aik viii ijma qiyas

26
Nama Dosen : Mahsyar Idris Mata Kuliah : Al – Islam Kemuhammadiyahan VIII AL - ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN “IJMA’ DAN QIYAS” Oleh Kelompok IV: HARIANTO 211 280 175 YUZRI YUSUF 211 280 170 WIWIK SYAM 211 280 179 PROGRAM STUDY INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

Upload: andipanaungi

Post on 21-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ijma Qiyas

TRANSCRIPT

Page 1: Aik Viii Ijma Qiyas

Nama Dosen : Mahsyar IdrisMata Kuliah : Al – Islam Kemuhammadiyahan VIII

AL - ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

“IJMA’ DAN QIYAS”

Oleh Kelompok IV:

HARIANTO 211 280 175

YUZRI YUSUF 211 280 170

WIWIK SYAM 211 280 179

PROGRAM STUDY INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

TAHUN AKADEMIK 2014/2015

Page 2: Aik Viii Ijma Qiyas

KATA PENGANTAR

� ح�يم الر� ح�من� الر� �ه� الل � م �س� بPuji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Ijma’ dan Qiyas” Ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna untuk

memperoleh nilai dalam mata kuliah Al – Islam Kemuhammadiyahan VIII.

Melalui kesempatan yang sangat berharga ini penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan jadi kritik dan saran sanggat kami butuhkan dalam penyempurnaan

makalah kami, Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam

kesempatan ini, yang telah memberikan bantuan moral dan materil dalam proses

penyelesaian makalah ini. .

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas

segala bantuan yang telah diberikan. 

Parepare, 10 Maret 2015

Kelompok V

i

Page 3: Aik Viii Ijma Qiyas

ii

Page 4: Aik Viii Ijma Qiyas

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I 1

A. PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang 1

2. Rumusan Masalah 2

3. Tujuan 2

6. Manfaat 2

BAB II 2

B. PEMBAHASAN 2

A. IJMA’ 2

1. Pengertian Ijma’ 2

2. Macam-macam Ijma’ 2

3. Syarat-syarat dan rukun Ijma’ 3

4. Kedudukan ijma’ 4

5. Dasar Hukum Ijma’ 5

B. QIYAS 6

1. Pengertian Qiyas 6

2. Rukun dan Syarat Qiyas 8

3. Macam-macam Qiyas 9

BAB III 11

C. PENUTUP 11

A. Kesimpulan 11

B. Saran 11

DAFTAR ISI 12

iii

Page 5: Aik Viii Ijma Qiyas

BAB I

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan

argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan

dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman

dalam menggali hukum-hukum syara’. Namun ada komunitas umat islam

tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya

berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan

sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan

Hadits).

Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan

ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka

hadapi. “Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan

para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan

hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan

pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa

ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-

Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya

kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan

langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau

Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam

memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak

ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan

yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan

Qiyas.

1

Page 6: Aik Viii Ijma Qiyas

2. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Ijma’ dan Qiyas?

2. Rukun-rukun Ijma’ dan Qiyas

3. Dasar hukum Ijma’

4. Macam-macam Ijma’ dan Qiyas

5. Syarat-syarat Ijma’ dan Qiyas

6. Kedudukan Ijma’

3. Tujuan

1. Mengetahui Apakah pengertian Ijma’ dan Qiyas?

2. Mengetahui Rukun-rukun Ijma’ dan Qiyas

3. Mengetahui Dasar hukum Ijma’

4. Mengetahui Macam-macam Ijma’ dan Qiyas

5. Mengetahui Syarat-syarat Ijma’ dan Qiyas

6. Mengetahui kedudukan ijma’

7. Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa lebih

memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang lebih

mendalam mengenai Ijma’ dan Qiyas sehingga diharapkan mampu

menerapkannya dalam dunia perkuliahan

2

Page 7: Aik Viii Ijma Qiyas

BAB II

B. PEMBAHASAN

A. IJMA’

1. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para

mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah

saw. Wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kajadian.

Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid

dari ummat islam pada waktu kejadian itu terjadi dan mereka sepakat atas

hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’.

Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap

sebagai dalil, bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara’

mengenai kejadian itu. Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan sesudah

wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau

merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga

tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syar’i, dan tidak pula

terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan

terwujud kecuali dari beberapa orang.

2. Macam-macam Ijma’

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi,

namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam

ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan

tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:

1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas

dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga

ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi.

2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak

menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam

diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum

2

Page 8: Aik Viii Ijma Qiyas

yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma'

seperti ini disebut juga ijma` `itibari.

3. Syarat-syarat dan rukun Ijma’

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’

mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak

dianggap ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai

derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam

disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk

menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat

Islam.

2. Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun

negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh

seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda

pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda

pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.

3. Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada

pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh

karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang

ada pada masa berikutnya.

4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah

SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam

hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan

mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.

5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan

terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun

berkelompok dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi

perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan

diperolehnya satu pendapat bulat.

3

Page 9: Aik Viii Ijma Qiyas

6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-

benar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi

kebulatan pendapat.

Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para

mujtahid atas hukum syara’ yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka

terjadilah ijma’.

Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:

1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma

tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid

yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang

dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’

2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah

seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai

belahan dunia Islam.

3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid

mengemukakan pandangannya.

4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat

aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an

5. Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau

hadis Rasulullah SAW.

4. Kedudukan ijma’

Jumhur ulama’ ushul Fiqh berpendapat, apabila rukun-rukun

ijma’telah terpenuhi , maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’I

(pasti), wajibdiamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang

yangmengingkarinya dianggap kafir, disamping itu permasalahan yang

telahditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul fiqh tidak

bolehlagi menjadi pembahasan ulama’ generasi berikutnya. Karena hukum

yangditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’I dan

menempatiurutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah alqur’an dan sunnah.

Akan tetapi, Ibrahim bin Siyar al Nazzam (tokoh Mu’tazilah)

ulama’Khawarij dan ulama’ Syi’ah, berpendapat bahwa ijma tidak dapat

4

Page 10: Aik Viii Ijma Qiyas

dijadikanhujjah. Menurut al Nazzam, ijma’ yang digambarkan jumhur

ulama’tersebuttidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan

seluruh mujtahidpada satu masa, dan menyepakatinya bersama. Selain itu,

masing-masingdaerah mempunyai struktur soaial dan budaya yang

berbeda.

Adapun bagi kalangan Syi’ah, ijma’ tidak mereka terima sebagaihujjah,

karena pembuatan hukum menurut keyakinan merekaadalah imamyang

mereka anggap ma’sum (terhindar dari dosa). Ulama’ Khawarij

dapatmenerima ijma’ sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di

kalangansahabat.

5. Dasar Hukum Ijma’

1) Ijma’ merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya :

Firman Allah :

الناس� على شهداء �تكونوا ل � وسطا �مة$ أ كم �نا جعل ذل�ك وك

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),

umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)

manusia." [QS. Al-Baqoroh : 143]

Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian

terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari

perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.

2) Firman Allah :

ا �لى إ ردوه ف شيء1 ف�ي تنازعتم �ن� والرسول� فإ �ه� ل

"Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada

Allah dan Rasul-Nya." [QS. An-Nisa' : 59]

Menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati

adalah benar.

3) Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

ة1 ل ضال على �ي $مت أ تجتم�ع ال

"Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan"

5

Page 11: Aik Viii Ijma Qiyas

4) Akal pikiran

Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan

dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap

mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok

ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta

hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam

berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh

melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash

itu.

B. QIYAS

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah :

mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu

kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena

persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah

menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah

diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum,

kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu

dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka

hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,

berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada

di mana illat hukum ada.

Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan

sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan

hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara

analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan

tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus

sama pula dengan hukum yang ditetapkan.

6

Page 12: Aik Viii Ijma Qiyas

A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya

persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :

دمر قبلهم من الذين عاقبة كان ليف فينظروا االرض فى يسيروا افلم

امثالهم وللكافرين عليهم الله

Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di

muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan

orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas

mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.

Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.

أمنوا الذين كا تجعلهم ان السيأت احترجوا الذين حسب ام

ما سأ ومماتهم محياهم سواء الصالحات وعملوا

(21 الجاثية) : يحكمون

Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka

bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman

dan mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian

mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

Dan Firman Allah yang berbunyi.

نجعل ام االرض فى المفسدين كا الصالحات وعملوا امنوا الذين نجعل ام

الفجار كا )28 الصاد( : المتقين

Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman

dan mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat

kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang

bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?

Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai

dengan prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya

persamaan dan membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan.

Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i

menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan

masa Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap

masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak adalah hak dan yang

7

Page 13: Aik Viii Ijma Qiyas

dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat dengan hal

tersebut.

2. Rukun dan Syarat Qiyas

Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :

1) Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga

al-maqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang

dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan

dengannya).

2) Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga

disebut al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang

dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).

3) Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl

(pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-

far’u (cabangnya).

4) Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk

hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada

cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi

hukumnya.

Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu

mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

1) Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)

a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada

pokoknya

b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’

c. Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian,

seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan

minum

2) Syarat-syarat fara’ (cabang)

8

Page 14: Aik Viii Ijma Qiyas

a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum

pokok, misalnya mengqiayaskan wudlu dengan

tayamun

b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang

menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash,

qiyas menjadi batal

c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat

yang terdapat pada pokok

3) Syarat-syarat illata. Illat harus tetap berlaku

b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus

terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu

sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi

kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat

wajibnya qishas

c. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan

maka nash yang didahulukan

d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu.

3. Macam-macam Qiyas

a. Qiyas aula

Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang

disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada

tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang

tua dengan mengatakan “ah” kepadanya

b. Qiyas musaw, i

Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang

terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam

mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat

hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama –

sama merusakkan harta

c. Qiyas dalalah

9

Page 15: Aik Viii Ijma Qiyas

Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan

hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan

harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya

mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda

yang mempunyai sifat dapat bertambah

d. Qiyas syibhi

Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua

mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung

banyak persamaaannya dengan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya

yang dirusakkan oleh seseorang.

10

Page 16: Aik Viii Ijma Qiyas

BAB III

C. PENUTUP

A. Kesimpulan Pengertian Ijma’ adalah kesepakatan dari umat Islam pada hukum

Syar’i, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah

wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.

Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam.

meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa

terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW

wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.

Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’Sarih

(tegas) dan Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya

sebagian ulama).

Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan

sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan

hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara

analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan

tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus

sama pula dengan hukum yang ditetapkan

Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku

sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.

B. Saran Semoga penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa lebih

memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang lebih

mendalam mengenai Ijma’ dan Qiyas sehingga diharapkan mampu

menerapkannya dalam dunia mahasiswa.

11

Page 17: Aik Viii Ijma Qiyas

DAFTAR PUSTAKA

1. Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

2. Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.

3. Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana

Ilmu, 1997.

4. Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.

12