8 bab ii et al., 2010). kakao pertama kali diolahrepository.ump.ac.id/163/3/bab ii_lisa dian...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kakao
Kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota familia
Sterculiaceae yang memiliki habitat asli di daerah hutan tropis di Amerika tengah
dan Amerika selatan bagian utara (Siregar et al., 2010). Kakao pertama kali diolah
secara sederhana oleh suku Maya yang hidup didaerah Amerika tengah tepatnya
di Guatemala, Yucatan dan Honduras. Pada saat itu biji kakao yang dipanggang
digunakan untuk membuat minuman yang sering digunakan untuk ritual
pemujaan. Runtuhnya peradaban suku Maya pada saat itu menyebabkan suku
Aztec menguasai kebun-kebun kakao milik suku Maya hingga akhirnya pada abad
15 bangsa Spanyol datang dan belajar tentang pengolahan kakao kepada suku
Aztec (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Bangsa Spanyol mempunyai peranan penting dalam penyebaran kakao di
berbagai negara di dunia. Pada abad ke-17, bangsa Spanyol mentransfer beberapa
tanaman kakao ke Manila di Filipina. Sejak saat itu budidaya kakao menyebar ke
Indonesia melalui Sulawesi (Vos et al., 2003). Pada akhir abad 18, penyebaran
tanaman kakao di Indonesia semakin meluas dengan dibukanya beberapa
perkebunan kakao oleh orang Belanda, seperti di daerah Jawa Tengah, Jawa
Timur serta Sumatera (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
8
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
9
2.1.1 Manfaat Kakao
Kakao merupakan tanaman yang dibudidayakan secara masal karena
mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi khususnya untuk dipanen buahnya
(Mariani, 2011). Kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan pakan ternak,
kompos, substrat budidaya jamur, dan bahan bakar serta memiliki potensi untuk
digunakan sebagai bahan baku pembuatan zat pewarna β-karoten, dan briket arang
(Saputra, 2012; Mayerni et al., 2009; Wulan, 2001; Usman, 2007).
Pulpa dari kakao juga dapat digunakan untuk industri rumah tangga
maupun industri kimia. Untuk industri rumah tangga pulpa kakao banyak diolah
menjadi pupuk hijau, gas bio, bahan bakar atau jus pulpa kakao. Pada industri
kimia, pulpa kakao dapat diolah menjadi jelli, nata de cocoa, pektin, alkohol,
herbisida cair, serta aktivator untuk proses pengomposan (Setyawati et al., 2007;
Widyotomo dan Mulato, 2008).
Biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter, dan cocoa powder (Mariani,
2011). Cocoa butter merupakan bahan utama berbagai produk makanan dan
kecantikan seperti dark coklat, pasta coklat, lulur coklat hingga sabun coklat,
sedangkan cocoa powder merupakan bahan baku berbagai jenis makanan ringan
seperti dodol, kue, selai, permen, susu, serta makanan lainnya (Gambar 2.1).
Makanan hasil olahan dari cocoa powder memiliki antioksidan yang tinggi,
sehingga dengan memakan makanan tersebut dipercaya akan mampu melindungi
kulit dari bahaya sinar ultraviolet (Supriyanto et al., 2006; Yuliatmoko, 2007;
Mariani, 2011).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
10
Gambar 2.1 Kulit kakao sebagai pakan ternak (A), herbisida cair (B), nata decocoa (C), biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter dan cocoapowder (D), berbagai produk olahan cocoa butter dan cocoa powder: permen coklat (E), kue coklat (F), dark coklat (G), es krim coklat(H), susu coklat (I), masker coklat (J), sabun coklat (K) (Sumber:Wikipedia).
2.1.2 Morfologi dan Perkembangan Kakao
Kakao merupakan tanaman perennial dengan morfologi tanaman yang
dipengaruhi oleh lingkungan serta jenis kultivarnya (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, 2004). Akar kakao berupa akar tunggang dengan panjang akar
primer dapat mencapai 15 meter sedangkan akar lateral dapat mencapai panjang 8
meter. Akar lateral dari kakao sebagian besar berkembang didekat permukaan
tanah dengan kedalaman 0-30 cm (Rubiyo, 2009).
A
D E F G
H I J K
10
Gambar 2.1 Kulit kakao sebagai pakan ternak (A), herbisida cair (B), nata decocoa (C), biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter dan cocoapowder (D), berbagai produk olahan cocoa butter dan cocoa powder: permen coklat (E), kue coklat (F), dark coklat (G), es krim coklat(H), susu coklat (I), masker coklat (J), sabun coklat (K) (Sumber:Wikipedia).
2.1.2 Morfologi dan Perkembangan Kakao
Kakao merupakan tanaman perennial dengan morfologi tanaman yang
dipengaruhi oleh lingkungan serta jenis kultivarnya (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, 2004). Akar kakao berupa akar tunggang dengan panjang akar
primer dapat mencapai 15 meter sedangkan akar lateral dapat mencapai panjang 8
meter. Akar lateral dari kakao sebagian besar berkembang didekat permukaan
tanah dengan kedalaman 0-30 cm (Rubiyo, 2009).
A
D E F G
H I J K
10
Gambar 2.1 Kulit kakao sebagai pakan ternak (A), herbisida cair (B), nata decocoa (C), biji kakao dapat diolah menjadi cocoa butter dan cocoapowder (D), berbagai produk olahan cocoa butter dan cocoa powder: permen coklat (E), kue coklat (F), dark coklat (G), es krim coklat(H), susu coklat (I), masker coklat (J), sabun coklat (K) (Sumber:Wikipedia).
2.1.2 Morfologi dan Perkembangan Kakao
Kakao merupakan tanaman perennial dengan morfologi tanaman yang
dipengaruhi oleh lingkungan serta jenis kultivarnya (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, 2004). Akar kakao berupa akar tunggang dengan panjang akar
primer dapat mencapai 15 meter sedangkan akar lateral dapat mencapai panjang 8
meter. Akar lateral dari kakao sebagian besar berkembang didekat permukaan
tanah dengan kedalaman 0-30 cm (Rubiyo, 2009).
A
D E F G
H I J K
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
11
Batang tanaman kakao berupa batang yang keras dan kuat dengan tinggi
dapat mencapai 4,5 – 10 meter tergantung dari kondisi lingkungan dan faktor-
faktor tumbuh yang tersedia. Pada batang tanaman kakao terdapat dua
percabangan, yaitu percabangan dengan arah pertumbuhan keatas yang disebut
dengan cabang ortrotop dan percabangan dengan arah pertumbuhan kesamping
yang disebut dengan cabang plagiotrop (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2004).
Daun tanaman kakao bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik
memanjang, ujung daun meruncing, dan pangkal daun runcing serta susunan
tulang daun menyirip. Daun kakao muda berwarna merah muda sedangkan daun
yang tua cenderung berwarna hijau tua dengan panjang daun sekitar 10-48 cm dan
lebar 4-20 cm (Gambar 2.2; van Steenis et al., 1987).
Gambar 2.2 Morfologi daun kakao; daun kakao muda yang berwarna merahmuda (A), daun kakao yang sudah tua cenderung berwarna hijautua (B) (Sumber : Philips et al., 2013).
A B
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
12
Kakao termasuk dalam kelompok tanaman caulifloris, yaitu tanaman yang
berbunga dan berbuah pada batang serta cabangnya (Siregar et al., 2010). Warna
bunga kakao putih keungu-unguan atau kemerah-merahan, tergantung dari
kultivar kakao (Gambar 2.3 A; Philips et al., 2013). Diameter bunga mencapai
sekitar 1,5 cm dan panjang tangkai antara 2-4 cm (Siregar et al., 2010). Bunga
tanaman kakao merupakan bunga sempurna yang memiliki lima helai sepala
(kelopak), lima helai petala (daun mahkota) dan lima stamen (benang sari) dengan
satu pistil (putik). Helai sepala berbentuk lanset, dengan panjang 6-8 mm
berwarna putih sampai keunguan (van Steenis et al., 1987). Petala dari kakao
berbentuk cawan denganwarna putih kekuningan atau putih kemerahan dan
panjangnya sekitar 8-9 mm. Pada lekukan petala terdapat stamen yang terbelah
menjadi dua anthera bertangkai pendek (subsessile). Pada lingkaran luar yang
menempel pada putik terdapat 5 helaian staminodia berbentuk pita (filiform),
berukuran 4 - 6 mm berwarna ungu gelap dengan ujung putih (Gambar 2.3 B;
Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao mengalami
penyerbukan silang. Pada satu tanaman kakao dapat dihasilkan bunga mencapai
5000 hingga 12000 buah, tetapi hanya 1 % dari total bunga tersebut yang akan
membentuk buah (Siregar et al., 2010).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
13
Gambar 2.3 Bunga kakao yang muncul dari batang (caulifloris), panah birumenunjukkan bunga yang masih kuncup, panah kuningmenunjukkan bunga yang telah mekar (A), (B) adalah Diagramsatu buah kuntum bunga kakao yang telah mekar menunjukkanadanya petala dan staminodia (kiri) dan diagram sayatan bungamelintang yang menunjukkan adanya ovary (kanan) (Sumber :Philips et al., 2013).
Buah kakao terdiri dari 74 % kulit buah, 2 % plasenta dan 24 % biji
(Gambar 2.4 A; Limbongan, 2010). Buah kakao berbentuk bulat hingga
memanjang dengan warna kulit buah masak adalah kuning kecoklatan sampai
orange tergantung pada kultivarnya. Buah akan masak setelah berumur enam
bulan dengan ukuran panjang yang beragam yaitu antara 10 cm hingga 30 cm
tergantung pada kultivar serta faktor lingkungan yang ada (Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia, 2004). Bakal buah kakao beruang 5, dengan bakal biji yang
banyak (Gambar 2.4 B; van Steenis et al., 1987). Pada satu buah kakao dapat
mengandung biji dengan jumlah antara 20-50 butir biji (Siregar et al., 2010). Biji
kakao umumnya berbentuk bulat lonjong dengan warna kulit biji coklat hingga
keunguan tergantung dari kultivarnya (Gambar 2.4 C). Biji kakao dilapisi oleh
lapisan lunak berwarna putih dengan rasa manis yang disebut dengan pulpa.
BA
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
14
Gambar 2.4 (A) adalah buah kakao utuh dan buah kakao yang dibelah membujurmenunjukkan posisi kulit buah (panah merah) serta biji yangdiselimuti oleh pulpa (Panah biru); (B) adalah buah kakao yangdipotong melintang menunjukkan bakal buah beruang 5; (C)morfologi biji kakao dari varietas Criollo(Panah merah), Forestero(Panah kuning) dan Trinitario(Panah biru) (Sumber: www.JochenWeber picture.com).
2.1.3 Varietas
Berdasarkan varietasnya, ada 3 varietas kakao yang banyak dibudidayakan
di negara-negara di dunia (Vos et al., 2003), yaitu kakao varietas Criollo(Gambar
2.5 A), Forestero(Gambar 2.5 B) dan Trinitario(Gambar 2.5 C). Kakao varietas
Criollo mempunyai biji yang mutunya sangat baik sehingga sering disebut dengan
cokelat mulia. Ciri khas varietas ini adalah buah berwarna merah atau hijau
dengan bentuk yang bulat telur, kulit luarnya tipis lunak dengan namun kasar, biji
bulat sedangkan kotiledonnya berwarna putih (Rubiyo, 2009). Selain itu produksi
kakao varietas ini lebih rendah dibandingkan dengan varietas Forestero serta lebih
rentan terkena hama penyakit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2012).
Varietas kedua adalah kakao varietas Forestero. Varietas ini memiliki
mutu yang sedang dan dikenal dengan kakao jenis lindak. Ciri khas kakao varietas
ini adalah buah berwarna hijau karena tidak mengandung antosianin dengan kulit
CBA
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
15
yang tebal dan permukaan yang halus. Biji lebih kecil dan lebih pipih dibanding
kakao varietas Criollo sedangkan kotiledon berwarna ungu (Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia, 2004; Rubiyo, 2009).
Varietas yang ketiga yaitu kakao varietas Trinitario. Varietas ini
merupakan persilangan dari varietas Criollo dengan varietas Forestero, sehingga
varietas ini memiliki morfologi dan fisiologi yang beragam dengan mutu yang
sangat bervariasi (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012). Kakao
varietas ini dapat menghasilkan biji yang berkualitas bagus tetapi dapat juga
menghasilkan biji kualitas rendah dengan warna biji bervariasi dari ungu muda
hingga ungu tua serta buah berwarna hijau atau merah dengan bentuk yang
bervariasi pula (Rubiyo, 2009).
Gambar 2.5 Morfologi buah kakao varietas Criollo(A), Forestero(B) danTrinatario(C) (Sumber : Philips et al., 2013).
CBA
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
16
2.2 Budidaya Kakao di Dunia
Produksi kakao di berbagai negara di dunia memang cenderung meningkat
setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi kakao dunia mencapai sekitar 4,2 juta
ton sedangkan pada tahun 2011 total kakao dunia yang diproduksi meningkat
menjadi sekitar 4,4 juta ton kakao (FAO, 2013). Negara produsen kakao ada di
kawasan tropis yang secara geografis dibagi dalam empat wilayah yaitu Afrika,
Asia, Oceania dan Amerika. Benua dengan tingkat produksi kakao tertinggi di
dunia adalah Afrika (65.1%) diikuti Asia (18,1 %), Amerika (15,4 %) dan
Oceania (1,3 %; FAO, 2013). Di antara negara-negara produsen kakao tersebut,
Côte d'Ivoire menempati urutan pertama dengan total produksi mencapai sekitar
1,3 juta ton per tahun (30,7% dari total produksi dunia) pada tahun 2011. Pada
tahun yang sama, Indonesia menempati urutan kedua dengan total produksi
mencapai sekitar 712 ribu ton (16,2% dari total produksi dunia; FAO, 2013).
Negara lain dengan total produksi tertinggi secara berturut-turut adalah sebagai
berikut: Ghana, Nigeria, Cameroon, Brazil, Equador, Togo serta Peru (Gambar
2.6).
Permintaan biji kakao cenderung meningkat setiap tahunnya terutama
dinegara-negara maju. Pada tahun 2010 permintaan biji kakao dunia mencapai
sekitar 5,2 juta ton per tahun, sedangkan pada tahun 2011 permintaan biji kakao
dunia meningkat hingga sekitar 5,5 juta ton pertahun. Dari seluruh permintaan
tersebut, belum seluruhnya dapat dipenuhi oleh negara-negara produsen. Pada
tahun 2010, terdapat kebutuhan hampir 400 ribu ton biji kakao belum dapat
dipenuhi. Pada tahun 2011, kebutuhan kakao meningkat sehingga terdapat
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
17
permintaan sebanyak 750 ribu ton biji kakao yang tidak dapat dipenuhi oleh
negara-negara penghasil kakao (World Cocoa Foundation, 2012).
Gambar 2.6 Sepuluh negara produsen kakao terbesar dunia yang menunjukkanbahwa Indonesia (panah merah) merupakan negara produsen kakaoterbesar kedua di dunia setelah Côte d'Ivoire (FAO, 2013).
2.3 Budidaya Kakao di Indonesia dan Permasalahannya
2.3.1 Produksi Kakao Indonesia
Perkebunan kakao di Indonesia tersebar merata hampir di semua pulau.
Namun, sentra produksi kakao utama terdapat di 6 provinsi yaitu Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara,
dan Kalimantan Timur (Taufik et al., 2010). Di Indonesia kakao dibudidayakan
baik oleh perkebunan rakyat maupun oleh perkebunan swata dan negara. Sekitar
90% dari luas area perkebunan kakao Indonesia merupakan perkebunan rakyat,
sedangkan sekitar 10% dari luas area perkebunan kakao Indonesia dikelola oleh
negara serta swasta (Taufik et al., 2010).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
18
Total produksi kakao di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2007, total produksi kakao Indonesia mencapai sekitar 740 ribu ton per
tahun sedangkan pada tahun 2010 total produksi kakao Indonesia meningkat
hingga sekitar 845 ton per tahun (FAO, 2013). Peningkatan produksi kakao
tersebut lebih banyak disebabkan oleh meningkatnya luas area perkebunan kakao.
Luas area perkebunan kakao di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di
dunia. Luas area tersebut juga meningkat dari tahun ke tahun (FAO, 2013). Pada
tahun 2006 luas area perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 900 ribu ha
sedangkan pada tahun 2011 meningkat hingga mencapai 1,6 juta ha (FAO, 2013).
Namun demikian, meningkatnya luas area perkebunan kakao Indonesia tidak
diimbangi dengan meningkatnya produktivitas perkebunan (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Luas area perkebunan kakao di Indonesia yang semakin meningkatsejak tahun 2002 dibandingkan dengan produktitivitas perkebunankakao di Indonesia yang semakin menurun (FAO, 2013).
Produktivitas perkebunan kakao di Indonesia cenderung menurun dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2007, produktivitas kakao Indonesia mencapai sekitar
800 kg/ha, sedangkan pada tahun 2011 terjadi penurunan produktivitas kakao
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Luas area (ribu ha)
Produktivitas (kg/ha)
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
19
sebesar 56% menjadi sekitar 425 kg/ha (FAO, 2013). Dengan angka tersebut
produktivitas Indonesia menempati urutan 19 besar di dunia (FAO, 2013). Jika
dibandingkan dengan negara lain seperti Guatemala dan Thailand, produktivitas
kakao di Indonesia hanya sekitar sepertujuh dari produktvitas kakao di kedua
negara tersebut.
2.3.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kakao
di Indonesia antara lain adanya serangan penyakit dan hama, belum
diaplikasikannya teknologi budidaya yang baik dan benar (Wahyudi & Misnawi
2007). Serangan penyakit dan hama tanaman memang secara langsung berperan
dalam penurunan produksi kakao (Santoso & Soedarsianto, 2009). Salah satu
penyakit tanaman yang menjadi masalah utama pada budidaya kakao di Indonesia
adalah penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora; Rubiyo, 2009). Gejala
penyakit busuk buah kakao ditunjukkan dengan terjadinya pembusukan disertai
dengan bercak coklat kehitaman dengan batas yang tegas (Gambar 2.8A; Rubiyo,
2009). Kerugian yang terjadi akibat penyakit busuk buah pada tanaman kakao di
Indonesia dapat mencapai hingga lebih dari 50% (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia, 2004 ).
Selain itu, serangan hama penggerek tanaman (PBK) serta layu pentil juga
merupakan penyakit yang sering di temui pada tanaman kakao (Santoso &
soedarsianto, 2009). Gejala serangan hama PBK baru akan tampak ketika buah
sudah matang, yaitu buah akan berwarna pudar, jika dibelah daging buahnya dan
biji akan berwarna hitam serta berat biji akan lebih ringan (Gambar 2.8B).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
20
Produktivitas serta mutu biji dapat berkurang hingga mencapai 80% jika tanaman
terserang penyakit PBK (Wahyudi & Misnawi, 2007).
Layu pentil merupakan penyakit fisiologis yang khas pada tanaman kakao
yang menyebabkan buah kakao yang masih sangat muda (pentil) mengalami
kematian/mengering (Gambar 2.8C; Widiancas, 2010). Adanya penyakit layu
pentil dapat menimbulkan penurunan produktivitas kakao sebesar 70-90%
(Widiancas, 2010).
Gambar 2.8 Buah kakao yang terserang penyakit busuk buah, terlihat adanyabercak hitam dengan batas jelas pada kulit buah kakao (A); (B)adalah gambar buah kakao yang dibelah, sebelah kiri menunjukkankakao yang sehat sedangkan sebelah kanan menunjukkan buahkakao yang terserang hama penggerek tanaman (PBK); Buah kakaoyang mengalami layu pentil (C).(Sumber : http://cacaoorganicfairtrade.blogspot.com).
Penerapan teknik budidaya kakao yang kurang tepat seperti perawatan
tanaman yang kurang baik serta pemupukan yang tidak berimbang juga
berpengaruh terhadap penurunan produktivitas perkebunan kakao di Indonesia
(Sutardi & Hendrata, 2009). Pada umumnya petani melakukan perawatan secara
sederhana yaitu dengan melakukan pemangkasan yang asal asalan dan
pemupukan secara berlebihan (Sutardi & Hendrata, 2009). Waktu serta cara
CBA
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
21
pemangkasan yang tidak tepat dapat berakibat meningkatnya serangan hama dan
penyakit yang bisa berpengaruh terhadap penurunan produktivitas buah kakao
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Pemberian pupuk yang
mengandung unsur tertentu secara berlebih baik dosis, jenis, maupun waktu juga
akan mengganggu perkembangan tanaman kakao yang akan berakibat pada
penurunan produktivitas tanaman (Sutardi & Hendrata, 2009).
Kondisi lain yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas
perkebunan yang ada di Indonesia adalah umur tanaman yang relatif tua
(Wahyudi & Misnawi, 2007). Produktivitas tanaman kakao umumnya akan turun
setengah dari produktivtas awalnya setelah berumur 20 tahun (Santoso &
Soedarsianto, 2009). Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu caranya
adalah dengan rehabilitasi dan peremajaan perkebunan kakao (Santoso &
Soedarsianto, 2009).
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya
produktivitas kakao di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit kakao yang
dibudidayakan (Wahyudi & Misnawi, 2007). Oleh karena itu, penyediaan bibit
kakao yang berkualitas sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas
kakao.
2.3.3 Pembibitan Kakao
Pada saat ini, petani lebih banyak menggunakan bibit kakao yang berasal
dari perbanyakan secara generatif yaitu menggunakan biji (Avivi et al., 2010).
Teknik pembibitan menggunakan biji diawali dengan memilih biji yang baik dari
induk yang berkualitas. Setelah biji dikecambahkan selama 4 - 5 hari, kemudian
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
22
kecambah dipindahkan ke medium tanam dan dipelihara selama 6-7 bulan agar
siap ditanam di lapang (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2012).
Perbanyakan dengan teknik ini mempunyai beberapa keuntungan
diantaranya memiliki tingkat keberhasilan tinggi, murah dan mudah dilakukan
serta mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak. Namun,
perbanyakan tersebut dapat menghasilkan tanaman yang memiliki variasi genetik
yang tinggi. Hal tersebut karena dalam proses pembuahan kakao mengalami
penyerbukan silang (cross pollination; Li et al., 1998; Issali et al., 2012).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan
perbanyakan melalui biji adalah secara vegetatif melalui stek dan okulasi
(Limbongan, 2010). Perbanyakan kakao melalui stek dilakukan dengan cara
memotong ranting atau pucuk tanaman dengan jumlah daun antara 2 - 5 helai ,
kemudian ditanam pada medium tanam. Bibit siap dipindahkan ke lapang jika
tingginya sudah mencapai sekitar 50 cm dan jumlah daun minimum 15 helai
(Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Keunggulan dari perbanyakan vegetatif ini adalah lebih ekonomis, lebih
mudah dan cepat serta tidak memerlukan ketrampilan yang khusus. Namun,
teknik ini tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang besar, merusak
tanaman induk serta memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (Li et al., 1998;
Avivi et al., 2010).
Perbanyakan vegetatif lainnya adalah melalui okulasi yang dilakukan
dengan cara menempelkan mata tunas yang diambil dari pohon kakao super pada
batang bawah bibit tanaman kakao lainnya (Basri, 2009). Dengan menggunakan
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
23
teknik ini, bibit memerlukan waktu sekitar 4-5 bulan agar siap ditanam di lahan
(Basri, 2009). Kelebihan dari teknik perbanyakan ini adalah dapat dihasilkan bibit
yang seragam dan memiliki produktivitas yang sama dengan induknya (Basri,
2009). Namun, teknik ini tidak mampu dihasilkan bibit dalam jumlah yang masal
karena keterbatasan jumlah mata tunas (Avivi et al., 2010). Kendala lain dari
teknik ini adalah adanya kerusakan pada tanaman induknya serta keberhasilan
teknik ini masih relatif rendah.
Salah satu alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam
perbanyakan bibit kakao secara vegetatif seperti di atas adalah dengan
menggunakan teknik kultur jaringan tumbuhan. Kultur jaringan adalah teknik
perbanyakan tanaman dengan mengisolasi bagian tertentu dari tanaman serta
menumbuhkannya pada media buatan secara aseptis (Hendaryono & Wijayani,
1994).
Kultur jaringan tumbuhan untuk menyediakan bibit tanaman dapat
dilakukan melalui beberapa cara seperti melalui kultur meristem, kultur pucuk,
kultur tunas aksiler maupun melalaui organogenesis (Sandra, 2012). Kultur
meristem merupakan teknik kultur jaringan dengan menggunakan eksplan
jaringan meristem (Suyadi et al, 2003). Teknik ini banyak dilakukan untuk
menghasilkan bibit tanaman yang bebas virus, namun teknik ini belum berhasil
diaplikasikan untuk perbanyakan bibit kakao (Purnamaningsih, 2002).
Kultur pucuk dan kultur tunas aksiler adalah teknik perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan dengan menggunakan eksplan pucuk atau tunas aksiler
(Sandra, 2012). Kedua teknik tersebut merupakan teknik kultur jaringan yang
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
24
paling sederhana karena hanya memerlukan tahapan perbanyakan dan induksi
akar guna menghasilkan bibit tanaman (Sandra, 2012). Namun teknik tersebut
juga belum berhasil diaplikasikan untuk pembibitan kakao (Figuera et al., 1991).
Teknik lain yang banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman melalui
kultur jaringan adalah organogenesis. Teknik tersebut digunakan untuk
menginduksi munculnya tunas baik secara langsung maupun tidak langsung dari
eksplan yang ditanam. Setelah tunas berhasil dimultiplikasikan, kemudian tunas
diinduksi akar untuk menghasilkan tanaman yang lengkap (Nugrahani et al,.
2011). Teknik ini banyak diaplikasikan untuk perbanyakan bibit tumbuhan,
namun teknik tersebut juga belum diaplikasikan pada tanaman kakao (Nugrahani
et al,. 2011).
Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai banyak dikembangkan untuk
memperbanyak bibit kakao secara in vitro adalah teknik embriogenesis somatik
(Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).
2.4 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao
Embriogenesis somatik adalah teknik menghasilkan tanaman baru melalui
proses pembentukan embrio yang berasal dari sel somatik (Winarsih et al., 2003).
Dengan menggunakan teknik ini dapat dihasilkan bibit yang bermutu tinggi dalam
jumlah yang banyak dan waktu yang lebih singkat (Purnamaningsih, 2002;
Nugrahani et al., 2011). Selain itu bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang
seperti bibit yang berasal dari biji sehingga tanaman yang dihasilkan lebih kuat
dibandingkan dengan tanaman yang dihasilkan melalui teknik vegetatif lainnya
(Sulistyorini, 2011).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
25
Tahapan pelaksanaan teknik embriogenesis somatik untuk penyediaan
bibit tumbuhan biasanya melalui empat tahap, yaitu (1) induksi kalus
embriogenik, (2) induksi embrio, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi
(Gambar 2.9; Purnamaningsih, 2002).
Gambar 2.9 Eksplan staminodia (A), kalus yang berasal dari eksplan staminodia(B), embrio fase globular (C), embrio fase heart (D), embrio fasetorpedo (E), kotiledon yang terbentuk (F), plantet kakao (G), plantetyang ditumbuhkan di greenhouse (H) (Sumber :Li et al., 1998).
Tahap induksi kalus embriogenik biasanya dilakukan dengan cara
menanam eksplan pada medium tanam yang mengandung auksin dengan
konsentrasi tinggi ataupun dengan menggunakan auksin serta sitokinin secara
bersamaan (Winarsih et al., 2003). Pada tahapan ini dapat dihasilkan beberapa
jenis kalus, namun kalus yang diharapkan adalah kalus yang bersifat embriogenik
yaitu mampu diinduksi membentuk embrio. Kalus embriogenik memiliki ciri-ciri
mudah dipisah-pisah (friable), berwarna kuning muda ataupun merah muda (Avivi
et al., 2010).
Tahap selanjutnya setelah induksi kalus adalah tahapan induksi embrio.
Tahapan ini merupakan tahapan yang paling sulit dan paling lama dari semua
tahapan embriogenesis somatik (Winarsih et al., 2003). Pada tahap ini, kalus akan
HGFE
C DBA
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
26
mulai berkembang membentuk embrio melalui tahapan-tahapan seperti pada
perkembangan embrio zygotik (Purnamaningsih., 2002). Perkembangan
pembentukan embrio somatik yang sering diamati terjadi melalui 4 tahapan, yaitu
globular, hati (heart), torpedo hingga kotiledon (Li et al., 1998).
Setelah terbentuk embrio pada fase kotiledon, maka embriogenesis
somatik selanjutnya adalah tahap perkecambahan. Pada tahap ini embrio
dikecambahkan pada media tertentu sehingga tumbuh dan berkecambah
membentuk tunas dan akar (Purnamaningsih, 2002). Setelah terbentuk tanaman
lengkap, maka kecambah kemudian dipelihara di dalam ruang kultur sampai
berdaun dua tau tiga dan siap dipindahkan ke tanah (Sandra, 2012).
Tahapan pemindahan bibit ke lingkungan eksternal dilakukan secara
bertahap melalui teknik aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini perlu
dilakukan secara hati-hati karena adanya perbedaan kondisi lingkungan antara
steril di dalam botol kultur yang memiliki tingkat kelembapan tinggi dan suhu
yang konstan dengan lingkungan eksternal yang memiliki tingkat kelembapan
yang rendah dan suhu yang bersifat fluktuatif (Sandra, 2012). Keberhasilan teknik
aklimatisasi menentukan berhasil tidaknya teknik embriogenesis somatik
digunakan dalam produksi bibit suatu tumbuhan (Purnamaningsih, 2002).
Teknik embriogenesis somatik telah banyak diaplikasikan untuk
memperbanyak bibit berbagai tumbuhan seperti pada cendana (Sukmadjaja,
2005), kopi arabika (Oktavia, 2003), kelapa sawit (Sumaryono et al., 2007),
manggis (Helmi, 2009), gambir (Adri, 2012), papaya (Susanto & Aziz 2005),
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
27
kentang (Lengkong, 2009), serta kacang tanah (Srilestari, 2005). Namun, tidak
semua tanaman berhasil diperbanyak dengan menggunakan teknik ini.
Pada tanaman kakao, banyak penelitian telah dilakukan untuk
mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik untuk menyediakan bibit tanaman
tersebut, namun sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih cukup rendah yaitu
sekitar 0-52% tergantung dari genotip eksplan kakao yang digunakan (Avivi et
al., 2010). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
embriogenesis somatik pada kakao seperti melalui pemilihan eksplan yang tepat,
pemilihan medium dasar yang sesuai, maupun penambahan beberapa zat aditif ke
dalam medium tanam.
Penelitian embriogenesis somatik kakao diawali pada tahun 1977 - 1979
dengan menggunakan eksplan embrio zigotik. Namun teknik ini tidak
dikembangkan lebih lanjut karena bibit yang dihasilkan akan memiliki variasi
genetik yang tinggi sebagai akibat dari penggunaan embrio zygotik sebagai
sumber eksplan (Maximova et al., 2002). Penelitian selanjutnya dilakukan dengan
menggunakan eksplan daun, namun memiliki tingkat keberhasilan yang sangat
rendah (Maximova et al., 2002; Li et al., 1998).
Eksplan kotiledon juga pernah dicobakan untuk perbanyakan bibit kakao
melalui teknik embriogenesis somatik,namun penelitian tersebut tidak berhasil
menginduksi embrio somatik (Chantrapradist & Kamnoon, 1995) ataupun hanya
dihasilkan embrio dengan tingkat keberhasilan kurang dari 20% (Omokolo et al.,
1997).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
28
Jenis eksplan yang paling banyak digunakan untuk induksi embrio somatik
kakao adalah petala dan staminodia yang diisolasi dari bunga yang masih kuncup
(Gambar 2.3). Keberhasilan dari penggunaan eksplan tersebut sangat bervariasi
yaitu 0,9-52 % untuk eksplan petala dan 0-8,5% untuk eksplan staminodia (Avivi
et al., 2010). Hasil tersebut jauh lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan
Li et al., (1998) bahwa penggunaan eksplan staminodia mampu menginduksi
embrio somatik kakao dengan persentase keberhasilan 0,8-100% tergantung dari
variasi genotip kakao yang digunakan.
Beberapa penelitian lain juga telah menggunakan beberapa jenis medium
dasar guna meningkatkan keberhasilan induksi embrio pada tanaman kakao.
Medium dasar pertama yang diujikan adalah medium dasar MS (Murashige dan
Skoog, 1962) (Alemano et al., 1997; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).
Persentase keberhasilan penggunaan medium MS untuk menginduksi embrio
kakao mencapai 47% (Winarsih et al., 2003). Namun, penggunaan MS untuk
berbagai eksplan seperti daun, kotiledon, maupun embrio memiliki pertumbuhan
yang kurang baik, penuaan cepat dan sering terjadi nekrosis jaringan (Li et al.,
1998).
Medium lain yang digunakan adalah medium DKW (Driver Kuniyuki for
Walnut, Driver dan Kuniyuki, 1984). Medium DKW telah digunakan pada
beberapa penelitian untuk menginduksi embrio somatik kakao dari eksplan bunga
(Maximova et al., 2002; Tan & Furtek, 2004 ). Keberhasilan pengunaan medium
ini sangat bervariasi yaitu berkisar antara 0-70 % tergantung genotipe eksplan
yang digunakan (Maximova et al., 2002).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
29
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embrio somatik kakao juga telah
dilakukan dengan menambahkan bahan aditif ke dalam medium tanam.
Penambahan air kelapa ke dalam medium tanam dengan konsentrasi 10% telah
berhasil meningkatkan jumlah embrio yang terinduksi hingga mencapai 0 - 70%
tergantung genotipenya (Dinarti, 1991).
Reformulasi media kultur jaringan dengan menambahkan sulfat pada
konsentrasi tertentu juga telah dilakukan (Emile et al., 2008). Hasilnya
menunjukkan bahwa pemberian sulfat (K2SO4) kedalam medium tanam juga
bervariasi antara 0 - 55 % tergantung genotipe yang digunakan (Emile et al.,
2008).
Faktor utama lainnya yang diduga berperan penting dalam meningkatkan
keberhasilan embriogenesis somatik adalah pemilihan zat pengatur tumbuh
dengan jenis dan konsentrasi yang tepat.
2.5 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara yang mampu
mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan walaupun
dalam jumlah yang sedikit (Hendaryono & Wijayani, 1994). Setiap ZPT
mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis
tanaman (Salisbury & Ross, 1992).
Secara umum terdapat tiga kelompok zat pengatur tumbuh yang sering
digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan yaitu giberalin, auksin serta sitokinin
(Dinarti, 1991). Giberelin merupakan kelompok ZPT yang disintesis dari asam
mevalonat (MVA) pada jaringan muda di pucuk dan pada biji yang sedang
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
30
berkembang (Sandra, 2012). Pada kultur jaringan giberelin berfungsi sebagai
pemacu pertumbuhan akar atau tunas. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari
60 macam GA, namun ada dua macam yang sering digunakan dalam kultur
jaringan yaitu GA1 dan GA3 (Salisbury & Ross, 1992).
Auksin merupakan ZPT yang diproduksi dalam jaringan meristematik
yang masih aktif. Peran fisiologis auksin diantaranya adalah mempercepat
pertumbuhan akar, mendorong pemanjangan dan pengembangan sel serta
mempercepat perkecambahan sedangkan pada kultur jaringan auksin berperan
dalam merangsang pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Hendaryono
& Wijayani, 1994). Beberapa zat pengatur tumbuh auksin yang sering digunakan
dalam kultur jaringan antara lain 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), indole-3-acetic
acid (IAA), α-naftalenacetic acid (α-NAA) dan indole butaratacid (IBA;
Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Sitokinin merupakan ZPT yang banyak ditemukan pada organ biji muda,
daun, serta ujung akar tanaman. Sitokinin mempunyai peranan penting pada kultur
jaringan yaitu sebagai pemacu pembelahan sel, proliferasi meristem ujung, serta
mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Sandra, 2012). Selain itu sitokinin
juga mampu menambah daya perkecambahan tunas, menunda penuaan pada
tanaman, dan memacu pertumbuhan tunas aksiler (Salisbury & Ross, 1992).
Beberapa sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain 6-
furfuryl amino purine (kinetin), 6-benzil amino purine/benzil adenine (BAP/BA),
2-isopentenyl adenin (2 i-P), zeatin, dan thidiaszuron (Hendaryono & Wijayani,
1994).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
31
Dalam kultur jaringan, untuk menginduksi kalus dan embrio somatik suatu
tumbuhan sering digunakan ZPT auksin dan sitokinin secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan di antara keduanya (Salisbury & Ross, 1992). Jenis auksin yang
sering dipakai adalah 2,4-D sedangkan jenis sitokinin yang sering digunakan
adalah BAP (Armaniar, 2002).
2.5.1 Asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D)
2,4-D merupakan salah satu auksin yang paling sering digunakan untuk
menginduksi pembelahan sel, pertumbuhan kalus, pertumbuhan akar serta
suspensi sel dan organ (Andaryani, 2010). 2,4-D memiliki rumus kimia
C8H6Cl2O3 yang mempunyai berat molekul 221,04 g mol-1 (Gambar 2.4A;
Kartikasari, 2013). Penambahan 2,4-D ke dalam medium tanam banyak
digunakan untuk merangsang pembelahan serta pembesaran sel pada eksplan
sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus (Rahayu et al.,
2003). 2,4-D merupakan auksin kuat yang tidak mudah diuraikan sehingga
biasanya digunakan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat
(Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10A Rumus bangun asam 2,4-D (Sumber: Salisbury dan Ross, 1992 )
Kemampuan 2,4-D dalam merangsang pembelahan sel sehingga memacu
terbentuknya kalus dan embrio somatik diduga karena auksin dapat menyebabkan
31
Dalam kultur jaringan, untuk menginduksi kalus dan embrio somatik suatu
tumbuhan sering digunakan ZPT auksin dan sitokinin secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan di antara keduanya (Salisbury & Ross, 1992). Jenis auksin yang
sering dipakai adalah 2,4-D sedangkan jenis sitokinin yang sering digunakan
adalah BAP (Armaniar, 2002).
2.5.1 Asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D)
2,4-D merupakan salah satu auksin yang paling sering digunakan untuk
menginduksi pembelahan sel, pertumbuhan kalus, pertumbuhan akar serta
suspensi sel dan organ (Andaryani, 2010). 2,4-D memiliki rumus kimia
C8H6Cl2O3 yang mempunyai berat molekul 221,04 g mol-1 (Gambar 2.4A;
Kartikasari, 2013). Penambahan 2,4-D ke dalam medium tanam banyak
digunakan untuk merangsang pembelahan serta pembesaran sel pada eksplan
sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus (Rahayu et al.,
2003). 2,4-D merupakan auksin kuat yang tidak mudah diuraikan sehingga
biasanya digunakan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat
(Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10A Rumus bangun asam 2,4-D (Sumber: Salisbury dan Ross, 1992 )
Kemampuan 2,4-D dalam merangsang pembelahan sel sehingga memacu
terbentuknya kalus dan embrio somatik diduga karena auksin dapat menyebabkan
31
Dalam kultur jaringan, untuk menginduksi kalus dan embrio somatik suatu
tumbuhan sering digunakan ZPT auksin dan sitokinin secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan di antara keduanya (Salisbury & Ross, 1992). Jenis auksin yang
sering dipakai adalah 2,4-D sedangkan jenis sitokinin yang sering digunakan
adalah BAP (Armaniar, 2002).
2.5.1 Asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D)
2,4-D merupakan salah satu auksin yang paling sering digunakan untuk
menginduksi pembelahan sel, pertumbuhan kalus, pertumbuhan akar serta
suspensi sel dan organ (Andaryani, 2010). 2,4-D memiliki rumus kimia
C8H6Cl2O3 yang mempunyai berat molekul 221,04 g mol-1 (Gambar 2.4A;
Kartikasari, 2013). Penambahan 2,4-D ke dalam medium tanam banyak
digunakan untuk merangsang pembelahan serta pembesaran sel pada eksplan
sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus (Rahayu et al.,
2003). 2,4-D merupakan auksin kuat yang tidak mudah diuraikan sehingga
biasanya digunakan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang singkat
(Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10A Rumus bangun asam 2,4-D (Sumber: Salisbury dan Ross, 1992 )
Kemampuan 2,4-D dalam merangsang pembelahan sel sehingga memacu
terbentuknya kalus dan embrio somatik diduga karena auksin dapat menyebabkan
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
32
sel mengeluarkan H+ ke dinding sel primer yang mengelilinginya, sehingga H+ ini
akan menurunkan pH dan akan terjadi pertumbuhan serta pengenduran dinding
sel. pH yang rendah akan mengaktifkan enzim yang akan memutuskan ikatan
polisakarida dinding sehingga dinding lebih mudah merenggang. Mekanisme
kerja auksin ini dikenal sebagai hipotesis pertumbuhan asam (Salisbury & Ross,
1992).
Penelitian tentang pengaruh 2,4-D terhadap keberhasilan induksi kalus dan
embrio somatik telah banyak dilakukan pada berbagai tanaman seperti pada
tanaman jati (Armaniar, 2002), kopi arabika (Oktavia et al., 2003), kacang
(Srilestari, 2004), palem (Alkhateeb, 2006), bawang merah (Hellyanto, 2008),
serta ketela (Wongtiem et al., 2011).
Pada tanaman kakao, 2,4-D telah dicobakan untuk menginduksi kalus dan
embrio somatik. Penambahan 2,4-D pada medium tanam MS (Murashige dan
Skoog, 1962) dengan konsentrasi 9x10-6M telah berhasil menginduksi
pembentukan embrio somatik kakao dengan tingkat keberhasilan mencapai
46,67% untuk eksplan petala dan 32,33% untuk eksplan staminodia (Winarsih et
al., 2003). Penambahan 2,4-D pada medium dan konsentrasi yang sama juga telah
mampu menginduksi embrio kakao dengan keberhasilan mencapai 0,9-52% untuk
eksplan petala dan 0-8,5% untuk eksplan staminodia (Avivi et al., 2010). Hasil
yang lebih tinggi dilaporkan oleh Li et al., (1998) bahwa penambahan 2,4-D pada
medium DKW (Driver Kuniyuki for Walnut) telah berhasil menginduksi embrio
somatik tanaman kakao dari eksplan staminodia dengan tingkat keberhasilan
berkisar antara 0,8-100% tergantung genotip kakao yang digunakan.
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
33
Pada penelitian-penelitian tersebut 2,4-D telah digunakan untuk
menginduksi kalus dan embrio somatik tanaman kakao dengan tingkat
keberhasilan berkisar antara 0-52%. Sebagian besar penelitian sebelumnya
menggunakan mediun MS sebagai medium dasarnya sehingga dalam penelitian
ini diujikan pengaruh 2,4-D dalam menginduksi kalus dan embrio somatik dengan
menggunakan medium DKW untuk meningkatkan keberhasilan induksi embrio
somatik kakao pada eksplan petala dan staminodia.
2.5.2 BAP (6-Benzil Amino Purine)
BAP merupakan sitokinin sintetik yang memiliki kandungan karbon,
hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia C12H11N5 dan berat molekul 225,31
gr/mol (Gambar 2.10 B). BAP memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan karena berperan penting dalam memacu pembelahan sel
dan poliferasi meristem ujung (Sandra, 2012). BAP merupakan salah satu
sitokinin yang tidak mudah terurai sehingga banyak digunakan dalam kultur
jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10B Rumus bangun 6- benzil amino purie (BAP) ( Sumber;Wikipedia)
33
Pada penelitian-penelitian tersebut 2,4-D telah digunakan untuk
menginduksi kalus dan embrio somatik tanaman kakao dengan tingkat
keberhasilan berkisar antara 0-52%. Sebagian besar penelitian sebelumnya
menggunakan mediun MS sebagai medium dasarnya sehingga dalam penelitian
ini diujikan pengaruh 2,4-D dalam menginduksi kalus dan embrio somatik dengan
menggunakan medium DKW untuk meningkatkan keberhasilan induksi embrio
somatik kakao pada eksplan petala dan staminodia.
2.5.2 BAP (6-Benzil Amino Purine)
BAP merupakan sitokinin sintetik yang memiliki kandungan karbon,
hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia C12H11N5 dan berat molekul 225,31
gr/mol (Gambar 2.10 B). BAP memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan karena berperan penting dalam memacu pembelahan sel
dan poliferasi meristem ujung (Sandra, 2012). BAP merupakan salah satu
sitokinin yang tidak mudah terurai sehingga banyak digunakan dalam kultur
jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10B Rumus bangun 6- benzil amino purie (BAP) ( Sumber;Wikipedia)
33
Pada penelitian-penelitian tersebut 2,4-D telah digunakan untuk
menginduksi kalus dan embrio somatik tanaman kakao dengan tingkat
keberhasilan berkisar antara 0-52%. Sebagian besar penelitian sebelumnya
menggunakan mediun MS sebagai medium dasarnya sehingga dalam penelitian
ini diujikan pengaruh 2,4-D dalam menginduksi kalus dan embrio somatik dengan
menggunakan medium DKW untuk meningkatkan keberhasilan induksi embrio
somatik kakao pada eksplan petala dan staminodia.
2.5.2 BAP (6-Benzil Amino Purine)
BAP merupakan sitokinin sintetik yang memiliki kandungan karbon,
hidrogen dan oksigen dengan rumus kimia C12H11N5 dan berat molekul 225,31
gr/mol (Gambar 2.10 B). BAP memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan karena berperan penting dalam memacu pembelahan sel
dan poliferasi meristem ujung (Sandra, 2012). BAP merupakan salah satu
sitokinin yang tidak mudah terurai sehingga banyak digunakan dalam kultur
jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Gambar 2.10B Rumus bangun 6- benzil amino purie (BAP) ( Sumber;Wikipedia)
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
34
Kemampuan BAP dalam memacu pembelahan sel, menginduksi
pembentukan tunas dan embrio somatik tersebut diduga karena BAP mempunyai
cincin adenin yaitu suatu basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA, sehingga
BAP diduga mampu berperan dalam metabolisme asam nukleat dan sintesa
protein (Sukartiningrum & Sukendah, 2008). Penambahan BAP kedalam medium
tanam akan meningkakan laju sintesis protein (Salisbury & Ross, 1992).
Pada kultur jaringan, BAP banyak digunakan untuk menginduksi
pembentukan embrio somatik berbagai tanaman seperti pada tanaman jambu bol
(Trina, 2002), cendana (Sukmadjaja et al., 2003), kopi (Oktavia et al., 2003),
pepaya (Susanto et al., 2005), jahe (Bakti et al., 2005), bawang merah (Hellyanto,
2008 ), Manggis (Purba, 2009), kentang (Lengkong, 2009) maupun nanas
(Roostika et al., 2012).
Pada tanaman kakao, BAP juga sudah banyak diujikan untuk menginduksi
pembentukan kalus dan embrio somatik. Penambahan BAP dengan konsentrasi
4,4 x 10-7M ke dalam medium dasar DKW (Driver Kuniyuki for Walnut) yang
ditambahkan vitamin MS (Murashige dan Skoog, 1962) mampu menginduksi
embrio kakao dari eksplan staminodia dengan persentase keberhasilan kurang dari
2% (Tan & Furtek, 2004). Selain itu penambahan BAP dengan konsentrasi 2 x 10-
6M pada medium MS telah mampu menginduksi embrio kakao dengan
keberhasilan mencapai 18% untuk eksplan kotiledon (Omokolo et al., 1997).
Keberhasilan yang lebih tinggi (28 %) diperoleh dengan penambahan BAP pada
konsentrasi 2,2 x 10-7M pada medium MS dengan menggunakan eksplan embrio
muda (Dinarti, 1991).
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013
35
Beberapa penelitian sebelumnya telah menambahkan BAP ke dalam
medium tanam untuk menginduksi embrio somatik kakao dari berbagai jenis
eksplan dengan persentase keberhasilan yang bervariasi yaitu berkisar antara 2-
28%. Oleh karena itu dalam penelitian ini diujikan pengaruh penambahan BAP ke
dalam medium DKW terhadap keberhasilan induksi kalus dan induksi embrio
tanaman kakao dengan menggunakan eksplan petala dan staminodia.
Pengaruh 2,4-D (2,4-Diklorofenoksiasetat)..., Lisa Dian Purwasih, FKIP UMP, 2013