2-fenomena gempa

53
Bab 2. Fenomena Gempa 2.1 Pendahuluan Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena- fenomena fisik yang yang berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya, sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi. Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak. Fenomena Gempa II-1

Upload: panuluh-wicaksono

Post on 04-Jul-2015

505 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Bab 2.Fenomena Gempa

2.1 Pendahuluan

Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang

berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang

mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,

sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang

rekayasa bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang

akurat untuk memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada

perancangan struktur bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi

kita untuk dapat memahami struktur bagian dalam dari bumi.

Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan

lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang

digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas

kerusakan yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan,

sedang, sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat

menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur

bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat

kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan

kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.

Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat

seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di

seluruh dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa

sangat kuat (great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang

mengakibatkan kerugian jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa

kuat (major earthquake) seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di

Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat

menyebabkan banyak kerugian materi dan korban jiwa.

Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh

dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa

juga mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang

memadai seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan

Fenomena Gempa II-1

keselamatan saat terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain

struktur bangunan tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan

infrastruktur yang disebabkan oleh gempa.

2.2 Interior Bumi

Seismolog juga mempelajari gempa untuk mengungkap lebih jauh mengenai struktur

bagian dalam (interior) dari bumi. Gempa memberikan kesempatan bagi ilmuwan untuk

melakukan observasi bagaimana bagian dalam dari bumi merespon ketika gelombang

gempa melewatinya. Mengukur kedalaman dan struktur geologi di dalam bumi dengan

menggunakan gelombang gempa adalah lebih sulit dibandingkan dengan mengukur jarak

pada permukaan bumi. Dengan menggunakan gelombang gempa, seismolog mendapatkan

gambaran mengenai susunan dari interior bumi yang terdiri dari 4 bagian, yaitu :

permukaan bumi (crust), selimut bumi (mantle), inti bagian dalam (inner core) dan inti

bagian luar (outer core). Susunan bagian dalam bumi diperlihatkan pada Gambar 2-1

Gambar 2-1. Susunan struktur bagian dalam bumi

Studi yang intensive terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada

saat itu mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di

seluruh dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang

mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam

bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog

menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan

Fenomena Gempa II-2

menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi

bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.

Berdasarkan pengamatan terhadap pola perambatan gelombang P dan S, pada 1904

seimolog dari Croatia A. Mohorovicic menyebutkan bahwa pada bagian luar bumi terdapat

suatu lapisan permukaan (crust) di atas lapisan batuan yang keras. Dia berpendapat bahwa

di dalam bumi, gelombang gempa dipantulkan secara tidak menerus (discontinue) akibat

adanya perubahan sifat kimiawi atau struktur geologi batuan. Dari penemuannya ini,

lapisan pertemuan antara lapisan permukaan bumi dengan lapisan selimut bumi (mantle) di

bawahnya,diberi nama Mohorovicic atau Moho Discontinuity.

Pada 1906, R.D. Oldham dari India menggunakan waktu kedatangan dari gelombang

P dan S untuk memastikan bahwa bumi mempunyai pusat atau inti (core) yang besar. Dia

menginterpretasikan struktur bagian dalam bumi dengan membandingkan kecepatan

rambat gelombang P terhadap gelombang S, dan diketahui bahwa perambatan gelombang

P mengalami perubahan arah akibat diskontinuitas seperti pada Moho Discontinuity.

Pada 1914, dengan menggunakan waktu perambatan dari gelombang gempa yang

dipantulkan dari batas antara selimut dan inti bumi, seismolog Beno Gutenberg dari Jerman

dapat memperkirakan besarnya radius dari inti bumi yaitu sekitar 3500 km. Pada 1936

seismolog Inge Lehmann dari Dermark menemukan pusat struktur bumi yang lebih kecil

yang dikenal sebagai inti bagian dalam (inner core) bumi. Dengan mengukur waktu

kedatangan gelombang gempa yang diakibatkan oleh gempa yang terjadi di Pasific Selatan

(South Pasific), dia dapat memperkirakan besarnya radius inti bagian dalam bumi sebesar

1216 km. Pada saat gelombang gempa merambat melewati bumi dan mencapai pusat

observatori gempa di Denmark, dia mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan dan waktu

kedatangan gelombang gempa telah mengalami pembelokan oleh inti bumi bagian dalam.

Pada penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap gelombang gempa, seismolog menemukan

fakta bahwa inti bagian luar (outer core) dari bumi merupakan cairan, sedangkan inti

bagian dalam bumi terdiri dari benda padat.

Seperti sudah dijelaskan di atas, bumi terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan

permukaan bumi, selimut bumi, inti bagian dalam dan bagian luar. Lapisan lithosphere

setebal kurang lebih (50-100) km adalah bagian dari lapisan permukaan dan lapisan selimut

bumi bagian atas, dan merupakan lapisan batuan sangat padat. Di atas lapisan lithosphere

ini terdapat benua (continent) dan lautan (ocean). Di bawah lapisan lithosphere terdapat

lapisan asthenosphere yang merupakan lapisan batuan kurang padat. Lapisan ini

Fenomena Gempa II-3

mengelilingi lapisan mantle. Lapisan lithosphere bumi patah menjadi lebih kurang dua

puluh keping bagian yang disebut pelat tektonik (plate tectonic). Pelat-pelat tektonik ini

mengambang di atas lapisan asthenosphere, dan secara perlahan bergerak. Secara periodik

beberapa pelat akan saling berbenturan satu dengan yang lainnya, dan dapat menyebabkan

patahan pada permukaan bumi. Tumbukan antara pelat dapat memicu timbulnya gempa.

Gambar 2-2. Lapisan Lithosphere dan Asthenosphere

2.3 Pelat Tektonik

Jika gempa vulkanik terjadi akibat aktifitas gunung berapi, maka gempa tektonik

terjadi akibat benturan antara pelat-pelat tektonik yang terdapat pada lapisan luar dari

bumi. Menurut teori pelat tektonik, lapisan terluar dari bumi terdiri dari pelat-pelat batuan

yang saling bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Teori ini diformulasikan pada awal

1960, dan merupakan suatu penemuan yang baru di bidang geologi. Dengan menggunakan

teori ini, para ilmuwan dapat secara ilmiah menjelaskan beberapa fenomena geologi seperti

letusan gunung berapi, mekanisme terdinya gempa, terbentuknya pegunungan, serta

formasi dari lautan dan benua.

Teori pelat tektonik dikembangkan dari teori yang diusulkan oleh ilmuwan German

Alfred Wegener pada 1921. Dengan melihat bentuk dari benua-benua yang ada sekarang

ini dan dengan bukti-bukti geologi yang ditemukan di setiap benua, ia mengembangkan

suatu teori mengenai benua yang lepas (continental drift).

Fenomena Gempa II-4

Gambar 2-3. Perubahan formasi benua-benua yang ada di bumi.

Fenomena Gempa II-5

Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua

yang ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar

(supercontinent) yang disebut Pangaea.

Gambar 2-3 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua

benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah

menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua

benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti

yang terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus

berlangsung. Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta

tahun mendatang.

Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat

tektonik dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek

dari perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai

benua yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada

suatu teori yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal

dengan nama Pelat Tektonik.

Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang

berukuran lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North

American, pelat Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri

dari pelat Cocos, pelat Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.

Gambar 2-4. Pelat-pelat tektonik bumi

Fenomena Gempa II-6

Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai

lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai

ukuran lebar 14000 km.

Para ahli geologi mempelajari bagaimana pelat-pelat tektonik tersebut dapat bergerak

relatif terhadap suatu tempat yang tetap pada lapisan mantel, dan pergerakan relatif antara

satu pelat tektonik dengan pelat lainnya. Tipe gerakan yang pertama dari pelat tektonik

disebut gerakan absolut, dan gerakan ini dapat menjebabkan terbentuknya rangkaian

gunung berapi. Tipe gerakan yang kedua disebut gerakan relatif, dan gerakan ini dapat

menyebabkan berbagai bentuk perubahan permukaan bumi.

Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya pergerakan-pergerakan

pelat-pelat tektonik bumi adalah teori Sea Floor Spreading yang dikembangkan oleh F. J.

Vien dan D. H. Mathews pada 1963. Teori ini menyatakan bahwa permukaan bumi

seluruhnya tertutup oleh lebih kurang 20 lapisan lithospere, yaitu lapisan batuan yang

berbentuk pelat-pelat tektonik yang mempunyai ukuran berbeda-beda serta tebalnya

berkisar antara 50–100 km.

Karena lapisan permukaan bumi dengan ketebalan (50-100) km mempunyai

temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan didalamnya, yaitu lapisan

asthenosphere yang terdiri selimut bumi dan inti bumi, maka akan terjadi aliran konveksi

dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau

sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan

pergeseran pelat-pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa.

Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat

tektonik ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan

yang lainnya. Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10

cm pertahun.

Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa

proses geologi yaitu :

Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan

pelat yang lain sedikit terangkat.

Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling

menjauh.

Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah

Fenomena Gempa II-7

Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap

pelat yang lainnya.

2.4 Gempa Bumi

Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan

bergetarnya bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh

banyak hal antara lain peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh

aktivitas desakan magma ke permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang

terjadi akibat aktivitas vulkanik ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di

daerah sekitar aktivitas gunung berapi, dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang

sama dengan gempa tektonik.

Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah

yang disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang

terdapat di dalam lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik

ini disebut gempa tektonik.

Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa

imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah

pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan

biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah

gempa yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari

bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa

lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.

Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya

timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini

dapat berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis.

Pada umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi

regangan elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini

merambat ke segala arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa

(seismic wave), sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.

Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan

lamanya gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur

bangunan dan jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan

berpengaruh terhadap banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang

Fenomena Gempa II-8

gempa terjadi beberapa ratus kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat

seismograph (mesin yang mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa

kecil pertahun. Gempa sangat kuat seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang

menyebabkan kerugian jutaan dollar, dapat terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan

gempa kuat seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan gempa Kobe di

Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20 kali setiap tahunnya.

Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang

terjadi diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-

Shan di China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah

menyebabkan kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan.

Antisipasi awal terhadap bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap

pemahaman gempa, mitigasi, perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan

tahan gempa yang lebih fleksibel dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi

kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.

Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang

relatif dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan

ini terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian

panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan

proses pendistribusian panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.

Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung

di atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang

dapat terjadi antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :

Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi

Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati

Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser

Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),

keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser.

Umumnya gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat

dirasakan oleh manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang

gerakan pelat tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi

yang berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak

mampu lagi menahan gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara

Fenomena Gempa II-9

mendadak. Mekanisme pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu

terjadinya gempa tektonik.

Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,

konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah

pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi

pada umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik

2.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa

Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan

elastis pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai

untuk menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound

yang dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana

sebagai berikut : di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang

mengakibatkan pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap

massa batuan lainnya. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut

gaya-gaya tektonik (tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat

menimbun regangan bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika

tegangan yang terjadi pada batuan tersebut melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut

akan hancur di daerah terlemah yang disebut patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut

akan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan untuk kembali ke dalam keadaan semula

yang bebas tegangan.

Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa

korban jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh

gempa. Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian

materi diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang

sesungguhnnya disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang

disebabkan oleh jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada

tebing yang curam, dan kebakaran.

2.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah

Bencana pertama yang disebabkan oleh gempa adalah pengaruh dari goncangan

tanah. Struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dan keruntuhan, baik oleh

goncangan itu sendiri maupun oleh lapisan tanah dibawahnya yang mengalami penurunan

elevasi (subsidence) saat terjadi gempa.

Fenomena Gempa II-10

Struktur bangunan bahkan dapat ambles ke dalam tanah ketika terjadi liquifaksi

(liquefaction). Liquifaksi adalah peristiwa tercampurnya pasir atau tanah berpasir dengan

air tanah, selama terjadi goncangan gempa. Ketika air dan pasir dicampur, lapisan ini

menjadi sangat lunak dan berperilaku seperti pasir hisap. Jika liquifaksi terjadi di bawah

suatu bangunan, dapat menyebabkan longsoran atau amblesan. Lapisan tanah bergerak ke

atas lagi setelah gempa berlalu dan air tanah kembali turun ke tempatnya yang semula.

Peristiwa liquifaksi lebih berpengaruh pada lokasi tanah berpasir dimana air tanah terletak

cukup dekat dengan permukaan tanah.

Gambar 2-5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday di Alaska, 1964.

Gambar 2-6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.

Fenomena Gempa II-11

Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan

yang kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang

berada di alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan

tanah. Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak

bangunan atau mencederai manusia.

2.5.2 Pergeseran Tanah

Bencana utama akibat gempabumi yang kedua adalah pergeseran tanah di sepanjang

patahan. Jika sebuah bangunan seperi gedung, jembatan atau jalan dibangun melintasi

daerah patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan

akan meruntuhkan bangunan tersebut.

2.5.3 Banjir

Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa

dapat merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau

reservoir akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin

menghanyutkan dan menenggelamkan orang.

Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang

menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya

dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang

sangat besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat

mencapai tinggi tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai

daerah pantai, sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche

adalah gelombang air sama seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche

terjadi pada danau yang diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki

tinggi setengah meter. Meskipun demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.

2.5.4 Kebakaran

Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran

ini diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut

dapat menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng

pompa hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah

terbakarnya kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar

Fenomena Gempa II-12

selama 3 hari yang menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250,000 penduduk

kehilangan tempat tinggal.

Gambar 2-7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .

2.6 Cara Mempelajari Gempa

Para ahli seismologi mempelajari gempa bumi dengan cara melihat kerusakan yang

disebabkan oleh gempa dan dengan menggunakan seismograf. Seismograf adalah alat yang

dapat merekam goncangan pada permukaan bumi akibat gelombang gempa.. Seismograf

pertama kali ditemukan oleh seorang ahli astronomi Cina bernama Chang Heng.

Kebanyakan seismograf modern saat ini adalah bersifat elektronik, tetapi komponen-

komponen dasar dari alat seismograf adalah tetap yaitu drum yang diberi kertas diatasnya

(rotating drum records motion), suatu ruang yang dihubungkan dengan suatu engsel yang

dapat bergerak pada kedua ujungnya, suatu beban (mass), dan suatu pena (pen).

Salah satu ujungnya dipalang dengan kotak logam yang tertancap di tanah. Beban

diletakkan pada ujung lainnya dari palang dan pena ditancapkan pada beban itu. Drum

dengan kertas di atasnya akan berputar secara konstan (Gambar 2-8)

Ketika terjadi gempa, semua peralatan di seismograf bergerak; kecuali beban dengan

pena di atasnya. Saat drum dan kertas berguncang mendekati pena, maka pena akan

membuat garis-garis yang tak beraturan di atas kertas, dan membuat catatan mengenai

pergerakan tanah akibat gempa. Catatan yang terekam oleh seismograf ini disebut

seismogram.

Fenomena Gempa II-13

Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan

seberapa jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan

letak pusat gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh

beberapa mil atau kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang

tepat, dibutuhkan setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain

Gambar 2-8. Komponen-komponen dasar alat seismograph

2.6.1 Parameter-parameter Gempa

Suatu peristiwa gempa biasanya digambarkan dengan beberapa parameter, sebagai

berikut :

Tanggal dan waktu terjadinya gempa

Koordinat epicenter ( dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur geografi )

Kedalaman pusat gempa (focus)

Magnitude dan Intensitas maksimum gempa

Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang

gempa untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan

perhitungan data gempa yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf).

Lokasi sumber gempa pada umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di

mana pada tempat ini sering terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya

Fenomena Gempa II-14

gempa adalah suatu peristiwa pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara

pelat-pelat tektonik.

Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan

menarik garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat

ditentukan melalui peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang

ditentukan melalui peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter.

Bilamana tidak ada hasil pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan

pengamatan terhadap kerusakan pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik

di mana kerusakan terbesar terjadi, dan disebut macroseismic epicenter.

Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.

Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.

Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut

Gempa Menengah.

Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Gambar 2-9. Focus, Epicenter, seismic waves, dan fault

Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum.

Berdasarkan kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.

Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut

Gempa Menengah.

Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Fenomena Gempa II-15

2.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa

Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa

(seismogram) yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf

yang berbeda untuk gempa yang sama. Gambar 2-10 menunjukkan contoh rekaman gempa

yang tercatat pada seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula

gelombang S menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.

Gambar 2-10. Rekaman gempa yang tercatat pada seismograf.

Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa.

Untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan

menggunakan grafik seperti pada Gambar 2-11.

Fenomena Gempa II-16

Gambar 2-11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa

Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :

Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal

gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P,

akan didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar 2-11).

Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada

rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (lihat Gambar 2-10)

Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar 2-11).

Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik

skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude,

didapatkan besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.

2.7 Patahan

Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik

bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan

antar pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis

patahan yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.

Gambar 2-12. Jenis-jenis patahan yang dapat terjadi akibat gempa.

Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu

bagian dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini

biasanya terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat,

atau pada dua buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-

Fenomena Gempa II-17

slip adalah retakan antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah

horisontal. Patahan strike slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang

300 km dengan lebar patahan 6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan

oleh gempa San Francisco yang berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.

Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah

satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah

pelat tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu

bagian dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.

2.8 Mengukur Besaran Gempa

Jika terjadi gempa yang merusak disuatu tempat, mungkin pertanyaan yang pertama-

tama timbul adalah : Berapakah besarnya gempa tersebut dan bagaimana cara

mengukurnya?. Besaran yang dipakai untuk mengukur suatu gempa ada dua, yaitu

Intensitas (Intencity) dan Magnitude (Magnitude). Kedua ukuran ini menunjukkan aspek-

aspek yang berbeda mengenai suatu gempa.

2.8.1 Skala Mercalli

Sebelum ditemukannya alat-alat pencatat getaran gempa, satu-satunya cara untuk

mengukur besarnya gempa adalah dengan jalan pengamatan langsung oleh manusia. Untuk

memudahkan pengamatan tersebut, dibuatlah daftar-daftar yang mengklasifikasikan

besarnya gempa, berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa terhadap

bangunan-bangunan. Skala daftar derajat kerusakan ini dinyatakan dalam angka Romawi

( I, II, III, …. ). Skala ini pada umumnya digunakan untuk pengamatan oleh orang-orang

yang sudah berpengalaman untuk memperkirakan tingkat intensitas suatu gempa.

Derajat kerusakan akibat gempa yang sama dengan ukuran yang terdapat dalam

daftar yang dipakai untuk menyatakan intensitas suatu gempa. Intensitas yang dilaporkan

untuk suatu gempa adalah intensitas maksimum yang disebabkan oleh aktivitas gempa

pada suatu lokasi. Intensitas ini sering juga disebut sebagai intensitas lokal. Intensitas lokal

berhubungan langsung dengan percepatan tanah maksimum yang terjadi akibat gempa.

Dengan demikian intensitas lokal gempa akan berhubungan pula dengan besar kecilnya

kerusakan yang terjadi pada bangunan-bangunan disuatu lokasi.

Daftar skala intensitas, pertama kali dikembangkan oleh Rossi dari Italia dan Forrel

dari Swiss. Skala ini, merujuk pada nilai I sampai X, yang untuk pertama kalinya

Fenomena Gempa II-18

digunakan untuk melaporkan gempa San Fransisco yang terjadi pada tahun 1906. Pada

tahun 1902 seorang seimolog dan vulkanolog dari Italia bernama Giuseppe Mercalli

mengusulkan skala intensitas dari I sampai dengan XII. Pada tahun 1931, Harry O. Wood

dan Frank Neumann memodifikasi skala Mercalli ini, dan disebut skala Modified Mercalli

Intensity (MMI Scale) untuk mengukur intensitas gempa yang terjadi di California,

Amerika.

Skala MMI mempunyai 12 tingkatan intesitas gempa (I s/d XII). Setiap tingkatan

intensitas didefinisikan berdasarkan pengaruh gempa yang didapat dari pengamatan, seperti

goncangan tanah, dan kerusakan dari struktur bangunan seperti gedung, jalan, dan

jembatan. Tingkat intensitas I sampai VI, digunakan untuk mendeskripsikan apa yang

dilihat dan dirasakan orang selama terjadinya gempa ringan dan gempa sedang. Sedangkan

tingkat intensitas VII sampai dengan XII digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan

pada struktur bangunan selama terjadinya gempa kuat.

Di dunia, setiap tahunnya terjadi rata-rata satu gempa dengan tingkat intensitas X

sampai XII, 10 sampai 20 gempa dengan intensitas VII sampai IX, dan lebih dari 500

gempa dengan intensitas I sampai VI. Setiap tahun terjadi hampir 100000 gempa tetapi

tidak dicatat manusia, oleh karena itu gempa-gempa ini tidak diklasifikasikan di dalam

skala MMI. Gempa dengan intensitas II dan III pada skala MMI dapat dianggap setara

dengan gempa dengan magnitude M=3 sampai M=4 pada Skala Richter. Gempa dengan

intensitas XI dan III pada skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan

magnitude M=8 sampai M=9 pada Skala Richter.

Hal-hal yang dapat menyebabkan banyaknya kerusakan dari bangunan pada saat

terjadi gempa adalah, desain dari konstruksi bangunan, jarak lokasi bangunan dari pusat

gempa, dan kondisi lapisan permukaan tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Desain

dari konstruksi bangunan yang berbeda, akan memiliki daya tahan terhadap gempa yang

berbeda pula, serta semakin jauh lokasi bangunan dari pusat gempa, semakin sedikit

kerusakan yang akan terjadi. Demikian juga pengaruh dari kondisi tanah dasar dimana

bangunan didirikan, akan menyebabkan perbedaan pada tingkat kerusakan yang dapat

terjadi. Pada lokasi dimana lapisannya merupakan tanah lunak, gempa akan menyebabkan

bangunan bergoncang lebih keras dibandingkan jika lapisan tanahnya merupakan tanah

lunak. Bangunan-bangunan yang didirikan di atas lapisan tanah lunak akan mengalami

kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang didirikan di

atas lapisan tanah keras.

Fenomena Gempa II-19

Dari penjelasan mengenai tingkat kerusakan bangunan yang dapat terjadi akibat

gempa, terlihat bahwa penentuan dari nilai Skala Mercalli sangat bersifat subjektif karena

beberapa hal sebagai berikut :

Tergantung pada jarak epicenter sampai tempat yang dimaksud.

Keadaan geologi setempat

Kualitas dari bangunan-bangunan setempat di lokasi terjadinya gempa.

Pengamatan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan panik akibat kekacauan yang

biasanya terjadi pada saat gempa,

Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena

skala ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa,

pengamatan yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda

mengenai tingkat kerusakan yang terjadi.

Tabel 2-1. Skala Intensitas Modified Mercalli ( MMI Scale )

Skala Intensitas

Keterangan

I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat yang peka

II Getaran terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada di lantai dan di atasnya

III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan

IV Getaran seperti truk lewat. Jendela, pintu dan barang pecah belah bergemerincing

V Getaran terasa oleh orang di luar gedung. Orang tidur terbangun. Benda-benda tidak stabil di atas meja terguling atau jatuh. Pintu bergerak menutup dan membuka.

VI Getaran terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah. Berjalan kaki sulit. Kaca jendela pecah. Meja dan kursi bergerak.

VII Sulit berdiri. Getaran terasa oleh pengendara motor dan mobil. Genteng di atap terlepas.

VIII Pengemudi mobil terganggu. Tembok bangunan retak.

IX Semua orang panik. Tembok bangunan mengalami kerusakan berat.Pipa-pipa dalam tanah putus.

X Sebagian konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya.Tanggul dan bendungan rusak berat. Rel kereta api bengkok sedikit.Banyak terjadi tanah longsor.

XI Rel kereta api rusak berat. Pipa-pipa di dalam tanah rusak

XII Terjadi kerusakan total. Bangunan-bangunan mengalami kerusakan.Barang-barang terlempar ke udara.

Fenomena Gempa II-20

Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk

yang terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat

didata dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian,

skala intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu

gempa. Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis

isoseismal pada peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-

daerah yang mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut

sebagai peta jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan

struktur bangunan tahan gempa.

Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka

terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari

hasil pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang

terlepas pada pusat gempa.

2.8.2 Skala Richter

Salah satu skala yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuatan atau

besarnya gempa adalah Skala Richter (Richter Magnitude Scale), atau disebut Local

Magnitude (ML). Skala ini dibuat oleh DR. Charles F. Richter dari California Institute of

Technology pada 1934. Skala Richter didasarkan pada skala logaritma dan ditulis dalam

angka Arab (1, 2, 3, …. ). Besaran dari Skala Richter ditentukan dengan mengukur

amplitudo maksimum dari gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf standart

Wood-Anderson, yang ditempatkan pada jarak 100 km dari pusat gempa. Alat seismograf

dapat mendeteksi gerakan tanah yang sangat kecil sebesar 0,00001 mm, sampai gerakan

tanah sebesar 1 meter.

Karena besaran pada Skala Richter ditulis berdasarkan skala logaritma (base 10), ini

berarti bahwa setiap penambahan satu angka pada Skala Richter, akan mempresentasikan

kenaikan sebesar 10 kali lipat pada pergerakan tanah akibat gempa. Jadi dengan

menggunakan skala ini, gempa yang tercatat 5 pada Skala Richter (magnitude gempa

M=5), akan mengakibatkan goncangan tanah sepuluh kali lipat lebih kuat dibandingkan

gempa dengan skala 4 (magnitude gempa M=4), dan permukaan bumi akan bergerak

sejauh 10 kali.

Untuk memberi gambaran mengenai angka-angka pada Skala Richter, maka

anggaplah hal ini sebagai suatu bentuk energi yang dilepaskan oleh bahan peledak. Suatu

Fenomena Gempa II-21

gelombang gempa dengan tingkat magnitude gempa M=1 pada Skala Richter akan

melepaskan energi setara dengan energi ledakan 6 ton bahan peledak TNT. Sebuah gempa

dengan tingkat magnitude gempa M=8 akan melepaskan energi setara dengan banyaknya

energi yang dihasilkan oleh ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa

yang terjadi setiap tahunnya mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga

terlalu kecil untuk dapat dirasakan oleh manusia.

Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan

gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa

dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk

mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan

sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan

terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan

tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah

gempa yang terjadi setiap tahunnya.

Tabel 2-2. Magnitude dan Kelas Kekuatan Gempa

Magnitude Gempa

Kelas Kekuatan Gempa

Pengaruh gempaPerkiraan kejadian pertahun

< 2,5 Minor earthquake

Pada umumnya tidak dirasakan, tetapi dapat direkam oleh seismograf.

900,000

2,5 s.d 4,9 Light earthquake

Selalu dapat dirasakan, tetapi hanya menyebabkan kerusakan kecil.

30,000

5,0 s.d 5,9 Moderate earthquake.

Menyebabkan kerusakan pada bangunan dan struktur-struktur yang lain.

500

6,0 s.d 6,9 Strong earthquake

Kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan besar, pada daerah dengan populasi tinggi.

100

7.0 s.d 7.9 Major earthquake

Menimbulkan kerusakan yang serius. 20

8.0 Great earthquake

Dapat menghancurleburkan daerah yang dekat dengan pusat gempa.

satu setiap 5-10 tahun

Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate

earthquake), sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong

earthquake). Gempa dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat

(great earthquake). Sebagai contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude

M=6,7 dan gempa San Fransisco 1906 mempunyai magnitude M=7,9.

Fenomena Gempa II-22

Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude

lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10

tahunnya di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu

gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0

pada Skala Richter. Dan gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah

gempa dengan skala -1 pada Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala

Richter terjadi setiap hari, tetapi sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.

Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.

Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh

gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah

samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan

getarannya pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat.

Sebaliknya suatu gempa dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang

dekat pada suatu kota yang padat penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan,

mungkin akan menyebabkan banyak kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas

dan magnitude sangat sulit untuk ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa

dan jarak yang mempengaruhi besarnya intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh

adalah kondisi tanah. Meskipun demikian, hubungan perkiraan antara besaran magnitude

(Richter) dengan intensitas (MMI dapat ditentukan sebagai berikut :

Tabel 2-3. Hubungan antara Magnitude dan Intensitas Gempa

Magnitude( Richter )

Intensitas( MMI )

Pengaruh-pengaruh Tipikal

2 I – II Pada umumnya tidak terasa

3 III Terasa di dalam rumah, tidak ada kerusakan

4 IV – V Terasa oleh banyak orang, barang-barang bergerak,Tidak adak kerusakan struktural

5 VI – VII Terjadi beberapa kerusakan struktural, sepertiRetak-retak pada dinding

6 VII – VIII Kerusakan menengah, seperti hancurnya dinding

7 IX – X Kerusakan besar, seperti runtuhnya bangunan

8 XI – XII Rusak total atau hampir hancur total

Fenomena Gempa II-23

2.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah

Gempa tektonik hanya dapat terjadi jika dua syarat utamanya terpenuhi, yaitu :

Harus terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batu-batuan di dalam

kulit bumi dalam waktu yang lama

Batuan-batuan di dalam kulit bumi tersebut harus cukup kuat untuk dapat menimbun

tegangan hingga mencapai energi, kira-kira (1020–1025) erg. Sebagai perbandingan :

bom atom Hiroshima mempunyai energi sebesar 8x1020 erg.

Jika kedua syarat tersebut tidak tercapai, maka dapat dipastikan gempa tektonik tidak akan

terjadi. Seperti telah di sebutkan di atas, anggapan yang dapat diterima sampai saat ini

adalah, suatu gempa akan terjadi karena adanya pelepasan energi regangan yang telah lama

tertimbun di dalam batu-batuan, dan terjadinya penimbunan tegangan adalah karena

pergerakan di dalam bumi.

Pada saat terjadi pergerakan tanah akibat gempa, akan terjadi pelepasan energi pada

sumber gempa. Besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa diukur dengan skala

Richter. Hubungan antara Skala Richter dan besarnya energi yang dilepaskan pada saat

terjadi gempa, dapat ditulis dalam suatu persamaan :

Log E = 11,4 + 1,5 M

dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran

atau magnitude gempa pada Skala Richter.

Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter

berarti peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter

berati peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada

Skala Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari

gempa yang tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa

dengan magnitude M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang

menghancurkan kota Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT.

Diperkirakan suatu gempa dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan

cukup banyak energi yang dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.

Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan

di bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat

melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,

karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang

Fenomena Gempa II-24

melanda Chili dan Agadir (Maroko), keduanya terjadi pada 1960. Magnitude gempa yang

terjadi di Chili tercatat sebesar M=7,5 pada Skala Richter, tetapi tidak mengakibatkan

kerusakan yang berat karena sumber gempa terletak 100 km di bawah muka tanah.

Sedangkan magnitude gempa yang melanda Agadir tercatat hanya sebesar M=5,7 pada

Skala Richter, tetapi mengakibatkan kerusakan yang hebat karena sumber gempa terletak

hanya 6 km dari permukaan tanah. Jadi pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya

ditentukan oleh besarnya energi yang dilepaskan dari sumber gempa saja, akan tetapi juga

kedalaman atau jarak sumber gempa.

Hubungan antara Skala Richter dan percepatan tanah maksimum atau Peak Ground

Acceleration (PGA) akibat pengaruh gempa pada suatu wilayah, dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Donovan dan Matuschka. Jika M adalah besarnya gempa menurut

Skala Richter, H adalah jarak hypocenter (dalam km), maka besarnya percepatan tanah

maksimum a (dalam cm/detik2) adalah :

Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718)0,5.R (H+25)–1,32

Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718)0,81.R.(H+25)–1,15

Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang

diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi

tersebut. Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan

mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa

yang sampai di permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang

perlu dikaji untuk setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk

dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami

suatu lokasi.

Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,

perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan

infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis

besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas

bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi

bangunan akibat dari getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat

dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum

akibat gempa pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko

Fenomena Gempa II-25

gempa di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai percepatan tanah maksimum yang

pernah terjadi disuatu tempat, semakin besar resiko gempa yang mungkin terjadi.

Gempa bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Hal ini dikenal sebagai perioda

ulang gempa. Terjadinya gempa yang berulang di suatu tempat didukung oleh teori Elastic

Rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu, dan

kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Perioda ulang gempa bisa 10

tahun, 50 tahun, 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 2500 tahun, sehingga tingkat resiko

bangunan terhadap gempa bisa terkait dengan periode ulang terjadinya gempa.

2.10 Frekuensi Terjadinya Gempa

Hubungan antara besarnya gempa menurut Skala Richter dengan frekuensi terjadinya

gempa pada suatu wilayah, oleh Gutenberg dan Richter dapat dinyatakan dengan rumus :

Log N = A – b.M

dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter

yang terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan

b adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau.

Sebagai contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk

Jepang Barat Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga

A=5,94 dan b=1,14, untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk

Indonesia, besarnya konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.

Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan

besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber

gempa, pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini

jarang digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya

percepatan maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang

banyak dipakai di bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa

dan besarnya percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.

Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan

tanah yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah

dengan frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-

catatan gempa yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan

permukaan tanah sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi)

Fenomena Gempa II-26

atau lebih untuk setiap 50 tahun, dan mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan

permukaan tanah sebesar 0,08 gal atau lebih untuk setiap 10 tahun, maka dapat dikatakan

bahwa daerah tersebut mempunyai gempa 50 tahunan sebesar 0,10 gal dan gempa 10

tahunan sebesar 0,08 gal. Makin lama waktu atau periode ulang terjadinya gempa, maka

akan makin besar percepatan permukaan tanahnya.

2.11 Gelombang Gempa

Hancurnya massa batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran

gelombang-gelombang gempa (seismic wave) ke segala arah, kadang-kadang sampai ke

tempat yang jauh sekali tergantung dari banyaknya energi yang terlepas. Pada dasarnya ada

dua jenis gelombang yang dilepas pada saat terjadi gempa, yaitu Gelombang Badan (Body

Waves) dan Gelombang Permukaan (Surface Wave). Gelombang badan ada dua jenis, yaitu

Gelombang P (Primer) dan Gelombang S (Secunder). Gelombang permukaan ada dua

jenis, yaitu Gelombang R (Rayleigh) dan Gelombang L (Love).

Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan

mengembang searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4

sampai dengan 6,4 km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan

dari Gelombang S ini disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih

membahayakan di bandingkan Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar

2/3 kali kecepatan Gelombang P. Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua

gelombang ini, maka dari hasil rekaman gempa, dapat diperkirakan jarak sumber

gempanya berdasarkan selisih waktu tiba antara kedua gelombang tersebut pada alat

seismograf. Gelombang R dan Gelombang L hanya merambat di permukaan tanah saja.

Gelombang R arah gerakannya pada bidang vertikal, sedangkan Gelombang L bergerak

transversal pada bidang horisontal.

2.11.1 Gelombang P

Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat

merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.

Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.

Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan

mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras.

Jendela bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat

terjadi gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.

Fenomena Gempa II-27

Gambar 2-13. Perambatan Gelombang P

2.11.2 Gelombang S

Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan

gelombang kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari

pada Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari

gelombang ini naik-turun atau bergerak menyamping.

Gambar 2-14. Perambatan Gelombang S

2.11.3 Gelombang L

Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini

diberi nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika

dari Inggris yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911.

Gelombang ini adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.

Gambar 2-14. Perambatan Gelombang L

Fenomena Gempa II-28

2.11.4 Gelombang R

Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari

gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat

merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari

gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang

menggulung ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut

bergerak searah dengan gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa

berhubungan erat dengan Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh

Gelombang R dapat lebih besar dibandingkan gelombang-gelombang gempa lainnya.

Gambar 2-15. Perambatan Gelombang R

2.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa

Karena lapisan permukaan bumi tidak homogen dan terdiri dari bermacam-macam

bahan dan lapisan, maka gelombang-gelombang gempa tersebut dalam perjalanannya

mencapai permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan, yaitu diredam,

dipantulkan, dibiaskan baik pada lapisan-lapisan maupun pada permukaan bumi. Sebagai

akibatnya jalannya gelombang menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk diprediksi.

Lapisan permukaan bumi merupakan lapisan yang penting di bidang rekayasa

gempa, karena pada lapisan ini sering terjadi retakan atau patahan yang dapat

menyebabkan terjadinya gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa, kondisi geologi dan

kondisi tanah setempat sangat mempengaruhi gerakan permukaan tanah pada saat terjadi

gempa. Beberapa faktor yang mempengaruhi gerakan tanah akibat gempa adalah : panjang

dan tebalnya lapisan tanah di atas lapisan batuan, perubahan jenis lapisan tanah,

kemiringan lapisan tanah endapan, retakan di dalam lapisan batuan, dan lain-lain.

Pada saat gelombang gempa menyebar di tanah, maka akan terjadi pemantulan dan

penyebaran pada perbatasan antara lapisan-lapisan permukaan tanah yang mempunyai sifat

karakterisitik yang berbeda. Seperti diilustrasikan pada Gambar 2-16, hubungan antara

Fenomena Gempa II-29

sudut 1 pada bagian lapisan batuan dasar dan sudut gelombang n pada permukaan teratas,

dapat dinyatakan dalam persamaan :

Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan 1 = 900 , maka n = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa

arah penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.

Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat

dari lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat

mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam

hal ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi

dapat terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati

waktu getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.

Gambar 2-16. Perambatan gelombang gempa pada beberapa lapisan tanah

Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang

tidak tetap (nonstationary wave).

Gambar 2-17. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)

Fenomena Gempa II-30

Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada

gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin

membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik

pada Gambar 2-17.

2.11.6 Bentuk Gelombang Gempa

Bentuk, amplitudo, durasi, serta karakteristik lainnya dari gelombang gempa tidak

hanya dipengaruhi oleh ukuran besarnya gempa dan jarak hiposentrum saja, tetapi juga

dipengaruhi oleh mekanisme yang terjadi pada sumber gempa, dan struktur geologi tanah

yang dilalui gelombang gempa. Pada suatu tempat yang letaknya jauh dari pusat gempa,

gelombang gempa akan mempunyai intensitas dan bentuk yang berbeda dengan

gelombang yang terjadi di dekat pusat gempa. Derajat dari amplifikasi dan perubahan

bentuk dari gelombang gempa dipengaruhi juga oleh kekerasan dan ketebalan dari lapisan

tanah di bawah lokasi setempat. Bentuk dari gelombang gempa sangat komplek dan

berbeda satu dengan lainnya. Newmark dan Rosenblueth (1971) mengklasifikasikannya

dalam empat tipe gelombang yaitu :

1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana

lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme

1957 (Gambar 2-18), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.

2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada

kedalaman sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras,

seperti gempa El Centro 1940 (Gambar 2-19). Tipe ini sering terjadi pada sabuk

Sirkum Pasifik , dimana lapisan batuan dasarnya keras.

3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada

tipe ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi

refleksi berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.

4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground.

Gempa seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.

Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk

gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan

diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari

keempat tipe tersebut.

Fenomena Gempa II-31

Gambar 2-18. Komponen timur-barat dari gempa Port Hueneme, 1957.

Gambar 2-19. Komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940.

Fenomena Gempa II-32

2.12 Wilayah Gempa

Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya gempa

terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas pelat

tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat

tertentu saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama

Lingkaran Api (Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.

Gambar 2-20. Lingkaran Api (Ring of Fire)

Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan

tiga jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :

1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,

Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan

Maluku, Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.

2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan

Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera,

Jawa, Nusa Tenggara, dan Irian.

3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :

Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.

Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua

jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.

Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.

Fenomena Gempa II-33

2.13 Tsunami

Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami

yang berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut

yang melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia

maupun harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan

meninggalnya lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994)

telah menelan korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah

hancur, dan yang terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.

  Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,

terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar

lautan tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan

timbulnya penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-

angin. Kecepatan rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga

ribuan km/jam, dan berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin

dangkal.

Gambar 2-21. Gelombang Tsunami

Meskipun tinggi gelombang tsunami disumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada

saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.

Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami

disebabkan semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan

mengakibatkan tinggi gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan

hukum kekekalan energi.

Fenomena Gempa II-34

Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah

ini terpenuhi :

Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.

Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter

Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km

Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun

Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.

 

Fenomena Gempa II-35