agama [ mata uang islami ]

32
BAB 2 [ RANGKUMAN ] Hakikat Mata Uang dan Sejarah Perkembangannya A. Definisi Uang. 1. Definisi Uang Secara Bahasa. Secara etimologi, definisi uang ( nuqud ) ada beberapa makna : a. Al-Naqdu: yang baik dari Dirham, dikatakan dirhamun naqdun, yakni baik. Ini adalah sifat. b. Al-Naqdu: meraih Dirham, dikatakan naqada al-darahima yanquduha naqdan, yakni meraihnya ( menggenggam, menerima ). c. Al-Naqdu: membedakan Dirham dan mengeluarkan yang palsu. Sibawaihi bersyair: “Tanfi Yadaha al-Hasha fi Kulli Hajiratin —Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”. Artinya: “ Tangannya ( Unta ) mengais-ngais disetiap padang pasir—memilah- milah Dirham oleh tukang uang ( pertukaran, pemeriksaan, pembuat uang ). d. Al-Naqdu: Tunai, Lawan Tunda, yakni memberikan bayaran segera. 2. Definisi Nuqud dalam Istilah Fuqaha. 1

Upload: samsul-al-irsyad

Post on 26-Dec-2015

73 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agama [ Mata Uang Islami ]

BAB 2

[ RANGKUMAN ]

Hakikat Mata Uang dan Sejarah Perkembangannya

A. Definisi Uang.

1. Definisi Uang Secara Bahasa.

Secara etimologi, definisi uang ( nuqud ) ada beberapa makna :

a. Al-Naqdu: yang baik dari Dirham, dikatakan dirhamun naqdun, yakni baik. Ini

adalah sifat.

b. Al-Naqdu: meraih Dirham, dikatakan naqada al-darahima yanquduha naqdan,

yakni meraihnya ( menggenggam, menerima ).

c. Al-Naqdu: membedakan Dirham dan mengeluarkan yang palsu. Sibawaihi bersyair:

“Tanfi Yadaha al-Hasha fi Kulli Hajiratin—Nafya al-Darahima Tanqadu al-

Shayarifu”. Artinya: “ Tangannya ( Unta ) mengais-ngais disetiap padang pasir—

memilah-milah Dirham oleh tukang uang ( pertukaran, pemeriksaan, pembuat

uang ).

d. Al-Naqdu: Tunai, Lawan Tunda, yakni memberikan bayaran segera.

2. Definisi Nuqud dalam Istilah Fuqaha.

Kata Nuqud tidak terdapat dalam Al-qur’an maupun hadits Nabi Saw. Karena bangsa

Arab umumnya tidak menggunakan kata Nuqud untuk menunjukan harga. Mereka

menggunkan kata Dinar untuk menunjukan mata uang yang terbuat dari emas, kata

Dirham untuk menujukanalat tukar yang terbuat sdari perak. Mereka juga menggunakan

kata Wariq untuk menjukan Dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukan Dinar emas.

Sedang kata Fulus ( uang tembaga ) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk

mrembeli barang-barang murah.

1

Page 2: Agama [ Mata Uang Islami ]

Kata Dirham, Dinar dan Wariq terdapat dalam Alqur’am dam Hadits. Firman Allah

Swt.: Di antara Akli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta

yang banyak ( Qinthar ), dikembalikannya kepadamu;, dan diantara mereka ada orang

yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu,

kecuali jika kamu selalu menagihnya ( QS. Ali-Imtan [3]: 75 ).

Nabi Saw. Bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan:

“Jangan kalian jual satu Dinar dengan dua Dinar, dan satu Dirham dengan dengan dua

Dirham”. Juga Nabi Saw. Bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-

Khudry: “ Jangan kalian jual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali sama

nilai, ukuran da timbangan”. Para Fuqaha dalam katya-karya mereka menggunakan kata

Dirham, Dinar, dan Fulus. Untuk menunjukan Dirham dan Dinar mereka gunakan

Naqdain ( Mustanna ) dan “ harga “, kata Naqd ( Singular ) untuk salah satu dari

keduanya, dan kata Nuqud ( Plural ) atas gabungan keduanya.

Para Fuqaha memberikan definisi uang dari penjelasan dengan melihat fungsi-

fungsinya dalam ekonomi, yaotu melalui 3 fungsi:

1. Sebagai standar ukuran untuk menentukan nilai harga komoditi dan jasa.

2. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.

3. Sebagai alat simpanan. Fungsi ini disinggung oleh al-Gazali dan Ibnu Khaldun.

3. Definisi Uang menurut para Ahli Ekonomi.

Menurut Dr. Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “ segala sesuatu

yang dierima khalayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban.

Menurut J. P Coraward mendefinisikan uang sebagai: “sesgala sesuatu yang diterima

secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagai standar ukuran nilai

harga dan media penyimpan kekayaan.

B. Fungsi Uang.

1. Uang sebagai standar ukuran harga dan unit hitungan.

2

Page 3: Agama [ Mata Uang Islami ]

2. Uang sebagai media pertukaran ( Medium of Exchange ).

3. Uang sebagai media penyimpanan nilai.

4. Uang sebagai standar pembayaran tunda.

C. Sejarah Perkembangan Uang.

1. Asal-usul dan Pentingnya Uang.

a. Asal-usul Uang.

Firman Alla Swt.: Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dari air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukan bahtera bagimusupaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukan ( pula ) bagimu sungai-sungai ( QS. Ibrahim [14]: 32 ).

Munculnya uang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Kesusahan mencari keinginan yang sesuai antara orang-orang yang melakukan transaksi, atau kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan mutual.

2. Perbedaan ukuran batang dan jasa, dan sebagian barang yang tidak bisa dibagi-bagi.

3. Kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa.

b. Urgensi Uang.

Uang adalah salah satu pilar ekonomi. Uang memudahkan proses pertukaran komoditi dan jasa. Setiap proses produksi dan distribusi mesti menggunakan uang. Tidaklah berlebihan sebagian orang yang mengisyaratkatkan bahwa penemuan uang merupaka salah satu penemuan yang besar yang dicapai oleh manusia.

2. Uang dalam Pemerintahan Islam.

a. Uang pada Masa Kenabian.

Bangsa Arab di Hijaz pada masa Jahiliyah tidak memiliki mata uang. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa Dinar emas Hercules, Byziantum dan Dirham perak Diansti Sasanid dari Iraq dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman. merupakan tradisi Kabilah Quraish melakukan perjalanan dagang 2 kali dalam setahun; pada musim panas ke negeri Syam ( Syira, sekarang ) dan pada

3

Page 4: Agama [ Mata Uang Islami ]

musim dingin ke negeri Yaman. Pada masa ini terdapat tiga bentuk cetakan uang setelah Nani Saw. Diutus sebagai Nabi dan Rasul, yakni:

1. Ada yang ukurannya 20 karat.

2. Ada yang ukurannya 12 karat.

3. Ada yang ukurnnya 10 karat.

Lalu ditetapkan dalam Dirham Islam menjadi 14 karat dengan mengambil sepertiga dari semua Dirham Persia yang ada.20+12+10=42/3=14, sama dengan 6 Daniq. Setiap Daniq seukuran 7 Mitsqal ( dalam ukuran sekarang adlah gram ).

b. Uang Pada Masa Khaulafaurrasyidin.

Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar. Bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan dari masa Nabi Saw., yaitu penggunaan mata uang Dinar Hercules dan Dirham Persia.

Begitu juga ketika Umar bin Khattab dibaiat sebagai Khalifah, hanya pada tahun 18 H, menurut riwayat tahun 20 H, dicetak Dirham Islam. Pada masa Utsman bin Affan, dicetak Dirham seperti model Dirham KhalifahUmar bin Khatab dan dituliskan juga kota tempat pencetakan dan tanggalnya dengan huruf Bahlawiyah dan salah satu kalimat Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, dan Rabiyallah dengan jenis tulisan Kufi.

c. Uang pada Masa Dinasti Umawiyah.

Pencetakan uang pada masa dinasti Umawiyah aemenjak masa Muawiyah bin Abi Sofyan masih meneruskan model Sasanid dengan menambhakan beberapa kata tauhid seperti halnya pada masa Khaulafaur Rasyidin. Pada masa Abdul Malik bin Marwan, setelah mengalahkan Abdullah bin Zubair dan Mush’ab bin Zubair, beliau menyatukan tempat percetakan. Dan pada tahun 76 H beliau membuat mata uang islam yang bernafaskan model islam tersendiri, tidak ada lagi isyarat atau tanda Byzantium atau Persia. Dengan demikian, Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang pertama kali mecetak Dinar dan Dirham dalam model Islam tersendiri. Dan penetapan mata uang ini berlanjut hingga pada masa Yazid bin Abdul Malik dan Hisyam bin Abdul Malik.

d. Uang pada Masa Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya.

Pada masa Abbasiyah, Al-Saffah mencetak Dinarnya yang pertama pada awal berdirinya Dinasti Abbasiayah tahun 132 H mengikuti model Dinar Umawiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiaran-ukiran. Sedangkan Dirham, pada

4

Page 5: Agama [ Mata Uang Islami ]

awalnya ia kurangisatu butir kemudian dua butir. Pengurangan ukura Dirham terus berlanjut hingga pada masa Abu Ja’far al-Manshur, dia mengurangi 3 butir hingga pada masa Musa al-Hadi kurangnya mecapai satu karat.

1. NILAI HARTA UANG KERTAS

A. Definisi Harta ( Mal ) Secara Bahasa.

Kata mal ( harta ) digunakan untuk menunjukan setiap sesuatu yang kamu miliki dari setiap sesuatu.Bentuk pluralnya amwal. “Mala al-rajulu yamulu wa yumalu maulan wa Mu’ulan, Idza shara Dza malin” apabila dia memiliki harta. Bentuk tashgirnya adalah muwail.

Kata Mal dimunnatskan ( menggunakan kata ganti wanita ), Hassan bersyair: “Al-malu tazri bi aqwamin dzawi hasabin—wa qad tusawwidu ghaira al-sayyidi al-mal” ( harta bisa membuat rendah kaum-kaum terhormat, dan bisa mengangkat derajat bukan tuan menjadi tuan ).

B. Definisi Harta Menurut Ulama Syariah.

a. Definisi Harta Menurut Hanifah ( Mazhab Hanafi ).

Para ulama Mazhab Hanafi menyebutkan beberapa definisi harta yang maknanya saling berdekatan, beberapa diantaranya:

Ibnu Abidin berkata: “Harta adlah apa yang diminati secara normal dan mungkin disimpan untuk saat diperlukan”.

Ibnu Najim berkata: “Di dalam al-hawi al-Qudsi: harta adalah nama bagi yang bukan manusia diciptakan untuk kepentingan manusia dan bisa diperoleh dan dipergunakan sesuai pilihan”.

1. Uraian definisi harta menurut Hanafiah

a.Harta adalah setiap yang diminati secara normal.

b.Harta adalah apa yang mungkin diperoleh dan disimpan untuk saat diperlukan.

c.Harta adalah yang berlaku persaingan dabn pengeluaran.

d.Manusia dan Budak tidak termasuk harta sekalipun padanya ada makna harta, tapi bukan harta dalam makna yang sebenarnya.

5

Page 6: Agama [ Mata Uang Islami ]

2. Unsur-unsur harta menurut Hanafiah.

a.Kebendaan, yakni bahwa sesuatu itu ada di alam nyata.

b.Tradisi (urf ), yaitu apa yang berlaku dalam tradisi manusia, semua atau sebagian, menyatakan kehartaan suatu benda, memperolehnya, bersaing padanya, mnegeluarkan bayaran sebagai gantinya dan menerimanya dalam penyelesaian.

b. Definisi Harta Menurut jumhur Fuqaha.

Harta menurut Jumhur Ulama adalah setiap sesuatu yang bernilai diantara manusia dan diwajibkan perusaknya untuk mengganti, dan dibolehkan oleh syariat memanfaatkannya pada waktu lapang dan tidak darurat. Sumber nilai harta menurut Jumhur terdapat dalam dua unsur: pertama, pengakuan tradisi manusia menjadikan sesuatu menjadi bernilai, apakah benda atau manfaat. Kedua, ketetapan syari’at membolehkan pemanfaatan apa yang ditradisikan oleh manusia.

c. Perbedaan antara istilah Hanafiah dan Jumhur dalam Makna Harta.

Hanafiah tidak menjadikan kebolehan pemanfaatan secara syara’ sebagai unsure dari unsure-unsur harta, tapi memandangnya sebagai unsure dari unsure-unsur nilai ( taqawwun ). Sedangkan Jumhur Fuqaha memandang kebolehan pemanfaatan secara syara’ sebagai unsur dari unsur-unsur harta, maka setiap yang tidak dibolehkan pemanfatan oleh syari’at tidak termasuk harta.

d. Pembagian Harta dalam Syari’at Islam.

1. Memandang tabiat dan fungsinya terbagi kepada: uang dan barang.

2. Memandang boleh dan haram pemanfaatan secara syari’at, terbagi kepada: mutaqawwin ( bernilai ) dan tidak bernilai.

3. Memandang kesamaan bagian dan tidaknya, terbagi kepada: mitsly ( similar [sma] ) dan qimily ( valuation [ taksiran ] ).

4. Memandang tetapnya di tempat dan tidak tetapnya terbagi kepada: harta bergerak dan harta tak bergerak.

5. Memandang tetap bendanya ketika dipergunakan dan tidak, terbagi kepada: konsumsi ( istihlaki ) dan pemakaian (isti’mali )

6

Page 7: Agama [ Mata Uang Islami ]

2. Persepsi Ulama tentang Nilai Mata Uang Kertas.

A. Mata Uang Kertas sebagai Dokumen Utang.

a. Penganut Nazhab Ini.

Di antara ulama yang menganut pendapat ini adalah Syaikh Ahmad al-Husaini, Syaikh Muhammad Amin al-Syanqiti, Syaikh Salim bin Abdullah bin Samir, dan Habib Abdulllah bin Sumaith. Pendapat inilah yang pernah difatwakan oleh Masyikhah ( kantor lembaga perguruan ) al-Azhar. Kesimpulan Mazhab ini adlah mata uang kertas, pada dasar materialnya bukan termasuk uang. Sebab ia tidak lain hanya sekedar instrumen bukti bahwa Bank terutang kepada pemegang instrumen tersebut.

B. Mata Uang Kertas Adalah Harta Benda Perniagaan.

a. Penganut Pendapat ini.

Pendapa ini dianut oleh bebrapa ulama, antara lain: Syaikh Abd al-Rahman al-Sa’di, Syaikh Hasan Ayub dan mantan Mufti Turki Syaikh Khail Kuninakh dan yang lainnya, kesimpulan pendapat ini adalah mata uang kertas yang dikenal sekarang tidak memiliki sifat nilai harga, sebab sifat ini hanya dimiliki hanya oleh emas dan perak. Akan tetapi, mata uang kertas hanya sederajat dengan komoditi dan harta benda dagangan biasa.

Syaikh Khalil Kuninakh, dalam buku al-Fatawa li Massa’il Ayyamina, mengatakan: “sesungguhnya mata uang kerts adalah harta benda yang boleh dijual dengan yang lainnya mutafadilan, tunai maupun pembayaran dengan berjangka.

b. Dalil-dalil.

1. Yang disepakati pada kontrak adalah kertas itu sendiri, dan kertaslah yang dimaksudkan menurut konteks dan makna.

2.Mengqiyas jenis kertas ini kepada permata, berlian dan yang seumpamanya.

3. Kertas ini apabila Negara atau Pemerintah yang mengeluarkannya runtuh, maka nilainya pun hilang sama sekali.

4. ‘Illat riba pada emas dan perak –menurut Mazhab Hanafi dan satu riwayat dari imam Ahmad adalah al-azwan.

c. Hukum Fiqih Berdasarkan Pendapat Ini.

7

Page 8: Agama [ Mata Uang Islami ]

1. Masalah Hukum Riba.

Hukum riba tidak berlaku pada mata uang kertas. Sebab ia tidak termasuk harta riba.

2. Masalah Zakat.

Zakat tidak diwajibkan terhadap mata uang kertas selama tidak diperjual belikan.

3. Masalah al-Mudarabah ( bagi hasil ).

Mata uang kertas ini tidak boleh dijadikan modal kongsi pada kontrak al-mudarabah.

C. Mata Uang Kertas Disamakan dengan Fulus.

a. Penganut Pendapat ini.

Pendapat ini dianut oleh sekelompok Ulama, seperti Syaikh Ahmad Ridha al-Burailawi, Syaikh Ahmad al-Khatib al-Jawi, Syaikh Muhammad Ulaisy al-maliki, Syaikh Mustafa al-Zarqa, Syaikh Abdullah Bassam, Dr. Mahmud al-Khalidi, Syaikh Sulaiman al-Khalidi al-As’ardi dan Syaikh Muhammad Salamah Jabar. Kesimpulan pendapat ini adlah mata uang kertas serupa dengan mata uang logam murah—fulus--.

b. Pendapat Ulama tentang Fulus.

1. Pendapat Mazhab Hanafi tentang Fulus..

a. Berkaitan dengan kewajiban zakat.

Selama Fulus tersebut tidak disiapkan untuk dijual belikan maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

b. Berkaitan dengan hokum riba.

Fulus tidak termasuk harta riba al-fadhl apabila kedua orang yang bertransaksi telah menentukannya.

c. Berhubungan dengan hokum mudharabah.

Tidak boleh menggunakan Fulus dalam transaksi mudharabah, alasannya bahwa Fulus tersebut merupakan uang yang ditetapkan pasar,dan bukan uang al-khilkiyah.

2. Pendapat Mazhab Maliki tentang Fulus.

8

Page 9: Agama [ Mata Uang Islami ]

a. Masalah kewajiban zakat.

Zakat tidak diwajibkan terhadap Fulus. Kecuali, apabila ia disediakan untuk dijual belikan , maka ketika itu diwajibkan padanya zakat harga perniagaan.

b. Tentang hokum riba.

Fulus tidak termasuk harta riba

c. Berkaitan dengan al-mudharabah.

Hokum Fulus tidak sama dengan hokum emas dan perak, sehingga Fulus tidak diperbolehkan dalam hal al-mudharabah.

3. Pendapa Mazhab Syafi’I tentang Fulus.

a. Tentang kewajiban zakat.

Selama Fulus tidak untuk dibisniskan, maka tidak wajib menzakatinya. Sebab hukumnya sama dengan harta benda biasa.

b. Tentang hukum riuba.

Sebagian besar Ulama Syafi’i mengatakan Fulus tidak termasuk barang riba, sekalipun ia laku di pasar sebagaiman halnya emas dan perak.

c. Tentang masalah al-mudharabah.

Tidak diperbolehkan menjadikan Fulus sebagai modal pada transaksi al-mudharabah, sebab Fulus hukumnya sama dengan harta benda biasa.

4. Pendapat Mazhab Hambali tentang fulus.

a. Hukum zakat.

Zakat tidak diwajibkan pada Fulus kecuali apabila ia dibisniskan.

b. Hukum riba.

Fulus tidak termasuk harta riba al-fadhl. Sebab, ia dihitung dengan jumlah.

c. Hukum Mudarabah.

Tidak boleh menjadikan Fulus sebagai modal pada transaksi syirkah al-mudharabah. Sebab Fulus tidak stabil, terkadang laku, terkadang mengalami depresi.

9

Page 10: Agama [ Mata Uang Islami ]

c. Hukum Fiqih yang disimpulkan dari mempersamakan Mata Uang Kertas terhadap Fulus.

1. Zakat: berdasarkan pendapat Jumhur ulama, zakat tidak diwajibkan pada mata uang kertas selama ia tidak untuk dibisniskan.

2. Riba: berdasrkan pendapat Jumhur ulama, mata uang kertas tidak termasuk harta riba.

3. Al-mudharabah: berdasarkan pendapat Jumhur ulama, tidak boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal pada transaksi syirkah al-mudharabah.

D. Mata Uang Kertas Sama Sekali Tidak Termasuk Harta.

a. Penganut pendapat ini.

Pemilik pendapat ini adalah syaikh Abd al-Hamid al-Syarwani, sebagaimana dalam bukunya Hasyiah ‘ala Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Kesimpulan pendapat tersebut adalah mata uang kertas pada materialnya tidak memiliki nilai, sebab ia tidak dapat dimanfaatkan.

b. Dalil-dalil.

1. Di antara syarat sahnya uang—sebagai nilai harga—materialnya harus dapat dimanfaatkan. Sedangkan material mata uang kertas tidak dapat dimanfaatkan . Oleh karena itu, mata uang kertas tidak termasuk harta.

2. Apabila Pemerintah yang mengeluarkan kertas tersebut telah melarang peredarannya, maka nilai istilahnya ikut terhapus.

c. Hukum Fiqih Berdasarkan Pendapat Ini.

1. Pada masalah zakat: zakat tidak diwajibkan sama sekali terhadap mata uang kertas,baik zakat emas dan perak maupun harta zakat perniagaan.

2. Masalah riba: mata uang kertas tidak termasuk harta riba al-fadhl dan al-nasi’ah.

3. Masalah al-mudharabah: mata uang kertas tidak dapat dijadikan modal pada transaksi syirkah al-mudharabah.

4. Maslah jual beli: mata uang kertas ini tidak dapat dijadikan nilai harga terhadap segala jenis harta.

E. Mata Uang Kertas Adalah Uang yang Independen

10

Page 11: Agama [ Mata Uang Islami ]

Arti dan judul di atas, bahwa status mata uang kertas bukan merupakan cabang dari emas dan perak, dan juga bukan seperti Fulus atau harta perniagaan.

a. Hukum fiqih berdasarkan Pendapat Ini.

1. Hukum riba: mata uang kertas termasuk harta riba

2. Hukum zakat: mata uang kertas termasuk harta yang harus dikeluarkan zakatnya, baik uang kertas tersebut untuk dibisniskan maupun tidak.

3. hokum al-mudharabahi: boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal pada transaksi syirkah al-mudharabah.

KEPUTUSAN MAJLIS AL-MAJMA’ AL-FIQHI AL-ISLAMI

TENTANG MATA UANGKERTAS

Pada pertemuan Kelima tahun 1420 H

Yang inti dari isi surat ini adalah:

1. Berdasarkan bahwa asal-usulnya uang adalah emas dan perak, serta ‘illat riba pada keduanya adalah al-tsamaniah—menurut pendapat yang lebih sahih—dan ‘illat tersebut –menurut Ulama—tidak ada hanya pada emas dan perak, sekalipun metaliknya adalah asal. Serta uang kertas telah menjadi uang wajib yang menggantikan kedudukan emas atau perak dalam bertransaksi.

2. Mata uang kertas telah dianggap sebagai uang yang independen, sebagaimana halnya uang emas dan perak dan mata uang lainnya. Dan karena mata uang kertas dapat terjadi riba, baik al-fadhl maupun al-nash, maka diwajibkan hal-hal berikut:

a. Tidak boleh menjual mata uang kertas, satu sama lainnya, atau dengan jenis mata uang yang berbeda, seperti emas atau perak dengan pembayaran berjangka.

b. Tidak boleh menukar mata uang kertas dengan satu jenisnya mutafadilan ( nilai yang tidak disamakan ), baik dengan pembayaran berjangka, maupun di tempat transaksi ( kontan ).

c. Boleh menjual mata uang kertas dengan mata uang kertas lain sejenis, baik dengan nilai yang disamakan maupun tidak, dengan syarat serah terima harus dilakukan di tempat transasksi.

11

Page 12: Agama [ Mata Uang Islami ]

3. Mata uang kertas termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, apabila nilainya mencapai jumlah terendah dari kedua macam nisab emas atau perak. Atau nisab tersebut sampai dengan menggabungkan kepada mata uang lain, atau harta yang akan dibisniskan.

4. Boleh menjadikan mata uang kertas sebagai modal pada transaksi penjualan al-salam ( pemesanan barang ) dan al-syarikat ( berkongsi ).

2. DALIL SYAR’I tentang MATA UANG KERTAS

A. Al-Qiyas.

Menyamakan ( qiyas ) mata uang kertas dengan Dinar ( uang emas ) dan Dirham ( uang perak ), tergantung kepada ‘illat riba yang ada pada emas dan perak.

1. Pendapat para Fuqaha tentang ‘illat riba pada emas dan perak.

a. Hadits-hadits tentang riba.

1. Diriwayatkan oleh Ubadah bin al-Shamit ( r.a ), Rasulullah Saw. Bersabda;”Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, satu ukuran, sama rata, tangan ke tangan ( kontan ), dan jika berbeda jenis maka silahkan kalian menjualnya dengan cara yang kalian mau, dengan pembayaran kontan”.

2.. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ( r.a ), Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, jangan melebihkan salah satu dari yang lainnya. Dan janganlah kalian menjual perak, kecuali sama rata, jangan melebihkan satu dari yang lainnya. Dan janganlah kalian menjual barang yang belum ada dengan pembayaran kontan”.

b. Pendapat Fuqaha dalam Meng-Istinbath Illat riba dari Hadits di atas.

1. Mazhab Hanafi.

Illat riba yang ada pada emas dan perak adalah all-wazn ( timbangan ) dan jenis. Namun, diantara Ulama Hanafi ada yang berpendapat, bahwa illat’ tersebut adalah al-qadr ( ukuran secara umum ) dan jenis.

2. Mazhab Maliki.

a. Pendapat Mashur dari mazhab ini mengatakan , bahwa illat riba pada emas dan perak adalah galabah al-tsamaniah ( emas dan perak pada dasarnya benda yang sangat berharga ). Oleh karena itu, illat tidak terdapat pada al-Fulus.

12

Page 13: Agama [ Mata Uang Islami ]

b. Pendapat lain mengatakan, illat nya adalah mutlak al-tsamaniah ( semata-mata harga ), sehingga al-fulus termnasuk mengandung ‘illat ini.

3. Mazhab Syafi’i.

Menurut Ulama Mazhab Syafi’I, ‘illat riba pada emas dan perak adalah jins al-atsman ghaliban ( jenis benda hang berharga ), dan ‘illat ini qashirah ( pasif ), maksudnya tidak bissa dijadikan tolak ukur untuk mengqiyas masalah yang lain dengan menggunakan ‘illat tersebut.

4. Mazhab hambali.

a. ‘illat riba pada emas dan perak menurut pendapat masyhur mazhab Hambalai ialah al-wazn.

c. Kesimpulan Pendapat –pendapat Fuqaha tentang ‘Illat riba pada emas dan perak.

1. Jumhue ( kebanyakan ) Ulama, yang terdiri dari ulama Syafi’i, Maliki—menurut pendapat yang masyhur--, Hambali--menurut satu riwayat--, berpendapat bahwa, ‘illat riba pada emas dan perak adalah ghalabat al-tsanamiyah.

2. Mazhab Hanafi dan riwayat masyhur Mazhab Hambali, berpendapat bahwa ‘illat tersebut adalah al-wazn dan al-jins ( jenis ).

3. Mazhab Maliki--menurut riwayat yang tidak kuat--mengatakan bahwa, ‘illat tersebut adalah mutlak al-tsamaniyah.

2.Dalil-dalil.

a. Dalil Jumhur Ulama, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, al-tsamaniayah sebagai ‘illat riba pada emas dan perak adalah ‘illat yang munasib ( tepat ), sebab dengan al-tsamaniayah tersebut harta menjadi sesuatu yang berarti. Kedua, manakala Ijma’ ulama membolehkan memesan barang timbangan dengan pembayaran emas atau perak, ini artinya ‘illat riba yang pada emas dan perak bukanlah al-wazn. Sebab, jika ‘illat tersebut adalah al-wazn, maka tidak boleh memesan barang timbangan dengan pembayaran emas atau perak, sebab transaski tersebut—dengan ‘illat al-wazn—termasuk riba al-Nasa’.

b. Dalil Mazhab Hanafi dan Pendapat Masyhur Mazhab Hambali terbagi kepada, Al-Qur’an, Al-Hadits serta Logika.

1. Dalil dari Al-Qur’an.13

Page 14: Agama [ Mata Uang Islami ]

a. Firman Allah Swt. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat keruskan ( QS. Al-Syuara [26]:181-183 ).

2. dalil Dari Al-Hadits.

a. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Bersabda “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama rata, tangan ke tangan”.

3. Logika.

a. Pada dasarnya, yang diperhatikan dalam jual beli adalah persamaan ( anatar harga dan material ). Yang sangat berfungsi dalam hal ini adalah jenis dan takaran atau timbangan, sebab secara kasat mata takaran dan timbanganlah yang menyamakan antara keduanya. Sedangkan jenis, sebagai persamaan dari segi nilai. Berarti jenis dan takaran atau timbangan adalah sebagai ‘illat riba.

B. Al-Istihsan.

Menurut Ulama Hanafi definisi al-istihsan adalah berpaling dari prinsip qiyas, kepada yang lebih aula ( utama ). Sedangkan menurut Ulama Hambali, al-istihsan adalah adanya beberapa al-ammarat ( hikmah ) yang lebih kuat, yang mengharuskan untuk berpaling dari prinsip qiyas. Firman Allah Swt. Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ( QS. Al-Hajj [22]: 78 ).

C.Al-‘Urf ( Adat atau Tradisi ).

Para Fuqaha membagi uang kedalam dua macam:

1. Uang sebagaimana diciptakan, yaitu Dinar dan perak murni.

2. Uang menurut istilah, yaitu Dinar dan Dirham al-magsyusah, serta Fulus yang berlaku di pasar.

1. Ulama Hanafi.

Ibnu Al-Himam mengatakan: “Tidak ada bedanya antara kelesuan pasar pada al-magsyusah dengan kelesuan pasar pada Fulus. Sebab, pada dasarnya keduanya sama, hamya sekedar barang dagang biasa, yang dianggap sebagai nilai harga hanya menurut istilah saja”. Begitulah fulus telah menjadi nilai harga menurut istilah dan al-‘urf, sehingga hukumnya dapat disamakan dengan Dinar dan Dirham, sebagai sarana

14

Page 15: Agama [ Mata Uang Islami ]

perantara dalam tukar menukar. Oleh karena itu, nilai fulus tersebut menjadi utang yang ada pada dzimmah ( Tanggungan ) dan tidak dapat ditentukan kebendaannya saat menukar barang dagangan maupun layanan.

2. Ulama Syafi’i.

Ulama Syafi’i juga berpendapat sangat pentingnya peran al-urf dalam hal uang sebagai nilai harga. Oleh karena itu, menurut mereka, apapun yang telah menjadi istilah pasar sebagai satuan hitungan dan sarana perantara untuk saling tukar menukar, maka boleh dijadikan sebagai uang pokok, sekalipun bentuknya Dinar dan Dirham al-magsyusah ataupun al-fulus.

Ibnu Hajar mengatakan : “ Boleh hukumnya muamalah dengan al-magsyusah , sekalipun dengan tanggungan al-dzimmah ( jaminan ) tanpa harus mengetahui kadar campuran yang ada pada campuran uang tersebut, sebab yang menjadi standar adalah al-’urf. Maka dari itu, apabila fulus berlaku di pasar, sebagaimana halnya Dinar dan Dirham, maka hukumnya dapat disamakan.

3. Ulama Maliki.

Al-Hattab menjelaskan bahwa Dirham magsyusah yang tidak menjadi istilah pasar, tidak boleh digunakan sebagai modal dalam transaksi al-mudharabah. Adapun jika istilah pasar telah mengakuinya, sehingga dia menjadi uang pokok yang sah, maka hukumnya dapat disamakan dengan hukum emas dan hukum perak, sehingga boleh dijadikan modal dalam transaksi al-mudharabah dan yang lainnya.

Beliau berkata lagi: “Menurut hemat saya, Dirham tersebut tidak boleh dijadikan modal pada transaksi al-mudharabah apabila pada Dirham tersebut tidak terdapat stempel uang yang disahkan oleh al-‘urf. Adapun jika pada Dirham itu terdapat stempel tersebut, maka boleh menjadikannya sebagai modal pada transaksi al-mudharabah. Sebab,Dirham tersebut telah menjadi istilah yang telah berlaku di pasar yang dikukuhkan oleh pemerintah dan inilah yang dimaksudkan dari sikkat al-ta’mul.

4. Ulama Hambali.

Ibnu Qudamah mengatakan: “Ada dua riwayat hokum tentang menggunakan Dinar dan Dirham al-magsyusah: riwayat yang lebih kuat mengatakan boleh”. Shaleh mengutip dari Ibnu Qudamah, tentang malasah Dirham yang disebut dengan nama almusayyabah, yang terbuat sebagian besar dari tembaga, dicampur sedikit dengan perak, beliau berkata: “apabila Dirham tersebut telah menjadi istilah yang berlaku di pasar, sebagaimana istilah pasar tentang fulus, maka saya rasa tidak mengapa menggunakannya sebagai nilai harga.”kemudian Ibnu Qudamah beralasan: “Sebab pada

15

Page 16: Agama [ Mata Uang Islami ]

unsure Dirham tersebut tidak lebih dari kandungan dua jenis yang dapa diketahui.Oleh sebab itu, tidak mengapa menjual keduanya, sebagaimana halnya menjual keduanya,dalam keadaan terpisah.Disamping itu, hal demikian telah menjadi rahasia umum yang berlaku di pasar, tanpa seorangpun yang mengingkarinya. Bahkan, pendapat yang mengharamkannya akan menimbulkan polemik dan kerugian.

Demikianlah, jelas bahwa Fuqaha telah menyamakan hukum fulus, dinar dan dirham al-magsyusah dengan hukum dinar dan dirham murni. Selamafuluf, dinar dan dirham al-magsyusah tadi berlaku dan telah menjadi istilah pasar. Sebab,al-‘urf adalah salah satu dalil yang disahkan oleh syara’. Oleh sebab itu, setiap yang menjadi istilah pasar sebagai satuan hitungan sdan saran perantara dalam tukar menukar, maka ia termasuk nilai harga. Pada realitasnya mata uang kertas sekarang telah beredar dan menjadi istilah pasar diseluruh dunia sebagaimana yang telah disahkan oleh undang-undang. Istilah pasar inilah yang dikukuhkan oleh syari’at, sebab al-‘urf tersebut tidak bertentangan dengan nash. Bahkan sebaliknya, nash-nash yang ada memperkuat istilah pasar tersebut. Sebagaimana

D. Al-Mashalih Al-Mursalah.

Tidak ada nash dari Al-Qur’an dan Hadits yang mewajibkan untuk menjadikan emas dan perak sebagai uang yang diakui oleh syariat. Dan tidak ada nash dari Al-Qur’an dan Hadits yang menafikan uang selain emas dan perak yang menjadi istilah pasar.

Yang hanya dapat disimpulkan bahwasannya Allah Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka ( bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih” ( QS. At-Taubah [9]: 34 ). Dan bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda—riwayat Abu Hurairah--: ”Dinar dengan dinar tidak dibenarkan melebihkan salah satu dari keduannya”. Dan sabda beliau: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, satu ukuran, sama rata, tangan ke tangan ( kontan ). Maka jika jenisnya berebeda silahkan kalian menjualnya sesuka hati kalian, selama tangan ke tangan ( kontan )”.

Dengan demikian, bahwa permasalahan uang termasuk dalam maslahat Al-Mashalih al-mursalah. Oleh sebab itu, apabila pasar menemukan maslahat ketika menjadikan sesuatu sebagai uang, berarti sikap mereka tidak bertentangan dengan syari’at, sehingga mereka tidak kesulitan dalam bersikap.

E. Sadd Al-Dzara’i.

16

Page 17: Agama [ Mata Uang Islami ]

Dalil ini menunjukan bahwa orang yang berijtighad pada masalah mata uang kertas, kemudian ijtihad tersebut mengasilkan sebuah keputusan bahwa mata uang kertas bukan termasuk moneter sah, tetapi fungsinya hanaya seperti fulus atau barang dagang lainnya, yang hukumnya tidak disepakati oleh para fuqaha, sehinnga dibolehkan menjual mata uang kertas tersebut mutafadhilan sekalipun drngan jenis yang sama. Kita akan membahas kembali dalil sad al-dzara’i byang pada prinsipnya bedasarkan sikap wara’ ( berhati-hati ) dan al-hithah (tak ambil resiko ). Al-wara’ dan al-hithah adalah salah satu metode orang-orang shaleh terdahulu. Maka, seharusnya kita yang notabenenya sebagai orang-orang yang berilmu untuk mengikuti petunjuk mereka untuk selalu bertaqwa dan bersifat wara’. Allah berfirman: Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka “. ( QS. Al-An’am [6]; 90 ).

Ibnu al-Qayyim mengatakan: “ Orang-orang terdahulu—para sahabat dan tabi’in—mereka tidak menyukai sikap gegabah dalam berfatwa, bahkan setiap mereka saling mengharapkan agar yang lain telah mendahului dalam fatwa”.

F. Al-Qawa’id ( Rumusan-rumusan ) Fiqih.

Qawa’id fiqih hanya berfungsi sebagai penguat terhadap dalil-dalil ushul fiqih yang telah disahkan oleh syari’at tentang permasalah mata uang. Rumusan-rumusan ini anatara adalah sebagai berikut:

1. Al-Umur bi Maqashdiha ( Ketergantungan sesuatu dengan niat atau tujuan ).

Al-Ghazali mengatakan: “Kebendaan moneter bukanlah hal yang dimaksud, ia hanya sebagai sarana perantara untuk segala yang dimaksud.”

Ibnu alQayyim mengatakan: “Yang dimaksud dari uang bukannya kebendaannya, tetapi dengan uang tersaebut dapat digunaka secara sah untuk memiliki barang”.

2. Al-Maisur la Yasqutu bi Al-Ma’sur ( sisi-sisi yang mudah tidak menjadi batal dengan sebab sisi-sisi yang sulit ).

Kita telah mengetahui bahwa emas telah dilarang beredar sejak tahun 1914 M, bahkan undang-undang akan memberikan sanksi bagi orang yang memperdagangkannya sebagai moneter, sehingga perdagangan tersebut menjadi sebuah larangan yang susah untuk direalisasikan. Kita telah menegetahui pula bahwa pasar telah mengenal, bahwa mata uang kertas adalah moneter yang disahkan sebagai satuan hitungan dan sarana penghubung untuk sdaling tukar menukar.

17

Page 18: Agama [ Mata Uang Islami ]

3. Maa laa Yatim al-Wajib illa Bihi Fahuwa wajib ( sesuatu yang menjadi pelengkap untuk sebuah kewajiban, maka hkum sesuatu itu wajib )

Dr. Mahmud al-Khalidi berkata: “Ada beberapa konsekuensi dari pendapat yang mengatakan bahwa mata uang kertas, tidak sah sebagai moneter, anatara lain; meniadakan fungsi beberapa hukum yang ditetapkan oleh syari’at. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan syariah ( haram ). Oleh sebab itu, seharusnya—dalam hal ini—berpegang kepada rumusan maa laa yatim al-wajib ilaa bihi fahuwa wajib. Yang harus diaplikasikan disini adalah hykum yang berkaitan dengan moneter, seperti zakat, pencuria, dan diyah ( ganti rugi criminal terhadap nyawa atau anggota tubuh manusia ).

4. Al-Masyaqqah Tajib al-Taisir ( kesulitan mengundang kemudahan ).

Pendapat yang mengatakan bahwa mata uang kertas bukan moneter yang sah, akan menjebak pasar dalam kesulitan dan kesempitan. Ini tentunya sangat bertentangan dengan maqashid ( hikmah-hikmah ) syari’at Islam yang menjunjung tinggi nilai kemudahan dan keringanan. Al-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil yang menguatkan nilai rafu’al al-haraj ( mempermudah ) jumlahnya mencapai sebuah keyakinan”. Seperti firman Allah Swt.Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamudalam agam suatu kesempitan ( QS. Al-Hajj [22]: 78 ).

3. HUKUM-HUKUM TENTANG MATA UANG KERTAS

A. Mata Uang Kertas dan Zakat.

1. Dasar kewajiban zakat pada mata uang kertas.

Ktika mata uang kertas yang beredar sekarang telah mengambil alih fungsi emas dan perak dalam perekonomian, maka zakat pun menjadisuatu kewajiban, selama mata uang tersebut laku di pasar. Sebab, pada dasrnya yang menjdai istilah pasar adalah nilai harga yang terkandung, bukan pada kebendaan mata uang kertas tersebut. Ini artinya, selama mata uang berlaku di pasar, maka ia mengambil alih fungsi emas dan perak. Dan apabila mata uang tersebut membuat lesu terhadap perekonomian, ia pun kembali pada asal kebendaannya yang hanya sekedar lembaran kertas biasa.

Diriwayatkan dari nabi Muhammad Saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang diberikan oleh Allah harta. Lalu ia tidak menunaikan zakatnya. Maka Allah akan menjadikan untuknya seekor ular jantan yang aqra’ yang akan dikalungkan pada lehernya di hari kiamat nanti, kemudian ular tersebut berkata: ‘Akulah harta simpanan kamu’ “.

18

Page 19: Agama [ Mata Uang Islami ]

2. Syarat-syarat Wajib Zakat pada Mata Uang kertas.

a. Mencapai Nisab.

Nisab adalah batas minimal dari jumlah mata uang kertas, yang apabila seorang mukallaf ( orang akil balig ) telah memiliki jumlah tersebut, maka ia diwajibkan menunaikan zakat, disamping memperhatikan syarat-syarat lainnya. Ulama telah sepakat, bahwa nisab perak adalah 200 Dirham, dan nisab emas adalah 209 Dinar. Sedangkan zakat yang diwajibkan adalah 2,5%. Jumlah nisab emas dan perak juga dapat diketahui melalui timbangan terkini, berdasrkan persentase antara Dinar dengan Dirham. Jadi sebagaimana yang telah disepakati bahwa persentase antara berat emas dengan perak adalah 7/10, artinya setiap 10 Dirham = 7 Dinar. Sedangkan 1 Dinar al-islami = 4,25 gr. Ini berarti Dirham al-islami ialah 4,25 x 7 = 2,975 gr.

Atas dari ini maka, nisab perak ( 2,975 x 200 = 595 ) gr dan nisab emas ( 4,25 x 20 = 85 gr ). Dan untuk mengetahui nisab mata uang kertas, menggunakan mata uang syira, terlebih dahulu harus mengetahui harga emas dan perak. Kemudian menjumlahnya berdasrkan jumlah gram. Jadi jumlah nisab mata uang kertas syira pada tanggal 09/06/1417 H. bertepatan dengan 21/10/1996 M, dapat duikalkulasikan sebagai berikut:

Harga emas sekarang = Ls. 545/gr.

Harga perak sekarang = Ls. 12/gr.

Dan jika kita menghitung nisab manta uang kertas berdasarkan nisab emas, maka kalkulasinya sebagai berikut:

Ls. 545 x 85 = Ls. 46,325,-

Dan jika berdasarkan nisab perak, sebagai berikut:

Ls. 595 x 12 = Ls. 7,140,-

b. Genap satu tahun al-qamari ( hitungan putaran bulan ) dalam kepemilikan nisab.

Zakayt mata uang kertas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun setelah mencapai nisab yang ditentukan. Namun, apakah sebuah kaharusan, nisab tersebut harus sepanjang tahun?. Dalam hal ini Ilama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:

1. Ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat, bahwa kepemilikan nisab tersebut disyaratkan sempurna dalam satu tahun. Artinya, andai kata dipertengahan tahun jumlah mata uang tersebut tidak mencapai nisab—sekalipun hnanya sebentar—

19

Page 20: Agama [ Mata Uang Islami ]

kemudian sempurna kembali, maka penghitungan pertama untuk menggenapkan satu tahun terputus, dan harus memulai penghitungan baru.

2. Ulama Hanafi berpendapat, jumlah yang mencapai nisab diawal penghitungan dan di akhir tahun, tidak dipengaruhi oleh kekurangan nisab di pertengahan tahun, terlepas apakah jangka waktu waktu kekurangan tresebut laam, atau hanya sebentar. Akan tetapi, dengan syarat tidak terputus, sebab yang menjadi standar adalah awal penghitungan dan akhir tahun.

3. Ulama Hambali berpendapat, seperti pendapat pertama, tetapi jika kekurangan dari jumlah nisab di pertengahan tahun hanya dalam jangka wanktu sebentar, maka kekurangan tersebut tidak memutus penghitungan untuk genap satu tahun. Sebab, sesuatu yang sebentar, sperti saju jam, atau dua jam dianggap tidak mempengaruhi sqama sekali. Sebagaimana halnya gerak sedikit, atau terbuka sedikit uarat saat melakukan shalat, atau hanya dengan sedikit darah yang di maafkan.

c. Bebas dari utang piutang.

1. Jumhur ulama dari mazhab Maliki, Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa adanya utang piutang dapat membatalkan kewajiban zakat, apabila jumlah utang tersebutsebesar atau mengurangi nisab zakat. Adapun andaikata harta yang dia miliki melebihi jumlah utang, sehingga tidak mengurangi nisab zakat, maka kewajiban zakat wajib ditunaikan.

2. Adapun menurut Ulama Safi’i, menurut salah satu pendapat yang lebih sahih mereka mengatakan, bahwa utang tidak membatalkan kewajiban zakat. Sebab, zakat hubungannya dengan benda, sedangkan utang kaitannya kepada dzimmah. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan antara zakat dan utang.

d. Melebihi dari kebutuhan pokok.

Syarat ini adalah pendapat mazhab Hanafi.oleh sebab itu, berdasarkan mazhab mereka, maka orang yang memiliki mata uang kertas, tetapi ia juga membutuhkannya untuk membeli rumah sebagai tempat berteduh,dan sebagainya, maka orang tersebut tidak diwajibkan mengeluarkan zakat dari mata uang kertas yang ia miliki. Sebab, mata uang kertas tersebut telah digariskan untuk kebutuhan pokok, yang dengan demikian dianggap tidak ada. Sebagaimana halnya orang yang hanya memiliki air cukup untuk membaahi tenggorokan kering, maka air tersebut dianggap tidak ada, shingga ia diperbolehkan bertayamum.

B. Mata uang kertas dan riba.

20

Page 21: Agama [ Mata Uang Islami ]

1. Menukar mata uang kertas dengan mata uang kertas.

Hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk pada peraturan al-sharf ( penukaran uang ). Al-sharf adalah sebuah nama untuk penjualan nilai harga al-muthlakah ( semua jenis nilai harga ) satu dengan yang lainya atau disebut dengan: “penukaran uang, baik dengan jenis yang sama maupun saling berbeeda”. Syarat-syarat dalam penukaran mata uang kertas dengan mata uang kertas adalah:

a. Serah terima sebelum al-iftrak ( kedua belah pihak berpisah ).

Nabi Muhammad Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ( r.a ): “Emas dengan emas, sama rata, tangan ketangan ( kontan ). Dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan jangan melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalianmenjual emas dan perak yang telah ada dengan yang belum ada”.

b. Al-Tamatsul ( simetri ).

Tidak dibolehkan al-tafadhul ( tidak sama rata ) apabila penukaran dengan satu jenis. Namun, jika denganjenis yang berbeda maka dibolehkan al-tafadhul. Adapun jika dengan jenis yang berbeda, misalnya menukar mata uang kertas syira dengan mata uang kertas Saudi Arabia, maka tidak disyaratkan al-tamatsul.

c. Pembayaran dengan kontan.

Apabila pada kontrak transaksi terdapat penundaan dalam pembayaran, maka al-sharf hukumnya tidak sah, baik penundaan tersebut dari sebelah pihak, maupun dari kedua belah pihak. Sebab, serah terima harus dilakukan sebelum al-iftirak. Sedangkan penundaan bertolak belakang dengan serah-terima. Oleh sebab itu, ulama sepakat mengatakan transaksi tersebut tidak sah.

d. Tidak terdapat pada akad tersebut Khiyar al-Syart ( syarat boleh membatalakan transaksi ).

Apabila terdapat khiyar al-syart pada akad al-syarf, baik syarat tersebut dari sebelah pihak, maupun kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama, transaksi tersebut hukumnya tidak sah. Sebab, salah satu syarat transaksi ini adalah serah terima, sementara khiyar al-shart menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Adapun menurut ulama Hambali, mereka berpendapat, bhwa al-sharf tetap dianggap sah.

21

Page 22: Agama [ Mata Uang Islami ]

Sedangkan khiyar al-shart menjadi sia-sia ( tidak sah ). Sebab ini dianggap sama dengan syarat-syarat lainnya yang tidak sah jika dimasukan dalam akad.

2. Menukar mata uang kertas dengan perhiasan.

Sebagian ulama membenarkan ada yang membenarkan mu’amalah seperti ini dengan alasan bahwa perhiasan berbeda dengan al-maskukat ( moneter selain emas dan perak yang di sahkan oleh pemerintah ). Sebab, perhiasan adalah komoditi yang tidak ada kaitannya dengan nilai harga. Pendapat ini sama sekali tidak ada dasarnya, baik dari dalil syar;i maupun realitas perekonomian. Jadi membeli perhiasan emas atau perak dengan mata uang kertas dengan pembayaran yang ditunda termasuk riba yang di haramkan

Beberapa fatwa kolektif terkini tentang permasalahan ini:

a. Keputusan Majma’ al-Faqihi al-islami no.9 D/1/88, tentang ‘perdagangan emas, solusi hukum terhadap penggabungan al-sharf ( penukaran uang ) dan al-hiwalah ( transfer ), pada pertemuan koferensi yang ke IX, di Dubai ibu kota Negara Emirat, sejak tanggal 1 s/d 6 Dzul Qa’idah tahun 1415 H. bertepatan dengan tanggal 1/6 April tahun 1995 M.

b. Tertera dalam fatwa-fatwa dan statemen seminar seminar kedua tentang Bank Syariah yang dilaksanakan di Kuwait dari tanggal 6 s/d 8 Jumadil Akhir tahun 1403 H.

c. Disebutkan dalam statemen seminar fiqih pertama tentang Bait al-Tamwil al-Kuwait yang dilaksanakan sejak tanggal 11 s/d 17 Rajab tahun 1407 H, bertepatan dengan tanggal 7 s/d 11 Maret 1987 M. untuk mendiskusikan permasalahan fiqih yang berhubungan dengan kinerja perbankan.

22