5 hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih,...
TRANSCRIPT
45
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem
Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan
Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah
berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini
adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di
Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya,
pengelolaan hasil dan pemasarannya.
Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis
(monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih,
cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden
yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang
menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%).
Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah
penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak
perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan
sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan
Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros
dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan
palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001).
Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat
No Pola tanaman Jumlah Responden Persentase
1 Kemiri 35 55,56
2 Kemiri + sirih 8 12,70
3 Kemiri + cokelat 4 6,35
4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll 16 25,40
Jumlah 63 100,00
Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di
Kecamatan Tanah Pinem.
46
(a) monokultur
(b) agroforestry
Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat.
Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67
ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar
kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri
mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh
yang tergantung pada jarak tanam yang ada.
47
Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman
yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang
dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam
sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan.
Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang
tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan
tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada
perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap
hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan
miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan.
Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.
Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan
jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak
memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang
dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah
responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%)
yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97)
menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.
48
(a) jarak tanam teratur (b) jarak tanam tidak teratur
Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat.
Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum,
tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata
tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13
tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden,
hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan
peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang
curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih
mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya.
(a) tanaman produktif (b) tanaman tua (tidak produktif)
Gambar 6 Kondisi tanaman kemiri rakyat.
49
Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas
produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun
tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman
kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%)
memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%)
memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan
bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif
pada umur 11-35 tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat
bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif,
yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah
Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman
kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan
buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena
tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih
mudah tumbang.
Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010
No Umur
(tahun)
Luas
(ha)
Produksi
(kg)
Jumlah pohon
(batang)
Produksi per ha
(kg/ha)
Produksi per pohon
(kg/pohon)
1 13 – 35 83 55.686 10.209 670,92 5,45
2 > 35 84,95 42.284 9.071 497,75 4,66
Total 167,95 97.970 19.280 - -
Rata-rata 583,33 5,08
Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah
dikupas pada tahun 2010. Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri
yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji
kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori
tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha.
Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL
(2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem
pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di
Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang
dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi
kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).
50
Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur
pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada
kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji
kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua
menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon.
Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji
kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan
produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji
kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan
akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun
(umur 11 sampai 20 tahun).
Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman
per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas
pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang
ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat
jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya
waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat
tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga
penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang
menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan.
Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon.
Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan
tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan
adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum
ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah
hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena
belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan
tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan
pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat
buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga
menyebabkan kerugian bagi petani.
51
Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena
penyakit gugur buah.
Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi
kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999)
menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1
kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri
Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar
3,67–5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02
kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di
Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun.
Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per
pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan
bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang
lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi
tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim).
Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit
karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal
menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam
Buah matang yang
jatuh secara alami
Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah
(belum matang dan tidak dapat dipanen)
52
waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan
pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan
tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo
2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang
rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37
responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden
hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan.
Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri
No Intensitas pemeliharaan Jumlah
Responden
Persentase
1 Rutin ke ladang 3 4,76
2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 21 33,33
3 Pada saat panen 37 58,73
4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan 2 3,17
Jumlah 63 100,00
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman
kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat
dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali
setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara
membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan
bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan
membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia,
akan lebih cepat dan praktis.
Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi
(Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali
setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang
dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu
dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang
hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang
pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang
tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan
persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah
dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga
53
terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu
akhir-akhir ini.
Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah
paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun.
Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah
besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah
lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya
tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan
musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember
sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di
atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim
berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah
biasanya.
(a) berbunga (b) berbuah
Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.
Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah.
Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan
dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah
buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging
buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena
berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika
membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu.
Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut
dengan sistem “langsir”. Pengangkutan bagi petani yang memiliki sepeda motor
54
tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini
menjadi biaya pengeluaran.
Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca
cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri
yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena
berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri
tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli
beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp22.000
sampai Rp25.200 per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah
Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter).
(a) Kemiri di jemur (b) kemiri kering
(c) Pengupasan kemiri (d) Kemiri setelah dikupas
Gambar 9 Proses pengupasan kemiri.
Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan
karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang
pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah
55
adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran
dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku
dijual dengan harga Rp10.000 sampai Rp13.000 per karung (ukuran karung urea).
Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk
industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang
membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan
bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri
karena bara api yang lebih tahan lama.
(a) Kulit kemiri (cangkang) (b) Pengangkutan kulit kemiri
Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan.
Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan
juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat,
tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk
menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola
tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun
variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani
56
(tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan
sampingan (ada atau tidak ada), status kepemilikan lahan (belum
bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota
keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah
pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri),
kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama
(petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang
(meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak
sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar
daerah (orang).
Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic
Peubah B Sig Exp (B)
Konstanta -7,815 0,015 0,000
Umur petani (X1) 0,087 0,027* 1,091
Luas lahan (X3) 0,955 0,001* 2,600
Pendapatan per bulan (X9(3)) -2,315 0,040* 0,099
Asal usul tanah (X10(2)) 3,213 0,038* 24,843
Aksesibilitas ke ladang (X11(1)) -1,411 0,054**
0,244 Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10%
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil
keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil
analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang
untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata
5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta
1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang.
Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah
Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per
bulan + 3,213 asal usul tanah – 1,411 aksesibilitas ke ladang
Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi
Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah
57
H0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi
yang diamati
H1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang
diamati
Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan
nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α
sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H0, artinya tidak ada
perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati
sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya.
Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari
count-R2, Nagelkerke-R
2 dan Cox & Snell–R
2. Untuk mengetahui count-R
2 dapat
dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya
prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan
keseluruhan 126 sehingga count-R2
= 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan
bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2%
dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang
mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R2
mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh
variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas
ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R2 sebesar 40.8%.
Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat
mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul
tanah dan aksesibilitas ke ladang.
a. Faktor umur petani
Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara
berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan
mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan
mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani
muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun
membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi
(2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber
58
tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima
perubahan, ide-ide dan inovasi.
Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai
pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang
cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang
lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang
berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas
tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh
setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai
koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun
umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091
kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus.
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih
banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan
kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini
menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola
kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak
produktif.
Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang
masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua
umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang.
Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi
usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga
diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang
sudah tidak produktif.
Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola
kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya
akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang
menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga
yang besar dalam pengelolaannya.
59
b. Faktor luas lahan
Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis
usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang
dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari
satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani
kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden
(65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41
responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah
2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha,
lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri
yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan
cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain
seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa
pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar
responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada
daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 250,
dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian.
Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh
nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai
koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas
lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600
kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus.
Sumaryanto (2006) dalam penelitiannya tentang faktor yang
mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa
faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi
usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala
dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil
analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam
menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat
yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat
yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal.
Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam
60
kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan
penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha
besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama
(monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan
masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan
penghasilan besar.
c. Faktor pendapatan per bulan
Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang
akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan
yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani
tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang
banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup
besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang
sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki
nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang
kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut.
Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4
kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi
dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk
memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan
digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil
yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar.
Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per
bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan
untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai
koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat
tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang
yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan
rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari
seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini
menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung
lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan
61
modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam
kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani
(2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan
akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa
pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah
petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan
kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk
pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito
(2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih
menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini
merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obat-
obatan) dan pengelolaannya kurang intensif.
Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian
Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan
Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah
tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada
rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi
usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan
kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya.
Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang
semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat
untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan
dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang
intensif dan modal usaha untuk menanam cendana.
Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari
pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang
yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah
akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam
tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan
dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat
dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena
petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri
62
sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada
mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang
besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari
sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang
intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah
menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar.
d. Faktor asal usul tanah
Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten
Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan
sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul
kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang
sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan,
akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada
diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka
biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002)
menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa Buniwangi-
Sukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah
warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong
damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002).
Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan
tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam
adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang
bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada
disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras
yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan
hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang
membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman
kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama.
Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai
koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang
memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri
adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil
63
membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk
digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding
dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari
warisan.
Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola
masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik,
tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi
hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin
intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di
Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif,
khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang
berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila
sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan.
e. Faktor aksesibilitas ke ladang
Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan
mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang
dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti
sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman
yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan
semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih
memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis
tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak
tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan
intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam
pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil.
Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai
nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk
mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih
mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki
aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri
pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244)
kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.
64
Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri,
faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya
tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar
(3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat
yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai
tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola
(2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi
masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis
kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan
hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi
ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik
akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil
dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada
peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum
jelas (khususnya pada kawasan hutan).
Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada
urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki
pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena
petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam
mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh
adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan
dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila
menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan.
Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang
masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah
masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan
luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama
karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara
berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam
tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya
resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.
65
Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang
lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki
nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang
sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan
tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola
lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi
tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh
dari tanaman tersebut secara berkelanjutan.
Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang
masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan
sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar
daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga,
pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan
tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut
di atas tidak berpengaruh.
a. Lama tinggal di desa
Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman
seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang
dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan
dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi
seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa
kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat
dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat
hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman
lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan
ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman
masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung.
Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan
beralih menanam tanaman cokelat dan jagung.
b. Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan
Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada
lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan
66
berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan
lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki
pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain
untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki
pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga
semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan
utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak
berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri.
c. Status kepemilikan lahan
Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh
dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan
bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk
menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki
sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini
menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan
untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan
sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri.
Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri
menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan
tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha
tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa
kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti
tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006)
bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan
pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status
kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat
untuk menanam kemiri.
d. Jumlah anggota keluarga
Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota
keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan
usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak
67
tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada
hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota
keluarga tidak berpengaruh dalam menentukan untuk menanam kemiri pada
lahan milik masyarakat. Jumlah anggota keluarga yang besar belum tentu
keseluruhannya berperan dalam melakukan kegiatan pertanian. Ini terjadi
karena anggota keluarga terdiri dari anak-anak yang masih bersekolah, ada
anggota keluarga yang bersekolah di luar daerah dan ada tanggungan yang
sudah berusia lanjut (tidak produktif). Hal ini berbeda dengan Sumaryanto
(2006) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berperan
dalam melakukan diversifikasi usaha. Perbedaan ini bisa terjadi karena usaha
tanaman pertanian memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak
karena pengelolaannya yang lebih intensif sedangkan dalam mengelola
tanaman kemiri kurang intensif.
e. Pengalaman bertani
Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa pengalaman bertani
responden tidak berpengaruh dalam memilih untuk mengelola kemiri.
Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa pengalaman dalam usaha tani dapat
menunjukkan tersedianya tenaga kerja yang telah mempunyai keterampilan
awal yang cukup memadai. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
karena adanya berbagai latar belakang yang dialami oleh petani kemiri,
seperti harga kemiri yang tidak mendukung, perolehan hasil yang semakin
berkurang, masalah hama dan penyakit, pengangkutan yang sulit serta
pengolahan hasil (pengupasan). Latar belakang inilah yang menjadi salah
satu kendala dalam pengembangan tanaman kemiri pada lahan milik.
Akibatnya, beberapa petani mulai melakukan konversi lahan menjadi lahan
pertanian, baik pada lahan datar maupun pada lahan yang miring.
f. Jarak dari rumah ke ladang
Untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam pada lahan
masyarakat, dipengaruhi oleh jarak dari rumah ke ladang. Jenis tanaman
kayu-kayuan akan lebih cenderung ditanam masyarakat pada lahan miliknya
yang jaraknya sangat jauh dari rumah karena berhubungan dengan intensitas
kunjungan yang lebih sedikit dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama.
68
Tetapi pada penelitian ini, faktor jarak dari rumah ke ladang tidak
berpengaruh pada peluang untuk menanam kemiri. Penyebabnya adalah
karena hampir sebagian besar lahan masyarakat berada pada kondisi
topografi yang curam dan terjal dan berada disekitar lingkungan masyarakat.
Tanaman kemiri yang ditanam pada lahan yang jauh adalah lahan-lahan hasil
garapan yang merupakan lahan hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah
masyarakat.
Hasil berbeda dengan penelitian Fatmawati (2011) yang menyebutkan
bahwa jarak akan mempengaruhi peluang masyarakat menanam cendana.
Semakin dekat jarak dari rumah, peluang menanam cendana akan semakin
besar, karena menanam cendana dekat rumah akan lebih aman dari
pencurian, bahaya kebakaran, pengembalaan liar dan penebangan illegal.
Untuk menanam jenis tanaman kayu komersil yang memiliki nilai jual tinggi
memang lebih baik ditanam pada lahan yang dekat dengan rumah penduduk.
g. Tingkat pendidikan sekolah
Pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi masyarakat menanam kemiri. Hal ini didukung oleh
Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan tidak
mempengaruhi petani melakukan diversifikasi usaha. Hardjanto (2003)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas
(rendah), yang berdampak pada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk
memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama, seperti
penggunaan teknologi pertanian.
Silamon (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki
kecenderungan hubungan berbanding terbalik dengan keputusan
mengusahakan hutan rakyat, dimana semakin tinggi pendidikan maka
semakin kecil peluang untuk mengusahakan hutan rakyat atau petani dengan
pendidikan yang semakin rendah akan semakin besar peluangnya untuk
mengusahakan hutan rakyat. Pada akhirnya, faktor pendidikan yang rendah
menyebabkan petani memilih menanam jenis tanaman yang tidak intensif
karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang terbatas.
69
Hasil analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat
mengelola kemiri menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kegiatan hutan rakyat
dengan jenis tanaman kemiri yaitu pada lahan masyarakat yang diperoleh dari
membuka hutan, pendapatan masyarakat khususnya pada masyarakat yang
berpenghasilan rendah, lahan-lahan masyarakat yang sulit dijangkau, luas
kepemilikan lahan khususnya pada masyarakat yang memiliki lahan yang berada
pada lahan miring (curam dan terjal) dan kelompok masyarakat yang kurang
produktif.
5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat
Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari
aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini
merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis
keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu
berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et
al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator.
5.3.1 Aspek Ekologi
Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik
sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai
Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:
Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan
1 Erosi B
2 Produksi lahan C
3 Karakteristik air B
4 Kualitas air C
5 Cara mengambil manfaat B
6 Pengendalian hama dan penyakit C
7 Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir,
tanah longsor, dll)
C
8 Struktur tegakan C
9 Penutupan lahan C
10 Konservasi tanah C Keterangan : B= Baik, C= Cukup
70
1 Erosi tanah
Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang
lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan
dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan
kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat
besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya
menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi
adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan
kegiatan/aktivitas manusia.
Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi
erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan
bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk.
Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan
menempati strata paling bawah.Akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat
air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat
air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah
dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran
berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2)
perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan.
Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat
masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat
memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu
berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini
berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil.
Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam
mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara
dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu,
semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah
terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1)
vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi
kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2)
tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga
71
mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan
stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas;
(4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan
dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air
sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya.
Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang
cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah
hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan
pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan.
Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam
pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi.
Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem
dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE)
yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan
pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan,
diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian
berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari
keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal,
sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data
ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik.
Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem
No Tingkat bahaya erosi aktual
(ton/ha/tahun)
Luas
(ha)
Persentase
(%)
1 Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) 10.050,65 22,87
2 Bahaya erosi II (16 – 60 ton/ha/tahun) 32.061,46 72,97
3 Bahaya erosi III (60 – 180 ton/ha/tahun) 57,38 0,13
4 Bahaya erosi IV (180-480 ton/ha/tahun) - -
5 Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) - -
6 Tidak ada data 1.770,51 4,03
Jumlah 43.940,00 100 Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001)
Keberadaan tanaman kemiri, pada lahan-lahan yang bertopografi
bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam
menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang
72
ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi
ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi.
Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan
lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang
tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan
sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi
oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya
erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang
mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan
terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun.
Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah
terjadinya erosi.
2 Produktivitas lahan
Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan
Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12.
Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik
turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman,
yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi
kesehatan tanaman.
73
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (2001-2010)
Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir.
Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis
komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat
dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Produktivitas untuk ke-4
komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada
yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih
sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang
intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8–10 ton/ha.
Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika
dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun
2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil
rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di
Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994).
Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009
No Tahun Produktivitas (ton/ha)
Jagung Padi Ladang Cokelat Kemiri
1 2005 5,63 2,63 38,85 0,50
2 2006 6,33 1,87 0,70 0,65
3 2007 6,16 2,30 0,75 0,50
4 2008 6,23 2,30 0,93 0,75
5 2009 6,63 2,32 1,01 0,77 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
Luas (Ha)Produksi (Ton)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
74
Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman
tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah
pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002).
Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri
merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik
lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas
lahan cenderung menurun.
3 Karakteristik air
Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang
tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan
oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang
dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari,
masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan
yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang
dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai
dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat
berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga
menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem
dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun.
Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam
menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim
kemarau (Rahayu dan Awang 2003).
Gambar 13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal.
75
4 Kualitas air
Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk
hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah
kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau
kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan,
pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti
mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam
penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (pH) air,
Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu
terlarut dan temperatur air.
Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil.
Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), pH air berkisar antara
nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar
pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara
20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungai-
sungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam
kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP
No.82 tahun 2001 adalah pH berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar
10-100 mg/l dan residu terlarut berkisar 1000-2000 mg/l.
Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungai-
sungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan.
Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
5 Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah)
Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah
buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat
masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil
adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri.
Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk
pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu
sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan
76
dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan
sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan
alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh
masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar.
Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada
umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah
tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai,
hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya.
Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak
mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri
yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar
dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan
angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah
dan bahkan tidak laku.
Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual
karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan
bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat
adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat
diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua
biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar
pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang
ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri,
posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat
1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007).
Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi
tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar.
Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi
tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan
pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu,
akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini
berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani
untuk mengembangkan usaha yang sama.
77
Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan
menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan
menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik
menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam
proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah.
6 Pengendalian hama dan penyakit
Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya
hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang
memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun
(hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai
tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat
hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden
yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya
pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk
mengatasinya.
Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara
umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi
permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai
kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa
dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi
kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil
penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon
kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu
pertumbuhan tanaman kemiri.
Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang
umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan
Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui
kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk
membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh
menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit
yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan
78
dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas
batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas
kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan
membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain.
7 Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah
longsor, dan lain-lain)
Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar
pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan
korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi.
Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas.
Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun 2006.
Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang
tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah).
Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam,
khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal
yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak
menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi
topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan
penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak
diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor
yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang.
Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat
memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir,
kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO2. Gangguan banjir bandang
yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena
struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman
kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi
curam dan terjal.
8 Struktur tegakan hutan
Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati
menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat
dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari
79
pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa
struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan
lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di
lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian
permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga.
Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu
(tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan
keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang
menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh
roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga
kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang
sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro
(2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat
Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya
tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga
Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan
keasliannya.
9 Jaminan penutupan lahan
Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum
menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk
tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi
permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin
luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh
masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang
digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m,
10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak
tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m.
Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman
kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak.
Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan
lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan
mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur
80
tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang
kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor
(Haryadi 2006; Mahendra 2009).
Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah
10 Adanya upaya konservasi tanah
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang
diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk
beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan
alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri.
Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau
menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring
karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih
menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan
membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi
lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan
sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah
menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan.
Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat
dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan
agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari
81
hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya dilakukan
kearah pengelolaan yang keberlajutan seperti belum adanya upaya penanganan
hama dan penyakit yang berdampak pada menurunnya produktivitas, luas
tanaman kemiri yang terus menurun yang berdampak pada jaminan penutupan
lahan khususnya pada lahan miring, belum adanya kegiatan yang aktif dalam
konservasi tanah seperti penanaman pada lahan miring dan lain-lain. Adanya
gangguan hama dan penyakit menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri
belum intensif dan adanya bencana banjir bandang akibat dari perubahan
penggunaan lahan pada lahan miring menunjukkan terjadinya pola penggunaan
lahan yang tidak tepat pada lahan-lahan miring. Jika pengelolaan tanaman kemiri
rakyat berkelanjutan, maka peran tanaman kemiri dari aspek ekologi (lingkungan)
akan tercapai seperti menyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa,
mempertahankan kesuburan tanah, menjaga kestabilan suhu tanah dan organisme
penghuninya, mengurangi karbon dioksida, mengurangi pemanasan global dan
penahan erosi (Haryadi 2006).
5.3.2 Aspek Ekonomi
Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek ekonomi adalah
yang bernilai Baik sebanyak 3 (37,5%); yang bernilai Cukup sebanyak 3 (37,5%);
dan yang bernilai Jelek sebanyak 2 (25%). Penjelasan setiap indikator adalah
sebagai berikut:
Tabel 27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri
No Indikator Penilaian Keterangan
1 Sumber modal J
2 Peningkatan pendapatan C
3 Kelayakan usaha B
4 Penyerapan tenaga kerja B
5 Kesejahteraan penduduk J
6 Kepastian potensi produksi di panen (buah) C
7 Keuntungan usaha C
8 Akses pasar B Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1 Sumber modal
Sumber modal untuk berbudidaya tanaman kemiri berasal dari pemilik
lahan. Sumber modal dalam tanaman keras belum dapat diajukan ke bank dalam
82
bentuk kredit karena tingkat pengembalian modal yang cukup lama. Bank hanya
mengeluarkan dana pinjaman seperti untuk kegiatan usaha pertanian dan
peternakan. Diniyati et al. (2008) menyebutkan bahwa bank dan koperasi dapat
berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat. Sementara Mosher dalam
Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa salah satu unsur kelembagaan yang dapat
digunakan untuk mengetahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah
berkembang adalah adanya perkreditan yang berfungsi untuk meningkatkan
kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi.
Jika hal di atas dihubungkan dengan pinjaman yang mudah pada jenis usaha
pertanian, tentu mendukung kegiatan pengembangan usaha tanaman pertanian,
tetapi tidak untuk tanaman keras (kayu-kayuan) yang menghasilkan agak lambat.
Nugroho (2010) lembaga keuangan seperti bank masih enggan untuk mendanai
pengusahaan hutan rakyat berdasarkan sifat manfaat sosial, ekonomi dan
lingkungan yang dapat dihasilkan dari pengusahaan hutan rakyat. Tidak adanya
akses untuk mendapatkan kredit dari bank dalam pengusahaan kemiri,
menyebabkan penanaman kemiri hanya dilakukan berdasarkan pengalaman
dengan modal lahan yang tersedia, tenaga kerja dari keluarga dan pengadaan bibit
diperoleh dari bibit tanaman kemiri yang tumbuh di lahan-lahan sekitar, sehingga
usaha pengembangan tanaman kemiri sebagai tanaman yang dapat bermanfaat
dari aspek ekologi dan ekonomi kurang berkembang.
2 Peningkatan pendapatan
Untuk mendapatkan peningkatan pendapatan, maka suatu jenis kegiatan
haruslah mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Tanaman kemiri merupakan
salah satu sumber pendapatan keluarga bagi pemiliknya. Petani kemiri tidak
hanya menanam kemiri saja, tetapi juga menanam tanaman lain seperti jagung
dan cokelat. Sumber penghasilan masyarakat selain dari tanaman pertanian adalah
dari gaji, berdagang, supir, tukang dan lain-lain. Jika pendapatan dari kemiri
dibandingkan dengan pendapatan total per tahun, maka pendapatan yang
diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah sekitar 35,79% terhadap pendapatan
total (Lampiran 5). Sementara penelitian lainnya menyebutkan bahwa kontribusi
pendapatan petani dari kemiri terhadap pendapatan total per bulan di Kecamatan
83
Kuta Buluh, Tiga Binanga, Lau Balang dan Mardinding (Kabupaten Karo) adalah
antara 10,34% sampai 39,43% (Hutasoit 2008).
Jika hasil pendapatan dari HHBK kemiri di atas dibandingkan dengan hasil
pendapatan dari kayu hutan rakyat, maka pendapatan ini masih lebih besar dari
hasil kayu karena kontribusi hasil hutan rakyat kayu masih lebih kecil dari HHBK
seperti getah damar dan kemenyan (Hardjanto 2000; Hardjanto 2001; Wijayanto
2001; Nurrochmat 2001; Darusman dan Hardjanto 2006; Sitompul 2011). Hal ini
terjadi karena pendapatan dari HHBK dapat diperoleh petani hampir sepanjang
tahun pada saat usia tanaman masih produktif sedangkan dari hasil dari kayu
hanya dapat dirasakan pada saat masa penjarang ataupun pada masa panen akhir.
Pendapatan dari HHBK akan berfluktuasi sepanjang tahun tergantung dari besar
kecilnya produksi HHBK yang diperoleh sedangkan pendapatan dari hasil kayu
yang sangat besar akan diperoleh pada saat akhir panen.
Data di atas menunjukkan bahwa tanaman kemiri berperan sebagai sumber
penghasilan petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti
kebutuhan primer dan sekunder (Sumodiningrat 1999). Peran pendapatan dari
tanaman kemiri terhadap petani yang cukup besar disebabkan karena responden
yang diwawancarai umumnya adalah responden yang memang menggantungkan
hidupnya dari hasil tanaman kemiri. Hal ini juga dipengaruhi karena kondisi
harga kemiri yang meningkat secara tajam. Menurut informasi, harga kemiri
tahun 2005-2008 berkisar antara Rp6.000-Rp7.000/kg, pada tahun 2009 sampai
awal 2010 berkisar antara Rp8.000-Rp9.000/kg, pada tahun 2010 berkisar
Rp20.000-23.000/kg. Pada saat penelitian dilakukan, harga kemiri antara
Rp22.000-25.200/kg. Tentu peningkatan harga kemiri ini akan mempengaruhi
peningkatan pendapatan masyarakat secara umum.
3 Kelayakan usaha
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha tanaman
kemiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan aliran biaya dan pendapatan
yang terdiskonto (discounted cash flow analysis). Jangka waktu analisis dimulai
sejak tahuk pertama sampai tahun ke-50 dengan asumsi bahwa produksi buah
masih dapat diperoleh sampai umur 50 tahun. Asumsi lain yang digunakan
adalah bahwa kondis lahan adalah subur, jarak tanam 8m x 8m dengan perkiraan
84
produksi buah pertahun berdasarkan Deptan (2006a) dan Paimin (1994). Tingkat
suku bunga yang digunakan adalah 24% yaitu besaran kisaran tingkat suku bunga
yang berlaku di lokasi penelitian.
Tabel 28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha
No Kondisi Kriteria
investasi
Kriteria
layak
Hasil
perhitungan
Kesimpulan
1 Lahan milik NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
130.123.463
79,66
7,61
Layak
2 Lahan sewa NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
124.981.450
78,99
6,04
Layak
3 Lahan dibeli NPV (Rp)
IRR (%)
BCR
NPV>0
IRR>DR
BCR>1
13.852.311
25,75
1,10
Layak
Perhitungan biaya, pendapatan, NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada
Lampiran 6. Analisis NPV, BCR dan IRR dilakukan pada tiga kondisi yaitu lahan
milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli. Suatu kegiatan atau usaha disebut layak
jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan,
yang disebut dengan manfaat bersih. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila NPV
lebih besar dari 0 (NPV>0) yang artinya usaha menguntungkan atau memberikan
manfaat. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan NPV pada lahan
milik, lahan sewa dan lahan dibeli adalah lebih besar dari 0, sehingga usaha
kemiri dapat memberikan keuntungan kepada yang mengusahakannya.
Nilai BCR digunakan untuk mengetahui pengaruh adanya tambahan biaya
terhadap tambahan manfaat yang diterima. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila
BCR lebih besar dari 1 (BCR>1) yang artinya bahwa usaha layak untuk
dijalankan. Nilai BCR pada lahan milik adalah 7,61, artinya bahwa investasi satu
rupiah akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,61 rupiah, demikian
halnya pada lahan sewa dan lahan yang dibeli. Dari hasil nilai BCR di atas, dapat
diketahui bahwa usaha menanam kemiri layak dilakukan.
Nilai IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian usaha
terhadap investasi yang ditanamkan. IRR adalah tingkat discount rate (DR) yang
menghasilkan NPV sama dengan 0. Suatu usaha disebut layak apabila IRR-nya
85
lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (DR). Pada Tabel 28 dapat dilihat
bahwa nilai IRR pada lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli, masing-
masing berada di atas tingkat suku bunga awal perhitungan (DR) sebesar 24%.
Hasil analisis kelayakan usaha tanaman kemiri dari nilai NPV, BCR dan
IRR menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri layak untuk dikembangkan,
baik pada lahan milik, lahan sewa maupun lahan yang dibeli. Tetapi untuk lahan
yang dibeli, tingkat keuntungan yang akan diperoleh hanya sedikit. Hal ini
dilatarbelakangi oleh harga tanah yang sangat tinggi yaitu sekitar 144.000.000/ha.
Untuk investasi kemiri sebaiknya dilakukan pada lahan sewa dan lahan milik.
Hasil penelitian tanaman kemiri yang ada di Kabupaten Maros oleh Yusran
(1999) menunjukkan bahwa nilai NPV sebesar Rp6.392.526, BCR > 3,59 dan
IRR sebesar 53,51% pada tingkat suku bunga 19%, dan disebutkan bahwa
pengusahaan tanaman kemiri juga layak untuk diusahakan. Untuk kegiatan
tanaman rakyat lain yang tergolong HHBK juga menunjukkan layak untuk
dikembangkan seperti kemenyan karena nilai NPV sebesar Rp17.226.420, BCR
sebesar 2,37 dan IRR sebesar 22,6% pada lahan sewa dan nilai NPV sebesar
Rp24.902.670, BCR > 2,85 dan IRR sebesar 28,8% pada lahan yang tidak disewa
pada tingkat suku bunga 13% (Sitompul 2011).
4 Penyerapan tenaga kerja
Aktivitas pengelolaan kemiri cukup menyerap tenaga kerja baik dari
lingkungan keluarga petani dan dari luar anggota keluarga petani. Terdapat 33
responden (52,38%) yang menyebutkan bahwa aktivitas pengelolaan kemiri
menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani itu sendiri sedangkan 30
responden (47,62%) menyebutkan selain menyerap tenaga kerja dari lingkungan
keluarga petani juga menyerap tenaga kerja dari luar anggota keluarga.
Aktivitas penanaman kemiri sangat menyerap tenaga kerja bagi anggota
keluarga pemilik lahan seperti pembersihan tumbuhan bawah, pengumpulan buah
dan pengupasan. Tentu hal ini tidak jadi masalah bagi keluarga yang memiliki
anggota keluarga usia produktif. Lain halnya dengan petani yang sudah kurang
produktif. Jumlah responden yang memiliki tanaman kemiri yang sudah berumur
di atas usia produktif (di atas 60 tahun) sebanyak 15 orang (23,81%). Responden
ini tidak dapat melakukan kegiatan pertanian yang aktif karena berhubungan
86
dengan kekuatan fisik. Sehingga pengelolaan lahan yang dimilikinya akan
diserahkan kepada keluarga atau disewakan.
Sementara itu, tanaman kemiri juga dimiliki oleh masyarakat yang
melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, tukang dan PNS, dimana mereka ini
tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya. Bagi keluarga
pemilik lahan yang memiliki pekerjaan pokok di luar bertani, maka untuk
kegiatan tertentu seperti mengumpulkan buah dan membabat atau membersihkan
tumbuhan bawah akan mempekerjakan orang lain baik dari anggota keluarga
terdekat, tetangga maupun penduduk sekampung. Hal ini menunjukkan bahwa
penanaman kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan anggota keluarga dan
di luar anggota keluarga.
Untuk mempekerjakan orang lain, tidak dilakukan dengan sistem gajian
tetapi dibayar dengan cara “sistem dibelahkan”. Seseorang yang memiliki
tanaman kemiri, tetapi tidak punya waktu untuk mengumpulkan kemirinya, maka
dia akan mempekerjakan orang lain dan orang tersebut akan dibayar dengan
menyerahkan setengah hasil kemiri yang dikumpulkannya. Sedangkan kegiatan
membabat atau mematikan tanaman bawah dengan round-up dilakukan dengan
pembayaran upah kerja per hari.
Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang
dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Hal ini juga berlaku untuk kegiatan hutan rakyat pada jenis HHBK. Kegiatan lain
yang menyerap tenaga kerja dalam usaha tanaman kemiri selain dalam hal
pengelolaan adalah kegiatan pengupasan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat
baik yang memiliki tanaman kemiri maupun yang tidak memiliki tanaman kemiri.
Beberapa masyarakat menjual kemiri dengan kulitnya langsung. Tetapi ada juga
yang lebih dahulu mengupasnya. Kemiri yang dijual dengan dikupas akan lebih
mahal. Untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki
pekerjaan, akan mencari nafkah dengan cara membeli kemiri berkulit lalu
mengupasnya. Wibowo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan penanaman kemiri
mampu menumbuhkan usaha jasa pengusapan kemiri. Hal ini menunjukkan
bahwa kegiatan penanaman kemiri bersifat sebagai efek pengganda (multiflier
87
effect) dimana mampu meningkatkan pendapatan bagi petaninya, meningkatkan
lapangan kerja dan bermanfaat dalam menjaga lingkungan.
5 Kesejahteraan penduduk
Kesejahteraan dalam lingkup masyarakat sangat tergantung pada tingkat
kesejahteraan keluarga-keluarga yang ada pada suatu tempat. Tingkat
kesejahteraan menurut BKKBN tahun 1999 adalah suatu tingkatan yang
menyatakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material
yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang
serasi, selaras dan seimbang antara keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Pengukuran kesejahteraan keluarga dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada
kriteria BPS sedangkan analisis kesejahteraan penduduk dalam penelitian ini,
dikelompokkan menjadi 3 bagian seperti pada Tabel 29.
Pada tabel dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di lokasi penelitian
pada tahun 2008 dan 2009 berada pada kriteria pra sejahtera sampai sejahtera II.
Pada tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah penduduk tidak sejahtera dan terjadi
penurunan jumlah penduduk pada kriteria cukup sejahtera jika dibandingkan
dengan tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat
kesejahteraan penduduk walaupun sangat kecil.
Peran tanaman kemiri dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah
melalui pendapatan yang diperoleh dari hasil kemiri yang berperan dalam
memenuhi kebutuhan hidup petani terutama kebutuhan sehari-hari. Apabila
pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari,
maka kesejahteraan hidup petani akan lebih baik.
Tabel 29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah dan
Pasir Tengah tahun 2009-2010
Tahun 2008 Tahun 2009
Kriteria Jumlah Kriteria untuk
analisis Jumlah Kriteria Jumlah
Kriteria untuk
analisis Jumlah
Pra sejahtera 663 Tidak sejahtera 663 Pra sejahtera 692 Tidak sejahtera 692
Sejahtera I 415 Cukup sejahtera 722
Sejahtera I 408 Cukup
sejahtera 712
Sejahtera II 307 Sejahtera II 304 Sejahtera III 47
Sejahtera 60
Sejahtera III 48
Sejahtera 61 Sejahtera III
Plus
13 Sejahtera III
Plus
13
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2009-2010)
88
6 Potensi produksi
Dalam suatu perusahaan, faktor-faktor produksi sangat menentukan besar
kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk mengetahui potensi produksi
tanaman kemiri, maka ada 4 faktor yang dianggap paling berperan dalam
menentukan besar kecilnya hasil yang diperoleh setiap periode waktu, yaitu luas
lahan, umur tanaman, jumlah tanaman yang menghasilkan serta tenaga kerja.
Faktor lain yang umumnya paling berperan adalah pupuk, tetapi petani tidak
melakukan pemupukan karena dengan pemupukan bisa menyebabkan kerugian
sebab banyak ranting yang patah pada saat buah sudah besar.
Tenaga kerja pada kegiatan usaha kemiri umumnya berasal dari kalangan
keluarga sendiri. Tetapi bagi petani yang sudah memasuki usia tidak produktif
dan bagi keluarga yang memiliki mata pencaharian yang lainnya, seperti PNS,
tukang, supir, dagang, dan lain-lain, cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari
anggota keluarga terdekat atau masyarakat sekitarnya (Yusran 1999, 2005;
Simatupang 2001; Sihotang 2007). Pekerjaan yang dilakukan antara lain
membersihkan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengolahan hasil.
Ketersediaan lahan merupakan hal penting dalam melakukan usaha tanaman
kemiri. Keberadaan lahan tanaman kemiri yang ada di lokasi penelitian cukup
luas yaitu rata-rata 2,67 ha, luas paling kecil 0,45 ha dan luas paling besar 6 ha.
Luas kepemilikan lahan ini berbeda dengan rata-rata luas kepemilikan lahan yang
ada di Jawa yang hanya berkisar 0,25 ha (Hardjanto 2003). Tanaman kemiri
rakyat yang ada saat ini banyak terdapat pada lahan yang bertopografi curam
sampai terjal dengan kemiringan 250
ke atas, pada tepi sungai, jurang dan lembah.
Umur tanaman akan mempengaruhi besar kecilnya produksi per pohon.
Umur tanaman kemiri akan berproduksi pada tahun ke-5 sampai tahun ke-35.
Umur tanaman bisa lebih dari 50 tahun, tetapi tidak akan sampai di atas 100
tahun, hal ini terkait dengan kekuatan batang tanaman yang rendah. Tanaman
kemiri dikenal sebagai tanaman yang mudah busuk, mudah roboh dan mudah
terserang hama dan penyakit. Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur 35
tahun, kemiri akan tetap menghasilkan, tetapi hasilnya akan terus menurun seiring
dengan pertambahan umurnya (Paimin 1994, Deptan 2006a).
89
Produksi kemiri per satuan luas sangat berpengaruh pada jumlah pohon
yang menghasilkan dimana hal ini terkait dengan jarak tanamnya. Untuk tujuan
menghasilkan buah, jarak tanaman yang paling baik adalah jarak tanam yang
lebar seperti 8m x 8m (Paimin 1994) sampai 10m x 10m (Sunanto 1994; Deptan
2006a), dengan tujuan agar kemiri yang tumbuh menghasilkan tajuk yang lebar
sehingga menghasilkan buah yang banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kemiri yang akan diperoleh
petani dipengaruhi oleh faktor jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur tanaman, dan
jumlah pohon menghasilkan. Hasil pengolahan data dengan menggunakan fungsi
produksi cobb-douglas (Soekartawi 2002) adalah seperti pada Tabel 30.
Tabel 30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri
Predictor Coef P
Konstanta 1,252 0,000
Tenaga Kerja (X1) 0,791 0,000*
Luas lahan (X2) 0,078 0,423
Umur tanaman (X3) -0,126 0,160
Jumlah pohon (X4) 0,150 0,057** Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5%, ** Signifikan pada taraf nyata 10%
Untuk analisis data yang menggunakan model regressi linier berganda,
maka ada empat asumsi yang harus terpenuhi, yaitu asumsi multikolinearitas,
heterokedastisitas, autokorelasi dan komponen sisaan menyebar normal
(normalitas).
Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sesama
variabel bebas (independen) saling berhubungan atau berkorelasi. Jika model
regressi baik, maka tidak terjadi korelasi di antara variabel bebasnya. Ada atau
tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor
(VIF). Jika nilai VIF tidak melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1
(nilai tolerance diperoleh dari 1/VIF atau 1/10), maka dapat dikatakan bahwa data
terbebas dari multikolinearitas. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa tidak ada
variabel yang memiliki nilai VIF yang melebihi 10 dan nilai tolerance (1/VIF)
masih di atas 0,1, sehingga dapat dikatakan bahwa model regresssi linier
berganda yang dihasilkan tidak ada multikolinearitas.
90
Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dimana varians dari residual tidak
sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau hasil pengamatan
tidak memiliki pola tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai
yang tidak sama antar satu varians dari residual atau disebut dengan gejala
heterokedastisitas, sedangkan gejala varians dari residual yang sama dari satu
pengamatan dengan pengamaan lainnya disebut dengan homokedastisitas. Untuk
mengetahui ada tidaknya gejala heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar
residual versus fitted value. Pada gambar grafik di Lampiran 8 terlihat bahwa
residual versus fitted value memiliki sebaran data cenderung acak dan tidak
membentuk pola tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa asumsi
heterokedastisitas telah dipenuhi.
Uji autokorelasi digunakan untuk pengujian asumsi dimana variabel
dependen (Y) tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai dari
variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai
periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Untuk mengetahui gejala
autokorelasi diketahui dari gambar observation order dengan residual, dimana
hasilnya akan menunjukkan acak tidak beraturan. Pada gambar di Lampiran 8
dapat dilihat bahwa hasil pengamatan adalah acak tidak beraturan sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada gejala autokorelasi.
Asumsi normalitas dapat diketahui melalui plot Normal Probability Plot.
Apabila setiap pencaran data residual berada di sekitar garis lurus melintang,
maka dikatakan bahwa residual mengikuti fungsi distribusi normal. Pada gambar
di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa sebaran residual berada dalam garis lurus
melintang dan sebaran residual cenderung membentuk garis lurus. Hasil ini
menunjukkan bahwa asumsi komponen sisaan menyebar normal atau mengikuti
distribusi normal.
Untuk melihat pengaruh variabel yang dianggap mempengaruhi produksi
secara bersamaan, maka dilakukan uji F. Hasil uji F pada model adalah F = 99,48
> F(4,57,0,1) = 3,649 dan nilai α = 0,10 > P = 0,000, maka model yang diperoleh
dapat secara bersama digunakan untuk menerangkan produksi kemiri atau faktor
luas lahan, tenaga kerja, umur tanaman dan jumlah pohon menghasilkan
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi kemiri. Hasil analisis regresi
91
memperlihatkan nilai R-Sg (adj) 86,6%, artinya bahwa 86,6% produksi kemiri
dapat dijelaskan oleh faktor luas lahan, faktor tenaga kerja, faktor umur tanaman
dan faktor jumlah pohon menghasilkan, sedangkan sisanya sebesar 13,4%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.
Adapun persamaan regressi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Log Y = log 1,252 + log 0,791 X1 + log 0,078 X2 – log 0,126 X3 + log 0,150 X4
Persamaan di atas perlu dikembalikan kepersamaan semula dengan cara
meng-anti-log-kan persamaan yang sudah diperoleh, dan hasilnya adalah
Y = 0,097 X1 0,791
X2 0,078
X3-0,126
X40,150
Pada persamaan dapat dilihat bahwa koefisien b1, b2 dan b4 adalah positif,
maka peningkatkan tenaga kerja, luas lahan dan jumlah pohon menghasilkan
cenderung meningkatkan produksi kemiri. Sedangkan nilai koefisien b3 adalah
negatif, maka peningkatkan umur tanaman akan mengurangi produksi kemiri.
Bila ditinjau dari nilai P, maka tenaga kerja dan jumlah pohon signifikan pada
taraf nyata 10%, sedangkan luas lahan dan umur tanaman masing-masing tidak
signifikan.
Pada faktor tenaga kerja, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah tenaga kerja akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
nilai koefisien 0,791. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap penggunaan tenaga kerja, apabila dilakukan penambahan tenaga kerja
sebanyak 10% akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 7,91%,
ceteris paribus. Untuk pengelolaan kemiri, tenaga kerja diperlukan dalam
kegiatan pembersihan lahan, pengumpulan buah, penjemuran dan pengupasan
kemiri. Sehingga tenaga kerja sangat berperan dalam menghasilkan dan
meningkatkan produksi kemiri masyarakat.
Pada faktor luas lahan, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan luas lahan akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
92
nilai koefisien 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon
terhadap luas lahan atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri.
Besar kecilnya luas lahan, pada dasarnya akan memberikan pengaruh pada
produksi kemiri yang akan diperoleh. Tetapi pada hasil analisis ini, luas lahan
tidak berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri. Hal ini dapat
dihubungkan dengan jumlah tanaman pada suatu lahan. Jarak tanam kemiri rakyat
adalah berbeda-beda, maka jumlah tanaman pada setiap lahan yang dimiliki oleh
petani juga berbeda-beda. Pada pemilik tertentu, mungkin lahan yang dimilikinya
luas dan jumlah tanamannya sangat banyak, tetapi pada pemilik lahan lainnya,
lahannya mungkin luas tetapi jumlah tanamannya sangat sedikit. Sehingga, faktor
luas lahan kurang berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri, tetapi luas
lahan mungkin akan berpengaruh jika setiap contoh yang diperoleh menggunakan
pola jarak tanam yang sama sehingga pada luasan yang sama jumlah tanaman
yang ada juga sama.
Pada faktor umur tanaman, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai negatif, artinya jika terjadi penambahan umur tanaman maka akan diikuti
dengan penurunan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial
diperoleh bahwa faktor umur tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi
kemiri dengan nilai koefisien 0,126. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
tidak respon terhadap umur tanaman atau tidak signifikan dalam mempengaruhi
produksi kemiri. Walaupun umur tanaman tidak signifikan dalam mempengaruhi
produksi kemiri, tetapi nilai keofisien yang negatif menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan produksi kemiri seiring dengan penambahan umur tanaman.
Penurunan produksi kemiri pada model sangat dipengaruhi oleh pertambahan
umur tanaman, semakin tinggi umur tanaman apalagi jika sudah melewati umur
produktif, maka hasil yang diperoleh juga akan menurun. Umur rata-rata tanaman
kemiri pada sampel adalah 37,37 tahun. Paimin (1994) menyebutkan bahwa
produksi tanaman kemiri akan meningkat dari tahun ke-6 sampai umur 35 tahun.
Sementara jika umur tanaman lewat 35 tahun, maka produksi kemiri pelahan-
lahan akan menurun dan pada saat tertentu akhirnya tidak produktif lagi.
Jika mengikuti kondisi di atas, luas lahan yang produktif adalah 83 ha
dengan produksi rata-rata 670,92 kg/ha. Sedangkan luas lahan di atas 35 tahun
93
adalah 84,95 ha dengan rata-rata produksi sudah dalam kondisi menurun yaitu
497,75 kg/ha. Perbedaan produksi rata-rata pada usia di bawah 35 tahun dengan
rata-rata produksi di atas 35 tahun adalah 173,16 kg/ha. Hal ini menunjukkan
bahwa produksi kemiri yang dihasilkan akan menurun karena dipengaruhi oleh
umur tanaman yang sudah melewati batas produktif. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah kondisi kesehatan tanaman, kondisi kesuburan lahan dan
tingkat keintensifan dalam mengelola lahan dan memelihara tanaman. Untuk
meningkatkan produksi kemiri, maka sebaiknya dilakukan peremajaan tanaman
pada tanaman yang sudah berumur tua khususnya tanaman yang sudah melewati
umur produktif di atas 35 tahun.
Pada faktor jumlah pohon, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan
bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah pohon, maka akan diikuti
peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh
bahwa faktor jumlah pohon berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
nilai koefisien 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon
terhadap jumlah pohon. Apabila terjadi penambahan pohon sebanyak 10%, akan
diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 1,5%, ceteris paribus.
Sebenarnya, kondisi ini bisa diterima atau bisa juga tidak, karena produksi kemiri
akan dipengaruhi oleh jarak tanam. Jika tujuan penanaman kemiri adalah untuk
menghasilkan buah maka jarak tanam sebaiknya 10m x 10m (Deptan 2006a;
Sunanto 1994), 8m x 8m atau 8m x 10m (Paimin 1994). Sedangkan bila tujuan
penanaman adalah untuk menghasilkan kayu maka jarak tanamnya adalah 4m x
4m (Paimin 1994; Sunanto 1994).
Jumlah pohon yang ada pada satuan luas lahan sangat tergantung pada jarak
tanam yang digunakan oleh petani. Rata-rata jumlah pohon per satuan luas pada
lokasi penelitian adalah 115 pohon/ha. Jika luas lahan 1 ha, maka jarak tanam
yang mendekati jumlah pohon di atas adalah 8m x 10m atau 10m x 10m. Jika
kondisi di lapangan dibandingkan dengan jarak tanam yang dianjurkan untuk
tujuan menghasilkan buah (Paimin 1994; Sunanto 1994; Deptan 2006a), maka
kondisi jumlah pohon kemiri di lapangan sudah sesuai dengan tujuan untuk
menghasilkan buah yaitu sekitar 100 pohon/ha untuk jarak tanam 10m x 10m dan
125 pohon untuk jarak tanam 8m x 10m. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon
94
menghasilkan sampai umur 35 tahun adalah 123 pohon/ha dan rata-rata jumlah
pohon menghasilkan pada usia di atas 35 tahun (produksi mulai menurun) adalah
107 pohon/ha. Penurunan ini terjadi karena banyak pohon yang mati.
Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah koefisien regressi fungsi produksi
tanaman kemiri sebesar 0,893. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri
berlangsung pada tahapan ”decreasing retun to scale”, yaitu penambahan jumlah
seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi
hasil produksi yang lebih kecil. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor
produksi secara bersamaan sebanyak 100% maka akan terjadi penambahan hasil
atau produksi kemiri sebesar 89,3%.
Simatupang (2001) pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi kemiri pada tahun 2000 dengan sampel yang berbeda.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor luas lahan dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri sedangkan faktor umur tanaman dan
jumlah pohon tidak berpengaruh nyata. Sementara penjumlahan koefisien
regressi yang di peroleh berada pada tahap ”increasing retun to scale” sebesar
1,002, maka penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan
memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih besar. Artinya,
bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama 100% (variabel
luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja dan jumlah tanaman) akan meningkatkan
produksi sebesar 100,2%.
Sihotang (2007) juga pernah melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi produksi getah kemenyan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor
umur tanaman, jumlah pohon dan tenaga kerja signifikan dalam mempengaruhi
produksi getah kemenyan sedangkan faktor luas lahan tidak signifikan.
Dari hasil ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa setiap faktor
memberikan nilai dan pengaruh yang berbeda-beda. Faktor tenaga kerja adalah
faktor yang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi
kemiri dan kemenyan, hal ini terkait dengan proses pengelolaan lahan dan proses
lanjutan sampai hasil dapat dijual. Sementara faktor umur tanaman menghasilkan
koefisien regressi yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa umur
tanaman yang diteliti sudah memasuki umur tidak produktif sehingga
95
penambahan umur tanaman akan cenderung memberikan hasil yang makin
sedikit.
7 Keuntungan usaha
Untuk mengembangkan suatu kegiatan budidaya tanaman keras, maka perlu
diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh per periode waktu tertentu untuk
satuan luas tertentu. Setelah melakukan perhitungan maka diketahui bahwa rata-
rata pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah
Rp8.544.924/ha/tahun. Sementara rata-rata pengeluarannya per tahun sekitar
Rp1.197.757/ha/tahun. Adapun keuntungan yang diperoleh adalah
Rp7.347.167/ha/tahun. Biaya yang kecil disebabkan karena tidak ada petani yang
melakukan pemupukan terhadap tanaman kemiri. Biaya yang keluar hanya untuk
membeli racun rumput (round-up), biaya membabat, biaya sewa, biaya tenaga
kerja panen, menjemur dan mengupas kemiri. Hasil wawancara dengan
masyarakat menyatakan, bahwa sebenarnya menanam kemiri tidak selalu untung.
Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan keuntungan yang cukup besar
karena posisi harga jual yang cukup tinggi. Sedangkan kalau harga sangat kecil
yaitu sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000, maka tingkat keuntungan yang diperoleh
pasti lebih kecil dan bahkan mungkin akan menyebabkan kerugian bagi petani
bila kegiatan pengusahaan yang dilakukan petani termasuk ongkos biaya
pengeluaran dengan harga 1 HOK adalah Rp50.000,-
Kenaikan harga jual kemiri yang terjadi dua tahun terakhir telah
menumbuhkan kembali niat petani untuk mengusahakan kemiri miliknya yang
sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa petani yang memiliki niatnya untuk
menjual kemiri tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya karena harga yang
tinggi dan luas lahan kemiri miliknya sangat luas.
8 Akses pasar
Salah satu syarat yang diperlukan agar suatu produk yang dihasilkan disebut
berhasil apabila didukung oleh pemasarannya. Petani kemiri di Kecamatan Tanah
Pinem tidak ada menemui kesulitan dalam pemasaran kemiri, karena selain
masyarakat dapat menjual kemiri di pasar lokal, mereka juga dapat menjual
kemiri di rumah. Harga di rumah dengan harga di pasar adalah sama. Karena
tidak perlu mengeluarkan biaya dalam menjual kemiri, maka masyarakat
96
umumnya menunggu pembeli datang ke rumah-rumah. Rata-rata setiap desa ada
pengumpul sehingga dalam hal pemasaran buah kemiri tidak ada masalah.
Kemiri dijual dalam bentuk berkulit dan sudah dikupas. Kemiri berkulit
dijual oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak seperti beras.
Kemiri berkulit dibeli masyarakat yang usahanya adalah mengupas kemiri.
Penjualan dalam bentuk kemiri kupas lebih banyak dilakukan masyarakat karena
lebih tinggi harga jualnya. Pendapatan masyarakat selain dari biji kupas (kernel)
juga dari kulit cangkang. Saluran pemasaran kemiri masyarakat adalah produsen,
pedagang pengumpul desa/kecamatan, pedagang pengumpul besar (propinsi),
pedagang antar pulau dan konsumen. Sampai tahun 2005, kemiri rakyat dari
Kecamatan Tanah Pinem dapat memasuki pasar ekspor tetapi setelah tahun 2005
tidak ada lagi ekspor. Kemiri rakyat yang ada saat ini adalah untuk memenuhi
kebutuhan lokal dan daerah.
Gambar 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekonomi masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Pada dasarnya penanaman kemiri pada lahan milik masyarakat
dapat memberikan keuntungan pada petani, khususnya petani pemilik lahan pada
lahan-lahan miring. Tanaman kemiri juga bisa berperan menjadi sumber
pendapatan petani karena dapat memberikan tambahan pendapatan yang berperan
dalam memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Untuk investasi
kemiri, hasil penilaian NPV, BCR dan IRR pada lahan milik dan lahan sewa
menunjukkan bahwa usaha tanaman kemiri layak dilakukan. Aspek pemasaran
97
hasil bukanlah masalah untuk mengelola kemiri karena pemasaran hasil sangat
mudah dan menguntungkan bagi petani. Agar tanaman kemiri memberikan
keuntungan yang berkelanjutan kepada masyarakat, maka produksi yang
diperoleh harus terjamin dan disertai dengan harga yang lebih baik. Produksi
buah umumnya sudah menurun karena umur tanaman kemiri sudah memasuki
kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman sehingga keterjaminan
hasil tidak menentu. Pengaruh harga saat penelitian telah mendorong masyarakat
kembali melirik untuk mengelola lahan kemiri yang masih dimilikinya. Tetapi
usaha ini terhambat oleh faktor modal yang sulit diperoleh dari lembaga
keuangan. Sementara masyarakat umumnya hanya memiliki modal yang terbatas
sehingga dalam pengelolaannyapun tidak memperhatikan teknik silvikultur yang
baik yang berdampak pada produktivitas hasil yang sedikit.
5.3.3 Aspek Sosial
Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek sosial adalah
yang bernilai Baik sebanyak 4 (40%); yang bernilai Cukup sebanyak 5 (50%);
dan yang bernilai Jelek sebanyak 1 (10%). Adapun penjelasan setiap indikator
adalah sebagai berikut:
Tabel 31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan
1 Partisipasi masyarakat C
2 Peraturan pemanfaatan sumberdaya alam C
3 Akses terhadap pelayanan pendukung C
4 Pengangguran B
5 Kemiskinan B
6 Migrasi J
7 Akomodasi perubahan C
8 Status lahan B
9 Kejelasan batas lahan B
10 Hubungan sosial C Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1 Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini adalah kemauan masyarakat
menanam kemiri pada lahan miliknya dan masih mempertahankannya sampai saat
ini, serta ada peran aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaannya.
98
Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pembangunan kehutanan adalah partisipasi atau keikutsertaan
masyarakat. Dari hasil survei diketahui bahwa partisipasi masyarakat untuk
menanam kemiri sudah menurun, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan luas
tanaman kemiri setiap tahunnya cenderung menurun (Gambar 3). Penyebabnya
adalah masyarakat lebih tertarik menanam tanaman berumur pendek karena dapat
memberikan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat, adanya perubahan
musim berbuah (tidak sepanjang tahun lagi), adanya penyakit gugur buah, hawar
daun dan serangan ulat, produksi buah yang cenderung menurun dan harga kemiri
yang murah. Wibowo (2007) juga menyampaikan hal yang sama bahwa
penurunan luas tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tiga Binanga disebabkan
karena petani kemiri tidak merasakan keuntungan dari usaha kemiri sehingga
mengkonversinya menjadi usaha pertanian lain yang lebih menguntungkan.
Tanaman kemiri yang masih ada, tumbuh dan berkembang saat ini adalah
tanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan miring, pinggir-pinggir sungai dan
lembah-lembah yang cukup sulit untuk dikelola bila diganti menjadi tanaman
lainnya. Masyarakat yang masih mau menanam kemiri adalah masyarakat yang
memiliki lahan yang sulit dikelola pada lahan curam dan terjal, karena lebih
sesuai ditanam pada kondisi lapangan tersebut dan telah menjadi sumber
penghasilan selama bertahun-tahun. Wawancara dengan masyarakat dan penyuluh
menyebutkan bahwa petani masih mau menanam kemiri karena merasakan bahwa
tanaman kemiri masih memberikan hasil yang lumayan, dapat menjadi tabungan
masa depan dan karena hanya kemiri yang sesuai tumbuh pada lahannya.
Kemauan menanam dan mempertahankan tanaman kemiri untuk beberapa
masyarakat juga dilatarbelakangi oleh faktor harga yang membaik.
2 Peraturan masyarakat
Peraturan masyarakat adalah peraturan-peraturan yang ada dalam
lingkungan masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang
mengatur pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya alam, dimana peraturan ini
juga berlaku dalam kelompok masyarakat untuk pengelolaan tanaman kemiri.
Peraturan-peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan
masyarakat adalah dalam hal pelarangan penebangan pohon di kawasan sumber
99
mata air dan larangan penebangan pohon pada kawasan hutan yang dikeramatkan.
Hal ini tentu berperan dalam menjaga keberadaan hutan agar tidak dirusak.
Peraturan larangan yang sama juga terdapat pada masyarakat Kasepuhan di
Banten (Suharjito dan Saputro 2008).
Peraturan lainnya adalah adanya sanksi yang dikenakan kepada seseorang
jika terbukti bersalah dengan melakukan kesalahan seperti mencuri hasil-hasil
pertanian. Jika terbukti melakukan pencurian hasil-hasil pertanian (termasuk
kemiri), maka akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan kesepakatan yang sudah
disepakati sebelumnya. Seperti di Pamah, dikenakan sanksi membayar denda
seharga 1 mayam emas. Hal ini juga berlaku di Desa Pasir Tengah, tetapi sudah
mulai lemah, karena bila ada terjadi pencurian, sanksi yang diterima sudah
berubah dan biasanya sudah ada komunikasi dalam menuju perdamaian. Pada
perkembangan saat ini, bila ada permasalahan dalam lingkungan masyarakat,
maka akan dibawa dalam lembaga adat dan lembaga desa untuk mencari solusi
yang terbaik dalam mengatasinya.
Rahayu dan Awang (2003) menyebutkan bahwa keuntungan finansial yang
masyarakat Desa Pecekelan rasakan dari hutan rakyat telah mendorong
terbentuknya suatu peraturan desa yang mengatur tentang pencurian kayu dan
pakan ternak atau hasil lainnya dari hutan rakyat. Sanksi yang diberikan biasanya
berupa denda yang besarnya diatur berdasarkan keputusan bersama antara yang
punya hutan dengan pencuri dan perangkat desa yang berwenang.
Keberadaan suatu sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada
masyarakat akan mendorong timbulnya peraturan-peraturan yang akan menjaga
hak-hak dari masyarakat dari suatu tindakan-tindakan yang merugikan pemilik
sumber daya seperti hasil tanaman kemiri di Desa Pasir Tengah dan Desa Pamah
dan hasil hutan rakyat di Desa Pecekelan.
3 Akses terhadap pelayanan pendukung
Pengelolaan kemiri masyarakat akan berkembang bila didukung oleh akses
yang mendukung seperti penyuluhan, kredit dan teknologi. Untuk bidang
penyuluhan cukup berkembang karena adanya penyuluhan bidang pertanian dan
berjalan secara rutin tetapi untuk bidang tanaman kehutanan tidak ada. Akses
pada bidang kredit juga berkembang tetapi lebih cenderung untuk tanaman
100
pertanian dan peternakan (Mosher dalam Soekartawi 2002). Sementara akses
tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung
pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum
menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan
merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat
dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri
masih dilakukan manual.
4 Pengangguran
Purnomo (2006) menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan
lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu,
program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan
skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih
besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya.
Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan
menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat.
Nugroho (2010) menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh
tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer.
Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya (labour
intensive) sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar.
Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan
penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi
pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu
dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk
dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani
dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry.
Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif
secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang
dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya.
Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan
kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak
memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari
sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut
101
bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan
pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan
lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama
5 tahun (2005-2009) dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak
bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda (2003) menyebutkan
bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan
pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa
dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto (2006) juga
menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa.
Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan
tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil.
Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009
No Tahun Desa Total
Kutabuluh Pamah Pasir Tengah
1 2005 331 366 223 920
2 2006 331 366 223 920
3 2007 241 184 230 655
4 2008 145 144 107 396
5 2009 140 146 112 398 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
5 Kemiskinan
BPS (2008) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach) dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk.
Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS (2008) di tingkat desa tahun 2007
adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam Rp/Kapita/bulan.
Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi
dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per
bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata
102
pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan
propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden
dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata
tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa
keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per
kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008.
6 Migrasi penduduk
Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah
penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat
mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu
kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu
tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian
modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan
industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena
masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka
toko, usaha transportasi dan lain-lain.
Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang
dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi
perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009
dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan
jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari
informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman
kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga
yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang
cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari
penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak
dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai,
hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga.
103
Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009
No Tahun Kutabuluh Pamah Pasir Tengah
Datang Pergi Datang Pergi Datang Pergi
1 2005 2 3 3 3 4 2
2 2006 Tidak ada data
3 2007 8 4 7 4 4 3
4 2008 Sama dengan tahun 2007
5 2009 16 17 18 16 16 14 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
7 Kapasitas mengakomodasi perubahan
Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan
masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang
mendukung perkembangan masyarakat.Untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui
dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal (SD, SMP,
SMA) maupun di luar daerah (untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti
SMA atau universitas). Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan
seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lain-
lain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang
diterima dari dunia luar (luar desa) dari media lain seperti televisi, radio, internet,
hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan
yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih
mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman,
penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas
lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian
seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah
menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga.
8 Status lahan
Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri
adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua
(Suharjito 2002) maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri (Yusran 1999;
2005). Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri
adalah 30 responden (47,62%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang
tua, 19 responden (30,16%) memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden
(22,22%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.
104
Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan
lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang
dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan
hanya 9 responden (14,29%) sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat
tanah sebanyak 54 responden (85,71%).
Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika
dilihat menurut kriteria hutan hak (UU No. 41 tahun 1999), hanya 14,29% yang
memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71% lainnya tidak dapat
disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa
semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik
masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka
sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya,
tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya.
Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki
sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan
miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak
ada klaim dari pihak lain.
Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu
yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat
dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan
rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya
telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan
status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat.
Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses
pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar
kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk
menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di
atasnya.
Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan
yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga
(keturunan pemilik lahan) meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah
105
diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya
dapat diselesaikan dengan baik.
9 Kejelasan batas lahan
Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan
kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batas-
batas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah
terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh
seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat
dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas
yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis
tanaman yang berbeda dan lain-lain.
Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak
ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan
lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli
waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua
atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang
kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan
khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan
dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai.
Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar
yang ada (seperti pinang).
106
10 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat
Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama
dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang
sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama,
sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat
pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam
adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan
sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta
pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi (Suharjito 2002). Mehendra
(2009) menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial
dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam
menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di
Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan
dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam
kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang
muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain.
Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses
terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang
lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali
menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu
sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari
sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan
masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas
masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau
pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial
yang berlaku dalam lingkungan masyarakat (Davis et al. 2001).
107
5.3.4 Analisis keberlanjutan
Secara keseluruhan hasil penilaian terhadap indikator dari semua aspek
yang diperoleh sebagai berikut:
1. Indikator yang bernilai Baik sebanyak 10 (35,71%) atau masih di bawah 50%
dari keseluruhan indikator yang dinilai, tetapi berada di atas 25% dari
keseluruhan indikator yang dinilai.
2. Indikator yang bernilai Cukup sebanyak 15 (53,57%) atau berada diatas 50%
dari keseluruhan indikator yang dinilai.
3. Indikator yang bernilai Jelek sebanyak 3 (10,72%) atau berada dibawah 25%
dari keseluruhan indikator yang dinilai.
Dari hasil penilaian ini, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari
aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial adalah “berkelanjutan dengan
catatan” karena hanya memenuhi persyaratan: Baik > 25% x n; Cukup > 50% x n;
Jelek < 25% x n.
Tanaman kemiri adalah salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu
penghasil buah. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, buahnya untuk bahan
baku industri dan penyedap makanan, kulit buah yang keras sebagai bahan baku
obat nyamuk bakar dan saat ini dijadikan sebagai bahan bakar industri yang
menggunakan pengering (dryer), kayunya sebagai bahan baku kayu lapis dan
tanamannya sendiri sebagai tanaman yang cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan
kritis. Jika dilihat, maka sebenarnya tanaman kemiri memiliki multi manfaat baik
pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Tetapi, manfaat ini belum sepenuhnya
dilirik dan dijadikan pemerintah sebagai program dalam mengatasi luas lahan
kritis yang meningkat dan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.
Tanaman kemiri hampir tumbuh dan berkembang di semua tempat di
Indonesia. Keberadaan tanaman kemiri pada suatu tempat sangat berlatar
belakang dengan sejarah keberadaannya pada tempat tersebut. Tanaman kemiri
rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem sudah ada sejak dahulu.
Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan
milik dan kawasan hutan. Kepemilikan lahan tanaman kemiri adalah berasal dari
tanah adat yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Terdapat 30
responden (47,62%) yang memiliki tanaman kemiri dari warisan, hal ini
108
menunjukkan bahwa tanaman kemiri telah menjadi tanaman yang berlangsung
secara turun temurun yang berlanjut sampai sekarang. Kemudian, untuk beberapa
pihak terjadi transaksi jual beli baik pada penduduk asli maupun pada penduduk
pendatang. Kepemilikan lahan tanaman kemiri tidak hanya dari warisan atau
dibeli, tetapi ada juga yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai milik.
Pada saat kemiri belum laku diperjualbelikan, buahnya hanya dimanfaatkan
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti bumbu
dapur, obat sakit perut, obat bisul dan bahan bakar untuk lampu penerang.
Kemudian pelahan-lahan kemiri dibawa ke pasar dan mulai laku dan
diperjualbelikan. Sekitar tahun 1955 disebutkan bahwa kemiri sudah laku
diperdagangkan. Sejak itu, kemiri menjadi tanaman yang menghasilkan bagi
masyarakat dan umumnya tanaman kemiri pada periode tersebut menghasilkan
buah hampir sepanjang tahun.
Pada tahun 1980-an disebutkan bahwa setiap minggunya ada sekitar 100 ton
buah kemiri kupas yang siap angkut keluar dari Kecamatan Tanah Pinem. Bahkan
karena banyaknya, kadang-kadang tidak dapat diangkut karena keterbatasan
sarana pengangkutan. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang ada sekarang.
Dari hasil pengolahan data yang diperoleh, produksi kemiri kupas yang dihasilkan
pada tahun 2010 hanya 583,33 kg/ha. Berarti ada penyimpangan yang sangat jauh
antara produksi tahun 1980-an dengan tahun 2010. Hal ini dapat dijelaskan oleh
penurunan luas tanaman kemiri, kondisi kesehatan tanaman dan umur tanaman
yang memasuki kategori tidak produktif cukup banyak.
Pada saat tanaman kemiri masih berperan dalam kehidupan masyarakat,
masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari kemiri. Masyarakat dari
usia muda sampai tua mendapatkan uang dari kemiri. Banyak anak-anak yang
sudah kenal uang dan bisa mencarinya dengan bekerja sebagai upahan baik untuk
mengumpulkan kemiri di ladang maupun mengupasnya.
Keadaan ini mulai berubah dengan adanya serangan hama dan penyakit,
seperti ulat pemakan daun, penggerak batang dan gugur buah. Perubahan musim
penghujan dan musim kemarau yang tidak jelas, mempengaruhi musim berbunga
dari tanaman kemiri yang berdampak pada musim berbuah. Pada akhir-akhir ini,
109
masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sudah berubah dan buah tidak
lagi dapat diperoleh sepanjang tahun.
Perubahan dan permasalahan yang terjadi, telah mempengaruhi masyarakat
beralih untuk menanam tanaman lain. Pada daerah yang lebih landai, masyarakat
mulai beralih menanam tanaman seperti jagung, cokelat, pisang, pepaya dan
sawit. Selain karena perubahan produksi yang menurun, salah satu faktor yang
juga kurang mendukung adalah fluktuasi harga. Fluktuasi harga kemiri antara
tahun 1997 sampai awal tahun 2011 adalah seperti Gambar 17.
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (1997 – 2004) dan hasil wawancara untuk data tahun 2005-2011
Gambar 17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian.
Pola perubahan penggunaan lahan yang mulai beralih ke tanaman muda
disebabkan karena pengaruh harga pasar yang lebih besar dan stabil, pendapatan
yang diperoleh lebih besar dan cepat (jagung bisa panen 2 kali setahun dan
cokelat bisa memberikan penghasilan bulanan). Peralihan ini juga dipengaruhi
oleh umur tanaman kemiri yang sudah melewati umur produktif. Masyarakat
yang melakukan replanting pada tanaman kemirinya adalah masyarakat yang
memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang tidak bisa ditanami dengan tanaman
pertanian seperti padi dan jagung.
Tanaman kemiri rakyat yang masih utuh keberadaannya adalah lahan-lahan
milik yang ada pada daerah lahan miring, pinggir sungai, lembah/jurang dan
daerah terjal dan juga pada lahan masyarakat yang masih merasakan manfaat dari
110
tanaman tersebut. Juga lahan-lahan yang datar tetapi dimiliki oleh masyarakat
yang kurang produktif dan atau memiliki pekerjaan utama bukan sebagai petani.
Di Desa Kutabuluh, tanaman kemiri masih terjaga diantara tanaman lain,
sementara di Pamah dan Pasir Tengah, tanaman kemiri rakyat yang masih tinggal
terdapat pada lahan-lahan miring, jaraknya cukup jauh dari perumahan penduduk
dan di sekitar kawasan hutan.
Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri berdasarkan
indikator yang diperoleh adalah “berkelanjutan dengan catatan”. Jika pengelolaan
yang dilakukan masih sama dan tidak ada upaya memperbaiki kondisi tanaman
maka pengelolaan tanaman kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial bisa
menjadi tidak berkelanjutan. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan,
maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan dengan dasar pertimbangan sbb:
1 Kondisi topografi
Luas wilayah Kecamatan Tanah Pinem yang termasuk pada kategori
curam dan terjal adalah 39.546 ha atau hampir 90% dari total luas lahan.
Maka jenis tanaman yang cocok dan sesuai untuk dikembangkan adalah jenis
tanaman yang memiliki sistem perakaran kuat, tanaman tahunan dan jenis
endemik setempat. Penanaman tanaman pertanian seperti jagung, kurang
sesuai ditanam pada lahan miring karena pengelolaan lahan dengan sistem
land clearing (tebang habis) dapat menyebabkan terjadinya erosi sangat
tinggi. Apalagi dengan proses tanam dan panen yang cukup cepat (2 kali
setahun) sehingga dapat menimbulkan penurunan unsur hara tanah. Dengan
kondisi ini, sebaiknya lahan-lahan milik masyarakat yang ada pada daerah
miring ditanami kembali jenis tanaman kayu-kayuan seperti kemiri, karena
kemiri merupakan ciri khas tanaman setempat atau jenis tanaman lain yang
cepat tumbuh (fast growing) maupun jenis MPTS lainnya sehingga bisa
bermanfaat bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan aspek ekologi.
2 Lahan kritis
Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem menurut BPDAS Wampu
Sei Ular tahun 2010 adalah 30.718,44 ha atau sekitar 70% dari total luas
lahan. Adapun rincian luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem
berdasarkan arahan fungsi lahan adalah seperti Tabel 34. Hal ini
111
menunjukkan bahwa perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan
dalam rangka meningkatkan peran lahan sebagai media produksi dan sebagai
media pengatur tata air. Kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam bidang
kehutanan adalah reboisasi pada kawasan hutan dan penghijauan di luar
kawasan hutan.
Tabel 34 Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem
No Kriteria
lahan kritis
Arah fungsi penggunaan lahan Jumlah
APL HL HSA (HK) HP/HPT
1 Sangat kritis 2661,73 - - 82,93 2.744,66
2 Kritis 5.164,68 8.106,89 - 4.369,76 17.641,33
3 Agak kritis 2.937,10 3.110,75 - 4.284,60 10.332,45
Jumlah 10.763,51 11.217,64 - 8.737,29 30.718,44 Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2010)
3 Regenerasi tanaman
Tanaman masyarakat umumnya belum menunjukkan regenerasi yang
berkelanjutan dalam menghasilkan buah. Untuk memulihkan kembali fungsi
tanaman kemiri sebagai produksi hasil tanaman rakyat, maka perlu dilakukan
regenerasi tanaman. Regenerasi tanaman pada satuan luas, dapat dilakukan
secara bertahap dengan tujuan agar tetap dapat menghasilkan bagi
masyarakat. Metode regenerasi dapat dilakukan dengan mendekati kriteria
lestari pada hutan tanaman. Sebagai contoh: luas lahan 1 ha, jarak tanam 10m
x 10m, maka jumlah pohon adalah 100 batang. Daur tanaman ditentukan
selama 7 tahun. Maka, luas lahan dibagi menjadi 5 petak dengan luas masing-
masing petak adalah 2.000 m2. Kondisi tanaman pada saat sudah berumur 35
tahun, sudah layak dilakukan regenerasi penanaman. Jika dilakukan
penebangan pohon secara keseluruhan, maka pendapatan dari buah akan
terhenti pada saat itu juga. Tetapi jika penebangan hanya dilakukan pada satu
petak saja, maka luas areal yang menghasilkan buah akan berkurang dan
tinggal 8.000 m2. Setelah penebangan pada petak pertama, maka kembali
dilakukan penanaman, pemupukan dan pemeliharaan. Pada tahun ke-5,
tanaman sudah kembali dapat menghasilkan buah. Tujuh tahun kemudian
(daur ke-2), dilakukan penebangan pada petak ke-2 dan kemudian dilakukan
penanaman kembali pada lahan tersebut. Hal ini dilakukan sampai daur ke-5.
112
Setelah daur ke-5, petak ke-1 sudah berumur 35 tahun, maka bisa dilakukan
kembali peremajaan dengan kembali melakukan kegiatan seperti langkah di
atas. Jika tujuan penanaman adalah komersil untuk mendapatkan penghasilan
dari buah kemiri, maka proses pengelolaan dengan sistem peremajaan secara
bertahap bisa dilakukan agar keberlanjutan mendapatkan buah terjamin. Pada
saat yang sama, setiap hasil penebangan tanaman kemiri dapat dijual pada
pasar yang tersedia dan didukung oleh aksesibilitas pengangkutan. Penjualan
kayu kemiri cukup berpotensi dilakukan karena di Sumatera Utara terdapat
industri yang menggunakan kayu kemiri sebagai bahan baku kayu lapis.
4 Rehabilitasi dengan teknik konservasi
Kondisi lahan di Kecamatan Tanah Pinem adalah 90% masuk pada
kategori curam dan terjal. Hal ini menunjukkan bahwa lahan-lahan di
kecamatan Tanah Pinem sangat rawan terhadap bahaya erosi dan tanah
longsor. Untuk lahan-lahan yang saat ini sudah tidak produktif, berada pada
lahan miring curam dan terjal, maka perlu dilakukan rehabilitasi lahan
dengan penanaman tanaman keras dan dengan teknik konservasi tanah.
Teknik konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan secara mekanis antara
lain pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain (Suripin
2004). Penanaman kemiri pada lahan miring harus dilakukan menurut garis
kontur (melintang terhadap lereng) dengan sistem teras, tujuannya agar akar
tanaman berperan dalam menghambat aliran permukaan, memungkinkan
adanya penyerapan air dan menghindarkan hilangnya humus tanah akibat
erosi.
5 Menerapkan pola tanam yang efektif
Untuk mengefektifkan fungsi lahan sebagai media tumbuh pohon dan
meningkatkan produksi lahan, maka pola tanaman yang digunakan sebaiknya
menggunakan metode segitiga karena jumlah pohon yang ditanam akan lebih
banyak jika ditanam dengan metode bujursangkar. Jika jarak tanam 8m x 8m,
maka jumlah pohon yang ditanam adalah 156 pohon/ha apabila mengikuti
kaidah bujursangkar, sedangkan bila mengikuti kaidah segitiga, jumlah
pohon yang ditanam adalah 175 pohon/ha (Paimin 1994). Pola tanam ini juga
sesuai dilakukan pada lahan yang bertopografi curam dan terjal.
113
6 Penyuluhan Kehutanan Lapangan
Keberadaan kelompok tani sudah mengindikasikan bahwa akses
penyuluhan pada lingkungan masyarakat sudah berjalan dan berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakarat melalui pengenalan sarana dan
prasarana pertanian yang sudah berkembang. Pemberdayaan kelompok tani
dapat diperluas dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena penyuluh
lapangan bidang kehutanan hampir tidak ada. Tujuan dari kegiatan ini adalah
dalam melakukan pemulihan fungsi dan peran lahan masyarakat dalam
mendatangkan manfaat dengan tujuan memulihkan fungsi lahan sebagai
media produksi dan media pengatur tata air. Penyuluh ini nantinya akan
berperan dalam melatih masyarakat dalam melakukan penanaman kemiri
(dan jenis tanaman kehutanan lainnya) sesuai dengan teknik budidayanya
untuk tujuan mendapatkan produksi yang bermanfaat sebagai sumber
penghasilan masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring.
7 Pasar dan hubungannya dengan pengembangan
Produksi berhubungan dengan pemasaran. Pemasaran buah kemiri
sebenarnya tidak sulit, karena permintaan akan kemiri setiap tahun cenderung
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Paimin (1994)
menyebutkan permintaan kebutuhan kemiri setiap tahunnya akan naik
sebesar 10-20%. Pada tahun 1975 sampai tahun 1995, Indonesia merupakan
salah satu negara yang mengekspor kemiri. Tahun 1996 sampai 2003 tidak
ada ekspor dan kembali mengeskpor tahun 2004 dan 2005. Ekspor terakhir
kemiri Indonesia adalah tahun 2005. Sampai tahun 2010 tidak ada lagi ekspor
kemiri. Sementara itu, pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia melakukan
impor kemiri sebanyak masing-masing 13 ton (62.000 US$) dan 15 ton
(27.000 US$). Seharusnya, Indonesia tidak perlu mengimpor kemiri karena
kemiri adalah tanaman yang hampir tumbuh di semua tempat di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dalam
pengembangan tanaman kemiri dalam memenuhi kebutuhan domestik. Jika
pengelolaan kemiri dilakukan oleh pemerintah dengan mengembangkan pola
penanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan milik rakyat, maka peran
kemiri sebagai sumber devisa negara, sumber pendapatan daerah, sumber
114
pendapatan masyarakat dan sebagai tanaman yang bermanfaat bagi
lingkungan akan sangat dapat dirasakan. Untuk itu, pemerintah perlu
melakukan program khusus pemberdayaan masyarakat dalam memulihkan
peran tanaman kemiri dalam bentuk hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan
hutan tanaman rakyat (lahan yang ada dalam kawasan hutan) serta hutan
tanaman industri untuk mendukung penyediaan bahan baku kayu lapis.
Tanaman kemiri dapat dijadikan sebagai tanaman industri (untuk
menghasilkan kayu) dengan jarak tanaman yang lebih sempit (4m x 4m)
sehingga batang yang dihasilkan bulat dan lurus.
8 Sinergi antar sektor
Perlu adanya sinergi antara instansi seperti dinas kehutanan dan
perkebunan, dinas pertanian, dinas perdagangan dan dinas pemberdayaan
masyarakat serta dinas terkait lainnya dalam mendukung potensi tanaman
kemiri sebagai tanaman yang multi manfaat, yaitu sebagai sumber
penghasilan masyarakat, sumber pendapatan daerah, manfaat lingkungan dan
lain-lain. Peran antar sektor diharapkan saling mendukung sehingga tujuan
setiap sektor tidak overlapping yang bertujuan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional dan daerah.
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan dan dapat
dilakukan dengan tujuan agar pengelolaan tanaman kemiri pada masa yang akan
datang menjadi berkelanjutan, dapat berperan dalam mendatangkan penghasilan
petani, meningkatkan pendapatan daerah dan berperan dalam menjaga fungsi
hutan dan lahan. Sebaliknya, jika tanaman kemiri tidak dijadikan sebagai tanaman
yang layak untuk diusahakan, terjadi penebangan serta peralihan menjadi tanaman
lain, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri pada masa yang akan datang akan
turun menjadi “tidak berkelanjutan”.
Untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan kemiri, maka perlu dibuat
prioritas kegiatan yang dapat diperbaiki dari beberapa indikator, khususnya
indikator yang bernilai Cukup dan Jelek. Pada Tabel 35 dapat dilihat prioritas
indikator yang dapat diperbaiki dan kegiatan yang harus dilakukan untuk
mencapai keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri. Selanjutnya, dari prioritas
kegiatan yang yang sudah dibuat, dikembangkan menjadi program-program yang
115
perlu dilakukan yang kemudian menentukan kegiatan-kegiatan yang lebih
spesifik dari setiap program yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
yang diharapkan dalam mencapai keberlanjutan yang diharapkan. Adapun
rekomendasi program dan kegiatan yang perlu dilakukan agar pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dapat mencapai keberlanjutan adalah seperti Tabel 36, 37
dan 38. Pada rekomendasi ini juga ditentukan pihak-pihak yang perlu berperan
dalam kegiatan tertentu sehingga setiap pihak mengetahui perannya masing-
masing.
116
Tabel 35 Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan
No Aspek Indikator Nilai Kegiatan Rencana Program Prioritas
1 Ekologi Erosi B - - -
Produktivitas lahan C Pengelolaan lahan yang
intensif, regenerasi tanaman
Regenerasi
penanaman
2
Karakteristik air B - - -
Kualitas air C Pengelolaan air (dinas terkait)
- -
Cara-cara mengambil
manfaat
B - - -
Pengendalian hama dan
penyakit
C Penelitian tentang hama
dan penyakit tanaman kemiri
Penelitian 5
Adanya gangguan
(kebakaran, hama penyakit, banjir,tanah
longsor, dll)
C Pencegahan dan
pengendalian
Penyuluhan dan
sosialisasi dalam upaya mengatasi
gangguan
4
Struktur tegakan hutan C Penanaman lahan-lahan
yang sudah rusak, lahan-
lahan kosong, lahan kritis,
dan lain-lain
Rehabilitasi hutan
dan lahan melalui
HR, HTR, HKm,
Reboisasi dan Agroforestry
1
Aktivitas penanaman
menjamin penutupan
lahan
C
Adanya upaya
konservasi tanah
C Pembuatan bangunan KTA
& konservasi secara mekanis
Pembuatan
bangunan KTA
3
2 Ekonomi Sumber modal untuk
kegiatan penanaman
J Bantuan kredit dari
pemerintah, swasta, LSM
dan mitra
Penyaluran bantuan
kredit, kemitraan
1
Peningkatan
pendapatan
C Pengelolaan intensif,
agroforestry
RHL (Agroforestry) 2
Kelayakan usaha B - - - Penyerapan tenaga
kerja
B - - -
Kesejahteraan masyarakat
J Kegiatan dari BKKBN - -
Kepastian potensi
produksi buah dan kayu
C Regenerasi tanaman dan
pencegahan hama dan penyakit
Regenerasi
penanaman
3
Keuntungan usaha C - - -
Akses pasar B - - -
3 Sosial Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan
sumberdaya alam
C Sosialisasi penanaman
kayu-kayuan (khususnya
jenis-jenis yang dapat mendatangkan manfaat
bagi masyarakat dan aspek
ekologi). Misalnya: Jenis tanaman yang cepat
tumbuh (fast growing) dan
MPTS.
Penyuluhan 1
Peraturan di
masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya alam
C - - -
Akses terhadap pelayan
pendukung (kredit, penyuluhan dan
masukan tekhnologi)
C Mempermudah masyarakat
dalam menjangkau akses pelayanan yang
mendukung
Penyuluhan 2
Pengangguran B - - - Kemiskinan B - - -
Migrasi penduduk J - - -
Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi
perubahan
C Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan
penyuluhan dan meningkatkan infrastruktur
pembangunan daerah
Penyuluhan dan pembangunan
daerah
3
Status lahan B - - - Kejelasan batas lahan B - - -
Terbangunnya
hubungan sosial antara masyarakat
C - - -
117
Tabel 36 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1
Rehabilitasi
hutan dan
lahan
Hutan rakyat,
agroforestry
Hutan
kemasyarakatan
(HKm) dan hutan
tanaman rakyat
(HTR)
Reboisasi (lahan
kritis pada
kawasan hutan)
Penghijauan lahan-lahan
milik masyarakat khususnya
lahan-lahan yang ada di
daerah bertopografi curam
dan terjal (>250) dengan
tujuan meningkatkan fungsi
ekologi bagi lingkungan dan
fungsi ekonomi bagi
masyarakat
Pemberdayaan masyarakat
lokal yang diberi kesempatan
memanfaatkan sumberdaya
hutan pada kawasan hutan
lindung dan/atau kawasan
hutan produksi
Penanaman kembali lahan-
lahan hutan yang sudah rusak
untuk memulihkan fungsi
hutan sebagai media tata air
dan media produksi
1. Masyarakat
2. Pemda
3. Dishutbun
kabupaten
4. Dishutprop
5. Kemenhut
1. Dishutbun
kabupaten
2. Pemda
3. Dishutprop
4. Masyarakat
5. Kemenhut
1. Dishutbun
kabupaten
2. Dishutprop
3. Kemenhut
4. Pemda
2
Regenerasi
penanaman
Penerapan
metode
penanaman
dengan teknik
silvikultur yang
berkelanjutan
Manfaat yang akan diperoleh
masyarakat akan
berkelanjutan dan hasil yang
diperoleh berkesinambungan
dengan metode daur tanam
1. Penyuluh
2. Dishutbun
3. Peneliti
4. Universitas
3
Konservasi
Tanah dan
Air
Pembuatan
bangunan
konservasi tanah
dan air
Mencegah terjadinya banjir,
tanah longsor, erosi dan
kekeringan dengan kegiatan
pembuatan teras, guludan,
gully plug, dam pengendali,
sumur resapan, embung dan
lain-lain
1. Pekerjaan umum
2. Pemda
3. Dishutbun
kabupaten
4. Masyarakat
4
Penyuluhan
Penyuluhan dan
sosialisasi dalam
upaya mengatasi
gangguan yang
terjadi (hama dan
penyakit, banjir
dan longsor)
Meningkatkan kemampuan
masyarakat mengatasi
permasalahan hama dan
penyakit serta upaya
penanggulangannya
Meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang
pentingnya pohon dalam
mencegah terjadinya banjir
dan tanah longsor
1. Penyuluh
(Kehutanan dan
pertanian)
2. Pemda
(Kabupaten,
kecamatan dan
desa)
3. LSM
5
Penelitian
Penelitian untuk
mengatasi hama
dan penyakit
Untuk mendapatkan cara atau
metode yang dapat digunakan
untuk mengatasi masalah
penyakit yang menyerang
tanaman kemiri seperti gugur
buah
1. Peneliti
2. Universitas
3. LSM
4. Penyuluh
118
Tabel 37 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1
2
Penyaluran
kredit
Kemitraan
Pemberian modal usaha
bagi masyarakat lemah
dengan kredit ringan
Pembangunan
kerjasama kemitraan
dengan industri
pengguna bahan baku
kemiri
Memberdayakan masyarakat
pemilik lahan dengan bantuan
modal kredit bunga ringan
Mitra dapat menyalurkan bantuan
dana bagi masyarakat dan mitra
dapat menampung produksi kemiri
rakyat dengan harga yang terjamin
1. Pemda
2. BPR
3. Bank
4. Mitra usaha
5. Penyuluh
6. Masyarakat
1. Disperindag
2. Masyarakat
3. Industri/
perusahaan
4. Pemda
3 RHL
(Agroforestr
y)
Pola tanaman campuran
antara tanaman kayu-
kayuan dan tanaman
pertanian
Meningkatkan pendapatan petani
dari tanaman pertanian dan
tanaman kayu-kayuan secara
berkelanjutan yang berperan dalam
menjamin kesinambungan
penghasilan masyarakat
1. Masyarakat
2. Penyuluh
3. LSM
4. Dishutbun
kabupaten
5. Dinas
pertanian
kabupaten
4 Regenerasi
penanaman
Pengaturan daur
tanaman
Agar potensi produksi kemiri yang
diperoleh petani dapat
berkelanjutan
1. Masyarakat
2. Penyuluh
3. Dishutbun
kabupaten
Tabel 38 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat dari aspek sosial
No Program Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai Pelaksana
1 Penyuluhan
dan
sosialisasi
Sosialisasi penanaman
kayu-kayuan (khususnya
jenis-jenis yang dapat
mendatangkan manfaat
bagi masyarakat dan
aspek ekologi). Misalnya:
Jenis tanaman yang cepat
tumbuh (fast growing)
dan MPTS.
Meningkatnya pemahaman dan
pengetahuan masyarakat tentang
tanaman-tanaman kehutanan
yang dapat berproduksi cepat,
layak untuk ditanam dan dapat
meningkatkan pendapatan
masyarakat sehingga
menimbulkan minat bagi
masyarakat untuk mau menanam
di lahan-lahan miliknya
1. Penyuluh
2. Masyarakat
3. Dishutbun
kabupaten
4. LSM
Mempermudah
masyarakat dalam
menjangkau akses
pelayanan kredit,
penyuluhan dan teknologi
Mudahnya petani menjangkau
layanan pendukung dalam
meningkatkan kemampuannya
dalam mengembangkan usahanya
melalui akses kredit, penyuluhan
dan teknologi
1. Penyuluh
2. Masyarakat
3. Dishutbun
kabupaten
4. Dinas
pertanian
2 Percepatan
pembangun
an
infrastruktur
Pembangunan sarana dan
prasarana umum untuk
meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam
mengakomodasi
perubahan (sekolah,
jalan, puskesmas, dan
lain-lain)
Meningkatnya kapasitas
masyarakat dalam mengakomdasi
perubahan seperti perbaikan
mutu pendidikan, mempermudah
akses masyarakat dalam
menjangkau perkotaan dalam
melakukan transaksi hasil-hasil
pertanian, dan lain-lain
1. Pemda
2. Pihak
kecamatan dan
desa
119
Jika kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan, maka diharapkan dapat sampai pada tujuan pengelolaan
tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan, jika sumberdaya alam tersebut saat ini dapat dimanfaatkan oleh
generasi sekarang dan pemanfaatan itu tidak mengganggu kesempatan generasi
yang akan datang untuk memperolehnya (Davis et al. 2001; Fauzi 2006). Untuk
menjamin manfaat tanaman kemiri dapat diperoleh generasi yang akan datang,
maka keberlanjutan pengelolaan kemiri harus diperhatikan.
Masyarakat Kecamatan Tanah Pinem masih sangat tergantung pada usaha
pertanian. Dengan kondisi topografi curam dan terjal, sebaiknya jenis tanaman
yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang mampu mendatangkan penghasilan
bagi penduduk secara berkelanjutan. Tanaman kemiri adalah salah satu jenis
tanaman yang multi manfaat karena dapat memberikan hasil buah untuk dipanen
setiap tahun (umur 5-35 tahun), berfungsi sebagai tanaman perlindungan tanah
dan air dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tanaman kemiri dapat
menjadi sumber, menyediakan lapangan kerja dan berperan dalam fungsi
ekologis, menunjukkan bahwa tanaman kemiri memiliki sifat multiflier effect.
Pembahasan tentang pengelolaan kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan
sosial menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kemiri dalam kegiatan hutan
rakyat dapat berperan dalam mencapai tujuan pengembangan hutan rakyat. Dari
aspek ekologi, pohon kemiri berperan dalam melindungi tanah dari erosi dan
menjamin penutupan permukaan tanah karena tajuknya yang lebar. Dari aspek
ekonomi, tanaman kemiri berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat
karena buah, kulit cangkang dan kayunya dapat dijual. Sedangkan dari aspek
sosial menunjukkan bahwa tanaman kemiri dapat mengurangi pengangguran
karena menyerap tenaga kerja dari dalam keluarga dan luar keluarga. Jika usaha
yang sama dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat yang dikelola secara
intensif, maka pengembangan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri dapat
sampai pada tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan petani, peningkatan
kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara
berkesinambungan.