7 pendekar thiansan -gankl
DESCRIPTION
Cerita silatTRANSCRIPT
-
7 PENDEKAR THIAN SAN (THIAN SAN TJHIT KIAM)
Karya : Liang Ie ShenDisadur Oleh: Gan K.L.
NGO-TAI-SAN adalah sebuah gunung yang tersohor di propinsi Soa-say, bukan karena keindahan alamnya yang permai, tetapi
gunung ini lebih dikenal sebagai tanah suci bagi pemeluk
Buddha pada zaman itu. Kelenteng Djing-liang-si yang terdapat
di atas gunung konon menurut cerita didirikan pada masa dinasti
Han. Selama ribuan tahun kelenteng ini dianggap sebagai
tempat keramat dan selalu dikunjungi oleh para pemuja Buddha.
Sampai pada waktu Kaisar Khong-hi dari dinasti Boan-djing naik
takhta, maharaja ini sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke
Ngo-tai-san ini, entah ada sesuatu rahasia apa di balik
kunjungannya itu, yang nyata berkat kunjungannya itu tidak
sedikit kerusakan dan patung-patung Buddha dalam kelenteng
-
Djing-liang-si itu telah diperbaharui. Dan karena itu pula,
penyebaran agama Buddha di masa itu menjadi makin luas
sehingga gunung itu, terutama puncak Leng-tji-hong yang indah
selalu menjadi tempat wisata.
Pada tahun ketiga belas Kaisar Khong-hi naik takhta, kebetulan
tahun itu dilakukan upacara peresmian patung Buddha Bu-tju
Po-sat di kelenteng Djing-liang-si. Menurut perayaan tradisional,
upacara itu dilakukan pada tanggal 29 bulan 3. Akan tetapi baru
menginjak bulan pertama tahun baru, para pengunjung sudah
berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru.
Di atas gunung itu sendiri, ada lima buah pagoda perunggu
yang berdiri dengan megahnya, pada tiap tingkat pagoda sudah
dipasang lampu-lampu yang beraneka warna dan menyala terus
menerus siang malam sejak mulai hari Sincia atau tahun baru
Imlek. Karena itu, pemandangan pegunungan yang sudah indah
itu bertambah lebih indah dan semarak.
Ketika tiba hari perayaan itu, maka arus manusia semakin
membanjir hingga ramainya susah dilukiskan. Sejak pagi jalan
yang menuju ke atas gunung itu penuh sesak dengan manusia,
baik pemuja agama Buddha maupun pengunjung biasa yang
melulu datang untuk menonton keramaian saja.
Di antara pengunjung yang berjubel itu ada seorang tua
berjenggot panjang bersilang tiga, mukanya merah bercahaya
dan berdandan seorang cendekiawan. Orang yang berjalan di
sampingnya adalah seorang pemuda cakap bermuka putih,
hanya suara pemuda ini lebih mirip kaum wanita.
Orang tua itu bernama Pho Djing-tju, tidak saja terkenal karena
ilmu pertabibannya yang tinggi tiada bandingannya, malahan
ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya yang disebut Bu-kek-
kiam-hoat sudah berada di tingkat yang tiada taranya. Sela-in
-
itu, ia pun tersohor karena kemahirannya dalam seni lukis dan
kesusastraan, ia terhitung salah seorang kosen yang tersohor
pa-da masa peralihan antara dinasti Beng dan dinasti Djing.
Sedang pemuda ganteng itu sebenarnya adalah seorang gadis
jelita yang sedang menyamar sebagai lelaki. Ia bernama Boh
Wan-lian. Ayahnya bernama Boh Pi-kiang, juga seorang
seniman terkenal pada permulaan zaman dinasti Djing, begitu
dikagumi sehingga seorang seniwati pada zaman itu juga, yaitu
Tang Siao-wan, jatuh hati padanya.
Tang Siao-wan juga tergolong seniwati yang pandai, baik ilmu
sastra maupun seni sulam dan lain-lain. Rupanya di antara jiwa
kedua muda-mudi ini terdapat persamaan yang begitu cocok,
maka mereka telah saling jatuh cinta dan mengikat janji sehidup
semati.
Akan tetapi sayang, bulan tidak selalu bundar, cinta pun tidak
selamanya kekal. Karena nama Tang Siao-wan terlalu terkenal,
akhirnya oleh seorang pembesar yang bernama Ang Seng-toh,
Tang Siao-wan telah diambil dan dipaksa dijadikan barang
upeti untuk Kaisar Sun Ti, maharaja pertama dinasti Djing. Dan
karena Tang Siao-wan sangat disayangi maharaja itu, lalu ia
dianugerahi gelar Kui-hui atau selir agung kesayangan Kaisar.
Tentu saja Boh Pi-kiang yang kehilangan Tang Siao-wan
menjadi merana, ia merasa hidupnya menjadi tak berguna lagi,
maka akhirnya ia meninggal dalam keadaan yang sangat
mengenaskan.
Pho Djing-tju adalah sahabat Boh Pi-kiang, waktu mendengar
sahabatnya ini meninggal, dari tempat jauh ia menyempatkan
datang untuk melayat.
-
Tatkala itu Boh Wan-lian baru berumur tiga tahun, demi melihat
rumah tangga sahabatnya berantakan dan bocah itu sebatang
kara, ia merasa kasihan dan akhirnya Djing-tju membawanya
pergi. Jadi sejak kecil Wan-lian sudah ikut sang paman ini dan
mendapatkan pelajaran ilmu silat maupun ilmu surat yang cukup
tinggi.
Pada hari itu, bersama para pengunjung lain, mereka pesiar ke
Ngo-tai-san. Dengan gembira Pho Djing-tju memandang ke
kanan dan melihat ke kiri, sebaliknya Boh Wan-lian bermuka
muram seperti ada sesuatu perasaan sedih yang
disembunyikan.
Tengah Pho Djing-tju terpesona oleh keramaian di pegunungan
itu, tiba-tiba ia berseru heran pada si gadis, Lian-ji, coba lihatlah
kedua orang itu!
Waktu Wan-lian memandang ke arah yang ditunjuk, seketika ia
menjadi kaget.
Ternyata kedua orang yang dimaksudkan itu, yang seorang
mirip setan gantung, badannya tinggi kurus bagai tiang bambu,
mukanya pucat-pasi seperti mayat, sehingga menakutkan
orang. Seorang lagi sebaliknya berperawakan pendek buntek,
kepalanya botak sebesar gantang.
Sebenarnya, Boh Wan-lian sedang masgul, tetapi demi melihat
wajah kedua orang yang aneh ini, mula-mula ia terkejut, tapi
kemudian ia tertawa geli pula oleh orang pendek buntek tadi.
Rupanya suara tawanya dapat didengar oleh kedua orang itu,
dan tiba-tiba mereka berpaling dengan mata melotot seperti lagi
mencari siapa orang yang tertawa. Karena itu, lekas Pho Djing-
tju menarik Wan-Iian dan menerobos pergi mencampurkan diri
dengan orang banyak.
-
Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh terkenal di kalangan
Kangouw, kata Pho Djing-tju kemudian, Yang tinggi itu
bernama Siang Ing dan berjuluk Song-bun-sin (malaikat pintu
gerbang maut) dan yang pendek bernama Thia Thong, berjuluk
Thi-tah (pagoda baja). Kita masih ada tugas penting, maka
sebaiknya jangan bentrok dengan kedua manusia aneh ini.
Belum begitu jauh mereka melanjutkan perjalanan, sekonyong-
konyong Boh Wan-lian melihat sesuatu. Lihatlah Hwe-sio itu,
Pepek! katanya dengan penuh keheranan pada sang paman.
Ketika Djing-tju memandang ke tempat yang ditunjuk, maka
tertampak olehnya seorang Hwesio yang bermuka lebar,
berkuping besar, sedang berdiri tegak di antara orang banyak
yang berjubel itu, walaupun didesak dan didorong orang di
sekitarnya, namun sedikitpun orang lain tak bisa menyenggol
tubuhnya. Sebaliknya ketika ia melangkah, orang-orang di
sekitarnya lantas menyingkir dengan sendirinya untuk memberi
jalan padanya.
Eh, kenapa Hwesio liar inipun datang ke sini? kata Pho Djing-
tju heran sesudah mengenali padri itu. Hwesio ini selamanya
tak pernah membaca kitab suci maupun sembahyang, ia pun
tidak pernah pantang makanan seperti Hwesio lainnya,
sebaliknya paling suka ikut campur urusan orang. Orang
Kangouw memanggilnya Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio.
Sementara itu, dari tikungan jalan sebelah timur telah datang
pula serombongan orang. Beberapa lelaki di antaranya
menuntun kera, sedang di punggung mereka menggendong
golok dan tombak, ada tambur dan gembreng, agaknya seperti
pemain komidi. Yang mengepalai adalah seorang wanita,
walaupun kain bajunya agak kasar, akan tetapi langkahnya kuat
dan sikapnya agung.
-
Diam-diam Pho Djing-tju berkata pada Boh Wan-lian, Wanita ini
bukan pemain komidi sembarangan, melihat sinar matanya,
sedikitnya sudah latihan dua-tiga puluh tahun.
Mereka berdua berjalan sambil bercakap, tidak terasa sudah
melewati beberapa rombongan orang lagi. Sementara itu
Hwesio aneh tadi yang berjalan di depan ternyata juga sedang
memandang ke sana kemari seperti lagi mencari sesuatu.
Pho Djing-tju tidak ingin bertemu muka dengan Hwesio itu,
segera ia menarik Boh Wan-lian jalan ke arah lain, tiba-tiba
dilihatnya seorang pemuda yang rupanya dapat melihat juga
kelakuan si Hwesio yang aneh itu, pemuda ini seperti kurang
percaya, maka dengan sengaja ia menubruk ke depan.
Melihat itu diam-diam Pho Djing-tju berkata, Wah, bisa celaka
dia! Dan betul saja, hanya terlihat Hwesio itu sedikit
mengangkat pundaknya, kontan pemuda itu terhuyung tak dapat
menahan diri lagi dan beruntun menabrak beberapa orang terus
menubruk pula ke arah Boh Wan-lian.
Pemuda itu agaknya menjadi gugup karena benturan itu, tanpa
pikir panjang lagi tangannya lantas menjambret Boh Wan-lian
dengan maksud untuk menahan dirinya, tidak terduga jam-
bretan itu justru menuju ke dada Boh Wan-lian, keruan saja
muka Boh Wan-lian menjadi merah, segera ia mengulur tangan
menangkis. Waktu kedua tangan saling beradu, segera Wan-
lian merasa kekuatan pemuda ini sangat besar. Sebenarnya ia
hendak menggunakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu mencekal dari
Bu-kek-cio untuk merobohkan orang, siapa tahu tangannya
malah terpegang oleh balikan tangan pemuda tadi, ia menjadi
malu sekali, segera ia sengkelit dengan keras tangan orang dan
dengan menggunakan tenaga dalamnya ia memaksa pemuda
itu pergi.
-
Dengan tenaga jambretannya tadi, pemuda itu dapat menahan
dirinya, walaupun ia terdesak mundur oleh Boh Wan-lian tetapi
sudah tidak tergopoh-gopoh sempoyongan lagi. Hanya tadi
waktu menjambret tangan Boh Wan-lian, ia merasakan kulit
badan orang licin empuk seperti seorang wanita, ia menjadi
terkejut dan sesudah dapat menahan tubuhnya, lekas ia
menengok ke belakang untuk meminta maaf, dan ketika ia
melihat Boh Wan-lian adalah seorang pemuda, barulah hatinya
merasa lega.
Sementara itu Boh Wan-lian sudah jelas juga melihat pemuda
tadi yang bermuka putih bersih, di antara sifat halusnya
mengandung semangat yang gagah, tidak, lerasa kembali
mukanya berubah merah pula, dan waktu pemuda itu
menyatakan penyesalannya, terpaksa ia pun membalas
hormatnya juga.
Dalam pada itu Hwesio tadi telah menoleh ke belakang dan tiba-
tiba tertawa terbahak pada pemuda itu.
Kubentur kau dan ternyata tidak roboh, hitung-hitung kau ada
sedikit kepandaian, sampai bertemu di belakang hari, demikian
katanya.
Pada saat Hwesio itu menoleh ke belakang tadi, Pho Djing-tju
memalingkan muka ke jurusan lain, maka tidak ketahuan o-
lehnya.
Sesudah kejadian itu, Djing-tju dan Boh Wan-lian berjalan pula
sambil bercakap-cakap. Tidak lama kemudian mereka sudah
sampai di atas gunung. Mereka melihat ada satu regu serdadu
Boan yang berbaris di kanan-kiri, kelenteng itu sebaliknya
kosong sepi tanpa seorang pun.
-
Ketika Boh Wan-lian merasa heran dan ganjil, tiba-tiba
terdengar percakapan pengunjung di sampingnya. Kata seorang
tua, Agaknya sekali ini Hongsiang (Kaisar) tidak bisa datang
sendiri, lihat tak ada kain beludru yang menggelari pelataran di
luar sana, tiada pula barisan kehormatan, sampai pun penjaga
di depan pintu kelenteng juga hanya beberapa puluh orang
saja.
Seorang lagi yang seperti hartawan kampungan menje-ngek
dan berkata, Hal ini kau harus tanya kami baru bisa tahu,
Hongsiang dulu pernah beberapa kali datang sembahyang, dan
tiap kali kami yang membuat penyambutan. Kali ini Ok-jin-ong
To Tok yang datang mewakili Hongsiang. Ok-jin-ong memang
tidak suka dengan penyambutan yang berlebihan, waktu ia
berkeliling, tempo-tempo hanya membawa beberapa orang
pengawal saja!
Menyusul seorang berdandan saudagar berdialek Tjiat-kang
atau Kang-souw tiba-tiba bertanya, Ok-jin-ong yang kau sebut
tadi, apakah bukan belasan tahun yang lalu pernah menjabat
Liang-kang Te-tok dan bernama To Tok itu? Aku masih ingat
waktu ia menikah di Hang-tjiu, dimana perayaan dibikin besar-
besaran. Hanya saja, pada malam sebelum hari pernikahan,
bekas pengikut Loh-ong dari dinasti yang lain telah menyerbu
penjara dan membikin geger seluruh kota, hari berikutnya waktu
upacara pernikahan, sampai tiada orang yang berani pergi
menonton.
Laukoh, obrolanmu telah melantur, kau bilang tiada yang berani
pergi menonton, tetapi bagaimana kau bisa mengetahui upacara
pernikahannya ramai sekali? kata hartawan kampungan tadi
dengan tertawa. Eh, tentang perampokan penjara pada malam
sebelum hari pernikahannya itu bagaimana jadinya? Coba
ceritakanlah!
-
Tadinya saudagar itu menjadi merah mukanya karena debatan
orang, tetapi kemudian setelah mengetahui hartawan
kampungan itu ternyata begitu tertarik oleh cerita tentang
penyerbuan penjara, lantas saja ia mengobrol lagi dengan
berseri-seri.
Melihat mereka mengobrol urusan yang tiada sangkut- pautnya,
Boh Wan-lian tidak menaruh perhatian lagi. Sementara itu
terdengar pula percakapan antara dua orang Siucai (pelajar) di
samping sana, kata seorang di antaranya, Tidak diketahui
mengapa Kaisar yang sekarang seperti begitu tertarik pada
Ngo-tai-san, tidak lama naik takhta, beruntun sudah datang
beberapa kali. Kali ini adalah hari pembukaan arca Buddha yang
baru, sebaliknya malahan tidak datang. Eh, katanya penyair
besar Go Bwe-djoan menciptakan sebuah syair yang
berhubungan dengan kedatangan Hongsiang sembahyang ke
Ngo-tai-san. tahukah kau?
Aku datang dari kota-raja, bagaimana bisa tidak mengetahui,
sahut kawannya. Di kota-raja syair ini tersebar luas dimana-
mana, cuma tiada orang yang paham maksud isi syair yang
aneh itu, tetapi Go Bwe-djoan adalah sastrawan kesayangan
Kaisar yang dahulu, syair ini sedikitnya mengandung maksud
tertentu.
Mendengar percakapan mereka, hati Boh Wan-lian tergerak,
tanpa terasa ia memandang mereka sekejap, karena itu kedua
Siucai itupun tersenyum dan balas memandang.
Mengapa gerbang kelenteng sampai kini masih terus tertutup
rapat, bahkan tanah lapang di depan kosong melompong tiada
satu orang pun? tanya Wan-lian menimbrung.
Engkoh cilik ini mungkin baru pertama kali ini datang
mengunjungi keramaian ini dan tak mengetahui peraturannya,
-
kata seorang tua lain menyela dari samping. Pintu gerbang itu
harus menunggu dupa pertama yang disulut oleh Ok-jin-ong,
kemudian haru dibuka dan Ok-Jin-ong menancapkan dupa itu di
hio-io pertama Buddha, habis itu upacara sembahyang mulai
diteruskan pengunjung yang datang.
Selagi bercerita, tiba-tiba dari bawah gunung terdengar suara
gembreng yang riuh, bendera melambai-lambai, sepasukan
tentara yang mengapit sebuah tandu yang dipikul delapan orang
telah naik ke atas gunung. Tidak lama kemudian tandu itu sudah
sampai di depan kelenteng, di depan tandu ada dua buah
lampion besar yang tertuliskan empat huruf besar, Ok-jin-ong-
hu (dari istana Ok-jin-ong).
Sementara itu, di tengah jalan ke atas gunung itu kembali terjadi
suara ribut. Waktu Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian berpaling ke
belakang, terlihat seorang perwira sedang menerobos di antara
orang banyak dan mendesak maju dengan paksa. Ia naik ke
atas gunung dengan langkah lebar, malahan di belakangnya
mengikut seorang Lamma yang mengenakan jubah merah.
Melihat perwira itu, Pho Djing-tju mengkerutkan kening.
Mengapa iblis ini pun jauh-jauh datang menonton keramaian,
demikian katanya dalam hati.
Melihat Pho Djing-tju memandang orang dengan penuh heran.
Boh Wan-lian lantas bertanya, Siapakah dia ini? Apakah ia
lebih lihai dari Thong-bing Hwesio.
Kau sekarang tak usah bertanya dulu, lain waktu akan kuberi
tahu padamu, hari ini pasti akan ada tontonan yang
menggemparkan! sahut Pho Djing-tju.
Waktu itu sang surya mulai memancarkan sinarnya, kabut di
angkasa Ngo-tai-san sudah tersapu bersih, bola matahari pagi
-
yang merah membara menyinari seluruh lembah gunung
menyemarakkan suasana musim semi.
Sementara itu, tandu Ok-jin-ong sudah berhenti di tengah tanah
lapang dekat kelenteng, di bawah sinar matahari, joli yang
berlapis beludru hijau dengan hiasan batu pualam hijau
menyorotkan warna-warni yang menarik.
Semua orang dengan tenang menantikan Ok-jin-ong menyulut
dupa yang pertama, tiba-tiba dari samping kelenteng Djing-
liang-si muncul seorang gadis dengan langkahnya yang lemah
gemulai, muka si gadis itu berkedok selembar sutra tipis, ia
membawa segenggam dupa dan menancapkan hio itu di depan
pintu kelenteng, lalu ia bersembahyang sendiri bagaikan di
sekitarnya tak ada manusia lain lagi.
Peristiwa yang tiba-tiba itu telah membikin terkejut dan kalang-
kabut para pengawal yang berada di situ. Mereka membentak
dan memburu maju terus menangkap kedua tangan si gadis,
gadis itu tidak melawan, ia membiarkan dirinya ditangkap bagai
seekor anak ayam dan digusur ke depan joli Ok-jin-ong.
Agaknya serdadu-serdadu itu hendak meminta keputusan Ok-
jin-ong sendiri.
Kejadian aneh dan mendadak itu pun membuat Pho Djing-tju
terperanjat. Dan ketika ia ragu-ragu apakah harus turun tangan
untuk menolong atau tidak, sekonyong-konyong dilihatnya gadis
itu telah mengangkat kedua tangannya, seketika dua orang
pengawal yang memegang tangannya terbanting pergi lebih
setombak jauhnya.
Dengan kecepatan luar biasa, gadis itu melolos sebatang
pedang pendek mengkilap, sekali tangan kirinya memukul, ia
membuat pintu joli yang berbatu permata itu hancur, pedang di
-
tangan kanan segera ditusukkan ke dalam dibarengi dengan
suara bentakan, To Tok, inilah hari kematianmu!
Tiba-tiba orang yang berada di dalam joli itu berseru terkejut,
dengan cepat tangannya bergerak hendak mencekal lengan si
gadis. Waktu itu si gadis hendak menusuk pula dengan sekuat
tenaga, dengan mata melotot ia pandang orang, mendadak ia
malah berseru kaget, cepat ia menarik kembali pedangnya dan
segera mundur ke belakang.
Pada saat itulah, tiba-tiba datang seorang pemuda melompat di
antara orang banyak, hanya dengan tiga kati naik turun, bagai
burung terbang cepatnya, belum sampai orangnya, senjata piau
sudah dilepaskan lebih dahulu, sekali gerak beruntun tiga piau
telah melaju ke dalam joli.
Gadis tadi belum hilang kagetnya, ketika mendadak melihat
senjata rahasia menyambar, dengan cepat ia melompat dan
menyampuk senjata rahasia itu. Dengan kepandaiannya,
sebenarnya beberapa senjata rahasia itu tidak sulit untuk
disampuk jatuh semua, hanya karena perasaannya terguncang
dan belum tenang kembali, maka sampirannya itu hanya
berhasil mengenai dua buah piau saja, piau yang ketiga masih
terus menerobos masuk ke dalam joli.
Melihat si gadis dari kawan mendadak berbalik menjadi lawan
dan malah menolong To Tok, tentu saja semua orang ter-heran-
heran tak mengerti, sedang piau ketiga yang menembus ke
dalam joli ternyata juga tidak menimbulkan reaksi apa-apa
bagaikan batu kecemplung laut.
Dalam pada itu, Thong-bing Hwesio telah tampil ke depan orang
banyak, mendadak ia mengangkat tangan dan berseru, Jangan
lepaskan To Tok!
-
Orang-orang yang berdandan sebagai pemain komidi tadi, Song
Bun-sin Siang Ing, Thi-tah Thia Thong dan lainnya berbareng
melompat dari gerombolan orang banyak.
Dalam pada itu, pemuda yang melepaskan senjata rahasia tadi
pun sudah berlari ke depan joli. Tak terduga, kerai joli tersingkap
dan menyusul dari dalam joli menyambar keluar sebuah piau
secepat kilat, maka segera terdengarlah pemuda itu menjerit
karena terkena piau tersebut. Sementara itu beberapa ratus
pengawal yang separoh mengelilingi joli, separah lainnya
beramai melawan penyerbu-penyerbu itu, di samping itu
beberapa perwira lain yang memiliki sedikit kepandaian silat
segera maju hendak menangkap pemuda yang sudah roboh itu.
Boh Wan-lian dapat melihat dengan jelas bahwa pemuda yang
melepas piau itu bukan lain adalah pemuda yang tadi
menumbuk dirinya itu. Waktu ia pandang lagi, ia lihat gadis yang
berkedok tadi sedang memainkan pedangnya secepat angin
hendak menerobos keluar dari kepungan, sekali cekal ia terus
menyeret si pemuda. Pemuda itu bahu kirinya terkena piau dan
mengucurkan darah, beruntung tidak terkena tempat yang
berbahaya, maka ia masih dapat bertahan.
Saat itu, di depan Djing-liang-si sudah merupakan medan
pertempuran yang gaduh, pengunjung yang datang hendak
menonton keramaian lari tunggang-langgang. Thong-bing
Hwesio memainkan golok tunggalnya dengan kencang sekali
dan susah ditahan, tetapi serdadu-serdadu itu sudah
berpengalaman banyak dalam peperangan, walaupun telah
diterjang dulu oleh mereka, tapi tidak menjadi kacau dan gugup.
Song Bun-sin Siang Ing atau si malaikat gerbang maut dan Thi-
tah Thia Thong, si pagoda besi, berdua dengan toya dan
kapaknya, mereka bertempur sambil berteriak, Hai, jahanam To
-
Tok mengapa kau masih belum keluar untuk menerima kemati-
an!
Tetapi belum hilang suara teriakan mereka, kerai joli itu tiba-tiba
tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita yang
anggun dan berparas elok walau sudah setengah umur, ia
berjalan pelahan dengan sikap tenang, sejenak kemudian baru
ia bertanya, Kau mencari Ok-jin-ong ada keperluan apa?
Kejadian tak terduga ini seketika membikin keributan di depan
kelenteng jadi terhenti. Siang Ing dan Thia Thong tidak
membentak dan berteriak lagi, Thong-bing Hwesio menurunkan
goloknya, para pengawal pun tertegun dengan senjata masih
terhunus, untuk sementara pertempuran terhenti.
Kiranya Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan ini adalah bekas
pengikut Loh-ong, kedatangan mereka kali ini ialah hendak
menuntut balas pada To Tok.
Waktu bangsa Boan-djing masuk ke daerah selatan,
pemerintahan Beng di selatan masih dapat meneruskan
perlawanan sedikit lama, berturut-turut diangkat raja-raja Hok-
ong, Loh-ong dan Kwi-ong dari keturunan lurus kerajaan Beng.
Loh-ong adalah angkatan pahlawan terkenal Thio Hong-gian
dan Thio Bing-tjin.
Loh-ong yang beribu-kota Siaohin di propinsi Tjiat-kang
menamakan dirinya Mangkubumi dan bisa bertahan lima-enam
tahun atas kerajaan kecilnya ini. Belakangan ia dapat
ditaklukkan oleh jenderal bawahan To Tok yang bernama Tan
Kim. Karena itu sisa-sisa pengikut Loh-ong yang bergerak di
bawah tanah bermaksud menegakkan kembali kekuasaan
mereka, tetapi karena rahasianya bocor, beberapa ratus orang
telah tertangkap dan dipenjarakan oleh Hang-tjiu Tjong-ping.
Lalu pada malam sebelum hari pernikahan To Tok, mereka
-
dapat membobol dan melarikan diri dari penjara. Dalam
pertempuran yang ribut itu tidak sedikit kawan-kawan mereka
yang menjadi korban. Oleh karena itu, bekas pengikut Loh-ong
dengan To Tok boleh dikata musuh bebuyutan. {Bagian ini bisa
dibaca dalam Chau Guan EngHiong, Pahlawan Padang
Rumput)
Peristiwa itu sudah lewat enam belas tahun, tetapi mereka
masih mencoba lagi datang ke Ngo-tai-san dengan tujuan
hendak menangkap To Tok dan dibuat sesajen sembahyang
bagi kawan mereka yang sudah menjadi korban.
Mereka semua adalah orang-orang gagah dan ksatria sejati,
mereka hanya ingin To Tok yang menjadi sasaran mereka,
sanak keluarganya tidak akan mereka ganggu. Kini melihat dari
joli besar To Tok itu mendadak keluar seorang wanita yang
agung, walaupun dapat diduga itu pasti adalah isteri To Tok
atau Ong-hui, namun seketika itu mereka menjadi tercengang.
Begitulah kedua belah pihak merandek sebentar, keadaan
menjadi sangat canggung.
Tiba-tiba Ok-ong-hui tersenyum dan kemudian berkata, Jika
tidak ada apa-apa, bolehlah kalian bubar.
Habis berkata ia mendorong pintu gerbang kelenteng dan
hendak masuk ke dalam.
Mendadak Song Bun-sin Siang Ing mengangkat toyanya dan
berteriak, Yang melukai Thio-kongcu dengan piau adalah
perempuan keparat ini, kalau ia sudah bermusuhan dengan kita,
masa saudara-saudara akan melepaskan dia?
Habis berkata begitu, tangannya bergerak maka segera
beberapa jarum Song-bun-ciam menyambar ke belakang
-
kepala orang. Ok-ong-hui seperti tidak menggubris orang, waktu
ia mendengar dari belakang ada suara sambaran angin, lekas ia
membalikkan tangannya terus meraup hingga beberapa jarum
itu dengan tepat kena ditangkapnya. Cara ia menangkap senjata
rahasia ternyata sudah terlatih betul.
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawannya menjadi gusar sekali,
segera mereka menggerakkan senjata dan menyerang maju
lagi, namun dalam suasana yang ribut itu, Ok-ong-hui sudah
masuk ke dalam Djing-liang-si.
Ketika itu, dari bawah gunung kembali terdengar pula suara
tambur dan terompet yang riuh sekali, satu pasukan berkuda
dengan cepat telah memburu naik, dan barisan depan pasukan
ini telah sampai di Leng-tji-hong, di depan kelenteng Djing-liang-
si.
Pasukan ini berseragam lengkap, tangan kanan mencekal golok
dan tangan kiri memegang tameng, jika diserang senjata musuh
mereka tangkis dengan tameng, sedang goloknya segera balas
membacok.
Maka terdengarlah suara trang-trang beradunya senjata
dengan tameng, tidak lama kemudian seluruh kelenteng Djing-
liang-si sudah dapat dikepung dengan rapat. Pasukan ini adalah
pasukan penjaga istimewa pemerintah Boan, khusus bertugas
menjaga istana dan kediaman pangeran-pangeran, pasukan
serba guna ini jauh lebih kuat daripada pasukan kerajaan
lainnya.
Sementara itu, gadis berkedok tadi dengan pedang di tangan
sedang melindungi pemuda yang terluka itu, ia masih berusaha
menerjang keluar dari kepungan, ia maju dan mundur, hantam
kanan dan kiri, yang jauh ditimpuk dengan senjata rahasia, yang
dekat diserang dengan pedang, kecepatan dan kegesitannya
-
luar biasa, tiap kali ia berhasil menerobos pergi dimana ada
kesempatan dan tempat luang. Dan selagi gadis itu sudah
hampir lolos dari kepungan, mendadak dari depan telah
mengadang pasukan berkuda tadi. Dan ketika ia hendak
mencari jalan lain, tiba-tiba terdengar olehnya suara bentakan,
Hendak lari kema-na! Menyusul pedang orang sudah
menyerang secepat kilat.
Lekas gadis berkedok itu menarik tubuhnya ke bawah, maka
pedang musuh menyambar lewat di atas kepalanya dengan
membawa sambaran angin yang keras. Habis ini mendadak ia
menegakkan tubuh, pedang pendeknya dibalikkan ke atas untuk
memotong pergelangan tangan musuh. Gerakannya ini benar-
benar berbahaya sekali. Tidak nyana musuh pun bukan lawan
lemah, ia tidak menarik kembali pedangnya, tetapi hanya
pergelangan tangan sedikit memutar, segera ia pun mengetok
pergelangan tangan si gadis dengan gagang pedangnya.
Karenanya, masing-masing begitu bergerak lantas menarik
kembali serangannya, mereka sama-sama menghindarkan
serangan lawan yang berbahaya. Keduanya terkejut.
Gadis itu mengangkat kepalanya memandang, ia lihat musuh
yang bertanding dengan dirinya berperawakan kekar gagah dan
keren, ia mengerti pasti bukan orang sembarangan. Tengah ia
merasa sangsi, mendadak didengarnya suara bentakan, Itu dia
si keparat To Tok!
Gadis itu terkejut sekali, sementara itu ia mendengar lawannya
telah menjawab dengan suara angkuh, Ya, betul, aku adalah
To Tok adanya, mau apa kau?
Yang mengenali To Tok dan membentak tadi adalah Song-bun-
sin Siang Ing dan Thi-tah Thia Thong. Mereka berdua lebih
dekat dengan To Tok, maka dengan mati-matian mereka
-
menerjang maju. Pedang pendek si gadis tadi pun sudah
menyerang semakin kencang, akan tetapi tenaga To Tok besar
dan kuat, bila terbentur pedangnya, si gadis lantas merasa
tangannya pedas kesemutan. Karena itulah pemuda terluka
yang berada di sampingnya menjadi kehilangan pelindung, ia
telah kena dipukul roboh oleh bawahan To Tok dan tertangkap
hidup-hidup.
Sementara itu. Siang Ing dan Thia Thong sudah datang
mendekat.
Nona boleh mundur dulu! demikian seru mereka hampir
serentak.
Dengan gemas gadis berkedok memandang sekali lagi pada To
Tok, ia mengerti dalam keadaan begitu, sukar baginya untuk
bisa memperoleh kemenangan. Maka ia menurut, ia tarik
pedangnya dan mengundurkan diri lebih dulu, kemudian ia
berusaha menolong pemuda tadi.
Di samping sana rangsekan Siang Ing dan Thia Thong ternyata
sangat kuat sekali, berturut-turut mereka dapat memukul roboh
belasan serdadu pasukan istimewa itu. To Tok menjadi gusar, ia
membentak, Semua mundur, biar aku menangkap kedua
penjahat itu!
Pedangnya mendadak ditangkiskan, api meletik, tahu-tahu toya
Siang Ing sudah terkutung pucuknya. Sebaliknya tameng To
Tok terpecah belah oleh kapak Thia Thong. To Tok melempar
tameng yang sudah pecah itu, ia menempur kedua lawannya
dengan memainkan Hong-lui-kiam-hoat dari aliran Tiang-pek-
san di Kwan-gwe dengan dahsyat.
Setelah To Tok muncul keadaan lantas berubah banyak.
-
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan berduyun-duyun lantas
menerjang ke tempat To Tok berada, pasukan istimewa itu
walaupun cukup lihai, tetapi karena di pegunungan yang dekak-
dekuk ini, maka susah untuk mengadang dan mencegat,
akhirnya dengan pelahan-lahan para pahlawan itu dapat
menerjang maju lebih dekat.
Thia Thong dan Siang Ing adalah orang gagah yang ternama di
kalangan Kangouw, senjata mereka berat, tenaga pun besar,
bertanding melawan To Tok boleh dikata setengah kati delapan
tail alias sama kuat. Dalam pertarungan seru itu, toya Siang Ing
menyapu, menerjang seperti seekor naga hidup, sedang kedua
kapak Thia Thong pun menyambar, membacok seperti gunung
yang menindih dari atas.
To Tok bukan lawan yang lemah, pedang panjangnya begitu
hebat dimainkan hingga membawa suara menderu, ia menusuk,
memotong dan membabat, sinar pedangnya selalu mengitar di
antara dua macam senjata lawan, sedikitpun tidak memberi
kesempatan. Nyata kekuatan kedua pihak sama kuat.
Dalam pertarungan seru itu, Thia Thong membentak dan kedua
kapaknya membacok dari samping. To Tok bersiul panjang, ia
angkat pedang dan melompat serta menikam kepala Thia
Thong. Nampak kawannya terancam, Siang Ing lekas memutar
toyanya, dengan jurus Ciang-liong-seng-thian atau ular naga
membubung ke langit, ia tegakkan toyanya dan sedikit diangkat
miring ke atas terus menyodok perut To Tok.
To Tok berjumpalitan di udara dan dengan suara aneh
pedangnya tiba-tiba ditimpukkan ke muka Siang Ing.
Belum pernah Siang Ing melihat serangan semacam itu, lekas ia
melompat berkelit, karena itu secepat kilat pedang itu
menembus tubuh seorang pengawal hingga tembus.
-
Waktu itu, Thi-tah Thia Thong baru mengangkat kapaknya, ia
mengincar dengan tepat terus membacok dengan kapak. Tak
terduga To Tok bisa bergerak cepat sekali, ditambah pula Siang
Ing tadi sudah mundur karena kaget, tekanan yang lain sudah
berkurang, tiba-tiba ia memutar tubuh terus mementang tangan
dan mencengkeram lengan kanan Thia Thong lalu diangkatnya.
Tubuh Thia Thong yang sebesar kerbau diputar dengan cepat,
kemudian dengan tertawa ia lemparkan ke udara seperti
melempar bola saja.
Thia Thong ternyata juga tidak lemah, kena diputar dan dilempar
begitu, kedua kapaknya masih belum terlepas dari tangan,
dengan gerak Le-hi-ting-sin atau ikan lele meletikkan tubuh, ia
menjejak sekali di udara untuk kemudian menukik turun ke
bawah.
Nampak kawannya kena dipermainkan musuh, Thong-bing
Hwesio menjadi gusar, dengan golok terhunus segera ia
menubruk maju. Sementara itu, bawahan To Tok telah
menjemput dan menyerahkan kembali pedang To Tok yang
ditimpukkan tadi. Kini To Tok mulai naik darah, segera ia
membacok. Dengan kalap Thong-bing menangkis dan dengan
satu bentakan ia pun balas membabat dengan goloknya, maka
terjadilah pertarungan yang seru.
Bagaimana pun To Tok adalah Pangeran, Thong-bing Hwesio
berani mengadu jiwa dengan serangan yang berbahaya,
sebaliknya ia sendiri tidak berani. Karena itu ia menjadi jeri
menghadapi orang kalap.
Suatu waktu Thong-bing Hwesio mengangkat goloknya hendak
menubruk pula, To Tok tak ingin terlibat lebih lama lagi,
mendadak pedangnya diacungkan, pengawal di sampingnya
segera maju membanjir menggantikan To Tok menahan
serangan lawan. Waktu itu pasukan yang To Tok bawa beruntun
-
sudah naik gunung semua, mulai dari kaki gunung sampai
tengah gunung pasukan itu berbaris panjang seperti ular naga,
sedikitnya ada dua-tiga ribu orang, genderang berbunyi, seluruh
gunung menjadi bergemuruh hingga menambah tegangnya
suasana.
Saat itu, wanita dari rombongan pemain komidi tiba-tiba
melepaskan sebuah anak panah bersuara, dengan
mengeluarkan sinar api biru anak panah itu menjulang naik ke
angkasa. Panah berapi ini nyata adalah suatu tanda rahasia,
begitu dilepaskan, bekas pengikut Loh-ong lantas berteriak
sambil mundur, mereka berpencar menjadi dua jurusan dan
memanjat ke atas gunung.
Waktu To Tok berpaling, dengan cepat ia beradu pandang
dengan wanita pemain komidi itu. Sebenarnya ia hendak
mencegat Thong-bing Hwesio, kini ia berubah pikiran dan
dengan cepat ia mengejar wanita itu.
Wanita itu melangkah dengan enteng dan gesit, tetapi To Tok
tidak kalah cepatnya, ia mengudak dengan kencang. Dan
karena kejar mengejar ini, tanpa terasa ia telah terpancing ke
tempat yang paling berbahaya di atas puncak Leng-tji-hong.
To Tok memeriksa tempat sekitarnya, ia lihat batu-batu cadas
dan tebing-tebing curam bersandingkan puncak-puncak yang
terjal, jalan yang ia tempuh ini berliku-liku tak rata. Di bawah
sana, pasukan pengawalnya sedang menguber bekas pengikut
Loh-ong, sedang di atas puncak yang tinggi ini hanya ada dia
sendiri dengan wanita tadi.
Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menjadi ragu harus mengejar
terus atau tidak?
-
Di lain pihak si wanita itu seperti tahu apa yang dia pikirkan, ia
menoleh dan tersenyum dingin, segera tangannya bergerak,
sebuah panah berapi telah menyambar mukanya. Lekas To Tok
berkelit hingga panah berapi itu menyambar lewat masuk ke
jurang.
Sementara itu si wanita sudah berhenti di tempatnya, dengan
pedang terhunus ia pandang To Tok dengan sikap tem-berang
dan menantang.
Begitu To Tok melihat sikap orang ini, ia menjadi sangat
mendongkol, ia pikir dirinya sudah beratus kali mengalami
pertempuran besar maupun kecil, masakah harus jeri terhadap
seorang perempuan, apalagi wanita ini nampaknya rada mirip
dengan pemimpin penyamun wanita dari Tjiat-kang yang
bernama Lauw Yu-hong. Jika betul dia adanya dan bisa
membinasa-kannya di sini, hal ini besar artinya bagi dirinya dan
juga bagi kerajaan.
Kiranya di atas meja kerja To Tok bertumpuk dengan laporan
yang disebut sisa-sisa penyamun Tjiat-kang selatan, yakni
bekas pengikut Loh-ong yang telah berhasil ditumpasnya
sewaktu To Tok menjabat Liang-kang Te-tok (gubernur militer
Tjiat-kang dan Kang-souw). Walaupun belakangan ia tak
memegang jabatan itu lagi, tapi segala sesuatu yang
berhubungan dengan gerak-gerik bekas pengikut Loh-ong selalu
masih dilaporkan juga padanya oleh pembesar-pembesar negeri
yang bersangkutan.
Lauw Yu-hong yang disebut sebagai pemimpin penyamun
wanita ini belum lama bani dikenal, ia adalah puteri Lauw Tjing-
it, bekas perwira yang gagah perkasa di bawah Loh-ong, dai dia
telah meneruskan perjuangan sesudah Loh-ong tewas. Setelah
Lauw Tjing-it meninggal, beramai-ramai pengikut Loh-ong yang
-
lain lantas mengangkat Lauw Yu-hong sebagai pemimpin
mereka, waktu itu. Lauw Yu-hong belum ada tiga puluh tahun.
Walaupun usianya masih muda, namun bekas pengikut Loh-ong
itu ternyata sangat tunduk padanya.
Dalam laporan dinas yang pernah disampaikan pada To Tok
tersebut, ada pula yang disertai dengan gambar Lauw Yu-hong,
sebab itulah, begitu bertemu, lapat-lapat ia seperti sudah kenal
rupanya.
Kini secara terang-terangan To Tok diejek dan ditantang, keruan
saja ia gusar, tanpa pikir lagi ia mengudak pula.
Namun Lauw Yu-hong sudah menanti, ketika To Tok
membacok, dengan gesitnya Yu-hong berkelit, berbareng
pedangnya menyampuk ke kanan.
Sekali menyerang tak berhasil, segera To Tok merangsek maju
pula, kembali ia membabat dengan gemasnya. Tak ia duga,
tiba-tiba Lauw Yu-hong memotong dari atas dengan pedangnya,
dan begitu kedua senjata menempel, dengan sedikit memuntir
terus menarik, tahu-tahu To Tok sendiri malah terbawa
melangkah maju dengan terhuyung. Beruntung To Tok juga
bukan orang lemah, pada saat tubuhnya menubruk ke depan,
dengan cepat ia putar pedang sekuatnya untuk melepaskan diri
dari pengaruh tenaga dalam Lauw Yu-hong, dengan pedangnya
yang diputar cepat itu ia balas menyerang pula.
Namun Yu-hong cukup cerdik, ilmu pedang Bu-kek-kiam-hoat
adalah kombinasi kumpulan inti sari aliran Thay-kek-pay dan
Bu-tong-pay. Pada waktu To Tok memutar pedang tadi,
berbareng ia pun memutar pedangnya juga, maka terdengarlah
suara trang yang nyaring, kembali dua senjata saling beradu.
Habis itu Yu-hong menarik senjatanya terus mundur walaupun
belum terkalahkan.
-
To Tok menjadi makin sengit, ia menguber pula dengan
kencang. Saat itu mereka sudah berada di ujung suatu puncak
gunung yang curam.
Mendadak Yu-hong melompat ke depan lagi seperti burung
terbang cepatnya, tahu-tahu ia sudah berdiri di atas sebuah
jembatan batu yang melintang menghubungkan dua puncak.
Jembatan batu ciptaan alam ini lebarnya hanya satu kaki saja
dan panjangnya beberapa tombak, kedua sampingnya ada pula
puncak gunung lain yang terjal dan di bawahnya adalah jurang
yang dalamnya beribu tombak.
Saking kencangnya To Tok mengejar, ia menjadi tak keburu
menahan dirinya, tanpa pikir ia pun melompat ke jembatan batu
itu.
Di sinilah mendadak Lauw Yu-hong membalikkan tubuh, alisnya
menegak, mukanya kereng, pedangnya diputar pula, kembali ia
menggempur To Tok dengan sengit di atas jembatan alam itu.
Jika Yu-hong menang dalam hal kegesitan dan ilmu
mengentengkan tubuh, sedangkan To Tok lebih tenang dan ulet.
Pertarungan ini sungguh seru luar biasa, kedua orang sama-
sama memutar pedang mereka begitu rapat dan kencang
hingga berwujud dua gulung sinar putih yang mengurung tubuh
mereka masing-masing, dan meski sudah berlangsung ratusan
jurus masih belum tahu siapa yang unggul atau terdesak.
Sementara itu Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan yang
diuber pasukan pengawal tadi, kini pun sudah sampai di atas
puncak Leng-tji-hong. Ketika mereka tahu To Tok yang lagi
bertempur dengan Yu-hong di tempat yang sangat berbahaya
itu, tanpa terasa mereka ternganga. Baik serdadu-serdadu
maupun Thong-bing dan kawan-kawan seketika menjadi lupa,
-
mereka sama melihat pertarungan mati-matian To Tok melawan
Lauw Yu-hong di atas jembatan alam itu.
Dalam pada itu, Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian sudah berada
juga di atas suatu puncak gunung dan menyaksikan
pertarungan sengit ini.
Pho-pepek, lihatlah ilmu pedang yang dimainkan wanita itu
apakah sama dengan Bu-kek-kiam-hoat kita? tiba-tiba Wan-lian
bertanya sesudah melihat sebentar.
Waktu itu Pho Djing-tju seperti lagi berpikir, maka sejurus
kemudian barulah ia menjawab.
Ya, kini aku sudah ingat. Kalau diurut, kau harus memanggilnya
Suci (kakak), demikian sahutnya. Dua puluh tahun yang lalu,
Suhengku Tan Su-lan bersahabat kental dengan seorang
perwira Loh-ong yang bernama Lauw Tjing-it, puteri Lauw Tjing-
it malah dia akui sebagai anak angkat. Dari mulai umur lima-
enarn tahub, gadis cilik itu sudah diajarkan ilmu silat. Kini
melihat kiam-hoat yang dia mainkan, tak salah lagi tentu dia
adalah puteri Lauw Tjing-it itu. Sayang, ia kalah ulet dari To Tok,
kalau soal ilmu pedang ia lebih unggul.
Sementara mereka berbicara, pertarungan sudah tambah
tegang lagi. Suatu saat, tiba-tiba Yu-hong memindahkan pedang
ke tangan kiri, sesudah melancarkan satu serangan pura-pura,
dengan cepat pula ia lantas melompat mundur. Kemudian
tangan kanannya bergerak, tahu-tahu semacam benda kehitam-
hitaman telah menutup ke atas kepala To Tok.
Benda itu adalah senjata rahasia tunggal Lauw Yu-hong yang
disebut Kim-hun-tau atau jaring sulam, terbuat dari kawat baja
halus, di sekitar jaring penuh terpasang kaitan yang lembut.
-
Karena tak keburu berkelit, pundak To Tok telah tertutup oleh
jaring itu hingga kena tercengkeram, waktu Lauw Yu-hong
menarik kembali sekuatnya senjata rahasia ini, maka
mengucurlah darah segar dari pundak To Tok karena kaitan-
kaitan tajam dari jaring yang menempel di pundaknya.
To Tok sedikit merintih karena sakit, tapi ia masih cukup gagah,
kembali ia mainkan pedangnya hingga terbitlah angin kencang
dan rapat untuk menjaga diri. Begitu pula Lauw Yu-hong, sekali
senjata rahasianya berhasil, kembali ia merangsek, ia mencecar
lawan dengan tipu serangan yang mematikan, mau tak mau To
Tok mulai kewalahan, apalagi jaring yang masih menempel di
pundaknya itu tak bisa dilepaskan.
Selagi To Tok terancam bahaya, mendadak dari puncak sebelah
kiri yang terjal ada orang berteriak, Aku datang!
Dan menyusul pula suara teriakan orang lain lagi, Hai, Tjoh
Tjiau-lam apa yang hendak kaulakukan?
Sebelum lenyap suara teriakan itu, tahu-tahu dari atas telah
terjun seorang ke atas jembatan alam itu, sebelum kakinya
menancap di atas jembatan, dengan cepat sekali orang itu
sudah membabat dengan pedangnya hingga tali jaring Kim-
hun-tau yang mencengkeram pundak To Tok pun putus. Lalu
orang ini mengadang di depan To Tok dan menggantikannya
menempur Lauw Yu-hong.
Kesempatan itu dipergunakan To Tok untuk mengeluarkan
kaitan-kaitan yang masih menancap di kulit dagingnya, habis itu
ia bermaksud mundur ke belakang, tiba-tiba ia melihat di ujung
jembatan sana seorang Hwesio telah mengadang pula dengan
tertawa.
-
Celaka tiga belas! pikirnya begitu ia mengenali yang
mengadang adalah Kuai-tau-to Thong-bing Hwesio, ia menjadi
kuatir. Tetapi segera ia menjadi gusar, daripada mati konyol,
tiada jalan lain harus bertahan mati-matian, maka pedangnya
diputar, segera Thong-bing dirangsek dengan kalap.
Sementara itu dengan munculnya orang yang diteriaki sebagai
Tjoh Tjiau-lam itu, semua orang yang hadir di situ terkejut. Pho
Djing-tju sendiri pun mengkerutkan kening.
Inilah orangnya si iblis yang kukatakan tadi, katanya pada Boh
Wan-lian. Ia bernama Tjoh Tjiau-lam dan orang Kangouw
menjulukinya Yu-Iiong-kiam, ia adalah murid Hui-bing Siansu.
Pada dua puluh tahun yang lalu, bersama Njo Hun-tjong,
mereka berdua disebut sebagai Thian-san-ji-kiam (dua
pendekar pedang dari Thian-san). Cuma sayang jiwa mereka
berdua sama sekali berlainan, Njo Hun-tjong jujur dan setia,
selama hidupnya berjuang untuk nusa dan bangsa, sebaliknya
Tjoh Tjiau-lam gila pangkat dan kemaruk harta, akhirnya ia kena
dipelet pengkhianat besar Go Sam-kui dan diangkat menjadi
pelatih pasukannya. Dan sesudah Njo Hun-tjong tewas secara
aneh di tepi Tji-tong-kang di Hang-tjiu, anak murid Thian-san
yang mewariskan Thian-san-kiam-hoat boleh dikata hanya
tinggal dia seorang, tak heran kalau dia menjadi berani berbuat
sewenang-wenang.
Dalam pada itu, empat orang yang bertempur di atas jembatan
alam itu tampaknya makin memuncak tegangnya. Di atas
jembatan sesempit itu, untuk membalik badan saja rasanya
susah, apalagi kini untuk bergebrak.
Kiarn-Iioat atau ilmu pedang Tjoh Tjiau-lam benar-benar hebat
dan liliai. Tiap kali Yu-hong menyerang dengan tipu mematikan
dan bagi penonton tampaknya pasti akan mengenai
-
sasarannya, siapa tahu Tjiau-lam selalu dapat mematahkan
serangan itu dengan gerak yang manis yang susah dimengerti,
dan malahan bisa pula balas menyerang.
Agaknya sudah tiba waktunya bagiku untuk turun tangan, kata
Pho Djing-tju pada Boh Wan-lian setelah keadaan cukup
genting.
Saat itulah, ia melihat Tjoh Tjiau-lam telah mendesak Yu-hong
lebih gencar lagi hingga si gadis ini tampak kewalahan dan tak
berdaya.
Karena itu, Djing-tju tak berani ayal, setelah memberi pesan
pada Boh Wan-lian supaya jangan sembarangan bertindak,
segera ia pun terjun ke atas jembatan itu seperti burung
menyambar.
Waktu itu justru Tjoh Tjiau-lam sedang melontarkan sebuah tipu
serangan menusuk ke dada Lauw Yu-hong yang tak bisa
dielakkannya. Maka kedatangan Pho Djing-tju persis tepat pada
waktunya, dengan pedang Bu-kek-kiam, ia menikam dari atas,
sedang tangan yang lain menjambret bahu Yu-hong dan
dilemparkannya ke belakang dengan tenaga dalam yang maha
besar.
Dengan meminjam tenaga lemparan itulah, sekali jumpalitan,
enteng sekali Yu-hong dapat menancapkan kakinya di atas
puncak terjal di sebelah sana.
Tjoh Tjiau-lam menangkis tikaman itu, segera ia merasa tenaga
dalam orang yang datang itu terlalu besar. Sebenarnya ia
bermaksud menyengkelit dan menjerumuskan orang ke dalam
jurang selagi orang masih terapung di udara. Tak diduganya,
begitu kedua senjata beradu, ia merasa ditekan oleh suatu
kekuatan yang maha besar hingga ia sendiri tergetar mundur
-
dua tindak. Keruan saja ia terkejut dan dalam hati bertanya dari-
manakah mendadak muncul seorang lawan setangguh ini?
Tetapi ia berpikir pula, dengan ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat
yang tiada bandingannya, meski orang memiliki kepandaian
tinggi dan ulet, tidak nanti bakalan lolos di bawah senjatanya.
Maka tanpa pikir lagi segera ia merangsek maju pula, ia
menyerang dengan kuat dan mengarah tubuh musuh yang
berbahaya.
Dengan kepandaian Pho Djing-tju yang berpuluh tahun terlatih,
sekali tikam dari atas tadi luput merobohkan lawannya,
betapapun juga, diam-diam Pho Djing-tju pun terkejut.
Dalam sekejap saja, kedua orang itu sudah saling gebrak
hingga lima-enam puluh jurus, kedua orang sama-sama tidak
memberi kesempatan sedikitpun pada pihak lawan, pedang
mereka gemerlapan menyilaukan mata, makin lama makin
kencang hingga akhirnya dari jauh hanya tampak dua gumpal
sinar membungkus dua bayangan hitam yang naik turun.
Sekalipun Siang Ing dan Thia Thong sekalian terhitung jagoan
juga, tidak urung mereka memandang dengan rasa kuatir, hati
berdebar-debar dan menahan napas.
Makin lama Tjoh Tjiau-lam semakin gagah, serangannya pun
tambah cepat. Sebaliknya Pho Djing-tju tiba-tiba merubah ilmu
pedangnya, gerakannya makin pelahan, walaupun demikian,
betapa pun cepatnya pedang Tjiau-lam tetap tak dapat
mendekatinya, kemana pedang Tjiau-lam mengarah, selalu
terbentur balik oleh suatu kekuatan besar, penjagaan Pho Djing-
tju begitu rapat bagai dilingkari selapis tembok baja yang kukuh.
Sebagai seorang jagoan, Tjoh Tjiau-lam mengenal itu adalah
ilmu pedang dari kelas berat, tanpa terasa hatinya terkesiap.
-
Begitulah, maka keadaan menjadi sama kuat, Tjoh Tjiau-lam tak
mampu menembus pertahanan orang, sebaliknya Pho Djing-tju
juga tak bisa lolos dari rangsekan Tjiau-lam, lambat laun
keduanya mulai tak sabar dan gelisah.
Sampailah pada suatu saat yang menentukan, sekonyong-
konyong Pho Djing-tju menarik senjatanya dan sengaja memberi
kesempatan pihak lawan. Betul saja Tjoh Tjiau-lam lantas
menusuk, siapa tahu secepat kilat Pho Djing-tju mengegos
sambil pedangnya menyampuk keras ke samping, berbareng
sebelah tangannya ikut menghantam pula ke batok kepala
musuh.
Karena tidak berjaga-jaga atas serangan itu, dalam kagetnya
lekas Tjoh Tjiau-lam menahan pedangnya yang disampuk,
berbareng hantaman orang itu ia sambut dengan telapak tangan
kirinya, maka terdengarlah suara plok yang keras disusul
dengan suara jeritan orang ramai.
Karena beradunya kedua tangan itu, ternyata baik Tjoh Tjiau-
lam maupun Pho Djing-tju keduanya terjungkal ke dalam jurang
bagai layang-layang putus benangnya.
Mujur bagi Pho Djing-tju, sebab sesampainya di tengah jurang ia
tersangkut sebatang pohon Siong tua yang tumbuh di tebing
gunung, dengan cepat Djing-tju merangkul erat batang pohon itu
untuk menahan terjerumus lebih jauh. Sebaliknya malang bagi
Tjoh Tjiau-lam, di udara terbuka itu ia berjumpalitan beberapa
kali tetapi tetap terjerumus ke jurang yang sangat dalam.
Di lain pihak, waktu itu To Tok juga lagi terdesak oleh Thong-
bing Hwesio hingga terus main mundur, akan tetapi di ujung
jembatan yang lain, di sana sudah menunggu Lauw Yu-hong
dengan pedang terhunus dan mata berapi.
-
Dalam pada itu pasukan yang dibawa To Tok itupun sudah
mengepung rapat seluruh gunung hingga suasana ramai riuh
dengan suara jerit tangis rakyat pengunjung, banyak pula bekas
pengikut Loh-ong yang ikut terkepung tak sempat meloloskan
diri. Sedangkan barisan pemanah dari pasukan To Tok sudah
berdiri di atas puncak-puncak gunung dengan busur terpentang
sedang menghujani orang banyak itu dengan panah,
sungguhpun banyak batu-batu cadas dan teraling-aling oleh
puncak gunung yang menonjol di sana-sini namun keadaan
cukup gawat dan berbahaya.
Dalam keadaan begitu, Lauw Yu-hong harus mengambil
keputusan. To Tok yang mereka arah sudah di depan mata dan
tinggal dibekuk saja, tetapi di samping itu ia mendengar suara
jeritan dan tangisan rakyat yang tak berdosa karena hujan
panah itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan lagi anak panah berapi dan
dibi-dikkan ke angkasa untuk memerintahkan Thong-bing
Hwesio sekalian menghentikan pertempuran.
Melihat isyarat itu, dengan heran Thong-bing Hwesio segera
berhenti mendesak To Tok lebih jauh. Ia tidak habis mengerti,
To Tok yang di depan mata tinggal dibekuk ini kenapa
mendadak Yu-hong memberi perintah gencatan senjata?
Tengah ia merasa heran dan bingung, terdengar Lauw Yu-hong
sudah buka suara.
Hai, To Tok, kau masih ingin hidup tidak?! demikian bentak
pemimpin wanita itu.
Namun To Tok menyambut orang dengan sikap angkuh dan
dingin.
Hm, kalau masih, mau apa? Dan kalau tidak, bagaimana?
sahutnya.
-
Bila ingin hidup, lekas kau perintahkan tentaramu berhenti
bertempur, kata Yu-hong. Hari ini anggap saja kami tidak
bermusuhan denganmu, sebaliknya tak boleh kau menangkap
rakyat yang tak berdosa.
Tetapi bagaimana di kemudian hari? tanya To Tok setelah
berpikir.
Kemudian hari adalah urusan kemudian hari, kau tentu tak mau
melewatkan kami, sebaliknya kami pun tak nanti
mengampunimu, sahut Yu-hong.
Kalau begitu masih cukup adil. Baiklah, akur! kata To Tok
dengan gelak tertawa.
Habis itu, pedangnya diacungkan ke atas dan memberi tanda
sekali. Sungguh disiplin militer memang sangat keras, begitu
perintah diberikan dan diteruskan pula berturut-turut dalam
waktu sekejap saja, senjata-senjata sudah kembali ke
sarungnya dan bekas pengikut Loh-ong pun bebas keluar dari
kepungan, sedang rakyat pengunjung itupun berduyun-duyun
turun gunung.
Dengan golok masih terhunus Thong-bing Hwesio terpaku di
tempatnya sambil mengawasi To Tok yang berjalan lewat di
sampingnya, saking gemasnya ia mengertak gigi, musuh yang
sudah berada dalam sangkar harus dilepaskan begitu saja.
Bukan saja Thong-bing yang mengertak gigi, malah ada lagi
seorang yang jauh lebih gemas dari dia, dia bukan lain adalah si
gadis berkedok itu. Waktu itu ia sedang bersandar pada sebuah
batu cadas, demi melihat To Tok bebas begitu saja, diam-diam
tangannya merogoh baju seperti mengambil senjata rahasia.
-
Kelakuan si gadis ini dapat dilihat Siang Ing yang berdiri tidak
jauh, lekas ia maju mencegah, Jangan, nona! Pemimpin kami
sudah mengeluarkan perintah, soal kepercayaan harus kita
pegang teguh! demikian katanya.
Gadis itui terdiam oleh teguran orang, ia heran mengapa orang
gagah seperti Siang Ing yang menjadi musuh kawakan To Tok
bisa begitu tunduk terhadap perintah seorang wanita?
Dalam pada itu, Pho Djing-tju sudah memanjat naik lagi. Lauw
Yu-hong dan kawan-kawan merubung memberi hormat padanya
dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan sang Susiok
(paman guru) yang sudah lama tak bersua itu.
Sesudah To Tok menghilang, kemudian Yu-hong memimpin
pengikutnya melintasi puncak Leng-tji-hong dan turun gunung
melalui jurusan lain. Gadis berkedok yang datangnya tidak
bersama mereka, kinipun diajaknya ikut serta.
Sepanjang jalan mereka hanya bungkam saja dan lesu. Ya,
usaha gagal, tidak heran kalau mereka menjadi lemas dan
gege-tun.
Akan tetapi semua orang dapat memahami tindakan Lauw Yu-
hong, adalah bijaksana jiwa orang banyak yang tak berdosa
ditukar dengan jiwa seorang To Tok.
Melihat paras Wan-lian yang cantik molek, Yu-hong menjadi
tertarik oleh gadis ini, sepanjang jalan ia selalu mengajak bicara
padanya, tetapi tidak demikian dengan Boh Wan-lian, hatinya
seperti berduka, ia bicara dengan kurang bersemangat.
Begitulah mereka berjalan dengan cepat, maka sesudah
menyusuri lembah dan melintasi sebuah bukit, setelah puluhan li
dilalui dalam waktu singkat, akhirnya tibalah mereka di suatu
-
perkampungan, di depan kampung itu sudah menunggu banyak
orang.
Ini adalah perkampungan Kangouw-cianpwe (angkatan tua
kalangan persilatan) Bu Guan-ing, demikian kata Yu-hong pada
Djing-tju. Di sinilah kami menumpang mondok.
Apa maksudmu Bu Guan-ing dari Tjong-lam-pay yang tersohor
itu? tanya Djing-tju. Kami adalah sahabat lama.
Ya, betul, sahut Yu-hong.
Baru saja mereka berbicara, dari dalam kampung telah keluar
seorang memberi laporan pada Lauw Yu-hong. Orang itu adalah
pengikut Loh-ong yang ditinggalkan di perkampungan ini. Orang
itu berbisik pada Yu-hong beberapa patah kata, lalu terlihat
pemimpin wanita ini mengkerutkan kening.
Baiklah, tahulah aku, katanya kemudian. Beritahukan Cengcu
(kepala kampung) bahwa kami akan mengaso dulu ke ruangan
lain untuk membereskan sesuatu urusan, sesudah itu akan kami
temui Cengcu dan Han-congthocu.
Apakah Congthocu Thian-te-hwe, Han Tji-pang, telah datang?
tanya Thong-bing Hwesio.
Betul, sahut Yu-hong.
Lalu Yu-hong membawa semua orang masuk ke dalam. Setelah
masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian ia buka
suara lagi.
Nona, demikian ia berkata pada gadis berkedok, Hendaklah
jangan kausesalkan kami, kita cukup tegas membedakan antara
budi dan dendam, tadi kau telah melindungi permaisuri To Tok,
tetapi kemudian kaubela Thio-kongcu pula sekuat tenaga, hal ini
-
sungguh membikin kami menjadi bingung. Nona, jika tak
keberatan, sudilah kiranya kau memberitahu maksud
kedatanganmu ini dan memperkenalkan muka aslimu pada
kami?
Mula-mula gadis berkedok itu ragu-ragu, ia diam saja, tetapi
kemudian pelahan-lahan ia pun menarik kain kedoknya.
Pandangan semua orang terbeliak, bahkan ada yang bersuara
heran.
Setelah kedok si gadis dibuka, seketika itu semua orang
terkesima. Ternyata wajah si gadis mirip benar dengan
permaisuri To Tok, hanya dandanannya saja yang tidak secara
bangsa Boan.
Kau bangsa Han atau bangsa apa? tanya Thong-bing Hwesio
dalam herannya.
Tentu saja aku bangsa Han, sahut gadis itu sambil me-liriki
orang.
Sudikah nona memberitahu nama dan siapakah guru nona?
Thia Thong ikut bertanya.
Sudah tentu tiap orang punya nama sebagai tanda pengenal.
Agar memudahkan, kalian boleh panggil aku Ie Lan-tju,
demikian sahut gadis itu dengan tertawa. Mengenai perguruan,
seorang gadis tak berguna seperti aku ini tak berani
mencemarkan nama baiknya, maka lebih baik tak kukatakan.
Apabila si gadis atau le Lan-tju memandang sikap ragu-ragu
semua orang yang ada di situ, ia pun tahu tentu orang masih
curiga atas dirinya. Oleh karena itu, dengan suara keras ia pun
menjelaskan lebih lanjut.
-
Dan mengenai pertanyaan mengapa aku melindungi Ong-hui
(permaisuri) To Tok, kalian semuanya adalah ksatria yang
kiranya tak perlu diberi penjelasan panjang lebar, tentu kalian
tahu bahwa tujuanku ialah membunuh To Tok, siapa tahu yang
berada dalam joli adalah isterinya. Tentu saja aku tak bisa
membunuh seorang wanita yang tak bersenjata. Dan soal Thio-
kong-cu luka terkena piaunya, itu adalah kejadian sesudahnya.
Tengah le Lan-tju berbicara, Pho Djing-tju yang sejak tadi
mengawasi wajah orang, diam-diam ia menulis di secarik kertas
dan menyuruh Boh Wan-lian menyodorkan pada Lauw Yu-hong.
Waktu Yu-hong membaca, ia melihat di kertas itu tertulis, Sinar
mata gadis ini guram buyar, semangatnya lesu, pasti ia sedang
menderita batin.
Yu-hong cukup mengenal sang Susiok ini sangat pandai dalam
ilmu pertabiban, nyata apa yang ditulisnya itu cocok dengan
pendapatnya. Maka sehabis si gadis itu bicara, dengan ramah ia
pun menghiburnya, Nona, jangan kau curiga, pertanyaan kami
tadi tidak lain hanya ingin mengikat persahabatan dengan orang
seperti nona ini. Maka jika nona tidak menampik, aku yang
beruntung lebih tua beberapa tahun, bolehlah aku memanggilmu
sebagai Moy-moy (adik)!
Habis berkata ia pun mendekati le Lan-tju, ia tarik si gadis duduk
lebih dekat padanya.
Gadis ini menjadi amat terharu hingga matanya tampak merah
basah, dengan suara pelahan ia pun balas memanggil, Cici
(kakak)!
Perkenalan yang mesra ini membuat Thong-bing Hwesio dan
yang lain-lain ikut merasa terharu.
-
Dalam pada itu demi mengetahui kedatangan Pho Djing-tju, Bu-
cengcu, Bu Guan-ing senang sekali, khusus ia mengutus orang
mengundang Pho Djing-tju bertemu dengannya.
Karena memang sudah belasan tahun tak bertemu, tentu saja
kedua orang tua ini saling rangkul. Mereka bercakap dengan
asyiknya menceritakan pengalaman masing-masing selama ini.
Pho-toako, demikian kata Bu Guan-ing sesudah lama bicara,
Aku ada urusan, rasanya harus minta bantuanmu!
Soal apakah, silakan berkata, sahut Djing-tju.
Aku minta kau menjadi comblang, kata Bu Guan-ing.
Aneh, tiada anak gadis yang kukenal, darimana aku bisa
menjadi comblang? ujar Djing-tju. Jika kau maksudkan nona
Boh yang ikut datang bersamaku itu, maka dapat kukatakan
bahwa usianya masih terlalu muda untuk membicarakan
perjodohannya.
Aku bukan maksudkan Boh-siocia, kata Bu Guan-ing pula
dengan tertawa. Tetapi yang kumaksudkan adalah keponakan
perempuanmu si nona Lauw Yu-hong. Ia sudah piatu, juga tiada
guru, kau adalah Susioknya, maka sedikitnya kau pun bisa ikut
memutuskannya.
Siapakah yang minta jasa baikmu ini? tanya Djing-tju.
Toako, kalau disebut, orang inipun kiranya tidak terlalu
merendahkan diri nona Lauw, sahut Guan-ing sambil mengelus
jenggot. Dia adalah Congthocu dari Thian-te-hwe, Han Tji-
pang. Orang ini berhati jujur, setia dan berbudi. Sebenarnya ia
punya peternakan kuda, setelah tentara Boan menyerbu masuk,
ia lantas meninggalkan usahanya itu dan menghimpun kekuatan
serta mendirikan Thian-te-hwe. Oleh karena selama hidup selalu
-
merantau kian kemari, maka sampai kini walau sudah menginjak
umur empat puluh tahun masih belum berkeluarga.
Kita adalah orang-orang tua, kita tak tahu lagi bagaimana
pikiran orang muda sekarang, demikian Bu Guan-ing
meneruskan dengan menghela napas. Nona Lauw baik dalam
segala hal, hanya ada sifatnya yang aneh, ialah bila orang
mempersoalkan perjodohannya, segera ia menjadi tidak
senang. Dahulu Han Tji-pang tidak sedikit memberi bantuan
bagi pergerakannya, pernah ia mengutus kawannya mencoba
untuk meminang nona Lauw, siapa tahu lamaran itu sedikitpun
tak digubrisnya, padahal dengan kepandaiannya yang tinggi dan
umurnya yang sudah lewat tiga puluhan, tetapi masih belum
menikah dan malahan seperti tak mau menikah buat selamanya.
Coba kaukatakan, bukankah ini sangat aneh?
Mendengar cerita iri, Pho Djing-tju berpikir.
Baiklah, aku boleh coba bertanya pada Yu-hong, tetapi dia mau
atau tidak, itu adalah urusannya sendiri, katanya kemudian.
Setelah dua sahabat lama ini mengobrol lagi ke timur dan ke
barat, tak lama kemudian Bu Guan-ing mengajak, Marilah
sekarang kita pergi menemui Han-congthocu.
Baiklah, sahut Djing-tju.
Dan sewaktu mereka sampai di depan sebuah kamar, tiba-tiba
terdengar di dalam ada suara ngikik tertawa anak kecil, habis itu
terdengar bocah itu berkata, Ayo, Han-sioksiok (paman Han),
kau kalah, jangan kau ingkar janji, sekarang aku akan naik
kuda.
Waktu Guan-ing mendorong daun pintu kamar dan melangkah
masuk, maka tertampak seorang laki-laki tegap sedang
-
merangkak di lantai, bermain kuda-kudaan dan di punggungnya
menunggang seorang anak kecil belasan tahun sedang tertawa
sambil bertepuk tangan.
Sing-hua, jangan nakal! lekas Guan-ing membentak.
Dengan cepat bocah itu melompat turun dari punggung orang,
sedang laki-laki itupun berdiri, mukanya menjadi merah jengah
dan menyengir, sikapnya gagah tapi rada malu-malu.
He, Han-toako makin lama makin kekanak-kanakan, tentu saja
Sing-hua si bocah ini bertambah manja, kata Bu Guan-ing
dengan tertawa demi melihat kelakuan orang tadi.
Habis itu ia pun memperkenalkan mereka pada Djing-tju.
Ini adalah Congthocu Thian-te-hwe, Han Tji-pang, Han-toako,
dan bocah ini adalah Sing-hua, puteraku satu-satunya yang
kecil. Hayo, Sing-hua, lekas memberi hormat pada Pho-pepek
dan minta sedikit hadiah perkenalannya.
Umur Bu Sing-hua baru menginjak sebelas tahun, ia dilahirkan
pada waktu Bu Guan-ing merayakan ulang tahun ke lima puluh,
maka bocah ini sangat dimanjakan ayahnya. Tatkala itu dengan
melompat-lompat ia hendak berlari pergi, ketika mendengar
teriakan ayahnya itu, dengan cepat ia berlari balik dengan
tangan membawa biji-biji catur.
Han-sioksiok main catur denganku dan beruntun telah kalah
tiga babak, tutur bocah itu dengan tertawa.
Ya, si Sing-hua ini betul lihai, sela Han Tji-pang dengan
bergelak tertawa pula. Aku baru saja belajar main dari buku
petunjuk catur, siapa tahu bocah ini sama sekali tidak menurut
teori, ia jalan sesukanya dan main caplok hingga aku
kewalahan.
-
Ini namanya kapal besar terbalik di sungai, ujar Pho Djing-tju
ikut tertawa. Makanya janganlah sekali-kali berpikir menurut
buku pelajaran, teori demikian ini sudah ketinggalan zaman.
Habis itu ia memanggil Sing-hua dan berkata padanya, Coba,
sekarang kau boleh timpukkan semua biji catur di tanganmu itu
padaku, biar Pepek (paman) mengajarkan main sulap padamu.
Sing-hua menjadi ragu-ragu, ia pandang ayahnya.
Pepek suruh kau menimpuknya, maka boleh kau timpuk saja,
kata Guan-ing sambil tersenyum.
Ya, timpuk saja, bahkan harus menimpuk dengan segenap
tenaga dan seluruh kepandaianmu memakai senjata rahasia,
agar aku bisa mengukur kepandaianmu, ujar Djing-tju lagi.
Melihat sang ayah tidak mengomelinya, bahkan mendorongnya
agar menimpuk, Sing-hua menjadi girang, ia mendapat hati.
Maka sekali raup, kedua tangannya penuh menggenggam biji-
biji catur itu terus diayunkan, ia menggunakan gerakan Boan-
thian-hUa-uh atau hujan gerimis memenuhi langit, satu gerakan
tipu menimpukkan senjata rahasia piau, ia hujani Pho Djing-tju
dengan biji-biji caturnya itu.
Bagus! seru Djing-tju sambil tertawa. Tiba-tiba ia pentang
tangan, ia kebas lengan bajunya yang lebar itu dengan pe-lahan
seperti penari, tahu-tahu biji catur sebanyak itu lenyap semua
tanpa bekas. Dan ketika Djing-tju membuka lengan bajunya,
maka menggelindinglah biji-biji catur itu ke lantai dari lengan
bajunya itu.
Semua orang tidak kepalang terkejutnya oleh kepandaian jago
Bu-kek-pay ini, nyata dengan sekali kebas lengan bajunya
seperti pemain opera saja, semua biji-biji catur tadi sudah
-
digulung masuk. Cara menangkap senjata rahasia ini betul-betul
belum pernah mereka lihat.
Dan rasanya yang pating girang adalah si Sing-hua, tanpa
disuruh lagi ia mendekati Pho Djing-tju dan memohon agar
diajarkan kepandaian itu padanya.
Baiklah aku turunkan kepandaian ini pada Sing-hua sekedar
hadiah perkenalanku, bagaimana menurut pendapatmu? kata
Djing-tju kemudian pada Bu Guan-ing.
Tentu saja berulang-ulang Bu Guan-ing menyatakan terima
kasih, lekas ia perintahkan Sing-hua menjura pada orang tua ini.
Dalam pada itu, seorang pelayan kelihatan masuk memberi
laporan pada sang majikan.
Baiklah kalau nona Lauw sudah siap, silakan antar mereka ke
sini! perintah Guan-ing kemudian.
Maka tidak lama terdengarlah di luar kamar riuh ramai dengan
suara orang banyak. Belum masuk kamar sudah terdengar
Thong-bing Hwesio, Siang Ing dan Thia Thong berteriak, Kau
sudah datang, Han-toako, sungguh kami sudah kangen
padamu!
Sembari menggembor, mereka pun masuk terus merubung Han
Tji-pang.
Di belakang Thong-bing, menyusul pemimpin wanita mereka,
Lauw Yu-hong. Wajahnya tersenyum simpul, sikapnya tegas
dan agung.
Di samping sana diam-diam Pho Djing-tju merasa serba susah,
ia pikir urusan perjodohan memang aneh, dalam pandangannya,
Han Tji-pang boleh dikata seorang laki-laki sejati, jujur dan setia
-
kawan, seperti sekarang ini, karena tahu Yu-hong ada urusan di
Ngo-tai-san, dari jauh ia sengaja datang hendak membantu,
kebaikan ini tentu tidak bisa dilakukan sembarang orang. Akan
tetapi melihat sikap Yu-hong, tampaknya ia adem saja terhadap
orang, rasanya urusan perjodohan ini susah dirangkap.
Sedang Pho Djing-tju berpikir sendiri, menyusul dari luar telah
masuk lagi dua orang. Yang seorang pendek kecil, tetapi sorot
matanya tajam, sedang yang lain bermuka hitam, sikapnya
kereng dan gagah.
Sesudah Han Tji-pang memperkenalkan mereka, barulah
diketahui bahwa yang pendek kecil itu bernama Njo It-wi, ia
merupakan otak, juru pikir dari Thian-te-hwe. Dan yang gagah
itu bernama Hua Tji-san, menjabat Huthocu atau wakil ketua
Thian-te-hwe. Dari wajah kedua orang ini, tampaknya mereka
agak tegang seperti ada sesuatu yang mereka hadapi.
Maaf, sekarang marilah kita bicarakan urusan pokok, kata
Lauw Yu-hong memulai sesudah semua orang duduk. Dahulu
Han-congthocu pernah merundingkan soal penggabungan
denganku. Kini aku berpendapat memang pokok tujuan kita
sama, maksudnya kita menegakkan negeri leluhur dengan tiada
perbedaan. Maka kami bekas pengikut Loh-ong bersedia masuk
ke dalam perkumpulan kalian, Thian-te-hwe.
Itu bagus sekali, tiba-tiba Njo lt-wi menyela. Cong-thocu dan
kami akan menerima dengan segala senang hati.
It-wi, kata Tji-pang cepat, Bukan begitu caranya!
Thong-bing Hwesio dan kawan-kawan menjadi heran, segera
mereka pun bertanya, Apakah Congthocu maksudkan
-
Maksudku, soalnya bukan kami menerima kalian atau kalian
yang menerima kami, sahut Tji-pang. Apabila kita sudah
bergabung, maka tidak perlu harus membedakan siapa tuan
rumah dan siapa tetamu. Maksudku ialah sudah sepantasnya
nona Lauw yang menjadi Congthocu (ketua umum), bukankah
aku ini hanya seorang kasar? Haha!
Begitulah Tji-pang mengakhiri pembicaraannya dengan tertawa,
dan selagi hendak disambungnya, tiba-tiba Lauw Yu-hong
sudah menyela.
Terima kasih atas maksud baik Han-congthocu itu, tapi aku
berpendapat lebih baik jabatan itu dipangku Han-congthocu
terus, Thian-te-hwe sudah mempunyai dasar yang kuat di
daerah barat-Iaut, jumlah kami hanya sedikit, demikian kata Yu-
hong.
Betul itu, kata Njo It-wi. Memang sudah lama kami
mengagumi kebijaksanaan nona Lauw, dan apa yang nona
Lauw ucapkan tadi ternyata sangat tepat.
Tak ia duga, mendadak Han Tji-pang memandang padanya
dengan mata melotot.
Kauhilang kagum, jika begitu, bukankah lebih-lebih harus
mengangkat dia sebagai Congthocu? demikian katanya dengan
suara rendah pada pembantunya ini.
Njo It-wi menjadi kikuk, mau tak mau ia membenarkan,
walaupun dalam hati ia mengharap Lauw Yu-hong menolak
pengangkatan itu.
Di luar dugaan, Yu-hong ternyata mempunyai perhitungan
sendiri, ia tak menolak, bahkan menerima tawaran itu.
-
Kalau Han-thocu begitu percaya padaku, terpaksa aku tidak
dapat menolaknya, demikian katanya.
Tentu saja Han Tji-pang girang sekali. Thong-bing Hwesio
sekalian pun ikut bergembira. Hanya Njo It-wi saja yang diam-
diam tidak senang.
Setelah itu lantas dirundingkan pemilihan hari baik untuk
menetapkan upacara pembukaan gunung dan pengangkatan
pengemudi. Malahan sebelum ada upacara tersebut atas
permintaan Han Tji-pang sendiri, telah memerintahkan semua
cabang-cabang dan pengikut-pengikut Thian-te-hwe supaya
tunduk pada perintah Lauw Yu-hong, Congthocu yang baru.
Seterusnya mereka lantas membicarakan pertempuran seru
dengan To Tok dan Tjoh Tjiau-lam di Ngo-tai-san itu.
Si iblis ini sungguh sukar dilawan, selain Pho-susiok, kita
semua bukan tandingannya, kata Lauw Yu-hong. Sekali ini ia
dapat terpukul jatuh ke dalam jurang oleh Pho-susiok, aku harap
jiwanya melayang.
Aku pun tak dapat menundukkan dia., kukira kalian jangan
bergirang dahulu, dengan kepandaian silatnya itu belum tentu ia
tewas terjatuh, kata Pho Djing-tju.
Han Tji-pang mendengarkan percakapan itu dengan penuh
perhatian, tiba-tiba ia menepuk tangan dan berkata, Aku jadi
teringat pada seseorang yang mungkin dapat menundukkan si
iblis ini.
Siapakah dia? tanya Thong-bing Hwesio.
Aku pun belum pernah kenal dia, aku hanya tahu ia dipanggil
Thian-san-sin-bong Leng Bwe-hong, sahut Han Tji-pang.
-
Aneh sekali julukannya ini, kata Lauw Yu-hong.
Ya, sebab di atas Thian-san ada tumbuh semacam tumbuhan
berduri bong yang tajamnya luar biasa, benda inilah yang ia
gunakan sebagai senjata rahasia, kata Han Tji-pang pula. Ia
mempunyai ilmu pedang tinggi sekali, tindak-tanduknya tegas,
oleh karena itu ia mendapatkan julukan itu. Malahan di daerah
barat-daya sana, namanya sangat berpengaruh, sampai-sampai
suku bangsa di Tibet, Mongol dan Sinkiang pun mengaguminya,
rakyat penggembala dengan dia pun mempunyai hubungan
yang baik, hanya ia selalu pergi datang sendirian, la
menggabungkan diri dengan rakyat penggembala, untuk
mencarinya tidaklah mudah. Sebelum aku datang di Soa-say
sini, telah kuperintahkan beberapa saudara kita pergi mencari
dia.
Mendengar ada orang yang begitu hebat dan luar biasa, semua
orang menjadi kagum dan heran sekali.
Ilmu pedang orang ini begitu lihai, apakah dia ahli waris dari
Hui-bing Siansu? Mengapa aku tidak pernah mendengarnya,
tanya Pho Djing-tju.
Entahlah, tapi ada juga yang menyebut dia Thian-san-kiam, itu
disebabkan ia selalu pergi-datang di daerah sekitar Thian-san,
tutur Han Tji-pang pula. Tentang Hui-bing Siansu, ia sudah
beberapa puluh tahun tak pernah turun gunung, maka tidak
pernah terdengar apakah ia telah menerima murid baru lagi
Sementara tak usah pedulikan Thian-san-sin-bong apa segala,
sebaiknya kita membicarakan hal-hal yang penting dulu, kata
Lauw Yu-hong menepuk tangan pelahan untuk memutus
percakapan orang. Pertama, mengenai Thio-kongcu yang telah
terjebak di Ngo-tai-san, kalau tidak lekas ditolong keluar, itulah
tidak enak terhadap ayahnya. Kedua, ialah To Tok yang datang
-
hari ini dengan membawa begitu banyak pasukan, tidak sesuai
dengan tindakannya sehari-hari, di dalamnya tentu ada sesuatu
yang tersembunyi. Setelah bangsa Boan memasuki Kwanlwe
sampai kini sudah tiga puluh satu tahun. Di daerah tengah
sudah aman dan tinggal Taiwan, Mongolia, Sinkiang dan Tibet
yang belum masuk dalam petanya. Taiwan terpencil di luar
lautan takkan banyak gunanya dalam pergerakan, tetapi daerah
barat-laut dan sekitarnya, kalau suku-suku bangsa di sana bisa
bersekutu melawan pemerintah Boan dan bekerja-sama dengan
Taiwan, mungkin masih ada harapan. Aku mendengar kabar
pemerintah Boan berniat menjajah ke barat-laut, kedatangan To
Tok ini boleh jadi ada hubungannya dengan ini. Kita tidak bisa
tidak harus menyelidikinya.
Thio-kcngcu, siapakah dia? tanya Djing-tju tiba-tiba. Dia
adalah anak Tayciangkun Thio Hong-gian almarhum, murid
angkatan ketiga dari Tjong-lam-pay, sahut Lauw Yu-hong. Ia
baru saja keluar pintu perguruan lantas terjebak di tangan
musuh, tidak boleh tidak kita harus mencari daya upaya buat
menolongnya.
Thio Hong-gian adalah panglima perkasa yang melawan
pemerintah Boan, juga panglima tertinggi dari seluruh pasukan
Loh-ong dulu. Karena itu, semua orang menjadi bingung.
Kalau para saudara tak mencerca diriku yang tua bangka Ini,
malam ini biar aku bersama Boh-siocia pergi menyelidiki ke atas
gunung! kata Pho Djing-tju sambil berdiri.
Ilmu silat Pho Djing-tju sudah mencapai puncaknya, sudah tentu
adalah pilihan yang paling cocok hanya semua orang belum
mengetahui bagaimana dengan kepandaian Boh Wan-lian,
maka seketika semua terdiam.
-
Lebih baik aku yang ikut pergi dengan Pho-cianpwe? seru
Thong-Bing Hwesio tiba-tiba.
Kepandaianku walaupun belum sempurna, tetapi kalau pergi
bersama Pho-pepek, kukira tidak sampai terjadi apa-apa, kata
Boh Wan-lian dengan tersenyum.
Waktu itu kebetulan terdengar di luar ruangan ada berisik suara
burung gagak
Di atas pohon di luar sana ada seekor burung gagak, berisik
suaranya membikin orang sebel, kata Pho Djing-tju tertawa.
Wan-lian, coba kautangkap burung itu!
Wan-lian menurut, ia berdiri, tiba-tiba ia pentang kedua
tangannya dan tahu-tahu orangnya sudah berada di tengah
pelataran, bahkan tanpa beraksi lagi, tubuhnya lurus menaik,
dengan enteng ia meloncat ke pucuk pohon di luar itu, maka
terdengarlah suara, Gaok!. Gagak itu baru saja hendak kabur
sudah keburu disambar Boh Wan-lian yang lantas melompat
turun kembali. Semua orang terpesona oleh kegesitan dan
kecepatan si gadis.
Ilmu mengentengkan tubuh sebagus ini, tentu saja dapat pergi!
seru Thong-bing Hwesio sambil mengacungkan jempolnya. Dan
semua orang tertawa.
Malam itu, Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian telah bertukar
pakaian berjalan malam, dalam keadaan gelap dan bintang
suram mereka naik ke Ngo-tai-san dari jurusan utara.
Ngo-tai-san adalah gunung tinggi yang tersohor, beberapa ribu
pasukan pengawal yang To Tok bawa hanya dapat berjaga
mengelilingi Djing-liang-si, dan tidak mungkin bisa merata di
seluruh gunung. Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian dengan
-
kecepatan laksana burung terbang di malam yang gelap gulita
merayap naik, tiada seorang pun yang dapat memergoki
mereka.
Dan sebelum sampai di tengah gunung, mendadak Pho Djing-tju
berkata pada Boh Wan-lian dengan suara tertahan, Awas!
Berbareng itu tubuhnya telah melayang jauh ke depan beberapa
tombak, Boh Wan-lian pun segera menyusul. Tiba-tiba mereka
melihat sesosok bayangan orang yang memakai kedok berada
tidak jauh di depan, sekonyong-konyong orang ini pun berpaling
kepada mereka.
Dalam kegelapan Wan-lian dapat melihat yang memakai kedok
itu adalah seorang gadis. Sepasang matanya yang tak tertutup
kedok itu bersinar seperti bintang yang berkelap-kelip di langit
yang gelap.
Melihat Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian berdua dapat menyusul
dirinya, gadis itu tersenyum, katanya, Kita masing-masing
menempuh jalan sendiri saja! Lalu ia merangkap tangan
memberi hormat dan segera berlari pergi pula melalui jalan yang
lain.
Suara gadis ini begitu dikenal, dan ketika Boh Wan-lian hendak
mengejar lagi untuk melihat siapa sebenarnya orang ini, Pho
Djing-tju keburu menariknya.
Tak usah kejar dia, kata Pho Djing-tju, Ia adalah gadis
berkedok sutra itu, Ie Lan-tju, tentu ia ada urusan lain, maka
tidak bersedia jalan bersama kita.
Mengapa tindakan gadis ini begitu aneh? pikir Boh Wan-lian
diam-diam.
-
Maka cepat mereka melanjutkan perjalanan dengan
menggunakan ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi, dalam
sekejap mereka sudah sampai di depan Djing-liang-si. Waktu itu
malam geiap gulita, lima buah pagoda tembaga mengitari Djing-
liang-si, tiap pagoda, tingginya tiga belas tingkat, tiap tingkat di
luarnya tergantung delapan belas pelita gelas, sehingga sekitar
kelenteng itu tersorot terang. Barisan pengawal meronda kian
kemari, menunjukkan penjagaan dilakukan ketat dan rapi sekali,
ditambah di depan pagoda yang tengah, berbaris pula pasukan
pemanah yang siap dengan anak panah terpasang di busurnya,
suasana kelihatannya menjadi tegang sekali.
Djing-tju dan Wan-lian mendekam di belakang batu besar,
seketika tak punya akal bagaimana bisa masuk ke dalam.
Tengah mereka berpikir, tiba-tiba angin menderu keras, batu
pasir beterbangan, dan pada saat itu, tiga pelita di tingkat tiga
pada pagoda tembaga yang sebelah kiri mendadak padam,
dalam keadaan remang-remang ada sesosok bayangan orang
berkelebat melayang naik. Pasukan pengawal mendadak
berteriak, anak panah pun beterbangan seperti hujan. Dalam
keributan itu, kembali menderu pula angin keras, tiga pelita di
muka tingkat tiga pagoda yang tengah ikut padam juga.
Melihat kesempatan baik itu, lekas Pho Djing-tju menarik Boh
Wan-lian dan berseru tertahan, Lekas naik!
Dalam keributan dan kegelapan itu mereka meloncat keluar,
dengan enteng mereka melayang naik ke tingkat pertama
pagoda yang tengah, yang merupakan pagoda induk, segera
mereka merayap naik pula ke tingkat dua dan tiga, hanya
sekejap saja mereka berdua sudah berada di atas pagoda.
Malam ini ada jagoan berilmu tinggi dari kalangan persilatan
yang datang, pelita tadi terang dipadamkan dengan timpukan
-
senjata rahasia sebangsa batu dengan menggunakan tenaga
berat! demikian kata Pho Djing-tju pada Boh Wan-lian.
Sementara itu, barisan pengawal di luar setelah ribut sebentar
dan tak melihat ada orang, mereka sangsi mungkin burung
malam yang telah melayang lewat, dan menduga pelita gelas itu
padam oleh batu pasir yang terbawa angin keras tadi, mereka
bahkan menyalakan obor terus berjaga lagi dan tidak mengusut
lebih jauh.
Di dalam pagoda induk itu tiap-tiap tingkat ternyata sangat luas,
selain ruangan tengah yang besar, masih ada pula beberapa
kamar. Setelah masuk ke dalam, segera Pho Djing-tju dan Boh
Wan-lian pun memadamkan beberapa pelita yang ada di dalam
dengan senjata rahasia mereka.
Tidak lama kemudian, ada dua orang yang membawa lentera
sedang mendatangi sambil sepanjang jalan mereka te-rus
menggerundel, Malam ini mengapa angin begini ken-cang,
pelita gelas di luar sirap, malahan yang di dalam pun tertiup
padam juga, betul-betul ajaib!
Djing-tju dan Wan-lian tidak ayal lagi, sekali lompat, bagaikan
kilat mereka sudah berada di depan kedua orang itu, sekali jari
menotok, berteriak saja belum kedua orang itu su-dah tertotok
urat nadi gagu mereka.
Setelah kedua orang itu dibikin tak berdaya, segera mereka
diseret keluar serambi pagoda di bawah pelita yang menyorot
dari tingkat empat. Djing-tju segera memeriksa orang, hampir
saja ia berseru heran setelah jelas melihatnya.
Kedua tawanan ini ternyata bukan serdadu pengawal, juga
bukan orang biasa, dari dandanan mereka terlihat jelas adalah
dua orang Thaykam atau orang kebiri, dayang kerajaan.
-
Pho Djing-tju masih kurang percaya, ia sengaja mengulur
tangannya dan merogoh ke bagian bawah orang.
Ya, tidak salah lagi! katanya.
Melihat perbuatan sang paman, Boh Wan-lian memalingkan
muka ke jurusan lain karena malunya. Mendadak Djing-tju sadar
bahwa Boh Wan-lian adalah seorang gadis, ia menjadi jengah.
Waktu mengulur tangan lagi, ia melepaskan totokan kedua
orang tadi, lalu ia cengkeram mereka dan bertanya, Lekas
jawab, apakah Hongsiang telah datang? Di mana dia sekarang?
Jika berani berdusta, segera kudorong kau ke bawah pagoda!
Pagoda tembaga itu tingginya berpuluh meter, dan karena
ancaman itu, kedua orang Thaykam itu menjadi ketakutan.
Hongsiang Hongsiang berada di tingkat enam, demikian sahut
mereka dengan tak lancar.
Segera Pho Djing-tju menggusur kedua Thaykam itu ke dalam
pagoda lagi dan bersama Boh Wan-lian meloncat ke atas,
beruntun mereka melewati tingkat empat dan lima.
Sesampainya di luar tingkat enam, mereka mengintip ke dalam,
betul saja terlihat ada beberapa Thaykam lain sedang
mengantuk, di tengah ruangan ada satu tempat tidur besar yang
tertutup kelambu sutra kuning.
Yang tidur di dalam kelambu itu tentunya adalah Kaisar,
demikian pikir mereka berdua.
Maka Pho Djing-tju dan Boh Wan-lian menyerbu ke dalam.
Thaykam yang ada di dalam menjadi ribut, tetapi dengan cepat
Boh Wan-lian telah menyingkap kelambu terus menjambret. Tak
terduga, orang dalam kelambu itu ternyata tidak lemah, sekali
badan membalik, dengan cepat orangnya sudah melompat
-
bangun, sebuah belati mengkilap tahu-tahu malah menusuk ke
hulu hati Boh Wan-lian. Namun Wan-lian cukup cepat dan gesit,
waktu tangannya membalik, ia dapat menahan tusukan orang itu
yang hanya tinggal beberapa dim dari tubuhnya.
Ilmu silat orang itu ternyata tidak rendah, tiba-tiba tangannya
ditarik ke bawah, walaupun belatinya terlepas, tetapi tangannya
juga lepas dari cekalan musuh, menyusul dengan cepat telapak
tangan kirinya memukul ke iga kiri Boh Wan-lian. Lekas Wan-
lian menangkis, ia menjadi terdesak mundur beberapa tindak.
Orang itu menggeram kalap, segera ia menubruk maju. Tetapi ia
lupa bahwa masih ada Pho Djing-tju. Secepat kilat orang tua ini
memburu maju, begitu tangannya bergerak, ia tempeleng orang
beberapa kali.
Ketika orang itu bermaksud balas menghantam, namun Pho
Djing-tju tak memberi kesempatan padanya, sekali cekal,
dengan gerakan Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara memegang dan
menangkap, tahu-tahu pergelangan tangannya telah terpegang
erat-erat terus dipencet, keruan orang itu menjadi lemas dan tak
berkutik lagi.
Kiranya Djing-tju tahu, waktu Kaisar Khong-hi naik takhta
umurnya tidak lebih belasan tahun, dan kini paling banyak pun
baru berwujud pemuda dua puluhan tahun, padahal orang ini
sudah setengah umur.
Maka dengan pandangan mata tajam segera Djing-tju
mengancam para Thaykam yang berada di situ untuk mengaku
di-mana Kaisar Khong-hi berada.
Dalam takutnya karena ancaman itu, semua Thaykam menatap
seorang Thaykam tua yang rupanya menjadi pemimpin mereka.
-
Segera Thaykam tua itu didekati Pho Djing-tju, tiba-tiba ia sodok
pelahan punggung dayang kebiri itu hingga ia merasa kesakitan
yang meresap tulang. Thaykam itu merintih kesakitan dan
berulang berteriak, Baiklah, akan kukatakan!
Kaisar tidak berada di kamar ini, demikian ia memulai, rupanya
dayang ini adalah dayang pribadi sang maharaja. Betul ia tadi
tinggal di tingkat ini, tetapi di bawah pagoda ini terdapat jalan
bawah tanah yang menembus ke kamar Hwesio tua, Hwesio
pengawas kelenteng Djing-liang-si ini, maka sejak tadi ia sudah
pergi menemui Hwesio itu melalui jalan itu.
Dan siapa dia? tanya Djing-tju sambil menuding orang yang
tiduran di dalam kelambu tadi.
Dia hanya seorang padulu dari kerajaan, sahut Thaykam tua
itu.
Padulu adalah gelar kebesaran pemerintah Boan yang berarti
perwira.
Baiklah, sekarang kau boleh pilih, jika kau masih ingin hidup,
maka semua harus menurut apa yang kuperintahkan, kata
Djing-tju kemudian sesudah berpikir sejenak.
Lekas Thaykam tua itu mengangguk tanda tunduk. Meski padulu
itu bermaksud membangkang, namun di bawah cengkeraman
Djing-tju, ia paham kalau tidak menyerah, sekalipun jiwanya
diampuni