9 juli kti religiusitas etos kerja islami bab i - iii.doc
DESCRIPTION
aadaTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Agama islam memuat ajaran yang bersifat komprehensif dan universal,
komprehensif artinya mencakup seluruh bidang kehidupan dan universal artinya
bersifat umum. Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia baik dalam
skala mikro maupun makro. Dan manusia sebagai khalifah fil ard menggunakan
ajaran agama tersebut untuk mewujudkan kerajaan Allah di muka bumi.
Karenanya, ajaran agama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek
kehidupan (Tasmara, 2002).
Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai pesan-pesan langit perlu
penerjemahan dan penafsiran. Persoalan pokoknya adalah bagaimana
membumikan ajaran langit, sehingga dapat mewarnai tata kehidupan sosial
ekonomi, politik dan budaya masyarakat. Dengan demikian agama tidak hanya
berada dalam tataran normatif. Karena Islam adalah agama amal, maka
penafsirannya pun mesti beranjak dari sisi normatif menuju teoritis keilmuan yang
faktual (Agustian, 2001).
Sebagai seorang muslim, Islam adalah jalan hidup yang mengatur seluruh
aspek kehidupan, sejalan dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan……” (QS. Al-Baqarah: 208)
Dengan demikian tidak seperti sekulerisme, Islam tidak menghendaki
adanya pemisahan antara agama dengan aspek-aspek yang lain termasuk aspek
ekonomi. Persoalan yang mendasar yang dialami umat manusia sekarang adalah
munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari
dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada
ideologi materialisme inilah yang kemudian membuat perilaku manusia menjadi
pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik (Agustian, 2001).
2
Al-Qur’an adalah pedoman bagi manusia yang ingin memilih jalan
kebenaran daripada jalan kesesatan, pembimbing (guidance) untuk membina
ketakwaan. Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan
untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-
baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh
balasan yang lebih baik lagi di akhirat (Tasmara, 2002).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik
biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang.
Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif,
dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena
itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh
(spirit). Untuk ini, Al-Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni
spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung
padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (Agustian, 2001).
Setiap kelahiran dibekali mulut dan tangan. Mulut adalah berkonsumsi dan
tangan adalah berproduksi atau bekerja. Manusia, mau tak mau, suka tidak suka,
musti makan dan bekerja. Secara nalar atau logika, jangan sampai ‘mulut’ lebih
besar dari ‘tangan’, harus sebaliknya, jika tak demikian, niscaya manusia akan
mengalami kesulitan hidup, kemelaratan, kebodohan, kemunduran dan akhirnya
kehancuran (Tasmara, 2002).
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an
menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat
(derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam
sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan
kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada
pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga
dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan
makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok. Pekerjaan yang dicintai Allah
SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan
empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih
dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali.
3
Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran
(Tasmara, 2002).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah
wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada
dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada
orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang
juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung
jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki
wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau
sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin
terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam
konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan
kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada
toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan
umum (Tasmara, 2002).
Dalam era globalisasi, persaingan kerja yang semakin meningkat memaksa
setiap orang untuk menguasai keahlian dan kemampuan tertentu. Untuk dapat
menjawab tantangan ini diperlukan adanya dedikasi, kerja keras dan kejujuran
dalam bekerja. Menurut Anoraga (1992) manusia yang berhasil harus memiliki
pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang luhur untuk
eksistensi manusia. Suatu pandangan dan sikap demikian dikenal dengan istilah
etos kerja.
Dewasa ini etos kerja merupakan topik yang kembali hangat. Telah sekian
lama Indonesia selalu berkutat dengan masalah korupsi, ”jam karet”, asal kerja,
semrawut dan predikat negatif lainnya. Berbeda dengan kondisi di negara Jepang,
yang menjadikan kerja sebagai sesuatu yang sangat mulia, dan kualitas kerja
merupakan nilai-nilai penting yang didasari spiritualitas agama (Anoraga, 1992).
Suatu opini untuk menggambarkan kondisi etos kerja bangsa kita saat ini
dinyatakan oleh Muhtadi (2005) bahwa kondisi masyarakat kita kurang memiliki
etos kerja. Secara khusus Muhtadi menyoroti kondisi perguruan tinggi dan
sekolah di Indonesia. Sebagai lingkungan organisasi yang berfokus pada tujuan
4
utama mendidik serta mengembangkan ilmu pengetahuan, perguruan-perguruan
tinggi dan sekolah-sekolah sering ditemui sebagai organisasi yang kurang efektif
dalam mencapai sasarannya karena kinerja individu-individu yang terlibat
didalamnya tidak didukung oleh etos kerja yang baik.
Sepertinya etos kerja di Indonesia relatif masih belum tinggi. Untuk dapat
meningkatkan etos kerja ini, diperlukan adanya suatu sikap yang menilai tinggi
pada kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itu perlu ditemukan suatu
dorongan yang tepat untuk memotivasi dan merubah sikap rakyat kita. Nilai-nilai
sikap dan faktor motivasi yang baik menurut Anoraga (1992) bukan bersumber
dari luar diri, tetapi yang tertanam dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan
motivasi intrinsik. Karena itu enelitian ini dilakukan untuk mengetahui
bagaimanakah etos kerja islami dosen Fakultas Kedokteran Indonesia serta
hubungannya dengan religiusitas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas ingin dijawab beberapa masalah yang terkait
dengan penelitian yang dilakukan. Pertanyaan penelitian tersebut adalah apakah
terdapat hubungan antara religiusitas dengan etos kerja islami dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya hubungan antara religiusitas dengan etos kerja
islami dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII)
Yogyakarta.
1.4. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai religiusitas dan etos kerja sudah pernah dilakukan
sebelumnya antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Syafiq (2010) “Hubungan Antara
Religiusitas Dengan Etos Kerja Islami Pada Dosen di Universitas Islam
Indonesia-Yogyakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara religiusitas dengan etos kerja islami pada dosen. Selain
itu ditemukan pula ada hubungan antara religiusitas dimensi ibadah,
dimensi penghayatan dan dimensi pengamalan dengan etos kerja islami.
5
Sedangkan penelitian ini juga menemukan bahwa tidak ada hubungan
antara religiusitas dimensi aqidah dan dimensi pengetahuan dengan etos
kerja islami. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subjek dan waktu
penelitian.
2. Novliadi, Ferry, 2009. Hubungan Antara Organization-Based Self-Esteem
Dengan Etos Kerja. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,
Medan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tema, metode, subjek, dan
waktu penelitian.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi peneliti yaitu memperdalam pemahaman dan menganalisa
tentang hubungan antara religiusitas dengan etos kerja islami dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) Yogyakarta,
serta proses pembelajaran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah
2. Bagi dokter, dosen, maupun petugas kesehatan agar memiliki etos kerja
islam yang ideal dalam menjalankan tugasnya.
3. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Religiusitas
Kata religi berasal dari bahasa latin religio atau religare yang berarti
mengikat. Pada umumnya, riligi atau agama memiliki aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan semua itu berfungsi untuk
mengikat serta mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya (Jalaluddin,
2002).
Anshari (Azizah, 2003) mendefinisikan religi, agama, atau din sebagai
sistem tata keyakinan atau tata keimanan atas dasar sesuatu yang mutlak diluar
diri manusia dan merupakan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada
yang dianggap mutlak, serta sistem norma yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan alam lainnya dengan tata keimanan dan tata
peribadatan yang telah dimaksud.
Dalam Bukhori (2006), Rahmat mengartikan religiusitas sebagai suatu
keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku
sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Religiusitas adalah suatu
keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku,
bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.
Religiusitas atau keberagamaan seseorang dapat diwujudkan dalam
berbagai sisi kehidupan. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan supranatural. Tidak hanya yang berkaitan dengan
aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, melainkan juga aktivitas yang
terjadi dalam hati manusia (Ancok dan Suroso, 2004). Religiusitas adalah sistem
simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan
dan semua itu berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling
bermakna (ultimate meaning).
7
Menurut Asra (2003), religiusitas adalah suatu keadaan dalam diri
seseorang dalam merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang
menaungi kehidupan manusia dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan
sesuai dengan kemampuan dan meninggalkan seluruh larangannya sehingga hal
ini akan membawa ketentraman dan ketenangan dalam diri seseorang. Religiusitas
berkaitan dengan adanya internalisasi dari nilai-nilai, aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban agama itu dalam diri individu sehingga individu tersebut
selalu berpijak pada nilai-nilai agama yang diyakini dalam setiap perilakunya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas
adalah sistem tata keyakinan atau tata keimanan atas dasar sesuatu yang mutlak
diluar diri manusia dan merupakan suatu sistem tata peribadatan manusia kepada
yang dianggap mutlak yang mendorong dan mempengaruhi perilaku individu
sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang ditaatinya.
Terdapat lima dimensi keberagaman atau religiusitas menurut Glock dan Stark
(Ancok, Suroso, 2004):
a. Dimensi Keyakinan (Religious Beliefs/ The Ideologi Dimension)
Merupakan pengharapan dimana seseorang yang religius berpegang teguh
pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin
tersebut. Dalam Islam, dimensi ini menyangkut keyakinan tentang Allah,
pada Malaikat, Nabi atau Rasul, Kitab-kitab Allah, Surga dan Neraka serta
Qadha dan Qadar.
b. Dimensi Praktik Agama atau Peribadatan (Religious Practice/ The Ritual
Dimension)
Dimensi ini adalah dimensi yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan
dan hal-hal yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitem
terhadap agama yang dianutnya. Dalam Islam, dimensi ini menyangkut
pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, doa dzikir dan
sebagainya. Praktik keagamaan dibagi menjadi dua bagian yaitu:
8
1. Ritual, suatu kegiatan yang mengacu pada seperangkat ritus, tindakan
keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan
para pemeluknya melaksanakan hal tersebut.
2. Ketaatan, yaitu kegiatan dari kontemplasi personal yang relatif spon-
tan, informal dan khas pribadi.
c. Dimensi Pengalaman (Religious Effect)
Dimensi ini mencakup fakta bahwa semua agama mengandung
pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa
seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir
(kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan
supranatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagaman,
perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi yang dialami seseorang
atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu
masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi
ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas
transendental.
d. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-
dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan
keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai
suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya. Walaupun demikian,
keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua
pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada pada keyakinan. Lebih
jauh, seseorang dapat berkeyakinan bahwa kuat tanpa benar-benar
memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas pengetahuan yang
amat sedikit.
9
e. Dimensi Pengetahuan atau Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke
hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis digunakan disini. Walaupun
agama banyak mengariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir
dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas
mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen
keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.
Menurut hasil penelitian kementrian negara kependudukan dan lingkungan hidup,
dimensi-dimensi tersebut juga sesuai dengan;
1. Aspek iman (religious belief) yang terkait keyakinan kepada Allah,
malaikat Nabi dan sebagainya.
2. Aspek Islam (religious practice), terkait dengan frekuensi atau intensitas
pelaksanaan ajaran agama seperti shalat, puasa dan lain-lain.
3. Aspek ihsan (religious feeling), berhubungan dengan perasaan dan pen-
galaman seseorang tentang keberadaan Tuhan, takut melanggar laranganya
dan sebagainya.
4. Aspek ilmu (religious knowledge) yaitu pengetahuan seseorang tentang
ajaran agamanya.
5. Aspek amal (religious effect) terkait tentang bagaimana perilaku seseorang
dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagainya (Ghufron & Risnawita,
2010).
2.2. Etos Kerja Islami
Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak, karakter.
Toto Tasmara memaknai ethos dengan sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap
serta persepsi terhadap nilai bekerja (Tasmara, 1995). John M. Echols dan Hasan
Shadily memaknai ethos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, atau kepercayaan
dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok
orang atau manusia (Echols, 2000). Secara terminologis, ethos digunakan dalam
tiga pengertian, yaitu: (1) suatu aturan umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan
10
dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperanngkat aturan
tingkah laku (Asy’ari, 1997).
Dari kata ethos, terbentuklah kata ethic yaitu pedoman, moral dan
perilaku, atau dikenal pula etiket yaitu cara bersopan santun. Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak
(moral) (Poerwadarminta, 1986). Menurut Verkyuil, perkataan etika berasal dari
perkataan ethos sehingga muncul kata-kata etika. Perkataan ethos dapat diartikan
sebagai kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang untuk
berbuat kebaikan (Pasaribu, 1988). Sedangkan menurut James J. Spillane SJ,
etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam
pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan
penggunaan akal budi individual dengan objektivitas untuk menentuka kebenaran
atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain (Susanto, 1992).
Menurut Hamzah Ya’kub, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang
baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuiatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Menurut Herman Soewardi, etika dapat
dijelaskan dengan membedakan dengan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (3) nilai mengenai benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika dalam tulisan ini
lebih menekankan pada makna kedua (Depdikbud, 1988).
Pembicaraan tentang etika selalu berkaitan dengan agama, karena etika
merupakan salah satu sumber etika yang diakui manusia secara universal. Tidak
ada agama yang menempatkan etika pada posisi marginal yang tidak mengikat.
Etika selalu menjadi inti ajaran yang harus diikuti dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari (Azizah, 2003).
Kerja adalah segala kegiatan ekonomis yang dimaksudkan untuk
memperoleh upah, baik berupa kerja fisik material atau kerja intelektual.
Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis dan
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan
di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada
11
Allah SWT. Sedangkan kerja keras berarti bekerja dengan segala penuh
kesungguhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Tasmara, 2002).
Menurut Toto Tasmara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan
sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya
secara nalar, yaitu:
1. Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan
sesuatu sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk
menghasilkan karya atau produk yang berkualitas.
2. Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu
yang direncanakan (Tasmara, 2002).
Bekerja sebagai aktivitas dinamis mengandung pengertian bahwa seluruh
kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim harus penuh dengan tantangan,
tidak monoton, dan selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mencarui
terobosan-terobosan baru dan tidak pernah puas dalam berbuat kebaikan. Istilah
yang paling dekat pengertiannya dengan kerja keras adalah jihad, yang artinya
berjuang di jalan Allah. Asal katanya jahada artinya bersungguh-sungguh.
Sehingga jihad dalam kaitannya dengan kerja berarti: usaha yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil optimal (Tasmara, 1995).
Islam memandang bekerja secara halal juga merupakan jihad,
sebagaimana hadits Rasulullah yang artinya: Mencari yang halal bagian dari
jihad (HR Turmuzi). Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting.
Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95 dan Al-Insyiqaq: 6.
Apabila etos ini dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih
khas. Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang
menyatu. Makna khas itu adalah bahwa etos kerja merupakan concern
pragmatism. Ia membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula
bermkana semangat kerja yang menjadi cirri khas dan keyakinan seseorang atau
kelompok. Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang
dengan sengaja diarahkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan
manusia itu sendiri, entah itu jasmani atau rohani atau pertahanan terhadap
kekayaan yang telah diperoleh. Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau
pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-
nilai yang diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat
12
istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku
dalam suatu Negara (Tasmara, 2002).
Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan
mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan
evaluasi itu akan tercipta gerak grafik mennajak dan meningkat dalam waktu-
waktu berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat
dijadikan pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang akan
diambil kemudian. Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life yaitu
sebagai daya dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap indiividu atau
kelompok pada sisi yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti
sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang agama yang dianutnya (Tasmara, 2002)
A. Konsep Etos Kerja Islami
Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya merupakan agama yang
memiliki ajaran yang bersifat universal, abadi, dan sesuai untuk segala zaman dan
tempat. Islam juga adalah agama yang mengatur dan memberikan petunjuk dalam
tatanan hidup manusia dengan sempurna, tidak terkecuali masalah-masalah
bekerja yang erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi (Jalaludin,
2002).
Ekonomi dalam ajaran Islam bagaimanapun pentingnya tidak lebih hanya
merupakan satu bagian dari keseluruhan aspek kehidupan manusia, sekalipun
memang diakui sebagai bagian pokok dan amat berpengaruh. Namun demikian,
ekonomi bukan satu-satunya unsur yang ada dalam kehidupan manusia di dunia.
Satu hal yang fundamental dalam ajaran Islam yang berbeda dengan ajaran lain
adalah bahwa kegiatan ekonomi seperti juga kegiatan lainnya hanya sebagai
sarana untuk mencapai kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat dan
eksistensi manusia akan memiliki makna jika keseluruhan aktivitas hidupnya
didedikasikan kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT yaitu:
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”. (QS An-Nahl: 97).
13
Berdasarkan paparan tabel tersebut di atas, etos kerja dalam Islam dapat
diuraikan secara ringkasnya sebagai berikut : dalam bekerja, seorang individu
akan dihadapkan pada tiga tanggung jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap
Tuhannya (Allah SWT), tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung
jawab terhadap orang lain. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap
Allah, dapat diperincikan sebagai berikut:
1. Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja
adalah tauhid. Mengingat Allah melalui shalat, dengan menghentikan kegiatan
bekerja bahkan di tengah-tengah kesibukan kita seperti diisyaratkan oleh ayat
tersebut, mengandung rahasia tertentu. Salah satu manfaatnya adalah
menenangkan pikiran dan memberi kesempatan kepada seseorang untuk mampu
mengendalikan diri, dari mabuk kerja (workaholic) yang mungkin dialami
seseorang. Bahkan dengan ketenangan dan perenungan nilai-nilai yang luhur bisa
terjadi proses penjernihan pikiran, kreativitas dan gagasan inovatif.
Dalam tekanan pekerjaan sehari-hari, pikiran seseorang seringkali
terhanyut dan terdesak untuk menyelesaikan berbagai tugas yang datang silih
berganti, dan pada saat bersamaan memikirkan langkah-langkah lain yang juga
harus segera diatasi satu persatu. Hal ini membuat seseorang tampak bodoh dan
serba salah. Ia tampak panik dan tertekan dengan berbagai tuntutan pekerjaan.
Pada saat-saat semacam itulah seseorang sangat membutuhkan relaksasi,
mengistirahatkan pikirannya sejenak untuk mencerdaskan kembali pikirannya dan
memulihkan kecerdasannya untuk mendapatkan prestasi puncak. Relaksasi
tersebut dilakukan dengan melaksanakan shalat sebagai sarana untuk mengingat
Allah dan mendengar lagi suara-suara hati yang acapkali memberikan bisikan-
bisikan ilahiyah sehingga kita akan menjadi bergairah dan peka kembali.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti email, fax, telepon
seluler, surat, telex, dan sebagainya membuat orang selalu merasa terdesak dan
urgent. Kadang pada saat yang bersamaan ketika seseorang sedang sibuk bekerja,
tiba-tiba telepon berdering, dan sekaligus fax masuk, pada saat itu juga ia harus
mengalihkan pikirannya. Setelah selesai ia harus mengembalikan konsentrasinya
pada pekerjaannya semula. Ini akan seperti ombak lautan yang terus menerus
menghantamdirinya secara berkesinambungan dan tiada henti. Jika hal ini terus
14
berkelanjutan terjadi tanpa pemecahan, maka akibatnya ia akan mengalami
depresi, dan ia akan tampak bodoh bahkan secara jangka panjang kecerdasan
otaknya akan menurun, bukan hanya kecerdasan emosinya saja yang terganggu.
Kondisi stress tersebut ditambah lagi dengan masalah-masalah pribadinya di
rumah seperti anak yang sedang saki, uang belanja yang sudah hampir habis
padahal baru pertengahan bulan, tagihan telepon dan listrik yang belum terbayar,
dan ditambah teguran atasan karena ia berbuat kesalah di kantor. Ini semua akan
menjadikan semakin stressnya orang tersebut.
Padahal menurut pendapat para ahli yang dikutip Ary Ginanjar, “Dalam
hubungan anatomi antara otak dan tubuh yang baru ditemukan, yang
menghubungkan keadaan mental kita dengan kesehatan fisik, pusat-pusat emosi
memainkan peran yang penting, terutama melalui jaringan penghubung yang
sangat kompleks baik ke sistem kekebalan tubuh maupun sistem kardiovaskuler.
Hubungan biologis ini menjelaskan mengapa perasaan-perasaan yang menekan,
sedih, frustasi, marah, tegang, cemas berlebihan akan melipatgandakan resiko
penyakit jantung sampai ke tingkat yang membahayakan selama ia mengidap
perasaan-perasaan tersebut (Agustian, 2001).
Ary mengutip dari Cooper dan A. Sawaf (1998: 31) bahwa saat kelelahan
dan ketegangan otot meningkat, tidak sedikit manusia yang kemudian terjebak
dalam suasana hati yang tidak menyenangkan, sehingga kehilangan semangat dan
keuletan. Masalah kecil terasa menjadi hambatan besar, penundaan semenit serasa
satu jam, komentar main-main terasa sebagai celaan yang menyakitkan hati.
Reaksi-reaksi itu menyebabkan hilangnya kewaspadaan. Hilangnya kewaspadaan,
secara otomatis akan mempengaruhi kemampuan untuk memperhatikan apapun
atau siapapun secara teliti dan sungguh-sungguh. Ini menyebabkan turunnya
kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosi dan dapat mengganggu
hubungan dengan orang lain walaupun orang tersebut tidak bermaksud demikian.
(Agustian, 2001).
Itu semua membuktikan bahwa bekerja yang dilandasi keimanan yang
diimplementasikan dengan mengamalkan tuntutan keimanan, misalnya berupa
shalat, dapat meningkatkan produktivitas dan optimalisasi kerja. Hal ini karena
shalat akan berfungsi laksana wahana relaksasi yang menurut berbagai teori yang
15
dikemukakan para pakar tersebut di atas, dapat mengembalikan vitalitas dan
kecerdasan intelektual maupun emosional seseorang (Agustian, 2001).
Motivasi kerja dan optimisme untuk mencari rezeki bisa pula timbul bila
mengingat firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Mulk: 15 yang artinya: “Dialah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu maka berjalanlah di segala penjuru
dan carilah sebagian rezekinya”.
Keimanan yang mendasari keyakinan bahwa Tuhan menciptakan bumi dan
seisinya yang secara mudah diperuntukkan manusia, dan Tuhan telah menyiapkan
di segala penjuru bumi itu rezeki bagi manusia yang mau berusaha dengan gigih
untuk meraihnya, maka menjadikan manusia tidak mudah putus asa bila tidak
berhasil dalam usahanya, karena yakin Tuhan masih menyediakan rezeki yang
lain untuknya. Sebaliknya bila berhasil ia tidak mudah sombong karena
keberhasilan itu bukan semata-mata disebabkan usahanya sendiri melainkan ada
campur tangan Tuhan yang telah menyiapkan bumi untuk diri manusia (Agustian,
2001).
Landasan keimanan juga menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi
terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya
rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan
ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi
melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan
cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah
melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang
dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa
mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari
karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional (Sholeh,
2001).
2. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang
diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan
nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-
kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang
diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan
16
untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif psikologis, perasaan
bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan
menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam
juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang
bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang
muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau
dinilai dengan uang (Sholeh, 2001).
2.3. Landasan Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
dirumuskan landasan teori sebagai berikut :
1. Religiusitas sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama. Religiusitas adalah suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap, dan
bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.
2. Aspek-aspek dalam religiusitas. Terdapat lima dimensi keberagaman
atau religiusitas menurut Glock dan Stark (Ancok, Suroso, 2004):
a. Dimensi keyakinan (Religious Beliefs/ The Ideologi Dimension)
b. Dimensi Praktik Agama atau Peribadatan (Religious Practice/ The
Ritual Dimension)
c. Dimensi Pengalaman (Religious Effect)
d. Dimensi Pengetahuan Agama
e. Dimensi Pengetahuan atau Konsekuensi
3. Menurut hasil penelitian kementrian negara kependudukan dan
lingkungan hidup, dimensi-dimensi tersebut juga sesuai dengan;
a. Aspek iman (religious belief) yang terkait keyakinan kepada Allah,
malaikat Nabi dan sebagainya:
17
b. Aspek Islam (religious practice), terkait dengan frekuensi atau in-
tensitas pelaksanaan ajaran agama seperti shalat, puasa dan lain-
lain.
c. Aspek ihsan (religious feeling), berhubungan dengan perasaan dan
pengalaman seseorang tentang keberadaan Tuhan, takut melanggar
laranganya dan sebagainya
d. Aspek ilmu (religious knowledge) yaitu pengetahuan seseorang
tentang ajaran agamanya.
e. Aspek amal (religious effect) terkait tentang bagaimana perilaku
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagainya
(Ghufron & Risnawita, 2010).
5. Etos kerja dalam Islam dapat diuraikan secara ringkasnya sebagai
berikut : Dalam bekerja, seorang individu akan dihadapkan pada tiga
tanggung jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah
SWT), tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab ter-
hadap orang lain. Dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap
Allah, dapat diperincikan sebagai berikut: 1. Iman sebagai landasan
bekerja; 2. Senantiasa Bersyukur
2.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah bagian dari kerangka teori yang
menyebutkan variabel yang akan diteliti dan interaksinya. Variabel bebas
merupakan variabel yang bila ia berubah akan mengakibatkan perubahan variabel
lain. Sedangkan variable yang berubah akibat perubahan variabel bebas ini
disebut sebagai variable terikat (Sostroasmoro & Ismael, 2002).
Dalam penelitian ini tingkat religiusitas merupakan variabel bebas,
sedangkan etos kerja islami merupakan variabel terikat.
Berdasarkan landasan teori yang mendukung penelitian ini, maka dapat
digambarkan secara sistematis kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
18
Gambar 3: Kerangka konsep
2.3. Hipotesis
Menurut Dahlan (2009), hipotesis penelitian adalah jawaban sementara
terhadap pertanyaan penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Terdapat
hubungan antara religiusitas dengan etos kerja islami dosen FK UII Yogyakarta.
Variabel bebas
Religiusitas
Variabel terikat
Etos Kerja Islami
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional. Survei cross-sectional ialah
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko
dengan efek, dengan cara pendekatan observasional atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat. Artinya tiap subyek penelitian hanya diobservasi sekali
saja dan pengukuran terhadap status karakter atau variabel subyek dilakukan pada
saat pemeriksaan. Hal ini berarti bahwa semua subyek penelitian diamati pada
waktu yang sama (Notoatmodjo, 2002).
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada metode kuantitatif penelitian ini adalah dosen FK UII
Yogyakarta. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 100 dosen dan tutor.
Sampel penelitian ini adalah dosen FK UII Yogyakarta tahun 2012. Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Dosen yang sadar dan bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2003)
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Data kuisoner yang tidak lengkap
Untuk menentukan jumlah sampel jika populasi kecil atau kurang dari
10.000, dengan tingkat kesalahan (d) 5% dan tingkat kepercayaan 95%
menggunakan rumus slovin sebagai berikut (Umar, 2004):
Keterangan:
n = jumlah sampel
20
N = jumlah populasi
d = derajat kemaknaan (0,1)
Dari rumus diatas maka dapat dihitung besarnya sampel adalah sebagai
berikut:
n = 100 .1 + 100 (0,12)
n = 50 sampel
Dari rumus dan perhitungan diatas didapat jumlah sampel sebanyak 50,
jadi responden yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 50
dosen. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel random sampling.
3.3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di FK UII tahun 2012 pada bulan Juli - September
2012.
3.4. Definisi Operasional
No. Variabel Bebas Definisi Data Kategori
1. Religiusitas Suatu keadaan dalam diri seseorang
dalam merasakan dan mengakui adanya
kekuatan tertinggi yang menaungi ke-
hidupan manusia dengan cara melak-
sanakan semua perintah Tuhan sesuai
dengan kemampuan dan meninggalkan
seluruh larangannya sehingga hal ini
akan membawa ketentraman dan kete-
nangan dalam diri seseorang. Hal ini
diukur dengan kuesioner
Kategorik
(Nominal)
- Ya
-Tidak
No. Variabel Terikat Definisi Data Kategori
1. Etos Kerja Islami Dalam bekerja, seorang individu akan di- Kategorik -Ya
21
hadapkan pada tiga tanggung jawab,
yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhan-
nya (Allah SWT), tanggung jawab ter-
hadap diri sendiri, dan tanggung jawab
terhadap orang lain. Hal ini di ukur
dengan kuesioner yang telah divalidasi
(Nominal) -Tidak
3.5. Rencana Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui survei dengan menggunakan kuisoner yang
diadaptasi dari penelitian Syafiq. Skala ini sudah divaliditas dan direabilitas. Hasil
uji validitas pada penelitian sebelumnya adalah Koefisien korelasi aitem bergerak
antara 0,266-0,616. Pengujian reliabilitas skala konformitas dengan menggunakan
teknik korelasi Alpha cronbach dan koefisien reliabilitasnya adalah sebesar 0,886.
3.6. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuisioner hasil adaptasi dan modifikas skala
Islamic Work Ethics yang dikembangkan oleh Abbas Ali (1987) dan skala
religiusitas. Skala religiusitas ini dimaksudkan untuk mengetahui religiusitas
seseorang. Skala ini disusun oleh Octarina (2008) yang didasarkan pada aspek-
aspek yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (Ancok & Suroso, 2004), yaitu:
1. Aspek keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat
keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama
terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Dalam Is-
lam, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para
malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha
dan qadar.
2. Aspek peribadatan (praktek agama) atau syariah menunjuk pada seberapa
tingkat kepatuhann muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual
sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam Islam, di-
22
mensi ini menyangkut pelaksaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-
quran, doa, zikir, ibadah kurban, i’tikaf di masjid pada saat bulan puasa
dan sebagainya.
3. Aspek pengalaman atau penghayatan (ihsan) adalah dimensi yang menyer-
tai keyakinan, pengalaman, dan peribadatan.
4. Aspek pengetahuan atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat penge-
tahuan dan pemahaman Muslim terhadapp ajaran-ajaran agamanya
terutama mengenai pokok dari agamanya.
5. Aspek pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan muslim
berperilaku dimotivasi oleh ajaran agamanya.
Skala religiusitas ini disusun dengan menggunakan skala sikap model
Likert yaitu model skala yang disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra,
positif dan nengatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial. Skala
religiusitas ini terdiri dari 28 item yang terbagi pertanyaan favourable 16 item dan
unfavourable 12 item. Nilai diberikan untuk pernyataan favourable bergerak dari
4 untuk jawaban sangan setuju (SS) hingga 1 untuk jawaban sangat tidak setuju,
sebaliknya untuk unfavourable.
Aspek skala konformitas Favourable Unfavorable
Keyakinan 16, 20 5, 10, 14, 28
Peribadatan 3, 7, 11, 19, 23,25, 27 18, 22, 24
Pengalaman 4, 17, 26, 8, 21
Pengamalan 1, 6, 9, 13 2, 12, 15
Skor yang diberikan bergerak dari 1-4. Untuk pemberian skor pada aitem
favourable, jawaban sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, jawaban Sesuai (S) diberi
23
skor 3, jawaban Tidak Sesuai (TD) diberi skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS)
diberi skor 1.
3.7. Tahap Penelitian
1. Pengurusan ijin dan pendekatan terhadap dosen FK UII tahun 2012.
2. Penentuan subjek penelitian, yaitu dosen FK UII tahun 2012.
3. Pelaksanaan penelitian.
4. Analisis data.
3.8. Rencana Analisis Data
Pengolahan dan analisis data dengan menggunakan program komputer
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 17. Langkah-langkah
analisisnya sebagai berikut (Dahlan, 2009):
1. Analisis univariat atau analisis persentase dilakukan untuk menggam-
barkan distribusi frekuensi masing-masing, baik variabel time/waktu, vari-
abel place/tempat dan variabel person/orang.. Hasilnya akan disajikan
dalam tabel berikut :
No. Variabel N (Jumlah) % (Presentase)
2. Analisis bivariat adalah analisis untuk menguji hipotesis dengan menggu-
nakan rumus chi square:
X2 = ∑
Keterangan :
X2 = Chi Square
0 = frekuensi observasi
E = frekuensi harapan
24
3.9. Etika Penelitian
Peneliti dalam merekrut data partisipan terlebih dahulu memberikan
informed consent. Selama dan sesudah penelitian privacy tetap dijaga, semua
partisipan diperlakukan sama, nama partisipan diganti dengan nomor (anonimity),
peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan dan hanya digunakan
untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin partisipan.
3.10. Tahap dan Jadwal Penelitian
a) Pengajuan judul penelitian : Desember 2011
b) Pembuatan proposal penelitian : Januari – April 2012
c) Penyempurnaan proposal penelitian : Mei 2012
d) Seminar proposal penelitian : Juni 2012
e) Pengambilan data penelitian : Juli - September 2012
f) Pengolahan dan penyusunan laporan : September 2012
g) Konsultasi laporan : Oktober 2012
h) Seminar Hasil Karya Tulis Ilmiah : November 2012
i) Penyempurnaan Laporan KTI : November - Desember 2012