362-689-1-sm

8

Click here to load reader

Upload: yoga-armando

Post on 14-Dec-2014

54 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 362-689-1-SM

ISSN 1410-1939

51

METILASI DNA DAN GENOMIC IMPRINTING (SUATU TINJAUAN

TENTANG MEKANISME EPIGENETIK)

[DNA METHYLATION AND GENOMIC IMPRINTING (A REVIEW ON

EPIGENETIC MECHANISMS)]

Sosiawan Nusifera Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361

Abstract

New facts about regulation mechanisms of genomic expression seemed to cause a shift of understanding gene

determination in phenotypic expressions. Facts that the identity of gene structure was established based on the

mechanisms of gene regulation and its environment, had finally blurred limitations between gene and

environment in genetic expressions. This reality had led to a new understanding that characters expressions

was an epigenetic process rather than gene deterministic. Mechanisms of epigenetic process was concerned

with gene activation and inactivation by which its processes were the responsibility of chromatin structure

dynamics (histone modification) and DNA methylation, or combination of both. Genomic imprinting as an

epigenetic process was also accounted by DNA methylation.

Key words: plant genetic, plant breeding, genetic expression, phenotypic expression.

PENDAHULUAN

Perkembangan pemahaman tentang komplek-

sitas sel baik secara struktural maupun mekanisme

regulasinya telah bermuara pada suatu perdebatan

antara kelompok performasionis-reduksionis dan

epigenetik-holis tentang bagaimana mekanisme

ekspresi genomik dalam menampilkan suatu feno-

tipe (Stotz, 2005). Gen sebagai elemen penyusun

genom merupakan merupakan sekuens kode yang

menunjukkan spesifikasi sekuens linier asam-asam

amino dalam suatu rantai polipeptida (central dog-

ma theory). Oleh karena itu, kelompok performa-

sionis-reduksionis meyakini bahwa sekuens kode

dari suatu gen adalah faktor deterministik terhadap

ekspresi suatu fenotipe.

Pada era pascagenomik, debat historis ini telah

muncul kembali ke permukaan seiring dengan pe-

nemuan fakta-fakta baru pada level molekuler su-

atu sel. Meskipun reduksionisme molekuler abad-

20 telah memperlihatkan keberhasilan yang spek-

takuler, penemuan-penemuan tentang gen, protein,

dan metabolit saja belum cukup untuk memahami

kompleksitas sel. Penemuan fakta-fakta bahwa

faktor-faktor penting seperti sekuens kode (infor-

masi genetik) melakukan regulasi ekspresi geno-

mik secara interaktif dengan elemen-elemen ling-

kungan ekstra organisme terutama sekali intra or-

ganisme (selama ini belum menjadi perhatian) me-

rupakan kritik terhadap pemahaman genetik de-

terministik dalam ekspresi genomik. Bahkan seca-

ra ekstrim Stotz et al. (in press) sebagaimana diku-

tip oleh Stotz (2005) menyatakan bahwa gen bu-

kan hanya merupakan kesatuan yang telah ditentu-

kan sebelumnya (diwariskan) yang tersusun secara

linier pada suatu genom seperti halnya manik-ma-

nik pada tali/benang, tapi mereka lebih merupakan

“things an organism can do with its genome” (se-

suatu yang suatu organisme dapat lakukan dengan

genomnya) dan di tempat itu membuat cetakan un-

tuk suatu produk yang dibutuhkan sel pada waktu

tertentu. Sekuens DNA yang sama secara potensial

dapat menghasilkan berbagai produk gen yang

berbeda. Sebaliknya, sekuens DNA yang berbeda

dapat mengkode produk-produk gen yang identik.

Oleh karen itu, informasi genetik untuk suatu pro-

duk tidak cukup hanya dengan pengkodean dalam

sekuens DNA target saja tapi harus ”diinterpretasi-

kan” bersama elemen lain di luar sekuens kode ter-

sebut. Elemen-elemen selain sekuens kode meru-

pakan lingkungan bagi gen. Lingkungan intra or-

ganisme dalam konteks gen terdiri atas regulasi

dan sekuens intronik yang menjadi target pengikat-

an oleh faktor transkripsi dan splicing factors (pro-

tein dan non-coding RNAs), dan sinyal-sinyal ling-

kung-an spesifik yang memberikan isyarat pada

faktor-faktor tersebut sehingga mempengaruhi eks-

presi gen.

Realitas pascagenomik ini berimplikasi pada

pemahaman kita bahwa perkembangan (develop-

ment) tidaklah gen deterministik tapi sebuah

proses epigenetik (Muller dan Olson, 2003 seba-

Page 2: 362-689-1-SM

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

52

gaimana dikuti oleh Stotz, 2005). Terminologi epi-

genetik digunakan untuk menyatakan adanya pe-

ngaruh pada aktivitas gen yang diwariskan dimana

pengaruh tersebut ti-dak melibatkan perubahan pa-

da DNA (Gehring et al., 2004). Terjadinya proses

epigenetik (epigenesis) merupakan konsekuensi

adanya interaksi antara gen dan lingkungannya dan

dapat terjadi akibat tidak terekspresinya informasi

genomik (silenced genes). Peristiwa-peristiwa mo-

lekuler seperti metilasi DNA, modifikasi histon,

dan lain-lain dapat menyebabkan tidak tercetaknya

informasi pada genom (genomic imprinting)

(Holliday, 2005).

METILASI DNA DAN GENOMIC

IMPRINTING

Epigenotipe dan epigenetik

Dalam suatu organisme kompleks dengan sel-

sel yang terdiferensiasi, sel-selnya memiliki berba-

gai fenotipe yang berbeda. Meskipun demikian,

genotipe-genotipe sel-sel tersebut adalah sama.

Perbedaan fenotipe-fenotipe tersebut disebabkan

oleh suatu mekanisme yang menetapkan sekelom-

pok gen menjadi aktif pada sel-sel tertentu semen-

tara sekelompok gen lainnya inaktif. Mekanisme

ini merupakan mekanisme epigenetik yang menen-

tukan epigenotipe dari sel-sel tersebut (Holliday,

2005). Dengan demikian, suatu organisme kom-

pleks memiliki ba-nyak epigenotipe sel.

Istilah epigenotipe diperkenalkan oleh Wad-

dington (1939) sebagaimana dikutip oleh Holliday

(2005) dan didefinisikan sebagai ”total sistem per-

kembangan yang terdiri atas lintasan-lintasan per-

kembangan yang saling berhubungan di mana me-

lalui interelasi lintasan-lintasan tersebut bentuk de-

wasa suatu organisme terlihat”. Holliday (2005)

secara lebih spesifik mendeskripsikan pengertian

epigenotipe sebagai berikut: meskipun seluruh

gen-gen yang diwariskan pada semua sel-sel zigot

sama, produk gen-gen tersebut berbeda pada tiap

tipe sel yang berbeda. Misalnya, pada embrio yang

sedang berkembang terdapat sel otot, saraf, sel-sel

jaringan penghubung dan lain-lain. Ini terjadi ka-

rena adanya perbedaan ekspresi gen.

Setiap sel memiliki set gen aktif standar yang

diperlukan untuk metabolisme normal. Produk gen

tersebut umumnya merupakan enzim atau protein

housekeeping. Ketika sel-sel tertentu terdiferensia-

si, set protein lainnya juga dibentuk. Protein terse-

but umumnya dikenal dengan protein mewah (lux-

ury protein). Dengan demikian tipe sel A memiliki

satu set protein mewah A’, dan tipe sel B memiliki

set protein B’ di mana keduanya memiliki protein

housekeeping yang mirip atau sama. Sel A tidak

mensintesis protein B’ dan sel B tidak mensintesis

protein A’. Pada beberapa kasus, keduanya dapat

mensintesis protein mewah C’, atau bisa jadi sama

sekali tidak ada protein yang dibentuk oleh kedua

tipe sel. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

perbedaan fenotipe sel tipe A dan B disebabkan

oleh berbedanya epigenotipe sel-sel tersebut.

Epigenesis mencakup seluruh mekanisme yang

menyebabkan perbedaan ekspresi gen pada sel-sel

tertentu. Mekanisme tersebut mencakup metilasi

DNA, konfigurasi kromatin, atau kombinasi kedu-

anya. Konsekuensi dari mekanisme tersebut adalah

sebuah spektrum gen-gen yang aktif dan gen-gen

yang tidak aktif (silent) pada setiap tipe sel yang

ada. Epigenesis juga meliputi mekanisme yang

bertanggung jawab menentukan program genetik

untuk perkembangan (development) di mana me-

kanisme ini bergantung pada proses-proses seperti

pensinyalan sel dan berbagai interaksi seluler lain-

nya. Proses tersebut juga mencakup perilaku sel

batang (stem line cell) yang membelah untuk

menghasilkan dua sel anak yang identik, dan sel

lainnya yang menghasilkan satu atau lebih tipe sel

yang terdiferensiasi. Misalnya, sel batang tulang

sum-sum menghasilkan seluruh tipe sel dalam da-

rah, tetapi sel batang kulit hanya memproduksi ke-

ratinocytes. Epigenesis juga bertanggung jawab

atas terjadinya genomic imprinting di mana bebe-

rapa gen yang berasal dari gamet jantan dan betina

memiliki ekspresi yang berbeda.

Metilasi DNA dan inaktivasi gen (gene

silencing)

Kontrol ekspresi gen merupakan faktor utama

dalam mekanisme epigenetik. Struktur kromatin

sangat menentukan aksesibilitas DNA yang pada

akhirnya menentukan proses transkripsi. Faktor-

faktor yang mempengaruhi struktur kromatin ada-

lah kompleks remodeling yang bergantung pada

ATP (ATP-dependent remo-delling complex), mo-

difikasi histon (histon modification), group Poly-

comb dan Trithorax, Metilasi DNA, varian histon,

dan inaktivasi gen yang diinduksi RNA (RNA-

induced gene silencing) (Hsieh dan Fischer, 2005).

Metilasi DNA adalah salah satu modifikasi epi-

genetik yang paling banyak terjadi pada tanaman

dan hewan. Modifikasi tersebut tidak mengubah

sekuens utama DNA namun merupakan faktor kri-

tis bagi perkembangan yang normal, pola ekspresi

gen, dan stabilitas genomik. Metilasi DNA meru-

pakan reaksi penambahan kovalen gugus metil pa-

da ujung 5’ sitosin (Gambar 1) dalam dinukleotida

CpG dan trinukleotida CpNpG yang difasilitasi

oleh enzim DNA metiltransferase (Plass dan

Soloway, 2002; Hsieh dan Fischer, 2005). Karena

Page 3: 362-689-1-SM

Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.

53

5’CG3’ adalah palindromik, metilasi dapat terjadi

hanya pada satu rantai (hemi-methylated) ataupun

kedua rantai DNA (homo-methylated) (Plass dan

Soloway, 2002). Metilasi DNA dalam konteks di-

nukleotida CpG yang simetrik (homomethylated)

ini merupakan modifikasi yang dipertahankan. Po-

la metilasi simetrik ini dipertahankan setelah repli-

kasi DNA di mana setiap setiap rantai DNA tetua

menyimpan setengah dari informasi metilasi. Pe-

meliharaan (maintenance) DNA metil transferase,

seperti DNMT1 pada hewan dan MET1 pada ta-

naman, terjadi dengan cara mengkopi tanda (area)

metilasi pada rantai DNA anak. Dengan cara ter-

sebut, metilasi DNA memperlihatkan mekanisme

yang efisien dalam menyimpan informasi epigene-

tik yang dengan stabil dapat diwariskan melalui

pembelahan sel (Hsieh dan Fischer, 2005).

Gambar 1. Metilasi yang terjadi pada ujung 5-

sitosin.

Replikasi DNA homometilasi menghasilkan

DNA hemimetilasi dimana satu rantai DNA tetap

termetilasi dan rantai yang baru terbentuk tidak

termetilasi. DNA yang hemimetilasi dapat menjadi

homometilasi dengan enzim metiltransferase pe-

meliharaan (maintenance) yang meletakkan grup

metil pada komplementer 5’-CG-3’ ke 5’-CG-3’

yang termetilasi. Metiltransferase yang pertama

kali diidentifikasi, DNMT1, diketahui memiliki

baik aktivitas metilasi de novo dan aktivitas peme-

liharaan (activity maintenance), meskipun aktivitas

de novo jauh lebih lemah dibandingkan aktivitas

pemeliharaan. Hasil penelitian memperlihatkan

pentingnya metilasi DNA dalam perkembangan

yang normal.

Demetilasi DNA dapat terjadi secara aktif oleh

suatu enzim dengan aktivitas demetilasi, atau seca-

ra pasif melalui beberapa kali replikasi pada saat

tidak terdapat aktivitas metiltransferase pemeliha-

raan. Terdapat bukti-bukti bahwa kedua proses ini

terjadi. Demetilasi aktif terjadi secara predominan

pada kromosom dalam zigot yang diwariskan se-

cara paternal sedangkan kromosom yang diwaris-

kan secara maternal mengalami demetilasi pasif

pada tahap pembelahan berikutnya.

Dalam konteks epigenetik, konsekuensi pen-

ting dari metilasi DNA adalah inaktivasi gen (gen

silencing/inactivity). Seperti diketahui bahwa re-

gulasi ekspresi gen memerlukan faktor transkripsi

yaitu protein spesifik yang mengikat DNA promo-

tor. Inaktivasi terjadi ketika faktor transkripsi tidak

dapat mengikat DNA yang termetilasi. Inaktivasi

akibat metilasi bahkan dapat terjadi pada keselu-

ruhan kromosom (Gambar 2 dan 3). Meskipun me-

tilasi DNA memiliki peran penting dalam inaktiva-

si gen, mekanismenya tidak terlepas dari adanya

peran modifikasi histon ataupun varian histon

(Hsieh dan Fischer, 2005). Secara umum, regulasi

ekspresi gen melibatkan asetilasi histon oleh HATs

(histon acetyl transferases) yaitu penambahan grup

COCH3 pada histon. Asetilasi berfungsi mengurai-

kan struktur kromosom yang padat sehingga kode-

kode pada rantai DNA dapat ditranskripsikan. Se-

baliknya, terjadinya deasetilasi histon oleh dease-

tilase (protein yang membuang gugus metil dari

histon) atau HDACs (histone deacetylases) akan

memadatkan kromosom kembali. Dengan demiki-

an, bagian-bagian DNA yang terkait dengan wila-

yah histon yang terdeasetilasi tidak dapat ditrans-

kripsikan (silent) (Hsieh dan Fischer, 2005). Ilus-

trasi asetilasi tersaji pada Gambar 4.

Mekanisme inaktivasi gen lainnya melibatkan

adanya non-coding RNA. Akhir-akhir ini, para

peeliti telah mengalihkan perhatian mereka pada

98% DNA sampah (junk DNA) pada organisme

tingkat tinggi yang memiliki mekanisme genomik

baru dalam mengeset gen untuk ’on’dan ’off’ sela-

ma perkembangan normal dan regulasi pemrosesan

mRNA. Mekanisme kontrol tersebut adalah non-

protein-coding RNAs (ncRNAs) yang secara

umum berfungsi dalam dua cara yaitu:

1. terlipat dalam cara 2- dan 3-dimensional, RNA

tersebut menunjukkan fungsi yang sama dan

analog sebagai faktor protein seperti mengka-

talisis reaksi kimia (ribozim) atau membentuk

kantong pengikat untuk molekul (riboswitch-

es),

2. Sebagai sinyal digital untuk DNA, RNA dan

protein melalui kapasitas perpasangan basa

komplementernya (Mattick, 2004).

Lima dari sembilan ribozim alami yang telah

dikenal mengkatalisis pemotongan sendiri (self-

cleavage) dengan menggunakan suatu reaksi trans-

fer fosforester internal. Selfsplicing in-trons mem-

bantu proses mRNA matang (mature) dengan cara

mengaktifkan baik sambung-an cis- dan trans- pa-

da bakteri, virus, kloroplas tanaman, dan mitokon-

Page 4: 362-689-1-SM

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

54

dria pada eukariot (Sturm dan Campbell, 1999).

Riboswitches adalah porsi non-coding yang pan-

jang dari ber-bagai mRNAs yang mengkontrol

ekspresi gen dengan cara melipat ke reseptor pada

molekul lingkungan spesifik. Mereka terlibat da-

lam mekanisme regulasi yang berbeda seperti in-

hibisi inisiasi translasi dan atenuasi (mengurangi)

ba-ik transkripsi ataupun translasi. Hal ini meng-

akibatkan aktivasi ataupun represi dari ekspresi

gen.

Gambar 2. Metilasi pada CG island.

Gambar 3. Inaktivasi keseluruhan kromosom (inactivation of entire chromosom)

Gambar 4. Asetilasi histon.

Page 5: 362-689-1-SM

Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.

55

Terdapat diversitas non-coding RNAs yang lu-

as dengan fungsi digital. Grup yang terbesar adalah

kisaran RNAs kecil yang menginaktifkan ekspresi

berbagai gen dengan cara menghancurkan mRNA

ataupun dengan mempengaruhi translasinya. RNA

interference (RNAi) melalui small interfering

RNAs (siRNAs) rantai ganda telah terimplikasi pa-

da berbagai proses berbeda yang mencakup regu-

lasi temporal ekspresi gen perkembangan, pence-

gahan mobilisasi transposon, dan suatu mekanisme

ketahanan terhadap infeksi virus (Novina dan

Sharp, 2004). Ribuan RNA mikro (miRNA) telah

diidentifikasi baik pada vertebrata maupun inver-

tebrata. RNA tersebut mengikat faktor transkripsi

spesifik mRNAs untuk menghambat translasi.

RNAmikro tersebut meregulasi sedikitnya seper-

tiga gen-gen manusia yang terlibat dalam prolifera-

si dan kematian sel, waktu perkembangan, atau pe-

molaan sistem saraf (Ambros, 2004).

Secara umum, regulasi yang dimediasi oleh

RNA terlibat dalam berbagai proses-proses yang

berbeda seperti replikasi kromosom, regulasi trans-

kripsi (berkaitan dengan inaktivasi gen), pemroses-

an mRNA, penyambungan (splicing) dan modifi-

kasi, transpor dan stabilitas mRNA, translasi, de-

gradasi dan translokasi protein, sistem imunitas

genom, remodelling kromatin, DNA dan histon

metilasi, yang secara bersama-sama fungsi-fungsi

tersebut membenarkan pernyataan bahwa regulasi

yang dimediasi RNA adalah ”sistem regulasi digi-

tal yang paralel” (Mattick, 2004).

Dalam konteks mekanisme inaktivasi gen (si-

lencing gene), terdapat hasil-hasil penelitian yang

menyatakan bahwa metilasi DNA dan histon ber-

gantung pada aktivitas RNAi. Lippman et al.

(2004) sebagaimana dikutip oleh Hsieh dan

Fischer (2005) melaporkan bahwa pada knob hk4s

pada Arabidopsis terdapat level dimetilasi H3K9

dan metilasi DNA yang tinggi. Distribusi metilasi

H3K9 berkorelasi signifikan dengan lokasi elemen

transposabel di mana ini menunjukkan bahwa for-

masi heterokromatin ditentukan oleh adanya ele-

men transposabel elemen. DDM1 memiliki peran

krusial dalam mengkontrol inaktivasi heterokroma-

tin karena pada mutan ddm1 tidak terdapat metilasi

DNA dan H3K9. Metilasi DNA dan H3K9 diganti-

kan dengan metilasi H3K4 yang seragam dengan

reaktivasi yang bersamaan dengan beberapa ele-

men transposabel. Melalui hipotesis bahwa siRNA

(small interfering RNA) memiliki target elemen

transposabel untuk metilasi H3K9, Hsieh dan

Fischer (2005) mengidentifikasi bahwa sumber

utama siRNAs yang komplementer terhadap wila-

yah hk4s berasal dari elemen transposabel. Oleh

karena itu, tanskripsi elemen transposabel memi-

liki target untuk metilasi histon dan DNA dan for-

masi kromatin. Lebih jauh lagi, elemen transposa-

bel dengan siRNAs yang sesuai adalah elemen

yang secara khusus direaktivasi dengan latar bela-

kang ddm1. Hal ini menyatakan bahwa DDM1 di-

pandu oleh siRNAs (Lippman et al., 2004 sebagai-

mana dikutip oleh Hsieh dan Fischer, 2005).

Genomic imprinting

Imprinting adalah mekanisme regulasi ekspresi

gen epigenetik di mana satu dari dua kopi gamet

tetua terekspresi sedangkan yang lainnya tidak

(Plass dan Soloway, 2002; Holliday, 2005). De-

ngan kata lain, aktivitas suatu gen dimodifikasi

dengan bergantung pada jenis kelamin tetua yang

mentransmisikannya dan dalam hal ini gamet jan-

tan dan betina memiliki epigenotipe yang berbeda

(Holliday, 2005). Gen-gen imprinted saling me-

lengkapi satu sama lain dalam zigot, sehingga per-

kembangan menjadi normal. Sebaliknya, dua ge-

nom yang berasal dari jantan, atau dua genom

yang berasal dari betina akan menghasilkan embrio

yang abnormal. Gambar 5 mengilustrasikan bahwa

imprinting ekpresi genom pada progeni merupakan

ekspresi monoalelik sedangkan Gambar 6 meng-

ilustrasikan maternal imprinting.

Pada mamalia, gen-gen imprinted biasanya di-

jumpai pada klaster kromosom dan mungkin ber-

kaitan dengan metilasi DNA pada area kontrol

yang bertindak sebagai cis (cis acting control re-

gions). Karena metilasi DNA dan metilasi histon

terkait erat, dapat dikatakan bahwa struktur kroma-

tinlah yang pada akhirnya menentukan kondisi

”on” dan ”off” suatu gen imprinted (Hsieh dan

Fischer, 2005).

Gambar 5. Gen imprinted berasal dari salah sa-tu

tetua.

Terdapat bukti bahwa metilasi DNA berperan

dalam gen mprinting pada angiosperm. Tanaman

mengandung de novo dan gen-gen pemeliharaan

metiltransferase. Pada Arabidopsis, terdapat tiga

kelas metil transferase yaitu famili MET1 (metil-

transferase), famili CMT (chromo-metilase), dan

famili DRM (domain rearrange metiltransferase)

(Gehring et al., 2004). MET1, atau Dnmt1 (homo-

log pada mamalia) adalah metiltransferase peme-

Page 6: 362-689-1-SM

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

56

liharaan yang predominan. Mutan met1 telah me-

reduksi metilasi CpG dan CpNpG pada ulangan

sentromerik (centro-meric repeats), ulangan gen

rDNA, dan sekuen gen kopi tunggal (single-copy

sequence gene) (Kankel et al., 2003).

Studi-studi terakhir mengenai hubungan antara

metilasi DNA pada dua gen Arabidopsis yang im-

printed menunjukkan bahwa pada kedua gen MEA

(MEDEA) dan FWA yang imprinted di endosperm,

hanya alel maternal yang aktif sedangkan alel pa-

ternalnya inaktif (Kinoshita et al., 1999). Gen

FWA yang pada mulanya diidentifikasi dari mutan

epigenetik yang berhubungan dengan ulangan hi-

pometilasi yang diwariskan yang berada di situs

transkripsi awal (faktor transkripsi) (Kinoshita et

al., 1999; Hsieh dan Fischer, 2005). Sedangkan

gen MEA adalah gen grup polycomb yang meng-

kode protein polycomb SET pada Arabidopsis

(Kinoshita et al., 1999; Choi et al., 2004). SET

adalah singkatan yang berasal dari tiga nama gen

yang berbagi (share) 130 motif asam amino. Gen-

gen tersebut adalah Suppressor of position effect

variegation gen Su(var)3-9, Enhancer of zeste

polycomb group gen E(z), dan Trithorax gene trx-

G (Jenuwein et al., 1998 sebagaimana dikutip oleh

Kinoshita et al., 1999). Pada mamalia, serangga

dan fungi, protein domain polycomb SET telah

terbukti meregulasi transkripsi gen dengan berpar-

tisipasi dalam pembentukan kompleks pada situs

spesifik dalam genom. Pada Arabidopsis, MEA

berfungsi sebagai supressor bagi perkembangan

endosperm (Kiyosue et al., 1999).

Gambar 6. Maternal imprinting.

Gambar 7. Modifikasi histon dalam kromatin

Page 7: 362-689-1-SM

Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.

57

Ekspresi alel MEA dan FWA endosperm dikon-

trol oleh gen DEMETER (DME), gen yang meme-

gang peran penting dalam regulasi gen imprinting

pada Arabidopsis (Kinoshita et al., 1999; Choi et

al., 2004). DME mengaktifkan ekspresi alel MEA

maternal yang imprinted dengan mengkode suatu

protein baru yang besar dengan suatu domain

DNA glycosylase. DNA glycosylase adalah enzim

khusus dengan berat molekul rendah (200-300 aa)

yang bertanggung jawab untuk mengenali kerusak-

an basa (base lesion) di genom dan juga bertang-

gung jawab untuk menginisiasi penghilangan basa.

Setelah penghilangan basa, DNA lebih lanjut di-

proses melalui aksi endonuclease, DNA polimera-

se, dan DNA ligase (Choi et al., 2004). DME ber-

aksi secara langsung pada promoter MEA di mana

ekspresi DME menghasilkan nick pada promoter

MEA. Nick memperlihatkan terjadi-nya proses

penghilangan basa (base excision). Mutasi pada

DME disupresikan oleh mutasi pada MET1. Supre-

si ini beraksi pada lokus MEA secara spesifik pada

gametofit betina, menghubungkan antara metilasi

DNA dan regulasi imprinting MEA oleh DME. Ti-

ga wilayah dari promoter MEA mengalami metilasi

DNA, dan metilasi ini direduksi pada biji mutan

met1 (Hsieh dan Fischer, 2005). Namun demikian,

masih belum diketahui apakah metilasi promoter

MEA meregulasi ekspresi MEA secara langsung.

Bagaimana DME mengatasi supresi MEA yang

dimediasi oleh MET1 juga masih belum diketahui.

Salah satu kemungkinannya adalah bahwa DME

bisa mengaktifkan MEA dengan membuang residu

C sitosin yang termetilasi, seperti yang diperlihat-

kan oleh gen semacam DME (DME-like gene),

Repressor of Silencing 1 (ROS1), yang dapat

menghilangkan 5’-metilsitosin secara in vitro

(Gong et al., 2002).Perbedaan struktur kromatin

antara alel paternal dan maternal telah menjadi fo-

kus dalam penelitian imprinting pada mamalia dan

begitu pula pada tanaman. Dalam mekanisme im-

printing metilasi DNA dan struktur kromatin sa-

ngat berhubungan. Metilasi histon pada histon

H3Lys 9 berhubungan dengan kromatin inaktif.

Pada Neurospora, metilasi sitosin DNA ditiada-

kan/dihapuskan dalam mutan metiltransferase H3

histon (Tamaru dan Selker, 2001). Pada Arabidop-

sis, KRYPTONITE/KYP (metiltransferase H3 his-

ton spesifik untuk Lys 9) (Gambar 7), diperlukan

untuk metilasi CpNpG oleh CMT3 (Jackson et al.,

2002). Decrease in DNA Methylation (DDM1) dan

KYP dibutuhkan untuk metilasi H3 K9 pada ulang-

an sentromerik, retrotransposons (Johnson et al.,

2002) dan knob heterokromatin (Gendrel et al.,

2002). DDM1 mengkode protein remodelling kro-

matin yang bergantung pada ATP (ATP-dependent

chromatin-remodelling protein) yaitu famili yang

sama dengan SWI2/SNF2 (Hsieh dan Fischer,

2005). DDM1 rekombinan dapat berikatan dengan

DNA bebas dan nukleosom, yang merangsang ak-

tivitas ATPase, dan juga dapat menginduksi per-

pindahan oktamer histon di sepanjang DNA mela-

lui suatu ca-ra yang bergantung dengan ATP.

DDM1 diidentifikasi sebagai suatu mutasi yang

mereduksi 5-metilsitosisn pada level hingga 70%

(Vongs, 1993) di mana hal ini disebabkan oleh pe-

ngaruh enzim remodelling kromatin pada DNA

metilasi.

KESIMPULAN

Pada level molekuler yang paling kecil, feno-

tipe yang berasal dari hasil interpretasi tertentu da-

ri suatu genotipe, dibangun melalui proses-proses

epigenetik. Mekanisme terjadinya proses epigene-

tik melibatkan dinamika struktur kromatin (seperti

metilasi histon, deasetilasi histon, dll.), metilasi

DNA, ataupun kombinasi keduanya. Terjadinya

proses epigenetik tidak lepas dari proses aktivasi

(enhancing) dan ianktivasi (silencing) gen yang

mekanismenya melibatkan proses-proses seperti

metilasi DNA dan histon, modifikasi histon (his-

ton varian), non-coding RNAs. Proses-proses ter-

sebut juga mengakibatkan terjadinya genomik im-

printing yaitu regulasi ekspresi gen epigenetik di

mana modifikasi aktivitas gen bergantung pada

jenis kelamin parentalnya. Mekanisme pewarisan

epigenetik adalah transmisi interpretasi informasi

DNA dan bukan sekuens DNA itu sendiri, sehing-

ga yang diwariskan adalah lebih merupakan feno-

tipenya daripada genotipnya. Dari sisi fenotipe, su-

atu organisme tidak hanya mewariskan sumberda-

ya seperti sekuens DNA tetapi lebih cenderung

mewariskan ’hubungan tertentu’ sumberdaya ter-

sebut dengan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambros, V. 2004. The function of animal microRNAs.

Nature: 350-355.

Choi, Y., J. J. Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer.

2004. An invariant aspartic acid in the DNA

Glycosylase domain of DEMETER is necessary for

transcriptional activation of the imprinted MEDEA

gene. PNAS 101: 7481-7486.

Gehring, M., Y. Choi dan R. L. Fischer. 2004.

Imprinting and seed development. The Plant Cell 16:

203-213.

Page 8: 362-689-1-SM

Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007

58

Gendrel, A.-V., Z. Lippman, C.Yordan, V. Colot dan R.

A. Martienssen. 2002. Dependence of

heterochromatic histone H3 methylation patterns on

the Arabidopsis gene DDM1. Science 297: 1871-

1873.

Gong, Z., T. Morales-Ruiz, R. R. Ariza, T. Rolda´n-

Arjona, L. David dan J. K. Zhu. 2002. ROS1, a

repressor of transcriptional gene silencing in

Arabidopsis, encodes a DNA glycosylase/lyase. Cell

111: 803-814.

Holliday, R. 2005. DNA methylation and epigenotypes.

Biochemistry 70: 500-504.

Hsieh, T. F. dan R. L. Fischer. 2005. Biology of

chromatin dynamics. Annual Review of Plant

Biology 56: 327-351.

Johnson, L. M., X. Cao dan S. E. Jacobsen. 2002.

Interplay between two epigenetic marks: DNA

methylation and histone H3 lysine 9 methylation.

Current Biology 12: 1360-1367.

Kankel, M. W., D. E. Ramsey, T. L. Stokes, S. K.

Flowers, J. R. Haag, J. A. Jeddeloh, N. C. Riddle, M.

L. Verbsky dan E. J. Richards. 2003. Arabidopsis

MET1 cytosine methyltransferase mutants. Genetics

163: 1109-1122.

Kinoshita, T., R. Yadegari, J. J. Harada, R. B. Goldberg

dan R. L. Fischer. 1999. Imprinting of MEDEA

polycomb gene in the Arabidopsis endosperm. The

Plant Cell 11: 1945-1952.

Kiyosue, T., N. Ohad, R. Yadegari, M. Hannon, J.

Dinneny, D. Wells, A. Katz, L. Margossian, J. J.

Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer. 1999.

Control of fertilization-independent endosperm

development by the MEDEA Polycomb gene in

Arabidopsis. Proceedings of National Academy of

Science, USA 96: 4186-4191.

Mattick, J. S. 2004. RNA regulation: a new genetics?

Nature Reviews Genetics 5: 316-323.

Plass, C. dan P. D. Soloway. 2002. DNA methylation,

imprinting, and cancer. European Journal of Human

Genetics 10: 6-16.

Stotz, K. 2005. With 'genes' like that, who needs an

environment? Postgenomic argument for the

'ontogeny of information'. Philosophy of Science -: -

Tamaru, H. dan E. Selker. 2001. A histone H3

methyltransferase controls DNA methylation in

Neurospora crasse. Nature 414: 277-283.

Vongs, A., Kakutani, T., Martienssen, R.A.,and

Richards, E.J. 1993. Arabidopsis thaliana DNA

methylation mutants. Science 260:1926-1928. 1993.

Arabidopsis thaliana DNA methylation mutants.

Science 260: 1926-1928.