acutely ill
DESCRIPTION
-TRANSCRIPT
ACUTELY ILL INFECTED FEBRILE PATIENT
Oleh : dr. Hardjo Prawira
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Perjan Dr. Hasan Sadikin
Bandung
2002
Pada makalah ini akan dibahas presentasi klinik dan
pendekatan terhadap penderita dengan penyakit-penyakit infeksi
yang relatif sering dan sifatnya emergensi.
PERTIMBANGAN UMUM
Penampilan Penderita Walaupun anamnesis penderita
belum diperoleh dan pemeriksaan fisik belum dilakukan, penilaian
segera keadaan umum penderita memberikan informasi yang
berharga. Perasaan perseptif subjektif dokter bahwa pasiennya septik
atau toksis seringkali terbukti secara akurat. Penderita febris yang
tampak agitasi dan ansietas dapat merupakan petanda penyakitnya
kritis.
2
Anamnesis Gejala yang tampak seringkali non-spesifik.
Diperlukan pertanyaan mendetail tentang onset dan lamanya gejala,
serta teatang perubahan dalam beratnya atau kecepatan progresi
penyakitnya. Faktor host dan keadaan komorbid dapat meningkatkan
resiko infeksi oleh organisme tertentu atau keadaan yang lebih
fulminan dari biasa. Tidak berfungsinya limpa, alkoholisme dengan
penyakit hati yang nyata, pengguna obat-obatan i.v., infeksi HIV,
diabetes, keganasan, dan kemoterapi, semuanya ini mempredisposisi
terjadinya infeksi spesifik dan sering lebih berat. Kepada penderita
harus ditanyakan tentang faktor-faktor yang dapat membantu
identifikasi nidus infeksi invasif, seperti : ISPA bagian atas yang baru
terjadi, influenza, atau varicella; trauma sebelumnya; terganggunya
barier kulit akibat laserasi, luka bakar, pembedahan, atau dekubitus;
dan adanya benda asing seperti nasal packing pasca rhinoplasti,
kontrasepsi barrier, tampon, fistula arteriovenosa, atai sendi
prostetik.
Riwayat perjalanan, kontak dengan hewan peliharaan/hewan
lain, atau akivitas yang memungkinkan paparan dengan kutu, dapat
mengarahkan diagnosis.
Intake makanan belakangan ini, penggunaan obat-obatan, kontak
sosial dengan orang sakit, riwayat vaksinasi, dan riwayat menstruasi,
dapat relevan.
Review dari sistem-sistem harus berpusat pada tanda-tanda
neurologis atau perubahnan sensorium, ruam atau lesi kulit, dan nyeri
fokal, serta juga harus mencakup gejala-gejala respirasi,
gastrointestinal, dan genitourinary. Khususnya penting untuk
menentukan lamanya dan progresi gejala untuk menilai langkah dan
urgensi proses tsb.
3
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik lengkap harus
dikerjakan, dengan perhatian khusus pada beberapa daerah yang
kadangkala terlewati pada pemeriksaan rutin. Penilaian keadaan
umum penderita dan tanda-tanda vital, pemeriksaan kulit dan
jaringan lunak, serta evaluasi neurologik memiliki kepentingan
khusus. Penderita dapat tampak gelisah dan agitasi, atau lethargic
dan apatis. Demam biasanya ada; namun pada lansia dan penderita
yang compromised, seperti penderita uremia atau sirosis, dan
penderita yang mendapatkan glukokortikoid atau NSAID, dapat
afebris walaupun infeksinya serius. Pengukuran tekanan darah,
denyut jantung, dan frekuensi pernafasan, membantu menentukan
derajat toleransi hemodinamik dan metabolic. Jalan nafas penderita
harus dievaluasi untuk menyingkirkan resiko obstruksi dari infeksi
orofaring yang invasif.
Diagnosis etiologik dapat menjadi jelas dalam konteks
pemeriksaan kulit yang teliti. Ruam petekhiae secara tipikal terlihat
pada meningokoksemia atau Rocky Mountain spotted fever (RMSF);
eritroderma biasanya karena toxic shock syndrome (TSS) dan demam
akibat obat.
Pemeriksaan jaringan lunak dan otot amat penting. Daerah yang
eritem atau kehitaman, edema, dan nyeri, dapat menunjukkan
necrotizing fasciitis, miositis, atau mionekrosis. Pemeriksaan
neurologis harus mencakup penilaian status mental yang hati-hati
terhadap tanda-tanda ensefalopati dini. Harus dicari kaku kuduk atau
penemuan neurologis fokal. Penemuan fokal, menurunnya status
mental, atau edema papil, harus dievaluasi dengan pencitraan otak
sebelum pungsi lumbal dimana pada keadaan ini dapat terjadi
herniasi.
4
PRESENTASI SPESIFIK
Untuk kebanyakan infeksi, terdapat saat untuk evaluasi hati-
hati, uji diagnostik, dan konsultasi dengan dokter lain. Namun infeksi-
infeksi yang dibahas di bawah ini menurut presentasi klinisnya dapat
dengan cepat berakibat buruk, dan pengenalan yang cepat dapat
bersifat life-saving.
SEPSIS TANPA FOKUS INFEKSI PRIMER YANG JELAS
Penderitanya pada awalnya mengalami prodromal singkat
dengan gejala-gejala & tanda-tanda non-spesifik yang progresif
dengan cepat menjadi keadaan hemodinamik tidak stabil dengan
adanya hipotensi, takikardi, takipnea, atau distress pernafasan.
Penderita dapat menunjukkan perubahan status mental. DIC dengan
bukti klinis diatesis hemoragis merupakan tanda prognostik buruk.
Syok Septik Penderita dengan bakteriemia yang menjadi syok
septik dapat memiliki tempat infeksi primer (seperti : pneumonia,
pielonefritis, atau kolangitis) yang pada awalnya tidak tampak.
Penderita lansia dengan kondisi komorbid, penderita compromised
dengan adanya keganasan dan netropenia, atau penderita yang baru
mengalami operasi atau dirawat di RS merupakan penderita yang
resikonya bertambah. Bakteriemia Gram (-) dengan organisme seperti
Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophila, atau Escherichia
coli dan infeksi Gram (+) oleh organisme seperti Staphylococcus
aureus atau Streptococcus grup A dapat bermanifestasi sebagai
hipotensi yang sulit diatasi dan kegagalan multi organ. Terapi
biasanya dimulai secara empiris berdasarkan presentasi klinisnya.
Tabel hlm 802
5
Infeksi masif pada penderita asplenik Penderita tanpa
fungsi limpa beresiko mengalami sepsis bakterial yang masif.
Penderita asplenik jatuh sepsis 600 kali populasi pada umumnya; 50-
70% kasus terjadi dalam 2 tahun pertama setelah splenektomi,
dengan mortalitas sampai 80%. Namun pada individu asplenik,
meningkatnya resiko untuk sepsis masif berlanjut seumur hidup. Pada
asplenia, bakteri encapsulated menjadi penyebab sebagian besar
infeksi, dan orang dewasa memiliki resiko yang lebih rendah
dibandingkan anak-anak karena mereka lebih mungkin telah
mempunyai antibody terhadap organisme ini. Infeksi Infeksi
Streptococcus pneumonia merupakan yang tersering, tetapi resiko
untuk infeksi oleh Haemophilus influenzae atau Neisseria meningitidis
juga tinggi. Manifestasi klinis yang berat oleh infeksi E. coli, S.
aureus, Streptococcus grup B, P. aeruginosa, Capnocytophaga,
Babesia, dan Plasmodium.
BabesiosisRiwayat baru melakukan perjalanan ke daerah
endemis harus meningkatkan kemungkinan infeksi Babesia. Antara 1-
4 minggu setelah gigitan kutu, penderita menggigil, kelelahan,
anoreksia, mialgia, arthralgia, mual, dan sakit kepala; ekimosis
6
&/ petekhiae kadang-kadang terlihat. Kutu tsb. tersering
mentranmisikan Babesia, Ixodes scapularis, juga mentransmisikan
Borrelia burgdorferi (agen penyakit Lyme), dan Erlichia, serta ko-
infeksi dapat terjadi , mengakibatkan penyakit yang lebih parah.
Infeksi oleh spesies Eropa Babesia divergens lebih sering fulminan
dibandingkan spesies Amerika B.microti, menyebabkan sindrom
demam dengan hemolisis, ikterus, hemoglobinemia, dan gagal ginjal,
serta mortalitasnya >50%. Babesiosis yang berat khususnya sering
pada penderita asplenik tetapi juga dapat terjadi pada penderita
dengan fungsi limpa yang normal.
Sindroma sepsis lainnya Tularemia dijumpai di
Amerika, secara primer di Arkansas, Oklahoma, & Missouri,
berhubungan dengan kontak terhadap kelinci, kutu, dan lalat tabanid.
Bentuk tifoidal yang tidak lazim dapat berhubungan dengan syok
septic Gram (-) dan mortalitasnya >30%. Di Amerika, wabah
ditemukan setelah kontak dengan tupai tanah, anjing liar. Bentuk
septiknya jarang dan berhubungan dengan syok, kegagalan multi
organ, dan angka mortalitas 30%. Infeksi yang jarang ini harus
dipertimbangkan sesuai latar belakang epidemiologiknya.
SEPSIS DENGAN MANIFESTASI KULIT
Ruam makulopapular dapat menggambarkan penyakit
meningococcal dini atau penyakit riketsia tetapi biasanya
berhubungan dengan infeksi yang non-emergent. Eksantema biasanya
karena virus.
Petekhiae Ruam petekhiae yang disebabkan virus jarang
berhubungan dengan hipotensi atau keadaan toksik, walaupun
campak yang berat dapat menjadi perkecualian. Pada keadaan lain,
ruam petekhiae memerlukan perhatian segera.
Meningococcemia Hampir ¾ penderita dengan bakteriemia
karena infeksi N.meningitidis mengalami ruam. Meningococcemia
7
paling sering mengenai anak kecil (6 bulan-5 tahun, sering rawat
jalan). Namun, kasus sporadik dan KLB terjadi di sekolah-sekolah
(sekolah menengah sampai universitas) dan barak tentara. 10-20%
dari semua kasus bersifat fulminan, dengan syok, DIC, dan kegagalan
multi organ. 50-60% penderita meninggal, dan yang bertahan sering
memerlukan debridemen ekstensif atau amputasi ekstremitas yang
gangren. Penderita dapat demam, sakit kepala, mual, muntah,
mialgia, perubahan status mental, dan meningismus. Namun, bentuk
penyakit yang cepat progresif tidak biasanya berhubungan dengan
meningitis. Ruam awalnya merah muda, memucat, dan
makulopapular, terlihat di badan dan ekstremitas, tetapi lalu menjadi
hemoragis, membentuk petekhiae. Petekhiae pertama terlihat di
tumit, pergelangan tangan, aksila, permukaan mukosa, konjungtiva
palpebra & bulbi, dengan penyebaran selanjutnya ke ekstremitas
bawah dan badan. Petekhiae berkelompok dapat terlihat pada tempat-
tempat tekanan mis. di mana manset tekanan darah dikembangkan.
Pada meningococcemia yang progresif cepat, ruam petekhiae cepat
menjadi purpura dan penderita mengalami DIC. Hipotensi dengan
petekhiae <12 jam berhubungan dengan mortalitas yang bermakna.
Mortalitas dapat >90% pada penderita tanpa meningitis, yang
mengalami ruam, hipotensi, hitung leukosit dan LED normal/rendah.
Prognosis yang lebih baik telah dilaporkan pada kasus dimana
antibiotik sudah diberikan oleh dokter yang pertama menangani
sebelum penderita tiba di RS. Ini menunjukkan terapi dini dapat
bersifat life-saving.
Rocky Mountain spotted fever RMSF terjadi Amerika.
Sering terdapat riwayat gigitan kutu, namun bila tidak ada, riwayat
perjalanan atau aktivitas outdoor (camping di daerah tempat kutu
tsb.) dapat diperoleh. RMSF disebabkan oleh Rickettsia rickettsii.
Dalam 3 hari pertama, terdapat sakit kepala, demam, malaise,
mialgia, mual, muntah, dan anoreksia. Sejak hari ke-3, pada ½
8
penderitanya terdapat kelainan kulit. Awalnya timbul makula pucat
pada pergelangan tangan dan siku, lalu menyebar sepanjang tungkai
bawah dan badan. Lesi menjadi hemoragik dan sering berupa
petekhiae. Sealanjutnya ruam menyebar ke telapak tangan dan
telapak kaki. Penyebaran sentripetal merupakan gambaran klasik
RMSF. Namun pada 10-15% penderitanya tidak pernah timbul ruam.
Penderita dapat hipotensif, dan mengalami edema paru non
kardiogenik, konfusi, letargi, dan ensefalitis yang berlanjut menjadi
koma. LCS mengandung 10-100sel/µL, dengan sel mononuclear
predominan. Kadar glukosa LCS sering normal; kadar protein dapat
sedikit meningkat. Injury pada ginjal dan hati, serta perdarahan
sekunder akibat kerusakan pembuluh darah pernah dilaporkan.
Infeksi yang tidak diobati memiliki angka mortalitas 30%.
Purpura Fulminan Ini merupaka manifestasi kulit DIC dan
tampak sebagai daerah ekimosis luas dan bulla hemoragis. Progresi
petekhiae menjadi purpura dan ekimosis berhubungan dengan gagal
jantung kongestif, syok septic, gagal ginjal akut, asidosis, hipoksia,
hipotensi, dan kematian. Purpura fulminan secara primer
berhubungan dengan N. meningitidis, tetapi pada penderita pasca
splenektomi dilaporkan berhubungan dengan S. pneumoniae dan H.
influenzae.
Ektima gangrenosum Syok septik disebabkan oleh P.
aeruginosa dan A. hydrophila dapat berhubungan dengan ektima
gangrenosum; vesikel-vesikel hemoragis dikelilingi lingkaran eritema
dengan nekrosis sentral dan ulserasi. Bakteriemi Gram (-) ini paling
sering mengenai penderita dengan netropenia, luka bakar luas,
hipogammaglobulinemia.
Infeksi emergent lainnya yang berhubungan dengan ruam
Infeksi bakteri-emi Vibrio vulnificus dan Vibrio non-kolera lainnya
dapat menyebabkan lesi kulit fokal dan sepsis yang parah pada
penderita dengan penyakit hati. Setelah memakan kerang yang
9
terkontaminasi, timbul malaise, menggigil, demam, dan hipotensi
dengan onset mendadak. Pada penderita timbul lesi kulit bulosa atau
hemoragis, biasanya pada ekstremitas bawah, dan 75% penderitanya
mengeluh nyeri pada tungkai. Angka mortalitas dapat mencapai 50%.
Capnocytophaga canimorsus dapat menyebabkan syok septic pada
penderita asplenik. Infeksi oleh batang gram negatif ini secara tipikal
timbul setelah gigitan anjing, berupa demam, menggigil, mialgia,
muntah, diare, dispnu, konvulsi, dan sakit kepala. Penemuan klinis
dapat berupa eksantema atau eritema multiforme, bintik-bintik
sianosis atau sianosis perifer, ptekie, dan ekimosis. Sekitar 30%
penderitanya dengan bentuk fulminan ini meninggal akibat sepsis
yang parah dan DIC, dan yang bertahan hidup dapat memerlukan
amputasi untuk mengobati gangrennya.
Eritroderma Toksik syok sindrom biasanya dihubungkan
dengan eritroderma. Penderita mempunyai gejala : demam, malaise,
mialgia, nausea, vomitus, diare, dan konfusi. Ruam ini merupakan tipe
seperti terbakar matahari, yang dapat tidak kentara dan tidak
lengkap, tetapi biasanya difus, dan ditemukan di wajah, badan, dan
ekstremitas. Eritroderma dengan deskwamasi setelah 1-2 minggu,
lebih sering berhubungan dengan TSS akibat Stafilokokus dibanding
dengan yang berhubungan dengan Streptokokus. Hipotensi terjadi
cepat setelah onset gejala, seringkali dalam hitungan jam. Tampak
kegagalan multiorgan. Seringkali tidak ada indikasi untuk infeksi
fokal primer. Kolonisasi dari pada infeksi yang tersembunyi di vagina
atau luka post operatif tipikal untuk TSS Stafilokokal dan area mukosa
tampak hiperemis tetapi tidak terinfeksi. Gagal ginjal dini dapat
membedakan sindroma ini dengan sindroma syok septic lainnya.
Evaluasi klinis berperan dalam menegakkan diagnosis karena TSS
didefinisikan oleh criteria klinis, demam, hipotensi, dan keterlibatan
multiorgan. Angka mortalitas 5% untuk TSS yang berhubungan
10
dengan menstruasi, 10-15% untuk TSS yang nonmenstrual, 30-70%
untuk TSS Streptokokal.
SEPSIS DENGAN FOKUS PRIMER JARINGAN LUNAK/OTOT
Nekrotizing Fasciitis Infeksi ini dapat meningkat pada tempat
dimana ada trauma minimal atau incisi post operatif dan dapat juga
berhubungan dengan varicela yang baru saja terjadi, saat partus atau
regangan otot. Penyebab paling sering adalah Streptokokus grup A
saja dan campuran flora fakultatif dan anaerobic. DM, penyakit
vascular perifer, dan pengguna obat intravena merupakan factor
resiko yang berhubungan. Penggunaan NSAID sebaliknya
mempengaruhi kemotaksis granulosit, fagositosis, dan daya bunuh
bakteri, sehingga memungkinkan progresi infeksi kulit atau jaringan
lunak. Penderita dapat mengalami bakteremi dan hipotensi tanpa
kegagalan sistim organ lain. Penemuan fisiknya minimal dibandingkan
beratnya nyeri dan derajat demam. Pemeriksaan sering tidak jelas
kecuali edema jaringan lunak dan eritema. Areal yang terinfeksi
tampak merah, panas, mengkilap, bengkak, dan agak nyeri. Pada
infeksi yang tidak diobati kulit menjadi biru keabu-abuan setelah 36
jam, dan bula kutaneus dan nekrosis timbul setelah 3-5 hari.
Nekrotizing fasciitis akibat dari flora campuran, tetapi yang bukan
karena Streptokokus grup A, dapat berhubungan dengan produksi
gas. Tanpa pengobatan, nyeri berkurang karena trombosis pembuluh
darah kecil dan destruksi saraf perifer, suatu tanda yang tidak baik.
Angka mortalitas lebih dari 30%, lebih dari 70% yang berhubungan
dengan TSS, dan hampir 100% tanpa intervensi bedah. Nekrotizing
fasciitis yang mengancam nyawa dapat juga terjadi akibat Clostridium
Perfringens; pada keadaan ini penderita tampak toksik dan
mortalitasnya tinggi. Dalam 48 jam, invasi jaringan cepat dan
toksisitas sistemik terjadi berhubungan dengan hemolisis dan dapat
11
terjadi kematian. Perbedaan antara nekrotizing fasciitis dan
klostridial mionekrosis dibuat dengan biopsy otot.
Clostridial myonecrosis Myonecrosis sering berhubungan
dengan trauma atau pembedahan tetapi dapat juga terjadi spontan.
Masa inkubasi biasanya antara 12-24 jam, gangren nekrotik masif
terjadi dalam beberapa jam setelah onset. Toksisitas sistemik, syok,
dan kematian terjadi dalam 12 jam. Nyeri pada penderita yang
kelihatan toksik diluar hal yang sebenarnya yang dapat ditemukan
oleh dokter. Pada pemeriksaan, penderita tampak febris, apatis,
takikardi, dan takipnu, serta dapat menampakkan perasaan seperti
akan meninggal. Hipotensi dan gagal ginjal timbul kemudian dan
kewaspadaan yang berlebihan terjadi sebelum meninggal. Kulit pada
daerah yang terkena berwarna coklat tembaga, berbintik-bintik dan
edematous. Lesi bulosa dengan drainase serosanguinus dan bau tikus
atau bau manis dapat terjadi. Krepitus dapat terjadi sekunder
terhadap produksi gas pada jaringan otot. Mortalitasnya > 65% pada
myonecrosis spontan, yang sering berhubungan dengan C. septikum
dan keganasan yang mendasari. Angak kematiannya berhubungan
dengan infeksi pada badan dan tungkai masing-masing sebesar 63%
dan 12%, dan keterlambatan terapi bedah meningkatkan resiko
kematian.
INFEKSI NEUROLOGIS DENGAN ATAU TANPA SYOK SEPTIK
Meningitis bakterial merupakan salah satu infeksi yang
paling sering, sifatnya emergensi, melibatkan SSP. Walaupun
penderita dengan defisiensi imun cell mediated, meliputi resipien
transplan, DM, lansia, keganasan, diobati dengan agen
kemoterapeutik tertentu, tetap memiliki resiko untuk terkena
meningitis Listeria monocytogenes, kebanyakan kasus pada dewasa
disebabkan oleh Streptokokus pneumoni (30-50%) dan Neisseria
meningitidis (10-35%). Presentasi awal berupa sakit kepala,
12
meningismus, dan demam adalah klasik tetapi hanya terlihat separuh
dari penderitanya. Lansia dapat tidak disertai demam atau tanda
meningeal kecuali letargi dan konfusi. Disfungsi otak dibuktikan
dengan adanya konfusi, delirium dan letargi yang dapat berlanjut
menjadi koma. Presentasinya fulminan dengan sepsis dan edema otak
pada beberapa kasus; papil edema tidak biasa. Tanda-tanda fokal,
termasuk kelumpuhan saraf cranial (IV,VI,VII) dapat terlihat pada 10-
20% kasus; 50-60% penderita mengalami bakteremi. Akibat
neurologik yang parah berhubungan dengan, pada sembarang waktu
selama kejadian penyakitnya atau dengan kadar glukosa LCS kurang
dari 10 mg/dl. Mortalitas berhubungan dengan, distress pernafasa,
syok, kadar protein LCS > 2,5 gr/l, hitung lekosit darah perifer
<5000/µl, dan kadar sodium serum <135 mmol/l.
Infeksi supuratif intrakranial Lesi intrakranial yang jarang
lainnya yang timbul dengan sepsis dan instabilitas hemodinamik
adalah empiema subdural, trombosis septic sinus kavernosus, dan
trombosis septic sinus sagitalis superior. Pengenalan yang cepat dari
penderita yang toksik dan tanda-tanda neurologis sentral amat
penting untuk memperbaiki prognosis penderita.
Empiema subdural Infeksi asenden dari sinus paranasal
pada 60-70% kasus. Streptokokus mikroaerofilik dan Stafilokokus
merupakan etiologi predominan. Pasien tampak toksik dengan
demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Dari semua pasien, 75%
memiliki tanda-tanda fokal dan 6-20% meninggal.
Trombosis septic sinus kavernosus Kondisi ini terjadi
setelah infeksi pada wajah atau sinus sphenoid; 70% kasusnya akibat
Stafilokokus dan sisanya Streptokokus aerobik atau anaerobic. Sakit
kepala unilateral atau retroorbital berlanjut menjadi keadaan toksik
dan demam dalam hitungan hari. Tiga perempat pasien mengalami
edema periorbital unilateral yang kemudian menjadi bilateral dan
13
berlanjut menjadi ptosis, proptosis, oftalmoplegia, dan papil edema.
Angka mortalitasnya kira-kira 30%.
Trombosis septic sinus sagitalis superior Infeksi menyebar
dari sinus etmoidalis atau maksilaris penyebabnya meliputi S.
pneumoni, Streptokokus lainnya, dan Stafilokokus. Kejadian yang
fulminan ditandai oleh sakit kepala, mual, muntah, progresi cepat
kearah konfusi dan koma, kaku kuduk, dan tanda-tanda batang otak.
Bila trombosis total angka mortalitas 80%.
Abses otak Sering terjadi tanpa tanda-tanda sistemik.
Hampir separuh dari penderitanya afebris, dan presentasinya lebih
konsisten dengan SOL dalam otak; 70% sakit kepala, 50% tanda
neurologis local, dan 25% mengalami papil edema. Abses dapat
tampak sebagai lesi single atau multiple yang berasal dari penyebaran
focus atau infeksi hematogen, seperti endokarditis yang tidak
terdeteksi. Infeksi progress dalam beberapa hari dari serebritis
menjadi abses dengan kapsul yang matang. Abses yang timbul
hematogen khususnya mungkin ruptur kedalam ruang ventrikuler,
menyebabkan deterioriasi status klinis yang tiba-tiba dan berat serta
mortalitas tinggi. Bila mortalitas rendah, namun morbiditas tinggi (30-
55%). Pasien dengan stroke dan dengan fokus infeksi para meningeal,
seperti sinusitis dan otitis, dapat mengalami abses otak. Prognosis
memburuk pada pasien dengan kejadian yang fulminan, diagnosis
yang terlambat, ruptur abses kedalam ventrikel, abses multiple, atau
status neurologis abnormal.
Malaria serebral Harus dipertimbangkan bila penderita
baru-baru ini bepergian kedaerah endemis malaria kemudian
menderita demam dan letargi atau tanda-tanda neurologis lainnya.
Malaria fulminan disebabkan oleh Plasmodium falsifarum dan suhu
penderita >40oC dan terdapat hipotensi, ikterus, ARDS, dan
perdarahan. Perdefinisi, pasien dengan perubahan status mental atau
kejang berulang, pada malaria fulminan, mengalami malaria serebral
14
pada orang dewasa demam nonspesifik ini menjadi koma dalam
beberapa hari; kadang-kadang terjadi dalam hitungan jam dan
kematian dalam 24 jam. Kaku kuduk dan fotofobi jarang terjadi. Pada
pemeriksaan fisik ensefalopati simetris tipikal, dan disfungsi motor
neuron bagian atas dengan dekortikasi dan deserebrasi dapat terlihat
pada penyakit yang lanjut. Infeksi yang tidak dikenali menyebabkan
angka kematian sebesar 30%.
Abses spinal epidural Penderita dengan abses spinal epidural
sering mengalami nyeri punggung dan muncul defisit neurologis pada
keadaan lanjut. Penderita beresiko meliputi: penderita DM, pengguna
obat intravena, trauma spinal yang baru terjadi, pembedahan, atau
anestesia epidural; keadaan komorbiditas, seperti infeksi HIV.
Vertebra torasik atau lumbalis merupakan lokasi yang paling sering,
dan etiologi yang paling sering adalah Stafilokokus. Pada pasien
pengguna obat IV. Yang terinfeksi HIV, terapi harus dapat mengkover
batang gram negatif dan S. aureus resisten meticillin. Bila penderita
memiliki riwayat nyeri punggung sebelumnya dan mengalami gejala
neurologis baru-baru ini, diagnosis ini harus dipertimbangkan dengan
segera. Hampir 60% penderita mengalami demam dan hampir 90%
mengalami nyeri punggung. Parestesia, disfungsi usus dan kandung
kemih, nyeri radikuler, dan kelemahan merupakan keluhan neurologis
yang sering, dan pemeriksaan penderita dapat menunjukkan refleks
abnormal dan defisit motorik dan sensorik. Pengenalan yang dini dan
pengobatan meliputi: drainase segera, dapat mencegah atau
meminimalkan sekuele neurologik yang permanen.
FOKAL SINDROM DENGAN KEJADIAN FULMINAN
Infeksi sebenarnya mengenai berbagai focus primer
(osteomielitis, pneumonia, pielonefritis, atau kolangitis) dapat
berakibat sepsis dan bakteremi. TSS dihubungkan dengan infeksi
fokal seperti: arthritis septic, peritonitis, sinusitis, dan infeksi luka.
15
Kematian terjadi sekunder terhadap septic syok atau produksi toksin
dengan instabilitas hemodinamik dan kegagalan multiorgan.
Deteriorasi klinik yang cepat dan kematian dapat berhubungan
dengan destruksi tempat infeksi primer, seperti terlihat pada
endokarditis dan infeksi necrotizing pada oro faring.
Mukormikosis rhinoserebral Pasien dengan DM atau
keganasan mempunyai resiko untuk terkena mukormikosis
rhinoserebral invasive. Pasien tampak demam ringan, nyeri sinus
yang tumpul, diplopia, penurunan status mental, berkurangnya
gerakan mata, kemosis, proptosis, dan lesi palatum durum yang
nekrotik. Tanpa pengenalan yang cepat dan intervensi proses
berlanjut menjadi tidak dapat ditawar-tawar invasive dan
mortalitasnya tinggi.
Endokarditis bakterialis akut Kejadiannya lebih agresif
dibandingkan endokarditis subakut. Bakteri seperti S. aureus, S.
pneumonia, L. monocytogenes, Haemophilus spp; dan Streptokokus
grup A, B, dan G, menyerang katup asli. Mortalitas 10-40%. Penderita
dapat memiliki keadaan komorbid seperti keganasan, DM, pengguna
obat intravena, atau alcoholism. Penderita tampak demam, kelelahan,
dan malaise, <2 minggu setelah onset infeksi. Pada pemeriksaan fisik
murmur yang bergantian dan gagal jantung kongestif dapat terjadi.
Macula hemoragik pada telapak kanan dan telapak kaki (lesi
Janeway). Kadang-kadang terjadi ptekie, bintik Roth’s, perdarahan
tersendiri, dan splenomegali tidak biasa terjadi. Destruksi katup yang
cepat, khususnya katup aorta, menyebabkan edema paru dan
hipotensi. Abses miokardial dapat terbentuk mengikis septum atau
kedalam sistem konduksi dan menyebabkan aritmia yang mengancam
nyawa atau blok konduksi tingkat tinggi. Vegetasi besar yang rapuh
dapat menyebabkan emboli arterial mayor, infeksi metastatik atau
infark jaringan. Emboli dapat menyebabkan stroke, perubahan status
mental, gangguan penglihatan, afasia, ataksia, sakit kepala,
16
meningismus, abses otak, serebritis, infark medulla spinalis dengan
paraplegia, athralgia, osteomielitis, abses limpa, arthritis septic, dan
hematuria. Intervensi cepat amat penting untuk keberhasilan terapi.
TINDAK LANJUT DIAGNOSTIK
Setelah penilaian klinis yang cepat bahan diagnostik harus
diperoleh dengan cepat dan terapi antibiotik serta suportif harus
dimulai. Pada sindroma sepsis, darah (untuk kultur; hitung darah
lengkap dengan diferensial; pengukuran elektrolit serum, BUN,
kreatinin serum dan glukosa serum; serta tes fungsi hati) dapat
diperoleh pada saat dipasang infus dan sebelum diberikan antibiotik.
Untuk penderita dengan kemungkinan endokarditis akut, tiga set
kultur darah harus diambil. Penderita asplenik harus diperiksa hapus
darah tepi untuk konfirmasi adanya Howell-Jolly bodies
(mengindikasikan tidak berfungsinya limfa) dan Buffy coat yang
diperiksa untuk bacteria; penderita ini dapat memiliki lebih dari 106
organisme per ml darah (dibandingkan 104 per ml pada pasien dengan
limpa yang utuh). Hapus darah untuk penderita dengan kemungkinan
malaria serebral atau babesiosis harus diperiksa untuk diagnostik
dan menentukan kwantitas parasitemia. Hapus darah juga dapat
menjadi alat diagnostik pada ehrlichiosis.
Pasien dengan meningitis harus diambil LCSnya sebelum terapi
antibiotik dimulai. Bila tanda neurologis fokal tampak, status mental
abnormal, papil edema tampak sebelum pungsi lumbal, antibiotik
harus diberikan mendahului imaging tetapi setelah darah untuk kultur
diambil. Bila kultur LCS negatif pemeriksaan LCS dengan aglutinasi
lateks atau imunopresipitasi dapat diusahakan untuk menegakkan
diagnosis etiologic. Namun kultur darah akan menegakkan diagnosis
pada 50-70% kasus.
Abses fokal mengharuskan CT segera atau MRI sebagai bagian
dari evaluasi untuk intervensi bedah. Prosedur diagnostik lainnya
17
seperti kultur luka atau kerokan lesi kulit, sebaiknya tidak menunda
pemberian terapi inisial lebih dari beberapa menit. Setelah evaluasi
dibuat, prosedur diagnostik dan kalau perlu konsultasi bedah
dilengkapi, uji laboratorium lainnya dapat dikerjakan. Radiografi yang
sesuaim CT aksial, MRI, urinalisis, LED, dan ekokardiografi
transtorasik atau transesofagial, seluruhnya ini dapat membantu
untuk menegakkan diagnostik.
TERAPI
Tabel dihalaman berikut merupakan terapi lini pertama untuk
infeksi-infeksi yang disebutkan pada bab ini. Sebagai tambahan terapi
antibiotik parenteral inisiasi beberapa infeksi ini memerlukan
perhatian bedah yang mendesak. Bedah umum untuk kemungkinan
necrotizing fasciitis atau mionekrosis, evaluasi neurosurgikal untuk
empiema subdural atau abses epidural spinal, pembedahan
otolaringologi untuk kemungkinan mukormikosis, dan pembedahan
kardiotorasik untuk kemungkinan penderita kritis dengan
endokarditis akut sama pentingnya dengan terapi antibiotik yang
cepat. Untuk infeksi seperti necrotizing fasciitis dan mionekrosis
klostridial, intervensi bedah yang segera lebih penting dibandingkan
tindakan diagnostik atau terapeutik lainnya.
Penderita acutely ill febrile memerlukan observasi ketat,
pengukuran suportif yang agresif dan pada sebagian besar kasus
perawatan di ICU. Terapi tambahan seperti IV. Imunoglogulin untuk
TSS dapat dipertimbangkan untuk stabilisasi awal. Tugas dari dokter
yang terpenting adalah mengenali infeksi akut yang sifatnya
emergensi dan melanjutkan sesuai dengan urgensinya.
18
Daftar Pustaka
Barlam,T., F., Kasper, D., L., Approach to the Acutely Ill Infected
Febrile Patient, in Harrison’s Principles of Internal Medicine, vol. 1,
15th edition, McGraw-Hill, 2001, chapter 19, page 102-107.
19