file · web viewberdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem silvikultur merupakan rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan
hutan yang meliputi penebangan, pemudaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna
menjamin kelestarian produksi kayu ataupun hasil hutan lainnya. Dalam melaksanakan
sistem silvikultur diperlukan perhatian terhadap dua aspek, antara lain Teknik penerapan
sistem silvikultur itu sendiri termasuk cara penebangan, regenerasi tegakan hutan, dan
pemeliharaan tegakan hutan. Kerangka umum dari bagian pengelolaan hutan, termasuk
pembagian area dan daur penebangan pohon.
Sistem-sistem silvikultur dibagi atas sistem penebangan disertai dengan pemudaan
alam, sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia, sistem tebang jalur, dan sistem pohon induk
untuk hutan payau. Sistem tebang habis dengan penanaman disebut juga sistem Tebang
Habis dengan Pemudaan Buatan THPB, mengingat penebangannya dilakukan secara
tebang habis kemudian diikuti penghutanan kembali atau pemudaan secara buatan. Sistem
penebangan yang disertai dengan pemudaan secara alamiah atau disebut juga sistem
silvikultur dengan pemudaan alamiah, terdiri atas sistem uniform, sistem Tebang Habis
dengan Pemudaan Alamiah atau THPA, dan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), merupakan salah satu sistem silvikultur yang
dikembangkan dari sistem silvikultur TPI melalui berbagai penyempurnaan. Hal tersebut
disesuaikan dengan kondisi hutan alam Indonesia. Disebut sistem TPTI dikarenakan
penebangannya dilakukan dengan cara tebang pilih atau selektif terhadap pepohonan
komersial, dan dilakukan pemudaan hutan dalam bentuk penanaman kembali. Sistem
silvikultur tebang jalur merupakan sistem silvikultur yang penebangannya dilakukan pada
jalur-jalur yang sudah dibuat secara selang-seling terhadap jalur yang tidak ditebang.
Untuk proses pemudaan dapat dilakukan dengan cara buatan maupun alamiah.
Sebagian besar dari jensi pohon komersial yang dikenal di Indonesia,
dipermudakan/diremajakan dengan biji-biji dan semai (seedlings). Sebagian kecil lagi
dipermudakan melalui trubusan/tebasan dan tunas, misalnya sungkai, sonokeling,
lamtoro, kaliandra, kayu putih, akasia, dan lain-lain. Hasil-hasil percobaan belakangan
ini, menunjukkan beberapa jenis pohon dapat dikembangbiakan melalui bioteknologi,
yaitu secara kultur jaringan. Meskipun demikian, masih banyak jenis-jenis pohon di hutan
tropika basah, terutama yang digolongkan jenis kurang dikenal, masih belum diketahui
Page 1 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
sifat-sifat silviknya seperti reproduksi, pertumbuhan, toleransi, kualitas kayu, dan
sebagainya.
Pengelolaan Sistem Pohon induk ataupun sistem silvikultur hutan payau dilakukan
pada hutan payau yang terdapat dalam suatu kawasan hutan produksi. Disebut sistem
pohon induk dikarenakan dalam penebangannya di suatu area hutan harus meninggalkan
sejumlah pohon induk yang minimal berjumlah 40 pohon dalam satu hektar sebagai
sumber benih yang diharapkan mampu melakukan regenerasi atau pemudaan secara
alamiah. Pekerjaan silvikultur yang dinilai baik dari segi aspek kelestarian hutan, yakni
jika pekerjaan itu tidak memusnahkan jenis-jenis biota, baik flora maupun fauna dalam
ekosistem hutan sehingga penerapan sistem silvikultur secara baik akan menjamin
kelestarian keanekaragaman biota alam tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah yang dapat timbul dari
makalah sistem pohon induk dan sistem pohon penaung yaitu
1. Apa yang dimaksud sistem silvikultur secara umum ?
2. Apa pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung ?
3. Bagaimanakah penerapan sistem pohon induk ?
4. Bagaimanakah penerapan sistem pohon penaung ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui sistem silvikultur secara umum;
2. Mengetahui pengertian sistem pohon induk dan sistem pohon penaung;
3. Mengetahui penerapan sistem pohon induk;
4. Mengetahui penerapan sistem pohon penaung.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini tersusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Terdiri atas halaman judul, kata pengantar, daftar isi, Bab 1 Pendahuluan, Bab II
Pembahasan, Bab III Penutup dan daftar pustaka.
2. Bab I Pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sistematika
penulisan dan manfaat penulisan
3. Bab II merupakan pembahasan yang menjadi isi dari makalah ini dan membahas
mengenai rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini. Makalah ini membahas
mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
4. Bab III Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran dari makalah ini.
Page 2 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu :
1. Bagi Institusi
Manfaat yang dapat diperoleh bagi institusi yaitu makalah ini dapat menjadi
referensi ilmu mengenai sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
2. Bagi Mahasiswa S1 Kehutanan
Manfaat yang dapat diperoleh bagi mahasiswa S1 kehutanan yaitu makalah ini
diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai sistem pohon
induk dan sistem pohon penaung
3. Bagi Pembaca
Manfaat yang dapat diperoleh bagi pembaca yaitu makalah ini diharapkan
dapat memperkenalkan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai
sistem pohon induk dan sistem pohon penaung.
Page 3 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Silvikultur Secara Umum
Silvikultur merupakan cara-cara mempermuda hutan secara alami dan buatan, serta
pemeliharaan tegakan sepanjang hidupnya. Termasuk kedalam sivikultur ialah pengetian
tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh pohon perilakunnya terhadap berbagai
intensitas cahaya matahari, kemampuannya untuk tumbuh secara murni atau campuran,
dan hal-hal lain yang mempengaruhi pertumbuhan pohon. Jadi sangatlah pentig untuk
mengetahui silvikultur masing-masing jenis pohon, sebelum kita dapat mengelolah suatu
hutan dengn baik. Silvikultur dapat dianalogikan dengan ilmu agronomi dan holtikultura
di pertanian, karena silvikultur dapat juga membicarakan cara-cara membudidayakan
tumbuhan,dalam hal pohon – pohon hutan . Dalam pengertian lebih luas , silvikultur
dapat disebut Ilmu pembinaan hutan, dengan ruang lingkup mulai dari pembijian ,
persemaian, penanaman lapangan, pemeliharaan hutan, dan cara-cara permudaannya.
Untuk itu, seorang ahli sivikultur perlu mempelajari berbagai ilmu dasar yang
mendukungnya, misalnya ilmu tanah, ilmu iklim, ilmu tumbuhan (botani) ,dendrologi,
fisiologi,genetika, serta ekologi. Sekarang, ahli silvikultur pada hakikatnya adalah
seorang pemraktek ekologi. Kita menanam dan memelihara hutan, tidaklah hanya untuk
dikagumi keidahannya, tetapi yang utama untuk dapat memanfaatkan hutan secara lestari.
Dengan demikian ,aspek ekonomi termasuk kedalam pengertian sivikultur sejak dini.
Meskipun demikian, alam tetap merupakan guru kita yang tebaik. Karena itu kaidah-
kaidah dalam hokum alam harus selalu diperhatikan. Hal ini sangat terlihat bika kita
hendak membangun hutan tanaman, dan menggunakan jenis pohon asaing yang
didatangkan dari luar kawasan , atau dari luar negeri.
Sementara penulis, seperti Baker (1950) dan Hawley and Smith (1962), membagi
ilmu silvikultur atas dua bagian, yaitu silvik dan silvikultur. Demikian pula pembagian
tersebut dapat diartikan sebagai dasar teori silvik dan penerapan praktek silvikultur.
Tanpa memahami dasar teori, memang sulit untuk mengembangkan penerapan sivikultur
di lapangan. Silvik dapat menjawab berbagai pertanyaan berikut: mengapa suatu jenis
pohon dipilih untuk ditanam di suatu tapak tertentu? Mengapa ditanam secara murni atau
dicampur dengan jenis lain? Mengapa ditanam dengan cara vegetatif atau generative ?
Mengapa diperlukan simbiosa dengan jamur pembentuk mikoriza ? Mengapa untuk
keperluan reboisasi tanah kritis diperlukan jenis pohon pionir atau pelopor ? Dan
Page 4 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
sebagainya. Silvikultur ialah ilmu dan seni menghasilkan dan memelihara hutan dengan
menggunakan pengetahuan silvik untuk memperlakukan hutan serta mengendalikan
susunan dan pertumbuhannya.
Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan
yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau
penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999). Sistem silvikultur
merupakan serangkaian kegiatan terencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi
penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian
produksi kayu dan hasil hutan lainnya (Ngadiono 2004).
Persemaian berbagai jenis bibit pohon
Tiga hal penting yang menjadi fokus dalam Sistem silvikultur adalah:
1. Metode regenerasi dari suatu tegakan yang membentuk hutan
2. Bentuk dari hasil yang akan diproduksi
3. Pengaturan dari pohon-pohon dari suatu tegakan hutan, dimana mengacu pada
pertimbangan silvikultur dan perlindungan serta kemudahan dalam pemanenan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999 tentang Sistem
Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dan Pengelolaan Hutan Produksi, sistem silvikultur
yang dilakukan dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah TPTI,
THPB (Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan), THPA dan TPTJ.
Dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.10172/Kpts-II/2002
maka sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah TPTI dan THPB karena
THPA dan TPTJ dianggap tidak dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Namun
Page 5 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
demikian seharusnya tidak terjadi pembatasan penggunaan suatu sistem silvikultur karena
harus disesuaikan dengan keadaan hutan dimana hendak diterapkan serta tujuan
pengelolaannya. Hal-hal yang menjadi pertimbangan pemilihan sistem silvikultur antara
lain:
1. Tujuan pengelolaan/pengusahaan
2. Keadaan/tipe hutan
3. Sifat silvik
4. Struktur dan komposisi jenis
5. Tanah dan topografi
6. Pengetahuan professional rimbawan
7. Kemampuan pembiayaan
B. Pengertian Sistem Pohon Induk dan Sistem Pohon Penaung
Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa
pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk regenerasi,
sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem pohon penaung
adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan temperate dimana kondisi
hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis pohon yang ada di dalamnya.
C. Penerapan Sistem Pohon Induk
Dalam metode ini, berdiri adalah jelas ditebang kecuali pohon benih beberapa, yang
dibiarkan berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk
regenerasi. Setelah tanaman baru didirikan, pohon-pohon benih dihapus atau kiri tanpa
batas. Perbedaan utama dari sistem penampungan kayu adalah bahwa pohon benih
dipertahankan hanya untuk produksi benih dan tidak cukup untuk memberikan
perlindungan. Benih Pohon harus memiliki angin kuat, benih kemampuan memproduksi
dengan mahkota dominan dan usia memproduksi benih berlimpah.
Bibit pohon
Page 6 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Jumlah dan distribusi pohon benih tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. Jumlah benih yang diproduksi / pohon
2. benih yang dibutuhkan
3. Penyebaran benih
4. Jumlah benih yang layak diproduksi
5. Perkecambahan biji
6. Pembentukan Bibit
Keuntungan: kesempatan cukup untuk seleksi fenotipik, cocok untuk spesies
menuntut cahaya. Kekurangan: Di bawah stocking, stocking atas, kerusakan oleh hutan
dan kekeringan.
Sistem bibit pohon
Jenis Benih Pohon Sistem yaitu :
1. Sistem bibit pohon seragam: Dalam sistem bibit pohon seragam, setiap pohon lebih
atau kurang terdistribusi merata di seluruh blok.
2. Kelompok sistem bibit pohon: Dalam sistem bibit pohon kelompok, pohon benih yang
tersisa di blok di patch kecil. Patch ini dapat diatur dalam kelompok-kelompok yang
tidak teratur atau strip.
Page 7 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Pada tahun 1978, Direktorat Jenderal Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.
60/Kpts/DI/1978 tentang Pedoman Sistem Siivikultur Hutan Mangrove. Berdasarkan
sistem siivikultur ini, hutan mangrove harus dikelola dengan Sistem Pohon Induk (Seed –
Tree Method). Secara garis besar, sistem tersebut adalah sebagai berikut;
1. Rotasi tebang adalah 30 tahun, dimana rencana kerja tahunan (RKT) dibagi ke dalam
100 ha blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi kedalam 10 sampai 50 ha
petak tebang. Rotasi tebangan dapat dimodifikasi oleh pemegang konsesi yang
didasarkan pada kondisi habitat, keadaan ekologi dan tujuan pengelolaan hutan
setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.
2. Sebelum penebangan, pohon-pohon dalam blok tersebut harus diinventarisasi dengan
menggunakan systematic strip sampling dengan sebuah jalur selebar 10 m dan jarak
diantara rintisan jalur lebih kurang 200 m. Inventarisasi harus dilakukan oleh pihak
pemegang konsesi. Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut, Direktorat Jenderal
Kehutanan akan menetapkan apakah hutan tersebut layak untuk ditebang atau tidak.
Bila hutan tersebut layak ditebang, maka Direktorat Jenderal Kehutanan akan
menentukan Annual Allowable Cut (AAC).
3. Pohon-pohon yang ditebang harus mempunyai diameter sekurang-kurangnya 10 cm
pada ketinggian 20 cm di atas akar penunjang atau setinggi dada. Hanya kampak,
parang, dan gergaji mekanik digunakan untuk menebang pohon
4. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan 40 batang pohon induk tiap ha, atau
dengan jarak antara pohon rata-rata 17m. Diamater pohon induk adalah > 20 cm yang
diukur pada ketinggian 20 cm di atas pangkal banir bagi jenis Bruguiera spp dan
Ceriops spp. atau di atas pangkal akar tunjang yang teratas bagi Rhizophora spp. Pada
umur 15-20 tahun, setelah penebangan dilakukan penjarangan sampai hutan tersebut
berumur 30 tahun.
Page 8 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
5. Pengeluaran kayu dari dalam hutan dilakukan dengan perahu melalui sungai, alur air
atau parit. Pengeluaran kayu ini dapat juga dilakukan dengan lori melalui jalan rel.
Parit dibuat selebar 1,5 m dengan jarak satu sama lain kurang dari 200 m.
6. Luas tcmpat penimbunan kayu termasuk tempat pembakaran arang dibatasi 0,1 ha tiap
10 ha areal penebangan.
7. Wilayah yang permudaannya rusak seperti bekas tempat penebangan pohon, kiri-
kanan parit, bekas jalan rel, dan bekas tempat penimbunan kayu harus ditanami jenis
pohon anggota Rhizophoraceae.
8. Membuat jalur hijau (green belt} selebar kira-kira 50 m disepanjang tepi pantai, dan
10 m di sepanjang tepi sungai, saluran air dan jalan-jalan utama.
Sehubungan dengan jalur hijau mangrove, pada tahun 1990 Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan mengeluarkan Surat Edaran No. 507/IV-
BPHH/1990 mengenai penentuan lebar jalur hijau mangrove selebar 200 m di sepanjang
garis pantai dan 50 m di sepanjang pinggir sungai. Saat ini, berdasarkan hasil studi
ekologi di Sungai Saleh, Sumatera Selatan, Soerianegara et al. (1986) menyarankan lebar
jalur hijau mangrove = 130 x perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan
surut terendah. Hasil penelitian ini tertuang dalam PP No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu :
1. Ekologis
Penerapan sistem silvikultur dengan sistem pohon induk (seed trees method)
merupakan didasari dengan pertimbangan ekologis yang memanfaatkan sumber benih
lokal untuk peremajaan hutan. Benih dari pohon induk yang terpilih dan sehat dapat
dikatakan unggul, karena telah terbukti mampu bersaing dan mampu beradaptasi
dengan kondisi lingkungan/ekologis setempat pada hutan payau tersebut. Dengan
adanya pohon induk ini sebagai sumber benih peremajaan hutan diharapkan agar
komposisi jenis pada hutan payau tidak mengalami perubahan secara drastis sehingga
kondisi ekologis dan fungsi hutan payau dapat berjalan.
2. Ekonomis
Pemilihan sumber benih dengan memanfaatkan pohon induk akan
berpengaruh secara ekonomis,karena dapat menekan biaya pada kegiatan pengadaan
bibit (persemaian, pemeliharaan bibit, pengangkutan bibit, dll). Pemilihan pohon
induk dengan tepat dapat memaksimalkan jumlah panenan (pohon yang ditebang)
Page 9 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
3. Teknis
Aspek teknis pada sistem hutan payau dilakukan dengan mempertimbangkan
jumlah panenan/tebangan dengan aspek ekologi dan pemilihan pohon induk yang baik
dan sehat serta memperhitungkan luas dan jarak antara pohon induk. Pelaksanaan
secara teknis harus dapat mengakomodir jumlah panenan dalam jumlah sebanyak
mungkin namun harus meminimalisir kemungkinan kerusakan pada pohon induk
yang ditinggalkan. Pelaksanaan sistem silvikultur pada hutan payau dengan sistem
pohon induk ini meliputi kegiatan penebangan dan kegiatan pemeliharaan pohon
induk dan tegakan sisa hingga daur selanjutnya sebagai suatu kesatuan kegiatan.
Dengan demikian harus ada sikronisasi antara kegiatan penebangan dan kegiatan
pemeliharaan.
Tindakan yang dilakukan dalam Metode Pohon Induk
Menyisakan pohon tua, sekurang-kurangnya sampai permudaan tersebar merata
Pemanenan pohon tua ditujukan untuk mengatur ruang peremajaan
Beda dengan selection method : hasil tegakan seumur
Semua pohon tua ditebang kecuali sedikit pohon induk → soliter, group
Beda dengan shelterwood methods ; biji disediakan di petak, tidak ada batasan jalur
tebang agar biji sampai
Tidak ada tegas di jumlah pohon induk antara STM dan SWM
Bila tapak buruk, oleh tanah, ingin bantu tebar biji atau tambah pohon induk menjadi
SWM.
Pemetaan Pohon Induk :
Pohon induk soliter sebelah pohon lain dipanen → permudaaan merata
Pohon induk group : memudahkan penyelamatan pohon induk dan mudah
memanennya kemudian →permudaan tidak merata
Kalau biji mengelompok, ternaung, tidak hidup, jarangi lagi
Tidak ada bukti pohon induk di group lebih tahan angin
Kriteria Pohon Induk
Tegap, tajuk lebar, % tajuk besar, tahan badai, banyak buah
Tidak cocok untuk jenis pohon perakaran dangkal
Umur pohon induk cukup tua
Jumlah dan Sebaran Pohon Induk
Bila jenis pohon berumah dua : sisakan pohon jantan + pohon betina
Page 10 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Bunga betina (konifer) sering diatas, pohon soliter sering kurang produktif karena
kurang turbulasi angin
Jumlah pohon tergantung pengalaman berapa produksi biji per pohon di masa lalu
Musim Berbuah Raya
Kerapatan permudaan tergantung musim buah raya
Sebagian besar biji dimakan predator ; pengerat, burung, serangga, jamur → sebab
kecil saja yang menjadi semai
Gunakan produksi biji sedang sebagai dasar penentuan jumlah penduduk
Pengembangan Sistem Silvikultur Pohon Induk
Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon
induk di hutan mangrove, yaitu :
1. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk tersebut
harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas 3 atau lebih
individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat bergantung pada
kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang kedalamannya jarang lebih
dari 1,5 meter.
2. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak
2500 bt/ha atau lebih. Hasil penelitian De Laune ef al. (1993) di hutan mangrove di
Australia menunjukkan bahwa sistem tebang habis di hutan mangrove menyebabkan
penurunan potensial redoks tanah dan peningkatan konsentrasi sulfida pada endapan,
sehingga kondisi ini menjadi racun bagi tumbuhan (penurunan produktivitas hutan
pada rotasi tebang berikutnya).
3. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya perlu
dikaji lagi. Walaupun lebar jalur hijau tersebut sudah direkomendasi selebar 130 kali
perbedaan rata-rata tahunan antara pasang tertinggi dengan surut terendah, namun
pelaksanaannya secara luas di Indonesia perlu disesuaikan dengan iokasi setempat.
4. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah
penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi. Menurut Kusmana
ef al. (1991), laju kematian akibat persaingan antar individu pohon di hutan mangrove
cukup tinggi pada permudaan tingkat pancang.
D. Penerapan Sistem Pohon Penaung
Pada sistem ini, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu sisi naungan
dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan melindungi pula
tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwood adalah di dalamnya terdapat sistem
Page 11 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan dengan sistem seleksi. Dimana
pada sistem ini, hutan ditebang ke dalam jalur-jalur tebang yang berseling dengan
demikian diharapkan biji yang diproduksi oleh pohon-pohon yang ada di jalur-jalur yang
belum ditebang akan jatuh di jalur-jalur yang ditebang. Biji-biji ini akan berkecambah
dan selanjutnya akan membentuk hutan baru di jalur tersebut.
Shelterwood system(Source: http://www.ec.gc.ca)
Pada prinsipnya sistem ini memanfaatkan kemampuan permudaan alami dari jenis-
jenis pohon yang tumbuh di hutan untuk permudaan hutan yang ditebang. Dimana pada
sistem ini akan diperoleh tegakan muda/permudaan di bawah naungan dan perlindungan
pohon tua. Keuntungan dari permudaan alami adalah sebagai berikut :
1. Tegakan muda berada di bawah perlindungan tegakan tua dan hal ini kurang lebih
terjadi dalam proses hutan alam
2. Kondisi iklim mikro dan tanah sesuai dengan yang dibutuhkan semai setidaknya
selama awal dari perkembangan tegakan
3. Lapisan humus yang menutupi horizon teratas dari tanah menyediakan media yang
baik untuk perlindungan benih dari sinar matahari dan cocok untuk daya hidup awal
semai
4. Seed barers digunakan sebagai induk dari proses suksesi yang terjadi pada tanah yang
beradaptasi dengan baik dalam tegakan. Hal ini merupakan keuntungan yang sering
dan biasa terjadi pada suatu tegakan tapi bukan merupakan alternatif yang baik.
Page 12 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Populasi yang dapat beradaptasi dengan baik tidak selalu paling produktif atau paling
bernilai dalam segi karakter silvikultur atau kualitas kayu
5. Jenis campuran dapat lebih siap untuk diperoleh dan lebih sesuai untuk tegakan lokal
yang bervariasi,
6. Meningkatkan struktur yang lebih komplek dimana secara umum lebih mudah. Hal ini
penting ketika tegakan tidak beraturan diinginkan
7. Gangguan dalam produksi yang berhubungan dengan tebang habis tidak terjadi.
Adapun kerugian permudaan alami terutama dari segi manajemen ekonomi
yaitu sebagai berikut :
1. Kegiatannya sulit dilakukan dan mahal dari segi keahlian, tenaga, waktu, dan uang
2. Proses permudaan alami kurang mampu mengurangi resiko kegagalan, defisiensi
stock, dan waktu yang diperlukan
Ada beberapa persyaratan untuk menjamin keberhasilan permudaan alami, yaitu :
1. Suplai benih viable yang memadai
2. Benih reseptif terhadap keadaan yang buruk dengan suplai air dan nutrisi
3. Iklim mikro yang cocok untuk berkecambah, daya hidup, dan daya kecambah yang
tinggi dari tanaman muda
4. Ketahanan tahanan terhadap serangan hama, penyakit, gulma, dan iklim yang ekstrim.
Persyaratan permudaan alami tersebut lebih ke arah pembibitan dimana pada sistem
shelterwood terjadi regenerasi untuk persediaan benih dan mengubah iklim mikro pada
lantai hutan. Pada sistem regenerasi ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
inisiasi tunas bunga dan bisa mengurangi kegagalan yang terjadi antara pembungaan dan
pematangan buah dan benih, yaitu sebagai berikut:
1. Iklim. Pada daerah temperate, iklim mempengaruhi periode pembungaan dan
produksi benih.
2. Ruang tumbuh. Ruang tumbuh ini harus mendukung pertumbuhan vegetatif.
3. Kualitas benih dan kecukupan benih
4. Intensitas cahaya matahari. Intensitas matahari harus cukup untuk menyinri mahkota
pembawa benih
5. Unsur hara. Unsur hara yang diaplikasikan dengan dosis yang tepat dan waktu yang
tepat sesuai dengan jenis tanaman yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan,
meningkatkan pembungaan dan produksi buah-buahan.
Page 13 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Pada prinsipnya dalam sistem shelterwood, tahapan penebangan dilakukan
dengan beberapa tahap, yaitu :
1. Preparatory cutting (Tebangan persiapan), dilakukan untuk memperbaiki kondisi
tempat tumbuh yang tidak cocok untuk perkecambahan biji.
2. Seed or seeding cutting (Tebangan biji/pemeliharaan), dihilangkan untuk
menghangatkan tanah dan merangsang perkecambahan, serta pertumbuhan
permudaan
3. Removal or final cutting (Tebangan pembersihan atau akhir/pemungutan), dilakukan
untuk memberikan cukup regenerasi dan telah tumbuh sampai cukup tinggi dan siap
untuk ditebang.
Proses penebangan dalam sistem silvikultur Shelterwood(Source: http://www.for.gov.bc.ca)
Sistem shelterwood dikelompokkan ke dalam 6 (enam) sistem, yaitu : 1) Uniform
system. Pada sistem ini, pembukaan lapisan tajuk merata, tegakan muda kurang lebih
seumur dan seragam, 2) Group system. Pembukaan lapisan tajuk dengan celah-celah yang
tersebar, tegakan muda kurang lebih seumur, 3) Irregular shelterwood system.
Pembukaan lapisan tajuk tidak teratur dan tegakan muda tidak seumur, 4) Strip system
(sistem jalur). Penebangan dilakukan secara jalur. Penebangan untuk permudaan pada
suatu waktu dibatasi ke dalam bagian-bagian tertentu, kompartemen atau sub
Page 14 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
kompartemen, 5) Wedge system (Sistem baji). Penebangan dimulai pada garis dalam dan
maju kea rah luar dalam formasi baji, 6) Tropical shelterwood sistem.
Metode pohon pelindung :
membentuk tegakan seumur sebelum tegakan tua dihabiskan
Pemanenan tegakan tua secara bertahap (a series of partial cuttings)
Mirip penjarangan sangat keras berulang
Tegakan tua dihabiskan bila seluruh bagian lahan tertutup permudaan alami
Variasi perlakuan sangat besar tergantung target komposisi jenis yang diinginkan
Menyisakan pohon baik, dahulukan tebang pohon kurang baik ditengah anak petak
Kadang harus menyisakan sebagian pohon induk selama daur berikutnya untuk satwa
pelindungnya dan keindahan
Prinsip Dasar : :
Ruang dikosongkan agar biji dapat berkecambah dan tumbuh menjadi semai, pohon
tua diharapkan melindungi semai dari hama dan frost
Pohon tua harus dihabiskan bilamana tidak lagi melindungi melainkan mehalangi
pertumbuhan tegakan muda oleh naungannya
Penebangan pohon tua dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali
Pohon tua terbaik ditinggalkan untuk membuat keturunan, tumbuh lebih cepat pula
Preparatory Cuttings
Untuk menguatkan calon pohon tunggal dan mempercepat dekomposisi serasah (lebih
banyak panas dan hujan)
Bilamana banyak permudaan setelah penjarangan langsung panen utama
Removal Cuttings :
Panen utama bisa lebih dari satu kali untuk memberikan sebagian besar ruang kepada
peremajaan dan Pohon induk
Panen utama ada dua : estabilishment dan untuk ria. Agar semai cepat meninggi,
kurangi lagi pohon pancang
Kecepatan pemanenan tergantung kebutuhan cahaya permudaan jenis utama
Panen utama menimbulkan luka. Panen dengan kerusakan minimal bila semai masih
fleksibel
Panen utama rebahkan kearah semai padat dan hindari semai jarang
Empat macam variasi :
Uniform Method : seragam diwilayah tegakan
Strip shelterwood method : dilakukan di jalur
Page 15 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
Group shelterwood method : dilakukan di kelompok
Irregular shelterwood method : dilakukan jangka panjang
Keuntungan :
a. Dapat melindungi jenis-jenis yang sensitive thd cahaya, kekeringan dan angin dingin
b. Tanah lebih terlindungi
c. Lebih tahan dari hama dan penyakit
d. Bahaya erosi lebih kecil
e. Kesempatan memberikan ruang tumbuh pada pohon-pohon terbaik lebih besar pada
waktu membuka canopi dan melakukan regenerasi
f. Dari segi keindahan lebih baik
Kerugian :
a. Memerlukan keahlian dan waktu yang cukup
b. Secara ekonomis kurang efisien karena tidak dapat bekerja secara terkonsentrasi
c. Kerusakan pada pohon-pohon yang baik dapat terjadi pada waktu melakukan
penebangan.
d. Pada beberapa kasus, tanaman muda lebih banyak memerlukan waktu untuk establish
dari pada dengan sistem tebang habis
e. Pengawasan regenerasi dan penebangan lebih sulit.
Page 16 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang kami buat, maka kami dapat menyimpulkan bahwa :
1. Sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan atau teknik bercocok tanam hutan
yang dimulai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman, sampai pada pemanenan atau
penebangannya (SK Menteri Kehutanan No.309/Kpts-II/1999).
2. Sistem pohon induk adalah suatu sistem silvikultur dengan membiarakan beberapa
pohon berdiri sendiri atau dalam kelompok untuk menghasilkan benih untuk
regenerasi, sistem ini disebut juga sebagai sistem bibit pohon. Sedangkan Sistem
pohon penaung adalah suatu sistem silvikultur yang diterapkan di hutan-hutan
temperate dimana kondisi hutannya relatif seragam, baik dari segi umur dan jenis
pohon yang ada di dalamnya.
3. Ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam sistem pohon induk yaitu Ekologis,
Ekonomis dan Teknis.
4. Ada empat hal yang seyogyanya dikembangkan di dalam penerapan sistem pohon
induk di hutan mangrove, yaitu :
a. Pohon induk sebaiknya tidak ditinggalkan secara soliter, tetapi pohon induk
tersebut harus ditinggalkan tersebar merata dalam bentuk koloni yang terdiri atas
3 atau lebih individu pohon, karena kekuatan berdirinya pohon mangrove sangat
bergantung pada kekuatan saling ikat-mengikatnya sistem perakaran yang
kedalamannya jarang lebih dari 1,5 meter.
b. Sistem tebang habis tidak boleh dilakukan walaupun ketersediaan semai sebanyak
2 500 bt/ha atau lebih.
c. Untuk tujuan yang bersifat konservatif, lebar jalur hijau mangrove nampaknya
perlu dikaji lagi.
d. Penjarangan seyogyanya dilakukan pada umur 10 sampai 15 tahun setelah
penebangan, dimana ketersediaan pancang umumnya cukup tinggi.
5. Pada sistem pohon penaung, tegakan yang baru dibangun di bawah atau di salah satu
sisi naungan dari pohon tua dimana pada saat yang sama naungan tersebut akan
melindungi pula tempat tumbuhnya. Syarat dari sistem shelterwood adalah di
dalamnya terdapat sistem penebangan regenerasi yang berturut-turut bersamaan
dengan sistem seleksi.
Page 17 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan sesuai dengan makalah yang kami buat yaitu :
1. Dalam melakukan penerapan sistem pohon induk dan sistem pohon penaung dalam
suatu manajemen kehutanan harus melalui analisis terlebih dahulu, supaya sistem
yang ditetapkan atau dipakai dapat memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi
maupun ekologinya.
2. Makalah ini sangat memberikan tambahan pengetahuan mengenai sistem pohon
induk dan sistem pohon penaung dalam bidang kehutanan, maka dari itu kami
harapkan makalah ini dapat dijadikan sebuah referensi ilmu yang berhubungan
dengan penerapan sistem silvikultur.
Page 18 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Sistem Silvikultur. Dalam http://pengetahuankehutanan.blogspot.com /2012/03/metode-fba-functional-branch-analysis.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Anonim. 2013. Sistem Silvikultur. Dalam http://www.forestrynepal.org/notes/silviculture-systems/6, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Cecep. 2010. Sejarah dan Evaluasi Sistem Silvikultur. Dalam http://cecep_kusmana. staff.ipb.ac.id/2010/06/15/sejarah-dan-evaluasi-sistem-silvikultur-hutan-mangrove-di-indonesia/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
David. 2010. Sistem Silvikukltur. Dalam http://david-pas.blogspot.com /2010/02/sulvikultur. html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Ghina. 2011. Sistem Silvikultur. Dalam http://ghinaghufrona.blogspot.com/2011/08/sistem-silvikultur.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Joxzyn. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://joxzyn.blogspot.com/2008/12/created-by-tri7okoyahoo.html, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Wilarso. 2008. Sistem Silvikultur. Dalam http://wilarso.wordpress.com/2008/08/17/sistem-silvikultur-by-dr-sri-wilarso/, diakses pada hari, Minggu 27 Oktober 2013.
Page 19 of 19SILVIKULTUR KELOMPOK 2 (A)