akibat hukum pembubaran partai politik oleh

26
AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Moh. Saleh, SH., MH. Abstract The dissolution of political parties is an authority of the Constitutional Court as the quardian and the interpreter of the constitution. The dissolution of political parties is based on inconstitutional problems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political parties that contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by Constitutional Court has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from political party which was dissolved and for members and management in their political rights and for every privat relationship that has been become the liabilities of political party which was dissolved. The fundamental legal implication of dissolution of political parties is not regulated by Act of Constitutional Court and Act of Political Parties. Whereas, legal implication of dissolution of political parties is very vulnerable polical conflict that can be dangerous the safety of nation and state. key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal Implication of Dissolution of Political Party. PENDAHULUAN Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional 1 . Meskipun demikian, kebebasan berserikat 1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 272. 1

Upload: dinhtu

Post on 12-Jan-2017

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

Moh. Saleh, SH., MH.

AbstractThe dissolution of political parties is an authority of the Constitutional Court as the quardian and the interpreter of the constitution. The dissolution of political parties is based on inconstitutional problems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political parties that contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by Constitutional Court has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from political party which was dissolved and for members and management in their political rights and for every privat relationship that has been become the liabilities of political party which was dissolved. The fundamental legal implication of dissolution of political parties is not regulated by Act of Constitutional Court and Act of Political Parties. Whereas, legal implication of dissolution of political parties is very vulnerable polical conflict that can be dangerous the safety of nation and state.

key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal Implication of Dissolution of Political Party.

PENDAHULUAN

Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan

berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of

thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan

berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara

demokrasi konstitusional1. Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang

diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara,

untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk

melindungi hak dan kebebasan lain2. Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat

bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk

1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 272.

2 Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, (London-Sydney-Portland, Oregon: Cavendish Publishing Limited, Fifth Edition, 2004), hal. 589.

1

Page 2: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-benar dibutuhkan dan

bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.3

Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era

reformasi Negara Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal

24C ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi

(MK) yang bersifat final (legally binding). MK dapat membubarkan partai politik yang telah

terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM apabila

terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Beberapa

bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai politik

diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU

MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik).

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat membubarkan suatu

partai politik yang didasarkan pada alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program,

dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal

40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.

Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum

(rechtspersoon) melalui proses pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM

RI4, sehingga dalam lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama

dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban.

Jika manusia dapat digugat dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka

3 Janusz Symonides, Human Rights: Concept and Standards, (Aldershot-Burlington USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing, 2000), hal. 91-92.

4 Pasal 3 dan Pasal 4 UU Partai Politik

2

Page 3: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

badan hukumpun juga demikian5. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah,

maka pembubaran partai politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada

ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum6, tetapi lebih jauh lagi

adalah pembatalan terhadap status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan

dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI7.

Pembatalan atas status badan hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa

partai politik tersebut tidak lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum

dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat

privat. Tindakan hukum yang bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah

dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR,

DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang telah

dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan

Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah

untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka dicalonkan oleh Partai

politik yang telah dibubarkan atau “mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang

bersifat privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang

dilakukan oleh partai politik tersebut atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk

membayar utang pajaknya.

Bererapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam

UU MK maupun UU Partai Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang

akan menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak.

5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30 (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hlm. 20-21.6 Baik dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dewan

Perwakilan Rakyat Daerah serta tidak dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden maupun calon Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah .

7 Pasal 45 UU Partai Politik

3

Page 4: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

PEMBAHASAN

A. WEWENANG PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH

KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945. Pembentukan MK atas dasar

pemikiran bahwa UUD NRI 1945 yang merupakan dasar negara (stategroundgesetz) harus

dijaga dan dikawal secara konsisten, sehingga keberadaan MK di dalam struktur kekuasaan

kehakiman adalah dimaksudkan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the quardian of

the constitution atau waakhond van de grondwet dan the interpreter of the constitution)8.

Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 kepada MK adalah untuk

menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional9.

Beberapa kewenangan MK yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk

menyelasaikan berbagai pelanggaran konstitusional adalah10 :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (termasuk Perselisihan hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)11.

Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk

memeriksa, mengadili dan memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden12.

8 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada, 2010), hlm. 99

9 Pasal 51 ayat (1) UU MK10 Pasal 24C UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 UU MK11 Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. 12 Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945

4

Page 5: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

Pembubaran partai politik sebelum amandemen UUD NRI 1945 masih diatur dalam

undang-undang yang mengatur mengenai partai politik, tetapi setelah amademen UUD NRI

1945, pembubaran partai politik diatur dalam UUD NRI karena beberapa alasan yang

menjadi dasar untuk dapat membubarkan partai politik termasuk pelanggaran konstitusional.

Oleh karena inilah, maka wewenang untuk mengadili dan membubarkan partai politik inilah

menjadi wewenag dari MK.

Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik oleh

MK adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2)

dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik, di antaranya :

a. Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang

bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945;

b. Menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham

komunisme/Marxisme-Leninisme.

c. Melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI 1945

dan peraturan perundang-undangan; atau

d. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Sejak lahirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,

dalam Pasal 95 dikatakan bahwa masyarakat aceh diperbolehkan untuk membentuk partai

politik local di Aceh sebagai perserta dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini berarti di Indonesia terdapat dua macam partai

politik, yaitu partai politik nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011. Sedangkan macam partai kedua adalah Partai Lokal di Aceh

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

5

Page 6: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

Pemerintahan Aceh dan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh.

Dengan adanya dua macam partai politik di Indonesia ini, apakah MK sama-sama

mempunyai wewenang untuk membubarkan baik partai politik nasional maupun partai politik

local?

UU MK ternyata tidak memberikan pembedaan dan pengertian mengenai partai

politik yang dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam UU MK hanya

mengatur mengenai beberapa alas an yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai

politik beserta hukum acaranya. Sekarang bagaimanakah dengan UU Partai Politik? Dalam

UU Partai Politik ternyata juga tidak memberikan pembedaan mengenai partai nasional dan

partai local, bahkan sebenarnya UU Partai Politik itu hanya mengatur mengenai partai

nasional. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Partai Politik yang

berbunyi :

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Apabila melihat ketentuan dalam UU MK dan UU Partai Politik sebagai paraturan

organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, maka secara normative-legalistic dapat

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik yang dapat dibubarkan oleh

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 hanyalah terhadap partai

poltik nasional. Hal ini berarti MK hanya berwenang membubarkan partai politik nasional.

Akan tetapi benakah demikian? mengingat MK adalah sebagai pengawal konstitusi ((the

quardian of the constitution) dan partai lokal pun mempunyai kecenderungan yang sama

dengan partai politik nasional untuk melakukan pelanggaran konstitusional sebagaimana

6

Page 7: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

dijelaskan dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal

48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.

Secara teoritis konsepual, argumentasi hukum di atas dapat diterima. Oleh karena itu

seharusnya pembedaan partai politik nasional dan partai politik local diatur secara jelas dalam

UU MK dan UU Partai Politik sehingga akan memperjelas apa yang dimaksud dengan partai

politik dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan memperjelas juga bahwa pembubaran

partai politik nasional dan partai politik local sama-sama wewenang MK .

Ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan partai poltik dalam Pasal 24C ayat (1)

UUD NRI 1945 dan apakah MK berwenang untuk membubarkan partai politik local rupanya

menjadi perhatian khusus dalam pembentukan PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai

Politik Lokal di Aceh dan pembentukan PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur

Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.

Dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai Politik

Lokal di Aceh dikatakan bahwa “Pemberitahuan pembubaran dan penggabungan partai

politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara tertulis dengan

menyertakan putusan Mahkamah Konstitusi apabila partai politik lokal tersebut dibubarkan

oleh Mahkamah Konstitusi. Pengaturan bahwa MK juga berwenang membubarkan partai

local adalah terdapat dalam Pasal 1 angka 3, 4, dan 5 PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, yang memberikan definisi mengenai

partai politik dan membagi partai politik atas partai politik nasional dan partai politik local.

Seharusnya pengaturan mengenai lembaga yang berwenang melakukan pembubaran

terhadap partai politik itu tidak diatur dalam norma yang setingkat Peraturan Pemerintah

maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu merupakan sumber wewenang yang

bersifat atributif yang harus diatur dalam norma yang setingkat Undang-Undang. Apalagi

Pertauran Pemerintah itu merupakan peraturan teknis yang sudah dinormakan dalam sebuah

7

Page 8: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

Undang-Undang, bukan kemudian memperluas wewenang yang bersifat atributif. Lebih

parah lagi, MK yang hanya diberi wewenang untuk mengatur lebih lenjut mengenai

pelaksanaan tugas dan wewenangnya13 justru memperluas wewenangnya

B. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

Pembubaran partai politik terjadi pada era pemerintahan Soekarno, yaitu terhadap

Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) melalui Keppres Nomor 200 Tahun 1960

yang membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang membubarkan PSI

pada 17 Agustus 196014. Pembubaran partai politik juga pernah terjadi pada era orde baru

yaitu terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Keppres Nomor 1/3/1966 oleh

Letjend Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 karena keterliban PKI dalam gerekan 30

September 196515. Sedangkan pada era feformasi tidak terjadi pembubaran partai politik,

tetapi terdapat beberapa gugatan kepada MA agar membekukan atau membubarkan Partai

Golkar16. Sebagai akibat perseteruan politik antara Presiden dan DPR, Presiden Abdurrahkan

Wahid pernah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001 tentang Pembekuan

Partai Golkar.

13 Pasal 86 UU MK14 Dalam Konsideran Keppres No. 200 Tahun 1960 dikatakan “bahwa untuk kepentingan keselamatan

Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut”. Sesuai dengan Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960 anggota Masjumi dan PSI yang duduk sebagai anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan tersebut sejak 17 Agustus 1960.

15 Dalam konsideran Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 disebutkan bahwa terdapat dua alasan pembubaran PKI, yaitu terkait dengan ideologi atau asas, dan terkait dengan kegiatan. Terkait dengan ideologi atau asas, alasannya adalah karena faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa orang atau golongan yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya PKI, telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan.

16 Pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh Partai Golkar oleh para penggugat adalah telah menerima sumbangan sebesar 15 milyar rupiah dari dana kasus Bank Bali. Selain itu Partai Golkar juga dituduh melakukan money politic, melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk mempengaruhi pemilih, menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), mencuri start kampanye, dan pelanggaran lainnya.

8

Page 9: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

Sejak MK dibentuk tahun 2003 sampai sekarang, MK belum pernah menerima

permohonan mengenai pembubaran partai politik17. Tetapi bukan berarti pengaturan

mengenai pembubaran partai politik tidak diperhatikan. Pembubaran partai politik merupakan

konflik politik dan akan berakibat lebih luas dan besar dari pada kasus hukum biasa dan

bahkan dapat merujung pada Negara dalam keadan darurat. Oleh sebab inilah, maka

pengaturan mengenai pembubaran partai politik harus diatur secara jelas dan tidak

menimbulkan multi tafsir.

Sejak era reformasi berjalan, pengaturan mengenai pembubaran partai politik tidak

lagi hanya diatur melalui undang-undang partai politik, tetapi telah diatur dalam UUD NRI

1945. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yang mendasari pembubaran partai politik

merupakan bentuk-bentuk pelanggaran konstitusional, sehingga dalam Pasal 24C ayat (1)

UUD NRI 1945 masalah pembubaran partai politik djadikan sebagai salah satu wewenang

MK.

Ketentuan mengenai pembubaran partai politik terdapat UU MK sebagai aturan

organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Partai Politik serta PP Nomor 12

tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Akan tetapi tidak satupun dari ketentuan

UU MK, UU Partai Politik, dan PP Partai Politik Lokal di Aceh mengatur mengenai akibat

hukum yang akan timbul manakala suatu partai politik dibubarkan melalui Putusan MK.

Padahal akibat hukum ini sangat urgen untuk menentukan keputusan politik dan persoalan

hukum lainnya yang dapat dilakukan setelah pembubaran partai politik tersebut.

Pengaturan mengenai pembubaran partai politik dalam UU MK hanya berhenti pada

pelaksanaan dari pada Putusan MK yang telah dibacakan dalam Sidang Pleno yang terbuka

untuk umum. Jika suatu permohonan pembubaran partai politik dikabulkan oleh MK, maka

MK menyatakan membubarkan partai politik tersebut. Palaksanaan dari pada putusan ini

17 Mahkamah Konstitusi, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif, Menguhkan Integritas Institusi (Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press , 2011), hlm. 11

9

Page 10: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

melalui pembatalan pendaftaran partai politik tersebut sebagai badan hukum oleh

Kementerian Hukum dan HAM RI serta putusan MK tersebut harus diumumkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan para wakil rakyat yang

telah terpilih dan duduk dalam lembaga DPR, DPRD, dan bahkan Presiden dan Wakil

Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dicalonkan berasal dari partai

politik yang telah dibubarkan?

Berdasarkan UU Partai Politik bahwa partai politik berbentuk badan hukum yang

disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Oleh karena inilah maka partai

politik dapat melakukan berbagai tindakan hukum baik dalam ranah publik maupun dalam

ranah privat. Pencalonan terhadap sejumlah anggota DPR, DPRD, dan bahkan pencalonan

Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena partai

politik tersebut berbadan hukum yang dapat melakukan segala tindakan hukum layaknya

seperti manusia.

Akibat hukum dari pembubaran partai politik ini dapat dilihat dari beberapa Negara,

misalnya di Turki18, Jerman19 dan Taiwan20 adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti

baik dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan,

program, atau kegiatan yang sama dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu

berarti partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Sedangkan di Pakistan sanksi

khusus diberikan kepada anggota parlemen nasional dan provinsi dari partai yang

18 Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A Party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name.”

19 Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establishment of substitute organization.”

20 Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The political party being dissolved shall cease all activities and shall not establish any substitute organization to pursue the same goals;…”

10

Page 11: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

dibubarkan21. Keanggotaan lembaga perwakilan juga dilarang mengikuti pemilihan umum

selama empat tahun sejak pemberhentiannya.

Akibat hukum tethadap partai politik yang telah dibubarkan tidak hanya terhadap

kegiatan politik atau keterlibatan dalam proses politik, tetapi juga hukum keperdataan partai

politik. Hal ini sebagaimana diterapkan di Negara Jerman bahwa akibat hukum pembubaran

partai politik yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah harta kekayaan

partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik22. Sedangkan di Bulgaria

ditentukan bahwa terhadap harta kekayaan diatur lebih jelas, bahkan juga dinyatakan bahwa

negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan23.

Berdasarkan pengaturan mengenai pembubaran partai politik di beberapa Negara

tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa pembubaran partai politik itu berakibat hukum

terhadap :

a. Tidak dapat didirikan lagi partai politik yang mempunyai idealogi, asas dan tujuan serta

kegiatan yang sama dengan partai politik yang telah dibubarkan;

b. Partai politik yang dibubarkan dinyatakan sebagai partai politik terlarang;

c. Anggota Parlemen yang berasal dari partai politik yang dibubarkan diberhentikan;

d. Pelarangan anggota partai politik yang dibubarkan ikut dalam pemilu selama 4 (empat)

tahun sejak pembubaran partainya;

e. Kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh Negara untuk kepentingan public; dan

21 Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002, menyatakan “A person becoming disqualified from being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1) shall not participate in election for any elective office or any legislative body till the expiry of four years from the date of his disqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, the Provincial Assembly.”

22 Article 6 Paragrap 3 : The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.

23 Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria : When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received.

11

Page 12: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

f. Negara bertanggung jawab atas segala hutang maupun kewajiban yang ditanggung oleh

partai politik yang telah dibubarkan.

Pembubaran terhadap partai politik di beberapa Negara tidak berakibat hukum

terhadap kedudukan Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah yang dicalonkan melalui partai politik yang dibubarkan. Hal ini disebabkan bahwa

peserta pemilu dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah itu bukan partai politik yang mengusungnya, hal ini berdengan

pemilu parlemen dimana yang menjadi peserta pemilu adalah partai politik.

Pengaturan mengenai akibat hukum atas pembubaran partai politik di Indonesia

hanya pernah diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang menentukan bahwa sebagai

akibat pembubaran atau pelarangan suatu partai politik, anggota partai yang duduk sebagai

anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut.

Meskipun Penpres ini dikritik oleh Partai Masyumi dan PSI karena tidak punya landasan

konstitusional sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan Penpres inilah Partai Masyumi dan

PSI dibubarkan. Pengaturan mengenai akibat hukum dalam Penpres Nomor 13 tahun 1960

hanya sebatas pada status keanggotan dalam MPR, DPR, dan DPRD yang berasal dari partai

politik yang telah dibubarkan, tidak mengatur mengenai akibat hukum terhadap anggota

partai politik yang dibubarkan dalam berbagai kegiatan politik maupun terhadap hubungan

keperdataan yang menjadi tanggungan partai politik yang telah dibubarkan.

UU MK dan UU Partai politik yang sedang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2

Tahun 2008 jo. UU Nomor 2 tahun 2011 sama sekali tidak mengatur mengenai akibat hukum

dari pembubaran partai politik ini. Adanya kokosongan hukum dalam pengaturan mengenai

akibat hukum pembubaran partai politik ini, kemudian MK melakukan terobosan dengan

mengaturnya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur

Beracara dalam Pembubaran Partai Politik. Dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 Tahun

12

Page 13: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

2008 tersebut disebutkan bahwa “Terhadap akibat hukum putusan Mahkamah yang

mengabulkan permohonan pembubaran partai politik adalah berkaitan dengan :

a. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di

seluruh Indonesia;

b. pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;

c. pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan

kegiatan politik;

d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.

Akibat hukum pembubaran partai politik ini terkait dengan persoalan politik dalam

pengambilan keputusan oleh pimpinan MPR, DPR, dan DPRD sehingga pengaturannya

haruslah melalui kesepakatan politik. Di samping itu pula, akibat hukumnya terhadap

penghalihan tanggungjawab keperdataan dari partai politik kepada pemerintah. Sehingga

pengaturan mengenai pembubaran partai politik melalui PMK dapat dipertanyakan legitimasi

politis dan yuridisnya. Padahal Pasal 86 UU MK hanya memberikan wewenang untuk

mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan tekins dari pada tugas dan wewenang MK,

bukan berarti MK seakan-akan diberi kekuasaan legislasi melalui UU MK layaknya DPR.

Kekosongan hukum mengenai pengaturan akibat hukum atas pembubaran partai

politik ini seharusnya diatur melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga

politik dan mewakili aspirasi rakyat secara keseluruhan. Jika DPR tidak dapat mengaturnya

karena perdebatan politik yang tidak terselesaikan, maka hal ini dapat dibiarkan saja sampai

ada permohonan yang diajukan oleh Pemerintah mengenai pembubaran partai politik. Jika

permohonan tersebut dikabulkan oleh MK karena beralasan dan terbukti melakukan

pelanggaran konstitusional, maka dalam Putusan MK dapat mengaturnya lebih lanjut

mengenai kekosongan hukum tersebut. Singkat kata, rumusan Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor

13

Page 14: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

12 Tahun 2008 itu dapat dimasukkan dalam Putusan MK, sehingga hal ini akan menjadi

yurisprudensi dan akan mengakhiri kekosongan hukum mengenai akibat hukum dari

pembubaran partai politik di Indonesia.

PENUTUP

Kesimpulan

a. Bahwa pembubaran partai politik di Indonesia didasarkan atas adanya pelanggaran

konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK dan Pasal 40 ayat

(2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik. Adanya pelanggaran

konstitusional yang menjadi dasar bahwa pembubaran partai politik marupakan wewenang

MK, karena MK adalah lembaga penjaga dan penafsir konstitusi (the quardian of the

constitution and the interpreter of the constitution) yang bersifat final dan mengikat. UU

MK sebagai norma organik dari Pasal 24C UUD NRI 1945 memang masih tidak bisa

memberikan kejelasan mengenai maksud dari pada partai politik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945. Maksud dari pada partai politik seharusnya

diperjeles dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008

jo. UU Nomor 2 Tahun 2011. Dalam UU Partai Politik itu seharusnya tidak hanya

mengatur mengenai partai politik nasional, tetapi juga mengatur mengenai partai lokal.

Sehingga hal ini memperjelas wewenang MK terkait dengan perkara pembubaran partai

politik, bahwa pembubaran terhadap partai politik local juga menjadi wewenang MK.

b. Bahwa pembubaran partai politik itu pernah terjadi terhadap Partai Masyumi dan PSI

tahun 1960 pada era orde lama dan terhadap PKI tahun 1966 pada era orde baru. Pada era

orde lama, pembubaran mengenai partai politik diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun

1960 yang menentukan bahwa akibat hukum pembubaran atau pelarangan partai politik,

anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti.

Dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang ternyata tidak mengatur mengenai akibat

14

Page 15: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

hukum dari pembubaran partai politik. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum ketika

nantinya terdapat partai politik yang dibubarkan melalui putusan MK. Bagaimana

kedudukan dari anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diusung oleh partai politik yang

telah dibubarkan dan bagaimana pula terhadap utang maupun semua kewajiban perdata

yang menjadi tanggungan partai politik tersebut. Kokosongan hukum ini tidak bisa diatur

melalui PMK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 tahun

2008, karena MK tidak punya kekusaan legislasi. Kekosongan hukum ini seharusnya

diatur dalam UU Partai Politik atau dapat juga diatur nanti dalam Putusan MK jika

terdapat permohonan pembubaran partai politik yang dikabulkan oleh MK.

Saran

a. Untuk memperjelas wewenang MK terhadap perkara pembubaran partai politik local,

maka dalam perubahan UU MK semestinya memberikan definisi bahwa yang dimaksud

dengan partai politik adalah terdiri dari partai politik nasional dan partai politik lokal. Di

samping itu juga, UU Partai Politik semestinya tidak hanya mengatur mengenai partai

politik nasional, tetapi mengatur juga terhadap partai politik lokal.

b. Pembubaran partai politik akan berakibat pada lahirnya konflik politik yang

berkepanjangan dan akan berakibat bagi keselamatan dan kesatuan berbangsa dan

bernegara. Oleh karena itulah, seharusnya hal-hal yang terkait dengan akibat hukum dari

pembubaran partai politik itu diatur dalam UU MK atau UU Partai Politik oleh DPR

bersama Presiden sebagai lembaga representasi rakyat.

15

Page 16: AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

DAFTAR PUSTAKA

Hilaire Barnett, 2004, Constitutional & Administrative Law, Fifth Edition, London-Sydney-

Portland, Oregon: Cavendish Publishing Limited.

Janusz Symonides, 2000, Human Rights: Concept and Standards, Aldershot-Burlington

USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing.

Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persada.

Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada.

Mahkamah Konstitusi, 2011, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif,

Menguhkan Integritas Institusi , Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press .

Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30, Jakarta : PT. Intermasa.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah

Indonesia, Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.

2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara

Dalam pembubaran Partai Politik.

16