2 tinjauan pustaka 2.1 ikan teri nasi (stolephorus...

14
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) 2.1.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun ada pula yang mempunyai ukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5 cm. Ikan teri mempunyai ciri ciri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempeng putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Gigi giginya terdapat pada rahang, langit langit dari pelatin dan mempunyai lidah (Hoetomo et al. 1987 dalam Wahyuni 1999) Penyebaran ikan pelagis di Indonesia merata seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti ikan teri di Samudera Hindia. Ikan teri juga ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan Perairan Lainnya. Teri nasi merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ciri morfologisnya adalah sebagai berikut: umumnya tidak berwarna atau agak kemerahan, bentuk tubuh bulat menanjang, sepanjang tubuhnya terdapat garis putih keperakan, memanjang dari kepala hingga ekor, sisik kecil dan tipis serta mudah lepas, mulut agak tersayat kedalam, mencapai higga belakang mata, rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Adapun sistematika dan klasifikasi ikan teri nasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Genus : Stolephorus Spesies : Stolephorus sp.

Upload: lamtu

Post on 20-May-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.)

2.1.1 Deskripsi dan Klasifikasi

Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun

ada pula yang mempunyai ukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5 cm. Ikan

teri mempunyai ciri ciri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau

termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempeng putih

keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Gigi giginya terdapat pada

rahang, langit langit dari pelatin dan mempunyai lidah (Hoetomo et al. 1987

dalam Wahyuni 1999)

Penyebaran ikan pelagis di Indonesia merata seluruh perairan, namun ada

beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti ikan teri di Samudera

Hindia. Ikan teri juga ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi

Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan Perairan Lainnya. Teri nasi

merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ciri

morfologisnya adalah sebagai berikut: umumnya tidak berwarna atau agak

kemerahan, bentuk tubuh bulat menanjang, sepanjang tubuhnya terdapat garis

putih keperakan, memanjang dari kepala hingga ekor, sisik kecil dan tipis serta

mudah lepas, mulut agak tersayat kedalam, mencapai higga belakang mata,

rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Adapun sistematika dan klasifikasi

ikan teri nasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Malacopterygii

Famili : Clupeidae

Genus : Stolephorus

Spesies : Stolephorus sp.

5

Sebagaimana ikan teri, ikan teri nasi pun termasuk jenis ikan musiman.

Musim tangkapnya antara bulan Februari sampai Agustus. Jumlah tangkapan

tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Berikut ini adalah gambar

ikan teri nasi segar.

Gambar 1 Ikan teri nasi segar

2.1.2 Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Ikan Teri Nasi

Ikan teri nasi mengandung protein, mineral, vitamin, dan zat gizi lainnya

yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan. Protein teri nasi

mengandung beberapa macam asam amino esensial. Adanya variasi dalam

komposisi kimia maupun komposisi penyusunnya disebabkan karena faktor

biologis dan alami. Faktor biologis antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin.

Faktor alami yaitu faktor luar yang tidak berasal dari ikan, yang dapat

mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah

kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi dan

Sugiyono, 1989).

Komposisi kimia dari ikan teri nasi secara lengkap disajikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Komposisi kimia ikan teri nasi

Komposisi Satuan Nilai

Protein % 16,00

Lemak % 1,00

Abu % 1

Air % 30-60

Sumber: BSN (1994)

6

Bahan baku ikan teri harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan

pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat sifat

alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

ikan teri yang akan diolah harus dari mutu yang baik dan cocok bagi konsumen,

sekurang kurangnya sebagai berikut (SNI 01-3466-1994)

Rupa dan warna : Utuh putih, kebiruan dan cemerlang

Bau : Segar dan agak harum

Daging : Kenyal, berserat halus

Rasa : Netral agak manis

untuk mempertahankan mutu ikan teri nasi, bahan baku harus cepat diolah.

Apabila terpaksa menunggu maka ikan teri nasi harus disimpan dengan es atau air

dingin (0-5 oC), saniter dan higienis. Syarat mutu yang harus dipenuhi dapat

dilihat pada Tabel 2 (SNI 01-3461-1994).

Tabel 2 Syarat mutu ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu

a. Organoleptik

-Organoleptik, Min

-Kapang

7

Tidak Nampak

b. Mikrobiologi

-ALT, maks

-Escherichia coli

-Salmonella*

-Staphylococcus aureus

koagulasi positif, maks

-Vibrio cholerae*

Koloni/gram

APM/gram

per 25 gram

Koloni/gram

per 25 gram

2 x 105

<3

Negatif

100

Negatif

c. Kimia

-Air

-Abu tak larut dalam

asam, maks

-Garam, maks

-Timah, maks

-Timbal, maks

-Arsen, maks

-Raksa, maks

-Seng, maks

-Tembaga, maks

% bobot/bobot

% bobot/bobot

% bobot/bobot

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

30-60

1

15

40

0,5

1,0

0,5

100,0

20,0

d. Fisika

Bobot bersih

Sesuai label

*) Bila diperlukan

7

2.1.3 Proses Penangan dan Pengolahan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.)

Setengah Kering (SNI 01-3471-1994)

Penanganan dan pengolahan ikan teri nasi setengah kering adalah semua

kegiatan yang menghasilkan produk akhir yang berupa ikan teri nasi setengah

kering. Tahap produksi ini meliputi proses sortasi awal, pencucian, perendaman,

perebusan, pengeringan, sortasi akhir, pengemasan dan pelabelan.

a. Sortasi awal

Ikan teri nasi dari nelayan dimasukkan kedalam wadah berinsulasi atau

tong plastik, secepat mungkin dilakukan sortasi jenis dan mutunya.

Kemudian ditimbang dan dicuci dengan air dingin atau air laut untuk

mengilangkan kotoran.

b. Pencucian

Pencucian ulang atau pembilasan dilakukan dengan menggunakan air

dingin dan bersih untuk menghilangkan air laut atau menurunkan kadar

garam.

c. Perendaman

Sebelum dilakukan perebusan ikan teri nasi setengah kering direndam

dalam air es selama kurang lebih 10 menit.

d. Perebusan

Tahapan selanjutnya adalah tahap perebusan. Dalam proses perebusan air

yang digunakan untuk perebusan ditambah garam sebanyak 3-4% dari

volume air yang direbus. Setelah air perebusan mendidih, dimasukkan ikan

teri ke dalam perebusan selama 3-5 menit sambil dilakukan pengadukan

untuk meratakan panas dan menghilangkan busa pada keranjang perebusan.

Setelah diangkat, ikan teri nasi ditiriskan (diangin-anginkan ) sampai tiris.

e. Pengeringan

Pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran diatas para para,

sejenis alat yang terbuat dari bambu atau dengan cara lain yang sesuai

sampai setengah kering dan dilanjutkan dengan pengangin-anginan.

8

f. Sortasi akhir

Tahap sortasi ini dilakukan dengan tujuan menghilangan kotoran yang

masih menempel, kemudian sortasi jenis mutu dan ukuran teri yang

diinginkan.

g. Pengemasan

Bahan pengemas untuk ikan teri nasi setengah kering harus cukup kuat,

tahan perlakuan fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap air

uap air, gas bau, tidak mudah ditembus minyak dan lemak, tidak boleh

melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Pembungkus harus

terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk,

metode pengolahan dan pemasarannya. Teknis pengemasan produk harus

dikemas dengan cepat, cermat, secara saniter dan higienis. Pengemasan

harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya penularan

dan kontaminasi dari luar terhadap produk akhir.

h. Pelabelan

Setiap produk perikanan yang diolah untuk diperdagangkan harus diberi

label dengan benar dan mudah dibaca, yang memberi keterangan untuk:

Jenis produk olahan

Berat bersih produk

Bila ada beberapa bahan tambahan lain harus diberi keterangan bahan

tersebut

Nama dan alamat unit pengolahan, serta negara dimana produk

tersebut dibuat

Tanggal, bulan, tahun saat produk tersebut dihasilkan (kode produksi)

Khusus untuk produk yang dikonsumsi didalam negeri harus

mencantumkan nomor pendaftaran pada Departemen Kesehatan RI.

2.1.4 Bahan Tambahan Makanan dan Peralatan (SNI 01-3471-1994)

Bahan tambahan makanan yang digunakan adalah garam. Garam

yang digunakan harus garam yang bermutu baik yang ditandai dengan

warna garam putih dan bersih (tidak tercampur dengan kotoran-

kotoran/benda asing). Peralatan yang digunakan dalam pengolahan ikan

teri nasi setengah kering secara umum terdiri atas peralatan perebusan dan

9

pengeringan. Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan harus

dibuat sedemikian rupa sehingga permukaannya halus dan rata, tidak

mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber jasad renik, bebas

dari retak-retak dan mudah dibersihkan.

Proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah

kering (SNI 01-3471-1994)

Sortasi awal

Pencucian

Perendaman dalam air es (10 menit)

Perebusan (penambahan 3-4% garam)

Penirisan

Sortasi akhir

Pengemasan

Penyimpanan

Ikan Teri Nasi

Ikan Teri Nasi

Setengah Kering

10

2.2 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan

sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air

setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang

setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis

enzimatis atau kimiawi (Muchtadi 2008). Aktivitas air adalah jumlah air bahan

yang dapat dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.

Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara

mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat

ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan

bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti

aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya

(Berk 2009).

Menurut Toledo (1980), proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap. Pada

tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di atas

permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan.

Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi di sekitar permukaan bahan. Pada

tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada

seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi

dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada

tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui

permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air

kesetimbangan

2.3 Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi

Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah

dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) pada tahun 1985

tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai penentuan

umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP

No.69 tahun 1999.

11

Menurut Rahayu et al. (2003), terdapat tujuh jenis produk pangan yang

tidak wajib mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, yaitu:

a. Buah dan sayuran segar termasuk kentang yang belum dikupas

b. Minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10%

(volume/volume)

c. Makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau tidak lebih

dari 24 jam setelah diproduksi

d. Cuka

e. Garam meja

f. Gula pasir

g. Permen dan sejenisnya yang bahan bakunya hanya berupa gula ditambah

flavor atau gula yang diberi pewarna.

Berdasarkan peraturan, semua produk pangan wajib mencantumkan

tanggal kadaluarsa, kecuali tujuh jenis produk pangan tersebut. Penetapan umur

simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan

pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial,

umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang

didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya

industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk

mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan

keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha

kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas,

dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Rahayu et al. 2003)

2.4 Penurunan Mutu

Kerusakan produk pangan dapat disebabkan karena adanya serangan

mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan ini sangat dipengaruhi

oleh kandungan aktivitas air (aw) dalam produk tersebut. Kerusakan lain yang

dapat terjadi pada produk pangan adalah reaksi oksidasi. Laju reaksi oksidasi

sangat dipengaruhi oleh aktivitas air (aw). Enzim lipoksidase mulai mengkatalis

reaksi oksidasi pada lemak tak jenuh saat nilai aw bahan pangan sebesar 0,3, dan

laju reaksi oksidasi meningkat secara cepat seiring dengan peningkatan nilai aw

pada bahan pangan (Steel 2004). Pada produk pangan kering dengan nilai aw

12

kurang dari 0,1 oksidasi dapat terjadi dengan cepat, saat nilai aw meningkat sekitar

0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai aw mengalami kenaikan

menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali (Nawar 1977).

Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang

menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid

dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977). Reaksi oksidasi akan meningkat secara

langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar

oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami

peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat

suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih

kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam

lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak

dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada

isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap

non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah

pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat

mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan (Nawar 1977).

2.5 Kriteria Kadaluarsa

Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan

produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi

dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik

penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan

Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang

diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat

mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu

produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan

lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk

pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya

tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Penggunaan indikator mutu dalam

menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada

kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar

2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan

13

informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi

tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan

penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang

tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau

tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering

diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk

pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis

ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat

menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan

hingga siap dikonsumsi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan

mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw)

berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva

isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw

pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak

menyukai aw yang tinggi (Christian 1980). Mikroorganisme menghendaki aw

minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, kamir

0,80−0,90, dan kapang 0,60−0,70 (Winarno 1992). Prabhakar dan Amia (1978)

menyatakan pada aw yang tinggi, oksidasi lemak berlangsung lebih cepat

dibanding pada aw rendah. Kandungan air dalam bahan pangan, selain

mempengaruhi terjadinya perubahan kimia juga ikut menentukan kandungan

mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan

oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan

pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis free fatty acid

(FFA) dan tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai

peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida

yang berasal dari degradasi lemak (Deng 1978). Malonaldehida yang terkandung

pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA. Kandungan mikroba, selain

mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut

dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor

intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air

(aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan

14

kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan,

kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001).

2.6 Prinsip Pendugaan Umur Simpan

Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan

masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan

yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka

(literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer

complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004). Nilai

pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam

penentuan produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen

pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk

pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran.

Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya,

komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di

pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan

cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama

penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan

mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Untuk

mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di

laboratorium. Penentuan umur simpan produk pangan berhubungan erat dengan

tahapan proses produksi seperti disajikan pada Gambar 3.

15

Gambar 3 Hubungan antara penentuan umur simpan dengan tahapan

produksi (Hariyadi 2004)

Penentuan suhu pengujian umur simpan produk berbeda-beda tergantung

jenis produksinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Penentuan suhu pengujian umur simpan produk

Jenis Produk Suhu Pengujian (oC) Suhu Kontrol (

oC)

Makanan dalam kaleng 25, 30, 35, 40 4

Pangan Kering 25, 30, 35, 40, 45 -18

Pangan Dingin 5, 10. 15, 20 0

Pangan Beku -5, -10, -15 <-40

Sumber: Labuza dan Schmidl (1985)

Menurut Arpah (2001) model Arrhenius dapat dilihat pada rumus berikut:

k = k0 e-Ea/RT

...................................................................................(1)

Ln k = ln k0-(Ea/RT)...........................................................................(2)

Ln k = ln k0-{(Ea/R).(1/T)}.................................................................(3)

Produk

Degradasi Jenis Pengolahan

Pengaruh struktur Perhitungan awal

Umur simpan

yang diinginkan

Bahan

Protitipe

Uji ASS Uji distribusi

Optimum

Biaya

Pasar

Kesesuaian

16

Keterangan:

k : Konstanta (laju Reaksi)

Ea : Energi aktivasi

T : Suhu mutlak (K)

R : Konstanta gas (1,986 kal/mol K)

1) Reaksi Ordo Nol

Tipe Kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi

perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak, pencoklatan

enzimatis, dan non-enzimatis (Labuza 1982)

Persamaan ordo nol yaitu (Arpah 2001)

..................................................(4)

Keterangan:

dA : Perubahan parameter mutu

dt : Waktu penyimpanan

k : Konstanta (Laju Reaksi)

Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:

At = A0-kt.......................................................(5)

Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:

....................................................(6)

2) Reaksi Ordo Satu

Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu antara lain ketengikan

pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging

17

dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza 1982).

Persamaan ordo satu yaitu (Arpah 2001):

.........................................................(7)

Keterangan

[A] : Kosentrasi A

Jika persamaan diatas di integrasikan maka:

At = A0e-kt............................................................(8)

Atau

Ln (At) = Ln (Ao)-k.t............................................(9)

Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan

...............................................(10)

3) Reaksi Ordo lain

Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo ini,

misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al.

2004). Contoh persamaan ordo lain yaitu (Arpah 2001):

.....................................................(11)

Jika persamaan di atas diintegrasikan maka:

....................................................(12)

Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan :

...............................................(13)

Keterangan:

t : Umur simpan

Ao : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula

At : Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula

k : Konstanta (laju reaksi)