211_doc_6

13
ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Yenni Vetrita* 1 , Indah Prasasti*, Nur Febrianti*, Widya Ningrum* * Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN [email protected] ABSTRAK Sistem peringatan dini untuk bahaya kebakaran sudah cukup lama dikembangkan, baik di dunia internasional maupun secara nasional. Sistem ini digunakan dengan tujuan untuk meminimalkan risiko kebakaran hutan/lahan. Salah satu sistem yang banyak digunakan di Indonesia adalah Fire Danger Rating System (SPBK) atau Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang diadopsi dari Kanada. Lembaga Penerbangan Antariksa dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mengembangkan sistem ini dan dioperasionalisasikan sejak tahun 2005 menggunakan data penginderaan jauh. Dalam penelitian ini kami melakukan validasi untuk menguji sensitivitas dua kode SPBK dalam mendeteksi kebakaran yang telah terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2011 yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC) dan Drought Code (DC). Data yang digunakan adalah SPBK LAPAN yang dianalisis secara time series selama periode 2 bulan menjelang terjadinya kebakaran hingga 1 bulan setelah kebakaran, data pemadaman dari Kementerian Kehutanan, hotspot Terra/Aqua MODIS, dan administrasi wilayah Kalimantan Tengah. Dari analisis sebaran waktu data SPBK sebelum kebakaran hingga puncak waktu kebakaran, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Drought Code (DC) menunjukkan nilai yang signifikan terus meningkat sejak 2 bulan menjelang kejadian kebakaran dan mengalami penurunan sesudah kebakaran. Demikian pula dengan FFMC yang juga menunjukkan peningkatan dari kelas rendah hingga mencapai ekstrim pada periode kebakaran. Kedua parameter terlihat dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan baik. Namun DC yang diperoleh dari dua buah input, yaitu curah hujan dan suhu, lebih terlihat signifikan naik 2 bulan menjelang kebakaran dibandingkan FFMC. Faktor curah hujan merupakan pengaruh paling utama dalam mendeteksi kejadian kebakaran. Oleh karena itu, DC dan FFMC dapat dijadikan sebagai parameter utama yang harus diperhatikan dalam mendeteksi kebakaran hutan menggunakan data SPBK berbasiskan penginderaan jauh.

Upload: ifank-neutron

Post on 09-Dec-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

211_doc_6

TRANSCRIPT

Page 1: 211_doc_6

ANALISIS SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN UNTUK DESKRIPSI KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

Yenni Vetrita*1, Indah Prasasti*, Nur Febrianti*, Widya Ningrum*

* Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

[email protected]

ABSTRAK

Sistem peringatan dini untuk bahaya kebakaran sudah cukup lama dikembangkan, baik

di dunia internasional maupun secara nasional. Sistem ini digunakan dengan tujuan

untuk meminimalkan risiko kebakaran hutan/lahan. Salah satu sistem yang banyak

digunakan di Indonesia adalah Fire Danger Rating System (SPBK) atau Sistem

Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) yang diadopsi dari Kanada. Lembaga

Penerbangan Antariksa dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah mengembangkan sistem

ini dan dioperasionalisasikan sejak tahun 2005 menggunakan data penginderaan jauh.

Dalam penelitian ini kami melakukan validasi untuk menguji sensitivitas dua kode SPBK

dalam mendeteksi kebakaran yang telah terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2011

yaitu Fine Fuel Moisture Code (FFMC) dan Drought Code (DC). Data yang digunakan

adalah SPBK LAPAN yang dianalisis secara time series selama periode 2 bulan

menjelang terjadinya kebakaran hingga 1 bulan setelah kebakaran, data pemadaman

dari Kementerian Kehutanan, hotspot Terra/Aqua MODIS, dan administrasi wilayah

Kalimantan Tengah. Dari analisis sebaran waktu data SPBK sebelum kebakaran hingga

puncak waktu kebakaran, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Drought Code (DC)

menunjukkan nilai yang signifikan terus meningkat sejak 2 bulan menjelang kejadian

kebakaran dan mengalami penurunan sesudah kebakaran. Demikian pula dengan FFMC

yang juga menunjukkan peningkatan dari kelas rendah hingga mencapai ekstrim pada

periode kebakaran. Kedua parameter terlihat dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran

dengan baik. Namun DC yang diperoleh dari dua buah input, yaitu curah hujan dan

suhu, lebih terlihat signifikan naik 2 bulan menjelang kebakaran dibandingkan FFMC.

Faktor curah hujan merupakan pengaruh paling utama dalam mendeteksi kejadian

kebakaran. Oleh karena itu, DC dan FFMC dapat dijadikan sebagai parameter utama

yang harus diperhatikan dalam mendeteksi kebakaran hutan menggunakan data SPBK

berbasiskan penginderaan jauh.

Page 2: 211_doc_6

Kata kunci: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validasi, Kebakaran hutan/lahan,

Kalimantan Tengah.

ABSTRACK

Early warning systems for fire danger has long been developed, both internationally and

nationally. This system is used to minimize the risk of forest/land fires. One widely used

system in Indonesia is the Fire Danger Rating System (FDRS )adopted from Canada.

Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) has developed this

system and operationalized since 2005 using remote sensing data. In this study we

perform validation to investigate the sensitivity of the two codes i.e. the Fine Fuel

Moisture Code (FFMC) and Drought Code (DC) for detecting fires occurred in Central

Kalimantan in 2011. The data used are FDRS LAPAN which analyzed time series over a

period of 2 months before the fire until 1 month after the fire, suppression data from the

Ministry of Forestry, hotspot Terra / Aqua MODIS, and administrative areas of Central

Kalimantan. The results indicate that the Drought Code (DC) showed significant rise

since 2 months before fires and decreased after the fire. It is similar to that found in the

FFMC. However, DC which obtained from two inputs i.e. rainfall and temperature, was

significantly increased 2 months before the fire than that FFMC. Therefore, these two

parameters appear well to describe fires. Rainfall is the most important factor influence in

fire behaviour. Therefore, DC and FFMC can be used as the main parameter that must

be considered to mitigate forest/land fires using FDRS based remote sensing data.

Key Words: Drought Code, Fine Fuel Moisture Code, Validation, Forest/land fires,

Central Kalimantan.

Pendahuluan

Lahan gambut di wilayah tropis merupakan salah satu wilayah penyimpan karbon

organik yang sangat terkait dengan perubahan iklim global (Page et al., 2002) dimana

kerusakan gambut dapat melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfir.

Kebakaran di lahan gambut merupakan kontribusi utama dalam bencana asap

kebakaran di Indonesia (Page et al., 2002). Pada kejadian kebakaran terbesar tahun

1997 telah diperkirakan sekitar 94% dari total bahan emisi kebakaran bersumber dari

kebakaran di lahan gambut (Levine et al., 1999).

Untuk mengantisipasi meluasnya kebakaran dengan risiko yang tinggi, salah satu

langkah preventif di Indonesia adalah dengan mengembangkan sistem peringatan dini

Page 3: 211_doc_6

yang disebut dengan Fire Danger Rating System (SPBK) yang diadobsi dari Kanada

(Field et al., 2004; De Groot et al, 2006). Parameter yang digunakan dalam sistem ini

menggunakan input dari data cuaca (deskripsi tentang sistem SPBK dijelaskan dalam

Bab Metode). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga

yang berwenang dalam informasi menggunakan data cuaca di Indonesia, telah

melakukan operasionalisasi SPBK secara nasional sejak Februari 2002 (Guswanto et

al., 2009).

Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang memungkinkan untuk diperolehnya

data secara sistematis dan spasial, dan terkini (update) menjadikan data ini sebagai data

yang handal untuk kegiatan pemantauan. Estimasi parameter cuaca sudah cukup

banyak dilakukan antara lain curah hujan (Dinku et al., 2011; National Weather Service,

2012), suhu udara (Vancutsem et al., 2010) dan kelembaban relatif (Han et al., 2003;

Khomarudin et al., 2005). Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) yang

salah satu fungsinya adalah melakukan pengembangan dan pemanfaatan bidang

penginderaan jauh, serta pengembangan bank data penginderaan jauh nasional dan

pelayanannya (LAPAN, 2012), sejak tahun 2005 telah melakukan operasionalisasi SPBK

dengan semua data bersumber dari penginderaan jauh. Semua input SPBK LAPAN

telah divalidasi (Noviar et al., 2005) namun beberapa parameter seperti DC tidak

menunjukkan korelasi yang baik dengan data cuaca observasi (BMKG).

Kalibrasi maupun validasi komponen SPBK menggunakan input data cuaca observasi

telah dilakukan, seperti FFMC, DC, ISI, dan FWI (Field et al., 2004; Dymond et al., 2004;

Dymond et al., 2005; De Groot et al., 2006). Namun validasi untuk SPBK LAPAN yang

menggunakan estimasi dari data penginderaan jauh masih sedikit dilakukan. Salah satu

penelitian yang dilakukan oleh International Research Institute bersama Central

Kalimantan Peatlands Project/CKPP (CKPP, 2008) di Provinsi Kalimantan Tengah

menemukan bahwa input untuk parameter suhu, kelembaban relatif dan dan kecepatan

angin tidak berpengaruh nyata dalam analisis prilaku kebakaran di wilayah tersebut.

Sebaliknya, curah hujan, khususnya anomali curah hujan memiliki korelasi yang sigifikan

dalam perilaku kebakaran di wilayah tersebut.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis secara series data di lokasi kebakaran yang

terjadi di Kalimantan Tengah (Gambar 1), yang berada di lokasi lahan gambut. Penelitian

ini bertujuan untuk mendapatkan analisis tentang sejauhmana sebaran nilai series data

Page 4: 211_doc_6

FFMC dan DC sebelum kejadian kebakaran dapat menjelaskan kejadian kebakaran

yang terjadi pada tahun 2011 pada beberapa kejadian kebakaran di wilayah studi.

Hipotesis

Deteksi kebakaran yang lebih baik ditunjukkan dengan peningkatan nilai DC dan FFMC

secara signifikan sebelum kejadian kebakaran hingga terjadinya kebakaran.

Metodologi

Lokasi Penelitian

Provinsi Kalimantan Tengah/Kalteng (Gambar 1) dipilih menjadi lokasi penelitian

mengingat wilayah ini menjadi daerah rawan kebakaran (Kementerian Kehutanan,

2011).

(A)

(B)

Gambar 1 Lokasi penelitian di Provinsi Kalimantan Tengah, (A) kotak biru merupakan

wilayah studi, (B) fokus wilayah penelitian

Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari (1) data lapangan pemadaman

kebakaran yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Provinsi

Kalimantan Tengah pada tahun 2011, (2) hotspot Terra/Aqua MODIS yang diperoleh dari

Indofire Map Service (http://indofire.dephut.go.id/) dan NASA, (3) Drought Code (DC),

Fine Fuel Moisture Code (FFMC), suhu, dan curah hujan (CH) yang diperoleh dari

Page 5: 211_doc_6

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan (4) administrasi wilayah

Provinsi Kalimantan Tengah.

Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang diperoleh ditumpangtindihkan (overlay), untuk selanjutnya diekstraksi

nilai tengah (median) DC, FFMC, suhu dan CH di wilayah sekitar kejadian kebakaran

(kotak biru pada Gambar 2). Mengingat semua kejadian kebakaran (ditandai bendera

merah pada Gambar 2) sebagian besar terjadi pada bulan Agustus-September 2011,

maka nilai yang diekstraksi merupakan periode sebelum hingga waktu kebakaran (Juni-

September 2011).

Gambar 2 Metode ekstraksi nilai DC, FFMC, suhu dan CH di sekitar lokasi kebakaran

Analisis dilakukan dengan melihat pola series data tiap parameter dalam waktu 1-2

bulan menjelang puncak kejadian kebakaran (Agustus 2011). Nilai FFMC dan DC

dengan pola distribusi yang cenderung meningkat menjelang puncak kejadian kebakaran

dianggap sebagai nilai yang dapat mendeskripsikan kejadian kebakaran dengan lebih

baik.

Deskripsi Operasionalisasi Fire Danger Rating System di LAPAN

LAPAN mulai mengoperasionalisasikan SPBK sejak bulan Juni 2005 (Noviar et al., 2005;

Khomarudin et al., 2005)). Secara umum struktur pembangunan SPBK sebagaimana

yang diadobsi dari SPBK Kanada dapat dilihat pada Gambar 1 (De Groot et al., 2006).

Page 6: 211_doc_6

Gambar 3 Struktur sistem Fire Weather Index (FWI)

FFMC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air bahan bakaran halus. FFMC

digunakan sebagai indikator potensi tingkat kemudahan penyulutan api (kebakaran).

Sedangkan DC merupakan peringkat numerik kandungan kadar air di lapisan organik

yang berada 10-20 cm di bawah permukaan tanah. DC digunakan sebagai indikator

potensi kekeringan dan potensi terjadinya kabut asap.

Berdasarkan sistem FWI (Gambar 3) dapat dilihat bahwa sistem ini menggunakan

beberapa parameter cuaca. Sumber data yang digunakan untuk SPBK LAPAN, dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan Sumber data SPBK LAPAN

Jenis input Sumber data Referensi

Suhu udara (temperature) NOAA-AVHRR Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., 2005

Kelembaban relatif (relative humidity)

NOAA-AVHRR Khomarudin et al., 2005; Noviar et al., 2005

Kecepatan angin (wind speed)

Bureau of Meteorology (BOM-Australia).

http://www.bom.gov.au/

Curah Hujan (rain) Qmoprh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP)

ftp://ftp.cpc.ncep.noaa.gov/precip

/qmorph/30min_8km

Page 7: 211_doc_6

Keunggulan menggunakan data ini adalah diperolehnya data secara spasial yang dapat

menurunkan unsur-unsur cuaca tersebut secara langsung dengan resoluasi spasial 1 x 1

km (Noviar et al 2005). Namun disebutkan pula bahwa kendala yang dimiliki adalah bila

liputan awan tinggi pada suatu daerah, maka parameter seperti suhu permukaan dan

NDVI tidak dapat ditentukan. Nilai ini didekati dengan data ketinggian. Keempat unsur

cuaca tersebut diolah untuk mendapatkan nilai FFMC, DC, ISI, dan FWI menggunakan

software SFMS (Spatial Fire Management System). Resolusi spasial data akhir yang

diperoleh adalah 2.5 km x 2.5 km setelah sebelumnya diinterpolasi menjadi grid.

Informasi ini kemudian diunggah setiap hari ke dalam website LAPAN di alamat

http://www.lapanrs.com/SIMBA.

Berdasarkan hasil kalibrasi yang telah dilakukan sebelumnya di wilayah Indonesia dan

Malaysia (De Groot et al), LAPAN juga mengklasifikasi FFMC dan DC sesuai dengan

hasil tersebut. Pengkelasan kedua parameter tersebut dengan interpretasinya

sebagaimana yang diunggah dalam website, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Kelas rawan FFMC dan interpretasinya

Kelas Nilai Interpretasi (potensi tingkat kemudahan penyulutan api)

Rendah 0-72 Kemungkinan terpicunya api sangat rendah

Sedang 73-77 Kemungkinan api terpicu pada daerah kering dan terisolasi sangat rendah

Tinggi 78-82 Bahan bakaran halus (seperti alang-alang) sangat mudah terpicu api tinggi

Ekstrim >83 Bahan bakaran halus sangat mudah terpicu api, kemungkinan terpicunya api sangat tinggi

Page 8: 211_doc_6

Tabel 3 Kelas rawan DC dan interpretasinya

Kelas Nilai Interpretasi Hari kering sebelum kekeringan*

Rendah <140 Kondisi musim basah,kabut asap tidak terjadi

>30

Sedang 140-260

kondisi normal pertengahan musim kering, pembakaran harus dipantau

16-30

Tinggi 260-350

Kondisi normal puncak musim kering seluruh pembakaran di atas lahan gambut, dilarang

6-15

Ekstrim >350 Kondisi bahaya kekeirngan, pembakaran sepenuhnya dilarang

<6

*berdasarkan Field et al (2004)

Hasil dan Pembahasan

Mengingat data yang dimiliki merupakan data harian, yang kemungkinan masih

terganggu oleh awan, maka data series difilter dengan metode sederhana yaitu perata-

rataan nilai 5 hari sebelum dan sesudah dari tanggal pengamatan. Pada Gambar 4

dapat dilihat nilai FFMC awal (FFMC) yang sebarannya sangat drastis meningkat atau

menurun tampak lebih berpola halus setelah difilter (FFMC-f). Demikian pula dengan

data DC sebelum difilter (DC) dan sesudahnya (DC-f) yang tidak terdapat banyak

perubahan kecuali pada waktu hujan (Gambar 5).

Gambar 4 Hasil filter data FFMC

Page 9: 211_doc_6

Gambar 5 Hasil filter data DC

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi paling rawan kebakaran. Hal ini dapat

dilihat dari rata-rata jumlah hotspot sejak tahun 2005-2009 di beberapa provinsi rawan di

Indonesia (Kementerian Kehutanan, 2011) yang menunjukkan bahwa Provinsi

Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang memiliki jumlah tertinggi sepanjang

periode waktu tersebut (Gambar 6). Data hotspot ini, menurut Dymond et al (2005),

dapat digunakan sebagai alat kalibrasi komponen SPBK ketika data lapangan tidak

tersedia.

Gambar 6 Rata-rata jumlah hotspot selama tahun 2005-2009 (Sumber data: Terra/Aqua

MODIS)

Kebakaran yang terjadi pada lokasi studi ini kemungkinan besar merupakan kebakaran

bawah tanah. Hal ini dapat diketahui dari waktu pemadaman dalam waktu yang berbeda

secara berturut-turut selama hampir 1 bulan sejak awal diketahuinya kebakaran. Dari

informasi lapangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah

diketahui bahwa titik pemadaman api dilakukan di lokasi tersebut pada tanggal 24 Juli

2011, dan bulan Agustus 2011 (tanggal 1, 3, 7, 8, 9, 10, 13, 16, 19, 20, 22, 23, dan 24).

Page 10: 211_doc_6

Telah dilaporkan pula bahwa kondisi asap sangat mengganggu wilayah di sekitar

kejadian. Menurut De Groot et al (1988), indikasi kondisi kekeringan pada lahan gambut,

dan potesial untuk kebakaran dalam (bawah tanah) dapat diindikasikan oleh tingginya

nilai DC.

Bila dilihat hasil analisis DC hasil ekstraksi di lokasi kejadian kebakaran, terlihat bahwa

pada awal Juni 2011 (sebelum kebakaran), nilai DC masih dalam kondisi rendah

(Gambar 7). Nilai ini terus meningkat dan mencapai nilai tinggi karena diikuti oleh curah

hujan yang rendah hingga akhir Juni 2011. Meskipun mengalami penurunan namun nilai

DC cenderung tetap naik pada hari berikutnya hingga mencapai nilai DC tinggi pada

pertengahan Juli 2011. Lingkaran hitam pada Gambar 7 menunjukkan penurunan nilai

DC yang diakibatkan adanya hujan selama beberapa hari. Periode kebakaran dimulai

sesudah itu, yang diikuti oleh hari kering tanpa hujan lebih dari 6 hari sepanjang periode

tersebut. Nilai DC pada saat kebakaran melebihi nilai threshold 350 (Tabel 3) yang

berarti “kondisi bahaya kekeringan, pembakaran sepenuhnya dilarang”.

Kondisi serupa juga ditemukan pada FFMC, dimana sepanjang periode kebakaran kelas

FFMC berada pada kondisi ekstrim (Tabel 2), yang berarti bahan bakaran halus akan

sangat mudah terpicu api. Nilai FFMC cenderung lebih sensitif pada saat terdapat hujan.

Namun demikian, untuk kasus di lokasi kebakaran ini, nilai FFMC cenderung terus

meningkat dan turun setelah kebakaran usai yang diikuti oleh turunnya hujan di wilayah

tersebut.

Page 11: 211_doc_6

Gambar 7 Sebaran nilai DC, FFMC, dan curah hujan di lokasi kebakaran. Kotak merah dengan garis putus-putus merupakan waktu pemadaman kebakaran, Garis horizontal warna hijau merupakan threshold DC ekstrim sedangkan garis horizontal warna biru

merupakan threshold FFMC ekstrim.

Dari hasil analisis ini dapat dilihat bahwa DC LAPAN dapat menjelaskan peringatan dini

terkait dengan kemungkinan kejadian asap yang cukup serius akibat kebakaran.

Sedangkan FFMC LAPAN dapat dijadikan sebagai indikasi potensi untuk mulainya

kejadian kebakaran dalam jumlah besar. Dari review Field et al (2004) diketahui bahwa

DC dapat mengestimasi kandungan kelembaban hingga kedalaman 10-20 cm, termasuk

kandungan organik dalam gambut (Lee et al, 2002) sesuai dengan lokasi kebakaran di

wilayah studi. DC juga digunakan sebagai indikator kekeringan dalam waktu yang lama

serta penyulutan api (McAlpine, 1990).

Meskipun hasil validasi DC LAPAN yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Noviar et al

(2005) menemukan tidak adanya korelasi yang baik antara DC LAPAN dan BMKG,

namun kami menemukan bahwa DC LAPAN sangat baik untuk mendeskripsikan suatu

kejadian kebakaran. Salah satu penyebab yang kami duga membuat DC LAPAN baik

untuk mendukung informasi deteksi dini kebakaran hutan/lahan adalah mengingat input

utamanya yang berasal dari curah hujan dan suhu. Menurut CKPP (2008) perilaku

kebakaran di Provinsi Kalimantan Tengah lebih berkorelasi dengan curah hujan,

Page 12: 211_doc_6

khususnya anomali curah hujan, dibandingkan parameter cuaca lainnya (suhu,

kelembabab relatif) yang cenderung lebih konstan.

Kesimpulan

Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran yang diadopsi dari Kanada oleh LAPAN dapat

memberikan informasi yang baik untuk penanggulangan kebakaran hutan/lahan di

Provinsi Kalimantan Tengah. Sistem ini diharapkan dapat membantu pemerintah

setempat dalam mengantisipasi kebakaran yang kemungkinan akan terjadi dengan

menampilkan tingkat kerawanan dan cara antisipasi yang harus dilakukan. Untuk

selanjutnya, perlu dilakukan validasi dengan seri data dan kebakaran lapangan yang

lebih banyak.

Ucapan Terima Kasih

Riset ini merupakan bagian dari kegiatan PKPP RISTEK yang berjudul “Penguatan

Kapasitas Daerah dan Sinergi Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penanggulangan

Kebakaran Hutan/Lahan-Perkebunan”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

PKPP RISTEK yang telah mendanai penelitian ini. Disamping itu, penulis juga ingin

mengucapkan terima kasih kepada Dody Andreas dan Balai Konservasi Sumber Daya

Alam, Provinsi Kalimantan Tengah yang banyak membantu dalam pemberian informasi

lapangan. Penghargaan juga kami sampaikan kepada DR.Orbita Roswintiarti, Bapak

Agus Hidayat dan DR.M.Rokhis Komaruddin atas ide dan masukannya untuk riset ini.

Daftar Pustaka

Barbero, R., V. Moron, M. Mangeas, M. Despinoy, and C. Hély. 2011. Relationships between MODIS and ATSR fires and atmospheric variability in New Caledonia (SW Pacific). Journal of Geophysical Research, Vol. 116, D21110, doi:10.1029/2011JD015915.

CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project). 2008. Development of a Fire Early Warning System Using Climate Information and Institutional Mapping to Enable Fire Early Response. Narrative Report On March–May 2008 Activities.

De Groot, W.J., Robert D. Field, Michael A. Brady · Orbita Roswintiarti, and Maznorizan Mohamad. 2006. Development of the Indonesian and Malaysian Fire Danger Rating Systems. Mitigation Adaptation Strategy Global Change, 12:165–180.

Dinku, T., Pietro Ceccato, Stephen J. Connor. 2011. Challenges of satellite rainfall estimation over mountainous and arid parts of east Africa. International Journal of Remote Sensing Vol. 32, Iss. 21.

Page 13: 211_doc_6

Dymond, C.C., Robert D. Field, Orbita Roswintiarti, Guswanto. 2005. Using Satellite Fire Detection to Calibrate Components of the Fire Weather Index System in Malaysia and Indonesia. Environmental Management Vol. 35, No. 4, pp. 426–440.

Dymond, Caren C., Orbita Roswintiarti, and Michael Brady. 2004. Characterizing and mapping fuels for Malaysia and western Indonesia. International Journal ofWildland Fire, 2004, 13, 323–334.

Field, R.D., Yonghe Wang, Orbita Roswintiarti, Guswanto. 2004. A Drought-Based Predictor of Recent Haze Events in Western Indonesia. Atmospheric Environment 38,1869–1878.

Guswanto dan Eko Heriyanto. 2009. Operational Weather Systems For National Fire Danger Rating. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 10 Nomor 2 November 2009.

Han, K.S., Alain A Viau, François Anctil. 2003. High-resolution forest fire weather index computations using satellite remote sensing. Canadian Journal of Forest Research, 33(6): 1134-1143, 10.1139/x03-014.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Sebaran Hotspot dan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan. Siaran Pers Nomor: 389/PHM-2/2011. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/7573. [Diakses tanggal 24 September 2011].

Khomarudin, M.R., O. Roswintiarti, dan A. Tjahjaningsih. 2005. Estimasi Unsur-Unsur Cuaca untuk Mendukung Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan dengan Data MODIS. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, Surabaya, 14 – 15 September.

LAPAN. Tugas pokok dan fungsi LAPAN. http://www.lapan.go.id/page.php?vpage=tupoksi.htm [diakses tanggal 30 Mei 2012]

Lee, B.S., Alexander, M.E., Hawkes, B.C., Lynham, T.J., Stocks, B.J., Englefield, P. 2002. Information systems in support of wildland fire management decision making in Canada. Computers and Electronics in Agriculture 37, 185–198.

McAlpine, R.S., 1990. Seasonal trends in the drought code component of the Canadian forest fire weather index system. Information Report PI-X-97 E/F. Forestry Canada, Petawawa, Ont., 36p.

National Weather Service. National Center for Environmental Predictions. http://www.ncep.noaa.gov/ [Diakses 30 Mei 2012].

Noviar, H., M. R. Khomarudin, dan O. Roswintiarti. 2005. Operasionalisasi Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan Dengan Data NOAA-AVHRR. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, Surabaya, 14 – 15 September.

Page. S. E., Siegert, F., Rieley. J.O., Boehm. H. -D. V., Jaya. A. & Limin. S. H. 2002. The amount of carbon released from peat forest fire in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.

Vancutsem, C., Ceccato, P., Dinku, T., Connor, S.J. (2010). Evaluation of MODIS Land surface temperature data to estimate air temperature in different ecosystems over Africa. Remote Sensing of Environment, 114(2): 449-465.