2142-2548-1-pb

9
77 Tingkat dan Faktor Risiko Kekebalan Protektif terhadap Rabies pada Anjing di Kota Makassar (RATE AND RISK FACTORS OF PROTECTIVE IMMUNITY AGAINST RABIES ON DOGS IN THE CITY OF MAKASSAR) Sri Utami 1 , Bambang Sumiarto 2 1 Balai Besar Karantina Pertanian Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km 12, Makassar, Sulawesi Selatan. Telp. 0411-4771788; E-mail [email protected] 2 Bagian Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Telah dilakukan kajian tingkat dan faktor risiko kekebalan protektif terhadap rabies di Kota Makassar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat kekebalan anjing bertuan dan mengetahui asosiasi antara faktor-faktor manajemen pemeliharaan anjing dan tingkat kekebalan anjing terhadap rabies. Dua ratus empat puluh enam sampel serum anjing bertuan dikumpulkan untuk pengukuran tingkat kekebalan anjing dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Data manajemen pemeliharaan diambil melalui kuesioner dan pengamatan langsung. Analisis data tingkat kekebalan yang diperoleh dilakukan secara deskriptif. Untuk mengetahui signifikansi asosiasi antara faktor-faktor yang diteliti dan tingkat kekebalan digunakan analisis Chi square (X 2 ) dan kekuatan asosiasinya dihitung dengan odds ratio dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 12,2% anjing yang dipelihara di kota Makassar mempunyai tingkat kekebalan antibodi protektif > 0,5 IU/ml terhadap rabies. Faktor yang mempengaruhi tingkat kekebalan protektif terhadap rabies adalah umur anjing pertama kali divaksin 1-6 bulan (OR = 18,6), pasca vaksinasi setelah 1-6 bulan (OR = 6,0), lokasi pemeliharaan anjing di daerah perkotaan (OR = 4,5), cara pemeliharaan anjing di dalam rumah (OR = 3,8), dan pendapatan pemilik diatas Rp. 2.000.000/bulan (OR = 3,0). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rendahnya tingkat kekebalan protektif terhadap rabies dan adanya laporan gigitan anjing setiap tahunnya mengindikasikan bahwa kota Makassar sebagai daerah endemis merupakan ancaman terjadinya wabah rabies pada hewan dan manusia ke wilayah sekitarnya. Kata kunci: tingkat kekebalan protektif, faktor risiko, rabies. ABSTRACT The rate and risk factors on protective immunity against rabies were conducted in Makassar city. The aims of this study were to determine the level of immunity of dog and find out the association between management factors and the level of maintenance of the dog immunity against rabies. Two hundred and forty-six serum samples were collected for measurement of dog immunity level with a method of enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Maintenance management data were gathered through questionnaires and direct observation. Analysis of data obtained by the level of immunity was done descriptively. The significance association between the risk factors and the strength of immunity level was calculated by using Chi square (X 2 ) and odds ratios. The results showed only 12.2% of dogs had a protective antibody against rabies at > 0.5 IU/ml. Factors affecting the level of protective immunity against rabies were the first vaccination at 1-6 months age (OR = 18.6), post-vaccination after 1-6 months (OR = 6.0), the maintenance location of dogs in urban areas (OR = 4.5), dog caring management in house (OR = 3.8), and owner income above Rp. 2.000.000/month (OR = 3.0). It is concluded that the low level of protective immunity against rabies and the dog bites reported each year indicates that Makassar, as endemic areal of rabies, is a threat to the outbreak of the disease in animals and humans to the surrounding areas. Key words: protective immunity rate, risk factors, rabies. Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85 ISSN : 1411 - 8327

Upload: amiruddin

Post on 07-Dec-2014

27 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2142-2548-1-PB

77

Tingkat dan Faktor Risiko Kekebalan Protektifterhadap Rabies pada Anjing di Kota Makassar

(RATE AND RISK FACTORS OF PROTECTIVE IMMUNITYAGAINST RABIES ON DOGS IN THE CITY OF MAKASSAR)

Sri Utami1, Bambang Sumiarto2

1Balai Besar Karantina Pertanian MakassarJl. Perintis Kemerdekaan Km 12, Makassar, Sulawesi Selatan. Telp. 0411-4771788;

E-mail [email protected] Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

Telah dilakukan kajian tingkat dan faktor risiko kekebalan protektif terhadap rabies di KotaMakassar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat kekebalan anjing bertuan dan mengetahuiasosiasi antara faktor-faktor manajemen pemeliharaan anjing dan tingkat kekebalan anjing terhadaprabies. Dua ratus empat puluh enam sampel serum anjing bertuan dikumpulkan untuk pengukurantingkat kekebalan anjing dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Data manajemenpemeliharaan diambil melalui kuesioner dan pengamatan langsung. Analisis data tingkat kekebalanyang diperoleh dilakukan secara deskriptif. Untuk mengetahui signifikansi asosiasi antara faktor-faktoryang diteliti dan tingkat kekebalan digunakan analisis Chi square (X2) dan kekuatan asosiasinya dihitungdengan odds ratio dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 12,2%anjing yang dipelihara di kota Makassar mempunyai tingkat kekebalan antibodi protektif > 0,5 IU/mlterhadap rabies. Faktor yang mempengaruhi tingkat kekebalan protektif terhadap rabies adalah umuranjing pertama kali divaksin 1-6 bulan (OR = 18,6), pasca vaksinasi setelah 1-6 bulan (OR = 6,0), lokasipemeliharaan anjing di daerah perkotaan (OR = 4,5), cara pemeliharaan anjing di dalam rumah (OR =3,8), dan pendapatan pemilik diatas Rp. 2.000.000/bulan (OR = 3,0). Hasil penelitian dapat disimpulkanbahwa rendahnya tingkat kekebalan protektif terhadap rabies dan adanya laporan gigitan anjing setiaptahunnya mengindikasikan bahwa kota Makassar sebagai daerah endemis merupakan ancaman terjadinyawabah rabies pada hewan dan manusia ke wilayah sekitarnya.

Kata kunci: tingkat kekebalan protektif, faktor risiko, rabies.

ABSTRACT

The rate and risk factors on protective immunity against rabies were conducted in Makassar city. Theaims of this study were to determine the level of immunity of dog and find out the association betweenmanagement factors and the level of maintenance of the dog immunity against rabies. Two hundred andforty-six serum samples were collected for measurement of dog immunity level with a method of enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Maintenance management data were gathered throughquestionnaires and direct observation. Analysis of data obtained by the level of immunity was donedescriptively. The significance association between the risk factors and the strength of immunity level wascalculated by using Chi square (X2) and odds ratios. The results showed only 12.2% of dogs had a protectiveantibody against rabies at > 0.5 IU/ml. Factors affecting the level of protective immunity against rabieswere the first vaccination at 1-6 months age (OR = 18.6), post-vaccination after 1-6 months (OR = 6.0), themaintenance location of dogs in urban areas (OR = 4.5), dog caring management in house (OR = 3.8), andowner income above Rp. 2.000.000/month (OR = 3.0). It is concluded that the low level of protective immunityagainst rabies and the dog bites reported each year indicates that Makassar, as endemic areal of rabies,is a threat to the outbreak of the disease in animals and humans to the surrounding areas.

Key words: protective immunity rate, risk factors, rabies.

Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85ISSN : 1411 - 8327

Page 2: 2142-2548-1-PB

78

PENDAHULUAN

Program pemberantasan rabies terusdilakukan dengan mengupayakan peningkatancakupan vaksinasi, namun kekebalan kelompokpada beberapa kajian belum mencapai angkayang memuaskan. Beberapa faktor kemung-kinan menjadi penyebab rendahnya tingkatkekebalan, antara lain mutu vaksin, pelak-sanaan vaksinasi tidak konsisten, dankesalahan penanganan vaksin di lapangansehingga tidak mampu merangsangterbentuknya kekebalan (Lestari dan Dharma,2005).

Kajian tentang efikasi vaksinasi rabiesmenggunakan metode ELISA dan FluorescentAntibody Virus Neuralization (FAVN) telahdilakukan oleh Hostnik et al., (2006). Hasilpenelitian melaporkan bahwa titer antibodiELISA 0,5 IU/ml dapat memberikanperlindungan terhadap anjing selama enamminggu sampai dengan dua tahun. Levelantibodi di bawah 0,5 IU/ml perlu dilakukanpengulangan vaksinasi/booster untukmeningkatkan titer antibodi.

Kekebalan anjing setelah vaksinasi rabiesdipengaruhi beberapa hal, antara lain umur,jenis kelamin, bangsa, jenis vaksin, dan periodepascavaksinasi (Ohore et al., 2007). Faktor lainyang mempengaruhi tingkat kekebalan anjingterhadap rabies adalah anjing yang bebasberkeliaran, status imunitas buruk, dan kondisilingkungan pemeliharaan anjing denganpopulasi tinggi, kondisi sosial ekonomimasyarakat di bawah standar, dan lokasi anjingberada di pinggiran kota (Widdowson et al.,2002).

Kondisi penanganan dan pengendalianrabies di kota Makassar secara umum kurangbaik. Hasil penelitian Utami et al., (2008)menunjukkan bahwa cakupan programvaksinasi di Kota Makassar sangat rendah yaituhanya 22%. Vaksinasi merupakan salah satucara yang efektif untuk menurunkan insidensikasus rabies dan melindungi infeksi virus rabiespada hewan dan manusia (Mattos danRupprecht, 2001). Kondisi lainnya yaitueliminasi anjing liar yang tidak dilakukansecara konsisten, jumlah vaksin terbatas,monitoring pascavaksinasi tidak dilakukansehingga status imunitas anjing terhadap rabiestidak jelas (Daulay, 2001).

Tujuan penelitian adalah untukmengetahui tingkat kekebalan anjing bertuandan mengetahui asosiasi antara faktor-faktormanajemen pemeliharaan anjing dan tingkatkekebalan anjing terhadap rabies.

METODE PENELITIAN

Sebanyak 246 ekor anjing bertuan di KotaMakassar diambil sampel serumnya untukmengetahui tingkat kekebalan terhadappenyakit rabies. Faktor-faktor ekologi penyakitrabies diidentifikasi, dikembangkan, danselanjutnya dibuat dalam bentuk pertanyaandan disusun dalam sebuah kuesioner. Pengujiansampel serum anjing menggunakan kit ELISA.

Pengujian sampel serum anjing menggu-nakan kit ELISA rabies produksi PUSVETMASurabaya yang sediaannya terdiri dari platmikro 96 sumur dengan antigen coating, serumstandar/kontrol positif 1,5 ml = 5,144 IU, serumstandar/kontrol negatif 1,5 ml. Konjugat/antibodi sekunder rec-protein A-HRP 50 µl(Zymed cat no. 10.1123), ABTS 60 ml (Zymedcat. No. 00.2024), Natrium azide 0,01% dalam0,1 M asam sitrat (stop solution), PBS-tweenkonsentrasi 10 kali (diisi tween 20 atau 80secukupnya).

Besaran sampel dihitung dengan rumus n= 4 PQ/L2 (Martin et al., 1987) Pengambilansampel menggunakan metode sampling tahapanberganda. Pemilihan kecamatan dan pemilikanjing di Kota Makassar dilakukan secaraproporsional dan semua anjing yang dimilikipemilik diambil sebagai sampel. Faktor risikodiambil melalui wawancara dengan pemilikanjing dan pengamatan langsung di pemilik.

Faktor yang diteliti pada penelitian iniadalah titer antibodi, umur anjing, jumlahkepemilikan anjing, status vaksinasi, periodepascavaksinasi, umur anjing pertama kalidivaksin, jenis vaksin, cara pemeliharaan anjing,tujuan pemeliharaan anjing, pendapatanpemilik, lokasi pemeliharaan anjing, danpengetahuan pemilik tentang rabies.

Data yang diperoleh dianalisis denganprogram Statistix Version 4.0 (Siegel, 1992).Analisis data dilakukan secara deskriptif danuji asosiasi antara tingkat kekebalan dan faktor-faktor yang diteliti diuji dengan uji Chi-square(X2) dan Odds Ratio (OR).

Utami & Sumiarta Jurnal Veteriner

Page 3: 2142-2548-1-PB

79

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kekebalan ProtektifHasil penelitian menunjukkan bahwa

tingkat kekebalan protektif (titer antibodi > 0,5IU/ml) pada anjing-anjing bertuan di kotaMakassar terhadap rabies sangat rendah, yaitusebesar 12,2% (Tabel 1). Rendahnya tingkatkekebalan protektif terhadap rabieskemungkinan disebabkan karena tingginyapopulasi anjing dengan cara pemeliharaandilepas dan tidak divaksin. Anjing sulitditangkap saat petugas datang untukmelakukan vaksinasi, terutama anjing yangberada di daerah pedesaan. Situasi tersebut jugadisebabkan karena kondisi sosial ekonomi danpengetahuan pemilik tentang rabies relatifrendah. Menurut Taiwo et al., (1998) cakupanvaksinasi rendah, tingkat kekebalan protektifrendah, serta program vaksinasi yangmenyisakan anjing liar merupakan sumberutama dan potensial penyebaran virus rabies.

Kekebalan anjing terhadap rabies diKecamatan Tamalanrea dan Panakkukang(daerah pinggiran kota) juga relatif rendahmasing-masing 3% dan 9% dari populasi.Kekebalan anjing di Kecamatan Tallo, UjungPandang, dan Ujung Tanah (daerah kota) relatiflebih tinggi, masing-masing 17%, 36%, dan 56%dari populasi. Kondisi sosial ekonomi pemilikanjing di urban area relatif baik sehinggamampu melakukan vaksinasi mandiri, anjingdipelihara di dalam rumah dengan kondisikesehatan, dan pakan yang memadai.Widdowson et al., (2002) melaporkan bahwasemakin jauh lokasi dari pusat kota makapenanganan kesehatan hewan oleh pemerintahrendah termasuk cakupan vaksinasinya. Situasitersebut didukung dengan kondisi sosial ekonomi

masyarakat yang relatif lebih rendah sehinggamenyebabkan kualitas kesehatan hewan relatifburuk.

Hasil penelitian juga memperlihatkanbahwa jenis vaksin yang digunakan pada anjingbertuan di kota Makassar 100 % (51/51) adalahRabivet (strain Pasteur) produksi PUSVETMASurabaya. Umumnya pemilik yang memvaksinanjingnya secara mandiri memilih vaksinRabivet karena kualitasnya cukup baik danrelatif lebih murah, selain itu program vaksinasirabies massal yang dilakukan Dinas peternakanKota Makassar dengan metode kunjunganrumah ke rumah menggunakan vaksin Rabivet(Tabel 2).

Hasil tabulasi silang antara vaksinasi dankekebalan anjing terhadap rabies dapatdiketahui efektivitas vaksinasi. Respon anjingyang kebal terhadap rabies dengan titer antibodi> 0,5 IU/ml setelah mendapat vaksinasi adalahsebesar 53%, sedangkan anjing yang telahdivaksin tetapi tidak menunjukkan responskekebalan protektif terhadap rabies sebesar 47%.Respons ini menunjukkan bahwa pelaksanaanvaksinasi yang dilakukan di Kota Makassarhanya mampu melindungi 53% dari populasianjing bertuan dari rabies. Hasil tersebutkemungkinan disebabkan karena mutu vaksinkurang baik, frekuensi vaksinasi rendah, dancara penanganan vaksin di lapangan yangkurang tepat. Kurangnya perhatian petugasvaksinator tentang pentingnya rantai dingin(cold chain) vaksin di lapangan sebagai faktorpenyebab potensi vaksin rabies yang digunakanmenurun. Menurut Lestari dan Dharma (2005),mutu vaksin dan cara penanganan vaksin dilapangan yang tidak tepat kemungkinan sebagaisalah satu penyebab tingkat kekebalankelompok/herd immunity belum mencapai

Tabel 1. Prevalensi kekebalan protektif terhadapvirus rabies pada anjing bertuan dienam kecamatan, Kota Makassar

No Kecamatan Prevalensi antibodiprotektif (> 0,5 IU/ml)

1. Biringkanaya 8 % ((5/66)2. Tamalanrae 3 % (2/62)3. Tallo 17 % (4/23)4. Panakkukang 9 %(6/68)5. Ujung Pandang 36 %(4/11)6. Ujung Tanah 56 % (9/16)

Jumlah 12,2 % (30/246)

Tabel 2. Jenis vaksin yang digunakan untukvaksinasi pada anjing bertuan di enamkecamatan, Kota Makassar

No Jenis vaksin Prevalensi antibodiprotektif (> 0,5 IU/ml)

1. Rabivet 100% (51/51)2. Hexadog 0% (0/51)3. Lainnya 0% (0/51)

Jumlah 100% (30/246)

Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85

Page 4: 2142-2548-1-PB

80

angka memuaskan. Hostnik et al., (2006) jugamelaporkan perbedaan jenis vaksin danpelaksanaan vaksinasi di lapanganmemengaruhi tingkat kekebalan protektif danlamanya masa imunitas pascavaksinasi rabies.

Asosiasi Kekebalan Protektif dan FaktorRisiko Rabies

Perhitungan Chi-Square (c2) dan OR antaratingkat kekebalan protektif dan faktor risikoterjadinya rabies disajikan pada Tabel 3. Hasilpenelitian menunjukkan terdapat perbedaansignifikan (p=0,02) antara cara pemeliharaananjing dan tingkat kekebalan protektif terhadaprabies (OR=3,8). Anjing yang dipelihara di dalamrumah cenderung memiliki antibodi protektifterhadap rabies 3,8 kali lebih besar daripada

anjing yang berkeliaran. Hal ini kemungkinankarena pemilik yang memelihara anjing didalam rumah biasanya lebih sayang terhadaphewan dan menjaga kesehatan anjingnyadengan melakukan vaksinasi secara rutin.

Kemungkinan lain, anjing yang berada didalam rumah lebih mudah dipegang olehpemiliknya sehingga memudahkan anjinguntuk divaksinasi oleh petugas. Anjing yangdipelihara tetapi berkeliaran di luar sepanjanghari, biasanya kurang akrab dengan pemiliknyasehingga sulit dipegang untuk divaksinasi olehpetugas.

Berdasarkan tingkat kekebalan protektif(> 0,5 IU/ml) anjing yang dipelihara dalamrumah sebanyak 15% (27/179) adalah lebihtinggi dibandingkan anjing yang berkeliaran di

Tabel 3. Perhitungan Chi-square (c2) dan odd ratio (OR) antara tingkat kekebalan protektif danfaktor risiko terjadinya rabies

No Faktor Penyebab < 0,5 IU/ml > 0,5 IU/ml Chi square OR

1 Cara pemeliharaan anjing 1. Berkeliaran di luar 64 3 5,12* 3,8 2. Dipelihara dalam rumah 152 27 2 Umur anjing pertama kali divaksin 1. 1-6 bulan 10 1 10,82** 18,6 2. 6-12 bulan 14 26 3 Frekuensi vaksinasi 1. 1 kali 24 9 24,73** 2. 2 kali 0 13 3. 3 kali 0 5 4 Pengetahuan pemilik tentang rabies 1. Tidak tahu 152 18 1,33 ns 1,6 2. Tahu 64 12 5 Umur anjing 32,69 ns 6 Periode pasca vaksinasi 9,71** 1. 1-6 bulan 6 18 8,85** 6 2. 6-12 bulan 13 8 3,16 ns 0,4 3. Lebih dari 12 bulan 5 1 3,59 ns 0,17 Jumlah kepemilikan anjing 1,5 ns 8 Lokasi pemeliharaan anjing 16,99 **

1. < 5 km 66 20 15,11** 4,52. 5-15 km 91 9 1,61 ns 0,63. > 15 km 59 1 8,21 ** 0,1

9 Tujuan pemeliharaan anjing 1. Penjaga rumah 111 11 2,28 ns 1,8 2. Hewan kesayangan 105 19 10 Pendapatan pemilik 8,3 * 1. Rp 250.000 s/d 500.000 20 1 1,18 ns 0,3 2. Rp 500.000 s/d 2.000.000 147 15 3,82* 0,5 3. Di atas Rp 2.000.000 49 14 7,95** 3

Ket : * : Significant (P<0,05) ** : Sangat significant (P<0,01)ns : non significant

Utami & Sumiarta Jurnal Veteriner

Page 5: 2142-2548-1-PB

81

luar rumah hanya sebesar 4% (3/67). Anjingyang dipelihara tetapi berkeliaran di luarbiasanya pulang pada saat makan atau malamhari, kemungkinan kontak dengan anjing liarlebih besar, dan jarang divaksin sehinggamempunyai peluang lebih besar tertular rabies.Hasil kajian ini sesuai dengan penelitian Kamil(2003) bahwa anjing yang dilepas sepanjang haridalam pemeliharaannya mempunyai peluang 8,5kali lebih besar terjangkit rabies dibandingkananjing yang diikat. Temuan ini disebabkankarena penularan rabies di lapangan berawaldari kondisi anjing yang tidak terpeliharadengan baik dan kontak dengan anjing liarsehingga memungkinkan terjadi gigitan hewanpositif rabies. Hasil penelitian Matibag et al.,(2008) mengungkapkan bahwa penegakanaturan dan sosialisasi kepada pemilik anjingtentang cara pemeliharaan meliputi registrasianjing, vaksinasi, menghindari kontak dengananjing liar, dan sterilisasi untuk mengontrolpopulasi merupakan komponen penting dalampemberantasan rabies.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwaumur anjing pertama kali divaksin berasosiasikuat (P=0,001) dengan kekebalan anjingterhadap rabies (OR=18,6). Anjing yang divaksinpertama kali pada umur 6-12 bulan (65%)memiliki titer antibodi protektif 18,6 kali lebihbesar dibandingkan jika divaksin pertama kalipada umur 1-6 bulan (9,1%). Hal inikemungkinan disebabkan anjing yang berumur1-6 bulan mendapat kekebalan secara natural,sedangkan anjing yang berumur 6-12 bulansecara fisiologis sistem immunnya sudah mulaisempurna dalam merespons vaksinasi danharapan hidup (life expectancy). Organ limfoidsebagai tempat maturasi limfosit telahberkembang saat hewan berumur 6-12 bulan.Dua komponen penting sistem imun yangdiproduksi limfosit dan berperan pada vaksinasiyaitu cell mediated immunity/T lymphocytes danhumoral immunity/B lymphocytes. Sel Bmemproduksi protein khusus yaitu antibodi/imunoglobulin. Pembentukan antibodidistimulasi oleh adanya infeksi penyakit atauvaksinasi. Antibodi yang diproduksi spesifikdengan virus/antigen, selanjutnya bekerjadengan cara menempel pada antigen spesifik danmenarik sel khusus untuk menghancurkanpartikel virus (Tizard, 2004). Hal ini sesuaidengan pendapat Russel et al., (2006) bahwasistem imun anjing berkembang sempurna padaumur 4-6 bulan, tetapi jika vaksin yang keduadiberikan saat umur lebih dari 6 bulan produksi

antibodi maksimal untuk melindunginya dariinfeksi penyakit. Menurutnya umur anjing yangideal pertama kali mendapat vaksinasi rabiesadalah 16-26 minggu.

Tingkat kekebalan protektif terhadaprabies pada anjing di Makassar sangat rendah,hal ini disebabkan salah satunya karenafrekuensi vaksinasi yang rendah yakni anjingpaling tinggi hanya dilakukan satu kali yaitusebanyak 64,7% (33/51), dua kali sebesar 25,5%(13/51), dan tiga kali hanya 9,8% (5/51). Hasilpenelitian menunjukkan terdapat perbedaansignifikan (P=0,000) antara frekuensi vaksinasidan tingkat kekebalan protektif terhadap rabies.Vaksinasi meningkatkan antibodi protektifdalam waktu dua minggu, dan titernya mulaiturun setelah 4-6 bulan. Titer antibodi akanmencapai level maksimum jika dilakukanvaksinasi lebih dari satu kali (booster), karenapada dasarnya antibodi hanya mampu bertahanbeberapa jam sampai beberapa hari, fungsinyaakan digantikan oleh sel memory yang mampubertahan sampai beberapa tahun. Selain itu,respons setiap hewan setelah divaksin berbeda-beda. Terdapat anjing yang hanya satu kalidivaksin sudah memperoleh kekebalan, tetapiada yang harus divaksin dua kali, bahkan anjingyang divaksin pada umur di atas 3 bulan, harusdiulang hingga tiga kali untuk memperolehkekebalan protektif yang diinginkan (Schultz etal., 2010). Studi vaksinansi pada anjing diJepang oleh Sugiyama et al., (1997) melaporkanbahwa anjing yang divaksin rabies lebih darisatu kali memiliki seropositif selama satu tahun.

Hasil penelitian juga menunjukkanpersentase antibodi protektif (> 0,5 IU/ml) padaanjing yang divaksin satu kali 27% (9/33), yangdivaksin dua kali 100% (13/13), dan yangdivaksin tiga kali 100% (5/5). Kemungkinan halini karena ketika pertama kali anjing divaksin,produksi antibodi oleh sel B belum mencapai levelprotektif dan keberadaan sel B memory belummaksimal, terutama jika umur anjing di bawah3 bulan, masih memiliki antibodi maternal,sehingga titernya relatif rendah. Sebunya et al.,(2007) melaporkan serosurvai antibodi rabiespada anjing di Bostwana, anjing yangmemperoleh vaksinasi rabies dua, tiga, danempat kali menunjukkan respons antibodi yanglebih baik (63%, 66%, 100%) daripada anjingyang divaksin satu kali (46%).

Hasil penelitian menunjukkan tidakterdapat perbedaan signifikan (P=0,11) antarafaktor umur anjing dan tingkat kekebalananjing terhadap rabies, walaupun terdapat

Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85

Page 6: 2142-2548-1-PB

82

kecenderungan umur anjing di atas satu tahunrespons antibodinya lebih baik. Persentaseantibodi protektif paling tinggi pada umur 30bulan yaitu umur 36 bulan 29% (4/14), 32% (10/31), 12 bulan 22% (6/27). Hasil penelitian inisesuai dengan penelitian Tepsumethanon et al.,(1991) tentang pengaruh umur terhadap responsneutralising antibody pada anjing. Hasilpenelitian melaporkan bahwa level antibodisetelah vaksinasi pada anjing umur lebih darisatu tahun paling tinggi dibandingkan umur 6-12 bulan dan di bawah 3 bulan. Hal ini karenaanjing yang berumur lebih dari satu tahunsistem imunnya sudah sempurna sehingga dayatahan hidup dan kemampuannya menangkalpenyakit lebih baik.

Periode pascavaksinasi setelah vaksinasi 1-6 bulan berasosiasi kuat (P=0,003) dengankekebalan protektif terhadap rabies pada anjing(OR=6). Temuan ini mengindikasikan bahwaanjing yang divaksin 1-6 bulan yang lalumemiliki kekebalan terhadap rabies 6 kali lebihbesar daripada yang lainnya. Berdasarkan hasilini juga dapat dilihat bahwa respons antibodiprotektif pada anjing yang divaksin 1-6 bulanyang lalu sebesar 75% (18/24) lebih tinggidaripada yang lainnya. Periode pascavaksinasisetelah vaksinasi 6-12 bulan tidakmenunjukkan perbedaan signifikan (P=0,08)dengan tingkat kekebalan protektif (OR=0,4).Hal ini diasumsikan bahwa anjing yangdivaksin 6-12 bulan yang lalu memilikikekebalan protektif terhadap rabies 0,4 lebihkecil daripada yang lainnya. Respons antibodiprotektif pada anjing yang divaksin 6-12 bulanyang lalu sebesar 38% (8/21). Anjing yangdivaksin rabies lebih dari 12 bulan yang lalujuga tidak menunjukkan perbedaan signifikan(P=0,06) dengan tingkat kekebalannya (OR=0,1).Hasil ini menunjukkan bahwa anjing yangdivaksin terakhir 12 bulan yang lalu memilikikekebalan 0,1 kali lebih kecil daripada yanglainnya. Anjing yang divaksin lebih dari 12 bulanyang lalu memiliki respons antibodi protektifsebesar 17% (1/6). Hasil ini memperlihatkanbahwa semakin pendek periode vaksinasisemakin tinggi titer antibodi yang terdeteksikarena masa imunitas vaksin rabies. Sebalik-nya, semakin lama periode pascavaksinasi,semakin rendah titer antibodi yang terdeteksi.Hasil ini sesuai dengan penelitian yangdilakukan Sage et al., (1992) dan Cliquet et al.,(1999) bahwa anjing yang divaksin setelah satutahun titer antibodinya rendah. Penelitian olehTepsumethanon et al., (1991) di Thailandmelaporkan bahwa 42% populasi anjing yang

divaksin lebih dari satu tahun tidak terdeteksiantibodi dalam serumnya.

Pemilik anjing di Makassar secara rataanhanya memiliki satu ekor anjing. Jumlahkepemilikan anjing tidak memberikanperbedaan signifikan (P=0,83) dengan kekebalananjing terhadap rabies. Kamil (2003) melaporkanbahwa jumlah kepemilikan anjing berasosiasidengan kasus rabies, yaitu pemilik yangmemelihara anjing kurang dari dua ekormemiliki peluang 0,2 kali lebih kecil terjangkitrabies, tetapi pada penelitian ini faktor jumlahkepemilikan anjing tidak berasosiasi dengankekebalannya terhadap rabies.

Pengetahuan pemilik memberikanpengaruh terhadap kekebalan anjing terhadaprabies (OR=1,6). Temuan ini mengindikasikanbahwa pemilik yang memiliki pengetahuantentang rabies anjingnya memiliki kekebalanterhadap rabies 1,6 kali lebih besar daripadayang tidak mengetahui tentang rabies.Pengetahuan pemilik tentang rabies akandiimplementasikan dalam kesadarannya untuktertib melakukan vaksinasi, bertanggung jawabterhadap kesehatan anjing, dan menjaga agartidak kontak dengan anjing liar (Knobel et al.,2008).

Tujuan pemeliharaan anjing mempe-ngaruhi tingkat kekebalan anjing terhadaprabies (OR=1,8). Anjing yang dipelihara sebagaihewan kesayangan memiliki kekebalan protektifterhadap rabies 1,8 kali lebih besar daripadaanjing yang dipelihara sebagai penjaga rumah.Anjing yang dipelihara sebagai hewankesayangan umumnya lebih diperhatikankondisi kesehatannya, dan pemiliknya memilikipengetahuan tentang rabies, dan penghasilanrelatif tinggi sehingga mampu melakukanvaksinasi secara swadaya. Kondisi lainnyaadalah anjing yang dipelihara sebagai hewankesayangan lebih mudah dipegang pemiliknyasehingga memudahkan dalam pelaksanaanvaksinasi.

Pendapatan pemilik secara signifikan(P=0,02) mempengaruhi kekebalan anjingterhadap rabies. Pemilik yang memilikipenghasilan Rp 250.000–500.000/bulan tidakberasosiasi (P=0,28) dengan tingkat kekebalananjingnya terhadap rabies (OR=0,3). Hal iniberarti pemilik yang berpenghasilan rendah,anjingnya memiliki kekebalan terhadap rabies0,3 kali lebih kecil daripada yang lainnya.Rendahnya pendapatan pemilik anjingmenyebabkan anjing tidak terawat dengan baik,kesehatan hewan diabaikan, kualitas pakan,dan tempat tinggal kurang layak (Kamil, 2003).

Utami & Sumiarta Jurnal Veteriner

Page 7: 2142-2548-1-PB

83

Pemilik tidak memiliki cukup dana untukmelakukan vaksinasi secara mandiri danumumnya pengetahuan pemilik tentang rabiesrelatif rendah sehingga kurang mengetahui carapencegahan rabies. Daulay (2001) melaporkanbahwa budaya serta kebiasaan masyarakatsetempat, pendapatan keluarga, dan pendidikanmerupakan faktor yang harus dipertimbangkandalam upaya pencegahan dan penyebaran rabiesdi suatu daerah.

Pemilik anjing yang memiliki pendapatanmenengah (Rp 500.000–2.000.000/bulan)mempengaruhi secara signifikan (P=0,05)kekebalan anjing terhadap rabies (OR=0,5).Pemilik dengan pendapatan menengah,anjingnya cenderung memiliki kekebalanprotektif terhadap rabies 0,5 kali lebih kecildibandingkan yang lainnya. Kemungkinanpenyebabnya adalah walaupun pemilik memilikipendapatan yang cukup untuk merawatkesehatan dan memvaksin anjingnya, tetapikarena pengetahuan pemilik tentang rabiesrelatif rendah sehingga tidak berusahamencegah dengan melakukan vaksinasi.

Terdapat perbedaan signifikan (P=0,005)antara pemilik anjing yang memilikipendapatan di atas Rp 2.000.000/bulan dengankekebalan anjing terhadap rabies (OR=3).Pemilik dengan tingkat penghasilan tinggi,anjingnya cenderung memiliki kekebalanprotektif terhadap rabies 3 kali lebih besardibandingkan yang berpendapatan di bawahnya.Kondisi ekonomi yang memadai menyebabkanmereka mampu mengalokasikan dana untukmerawat kesehatan anjing, selain itu tingkatpendidikannya relatif tinggi dan mempunyaipengetahuan tentang rabies, sehingga merekasadar pentingnya vaksinasi. Menurut Knobel etal., (2008) pemilik anjing dengan tingkatpendidikan tinggi, berpenghasilan memadaicenderung memiliki sikap lebih baik dalammenjaga kesehatan dan kesejahteraanhewannya.

Hasil penelitian tentang lokasi pemeliha-raan anjing dengan tingkat kekebalan anjingmenunjukkan bahwa terdapat perbedaansignifikan (P=0,002) antara lokasi pemeliharaananjing dan kekebalan anjing terhadap rabies.Anjing yang dipelihara di lokasi < 5 km daripusat kota (daerah kota) berasosiasi kuat(P=0,01) dengan kekebalan protektif terhadaprabies (OR=4,5). Temuan ini menunjukkanbahwa anjing di lokasi urban area cenderungmemiliki kekebalan protektif terhadap rabies 4,5kali lebih besar dibandingkan anjing yang

berada di lokasi lainnya. Anjing yang dipeliharadi daerah kota kemungkinan mayoritaspemiliknya memiliki taraf hidup memadai dantingkat pendidikan relatif tinggi sehinggamampu melakukan vaksinasi anjing secaraswadaya. Pemilik yang tinggal di daerah kotaumumnya memelihara anjing dengan tujuansebagai hewan kesayangan dan dipelihara didalam rumah sehingga lebih diperhatikankesehatannya.

Anjing yang berada di daerah pinggiran kotatidak berasosiasi (P=0,21) dengan kekebalanprotektif terhadap rabies (OR=0,6). Anjing yangberada di daerah pinggiran kota memilikikekebalan protektif terhadap rabies 0,6 lebihkecil dibandingkan yang berada di lokasi lainnya.Kondisi di lapangan menggambarkan bahwapopulasi anjing daerah pinggiran kota Makassarmeliputi Kecamatan Panakkukang danTamalanrea. Pemiliknya mayoritas parapendatang dari luar daerah dengan kondisiekonomi relatif rendah, sehingga tidak mampumemvaksin anjingnya secara swadaya. Tingkatpendidikan, pengetahuan tentang rabies jugarendah, dan umumnya mereka memeliharaanjing sebagai penjaga rumah. Sepanjang harianjing mereka berkeliaran di luar pekaranganrumah dan pulang saat malam hari sehinggakecil kemungkinannya divaksin. Widdowson etal., (2002) melaporkan bahwa persentase sampelpositif rabies meningkat signifikan dengansemakin jauhnya lokasi dari pusat kota, karenakondisi sosial ekonomi pemiliknya semakinrendah.

Terdapat perbedaan signifikan (P=0,004)antara anjing yang berada di lokasi pinggirankota berjarak >15 km (daerah pedesaan) dantingkat kekebalan protektif terhadap rabies(OR=0,1). Anjing yang dipelihara di daerahpedesaan memiliki kekebalan protektif terhadaprabies 0,1 kali lebih kecil dibandingkan yangberada di lokasi lainnya. Kondisi tersebutkemungkinan disebabkan pelaksanaanvaksinasi massal oleh Dinas Peternakan KotaMakassar di daerah pedesaan minim karenajaraknya dengan pusat kota sangat jauh. Kondisipemeliharaan anjing umumnya dilepassepanjang hari, tingkat pendidikan, danpengetahuan tentang rabies relatif rendahmenjadi kendala pelaksanaan vaksinasi massal.Kondisi ekonomi masyarakat di daerah pedesaanrelatif lebih rendah sehingga tidakmemungkinkan vaksinasi secara swadaya.Kecamatan Biringkanaya yang berbatasandengan kabupaten Maros merupakan daerah

Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85

Page 8: 2142-2548-1-PB

84

endemis rabies urutan kedua di SulawesiSelatan setelah Tanah Toraja, dan menurutCleaveland et al., (1999) ada asosiasi antaralokasi terjadinya kasus rabies dengan lokasianjing yang memiliki seropositif rabies dalamdarahnya, dan semakin besar peluang anjing didaerah ini tertular rabies.

Melihat nilai OR, faktor risiko yangberasosiasi kuat dengan status kekebalan anjingbertuan di Kota Makassar terhadap rabies,secara berurutan, adalah 1) anjing yangdivaksin pertama kali pada umur 1-6 bulan (OR=18,6), 2) periode pasca vaksinasi rabies 1-6 bulanyang lalu (OR= 6), 3) lokasi pemeliharaan anjingdi urban area (< 5 km dari pusat kota) (OR=4,5), 4) cara pemeliharaan anjing di dalamrumah (OR= 3,8), dan 5) rataan pendapatanpemilik di atas Rp. 2.000.000/bulan (OR=3).Berdasarkan urutan besarnya OR tersebut dapatdiketahui faktor mana yang harusdisosialisasikan/diperbaiki terlebih dulu (ORterbesar) kepada masyarakat tentangmanajemen pemeliharaan anjing dalam rangkakeberhasilan program pengendalian danpemberantasan rabies di Kota Makassar.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwaanjing yang dipelihara di kota Makassarmempunyai tingkat kekebalan kelompokterhadap rabies rendah (12,2%). Faktor yangmempengaruhi tingkat kekebalan protektifterhadap rabies adalah umur anjing pertamakali divaksin 1-6 bulan (OR = 18,6), pascavaksinasi setelah 1-6 bulan (OR = 6,0), lokasipemeliharaan anjing di daerah perkotaan (OR= 4,5), cara pemeliharaan anjing di dalamrumah (OR = 3,8), dan pendapatan pemilikdiatas Rp. 2.000.000/bulan (OR = 3,0). Hasilpenelitian dapat disimpulkan bahwa rendahnyatingkat kekebalan protektif terhadap rabies danadanya laporan gigitan anjing setiap tahunnyamengindikasikan bahwa kota Makassar sebagaidaerah endemis merupakan ancaman terjadinyawabah rabies pada hewan dan manusia kewilayah sekitarnya.

SARAN

Perlu disosialisasikan/diperbaiki faktorrisiko yang berasosiasi dengan kekebalanprotektif terhadap rabies berdasarkan urutanOR kepada masyarakat tentang manajemenpemeliharaan anjing dalam rangka mendukungkeberhasilan program pengendalian danpemberantasan rabies di Kota Makassar.

DAFTAR PUSTAKA

Cleaveland S, Barrat J, Barrat MJ, Selve M.1999. A rabies sero-survey of domestic dogsin rural Tanzania, Result of a rapidflluorescent focus inhibition test (RFFIT)and a liquid-phase blocking ELISA used inparallel. Epidemiol Infect, 123: 157-164

Cliquet F, Aubert M, Sagne L. 1998.Development of Fluorescent Antibody Virusneutralisation test (FAVN) for thequantitation of rabies neutralising antibody.J Immunol Methods 212, 79-87.

Daulay S. 2001. Peranan masyarakat danpemerintah daerah dalam upayapencegahan dan penyebaran rabies sertadampaknya terhadap pariwisata.(Disertation) Bogor: Institut PertanianBogor.

Hostnik P, Pavlinic MS, Stezinar SL, KrageljLZ. 2006. Vaccination againts rabies andprotective antibodies – comparison of ELISAand Fluorescent Antibody VirusNeutralization (FAVN) assay. Slovenia:Medical Faculty University of Ljbljana,.

Kamil M. 2003. Kajian Kasus-Kontrol Rabiespada Anjing di Kabupaten Agam SumateraBarat. Tesis. Yogyakarta. UniversitasGadjah Mada.

Knobel DL, Laurenson MK, Kazwala R, BodenAL. 2008. A cross-sectional study of factorsassociated with dog ownership in Tanzania.BioMed Vet Res 4:5.

Lestari I, Dharma MN. 2005. Review rabies.Balai Besar Pengujian Mutu Obat danSertifikasi Obat Hewan. LokakaryaNasional Penyakit Zoonosis. Wathony, Justanother wordPress.com weblog.

Martin SW, Meek AH, Willenberg P. 1987.Veterinary Epidemiology. 1th ed. Ames:Iowa State University.

Matibag GC, Kamigaki T, Wijewardana TG.2008. Rabies related risk factors and animalownership in a community in Sri Lanka. JEpidemiol. 6 (1): 56-61.

Mattos CA, Rupprecht A. 2001. Rhabdoviruses.In: Fields Virology. New York: LippincottWilliam & Wilkins, 1245-1277.

Ohore OG, Emikpe BO, Oluwayelu DO. 2007.The seroprofile of Rabies antibodies incompanion urban dogs in Ibadan, Nigeria.Journal of Animal and VeterinaryAdvances 6 (1): 53-56.

Utami & Sumiarta Jurnal Veteriner

Page 9: 2142-2548-1-PB

85

Russel CA, Real LA, Smith DL. 2006. Spatialcontrol of Rabies on heterogeneouslandscapes. Plos One Journal: e27.

Schultz RD, Thielxz B, Mukhtar E, Sharp P,Larson J. 2006. Age and long term ProtectiveImmunity in Dogs. J Comp Path 142: S102– S108.

Sage G, Henry W, Tepsumethanon W,Hemachuda T. 1992. Immune response torabies vaccine in Alaskan dogs: failure toachieve a consistently protective antibodyrespons. Transaction of the royal societyfor tropical medicine and hygiene 87: 593-595.

Sebunya TK, Ndabambi N, Mpuchane S. 2007.A sero-survey of rabies antibodies in dogs inBaborone, Bostwana. J Am Vet Adv 6 (4):549-552.

Siegel J. 1992. Statistics analytical software,version 4.0 User’s Manual. St. Paul,Minnesota: Analytical Software.

Sugiyama M, Yoshila R, Tatsumo, Y, Hiraga S,Itoh O, Gamoh K. 1997. A new competitiveELISA demonstrated adequate immunelevels to rabies virus in compulsoryvaccinated in Japanese domestic dogs. DiagnLab Immunol 4: 727-730.

Taiwo VO, Antia RE, Adeniran GA, AdeyemiIG, Alaka OO, Ohore OG. 1998. Rabies indogs and cats in southwestern Nigeria:Laboratory reports. Trop Vet 16: 9-13.

Tepsumethanon W, Polsuwan C, CgutivongseS, Wilde H. 1991. Immune response to rabiesvaccine in Thai dogs: A preliminary report.Vaccine 9: 627-630.

Tizard, I. 2004. Veterinary immunology, 7th ed.Sidney Sounders Co.

Widdowson MA, Morales GJ, Chaves S, JamesM. 2002. Epidemiology of urban caninerabies, Santa Cruz, Bolivia, 1972-1997.Emerging Infectious Disease, CDC, 26 (5):1 – 3.

Utami S, Sumiarto B, Susetya, H, 2008. StatusVaksinasi Rabies pada Anjing di kotaMakassar. Jurnal Sain Veteriner, 26 (2):66 – 72.

Jurnal Veteriner Maret 2012 Vol. 13 No. 1: 77-85