2. pengantar tarikh tasyri
TRANSCRIPT
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
1/16
PENGANTAR TARIKH TASYRI
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)
PENGERTIAN TARIKH TASYRI, MAKNA SYARIAH DAN TASYRI
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer
dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan
atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi
Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-
aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak(tentang nilai baik dan buruk).
Sedangkan tasyri berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak
diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian
memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri sehingga mencakup pula perkembangan
fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah
umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri dimulai sejak pertama kali wahyu
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini. Tasyri' juga bermakna
legislation, enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam.
Kata Syariat secara bahasa berarti al-utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al- ma'i
(sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan
al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan
keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia kepada
kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal.
Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah
SWT dalam surat al-Syura ayat 13.Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agamaapa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat al-
Maidah ayat 48. .untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang.Syari'ah adalah "law statute"artinya hukum yang telah ditetapkan dalam
agama Islam. Syariat menurut fuqaha berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT
melalui Rasul untuk hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
2/16
yang berkaitan dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang
berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-
hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para Nabi
atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah. Syariat disebut
juga din (agama) dan millah. Syariah Islamiyah didefinisikan dengan apa yang telah
ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq,
muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan
hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang membahas
keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan
sesudahnya dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan
dengannya, (membahas) ciri-ciri spesifikasikeadaan fuqaha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum-hukum tersebut.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan
perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang
terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika
pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan
kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul
Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang dari manusia baik secara individual maupun
kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul
Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum Islam
yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI & MACAM-MACAM
TASYRI
Meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan ciri-ciri
spesifikasinya 3. Fuqaha dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid serta sistem
pemikiran yang dipakai atau sistem istinbath. Pembahasan tarikh tasyri' terbatas pada
keadaan perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi
saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan perundang-
undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat dan mendukungnya
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
3/16
serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya dalam upaya
menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madkhal ila tarikh at-
Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah
pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad
ulama pada waktu atau kurun tertentu. Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri'
dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut
kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah
SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri' kedua yang dilihat dari kekuatan
dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi'in dan ulama sesudahnya. Tasyri'
tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua
bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah, fiqh
dibagi menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf, Jenazah,Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan. Bidang
muamalat dibagi menjadi beberapa topik yaitu perkawinan dan perceraian, uqubat
(hudud, qishash, dan ta'zir), jual beli, bagi hasil (qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah,
upah, sewa, memindahkan utang (hiwalah), syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah),
barang titipan, ghashab, luqathah (barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara
(fi'alah), perseroan (syirkah), peradilan, waqaf, hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-
hajr), washiat dan faraid (pembagian harta warisan).
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian
fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat.
Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad.
Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam
meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan. Sedangkan
cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian,
sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad. Ulama syafi'iyah berbeda pendapat
dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan
kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang
bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga
(munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (uqubat).
URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
4/16
1. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
2. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat mengetahui kesempurnaan dansyumuliyah
(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam
peradaban umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat
Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan,
ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan
aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat
Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.
3. Melalui kajian tarikh tasyri kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai
dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam
mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari
cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.4. Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam
sekaligus optimisme akan kembalinyasiyadah al-syariah (kepemimpinan syariat)
dalam kehidupan umat di masa depan.
Untuk mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam, harus diketahui
terlebih dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-
Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum
yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh karena itumemahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang pembentukan
hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami hukum Islam
itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara individu maupun
kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran
ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang memilikinya.
Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal
dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk
diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara
kegunaan mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap
hidup toleran dan untuk mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah
ijtihadnya agar dapat mengembangkan gagasan-gagasannya.
SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADHI (HUKUM POSITIF)
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
5/16
Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang
buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-
Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang.
Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat
Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti
keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal
ini berarti kekufuran. Al-Syahid Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-Tasyri Al-
Jina-i fi Al-Islam (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan
syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadhi tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh
manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk
dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan
pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam
bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya
sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan
tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran)sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-
kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Anam:
115).Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah:
49).
2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa
depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yangmelingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya
hanya mempertimbangkan kekinian dan kesinian serta pasti perlu diubah
dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang ber-
sumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti
mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
6/16
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau
rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
3. Hukum wadhi memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya
dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilahdan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M.
Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah
menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala
kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan
internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas
hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia
sepanjang zaman.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telahKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu. (Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadhi hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki
konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala.
Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari
akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah
Taala. Oleh karenanya hukum wadhi kehilangan kekuasaannya atas jiwa
manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini
memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan
hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan
hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umatsebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi
hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik
dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Taala, rasa harap akan
ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara
terhadap hukum.Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
7/16
maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)
:
.Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya kalian
mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih
pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka
siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi
(padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah
memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia
mengambilnya. (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadhi mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap
pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu
atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadhi tidak memberi sangsi atas
perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak.
Hukum wadhi tidak memberi sangsi atas peminum minuman keras kecuali jika
dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain. Hukum wadhi
tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak
moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan
berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan
moral. Hukum wadhi tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang
memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta.
Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap
membahayakan orang lain secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan.
Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan
mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia
akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena
ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak
negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman
yang memabukkan.Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
8/16
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32).Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan,
maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91)
FASE-FASE TARIKH TASYRI
1. Fase Tasyri: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabiin Senior sampai
Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan
Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya
Baghdad tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan
ulama fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal
adalah cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek(mantan dosen Universitas
Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman,
Yordania). Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh
Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri al-Islamy (Sejarah
Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam
enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan tabiin;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
9/16
5. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265])
sampai sekarang.
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalambukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi
periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju
dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode
keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam
al-Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang.
Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah
sebagai berikut:
PERIODE PERTAMA
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Quran. Apabila ayat
Al-Quran tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan
Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnahRasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik
maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu danfiqhpada masa Rasulullah SAW
mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-
Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Pengertianfiqh di zaman Rasulullah SAW adalah
seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu,fiqh pada periode ini
bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah
baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya
menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada
periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa
periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
10/16
kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Quran
maupun dari sunnahnya sendiri.
PERIODE KEDUA
Masa al-Khulafa ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-1 H.Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang
menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat,
rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar
melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang
muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Quran atau sunnah
Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam
membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk
melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil
ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan
memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak
memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan
prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertianfiqh dalam
periode ini masih sama denganfiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat
aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus
itu saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
PERIODE KETIGA
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal
pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga,
para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam.
Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW kepada
penduduk setempat. Di Irakdikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah
bin Masud (Ibnu Masud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing
sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat
setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
11/16
dikenal dengan para tabiin. Para tabiin yang terkenal itu adalah Said bin Musayyab
(15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-
Nakhai (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra,
Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-
guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.
Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah
hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya
mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap
fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang dikembangkan
para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh IslamMadrasah al-hadits (madrasah =
aliran) danMadrasah ar-rayu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan
sebutanMadrasah al-HijazdanMadrasah al-Madinah; sedangkanMadrasah ar-rayudikenal dengan sebutanMadrasah al-Iraq danMadrasah al-Kufah. Kedua aliran ini
menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad.Madrasah al-Hijazdikenal sangat
kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah
SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya
tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. SedangkanMadrasah al-Iraq dalam
menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal
ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka
terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik
secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz
berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedang ulama Irak
berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa
Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika
dalam berijtihad.
Pada periode ketiga ini, pengertianfiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua,
karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amali
(praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini
pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
12/16
metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama
fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi
juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlahfiqh iftird
(fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa
datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh rayu (ar-rayu; pemikiran tanpa berpedoman kepada
Al-Quran dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama
Madrasah al-hadits juga mempergunakan rayu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di
Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal
Jamaah (imam yang empat).
PERIODE KEEMPAT
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai
periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada
periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antaraMadrasah al-hadits denganMadrasah ar-rayu semakin menipis sehingga
masing-masing pihak mengakui peranan rayu dalam berijtihad, seperti yang
diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-
Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian
masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai
Ahlurrayu (Ahlulhadits dan Ahlurrayu), datang ke Madinah berguru kepada Imam
Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa(buku hadits dan fiqh). Imam asy-
Syafii, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurrayu, banyak mendukung pendapat ahli
hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi rayu dan hadits. Hal ini
menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai
menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
13/16
Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti
kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafii. Sebagaimana pada periode ketiga,
pada periode inifiqh iftirdsemakin berkembang karena pendekatan yang
dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser
pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang
mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE KELIMA
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan
menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas
dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak
mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas
masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab
yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1. Munculnya sikap taassub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan
pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada
dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya
untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak
penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan
hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang
ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada
suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut
Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti
yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
14/16
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada
mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya
tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di
seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari
kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan
Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap
ilmiah.
PERIODE KEENAM
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah pada tahun
1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklidserta taassub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah
fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta
pertimbangan tujuan syara dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada
sikap mempertahankan pendapat mazhab secarajumud(konservatif). Upaya
mentakhrij(mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam
mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup
dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga
penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya terbatas pada meringkas dan
mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah
menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam
masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum)
Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani
(Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan
Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri
pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyyah sebagai hukum perdata umum
yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
15/16
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di
seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam al-Adliyyahdilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan
diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan
sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari
berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping
memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat
bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada
tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai
dengan Majallah al-Ahkam al-Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil
dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri
Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun
kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara
Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil
yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak sajadari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabiin, dengan syarat bahwa
pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat
terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani
menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan
dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai
pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah
kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari
pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam
mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di
berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
-
8/23/2019 2. PENGANTAR TARIKH TASYRI
16/16
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh
pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum
Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan
memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya
penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai
berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil
dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko,
Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di
berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan
hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yangada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Quran dan
sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jamai (kolektif) harus dikembangkan
dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh,
tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi.
Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan
hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. LH
SUMBER:http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html
http://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/
Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Muhammad Salam Madkur,Al Madkhal Li al fiqh al Islam ( Cairo : Dar an Nadhah
Islamiyah)
Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-Nafais,1991)
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.htmlhttp://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.htmlhttp://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/