agama ion

7
Nama : Harisyah Nasution NIM : K2512040 MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman? Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padangpasir, rawa, padang ilalang, atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik, peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis, karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya. Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di dunianya berbuat baik. Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa Rasulullah memberi nasihat untuk selalu menjaga iman bahkan meningkatkan keimanan secara terus

Upload: yan-anggono

Post on 30-Dec-2014

22 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

PAI

TRANSCRIPT

Page 1: agama ion

Nama : Harisyah Nasution

NIM : K2512040

MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN

Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman?

Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padangpasir, rawa, padang ilalang, atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik, peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis, karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya. Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di dunianya berbuat baik.

Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa Rasulullah memberi nasihat untuk selalu menjaga iman bahkan meningkatkan keimanan secara terus menerus. Hal itu sesuai dengan ayat di atas tadi ( al Baqarah: 208) bahwa dalam berislam kita harus menyeluruh. Menyeluruh di sini otomatis memiliki korelasi dengan peningkatan keimanan. Logikanya tidak mungkin orang beragama islam langsung mengetahui dan memahami 100% ajarannya. Dia perlu tahap-tahap untuk mengetahui keseluruhannya. Dan dalam proses tersebut, tentunya perlu didukung dengan peningkatan keimanan pula.

Bagaimana membangun dan membentuk kualitas keislaman?

Sekarang marilah kita lihat masa kini dimana kita bisa melihat banyak sekali orang yang pemahamannya tentang Islam kurang. Sehingga otomatis kualitas keislamannya kurang pula. Adasebagian diantara kita yang melihat kualitas keislaman seseorang melalui tampilan dhohir (luar)nya saja. Kalau orang memakai gamis dan peci atau sorban maka ia dikatakan kyai atau orang yang kualitas Islamnya bagus. Padahal nabi mengatakan bahwa

Page 2: agama ion

“iman itu di hati” jadi yang mengetahui iman itu hanya dia dan Allah. Namun, rasulullah juga memberi sedikit gambaran. Bahwa orang yang disipilin dalam ibadah dan orang yang memiliki akhlak yang baik maka itu adalah sebagian dari cerminan iman dan Islam yang berkualitas.

Disamping itu masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang menurut penulis adalah penyimpangan yang telah besar. Yaitu, ajaran sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia. Dalam bahasa sederhananya penulis mengatakan bahwa agama itu hanya di tempat ibadah dan hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedangkan dalam pergaulan keseharian mereka meninggalkan ajaran agama itu sendiri. Hal ini menurut penulis disebabkan rendahnya kualitas keislaman dan keimanan inividu itu sendiri.

Lalu bagaimana kita membangun dan membentuk kualitas keislaman kita?

Karena pada dasarnya kekurangan mereka adalah buruknya pondasi iman dan Islam yang mereka miliki, maka hal yang pertama kali harus ditata adalah pondasinya terlebih dahulu. Bangunan yang kuat adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi yang kuat pula. Iman adalah pondasinya. Mereka diharapkan tidak hanya mengetahui tentang rukun iman yang 5 saja, tetapi lebih dari itu mereka harus ditanamkan perasaan untuk menjiwai apa sebenarnya yang terkandung dalam rukun iman itu semuanya dan memahami cabang-cabangnya. Sehingga kita mengharapkan dalam hati mereka tercermin karakter yang kuat sesuai dengan Islam. Dalam realitasnya, kita bisa menanamkan tujuan itu dengan tarbiyah seperti halnya yang dilakukan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan kegiatan mentoring atau assistensi, menggerakkan gerakan dakwah yang kompak, meningkatkan diskusi-diskusi global yang berkorelasi dengan agama.

Faktor kedua adalah tiang dari bangunan harus kuat. Dalam hal ini tiang agama adalah sholat. Sedangkan sholat adalah bagian dari rukun Islam. Maka proses kedua adalah menegakkan tiang-tiang agama atau rukun Islam. Seorang muslim hendaknya tidak hanya menganggap rukun-rukun Islam sebagai rutinitas belaka. Hal ini sangat mungkin terjadi pada diri individu seorang muslim. Kita menganggap bahwa syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji adalah sesuatu yang wajib dalam rutinitas ritual ibadah biasa, sehingga dalam pelaksanaannya bentuk kegiatan ibadah tersebut sangatlah miskin akan nilai spiritual dan makna. Seharusnya kita mulai menyadari hal ini. Kita harus memaknai syahadat adalah sebuah ikrar janji kepada Allah dan Muhammad untuk selalu tunduk dalam aturan Islam. Sholat adalah sarana muhasabah, harapan, dan sarana komunikasi dengan Allah. Dan pada intinya kita harus menanamkan kepada diri kita bahwa ritual ibadah itu bukan sekedar ritual, melainkan lebih dari itu terdapat makna yang besar di balik semua hal tersebut.

Apabila hal-hal yang mendasar di atas sudah tertanam, maka hal ketiga yang harus dibangun adalah membuat atap pelindung untuk menyempurnakan fungsi bangunan itu. Dalam hal ini sangatlah penting kiranya kita menambah makna hidup secara umum dengan memunculkan nilai-nilai Islami dalam pergaulan umum. Secara umum, orang menganggap kualitas seseorang itu dari akhlak, intelektual, dan kebaikannya. Jadi, sesuai dengan prinsip

Page 3: agama ion

Islam yang rahmatan lil alamin, seorang muslim harus mampu mentransformasikan sunnah Rasul dan ajaran Islam dalam pergaualan umum. Nilai-nilai Islam atau ajaran Islam yang dimaksud di sini antara lain sikap-sikap kedisiplinan dalam segala hal, kesopanan, kerajinan, kesungguhan, dan nilai–nilai Islami lainnya. Dan penulis menganggap bahwa sifat yang paling penting adalah sifat seorang mujahidin dan muhlisin. Mujahidin di sini dirtikan sebagai seorang yang selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam segala aspek kegiatan. Sedangkan muhlisin adalah sifat seseorang yang dalam setiap kegiatan sehari-harinya didasarkan selalu karena Allah. Sehingga dari dua sifat ini saja, seumpanya kita mengambil contoh seorang anggota dewan legislative, kita bisa melihat betapa hebatnya seseorang itu. Bila dua sifat itu diterapkan maka seorang anggota legislatif akan selalu hadir dalam setiap sidang, memperhatikan suara rakyat keseluruhan, membela hak rakyat, menolak nepotisme, tidak korupsi, dan mengurangi tidurnya di malam hari karena ia memiliki jiwa mujahid sebagaimana dicontohkan Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan ia justru akan selalu berdoa, sholat, dan puasa untuk mengharapkan petunjuk Allah SWT.

KEPRIBADIAN ISLAM

Page 4: agama ion

Bila kita cermati terdapat dua fenomena yang secsra fisik nampak pada diri manusia.  Pertama, adalah fenomena performance (penampilan fisik) manusia, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian.  Kedua adalah fenomena yang berupa perbuatan manusia.  Dari dua fenomena tersebut, orang kadang salah menilai tentang kepribadian seseorang.  Banyak yang beranggapan bahwa performance adalah bentuk dari kepribadian seseorang, yaitu bagaimana postur tubuhnya, cara berjalan, cara berpakaian, pilihan konsumsi makanan dan minuman, status social dsb.  Anggapan ini tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai barat tentang konsep kepribadian.

Lambat laun nilai-nilai tersebut semakin mempengaruhi persepsi kaum muslimin dalam memandang kemuliaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri seseorang maupun masyarakat.  Seseorang yang berpakaian ala barat, santun dalam berkata, rapi, disiplin, pemaaf, tepat waktu, dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulia.  Meskipun ia biasa mengkonsumsi minuman keras, hidup tanpa ikatan pernikahan, memakan uang riba, dll. Contoh-contoh lain dapat dengan mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat.  Persepsi ini diperparah dengan menjamurnya sekolah-sekolah kepribadian yang mengajarkan kepribadian baik dan mulia sesuai nilai baik dan mulia standar barat.

Hakikat Kepribadian

Bila kita cermati realita di atas, tentu hal tersebut merupakan persepsi yang keliru.  Sebab yang menentukan tinggi rendahnya kepribadian seseorang bukan dari nilai-nilai fisik seseorang (cantik/tidak, kaya/miskin dsb) ataupun dari asal daerah dan sukunya (jawa, batak, sunda dll) Sebagaimana sabda Rasullulah SAW : “Sesungguhnya Allah tidak menilai atas rupamu serta harta kekayaanmu, akan tetapi dia hanya menilai hati dan amal perbuatanmu” (HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) Kepribadian sebenarnya perwujudan dari pola pikir (yakni bagaimana ia bersikap dan berfikir) dan pola tingkah laku (bagaimana ia bertingkah laku) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pola pikir seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran yang ada pada dirinya dalam menyikapi atau menanggapi berbagai pandangan dan pemikiran tertentu.  Pola pikir pada diri seseorang tentu sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya.  Dari pola pikir inilah diketahui bagaimana sikap, pandangan atau pemikiran yang dimiliki oleh seseorang.

Sedangkan pola tingkah laku, adalah perbuatan-perbuatan nyata yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pola tingkah laku pada diri seseorang pun sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya.  Seseorang akan makan dan minum apa saja dalam memenuhi kebutuhan jasmaninya bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut.  Seseorang akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara apa saja bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut.  Begitu juga sebaliknya bila ideologi yang diyakininya melarangnya.

Alhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan corak kepribadian seseorang.  Dan karena pola sikap dan pola tingkah laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar/ideology yang diyakininya, maka corak kepribadian seseorang sangat bergantung pada ideology/aqidah yang dianutnya.  Ideologi kapitalisme akan membentuk masyarakat berkepribadian kapitalisme-liberal. Ideologi sosialisme akan membentuk kepribadian sosialis/komunis.  Sedangkan ideology Islam seharusnya menjadikan kaum muslimin yang memeluk dan meyakininya memiliki kepribadian Islam.

Page 5: agama ion

Kepribadian Islam

Merujuk pada penjelasan di atas, maka pada hakekatnya kepribadian Islam merupakan perwujudan pola pikir islami (Aqliyah Islamiyah)  dan pola tingkah laku islami ( Nafsiyah Islamiyah).  Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat pada diri seseorang bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap Aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu keislaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat yang rusak, kemudian pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu dan nilai-nilai islami.  Untuk memperoleh Aqliyah islamiyah yang kuat, hanya bias diraih dengan cara menambah khasanah ilmu-ilmu islam (tsaqofah islamiyah), sebagaimana dorongan islam bagi umatnya untuk terus menerus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun.  Allah SWT mengajarkan kepada kita : Katakanlah “Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku” (QS. Thaha : 114)

Sedangkan Nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan islam sebagai cara memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian dll) Nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah , baik yang wajib maupun yang sunah serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan subhat apalagi haram.  Islampun mengajarkan agar kita senantiasa berahlak mulia, bersikap wara’ dan qanaah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan islam.

Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman : “ …dan tidaklah bertaqarrub atau beramal seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardu yang aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku mencintainya” (HR Bukhari dari Abu Hurairah).