7. trend corruption report periode januari 2014

18
TREND CORRUPTION REPORT Periode Januari - Juni 2014 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM “Pembentukan Kabinet Antikorupsi 2014-2019”

Upload: trinhnguyet

Post on 31-Dec-2016

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

TREND CORRUPTION REPORTPeriode Januari - Juni 2014

Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

“Pembentukan Kabinet Antikorupsi 2014-2019”

Page 2: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSIFakultas Hukum UGM

Jl Trengguli Blok E No.12 Bulaksumur, Yogyakarta

Telp. 0274 746 7008 email [email protected]

Page 3: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

menteri aktif yang ditetapkan sebagai

tersangka korupsi. Andi Malarangeng,

Menteri Pemuda dan Olahraga, terjerat

kasus korupsi Hambalang; Suryadarma Ali,

Menteri Agama, tersangkut kasus korupsi

penyelenggaraan ibadah haji; Jero Wacik,

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,

ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus

korupsi pemerasan dan penyelenggaraan

kegiatan fiktif di internal Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara

kebetulan, tiga terpidana dan tersangka

korupsi tersebut adalah pejabat struktural

di partai politik.

Adanya menteri aktif yang ditetapkan

sebagai tersangka korupsi memberikan

pelajaran bagi presiden terpilih supaya

lebih berhati-hati memilih para calon

pembantunya. Hal ini dapat ditekankan

agar presiden tidak terjebak dalam politik

transaksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 17

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, “Menteri-

menteri itu diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden.” Dasar hukum konstitusi

s e b e n a r n y a s u d a h s a n g a t j e l a s

memberikan arah bahwa presiden memiliki

hak prerogatif untuk menentukan siapa

yang berhak dan menduduki jabatan

kementerian. Merujuk pada ketentuan

UUD NRI 1945, posisi kelompok kekuasaan

di luar area presiden—termasuk partai

politik dan elitenya—ada di bagian

mengusulkan kandidat menteri. Sifat

usulan itu tidak wajib. Keputusan terakhir

tetap ada di tangan presiden.

Halaman 1

BAB IPendahuluan

A. Latar Belakang

Indonesia telah menyelesaikan pemilihan

umum tahun 2014, baik pemilihan umum

anggota Dewan Perwakilan Rakyat

maupun pemilihan umum presiden. Ada

560 legislator terpilih yang akan

menjalankan tugas dan kewenangannya

mulai tahun ini sampai 2019. Di bagian

kekuasaan eksekutif, presiden dan wakil

presiden yang baru juga memiliki

tanggung jawab sama untuk menjalankan

pemerintahan lima tahun ke depan.

Dalam setiap pemerintahan baru

pascareformasi, tantangan yang selalu

muncul adalah bagaimana menyusun

sebuah kabinet? Masalah ini hadir

d ikarenakan parta i pol i t ik , yang

m e n y o k o n g d a n m e m b e r i k a n

dukungannya sebelum pemilihan presiden

dilakukan, mendesak untuk diberikan jatah

kursi. Dukungan secara kelembagaan dan

dukungan lainnya yang diberikan partai

politik dalam pemilihan presiden dan wakil

presiden dimaknai sebagai modal politik

yang harus beroleh keuntungan. Salah

satunya adalah jatah kursi menteri.

Kehatian-hatian terhadap pengaruh partai

politik didasarkan pada pengalaman

pemerintahan sebelumnya. Penentuan

calon menteri, bagaimanapun juga, harus

dilakukan dengan seksama dan berhati-

hati. Catatan terhadap pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-

2014, menunjukkan setidaknya ada tiga

Page 4: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 2

Selain harus jeli menentukan siapa calon

menteri yang tepat, pemerintahan baru

tetap perlu memperhatikan program

pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi di dalam pemerintahannya.

Pemerintah pusat serta pemerintah daerah

perlu meningkatkan sistem pencegahan

ko rups inya . Pemer in tah dae rah ,

khususnya, adalah pengguna anggaran

terbesar dalam negara republik Indonesia.

Sektor pembelajaan (expenditure)

keuangan negara mengalir sangat banyak

ke pemerintah daerah.

Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum

UGM (PUKAT) menelaah kecenderungan

tindak pidana korupsi yang terjadi dalam

s e m e s t e r p e r t a m a t a h u n 2 0 1 4 .

Kecenderungan korups i tersebut

dirangkum dalam sebuah laporan

penelitian atau Trend Corruption Report

(TCR). Pada periode ini tema yang diangkat

adalah “Kabinet Antikorupsi 2014-2019”.

Hasil kajian ini juga sekaligus sebagai

bentuk pertanggungjawaban PUKAT

kepada publik.

T C R a k a n m e n g e t e n g a h k a n

kecenderungan mengenai pelaku korupsi,

sektor korupsi, modus korupsi, jumlah

kerugian negara, serta lembaga yang

menangani korupsi, yang ada pada enam

bulan pertama tahun 2014 (Januari-Juni).

Uraian khusus untuk periode ini adalah

tentang pengisian kursi menteri yang

h a r u s m e n g i n d a h k a n k e w a j i b a n

pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi.

B . S u m b e r D a t a d a n P e r i o d e

Pemantauan

Sumber data dalam penelitian ini

menggunakan pemberitaan media, baik

media cetak maupun media elektronik.

Berita tentang kasus korupsi yang dikaji

adalah berita yang diterbitkan pada bulan

Januari sampai dengan Juni 2014. Tidak

semua media cetak dan elektronik

diposisikan sebagai sumber data. Berita

yang memberikan informasi secara jelas

saja yang digunakan sebagai sumber data.

Penelitian ini tidak mengacu pada jumlah

kasus korupsi—meskipun akan muncul

segi kuantitas dalam laporannya.

Penelitian lebih dititikberatkan pada segi

kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk

membaca kecenderungan kasus korupsi

yang terjadi pada bulan Januari-Juni 2014.

Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak

memungkinkan memuat semua kasus

korupsi yang sedang terjadi pada saat

penelitian ini dilakukan. PUKAT mengkaji

empat puluh dugaan kasus korupsi selama

Januari-Juni 2014.

Page 5: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 3

A. Pelaku korupsi

Aktor korupsi yang tercatat dalam

penelitian PUKAT untuk periode semester

pertama tahun 2014 berjumlah 86 orang.

Tiga besar kelompok pelaku korupsi

dipegang oleh pejabat/pegawai di

pemerintah daerah pada peringkat

pertama dengan 27 orang atau 31,40

persen. Disusul oleh pihak swasta dengan

21 orang atau 24,42 persen. Pegawai

universitas ada di tempat ketiga dengan 10

orang atau 11,63 persen.

Ada perubahan komposisi dalam

kelompok pelaku korupsi pada periode ini

apabila dibandingkan dengan laporan

kecenderungan korupsi yang dirilis PUKAT

pada semester kedua tahun 2013. Data

TCR PUKAT semester II tahun 2013

menunjukkan, posisi pertama aktor

korupsi diisi oleh pihak swasta sebanyak 22

orang atau 33 persen. Kemudian

pejabat/pegawai pemerintah daerah

dengan 18 orang atau 27 persen, dan

pejabat/pegawai BUMN dengan 10 orang

atau 15 persen.

BAB II Trend Korupsi Semester I Tahun 2014

Meski ada perubahan posisi, namun

kelompok pelaku korupsi tidak banyak

mengalami perubahan dari semester II

tahun 2013 ke semester I tahun 2014. Aktor

dari kelompok pemerintah daerah dan

swasta hanya berganti tempat duduk saja

di bagian pelaku korupsi yang paling

banyak. Hal ini mengindikasikan,

peningkatan pencegahan korupsi di

kalangan pejabat dan aparatur pemerintah

daerah seharusnya menjadi prioritas.

Sebab, dari tahun ke tahun posisi pelaku

korups i se r ing d idominas i o leh

pejabat/pegawai pemerintah daerah.

Munculnya pihak pejabat/pegawai

pemerintah daerah sebagai pelaku korupsi

hampir selalu bersama-sama dengan pihak

swasta. Artinya, kemungkinan besar antara

pejabat/pegawai pemerintah daerah

sering melakukan kerjasama dengan pihak

swasta dalam melakukan tindak pidana

korupsi. Pemerintah daerah harus

berhubungan dengan pihak swasta untuk

memenuhi sarana dan prasarana di dalam

pemerintah daerah.

No. Pelaku korupsi Jumlah Persen (%)

1. Pejabat/pegawai pemerintah pusat 8 9,3

2. Pejabat/pegawai pemerintah daerah 27 31,4

3. Anggota legislatif pusat 1 1,16

4. Pejabat/pegawai BUMN/BUMD 6 6,98

5. Swasta 21 24,42

6. Kepala daerah 5 5,81

7. Penegak hukum 6 6,98

8. Pegawai universitas 10 11,63

9. Menteri 1 1,16

10. Anggota KPUD 1 1,16

86 100

Tabel 1. Pelaku Korupsi Semester 1 Tahun 2014

Jumlah

Page 6: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 4

TCR semester I tahun 2013, misalnya,

m e m b e r i k a n i n f o r m a s i b a h w a

pejabat/pegawai pemerintah daerah

menempati urutan terbanyak dari 143

pelaku korupsi, yakni 39 orang atau 27,27

persen. Pihak swasta ada di urutan kedua

dengan 36 orang atau 25,17 persen.

Dengan melihat data tersebut, dapat

dimaknai pencegahan korupsi di

pemerintah daerah sepertinya kurang

membuahkan keberhasilan, setidaknya

dalam 1,5 tahun belakangan.

Pengawasan terhadap pejabat/pegawai

pemerintah daerah, mau tidak mau, harus

pula dikembangkan kepada pengawasan

terhadap pihak swasta. Karena dua pihak

ini selalu saling mempengaruhi. Jika

pengawasan hanya ditekankan kepada

pihak pejabat/pegawai pemerintah daerah

saja, maka pihak swasta masih memiliki

kemampuan untuk mempengaruhi atau

berusaha menyuap pejabat/pegawai

pemerintah daerah. Begitu pula sebaliknya,

apabila pengawasan terhadap pihak

swasta ditingkatkan, namun pengawasan

terhadap pejabat/pegawai pemerintah

daerah dikurangi, maka pejabat/pegawai

pemerintah daerah akan berpotensi

menyalahgunakan kekuasaan dan

kewenangannya.

B. Sektor korupsi

Sektor korupsi terfavorit pada bulan

Januari sampai Juni tahun 2014 adalah

sektor pengadaan barang dan jasa yang

dilakukan oleh 14 orang pelaku atau 16,28

persen. Urutan kedua jatuh ke sektor

kesejahteraan sosial yang menjerat 11

orang pelaku korupsi atau 12,79 persen.

Sedangkan di urutan ketiga terdapat dua

sektor. Pertama, sektor pendidikan. Kedua,

sektor badan usaha milik negara maupun

milik daerah. Di masing-masing sektor

tersebut ada 9 pelaku atau 10,47 persen.

Dari dua semester terakhir, sektor

pengadaan barang dan jasa selalu muncul

di urutan atas sektor korupsi. Pada

semester II tahun 2013, sektor pengadaan

barang dan jasa dikorupsi oleh 19 orang

pelaku atau 61 persen. Posisi ini naik dari

semester I tahun 2013 yang hanya

menyumbang 12 orang pelaku atau 13,64

persen, kalah dari sektor keolahragaan,

pendidikan, dan keagamaan yang

memberikan 17 orang pelaku korupsi atau

19,32 persen.

Pencegahan dan pengawasan di sektor

pengadaan barang dan jasa masih menjadi

p e k e r j a a n r u m a h y a n g b e l u m

terselesaikan. Langkah pemerintah selama

ini yang berusaha mengubah pengadaan

barang dan jasa secara manual ke

pengadaan barang dan jasa secara

elektronik sebenarnya memberikan

perubahan. Hanya saja, perubahan

tersebut masih tetap harus diimbangi

dengan peningkatan pengawasan

terhadap pengadaan barang dan jasa,

meskipun sudah diubah ke pengadaan

barang dan jasa elektronik.

Kebocoran di sektor pengadaan barang

dan jasa elektronik, misalnya, dipicu karena

Page 7: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 5

ada indikasi operator pelaksana sistem

elektronik pada unit layanan pengadaan

barang dan jasa di masing-masing

lembaga melakukan tindakan melawan

hukum. Misalnya saja, menonaktifkan

sistem elektronik pengadaan barang dan

jasa atau memberikan kunci masuk

(password) pada pihak tertentu. Untuk

mencegah korupsi pengadaan barang dan

jasa elektronik, diharapkan ada audit

terhadap sistem elektronik (server) yang

dipakai dalam pengadaan barang dan jasa

elektronik. Audit tersebut dilaksanakan

setidaknya sebelum dan sesudah

pengadaan barang dan jasa dikerjakan.

Di dalam sektor korupsi, juga muncul

sektor pendidikan. Sektor ini sebenarnya

bukan sektor korupsi baru, mengingat

pada TCR PUKAT semester I tahun 2013

ada 17 kasus atau 19,32 persen kasus

korupsi di sektor pendidikan. Sektor ini

mulai mencuat dengan keterangan yang

muncul dalam persidangan di seputar

kasus korupsi wisma atlet. Ada proyek

pemerintah di lingkungan universitas yang

ternyata diselewengkan. Pencegahan dan

pengawasan terhadap sektor pendidikan

semestinya ditingkatkan. Karena lembaga

pendidikan menjadi tempat untuk

menyiapkan calon pengisi jabatan publik

maupun privat.

No. Sektor korupsi Jumlah Persen (%)

1. Penerimaan negara 4 4,65

2. Pemilihan umum kepala daerah 2 2,33

3. Pertanian/kehutanan/peternakan/perikanan 7 8,14

4. Pekerjaan umum 5 5,81

5. Keolahragaan, pendidikan, dan keagamaan 2 2,33

6. Penegakan hukum 5 5,81

7. Kesejahteraan sosial 11 12,79

8. BUMN/BUMD 9 10,47

9. Energi dan sumber daya mineral 4 4,65

10. Kesehatan 9 10,47

11. Pengadaan barang dan jasa 14 16,28

12. Pajak 1 1,16

13. Pendidikan 9 10,47

14. Keuangan/perbankan 3 3,49

15. Keagamaan 1 1,16

86 100Jumlah

Tabel 2. Sektor Korupsi Semester I Tahun 2014

Page 8: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 6

C. Modus korupsi

Cara melakukan korupsi dalam semester I

tahun 2014 masih sangat banyak dipegang

oleh modus merugikan keuangan negara

dan/atau menyalahgunakan kewenangan.

Dari 40 kasus yang diteliti oleh PUKAT,

terdapat 35 kasus korupsi yang diduga

menggunakan modus merugikan

k e u a n g a n n e g a r a d a n / a t a u

menyalahgunakan kewenangan. Sisanya,

suap menyuap ada d i 3 kasus ,

penggelapan dalam jabatan dan kesaksian

palsu masing-masing 1 kasus.

Tidak ada perubahan signifikan dalam

modus korupsi. Sebagaimana pada

semester kedua tahun 2013, modus

merugikan keuangan negara dan/atau

menyalahgunakan kewenangan masih

menempati posisi pertama cara melakukan

korupsi. 25 kasus korupsi atau 80,65 persen

modus merugikan keuangan negara

dan/atau menyalahgunakan kewenangan

ada di semester II tahun 2013.

Namun demikian, ada modus baru yang

dipotret pada periode semester I tahun

2 0 1 4 , y a k n i m e m b e r i k a n

keterangan/kesaksian palsu.

Pada dasarnya, modus ini bukanlah modus

korupsi materiil, melainkan modus lain

yang dianggap sebagai modus korupsi.

Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang

Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 22 menyatakan, “Setiap orang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,

Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang

dengan sengaja tidak memberikan

keterangan atau memberikan keterangan

yang tidak benar, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 tahun dan paling

lama 12 tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp

600 juta.”

Dengan dikenalkannya penjeratan

tersangka dengan Pasal 22 tersebut (tidak

memberikan keterangan atau memberikan

keterangan tidak benar), diharapkan setiap

saksi akan memberikan keterangan yang

benar dan tidak menyesatkan serta tidak

ada lagi saksi yang coba-coba berani

memberikan kesaksian palsu. Di samping

itu, pemeriksaan kasus korupsi akan bisa

diselesaikan dengan cepat dengan

keterangan yang benar itu.

No. Modus korupsi Jumlah Persen (%)

1. Merugikan keuangan negara dan/atau

menyalahgunakan kewenangan

35 87,5

2. Suap menyuap 3 7,5

3. Penggelapan dalam jabatan 1 2,5

4. Keterangan/kesaksian palsu 1 2,5

40 100Jumlah

Tabel 3. Modus Korupsi Semester I Tahun 2014

Page 9: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 7

D. Kerugian negara

Jumlah kerugian negara yang paling

banyak pada periode Januari-Juni 2014

ada di angka Rp 1-10 miliar dengan 16

kasus atau 48,48 persen. Kerugian negara

di bawah Rp 1 miliar ada 9 kasus atau 27,27

persen. Sedangkan kerugian negara di atas

Rp 100 miliar berjumlah 5 kasus atau 15,15

persen.

Jika dibandingkan dengan jumlah kerugian

negara pada semester II tahun 2013 tidak

ada pergeseran jumlah kerugian keuangan

negara. 10 kasus atau 66,67 persen kasus

korupsi berpotensi merugikan keuangan

negara antara Rp 1-10 miliar. Demikian

juga secara keseluruhan pada tahun 2013,

jumlah kerugian negara antara Rp 1-10

miliar tetap berada paling atas dengan

total 30 kasus (29.13 persen). Posisi

berikutnya ditempati oleh kerugian negara

di bawah Rp 1 miliar dengan 27 kasus atau

26,21 persen.

Rata-rata kerugian negara antara Rp 1-10

miliar menunjukkan bahwa pelaku korupsi

tidak segan-segan mencuri uang negara

miliaran rupiah. Angka kemungkinan

kerugian negara yang paling besar ada

pada dugaan kasus korupsi direktorat

pengelolaan informasi administrasi

kependudukan yang mencapai Rp 1,1

triliun. Selanjutnya, ada di dugaan kasus

korupsi di Univeritas Sumatera Utara yang

mencapai potensi kerugian keuangan

negara sampai Rp 41,4 miliar.

Jumlah keseluruhan potensi kerugian

keuangan negara pada semester I tahun

2014 adalah Rp 1.972.713.798.000,00.

Angka ini jauh lebih besar dibandingkan

dengan potensi kerugian keuangan negara

pada akhir tahun 2013 yang hanya Rp

275.160.906.522,00. Kenaikan potensi

kerugian negaranya mencapai 75,52

persen. Dengan melihat besarnya

kemungkinan keuangan negara, usaha

untuk mengembalikan keuangan negara

mesti menjadi program utama.

No. Potensi kerugian negara Jumlah Persen (%)

1. Di bawah Rp 1 miliar 9 27,27

2. Rp 1 – 10 miliar 16 48,48

3. Rp 10-50 miliar 3 9,09

4. Di atas Rp 100 miliar 5 15,15

33 100Jumlah

Tabel 4. Potensi Kerugian Negara Semester I Tahun 2014

Page 10: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 8

-sebenarnya selalu menjadi tumpuan

dalam pemberantasan korupsi. Fakta

bahwa kejaksaan lebih banyak menangani

terperiksa korupsi dibandingkan dengan

penegak hukum lainnya dapat dijadikan

dasar mendorong kejaksaan lebih aktif

dalam memeriksa tindak pidana korupsi.

Dengan fakta demikian, pemberantasan

korupsi, korps kejaksaan mesti lebih

meningkatkan kinerjanya.

E. Lembaga Penanganan

Kejaksaan negeri menangani 24 orang

yang diduga korupsi di enam bulan

pertama tahun 2014. Selanjutnya, dalam

catatan PUKAT, KPK menangani 23 orang

terperiksa korupsi. Kemudian, kejaksaan

agung mengurus 16 pelaku diduga

korupsi.

Korps kejaksaan—baik kejaksaan negeri,

kejaksaan tinggi, maupun kejaksaan agung

No. Lembaga penanganan korupsi Jumlah Persen (%)

1. Komisi pemberantasan korupsi 23 26,74

2. Kepolisian resort 5 5,81

3. Kepolisian daerah 6 6,98

4. Markas besar polisi 1 1,16

5. Kejaksaan negeri 24 27,91

6. Kejaksaan tinggi 11 12,79

7. Kejaksaan agung 16 18,6

86 100Jumlah

Tabel 5. Lembaga Penanganan Korupsi Semester I Tahun 2014

Page 11: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 9

A. Korupsi di sektor anggaran dinas

Pada semester pertama 2014 terdapat

beberapa kasus korupsi anggaran yang

terjadi di lembaga pemerintahan, dua

diantaranya terjadi di lembaga hukum.

Kasus pertama terjadi di Komisi Yudisial

dengan tersangka Al Jona Kautsar, seorang

staf pada Subbagian Verifikasi dan

Pelaporan Akuntansi Bagian Keuangan

Biro Umum. Tugas tersangka membuat

Daftar Rekapitulasi untuk pembayaran

uang layanan persidangan (ULP) dan uang

layanan penanganan/penyelesaian

laporan masyarakat (ULS) kepada pegawai

atau pejabat Komisi Yudisial. Sejak tahun

2009 sampai 2013 tersangka diduga

memanipulasi anggaran dengan cara mark

up sehingga terdapat sel is ih Rp

4.165.261.341,00. Kasus ini bermula dari

temuan internal yang dilaporkan sendiri

oleh Komisi Yudisial kepada Kejaksaan

Agung.

Kasus kedua adalah korupsi anggaran

operasional di Kejaksaan Negeri Wamena.

Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi

tersangkanya adalah Kepala Kejaksaan

Negeri Wamena, I Putu Suarjana dan

Bendahara Kejaksaan Negeri Wamena,

Firman Rahman. Tersangka Firman

Rahman telah dinonaktifkan dari

jabatannya dan dilakukan penahanan oleh

Kejaksaan Tinggi Papua. Sedangkan

perlakuan berbeda terjadi pada I Putu

Suarjana yang dimutasi dan ditangani oleh

Kejaksaan Agung. Kasus korupsi ini

bermula dari pengawasan Kejaksaan

T ingg i Papua yang menemukan

penyalahgunaan anggaran penanganan

perkara untuk kepentingan pribadi. Para

tersangka diduga memanipulasi anggaran

penyidikan dengan memalsukan data

perkara menjadi lebih banyak dari yang

ditangani. Korupsi anggaran ini terjadi

pada tahun 2012 dengan jumlah anggaran

Rp 3,9 miliar dan tahun 2013 sejumlah Rp 1

miliar.

Korupsi anggaran dengan modus

menaikkan (mark up) nilai anggaran,

pemalsuan data, dan pemalsuan dokumen

termasuk modus lama yang sudah terjadi

di institusi pemerintahan sejak lama.

Artinya modus ini adalah modus

konvensional korupsi birokrasi. Pelaku

mengambil secara langsung anggaran

negara yang menjadi kewenangannya.

Menjadi penting untuk diperhatikan

kembali maraknya modus korupsi

anggaran dewasa ini. Dua kasus yang

dibahas di atas adalah potret kecil dari

banyak kejadian yang tentu tidak

semuanya terungkap. Korupsi anggaran

pada dua kasus di atas dilakukan dengan

cara klasik sehingga dapat dikategorikan

“mudah terungkap”. Pelaku memiliki

kewenangan anggaran dan melakukan

pelaporan fiktif dengan memalsukan data

dan dokumen.

Korupsi anggaran biasanya terjadi pada

berbagai tahap, mulai dari perencanaan,

penyusunan anggaran, pelaksanaan, dan

t e r a k h i r p e n g a w a s a n d a n

pertanggungjawaban. Pada tahap

perencanaan, korupsi biasanya bermula

dari niat untuk mengarahkan jenis

BAB IIIKasus Strategis

Page 12: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 10

mengarahkan jenis pekerjaan yang hanya

dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak

tertentu. Sedangkan pada tahap

penyusunan anggaran, modus korupsi

biasanya berupa anggaran kegiatan fiktif,

anggaran yang nilainya tidak rasional,

anggaran yang melanggar aturan, dan

modus lainnya. Pada pelaksanaan

anggaran, korupsi biasanya berupa

pelaksanaan anggaran yang tidak sesuai

dengan anggaran yang telah disusun.

S e d a n g k a n k o r u p s i p a d a

pertanggungjawaban anggaran misalnya

berupa laporan pertanggungjawaban fiktif

maupun suap menyuap pelaksana

anggaran dengan pengawas.

Korupsi anggaran semakin mudah

dilakukan apabila minim transparansi dan

partisipasi. Tertutupnya penganggaran

mu la i da r i pe rencanaan sampa i

pertanggungjawaban menyebabkan

banyak pihak dengan mudah bisa

mempermainkan anggaran, baik berupa

korupsi maupun tindakan koruptif dalam

bentuk bagi-bagi proyek berdasarkan

kepentingan tertentu.

Korupsi anggaran juga sering terjadi pada

perjalanan dinas dan kegiatan non-fisik.

Pelaporan kegiatan fiktif, mark up,

pemalsuan bukti perjalanan dinas, menjadi

beberapa modus kotor yang sering

dilakukan abdi negara. Perjalanan dinas

masih dianggap sebagai sumber

penghasilan tambahan bagi sebagian

pegawai negeri. Perjalanan dinas tentu saja

mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan

urusan pemerintahan. Namun, ketentuan

perjalanan dinas harus diperjelas agar tidak

membebani anggaran negara apalagi

menjadi salah satu titik kebocoran.

Hal lain yang bisa dipelajari dari dua kasus

di atas adalah awal mula terungkapnya

kasus melalui pengawasan internal yang

m e n e m u k a n p e l a n g g a r a n p a d a

penggunaan anggaran. Ini semakin

menun jukkan pent ingnya fungs i

pengawasan internal dalam mencegah dan

memberantas korupsi. Fungsi pengawasan

inspektorat menjadi ujung tombak, karena

inspektorat memahami secara detail

internal kementerian, lembaga, atau

pemerintah daerah.

B. Korupsi di universitas

Melihat data TCR semester I tahun 2014,

sektor pendidikan menyumbang

tersangka korupsi sebanyak 10 orang.

Tersangka yang didominasi oleh pengajar

ini, banyak terjadi di sektor pengadaan

barang dan jasa serta pengelolaan asset

universitas. Jika pada semester II tahun

2013 kasus korupsi di perguruan tinggi

banyak dilakukan di sektor pengadaaan

barang dan jasa, maka pada semester I

tahun 2014 bergeser ke sektor pengeloaan

aset universitas.

Contoh kasus korupsi pengelolaan aset

terdapat di dua perguruan tinggi. Pertama,

di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

Malik Ibrahim, Malang, menjerat mantan

rektor Prof. Dr. Imam Suprayogo. Kasusnya

a d a l a h p e m b e l i a n l a h a n u n t u k

pembangunan kampus II UIN Malang di

daerah Kota Batu. Kedua, di Universitas

Page 13: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 11

Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Terdapat

empat dosen yang berasal dari Fakultas

Pertanian UGM yang ditahan karena

diduga mengalihkan/menjual aset milik

Fakultas Pertanian dengan cara melawan

hukum.

Selain pengajar, ada juga pegawai

administrasi di lingkungan universitas yang

ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Kasusnya penyalahgunaan dana hibah

yang mencapai Rp 700 juta. Pada awalnya,

dana tersebut diperuntukkan untuk

kepentingan pengembangan pendidikan

di Akademi Farmasi Banda Aceh, akan

tetapi disalahgunakan oleh pegawai

universitas tersebut untuk kepentingan

pribadi.

Persoalan pengelolaan aset yang menjerat

para dosen aktif di beberapa universitas

menunjukkan bahwa sistem pengawasan

internal di universitas tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Aset yang yang

begitu besar ternyata tidak dikelola secara

profesional. Mulai dari pembelian,

penjualan, serta kepemilikan dapat

menjadi celah korupsi. Perbaikan sistem

administrasi menjadi langkah awal dalam

perbaikan sistem pengelolaan aset di

universitas.

C. P e r a n p e m e r i n t a h d a l a m

pencegahan tindak pidana korupsi

D a l a m u s a h a p e n c e g a h a n d a n

pemberantasan tindak pidana korupsi,

sebenarnya pemerintah telah memiliki

beberapa program yang dimasukkan

dalam strategi nasional pemberantasan

korupsi. Melalui Instruksi Presiden Nomor

1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan

dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013,

Presiden menetapkan aksi pencegahan

dan pemberantasan korupsi melalui enam

strategi sebagai berikut:

a. Pencegahan;

b. Penegakan hukum;

c. Peraturan perundang-undangan;

d. Kerjasama internasional dan

penyelamatan aset hasil korupsi;

e. Pendidikan dan budaya antikorupsi;

dan

f. Mekanisme pelaporan.

Hanya saja, dalam pelaksanaan aksi

pencegahan dan pemberantasan korupsi,

s t r a t e g i t e r s e b u t b e l u m d a p a t

dimanfaatkan secara maksimal. Misalnya,

dalam mekanisme pelaporan, setiap

pemerintah daerah sudah diwajibkan agar

membentuk rencana aksi pencegahan dan

pemberantasan korupsi. Kenyataannya,

belum semua daerah membentuk

dokumen pencegahan tindak pidana

korupsi tersebut.

Ditambah lagi, sanksi bagi daerah yang

tidak memenuhi pembentukan rencana

a k s i d a e r a h p e n c e g a h a n d a n

pemberantasan tindak pidana korupsi juga

tidak terlalu transparan. Semestinya, bagi

daerah yang tidak membuat aksi dan

program pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana korupsi harus diberikan

hukuman, misalnya, dengan mengurangi

dana perimbangan. Begitu sebaliknya,

pemerintah daerah yang tertib mengikuti

instruksi pemerintah pusat harus diberikan

penghargaan dengan menambah dana

perimbangan.

Page 14: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 12

Strategi pencegahan sebenarnya

bertumpu pada reformasi birokrasi, karena

birokrasi yang bersih dan profesional akan

mencegah terjadinya tindak pidana

korupsi. Meskipun reformasi birokrasi

telah menjadi agenda pemerintah bahkan

dijadikan sebagai nama kementerian,

tetapi perkembangannya sangat lambat

dan sering salah arah. Reformasi birokrasi

yang salah arah terjadi ketika sekedar

diartikan sebagai naiknya gaji dan

pendapatan pegawai negeri.

Dalam hal penegakan hukum, pemerintah

juga kurang begitu merespon harapan

publik. Remisi bagi pelaku tindak pidana

khusus, termasuk tindak pidana korupsi,

seharusnya lebih diperketat. Seperti halnya

pemberian remisi, pembebasan bersyarat

juga harus diperketat. Namun, belakangan

pemerintah bersikap berseberangan.

M u d a h n y a p e m b e r i a n f a s i l i t a s

pengurangan masa hukuman dan

pembebasan bersyarat menunjukkan

pemerintah tidak begitu bersemangat

d a l a m u s a h a p e n c e g a h a n d a n

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Strategi peraturan perundang-undangan

tidak memperlihatkan perkembangan

p o s i t i f b a g i p e n c e g a h a n d a n

pemberantasan korupsi. Selain belum

rapihnya peraturan perundang-undangan

yang bisa meminimalisir terjadinya korupsi

justru terdapat RUU KUHAP yang

mengandung masalah khususnya dalam

mendukung pemberantasan korupsi di

Indonesia.

St rategi pendidikan dan budaya

antikorupsi juga belum terlihat sebagai

gerakan yang terarah. Justru, strategi ini

terdistorsi menjadi sekedar ceremony atau

slogan di banyak kementerian, lembaga,

atau pemerintah daerah. Budaya integritas

belum terlembaga terlihat dari masih

mudahnya ditemui pungli pada pelayanan

publik.

Page 15: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 13

BAB IVPembentukan Kabinet Antikorupsi

2014-2019

Presiden terpilih periode 2014-2019 harus

membentuk kementerian negara demi

membantu pelaksanaan tugas dan

kewenangan presiden. Dalam membentuk

kementerian negara, presiden tunduk pada

aturan hukum yang ada, yakni Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008,

pembentukan kementer ian per lu

mempertimbangak perihal efisiensi dan

e f e k t i v i t a s ; c a k u p a n t u g a s d a n

p r o p o r s i o n a l i t a s b e b a n t u g a s ;

kes inambungan , keseras ian , dan

keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau

perkembangan lingkungan global.

Seorang calon menteri harus memenuhi

syarat yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat

(2) dan Pasal 23. Undang-undang

mengatur bahwa calon menteri haruslah:

1. WNI;

2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa;

3. Setia kepada Pancasila, UUD NRI

1945, dan cita-cita proklamasi

kemerdekaan;

4. Sehat jasmani dan rohani;

5. Memiliki integritas; dan

6. Tidak pernah dipidana penjara

berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara lima tahun

atau lebih.

Dengan ketentuan undang-undang

tersebut, maka calon menteri haruslah

seseorang yang tidak memiliki catatan

pidana—khususnya yang berkaitan

dengan perbuatan yang diancam dengan

penjara lima tahun atau lebih. Batasan

demikian sebenarnya juga bisa dipakai

untuk menutup kesempatan bagi kandidat

yang bermasalah dan diduga terlibat

dalam tindak pidana dalam perebutan

kursi menteri. Para kandidat yang memiliki

catatan, setidaknya, korupsi atau diduga

korupsi—termasuk pencucian uang,

p e l a n g g a r a n H A M — t e r m a s u k

perdagangan orang, kasus narkoba atau

psikotropika, kasus terorisme atau tindak

pidana lainnya secara otomatis tidak dapat

menduduki kursi kementerian atau

lembaga negara.

Pemerintahan terpilih 2014-2019, dalam

m e n y u s u n k a b i n e t p e r l u

mempertimbangkan masukan dari

masyarakat. Para calon yang diusulkan

sebagai menteri tidak boleh memiliki

masalah dengan kejahatan korupsi dan

pencucian uang, kejahatan kemanusiaan,

kejahatan terorisme, kejahatan narkoba

atau psikotropika, dan semua kejahatan

yang diancam dengan pidana lima tahun

atau lebih.

Presiden terpilih bisa menggunakan data

dari pusat pelaporan dan analisis transaksi

keuangan. Tindakan preventif agar tidak

ada kandidat menteri yang tersangkut

pidana dapat ditelusuri dari transaksi

keuangan yang dimilikinya.

Page 16: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

2Halaman 14

Selanjutnya, calon menteri dilarang

memiliki jabatan lain selain sebagai

pimpinan kementerian. Undang-undang

menyatakan bahwa untuk menjabat

sebagai menteri, maka calon menteri:

1. Tidak boleh menjadi pejabat negara

lainnya;

2. Komisaris atau direksi pada

p e r u s a h a a n n e g a r a a t a u

perusahaan swasta; dan

3. Pimpinan organisasi yang dibiayai

dari APBN/APBD.

Aturan di atas jelas, nantinya tidak boleh

ada menteri yang merangkap jabatan. Hal

ini ditujukan agar menteri dapat fokus

dalam mengemban amanahnya sebagai

pembantu presiden. Di samping itu, juga

untuk menghindari adanya program

kementerian yang salah sasaran. Atau

sebaliknya, untuk mencegah supaya ada

program titipan dari organisasi yang tidak

ada sangkut-pautnya dengan program

kementerian.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

memang tidak melarang presiden terpilih

untuk mengambil kandidat menteri dari

unsur partai politik. Namun demikian,

a langkah ba ik apab i l a p res iden

memper t imbangkan untuk t idak

menentukan susunan menteri dari unsur

partai politik. Mengingat Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2011 masih

memberikan ruang bagi partai politik

untuk mengumpulkan dana bagi

kelangsungan partai dari anggotanya.

Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 disebutkan,

“Keuangan partai politik bersumber dari a)

iuran anggota; b) sumbangan yang sah

menurut hukum; dan c) bantuan keuangan

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah.” Ketentuan pasal ini memberikan

jalur hukum bagi partai politik untuk

mengambil dana dari masing-masing

anggota dengan cara membayar iuran

wajib.

Asumsi yang dibangun melalui pasal ini

adalah apabila menteri berasal dari partai

politik, kemudian partai membutuhkan

dana untuk keberlangsungan partai, maka

partai akan meminta iuran wajib dari

menteri tersebut. Jika dana yang

d ibutuhkan sangat besar , besar

kemungkinan menteri bersangkutan akan

mengambil dana dengan cara me-mark up

atau membuat kegiatan fiktif untuk

mendapatkan dana yang nantinya akan

diberikan kepada partai. Dengan demikian,

korupsi akan sulit dicegah di dalam

kementerian yang menterinya berasal dari

unsur partai politik.

Dalam memilih kandidat menteri ,

setidaknya ada tiga hal yang harus

diperhatikan oleh presiden terpilih periode

2014-2019. Pertama, integritas. Ukuran

integritas sudah sangat jelas. Bakal calon

menteri tidak boleh tersangkut dengan

kejahatan yang diancam hukuman lima

Page 17: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

Halaman 15

tahun atau lebih. Ukuran ini lebih

ditingkatkan dari pada yang tercantum

dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2008. Artinya, bakal calon menteri tidak

boleh memiliki catatan atau keterkaitan

dengan tindak kejahatan yang diancam

dengan penjara lima tahun atau lebih.

Bakal calon yang disangkut-pautkan

dengan, misalnya, tindak pidana korupsi,

pencucian uang, terorisme, narkoba,

kejahatan hak asasi manusia, harus ditolak

sebagai bakal calon menteri.

Kedua, akseptabilitas. Penerimaan publik

adalah faktor kedua dalam penentuan

bakal calon menteri. Seorang kandidat,

meskipun bukan dari unsur partai politik,

akan tetapi pernah terlibat kasus yang

diancam hukuman lima tahun, atau tindak-

-an asusila, harus dikeluarkan sebagai

bakal calon menteri. Oleh karena itu, bakal

calon yang pernah dipidana penjara atas

kejahatan yang diancam penjara lima

tahun atau lebih dan/atau dikaitkan

tindakan asusila tidak bisa menduduki

kursi bakal calon menteri.

Ketiga, kapabilitas. Kemampuan dalam

memimpin kementerian dapat diprediksi

dari catatan pengalaman (track record)

bakal calon menteri . Kr iter ia ini

memungkinkan kandidat yang tidak

menguasai bidang kementerian dimaksud,

tidak akan dapat menduduki kursi bakal

calon menteri. Kriteria ini juga berpotensi

mengurangi tawaran partai politik yang

ingin menempatkan elitenya dalam

kementerian tertentu.

Page 18: 7. Trend Corruption Report Periode Januari 2014

BAB VPenutup

Presiden periode 2014-2019 mempunyai

hak prerogatif untuk menyusun program

dan kabinetnya. Pengawasan terhadap

pemerintahan daerah harus terus

ditingkatkan dengan cara mengefektifkan

pengawasan internal. Memberikan

apresiasi bagi daerah yang dengan taat

m e r e n c a n a k a n , m e m b u a t , d a n

melaksanakan program antikorupsi.

Misalnya, dengan menambah persentase

perolehan dana perimbangan. Begitu pula,

pemerintah pusat harus memberikan

hukuman terhadap pemerintah daerah

yang tidak tertib merancang, membuat,

dan melaksanakan program antikorupsi

melalui pengurangan perolehan dana

perimbangan.

Presiden terpilih dalam menyusun kabinet

s a n g a t p e r l u m e n d e n g a r k a n

pertimbangan dari publik. Memilih menteri

dari jalur profesional memang bukan

jaminan. Namun setidaknya, menyaring

kandidat menteri dan menolak para bakal

calon menteri yang memiliki catatan

kejahatan dan pidana akan menjauhkan

presiden dari kemungkinan lahirnya

menter i a tau kementer ian yang

bermasalah. Integritas, akseptabilitas, dan

kapabilitas, adalah tiga kriteria yang harus

diperhatikan oleh presiden terpilih untuk

menyaring bakal calon menteri supaya

diperoleh kandidat yang benar-benar

mampu mendukung presiden dalam

menjalankan tugas menyejahterakan

rakyat.

Halaman 16