62 bab iv pelaksanaan perjanjian dwi...

75
62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian, untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah “Bagaimana Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Etnis Tionghoa tahun 1955- 1969”. Pokok permasalahan tersebut diuraikan dan disusun ke dalam empat bahasan utama : pertama, Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Ketiga, Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. Keempat, Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. IV.1. Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia IV.1.1. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda Pemerintahan kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan sering menggunakan siasat devide et impera. Siasat ini digunakan mengingat jumlah orang Belanda yang lebih sedikit dari jumlah penduduk jajahan. Seperti halnya di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan golongan-golongan tertentu dalam usaha mengendalikan mayoritas orang-orang pribumi untuk mempertahankan kekuasaannya. 62

Upload: others

Post on 19-Jul-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

62

BAB IV

PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN

DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA

Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian, untuk menjawab

permasalahan yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Permasalahan

tersebut adalah “Bagaimana Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Etnis Tionghoa tahun 1955- 1969”.

Pokok permasalahan tersebut diuraikan dan disusun ke dalam empat bahasan

utama : pertama, Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di

Indonesia. Kedua, Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Ketiga,

Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan

Etnis Tionghoa. Keempat, Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa.

IV.1. Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia

IV.1.1. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Zaman Kolonial

Belanda

Pemerintahan kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan sering

menggunakan siasat devide et impera. Siasat ini digunakan mengingat jumlah

orang Belanda yang lebih sedikit dari jumlah penduduk jajahan. Seperti halnya di

Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan golongan-golongan

tertentu dalam usaha mengendalikan mayoritas orang-orang pribumi untuk

mempertahankan kekuasaannya.

62

Page 2: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

63

Dalam menjalankan siasatnya ini pemerintah kolonial Belanda membagi

masyarakat dalam tiga golongan. Golongan pertama yaitu orang-orang

Eropa yang merupakan warganegara kelas satu, lalu golongan Timur Asing

yaitu orang-orang Arab, India dan Cina serta terakhir adalah orang-orang

pribumi.

Siasat devide et impera dijalankan dengan memberikan fasilitas

atau kedudukan pada kelompok tertentu. Di Indonesia kelompok tersebut

adalah kaum ningrat dari golongan pribumi dan orang-orang Tionghoa

untuk golongan Timur Asing. Kepada kaum ningrat pemerintah kolonial

Belanda memberikan jabatan seperti Pamong Praja, sedangkan untuk

orang-orang Tionghoa pemerintah Belanda memberikan kedudukan sebagai

Mayoor dan kapitein der Chinezen. Jabatan untuk orang-orang Tionghoa

tersebut diberikan setelah pada tahun 1917 pemerintah Belanda

menyamakan kedudukan hukum orang-orang Tionghoa dengan orang-orang

Belanda. Dengan perubahan itu berarti status sosial orang-orang Tionghoa

lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi.

Di samping pemisahan status sosial, pemerintah Belanda juga

memisahkan kehidupan orang-orang Tionghoa dari masyarakat pribumi

dengan dibentuknya suatu perkampungan yang disebut kampong tjina

(Chinese Wijk) (Lie Tek Tjeng, 1971: 4). Dengan pemisahan ini maka sulit

terjadi asimilasi antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa.

Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda

memberikan kesempatan yang lebih kepada orang-orang Tionghoa dengan

Page 3: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

64

didirikannya Hollandsch Chinesche School (HCS) pada tahun 1908.

Kesempatan inilah yang menghasilkan lahirnya kaum intelektual di

kalangan orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang berpendidikan

Belanda ini akhirnya menyadari akan pentingnya berpolitik dan

berorganisasi. Pada tahun 1920 mereka membentuk suatu organisasi yang

bertujuan mengarahkan kaum Tionghoa peranakan untuk tidak berkiblat

kepada pemerintah Cina melainkan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Dalam kongresnya pada tahun 1928 akhirnya organisasi ini sepakat

membentuk partai politik kaum peranakan yang pertama yaitu Chung Hwa

Hui (Perhimpunan Tionghoa, CHH). Dalam perkembangannya partai ini

pada tahun 1939 berhasil menempatkan tiga orang wakilnya dalam

Volksraad (Suryadinata, 1984: 50).

Dalam bidang ekonomi orang-orang Tionghoa memperoleh

kesempatan dari pemerintah Belanda untuk terlibat sebagai pengumpul

pajak (yang kemudian dimanfaatkan untuk memeras rakyat), mengusahakan

pegadaian, monopoli perdagangan candu dan sebagainya, oleh karena itu

banyak penduduk pribumi yang merasa benci kepada orang-orang Tionghoa.

Kondisi seperti tersebut diatas secara tidak langsung telah merebut

lapangan ekonomi orang-orang Arab yang merupakan saingan bagi orang

Tionghoa, pengusaha-pengusaha Jawa, serta sejumlah saudagar. Bagi

masyarakat pribumi tindakan ini merupakan tekanan yang kuat dari orang-

orang Tionghoa di kepulauan Nusantara. Kehidupan ekonomi pribumi mulai

tergeser dimana semua perekonomian mulai dikuasai atau didominasi orang-

Page 4: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

65

orang Tionghoa, oleh karena itu benteng terakhir bagi orang-orang pribumi

adalah SDI. Sebagai reaksi atas situasi ini adalah munculnya Sarekat

Dagang Islam (tahun 1911) yang didirikan oleh Hadji Samanhudi di Solo.

Tujuan organisasi ini adalah untuk mempertahankan dan mengimbangi para

pedagang Tionghoa yang makin meluas.

Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang mencari jalan untuk merebut

sebagian dari benteng terakhir kehidupan ekonomi pribumi ditanggapi

dengan aksi kekerasan oleh anggota-anggota muda SDI di Solo yang

dipimpin oleh R.M. Tirtoadisuryo. Gangguan-gangguan yang bersifat

rasialis ini meningkat sedemikian rupa hingga akhirnya pada 10 Agustus

1912 Residen Surakarta terpaksa mengeluarkan suatu dekrit untuk

mengurangi aktivitas organisasi itu ( Niel, 1984: 120).

Sejak dibekukannya organisasi tersebut, perekonomian orang-

orang Tionghoa semakin maju. Mereka tidak lagi mendapat saingan dari

orang-orang pribumi. Hal ini menimbulkan rasa superioritas dan menjadikan

status sosial mereka lebih tinggi dari orang-orang pribumi.

IV.1.2. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Jepang

Sikap pemerintah pendudukan Jepang terhadap orang-orang

Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari pengalamannya ketika berperang

melawan negeri Cina. Walaupun akhirnya Jepang menang dan berhasil

mendirikan pemerintahan boneka di negara Cina, namun banyak korban

kerugian yang diderita oleh tentara Jepang. Orang-orang Tionghoa yang

bersimpati kepada negeri leluhurnya ditawan, seperti Thio Thiam Tjong

Page 5: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

66

tokoh CHH dan Ang Jan Goan salah satu pemimpin Sin Po. Surat kabar

Cina diberangus, semua partai politik (baik partai pribumi, Belanda maupun

Cina) dilarang, demikian pula perkumpulan-perkumpulan Cina dibubarkan

dan diganti dengan perkumpulan Cina yang dibentuk dan ditunjuk

pengurusnya oleh Jepang.

Salah satu organisasi sosial yang dibentuk oleh pemerintahan

militer Jepang bagi orang-orang Tionghoa adalah Hua Chiao Tsung Hui

(Perhimpunan Perantau Cina). Organisasi ini dipimpin oleh orang Jepang

bernama Toyoshima dan bertanggungjawab kepada pimpinan militer

setempat (Hidajat, 1977: 96). Organisasi ini dimaksudkan untuk

memudahkan pengawasan dan lebih praktis dalam mengkonsentrasikan

orang-orang Tionghoa dalam kehidupan eksklusifnya. Manfaat lain dari

organisasi ini adalah untuk memudahkan pemungutan pajak dan

sumbangan-sumbangan untuk biaya perang.

Perlakuan yang diterima oleh orang-orang Tionghoa ini berbeda

dengan yang diterima oleh orang-orang pribumi. Jepang mengharapkan

kerjasama orang-orang pribumi untuk mendukung peperangan yang sedang

dilaksanakannya dengan janji akan memberikan kemerdekaan kepada

Indonesia.

Kedudukan orang-orang Tionghoa pada masa ini selalu dicurigai

oleh pemerintah Jepang karena mereka dianggap sebagai mata-mata

Belanda. Walaupun demikian ada pula orang Tionghoa dan beberapa

nasionalis Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang, seperti Ong Siang

Page 6: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

67

Tjun, Drs. Yap Tjwan Bing, Han Kang Oen, Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta.

Dukungan tersebut diperlukan pemerintah Jepang untuk menumbuhkan

semangat dan kerjasama rakyat dalam melawan sekutu.

Selama pendudukan Jepang sekolah-sekolah Belanda dilarang

dibuka dan yang diizinkan hanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar

Indonesia dan Cina. Anak-anak peranakan yang sebelumnya memperoleh

pendidikan Belanda dan tidak dapat berbahasa Cina diharuskan untuk

belajar dalam sekolah yang berbahasa sekolah Cina. Program ini dikenal

dengan “totokisasi” (pengtionghoan kembali) orang-orang Tionghoa

peranakan (Suryadinata, 1988: 23). Seperti halnya pada jaman

pemerintahan Hindia Belanda, perekonomian pada saat itu tetap didominasi

oleh orang-orang Tionghoa yang mendapat pengawasan ketat dari

pemerintah militer Jepang. Bahan mentah terutama minyak bumi, karet, kina

dan gula saat itu sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk mendukung

tentaranya.

IV.1.3. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman

Kemerdekaan

Kekalahan Jepang pada pertengahan Agustus 1945, telah

dimanfaatkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia untuk

memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi Belanda yang

dibantu pasukan Inggris masuk lagi ke Indonesia guna melanjutkan

pemerintahan kolonialnya. Kembalinya Belanda ini menimbulkan konflik

antara kaum nasionalis Indonesia dan Belanda.

Page 7: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

68

Pada masa kemerdekaan ini orang-orang Tionghoa banyak yang

menjadi korban baik oleh pihak Belanda maupun karena kemarahan rakyat

Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Timbulnya

korban ini disebabkan pada masa itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam

tiga golongan (Hidayat, 1993: 95), yaitu :

a. Golongan Cina yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.Mereka

tetap pada usahanya yaitu mencari untung dalam situasi apapun yang

dihadapi. Mereka berusaha melayani kebutuhan Belanda dengan

sebaik-baiknya. Untuk keperluan ini Belanda mendirikan suatu

organisasi semi militer Pao An Tui, yang dilatih dan dididik militer

serta dipersenjatai oleh Belanda. Tujuan organisasi ini adalah untuk

melindungi keselamatan orang Cina disamping Belanda sendiri

mendapat tambahan pertahanan dari orang-orang Cina. Sebagai

contoh adalah organisasi Chung Hua Hui wilayah Jakarta dengan

tokohnya Thio Thiam Tjong cenderung membantu Belanda.

b. Golongan Cina yang berada di wilayah Republik Indonesia. Orang-

orang Cina ini banyak usahanya untuk ikut membantu perjuangan

menegakkan kemerdekaan Indonesia. Seperti halnya organisasi CHH

di wilayah Jakarta, organisasi yang berada di wilayah kekuasaan

tentara RI ini dengan pemimpinnya Ong Siang Tjoen, cenderung

membantu tentara RI.

Page 8: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

69

c. Golongan orang-orang Cina intelektual sebagai hasil pendidikan

Belanda. Mereka ini dalam politiknya juga berpihak pada Belanda,

seperti Dr. Kwa Tjoan Sioei salah seorang tokoh CHH Jakarta.

Sikap orang-orang Tionghoa pada masa ini pada hakekatnya hanya mencari

keselamatan pribadi dan kepentingan golongannya. Sikap inilah yang

menimbulkan rasa benci masyarakat Indonesia terhadap orang-orang

Tionghoa. Ditambah lagi dengan adanya gerakan Pao An Tui, yaitu

organisasi orang Tionghoa yang dipersenjatai oleh Belanda, di Jakarta pada

tahun 1947 yang meluas keseluruh pulau Jawa.

Keadaan kacau selama masa revolusi ini dimanfaatkan oleh

pedagang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan lebih banyak lagi.

Mereka melakukan perdagangan gelap baik untuk keperluan Belanda

maupun untuk keperluan pejuang Republik Indonesia. Bagi mereka politik

tidaklah penting, yang penting adalah mencari keuntungan dengan

berdagang.

Dalam hal pendidikan, pada masa kemerdekaan anak-anak

Tionghoa mendapat perhatian pula. Setelah penyerahan kedaulatan pada

bulan Desember 1949, sekolah-sekolah Belanda ditutup. Anak-anak

Tionghoa peranakan yang berada di sekolah-sekolah berbahasa pengantar

Belanda melanjutkan sekolahnya di sekolah berbahasa pengantar Indonesia

yang dikelola oleh kelompok swasta ataupun pemerintah.

Melihat adanya kecenderungan orang-orang Tionghoa yang

menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah Tionghoa atau ke

Page 9: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

70

sekolah-sekolah Katolik dan Protestan, maka pada tahun 1950 pemerintah

Indonesia menghentikan subsidi terhadap sekolah-sekolah berbahasa

pengantar Cina. Tindakan tersebut merupakan akibat dari sistem sikap hidup

eksklusifisme pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Dengan

penghapusan subsidi tersebut diharapkan orang-orang Tionghoa berintegrasi

dengan masyarakat dan kebudayaan Indonesia.

Namun, kebanyakan orang-orang Tionghoa memperlihatkan sikap

yang anti dan apatis terhadap pemerintah RI. Mereka juga lebih bersikap

menutup diri dalam tradisi mereka sendiri tanpa mau menyesuaikan dan

mengintegrasikan ke dalam masyarakat dan kebudayaan nasional Indonesia.

Sikap eksklusifisme ini mereka pertahankan semata-mata hanya untuk

kepentingan pribadi dan keluarganya. Sikap semacam ini dikenal dengan

“racial and cultural nationalits”, seperti yang diharapkan oleh pemerintah

Cina komunis di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 98).

IV.2. Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Masalah hukum mengenai status sipil golongan Tionghoa di Indonesia

merupakan masalah rumit yang merupakan warisan dari jaman kolonialisme

Belanda. Perundang-undangan pemerintah Belanda menggolongkan mereka sama

dengan “orang-orang pribumi”, setingkat lebih rendah dari orang-orang Eropa,

dalam hal hukum mereka dianggap sebagai kaula negara Belanda. Namun, orang-

orang Tionghoa di Hindia Belanda digolongkan sebagai “orang asing”, bahkan

Page 10: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

71

untuk tujuan statistik mereka digolongkan sebagai “Orang Timur Asing” yang

dibedakan dari “Orang-orang Eropa” dan “Bumiputera”.

Penggolongan-penggolongan tersebut sesungguhnya melukai perasaan

orang-orang Tionghoa, dan pada saat rasa nasionalisme Cina tumbuh menjelang

abad ke 20, maka baik orang-orang Tionghoa yang di negeri Cina maupun yang

berada di Laut Cina Selatan menuntut dihapusnya penggolongan tersebut.

Pemerintah Manchu pada waktu itu mulai menekan pemerintah Hindia Belanda

untuk dapat menempatkan konsul-konsulnya di negeri koloni guna menghapus

segala bentuk diskriminasi hukum bagi orang-orang Cina di Hindia Belanda.

Melihat kondisi tersebut pemerintah Cina pada tahun 1909 mengumumkan

undang-undang kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis, yaitu

kewarganegaraan yang ditentukan dari garis keturunan. Undang-undang tersebut

yang kemudian menjadi inti pokok masalah dwi kewarganegaraan bagi orang-

orang Tionghoa di perantauan.

Pemerintah Belanda pada tahun 1910 membalas dengan diberlakukannya

Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda (Wet op het Nederlandsch

onderdaanschap atau WNO) yang menganut asas ius soli, yaitu asas yang

menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang

tersebut. Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda tahun 1910 ini berisi

peraturan mengenai kaula negara Belanda dari penduduk Hindia Belanda,

menyatakan bahwa mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang

bertempat tinggal disana, jika bapaknya tidak diketahui dari ibunya yang

bertempat tinggal di sana dan masih ada beberapa kelompok orang yang bertautan

Page 11: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

72

WET dari Belanda sekalipun mereka itu bukan orang Belanda menurut tahun

1892 (Paulus, 1983: 156). Penentuan UU 1910 tersebut mengakibatkan seorang

anak dapat dipisahkan status kewarganegaraannya dari orang tuanya. Undang-

undang tersebut juga masih membedakan antara “warganegara” yaitu warga dari

sebuah negara dengan “kaulanegara Belanda” yaitu semua orang yang lahir di

negeri jajahan Belanda seperti Suriname, Hindia Belanda dan Antillen

(Paulus,1983:164).

Dengan demikian baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Cina

sama-sama memiliki hak yuridis atas orang-orang Tionghoa kelahiran Hindia

Belanda. Masalah ini kemudian dibawa ke meja perundingan antara pemerintah

Cina dan Belanda. Perundingan tersebut menghasilkan penandatanganan

Perjanjian Konsuler tahun 1911. Hakikat perjanjian itu adalah bahwa pemerintah

kekaisaran Cina mengakui bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda

selama di negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya tunduk pada undang-undang

Belanda. Namun bila mereka keluar dari wilayah kekuasaan Belanda mereka

bebas menentukan kebangsaannya. Sebaliknya Belanda menyetujui pembukaan

konsulat Cina di Hindia Belanda yang akan bertindak sebagai perwakilan dagang.

Perjanjian konsuler tersebut berlaku untuk lima tahun dan akan diperbarui setiap

tahun.

Meskipun telah ada perjanjian konsuler, namun pada kenyataannya

pemerintah RRC tetap melindungi keturunan Tionghoa di perantauan. Hal ini

dapat diketahui dari kasus Oen Keng Hian, seorang pegawai bank Belanda di

Pulau Jawa. Pada tahun 1926 Oen menggelapkan uang dalam jumlah besar dan

Page 12: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

73

melarikan diri ke negeri Cina. Atas permintaan konsul Belanda, Oen ditahan di

Shanghai. Kasus ini menimbulkan perselisihan antara pemerintah Belanda dan

pemerintah RRC yang memasalahkan status kewarganegaraan Oen. Pemerintah

Belanda beranggapan bahwa Oen adalah kawula kerajaan Belanda, maka ia harus

diadili di Jawa. Namun pemerintah RRC bersikeras bahwa Oen adalah warga

negara Cina yang hanya dapat diadili di Cina. Argumentasi pemerintah RRC

adalah bahwa Oen belum pernah menyatakan melepas kewarganegaraan Cina-

nya, maka ia tetap warga negara RRC. Akhirnya Oen diadili oleh pengadilan

campuran dan dapat keluar dari tahanan dengan membayar uang tanggungan

(Suryadinata, 1984: 122).

Perjanjian konsuler diatas kemudian membawa dampak pada jaman

Indonesia merdeka, yaitu kewarganegaraan ganda. Timbulnya kewarganegaraan

ganda ini karena perbedaan sistem penentuan kewarganegaraan yang dianut oleh

pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina. Pemerintah Indonesia menganut

sistem ius soli, sedangkan pemerintah Cina menganut sistem ius sanguinis.

Adanya dua sistem tersebut menjadikan etnis Tionghoa di perantauan

mendapatkan status dwi kewarganegaraan. Segala sesuatu menjadi sulit setelah

pemerintah Cina Nasionalis memperlihatkan sikap mempertahankan para

warganegaranya sedapat mungkin. Pemerintah Cina tetap berpegang teguh pada

Undang-undang Kewarganegaraan Cina Taiwan yang ditetapkan pada tahun 1929.

Dalam undang-undang tersebut tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk

menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali mendapat izin dari Menteri Dalam

Negeri Cina. Menteri hanya dapat memberikan izin bila yang bersangkutan telah

Page 13: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

74

menjalankan wajib militer untuk Angkatan Bersenjata Cina

(Suryadinata, 1984:121).

Pada tahun 1949 situasi politik di Cina mengalami perubahan, yaitu

dengan jatuhnya pemerintahan Kuo Min Tang di negeri Cina daratan yang

kemudian digantikan oleh pemerintahan komunis yang dipimpin oleh Mao

Zedong. Rezim Kuo Min Tang yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membentuk

negara sendiri yang kini dikenal dengan Cina Taiwan. Sejak saat itu orang-orang

Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Cina daratan dengan pusatnya di

Peking yang dipimpin oleh Mao Zedong, kemudian Cina Taiwan yang dipimpin

oleh Kuo Min Tang dan Cina yang dianggap berdiri sendiri berbeda dari dua

kelompok terdahulu yaitu Cina Singapura dan Cina Hongkong. Kedua golongan

Cina yang pertama, yaitu Peking dan Taiwan saling berebut pengaruh terhadap

para Tionghoa perantauan di negara-negara Asia Tenggara. Kedua kelompok ini

berusaha menggunakan para Tionghoa perantauan ini sebagai kekuatan politik di

luar negerinya. Hal ini penting karena dari para perantau tersebut diperoleh uang

jutaan dolar yang selalu dikirim kedaratan Cina yang sangat berpengaruh dalam

memperkuat posisi devisa pemerintah Cina. Dalam usaha memperebutkan

pengaruh ini pemerintah Cina daratan berusaha membuka hubungan diplomatik

dengan Indonesia dengan tujuan utama untuk memutuskan ikatan Cina di Asia

Tenggara dengan Cina Taiwan.

Karena undang-undang kewarganegaraan Cina yang ditetapkan pada tahun

1929 ini tidak diubah pada saat orang-orang komunis Cina berkuasa di Cina, maka

pemerintah Indonesia yang non komunis khawatir akan intervensi RRC melalui

Page 14: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

75

warga negara Indonesia keturunan Cina. Ditambah lagi dengan politik pemerintah

RRC terhadap para imigran Cina di Asia Tenggara ini juga dijadikan alat

penyebaran ideologi negaranya. Pemerintah RRC tetap mengikat dan memelihara

kesetiaan para warganya yang merantau untuk tetap cinta pada bangsa dan negeri

leluhurnya(Hidajat, 1993: 70). Sebagai contoh adalah berdirinya organisasi kamar

dagang Shiang Hwee pada tahun 1909. Organisasi dagang ini selain bertujuan

untuk melindungi kepentingan dagang orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda

juga sebagai wadah yang mengumpulkan dana bantuan material untuk negeri

leluhurnya. Penyebaran ideologi komunis juga dilakukan oleh pemerintah Cina

melalui sekolah-sekolah Tionghoa perantauan. Pemerintah komunis Mao Zedong

membentuk kader-kader guru yang diambil dari Tionghoa perantauan. Mereka

diberi bea siswa untuk menyelesaikan sekolahnya diperguruan-perguruan tinggi di

negeri Cina. Sehingga setelah selesai studinya mereka kembali ke negara tempat

mereka merantau dan bertugas sebagai guru yang juga membawa misi untuk

menanamkan ajaran komunis (Hidajat, 1993: 93).

Berdasarkan hal-hal diatas, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan

kepada pemerintah RRC untuk mencari jalan keluar bagi masalah dwi

kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Bersamaan dengan niat pemerintah

RI ini, pemerintah RRC pun ingin memainkan peranan yang besar dalam

percaturan politik dengan menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga

yang mencurigainya. Dengan demikian kepentingan keduabelah pihak, RI dan

RRC dapat dipertemukan untuk bersama-sama memecahkan masalah.

Page 15: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

76

Usaha-usaha pemerintah RI untuk mewujudkan Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan ini diawali pada masa kabinet Ali yang disampaikan kepada

Parlemen pada tahun 1953. Pada saat itu dikemukakan usul untuk membuat untuk

undang-undang kewarganegaraan yang akan membawa akibat terhadap status

hukum orang-orang Tionghoa perantauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1954

rancangan itu telah siap, namun karena belum ada pembicaraan dengan pihak

RRC mengenai aspek-aspek tertentu dari undang-undang yang diusulkan tersebut,

maka undang-undang yang diusulkan itu, maka undang-undang tersebut belum

dapat diberlakukan.

Rancangan undang-undang tersebut timbul dari memuncaknya

ketidakpuasan terhadap akibat-akibat perumusan KMB. Dalam hasil Konferensi

Meja Bundar tahun 1949, dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang semula

kaula negara Belanda diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraannya.

Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia secara otomatis atau

memperkokoh kewarganegaraan Cina dengan penolakan secara resmi

kewarganegaraan Indonesia. Kesempatan untuk memilih ini diberikan selama dua

tahun dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1951. Selama periode tersebut banyak

peranakan Tionghoa yang dituntut sebagai warganegara baik oleh pemerintah

Indonesia maupun RRC. Namun dalam pelaksanaannya orang-orang keturunan

Tionghoa yang tidak melakukan penolakan terhadap kewarganegaraan Indonesia

ternyata secara hukum tetap memiliki kewarganegaraan Cina. Hal ini berarti isi

perjanjian KMB tersebut tidak menyelesaikan masalah kewarganegaraan orang-

orang Tionghoa di Indonesia. Kabinet Ali berkesimpulan bahwa keadaan tersebut

Page 16: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

77

harus segera diperbaiki. Sebelum kabinet Ali, tidak ada satu pemerintah pun yang

siap untuk menggarap masalah tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah RRC tetap menjalankan politik kebudayaan

guna memelihara kesetiaan para emigran untuk selalu setia pada bangsa dan

negeri leluhurnya. Dengan demikian keuntungan yang mereka peroleh dari

berdagang di negeri orang mereka gunakan untuk membangun negeri leluhurnya.

Ikatan yang erat ini oleh pemerintah RRC juga digunakan untuk menyebarkan

ideologinya melalui para emigran tersebut (Hidajat, 1993: 70).

Dengan dijalankannya politik kebudayaan tersebut maka pemerintah RI

menghendaki perubahan-perubahan di dalam hubungannya dengan beberapa

negara Asia Tenggara sampai pada suatu tingkat yang berarti untuk dapat

menekan pemerintah RRC. RRC harus mengubah masalah-masalah yang tidak

berkenan bagi negara lain sehubungan dengan minoritas Tionghoa yang dapat

digunakan demi keuntungannya. Apabila RRC dapat melepaskan tuntutannya

terhadap kewarganegaraan Cina yang lahir di luar negeri maka hal itu merupakan

suatu dorongan bagi beberapa negara Asia Tenggara untuk memajukan

hubungannya dengan RRC.

Masalah di atas juga dikemukakan oleh Duta Besar Mononutu setibanya di

Peking. Dalam kesempatan tersebut Dubes RI ini mengajukan pemecahan

masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa dan mendapat tanggapan positif

dari Perdana Menteri Chou En-lai. Menurut Mononutu, pemimpin Cina itu

menyatakan bahwa dengan menyetujui untuk membicarakan masalah

kewarganegaraan saja sudah merupakan suatu langkah besar, karena akan

Page 17: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

78

melepaskan politik tradisional Cina. Selain itu, pemerintah RRC juga

mengemukakan bahwa bila perjanjian dengan Jakarta berhasil maka akan

diperluas dengan negara-negara lain secara bilateral.

Sebagai tindak lanjut atas pembicaraan di atas maka pada tanggal 24

November dan 23 Desember 1954 dikirim suatu tim khusus ke Peking untuk

melakukan perundingan pertama. Perundingan ini diakhiri dengan persetujuan

formal mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tanggal 22 April 1955

tepat pada waktu Konferensi Asia-Afrika berlangsung.

Sikap keras pemerintah Cina terhadap status dwi kewarganegaraan orang-

orang Tionghoa peranakan ini berubah pada pertengahan tahun 1955 saat tukar

menukar pandapat antara Chou En-lai dan Ali Sastroamidjojo. Pada kesempatan

tersebut Chou menyatakan bahwa adalah merupakan hak pemerintah Indonesia

untuk memutuskan siapa yang boleh menjadi warganegara Indonesia dan siapa

yang tidak boleh bagi orang-orang dari golongan Cina (Suryadinata, 1984: 121).

Tukar menukar pendapat antara Chou En-lai dan Ali Sastromidjojo

dilanjutkan dalam perundingan antara Jakarta dan Peking. Pada tanggal 22 April

1955, bersamaan dengan berakhirnya Konfrensi Asia-Afrika, perjanjian mengenai

dwi kewarganegaraan ditandatangani. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk

memberikan pemisahan yang tegas antara warganegara Indonesia dengan

warganegara RRC, sehingga dapat diambil tindakan-tindakan ke arah tercapainya

suatu proses asimilasi, untuk menjadi bangsa yang homogen.

Perjanjian tersebut memuat ketentuan untuk memilih salah satu di antara

dua kewarganegaraan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu mulai berlaku.

Page 18: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

79

Ketentuan ini dikenakan bagi mereka yang sudah dewasa, yaitu telah berusia 18

tahun atau sudah (pernah) kawin. Bagi anak yang belum dewasa kewarganegaraan

mereka ditentukan oleh kedua orang tuanya. Untuk seorang warganegara RI yang

kawin dengan warganegara RRC, maka masing-masing tetap memiliki

kewarganegaraan yang dimilikinya ketika sebelum kawin, kecuali bila salah satu

dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh

kewarganegaraan yang lain.

Selain itu perjanjian tersebut juga menggunakan sistem aktif untuk

pelaksanaan pemilihan kewarganegaraan. Dalam sistem ini seseorang dalam

menentukan pilihannya harus menyatakan menerima kewarganegaraan yang satu

dan melepas kewarganegaraan yang lain dihadapan petugas negara yang

kewarganegaraannya dipilih.

Pada awalnya pemerintah Cina menghendaki digunakannya sistem pasif,

yaitu penerimaan kewarganegaraan secara otomatis tanpa adanya pernyataan di

depan pengadilan, seperti yang sudah berjalan sampai saat itu, tetapi pemerintah

Indonesia menolaknya dan menghendaki sistem aktif. Sistem aktif, yaitu

penerimaan atau pelepasan suatu kewarganegaraan yang harus dilakukan dengan

membuat pernyataan di depan pengadilan, dikehendaki oleh pemerintah Indonesia

karena berkaitan dengan ketidak percayaan pemerintah kepada kelompok

minoritas Tionghoa yang tidak hanya secara ekonomi kuat, melainkan juga tak

dapat berasimilasi. Di samping sistem aktif ini untuk menunjukkan kesetiaan dan

kesungguhan mereka kepada pemerintah juga dimaksudkan untuk membatasi

kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia (Suryadinata, 1984: 118).

Page 19: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

80

Menanggapi keinginan pemerintah Indonesia yang menghendaki

digunakannya sistem aktif, akhirnya pemerintah Cina menyetujui hampir semua

usul pemerintah Indonesia. Menurut pemerintah RRC pada dasarnya sistem pasif

yang telah dilaksanakan selama ini sebenarnya juga akan memberikan hasil yang

kurang lebih sama dengan sistem aktif. Kesediaan pemerintah Cina untuk

menggunakan sistem aktif tidak lepas dari masalah-masalah etnis Tionghoa di luar

negeri yang sejak pemerintahan Cina terdahulu tidak pernah diselesaikan secara

tuntas. Maka perjanjian dengan pemerintah Indonesia ini merupakan salah satu

kesempatan bagi pemerintah RRC untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan

cepat.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum di atas dimuat dalam Undang-undang

No. 2 Tahun 1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP No.20 Tahun 1959 jo

PP No. 5 Tahun 1961) (Paulus, 1983: 299). Undang-undang dwi kewarganegaraan

mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di

Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau di konsulat-

konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa di luar negeri. Setiap orang yang

mempunyai kewarganegaraan ganda harus menolak kewarganegaraan Cina dalam

periode antara 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962. Di luar periode itu

dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia (Siong,

1958:170).

Usaha-usaha dari RI dan RRC dalam mewujudkan perjanjian ini yaitu

pertukaran nota Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Perdana Menteri kedua

negara pada tanggal 3 Juni 1955 di Peking. Nota tersebut mengatur tentang

Page 20: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

81

kewarganegaraan rangkap yang harus dipilih salah satu. Dalam pidatonya Menlu

RRC Tjen Ji mengatakan bahwa upacara penandatanganan mengenai pertukaran

piagam ratifikasi perjanjian Cina-Indonesia telah disahkan oleh kedua pihak

menurut prosedur Undang-Undang Dasar masing-masing. Hal ini dilakukan

mengingat perantau Tionghoa mempunyai dwi kewarganegaraan adalah tidak

wajar. Status tersebut bukan hanya merugikan perantau Cina tetapi ada

kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi

persahabatan kedua negara untuk mengadu domba. Oleh karena itu pemerintah

Tiongkok senantiasa bersikap aktif dan secara sungguh-sungguh berusaha untuk

bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut (Warta Bandung, 1959: II).

Untuk melaksanakan perjanjian tersebut pemerintah Indonesia membentuk

suatu panitia yang dilantik pada tanggal 25 Januari 1960 oleh Menteri Luar Negeri

Subandrio. Panitia ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah dwi

kewarganegaraan dengan bijaksana agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan

dengan lancar.

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut diratifikasi dalam undang-

undang No. 2 Tahun 1958 dan disahkan di Jakarta pada 11 Januari 1958. Undang-

undang No. 2 Tahun 1958 ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah dwi-

kewarganegaraan yang ada pada waktu itu dan mencegah timbulnya dwi-

kewarganegaraan di kemudian hari. Masalah dwi-kewarganegaraan diselesaikan

dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki

seseorang. Pada hakikatnya dalam perjanjian tersebut diatur dan ditentukan siapa

saja orang Tionghoa di Indonesia yang diakui berstatus WNI dan siapa saja yang

Page 21: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

82

berstatus warga negara RRC. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal

berikut ini :

1. Suatu golongan yang mempunyai dwi kewarganegaraan dianggap tidak

mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat

Pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan

bahwa mereka dengan sendirinya telah melepaskan kewarganegaraan

RRC- nya.

2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a, harus

memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang

akan mereka pertahankan. Dengan ketentuan bahwa mereka yang tidak

menyatakan pilihannya menjadi warga negara asing. Suami/ istri yang

berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya masing-masing.

Dan selama anak belum dewasa, mengikuti pilihan bapak/ ibunya. Dan

jika telah dewasa anak tersebut harus memilih salah satu

kewarganegaraan.

Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang

warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masing-

masing tetap memiliki kewarganegaraan asal, kecuali apabila salah satu dari

mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan

dari partnernya. Apabila ia memperoleh kewarganegaraan partnernya, dengan

sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan asalnya. Dari sudut ketentuan

Indonesia, ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum

yang diatur dalam Undang-Undang No. 68 Tahun 1958.

Page 22: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

83

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 merupakan peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958. peraturan tersebut antara lain

menjelaskan bahwa mereka yang melepas kewarganegaraan RRC, harus membuat

pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka yang menyatakan

penolakan secara tertulis akan diberi ”surat pernyataan melepaskan

kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara RI”. Sedangkan mereka

yang membuat pernyataan lisan akan diberi ”Surat catatan pernyataan keterangan

melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara Indonesia”.

Selanjutnya diatur siapa saja orang Tionghoa yang terkena dan dianggap

mempunyai dwi kewarganegaraan dan mereka diharuskan membuat pernyataan

melepaskan diri dari warga negara RRC.

Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959

disebutkan bahwa ada berbagai kelompok Warga Negara Indonesia yang

dikelompokkan sebagai Warga Negara Indonesia tunggal atau mereka yang tidak

diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRC dan tetap menjadi

Warga Negara Indonesia, yaitu mereka yang berstatus tentara, veteran, pegawai

pemerintah, mereka yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia

Internasional, petani, bahkan secara implisit mereka yang sudah mengikuti Pemilu

1955. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan sehingga pemilihan

kewarganegaraan RI atau RRC tetap diterapkan kepada mereka.

Bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda disediakan sejumlah

formulir pernyataan. Terdapat enam jenis formulir bagi orang-orang Tionghoa

yang dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan. Lima dari enam jenis formulir

Page 23: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

84

tersebut dituangkan padaa PP No. 20 Tahun 1959 (formulir I-V), sedangkan satu

jenis formulir lainnya (formulir VI) adalah perwujudan dari PP No. 5 Tahun 1961.

Masing-masing formulir tersebut yang menunjukkan latar belakang pemohon dan

merupakan indikator penting untuk menelusuri keabsahan keterangan

kewarganegaraan RI, khususnya dalam rangka menentukan status

kewarganegaraan para keturunan mereka di kemudian hari (Poerwanto, 2005:

241). Surat pernyataan keterangan ini merupakan surat bukti langsung tentang

kewarganegaraan Republik Indonesia bagi orang yang menyatakan keterangan

tersebut dan bagi anak-anak yang belum dewasa yang disebut di dalam surat itu

selama anak-anak tersebut belum dewasa. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-

RRC yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 pada tanggal

11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 1959 dengan masa opsi mulai tanggal 20 Januari 1960 sampai 20 Januari

1962 telah menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan RI-RRC.

Pada tanggal 10 April 1969, Undang-Undang No.2 Tahun 1958 dicabut

dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1969. Pencabutan ini dilakukan karena

menurut Titi Sumbung (Suryadinata, 1984: 128-129):

”perjanjian tersebut, sebagaimana diuraikan oleh seorang pengacara peranakan, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir 1961”.

Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang memiliki status warga negara

Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 tetap menjadi warga

negara Indonesia. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang

mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk

Page 24: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

85

kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 mengenai kewarganegaraan Republik

Indonesia.

Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969,

Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Edaran No. DTB/16/4 tentang

Penyelesaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 yang menentukan bahwa

semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tidak dapat

dipergunakan lagi mulai tanggal 10 April 1969. Surat Edaran tersebut kemudian

diikuti oleh Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11, tanggal 1 Juli 1969,

yang ditujukan kepada semua ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat

Edaran ini memberikan pedoman kerja, salah satunya adalah Pengadilan Negeri

dapat mengeluarkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia

(SKKRI) bagi orang-orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik

Indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, dan Pasal 13 Undang no. 62 Tahun

1958.

Dengan demikian, setelah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut

dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI

Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah

tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak

diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan

Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan

kewarganegaraan dengan SBKRI.

Page 25: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

86

IV.3. Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai perjanjian antara pemerintah RI

dan RRC mengenai masalah dwi kewarganegaraan, dan perjanjian tersebut telah

diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958 (Lembaran Negara No.5 Tahun 1958).

Dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut dalam waktu dua tahun, secara

yuridis formal orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang memilih dan

menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan perjanjian tersebut. Tetapi

kenyataan menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak menyelesaikan persoalan

dwi kewarganegaraan, karena pada saat itu masih terdapat kekaburan

kewarganegaraan diantara orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Sebagaimana Titi Sumbung mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi

tentang pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (Sinar Harapan, 26 dan 28

Februari 1969) yaitu :

1. Sebagian besar dari mereka telah memilih kewarganegaraan RI dan melepaskan kewarganegaraan RRT.

2. Banyak diantara mereka juga dengan perjanjian ini seruan RRT atau tidak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perjanjian tersebut. Sehingga secara yuridis formal mereka warga neagra RRT. Tetapi secara sosial-psikologis mereka acuh tak acuh dengan kewarganegaraan RRT-nya sebab mereka merasa tidak ada pilihan lain dengan tidak diakuinya Republik Cina Taiwan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Orang yang berstatus demikian ini lebih banyak lagi jumlahnya sekarang. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik RI-RRT dan dibukanya hubungan Indonesia-Taiwan, meskipun secara tidak resmi, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memilih berdasarkan perjanjian tersebut, atas permintaan sendiri minta “pasport Stateless” dan menjadi tanpa kewarganegaraan.

3. Kepada anak-anak yang belum dewasa, setelah mereka dewasa 18 tahun diharuskan memilih kewarganegaraan meskipun orang tuanya berdasarkan perjanjian ini sudah menjadi orang Indonesia. Keadaan juga demikian ini akan berlaku terus, juga kepada anak-anak yang dilahirkan setelah perjanjian tersebut selesai dilaksanakan (1961) karena dalam pasal XIV dari perjanjian tersebut ditetapkan bahwa perjanjian ini

Page 26: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

87

berlaku untuk 20 tahun dan sesudah 20 tahun akan terus berlaku, kecuali salah satu pihak hendak memutuskannya.

Dengan demikian terus menerus status kewarganegaraan anak-anak

keturunan Tionghoa masih belum jelas, yaitu masih berstatus sementara, begitu ia

sudah berumur 18 tahun, dalam waktu satu tahun ia harus memilih warga negara

RI ataukah RRC, jika ia memilih kewarganegaraan RI maka ia harus menyatakan

melepaskan kewarganegaraan RRC, demikian juga sebaliknya. Dengan

dibekukannya hubungan diplomatik antara RI-RRC, pernyataan melepaskan

kewarganegaraan RRC sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka

yang mau memilih kewarganegaraan RRC, praktis sudah tidak ada yang

menampung lagi dengan kenyataan-kenyataan tersebut sudah jelas bahwa

perjanjian tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan, yang ada justru

merugikan kepentingan-kepentingan nasional bangsa Indonesia (Sinar Harapan,

28 Februari 1969).

Selain berdampak kepada kepentingan nasional bangsa Indonesia,

terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1955, tentunya

menimbulkan dampak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Baik dampak

dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya.

1. Dampak dalam Bidang Politik

Orang-orang Tionghoa dalam perkembangan politik di Indonesia, bersikap

dan bertindak dengan dasar politik “menumpangkan nasib”. Bagi mereka siapa

saja yang memegang pemerintahan Indonesia, tidak menjadi soal bagi mereka.

Dengan politik demikian mereka berhasil menyelamatkan kedudukannya. Pada

waktu kemerdekaan ada sepenuhnya ditangan bangsa Indonesia, mereka merasa

Page 27: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

88

khawatir, cemas oleh karena merasa kehilangan perlindungan dari Belanda. Itulah

sebabnya mereka berusaha untuk mencari perlindungan kepada pemerintah di

negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 110).

Pada periode banyak partai, muncul sebuah partai orang-orang Tionghoa

yang berorientasi pada konsep integrasi, yaitu Partai Demokrat Tionghoa

Indonesia (PDTI). Akan tetapi umur partai tersebut tidak lama karena tak dapat

bertahan mengahadapi tumbuhnya kecenderungan untuk berbaur di kalangan

peranakan, sikapnya yang apatis terhadap masalah politik dan sosial, serta

ketidakacuhan golongan totok, para penganut konsep pembauran mendorong

Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa untuk bergabung dengan

berbagai partai yang di dominasi pribumi dan tidak menjadi elite yang secara

rasial, ekonomi, dan kultural berbeda.

Pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) terdapat beberapa orang

Tionghoa yang menjadi anggota parlementer dan menteri, delapan orang etnis

Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan

Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus

1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bula

Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali

Sastroamidjojo I Dr. Ong Eng Die ditunjuk menjadi menteri keuangan dan Lie

Kiat Teng menjadi menteri kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun

1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan

Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Khatolik), Lie Po Joe

(PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di

Page 28: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

89

Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat,

Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen seng, Oei Poo Djiang semuanya

dari Baperki, Tony Wen dari PNI Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.

Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk

menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam

kabinet kerja ke IV, Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat

menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng

diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora

yangdisempurnakan.

(http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

Namun, kondisi menjadi berubah dengan adanya gejala-gejala disintegrasi

dalam bidang politik, sosial dan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun 1950-

an, kemenangan-kemenangan di parlemen, kemajuan ekonomi pada umumnya,

dan perpecahan yang semakin besar di antara orang-orang totok yang tidak mau

berpartisipasi, golongan peranakan integrasionis, dan saingannya yakni golongan

asimilasionis, bahkan ancaman hebat yang ada terhadap kehadiran orang

Tionghoa di Indonesia. Seperti pengusiran orang Tionghoa dari daerah

pedalaman, serta masalah-masalah lainnya yang membuat kehidupan orang

Tionghoa di Indonesia tidak menentu.

Sebagai akibat dari keadaan tidak menentu tersebut, lahirlah Baperki

(Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dibentuk pada tahun

1954 atas inisiatif Siauw Giok Tjhan. Organisasi tersebut terbuka untuk semua

orang Indonesia, tanpa memandang ras, dan tujuannnya yaitu untuk memilih dan

Page 29: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

90

mendukung calon-calon dalam partai-partai politik yang nonetnis dan non

religius, serta untuk memperjuangkan perlakuan yang sama terhadap semua WNI

(Greif, 1991: 14).

Di masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin perlu dicatat

peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam

memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap

bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang

ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan

sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang

membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa WNI yang harus

meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan

yang berlaku.

Pada hakikatnya Baperki itu bersifat Cina dan peranakan, untuk

menggantikan PDTI yang tidak bertahan lama. Pada awalnya Baperki tidak

menganut sesuatu ideologi dan pada dasarnya integrasionis, yakni menginginkan

agar golongan Tionghoa menjadi sebuah suku bangsa di samping suku-suku

bangsa Indonesia lainnnya yang sudah ada.

Dalam menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa, Baperki di bawah

pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, mengembangkan

doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun

sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan

kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan

mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam tubuh bangsa Indonesia.

Page 30: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

91

Secara sederhana integrasi adalah suatu proses percampuran etnis Tionghoa ke

dalam bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan budaya asalnya. Dalam pengertian

yang lebih spesifik, integrasi ini lebih tepat sebagai “penggabungan” etnis

Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, sebagai “suku baru” lengkap dengan

budayannya.

Nation yang bersih dari diskriminasi hanya dapat terwujud di dalam

masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau

golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya. Doktrin

integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa

Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam

semboyan Bhineka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia

terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras dan agama beserta budayanya masing-

masing.

Pada awalnya Baperki menguntungkan, namun selanjutnya Baperki larut

ke dalam kemelut politik Indonesia. Dalam perkembangannya, Baperki ternyata

harus menghadapi situasi tarik menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan

kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak memiliki

pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan

gencar melaksanakan konsep Manipol-Usdek dan persatuan Nasakom. Karena

mendukung politik Presiden Soekarno, tentunya Baperki berada dalam satu

barisan bersama seluruh kekuatan revolusi pada masa itu, seperti PNI, PKI,

Partindo, Partai Khatolik, NU, PSII dsb. Dalam rangka perjuangan mewujudkan

masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia.

Page 31: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

92

Kondisi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, PNI, Partindo serta

kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno lainnya. Terutama dengan PKI yang

selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial,

baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat,

atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang peristiwa

rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal tersebut

menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan

Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, selanjutnya

turut bergabung di dalamnya.

Masalah kewarganegaraan bukan semata-mata masalah hukum, melainkan

mencakup soal yang lebih kompleks, seperti loyalitas dan arti memiliki negara.

Oleh karena itu dengan didirikannya organisasi di kalangan orang Tionghoa yakni

Baperki,diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut. Awalnya organisasi ini

tujuan utamanya adalah membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan.

Akan tetapi organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik.

Baperki ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Setelah Pemilihan Umum

tahun 1955 dan krisis tahun 1957-1959, di bawah ketuanya Siauw Giok Tjhan

yang pro komunis, organisasi tersebut beralih ke kiri. Hal tersebut menyebabkan

reputasi Baperki menurun di mata publik. Setelah PKI mengejutkan dengan

meraih sukses dalam pemilu tahun 1955 dan sikap simpatinya terhadap orang-

orang keturunan Tionghoa yang dinyatakan secara terang-terangan., membuat

aktivitas Baperki menjadi sejajar dengan aktivitas PKI, sebagai akibatnya

Page 32: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

93

sentimen kaum pribumi yang anti komunis dan anti Cina makin besar. Mulai saat

itu komunisme diasosiasikan dengan Cina.

Meskipun Baperki berhasil melindungi kepentingan bisnis orang

Tionghoa, namun banyak kaum peranakan yang merasa kecewa pada Baperki

yang berpindah haluan ke kiri dan mengeluarkan pernyataan yang kurang baik

bahwa pembauran itu salah dan orang Tionghoa harus hanya berkeinginan untuk

menjadi salah satu suku bangsa Indonesia. Karena itu Baperki dituduh berusaha

untuk melestarikan sikap ekslusif orang Tionghoa.

Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan

berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin

integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24

Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas

berpendirian bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan

asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. Para penanda tangan

statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa

orang di antaranya ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada

tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr. Tjung Tin Jan, Injo

Beng Goat, Drs. Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs. Lauwchuantho (H.Junus

Jahya) dan Mr. Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Selanjutnya pada tanggal 13-15

Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran

Nasional yang menghasilkan “Piagam Asimilasi”. Di antara 30 penanda tangan

piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan.

(http://www.munindo.brd.de/artikel_04/mrt04_peranan_tionghoa_1html).

Page 33: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

94

Dalam rangka melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta

mengahambat pengaruh Baperki, maka pada tahun 1963 dibentuk sebuah

organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan

ketuanya Ong Tjong Hai SH alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan

Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat

dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof.

Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs. Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry

Tjan, Djoko Sukarjo, dllnya. Para pemimpin organisasi tersebut terdiri dari orang-

orang muda yang terpelajar dan bersikap agresif dalam mengejar tujuan

pembaurannya banyak dari mereka yang telah mengganti namanya dengan nama

Indonesia dan menganjurkan agar semua orang Tionghoa melakukannya. Bagi

organisasi tersebut hanya ada dua kategori orang Indonesia yaitu WNI dan WNA,

tanpa adanya perbedaan ras. LPKB dan kaum penganut pembauran muncul pada

saat yang tepat, yaitu ketika kaum totok telah berkurang jumlahnya dengan

terusirnya 100 ribu orang Tionghoa pada tahun 1959. Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan dengan RRC telah meningkatkan jumlah orang Tionghoa WNI

yang memutuskan semua hubungan dengan Cina.

Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang

kehidupan dengan menitikberatkan pada asimilasi sosial. Asimilasi dilaksanakan

dalam lima bidang kehidupan yakni, asimilasi politik, asimilasi ekonomi,

asimilasi kultural, dan asimilasi sosial. Semuanya harus dilaksanakan dengan

seimbang dan sebaik-baiknya.

Page 34: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

95

Setelah meletusnya peristiwa G 30 S tahun 1965, maka PKI dan Baperki

dibubarkan, dan LPKB muncul untuk membuktikan bahwa tidak semua orang

Tionghoa pro komunis. Memang ada perasaan anti Cina pada tahun 1965-1967

dan beberapa tindak kekerasan yang ditujukan terhadap mereka, terutama di

Kalimantan pada tahun 1967, namun golongan Tionghoa berhasil menyelamatkan

diri dan mendapat kesempatan dan arahan baru di bawah pemerintahan baru

Jenderal Soeharto. Berbagai langkah dijalankan untuk membaurkan semua

golongan Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah berbahasa Cina ditutup,

termasuk sekolah-sekolah Baperki, dan diubah menjadi sekolah-sekolah negeri.

Semua surat kabar dan majalah Cina dilarang, kecuali satu koran yang bernama

Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian pemerintah yang terbit di

Jakarta. Semua WNI keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama dan

harus konsisten dengan kebangsaan yang mereka pilih.

Suara LPKB didengar dikalangan pemerintah baru yang para

pemimpinnya menganggap betapa pentingnya proses pembauran. Dalam hal ini

LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama,

dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan

peraturan rezim Orde Baru. Adanya segi positif dari LPKB, dengan diprakarsai

Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dibentuk badan baru yang

dinamakan Badan Pembina Kesatuan Bangsa DKI yang mirip dengan LPKB.

Diantara 14 orang pengurusnya, empat diantaranya adalah orang Tionghoa yang

salah satunya bekas pemimpin LPKB. Badan ini kemudian diambil alih pula oleh

Page 35: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

96

pemerintah Orde baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi

Pembinaan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB).

Dalam pandangan LPKB, untuk menjadi orang Indonesia, orang Tionghoa

dianjurkan melebur kedalam penduduk Indonesia asli sehingga kaum minoritas

Tionghoa tidak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri. Paham asimilasi ini

kemudian diambil alih oleh pemerintah Orde Baru untuk kepentingan politiknya,

dan telah menyimpang dari tujuan semula. Salah satunya adalah anjuran untuk

berganti nama yang cenderung dipaksakan. Para pencetus paham asimilasi

kemudian satu persatu mengundurkan diri dari LPKB, dan akhirnya LPKB

dibubarkan pemerintah.

Dengan munculnya dua kelompok atau paham besar pembauran yaitu

kelompok integrasi yang bernama Baperki dan kelompok asimilasi yang bernama

LPKB. Sejak terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka peran Baperki

sebagai kelompok atau paham besar pembauran berusaha untuk mewujudkan

integrasi serta menghilangkan diskriminasi di kalangan WNI keturunan Tionghoa.

Namun demikian organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik.

Sehingga tujuan utamanya yaitu membantu pemecahan masalah dwi

kewarganegaraan menjadi terabaikan. Akan tetapi bila dilihat dari sisi lain, orang-

orang Tionghoa WNI telah mampu turut serta secara efektif di dalam kelompok-

kelompok politik yang anggota-anggotanya sebagian besar terdiri dari WNI asli.

Pada pemilihan umum tahun 1955 dan 1957, calon-calon dari golongan Tionghoa

WNI telah diajukan oleh beberapa partai politik. Terutama di dalam dua partai

Kristen dan dalam PKI. Dari hal tersebut nampak adanya suatu kerjasama antara

Page 36: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

97

Tionghoa WNI dengan WNI asli, maka arah untuk menuju pada asimilasi dalam

bidang politik mulai terbuka.

2. Dampak dalam Bidang Ekonomi

Di tengah-tengah proses pematangan penyelesaian masalah dwi

kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC, meletuslah kerusuhan sosial.

Kerusuhan tersebut muncul setelah diterbitkannya Penetapan Presiden No.10

Tahun 1959 tertanggal 16 November 1959 mengenai larangan bagi usaha

perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar Ibu Kota Daerah

Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan (Poerwanto, 2005: 248). Penetapan

presiden tersebut bertujuan mempercepat perkembangan para pedagang kecil

nasional. Namun setelah peraturan tersebut diterbitkan, terjadilah pengusiran

terhadap orang asing yang bertempat tinggal di pedesaan. Benny G. Setiono

(2002:710) mengungkapkan bahwa:

“salah satu kebijakan pemerintah yang bersifat rasialis pada masa Demokrasi Terpimpin terhadap keberadaan etnis Tionghoa, baik totok maupun peranakan di Indonesia ialah keluarnya peraturan PP No. 10/1959 yang dikeluarkan pada tahun 1959. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) unuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960”.

Sebagian besar orang asing yang bertempat tinggal di luar daerah tingkat I dan II

adalah orang Tionghoa, maka merekalah yang terkena langsung penetapan

presiden tersebut.

Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa

harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Peraturan yang sebenarnya

hanya melarang berdagang eceran tetapi dalam pelaksanaannya juga melarang

Page 37: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

98

bertempat tinggal (Setiono, 2002: 711). Telah lama diketahui bahwa potensi orang

Tionghoa menonjol di sektor perekonomian maka penetapan presiden itu juga

berdampak menimbulkan rasa kurang puas kaum pribumi terhadap peran mereka.

Menurut Sa’dun (1999: 35-36) faktor yang menunjukkan sukses golongan etnis

Tionghoa dalam kegiatan bisnis dan perekonomian, yaitu:

1. Faktor kebijakan pemerintah sendiri yaitu yang pada dasarnya membatasi kegiatan mereka di bidang-bidang yang berada di luar jalur ekonomi dan bisnis. Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa sukar bagi seorang yang punya latar belakang etnik Cina untuk menjadi pegawai negeri (kecuali pengajar universitas), ABRI (kecuali untuk bidang-bidang tertentu yang memerlukan keahlian khusus) atau jabatan-jabatan strategis lainnya. Oleh karena berbisnis atau menjadi profesional merupakan bidang yang terbuka luas untuk golongan ini, maka mereka melakukannya dengan tekun dan serius yang pada akhirnya dapat mencapai kesuksesan.

2. Ada juga pengaruh budaya kapitalis yang memang sudah mendarah daging dalam tubuh mereka dan itulah yang menjadi pendorong mereka untuk bekerja keras dan mencapai sukses. Ada ahli yang berteori bahwa Konfusianisme sebagai kunci keberhasilan golongan etnik Cina dalam bidang perdagangan. Tapi teori tersebut masih merupakan asumsi saja karena pada dasarnya ajaran Konghucu sendiri tidak memandang kegiatan jual beli sebagai aktivitas terhormat. Faktor positif ajaran Konfusius yang selalu diajukan sebagai argumentasi penyebab sukses orang Cina dalam perdagangan adalah patuh pada penguasa, menghormati orang tua, kerja keras dan lain-lain yang sebenarnya juga hadir dalam kebudayaan Asia non-Cina.

3. Penjelasan lain adalah yang melihat fenomena keberhasilan golongan etnik Cina dari kacamata antropologi/sosiologi. Itu ditandai dengan dimilikinya sifat fleksibel, ulet dan tidak segan bekerja keras, “tahan banting”, dan punya rasa solidaritas tinggi. Di samping itu pula adanya budaya nepotis yang membekali sebagian besar masyarakat etnis Cina, telah menjadikan kalangan ini menjadi cenderung eksklusif. Dari keadaan ini pula akhirnya tercipta suatu jaringan bisnis di kalangan mereka yang tidak dimiliki oleh etnik lain yang non-Cina.

4. Posisi sebagai golongan minoritas menyebabkan mereka cenderung dekat dengan kekuasaan karena mereka memerlukan perlindungan, kepastian hukum, dan kesinambungan kebijakan. Kedekatan ini kemudian dimanfaatkan dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang akhirnya menimbulkan kecemburuan pada golongan pri, akibat dari kecenderungan ini menyebabkan mereka selalu menjadi pelimpahan

Page 38: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

99

kemarahan golongan pri pada saat ketakpuasan terhadap pemerintah timbul dalam masyarakat.

5. Kebijakan pemerintah juga banyak memegang peranan menentukan pada keberhasilan golongan nonpri. Pada masa-masa awal Orde Baru, pemerintah memberikan fasilitas dan kemudian terhadap mereka demi membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang mandek selama periode ekonomi terpimpin. Pemerintah melihat para pelaku bisnis etnik Cina adalah golongan yang siap pakai untuk membantu kebijakan baru pemerintah pada saat itu.

Oleh karena itu rasa tidak puas tersebut lalu berkembang menjadi konflik

sosial-ekonomi, antara lain berupa pengusiran orang Tionghoa dari daerah

pedesaan. Di Kalimantan Barat, terutama di kabupaten Sambas ungkapan

ketidakpuasan itu tercermin dari “peristiwa kebakaran” di Pemangkat, ibu kota

kecamatan dan pelabuhan laut utama di Kabupaten Sambas. Sebagai pintu keluar-

masuknya barang-barang di Kabupaten Sambas, khususnya untuk Singkawang,

kota tersebut bernilai penting dalam dunia perdagangan. Di daerah tersebut

banyak toko, perusahaan dan gudang hasil bumi milik orang Tionghoa

(Poerwanto, 2005: 249). Selain itu, di kota Bandung peristiwa pengusiran

terhadap orang-orang Tionghoa yang dilarang berdagang di pedesaan, dan

kabupaten juga ikut memberikan dampak yang besar terhadap keberadaan

Tionghoa Peranakan. Wilayah-wilayah di daerah Kabupaten Bandung seperti

Lembang, Cimahi, Padalarang, Soreang, dan Majalaya turut merasakan dampak

dari PP-10, mengingat wilayah-wilayah tersebut sebagian besar merupakan

kawasan daerah industri, pada saat itu seperti tekstil dan komoditi hasil pertanian,

otomatis mengalami hambatan dalam menyalurkan pasokan barang ke Bandung

yang dikuasai oleh orang-orang Tionghoa.

Page 39: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

100

Pada periode tersebut sebagian besar orang Tionghoa belum jelas status

kewarganegaraannya, atau sedang dalam proses mendapatkan kewarganegaraan

Indonesia. Dengan demikian berkurangnya proporsi orang-orang Tionghoa

Indonesia antara tahun 1956 dan 1961 yang tinggal di Jawa, terutama

mencerminkan bahwa kenyataan orang-orang Tionghoa yang kembali ke RRC

pada tahun 1960 jauh lebih banyak dari Pulau Jawa, terutama setelah Penetapan

Presiden No.10 Tahun 1959 diberlakukan. Selanjutnya berlangsunglah gelombang

repatriasi para perantau Cina di Indonesia. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh

peraturan presiden tersebut yang diikuti kerusuhan “anti Cina”. Hingga Desember

1960, tercatat sekitar 210.000 orang Cina berkewarganegaraan RRC yang

menyatakan ingin kembali ke negeri leluhurnya (Sukisman, 1975: 69).

Gelombang repatriasi orang-orang Tionghoa pada tahun 1960 terjadi pada

saat dimulainya pelaksanaan dwi kewarganegaraan. Peristiwa tersebut digunakan

sebagai momentum, khususnya di kalangan orang Tionghoa untuk lebih

mematangkan sikap. Haruskah mereka sebaiknya pulang ke negeri leluhur atau

tetap berkewarganegaraan RRC tetapi bermukim di Indonesia, atau memilih

kewarganegaraan RI dan tinggal di Indonesia. Memilih salah satu dari ketiga

pilihan tersebut, tentunya mempunyai konsekuensi yang berbeda. Poerwanto

(2005: 252-253) mengungkapkan konsekuensi dari alternatif pilihan tersebut

antara lain sebagai berikut :

1. Mereka yang kembali ke negeri leluhurnya mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang umumnya lahir di Indonesia dan memilih repatriasi, mungkin pilihan ini sebagai kesempatan pulang dan menetap di RRC, suatu negeri yang sebelumnya hanya pernah mereka dengar melalui cerita atau mereka lihat melalui gambar. Bermukim di negeri leluhur, dianggap akan membuat kehidupan mereka lebih baik,

Page 40: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

101

lebih aman/tentram. Mereka akan terhindar dari perlakuan yang kurang enak seperti yang baru dialaminya di Indonesia. Begitulah harapan mereka akan kehidupan dan penghidupan yang lebih layak nantinya.

2. Memilih kewarganegaraan RRC seraya menolak kewarganegaraan Indonesia tetapi tetap bermukim di Indonesia, juga merupakan masalah. Lantaran status mereka adalah WNA, maka mereka tidak dapat menikmati berbagai fasilitas yang sama dengan orang Cina WNI, misalnya dalam perpajakan dan pendidikan. Mereka tetap mempertahankan kewarganegaraan RRC karena merasa aman berkat kehadiran wakil pemerintah RRC di Indonesia,yaitu Kedutaan Besar di Jakarta dan Konsulat Dagang di Pontianak. Berdirinya organisasi politik di kalangan orang Cina, yaitu Baperki dapat pula dianggap sebagai jaminan keamanan untuk tetap tinggal di Indonesia. Rasa aman tersebut juga didukung anggapan bahwa ide Perjanjian Dwi Kewarganegaraan merupakan pencerminan pemecahan persoalan secara bersama antara kedua pemerintah. Hal ini merupakan manifestasi Dasasila Bandung, yang menekankan “Hidup berdampingan secara damai yang dilandasi sikap tidak saling turut campur terhadap urusan dalam negeri masing-masing”.

3. Disisi lain, memilih kewarganegaraan Indonesia dapat pula dipandang sebagai perwujudan dari keinginan mereka untuk tetap tinggal di Indonesia. Seringkali terucap bahwa mereka lahir, mencari nafkah dan mati di bumi Indonesia. Itulah sebabnya mereka memilih status kewarganegaraan Indonesia. Bahkan ada yang berucap: “dalam mimpi pun tidak pernah melihat negeri leluhurnya”. Memilih kewarganegaraan Indonesia juga didorong berbagai motivasi,baik yang didasarkan pada latar belakang mereka maupun harapan tertentu.

Terdapat pandangan umum dikalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia

bahwa bermukim di negeri leluhur tidak sepenuhnya lebih baik. Pandangan

tersebut sering diperkuat oleh pemberitaan yang dimuat di media massa. Terdapat

indikasi bahwa mereka yang pulang ke negeri leluhur, berusaha kembali ke

Indonesia secara ilegal. Jika mereka tertangkap, maka mereka dikategorikan

sebagai imigran gelap. Pada waktu pemberangkatan pemerintah Indonesia hanya

memberikan exit permit tanpa re-entry permit. Mereka yang ingin kembali ke

Indonesia juga tidak disertai dokumen imigrasi dalam bentuk apapun dari

pemerintah RRC. Kepergian mereka dari sana juga dilakukan secara ilegal.

Page 41: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

102

Pada masa itu lebih dari 136.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia

untuk bermukim kembali di Tiongkok. Tetapi kondisi dan sistem masyarakat di

tempat baru serta kebiasaan di tempat lama Indonesia, ditambah lagi kendala

bahasa ternyata menimbulkan banyak kesengsaraan bagi orang-orang Tionghoa

yang pindah ke Tiongkok tersebut. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang nekat

pergi ke Hongkong, Macau, Singapura. Adanya berbagai cerita yang penuh

penderitaan di Tiongkok menyebabkan menurunnya minat orang Tionghoa untuk

kembali ke Tiongkok sehingga pada akhir 1960, gelombang tersebut surut sama

sekali (Setiono, 2002: 714).

Pelaksanaan PP-10 Tahun 1959, menimbulkan keretakan hubungan

diplomatik RI-RRC. RRC menuduh pemerintah Indonesia melanggar perjanjian

tentang dwi kewarganegaraan yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia

akan melindungi kepentingan warga negara Cina. Sebagai jawabannya,

pemerintah Indonesia melalui Subandrio menuduh bahwa para pedagang

Tionghoa bersalah karena melakukan tindakan kapitalistis dan monopolistis,

dibarengi dengan berbagai macam manipulasi dan spekulasi. Selain itu Indonesia

juga menuduh RRC mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (Suryadinata,

1984: 142). Pemerintah RRC kemudian menyampaikan protes-protesnya dan

menyatakan kesediannya menampung korban PP-10, dengan mengirimkan

beberapa kapalnya dan mengangkat mereka untuk ditempatkan di berbagai tempat

di Tiongkok.

Selain itu pula ternyata pelaksanaan PP-10 menimbulkan dampak yang

sangat negatif bagi perekonomian Indonesia. Daerah-daerah pedalaman yang

Page 42: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

103

ditinggalkan para pedagang Tionghoa mengalami kemunduran, berbagai barang

kebutuhan menjadi langka dan harganya sangat tinggi. Produk-produk pertanian

para petani bertumpuk dan tidak dapat dipasarkan. Ternyata jaringan distribusi

yang ditinggalkan oleh para pedagang Tionghoa tidak dapat segera digantikan.

Dan yang paling utama akibat dari pelaksanaan PP-10 berkaitan dengan masalah

dwi kewarganegaraan terhadap etnis Tionghoa adalah terjadi kesimpangsiuran

dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI, karena pada masa itu

undang-undang kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan.

3. Dampak dalam Bidang Sosial-Budaya

Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, tidak hanya berdampak

kepada kehidupan ekonomi saja, namun berdampak pula pada kehidupan sosial-

budaya masyarakat Tionghoa. Peraturan tahun 1957 membawa dampak yang

besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dengan cara yang drastis yaitu

mengurangi jumlah sekolah Cina dan mengadakan pengawasan yang sangat kuat,

pemerintah mencegah anak Tionghoa peranakan untuk di Cinakan oleh sekolah-

sekolah berbahasa Cina, serta memisahkan mereka dari Tionghoa yang totok.

Pada bulan April 1958, sebuah surat keputusan militer telah menghentikan

penerbitan surat kabar dan majalah dalam bahasa Tionghoa. Larangan itu

kemudian tidak berlaku lagi, tetapi yang terbit kembali kurang dari setengah dari

ke 34 surat kabar Tionghoa yang terbit ketika larangan itu diadakan. Kepala Staf

Angkatan Darat A.H. Nasution mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa

semua surat kabar yang terbit dengan aksara selain Latin dan Arab harus ditutup.

Larangan tersebut bertujuan membatasi penggunaan bahasa yang tidak dapat

Page 43: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

104

dipahami oleh rakyat Indonesia. Namun, peraturan tersebut mengalami

modifikasi. Sejumlah surat kabar Cina diperbolehkan terbit dengan alasan bahwa

surat kabar tersebut masih dibutuhkan untuk kepentingan informasi kepada orang

Tionghoa berkaitan dengan berbagai kebijaksanaan, peraturan pemerintah dan

lain-lain. Tetapi tidak lama kemudian surat kabar itu dilarang lagi. Selanjutnya

pada tahun 1963, surat kabar berbahasa Cina muncul lagi karena hubungan Cina

dengan Indonesia membaik, akan tetapi semuanya dimiliki warga negara

Indonesia dan ada kaitannya dengan organisasi politik yang ada.

Pada masa sebelum diberlakukannya PP-10 tahun 1959, perayaan Imlek

disertai barongsai dapat dilakukan sampai ke tempat-tempat umum. Namun ketika

pemberlakuan PP-10 1959 diberlakukan sampai Demokrasi Terpimpin berakhir,

perayaan-perayaan menyangkut hari raya etnis Tionghoa di Indonesia, arak-

arakan seperti Cap Go Me dilarang dilakukan di tempat-tempat umum dengan

alasan mengganggu ketertiban umum, praktis kegiatan-kegiatan tersebut hanya

dapat dilakukan di lingkungan internal saja, sepanjang tidak mengganggu

aktifitas-aktifitas masyarakat lainnya.

Berhubungan dengan pendidikan, pemerintah Indonesia mulai

mengadakan pengawasan ketat terhadap sekolah-sekolah yang berbahasa Cina

pada tahun 1957, bersamaan dengan timbulnya pemberontakan daerah di

Sumatera dan Sulawesi. Pada bulan Maret tahun 1957 diumumkan keadaan

darurat perang dan diberlakukan hukum darurat. Pemerintah menyatakan bahwa

sekolah-sekolah Cina harus diawasi secara ketat demi keamanan dan kepentingan

nasional. Tanggal 6 November 1957, Djuanda sebagai Menteri Pertahanan,

Page 44: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

105

mengundangkan peraturan yang menetapkan bahwa WNI dilarang masuk ke

sekolah-sekolah Cina, sedangkan guru di sekolah-sekolah berbahasa pengantar

Cina dan sekolah-sekolah itu sendiri diwajibkan minta izin dari Menteri

Pendidikan. Di Indonesia tidak boleh didirikan sekolah-sekolah baru. Semua buku

pegangan yang digunakan di sekolah berbahasa pengantar Cina harus disetujui

oleh Menteri Pendidikan. Pada 20 November oleh Menteri Pendidikan

diundangkan petunjuk pelaksanaan peraturan tersebut yang memberikan

penegasan mengenai butir-butir yang disebutkan diatas dan memberikan garis

besar mengenai bagaimana hal tersebut harus dilaksanakan.

Skala perubahan itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada bulan

November 1957 terdapat 2000 sekolah berbahasa Cina dengan 425.000 siswa di

seluruh Indonesia dari antara mereka, 250.000 adalah WNI, pada Juli 1958 hanya

tinggal 850 buah sekolah berbahasa Cina, dengan siswa berjumlah 150.000, yang

semuanya Tionghoa asing (sekolah-sekolah iu terletak di tempat-tempat yang

ditetapkan oleh Menteri Pendidikan). Bersamaan dengan itu terdapat 1.100

sekolah berbahasa Cina yang diubah menjadi sekolah Nasional Indonesia

(Suryadinata, 1984: 160).

Baperki mengambil alih pengelolaan sekolah berbahasa Cina yang

dijadikan sekolah berbahasa pengantar Indonesia. Kurikulumnya sama dengan

sekolah pemerintah, namun siswanya berasal dari etnis Tionghoa dan bahasa Cina

boleh diajarkan sebagai mata pelajaran tambahan. Pada masa itu anak-anak

Tionghoa dapat bersekolah di tiga macam sekolah berbahasa pengantar Indonesia

yaitu, sekolah negeri, sekolah yang dikelola oleh badan perkabaran Injil, dan

Page 45: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

106

sekolah Baperki. Banyaknya peranakan yang telah bersekolah di sekolah-sekolah

berbahasa Indonesia sebelum tahun 1957, ditambah dengan mereka yang terkena

peraturan tahun 1957 dan terpaksa masuk sekolah Indonesia, menurut perkiraan

lebih banyak siswa Tionghoa yang bersekolah di sekolah berbahasa pengantar

Indonesia dibandingkan dengan yang bersekolah di sekolah berbahasa Cina.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka jumlah sekolah berbahasa Cina

kemudian semakin berkurang apalagi setelah timbulnya pemberontakan daerah

(PRRI-Permesta) pada tahun 1958. Dalam hal ini Taiwan ikut terlibat , oleh

karena itu pada tanggal 16 Oktober 1958 Jenderal A.H. Nasution, mengeluarkan

peraturan yang melarang sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina yang ada

hubungannya dengan Taiwan yang tidak mempunyai hubungan diplomatik

dengan Indonesia.

Dari tahun 1958-1965 sekolah berbahasa Cina yang masih ada sebagian

besar pro-Peking. Sekolah tersebut tentunya diawasi secara ketat oleh Kementrian

Pendidikan. Selain itu, guru-gurunya harus melewati tes, bahkan tes kelancaran

berbahasa Indonesia. Kurikulumnya mengalami perubahan dengan lebih

menekankan pada mata pelajaran mengenai Indonesia. Bahasa Indonesia, Sejarah,

dan Ilmu Bumi Indonesia harus menjadi mata pelajaran wajib, baik di tingkat

sekolah dasar maupun menengah.

Bagi mereka yang merupakan lulusan sekolah menengah berbahasa Cina,

banyak yang melanjutkan ke RRC, namun banyak siswa Tionghoa perantauan

yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan situasi di RRC, sehingga banyak yang

pergi ke Hongkong dan Makao, bahkan ada pula yang kembali ke Indonesia

Page 46: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

107

secara gelap. Melihat pengalaman yang demikian banyak lulusan sekolah

menengah yang takut pergi ke RRC. Untuk itu para lulusan sekolah berbahasa

Cina sebagian melanjutkan pendidikan tingginya di Indonesia. Namun, sebagian

besar Universitas di Indonesia tertutup bagi mereka. Kecuali yang didirikan oleh

Baperki pada tahun 1960 yaitu Universitas Res Publica (Ureca), universitas

tersebut menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian besar mahasiswanya dari

etnis Tionghoa.

Adanya usaha pemerintah RI untuk menghapuskan sistem pendidikan

Cina, kemungkinan akan menghilangkan jurang pemisah antara etnis Tionghoa

dengan pribumi. Anak-anak Tionghoa Indonesia seharusnya secara merata dididik

pada sekolah-sekolah pemerintah, tanpa terkecuali, apakah mereka ini berasal dari

golongan mana. Dengan demikian dalam pergaulan kehidupannya sejak anak-

anak telah dibina senasib sepenanggungan dalam lembaga-lembaga sekolah.

Kesadaran akan bahasa Indonesia, kesadaran akan kewarganegaraan Indonesia,

serta kesadaran akan kehidupan sosial-budaya Indonesia, akan lebih meresap

sejak kecil. Pergaulan ini akan lebih luas, dalam kegiatan-kegiatan sosial-budaya

lainnya seperti organisasi pelajar, mahasiswa dan organisasi sosial-budaya lainnya

terutama yang dilakukan oleh para pemuda.

Dalam hal ini pihak pribumi harus bersikap terbuka bagi kehadiran dan

partisipasi orang Tionghoa dalam suasana tentram, sehingga memberikan

kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi dalam proses asimilasi.

Koentjaraningrat menyatakan (2003 : 160) bahwa :

“asimilasi merupakan suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah

Page 47: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

108

mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas. Sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas”.

Adanya prasangka dari pihak pribumi bahwa masuknya orang-orang

Tionghoa menjadi WNI hanya bermaksud untuk mendapat perlindungan dari

pemerintah resmi Indonesia. Sebagai akibatnya sikap hubungan dalam pergaulan

dengan penduduk pribumi kaku dan tidak harmonis. Apalagi dalam proses

asimilasi masih terdapat jurang yang lebar. Perbedaan agama, kepercayaan yang

paling utama mengahalangi proses asimilasi. Walaupun pernah ada hanyalah

dalam jumlah kecil, dengan akibat mereka diasingkan dan tidak diakui lagi dalam

keluarga. Mereka yang telah hidup lama di daerah-daerah menghasilkan suatu

sikap dari generasi mudanya yang lebih lunak terhadap kebudayaan Indonesia.

Generasi muda terutama golongan intelektual yang bersikap progresif banyak juga

yang melakukan proses asimilasi. Leo Suryadinata mengungkapkan bahwa :

“kuatnya pengaruh kebudayaan negeri leluhur dalam identitas mereka, menimbulkan masalah yang berkaitan dengan identitas nasional orang Cina sebagai bangsa Indonesia. Sekalipun sudah memiliki status WNI , berbagai simbol dari identifikasi nasional Indonesia masih sukar diserap dalam kehidupan mereka sehari-hari. Banyak diantara mereka masih bersikap mendua, karena itu sebagian besar Cina dipandang harus membuktikan loyalitas dirinya, baik secara politis maupun ekonomis terhadap negara barunya” (Poerwanto, 2005: 92). Mereka yang bertekad untuk memilih kewarganegaraan Indonesia pada

tahun 1960-1962 berkaitan dengan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, telah

menyatakan kesetiannya kepada Indonesia dan berketetapan hati bahwa anak-

anaknya akan diintegrasikan ke dalam masyarakat luas, dimana anak-anak

Page 48: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

109

Tionghoa WNI dididik di sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa

Indonesia. Selain itu sejumlah besar perkumpulan resmi yang anggota-anggotanya

terutama adalah orang peranakan, pada masa itu telah mengganti namanya dengan

nama Indonesia dan menjalankan kebijaksanaan keanggotaan terbuka.

Namun, tidak semua WNI keturunan Tionghoa berkeyakinan seperti hal

tersebut diatas. Dalam bukunya Mely G.Tan (1979:24) Willmott mengungkapkan

bahwa :

“Diantara orang-orang Tionghoa WNI yang menyadari kenyataan yang ada dan hari depannya, terdapat dua kelompok yang berpengaruh: pada satu pihak terdapat mereka yang menentang asimilasi yang dilakukan dengan kecepatan yang dipaksakan dan bertekad untuk ikut serta dalam masyarakat dan kehidupan politik Indonesia sebagai kelompok yang terpisah, sedangkan di lain pihak terdapat mereka yang berpendirian bahwa asimilasi sukarela dan segera adalah satu-satunya jalan untuk menghindari diskriminasi atau bahkan penindasan”.

Meskipun demikian, ternyata pada masa itu yang lebih cenderung berasimilasi

semakin meluas walaupun belum dominan. Hal tersebut nampak dari banyaknya

WNI keturunan Tionghoa yang terpelajar memberikan nama Indonesia kepada

anak-anak mereka yang baru dilahirkan.

IV.4. Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada tanggal 10 April 1969, Undang-undang No.2 tahun 1958 dicabut

dengan Undang-undang No.4 Tahun 1969, maka dibatalkanlah Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan antara pemerintah RI dan RRC. Hal ini disebabkan karena

hubungan antara Cina dan Indonesia memburuk setelah peristiwa G 30 S 1965

yang berakibat dihancurkannya PKI dan lengsernya Soekarno sebagai presiden.

Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang mempunyai status warga negara

Page 49: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

110

Indonesia berdasarkan UU No.2 Tahun 1958 tetap menjadi WNI. Demikian juga

dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya.

Untuk selanjutnya mereka tunduk kepada UU No.62 Tahun 1958 tentang

kewarganegaraan RI.

Sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengacara peranakan, Perjanjian

Dwi Kewarganegaraan tidak dapat berfungsi lagi, karena sebagian besar orang

yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir

1961. Akan tetapi, perjanjian tersebut tetap mensyaratkan bahwa anak-anak warga

negara Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir sebelum 20 Januari 1962 harus

menentukan pilihan apakah ingin menjadi warga negara Cina atau Indonesia.

Tentu saja kondisi demikian akan menimbulkan status kewarganegaraan yang

kabur diantara anak-anak keturunan Tionghoa, karena mereka yang ingin memilih

kewarganegaraan Indonesia oleh hukum masih diminta membuat pernyataan

pelepasan kewarganegaraan Cina. Persyaratan yang demikian itu juga diterapkan

pada mereka yang ingin menjadi warga negara Cina. Namun pernyataan pelepasan

kewarganegaraan Cina tidak berarti lagi setelah pembekuan hubungan Indonesia-

Cina pada Oktober 1957 dan permohonan menjadi warga negara Cina menjadi

tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada badan yang mengurus hal tersebut.

Oleh karena itu pemberlakuan perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan lagi

dilihat dari segi kepentingan nasional Indonesia.

Faktor politis menjadi suatu hal yang penting bagi pemerintah Indonesia

sehingga tidak memberlakukan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Perjanjian

tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya memilih

Page 50: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

111

kewarganegaraan Cina, untuk menjadi WNI selama waktu kesempatan pemilihan

tanpa penyaringan oleh pejabat Indonesia. Pemerintah Soeharto ingin

menghentikan praktek tersebut karena curiga akan orientasi politik orang

Tionghoa.

Akibat dari pembatalan perjanjian tersebut yaitu, anak-anak Tionghoa

asing hanya dapat menjadi WNI melalui naturalisasi menurut UU

kewarganegaraan tahun 1958. Itu berarti bahwa pemerintah Soeharto akan dapat

menyaring Tionghoa asing yang ingin menjadi WNI. Mengenai orang Tionghoa

yang telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia melalui Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan, status mereka tetap tidak berubah dan anak-anak mereka

dianggap WNI. Undang-undang kewarganegaraan 1958 menentukan persyaratan

bagi orang asing yang mengajukan permohonan mendapatkan kewarganegaraan

Indonesia melalui naturalisasi, yaitu harus ada pernyataan penanggalan

kewarganegaraannya dari kewarganegaraan negara asalnya. Namun mengingat

hubungan yang memburuk antara Indonesia dan RRC, maka tidak mungkin

seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan resmi dari RRC. Pejabat

Indonesia untuk itu menggunakan penafsiran bebas terhadap ketentuan tersebut,

dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan yang dikeluarkan

oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya pernyataan mengenai keinginan

untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah cukup.

Selain itu, tidak berlakunya lagi Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

mengakibatkan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi

memperoleh kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Sejak saat itu

Page 51: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

112

kewarganegaraan untuk semua WNA dilakukan dengan naturalisasi. Pada

mulanya sebelum tahun 1969 untuk memperoleh naturalisasi hampir tidak pernah

diproses, tapi kemudian dipermudah di masa Orde Baru. Meskipun demikian,

prosedurnya sangat rumit dan biayanya sangat mahal. Sebuah laporan dalam

Tempo (17 Agustus 1974: 48) mengungapkan bahwa :

“Orang memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 Rupiah (kira-kira US$ 75-250)”.

Sejumlah orang mengatakan bahwa biaya tersebut sekitar 500.000 dan 1 juta

Rupiah. Walaupun biaya yang dikeluarkan sangat tinggi, tetap saja banyak yang

mengajukan naturalisasi.

Lie Tek Tjeng mengungkapkan (Suryadinata, 1984: 130) bahwa :

“antara 75 dan 90 % dari Tionghoa yang “tidak berkewarganegaraan” tentu akan minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya pemrosesan diturunkan ”.

Tetapi pemerintahan Soeharto justru memperkeras pengawasan atas permohonan

tersebut. Pada bulan Juni 1973 pemerintah membentuk Badan Penyelidik

Kewarganegaraan untuk melakukan penyaringan mengenai latar belakang dari

setiap pemohon. Untuk itu setiap permohonan harus disetujui oleh Kejaksaan

Agung di Jakarta, kejaksaan setempat hanya bertindak sebagai badan koordinator.

Perubahan kebijaksanaan tersebut didasarkan atas jalan pikiran pemerintah yang

mengkhawatirkan percobaan subversif yang dilakukan oleh etnis Tionghoa

melalui cara menjadi WNI. Dalam hal ini Bakin (Badan Koordinasi Intelijens

Negara) turut terlibat melaksanakan penyaringan permohonan tersebut, jadi

sebelum lolos dari badan tersebut permohonan belum dapat diproses.

Page 52: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

113

Status sebagai WNA merupakan rintangan yang sangat besar bagi

kebanyakan orang. Nampaknya pemerintah Orde baru sangat berhati-hati

sehingga memperlambat proses naturalisasi. Tujuannya yaitu untuk memajukan

hubungan antar ras yang lebih baik melalui perubahan yang tidak mengandung

resiko. Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah

mengumumkan bahwa terdapat seribu orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk

ke Jakarta dari Hongkong. Sebagian besar mereka adalah bekas mahasiswa yang

pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hongkong karena

kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Pada pertengahan

1975 pemerintah mengumumkan bahwa kira-kira seribu imigran Tionghoa yang

ilegal telah ditangkap, dan masih banyak lagi yang belum terjaring. Dengan

melihat kondisi yang demikian, maka pejabat setempat di Jakarta dan Jawa Barat

menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing harus

mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk yang

baru (Sinar Harapan, 9 Desember 1975). Kira-kira pada waktu yang sama

dilaporkan bahwa di Pontianak (Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang

setelah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal

karena mereka tidak memenuhi persyaratan hukum (Sinar Harapan, 18 Desember

1975).

Pemerintah Indonesia masih ragu untuk menetapkan orang Tionghoa asing

sebagai WNI, karena pemerintah khawatir tidak bisa mengawasi dan menyerap

mereka. Di pihak lain status quo dipertahankan, Peking diwajibkan melindungi

orang-orang Tionghoa asing. Kebimbangan pemerintah akan status Tionghoa

Page 53: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

114

asing ini dikembalikan pada persepsi masyarakat Indonesia terhadap kaum

minoritas tersebut.

1. Dampak dalam Bidang Politik

Karakteristik dalam bidang politik dapat dikatakan bahwa orang-orang

Tionghoa kurang sekali perhatiannya. Mereka bersikap hanya ke arah politik

ekonomi yang menjadi pokok utama dalam usahanya. Sejarah perkembangan

politik Indonesia memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa pada masa

perjuangan, bagi siapa saja yang berkuasa di Indonesia, mereka akan

mengakuinya asalkan mereka tidak dirugikan dalam usahanya. Dengan kata lain

siapa yang dapat menjamin keselamatan dan keuntungan usahanya, mereka akan

membantu sepenuhnya kepada tuan pelindungnya. Oleh karena itu dalam revolusi

fisik, mereka yang berada di kekuasaan RI sekuat tenaga membantu RI. Demikian

juga mereka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda akan membantu Belanda

sepenuhnya.

Setelah kemerdekaan RI tercapai, mereka mengakui kedaulatan RI, akan

tetapi banyak diantara mereka cenderung meminta perlindungan dari negeri

leluhur mereka. Usaha ini terbukti dengan banyaknya terlibat pada waktu

pemberontakan PKI (G.30.S 1965). Kenyataan bahwa etnis Tionghoa sampai

sekarang masih tetap memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi

Indonesia. Keberhasilan dalam ekonomi dan putusnya hubungan RI dan RRC,

mengakibatkan banyak orang Tionghoa perantauan di Indonesia cenderung

berorientasi kepada kehidupan politik “negara Cina yang ketiga” (Singapura dan

Hongkong), yang bersifat liberal demokratis.

Page 54: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

115

Kehidupan liberal dan kesuksesan dalam ekonomi dan tradisi kehidupan

barat, menyebabkan kecenderungan untuk tetap mempertahankan pola kehidupan

politik yang apatis dan eksklusif. Sifat ini dipertahankannya hanya untuk

kepentingan golongan mereka sendiri. Inilah sebabnya mereka berkarakter politik

yang bersifat rasial “racial and cultural nationalist” dan bukan politik yang bersifat

“political nationalist” sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya

(Hidayat, 1993: 115). Walaupun demikian terdapat segolongan masyarakat

Tionghoa yang lebih cenderung pada pengakuan politik nasional Indonesia, akan

tetapi dalam kehidupan politik ini tidak sepenuhnya yakni tidak cukup aktif dan

kritis. Golongan ini hanya menerima segala ketentuan pola kehidupan pemerintah

secara pasif. Perubahan sikap kehidupan politik ini hanya sebagai salah satu cara

menitipkan diri dan bukan didasarkan atas kesadaran sebagaimana mestinya

sebagai warga negara Indonesia yang ideal.

Dilihat dari sikap orientasi politik masyarakat Tionghoa Indonesia dapat

digolongkan dalam tiga kategori (Hidayat, 1993: 115), yaitu :

1. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah Republik Indonesia.

2. Golongan politik yang berorientasi kepada pemerintah negara leluhurnya RRC.

3. Golongan yang orientasi politiknya tidak jelas (tidak ke Indonesia maupun RRC), akan tetapi lebih mengarah dan menginduk kepada Singapura dan Hongkong golongan ini biasanya dikenal dengan “stateless”.

Di mata sebagian besar pemimpin pribumi, orang Tionghoa di Indonesia

membentuk sebuah kelompok eksklusif tetapi juga mempunyai hubungan dengan

Cina. Dengan demikian kesetiaan mereka lebih tertuju kepada Cina daripada ke

Indonesia. Sebagian besar pemimpin pribumi berpendapat bahwa pada masa lalu

Page 55: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

116

orang Tionghoa melayani kepentingan para penguasa kolonial (Belanda dan

Jepang) dan oleh sebab itu tidak dapat dipercaya. Karena ketidakpercayaan dan iri

hati kaum pribumi kepada etnis Tionghoa, politik dalam negeri Indonesia selalu

berupaya mengurangi apa yang dianggap sebagai kekuatan ekonomis, politis, dan

budaya para Tionghoa lokal.

Sebelum Soeharto berkuasa, pemerintah Indonesia mentolelir adanya

organisasi sosio-politik etnis Tionghoa. Baperki yang didirikan pada tahun 1954,

berusaha untuk mendapatkan persamaan antara sesama warga negara Indonesia,

tanpa memandang latar belakang rasnya. Menurut Baperki bahwa orang Tionghoa

merupakan satu bagian dari suku bangsa Indonesia. Jadi, orang Tionghoa

kedudukannya sama dengan suku bangsa Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan

Minang. Dengan begitu orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam

masyarakat pribumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Baperki berkembang

menjadi organisasi massa. Tujuannya menitikberatkan pada integrasi politik,

bukan asimilasi dikalangan orang Tionghoa. Organisasi tersebut makin condong

ke kiri dan mendekati Soekarno untuk mendapat perlindungan. Politik kiri inilah

yang akhirnya membuat Baperki dibubarkan setelah terjadinya G 30 S tahun1965.

Dengan dilarangnya Baperki dan perkumpulan-perkumpulan Tionghoa

lainnya, pemerintah Orde Baru mulai menyokong LPKB (Lembaga Pembina

Kesatuan Bangsa) yang ditugaskan untuk mengatasi masalah Tionghoa. Tujuan

LPKB yaitu agar orang Tionghoa di Indonesia berasimilasi total ke dalam

masyarakat pribumi, hal ini dianggap sebagai solusi masalah Tionghoa. Namun,

kemudian LPKB dibubarkan dan badan ini diambil alih oleh pemerintah Orde

Page 56: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

117

Baru dan diganti namanya menjadi Badan Komunikasi Pembinaan Kesatuan

Bangsa (Bakom-PKB) atau Badan Kontak pada tahun 1977 di bawah naungan

Departemen Dalam Negeri. Bakom berfungsi sebagai penghubung antara

pemerintah dan masyarakat Tionghoa. Bakom terus menekankan asimilasi orang

Tionghoa ke dalam masyarakat pribumi. Akan tetapi sejak tahun 1987, dalam

publikasi Bakom terdapat unsur integrasi nasional, bukan asimilasi.

Setelah jatuhnya Soekarno pemerintah Soeharto melarang semua

organisasi sosio-politik kiri Baperki. Organisasi Tionghoa ini dianggap eksklusif

dan berharap orang Tionghoa itu bergabung dalam organisasi massa yang

didominasi oleh pribumi. Jadi bagi orang Tionghoa yang menaruh minat dalam

politik yaitu menggabungkan diri dalam organisasi asimilatif seperti Golkar,

partai pemerintah atau organisasi yang berafiliasi dengan Golkar. Jusuf wanandi

(Liem Bian Kie), Harry Tjan Silalahi adalah dua tokoh dari kelompok ini.

Sedangkan anggota DPR yang mewakili Golkar, hanya terdapat Djoko Sujatmiko

(Lie Giok Hauw), Budi Dipojuwono (Lie Po Yoe) mewakili PNI (1971-1977).

Sejak tahun 1966, tidak ada seorang pun Tionghoa yang diangkat menjadi

menteri kabinet, kecuali dalam kabinet Soeharto yang terakhir (Maret 1998), yang

hanya betahan satu bulan menteri Tionghoa itu adalah Mohammad Bob Hasan

(The Kian Seng). Sebenarnya pada masa Soekarno, terdapat tiga orang menteri

kabinet Tionghoa yaitu Tan Kiem Liong (Menteri Urusan Pendapatan,

Pembiayaan dan Pengawasan, anggota NU), Oei Tjoe Tat (Menteri Negara,

anggota Partindo) dan David G. Cheng (Menteri Cipta Karya dan Konstruksi).

Pada masa Demokrasi Liberal, terdapat dua orang menteri Tionghoa yaitu Ong

Page 57: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

118

Eng Die (Menteri Keuangan, anggota PNI) dan Lie Kiat Teng (Menteri

Kesehatan, anggota PSII) (Suryadinata, 2002:83).

Selain Golkar, dua buah lembaga yang anggotanya banyak peranakannya

adalah CSIS (Centre for Strategic and International Studies) dan Bakom-PKB.

Baik CSIS atau Bakom-PKB bukan organisasi massa. CSIS adalah pusat studi

yang dekat dengan pemerintah dan banyak tokohnya yang aktif dalam Golkar dan

di pemerintahan, sedangkan Bakom berada di bawah naungan Departemen Dalam

Negeri. Tokoh-tokoh CSIS yang non pri termasuk Yusuf Wanandi, Harry Tjan

Silalahi, dan J. Panglaykim. Sedangkan tokoh-tokoh Bakom yang non pri

termasuk K. Sindhunata (mantan ketua LPKB yang dibubarkan dalam tahun

1967), Junus Jahya, dan Lo SH Ginting.

Politik Tionghoa pada masa Orde Baru merupakan politik tipe “broker”.

Kepentingan orang Tionghoa diwakili oleh beberapa tokoh Tionghoa yang ada

hubungan dengan penguasa. Beberapa lembaga yang berhubungan dengan

pemerintah atau orang pemerintah seperti Bakom dan CSIS sering digunakan

untuk menyalurkan permintaan minoritas Tionghoa. Meskipun pemerintah Orde

Baru menggunakan pewarganegaraan agar etnis Tionghoa bisa membaur secara

politis, namun pemerintah sepertinya masih merasa keberatan untuk menonjolkan

etnis Tionghoa sebagai tokoh politik. Hal ini mungkin disebabkan oleh prasangka

elite pribumi terhadap orang Tionghoa. Diskriminasi dan prasangka merupakan

faktor yang dapat menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritas-

minoritas. Schermerhorn (Poerwanto, 2005 : 10) mengemukakan bahwa:

“prasangka merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi, yaitu situasi sejarah, ekonomi atau politik”.

Page 58: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

119

Tidak dapat disangkal bahwa kebijaksanaan pemerintahan Soeharto terhadap

golongan etnis Tionghoa itu mengandung unsur-unsur asimilatif, namun unsur-

unsur lain yang bertentangan juga hadir. Pembedaan antara pribumi dan

nonpribumi dalam bidang ekonomi dan politik masih tetap dipertahankan.

2. Dampak dalam Bidang Ekonomi

Memburuknya kondisi perekonomian Indonesia dimana tingkat inflasi

mencapai 650 % merupakan faktor yang mendorong lengsernya pemerintah

Soekarno pada tahun 1965. Tentunya penguasa baru dalam hal ini Orde Baru

berusaha memperbaiki kondisi perekonomian, baik dalam menurunkan laju inflasi

maupun untuk menaikkan taraf hidup bangsa Indonesia.

Sekitar tahun 1965-1968 pasca terjadinya peristiwa G 30 S, merupakan

masa yang sangat mencekam bagi para Tionghoa perantauan, karena dianggap

bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Perasaan anti Cina sangat tinggi dan

orang Tionghoa mengalami kondisi yang sulit. Setelah Indonesia merdeka,

pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan pribumisme dalam bidang ekonomi

untuk melemahkan kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu pedagang

pribumi, seperti adanya Sistem Benteng pada awal tahun 1950-an dan PP No.10

pada tahun 1959. namun, perlindungan terhadap pedagang pribumi dan

pemaksaan pedagang kecil Tionghoa keluar dari pedesaan tidak berhasil menekan

peran orang Tionghoa dalam bidang ekonomi Indonesia. Kemudian pemerintah

Indonesia harus membekukan pelaksanaan PP-10 untuk mengelakkan kehancuran

ekonomi dan ketidakstabilan politik.

Page 59: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

120

Berbeda dengan era Soekarno yang menjalankan kebijakan berdikari dan

melalaikan perkembangan ekonomi, maka era Soeharto berorientasi pada

perkembangan ekonomi (pembangunan). Pemerintah Soeharto berhasil dalam

mengurangi laju inflasi dari 650% menjadi 15 % per tahun. Meskipun demikian

Indonesia masih kekurangan modal asing untuk itu pintu Indonesia dibuka lebar

dan penanaman modal asing digalakkan. Etnis Tionghoa, baik WNI maupun asing

dikerahkan untuk mensukseskan program ekonomi Orde Baru.

Pada masa Orde Baru kebijakan terhadap etnis Tionghoa melalui dua cara.

Pertama, secara sosial politik diarahkan ke asimilasi yang intinya menghilangkan

identitas “kecinaan” dan pemisahan antara etnis Tionghoa WNA dan WNI.

Kedua, secara ekonomi kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa Indonesia

diarahkan ke akumulasi dan pendayagunaan modal milik etnis Tionghoa.

Bagi etnis Tionghoa yang merasa keamanannya terancam di tengah

maraknya anti Cina di awal 1966, maka untuk kepentingan keamanan mereka

segera mengikuti kebijakan pemerintah tersebut. Etnis Tionghoa WNA segera

mengganti nama dan menempuh proses naturalisasi sebagai WNI. Secara

ekonomis, pengusaha etnis Tionghoa Indonesia yang tersisa juga memberikan sisa

modal atau membantu pemerintah menggalang modal seperti keterlibatan

beberapa pengusaha di dalam IBC dan NDC.

Indonesian Business Centre (IBC) didirikan pada 6 Juni 1968 di Jakarta.

Mayjen Suhardiman sebagai ketuanya direktur Perusahaan Negara Berdikari.

Organisasi tersebut melibatkan pejabat tinggi pemerintah dan kelompok Tionghoa

swasta. Tujuannya adalah membantu kabinet yang baru dalam melaksanakan

Page 60: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

121

Repelita Pertama (1969-1974) melalui pengembangan kerjasama antara sektor

negara dan sektor swasta. Kemudian Suhardiman membentuk National

Development Corporation (NDC) untuk memobilisasi modal domestik sehingga

dapat digunakan untuk pembangunan. Ong Ah Lok, seorang bankir sebagai

ketuanya. Namun, pada kenyataannya NDC dan IBC dalam pelaksanaannya tidak

sesuai dengan tujuannya. Suryadinata mengungkapkan (1984: 146) bahwa:

“NDC menjadi suatu organisasi perusahaan dari para Tionghoa lokal yang bertujuan mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan, perikanan, dan usaha lainnya. Program organisasi itu sangat ambisius, dan orang yang terlibat di dalamnya terbatas pada pengusaha yang pro-Taiwan. Pengusaha yang pro-RRC atau “netral” tidak termasuk. Juga patut dicatat bahwa kebanyakan orang yang giat dalam IBC dan NDC hanya mereka yang dikenal oleh kalangan yang terbatas dan hampir tidak ada yang pernah diketahui menjadi pemimpin tertinggi baik di kalangan masyarakat totok maupun peranakan Tionghoa. Tidak mengherankan jika organisasi tersebut tidak efektif”. Disinilah dua kepentingan bertemu terutama antara tahun 1966 hingga

awal tahun 1970-an, kepentingan etnis Tionghoa Indonesia untuk mendapatkan

jaminan keamanan dari pemerintah yang memang didominasi militer dan adanya

larangan serta pembatasan dari pihak penguasa untuk mengekspresikan dan

mengorganisir diri sebagai kelompok etnis akhrinya membawa mereka untuk

mendukung dan membantu pemerintah dalam usaha penggalangan dana. Di sisi

lain pemerintah mendapatkan dukungan sumber daya atau dana terutama bagi

pemenuhan kebutuhan pokok dan juga dukungan dana bagi konsolidasi

kekuasaan di awal masa Orde Baru. Dan inilah dasar tumbuhnya kembali

kekuatan ekonomi etnis Tionghoa Indonesia (Wibowo, 1999: 71).

Page 61: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

122

Meskipun ada kemauan pemerintah untuk menggunakan modal asing

domestik, perlakuan yang membeda-bedakan terhadap Tionghoa lokal dengan

golongan pribumi tetap berlangsung (Suryadinata, 1984: 146). Kondisi tersebut

mengakibatkan banyak orang Tionghoa yang kemudian bekerjasama dengan

orang Indonesia asli yang memegang surat izin. Pedagang Tionghoa yang

menjalankan bisnisnya dan membagi keuntungan dengan pribumi yang

memegang surat izin. Praktek tersebut, telah ada sebelum masa Orde Baru yang

dikenal sebagai sistem Ali Baba yang berkembang menjadi sistem cukong di masa

Orde Baru. Cukong adalah istilah Hokkian yang artinya majikan atau bos, tetapi

dalam konteks Indonesia, istilah tersebut digunakan untuk menyebut seorang

pedagang Tionghoa yang bekerjasama dengan elite yang berkuasa, termasuk

presiden dalam perusahaan patungan. Umumnya mitra pribumi memberikan

fasilitas dan perlindungan, sedangkan orang Tionghoa memberikan modal dan

menjalankan perusahaan tersebut (Suryadinata, 2002: 91)

Alasan dari kerjasama antara Tionghoa dan pemegang kekuasaan yang

pribumi itu sangat kompleks. Sehubungan dengan lingkungan usaha di Indonesia

ditambah dengan undang-undang dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap

Tionghoa, mengakibatkan orang Tionghoa memandang bahwa kerjasama dengan

orang pribumi yang berkuasa merupakan cara terbaik untuk mendapatkan

perusahaan yang bisa memperoleh keuntungan. Berbeda dengan para pejabat

Indonesia yang memiliki fasilitas dan uang, namun tidak memiliki pengalaman

berusaha, bersedia menggunakan golongan Tionghoa untuk menjalankan

Page 62: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

123

perusahaannya untuk mereka. Para pejabat Indonesia tidak suka menggunakan

pengusaha pribumi. Suryadinata mengungkapkan (1984: 148) bahwa :

“Mereka tidak suka memakai pengusaha pribumi dengan status pribuminya mempunyai posisi tawar (bargaining power) yang kuat, lagipula mereka juga sering mempunyai hubungan dengan golongan politik sehingga mereka dapat merupakan ancaman bagi beberapa pejabat tertentu. Sebaliknya, kaum minoritas Tionghoa memiliki landasan politis yang lemah dan posisinya rawan. Orang Indonesia yang duduk dalam kekuasaan merasa lebih aman menggunakan orang Tionghoa daripada pengusaha pribumi. Mitra Tionghoa mereka mendapatkan perlindungan ekonomis melalui kerjasama itu, walaupun itu tidak berlaku bagi masyarakat pengusaha Tionghoa pada umumnya. Kendatipun demikian, cukong-cokong itupun masih mengalami tekanan budaya, sosial, dan politis yang sama dengan Tionghoa Indonesia yang lain”. Adanya kerjasama antara penguasa Tionghoa dan pribumi pemegang

kekuasaan menimbulkan ketidaksenangan pada sementara kaum pribumi

Indonesia, terutama di kalangan pengusaha yang kurang berhasil. Selain itu

penanaman modal asing ternyata lebih memberikan keuntungan kepada

pengusaha nonpribumi karena para penanam modal asing lebih tertarik

bekerjasama dengan pengusaha Tionghoa daripada pengusaha Indonesia, sebab

Tionghoa pada umumnya lebih unggul dalam pengalaman berusaha, kepemilikan

modal dan pengetahuan teknis.

Pada gilirannya hal tersebut menimbulkan kritik pedas dari pihak pribumi

terhadap pemerintah Orde Baru, karena sistem cukong tersebut dianggap tidak

menguntungkan pribumi. Dari sistem tersebut tidak ada pemindahan

keterampilan. Selain itu, hanya orang yang berkuasa yang menikmati hasilnya.

Berhubung dengan protes yang timbul di kalangan pedagang pribumi dan

kerusuhan anti Tionghoa semakin sering terjadi pada tahun 70-an, pemerintah

Orde Baru mulai melaksanakan politik pribumi kembali dalam bidang ekonomi.

Page 63: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

124

Untuk mendapatkan bagian yang lebih besar bagi pribumi dalam bidang ekonomi,

pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pada tahun 1974 di mana ditentukan

bahwa semua penanaman modal asing harus berupa perusahaan patungan.

Akhirnya banyak bidang bisnis yang tertutup bagi orang Tionghoa Indonesia.

Untuk itu surat izin baru tidak akan dikeluarkan lagi untuk pedagang nonpribumi.

Peraturan yang mencerminkan kebijakan ini adalah Keppres No.14 yang

dikeluarkan pada tahun 1979. Keppres ini kemudian disempurnakan dan menjadi

Keppres No. 14A / 1980 yang mewajibkan semua lembaga pemerintah dan

kementrian memberikan keistimewaan kepada pedagang dan kontraktor pribumi

(Suryadinata, 2002: 91). Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan

nonpribumi digalakkan, akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan harus

aktif dalam perusahaan tersebut. Karena banyak nonpribumi yang telah

memperoleh mitra pribumi, jadi peraturan tersebut tidak mengubah kondisi yang

telah ada.

Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa kedudukan ekonomi

nonpribumi menguat pada masa Orde Baru, khususnya dalam bidang perdagangan

pedagang Tionghoa lebih dominan. Ini merupakan akibat kebijakan pemerintah

Orde Baru yang mengarahkan orang Tionghoa ke bidang ekonomi. Kebijakan ini

merupakan keputusan yang dibuat pada Seminar Angkatan Darat yang

diselenggarakan di Bandung pada tahun 1966, dimana ditetapkan bahwa orang

Tionghoa harus dicegah masuk ke bidang lain, terutama ke bidang politik, karena

pemimpin militer tidak percaya kepada orang Tionghoa sebagai sebuah kelompok

(Suryadinata, 2002: 92). Maksudnya dengan membatasi orang Tionghoa di bidang

Page 64: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

125

ekonomi, elite yang berkuasa merasa bahwa pemerintah bisa lebih mudah

menguasai minoritas Tionghoa. Orang Tionghoa disalurkan ke bidang tersebut

agar ekonomi Indonesia dapat berkembang pesat. Namun banyak pengamat

politik berpendapat bahwa orang Tionghoa sengaja dibatasi dalam bidang

ekonomi, jika terjadi sesuatu, mereka dapat dijadikan sasaran. Ada pula yang

berpendapat bahwa pemerintah sengaja memupuk orang Tionghoa dalam bidang

ekonomi agar mereka mudah diajak kerja sama, bahkan diperas. Sedangkan kaum

pribumi sulit untuk diperlakukan demikian karena mereka mempunyai kedudukan

politik yang kuat.

Akibat dari kebijakan Orde baru tersebut, segelintir pengusaha yang

terkait dengan penguasa besar bermunculan yang dikenal sebagai konglomerat.

Akhirnya kesenjangan antara masyarakat Tionghoa dengan pribumi semakin kuat

dan jurang pemisah semakin besar. Keinginan untuk mewujudkan etnis Tionghoa

yang telah berstatus WNI baik yang melalui Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

maupun naturalisasi, untuk dapat berasimilasi dengan pribumi semakin sulit yang

ada justru sebaliknya yakni kerusuhan anti Tionghoa yang makin sering terjadi

pada tahun 70-an.

Menurut Soerjono Soekanto (1975 : 209-210) menyatakan bahwa terdapat

beberapa faktor yang menyulitkan asimilasi antara orang-orang Tionghoa dengan

orang-orang Indonesia, adalah antara lain :

a. Perbedaan ciri-ciri badaniyah. b. In-group feeling yang sangat kuat pada golongan Tionghoa,

sehingga mereka lebih kuat mempertahankan identitas sosial dan kebudayaannya.

c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap superior. Dominasi ekonomi tersebut bersumber pada fasilitas-fasilitas yang

Page 65: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

126

dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda, dan juga karena kemampuan tekhnis dalam perdagangan serta ketekunan dalam berusaha.

Dalam mempertahankan sikap hidup tradisi tersebut mereka berusaha agar

disetiap keadaan dimana saja harus lebih tinggi derajatnya dari masyarakat

pribumi, di mana mereka berdomisili. Oleh karena itu, walaupun pada waktu

datang mengembara tidak mempunyai apa-apa, akan tetapi dengan bekerja keras,

tekun dan sabar serta hemat dalam pengeluaran, akhirnya mereka menonjol dalam

tingkat kehidupan ekonomi Cinanya dari pada penduduk pribumi. Setiap usaha

tersebut dilakukan dengan kerjasama antar keluarga, saling tolong menolong,

sikap hemat dan melakukan suatu tugas dengan teliti dan tekun. Karakter khas

inilah yang mendorong mereka dalam perkembangan sejarah di Indonesia lebih

menonjol dalam bidang ekonomi. Apalagi dalam perkembangan sejarah

Indonesia, mereka dijadikan alat Belanda dalam melaksanakan keinginannya,

sehingga mereka lebih banyak terpengaruh oleh sikap mental usaha Belanda

daripada kaum pribumi. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dengan melalui

lembaga pendidikan sekolah Katolik dan Protestan, banyak dari generasi

selanjutnya yang menganut agama Katolik dan Protestan.

Dengan demikian mereka merasa lebih dekat dengan orang Barat daripada

dengan penduduk pribumi. Mereka merasa lebih tinggi baik dalam ekonomi,

agama dan dalam ilmu pengetahuan, daripada penduduk pribumi. Hal inilah yang

merenggangkan dan terbentuknya pola hidup eksklusif orang Tionghoa.

Page 66: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

127

3. Dampak dalam Bidang Sosial-Budaya

Pada masa Orde Baru secara sosial-politis kebijakan terhadap etnis

Tionghoa dirahkan ke asimilasi yang intinya menghilangkan identitas kecinaan

dan pemisahan antara etnis Tionghoa WNA dan WNI. Mulai dari penggantian

istilah Tionghoa menjadi Cina, dan pemisahan antara WNA dan WNI, pelarangan

pendirian sekolah Cina. Pelarangan perayaan-perayaan di tempat umum sampai

dengan pelarangan penggunaan aksara Cina dan publikasi beraksara Cina. Usaha

untuk mengasimilasikan orang Tionghoa itu tercermin dalam kebijakan

pendidikan, bahasa dan nama Tionghoa.

Pada mulanya pemerintah Indonesia tidak menaruh banyak perhatian

terhadap pendidikan orang Tionghoa. Bahkan tidak ada pengontrolan terhadap

sekolah Tionghoa. Namun, setelah pemerintah berhasil mengkonsolidasikan

kekuasaannya, pemerintah baru menaruh perhatian pada bidang pendidikan.

Perlahan-lahan pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang bertujuan

mengindonesiakan mata pelajaran dan tenaga pengajarnya. Pada tahun 1957,

pemerintah Indonesia telah mengumumkan satu peraturan yang melarang warga

negara Indonesia belajar di sekolah Tionghoa. Peraturan tersebut membawa

pengaruh besar pada masyarakat Tionghoa. Akibatnya sekitar 1.100 sekolah

Tionghoa mengalami perubahan menjadi sekolah bahasa Indonesia.

Pada tahun 1965, di Indonesia terjadi G 30 S, dalam hal ini Beijing

dianggap telah terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga semua sekolah

berbahasa Cina ditutup. Sekolah-sekolah Baperki, termasuk Ureca yang

disponsori dan diawasi Baperki akhirnya diambil alih oleh pemerintah. Anak

Page 67: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

128

Tionghoa asing tidak diberi pendidikan sekitar dua tahun. Kemudian pada awal

1968 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang terkenal dengan

Peraturan Presiden No. B 12/Pres./1/1968 yang memberikan izin untuk

mendirikan sekolah yang disponsori oleh golongan swasta dalam masyarakat

Tionghoa (Suryadinata, 1984: 162).

Meskipun masyarakat Tionghoa telah mendirikan sejumlah sekolah khusus

(Sekolah Nasional Proyek Khusus) pada tahun 1968, bahasa pengantar dan mata

pelajarannya tidak berbeda dari sekolah nasional, kecuali bahasa Tionghoa

sebagai mata pelajaran tambahan. Namun bahasa Tionghoa hanya boleh diajarkan

di luar waktu sekolah. Meskipun demikian, sekolah-sekolah tersebut akhirnya

ditutup pada tahun 1975. Pada masa Orde Baru, semua anak Tionghoa hanya

dapat belajar di sekolah Indonesia. Jadi anak-anak Tionghoa baik peranakan

maupun totok sama-sama mengalami Indonesianisasi.

Pada tahun 1965, bukan hanya sekolah Tionghoa yang diIndonesiakan,

tetapi sekolah Baperki (Ureca) juga diambil alih dan dijadikan Universitas

Trisakti. Komposisi mahasiswanya pun mengalami perubahan. Bahkan jumlah

mahasiswa pribumi lebih besar daripada yang nonpribumi. Sebuah universitas

swasta kecil, Universitas Tarumanegara, selanjutnya berkembang menjadi

universitas yang cukup besar dan menampung banyak mahasiswa Tionghoa.

Begitu pula beberapa universitas swasta di Jakarta dan Surabaya yang menerima

mahasiswa Tionghoa. Melalui lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, generasi

muda Tionghoa mengalami proses sosialisasi di Indonesia.

Page 68: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

129

Selama masa Orde Baru, bahasa Tionghoa tidak boleh dipamerkan dan

semua nama toko harus dalam bahasa Indonesia. Setelah peristiwa G 30 S 1965

semua surat kabar berbahasa Cina dilarang terbit, dan pada April 1966 semenjak

Soeharto berkuasa, hanya sebuah koran berbahasa Cina yang diizinkan terbit.

Koran tersebut bernama Yindunixiya Ribao atau Harian Indonesia, sebuah harian

pemerintah yang terbit di Jakarta. Harian Indonesia berjumlah 8 halaman, 4

halaman dalam bahasa Tionghoa dan sisanya dalam bahasa Indonesia. Sejak

pertengahan tahun 60-an penerbitan berbahasa Tionghoa tidak boleh diimpor ke

Indonesia, buku atau majalah berbahasa Inggris yang terdapat aksara Tionghoa

pun dilarang.

Selain bahasa Cina yang dianggap membahayakan, agama dan adat

istiadat Tionghoa pun tidak disenangi. Pada tanggal 6 Desember 1967 dikeluarkan

Peraturan Presiden (Suryadinata, 1984: 169) yang menyatakan bahwa :

“.....agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina (di Indonesia) yang berasal dari tanah leluhur mereka dengan berbagai manifestasinya mungkin dapat menimbulkan pengaruh yang tidak wajar terhadap kejiwaan, mentalitas, dan moralitas warga negara Indonesia dan karenanya menghambat jalan asimilasi secara wajar.....”.

Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden

N0.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi

tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat

Cina hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.

Instruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan

Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan agamanya dan

mendorong terjadinya asimilasi secara total sesuai dengan yang dicita-citakan

Page 69: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

130

LPKB. Dengan dikeluarkannya Inpres N0.14/1967 seluruh perayaan tradisi dan

keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Capgomeh, Pehcun dan

sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian-tarian

barongsay (tari singa) dan liang-liong (tari naga) dilarang dipertunjukkan di muka

umum. Semua hal tersebut akan diatur oleh Departemen Agama atas rekomendasi

Jaksa Agung. Agama dan adat istiadat Tionghoa tidak diberi kesempatan

berkembang oleh pemerintah, kurang lebih sampai tahun 1968.

Pada tahun 1965 telah dikeluarkan sebuah penetapan Presiden (Penpres

No.1/1965) yang mengakui enam agama di Indonesia yakni Islam, Katolik,

Protestan, Hindu-Bali, Budha dan Konghucu. Segolongan orang Tionghoa

khususnya peranakan memeluk agama Konghucu dan Budha. Pengakuan atas

agama-agama monoritas tidak sejalan dengan kebijaksanaan umum Soeharto

terhadap Tionghoa WNI, yakni kebijaksanaan asimilasi. Pemerintah Orde baru

yang ingin melebur orang Tionghoa menjadi pribumi, akhirnya tidak mengakui

agama Konghucu sebagai agama. Pada tahun 1979, kabinet mengeluarkan

instruksi, menyatakan agama Konghucu bukan agama dan tidak lagi diakui

sebagai agama resmi. Meskipun demikian, kondisi setempat kurang mendukung

perkembangan agama Konghucu atau Budha. Pada tahun 70-an, 0,8 % penduduk

Tionghoa di Indonesia beragama Konghucu, sedangkan yang beragama Budha

berjumlah 0,9 %. Tetapi penduduk Tionghoa di Indonesia berjumlah 3 %, jadi

kira-kira 1,3 % beragama lain (Katolik, Protestan dan Islam)

(Suryadinata,2002:89).

Page 70: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

131

Menurut Leo Suryadinata (1984: 170) sebenarnya kesulitan pertama

datang dari masyarakat Tionghoa sendiri, yaitu :

”Para Tionghoa peranakan pada umumnya tidak lagi dapat berbahasa Cina, sedangkan kebudayaan mereka sangat terpengaruh pemikiran Barat dan lingkungan Indonesia. Banyak di antara mereka beragama Protestan dan Katolik. ”Budaya Cina” telah menjadi asing bagi kebanyakan Tionghoa peranakan, khususnya bagi generasi muda yang oleh undang-undang diharuskan bersekolah di sekolah-sekolah Indonesia sejak 1957. Dengan demikian jalan pemikiran mereka lebih bersifat Indonesia daripada Cina”.

Selain itu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia mulai berkembang pada periode itu

dan dikatakan telah mempunyai anggota yang cukup banyak. Dari hal tersebut

nampak bahwa agama yang dianut para peranakan Tionghoa bermacam-macam.

Kebijakan yang paling jelas dari diterapkannya asas asimilasi di bidang

sosial-budaya adalah peraturan tentang perubahan nama yang dikeluarkan bulan

Desember 1966. Pada tahun 1961, ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan

tersebut sudah diumumkan, namun tidak dilaksanakan. Pada tahun 1966 setelah

Soeharto berkuasa, peraturan ganti nama diterbitkan lagi. Presidium Kabinet

mengeluarkan keputusan N0.127/U/KEP/12/1966 untuk mempermudah proses

ganti nama dibandingkan dengan Undang-undang N0 4 tahun 1961. Dengan

prosedur baru tersebut, proses ganti nama tidak usah dilakukan di pengadilan dan

diumumkan dalam Berita Negara, tetapi cukup dilakukan di kantor kabupaten atau

kantor walikota dengan biaya tidak lebih dari Rp.25.-. Namun pada kenyataannya

biaya yang dikeluarkan lebih dari itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa mengganti nama

Tionghoanya, walaupun ganti nama tersebut tidak wajib. Peraturan ini bertujuan

untuk mempercepat asimilasi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa ke

Page 71: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

132

dalam bangsa Indonesia, pengubahan nama dari non Indonesia menjadi nama

Indonesia dianggap sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses asimilasi.

Berdasarkan peraturan tersebut bagi WNI keturunan Tionghoa yang ingin

mengubah nama maka harus memasukkan permohonan mereka kepada penguasa

setempat (gubernur, bupati atau walikota) untuk didaftar. Permohonan akan

diteruskan ke Departemen Kehakiman. Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada

keberatan diajukan oleh masyarakat setempat maka nama baru itu menjadi sah.

Peraturan tersebut mula-mula diberlakukan dari bulan Januari 1967 hingga Maret

1968. Selanjutnya diperpanjang satu tahun karena warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa yang mengubah nama ternyata lebih sedikit daripada yang

diharapkan.

Alasan pengubahan nama berlainan. Beberapa diantaranya mengubah

nama untuk alasan praktis, mereka yakin bahwa hal tersebut akan mempermudah

hidup mereka di Indonesia, seperti untuk mendapat izin, untuk mendapat tempat

di sekolah atau perguruan tinggi, untuk dapat diterima oleh orang Indonesia

pribumi. Beberapa lagi mempunyai alasan untuk menjadi diri mereka satu dengan

bangsa Indonesia, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah tingkah laku

simbolik, semacam pernyataan orang Tionghoa bahwa mereka setia kepada

pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan

budaya Indonesia. Akan tetapi tidak semua orang Tionghoa mengganti namanya,

misalnya Liem Swie King (pemain bulutangkis) dan almarhum Yap Thiam Hien

(pengacara dan pembela hak asasi manusia).

Page 72: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

133

Fungsi nama Tionghoa yang mewakili keakuannya yang diwujudkan

dalam pemilihan kata yang melambangkan sesuatu, menimbulkan persoalan

ketika mereka harus mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Sebab mereka

ingin agar nama Indonesia-nya tetap mewakili keakuannya. Namun, jika nama-

nama yang dipilihnya merupakan terjemahan langsung, akan terdengar janggal.

Solanya nama-nama orang Indonesia tidak lazim memakai ungkapan tersebut.

Contohnya yaitu Kho Kim Djin yang berarti kemanusiaan emas. Jika ia ingin tetap

memakai nama Indonesia yang artinya kurang lebih sama, maka ia harus mencari

kata lain sebagai pengganti yang lazim digunakan sebagai nama diri, yang

mempunyai arti mirip dengan ”kemanusiaan emas” dan lazim digunakan, yaitu

Darmawan atau Budiman.

Dalam rangka mengganti nama-nama Tionghoa ke dalam nama-nama

Indonesia, terdapat kecenderungan mereka tetap mempertahankan identitas nama

lama mereka. Pengganti nama ini berdasarkan peraturan yang tertuang dalam

keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966.

Terdapat dua macam cara yang dilakukan agar identitas nama lama mereka tidak

hilang begitu saja. Pertama, pada sebagian dari nama baru mereka, terkandung

identitas nama lama. Contohnya, Lim Sioe Thiam mengganti nama menjadi

Muslim; Tjunk Djie Hin mengganti nama menjadi Sujiman. Kedua, seperti di

Singkawang maupun di daerah lain, seperti di Blora, Jawa Timur, sebagian orang

Tionghoa mengganti namanya dengan menggabungkan sebagian dari identitas

nama lama mereka, tanpa perubahan penting sehingga terdengar janggal.

Contohnya, Po Kiem Hwa menjadi Hwandini, Khoo Kwee An menjadi Khonawan

Page 73: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

134

(Poerwanto, 2005: 272). Dalam hal ini banyak orang Tionghoa mengambil nama

Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti Salim untuk Liem, Wijaya

atau Wibisono untuk Oei, Tano atau Tanzil untuk Tan, Chandra untuk Chan, dan

Kusuma untuk Khoe.

Sebagaimana tulisan yang dimuat dalam koran Sinar Harapan tanggal 12

Februari 1967, yang berjudul ”Pengalamanku dengan Penggantian Namaku”

mengungkapkan bahwa:

”Tidak dapat disangkal bahwa belenggu-belenggu mental yang berasal dari jaman penjajahan sampai saat ini terasa dalam bentuk anggapan pada orang-orang dari semua lapisan masyarakat (termasuk pejabat-pejabat pemerintah terutama seperti lurah, camat dsb.) bahwa WNI keturunan Cina dan orang Cina asing (Stateless atau warga negara RRT) ”sama saja”. Dengan diadakan penggantian nama seolah-olah ditegaskanlah sekarang oleh pemerintah dengan sekongkrit-kongkritnya bahwa WNI keturunan Cina pun termasuk bangsa Indonesia dan oleh karena itu berhak atas dan perlu mendapat perlakuan yang sama seperti Bangsa Indonesia lainnya. Bagi WNI keturunan Cina yang sudah berhasil mengasimilasi dirinya, keputusan ini adalah pengesahan dari apa yang sudah dipraktekannya. Dari WNI keturunan Cina yang sedikit banyak masih dipengaruhi oleh cara berpikir jaman kolonial diharapkan agar mereka dapat membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu mental ini dan tanpa ragu-ragu menjatuhkan dirinya dengan bangsa Indonesia lainnya dalam perjuangan kita bersama membangun kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan, dan sosial yang sehat serta menyelamatkannya dari rongrongan dari luar dan dari dalam, terutama dari pihak RRT dan PKI. Terutama diharapkan juga pikiran kita sehat, dari mereka serta penglihatan yang tajam terhadap kenyataan dan arah perkembangan di negara kita”. Dalam pengembangan doktrin asimilasi tidak dapat dipungkiri media

massa memegang peranan yang penting. Pada tahun 1934 ketika Kwee Hing Tjiat

secara berturut-turut menampilkan editorial yang berjudul “Asimilasi” terjadi

banyak reaksi dari para pembacanya. Banyak yang mengirim surat protes,

malahan ada yang mengirim blangkon batik, ikat kepala batik, peci dan surat

kaleng. Padahal artikel tersebut tidak menganjurkan ganti nama, ganti agama dan

Page 74: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

135

sebagainya. Artikel tersebut mengupas keadaan masyarakat peranakan Tionghoa

dan perlunya sebagai golongan menyatukan diri dengan rakyat Indonesia.

Demikian juga munculnya doktrin dan gerakan asimilasi yang kemudian

berkembang menjadi LPKB diawali dengan terjadinya polemik yang ramai di

antara sekelompok peranakan Tionghoa dalam mencari solusi masalah minoritas

Tionghoa sebagai kelanjutan dari pelaksanaan PP-10, di majalah Star Weekly

terbitan 13 Februari sampai 25 Juni 1960. Di antaranya adalah sejumlah tulisan

Siauw Giok Tjhan yang menjelaskan idenya, yaitu konsep integrasi etnis

Tionghoa dalam perjuangan mencapai masyarakat sosialis Indonesia yang bersih

dari segala bentuk diskriminasi. Disusul dengan tulisan Yap Thiam Hien yang

menjelaskan konsep integrasi tetapi tanpa harus mencapai masyarakat sosialis

sesuai dengan ide komunis dan berbagai tulisan para pendukung doktrin asimilasi

antara lain tajuk rencana majalah Star Weekly yang dipimpin Auwjong Peng

Koen dan tulisan Ong Hok Ham, Lauchuanto dan pendukung asimilasi lainnya.

Menurut Ong Hok Ham salah seorang teoritikus dan konseptor

terkemuka doktrin asimilasi dalam artikel “Asimilasi Golongan Peranakan” yang

dimuat dalam majalah Star Weekly tanggal 27 Februari 1960, satu-satunya jalan

agar minoritas peranakan meninggalkan kedudukannya sebagai minoritas dan

menjadi loyal kepada negara adalah dengan melakukan asimilasi atau peleburan

seratus persen, menjadi orang-orang Indonesia “asli”. Ia juga berpendapat kalau

orang-orang Tionghoa masih tetap mempertahankan cara-cara hidup mereka

sendiri seperti tradisi-tradisi “imlek”, adat-istiadat dan lainnya, dalam keadaan

biasa mungkin konflik-konflik dengan golongan minoritas dapat dihindarkan.

Page 75: 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI …a-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_040035_bab_4.pdf · BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN

136

Tetapi bila timbul krisis, entah krisis ekonomi, politik atau lain-lain, maka

konflik-konflik akan timbul. Diskriminasi juga tidak akan dapat dihilangkan sama

sekali.

Mengutip perkataan Dr Mely G. Tan, ia berpendapat bahwa hubungan

antara peranakan dengan pribumi merupakan hubungan ’ love and hate relation’

atau hubungan cinta dan benci antara peranakan dan orang Indonesia. Sebagai

contoh, jika kaum minoritas ini unggul dalam bidang olah raga mereka dipuji

karena dianggap telah mengharumkan nama bangsa. Namun jika ada berita

mengenai penyelewengan yang dilakukan oleh mereka di bidang ekonomi dan

moneter, mereka akan dimaki-maki. Dalam konteks Indonesia, persoalan etnis

Tionghoa yang telah berstatus warga negara Indonesia (WNI) adalah erat

hubungannya dengan proses pembinaan bangsa, terutama mengingat sifat

majemuk bangsa Indonesia dan polarisasi yang terjadi dalam berbagai bidang

kehidupan. Diskriminasi dan prasangka merupakan faktor yang dapat

menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritas-minoritas.

Pada gilirannya, peraturan pada masa Orde Baru menjadi pemicu dan

stimulan terhadap munculnya konflik. Peraturan-peraturan yang dibuat harus

dipenuhi total oleh peranakan, dimana orang-orang Tionghoa telah dipaksa untuk

membaur dengan mengganti namanya, dengan larangan melakukan upacara-

upacara keagamaan, kepercayaan, budaya dan tradisinya secara terbuka. Bahasa

dan aksaranya dilarang. Hasilnya adalah berbagai kerusuhan anti Tionghoa.