repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · bab 2 tinjauan pustaka 2.1. demam...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1. Definisi DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan
demam 2 – 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, Jumlah trombosit
<100.000/µl, adanya tanda tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit ≥ 20%
dari nilai normal, dan/atau efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/
albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD
menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan
IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris) (WHO, 2005).
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai
dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat
menyebabkan kematian, umumnya menyerang anak <15 tahun, namun tidak tertutup
kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam
mendadak 2 - 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati,
disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam
(purpura). Kadang-kadang mimisan, buang air besar darah, kesadaran menurun atau
renjatan (shock) (Depkes RI, 2003).
12 Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Etiologi DBD
DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok ArbovirusB,yaitu
arthopod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini dikenal
sebagai genus Flavivirusdari famili Flaviviridaedan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Keempat serotipe virus ini semuanya terdapat di
Indonesia (Soegijanto, 2008). Di daerah endemik DBD, seseorang dapat terkena
infeksi semua serotipe virus pada waktu yang bersamaan. Menurut hasil penelitian,
serotipe Den-3 merupakan serotipe yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat.
Serotipe Den-3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun
rendah, tingkat penyebaran yang tinggi dan berkaitan dengan terjadinya wabah
(Widoyono, 2011).
2.1.3. Klasifikasi Kasus DBD
Klasifikasi kasus DBD berdasarkan Depkes RI, (2005b) adalah :
1. Suspek DBD
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji torniquet
positif) dan/atau trombositopenia ≤ 100.000/µ1 (normal 150.000/µ1-300.000/µ1).
2. Demam Dengue (DD)
Gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri
kepala hebat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang dan sendi, mual,
muntah dan timbulnya ruam. Demam Dengue biasanya karena infeksi primer
virus dengue, pada pemeriksaan serologis hanya dapat dideteksi dengan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan (positif) IgM saja. Biasanya IgM tersebut mulai terdeteksi pada saat
demam hari ke-4.
3. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji
Torniquet positif), trombositopenia, hemokonsentrasi dapat dilihat dari
peningkatan hematokrit ≥ 20% (Normal: pria <45, wanita <40). atau hasil
pemeriksaan serologis (IgM/IgG) positif.
4. Dengue Shock Syndrom (DSS)
Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak
dapat diukur.
2.1.4. Mekanisme Penularan DBD
Menurut Widoyono (2011) nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD
adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit
dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Virus berkembang dalam tubuh nyamuk
selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar liurnya dan jika nyamuk ini menggigit
orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama bersama air liur nyamuk.
Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-7 hari dan orang tersebut
akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri
dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu. Orang yang
didalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit demam berdarah
dengue, ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya atau
Universitas Sumatera Utara
bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi semuanya merupakan
pembawa virus dengue selama satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang
lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk
menjadi infektif seumur hidupnya.
2.1.5. Tempat Potensial Penularan Nyamuk DBD
Penularan nyamuk DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD menurut
Depkes RI (2005c) adalah :
Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa
tipe virus dengue cukup besar yaitu :
a. Sekolah
Anak sekolah merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk terserang
penyakit DBD.
b. Puskesmas/rumah sakit dan unit pelayanan kesehatan lainnya orang datang dari
berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam
dengue (DD) atau carrier virus dengue.
c. Tempat-tempat umum lainnya, seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran dan
tempat ibadah.
d. Wilayah rawan DBD (endemis).
e. Pemukiman baru dipinggir kota
Universitas Sumatera Utara
Pada daerah ini penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah yang
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe
virus dengue yang berlainan dari masing-masing daerah asal.
2.2. Nyamuk Penular DBD
2.2.1. Morfologi Nyamuk
Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor utama virus
DBD adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih
yang terdapat pada bagian skutumnya (Gambar 2.1) (Soegijanto, 2008).
Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
ukuran nyamuk rumah (Culex), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-
bintik putih pada bagian badannya, terutama pada kaki dan dikenal dari bentuk
morfologi yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lire (Lyre form)
yang putih pada punggungnya. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung
hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak
memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengan basal,
anterior dan tenga bersisik putih memanjang. Tibia semuanya hitam. Tarsi belakang
berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan kelima berwarna
putih. Sayap berukuran 2,5 – 3,0 mm bersisik hitam.
Nyamuk Aedes albopictus, sepintas seperti nyamuk Aedes aegypti, yaitu
mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian dadanya, tetapi
Universitas Sumatera Utara
pada thorax yaitu bagian skutumnya terdapat satu garis longitudinal (lurus dan tebal)
yang dibentuk oleh sisik-sisik putih berserakan. Nyamuk ini merupakan penghuni asli
Negara Timur, walaupun mempunyai kebiasaan bertelur di tempat-tempat yang alami
di rimba dan hutan bambu, tetapi telah dilaporkan dijumpai telur dalam jumlah
banyak di sekitar tempat pemukiman penduduk di daerah perkotaan (Depkes RI,
2008).
Gambar 2.1 Morfologi Aedes aegypti dan Aedes albopictus
2.2.2. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan
nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup
nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypt I
Sumber : (Depkes, RI. 2005c)
a. Telur
Menurut Anggraeni (2010), Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada
permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara
individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur
Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan
kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1
sampai 2 hari.
b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
Universitas Sumatera Utara
rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan
jentik tersebut, yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1 – 2 mm
2) Instar II : 2,5 – 3,8 mm
3) Instar III : berukuran besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm
Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 - 7 hari
(Depkes RI, 2005c).
c. Pupa (Kepompong)
Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa
keluar dari pupa.
Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu
7-8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung
(Depkes RI, 2005c).
d. Nyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin
dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24 sampai
Universitas Sumatera Utara
36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur
(Depkes RI, 2005c).
2.2.3. Ekologi Vektor
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara vektor
dengan lingkungannya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh
lingkungan fisik maupun lingkungan biologik. Lingkungan merupakan tempat
interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan
terjadinya penyakit DBD, hal ini sejalan dengan penelitian Teguh (2007) di Kota
Purwokerto menyatakan adanya hubungan antara keadaan lingkungan dengan
penyakit DBD. Lingkungan fisik mempengaruhi eksistensi nyamuk antara lain
ketinggian tempat, curah hujan, temperatur dan kecepatan angin. Eksistensi nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun
lingkungan biologik (Depkes RI, 2005c).
2.2.3.1 Lingkungan Fisik
Berdasarkan Depkes RI (1998) Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling
manusia yang terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan
kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat menjadi
enviromental reservoir dan ikut berperan menentukan pola populasi nyamuk.
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah
hujan), keadaan geografis, struktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat
kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya
Universitas Sumatera Utara
sumber penularan DBD. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat
perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Depkes RI, 2009 dalam Irianti, 2013).
1. Jarak antara Rumah
Berdasarkan Depkes RI, (1998) jarak rumah mempengaruhi penyebaran
nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin
mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna dinding dan
pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau
tidak disenangi oleh nyamuk. Berdasarkan syarat lingkungan perumahan sehat
menurut Winslow dalam Susanto (2007) bahwa jarak antara rumah 2 kali tinggi
bangunan (2,8 m) atau jarak antara rumah satu dengan yang lain sepanjang 5 m.
Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi perumahan yang
berdesak-desakan dan kumuh mempunyai kemungkinan lebih besar terserang
penyakit.
Penelitian Roose dalam Imran (2013), di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah ≤5 m memberikan
kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD sebesar 1,79 kali dibanding dengan
jarak antar rumah >5 m. Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari
satu rumah ke rumah yang lain, semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah
nyamuk menyebar ke rumah yang lain (Soeroso, 2006).
2. Macam Tempat Penampungan Air/Container
Macam tempat penampungan air sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti. Macam tempat penampungan air ini dibedakan lagi berdasarkan bahan
Universitas Sumatera Utara
tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar dan
lain lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat dan lain-lain), letak
tempat penampungan air (di dalam rumah atau di luar rumah), penutup tempat
penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat penampungan air
(terang atau gelap) dan sebagainya (Depkes RI, 2008). Hal ini sejalan dengan
penelitian Syarif Usman dalam Widodo (2012) di Bandar Lampung jika keberadaan
barang-barang tempat penampung air (OR=2,79) yang menemukan adanya hubungan
barang-barang penampung air dengan kejadian DBD.
3. Ketinggian Tempat
Menurut Widoyono (2011) keadaan geografis seperti ketinggian
mempengaruhi penularan penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai
ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar oksigen juga
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, semakin tinggi letak pemukiman maka
akan semakin rendah kadar oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan
temperatur udara.
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di
Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat
umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah ±
1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m, nyamuk tidak dapat
berkembangbiak karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga
tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk (Depkes RI, 2005c).
Universitas Sumatera Utara
4. Iklim
Menurut Achmadi (2012) iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat
binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara
alamiah. Timbulnya demam berdarah dengue sering dikaitkan dengan kelembaban
dan musim hujan. Disamping itu, adanya peningkatan suhu global mengakibatkan
perubahan pola transmisi beberapa parasit dan penyakit baik yang ditularkan
langsung maupun yang ditularkan oleh serangga. Suhu lingkungan yang lebih hangat
akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue didalam tubuh nyamuk.
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik yang terdiri dari
suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, pencahayaan dan kecepatan angin.
a. Suhu Udara
Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup keberadaan nyamuk.
Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa
menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu diatas 340C akan membatasi populasi
nyamuk. Suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk adalah 25°C – 30°C.
Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya
menurun atau bahkan berhenti bila suhu turun sampai 100C (Epstein et.al dalam
Irianti, 2013).
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses
metabolisme sebagian diatur oleh suhu, oleh karena kejadian-kejadian biologis
tertentu seperti lamanya masa pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap,
pematangan idung telur, frekuensi mencari makanan atau menggigit dan lamanya
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dipengaruhi oleh suhu (Depkes RI,
2007).
Berdasarkan Depkes RI (2005c) nyamuk betina setiap kali bertelur ditempat
yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 20C sampai 420C
dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi
maka telur dapat menetas lebih cepat.
Menurut Achmadi (2012) suhu lingkungan yang lebih hangat akan
menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus dengue di dalam tubuh nyamuk.
Berdasarkan penelitian Maria, dkk (2013) di Kota Makassar dari hasil
pengukuran suhu dilokasi penelitian untuk semua responden, baik kasus maupun
kontrol antara 200C-300C, nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara,
dalam waktu 3 hari telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan
temperatur udara 250C-300C.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan
fisik seperti Suhu dalam rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan adalah
180C - 300C
b. Kelembaban Udara
Menurut Depkes RI (1998), umur nyamuk dipengaruhi oleh kelembaban
udara. Pada suhu 20ºC kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101 hari dan
umur nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan
Universitas Sumatera Utara
menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk
perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.
Berdasarkan Depkes RI (2007), kelembaban udara adalah banyak uap air yang
terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban
udara yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan
lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau bakteri penyebab
penyakit. Kelembaban yang baik berkisar antara 40% – 60%. Pada keadaan ini
nyamuk tidak dapat bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek
sehingga nyamuk tersebut tidak cukup untuk siklus pertumbuhan parasit di dalam
tubuh nyamuk. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria dkk, (2013) di Kota Makassar
risiko responden yang tinggal di rumah yang lembab untuk terkena DBD 3,36 kali
lebih besar dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah yang tidak
lembab, variabel kelembaban bermakna secara statistik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan
fisik kelembaban dalam rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah 40% - 60%.
c. Curah Hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan
menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan
sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Soeroso, 2000).
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah
jumlah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat pula
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan tempat perindukan, oleh karena jentiknya hanyut dan mati (Anshari,
2004 dalam Irianti, 2013). Kejadian penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya
meninggi beberapa waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda-beda
menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Curah hujan yang cukup dengan
jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak
secara optimal (Depkes RI, 2007).
Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan
peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al dalam Irianti, 2013).
d. Pencahayaan
Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam
kontainer yang gelap dan juga menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya.
Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih
banyak dari bejana yang intensitas cahanya besar atau terang (Soegijanto, 2008).
Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat
pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi
merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk, intensitas cahaya merupakan faktor
terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas pencahayaan untuk
kehidupan nyamuk adalah < 60 lux (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Rumah persyaratan
fisik pencahayaan dalam rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah minimal
60 Lux.
Universitas Sumatera Utara
e. Kecepatan Angin
Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada penguapan (evaporasi)
air dan suhu udara (konveksi), disamping itu angin berpengaruh terhadap arah
penerbangan nyamuk. Bila kecepatan angin 11 – 14 meter perdetik atau 25 – 31 mil
per jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Dalam keadaan udara tenang
mungkin suhu nyamuk ada beberapa fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu
lingkungan, bila ada angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk akan
turun beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu lingkungan (Depkes, 2007).
2.2.3.2. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik yang mempengaruhi penularan DBD adalah banyaknya
tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan
kelembaban dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan tanaman
pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk
hinggap istirahat dan juga menambah umur nyamuk (Fransisca, 2009). Kelembaban
yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan tempat yang
disenangi oleh nyamuk untuk istirahat (Soedarmo dalam Widiyanto, 2007).
Menurut Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda
hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan
lain-lain yang dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor
penyakit, dan hospes intermediat. Contoh lingkungan biologi adalah adanya tanaman
air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Bionomik Vektor
Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding
habit), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap istirahat
(resting habit) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes RI, 2007).
1. Tempat Perkembangbiakan (Breeding Habit)
Tempat perindukan nyamuk utama adalah tempat-tempat penampungan air di
dalam dan di sekitar rumah. Biasanya tidak melebihi jarak 500 (lima ratus) meter dari
rumah. Nyamuk Ae.aegypti tidak berkembangbiak pada genangan air yang langsung
berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat untuk menampung air
guna keperluan sehari-hari seperti: drum, tempayan, bak mandi, bak WC,
ember dan lain-lain.
b. Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa
menampung air tetapi bukan keperluan sehari-hari seperti: tempat minum
hewan piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas (kaleng, ban, botol,
pecahan gelas dan lain-lain), vas kembang, perangkap semut, penampungan
air dispenser dan sebagainya.
c. Tempat penampungan air buatan alam (alamiah/natural) seperti: lubang
pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal
pohon pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Berdasarkan Depkes (2005c) nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan
tumbuhan untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina lebih menyukai
menghisap darah (protein) manusia daripada binatang (bersifat antropofilik). Protein
diperlukan untuk mematangkan telurnya untuk menyelesaikan perkembangan telur,
mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi
antara 3-4 hari yang disebut (gonotropic cycle). Kebiasaan nyamuk betina mencari
mangsanya pada siang hari. Aktifitas menggigit biasanya mulai pagi sampai sore hari,
dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 – 10.00 dan 16.00 – 17.00. tidak seperti
nyamuk lain, Aedes ageypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali
(multiples bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan
darah, maka nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-
kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya
ditempat yang gelap dan lembab.
3. Tempat Istirahat (Resting Habit)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur
adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Aedes aegypti lebih menyukai
tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai
tempat peristirahatannya termasuk di kamar tidur, di kamar mandi maupun di dapur.
Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman atau tempat terlindung
lainnya. Di dalam ruangan permukaan istirahat yang disukai nyamuk adalah dibawah
Universitas Sumatera Utara
perabotan, benda-benda yang bergantung seperti baju, kelambu dan tirai serta
dinding. Sementara nyamuk Aedes albopictus lebih menyukai tempat diluar rumah
yaitu hidup di lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan kebun atau kawasan
pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut nyamuk kebun (forest
mosquito) (WHO, 2005).
Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu pada benda-
benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung
juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).
4. Jarak Terbang (Flight Range)
Pergerakan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh kemampuan terbang
dengan rata-rata 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya karena angin atau
terbawa kendaraan, nyamuk ini dapat berpindah jauh (Depkes 2005c)
2.2.5. Pengamatan Kepadatan Vektor
Untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi
dapat dilakukan beberapa survei di rumah yang dipilih secara acak berdasarkan
Depkes RI (2005c).
1. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di
dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan
penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama.
Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
Universitas Sumatera Utara
2. Suvei Jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air
di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah
dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan
survai ada 2 (dua) metode yang meliputi : (Depkes RI, 2005c).
a. Metode Singel Survei
Survei ini dilakukan dengan mengambil jentik dissetiap tempat genangan air
yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis
jentiknya.
b. Metode Visual
Survei ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik. Dalam program
pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah cara visual
dan ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepdatan jentik yaitu :
1). Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka Bebas Jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di
semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumah–
rumah penduduk yang diperiksa secara acak.
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
2). House Indeks (HI)
House Indeks (HI) adalah persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik
yang dilakukan di semua desa/kelurahan oleh petugas puskesmas setiap 3 (tiga) bulan
pada rumah-rumah yang diperiksa secara acak.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah rumah yang ditemukan jentik HI = x 100%
Jumlah rumah yang diperiksa 3). Container Indeks (CI)
Container Indeks (CI) adalah persentase pemeriksaan jumlah container yang
diperiksa ditemukan jentik pada container di rumah penduduk yang dipilih secara
acak.
Jumlah Container ditemukan jentik CI = x 100%
Jumlah container yang diperiksa 4). Breteau Indeks (BI)
Jumlah container yang terdapat jentik dalam 100 rumah. Angka Bebas Jentik
dan House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu
daerah.Tidak ada teori yang pasti Angka Bebas Jentik dan House Index yang dipakai
sebagai standard, hanya berdasarkan kesepakatan, disepakati House Index minimal
1% yang berarti persentase rumah yang diperiksa jentiknya positif tidak boleh
melebihi 1% atau 99% rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif. Ukuran tersebut
digunakan sebagai indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD.
2.2.6. Stratifikasi Kelurahan/Desa DBD
Stratifikasi Keluarahan/Desa DBD berdasarkan Depkes RI (2005c) :
1. Kelurahan/Desa Endemis adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir,
setiap tahun ada penderita DBD.
2. Kelurahan/desa Sporadis adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir
terdapat penderita DBD tapi tidak setiap tahun
Universitas Sumatera Utara
3. Kelurahan/desa Potensial adalah kelurahan/desa yang dalam 3 tahun terakhir
tidak pernah ada penderita DBD, tetapi penduduknya padat, mempunyai
hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah yang lain dan presentase
rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan 5%.
4. Kelurahan/desa Bebas yaitu yang tidak pernah ada penderita DBD selama 3
tahun terakhir dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%.
2.3. Pemberantasan dan Penanggulangan DBD
2.3.1 Upaya Pemberantasan DBD
Berdasarkan Depkes RI, (2005c) hingga saat ini pemberantasan nyamuk
Aedes aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk pemberantasan DBD,
karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia.
Cara pemberantasan yang dilakukan adalah:
1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan yang dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan cara
penyemprotan (pengasapan/fogging) dengan insektisida. Penyemprotan dilakukan
pada benda-benda yang bergantungan.
2. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD, dilakukan dengan cara :
Universitas Sumatera Utara
a. Fisik
Cara ini dilakukan dengan kegiatan “3M’, yaitu : Menguras (dan menyikat)
bak mandi, bak WC, dan lain-lain: Menutup tempat penampungan air rumah tangga
(tempayan, drum dan lain-lain), serta Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan
barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan lain-lain). Bila PSN DBD dilaksakan
oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan
serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi, karena keberadaan
jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
Menurut Depkes RI, (1992) dalam Anton (2008) upaya pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti,
dilakukan dengan cara:
1) Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurang-
kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk,
sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-
rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut.
2) Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung
seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk.
Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah
lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat
berkembangbiaknya nyamuk.
3) Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di kamar
ruang yang remang-remang atau gelap. Dengan melakukan kegiatan PSN
Universitas Sumatera Utara
DBD secara rutin oleh semua masyarakat maka perkembangbiakan penyakit
di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau dibatasi.
b. Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegyptidengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larvasida) yang dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang
biasa digunakan adalah temephos.
c. Biologi
Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan
cupang/tempalo dan lain-lain).
Dengan insektisida (fogging)
Fisik
Kimiawi
Biologi
Gambar 2.3. Bagan Pemberantasan DBD (Depkes RI, 2005c)
2.3.2. Upaya Penanggulangan DBD
Upaya penanggulangan adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD
yang dilaksanakan dengan melakukan sebagai berikut (Depkes RI, 2005d) :
1. Penanggulagan Fokus
Penanggulangan fokus adalah penanggulangan hasil tindak lanjut dari
Penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu bila ditemukan penderita DBD 1 atau 3 atau
Nyamuk Dewasa
Jentik
Universitas Sumatera Utara
lebih tersangka DBD dan ditemukan jentik (≥5%) dari rumah yang diperiksa maka
dilakukan kegiatan
- Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD oleh ketua RW/RT, Tokoh
Masyarakat memberikan pengarahan langsung kepada warga pada waktu
pelaksanaan PSN DBD.
- Larvasidasi dilakukan sebelum dilakukan pengasapan dengan insektisida.
- Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader
wisma PKK, pengurus RT atau juru pemantau jentik (jumantik), paling sedikit
satu minggu sekali.
- Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali,
dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan yang dilakukan secara
random, kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan angka kepadatan jentik atau
HI (house indeks).
- Penyuluhan oleh petugas kesehatan/kader atau kelompok kerja (Pokja) DBD
Desa/Kelurahan berkoordinasi dengan petugas puskesmas.
- Pengasapan dengan insektisida dilakukan oleh petugas puskesmas dan
bekerjasama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota.
- Hasil pelaksanaan penanggulangan fokus dilaporkan oleh puskesmas dengan
dinas kesehatan kabupaten/kota.
Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut diatas dan tidak
ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kriteria KLB DBD adalah adanya peningkatan jumlah penderita DBD disuatu
desa/kelurahan (atau wilayah yang lebih luas) dua kali atau lebih dalam kurun waktu
satu minggu/bulan dibandingkan dengan minggu/bulan sebelumnya atau bulan yang
sama tahun yang lalu. Sesuai dengan Undang-Undang No.4 tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit menular dan Permenkes No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit
yang Dapat Menimbulkan Wabah, maka semua penyakit yang dapat menimbulkan
KLB/wabah termasuk DBD (tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD) harus segera
dilaporkan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam setelah diagnosis ditegakkan
(Depkes RI, 2005d)..
Berdasarkan Depkes RI (2005b), kegiatan penanggulangan KLB adalah upaya
penanggulangan yang meliputi :
- Pengobatan/perawatan
Penderita DBD yang berat dirawat di rumah sakit atau puskesmas yang
mempunyai fasilitas.
- Pemberantasan vektor penular DBD
Pengasapan yang dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu, PSN DBD dan
larvasidasi.
- Penyuluhan kesehatan masyarakat
- Evaluasi penanggulangan yang dilakukan diseluruh wilayah yang terjadi KLB.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Perilaku
Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari
batasan dapat diuraikan bahwa reaksi dapat diuraikan bermacam-macam bentuk, yang
pada hakekatnya digolongkan menjadi 2, yaitu bentuk pasif (tanpa tindakan nyata
atau konkret) dan dalam bentuk aktif dengan tindakan nyata atau (konkret)
(Notoatmodjo, 2007).
Menurut Mubarak (2012), perilaku merupakan seperangkat perbuatan/
tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian
dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada
dasarnya terdiri atas komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan
keterampilan (psikometer). Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan
hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Hal ini dikenal
dengan Teori S-O-R (Stimulus- Organisme-Respon).
Menurut ilmu sosiologi, perilaku manusia merupakan hasil daripada segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Sesuai dengan batasan perilaku
kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu
dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang
kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono dalam
Fransisca, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1. Definisi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa
(berpendapat, berpikir bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respons terhadap
situasi di luar subjek.
Perilaku kesehatan (Health Behavior) menurut Notoatmodjo (2010) adalah
respon sesorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain perilaku
adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable)
maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharan
dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau
melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan
(covert behavior) dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah
kesehatan (health seeking behavior).
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku terhadap lingkungan kesehatan
(enviromental health behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkungan kesehatan
lingkungan itu sendiri. Perilaku ini antara lain mencakup :
a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen,
manfaat dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-segi
higiene pemeliharaan tekhnik dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai dan sebagainya.
d. Perilaku sehubungan dengan pemebersihan sarang-sarang naymuk (vektor), dan
sebagainya.
Domain perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas. Seorang ahli psikologi pendidikan Benyamin Bloom dalam
Notoatmodjo (2003), membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan). Ke 3
(tiga) domain ini diukur dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.2. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yaitu dengan mengetahui reaksi atau rangsangan dari luar.
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan (pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba).
Secara umum sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang
tersebut terjadi beberapa proses sebagai berikut:
a. Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan mengetahui adanya stimulus.
b. Interest, mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, menimbang-nimbang/mengevaluasi baik tidaknya stimulus tersebut
terhadap dirinya.
d. Trial, mencoba perilaku baru.
Universitas Sumatera Utara
e. Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat
yakni :
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemapuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Synthesisi)
Sintesis suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.
6) Evaluasi ( Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Sikap (Attitude)
Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007).
Tingkatan sikap adalah:
a. Menerima (Receiving), seseorang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek)
b. Merespon (Responding), merespon/mengerjakan tugas yang diberikan.
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan dan mengerjkakan yang diberikan, lepas dari pekerjaan
itu benar atau salah adalah berani orang mnenerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan/ mendiskusikan
sesuatu masalah.
d. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung-jawab atas sesuatu yang telah
dipilihnya walau apapun risiko dan tantangannya.
2.4.4. Tindakan atau Praktek
Tindakan suatu yang sikap belum otomatis terwujud. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2007) tindakan adalah sesuatu yang dilakukan;
perbuatan. Tindakan terdiri dari empat tingkatan yaitu:
a. Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai object sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil.
b. Respon Terpimpin (Guided response), melakukan sesuatu sesuai dengan urutan
yang benar sesuai dengan contoh.
c. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
d. Adaptasi (Adaptation) adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa
mengurangi kebenaran tindakan.
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan
sebagainya, namun demikian pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala
kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala
kejiwaan ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain diantaranya adalah
pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio budaya masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Landasan Teori
Penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Landasan teori dalam
penelitian ini berdasarkan Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) yaitu
hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit
dengan manusia serta perilakunya (Achmadi, 2012).
Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian DBD sebagai berikut:
Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4
Gambar 2.4. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Simpul (Achmadi, 2012)
Dengan mengacu pada gambar skematik tersebut diatas maka simpul-simpul
dalam penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian DBD sebagai berikut:
a. Simpul 1 yaitu sumber penularan penyakit adalah orang yang menderita DBD
b. Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit adalah lingkungan meliputi suhu,
pencahayaan, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, topografi, keberadaan
jentik, tempat penampungan air, kondisi rumah dan nyamuk Aedes aegypti.
Sumber Penularan
Media Transmisi
Komunitas Dampak Kesehatan
Penderita DBD
Lingkungan
Kependudukan
Sakit/Sehat
Universitas Sumatera Utara
c. Simpul 3 yaitu kependudukan, variabel yang meliputi penduduk adalah
karakteristik penduduk meliputi : umur, gender, pendidikan, kepadatan penduduk,
pengetahuan, sikap dan tindakan.
d. Simpul 4 yaitu kejadian penyakit atau gangguan dari hasil hubungan interaktif
manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan
manusia, yaitu sakit atau sehat (Achmadi, 2012).
2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori, maka peneliti merumuskan ada beberapa variabel
yang akan diteliti berkaitan dengan kejadian DBD yang terjadi di Wilayah Kerja
Puskesmas Helvetia Kota Medan pada Tahun 2013. Variabel tersebut adalah Faktor
Lingkungan Fisik dan Perilaku.
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penelitian
Lingkungan Fisik : 1. Suhu 2. Pencahayaan 3. Kelembaban 4. Keberadaan Jentik
Perilaku 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
Kejadian DBD
Universitas Sumatera Utara