repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · web view...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
FRAGMENTASI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI BAWAH BATAS MINIMUM
MELALUI JUAL BELI DI KABUPATEN LUWU
OLEH
MARDHATILLAH RUSTAM
B 111 13 072
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN JUDUL
FRAGMENTASI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DIBAWAH BATAS
MINIMUM MELALUI JUAL BELI DI KABUPATEN LUWU
OLEH
MARDHATILLAH RUSTAM
B111 13 072
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi
Sarjana Dalam Bagian Hukum Keperdataan
Program Studi Ilmu Hukum
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
MARDHATILLAH RUSTAM (B111 13 072), ‘’Fragmentasi Kepemilikan Lahan Pertanian Berkelanjutan di Bawah Batas Minimum Melalui Jual Beli di Kabupaten Luwu’’. Dibawah bimbingan Ibu SRI SUSYANTI NUR sebagai pembimbing I dan bapak MUHAMMAD ILHAM ARISAPUTRA sebagai pembimbing II.
Penelitian ini berbentuk normatif hukum empiris, berlokasi di Kecamatan Walenrang Timur Kabupten Luwu dengan dasar pertimbangan di Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten Luwu terdapat jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum. Melalui penelitian ke tiga instansi yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu, Dinas Pertanian Kabupaten Luwu dan Kantor Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten Luwu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum dapat dilakukan dengan adanya izin perubahan penggunaan tanah (IPPT). Izin perubahan penggunaan tanah (IPPT) dapat dikeluarkan untuk lahan pertanian biasa dan tidak dapat dikeluarkan untuk kawasan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Dampak jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum mengakibatkan berlangsungnya kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum yang tidak dapat mendukung kedaulatan pangan dan tidak memberikan kesejahteraan kepada petani.
v
ABSTRACT
MARDHATILLAH RUSTAM (B111 13 072), ‘’The Fragmentation of Sustainable Agricultural Land under the Minimum Limit by Buying and Selling in Luwu Regency’. Under the guidance of SRI SUSYANTI NUR as Supervisior I and MUHAMMAD ILHAM ARISAPUTRA as Supervisior II.
This research was conducted by emperical normative approach and located in East Walenrang, Luwu Regency with the consideration that it had buying and selling sustainable agricultural land under the minimum limit. There were three agencies where this research was taken place namely Land Office of Luwu, Department of Agriculture of Luwu, Sub-district Office of Walenrang Timur, Luwu.
The result of this research showed that the procedure of buying and selling the sustainable agricultural land under the minimum limit could be done with Land Use Change Permit (IPPT). Land Use Change Permit (IPPT) may be issued for ordinary agricultural land and cann’t be issued for sustainable agricultural land area. It resulted fragmentation of sustainable agricultural land under the minimum limit which could not support food sovereignty and did not provide welfare to farmers.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul FRAGMENTASI
KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI BAWAH
BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DI KABUPATEN LUWU.
Sholawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhammad saw beserta
para keluarga sahabat dan pengikutnya.
Skripsi ini diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian
studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) bagian
Hukum Perdata program Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan dan dalam penyusunan skripsi ini penulis
mengalami kesulitan, hambatan, dan rintangan. Akan tetapi berkat
bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak serta tekad, cita-cita dan
dengan harapan yang orang tua dan keluarga titipkan maka skripsi ini
dapat tersusun walaupun masih saja terdapat beberapa kekurangan.
vii
Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada ke dua orang tua penulis yaitu ayahanda
tercinta Drs. Rustam dan Ibunda tercinta Saenab Saing atas kasih
sayang, nasehat serta doa yang tidak pernah putus. Terima kasih pula
penulis haturkan kepada kedua saudara penulis, kakak tercinta penulis
Maghfirah Rustam, S.Pd dan adik tercinta penulis Muthawakkilah Rustam.
Pada kesempatan ini pula, Penulis dengan segala kerendahan hati
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H.,
M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H.,M.H. selaku
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan
Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan
Bapak Dr. Ilham Arisaputra, S.H., M.Kn. selaku Pembimbing II,
terima kasih atas segala petunjuk, saran, bimbingan dan waktu
yang diluangkan untuk penulis.
viii
4. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H.,M.H., Bapak Dr. Kahar
Lahae, S.H., M.Hum. Bapak Dr. Ramli Rahim, S.H., M.H. selaku
penguji, terima kasih atas masukan dan saran-sarannya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Segenap dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
atas ilmu pengetahuannya yang diberikan kepada penulis selama
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
6. Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas
bantuannya dalam melayani segala kebutuhan Penulis selama
perkuliahan hingga penyusunan Skripsi ini.
7. Pengelola Perpustakaan baik Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin maupun Perpustakaan Pusat Universitas
Hasanuddin. Terima kasih atas waktu dan tempat selama penelitian
berlangsung sebagai penunjang skripsi Penulis.
8. Sahabat-sahabat terbaik panulis sewaktu mondok di ma’had Datok
Sulaiman Palopo. Untuk seluruh angkatan 013 yang tidak mampu
penulis sebutkan namanya satu persatu terima kasih untuk support
yang tidak pernah putus, nasehat yang selalu membangun serta
silaturahmi yang senantiasa terjaga. Semoga Allah menjaga
persahabatan kita hingga ke surgaNya. Amin.
9. Sahabat seperjuangan penulis sejak awal memasuki Fakultas
Hukum hingga akhir penyelesaian studi penulis. Marselina Watruty,
ix
S.H, Natalia Pongbala, Rahma, Istiqamah, S.H, Nur Hasanah, S.H,
Harmonika dan Andi Ayu Hadrani.
10. Sahabat-sahabat penulis di keluarga besar TRM Nining, Anci,
Alisyah, Rini, Lia, Windi, Kembar, Pungki, Uni, Apri, Ria. Terima
kasih untuk segala kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis.
11. Sahabat-sahabat penulis di Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia
(PMII) cabang Makassar Raya.
12. Teman-teman KKN kak Mel, Kak Oda, Kak Rezing, Kak Fadly dan
Kak Ilo, terima kasih atas kerjasamanya selama KKN.
13. Kakak-kakak relawan LN (Lentera Negeri) kak Akiro, Kak Nunu,
terima kasih untuk selalu diingatkan bahwa dengan berbagi kita
selalu bisa menebar kebermanfaatan bagi orang lain.
14. Keluarga besar rombongan kafilah Sulawesi Selatan pada
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional Mataram Tahun 2016.
15. Dan juga semua pihak yang telah banyak membantu penulis tapi
tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Semoga segala bantuan amal kebaikan yang telah diberikan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Tidak ada manusia yang
luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan skripsi ini.
x
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat di masa
yang akan datang bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para
pembaca pada umumnya.
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Makassar, Oktober 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
PENGESAHAN SKRIPSI.............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii
PERSETUJUAN MENEMPUH SKRIPSI.......................................................iii
ABSTRAK..................................................................................................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................vi
DAFTAR ISI..................................................................................................xi
DAFTAR TABEL...........................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................8
C. Tujuan Penelitian................................................................................8
D. Manfaat Penelitian..............................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSATAKA.....................................................................9
A. Fragmentasi Lahan............................................................................9
B. Tinjauan Umum Tentang Kepemilikan Atas Tanah............................10
1. Pengertian Penguasaan Tanah.................................................... 10
..........................................................................................................
2. Hierarki Penguasaan Atas Tanah.................................................13
3. Ruang Lingkup Hak Atas Tanah...................................................19
4. Hak Milik Atas Tanah....................................................................22
C. Tinjauan Umum Tentang Tanah Pertanian.........................................29
1. Pengertian Tanah Pertanian.........................................................29
2. Jenis Tanah Pertanian..................................................................30
3. Lahan Pertanian Berkelanjutan.....................................................31
4. Luas Minimum dan Maksimum Kepemilikan Tanah Pertanian......32
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................33
A. Lokasi Penelitian................................................................................33
xii
B. Jenis dan Sumber Data......................................................................35
C. Teknik Pengumpulan Data.................................................................36
D. Populasi dan Sampel..........................................................................37
E. Analisis Data.......................................................................................38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................39
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian....................................................39
B. Prosedur Jual Beli Kepemilikan Lahan Pertanian di Bawah Batas
Minimum Di Kabupaten Luwu.............................................................44
C. Dampak Fragmentasi Kepemilikan Lahan Pertanian Melalui Jual
Beli di Kabupaten Luwu......................................................................58
BAB V PENUTUP....................................................................................67
A. Kesimpulan..........................................................................................67
B. Saran...................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................69
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Luas Kecamatan Walenrang Timur dilihat dari tiap-tiap
desa/kelurahan Tahun 2015
Tabel 2. Luas lahan sawah dan lahan kering dirinci per desa/kelurahan
di Kecamatan Walenrang Timur Tahun 2015
Tabel 3. Luas lahan sawah menurut jenis pengairan dirinci per
desa/kelurahan di Kecamatan Walenrang Timur Tahun 205
(ha)
Tabel 4. Luas kepemilikan lahan
Tabel 5. Luas lahan pertanian yang terfragmentasi
Tabel 6. Daftar peralihan hak milik atas lahan pertanian di Kabupetan
Luwu tahun 2016-2017
Tabel 7. Tingkat pengetahuan responden terhadap larangan fragmentasi
lahan pertanian kurang dari 2 ha
Tabel 8. Rata-rata produksi gabah yang dihasilkan per ton menurut luas
lahan dan jenis pengairan
xiv
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai permukaan bumi memiliki peran dan
kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Selain
sebagai tempat bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya,
tanah juga menjadi sumber penghidupan manusia. Tanah memiliki
fungsi yang sangat vital dalam penyediaan bahan sandang, pangan
dan papan bagi manusia. Oleh karena itu, tanah menjadi sesuatu
yang sangat dibutuhkan, berharga,dan bernilai bagi manusia.
Manusia dengan tanah diyakini memiliki hubungan magis
religius, yakni sebagai tempat tinggal roh leluhur dan yang mereka
anggap sebagai pelindung persekutuan. Tanah dipandang sebagai
suatu harta kekayaan bersifat kekal karena tidak akan musnah
dalam keadaan apapun.1
Di atas sebidang tanah manusia dapat melakukan aktivitas
bertani, seperti menanam dan memanen hasil pertanian. Sektor
pertanian memiliki peranan yang cukup penting dalam kehidupan.
Di Indonesia sektor pertanian pada umumnya menjadi tumpuan
kehidupan bagi masyarakat, mengingat Indonesia merupakan
1 Muhammad Ilham Arisaputra. 2015. Reforma Agraria Di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.. Hlm. 75
1
negara agraris dengan sumber daya alam yang melimpah dan
potensi pertanian yang mendukung.
Berdasarkan landasan politik hukum agraria Indonesia,
yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Kemudian sebagai pelaksana dari ketentuan
diatas dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa hak
menguasai Negara tersebut memberi wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.2
Berkaitan dengan kewenangan tersebut, maka pemanfaatan
tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi
generasi sekarang maupun generasi mendatang dalam
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam rangka mengatur
pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan lahan pertanian, Undang-
Undang Pokok Agraria pada Pasal 17 selain menentukan luas
2 Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya). Jakarta. Djambatan. Hlm. 232
2
maksimum, menghendaki juga pengaturan tentang luas minimum
lahan pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh suatu
keluarga, baik dengan hak milik atau hak-hak lainnya. Ketentuan ini
dimaksudkan agar lahan pertanian yang dikuasai oleh suatu
keluarga dapat mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga petani
serta dapat mempertinggi taraf hidup dan memberikan
kesejahteraan bagi para petani.
Sebagai bentuk pelaksanaan dari ketentuan yang dimuat
dalam Pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960
kemudian diundangkan Undang-undang No 56 Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Lahan Pertanian. Dalam pasal 8 dan Pasal 9
Undang-undang No 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan
Pertanian mengatur tentang penetapan batas minimum lahan
pertanian yakni 2 ha sekaligus larangan melakukan pemindahan
hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan berlangsungnya
kepemilikan tanah kurang dari 2 ha.
Fragmentasi lahan pertanian yang terjadi sebagai akibat
dari jual beli lahan pertanian tidak hanya berpeluang terhadap
sulitnya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
petani tetapi juga mengancam eksistensi keberadaan lahan
pertanian pangan berkelanjutan. Persepsi dan opini yang selama ini
berkembang di kalangan akademisi maupun pengambil keputusan
pada umumnya adalah bahwa fragmentasi lahan pertanian di
3
Indonesia telah berada pada level yang dianggap menghambat
upaya peningkatan efisiensi usaha tani. Oleh karena itu, konsolidasi
lahan usaha tani harus segera diwujudkan. Persepsi tersebut
berpijak dari deduksi teoritis dan konfirmasi dari sejumlah kasus
yang menunjukkan bahwa fragmentasi lahan pertanian ikut
berkontribusi pada:
1. Terhambatnya peningkatan produktivitas usaha tani;2. faktor-faktor penyebab rendahnya efisiensi pemasaran
sarana produksi maupun produksi pertanian;3. salah satu faktor pendorong laju meningkatnya
konversi lahan pertanian;4. inefisiensi yang terjadi pada ongkos pengelolaan
program-program berbantuan, subsidi, dan lain-lain di bidang pertanian;
5. potensi sebagai salah satu sumber inefisiensi dalam pengelolaan asuransi pertanian (jika asuransi pertanian diterapkan).3
Menurut Hermas E Prabowo bahwa:
‘’Fragmetasi kepemilikan lahan pertanian menyebabkan skala usaha petani terus menurun. Penurunan skala usaha mengakibatkan lahan semakin tidak produktif. Para petani beranggapan bahwa lahan yang sudah tidak produktif lebih baik dijual. Keputusan menjual lahan ini mengakibatkan petani memiliki luas lahan yang semakin kecil. Lahan pertanian yang dimiliki petani semakin kecil sehingga tidak akan dapat memberikan kesejahteraan terhadap petani. Dengan demikian, persoalan kepemilikan lahan pertanian dan penyediaan pangan akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Hal ini didukung karena peran lahan pertanian sebagai basis produksi pangan tidak tergantikan. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha tani
3 Sumaryanto dan Helena J. Purba. Fragmentasi Lahan Pertanian dan Hubungannya dengan Produktivitas Usaha Tani. Sumber: www.litbang.pertanian.go.id. diakses pada tanggal 27 Maret 2017
4
karena usaha yang dikembangkan bersifat land base agricultural’'.4
Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada
bagian menimbang huruf b dan d menyatakan bahwa fragmentasi
lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah
secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan dan
kedaulatan pangan. Selanjtnya dalam Pasal 1 angka 3 Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan menyatakan bahwa:
Lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu tahun 2015
menunjukkan bahwa Kabupaten Luwu memiliki wilayah
administrasi seluas 3.000,25 km2, dengan jumlah penduduk
sebanyak 350.218 jiwa dan kepadatan penduduk 116,73 km2.
Mencapai 268.976,9 (89,6 %) hektar dari keseluruhan luas wilayah
administrasi Kabupten Luwu digunakan untuk usaha pertanian.5
4 Hermas E Prabowo. Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan. Sumber: http://cetak.kompas.com/read/ diakses pada tanggal 28 Maret 2017
5 Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu. Kabupaten Luwu Dalam Angka 2016. Sumber: https://luwukab.bps.go.id diakses pada tanggal 24 Februari 2017
5
Luas lahan yang digunakan untuk usaha pertanian di suatu
daerah tidak selalu dapat menjadi jaminan dan tolak ukur terhadap
kesejahteraan hidup para petani di daerah tersebut. Seperti halnya
di Kabupaten Luwu. Di Kabupaten Luwu terdapat petani yang
memiliki lahan garapan yang sempit. Hal tersebut tentu
berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kemampuan petani
dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangganya. Petani yang
memiliki lahan garapan yang sempit atau luas lahan garapannya
kurang dari batas minimum harus menjaga luas lahan garapannya
agar tidak terfragmentasikan menjadi persil-persil yang lebih kecil
lagi.
Namun faktanya fragmentasi kepemilikan lahan pertanian
terjadi di salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu, yaitu di
Kecamatan Walenrang Timur. Dari data yang diperoleh sementara,
sepanjang Tahun 2016-2017, ada sekitar 31 kasus jual beli lahan
pertanian kurang dari 2 hektar atau dibawah batas minimum yang
dilakukan di hadapan camat selaku pejabat pembuat akta tanah
(PPAT).6
Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu dalam rangka
mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah
mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 6 Tahun 6 Data hasil observasi pra penelitian di kantor Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten
Luwu pada tanggal 18 Februari 2017
6
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu
Tahun 2011-2031. Sebagai bentuk dukungan terhadap program
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, Kabupaten
Luwu dalam RTRWnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat
(2) dan pasal 37 huruf a angka 17 Peraturan Daerah Kabupaten
Luwu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Luwu Tahun 2011-2031 telah menetapkan 17
kecamatan yang menjadi kawasan pertanian pangan berkelanjutan
dengan luas kurang lebih 52.738 (lima puluh dua ribu tujuh ratus
tiga puluh delapan) hektar dan salah satu diantaranya adalah
kecamatan Walenrang Timur di mana penulis memperoleh data
awal terjadinya fragmentasi kepemilikan lahan pertanian di bawah
batas minimum.
Berdasarkan fenomena tersebut Penulis akan melakukan
penelitian tentang apa yang menjadi dasar pertimbangan sehingga
camat selaku pejabat pembuat akta tanah (PPAT) memberikan izin
jual beli kepemilikan lahan pertanian yang berakibat terhadap
7 Pasal 27 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu 2011-2031 mengatur bahwa ‘’kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di setiap wilayah kecamatan ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan, dengan luas kurang lebih 52.738 (tujuh puluh dua ribu tujuh ratus tiga puluh delapan) hektar. Pasal 37 huruf a angka 1 Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu 2011-2031 mengatur bahwa ‘’kawasan pertanian pangan berkelanjutan khususnya beras terdapat di Kecamatan Ponrang, Ponrang Selatan, Bupon, Bajo, Kamanre, Walanrang, Walenrang Timur, Walenrang Utara, Lamasi, Lamasi Timur dan jagung di Kecamatan Bajo Barat, Latimojong, Bupon, Suli Barat, Larompong, Walenrang dan Lamasi Timur’’
7
terfragmentasinya lahan pertanian berkelanjutan di Kecamatan
Walenrang Timur Kabupaten Luwu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur jual beli kepemilikan lahan pertanian
berkelanjutan di bawah batas minimum di Kabupaten Luwu?
2. Bagaimana dampak dari fragmentasi kepemilikan lahan
pertanian berkelanjutan di bawah batas minimum melalui jual
beli di Kabupaten Luwu?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui prosedur jual beli kepemilikan lahan
pertanian berkelanjutan di bawah batas minimum di Kabupaten
Luwu.
2. Untuk mengetahui dampak dari fragmentasi kepemilikan lahan
pertanian berkelanjutan di bawah batas minimum melalui jual
beli di Kabupaten Luwu.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan di bidang hukum,
khususnya mengenai fragmentasi kepemilikan lahan pertanian
di Kabupaten Luwu.
2. Menjadi bahan referensi bagi peneliti lain yang berminat pada
penelitian yang sama dengan penelitian ini.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fragmentasi Lahan
Dalam kepustakaan, fragmentasi didefinisikan menurut
berbagai cara. Fragmentasi lahan sebagai suatu tahapan dalam
evolusi pengelolaan pertanian di mana suatu unit usaha tani terdiri
dari sejumlah persil lahan yang terpisah, sering kali terpencar-
pencar dalam suatu area yang luas. Fragmentasi dipandang
sebagai bagian dari evolusi penguasaan lahan dan dalam
pandangan tersebut tidak dikaitkan dengan implikasinya terhadap
efisiensi.8
Fragmentasi lahan merupakan proses semakin mengecilnya
penguasaan lahan per unit manajemen usaha. Jika rumah tangga
merupakan unit manajemen usaha pertanian, maka fragmentasi
lahan adalah semakin berkurangnya luas penguasaan lahan oleh
rumah tangga.9 Dalam kamus besar bahasa Indonesia fragmentasi
didefinisikan sebagai pengambilan sebagian cerita.10
Fragmentasi lahan pertanian dikelompokkan berdasarkan
karakteristiknya menurut waktu, yaitu permanen dan sementara.
Fragmentasi lahan pertanian yang bersifat permanen terjadi karena
8 Sumaryanto dan Helena J. Purba,Op.cit9 Syahyuti. Delandreformasi Sebagai Gejala Anti Landreform di Indonesia. Sumber:
http://websyahyuti.blogspot.co.id diakses pada tanggal 25 Maret 201710 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016.Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta. Difa Publisher. Hlm. 264
9
adanya sistem pewarisan dan jual beli lahan pertanian dalam
masyarakat. Warisan memberikan hak secara penuh kepada ahli
waris untuk tetap mempertahankan lahan yang telah dimiliki atau
melakukan aktivitas tertentu terhadap lahannya. Petani
menganggap bahwa lahan sebagai sarana dan sumberdaya untuk
mencari nafkah salah satunya dengan melakukan transaksi jual beli
lahan.11
Fragmentasi lahan yang bersifat sementara terjadi karena
adanya pranata sewa-menyewa lahan, bagi hasil dan sistem gadai
lahan pertanian. Dalam sewa menyewa lahan apabila pemilik lahan
menyewakan sebagian dari lahannya maka akan terjadi
pemecahan lahan.12
B. Tinjauan Umum Tentang Kepemilikan Atas Tanah
1. Pengertian Penguasaan Tanah
Secara etimologi, penguasaan berasal dari kata ‘’kuasa’’
yang berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat
sesuatu, kekuatan atau wewenang atas sesuatu untuk
menentukan (memerintah, mewakili, mengurus dan sebagainya)
sesuatu itu, sedangkan ‘’penguasaan’’ dapat diartikan sebagai
suatu proses, cara, perbuatan menguasai atau kesanggupan
untuk menggunakan sesuatu.13
11 Susanti A, Hidayat K, Sukesi K. 2013. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian dan Hubungan Kerja Agrarian Pada Masyarakat Trengger. Jurnal Habitat. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Volume 14. Hlm. 39
12 Ibid., 13 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta. Difa Publisher. Hlm. 457
10
Pasal 529 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur bahwa:
Kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.
Dari rumusan Pasal 529 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya
kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan
kewenangan kepada pemegang kedudukan berkuasa untuk
mempertahankan atau menikmati suatu benda yang dikuasai
sebagaimana layaknya seorang pemilik.14
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik,
juga dalam arti yuridis. Penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum
dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang
hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari
tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.15
Menurut Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto bahwa:
Hak atas tanah pada asasnya adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Seseorang yang mempunyai hak atas tanah pada dasarnya hanya mempunyai hak
14 Kartini Muljadi, dkk. 2004. Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik. Jakarta. Kencana. Hlm. 13
15 Urip Santoso (I). 2008. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta. Kencana. Hlm.78
11
atas permukaan bumi saja, tidak secara otomatis berhak juga atas tubuh bumi, air maupun ruang yang ada di atas permukaan bumi, hal ini bisa dilihat bahwa pemegang hak atas tanah tidak dengan sendirinya wenang untuk menggunakan tubuh bumi, air maupun ruang yang ada diatasnya. Meskipun demikian karena tidak mungkin pemegang hak atas tanahnya hanya menggunakan permukaan bumi saja, maka kewenangan dari pemegang hak atas itu diperluas, tidak hanya wenang menggunakan permukaan bumi saja, akan tetapi wenang juga menggunakan tubuh bumi, termasuk wenang menggunakan air dan juga ruang yang ada diatas permukaan bumi akan tetapi penggunaannya ada syaratnya, yaitu sepanjang penggunaan tubuh bumi, air serta ruang udara yang ada diatas permukaan bumi digunakan untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanahnya (dalam arti permukaan bumi) dan juga menurut batas-batas yang ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA.16
2. Hierarki Penguasaan Atas Tanah
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam
hukum tanah nasional, antara lain sebagai berikut:
1. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah16 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto. 2013. Hak Atas Tanah dan Peralihannya.
Yogyakarta. Liberty Yogyakarta. Hlm. 37-38. Pasal 4 ayat (2) UUPA mengatur bahwa ‘’hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi’’
12
Hak bangsa Indonesia atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua
tanah yang ada dalam wilayah negara kesatuan republik
Indonesia, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi
dan menjadi induk bagi lahirnya hak penguasaan yang lain
atas tanah.17
Menurut Urip Santoso bahwa:
Hak bangsa Indonesia atas tanah juga mempunyai sifat religius yang berarti bahwa seluruh tanah yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat yang lain adalah sifat abadi yang berarti bahwa antara bangsa Indonesia dan tanah akan berlangsung tiada terputus untuk selamanya. Hal ini bermakna bahwa selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada pula, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Hubungan abadi ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA.18
2. Hak Menguasai Dari Negara Atas Tanah
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa ‘’bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat’’. Ada 3 unsur penting dalam
penjelasan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, yaitu:
17 Muhammad Ilham Arisaputra. Op.cit., Hlm. 6718 Urip Santoso (II) dalam Ibid., Hlm. 68
13
1) Materi pokok-pokok kemakmuran rakyat yang dikelola adalah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
2) Cara pengelolaan dikuasai oleh negara.3) Tujuan pengelolaan adalah untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.19
Hak menguasai negara yang dinyatakan dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memposisikan
negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan
rakyat. Fungsi negara tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas
sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai
dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang
bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh
negara.20
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat diatur dalam pasal 3 UUPA yang mengatur
bahwa:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
19 Muhammad Ilham Arisaputra. Loc. Cit.,20 Ibid.,
14
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat ada yang teritorial dan adapula
yang genealogik. Masyarakat hukum adat yang teritorial
adalah masyarakat hukum adat yang bertempat tinggal di
wilayah yang sama, seperti nagari di Minangkabau.
Sedangkan masyarakat hukum adat yang genealogik adalah
masyarakat hukum adat yang para warganya terikat oleh
pertalian darah, seperti suku.21
Menurut Muhammad Ilham Arisaputra bahwa:
Penguasaan atas tanah melalui hak ulayat oleh masyarakat hukum atau persekutuan hukum adalah penguasaan yang isi utamanya adalah menjaga, mengurus serta mengatur tentang bagaimana tanah lingkungan yang bersangkutan dapat memenuhi fungsinya bagi masyarakat. Penguasaan atas tanah lingkungan melalui hak ulayat oleh masyarakat hukum tersebut bukan berarti wilayah itu adalah hak milik dalam arti yang sama dengan hak perorangan. Penguasaan itu adalah hak asasi masyarakat hukum yang dasarnya ialah prinsip yang bersumber pada ketentuan alam. Adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat hanya dapat diketahui dengan memerhatikan proses yang dijalani masyarakat hukum adat yang bersangkutan tentang kapan mulai adanya dan bagaimana adanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan.22
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu
masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada
suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat
21 Ibid., Hlm. 28122 Muhammad Ilham Arisaputra. Op.cit., Hlm. 76
15
diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan tetua
adat dalam kenyataanya masih diakui sebagai pengemban
tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin
penggunaan tanah-ulayat, yang merupakan tanah bersama
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus
sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan yang lebih tinggi.23
4. Hak Perseorangan Atas Tanah
Hak individu atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya (baik secara sendiri-
sendiri, secara bersama maupun badan hukum) untuk
memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan atau
mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.24
Penguasaan tanah secara individual dijamin oleh
undang-undang, baik dalam UUD Tahun 1945 maupun
dalam UUPA. Dasar hak untuk kepemilikan individu atas
tanah secara umum adalah hak universal yang mengakui
kepemilikan atas hak-hak pribadi.25 Dalam Undang-undang
Dasar Tahun 1945 amandemen kedua pada Pasal 28 G
23 Ibid., Hlm. 28224 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, Hlm. 4125 Ibid., Hlm. 42
16
mengatur bahwa ‘’setiap orang berhak atas perlindungan
harta benda yang dibawah kekuasaaanya’’.
Sedangkan pada Pasal 28 H ayat 426 UUD 1945
mengatur bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun. Termasuk hak milik
pribadi yang dilindungi adalah hak milik yang berupa tanah.
Adapun hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki secara
individual diatur dalam Pasal 16 UUPA ayat (1) yang
mengatur bahwa:
a. Hak milikb. Hak Guna Bangunanc. Hak Pakaid. Hak Sewae. Hak Membuka Tanahf. Hak Memungut Hasil Hutang. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 53 ayat (1) UUPA mengatur bahwa:
Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi-hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat.
26 Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 mengatur bahwa ‘’ Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapa pun’’
17
Supriyadi membedakan hak atas tanah menjadi 2
(dua) yaitu: hak primer dan hak sekunder. Hak primer adalah
hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai langsung
oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu
lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau
ahli warisnya. Termasuk hak primer adalah hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Sedangkan
hak sekunder adalah hak atas tanah yang bersifat
sementara, karena hak tersebut dinikmati dalam waktu
terbatas, lagi pula itu dimiliki oleh orang lain. Termasuk hak
yang bersifat sekunder adalah hak gadai, hak bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian.27
Sedangkan menurut Booedi Harsono, yang dimaksud
dengan hak primer adalah hak-hak yang diberikan oleh
negara, hak yang langsung dari tanah negara. Termasuk
hak primer adalah, hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara.
Sedangkan hak sekunder adalah hak-hak yang bersumber
dari pihak lain, hak yang diberikan oleh pemegang hak.
Termasuk hak sekunder adalah hak guna bangunan atas
tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas hak milik,
hak pakai atas hak pengelolaan dan hak pakai atas hak
27 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, Hlm. 45
18
milik, serta hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak sewa dan
hak menumpang yang diberikan oleh pemilik tanah.28
3. Ruang Lingkup Hak Atas Tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa:
Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
Menurut Soedikno Mertokusumo29, wewenang yang
dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya
dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Wewenang UmumWewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
b. Wewenang KhususWewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah hak guna usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.
28 Ibid.,29 Urip Santoso (I), Op.cit, Hlm. 87
19
Hak atas tanah juga dimuat dalam Pasal 16 dan Pasal 53
UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang, yaitu:
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah
ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum
dicabut dengan undang-undang yang baru.
b. Hak atas tanah yang ditetapkan dengan undang-undang
yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
c. Hak atas yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah yang
dalam waktu singkat akan dihapuskan karena mengandung
sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feudal, dan
bertentangan dengan jiwa UUPA.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu, hak-hak
atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung
oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu
yang lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain
atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas
tanah yang bersifat primer, yaitu:
a. Hak Milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan
terpenuh.
20
b. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah negara, selama jangka waktu yang berbatas.
c. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik
orang lain, selama jangka waktu yang berbatas.
d. Hak Pakai adalah ‘’nama kumpulan’’ dari hak-hak untuk
menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam surat
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan gadai tanah, perjanjian sewa-
menyewa atau perjanjian pengolahan ataupun
penggunaan tanah yang lain.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder
Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-
hak atas tanah yang bersifat sementara karena hak tersebut
dinikmati dalam waktu terbatas, dan merupakan hak atas
tanah yang diberikan oleh pemilik tanah. Dalam pasal 53
UUPA diatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara, yaitu:
21
a. Hak gadai adalah hak untuk menggunakan tanah
kepunyaan orang lain karena orang tersebut mempunyai
hutang kepada sang pemegang gadai.
b. Hak usaha bagi hasil adalah hak untuk mengusahakan
tanah pertanian berdasarkan perjanjian antara pemilik
lahan dan penggarap dengan pembagian hasil yang
disesuaikan dengan perjanjian yang diadakan
sebelumnya.
c. Hak sewa adalah hak untuk mempergunakan tanah milik
orang lain dengan membayar sewa kepada pemilik
lahan.
4. Hak Milik Atas Tanah
Pasal 20 ayat (1) UUPA mengatur bahwa ‘’Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6’’. Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat
berlangsung selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Terkuat, artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan
dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu
tertentu, mudah dipertahankan dari ganggungan pihak lain, dan
tidak mudah hapus. Terpenuh artinya, hak milik atas tanah
22
memberi wewenang kepada pemilknya paling luas dibandingkan
dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk lahirnya
hak-hak atas tanah lain dan penggunaan tanahnya lebih luas
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Dalam pasal 21 UUPA ditentukan subjek hak milik, yaitu:
(1) Hanya warga negara Indonesia(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang
ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakuknya undang-undang ini kehilangan kewarganegarannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegarannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain membebaninya tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan ayat (3) pasal ini.
Berdasarkan Pasal 1 PP No. 38 Tahun 1963,
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik,
yaitu:
a) Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas undang-undang Nomor 79 Tahun 1985 (Lembaran Negara Nomor 139Tahun 1958 );
c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengarkan Menteri Agama;
23
d) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengarkan Menteri Kesejahteraan Sosial.
Hak milik atas tanah dapat beralih atau dialihkan. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA.30 Peralihan hak
atas tanah adalah pindahnya hak atas tanah dari satu pihak ke
pihak lain, baik karena adanya perbuatan hukum yang disengaja
maupun tidak disengaja. Peralihan hak milik atas tanah yang
umum terjadi di masyarakat, yaitu:
1. Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengatur bahwa:
Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan.
Jual beli tanah menurut hukum agraria
nasional yang menggunakan dasar hukum adat
adalah jual beli yang bersifat tunai, terang dan ril.
Tunai berarti bahwa penyerahan hak oleh penjual
kepada pembeli dilakukan bersamaan dengan
pembayaran harganya oleh pembeli. Dengan
perbuatan tersebut maka seketika itu juga terjadi
peralihan haknya. Harga yang dibayarkan pada saat
30 Pasal 20 ayat (2) UUPA mengatur bahwa ‘’hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain’’
24
penyerahan tidak harus lunas, sisanya akan dianggap
sebagai hutang dari pemberi kepada penjual yang
tunduk pada hukum utang piutang. Sifat ril berarti
bahwa kehendak atau niat yang diucapkan harus
diikuti dengan perbuatan yang nyata untuk
menunjukkan tujuan jual beli tersebut, sedangkan
terang berarti bahwa perbuatan hukum tersebut
haruslah dilakukan di hadapan PPAT sebagai tanda
bahwa perbuatan tersebut tidak melanggar hukum
yang berlaku.
b. Syarat Jual Beli
a. Syarat yang berkaitan dengan subyek hukumnya- Adanya kecakapan bertindak dari penjual dan
pembeli- Penjual harus wewenang untuk menjual- Pembeli harus wewenang untuk membeli
b. Syarat berkaitan dengan obyek jual beli- Tanah tidak dalam masalah/ sengketa- Bukan tanah pertanian yang dilarang dialihkan
Peralihan hak atas tanah untuk tanah pertanian ada ketentuan khusus yang berlaku, yaitu mengenai pembatasan maksimum pemilikan tanah pertanian, pembatasan minimum pemilikan tanah disertai larangan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil (kurang dari 2 hektar) serta larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai).31
2. Pewarisan
Peralihan hak milik atas tanah melalui pewarisan
terjadi karena meninggalnya pemegang hak atas tanah, 31 Ibid., Hlm. 130
25
sehingga hak atas tanah tersebut secara otomatis akan
beralih kepada ahli waris pemilik hak atas tanah.
Peralihan tersebut terjadi tanpa adanya perbuatan hukum
yang sengaja dilakukan, akan tetapi terjadi dengan
sendirinya karena hukum beralih kepada ahli warisnya.
3. Hibah
Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur bahwa;
Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan ini. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah diantara orang-orang yang masih hidup.
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang
kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun
dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi
dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu
dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.32
4. Tukar-menukar
Pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur bahwa:
32 Adrian Sutedi. 2010.Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta. Sinar Grafiko. Hlm. 99
26
Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.
Peralihan hak milik atas tanah karena tukar
menukar secara umum diartikan sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan antara seseorang yang
mempunyai suatu hak atas tanah dimana orang yang
satu akan memindahkan hak atas tanahnya kepada
pihak lain. Atau dengan kata lain perbuatan hukum yang
berupa pengalihan pemilikan dan/penguasaan tanah
milik satu pihak kepada pihak lain dengan menerima
penggantian dalam bentuk tanah, jadi tanah ditukar
dengan tanah.33
5. Inbreng (pemasukan ke dalam perusahaan)
Secara umum, penyetoran setiap bagian dari
modal saham yang diambil bagiannya dilakukan dengan
uang tunai, tetapi dalam pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas terdapat ketentuan bahwa penyetoran atas
modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang
dan/atau dalam bentuk lainnya. Menurut penjelasan
pasal ini, pada umumnya penyetoran modal adalah
dalam bentuk uang. Namun, tidak ditutup kemungkinan
33 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, Hlm. 143
27
penyetoran modal dalam bentuk lain, baik berupa benda
atau barang, yang dapat dinilai dengan uang dan yang
secara nyata diterima oleh Perseroan. Penyetoran modal
dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang
menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status,
tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu
demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Hal ini
dilakukan semata-mata dengan tujuan untuk memberikan
modal (harta kekayaan) pada Perseroan dan
memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-
masing para pendiri Perseroan. Bentuk penyetoran
modal bentuk lain, biasa disebut “pemasukan barang”
atau “pemasukan modal” atau “inbreng’’.34
Untuk menentukan nilai pasar suatu tanah
dan/atau bangunan memerlukan proses penilaian
tertentu. Nilai pasar ditentukan oleh penilai independen
yang terlepas dari berbagai kepentingan atas objek tanah
dan/atau bangunan yang dinilai. Dengan demikian nilai
yang dihasilkan oleh penilai independen akan dapat
mencerminkan nilai pasar tanah dan/atau bangunan yang
sebenarnya. Proses penilaian untuk mendapatkan nilai
pasar yang sebenarnya umumnya tidak dapat dilakukan
34 Tri Budiyono. 2011. Hukum Perusahaan : Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jakarta. Griya Media. Hlm. 79-80
28
oleh semua orang, karena memerlukan pengetahuan dan
pengalaman tentang tanah, bangunan dan metode
penilaian. Karena itu untuk menentukan nilai pasar tanah
dan/atau bangunan biasanya dimintakan bantuan jasa
penilai/ahli independen yang tidak terafiliasi dengan
Perseroan yang akan melakukan penilaian.35
Menurut Cipto Soenaryo bahwa:
Penyetoran modal saham dalam bentuk lain berupa tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis baik dalam bentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan yang bermaterai cukup dan ditandatangani oleh para pendiri Perseroan sebagai bentuk persetujuan mereka atas taksiran penilaian oleh ahli penilai.36
C. TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PERTANIAN
1. Pengertian Tanah Pertanian
Dalam Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak diberikan
penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan tanah
pertanian, sawah dan tanah kering. Berhubungan dengan hal
tersebut dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961
No.Sekra 9/1/12 diberikan penjelasan sebagai berikut: ‘’yang
dimaksud dengan ‘’tanah pertanian’’ ialah juga semua tanah
35 Aini Halim. 2014. Analisis Yuridis Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan. Hlm. 40-41
36 Cipto Soenaryo dalam ibid.,
29
perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat
pengembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan
yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada
umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi
hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan.
Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal
seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan,
berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa
yang merupakan tanah pertanian’’.37
Menurut Boedi Harsono bahwa:
Tidaklah sukar untuk menentukan apakah sebidang tanah itu termasuk golongan sawah atau tanah kering. Tambak untuk perikanan dimasukkan ke dalam golongan tanah kering, sesuai dengan praktek Instansi Pajak Hasil Bumi pada waktu itu.38
2. Jenis Tanah Pertanian
Jenis-jenis tanah pertanian berdasarkan Instruksi
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan
Menteri Agrarian tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12,
yaitu:
1. Tanah Keringa. Tanah perkebunan. Tidak ada penjelasan mengenai
tanah perkebunan dalam UUPA maupun UU No. 56 Tahun 1960 akan tetapi dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, menjelaskan perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan
37 Boedi Harsono, Op.cit, Hlm. 37238 Ibid.,
30
tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
b. Tambak untuk perikanan. Tambak untuk perikanan dimasukkan kedalam golongan tanah kering, sesuai dengan praktek instansi pajak hasil bumi pada waktu itu.
c. Tanah tempat pengembalaan ternak, dand. Hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang
berhak2. Tanah Basah, yaitu sawah.39
3. Lahan Pertanian Berkelanjutan
Jika kita mengadopsi definisi pembangunan
berkelanjutan dari WCED (Word Commision on Enviroment and
Development) maka pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan terdapat empat
prinsip yang harus dipenuhi, yaitu pemenuhan kebutuhan
dasar, memelihara integritas ekologi, keadilan sosial dan
kesempatan menentukan nasib sendiri.40
39 Muh Yamin. 2011. Kepemilikan Atas Tanah Pertanian Yang Melebihi BatasMaksimum Di Kabupaten Kolaka Ditinjau Dari Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960. Skripsi. Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar. Hlm. 46
40 MF. Anita Widhy Handari. 2012. Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Magelang. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang. Hlm. 15
31
Pasal 3 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
mengatur bahwa:
Lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
diartikan sebagai sistem dan proses dalam merencanakan dan
menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan
kawasannya secara berkelanjutan.41
4. Luas Minimum dan Maksimum Kepemilikan Tanah
Pertanian
Penetapan luas minimum kepemilikan lahan pertanian
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil merupakan salah
satu dari program landreform di Indonesia. Penetapan luas
minimum dimaksudkan untuk dapat mempertinggi taraf hidup
petani.
Oleh karena itu maka Pasal 17 (UUPA) selain luas
maksimum, menghendaki juga pengaturan tentang luas
minimunya. Berhubung dengan itu dalam Pasal 8 Undang-41 Ibid., Hlm. 21
32
undang No. 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada
Pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya
petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.42
Sehubungan dengan apa yang diatur dalam Pasal 8
Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 diatas, dalam Pasal 9
dijumpai ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mencegah
pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-
bagian yang kurang dari 2 hektar, dengan mengadakan
pembatasan terhadap pemindahan hak milik atas tanah-tanah
pertanian.43
Milik bersama, jika 2 orang atau lebih pada waktu mulai
berlakunya Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 memiliki
tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, dalam waktu
satu tahun mereka diwajibkan untuk menunjuk salah seorang
dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah yang
bersangkutan atau memindahkannya kepada pihak lain.44
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur bahwa ‘’untuk
tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan’’.
42 Boedi Harsono, Op.cit, Hlm. 39643 Ibid., Hlm. 39644 Ibid., Hlm. 397
33
Dari penjelasannya kita dapat mengetahui, bahwa pasal
tersebut bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah
tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan dan orang-
orang tertentu saja. Yang dilarang dalam Pasal 7 tersebut
bukan hanya kepemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi
juga penguasaannya.45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh informasi atau data yang akurat, yang
berkaitan dan relevan dengan permasalahan dan penyelesaian
45 Ibid., Hlm. 368-369
34
penulisan ini, maka penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten
Luwu dengan mengambil daerah tertentu sebagai sumber data
yaitu di kecamatan Walenrang Timur.
Pemilihan lokasi penelitian ini didasari oleh data awal yang
didapatkan oleh penulis yang menemukan adanya kegiatan
fragmentasi kepemilikan lahan pertanian berkelanjutan di bawah
batas minimum di lokasi tersebut.
B. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan data yang mempunyai
hubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Adapun
jenis dan sumber data yang digunakan dibagi menjadi dua jenis
data yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah jenis dan sumber data yang
diperoleh melalui field research, langsung dari sumber asli
tanpa melalui perantara. Pengumpulan data primer ini
umumnya dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan dengan memberikan kosioner yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data primer dapat
berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok,
hasil obeservasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau
kegiatan, dan hasil pengujian.
2. Data Sekunder
35
Data sekunder adalah jenis dan sumber data penelitian
yang diperoleh melaui library research, dilakukan secara
tidak langsung dan melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa
bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun
dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang
tidak dipublikasikan.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian Lapangan
Dalam melakukan penelitian lapangan penulis
menggunakan teknik wawancara. Yaitu dengan
mewawancarai langsung pihak-pihak yang terkait dalam
penelitian ini, yaitu pejabat instansi terkait di Kabupaten
Luwu dan narasumber yaitu warga masyarakat di
Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten Luwu.
2. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca dan menelaah beberapa buku serta aturan
perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang
diteliti dalam penelitian ini.
36
D. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di
Kabupten Luwu di lokasi penelitian yang melakukan jual beli
kepemilikan lahan pertanian berkelanjutan di bawah batas
minimum yang berjumlah 31 petani.
Dalam penelitian ini juga melibatkan pejabat terkait
yaitu Kepala Kantor Kecamatan Walenrang Timur, Dinas
Pertanian Kabupaten Luwu, dan Badan Pertanahan (BPN)
Kabupaten Luwu.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. Metode penentuan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik random
sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana setiap
anggota populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan
yang sama untuk dipilih menjadi sampel penelitian.
Berdasarkan penjelasan tersebut dalam penelitian ini
penulis mengambil sampel 15% dari jumlah populasi, yaitu 4
petani dari keseluruhan populasi yang berjumlah 31 petani.
E. Analisis Data
Analisis data adalah upaya mengolah data menjadi suatu
informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut
37
lebih mudah untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan
dengan masalah penelitian. Data yang diperoleh dan
dikumpulkan selama proses penelitian, baik data primer maupun
data sekunder, kemudian diolah secara content analysis, yaitu
mengolah data-data untuk menghasilkan kesimpulan yang
berlaku secara umum. Kemudian disajikan secara deskriptif
kualitatif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan, dan
menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya
dengan penelitian ini.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Luwu merupakan salah satu wilayah yang
berada dalam wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan yang
38
berjarak sekitar 400 km dari Kota Makassar. Latak wilayah
Kabupaten Luwu berada pada 2 34’45’’ - 3 30’30’’ Lintang Selatan⁰ ⁰
dan 120 21’15’’ - 121 43’11’’ Bujur Timur dari Kutub Utara.⁰ ⁰
Kabupaten Luwu berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kabupaten Luwu Utara dan Kota Palopo
Sebelah Timur : Teluk Bone
Sebelah Selatan : Kota Palopo dan Kabupaten Wajo
Sebelah Barat : Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang
Daerah Kabupaten Luwu sebagian besar terletak pada
ketinggian 100 m ke atas. Luas wilayah yang berada diatas 100 m
tercatat sekitar 63,99%, sisanya sekitar 36,01% wilayah berada
pada ketinggian 0-100 m. Di Kabupaten Luwu terdapat 48 sungai,
dimana sungai terpanjang dengan panjang mencapai 80 km dan
lebar 50 m, sedangkan sungai terkecil dengan panjang sekitar 1 km
dan lebar 5 m. Adapun rata-rata curah hujan di Kabupaten Luwu
selama tahun 2012 berkisar 203,14 mm per bulan.
Kabupaten Luwu memiliki wilayah administrasi dengan luas
kurang lebih 3.000,25 km2 terdiri dari 22 kecamatan, yakni:
- Kecamatan Larompong
- Larompong Selatan
- Suli
- Suli Barat
- Belopa
- Kamanre
- Belopa Utara
- Bajo
39
- Bajo Barat
- Bassesangtempe
- Latimojong
- Bassesangtempe Utara
- Bupon
- Ponrang
- Ponrang Selatan
- Bua
- Walenrang
- Walenrang Timur
- Lamasi
- Walenrang Utara
- Walerang Barat
- Lamasi Timur
Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian penulis untuk
diteliti adalah Kecamatan Walenrang Timur dengan luas wilayah
63,65km2.
Kecamatan Walenrang Timur memiliki luas wilayah yang
meliputi 8 desa sebanyak 42 Dusun dan 74 RT yang tersebar di
setiap desa. Setiap desa dan kelurahan memiliki luas wilayah yang
berbeda. Data tentang luas Kecamatan Walenrang Timur dilihat
dari tiap-tiap desa/kelurahan tahun 2015 disajikan pada tabel.1
40
Tabel.1 Luas Kecamatan Walenrang Timur dilihat dari tiap-tiap desa/kelurahan Tahun 2015
No Nama Desa Luas (Km2)Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
1 Tabah 9,66 2.719 281,47
2 Lamasi Pantai 13,08 1.880 143,73
3 Seba-Seba 5,77 2.230 386,48
4 Kendekan 12,28 1.542 125,57
5 Suka Damai 7,08 1.653 233,47
6 Rante Damai 4,7 1.961 417,23
7 Pangalli 5,2 1.479 284,42
8 Tanete 5,88 1.799 305,95
Jumlah 63,65 15.263 239,80
Sumber: Data sekunder BPS Kec. Walenrang Timur. 2016
Berdasarkan tabel.1 di atas, desa yang memiliki wilayah
paling luas adalah Desa Lamasi Pantai dengan luas wilayah 13,08
km2 sedangkan desa yang memiliki wilayah paling sempit adalah
Desa Rante Damai dengan luas wilayah 4,7 km2.
Luas keseluruhan dari wilayah administratif Kecamatan
Walenrang Timur adalah 63,65 km2 dengan jumlah penduduk
sebanyak 15.100 jiwa. Kepadatan penduduk di Kecamatan
41
Walenrang Timur tergolong dalam wilayah yang kurang padat
dengan tingkat kepadatan 239,80 km2.
Berdasarkan penggunaan lahan di Kecamatan Walenrang
Timur, lahan yang dijadikan persawahan seluas 3660 sisanya
seluas 2705 merupakan lahan kering. Data mengenai Luas lahan
sawah dan lahan kering dirinci per desa/kelurahan di Kecamatan
Walenrang Timur Tahun 2015 disajikan pada tabel.3.
Tabel.2 Luas lahan sawah dan lahan kering dirinci per desa/kelurahan di Kecamatan Walenrang Timur Tahun 2015
Desa/kelurahan Lahan Sawah Lahan kering Total
Tabah 623 343 966
Lamasi Pantai 125 1183 1.308
Seba-seba 459 118 577
Kendekan 787 441 1.228
Sukadamai 552 156 708
Rante Damai 387 83 470
Pangalli 384 136 520
Tanete 343 245 588
Total 3.660 2.705 6.365Sumber: Data Sekunder Kec. Walenrang Timur Dalam angka. 2016
Kecamatan Walenrang Timur merupakan salah satu dari 14
kecamatan yang ditetapkan sebagai kawasan lahan pertanian
42
pangan berkelanjutan (LP2B) dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Luwu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Luwu Tahun 2011-2031.
Dalam melakukan penelitian Penulis memilih 3 desa yang
dijadikan sampel penelitian. Penelitian ini tidak difokuskan penulis
pada kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutannya melainkan
lebih kepada proses fragmentasi lahan yang terjadi. Adapun 3 desa
yang dijadikan sampel penelitian yaitu Desa Seba-seba, Desa
Kendekan dan Desa Pangalli. Ketiga desa tersebut dipilih secara
purposive sampling dengan dasar pertimbangan bahwa ketiga desa
tersebut dapat mewakili setiap desa yang memiliki lahan sawah
yang beririgasi teknis, semi teknis, dan tadah hujan. Dari ke tiga
desa tersebut dipilih 4 orang petani yang telah melakukan jual beli
kepemilikan lahan pertanian di bawah batas minimum sebagai
responden. Pemilihan responden dipilh secara random sampling.
Data mengenai luas lahan sawah menurut jenis pengairan dirinci
per Desa/Kelurahan di Kecamatan Walenrang Timur Tahun 2015
disajikan pada tabel 3.
43
Tabel.3 Luas lahan sawah menurut jenis pengairan dirinci per Desa/Kelurahan di Kecamatan Walenrang Timur Tahun 2015 (ha)
Desa TeknisSemi
TeknisSederhana
Tada
HujanLebak Total
Tabah - 453 170 623
Lamasi
Pantai
- - 110 15 125
Seba-seba - 343 - 101 15 459
Kendekan - 567 - 220 787
Suka
Damai
352 200 - - 552
Rante
Damai
287 100 - - 387
Pangalli 348 - - - 384
Tanete - 330 - 13 343
Jumlah 1,023 1993 280 349 3,660
Sumber: Data sekunder BPS kec. Walenrang Timur Tahun. 2016
B. Prosedur Jual Beli Kepemilikan Lahan Pertanian Berkelanjutan
di Bawah Batas Minimum di Kabupaten Luwu
Penetapan luas minimum kepemilikan lahan pertanian
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan lahan pertanian menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil merupakan salah satu dari
program landreform. Oleh karena itu Pasal 17 Undang-Undang
Pokok Agraria Tahun 1960 selain luas maksimum, menghendaki
44
juga pengaturan tentang luas minimumnya. Berhubung dengan hal
tersebut dalam pasal 8 Undang-Undang No 56 prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian diperintahkan kepada
pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya petani
sekeluarga memiliki lahan pertanian minimum 2 hektar. Selanjutnya
dalam Pasal 9 Undang-Undang No 56 prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Lahan Pertanian dijumpai ketentuan-ketentuan
yang bertujuan mencegah pemecahan pemilikan lahan pertanian
menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 hektar, dengan
mengadakan pembatasan terhadap pemindahan hak milik atas
lahan pertanian, termasuk didalamnya larangan pemindahan hak
milik atas lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar
melalui jual beli.
Dalam konsideran ‘’Menimbang’’ Undang-undang Nomor
41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara agraris
perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, dan kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan,
kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Pertambahan
penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri
45
mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi
lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah
secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan dan
kedaulatan pangan.
Fenomena jual beli kepemilikan lahan pertanian di bawah
batas minimum yang berakibat terhadap fragmentasi kepemilikan
lahan pertanian sudah banyak ditemukan di berbagai wilayah di
Indonesia. Pelaksanaan jual beli kepemilikan lahan pertanian di
Kabupaten Luwu pada dasarnya sama dengan jual beli tanah pada
umumnya. Dalam transaksi jual beli terjadi perbuatan hukum yang
mana pihak penjual yang dalam hal ini adalah pemilik atas lahan
pertanian yang akan dijual menyerahkan lahan pertanian yang
akan dijualnya kepada pihak pembeli pada waktu si pembeli
membayar harga lahan secara keseluruhan atau sebagian (cicil).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual
beli kepemilikan lahan pertanian yaitu syarat yang berkaitan
dengan subjek hukumnya dan syarat yang berkaitan dengan objek
jual belinya. Syarat mengenai subjek hukum adalah berkaitan
dengan pihak-pihaknya, yaitu penjual dan pembeli. Adapun syarat
mengenai objek jual beli adalah berkaitan dengan tanah yang akan
diperjual belikan.
46
Pihak penjual harus berhak dan berwenang untuk menjual
tanah, artinya penjual adalah pemilik yang sah atas lahan pertanian
yang akan dijual dan pihak pembeli harus memenuhi syarat
sebagai pemegang hak. Selain itu, tidak semua tanah dapat
diperjual-belikan secara bebas oleh si pemilik tanah. Dalam hal
tanah pertanian menjadi objek daripada jual beli maka harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam landreform,
yaitu antara lain tentang larangan kepemilikan lahan pertanian
secara absentee, ketentuan batas maksimum pemilikan atau
penguasaan lahan pertanian dan larangan fragmentasi lahan
pertanian kurang dari 2 hektar.
Tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar dilarang
untuk dialihkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1)
Undang-undang No.56 prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas
Lahan Pertanian yang mengaur bahwa :
‘’pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan termaksud tidak berlaku, kalau si penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual sekaligus.’’
Berbeda dengan hasil penelitian yang telah penulis lakukan
di Kecamatan Walenrang Timur Kabupaten Luwu. Di Kecamatan
47
Walenrang Timur terdapat jual beli kepemilikan lahan pertanian
yang luasnya kurang dari 2 hektar. Jual beli tersebut dilakukan
dihadapan camat selaku pejabat pembuat akta tanah sementara
(PPATS). Camat yang dalam hal ini berfungsi sebagai pengendali
terhadap meningkatnya laju fragmentasi lahan pertanian
menebirtkan akta jual beli kepemilikan lahan pertanian kurang dari
2 hektar.
Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan terdapat
ketidaksesuaian antara aturan-aturan yang ditetapkan dalam
prosedur jual beli kepemilikan lahan pertanian di Kabupaten Luwu
dengan pelaksanaan jual beli kepemilikan lahan pertanian yang
terjadi di Kecamatan Walenrang Timur.
Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli
hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat
oleh dan di hadapan PPAT atau PPATS. Jual beli yang terjadi di
kecamatan Walenrang Timur umumnya dilakukan di hadapan
PPATS yang dalam hal ini adalah camat. Mengingat Kecamatan
Walenrang Timur merupakan daerah yang belum cukup terdapat
PPAT.
Dengan telah dibuatnya akta jual beli atau surat pernyataan
pengoperan penguasaan tanah dengan ganti rugi oleh PPAT atau
PPATS, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak atas
tanah dari pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain
48
sebagai pembeli. Pemindahan hak tersebut hanyalah diketahui oleh
kedua belah pihak (penjual dan pembeli), pihak ketiga tidaklah
mengetahui tentang adanya jual beli tersebut. Agar pihak ketiga
mengetahuinya, maka jual beli tersebut harus didaftarkan ke kantor
pertanahan kabupaten/kota setempat karena pendaftaran tanah
mempunyai sifat terbuka.
Prosedur dalam pendaftaran pemindahan hak atas tanah
pertanian melalui jual beli ke kantor pertanahan kabupaten luwu
adalah tahapan-tahapan yang dilalui mulai dari pembuatan surat
keterangan jual beli tanah yang dibuat di desa/kelurahan sampai
dengan pemindahan hak atas tanah dari penjual ke pembeli.
Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :
- Para pihak penjual dan pembeli mendatangi kepala
desa/kelurahan untuk dibuatkan surat keterangan jual beli
tanah. Dalam surat keterangan jual beli tanah tersebut memuat
identitas para pihak penjual dan pembeli juga memuat data
mengenai letak tanah dan luas tanah yang akan dijual.
- Surat keterangan dari desa/kelurahan tersebut menjadi
pengantar untuk dibuatkan akta jual beli untuk tanah yang
sudah bersertifikat atau surat pernyataan pengoperan
penguasaan tanah dengan ganti rugi untuk tanah yang belum
bersertifikat oleh camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sementara (PPATS).
49
- Akta jual beli atau surat pernyataan pengoperan hak tersebut
kemudian diserahkan ke Badan Kantor Pertanahan untuk
keperluaan pembuatan sertifikat, balik nama sertifikat atau untuk
pemecahan sertifikat yang pengalihan haknya hanya sebagian.
Dalam jual beli kepemilikan lahan pertanian terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pembuatan akta
dilakukan, yaitu :
- pembeli harus berdomisili di wilayah satu kecamatan dengan
objek tanah yang akan dibelinya.
- Tidak boleh dilakukan pemecahan, apabila menyebabkan
kepemilikan lahan pertaniannya menjadi kurang dari 2 ha,
kecuali si penjual masih memiliki lahan pertanian tidak kurang
dari 2 ha setelah dilakukan jual beli lahan pertanian tersebut
atau si pembeli sebelumnya telah memiliki lahan pertanian yang
jumlah mecapai atau lebih dari 2 hektar setelah jual beli
kepemilikan lahan pertanian tersebut.
- Untuk lahan pertanian yang kurang dari 2 ha dan hanya akan
diijual sebagian dapat dilakukan dengan cara merubah status
kelas tanah dari pertanian menjadi non pertanian dengan izin
perubahan penggunaan tanah (IPPT) terlebih dahulu agar dapat
beralih haknya. Pemberian izin perubahan penggunaan tanah
(IPPT) dilakukan sesuai dengan kebijaksanaan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
50
Mengacu pada prosedur dan ketentuan tersebut,
maka jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah 2 ha yang
pengalihan haknya hanya sebagian hanya dapat dilakukan
dengan adanya permohonan Izin Perubahan Penggunaan
Tanah (IPPT). Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) tidak
serta merta dapat diberikan. Pemberian izin perubahan
penggunaan tanah (IPPT) harus disesuaikan dengan peta pola
ruang rencana tata ruang wilayah. Jika lahan yang dimohonkan
Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) pada peta pola
ruang wilayah merupakan lahah pertanian yang berada pada
kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) maka
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) izin perubahan
penggunaan tanah (IPPT) tersebut tidak akan diproses. Akan
tetapi jika lahan yang dimohonkan izin perubahan penggunaan
tanah merupakan sawah dengan sistem irigasi teknis namun
menurut peta pola ruang rencana tata ruang wilayah merupakan
wilayah permukiman maka izin perubahan penggunaan tanah
(IPPT) dapat diproses oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).46
Akan tetapi dalam kenyataannya di Kecamatan
Walenrang Timur petani yang dipilih penulis sebagai responden
telah melakukan jual beli kepemilikan lahan pertanian kurang
dari 2 ha di hadapan camat selaku pejabat pembuat akta tanah
46 Wawancara dengan Bapak Hamri Yahya, S.Sos. selaku Kepala Seksi Penataan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu
51
sementara (PPATS). Pada tabel 4 disajikan data luas
kepemilikan lahan yang dimiliki oleh respoden.
Tabel.4 Luas Kepemilikan Lahan
Luas Lahan
(ha)
Jumlah
Responden
(Jiwa)
presentase
(%)
Total Luas
Kepemilikan Lahan
(ha)
0,5-1,0 3 75 2,14
>1,0-1,5 1 25 1,50
Total 4 100 3,90
Sumber: Data primer. 2017
Berdasarkan tabel 4 di atas luas lahan pertanian yang
dimiliki oleh masing-masing responden kurang dari batas
minimum atau dibawah 2 hektar. Presentase terbesar luas lahan
yang dimiliki oleh responden adalah berkisar 0,5-1,0 hektar
yakni 75% di mana masing-masing luas lahan yang dimiliki oleh
responden adalah 0,76 hektar, 0,63 hektar dan 0,75 hektar.
Sedangkan presentase terkecil luas lahan yang dimiliki oleh
responden adalah >1,0-1,5 yakni 25% dengan luas lahan 1,50
hektar. Lahan yang dimiliki oleh responden 1 diantaranya
diperoleh karena mendapatkan warisan dan 3 lainnya diperoleh
dengan cara membeli lahan. Tabel 4 menunjukkan bahwa
keseluruhan responden memiliki lahan pertanian kurang dari
batas minimum atau dibawah 2 hektar. Hal ini berarti bahwa jual
52
beli kepemilikan lahan pertanian tidak dapat dilakukan tanpa
adanya Izin Perubahan Penggunaan Tanah jika responden
hanya berniat menjual sebagian dari lahan yang dimilikinya dan
tidak menjual keseluruhan lahannya. Sedangkan berdasarkan
peneltian yang penulis lakukan, responden telah menjual
sebagian lahan pertanian yang dimilikinya di hadapan camat
selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara. Pada tabel 5
disajikan data tentang luas keseluruhan lahan yang
terfragmentasi melalui jual beli.
Tabel.5 Luas Lahan Pertanian yang Terfragmentasi
Luas Lahan
(m2)
Jumlah
Responden
(Jiwa)
Presentase
(%)
Luas lahan
Yang
Terfragmentasi
(m2)
<1.000 2 50 690
1.000-10.000 2 50 5.000
Total 4 100 5.690
Sumber: Data primer. 2017
Berdasarkan tabel 5 di atas luas lahan yang terfragmentasi
oleh responden melalui jual adalah sebanyak 50% berada pada
kisaran angka <1000 m2 dengan luas <690 m2 masing-masing
memiliki luas 300 m2 dan 390 m2. Sedangkan 50% lainnya
berada pada kisaran angka 1.000-10.000 m2 dengan total luas
5.000 m2 masing-masing memiliki luas 2.500 m2.
53
Pada tabel 4 dan tabel 5 menunjukkan bahwa responden
hanya menjual sebagian dari keseluruhan luas lahan yang
dimilikinya. Sementara untuk lahan pertanian yang kurang dari
batas minimum dapat dialihkan jika pemilik lahan mengalihkan
keseluruahan luas lahan yang dimilikinya atau dapat dialihkan
sebagian dari keseluruhan luas lahan yang dimiliki yang disertai
dengan izin perubahan penggunaan tanah (IPPT). Akan tetapi
dalam penelitian yang dilakukan penulis ditemukan bahwa tidak
satu pun dari jual beli yang dilakukan respoden tersebut yang
disertai dengan izin perubahan penggunaan tanah (IPPT).
Sebagaimana data yang diperoleh penulis dari Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Luwu yang disajikan pada
tabel 6 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2016-2017 tidak
terdapat pendaftaran peralihan hak milik atas tanah pertanian
yang disertai dengan izin perubahan penggunaan tanah yang
berasal dari Kecamatan Walenrang Timur.
Proses jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas
minimum yang dilakukan oleh responden hanya sampai pada
tahap pembuatan akta jual beli pada camat selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) dan tidak dilanjutkan
pada tahap pendaftaran peralihan hak atas tanah pada kantor
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Luwu. Data mengenai
54
daftar peralihan hak milik atas lahan pertanian di Kabupaten
Luwu disajikan pada tabel 6.
Tabel.6 Daftar Peralihan Hak milik Atas Lahan Pertanian Di BPN Luwu 2016-2017
Tahun 2016
NamaLokasi Lahan
(Kecamatan)
Status LahanketeranganBersertifikat Tidak
Halijah Belopa Utara √ IPPT
Sugeng H Belopa Utara √ IPPT
Kasrang Belopa Utara √ IPPT
Harianto Belopa Utara √ IPPT
Zulkifli Belopa Utara √ IPPT
Agus Salim Suli √ IPPT
Hj. Rasdiana Belopa √ IPPT
Imran Kadir Belopa Utara √ IPPT
Drs.Tauhid Belopa Utara √ Izin Lokasi
Rosdiana Belopa Utara √ IPPT
Pitria Patma Suli √ IPPT
Masnani Bajo √ IPPT
Andi Indriani Larompong Selatan
√ IPPT
Drs.Syamsu J Belopa √ IPPT
Samsidaris Belopa Utara √ IPPT
Hj.Ariati SE Belopa Utara √ IPPT
Haeruddin Belopa Utara √ IPPT
Irwan Belopa √ IPPT
55
Irwan Belopa √ IPPT
Saenal Ahmad Belopa Utara √ IPPT
Bustamin Belopa √ IPPT
Andi Rahmawati Belopa Utara √ IPPT
2017Tasniati Suli √ IPPTSelfiani Nurdin Belopa √ IPPTWilson Maknawi Bastem √ Izin Lokasi
Abdul Kadir Belopa Utara √ IPPTDra. St Hasna Belopa Utara √ IPPTDr. Evi Mustika Wati B Belopa √ IPPT
Bure Teguh Satria SH
Walenrang √ Izin Lokasi
Andarias Dondeng Bupon √ IPPT
Asril dg. Patompo Bua √ IPPT
Ansar Abbas Belopa Utara √ Izin LokasiDesi Sangka Ponrang √ IPPT
Sumber: Data Sekunder Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu
Berdasarkan tabel 6 diatas menunjukkan bahwa
sepanjang tahun 2016-2017 tidak terdapat pendaftaran
peralihan hak milik atas tanah pertanian yang disertai dengan
izin perubahan penggunaan tanah yang berasal dari Kecamatan
Walenrang Timur. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan
bahwa responden telah melakukan jual beli kepemilikan lahan
pertanian yang luasnya kurang dari batas minimum atau
dibawah 2 ha dan hanya responden hanya menjual sebagian
dari jumlah lahannya. Seharusnya jual beli tersebut harus
disertai dengan Izin Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT).
56
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan,
terjadinya jual beli kepemilikan lahan pertanian kurang dari 2 ha
yang tidak disertai dengan izin perubahan penggunaan tanah
(IPPT) disebabkan karena ketidaktahuan camat selaku PPATS
secara rinci mengenai prosedur jual beli kepemilikan lahan
pertanian, bahwa untuk lahan pertanian yang kurang dari 2 ha
kemudian akan dialihkan sebagian hanya dapat dilakukan
dengan adanya izin perubahan penggunaan tanah (IPPT).
Banyaknya kasus jual beli kepemilikan lahan pertanian
dibawah batas minimum yang terjadi di Kecamatan Walenrang
Timur tidak hanya disebabkan oleh ketidaktahuan camat terkait
ketentuan yang berlaku dalam jual beli kepemilikan lahan
pertanian dibawah batas minimun, namun juga disebabkan
karena ketidaktahuan masyarakat terkait larangan menjual
lahan pertanian dibawah batas minimum yang tidak disertai
dengan izin perubahan penggunaan tanah (IPPT). Pada tabel 7
dapat dilihat bahwa keseluruhan dari responden tidak satupun
mengetahui aturan mengenai larangan pemecahan lahan
pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli. Selain itu
jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum
menjadi sulit untuk dikendalikan sebab dalam jual beli
kepemilikan lahan pertanian yang penulis dapati, penjual hanya
melaporkan jumlah lahan yang akan dijualnya sehingga tidak
57
diketahui berapa jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh
petani tesebut. Hal tersebut menjadi pemicu terjadinya
fragmentasi lahan pertanian. Data mengenai tingkat
pengetahuan responden terhadap larangan fragmentasi lahan
pertanian kurang dari 2 ha disajikan pada tabel 7.
Tabel.7 Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Larangan Fragmentasi Lahan Pertanian Kurang Dari 2 Ha
Tingkat Pengetahuan
Jumlah
Responden
(Jiwa)
Presentase
(%)
Mengetahui 0 0
Tidak mengetahui 4 100
Total 4 100
Sumber : Data primer. 2017
Berdasarkan tabel 7 di atas disumpulkan bahwa keseluruhan
dari jumlah populasi tidak mengetahui adanya laranganya
fragmentasi lahan pertanian kurang dari 2 hektar.
C. Dampak Fragmentasi Kepemilikan Lahan Pertanian
Berkelanjutan Di Bawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Di
Kabupaten Luwu.
Penetapan luas minimum kepemilikan lahan pertanian
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian
58
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil merupakan salah satu
dari program landreform. Adapun tujuan mendasar
diselenggarakannya landreform adalah untuk mempertinggi
penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan
buruh tani. Untuk mempertinggi taraf hidup petani kepada mereka
perlu diberikan tanah garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu
pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha
agar petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.
Sehubungan dengan ketetapan yang diatur dalam Pasal 8
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, maka dalam Pasal 9
dimuat aturan mengenai larangan melakukan pemecahan
pemilikan lahan pertanian menjadi bagian yang kurang dari 2
hektar, dengan mengadakan pembatasan terhadap pemindahan
hak milik atas tanah pertanian.
Fragmentasi kepemilikan lahan pertanian yang terjadi
sebagai akibat dari jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah
batas minimum telah menyalahi amanat Pasal 8 dan Pasal 9
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Hal tersebut
menyebabkan semakin sulitnya mencapai luas minimum 2 hektar
untuk petani. Padahal tujuan ditetapkannya pembatasan peralihan
hak milik dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun
59
1960 adalah agar batas minimum 2 hektar untuk petani dapat
tercapai secara berangsur.
Tidak tercapainya batas minimum 2 hektar secara langsung
juga berakibat terhadap sulitnya meningkatkan kesejahteraan
petani, sebab 2 hektar merupakan lahan yang dianggap cukup
untuk menghidupi petani sekeluarga. Proses jual beli kepemilikan
lahan pertanian dibawah batas minimum yang dapat dilakukan
dengan sangat mudah menjadi pemicu meningkatnya laju
fragmentasi. Jika fragmentasi kepemilikan lahan pertanian terus
menerus terjadi tanpa adanya upaya yang dilakukan untuk
mengendalikan laju fragmentasi, maka tidak menutup kemungkinan
petani akan kehilangan lahan pertaniannya yang menjadi sumber
penghidupan keluarganya dan amanat Pasal 8 Undang-undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 menjadi semakin sulit untuk diwujudkan.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, rata-
rata jumlah gabah yang dihasilkan untuk lahan seluas 0,5 ha
adalah sekitar 3 ton (3.000 kg) gabah dengan harga jual gabah
per kilogramnya adalah Rp. 4.200.00. Data tentang rata-rata
produksi gabah yang dihasilkan per ton menurut luas lahan (ha)
disajikan pada tabel 8.
Tabel. 8 Rata-rata Produksi Gabah Yang Dihasilkan per ton Menurut Luas Lahan (ha) dan Jenis Pengairan
Jenis pengairan Produksi gabah per ton menurut luas lahan
(ha)
60
0,5 1,0 1,5 2,0
Irigasi teknis 3 6 9 12
Semi teknis 3 6 9 12
Tada Hujan 2 4 7 10
Sumber: Data Sekunder Dinas Pertanian Kabupaten Luwu. 2017
Berdasarkan tabel diatas, maka penerimaan yang akan
diperoleh petani yang memilki lahan sawah seluas 0,5 ha dengan
sistem pengairan irigasi teknis dan semi teknis adalah Rp.
12.600.000,00 untuk satu musim tanam. Adapun untuk lahan
sawah seluas 0,5 ha dengan sistem pengairan tadah hujan akan
menerima pendapatan sebesar Rp. 8.400.000,00 untuk satu
musim tanam. Hasil tersebut diperoleh dengan cara mengalikan
jumlah gabah perkg yang dihasilkan dengan harga gabah
perkilogramnya. Hasil yang diperoleh tersebut kemudian
dikurangkan dengan jumlah komponen biaya produksi selama
satu musim tanam yakni Rp.4.670.000,00. Maka akan diperoleh
hasil sebagai berikut:
- Lahan seluas 0,5 ha dengan sistem pengairan irigasi teknis
dan semi teknis.
(jumlah penerimaan – jumlah komponen produksi)
12.600.00,00 - 4.670.000,00 = 7.930.000,00
- Lahan seluas 0,5 ha dengan sistem pengairan tada hujan
8.400.000,00 – 4.670.000,00 = 3.730.000,00
61
Sesuai dengan hasil perhitungan tersebut petani pemilik
lahan seluas 0,5 ha dengan sistem pengairan irigasi teknis dan
semi teknis mendapat keuntungan sebesar Rp. 7.930.000,00
untuk satu musim tanam. Sedangkan petani pemilik lahan seluas
0,5 ha dengan sistem pengairan tada hujan hanya memperoleh
keuntungan sebesar Rp.3.730.00,00 per satu musim tanamnya.
Satu musim tanam biasanya berlangsung selama 6 bulan untuk
lahan sawah yang sistem pengairannya menggunakan irigasi
teknis dan semi teknis. Sedangkan untuk yang sistem
pengairannya menggunakan tada hujan hanya dapat melakukan
panen sekali dalam setahun.
Untuk dapat mengetahui apakah keuntungan yang
diperoleh petani dari hasil panen tersebut dapat mencukupi
kebutuhan rumah tangganya, maka perlu dilakukan perhitungan
terhadap jumlah harga kebutuhan rumah tangga petani
sekeluarga. Hasil dari penerimaan petani kemudian dikurangkan
dengan jumlah kebutuhan rumah tangga petani sekeluarga
tersebut. Harga kebutuhan rumah tangga sehari-hari mencapai
nominal sekitar Rp. 521.000,00 per orang per bulannya.
Jika dalam satu keluarga terdiri dari 5 orang anggota
keluarga maka nominal pengeluaran perbulannya adalah Rp.
2.605.000.00. Sawah dengan sistem pengairan irigasi teknis dan
semi teknis dalam satu tahun bisa 2 kali panen. Sehingga dalam
62
setahun petani dapat memperoleh penerimaan sebanyak dua kali
dari hasil panen yakni per 6 bulan sekali. Sedangkan untuk sawah
yang sistem pengairannya menggunakan sistem tada hujan hanya
memperoleh penerimaan dari hasil panen setahun sekali yakni
pada saat musim hujan berlangsung.
Jika mengandalkan hasil panen untuk mencukupi
seluruh kebutuhan rumah tangga petani, maka kebutuhan tersebut
tidak akan tercukupi. Sebab untuk lahan seluas 0,5 ha dengan
sistem pengairan irigasi teknis atau semi teknis hanya
memperoleh penerimaan sebesar Rp. 7.930.000,00 per satu
musim tanam yakni per 6 bulan. Sedangkan kebutuhan rumah
tangga petani dalam kurun waktu 6 bulan mencapai nominal Rp.
15.630.00,00. Pada lahan sawah yang menggunakan sistem
pengairan tada hujan dalam setahun hanya bisa panen satu kali
dengan hasil produksi yang lebih sedikit.
Fragmentasi yang terjadi sebagai akibat jual beli
kepemilikan lahan pertanian dibawah batas minimum pada
akhirnya memberi dampak yang besar terhadap kesanggupan
petani dalam mencukupi kebutuhan dasar rumah tangganya. Jika
fragmentasi kepemilikan lahan pertanian terus menerus terjadi
tanpa adanya upaya yang dilakukan untuk mengendalikan laju
fragmentasi, hal tersebut akan menjadi penyebab sulitnya
meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
63
Fragmentasi kepemilikan lahan yang terjadi juga
memberi dampak terhadap kedaulatan pangan. Dalam konsideran
‘’Menimbang’’ Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dijelaskan
bahwa fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam
daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Isi konsideran
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tersebut jelas
memperlihatkan bahwa salah satu kewajiban negara adalah
menjamin kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 18 tahun
2012 tentang pangan dijelaskan bahwa kedaulatan pangan adalah
hak negara dan bangsa yang secara mendiri menentukan
kebijakan pangan yang yang menjamin hak atas pangan bagi
rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
Reforma agraria akan membawa Indonesia berdaulat
pangan. Agar bisa bedaulat pangan, pertama-tama petani sebagai
pelaku utama harus berdaulat. Petani akan berdaulat jika mereka
memiliki tanah, bukan bertindak sebagai buruh atau penggarap.
64
Oleh karena itu untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan,
akses kontrol petani kecil terhadap sumber daya produksi harus
dijamin lewat reforma agraria.47
Untuk dapat berdaulat pangan, pertama-tama petani
sebagai pelaku utama harus berdaulat pangan. Petani akan
berdaulat jika memiliki lahan garapan. Memiliki lahan saja tidak
cukup untuk menjadikan petani berdaulat pangan. Tetapi
dibuhkan lahan yang luasnya cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan kebutuhan hidup petani sekeluarga.
Reforma agraria yang berhasil ditandai dengan adanya
kepastian penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan
kesempatan kerja bagi petani, tata guna tanah yang mampu
memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian
mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan
produktivitas yang mampu membuat keluarga petani mampu
melakukan re-investasi dan memiliki daya beli yang tinggi. Kalau
hal ini terjadi, sektor pertanian di Indonesia akan menjadi
sandaran hidup mayoritas rakyat dan juga sekaligus penyokong
industrialisasi nasional dan reforma agraria akan menghasilkan
revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang kokoh.48
47 Muhammad Ilham Arisaputra. 2015. Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Rechtidee Jurnal Hukum. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Vol.10. Hlmm. 54
48 Ibid., Hlm. 56
65
Fragmentasi kepemilikan lahan pertanian dibawah batas
minimum melalui jual beli jika terus menerus terjadi tanpa adanya
upaya pencegahan yang dilakukan akan memberi dampak
terhadap kedaulatan pangan bagi petani. Sebab akan sulit
menjadikan petani berdaulat pangan apabila petani tersebut tidak
memiliki lahan pertanian dan hanya bertindak sebagai buruh tani.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Prosedur jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas
minimum dapat dilakukan dengan adanya Izin Perubahan
Penggunaan Tanah (IPPT). Pemberian Izin Perubahan
Penggunaan Tanah (IPPT) mengacu pada peta pola ruang
rencana tata ruang wilayah. Jika lahan yang dimohonkan Izin
Perubahan Penggunaan Tanah (IPPT) pada peta pola ruang
merupakan lahan pertanian biasa maka Izin Perubahan
Penggunaan Tanah (IPPT) dapat dikeluarkan. Akan tetapi
jika lahan yang dimohonkan Izin Perubahan Penggunaan
Tanah (IPPT) pada peta pola ruang merupakan lahan
pertanian berkelanjutan maka Izin Perubahan Penggunaan
Tanah (IPPT) tidak dapat dikeluarkan mengingat bahwa
dalam Undang-undang No 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
67
melarang untuk melakukan alihfungsi pada lahan pertanian
berkelanjutan.
2. Dampak dari jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah
batas minimum mengakibatkan berlangsungnya kepemilikan
lahan pertanian dibawah batas minimum yang tidak dapat
mendukung kedaulatan pangan dan tidak memberikan
kesejahteraan kepada petani.
B. Saran
1. Kantor Pertanahan seharusnya benar-benar melakukan
pembinaan secara berkelanjutan terhadap Camat selaku
Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) terkait
aturan-aturan yang berlaku dalam prosedur jual beli
kepemilikan lahan pertanian. Sehingga camat selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) mengerti dan
memahami secara penuh prosedur-prosedur yang berlaku
dalam jual beli kepemilikan lahan pertanian. Khususnya pada
lahan pertanian berkelanjutan.
2. Perlu dilakukan sosialisasi secara terus-menerus kepada
masyarakat khususnya petani terkait larangan melakukan
jual beli kepemilikan lahan pertanian dibawah batas
minimum dan dampak yang timbul dari jual beli kepemilikan
68
lahan pertanian dibawah batas minimum yang dampaknya
lebih besar merugikan petani itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku
Adrian Sutedi.2010.Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya.Sinar Grafiko.Jakarta.
Boedi Harsono.2008.Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya) Djambatan.Jakarta.
Erna Sri Wibawanti Dan R.Murjiyanto.2013.Hak Atas Tanah Dan Peralihannya.Liberty Yogyakarta.Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2016.Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta
Kartini Muljadi, Dkk.2004.Kedudukan Berkuasa Dan Hak Milik.Kencana. Jakarta.
Muhammad Ilham Arisaputra.2015.Reforma Agraria di Indonesia.Sinar Grafika.Jakarta.
Tri Budiyono.2011.Hukum Perusahaan : Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.Griya Media.Jakarta
Urip Santoso.2008.Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah.Kencana. Jakarta
Skripsi/Tesis
Aini Halim.2014.Analisis Yuridis Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas.Tesis.Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Medan.
MF.Anita Widhy Handari.2012.Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Magelang.
69
Tesis.Program Studi Ilmu Lingkungan.Universitas Diponegoro. Semarang.
Muh Yamin.2011.Kepemilikan Atas Tanah Pertanian Yang Melebihi Batas Maksimum Di Kabupaten Kolaka Ditinjau Dari Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960.Skripsi.Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.Makassar.
Jurnal Imliah
Susanti A, Hidayat K, Sukesi K.2013.Struktur Penguasaan Lahan Pertanian dan Hubungan Kerja Agrarian Pada Masyarakat Trengger.Jurnal.Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.Vol.14. Nomor 1 April 2013
Muhammad Ilham Arisaputra.2015.Reforma Agraria Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan.Rechtidee Jurnal Hukum.Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.Vol.10.Nomor 1 Juni 2015
Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Tahun 2011-2031
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Sumber internet :
Hermas E Prabowo. Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan.Pada http://cetak.kompas.com/read/.Selasa 28 Maret 2017.Pukul 16.35
Sumaryanto dan Helena J. Purba.Fragmentasi Lahan Pertanian Dan Hubungannya Dengan Produktivitas Usaha Tani.Pada www.litbang.pertanian.go.id.Senin 27 Maret 2017.Pukul 21.22
70
Syahyuti. Delandreformasi Sebagai Gejala Anti Landreform di Indonesia.Pada http://websyahyuti.blogspot.co.id. Sabtu 25 Maret 2017.Pukul 16:56
71
72
73
74