukur. Uji reliabilitas
(uji keandalan) digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur, dalam arti
21
apakah alat ukur yang digunakan dapat diandalkan dan tetap konsisten jika
pengukuran tersebut diulang.
3. Hipotesis dan Analisis Data
Hipotesis kerja yang akan diuji dalam penelitian ini penulis rumuskan
sebagai berikut:
a. Semakin efektif perencanaan dilaksanakan sebagaimana dipersepsikan
kepala, tutor/guru, tenaga penunjang, dan warga belajar semakin tinggi
kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di Provinsi Jambi.
b. Semakin efektif kepemimpinan pendidikan dilaksanakan sebagaimana
dipersepsikan kepala, tutor/guru, tenaga penunjang, dan warga belajar,
semakin tinggi kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di
Provinsi Jambi.
c. Semakin kondusif iklim organisasi pendidikan kecakapan yang
dipersepsikan kepala, tutor/guru, tenaga penunjang, dan warga belajar,
semakin tinggi kinerja satuan-satuan pendidikan kecakapan hidup di
Provinsi Jambi.
Untuk kepentingan analisis statistika, diajukan model hubungan hipotetik
antarvariabel penelitian sebagaimana diringkaskan dalam gambar 1.2.
22
PERENCANAAN PENDIDIKAN
(X1)
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(X2)
IKLIM ORGANISASI
PENDIDIKAN (X3)
KINERJA SATUAN
PENDIDIKAN (Y)
RX1X3
RX1X2
RX2X3
ÞYX1
ÞYX2
ÞYX3
ε
Gambar 1.2.
Hubungan Hipotetik Antarvariabel Penelitian
Keterangan:
r 21xx = Koefisien korelasi variabel X1 dengan X2, menggambarkan intensitas keeratan hubungan antara variabel X1 dengan X2.
r 31xx = Koefisien korelasi variabel X1 dengan X3, menggambarkan intensitas keeratan hubungan antara variabel X1 dengan X3.
r 32 xx = Koefisien korelasi variabel X2 dengan X3, menggambarkan intensitas keeratan hubungan antara variabel X2 dengan X3.
p 1yx = Koefisien jalur variabel X1 terhadap Y, menggambarkan besarnya pengaruh langsung variabel X1 terhadap Y.
p 2yx = Koefisien jalur variabel X2 terhadap Y, menggambarkan besarnya pengaruh langsung variabel X2 terhadap Y.
p 3yx = Koefisien jalur variabel X3 terhadap Y, menggambarkan besarnya pengaruh langsung variabel X3 terhadap Y.
ε = Variabel residu ε (variabel yang mempengaruhi variabel endogenous di luar variabel exogenous)
Untuk menganalis data data dan menguji hipotesis penelitian ini,
penulis menggunakan teknik analisis statistika Path Analysis. Teknik statistika
tersebut berguna untuk menganalisis pola hubungan antarvariabel dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung ketiga
23
variabel perencanaan Pendidikan (X1), kepemimpinan pendidikan (X2), dan
iklim organisasi satuan pendidikan (X3) sebagai variabel eksogen, terhadap
kinerja satuan pendidikan kecakapan hidup sebagai variabel endogen.