2013-1-00421-psbab2001 -...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kontrak Psikologis
2.1.1 Definisi Kontrak Psikologis
Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap
aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi yang beragam.
Kontrak merupakan keyakinan akan kewajiban yang terdapat diantara dua
atau lebih pihak terkait.
Rousseau (1995: 23) mendefinisikan kewajiban sebagai komitmen
terhadap perilaku di masa mendatang yang harus ditepat. Kontrak dapat
disampaikan baik secara tertulis, verbal, maupun dalam bentuk ekspresi yang
beragam (Rousseau, 1995), namun, ada kontrak yang muncul tanpa disadari
keberadaannya karena bersifat informil, yaitu kontrak yang tidak dipaparkan
secara langsung dan bersifat tersirat. Salah satu bentuk kontrak yang bersifat
informil namun memegang peranan penting dalam dunia kerja adalah kontrak
psikologis.
Rousseau (1995: 9) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai
kepercayaan yang diyakini oleh karyawan yang terkait dengan perjanjian
hubungan tenaga kerja antara pihak karyawan dengan perusahaan.
Agyris (dalam Barling dan Cooper, 2008) berargumen bahwa kontrak
ini dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi
dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam
pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi.
Isakson (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis
sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal
balik dalam perjanjian tenaga kerja.
11
Guest dan Conway (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak
psikologis sebagai persepsi terhadap hubungan dua pihak, karyawan dan
perusahaan.
Rousseau beserta dengan rekan kerjanya berargumen bahwa
pelanggaran terhadap tanggung jawab dan kewajiban akan memberikan
dampak yang lebih kuat dibandingkan pelanggaran terhadap harapan
subjektif (Rousseau, 1995).
MacNeil (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011) menjelaskan
bahwa kontrak psikologis dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu
kontrak transaksional dan relasional. Kontrak transaksional berorientasi pada
hal yang berkaitan dengan moneter dan merupakan kontrak jangka pendek.
Rousseau (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011: 73)
berargumen bahwa bentuk kontrak ini hanya menitikberatkan pada gaji yang
tinggi namun tidak ada komitmen pada perusahaan yang terlibat di dalamnya.
Pada umumnya, kontrak ini berlaku apabila perusahaan merekrut karyawan
sementara untuk tujuan spesifik. Berbeda dengan kontrak transaksional,
kontral relasional merupakan kontrak untuk periode jangka panjang. Elemen
yang tergolong dalam kontrak ini adalah komponen sosio-emosional seperti
loyalitas, komitmen, dan kepercayaan (Haq et al., 2011).
Dapat disimpulkan bahwa kontrak psikologis merupakan sekumpulan
perjanjian dan komitmen yang tidak tertulis namun ada dalam perjanjian
antar dua belah pihak atau lebih. Hubungan ini menitikberatkan pada
hubungan timbal balik antara karyawan dengan perusahaan. Walaupun tidak
tertulis secara jelas, tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kontrak ini
memainkan peran yang cukup besar dalam mengontrol dan memprediksi
perilaku karyawan dalam perusahaan.
2.1.2 Pengembangan Kontrak Psikologis
Saat karyawan baru memasuki suatu perusahaan, seringkali karyawan
belum memiliki pemahaman seutuhnya mengenai hubungan kerja yang ada.
Kontrak psikologis awal yang diyakini oleh karyawan bersumber dari
perjanjian-perjanjian yang dijanjikan oleh perusahaan (dalam bentuk
kesempatan berkarir, penghargaan financial, serta pekerjaan yang menarik)
12
maupun komitmen kerja yang telah dijanjikan oleh karyawan bagi perusahaan
seperti loyalitas, fleksibilitas, kinerja yang baik, dan penuntasan tugas di luar
tanggung jawab utamanya (Vos, Buyens & Schalk, 2003). Turnley dan
Feldman (1998) dalam Boes (2006) berasumsi bahwa karyawan membangun
harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan 3 sumber utama, yaitu janji
yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan, persepsi akan kultur
perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan
beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk
secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru
untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapan-
harapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan (Rousseau, 2001).
De Vos dan Buyens (dalam Phuong, 2013) memaparkan bahwa
kontrak psikologis terbentuk dari beberapa kategori dari janji dan tanggung
jawab dan untuk memahami pengembangan dari kontrak psikologis, penting
untuk memperhatikan setiap kategorinya dan tidak melihatnya sebagai satu
kesatuan yang utuh.
Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) menggambarkan kontrak
psikologis sebagai hasil dari dua faktor utama, yaitu petunjuk sosial yang
diberikan oleh perusahaan serta kognisi dan karakter individu. Kontrak ini
juga merupakan hasil dari dua proses, yaitu encoding dan decoding.
Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan encoding sebagai
proses yang terjadi ketika karyawan mempercayai perjanjian dan komitmen
yang disampaikan oleh pihak perusahaan.
Pada umumnya, proses ini terjadi apabila informasi disampaikan oleh
pihak yang memiliki wewenang, disampaikan pada situasi yang tepat, dan
apabila perjanjian disampaikan secara berulang. Proses ini diikuti oleh proses
decoding, yaitu penyesuaian akan informasi yang dimiliki karyawan
mengenai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan
dengan karyawan. Proses ini dibangun berdasarkan informasi yang
disampaikan oleh pihak perusahaan sehingga karyawan dapat membentuk
kesimpulan mengenai standar perilaku yang harus ditampilkan. Berikut
diagram proses pembentukan kontrak psikologis
13
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Kontrak Psikologis (Rousseau, 1995)
Berdasarkan diagram ini, dapat disimpulkan bahwa keyakinan
karyawan akan perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak
perusahaan ditentukan oleh karakter dan cara berpikir setiap individu. Ketika
karyawan telah mempercayai janji dan komitmen yang disampaikan oleh
pihak perusahaan, proses berikutnya adalah menyesuaikan dan
membandingkan informasi yang dimiliki dengan kebudayaan serta situasi
yang ada. Proses ini terbentuk berdasarkan petunjuk sosial yang ada. Setelah
kedua proses ini berlangsung, maka kontrak psikologis akan terbentuk.
Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) meyakini bahwa kontrak
psikologis terbentuk berdasarkan informasi yang disampaikan serta komitmen
yang diberikan oleh pihak perusahaan. Informasi ini dapat disalurkan melalui
beberapa cara, seperti komitmen yang disampaikan secara langsung dalam
bentuk tertulis, observasi, serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam
perusahaan. Kontrak psikologis merupakan kontrak yang bersifat dinamis dan
dapat berubah seiring dengan proses adaptasi karyawan di perusahaan.
Perubahan persepsi terhadap harapan serta perjanjian yang diyakini oleh
karyawan dapat terjadi melalui dua proses, yaitu adaptasi sepihak dan
adaptasi timbal balik. Dalam adaptasi sepihak, perubahan perspektif dari
karyawan baru mengenai perjanjian dari salah satu pihak terjadi sebagai
Message
Framing
Social
Cues
Encoding Decoding
Predisposition
Psychological
Contract
Penanda faktor
organisasi
Penanda faktor
individual
14
dampak dari interpretasi berdasarkan kontribusi yang dilakukan oleh diri
sendiri. Bertolak belakang dengan itu, adaptasi timbal balik terjadi ketika
karyawan merubah perspektifnya terhadap perjanjian dari salah satu pihak
sebagai hasil dari interpretasi terhadap sikap maupun perilaku yang dilakukan
oleh pihak perusahaan (Vons, Buyens & Schalk, 2003).
2.2 Pelanggaran Kontrak Psikologis
2.2.1 Definisi dan Pendorong Terjadinya Pelanggaran Kontrak
Psikologis
Rousseau (dalam Hussain et al., 2011) memaparkan bahwa
pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan beranggapan
bahwa pihak perusahaan telah gagal dalam memenuhi janji dan
komitmennya.
Morrinson dan Robinson (dalam Hussain et al., 2011) mendefinisikan
pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara
pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh.
Robinson (dalam Hussain et al., 2011) berpendapat bahwa
pelanggaran ini terjadi ketika karyawan tidak memperoleh apa yang
diharapkannya, namun, pada tahun 2004, Robinson menambahkan bahwa
pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan
membandingkan kontrak psikologisnya dengan sikap yang ditampilkan oleh
pihak perusahaan.
2.2.2 Dampak Pelanggaran Kontrak Psikologis
Terjadinya pelanggaran kontrak psikologis akan membawa dampak
negatif, baik bagi karyawan maupun untuk pihak perusahaan. Dalam teori
pertukaran sosial yang dipaparkan oleh Coyle-Shapiro dan Conway (dalam
Bordia, Tang, dan Restubog, 2008), hubungan tenaga kerja antara karyawan
dan perusahaan dibangun berdasarkan rumus pertukaran sosial. Ketika
karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak
perusahaan, karyawan akan memberikan respon dengan menimbulkan
perilaku yang dapat memberikan kerugian pada perusahaan
15
Dalam Bordia, Tang, dan Restubog (2008), dipaparkan bahwa
persepsi karyawan terhadap adanya pelanggaran kontrak psikologis akan
memberikan dampak, seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan
hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, menurunkan kepuasan
kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan .
Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat mendorong
kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan
melakukan penyelewengan dalam lingkungan kerja. Perilaku yang
menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim
seperti pulang lebih cepat dan kurang menghargai rekan kerja, hingga pada
taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian,
membocorkan data perusahaaan pada pihak lain, dan tidak bekerja dengan
baik (Hussain et al, 2011).
2.2.3 Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis
Morrinson dan Robinson (2000) memaparkan bahwa terjadinya
pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu
pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak
perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud,
namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu,
ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan
dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam
hubungan tenaga kerja. Berikut diagram mengenai proses terjadinya
pelanggaran kontrak psikologis:
16
Gambar 2.2 Proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis (Robinson & Morrinson, 2000)
Berdasarkan gambar ini, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran dan
ketidaksesuaian merupakan awal mula terjadinya persepsi pelanggaran
kontrak pada karyawan. Pengingkaran dapat terjadi ketika pihak perusahaan
tidak mampu ataupun tidak mau memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini juga
dapat terjadi ketika produktivitas dan kinerja karyawan dinilai rendah.
Ketidaksesuaian terjadi apabila pihak perusahaan dan karyawan
memiliki perbedaan pandangan mengenai tanggung jawab dan hak yang
terdapat dalam perjanjian tenaga kerja. Perbedaan pandangan ini dapat terjadi
dalam interaksi pada proses penerimaan karyawan.
17
Morrinson dan Robinson (2000) berpendapat bahwa kesenjangan
pandangan dapat dijembatani dan diminimalisir melalui proses sosialisasi
karyawan di perusahaan. Karyawan yang mampu melalui proses sosialisasi
dengan optimum akan mampu menyamakan apa yang menjadi
kepercayaannya mengenai perjanjian yang disampaikan oleh pihak
perusahaan dengan pandangan dari pihak perusahaan.
Morrinson dan Robinson (2000) juga berpendapat bahwa intensitas
komunikasi antar karyawan dengan pihak perusahaan sebelum karyawan
menjadi pegawai dalam perusahaan dapat meminimalisir munculnya
kesenjangan ini.
Ketika salah satu dari kedua akar utama penyebab munculnya persepsi
karyawan akan adanya pelanggaran kontrak psikologis terjadi, taraf seberapa
tinggi karyawan memperhatikan seberapa baik perusahaan memenuhi
tanggung jawabnya, memainkan peran. Karyawan yang secara berkala
memperhatikan adanya kesenjangan ini memiliki kecenderungan untuk
mempersepsikan terjadinya pelanggaran kontrak psikologis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan karyawan yang tidak menitikberatkan perhatiannya
pada pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan.
Riset yang dilakukan oleh Fiske dan Taylor (dalam Robinson dan
Morrinson, 2000) membuktikan bahwa hal ini terjadi karena ketika karyawan
memantau secara berkala bagaimana perusahaan memenuhi tanggung
jawabnya: ini akan mendorong mereka untuk mencari celah akan adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan serta mencari bukti untuk
mendukung kepercayaan mereka.
Morrinson dan Robinson (2000) berargumen bahwa tingkat perhatian
karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ketidakpastian yang dirasakan oleh
karyawan, tingkat kepercayaan antara karyawan dengan atasan, serta
besarnya kerugian yang muncul sebagai dampak dari kegagalan pemenuhan
tanggung jawab oleh pihak perusahaan.
Salah satu penyebab adanya ketidakpastian yang dirasakan oleh
karyawan adalah perubahan organisasi yang terjadi. Perubahan-perubahan
18
organisasi yang terjadi dapat memicu munculnya perasaan tidak aman bahwa
pihak perusahaan tidak akan memenuhi tanggung jawabnya secara penuh.
Salah satu pemicu tingginya perhatian karyawan terhadap pemenuhan
tanggung jawab oleh pihak perusahaan adalah kepercayaan yang ada antara
pihak perusahaan dengan karyawan. Robinson dan Morrinson (2000)
berargumen bahwa kepercayaan karyawan terhadap pihak perusahaan dapat
menurun apabila pihak perusahaan gagal dalam memenuhi tanggung
jawabnya di masa lalu.
Zhao et al., (dalam Phuong, 2013) menganjurkan empat metode yang
dapat diterapkan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis. Metode
pengukuran yang pertama adalah pengukuran konkret. Pengukuran ini
merujuk pada berbagai konten yang merupakan bagian dari kontrak
psikologis, seperti upah yang tinggi, pelatihan diberikan, dan rasa aman
dalam pekerjaan. Dalam pengukuran ini, responden akan diminta untuk
menilai seberapa baik perusahaan telah memenuhi janjinya dalam setiap
aspek.
Pengukuran yang kedua adalah pengukuran global. Pengukuran ini
tidak menitikberatkan pada setiap butir dari konten secara spesifik, namun
mengarah pada persepsi dari responden mengenai seberapa baik atau gagal
perusahaan telah memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada responden
(Phuong, 2013).
Pengukuran ketiga yang dikembangkan oleh Zhao dinamakan dengan
pengukuran berat. Sama seperti dengan pengukuran konkret, metode ini juga
menilai setiap konten secara spesifik dari kontrak psikologis dan meminta
responden untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran yang terjadi
pada setiap butir. Namun, yang membedakan adalah, dalam pengukuran ini
ditambahkan penilaian mengenai seberapa penting setiap konten yang ada
bagi responden (Phuong, 2013).
Metode lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur pelanggaran
kontrak psikologis adalah metode dimensi. Metode ini serupa dengan
pengukuran konkret, dimana meminta responden untuk memberikan
penilaian terhadap pemenuhan janji perusahaan pada setiap butir pertanyaan.
19
Jumlah skor keseluruhan pada satu dimensi kemudian akan dinilai rata-
ratanya sebagai rata-rata dari dimensi tersebut (Phuong, 2013).
Studi mengenai kognisi sosial, relasi, perbaikan, dan keadilan yang
dilakukan oleh Rousseau (dalam Boes, 2006), pelanggaran kontrak lebih
cenderung terjadi dalam kontrak yang dinamis berdasarkan alasan sebagai
berikut: (1) Salah satu pihak memberikan nilai yang rendah pada hubungan
tenaga kerja; (2) Insentif dari kontrak yang dilangar cukup besar; (3)
Terjadinya pola eksternal dari pelanggaran kontrak; (4)Adanya sejarah
konflik yang terjadi dan menyebabkan rasa percaya yang rendah; (5) Adanya
jarak sosial pada kedua pihak sehingga kedua pihak tidak saling memahami
perspektif dari yang lainnya.
Meyer dan Starke (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) menemukan
bahwa orang cenderung menghindari informasi yang akan mengecewakan
mereka. Berdasarkan penemuan ini, Robinson dan Morrinson (dalam
Robinson dan Morrinson, 2000) berpendapat bahwa karyawan cenderung
tidak memantau secara berkala bagaimana pihak perusahaan memenuhi
tanggung jawabnya apabila mereka merasa ada ancaman bahwa kontrak
psikologis mereka tidak terpenuhi. Dengan demikian, maka karyawan yang
saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja memiliki lebih banyak
alternatif pekerjaan lainnya cenderung lebih memantau bagaimana
perusahaan memenuhi tanggung jawab dan janjinya dibandingkan dengan
karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja hanya
memiliki sedikit alternatif pekerjaan.
Rousseau (dalam Rousseau, 2000) memaparkan bahwa kontrak
psikologis dipengaruhi oleh 4 aspek utama, yaitu relasi (relational),
keseimbangan (balanced), transaksional (transactional), dan transisi
(transitional). Berikut pembagian rincian setiap aspek dari kontrak psikologis
menurut Rousseau (Rousseau, 2000):
• Relasi (relational): Pengaturan tenaga kerja yang bersifat terbuka dan
berorientasi jangka panjang didasari oleh rasa saling percaya dan
loyalitas. Dimensi ini dibagi menjadi:
20
o Stabilitas (stability): Karyawan bertanggung jawab untuk tetap
berada dalam perusahaan dan melakukan apa yang seharusnya
dilakukan untuk menjaga agar kegiatan operasional terus
berlangsung. Pihak perusahaan juga telah menjajikan adanya
upah yang stabil dan hubungan tenaga kerja antar karyawan
dengan perusahaan dalam jangka panjang
o Loyalitas (loyality): Karyawan bertanggung jawab untuk
mendukung perusahaan, menanamkan loyalitas serta komitmen
untuk kepentingan dan kebutuhan perusahaan. Pihak
perusahaan juga telah berkomitmen untuk menjaga
kesejahteraan karyawan serta memberikan tunjangan bagi
karyawan beserta dengan keluarganya
• Keseimbangan (balance): Adanya kondisi yang terbuka dan dinamis
untuk menunjang keberhasilan perusahaan sehingga mampu
memberikan kesempatan berkarir bagi karyawan. Pihak perusahaan
dan karyawan secara timbal balik membagikan ilmu beserta
perkembangan yang diperoleh. Hadiah diberikan kepada karyawan
berdasarkan kinerja dan kontribusi bagi perusahaan dalam bersaing
dengan para competitor, terutama dalam menghadapi perubahan
permintaan pasar sebagai dampak dari tekanan pasar. Dimensi ini
dibagi menjadi:
o Kemampuan tenaga kerja eksternal: Karyawan bertanggung
jawab untuk mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan
oleh pasar. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan karyawan untuk
jangka panjang, baik di dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan itu sendiri
o Pengembangan internal: Karyawan bertanggung jawab untuk
mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan berkomitmen untuk
menciptakan kesempatan pengembangan karir di dalam
perusahaan
o Kinerja yang dinamis: Karyawan bertanggung jawab untuk
menghasilkan kinerja yang baik serta mencapai tujuan yang
21
lebih menantang, yang dapat terus berubah dengan berjalannya
waktu. Pihak perusahaan berkomitmen untuk memberikan
pembelajaran secara terus menerus serta membantu karyawan
untuk dapat menghasilkan kinerja yang dibutuhkan dengan
baik
• Transaksional (transactional): Pengaturan tenaga kerja untuk kurun
waktu yang singkat, biasanya berfokus terhadap pertukaran ekonomi.
Bentuk dari pengaturan ini ditandai dengan pekerjaan dengan variasi
yang terbatas, spesifik, serta adanya keterbatasan dalam keterlibatan
karyawan di perusahaan. Dimensi ini dibagi menjadi:
o Menyempit: Karyawan bertanggung jawab hanya memiliki
tanggung jawab dalam jumlah yang terbatas dan sifatnya sudah
tetap. Perusahaan tidak memberikan pelatihan maupun
pengembangan karyawan yang lainnya
o Jangka pendek: Karyawan tidak memiliki tanggung jawab
untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Pihak perusahaan
hanya mempekerjakan karyawan untuk periode waktu yang
singkat serta tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan
hubungan tenaga kerja dalam orientasi waktu jangka panjang
• Transisional (transitional): Dimensi ini menjelaskan perubahan
kognisi yang dapat timbul sebagai dampak dari perubahan dan transisi
perusahaan yang bertentangan dengan pengaturan tenaga kerja
sebelumnya. Dimensi ini dapat dibagi menjadi:
o Ketidakpercayaan: Karyawan meyakini bahwa perusahaan
memberikan informasi yang bercampur aduk dan tidak
konsisten sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pihak
perusahaan
o Ketidakpastian: Karyawan merasa tidak yakin akan tanggung
jawabnya terhadap pihak perusahaan
o Erosi: Karyawan memperkirakan bahwa di masa mendatang,
akan menerima hasil dari kontribusi yang telah diberikannya
dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil
yang di dapatkan di masa lalu. Pihak perusahaan melakukan
perubahan dengan menurunkan upah dan tunjangan karyawan
22
sehingga menurunkan kesejahteraan dari kehidupan dalam
lingkungan pekerjaan pada karyawan
2.2.4 Dimensi Pelanggaran Kontrak Psikologis
Dalam pengukuran kontrak psikologis pada penelitian yang
dilakukan, peneliti menggunakan metode pengukuran global, dimana
penilaian berdasarkan keseluruhan aspek dari pemenuhan janji dan tidak
menitikberatkan setiap aspek atau bagian secara spesifik. Aspek yang diukur
merupakan sudut pandang pemenuhan janji dari seorang individu berdasar
atas kontrak pisikologis yang diberikan oleh perusahaan. Penyusunan alat
ukur dibentuk berdasarkan 5 dimensi pembentuk kontrak psikologis, yang
mencakup: kepuasan akan pekerjaan, kesempatan berkarir, dukungan,
kepuasan gaji dan kompensasi, dan pelatihan yang diberikan. Aspek yang
tercakup dalam kepuasan akan pekerjaan antara lain dapat diukur dengan
tingkat pemahaman pekerjaan individu serta kegembiraan dalam pekerjaan.
Aspek kesempatan berkarir lebih kepada tingkat probabilitas seseorang
mendapatkan posisi maupun pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya
melalui perusahaan. Aspek dukungan yang dimaksud adalah dukungan yang
didapat individu dalam pekerjaannya baik dukungan dari atasan. Aspek gaji
dan kompensasi merupakan aspek yang diukur berdasarkan nominal
pendapatan yang dimiliki ditambah dengan kompensasi ataupun fasilitas yang
didapat. Senada dengan keseluruhan aspek diatas, aspek pemberian pelatihan
juga merupakan dimensi yang perlu diukur karena sering kali perusahaan
memberikan apresiasi kepada karyawannya dalam bentuk pelatihan yang
diberikan.
2.3 Sikap Tentang Risiko
2.3.1 Definisi Sikap Tentang Risiko
Dalam bukunya, Berry (2004: 9) mendefinisikan risiko sebagai
kemungkinan terjadinya situasi yang tidak menyenangkan. .
Peneliti menyimpulkan bahwa sikap tentang risiko merupakan
kecenderungan individu untuk membuat keputusan dalam situasi yang
berisiko.
23
2.3.2 Faktor yang Menentukan Sikap Tentang Risiko
Setiap individu memiliki kesempatan untuk memberikan respon yang
beragam terhadap satu situasi yang sama, sehingga setiap individu dapat
memberikan respon yang berbeda untuk situasi yang serupa. Pengambilan
keputusan terhadap situasi yang berisiko sangat dipengaruhi oleh faktor
situasional. Berikut faktor situasional yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan yang berisiko (Hillson & Webster, 2007):
• Tingkat dari ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki
Ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai situasi
terkait mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan.
Individu akan lebih berani untuk mengambil keputusan berisiko
dalam bidang yang dikuasainya, dimana ia telah memiliki ketrampilan
dan pengetahuan yang cukup, sehingga ia akan mampu lebih baik
dalam mengevaluasi situasi tersebut, namun, individu akan lebih
enggan untuk mengambil keputusan berisiko pada situasi yang kurang
familiar dan dimana ia tidak memilik pengetahuan yang cukup untuk
mengevaluasi situasi tersebut
• Persepsi mengenai dampak yang mungkin terjadi
Setiap individu memiliki persepsi risiko yang berbeda terhadap situasi
yang sama. Bagi beberapa individu, satu situasi dapat dianggap
sebagai situasi yang netral, namun, situasi ini dipersepsikan sebagai
situasi yang berisiko bagi individu lainnya. Individu yang lebih
sensitif terhadap penilaian situasi sebagai situasi yang berisiko
memiliki memiliki kecenderungan untuk menghindari segala situasi
yang berisiko.
• Persepsi mengenai kontrol yang dimiliki terhadap situasi
Faktor ini membedakan persepsi individu mengenai apakah suatu
situasi dipersepsikan dapat dikontrol dan dikendalikan atau tidak
dapat dikontrol. Ketika individu berpendapat ia dapat mengendalikan
situasi, maka kecenderungannya adalah ia akan mengambil keputusan
yang lebih berisiko, namun, ketika individu berpendapat ia tidak dapat
mengendalikan situasi yang mungkin terjadi, maka ia akan cenderung
untuk menghindari pengambilan keputusan yang berisiko
24
• Rentan waktu untuk konsekuensi serta risiko terjadi
Ketika individu mempersepsikan bahwa ketidakpastian dapat terjadi
dalam rentan waktu yang lebih singkat, maka situasi tersebut akan
dipersepsikan lebih berisiko dibandingkan dengan ketika
ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih panjang.
• Potensi untuk terjadinya konsekuensi secara langsung
Individu akan lebih berhati-hati dalam mengevaluasi dan membuat
keputusan berisiko ketika dampak dari konsekuensi akan merujuk
langsung pada individu maupun kelompoknya, dibandingkan apabila
konsekuensi dapat terjadi pada orang lain.
Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, Schillo, 2011)
mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh
pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral
(konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),
pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak
terhadap diri sendiri). Individu dengan pengembangan moral, konvensional,
pribadi, dan kebijaksanaan yang lebih baik akan lebih memiliki banyak
pertimbangan dalam pengambilan keputusan berisiko dan menghindari segala
kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain maupun diri
sendiri (Shaw, Amsel, Schillo, 2011).
Faktor lainnya yang turut berperan dalam pengambilan keputusan
berisiko adalah proses heuristik, yaitu individu menganalisa situasi ambigu
berdasarkan situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya (Hillson &
Webber, 2007).
Dalam konteks sikap tentang risiko, heuristik merupakan usaha yang
dilakukan individu maupun kelompok untuk mengevaluasi keadaan yang
tidak pasti serta menentukan respons yang sesuai, dengan mempertimbangkan
pengalaman di masa lalu (Hillsonm & Webster, 2007).
Weber (dalam Blais dan Weber, 2006) mengemukakan bahwa pada
awalnya, sikap tentang risiko dipertimbangkan sebagai bentuk dari karakter
dan kepribadian pada umumnya yang sifatnya permanen.
25
Allport & Allport (dalam Blais dan Weber, 2006) mendefinisikan
karakter sebagai bentuk yang sifatnya stabil dan permanen. Eysenck dan
Eysenck (dalam Blais dan Weber, 2006) berargumen bahwa karakter
merupakan hasil dari perbedaan biologis maupun pengalaman masa awal
kehidupannya. Namun, di sisi lain, Mischel dan Shoda (dalam Blais dan
Webber, 2006) memaparkan bahwa observasi empiris terhadap sikap tentang
risiko membuktikan adanya korelasi yang rendah antara perilaku karakter
yang seharusnya stabil dalam situasi yang berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Schoemaker (dalam Blais dan Weber,
2006) membuktikan bahwa dengan metode pengujian yang sama, individu
tidak menunjukkan adanya konsistensi dalam pengambilan keputusan
berisiko dalam situasi yang berbeda. Webber (2006) juga memaparkan bahwa
berdasarkan model risiko psikologis, pandangan mengenai risiko merupakan
hal yang akan berbeda pada satu individu dan individu lainnya serta
dipengaruhi oleh konten dan konteks situasi yang berlaku.
Studi dan pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa individu
merespon dengan sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang
berbeda. Namun, individu memberikan respon mengenai sikap tentang risiko
secara lebih konsisten dalam ranah atau aspek yang serupa. Hal yang
mendasari hal ini adalah keputusan mengenai sikap tentang risiko
dipengaruhi oleh pandangan mengenai risiko yang ada, keuntungan yang
mungkin mengikuti, dan pilihan alternatif yang tersedia. Aspek-aspek yang
mempengaruhi ini biasanya serupa dan bersikap konsisten, sehingga sikap
tentang risiko lebih stabil dan konsisten dalam aspek atau ranah yang sama.
Ranah dimana individu memiliki pengambilan keputusan berisiko
yang cukup berbeda mencakup investasi finansial, perjudian, keputusan
terkait dengan bisnis, dan pengambilan keputusan personil (Blais & Weber,
2006). Weber, Ames, dan Blais (dalam Blais dan Weber, 2006) memaparkan
bahwa keputusan personil dapat dipecah lagi menjadi kategori yang lebih
kecil, seperti finansial, rekreasi, kesehatan/keselamatan, sosial, dan keputusan
etis.
26
2.3.3 Kategori Sikap Tentang Risiko
Berdasarkan alat ukur DOSPERT dalam menilai kecenderungan
individu mengambil keputusan pada situasi berisiko, sikap tentang risiko
dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (Blais & Weber, 2006):
• Memiliki toleransi lebih kecil terhadap risiko(risk aversion): Bersikap
negatif terhadap risiko
Kategori ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman dalam kondisi
yang tidak pasti, memiliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas,
serta mencari situasi yang aman dan resolusi ketika diperhadapkan
dengan risiko. Individu yang tergolong dalam kategori ini
melandaskan keputusannya dengan akal sehat serta lebih menyukai
fakta dibandingkan dengan teori. Ketika diperhadapkan dengan
ancaman, kelompok ini cenderung akan menjadi lebih sensitif serta
memberikan respons berlebihan terhadap ancaman yang ada, namun
menjadi kurang peka dan memberikan penilaian yang lebih rendah
terhadap kesempatan yang ada. Kelompok ini juga mempersepsikan
situasi lebih berisiko dibandingkan dengan kelompok dalam kategori
lainnya.
• Memiliki toleransi lebih besar terhadap risiko
(risk-seeking) : Bersikap positif terhadap risiko
Individu yang tergolong dalam kategori ini biasanya mudah
beradaptasi, memiliki sumber daya yang cukup banyak, menikmati
hidup, serta tidak takut untuk memulai suatu tindakan. Kelompok ini
dapat bersikap santai dalam menyikapi risiko dan ancaman serta
menantang situasi yang tidak pasti dengan potensi yang dimilikinya.
Sikap ini dapat merujuk pada keputusan yang tidak bijak dan dapat
menimbulkan kerugian. Dalam proses evaluasi situasi, para pencari
risiko menilai situasi berisiko lebih netral dan tidak mengancam
dibandingkan kelompok lain pada umumnya.
27
2.4 Emosi moral
Emosi moral dapat didefinisikan sebagai emosi yang mendorong
individu untuk menampilkan perilaku yang etis serta emosi yang memotivasi
individu untuk memenuhi standar mengenai apa yang benar dan yang salah
(Cohen, Insko, Panther, & Wolf, 2011). Cohen, Insko, Panther, dan Wolf
(2011) juga memaparkan bahwa emosi moral dapat dilihat dari
kecenderungan munculnya rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah ketia
melakukan kesalahan yang disadari.
2.4.1 Definisi Rasa Malu dan Bersalah
Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang
muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, et all.,
2011).
Tangney (dalam Cohen et all., 2011) memaparkan bahwa rasa malu
dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil
dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong
munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat
bahwa kedua emosi ini adalah hal yang berbeda. Berdasarkan pandangan
perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins
(dalam Cohen et al., 2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang
membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai
dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif
mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika
seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai
dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global
(Cohen et al., 2011). Pandangan lain yang turut mengulas perbedaan
mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-
private) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith
(dalam Cohen et al., 2011). Pandangan ini melandaskan pandangan
antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan
bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal
yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan
malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan
28
kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, et al.,
2011).
2.4.2 Faktor yang Menentukan Kecenderungan Rasa Malu dan
Bersalah
Tangney dan Dearing (dalam Cohen et al., 2011), memaparkan bahwa
kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap
kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh,
rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan
malu dibandingkan bersalah. Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada
kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen et al.,
2011).
2.4.3 Dampak Dari Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah
Adanya kecenderungan rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah
merupakan bagian dari emosi moral. Emosi moral merupakan emosi yang
mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan standar
etis yang berlaku. Individu dengan emosi moral yang lebih baik akan lebih
berhati-hati dalam menampilkan perilaku yang melanggar norma.
Munculnya perasaan bersalah lebih diinisiasikan dari diri sendiri.
Kecenderungan rasa bersalah dapat muncul ketika individu melakukan
kesalahan, walaupun kesalahan ini belum terungkap oleh pihak luar. Berti,
Garattoni, dan Ventruini (dalam Eyre, 2004) berpendapat bahwa bentuk dari
munculnya perasaan bersalah dapat terlihat dari permohonan maaf setelah
melakukan perbuatan yang kurang sesuai, melakukan perbaikan untuk
menyeimbangkan keadaan dan mengatasi kesalahan yang telah dilakukan,
menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan, mengakui kesalahan, serta
berkomitmen untuk memperbaharui diri dan tidak mengulang kesalahan yang
sama.
Studi yang dilakukan oleh Schmader dan Lickel (dalam Cohen et al.,
2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga
dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan
seseorang menjadi menarik diri.
29
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Cohen
et al., mengenai kecenderungan rasa malu dan bersalah, dipaparkan bahwa
perasaan bersalah secara signifikan berkorelasi dengan perasaan empati,
pengambilan perspektif, moralitas konvensional, dan berorientasi dengan
pengembangan diri. Cohen, et al., juga memaparkan bahwa dimensi ini
berkorelasi negatif dengan perilaku yang tidak etis dan antisosial.
Di sisi lain, diperkirakan bahwa kecenderungan perasaan malu secara
signifikan berkorelasi dengan tekanan personal, neurotisisme, kebencian, rasa
harga diri yang rendah, dan rasa belas kasih yang rendah. Cohen et al., (2011)
meyakini bahwa evaluasi diri negatif, evaluasi perilaku negatif, dan perilaku
memperbaiki kesalahan berkorelasi negatif dengan pengambilan keputusan
yang tidak etis. Dapat dikatakan bahwa individu yang cenderung
mengevaluasi diri dan perilaku secara negatif serta memiliki inisiatif untuk
melakukan perilaku memperbaiki kesalahan saat melakukan kesalahan,
cenderung untuk tidak mengambil keputusan yang melanggar etis. Namun,
ditemukan bahwa pengambilan keputusan yang tidak etis tidak berkorelasi
dengan perilaku menarik diri.
Lebih lanjut, Cohen et al., (2011) juga meyakini bahwa GASP (guilt
and shame proneness) atau kecenderungan perasaan bersalah dan rasa malu,
merupakan pengukuran yang efektif untuk mendeteksi kemungkinan individu
melakukan tindak korupsi maupun melakukan hal yang melanggar etis
lainnya.
2.4.4 Dimensi Emosi Moral
Tendensi korupsi dapat diprediksi dari emosi moral yang dimiliki
individu. Emosi moral itu sendiri memiliki 4 dimensi, yaitu evaluasi perilaku
negatif (NBE), inisiatif memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif
(NSE), dan perilaku menarik diri (WIT) (Cohen, et al., 2011). Dimensi NBE
dan REP merupakan indikasi adanya kecenderungan rasa bersalah, sedangkan
NSE dan WIT mengindikasikan adanya kecenderungan rasa malu ketika
melakukan kesalahan. Aspek yang membedakan antara dimensi NBE dengan
dimensi REP adalah NBE mengukur disposisi emosi moral, sedangkan REP
mengukur orientasi perilaku moral (Cohen, et al., 2011). Cohen, et all (2011)
30
juga memaparkan bahwa dimensi NBE berkorelasi dengan dimensi REP,
namun, dimensi NSE tidak berkorelasi dengan dimensi WIT.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cohen, et al., (2011),
dapat dilihat bahwa NBE, NSE, dan REP yang tinggi berkorelasi negatif
dengan perilaku menyimpang atau pelanggaran moral. Namun, berbeda
dengan itu, WIT berkorelasi positif dengan perilaku penyimpangan moral.
Dapat disimpulkan bahwa tendensi korupsi atau perilaku penyimpangan
moral dapat diindikasikan dengan skor NBE, NSE, dan REP yang rendah
serta WIT yang tinggi.
Sebagai metode pengukuran, pengembang alat ukur GASP
merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ke 4 dimensi secara
terpisah dan tidak menjumlahkan ke 4 dimensi secara bersamaan. Pengukuran
dengan menjumlahkan ke 4 dimensi ini dapat merujuk pada terjadinya
multikolienaritas.
2.5 Kerangka Berpikir
Peneliti menduga bahwa sikap tentang risiko dan pelanggaran kontrak
psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi emosi moral pada
karyawan perbankan. Emosi moral merupakan faktor yang dapat
memprediksi kecenderungan karyawan untuk melakukan korupsi. Isu terkait
tindak korupsi bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Tindakan
korupsi merajarela, baik pada pemerintahan negara, perusahaan, pendidikan,
maupun dalam skala kecil. Sangat disayangkan, industri perbankan pun tidak
luput dari tindakan korupsi. Salah satu kasus yang baru saja terjadi adalah
pembobolan senilai 65 Milliar di Bank BNI yang dilakukan oleh dua orang
karyawannya (Saputra, 2013).
Sungguh ironis, industri yang seharusnya mampu mempertahankan
kepercayaan serta memberikan rasa aman bagi masyarakat, sebaliknya
menjadi salah satu sarang untuk tindak korupsi. Korupsi tidak terjadi sebagai
dampak dari satu hal saja, namun, ada beberapa faktor yang harus terpenuhi
sehingga koruptor melakukan tindakan korupsi. Donald Cressey, seorang
kriminolog terkemuka, dalam Turvey (2013) memaparkan bahwa harus ada 3
aspek yang terpenuhi sehingga memungkinkan seseorang melakukan
31
penyimpangan atau penipuan, yang sering dikenal dengan segitiga
penyimpangan. Ketiga hal ini adalah motivasi, rasionalisasi, dan kesempatan
Gambar 2.3 Fraud triangle (Turvey, 2013)
Aspek motivasi mencakup hal-hal yang mendorong karyawan untuk
melakukan penyimpangan, seperti perihal finansial yang mendesak, adiksi
terhadap obat-obatan terlarang, dan sensasi yang dirasakan saat dapat
melakukan tindak penyimpangan tanpa terdeteksi. Proses rasionalisasi terjadi
ketika karyawan membuat alasan-alasan tertentu yang membuat tindak
penyimpangan yang dilakukannya seakan-akan merupakan hal yang sah
untuk dilakukan. Hal ini mendorong individu untuk membenarkan kesalahan
yang dilakukannya dengan mencari alasan logis dan pembenaran diri.
Rasionalisasi dapat terjadi dalam bentuk pemikiran bahwa ia tidak
mendapatkan hak yang seharusnya didapatkannya, demi kebahagiaan
keluarganya, dan lainnya. Kesempatan terjadi ketika terdapat celah yang
memungkinkan karyawan melakukan penyelewengan ini tanpa teridentifikasi
oleh pihak lain (Cendrowski, Martin, Petro, 2007).
32
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko
diperkirakan dapat memprediksi NBE dalam arah negatif. Ketika seseorang
yang memiliki kecenderungan pencari risiko merasa bahwa kontrak psikologisnya
dilanggar, maka akan lebih mudah bagi individu untuk melakukan penyimpangan.
Kekecewaan yang menyebabkan munculnya proses rasionalisasi bahwa
penyimpangan yang dilakukan bukanlah kesalahan namun upaya untuk
menyeimbangkan keadaan, disandingkan dengan kepribadian individi pencari risiko
yang cenderung memandang bahaya serta kerugian yang dapat diakibatkan dari
perbuatannya secara lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko,
mendorong individu ini untuk lebih enggan untuk menilai perilaku penyimpangan
yang dilakukannya secara negatif.
Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan
dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif. Ketika
karyawan mempersepsikan bahwa haknya telah dilanggar, maka akan muncul
motivasi untuk melakukan perilaku yang merugikan dan proses rasionalisasi bahwa
penyimpangan yang dilakukan bukan merupakan kesalahan. Kelompok pencari
risiko cenderung untuk mencari kegiatan yang berisiko serta menerima konsekuensi
dan hukuman sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan kelompok penghindar
risiko. Ketika situasi dimana pelanggaran kontrak psikologis terjadi yang
disandingkan dengan kecenderungan individu untuk mencari risiko, maka
kemungkinan individu untuk berupaya memperbaiki diri ketika melakukan
penyimpangan akan semakin minim.
Pelanggaran
Kontrak Psikologis
Sikap Tentang
Risiko
Emosi Moral
33
Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan
dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif.
Individu yang mempersepsikan adanya pelanggaran kontrak psikologis akan lebih
terdorong untuk melakukan penyimpangan secara disengaja. Namun, dalam perilaku
penyimpangan ini, terjadi proses rasionalisasi, dimana individu membenarkan
perbuatannya atas dasar upaya untuk menyesuaikan keadaan. Ketika proses
rasionalisasi terjadi, individu akan mempersepsikan bahwa kesalahan terletak pada
pihak perusahaan dan individu tidak menaruh kesalahan dalam dirinya. Pencari risiko
lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan dengan risiko yang tinggi serta menilai
konsekuensi dari perilakunya terhadap orang lain secara lebih netral. Apabila hal ini
disandingkan dengan situasi dimana individu menganggap bahwa kontrak
psikologisnya telah dilanggar, maka ketika individu melakukan penyimpangan,
individu cenderung untuk tidak merasa bersalah dan memiliki NE yang rendah.
Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan
dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi WITH dalam
arah positif. Ketika individu mempersepsikan bahwa kontrak psikologisnya telah
dilanggar, maka terdapat kemungkinan bahwa individu akan melakukan
penyimpangan dengan disengaja. Dalam situasi ini, individu melakukan
penyimpangan sebagai upaya untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang terjadi.
Individu dengan toleransi terhadap risiko yang lebih besar cenderung untuk lebih
tidak bertanggung jawab atas perilakunya dan kerugian yang disebabkan oleh
perbuatannya. Kemungkinan individu untuk menarik diri dan tidak mau bertanggung
jawab atas kesalahannya semakin didorong oleh adanya rasa amarah terhadap pihak
perusahaan. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran
kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH
dalam arah positif.
NSE merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang buruk diri
sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Rousseau (1995) dalam Hussain et al.,
(2011: 576) mendefinisikan pelanggaran kontrak psikologis sebagai situasi yang
terjadi ketika karyawan mempersepsikan adanya kegagalan dari pihak perusahaan
dalam memenuhi janji serta tanggung jawabnya. Ketika karyawan mempersepsikan
adanya ketidakseimbangan dalam hubungan tenaga kerja, karyawan akan berusaha
untuk mengembalikan keadaan sehingga kontribusi yang diberikan oleh kedua belah
34
pihak seimbang. Usaha untuk menyeimbangkan keadaan dapat berupa perilaku
menyimpang seperti melakukan korupsi yang dapat merugikan perusahaan, namun
membawa keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini, karyawan
akan berasumsi bahwa penyimpangan ini merupakan upaya untuk pengembalian
keadaan dan merupakan dampak yang harus diterima oleh perusahaan. Ada proses
rasionalisas yang terjadi, yaitu membenarkan perbuatan karena kesalahan berakar
dari pihak perusahaan. Dengan pembenaran diri ini, karyawan akan memiliki
evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan penyimpangan.
Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika terjadi pelanggaran
kontrak psikologis, karyawan akan memiliki NSE yang rendah saat melakukan
penyimpangan dalam perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi
bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NSE dalam arah negatif.
NBE merupakan kecenderungan individu untuk memandang buruk
perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika karyawan
mempersepsikan adanya pelanggaran terhadap kontrak psikologisnya, karyawan
cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar keadilan atau
keseimbangan terjadi. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penyimpangan
dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange
theory) yang dipaparkan oleh Bordia, Tang, dan Restubog (2008), ketika muncul
persepsi bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka karyawan akan
merespon dengan menampilkan perilaku secara disengaja untuk merugikan
perusahaan, baik dengan berhenti dari perusahaan, melakukan penyimpangan,
maupun tidak memberikan kontribusi positif pada perusahaan (Bordia, Tang, &
Restuborg, 2008). Ketika penyimpangan dilakukan, karyawan akan mempersepsikan
bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk mencapai keadaan
yang seimbang. Ada proses rasionalisasi yang terjadi, yaitu karyawan menilai
penyimpangan yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya sebuah
umpan balik dari ketidakadilan yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan pemaparan
ini, peneliti berasumsi bahwa ketika karyawan mengalami pelanggaran kontrak
psikologis, apabila karyawan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan,
karyawan akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah. Dapat disimpulkan
bahwa peneliti berpendapat bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi NBE dalam arah negatif.
35
REP merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya ketika
sadar telah melakukan kesalahan. Saat karyawan mengalami pelanggaran kontrak
psikologis, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan pada
perusahaan. Kemarahan ini dapat berdampak pada perilaku yang dengan sengaja
dilakukan untuk menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Perilaku yang merugikan
ini akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan
oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang
karyawan masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki
inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan ini dalam tingkat yang minim.
Hipotesa peneliti adalah pelanggaran kontrak psikologis mampu memprediksi REP
dalam arah negatif.
WITH adalah upaya individu untuk menghindari tanggung jawab ketika
melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari
tanggung jawab dan konsekuensi pada pihak yang dirugikan. Ketika karyawan
mempersepsikan bahwa perusahaan telah gagal dalam memenuhi kontrak
psikologisnya, maka karyawan memiliki kecenderungan untuk membalas perilaku
tidak adil yang dilakukan perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai
upaya untuk memperoleh keadilan dan membalas perusahaan. Dalam kondisi ini,
karyawan cenderung menghindari adanya konsekuensi dan tanggung jawab yang
mengikuti mengingat penyelewengan yang dilakukan adalah upaya untuk membalas
kesalahan perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berargumen bahwa
pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif.
Sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu dalam pengambilan
keputusan yang berisiko. Weber dan Blais (2006) memaparkan bahwa individu
memiliki sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Dalam alat
ukur yang dikembangkannya, yaitu DOSPERT (Domain-Specifi-Risk-Taking),
Weber dan Blais (2006) mengkategorikan sikap tentang risiko kedalam dua kategori,
yaitu pencari risiko (risk-taker) dan penghindar risiko (risk averse). Pencari risiko
ditandai dengan sikap berani menantang dan menerima risiko yang ada dengan santai
dan menggunakan segala potensi yang dimiliki. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam
Shaw, Amsel, dan Schillo, 2011) mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut
dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai
moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),
36
pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri
sendiri). Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa individu yang lebih
bijak dalam pengambilan keputusan berisiko memiliki pemahaman moral,
konvensional, pribadi, serta kebijaksanaan yang lebih baik sehingga akan
meminimalisir segala perilaku yang dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri
sendiri maupun pihak lain.
NSE terjadi ketika individu menilai diri buruk atau memberikan penilaian diri
secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal yang tidak bermoral.
Kelompok penghindar risiko akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan
berisiko serta mempertimbangkan terjadinya pelanggaran hukum, kerugian bagi
orang lain, maupun diri sendiri dari setiap pengambilan keputusan berisiko. Seperti
yang telah dipaparkan, salah satu faktor pembentuk kepribadian sikap tentang risiko
adalah moral yang tertanam dalam diri individu. Aspek moral merupakan salah satu
komponen penting yang mendorong individu untuk memberikan penilaian negatif
terhadap diri sendiri ketika melakukan hal yang melanggar nilai moral secara sadar.
Individu yang menanamkan aspek moral lebih baik memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk memberikan penilaian diri secara negatif ketika melakukan hal yang
melanggar moral. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa sikap
tentang risiko dapat memprediksi NSEdalam arah negatif.
NBE terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat menyadari
melakukan hal yang melanggar moral. Individu dengan toleransi yang lebih besar
terhadap risiko (risk taker) memiliki kecenderungan untuk kurang bijak dalam
pengambilan keputusan berisiko serta menilai situasi berisiko sebagai situasi yang
lebih netral dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini, aspek motivasi
memainkan peran dalam mendorong pencari risiko melakukan penyimpangan seperti
tindak korupsi. Melakukan korupsi merupakan tindakan berisiko, mengingat
besarnya risiko yang mengikuti apabila tindakan ini terungkap. Risiko yang dapat
terjadi tidak hanya risiko pada nama baik, namun juga hukum pidana. Ketika pencari
risiko melakukan korupsi, hal itu memenuhi aspek motivasi dalam segitiga penipuan
(fraud triangle). Adanya aspek motivasi ini akan mendorong karyawan untuk merasa
puas akan pelanggaran yang dilakukannya sehingga kemungkinan individu dengan
toleransi akan risiko yang lebih besar untuk menilai perbuatannya secara negatif akan
37
minim. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko
dapat memprediksi evaluasi perilaku NBE dalam arah negatif.
REP merupakan upaya individu memperbaiki kesalahannya ketika sadar
melakukan hal yang buruk. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, moral
merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadian sikap tentang risiko.
Moral merupakan aspek yang berperan penting untuk mendorong individu
memperbaiki kesalahannya. Individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap
risiko memiliki penanaman moral yang lebih baik dibandingkan kelompok pencari
risiko. Hal lainnya adalah melakukan korupsi memenuhi aspek motivasi pada pencari
risiko, dimana kelompok ini cenderung menyukai kegiatan yang berisiko. Dengan
adanya kepuasan yang diperoleh ketika melakukan tindakan berisiko, kelompok ini
memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperbaiki diri saat melakukan
pelanggaran yang berisiko. Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat
memprediksi REP dalam arah negatif.
WITH merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindari situasi
dimana ia melakukan kesalahan. Perilaku ini muncul sebagai usaha untuk
menghindari tanggung jawab dan perasaan malu yang timbul karena terungkapnya
kesalahan yang dilakukan. Namun, dalam jurnalnya, Cohen, et al., (2011)
memaparkan bahwa skor WITH yang lebih tinggi mengindikasikan kemungkinan
untuk menampilkan perilaku menyimpang yang lebih besar. Hal ini dapat dipaparkan
sebagai hasil dari pemahaman individu dengan skor WITH yang lebih tinggi
beranggapan bahwa ia dapat dengan mudah menghindari situasi dimana
kesalahannya terungkap apabila kesalahannya teridentifikasi oleh pihak luar.
Individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko memiliki pemahaman
moral dan penilaian akan konsekuensi perbuatannya secara lebih rendah
dibandingkan dngan individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap risiko.
Ketika diperhadapkan pada situasi dimana kesalahannya terungkap, individu dengan
toleransi yang lebih besar terhadap risiko akan lebih mudah untuk menampilkan
perilaku menarik diri dan tidak bertanggung jawab atas dampak dari perbuatannya.
Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah
positif.
Dampak dari terjadinya pelanggaran kontrak psikologis adalah kekecewaan
dan rasa marah pada perusahaan. Ketika terjadi pelanggaran kontrak psikologis,
38
maka terdapat kemungkinan bahwa karyawan akan melakukan penyimpangan
dengan disengaja. WITH merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan
seseorang untuk menghindari situasi ketika kesalahan yang dilakukannya terungkap
oleh pihak lain. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari situasi yang membuatnya
merasa tidak nyaman dan menghindari tanggungjawab yang dapat mengikuti.
Individu yang merasa bahwa pelanggaran kontrak psikologisnya telah dilanggar
cenderung lebih memilih untuk menghindari tanggung jawab dan konsekuensi ketika
kesalahannya terungkap. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa
pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif.
2.6 Hipotesa
Hipotesis yang dirumuskan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Keterangan hipotesa:
PCB: Psychologycal Contract Breach (Pelanggaran Kontrak Psikologis)
PCB
Risiko
H5
H6 NBE H1
PCB
Risiko
H7
H8 REP H2
PCB
Risiko
H9
H10 NSE H3
PCB
Risiko
H11
H12 WITH H4
39
Hipotesa Utama
1. Hipotesa alternatif (Ha) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan
sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap
tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE
2. Hipotesa alternatif (Ha) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan
sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap
tentang risiko tidak dapat memprediksi REP
3. Hipotesa alternatif (Ha) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan
sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap
tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE
4. Hipotesa alternatif (Ha) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan
sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap
tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH
Hipotesa tambahan
5. Hipotesa alternatif (Ha) 5: Pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi NBE dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 5: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi
NBE
6. Hipotesa alternatif (Ha) 6: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE
dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 6: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE
7. Hipotesa alternative (Ha) 7: Pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi REP dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 7: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi
REP
8. Hipotesa alternatif (Ha) 8: Sikap tentang risiko dapat memprediksi REP
dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 8: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi REP
40
9. Hipotesa alternatif (Ha) 9: Pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi NSE dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 9: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi
NSE
10. Hipotesa alternatif (Ha) 10: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE
dalam arah negatif
Hipotesa nol (H0) 10: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE
11. Hipotesa alternatif (Ha) 11: Pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi WITH dalam arah positif
Hipotesa nol (H0) 11: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat
memprediksi WITH
12. Hipotesa alternatif (Ha) 12: Sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH
dalam arah positif
Hipotesa nol (H0) 12: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH