akad pembiayaan.docx
TRANSCRIPT
BAB 3
AKAD PEMBIAYAAN
Akad-akad pembiayaan syariah yang populer dewasa ini dalam sistem perbankan kita terbagi berdasarkan beberapa kriteria, yaitu:• Berdasarkan prinsip titipan atau simpanan (Depository)• Berdasarkan prinsip bagi hasil (Profit sharing)• Berdasarkan Prinsip Jual-Beli (Sale and Purchase)• Berdasarkan Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)• Berdasarkan Prinsip Jasa (Fee-Based Services)
A. Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository)
AL-WADI’AH
PENGERTIAN :
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan
pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang
mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun
titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan
tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
LANDASAN SYARIAH :
1. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada
yang berhak menerimanya...” (QS. An-Nisaa:58)
2. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat
kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
3. Ijma para ulama terhadap legitimasi al-wadi’ah karna kebutuhan manusia terhadap
hal itu sebagaimana dikutip oleh Dr. Wahab al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa
Adillatiha.
3
NASABAH(PENITIP)
TITIP BARANG/UANG
BERI BONUS
KJKS/BMT
PENGGUNA DANA
BAGI HASIL PEMANFAATAN BARANG/UANG
1
24
SKEMA WADIAH YAD ADH DHAMANAH
KETERANGAN:Penyimpan boleh memanfaatkan barang/uang titipanKeuntungan sepenuhnya menjadi milik penyimpanPenyimpan dapat memberikan bonus kepada penitip
MACAM-MACAM WADI’AH :
1. Wadiah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan
barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan
titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
2. Wadiah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab
atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan
akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan
tersebut.
Hadist Rasulullah:“ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang
tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap
titipan tersebut.”
SKEMA WADIAH YAD AL AMANAH
NASABAH (PENITIP) BANK (PENYIMPAN)
TITIP BARANG
BEBANKAN BIAYA PENITIPAN
KETERANGAN:Harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipanPenerima titipan berfungsi menjaga barang yang dititipkan tanpa memanfaatkannyaSebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan
JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank
kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang,
tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat
penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa
menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2. Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga
mempunyai nilai uang)
RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1. Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2. Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang
menitipkannya/menyerahkan.
3. Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan
pelayanan jasa custodian.
4. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai
dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak
berjalan/terjadi/sah.
APLIKASI AKAD WADIAH
Tn. Baris memiliki rekening giro wadiah di Bank Muamalat Sungailat
dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp 1.000.000,-.
Bonus yang diberikan BMS kepada nasabah adalah 30% dengan saldo
rata-rata minimal Rp 500.000,-. Diasumsikan total dana giro wadiah di
BMS adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan BMS dari penggunaan giro
wadiah adalah Rp 20.000.000,-Pertanyaan : Berapa bonus yang
diterima oleh Tn. Baris pada akhir bulan Mei 2002.
Jawab:
Bonus yang diterima = Rp 1.000.000 x Rp. 20.000.000 x 30%
Rp.500.000.000
= Rp 12.000
Bank syariah sentosa menyalurkan pembiayaan sebesar
Rp.600.000.000 dengan keuntungan dari pembiayaan tsb adalah
sebesar Rp16.000.000. jika pak hasan adalah salah satu nasabah yang
memiliki giro di bank tersebut senilai Rp.25.000.000. dimana nisbah
bagi hasil untuk jenis giro adalah 20:80.dengan bobot giro 0,91.
Berapakah pendapatan yang diterima oleh pak hasan:
Jawab:
Pembiyaan = Rp.600.000.000
Total pendapatan = Rp.16.000.000
Jenis
produk
Saldo akhir
bulan
(1)
Bobo
t
(2)
Saldo
tertimbang
(3=1×2)
Distribusi
pendapatan
/jenis
4=(3/
∑3)x∑4
Nisba
h
untuk
nasab
ah
5
Bagi hasil
nasabah per
produk
6=4×5
% PA
7=(6/1)x12×1
00%
A. Giro
B.
Tabungan
C.
Deposito
1 bulan
3 bulan
6 bulan
12 bulan
Rp.100.000.0
00
Rp.200.000.0
00
Rp.150.000.0
00
Rp.25.000.00
0
Rp.75.000.00
0
Rp.50.000.00
0
0.91
0.92
0.95
0.95
0.95
0.95
Rp.91.000.00
0
Rp.184.000.0
00
Rp.142.500.0
00
Rp.23.750.00
0
Rp.71.250.00
0
Rp.47.500.00
0
Rp.2.600.00
Rp.5.257.14
3
Rp.4.071.42
9
Rp.678.571
Rp.2.035.71
4
Rp.1.357.14
3
20%
65%
70%
75%
80%
85%
Rp.520.000
Rp.3.417.14
3
Rp.2.850.00
0
Rp.508.929
Rp.1.62857
1
Rp.1.153.57
1
6%
21%
23%
24%
26%
28%
jumlah Rp.600.000 Rp.560.000.0
00
Rp.16.000.0
00
Rp.10.078.2
14
Bagi hasil yang diperoleh pak hasan per tahunnya adalah:
Rp 25.000.000×6% = Rp.1.500.000,
B. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
AL-MUSYARAKAH (PARTNERSHIP, PROJECT FINANCING PARTICIPATION)
• Pengertian: Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
• Landasan Syariah:
1. “…maka mereka berserikat pada sepertiga…” (QS. An-Nisa: 12)
2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,
‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya”
(HR. Abu Dawud dan Hakim)
3. Ijma para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah
berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
• Jenis-jenis al-Musyarakah:
1. Syirkah al-‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan
kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing
pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai
dengan kesepakatan.Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
2. Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak.
3. Syirkah A’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek utk
menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam sebuah kantor. Al-Musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i.
4. Syirkah Wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise
baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual
barang tsb secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada
penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena
pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tsb. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.
2. AL-MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT)
Pengertian :
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
KEUNTUNGAN
BAGI HASILSesuai porsi kontribusi modal (nisbah)
Proyek/Usaha Modal &
Tenaga/Keahlian
Modal
Nasabah
diangsurBank Syariah
Proposal4
1
2 2
33
SKEMA MUSYARAKAH
Landasan Syariah:
1. Al Qur’an“…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT…” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Al HaditsDiriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
3. Ijma’Para Sahabat sebagaimana dikutip oleh Imam Zaila’i, beliau menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah.
Jenis-jenis al-Mudharabah :a. Mudharabah Muthlaqah : adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib
yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
AKAD MUDHARABA
H
3. AL-MUZARA’AH (HARVEST-YIELD PROFIT SHARING)
Pengertian Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan Mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan Mukhabarah: benih dari penggarap.
Landasan Syariah1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.2. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jbir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara Muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3 , 1/4:3/4 , 1/2:1/2, maka Rasulullah SAW pun bersabda: “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”3. Ijma. Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Ja’far: “Tidak ada satu rumahpun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdil Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali”.
Rukun Muzara’ah Rukun Muzara’ah terdiri dari tiga unsur yaitu:a) Pemilik lahanb) Petani penggarapc) Objek akadd) Ijab dan qabul
Berakhirnya akad Muzara’aha. Jangka waktu yang disepakati berakhir
b. Apabila salah seorang yang berakad wafatc. Adanya uzhur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik lahan maupun dari pihak
petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad Muzara’ah. Aplikasi akad Muzara’ah
Akad Muzara’ah dimaksudkan untuk membantu mengembangkan sektor pertanian, namun sistem Muzara’ah ini jarang sekali digunakan karena sudut pandang perbankan itu sendiri kurang menarik untuk berinvestasi dibidang pertanian hanya UMKM dan usaha kecil saja yang baru menggunakannya.Contoh : Ada seseorang mempunyai tanah tetapi ia tidak bisa menggarap tanah tersebut karena suatu hal, misal sibuk banyak pekerjaan ataupun keterbatasan fisik. Orang tersebut dapat menyuruh orang lain untuk menggarap tanahnya itu, tetapi semua kebutuhan bercocok tanam seperti benih dan alat-alat bercocok tanam lainnya disediakan oleh pemilik tanah dan orang yang disuruh menggarap tanah tersebut harus diberi imbalan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.
Skema Muzara’ah.
Pemilik Penggarap/pengelola
Kesepakatan
benih
4. AL-MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN
PORTION OF YIELD)
Pengertian: Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si
pengelola hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si
pengelola berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Landasan Syariah :
1. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan
tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan
mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka
memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
2. Ijma. Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Ali bahwa
Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai pengelola dan
pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali,
serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua
telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan
semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang
menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti dari umat.
3. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
a. Ucapan yang dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah),
disyaratkan shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja;
LAHAN
Hasil
=
b. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus yang mampu
dalam bertindak yaitu dewasa (akil baligh) dan berakal;
c. Dalam obyek al-musaqah itu terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Menurut Hanafiyah yang menjadi obyeknya adalah pepohonan yang berbuah,
seperti kurma, anggur dan terong atau pohon yang mempunyai akar ke dasar
bumi. Menurut ulama Malikiyah mengatakan bahwa obyeknya adalah
tanaman keras dan palawija, seperti kurma, anggur, terong dan apel, dengan
syarat bahwa: (a) Akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak
panen; (b) Tenggang waktu yang ditentukan harus jelas; (c) Akad dilakukan
setelah tanaman itu tumbuh; (d) Pemilik perkebunan tidak mampu untuk
mengelola dan memelihara tanaman itu. Menurut Hanabilah yang boleh
dijadikan obyek al-musaqah adalah tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi,
maka dari itu al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak berbuah.
Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek
itu adalah kurma dan anggur saja. Sebagaimana terlampir dalam hadits
Rasulullah Saw yang berbunyi Artinya : Rasulullah Saw. menyerahkan
perkebunan kurma di Khaibar kepada Yahudi dengan ketentuan sebagian
hasilnya, baik dari buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi mililk orang
Yahudi itu;
d. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani pengelola setelah akad
berlangsung untuk dikelola, tanpa campur tangan pemiliknya;
e. Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau
tiga, dan sebagai berikut;
f. Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan
transaksi ijarah ( sewa menyewa ).
g. Rukun musaqah antara lain adalah : pemilik kebun ( musaaqi ) dan pengelola (
saqiy ), keduanya hendaklah orang yang berhak membelanjakan harta.
h. Pohon yang dipelihara baik yang buahnya musiman, tahunan maupun terus
Menerus pekerjaan yang harus di selesaikan pengelola harus jelas baik waktu,
jenis dan sifatnya hasil yang diperoleh berupa buah, daun, kayu atau yang
lainnya. Pembagian hasil pekerjaan ini harus dijelaskan pada waktu akad
Akad yaitu wajib qabul berupa tulisan, perkataan atau isyarat
i. Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
Salah satu pihak meninggal dunia;
Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-
musaqah itu dapat diwarisi atau tidak : Ulama Malikiyah : bahwa al-
musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal
dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak
petani.
Ulama Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan
meskipun ada udzur, dan apabila petani pengelola mempunyai halangan,
maka wajib petani pengelola itu menunjuk salah seorang untuk
melanjutkan pekerjaan itu. Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah
sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi
kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh
membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon
berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan pengelola sesuai
dengan kesepakatan yang telah ada.
Contoh Musaqah
Misal si A adalah orang yang sangat kaya dan memiliki banyak tanah atau ladang
dimana-mana dan si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan lapangan
pekerjaan, karena si B orang yang jujur dan dapat dipercaya maka si A menyerahkan
sebagian kebunnya kepada si B dengan ketentuan – ketentuan tertentu yang telah di
setujui oleh kedua pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian tersebut maka si B pun
harus merawat kebun si A dengan sebaik – baiknya sampai waktu panen telah tiba.
Hikmah Musaqah
1. Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi
segala kekurangan dan kebutuhan.
2. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan
dan akan tumbuh subur karena dirawat.
Skema Musaqoh
Pemilik Lahan
Pengelola
Lahan Pertanian
Hasil Panen
Pemeliharaan
Penyiraman
Lahan
Benih
Pupuk
Air
Perjanjian Bagi HasilSKEMA
MUSAQAH
C. Prinsip Jual-Beli (Sale and Purchase)
1. BAI’ AL-MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Pengertian:
Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Misalnya pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp.10.000.000,00. kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.750.000,00 dan ia menjual kepada si pembeli dengan harga Rp.10.750.000,00. Pada umumnya, si pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran.
Bai’ al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab al-Umm Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bi asy-syira.
Alur Transaksi Murabahah:
16
Bank Syariah (Penjual)
1. Negosiasi
Nasabah (Pembeli)
2. Akad Murabahah
6. Bayar
Pemasok
5. Kirim Dokumen
3. Beli Barang 3. Kirim Barang
Landasan Syariah:
1. “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al-Baqarah: 275)
2. Dari Suhaib ar-Rumi ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah).
3. Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara utang.6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga
jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
17
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :
jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
18
Aplikasi:
Pada tanggal 5 Januari 2013 PT Halal melakukan negosiasi dengan Bank Syariah untuk memperoleh fasilitas Murabahah dengan pesanan untuk pembelian sebuah mobil dengan rencana sebagai berikut:
Harga Barang Rp 100 juta Uang muka Rp 10 juta (10% dari harga barang) Pembiayaan oleh bank Rp 90 juta Margin Rp 18 juta (20% dari pembiayaan oleh bank) Harga jual Rp 118 juta (harga barang plus margin) Jumlah bulan angsuran 24 bulan Biaya administrasi 1 % dari pembiayaan oleh bank
Jawab:
Misalkan dengan menggunakan data murabahah dengan pesanan di atas (Total Piutang Rp 118.000.000, Uang Muka Rp 10.000.000, Jangka Waktu 24 bulan) maka:
Cicilan perbulan = Tot al P iutang ― Ua ng M uka
Jumlah bulan pelunasan
= Rp 118.000.000 ― Rp 10.000.000
24
= Rp 108.000.000
24
= Rp 4.500.000
Pendapatan marjin perbulan = Piutang murabahah jatuh tempo perbulan / Total piutang bersih x MYD (Marjin Yang Ditangguhkan)
Pendapatan marjin perbulan = Rp 4.500.000 / Rp 108.000.000 X Rp.18.000.000
= Rp 750.000
Jika pada jumlah cicilan per bulan sebesar Rp 4.500.000 mengandung marjin sebesar Rp 750.000 maka pokok piutang yang terlunasi adalah Rp 3.750.000 (cicilan dikurangi marjin)
19
2. BAI’ AS-SALAM (IN FRONT PAYMENT SALE)
A. SALAM BIASA
• Pengertian:
Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka, akad salam ini digunakan untuk memfasilitasi pembelian suatu barang (biasanya barang hasil pertanian) yang memerlukan waktu untuk memproduksinya.
• Landasan Syariah:
1. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah: 282). Dalam kaitan ayat tersebut Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada Kitab-Nya dan diizinkan-Nya”, ia lalu membaca ayat tersebut.
2. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salam dalam buah-buahan untuk jangka waktu satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam) hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang diketahui”
Ketentuan Syariah
Transaksi salam diatur dalam fatwa DSN no 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Fatwa tersebut mengatur tentang ketentuan pembayaran, barang, salam paralel, waktu penyerahan dan syarat pembatalan kontrak.
Rukun-rukun salam meliputi:
(a) transaktor yakni pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih); (b) objek akad salam berupa barang dan harga yang diperjualbelikan dalam transaksi
salam; dan (c) ijab dan kabul yang menunjukkan pernyataan kehendak jual beli secara salam, baik
berupa ucapan atau perbuatan.
a. Transaktor
Transaktor terdiri atas pembeli (muslam) dalam hal ini nasabah dan penjual (muslam ilaih) dalam hal ini bank syariah.
Kedua transakstor disyaratkan memiliki kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang dipaksa dan lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya.
Terkait dengan penjual, fatwa DSN no 05/DSN-MUI/IV/2000 mengharuskan agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
20
Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
b. Objek Salam
DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh barang yang diperjualbelikan dalam transaksi salam. Ketentuan tersebut antara lain:
harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang harus dapat dijelaskan spesifikasinya penyerahannya dilakukan kemudian waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
Terkait dengan alat pembayaran, DSN mensyaratkan alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya. Alat bayar bisa berupa uang, barang atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Pembayaran itu sendiri tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
B. SALAM PARALEL
Salam paralel merupakan bai’ as-salam antara bank dan nasabah dan antara bank dan pemasok atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking and Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama.
Rukun Transaksi Salam Paralel
Berdasarkan fatwa DSN no 5 tahun 2000, disebutkan bahwa akad salam kedua (antara bank sebagai pembeli dengan petani sebagai penjual) harus dilakukan terpisah dari akad pertama. Adapun akad kedua baru dilakukan setelah akad pertama sah. Rukun-rukun yang terdapat pada akad salam pertama juga berlaku pada akad salam kedua.
Pengawasan Syariah Transaksi Salam dan Salam paralel
a) memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam; b) memastikan bahwa pembayaran atas barang salam kepada pemasok telah dilakukan
diawal kontrak secara tunai sebesar akad salam; c) meneliti bahwa akad salam telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI tentang salam dan
peraturan Bank Indonesia yang berlaku; d) meneliti kejelasan akad salam yang dilakukan dalam format salam paralel atau akad
salam biasa; e) meneliti bahwa keuntungan bank syariah atas praktik salam paralel diperoleh dari
selisih antara harga beli dari pemasok dengan harga jual kepada nasabah/pembeli akhir.
21
C. SKEMA SALAM PARALEL
D. SKEMA SALAM BIASA
22
Contoh Jual Beli Salam
Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajuan pembiayaan sebesar Rp.
5.000.000,00. Pembiyaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia
berencana menanami sawahnya dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras
dijual dipasar dengan harga Rp. 2.000,00 per kg. Penghasilan yang di dapat dari sawahnya
biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras ini setelah 3 bulan.
Bagaimana cara perhitungannya?
Jawaban
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp. 5.000.000,00, sedangkan harga
beras IR36 di pasar Rp. 2.000,00 per kg. Karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak
2,5 ton (Rp. 5.000.000,00 dibagi Rp. 2.000,00 per kg). Beras tersebut dapat dijual kepada
pembeli berikutnya. Setelah melalui negoisasi, bank menjualnya sebesar Rp. 2.400,00 per
kg., yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp. 6.000.000,00 (dibilang secara umum,
bank mendapat keuntungan jual beli, bukan pembuangan uang, sebesar 20% margin).
3.BAI’ AL-ISTISHNA’ (PURCHASE BY ORDER OR MANUFACTURE)
PENGERTIAN:
Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan
penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang
telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua belah
pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka,
melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut
jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ as-salam.
Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-
istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
LANDASAN SYARIAH:
Mengingat bai’ al-istishna’ merupakan lanjutan dari bai’ as-salam maka secara umum
landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’.
RUKUN DAN KETENTUAN AKAD ISTISHNA :
23
Rukun Istishna ada 3, yaitu :
1. Pelaku terdiri atas pemesan (pembeli atau mustasni) dan penjual (pembuat sani’)
2. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan & modal istishna berbentuk harga
3. Ijab qabul/ serahterima.
KETENTUAN SYARIAH :
1. Pelaku, harus cakap hukum dan balig
2. Objek akad:
a. Ketentuan tentang pembayaran
1). Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat, demikian juga degan cara pembayarannya.
2). Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi
apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad
maka penambahan biaya menjadi tanggung jaawab pembeli
3). Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan
4). Pembayaran tidak boleh berupa pe,mbebasan utang.
b. Ketetuan tentang barang
1) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu) sehingga tidak
ada lagi jahala dan perselisihan dapat dihindari
2) Barang pesanan diserahkan kemudian
3) Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan nberdasarkan kesepakatan
4) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual
5) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
6) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepatan, pemesan
pemilik hak khiyar (hak memilik) untuk melanjutkan atau membatalkan akad
7) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia
telah menjalankan kewajibannya sesssuai dengan kesepakatan.
3. Ijab qabul
Adalah pernyataan ekpsresi saling ridha/ rela diantara pihak pihak pelaku akad yang
dilakukan secara verbal, terttulis, melaui korespondensi atau menggunakan cara cara
komunikasi modern
Berakhirnya akad istishna bias disebakan oleh hal-hal berikut :
1.Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak
24
2.Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
3.Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah
dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa
menuntut pembatalannya.
AL-ISTISHNA’PARALEL:
Dalam al-istishna’ paralel, penjual membuat akad al-istishna’ dengan subkontraktor
untuk membantunya memenuhi kewajiban akad al-istishna’ pertama (antara penjual dan
pemesan). Pihak yang bertanggung jawab pada pemesan tetap terletak pada penjual tidak
dapat dialihkan pada subkontraktor karena akad terjadi antara penjual dan pemesan
bukan pemesan denga subkontraktor. Sehingga penjual tetap bertanggung jawab atas
hasil kerja subkontraktor.
APLIKASI AKAD ISTISHNA’
Contoh kasus: untuk membangun sebuah bangunan
25
SKEMA AKAD ISTISHNA’ PARALEL
Transaksi istishna pertama: antara nasabah dengan bank
Harga bangunan : Rp. 150.000.000
Termin pembayaran : 5 termin sebesar @ 30.000.000
Transaksi istishna kedua: antara bank dengan pemasok (kontraktor)
Harga bangunan : Rp. 130.000.000
Termin pembayaran : 3 termin sebesar
: 20%= 26.000.000
: 30%= 39.000.000 dan
: 50%= 65.000.000
NERACA AWAL PERBANKAN SYARIAH
Aktiva Passiva
Aset
Kas
Penempatan pada BI
Giro pada bank lain
Piut ang murabahah, salam &
istishna
Pembiayaan mudharabah-
musyarakah
Persediaan
Asset tetap dan akm penyusutan
175
jt
-
-
-
25 jt
-
-
Utang
Tabungan wadiah
Giro wadiah
Hutang salam
Hutang istisna
Investasi tidak terikat
Tabungan mudharabah
Deposito mudharabah
Tab. & deposit dari bank
lain
Musyarakah
Modal
Modal disetor
Laba ditahan
75 jt
-
-
-
25 jt
-
-
-
100
jt
-
Jumlah
200 jt
Jumlah
200 jt
26
1. Bank membutuhkan dana untuk survey hal yang demikian di kemudian
hari akan diakui sebagai biaya overhead sebagai penambah jumlah
harga perolehan barang istishna
Beban praakad yang diangguhkan Rp. 2 jt
Kas Rp.2 jt
2. Saat penandatangan akad sebagai bentuk jadinya akad diteruskan
Biaya istishna Rp. 2 jt
Beban praakad yang ditangguhkan Rp. 2 jt
3. Saat menerima barang dari pemasok, karena pemasok telah
menyelesaikan 20% pembangunan, dan diakui dengan hutang
Asset istisna dalam penyelesaian Rp. 26 juta
Utang Rp. 26 juta
Pembayaran barang kepada pemasok
Utang istishna Rp. 26 juta
Kas Rp. 26 juta
Pengakuan pendapatan istishna
Asset istishna dalam penyelesaian Rp. 4 juta
Harga pokok istishna Rp. 26 juta
Pendapatan margin istishna Rp. 30 juta
4. Saat menerima barang dari pemasok, karena pemasok telah
menyelesaikan 30% pembangunan, dan diakui dengan hutang
Asset istisna dalam penyelesaian Rp. 39 juta
Utang istishna Rp. 39 juta
Pembayaran barang kepada pemasok
Utang istishna Rp. 39 juta
Kas Rp. 39 juta
Pengakuan pendapatan istishna
Asset istishna dalam penyelesaian Rp. 6 juta
27
Harga pokok istishna Rp. 39 juta
Pendapatan margin istishna Rp. 45 juta
5. Saat menerima barang dari pemasok, karena pemasok telah
menyelesaikan 50% pembangunan, dan diakui dengan hutang
Asset istisna dalam penyelesaian Rp. 65 juta
Utang istishna Rp. 65 juta
Pembayaran barang kepada pemasok
Utang istishna Rp. 65 juta
Kas Rp. 65 juta
Pengakuan pendapatan istishna
Asset istishna dalam penyelesaian Rp. 10 juta
Harga pokok istishna Rp. 65 juta
Pendapatan margin istishna Rp. 75 juta
6. Penagihan piutang istishna dan menerima pembayaran piutang istishna
dari pembeli (nasabah) selama 5 kali termin, maka sebenarnya jurnal
ini dibut sebanyak 5 kali sesuai tanggal terminnya, namun disini
dilakukan penyingkatan menjadi Satu
Piutang istishna Rp. 30 juta
Termin istishna Rp. 30 juta
Menerima pembayaran termin istishna dari pembeli (5 kali jurnal sesuai
termin)
Kas Rp. 30 juta
Piutang istishna Rp. 30 juta
Termin istishna Rp. 30 juta
Asset istishna dalam penyelesaian Rp. 30 juta
28
4. Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
AL-IJARAH (OPERATIONAL LEASE)
• Pengertian:
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
• Landasan Syariah:
1. “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah: 233).
2. Yang menjadi dalil dari ayattersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan
pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat
kewajiban membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan
atau leasing.
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (HR. Bukhari dan Muslim).
29
AL-WAKALAH (DEPUTYSHIP)
• PengertianAl-Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Akad al-wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Agen (wakil) boleh menerima komisi dan boleh juga tidak menerima komisi. Tetapi bila ada komisi atau upah maka akadnya seperti akad ijarah/sewa menyewa. Wakalah dengan imbalan disebut dengan wakalah bil ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
• Landasan Syariah1. “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya akau adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman”. Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf a.s. siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga gudang uang negeri Mesir.2. “Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-harits”. (Malik dalam kitab al-Muwaththa)3. Ijma para ulama yang bersepakat atas dibolehkannya wakalah.
Rukun dan Syarat Wakalah
30
Penyerahan 3
Surat2 kendaraan (3b)
Kendaraan (3a)
Beli 5 unit
kijang (2)
Akad ijarah (1) Bayar Sewa (4) Bayar harga beli (5) Pny.srt.
Kendaraan (6)
SKEMA AKAD IJARAH
a. Rukun Wakalah 1) Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa). 2) Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).3) Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).4) Shighat (ijab dan qabul).b. Syarat-syarat Wakalah 1) Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat. 2) Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal. Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak kecil yang masih belum baligh.3) Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah: a) Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan sholat, puasa, dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan. b) Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan dibeli. c) Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”. 4) Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhoannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
Berakhirnya WakalahAkad wakalah berakhir jika terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut:a. Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang berakad masih hidup. b. Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal. c. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan seperti ini wakalah tidak berfungsi lagi. d. Pemutusan oleh yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut Madzab Hanafi wakil wajib mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu, tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya. e. Wakil memutuskan sendiri, menurut Madzab Hanafi tidak perlu orang yang mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. f. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.
Aplikasi akad WakalahAplikasi Wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa Wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Contoh : Proses transfer uang, yaitu proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya
31
diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Muwakil terhadap bank sebagai Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan
Skema Wakalah
Kontrak+fee
-Transfer-Kliring- Inkaso
AL-IJARAH AL-MUNTAHIA BI AT-TAMLIK (FINANCIAL LEASE WITHPURCHASE OPTION)
Pengertian adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
32
Pemberi Kuasa (Nasabah)
Taukil (Obyek)
Penerima Kuasa
1
3
2
4
5
Keterangan
1. Identifikasi dan memilih2. Pengajuan IMBT3. Menjual rumah tunai pada harga 100 juta (perjanjian penjualan property)4. Menyewakan rumah 1 jt/bulan perjanjian sewa menyewa (PSM)5. Membayar uang sewa 1 juta/ bulan di akhir dengan pembelian 10 juta perjanjian jual
property
Contoh soal IMBT dalam kehidupan nyata
Perhitungan dari skema IMBT ini dapat djelaskan melalui contoh berikut: Misalkan ada seseorang yang hendak menjual rumah seharga Rp100.000.000. Dan ada seorang pembeli B yang ingin membeli rumah tersebut dengan meminta bantuan Bank A memberikan pembiayaan, maka bank A dapat menawarkan kepada pembeli B untuk bekerja sama dengan akad IMBT.
Maka kontrak pertama yang dilakukan adalah Bank A harus membeli rumah kepada penjual rumah dengan harga Rp100.000.000 dan akan dilanjutkan dengan perjanjian kontrak kedua, yaitu Bank A menyewakan rumahnya kepada pembeli B. Misalkan biaya sewa yang disepakati adalah sebesar Rp1.000.000 per bulan selama 10 tahun (120 bulan), maka pembeli B akan mengeluarkan uang sewa sampai 10 tahun adalah sebesar Rp1.000.000 dikali dengan 120 bulan, adalah sebesar Rp120.000.000.
Di akhir masa sewa, Bank A menjual rumah yang telah dimilikinya kepada pembeli B dengan harga Rp10.000.000. Maka kepemilikan rumah telah berpindah kepada pembeli B pada saat kontrak perjanjian yang terakhir, yaitu setelah 10 tahun. Apabila perhitungan tersebut digambarkan ke dalam skema akad IMBT, gambar berikut adalah skema aliran dana yang terjadi.
B. AL-KAFALAH (GUARANTY)
Pengertian:Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Akad kafalah secara teknis berupa perjanjian bahwa seseorang memberikan penjaminan kepada seorang kreditur yang memberikan hutang kepada seorang debitur, yaitu menjamin bahwa hutang debitur akan dilunasi oleh penjamin apabila debitur tidak membayar hutangnya. Contoh akad kafalah garansi bank dan sebagai berikut.
Landasan Syariah :
1. “Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72). Kata Za’im yang berarti penjamin dalam surat Yusuf tersebut adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
33
2. Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW mayat seorang laki-laki utk dishalatkan…Rasulullah SAW bertanya: “Apakah dia mempunyai hutang? Sahabat menjawab: “ya sejumlah tiga dinar…Abu Qatadah lalu berkata: “Saya menjamin utangnya ya Rasulullah…” (HR. Bukhari).
Adapun beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi kafalah, diantaranya:1) Kafiil merupakan orang yang berkewajiban melakukan tanggungan.2) Ashiil/ makful anhu merupakan orang yang berutang atau orang yang ditanggung.3) Makful lahu merupakan orang yang memberi utang(berpiutang).4) Makful bihi merupakan sesuatu yang dijamin berupa orang atau barang atau
pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh orang yang keadaannya ditanggung(ashiil/ makful anhu).
5) Lafal merupakan lafal yang menunjukkan arti menjamin.
Ketentuan Umum Kafalah (Fatwa DSN NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah)1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak
memberatkan. 3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak.
Macam-macam Orang Yang Dapat DitanggungMengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.
Masa TanggunganMasa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung adalah dimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqaha'.Kemudian fuqaha' bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan badan, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?. Segolongan fuqaha' berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak. Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi dan al-Sya'bi. Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia menjadi penanggung.
34
Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankah pengambilan hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atau saksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberi penanggung. Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkan saksi, maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut, yakni masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari kalangan madzhab Maliki.
Fuqaha' Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas debitur sebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka memberikan waktu hanya 3 (tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseorang kecuali dengan adanya saksi. Dengan demikian akan tampak jelas pengakuannya itu benar atau tidak benar. Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akan ditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban (hutang) debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihak penanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke depan, apabila diperlukan.
Kewajiban PenanggungApabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung?. Dalam hal ini ada tiga pendapat, sebagai berikut:Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya dan fuqaha' Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha' Irak.Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasuk dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwa penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi, didasarkan pada Hadis Ibnu 'Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang laki-laki meminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikan penanggung kepadanya, tetapi ia tidak mampu, sehingga orang tersebut mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debitur memberikan harta kepadanya."
Obyek TanggunganMengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi
tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah.
35
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual-belikan.
Macam-macam KafalahM. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut:1. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3. Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
Upah Atas Jasa KafalahAdiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpandangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.
Akibat-akibat Hukum KafalahApabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya.Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.
36
Penerapan Kafalah Dalam PerbankanSebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya. Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan. Bank dalam pemberian garansi ini, bisaanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
Dalam buku Konsep, Produk, Dan Implementasi Operasional Bank Syariah surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi lima bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek.
1) Bid BondSecara umum bid bond perngertiannya sama dengan penjabaran arti dengan makna dari bank garansi di atas. Bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal.
2) Performance BondHampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek. hanya saja dalam Permormance Bond justru disengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tadi bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik proyek.
3) Advance Payment BondHampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara bank penjamin, pihak yang dijamin, dan pihak yang terjamin adalah pembayaran di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor.
4) Rentention BondJaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah. Ia berkaitan dengan pemeliharaan hasil pekerjaan/proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan kontrak kerja.
5) Custom Bond
37
Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang = barang impor yang dimintakan penangguhan pembayarannya apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan penangguhan pembayarannnya.Garansi yang berupa surat penjaminan oleh bank atas permiantaan nasabah bank sebagai yang dijamin atas persetujuan pihak ketiga ( dalam hal ini adalah pemilik proyek ) akan berkahir bila masa berlaku yang telah disepakati sebelumnya oleh tiga pihak tersebut telah berakhir atau expired jika tidak masa berlaku garansi jaminan yang diberikan bank akan berkahir ketika masa pengerjaan atau pengelolaan proyek yang telah direncanakan antara pengelola proyek dengan pemilik proyek setelah selesai dalam waktunya atau finished dan menurut buku Konsep, Produk dan Implementasi Operasional bank Syariah ada dua hal lagi selain dua tadi yang menjadi alasan telah habisnya masa berlaku garansi yang ditebritkan oleh bank yaitu pihak ketiga telah mengembalikan bank garansi ,dan pihak ketiga melepaskan bank garansi.Bank Garansi dapat diperpanjang jika menurut pertimbangan pemilik proyek untuk menjamin keselamatan dan terpeliharanya keberlangsungan pengerjaan proyek . Atau Nasabah pun dapat memperpanjang bank garansi kjika merasa perlu untuk memastikan bahwa pengerjaan proyek tersebut dapat mencapai kesepakatan yang telah dicanangkan sebelumnya .
SkemaSkema 1
38
Bu As, hari ini saya tidak mengajar anak2 3psa,
rapat ndadak ig ...
Ya Bu Mus. Nanti saya gantikan ..
Ibu tenang aja...
Skema 2
Hikmah dan Manfaat Kafalah1) Sebagai salah satu akad yang terdapat dalam Fiqh Muamalah yang mengatur
secara adil dan memilki maqashid menuju terciptanya kesejahteraan dan kenyamanan sesama manusia tatkala melakukan transaksi perdagangan maupun dalam perbankan.
2) Dengan adanya kafalah, pihak yang dijamin atau disebut juga dengan madhmun anhu dapat menyelesaikan proyek atau usaha bisnisnya dengan ditanggung pengerjaanya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga yang menjamin pengerjaannya.
3) Dengan adanya kafalah, pihak yang terjamin atau dalam istilah fiqh mua’amalah disebut sebagai Madhmun lahu menerima jaminan oleh penjamin (dalam hal ini bank) bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.
39
Fee Kafalah
Beli
• C. Al-HAWALAH (TRANSFER SERVICE)• Pengertian:Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.
Skema:
Landasan Syariah:
1. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya terimalah hawalah itu”.
2. Ijma ulama bahwa hawalah dibolehkan.3. Bill discounting. Secara prinsip bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja
dalam bill discounting nasabah harus membayar fee.
4. Fatwa DSN-MUI NO. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah:
40
HUTANG
PEMBAYARAN HUTANG
B. MUHIL A. MUHAL
C. MUHAL ‘ALAIH
Rp.10.000.000,00
PIUTANG
Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Sumber tambahan :
http://www.ekonomisyariahindonesia.com
Aplikasi:
Hawalah Mutlaqah
1. Pak Ali adalah pengusaha yang sukses. Pada suatu tender ia memasang harga yang sangat tinggi, ternyata ia kalah tender. Untuk menutupi biaya yang terlanjur dikeluarkan, ia berhutang ke bank. Tapi Pak Ali mengalihkan hak penagih bank kepada Pak Joni, karena Pak Joni telah bersepakat dengan Pak Ali dan ia mau menggantikan Pak Ali membayar hutangnya.
Hawalah Muqayyadah
2. Pak Raden adalah seorang nasabah di BRI Syariah. Salah seorang rekan bisnisnya berhutang sebesar Rp 10.000.000,00. Karena Pak Raden juga sedang sangat sibuk dengan bisnisnya yang lain, maka dia memutuskan untuk menghawalahkan piutang tersebut kepada BRI Syariah. Dengan demikian, BRI Syariah akan menyerahkan uang Rp 10.000.000,00 kepada Pak Raden, dan bank akan menagih uang tersebut pada rekan kerja Pak Raden.
D. AR-RAHN (MORTAGE)
AR-RAHN (MORTAGE)
A. Pengertian
41
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan
tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Sedangkan barang gadaian dalam
dunia finansial disebut collateral.
B. Landasan Syariah
1. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS. Al-
Baqarah: 283)
2. “Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari
seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR.
Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat Rahn
Ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad rahn
tersebut. Menurut jumhur ulama ulama rukun rahn itu ada empat.
1. Sigah ( Lafal ijab Kabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja
dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak
2. Ar-rahin dan al-murtahin (orang yang berakat)
3. Al-marhun (harta yang dijadikan anggunan)
4. Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn
itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh
pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut
mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad rahn ini, maka di
perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor. Adapaun kedua
orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang,
42
menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan
rukunnya.
Syarat-syarat rahn. Ulama fiqhi mengemukakan syarat-syarat rahn itu
sendiri adalah sebagai berikut :
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap
bertindak hokum. Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur
ulama, adalah orang yang telah balig dan berakal. Namun menurut
ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang berakat tidak
disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu,
menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad
rahn, dengan syarat akad rahn yang dialakukan anak kecil yang
sudah mumayis ini mendapat persetujuan wilayah.
2. Syarat sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad
rahn tidak boleh di kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan
dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan
akad jual beli. Apabila akad tersebut dibarengi dengan syarat
tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang.
3. Syarat al-marhunbih (utang) adalah
a. merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
b. hutang itu bisa dilunasi dengan agunan
c. utang itu jelas dan tertentu
4. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan) menurut ahli
fiqhi :
a. Agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b. Agunan itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
c. Agunan itu jelas dan tertentu
d. Agunan itu milik sahdebitor
e. Agunan itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain
f. Ugunan itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa
tempat
g. Agunan itu bisa diserahkan baik materinya maupun
manfaatnya.
43
D. Aplikasi dalam Perbankan:
1. Sebagai produk pelengkap: dipakai sebagai akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan
bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai
konsekuensi akad tersebut.
2. Sebagai Produk tersendiri, tetapi nasabah tidak dikenakan bunga
akan tetapi sebatas biaya penitipan, pemeliharaan, serta
penaksiran, dan dikenakan biaya hanya sekali dan ditetapkan di
muka.
Contoh aplikasi Rahn :Ibu Eva membutuhkan uang sebesar Rp. 10.000.000,-. Untuk itu, beliau mendatangi Bank syariah untuk meminjam uang dengan jaminan emas seberat 30 gr yang dimilikinya.(asumsi: biaya pemeliharaan emas adalah Rp. 3000/gr).
Perhitungan Bank:Harga taksiran bank atas emas =Rp. 12.000.000,-Maksimum pinjaman =75% dari nilai taksiran
=75% x Rp. 12.000.000,-=Rp. 9.000.000,-
Biaya pemeiharaan 30 gr emas =Rp. 90.000,- Fasilitas Bank untuk Ibu Eva:
Pinjaman =Rp. 9.000.000,-Biaya (dibayar di muka) =Rp. 90.000,-Jangka waktu = 2 bulan
E. Skema Rahn
44
45RAHIN/NASABAH
1
2. Permohonan Pembiayaan
3. Akad Pembiayaan
Marhun bih pembiayaan