administrasi pemerintahan gemeente di salatiga 1917 …

13
115 ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917-1942 GEMEENTE GOVERNMENT ADMINISTRATION IN SALATIGA, 1917-1942 Fandy Aprianto Rohman Wikimedia Yogyakarta Jalan Bima, Randuagung, Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman Telepon 083861818180 Pos-el: [email protected] Diterima: 25 Februari 2020; Direvisi: 23 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT Salatiga is indeed full of dynamics, because the Dutch East Indies government seems to be endlessly wanting to organize it. Salatiga was later declared as stadsgemeente by General Johan Paul Van Limburg through Staatsblad No. 266 dated 25 June 1917, which then increased to gemeente in 1926. The main problem in this study was the administration of the gemeente government in Salatiga, to the construction of infrastructure carried out by the Dutch East Indies government to change the image of Salatiga into a colonial city within a period of years since 1917 until 1942. The method used in this study is a critical historical method which consists of four stages, namely heuristics, source criticism (verification), interpretation, and historiography. Based on the study conducted, de Gemeente Salatiga was led by a burgermeester (mayor) who was assisted by the gemeenteraad (city council), while the economic resources of the Indies government were obtained through income from various taxes. Facilities and infrastructure developed by the Dutch East Indies government include office facilities, government buildings, schools, and residential areas. Keywords: colonial, gemeente, and Salatiga. ABSTRAK Salatiga penuh dinamika karena Pemerintah Hindia Belanda seakan-akan tak mau berhenti menatanya. Wilayah ini ditetapkan sebagai stadsgemeente oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum melalui Staatsblad No. 266 tanggal 25 Juni 1917, yang kemudian meningkat menjadi gemeente pada tahun 1926. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah administrasi pemerintah gemeente di Salatiga, hingga pembangunan infrastuktur yang dilakukan untuk mengubah citranya menjadi kota kolonial dalam kurun waktu sejak tahun 1917 sampai dengan 1942. Penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber (verifikasi), interprestasi, dan historiografi. Berdasarkan kajian yang dilakukan, de Gemeente Salatiga dipimpin oleh seorang burgermeester (wali kota) yang dibantu oleh gemeenteraad (dewan kota), sedangkan sumber daya ekonominya diperoleh melalui pendapatan dari berbagai pajak. Fasilitas dan infrastruktur yang dibangun meliputi fasilitas perkantoran, gedung-gedung pemerintahan, sekolah-sekolah, dan kawasan permukiman penduduk. Kata kunci: kolonial, gemeente, dan Salatiga. PENDAHULUAN Salatiga hanya sebuah kota kecil, bahkan pernah menjadi yang terkecil di Hindia Belanda (Wiratama, 2018: 188). Kendati demikian, Pemerintah Hindia Belanda seakan-akan tak mau berhenti menatanya (Supangkat, 2012: 1). Hal ini disebabkan kondisi alamnya yang sejuk dan indah telah membuat Salatiga menjadi kota pilihan bagi orang kulit putih pada waktu itu untuk beristirahat dan membuat tempat tinggal (Harnoko, 2013: 79). Dalam pandangan Tjahjono (2011: 199), para pejabat pemerintahan membangun permukiman dan taman-taman yang disebut dengan landhuis mengikuti model Belanda dari abad ke-18. Kota-kota yang awalnya terletak di hilir sungai – seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya – dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

115

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917-1942GEMEENTE GOVERNMENT ADMINISTRATION IN SALATIGA, 1917-1942

Fandy Aprianto RohmanWikimedia Yogyakarta

Jalan Bima, Randuagung, Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten SlemanTelepon 083861818180

Pos-el: [email protected]: 25 Februari 2020; Direvisi: 23 April 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACTSalatiga is indeed full of dynamics, because the Dutch East Indies government seems to be endlessly wanting to organize it. Salatiga was later declared as stadsgemeente by General Johan Paul Van Limburg through Staatsblad No. 266 dated 25 June 1917, which then increased to gemeente in 1926. The main problem in this study was the administration of the gemeente government in Salatiga, to the construction of infrastructure carried out by the Dutch East Indies government to change the image of Salatiga into a colonial city within a period of years since 1917 until 1942. The method used in this study is a critical historical method which consists of four stages, namely heuristics, source criticism (verification), interpretation, and historiography. Based on the study conducted, de Gemeente Salatiga was led by a burgermeester (mayor) who was assisted by the gemeenteraad (city council), while the economic resources of the Indies government were obtained through income from various taxes. Facilities and infrastructure developed by the Dutch East Indies government include office facilities, government buildings, schools, and residential areas.

Keywords: colonial, gemeente, and Salatiga.

ABSTRAKSalatiga penuh dinamika karena Pemerintah Hindia Belanda seakan-akan tak mau berhenti menatanya. Wilayah ini ditetapkan sebagai stadsgemeente oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum melalui Staatsblad No. 266 tanggal 25 Juni 1917, yang kemudian meningkat menjadi gemeente pada tahun 1926. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah administrasi pemerintah gemeente di Salatiga, hingga pembangunan infrastuktur yang dilakukan untuk mengubah citranya menjadi kota kolonial dalam kurun waktu sejak tahun 1917 sampai dengan 1942. Penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber (verifikasi), interprestasi, dan historiografi. Berdasarkan kajian yang dilakukan, de Gemeente Salatiga dipimpin oleh seorang burgermeester (wali kota) yang dibantu oleh gemeenteraad (dewan kota), sedangkan sumber daya ekonominya diperoleh melalui pendapatan dari berbagai pajak. Fasilitas dan infrastruktur yang dibangun meliputi fasilitas perkantoran, gedung-gedung pemerintahan, sekolah-sekolah, dan kawasan permukiman penduduk.

Kata kunci: kolonial, gemeente, dan Salatiga.

PENDAHULUAN

Salatiga hanya sebuah kota kecil, bahkan pernah menjadi yang terkecil di Hindia Belanda (Wiratama, 2018: 188). Kendati demikian, Pemerintah Hindia Belanda seakan-akan tak mau berhenti menatanya (Supangkat, 2012: 1). Hal ini disebabkan kondisi alamnya yang sejuk dan indah telah membuat Salatiga menjadi kota pilihan bagi orang kulit putih pada waktu

itu untuk beristirahat dan membuat tempat tinggal (Harnoko, 2013: 79). Dalam pandangan Tjahjono (2011: 199), para pejabat pemerintahan membangun permukiman dan taman-taman yang disebut dengan landhuis mengikuti model Belanda dari abad ke-18. Kota-kota yang awalnya terletak di hilir sungai – seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya – dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas

Page 2: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

116

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Gemeente Salatiga juga disebut sebagai Salatiga dea schoonnste staad van Midden Java atau “Salatiga kota paling indah di Jawa Tengah”.

Pada hakikatnya, perkembangan Salatiga sejak ditetapkan sebagai gemeente pada tahun 1917 sampai dengan pergantian pendudukan Jepang dapat dikatakan baik. Hal ini disebabkan karena Salatiga sebagai kota kolonial dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk pendidikan (Harnoko, 2013: 76). Fasilitas pendidikan yang didirikan, yaitu Eerste Europeesche Lagere School yang berlokasi di Toentangscheweg dan Tweede Europeesche Lagere School di Blauran, sedangkan orang-orang Tionghoa didirikan Hollandsch Chinese School di Margosari (Supangkat, 2012: 31). Selain itu, pemerintah juga membangun Normaalschool, Kweekschool, dan lima Tweede Klasse School pada satu gedung Vervolgschool di Sinoman Tempel (Harnoko, 2013: 77).

Fasilitas lain yang dibangun adalah fasilitas perkantoran, yaitu Algemeene Volksch Bank, Post Telefoon Telgram Kantoor, dan kantor asisten residen yang lokasinya berada satu kompleks dengan rumah dinasnya (Handjojo, 1978: 20--25). Ketetapan gemeente juga mendorong dilakukannya perbaikan di segala bidang untuk meningkatkan sumber ekonomi. Berbagai sarana, prasarana, dan infrastruktur yang lantas diperbaiki adalah gedung-gedung pemerintahan, sekolah-sekolah, pasar, serta penataan kawasan untuk perumahan. Pada proses itu, Pemerintah Hindia Belanda berupaya mengubah citra Salatiga menjadi kota kolonial seutuhnya (Prakosa, 2017: 23).

Sumber daya administrasi pemerintahan gemeente diperoleh dari pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi (De Locomotief, 1919: 13). Adanya gemeente telah menjadikan bertambahnya berbagai fasilitas yang baik, yang pada akhirnya turut membuat semakin banyak pula arus urbanisasi penduduk dari daerah lain ke Salatiga (Tjahjono, 2011: 198).

rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman Jawa yang dianggap lebih baik dan sehat.

Mason (2003: 17--22) mengungkapkan bahwa di kota ini roh puisi sastrawan petualang Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud, tersugesti dalam dingin yang selalu berkenan mampir memesra-mesrakan takdir. Rimbaud waktu itu bergabung dengan pasukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang ke Semarang pada tanggal 2 Agustus 1876, tetapi melihat kekejaman kolonialisme akhirnya dia pergi bersama legiunnya naik kereta api menuju Stasiun Tuntang dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Salatiga (Santosa dan Rocher, 2013: 117--124). Rimbaud menghabiskan waktu dua pekan di aux pays poivrés et détrempés atau “di negeri rempah-rempah pedas dan basah”,1 sebelum akhirnya desersi dalam teduh rengkuhan Gunung Telomoyo, Merbabu, dan Ungaran dari pasukannya dan kembali ke Eropa (Jamie, 2011: 20).

Salatiga penuh dengan dinamika dan seribu warna. Tak ayal, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 25 Juni 1917 menancapkan suatu tonggak sejarah baru bagi perkembangan Salatiga (Supangkat, 2012: 17). Melalui Staatsblad No. 266 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum, Salatiga ditetapkan menjadi sebuah stadsgemeente yang dikenal dengan nama de Gemeente Salatiga (Kotapraja Salatiga) dan dipimpin oleh seorang burgermeester (wali kota) yang dibantu oleh gemeenteraad (dewan kota) (Harnoko, 2013: 96). Maharani (2009: 57) turut memperjelas bahwa dengan terencananya wilayah serta didukung oleh keberadaannya yang memiliki kondisi geografis di dataran tinggi, bentang alam yang indah, serta suhu udara yang menyerupai iklim di Eropa, de

1 Kutipan ini merupakan salah satu kalimat yang dihasilkan Rimbaud selama dia berada di Salatiga. Kutipan tersebut dapat dilihat dalam plakat yang berada di dinding Kompleks Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.

115—127

Page 3: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

117

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merumuskan tiga pertanyaan, yaitu 1) Bagaimana gambaran umum dan kependudukan Salatiga pada masa pemerintahan gemeente sebagai objek penelitian? 2) Apa sajakah faktor pendukung pembentukan gemeente Salatiga? 3) Bagaimana struktur pemerintahan gemeente dan aktivitas yang dilakukannya dalam membangun Salatiga? Tujuan dari penelitian ini antara lain menguraikan dan menjelaskan gambaran umum dan kependudukan Salatiga pada masa pemerintahan gemeente tahun 1917--1942, menjelaskan faktor pembentukan gemeente Salatiga, serta menjelaskan struktur pemerintahan gemeente dalam membangun infrastruktur di Salatiga.

Ruang lingkup dalam penelitian ini secara spasial adalah wilayah Salatiga, sedangkan ruang lingkup waktu adalah tahun 1917 sampai dengan 1942 dengan dasar bahwa stadsgemeente terbentuk di Salatiga pada tahun 1917 dan pemerintahan gemeente berlangsung sampai dengan pergantian pendudukan Jepang.

Terkait pustaka, Handjojo (1978) mengungkapkan bahwa kesuburan tanah Salatiga sebagai daerah perkebunan menarik minat Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kawasan ini sebagai salah satu pusat kegiatan penanaman kopi pada masa tanam paksa yang dimulai dari tahun 1830 hingga 1870.

Kajian tentang potret diskriminasi masyarakat Salatiga pada masa pemerintahan gemeente di kota ini telah ditulis oleh Prakosa (2017). Dia menyebutkan bahwa diskriminasi rasial justru berlangsung masif seiring gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada proses ini, warga Eropa dan warga Timur Asing menjadi pemain utama, sedangkan rakyat bumiputra hanya menjadi objek penderita.

Pustaka lain yang mendukung penelitian ini sebagai kajian untuk memaparkan gambaran umum Salatiga pada masa gemeente adalah tulisan dari Supangkat (2012). Dia mengemukakan bahwa Salatiga dipandang strategis oleh karena berada di jalur utama

persimpangan Semarang, Surakarta, dan Magelang. Berbagai sarana dan prasarana yang dibangun telah menimbulkan berbagai dinamika di Salatiga.

Santoso (2006: 81) menengarai bahwa sistem perkotaan yang dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, seperti halnya Salatiga, pada prinsipnya meneruskan sistem feodalistik, tetapi dengan menjadikan penguasa lokal pribumi atau priayi Jawa sebagai pegawai dan begian dari sistem administrasi. Teori Santoso berangkat dari asumsi bahwa pembangunan tersebut tidak hanya berguna untuk memonitor kinerja pemerintahan dan pengelolaan kota saja, tetapi juga bermanfaat untuk menentukan arah perkembangannya.

Monks (2001: 1) sendiri menguraikan bahwa pengertian dari perkembangan menunjuk pada suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan juga menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali, sebagai proses integrasi yang lebih tinggi. Sejalan dengan Monks, Mustika dan Pigawati (2014: 1) memperjelas bahwa perkembangan suatu kota yang pesat bisa juga dilihat dari peningkatan jumlah penduduk yang dapat mengakibatkan peningkatan kebutuhan ruang.

Pembangunan Salatiga sebagai gemeente sendiri tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi dan munculnya kelompok-kelompok pendukung roda ekonomi Salatiga, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam kegiatan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda melengkapinya dengan berbagai sarana dan fasilitas agar menjadi sebuah kota yang ideal.

Menurut Kuntowidjojo (1994: 54--55), kota yang ideal memiliki ciri-ciri meliputi kehidupan kota dengan gaya bangunan, sektor pedagang asing (terutama Tionghoa) yang mewarnai kehidupan kota, dan pemukiman yang menampung pendatang baru. Makkelo (2017: 87) menambahkan bahwa kota kolonial ditandai dengan benteng dan barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, dan rumah ibadah vrijnetselarij.

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy

Page 4: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

118

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

METODE

Secara metodologis, penelitian ini dilakukan melalui berbagai tahapan, yaitu heuristik, kritik internal dan eksternal, interpretasi, dan historiografi. (Gottschalk, 2006: 39). Pada tahap heuristik atau pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu menentukan topik yang akan dibahas, yaitu perkembangan awal Muhammadiyah di Salatiga. Pengumpulan data berupa studi kepustakaan dilakukan di Badan Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Daerah Kota Salatiga. Sumber-sumber yang dikumpulkan merupakan bahan-bahan dalam penyusunan historiografi. Sumber-sumber tersebut berupa arsip, artikel, buku-buku, dan skripsi yang berkaitan.

Tahap selanjutnya adalah kritik internal dan eksternal untuk melihat keaslian dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Kritik eksternal yang dilakukan oleh peneliti adalah melihat latar belakang dari penulis-penulis buku yang dijadikan sebagai pustaka, kertas yang digunakan, jenis huruf, bahasa, ejaan, dan penerbit dari buku tersebut. Kritik internal dilakukan dengan melihat isi dari buku tersebut, apakah isinya relevan dengan fakta sejarah dan sesuai dengan topik yang akan dibahas (Kuntowijoyo, 2008: 33).

Setelah melakukan kritik internal dan kritik eksternal, tahap selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi dilakukan berdasarkan fakta dan juga data yang diperoleh sehingga tidak hanya sekedar imajinasi semata. Untuk itulah peneliti mencantumkan sumber data yang digunakan. Pada tahap interpretasi sumber-sumber primer yang telah didapatkan dibandingkan dengan sumber-sumber lain, baik sekunder maupun tersier. Hal ini dilakukan agar tidak ada kesalahan pemaknaan. Pada tahap ini peneliti berupaya untuk mengaitkan antara fakta yang satu dengan fakta lainnya, sehingga diperoleh sebuah gambaran peristiwa secara utuh dan kronologis serta saling berkaitan. Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Penulisan sejarah disusun secara kronologis. Historiografi juga

merupakan tahap akhir dalam penelitian sejarah yang bertujuan untuk menciptakan keutuhan rangkaian peristiwa sejarah yang sesungguhnya (Sjamsudin, 2007: 121).

Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif, yaitu analisis yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari fenomena historis pada cakupan waktu dan tempat. Dari analisis tersebut dihasilkan tulisan deskriptif-analitis. Sejarah analitis merupakan sejarah yang berpusat pada pokok-pokok permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut akan diuraikan secara sistematis. Berdasarkan permasalahan inilah, sejarah analisis juga membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial dalam kajiannya. Teknik yang digunakan sebagai analisis data adalah library research, yaitu suatu riset kepustakaan murni dengan menggunakan analisis isi yang berfungsi sebagai telaah teoritis suatu disiplin ilmu (Hadi, 1998: 9).

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Salatiga

Untuk mengetahui kondisi masyarakat di suatu daerah diperlukan pengetahuan mengenai kondisi fisik dan alam masyarakat tersebut tinggal. Aspek spasial yang dikaji dalam penelitian ini adalah Salatiga, sehingga diperlukan pembahasan mengenai kondisi fisik dan alam di kota tersebut.

a. Letak Geografis Wilayah Salatiga menempati letak

posisi yang strategis karena berada pada persilangan jalan raya lima jurusan, yaitu Semarang, Bringin, Surakarta, Magelang, dan Ambarawa (Wiratama, 2018: 192). Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, status Salatiga sebagai kotapraja telah diterangkan melalui Staatsblad No. 266 Tahun 1917. Menurut Handjojo (1978: 8), sejak tanggal 1 Juli 1917, Salatiga terdiri atas delapan desa yang diambilkan dari wilayah asistenan, yaitu sebagian besar Desa Sidorejo Lor, sebagian besar Desa Krajan, sebagian besar Desa

115—127

Page 5: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

119

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Kutowinangun, seluruh Desa Kalicacing, separuh Desa Mangunsari, sebagian kecil Desa Gedongan, sebagian kecil Desa Tegalrejo, dan sebagian kecil Desa Legok.

Menjelang ketetapan berdirinya Gemeente Salatiga dibuat, wilayah Salatiga sebenarnya terdiri atas 25 desa, tetapi karena jumlah penduduk di beberapa wilayah Salatiga hanya sedikit dan beberapa daerah Salatiga merupakan daerah persawahan dan tegalan, hanya delapan desa tersebut yang diambil menjadi wilayah Salatiga (Maharani, 2009: 43).

Gemeente Salatiga berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang ± 4,5 kilometer, lebar + 3 kilometer, dan luas keseluruhan + 1.200 hektar atau 12 kilometer2. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut.

Utara: Kecamatan Pabelan (Desa Pabelan dan Desa Pejaten) dan Kecamatan Tuntang (Desa Kesongo dan Desa Watu Agung).

Timur: Kecamatan Pabelan (Desa Glawan, Desa Sukoharjo, dan Desa Ujung-Ujung) dan Kecamatan Tengaran (Desa Bener, Desa Nyamat, dan Desa Tegalwaton).

Selatan: Kecamatan Getasan (Desa Jetak, Desa Samirono, dan Desa Sumogawe) dan Kecamatan Tengaran (Desa Karang Duren dan Desa Patemon).

Barat: Kecamatan Getasan (Desa Polobogo) dan Kecamatan Tuntang (Desa Candirejo, Desa Gedangan, Desa Jombor, dan Desa Sraten).

b. Keadaan Alam Salatiga terletak pada ketinggian antara

450--825 meter di atas permukaan air laut (Wiratama, 2018: 192). Secara morfologi, Salatiga berada di daerah cekungan kaki Gunung Merbabu dan gunung-gunung kecil, yaitu Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Payung, dan Gunung Rong (Kartoatmadja, dkk, 1995: 14). Secara terperinci, topografi atau bentuk permukaan tanah Salatiga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Daerah topografi bergelombang dengan persentase + 65%, yaitu Kelurahan Bugel, Kelurahan Dukuh, Kelurahan Kauman Kidul, Kelurahan Kumpulrejo, Kelurahan Kutowinangun Kidul, Kelurahan Kutowinangun Lor, Kelurahan Ledok, Kelurahan Salatiga, dan Kelurahan Sidorejo Lor.

2. Daerah topografi miring dengan persentase + 25%, yaitu Kelurahan Cebongan, Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kecandran, Kelurahan Mangunsari, Kelurahan Pulutan, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Sidorejo Kidul, Kelurahan Sidorejo Lor, Kelurahan Tegalrejo, Kelurahan Tingkir Lor, dan Kelurahan Tingkir Tengah.

3. Daerah topografi datar dengan persentase + 10%, yaitu Kelurahan Blotongan, Kelurahan Kalibening, Kelurahan Kalicacing, dan Kelurahan Noborejo (Handjojo, 1978: 6-9).

Kesuburan Salatiga sebagai daerah perkebunan menarik minat Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kawasan ini sebagai salah satu pusat kegiatan penanaman kopi pada masa tanam paksa, yang dimulai sejak tahun 1830 (Handjojo, 1978: 25). Menurut Supangkat (2012: 4), pada tahun 1900 di wilayah Afdeling Salatiga terdapat 32 perkebunan swasta, yang kemudian menjadi 81 perkebunan swasta untuk tanaman kopi, karet, cokelat, kapas, kina, rempah-rempah, tembakau, gandum, dan sayuran 20 tahun kemudian. Maharani (2009: 40) menambahkan bahwa bagian barat daya Salatiga cocok ditanami sayur-sayuran, bahkan pernah diupayakan tanaman gandum.

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy

Page 6: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

120

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Gambar 1. Pemandian Kalitaman di Salatiga tahun 1928.

Sumber: Tropenmuseum, Het Zwembad van Kalitaman te Salatiga, Midden-Java. Diakses

tanggal 16 Oktober 2019.

Faktor pendukung lain yang turut mempengaruhi kesuburan tanah di Salatiga adalah konsentrasi air. Salatiga memiliki tiga sumber mata air yang letaknya berdekatan, yaitu Kalitaman, Benoyo, dan Kalisumbo. Air dari ketiga sumber tersebut memiliki debit yang cukup besar untuk keperluan sehari-hari. Sumber mata air Kalitaman sendiri dipakai sebagai kolam renang sejak zaman gemeente dan sampai saat ini merupakan satu-satunya kolam renang bertaraf nasional di Jawa Tengah (Kartoatmadja, dkk, 1995: 16-18).

Selain ketiga sumber mata air tersebut, masih ada beberapa sumber mata air lagi di Salatiga, yaitu Belik Kalioso, Senjoyo, dan Muncul, sehingga tidak aneh apabila beberapa nama di wilayah ini menggunakan kata-kata yang menunjukkan sumber mata air tersebut, yaitu Dukuh Kalitaman, Dukuh Kalisumba, Dukuh Kalioso, Dukuh Kalibodri, Dukuh Kalimangkal, dan Dukuh Kalicacup (Kartoatmadja, dkk, 1995: 18--20).

c. KependudukanJumlah penduduk Salatiga sejak abad

ke-16 sampai dengan akhir abad ke-19 tidak diketahui dengan pasti, karena tidak ditemukan datanya. Jumlah penduduk Salatiga baru diketahui secara jelas pada tahun 1905. Menurut catatan dari Karyono (2005: 21), apabila dibandingkan dengan kota lain, pertumbuhan penduduk di Salatiga termasuk rendah karena pada masa sebelum dibentuknya gemeente

belum banyak terdapat industri di Salatiga yang dapat menyerap tenaga kerja dan menarik urbanisasi. Mengenai perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Kota-Kota Besar di Jawa

Kota Tahun 1905

Tahun 1920

Tahun 1930

BataviaBogorBandungCirebonSemarangSurabayaMalang Salatiga

173.000-

47.000-

97.000150.00030.00010.000

235.00046.00094.00033.000158.000192.00042.00018.985

435.00065.000165.00054.000217.000431.00086.00024.397

Sumber: Karyono (2005:21).

Jumlah penduduk Salatiga pada tahun 1920 telah mengalami peningkatan sebesar 18.985 jiwa, yang terdiri atas orang Eropa 1.208 jiwa, orang pribumi 16.304 jiwa, orang Tionghoa 1.402 jiwa, dan orang Arab 78 jiwa. Jumlah penduduk Salatiga semakin bertambah dikarenakan kota ini telah dijadikan sebagai salah satu daerah otonom (Widya, 1979: 10-20). Adanya gemeente telah menjadikan bertambahnya berbagai fasilitas-fasilitas yang semakin baik, yang pada akhirnya turut membuat semakin banyak pula arus urbanisasi penduduk dari daerah lain ke Salatiga (Tjahjono, 2011: 198). Pertumbuhan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kota Salatiga Berdasarkan

Komposisi Penduduk

Tahun Pribumi Eropa Tionghoa Arab Jumlah19001905192019291930

-9.99316.30415.90820.465

-700

1.2081.5021.992

-1.3001.4021.6651.836

-771117114

10.00012.00018.98519.19224.397

Sumber: Karyono (2005:21).

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk pribumi merupakan penduduk mayoritas di Salatiga. Pertambahan penduduk

115—127

Page 7: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

121

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pribumi antara tahun 1905 hingga 1920 sebesar 71%, sedangkan pertambahan penduduk Eropa sebesar 72% dan orang Timur Asing sebesar 7%. Pertambahan penduduk pribumi mengalami kemerosotan antara tahun 1920 hingga 1929, yaitu sekitar 396 jiwa atau 2,45%. Kemerosotan pertambahan penduduk hanya dialami oleh penduduk pribumi, sedangkan jumlah golongan Eropa dan orang Timur Asing cenderung meningkat (Karyono, 2005: 21).

Karyono menengarai bahwa kemerosotan penduduk pribumi diakibatkan oleh wabah penyakit pes yang pernah menyerang Salatiga. Di sisi lain, klasifikasi penduduk Salatiga berdasarkan mata pencaharian dipengaruhi oleh struktur rasial (Karyono, 2005: 21). Golongan elit Eropa memegang posisi penting di pemerintahan dan militer setempat (Maharani, 2009: 46). Banyak pula dari golongan ini yang berprofesi sebagai pengusaha atau pegawai di perkebunan, sedangkan golongan Tionghoa dan Timur Asing umumnya bekerja di sektor perdagangan dan menjadi perantara antara golongan Eropa dan pribumi. Golongan pribumi sendiri mayoritas berprofesi sebagai petani, buruh perkebunan, dan kuli (Prakosa, 2017: 54-67).

1. Faktor-Faktor PendukungSebelum tahun 1895, Salatiga merupakan

satu kabupaten tersendiri yang terpisah dari Kabupaten Semarang. Selama berstatus sebagai kabupaten, ada tujuh bupati yang pernah memerintah, yaitu:

1. Raden Ario Sosrowidjojo (.-- 1830).2. Raden Ngabehi Poerbowidjojo (1830--…).3. Kanjeng Raden Tumenggung Soerjokoe-

soemo (1856--1860).4. Raden Tumenggung Prawirokoesoemo

(1860--1863).5. Raden Adipati Soerodiningrat (1863--

1886).6. Raden Tumenggung Soerodiningrat II

(1886--1891).7. Raden Adipati Tjokrodipuro (1891--

1895) (Supangkat, 2012: 9--10).

Pada tahun 1895 Salatiga digabung dengan Kabupaten Semarang berdasarkan Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari 1895. Menjelang akhir tahun 1901, Salatiga sebagai afdeling kontrol dihapuskan dan digabungkan dengan Ambarawa. Berselang dua tahun kemudian, Salatiga secara resmi beralih menjadi kota administratif yang dipimpin oleh asisten residen (ANRI, Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari 1895).

Afdeling Salatiga dibagi menjadi dua afdeling kontrol, yaitu Salatiga dan Ambarawa. Salatiga membawahi Distrik Salatiga dan Distrik Tengaran, sedangkan Ambarawa membawahi Distrik Ambarawa dan Distrik Ungaran. Faktor inilah yang menyebabkan orang-orang Eropa melakukan tuntutan untuk mengeluarkan pelaksanaan desentralisasi di Hindia Belanda (Harnoko, 2013: 83). Menurut Harnoko, pemerintah menyetujui tuntutan orang-orang Eropa tersebut dengan alasan, yaitu orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda menginginkan agar diberikan otonomi yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan karena bantuan dari pusat hanya sedikit serta adanya pengaruh Perang Dunia I yang membawa kesulitan bagi Pemerintah Hindia Belanda (Wawancara: Yogyakarta, 14 Januari 2019).

Pada perkembangannya, Salatiga beralih status menjadi stadsgemeente setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917 No. 1 yang dimuat dalam Staatsblad No. 266 tahun 1917. Kota ini resmi didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Juli 1917 dengan nama Staadsgemeente Salatiga. Status Salatiga sebagai stadsgemeente meningkat menjadi gemeente pada tahun 1926. Adapun yang dapat ditunjuk sebagai daerah kota otonom adalah kota yang mempunyai sifat kebaratan, banyak penduduk Eropa, dan di sekitarnya harus ada perkebunan (Handjojo, 1978: 15).

Oemar (1978: 128) mengemukakan bahwa

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy

Page 8: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

122

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

maksud dari pemberian status gemeente tersebut adalah sebagai tempat mukim para pemilik perkebunan besar dan perkebunan kecil, yang sebagian besar terletak di wilayah Kabupaten Semarang sekarang ini (Bringin, Ambarawa, Suruh, Kopeng, Dadapayam, Tengaran, Simo, Banyubiru, dan Ungaran). Perkebunan yang menjadi sektor strategis pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Eropa (Prayogo, 2017: 4). Jabatan-jabatan penting dalam perkebunan dipegang oleh mereka, sehingga demi kelancaran pekerjaannya para pendatang ini bermukim di daerah Salatiga dan sekitarnya.

Ketetapan status Salatiga sebagai gemeente pada awalnya banyak dipertanyakan. Hal ini disebabkan karena penduduknya masih sedikit dan wilayahnya yang kecil (Myengkyo, 2013: 12). Meski ketetapan tersebut bernuansa politis yang berpihak pada kepentingan orang kulit putih, tetapi Salatiga sebenarnya telah memenuhi persyaratan berdirinya sebuah gemeente, yaitu penduduk, keadaan setempat, dan keuangan (Darmiati, dkk, 1999: 43). Penataan daerah otonom atau penataan wilayah pada masa Hindia Belanda sebenarnya merupakan hal yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik (Purnomo, dkk, 2015: 10).

Faktor penduduk yang dimaksudkan adalah faktor penduduk kulit putih (Prakosa, 2017: 27). Sebuah daerah dapat dijadikan gemeente apabila terdapat minimal 10% orang kulit putih yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Orang kulit putih dalam kriteria ini bukan semata-mata hanya orang Belanda saja, melainkan orang-orang Eropa non-Belanda dan bangsa lain (termasuk etnis Tionghoa) yang disejajarkan dengan orang Belanda. Menjelang ditetapkannya Salatiga menjadi sebuah gemeente, jumlah orang kulit putih di Salatiga mencapai + 17%. Dengan demikian, dari faktor penduduk, Salatiga memang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sebuah gemeente

(Darmiati, dkk, 1999: 43).Faktor selanjutnya berupa keadaan

setempat adalah ada atau tidaknya hal-hal yang diharapkan dapat menunjang perkembangan gemeente itu nantinya, misalnya keberadaan perkebunan di daerah tersebut. Hal ini sangat penting sebagai salah satu faktor pertimbangan karena biasanya di lokasi perkebunan-perkebunan tersebut memang banyak orang Belanda. Jumlah perkebunan di Salatiga dan sekitarnya sendiri cukup banyak. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Salatiga telah memenuhi persyaratan ini (Kartodirdjo, dkk, 1977: 34).

Keberadaan perkebunan-perkebunan di Salatiga dan sekitarnya menjadi pendorong utama pesatnya pertumbuhan orang kulit putih di Salatiga (Prayogo, 2017: 4). Mereka sebagai pemilik onderneming, kleine onderneming, dan administrateur. Beberapa perkebunan yang berada di Salatiga dan sekitarnya antara lain:

1. Perkebunan Ampel dengan jenis tanaman karet dan teh.

2. Perkebunan Ampel Gading dengan jenis tanaman kopi.

3. Perkebunan Asinan dengan jenis tanaman kopi, cokelat, karet, dan lada.

4. Perkebunan Banaran dengan jenis tanaman cokelat dan kopi.

5. Perkebunan Jatirunggo dengan jenis tanaman karet, lada, cokelat, dan kopi.

6. Perkebunan Gesangan dengan jenis tanaman kopi, cokelat, pala, lada, dan karet.

7. Perkebunan Getas dengan jenis tanaman karet, kopi, cokelat, dan kapas.

8. Perkebunan Golli dengan jenis tanaman kopi dan cokelat.

9. Perkebunan Sembir dengan jenis tanaman kopi, cokelat, dan kapas.

10. Perkebunan Plaur dengan jenis tanaman kopi, cokelat, dan karet.

11.Perkebunan Tlogo dengan jenis tanaman karet, kopi, cokelat, pala, dan kapas.

12.Perkebunan Malambong dengan jenis tanaman teh dan kina (Supangkat, 2012: 6-7).

115—127

Page 9: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

123

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Faktor terakhir berupa keuangan utamanya berkaitan dengan masalah perpajakan di daerah setempat. Melihat banyaknya jumlah orang kulit putih yang ada di Salatiga waktu itu, tentunya faktor keuangan yang berkaitan dengan masalah pajak ini dianggap sudah memenuhi syarat untuk berdirinya sebuah gemeente (Supangkat, 2012: 16).

Struktur Pemerintahan

Selain menetapkan Salatiga sebagai sebuah gemeente, Staatsblad No. 266 Tahun 1917 juga mencantumkan berbagai tugas pemerintah gemeente, yaitu mengatur, memperbarui, dan membuka berbagai taman dan jalan dalam kota (mencakup pembuatan dan pembersihan selokan, jembatan, lapangan, dan papan nama jalan), membuat penerangan jalan untuk umum, serta mengatur pemakaman (Supangkat, 2012: 18).

Gemeente Salatiga dipimpin oleh burgermeester dan dibantu oleh gemeenteraad yang ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal (Prakosa, 2017: 31--32). Pada saat itu, jabatan burgermeester dirangkap oleh asisten residen, sedangkan struktur organisasi dalam gemeente itu memiliki komposisi, yaitu orang kulit putih pada jabatan staf walikota dan paling banyak menduduki jabatan penentu kebijakan serta orang timur asing dan pribumi menduduki jabatan tingkat kelurahan (Harnoko, 2013: 84).

Berdasarkan penjelasan Harnoko (2013: 84), sumber daya ekonomi pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan administrasi pemerintahan gemeente diperoleh melalui pendapatan dari pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi. Pemerintahan gemeente melakukan berbagai pembangunan di Salatiga, sekaligus memperkenalkan berbagai fasilitas umum yang belum ada dan belum pernah dikenal sebelumnya oleh penduduk pribumi (Supangkat, 2012: 19).

Harus diakui bahwa pembangunan Salatiga pada waktu itu memang lebih dikhususkan untuk meningkatkan kenyamanan

orang-orang kulit putih, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pribumi ikut merasakan manfaatnya, baik secara langsung atau pun tidak langsung (Santoso, 2006: 81).

a. Penataan KotaPada tahun 1920-an, listrik sudah masuk di

wilayah Salatiga dengan pembangkit listriknya berada di Desa Jelok (Harnoko, 2013: 87). Pada saat itu, warga Salatiga sudah bisa menikmati penerangan jalan, meskipun masih terbatas hanya jalan protokol. Ada pun untuk penataan jalan, pemerintah Hindia Belanda membuat pola menyerupai pola radial konsentris di Eropa dengan ciri empat ruas jalan lebar yang bertemu di satu titik bundaran sebagai pusat kota.

Gambar 2. Tugu Jam Tamansari. Sumber: Katalog Arsip Foto Dinas Perpustakaan

dan Kearsipan Daerah Kota Salatiga.

Titik yang dipilih untuk dijadikan sebagai pusat kota adalah bundaran tugu sekarang ini. Pada awalnya, titik tersebut merupakan pertemuan tiga ruas jalan (Solo, Semarang, dan Bringin), tetapi saat ini telah bertambah menjadi satu ruas lagi ke arah timur menuju Kalitaman agar bundaran tugu tersebut menjadi pertemuan empat ruas jalan.

Dengan adanya ruas jalan baru itulah lokasi tersebut telah siap untuk dijadikan pusat kota dengan persimpangan jalan ala Eropa. Jalan menuju ke arah Semarang (sekarang Jalan Diponegoro) diberi nama Toentangscheweg, jalan menuju ke arah Bringin (sekarang Jalan Pattimura) diberi nama Bringinscheweg, jalan menuju ke arah Solo (sekarang Jalan Jenderal Sudirman) diberi nama Soloscheweg, sementara

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy

Page 10: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

124

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

jalan baru menuju Kalitaman (sekarang Jalan Pemuda) diberi nama Wilheminalaan. Agar titik yang akan dijadikan sebagai pusat kota tersebut dapat berkembang menjadi kawasan elit, dibangunlah sarana penunjang di sekitar lokasi tersebut berupa Tamansari yang berada di sebelah timur rumah dinas asisten residen (Supangkat, 2015: 23).

b. Sarana PerekonomianPerekonomian di Salatiga pada masa

gemeente tampak berkembang dengan adanya sebuah pasar yang dikenal dengan nama Pasar Kalicacing. Pasar ini pertama kali dibuka pada tahun 1901 dan direnovasi pada tahun 1928 karena kondisinya sudah tidak baik. Belakangan, Pasar Kalicacing terkenal dengan nama Pasar Lama, tepatnya sesudah dibangunnya Pasar Baru (saat ini bernama Pasaraya I) beberapa puluh meter di sebelah utaranya (Supangkat, 2012: 42).

Untuk mendapatkan los pasar ini, para pedagang dapat membeli, menggunakan cara kontrak, atau sewa kepada pemerintah. Para penjual mau pun pembeli yang masuk ke pasar harus membeli karcis masuk sebagai pengganti biaya pemeliharaan pasar. Para pedagang tidak diperbolehkan berjualan di trotoar jalan, tetapi para pedagang dapat mendirikan warung dengan cara mengajukan izin kepada burgermeester. Kegiatan pasar ini memunculkan berbagai jenis pekerjaan seperti kuli gendong dan kuli bus. Demikian pula banyak orang Tionghoa yang membuka toko-toko untuk menjual kebutuhan sehari-hari (Harnoko, 2013: 87).

c. Sarana Pendidikan Pada hakikatnya, perkembangan Salatiga

sejak tahun 1917 hingga menjelang pendudukan Jepang dapat dikatakan sebagai kota kolonial yang lengkap dengan berbagai fasilitas, termasuk pendidikan. Sarana pendidikan yang ada pada waktu itu didirikan dengan maksud untuk menampung ketiga golongan. Sekolah diusahakan oleh pemerintah Hindia Belanda maupun pihak swasta. Adapun secara rinci klasifikasi dan jumlah sekolah yang ada pada waktu itu dijelaskan dalam tabel berikut.

Gambar 3. Rumah Dinas Wali Kota Salatiga.Sumber: Katalog Arsip Foto Dinas Perpustakaan

dan Kearsipan Daerah Kota Salatiga.

Pada masa pemerintahan gemeente, kawasan di sekitar rumah dinas asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elit. Itulah sebabnya mereka seakan berlomba-lomba membangun rumah dengan arsitektur Eropa (Prakosa, 2017: 80). Selain di kawasan rumah dinas asisten residen, orang-orang kulit putih juga banyak yang bermukim di sekitar Alun-Alun Banjoebiroescheweg. Di sisi lain, orang-orang Tionghoa yang dianggap setara dengan warga Eropa mendapatkan kawasan pemukiman di sekitar ruas Soloscheweg, yang dikenal dengan nama Chinese Wijk. Seperti halnya dengan orang-orang Eropa, orang-orang Tionghoa pun membangun rumah mereka dengan bangunan permanen. Hanya saja, bedanya rumah mereka sekaligus menjadi tempat usaha. Dari sinilah dapat dikatakan bahwa sejak dulu kompleks pertokoan di Salatiga memang terpusat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman sekarang ini (Supangkat, 2012: 36).

115—127

Page 11: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

125

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Tabel 3. Jumlah Sekolah di Kota Salatiga Pada Masa Kolonial

No. Jenis Sekolah Nama Sekolah Jumlah

1.

2.

3.

4.

Sekolah Eropa

Sekolah Pribumi

Sekolah KejuruanSekolah Misi

Eerste Europeesche Lagere SchoolTweede Europeesche Lagere SchoolMeer Uitgebreid Lager OnderwijsHollandsch Inlandsche SchoolHollandsch Chinese SchoolTweede Klasse SchoolNormaalschoolKweekschool Kursus Guru Sekolah DesaInlandsche SchoolStandaard SchoolTionghoa Chu TioSekolah Guru Pribumi

1

1

13

15

11

1

1111

Sumber: Harnoko, dkk., (2006:118).

Pemerintah mendirikan Eerste Europeesche Lagere School yang berlokasi di Toentangscheweg dan Tweede Europeesche Lagere School di Blauran, sedangkan orang-orang Tionghoa dibangunkan Hollandsch Chinese School di Margosari. Selain itu, pemerintah juga membangun Normaalschool, Kweekschool, dan lima Tweede Klasse School dengan satu gedung Vervolgschool di Sinoman Tempel (Wuryani, 2008: 18).

Sekolah Misi didirikan di Salatiga karena pada tahun 1921--1930 puluhan penduduk pribumi telah memeluk agama Kristen dan Katolik, bahkan ada satu komunitas pimpinan A. Van Emmerick yang memiliki jemaah mencapai + 700 orang. Komunitas ini dinamakan dengan Witte Kruis atau salib putih (Wuryani, 2008: 18).

PENUTUP

Secara geografis, Salatiga terletak pada ketinggian antara 450--825 meter di atas permukaan air laut. Ada pun secara morfologi

Salatiga berada di daerah cekungan kaki Gunung Merbabu dan gunung-gunung kecil, yaitu Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Payung, dan Gunung Rong. Selain itu, Salatiga juga berada pada persilangan jalan raya lima jurusan, yaitu Semarang, Bringin, Surakarta, Magelang, dan Ambarawa. Salatiga terdiri atas delapan desa yang diambilkan dari wilayah asistenan, yaitu sebagian besar Desa Sidorejo Lor, sebagian besar Desa Krajan, sebagian besar Desa Kutowinangun, seluruh Desa Kalicacing, separuh Desa Mangunsari, sebagian kecil Desa Gedongan, sebagian kecil Desa Tegalrejo, dan sebagian kecil Desa Legok.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, status Salatiga sebagai kotapraja telah diterangkan melalui Staatsblad No. 266 Tahun 1917. Salah satu faktor pendukung dari pemberian status gemeente tersebut adalah tuntutan orang-orang Eropa kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan pelaksanaan desentralisasi. Hal ini disebabkan karena perkebunan yang menjadi sektor strategis pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Eropa. Jabatan-jabatan penting dalam perkebunan dipegang oleh mereka, sehingga demi kelancaran pekerjaannya para pendatang ini menuntut agar Salatiga ditetapkan sebagai gemeente. Keberadaan perkebunan-perkebunan di Salatiga dan sekitarnya memang menjadi pendorong utama pesatnya pertumbuhan orang kulit putih saat itu.

Agar dapat berjalan dengan baik, struktur pemerintahan Gemeente Salatiga dipimpin oleh burgermeester dan dibantu oleh gemeenteraad yang ditunjuk langsung oleh gubernur jenderal. Pada saat itu, jabatan burgermeester dirangkap oleh asisten residen, sedangkan struktur organisasi dalam gemeente itu memiliki komposisi, yaitu orang kulit putih pada jabatan staf walikota dan paling banyak menduduki jabatan penentu kebijakan serta orang timur asing dan pribumi menduduki jabatan tingkat kelurahan.

Sumber daya ekonomi pemerintah Hindia-Belanda dalam menjalankan administrasi

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy

Page 12: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

126

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pemerintahan gemeente diperoleh melalui pendapatan dari pajak tanah, pajak tontonan, pajak reklame, izin mendirikan tempat tinggal, dan izin kegiatan usaha ekonomi. Pemerintahan gemeente melakukan berbagai pembangunan di Salatiga, sekaligus memperkenalkan berbagai fasilitas umum yang belum ada dan belum pernah dikenal sebelumnya oleh penduduk pribumi.

DAFTAR PUSTAKA

ANRI, Staatsblad No. 266 tanggal 25 Juni 1917.ANRI, Staatsblad No. 35 tanggal 13 Februari

1895.Darmiati, et al. 1999. Otonomi Daerah di Hindia

Belanda (1903--1940). Jakarta: CV. Sejahtera.

De Locomotief, 1919.Fotografi. Het Zwembad van Kalitaman te

Salatiga, Midden-Java, 1928. Tropen-museum. Diakses tanggal 16 Oktober 2019.

Gottschalk, Louis. 2006. Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Hadi, Sutrisno. 1998. Metodologi Riset. Yogyakarta: Andi Offset.

Handjojo, M.S. 1978. Riwayat Kota Salatiga. Salatiga: Sechan Press.

Harnoko, Darto. 2013. Pembangunan Infra-struktur Salatiga Pada Masa Gemeente Awal Abad XX. Patra Widya 14 (1), hlm. 75-98.

Jamie, James. 2011. Rimbaud in Java. Singa-pore: Didiet Miller Pte. Ltd.

Kartoatmadja, et al. 1995. Hari Jadi Kota Salatiga 24 Juli 750. Salatiga: Pemerintah Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga.

Kartodirdjo, Sartono, et al. 1977. Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Tengah). Yog-yakarta: Gadjah Mada University Press.

Karyono. 2005. Kota Salatiga: Studi Tentang Pengembangan Kota Kolonial 1917-1942. Paramita: Jurnal Pengembangan Sejarah 15 (1), hlm. 20--35.

Kuntowidjojo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

________. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Maharani, Lutvia. 2009. Pengambilalihan Kota Salatiga dari Kekuasaan Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1945--1950. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Makkelo, Ilham Daeng. 2017. Sejarah Perko-taan: Sebuah Tinjauan Historiografis dan Tematis. Lensa Budaya 12 (2), hlm. 83-101.

Monks, F.J. 2001. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mustika, Pradipta Pandu dan Bitta Pigawati. 2014. Kajian Arah dan Perkembangan Ko-ta Salatiga. Geoplanning 1 (1), hlm. 1--12.

Myengkyo, Seo. 2013. State Management of Religion in Indonesia. New York: Routledge Religion in Contemporary Asia Series.

Oemar, Mohammad, et al. 1978. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Prakosa, Abel Jatayu. 2017. Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917--1942. Semarang: Sinar Hidoep.

Prayogo, Aprian. 2017. Sejarah Salatiga (Dari Kota Militer Hingga Kota Pengepul Hasil Bumi Tahun 1746--1917. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Purnomo, Daru, et al. 2015. Kajian Pemekaran Kota Salatiga. Salatiga: Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana.

Santosa, Iwan dan Jean Rocher. 2013. Sejarah Kecil Indonesia-Perancis 1800-2000. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Santoso, Jo. 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Centropolis.

115—127

Page 13: ADMINISTRASI PEMERINTAHAN GEMEENTE DI SALATIGA 1917 …

127

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Supangkat, Eddy. 2012. Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.

________. 2015. New Galeria Salatiga. Salatiga: Griya Media.

Sjamsudin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Tjahjono, Baskoro Daru. 2011. Mencari Identitas Kota Salatiga: Nuansa Kolonial di Antara Bangunan Modern. Berkala Arkeologi Sangkhakala 14 (2), hlm. 197--211.

Wawancara. Agustinus Darto Harnoko. Yogya-karta, 14 Januari 2019.

Widya, Y.C. 1979. Perkembangan Fungsi Kota Salatiga dalam Abad XX. Salatiga: UKSW.

Wiratama, Danang Adi. 2018. Perancangan Identitas Visual Kota Salatiga Sebagai Kota Multikultur dan Toleran. ARS: Jurnal Seni Rupa dan Desain 21 (3), hlm. 1--17.

Wuryani. 2008. Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya.

Administrasi Pemerintahan Gemeente ... Fandy