8. bab iii.docx
TRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN ARSITEKTUR
A. LOKASI
Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat,
sebagian daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah
propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi
bagian Selatan Barat. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh
Bangsa Minangkabau tersebut, bisa dikatakan bahwa Bangsa
Minangkabau menempati wilayah yang luas dan menyebar dari
daratan sampai ke pesisir.
Secara geografis, daerah Minangkabau terletak antara 0054’ LU
dan 3030’ LS serta antara 98036’ dan 101053’ BT.
Gambar 3.1 Peta Sumatera Barat
By The office of Tourism, Art and Culture of West Sumatera Province
7
Sumber :
http://1.bp.blogspot.com/-S1MDuV1ihsA/TcQv-Cw2HVI/AAAAAAAAAqI/45UJbIRI8Ok/s1600/
Peta%2BWisata%2BSumabr.jpg
B. SEJARAH
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, manang2 dan
kabau3. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang
yang dikenal di dalam tambo4. Dari tambo tersebut, konon pada
suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai
Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan.
Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan
untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan
masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar
yang pada bagian kepalanya dipasangi dua bilah pisau.
Gambar 3.2 Adu kerbau
By Winry Marini 2007
Sumber: http://putrahermanto.files.wordpress.com/2010/09/kerbau-berkelahi-
by_winrymarini.jpg
Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka
kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-
cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
8
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama
Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya
menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat
Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu
menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman
(Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan
nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah
nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan
Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
C. PENDUDUK
Pada tahun 2010 jumlah populasi Minangkabau kurang lebih
8 juta penduduk.
Tabel Jumlah Populasi Masyarakat Minangkabau
No Negara Kawasan Jumlah Signifikan
1. Indonesia Sumatera Barat 4.281.439
Riau 624.145
Sumatera Utara 345.403
DKI Jakarta 305.538
Jawa Barat 202.203
Jambi 168.947
Kepulauan Riau 156.770
Banten 86.217
Bengkulu 73.333
Sumatera Selatan 69.996
Lampung 69.884
2. Malaysia Negeri Sembilan 548.000
9
Tabel 3.1 Data penduduk Minangkabau
Masyarakat minangkabau merupakan masyarakat yang
hidup secara komunal atau berkelompok, serta memiliki ikatan
kekerabatan yang kuat. Hal ini tercermin dari terdapatnya open
space atau ruang terbuka yang terdapat pada setiap kelompok atau
group fasilitas hunian mereka (rumah gadang) yang merupakan
wadah untuk tempat bersosialisasi bagi masyarakatnya.
D. AGAMA
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama
Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad),
secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari
masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang
adat5".
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari
beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama
Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya,
sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan
anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan
dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi
Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16,
Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau
hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari
Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di
saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang
masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini
muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran
bersama bahwa Adat berasaskan Al-Qur'an.
10
11
E. MATA PENCAHARIAN
Masyarakat Minangkabau memiliki kegiatan perekonomian
di bidang Pertanian. Hasil pertaniannya antara lain beras sebagai
makanan pokok. Selain itu ada pula kayu manis, palem, karet, dan
kopi.
Selain mahir dalam bertani, masyarakat Minangkabau juga
terkenal akan kemampuan bisnisnya, antara lain berdagang. Selain
itu mereka juga memiliki keahlian di bidang memahat kayu dan
menenun. Memahat menjadi salah satu mata pencaharian
masyarakat Minang karena dalam pembuatan “Rumah Gadang”
(rumah adat Minangkabau) dibutuhkan kayu-kayu dinding yang
penuh dengan corak khas. Kemudian menenun adalah salah satu
keahlian yang harus diketahui oleh perempuan-perempuan Minang,
olehnya itu menenun juga merupakan salah satu mata pencaharian
masyarakat setempat.
F. SOSIAL BUDAYA
Matrilineal
Matrilineal6 merupakan salah satu aspek utama dalam
mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya
mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris
harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu
yang dikenal dengan Samande7, sedangkan ayah mereka disebut
oleh masyarakat dengan nama Sumando8 dan diperlakukan
sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang
istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang9, yang
12
memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi
mereka sebagai mamak10 dan penghulu11.
Gambar 3.3 Perempuan-perempuan Minangkabau
Sumber: http://www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/media/images/baju-adat-
minangkabau/7054027-1-ind-ID/baju-adat-minangkabau_large.jpg
Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan
Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang12 (pilar
utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh
penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari
keluarga pihak perempuan masih tetap memegang kekuasaan
pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau
sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan
tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak
menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada setiap individu
Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan
harta pusaka yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut
hukum faraidh dalam Islam hanya kepada anak perempuannya.
13
Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak
perempuannya pula, begitu seterusnya. Tsuyoshi Kato dalam
disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin
menguat dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah
menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun.
Hukum Adat
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali
dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuak Ketumanggungan
dan Datuak Parapatiah Nan Sabatang. Datuak Katumangguangan
mewariskan sistem adat Koto Piliang, sedangkan Datuk Perpatih
mewariskan sistem adat Bodi Caniago. Dalam perjalanannya, dua
sistem adat yang dikenal dengan kelarasan13 ini saling isi mengisi
dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang
membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat.
Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang
dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan14. Ketiganya saling
melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara
mufakat.
Di dalam setiap langkah pembuatan bangunan, bisa saja
diselenggarakan upacara dan tata cara tertentu oleh masyarakat
yang bersangkutan. Dalam setiap langkah pembangunan
didapatkan makna dan atau simbolisasi tertentu (Prijotomo, 1995).
Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi
dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam
14
pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut
misalnya Tari Pasambahan15 dan Tari Piring16 .
Silek17 merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku
ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak
hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar
ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan
Amerika. Selain itu, adapula randai18 yang biasanya diiringi dengan
sijobang19. Dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting)
berdasarkan skenario.
Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-
kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan20,
indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah,
lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori,
metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa
menggunakan senjata dan kontak fisik.
Olahraga
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama
ada di nagari-nagari21 Minang, dan sampai saat ini masih
diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan
tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan
pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang
masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang
antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik.
Upacara Adat
Dalam masyarakat Minangkabau, upacara-upacara yang
dilakukan sebelum mendirikan bangunan dikenal dengan upacara
yang disebut dengan batoboh22 dan me orak rabo23. Upacara
batoboh dilaksanakan di hutan tempat penebangan kayu.
15
Sedangkan me orak rabo dilakukan di tempat bangunan akan
didirikan.
Selain itu terdapat pula upacara yang disebut dengan
mencatak tiang tua atau mencacak24 tonggak tuo yaitu pekerjaan
yang pertama yakni membuat tiang utama. Upacara ini dianggap
sebagai waktu peresmian bangunan akan didirikan dan
dilaksanakan di halaman atau di tempat bangunan akan didirikan.
Ketika mendirikan bangunan, terdapat satu upacara yang
disebut dengan nama batagak rumah25 atau batagak kudo-kudo26.
Tujuan upacara ini adalah untuk mendapat restu dari nagari dan
mendapat dorongan moril dalam melaksanakan pembangunan
tersebut.
Setelah bangunan selesai dibangun juga dilaksanakan
upacara. Pada bangunan Rumah Gadang, upacara ini disebut
dengan upacara menaiki rumah. Karena tiap-tiap bangunan yang
telah selesai akan segera ditunggui atau dihuni oleh pemilik rumah.
Tujuan dari upacara ini selain peresmian bahwa bangunan itu akan
dihuni, juga merupakan tanda ucapan terima kasih dan
permohonan doa restu kepada kaum kerabat yang sudah berperan
serta dalam pendirian bangunan tersebut. Upacara ini
diselenggarakan pada bangunan yang bersangkutan (Syamsidar,
1991).
16