2 3-1-sm
TRANSCRIPT
KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN
SUATU REFRESH DELIK KEALPAAN
Oleh :
Sulistyanta
Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
Bintara Sura Priambada
Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
ABSTRAK
Kecelakaan lalu lintas (darat) penting untuk dikaji kembali (refresh).
Jumlah korban kecelakaan lalu lintas cukup signifikan. Pasal kealpaan dalam
hukum pidana (materiil) dapat diterapkan pada kasus kecelakaan lalu lintas.
Detik culpa merupakan kelakuan alpa yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh situasi yang fleksibel. Penilaian normatif terhadap situasi yang
relative menurut criteria manusia normal. Delik culpa akibat adalah perbuatan
yang menimbulkan akibat yang dilarang dan dirumuskan secara materiil.
Terdapat kasus delik culpa akibat apabila dicermati telah bergeser kearah dolus
eventualis. Perlunya penerapan ajaran Erfolgthaftung yang mengobyektifkan
unsur perbuatan lebih cocok diterapakan dalam delik culpa akibat. Karena
memudahkan untuk membuktikan perbuatan pelaku.
Kata kunci : Kecelakaan lalu lintas, delik culpa akibat, ukuran
normatif (situasional dan fleksibel)
PENDAHULUAN
Berbagai media massa seperti tidak pernah sepi memberitakan terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan akibat kerugianbaik nyawa atau harta
benda. Berdasarkan hasil penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) tingkat
kematian pengguna kendaraan bermotor mencapai 30.000 orang per tahun
sedangkan jumlah kerugian harta benda mencapai Rp 40 triliun31. Jumlah tersebut
jauh melebihi kematian akibat penyakit seperti, “flu burung” yang memakan
korban 100 orang per tahun32. Demikianlah jalan raya telah menjadi arena
pembantaian yang paling produktif.
Penyebab kecelakaan umumnya kombinasi berbagai faktor seperti tidak
imbangnya jumlah kendaraan bermotor dengan ruas jalan, lemahnya penegak
hukum, faktor alam, human error, kelaikan kendaraan, kurang disiplin pengguna
jalan dan sebagainya. Berdasarkan data yang ada setiap tahun sebanyak 5,1 juta
sepeda motor dan 500.00 unit mobil terjual33, berarti populasi kendaraan
bermotor setiap tahun terus bertambah secara signifikan. Sentuhan kemajuan
bidang teknologi menjadikan kendaraan bermotor semakin canggih sehingga
dapat dipacu lebih kencang lagi. Dikombinasikan dengan berbagai faktor
penyebab di atas niscaya kendaraan bermotor akan menjadi mesin “pencabut
nyawa” yang paling efektif.
Gambaran di atas cukup memprihatinkan. Tentu setiap orang berkeinginan
menggunakan fasilitas jalan raya dengan aman, nya man dan terjamin
keselamatannya. Namun ketika penemudi dan pengguna jalan bersikap ugal-
ugalan, kurang berhati-hati dan semaunya sendiri (rebut banter) maka terjadinya
musibah kecelakaan hanya menunggu kelengahan saja. Hala ini memunculkan
banyak pertanyaan : sejauh mana pengguna jalan raya mentaati atau mematuhi
aturan yang ada ? apakah sanksi yang ada kurang mampu menjadi “pengancam”
dalam berlalu lintas di jalan ?, sejauhmana penegakkan peraturan telah
dilakukan?. Tulisan ini tidak bermaksud menjawab semua pertanyaan-pertanyaan 31 Kompas tanggal 21 April 2008 32 Ibid 33 Ibid
tersebut. Keterbatasan ruang majalah ini tidak memungkinkan. Tulisan ini
terfokus pada kajian pasal-pasal yang terkait dalam perspektif pemikiran yang
tidak sekedar normatif yuridis. Sebab penegakan hukum tidak sebatas penegakkan
norma dari sudut kepastian hukum namun segi keadilan perlu diperhatikan pula.
DILEMA FAKTOR PENYEBAB.
Dari berbagai penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di atas, faktor
manusialah yang terpenting. Pada hakekatnya faktor alam (dan kendaraan) dengan
bantuan teknologi dapat diprediksi sebelumnya kecuali terjadi overmacht seperti,
gempa bumi, angin kencang yang tiba-tiba menumbangkan pohon dan menimpa
mobil. Bahwa, kondisi jalan licin sewaktu hujan, jalan mendaki, tikungan,
kelayakan kendaraan dan sebagainya dapat diantisipasi sebelumnya, missal
dengan pemasangan rambu peringatan, meneliti kelayakan kendaraan sebelum
dipergunakan dan sebgainya. Terdapat alasan yang secara langsung atau tidak
langsung berpengaruh timbulnya kecelakaan seperti kasus angkutan umum
mengejar “target setoran” atau jam “mepet”. Alasan seperti ini seolah menjadi
alasan pembenar bila timbul kecelakaan lalu lintas.
Dalih mengejar “setoran” dan “jam mepet” telah memicu adrenalin sopir
memacu kendaraan secara ugal-ugalan dan semaunya sendiri kurang
memperhatikan pengguna jalan lain. Sikap sopir tersebut nampaknya mempunyai
korelasi dengan pemberian ijin trayek yang dikeluarkan oleh instansi dinas
LLAJR. Menumpuknya ijin trayek di jalur sama menyebabkan jalur tersebut
menjadi padat berakibat “pembagian jam” diantara angkutan umum semakin
“mepet”. Kondisi seperti inilah barangkali menjadi sebab sopir sperti
“menerbangkan” busnya untuk sampai diterminal yang dituju. Apabila terjadi
kecelakaan barang kali inilah wujud kecelakaan terstruktur.
Menjadi persoalan apakan kenyamanan penumpang dikorbankan untuk
sekedar mengejar “jam” tersebut ?. seolah penumpang “diwajibkan” untuk
memahami kondisi tersebut. Tentu alasan mengejar “setoran”, “jam mempet”
tidak dibenarkan sebgai alasan terlebih mengorbankan kenyamanan dan
keselamatan penumpang. Barangklai ini merupakan fenomena kapitalisme dalam
bidang transportasi.
Arti pentingnya tulisan ini adalah mengkaji kembali (refresh) peraturan
dan implementasi Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP sebgai culpa akibat yang
dipandang masih sangat relevan. Bentuk kesalahan ini msih perlu untuk diungkap
kembali mengingat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Terlebih lagi mobilitas pengguna jalan saat ini sedemikian luar biasa sehingga
sering terjadi kecelakaan lalu lintas di jlaan raya.
PENDEKATAN TEORITIS DELIK KEALPAAN.
Hukum berperan penting dalam mengatur ketertiban dan mewujudkan
keadalian. Hukum ( baca : undang-undang) dibuat untuk deberlakukan. Hukum
perlu ditegakkan apabila terdapat pelanggaran hukum dan tugas aparat penegak
hukun untuk menegakkan. Dalam menerapkan aturan hukum perlu dilakukan
penafsiran teks perundang-undangan secara deduksi. Menafsirkan pada
hakekatnya menterjemahkan logika aturan in abstrakto untuk kemudian
“dicocokkan” dengan kejadian in konkreto dengan tujuan tercapainya putusan
yang menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Tugas ini tidaklah
mudah sebab menerapkan aturan bukan sekedar memenuhi prosedur
mencocokkan aturan abstrak dengan kasus yang terjadi yang terpenting adalah
mewujudkan keadilan. Aturan hukum merupakan salah satu komponen
penegakkan hukum dapat berupa : substansi aturan yang berupa norma
(larangan/perintah) dan sanksi guna menjamin terciptanya ketertiban di
masyarakat dan prosedur pelaksanaan penerapan sanksi apabila peraturan yang
berisi larangan tersebut dilanggar.
Hukum pidana merupakan salah satu bagian substansi system hukum.
Didalam hukum pidana (materiil) terdapat bentuk kesalahan sebgai wujud
pertanggungjawaban tindak pidana berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa). Bentuk kesalahan ini tersebar pada pasal-pasal di dalam KUHP maupun
dalam peraturan pidana di luar KUHP.
Bentuk kesalahan kealpaan (culpa) dikatakan lebih ringan bentuk
kesalahan kesengajaan. Terjadinya delik kealpaan apabila pelaku tidak
mengadakan penduga-dugaan yang perlu menurut hukum dan tidak mengadakan
penghati-hatian menurut hukum. Sikap tidak mengadakan penduga-dugaan
menurut hukum merupakan wujud hubungan sikap batin pelaku yang kurang
mengindahkan larangan menurut hukum. Oleh karena itu pelaku lalai atau teledor
sebab apabila pelaku mengindahkan larangan kealpaan dibedakan menjadi dua
yakni (1) kealpaan yang disadari (bewusta culpa) yang diartikan bahwa pelaku
memang menyadari akan timbulnya suatu akibat namun pelaku berfikir bahwa
akibat buruk tidak akan terjadi oleh karena pelaku dianggap salah berfikir atau
dianggap sembrono, dan (2) kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa)
bahwa pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat buruk mungkin
akan timbul mestinya dia berfikir akan akibat yang mungkin timbul34.
Disamping itu unsur kelalaian yang menjadi sebab kurang berhati-hati
(negligence) terarah pada 2 (dua) sasaran yakni : (1) perilaku yang tidak berhati-
hati (of conduct), dan (2) akibat perilaku (effects of conduct)35. Perbedaan antara
delik culpa akibat dan culpaperilaku tidak berhati-hati bertolak dari adanya akibat
yang timbul. Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP termasuk kelalaian akibat (effects of
conduct) yakni pelakunya dapat dicela karena menimbulkan suatu akibat dilarang.
Delik culpa akibat yang dirumuskan secara materiil disebut pula delik culpa
sesungguhnya. Terdapat pula rumusan delik kealpaan yang merupakan “feri-feri”
artinya setengah culpa dan setengah dolus (pro parte dolus, pro parte culpa)
seperti, Pasal 480 KUHP terdapat unsur kesengajaan yang dirumuskan : harus
diketahui (dolus) ditujukan pada obyek pembelian, penyewaan dsb dan unsur
kelalaian yang dirumuskan : sepatutnya dapat diduga (culpa) ditujukan pada objek
barang yang berasal dari hasil kehjahatan.
Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP merupakan pasal delik culpa akibat. Pasal
359 KUHP berbunyi “Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana lima tahun atau kurungan paling lama satu 34 P.H. Sotorius, Keslahan Sebagai Bagian Delik, Makalah Bahan Penataran Hukum Pidana: Kerjasama Indonesia-Belanda, 1995, hlm 4 35 Ibid
tahun”. Sedangkan Pasal 360 KUHP “Barangsiapa karena kelalaiannya
menyebabkan orang lain luka-luka berat, diancam dengan pidana lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun” 36. Unsur penting dalam pasal-pasal
adalah karena kelalaiannya menimbulkan akibat luka berat atau matinya orang.
Pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan bagaimana cara pelaku menyebabkan
kematian atau luka berat orang lain namun hanya menyebutkan bentuk
kesalahannya saja (yakni : kealpaan) tanpa memberikan penjelasan. Terdapat
pandapat yang mengatakan kelakuan alpa diartikan sebagai kelakuan yang tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi. Kelakuan dapat berupa
perbuatan sembrono, lalai atau tidak acuh, dan atau tidak berbuat yang seharusnya
orang berbuat seperti lengah, kurang berfikir, kurang perhatian.
Adanya delik culpa kaibat kausal antara perbuatan dan akibat merupakan
syarat mutlak. Sejauhmna adanya hubungan sebab akibat tesebut perlu adanya
criteria penilaian. Telah terjadi pergeseran criteria penilaian hubungan sebab
akibat dari ukuran psikologis bergeser ke penilaian normatif37. Kriteria normatif
terutama dipergunakan untuk menilai terhadap keharusan melakukan penghati-
hatian sebgaimana mdiharuskan oelh hukum. Kurangnya kehati-hatian pelaku
pada delik culpa akibat terhadap kemungkinan timbulny akibat buruk
“seharusnya” telah diperkirakan sebelumnya menurut pikiran “orng normal atau
keadaan normal” atau “orang pada umumnya”. Artinya pelaku dapat sebgaimana
orang pada umumnya syarat-syarat itu ditentukan secra fleksibel (sesuai situasi).
Memperkirakan lebih dahulu suatu kejadian mungkin akan timbul sehingga
pelaku dapat berbuat lain (menghindar, misalnya). Krtiteria “orang normal atau
keadaan normal” seperti, orang yang tidak di bawah pengaruh obat atau penyakit
tertentu yang dapat menimbulkan akibat membahayakan orang lain apabila
mengendarai kendaraan bermotor, sedangkan “orang pada umumnya” tidak perlu
sedemikian rupa sebgai perilaku sangat berhati-hati sekali, sudah cukup sikap
berhati-hati itu.
Kurnagnya cermatan dalam berfikir inilah menjadi sebab perbuatan pelaku
dapat dicela. Ketercelaan pelaku terletak pada “tidak berbuat selayaknya orang
nirmal atau pada umumnya” sebagaimana yang biasa dilakukan dalam hidup
bermasyarakat. Penilaian mormatif merupakan penilaian perbuatan in concreto
dengan ukuran sikap penghati-hatian yang diukur dari : apakah pelaku ada
kewajiban untuk “berbuat lain” baik berdasarkan undang-undang maupun di luar
undang-undang (seperti kebiasaan, kepatutan) dengan memperhatikan segala
keadaan apakah yang seharusnya dilakukan oleh pelaku. Untuk ini Muljatno38
menambahkan bahwa apakah tingkah laku terdakwa dalam keadaan-keadaan
tertentu ataupun dengan cara yang telah dilakukan menurut ukuran-ukuran yang
berlaku dalam pergaulan masyarakat sudah dipandang betul? Atau sudah
mencocoki standard yang oleh Langemeyer disebut “penghati-hatian yang lahir”
dan ini tidak diadakan unutk orang pada umumnya tetapi untuk orang dalam
keadaan-keadaan khusus pelaku/terdakwa artinya diperhitungkan pula
pekerjaannya, keahliannya dan sebgainya. Oleh karena itulah penilaian normatif
dalam delik kealpaan harus dilihat kasus demi kasus.
Selanjutnya Muljiatno39 mengaskan bahwa penilaian normatif ini penting
guna menentukan adanya kealpaan. Sesungguhnya kalau syarat ini (penghati-
hatian : pen) sudah ada, maka umumnya syarat yang pertama (penduga-dugaan
atau sikap batin: pen) juga sudah ada. Barang siapa dalam melakukan suatu
perbuatan tidak mengadakan penghati-hatian yang seperlunya, maka dia juga
tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang tertentu itu karena kelakuannya.
Berkatian dengan hubungan kausal sebab-akibat dalam delik culpa akibat
seperti, Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHPini, Muljatno40 berpendapat bahwa
perlunya untuk menilai kemabli terhadap adanya hubungan sikap batin dengan
akibat (kematian atau luka-luka) yang timbul sebgaimana dipersyaratkan oleh
undang-undang tersebut. Yang dimaksud Muljatno tersebut adalah ajaran
Erfolgthaftung41 yaitu tentang pertanggungan jawaban atas sesuatu akibat yang
terjadi tanpa diperlukan adanya hubungan batin dengan pelaku, seperti pasal 187
KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 333 KUHP. Pada pasal-pasal tersebut: hilangnya
nyawa korban sama sekali tidak termasuk dalam kesengajaan orang yang
melakukan perbuatan. Pasal 187 KUHP: kesengajaan ditujukan pada timbulnya
kebakaran, ledakan atau banjir, Pasal 352 KUHP: kesengajaan ditujukan pada
pendarahan atau luka-luka dan penderitaan sakit, Pasal 333 KUHP: kesengajaan
ditujukan pada perampasan kemerdekaan seseorang. Rumusan delik-delik tersebut
dinamakan delik yang dikualifisir akibatnya dimana unsur akibat diobyektifkan
artinya tidak diperlukan adanya hubungan subyektif (batin) dengan orang yang
melakukan perbuatan sudah cukup kalu akibat tersebut secara obyektif telah
ditimbulkan. Hal ini berbeda dengan dalam rumusan delik kesengajaan (dolus)
murni yang mana perbuatan pelaku telah diarahkan pada timbulnya akibat tersebut
(seperti, Pasal 338 KUHP) sehingga adanya hubungan antara sikap batin dan
akibat perbuatan sangat penting.
Persoalan selanjutnya adalah apakah Pasal 359 KUHP dan Pasal 360
KUHP perlu diterapkan dalam ajaran erfolgthaftung ? artinya apakah pasal
tersebut masih memerlukan adanya suatu hubungan batin pelaku dan akibat yang
timbul?. Mengenai hal ini terdapat 2 (dua) pendapat yakni42: (1) Pendapat
umumnya penulis bahwa dalam Pasl 359 KUHP disamping adanya hubungan
kausal diperlukan adanya hubungan batin orang yang melakukan perbuatan
dengan akibat matinya orang tadi, jadi pelaku perbuatan harus “voorzienbaar”
atau dapat menduga-duga sebelumnya, (2) Pendapat Mulyatno: dalam perbuatan
dimaksud pasal 359 KUHP tidak perlu adanya hubungan batin sehingga ada
erfolghtshaftung, artinya sama dengan delik-delik yang dikualifisir akibatnya,
dengan alasan: Pertama, mengenai matinya orang karena kealpaan maka dapat
dipidananya perbuatan ditentukan oleh akibat dari perbuatan (meskipun adanya
faktor-faktor lain untuk strafbaarheid timbulnya kaibat, namun faktor itu
sedemikian kurang kuatnya sehingga dapat diabaikan). Meskipun hubungan batin
harus ada namun itu tidak begitu penting, yang penting secara obyektif akibat
maut tadi timbul. Akibat maut yang merupakan formulasi dari “voorzienbaar”
(yang dapat didugga oleh pelaku) sebagai suatu waarschijnlinjkheid (yang timbul
sekali timbul). Dengan demikian terdapat konstruksi dimana hubungan batin tidak
perlu lagi ditautkan dengan pelaku perbuatan tetapi lebih diobyektifkan yakni
menurut anggapan orang pada umumnya.
Kedua, pengertian kesengajaan dan kealpaan seperti banyak diajarkan dan
dituliskan oleh penulis Belanda lebih didasarkan pada penglihatan yang terlalu
berpusat pada perseorangan (individu) pandangan ini sesuai dengan pandangan
hidup mereka yang individualistis. Menurut pandangan barat ini terdapat
pengujian secara psikologis: yakni mengetes bagaimana keadaan batin
pelaku/terdakwa pada saat melakukan perbuatan, kalau sikap batin menghendaki
dan menyadari perbuatan maka ada unsur kesengajaan perbuatan dan ini
kesalahan besar (dolus). Tetapi kalau sikap batin yang demikian tidak ada maka
hanya kurang hati-hati dan kurang pendugaan saja, disini hanya ada bentuk
kesalahan kecil yaitu kealpaan (culpa). Menurut Muljatno konsep seperti ini tidak
sejalan dengan budaya bangsa Indonesia. Sebab disetiap hati sanubari seorang
warga seharusnya selalu menyala hasrat untuk sedapat mungkin menjauhi atau
menghambat tercapainya kepentingan masyarakat yang lebih luas dan umum.
Ini merupakan ukuran normatif yang harus dipakai untuk menilai kealhan
terdakwa dalam melakukan delik kealpaan. Mestinya apabila penilaian normatif
ini yang dipergunakan maka criteria bentuk kesalahan besar dan kecil tidak perlu
dipakai. Oleh karena itulah meskipun bentuk kesalahan hanya kealpaan namun
apabila ditinjau dari sudut masyarakat adalah merugikan dan lebih jahat dari
kesengajaan maka perbuatan tersebut dapat dipandang lebih berat. Sebgai
contoh karena kelalaiannya terjadi kebakaran gudang umum yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat luas adalah lebih berat dibanding karena kealpaan
sehingga terbakar gudang beras milik seorang pedagang beras.
Sebagaimana diuraikan di atas kriteria “orang normal” adalah seseorang
yang tidak mengidap penyakit atau telah nimun obat tertentu dan minum alcohol
apabila mengendarai kendaraan bermotor membahayakan keselamatan orng lain.
Keadaan seperti disebut Culpa in causa 43 artinya pertanggnugn jawab pidana
tidak dihapuskan oleh sifat darurat keadaan dalam mana suatu perbuatan pidana
dilakukan, apabila pembuat sendiri dapa dicelakan karena menimbulkan keadaan
tersebut. Semestinya pelaku dalam keadaan mabuk atau berpenyakit tertentu tidak
boleh menempatkan diri dalam situasi yang membebankan syarat-syarat khusus
bagi keawaspadaan dan daya reaksinya sewaktu menyetir mobil apabila terjadi
kecelakaan perbuatan pelaku tersbut dapat dicelakan dan harus memikul
tanggung jawab.
Untuk member gambaran yang lebih jelas tentang bagaiman praktetk
peradilan dalam menafsirkan pasal delik culpa akibat pada kasus yang terjadi di
bawah ini penulis ketengahkan beberapa yurisprudensi (terutama pasal 359
KUHP).
Putusan MA No 54 K/Kr/1975 tanggal 19-5-197644. Kebertan yang
diajukan pemohon kasasi bahwa ketidak hati-hatian saksi I sangat relevan atas
terjadinya kecelakaan ini, namun tidak dapat diterima karena kesalahan pihak lain
tidak berarti menghilangkan kesalahan terdakwa.
HR 3 januari 1934 NJ 1934, 335, W 12753: 45 Satu kenyataan bahwa
sebuah mobil menabrak pejalan kaki yang berjalan secara wajar dari arah belakan
adalah sulit untuk mengatakan lain selain bahwa pengemudi mobil tersebut telah
bertindak kurang hati-hati atau kurang perhatian, yang sesuai dengan keadaan-
keadaan khusus merupakan tindakan yang memperberat kesalahannya.
HR 6 April 1936 No.815 1936: Adalah tidak menjadi soal apakah itu
keadaan gelap karena turun hujan sehingga pemandangan terganggu. Keadaan-
keadaan tersebut harus diperhitungkan oleh pengemudi dan disesuaikan dengan
caranya mengemudi mobilnya.
HR 12 Maret NJ 1923 818. W 11063: Satu-satunya kenyataan bahwa
undang-undang lalu lintas jalan telah dilanggar adalah tidak dalam segala hal
dapat dipakai sebgai alsan untuk menyatakan fihak lain bersalah. Dengan
mempergunakan sisi jalan yang salah pada waktu menikung, menimbulkan suatu
keadaan yang tidak pasti bagi setiap orang yang berda di jalan secara tidak
terduga-duga, dimana mereka pada umumnya tidak dapat memperhitungkan
segala sesuatu pada waktunya. Perbuatan dari pengemudi itu adalah kurang hati-
hati dan membahayakan.
HR 4 Desember 1939 No 272 1940: Kesalahan pengemudi itu dapat juga
terletak pada kenyataan bahwa rem kendaraanya telah disetel terlalu kuat,
sehingga roda-rodanya akan macet apabila rem diinjak terlalu kuat. Keadaan rem
semacam ini sudah tidak asing lagi bagi para pengemudi, sehingga mereka tidak
perlu memahami lagi akan akibat yang mungkin dapat timbul bila terjadi hal-hal
yang tidak diharapkan.
HR 15 Februari 1932 NJ 1932 1172 W 12449: Barangsiapa mengendarai
kendaraan dalam keadaan dimana ia karena meminum minuman keras menjadi
tidak dapat memeperhitungkan secara sempurna akan akibat-akibat dari
perbuatannya, telah bertindak kurang hati-hati. Ia dapat dipertanggung jawabkan
terhadap segala akibat yang timbul karena tindakannya.
Dalam konsep RUU KUHP sampai tahun 2000, kesalahan dalam bentuk
kelalaian atau culpa masih tetap ada. Dalam konsep RUU KUHP materi Pasal 359
dan Psal 360 KUHP seperti sekarang ini dipadatkan dalam satu pasal yakni Pasal
489. Meskipun hanya satu pasal namun materi/substansi yang diatur lebih luas.
Hal baru menyangkut culpa dalam konsep RUU KUHP yankni telah
dicantumkannya culpa in causa. Pasal 52 berbunyi: “seseorang melakukan tindak
pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawab pidana berdasarkan alasan
penghapusan pidana, jika orang tersebut patut dipersalahkan sebgai penyebab
terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut”.
Dalam penjelasan Pasal 52 tersebut dikatakan: “ketentuan memuat asas
“culpa in causa” yang merupakan salah satu asas, disamping asas
“proporsionalitas” dan asas “subsidaristas” dalam mempertimbangkan seberpa
jauh suatu alasan penghapus pidana layak diterapkan untuk tidak
dipertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Menurut
asas “culpa in causa” seseorang tidak patut berlindung pada alasan penghapus
pidana. Terhadap perbuatan atau keadaan yang sebagaimana seseorang patut
dicela perlu dilihat dari kasus perkasus berdasarkan nilai moral dan sosial yang
berlaku. Penerapan asas “culpa in causa” ini pun harus memperhatikan asas
proposionalitas dan asas subdaritas”.
ANALISIS KASUS : SUATU PEMAHAMAN DELIK KEALPAAN
Beberapa kasus di bawah ini merupakan gambran atau ilustrasi sedikit
persoalan yang berkaitan delik kealpaan yang mana penulis pandang perlu di
kemukakan sebgai bahan ulasan.
a. A mengendarai motor dari jalan raya, sedang-sedang sja tiba-tiba seorang anak
lari dari dalam rumahnya dan melintas di jalan raya persis di depan mobil si A
dan anak terlindas mobil karena si A tidak sempat lagi menginjak pedal rem
b. A mengendarai sepeda motor pada jalan selebar 4 meter, didepannya
seseorang pejalan kaki di tepi jalan searah jalan motor A, tiba-tiba si pejalan
kaki memotong jalan dengan berbelok kekanan jlan tanpa melihat kebelakang,
karena jarak sudah dekat si A menabrak pejalan kaki
c. Pengemudi mobil pengantar surat perintah atasannya (Pasal 51 KUHP) untuk
secepatnya mengantar surat yang sangat penting sehingga sopir memacu
kendaraan secepatnya berakibat terjadi kecelakaan menabrak orang sampai
mati.
d. Pengemudi bus karena mengejar setoran dan jam yang mepet untuk itu
secepatnya agar sampai diterminal tepat waktu sehingga sopir memacu busnya
secepat mungkin dan terjadi tabrakan yang mengakibatkan matinya orang.
Paparan beberapa kasus delik kealpaan di atas memperlihatkan adanya
kasus latar belakang kejadian yang relative berbeda antara kasus satu dengan
kasus lainnya. Disini oenulis tidak bermaksud untuk mengupas tuntas satu persatu
kasus tersebut namun mencoba memberikan pandangan secara umum berdasarkan
format teori yang ada berikut perkembangannya.
Pada contoh kasus (a), (b) dan (c) Nampak berbeda dibandingkan dengan
berakhirnya kasus terakhir (d). kasus pertama (a), (b) dan (c) member gambaran
pelaku dalam keadaan gugup, panic (ada keterkejutan atau kekagetan secara psikis
dan kemudian berpengaruh pada pisik sulit mengerem) sebab terdapat anak kecil
yang tiba-tiba lari menyeberang jalan atau pada kasus lain tiba-tiba penjalan kaki
membelok/menyeberang ke kanan tanpa menengok ke belakang tepat di depan
mobil pelaku sehingga pelaku tidak mungkin melakukan upaya sesuai dengan
keahliannya sebagai seorang sopir karena jarak yang sudah sedemikian dekat.
Demikian halnya kasus (c) karena adanya perintah atasan untuk secepatnya
mengirim surat yang sangat penting sehingga terdapat suatu keadaan darurat atau
overmacht. Pernyataan yang muncul adalah apakah perbuatan pelaku-pelaku
dalam kasus tersebut dapat disalahkan karena kelalaian yang timbul akibat
pengaruh dari luar pelaku?. Sehingga mungkinkah alsan pembenar dalam delik
kealpaan?. Padahal inti delik kealpaan mengancam sanksi pidana terhadap pelaku
karena kelalaian/kealpaannya.
Menurut Vos dalam delik culpa, sifat melawan hukumnya perbuatan telah
termaktub dalam culpa itu sendiri sehingga dalam delik culpa tidak pernah
diperlukan adanya alasan pembenar. Dengan demikian “atas perintah” jabatan
(Pasal 51 KUHP: “Tindakan dapat dihukum, barang siapa melakukan suatu
perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh
kekuasaan yang berwenang”) pada kasus di atas seandainya dapat diterima oleh
hakim pengadilan bukan sebgai alasan pembenar. Muljatno sependapat dengan
Vos, karena ada perintah jabatan sehingga pelaku mengendarai motor dengan
sangat cepat, maka dengan adanya Pasal 51 KUHP menjadi tidak bersifat
melawan hukum. Konsekuensinya disitu tidak ada kurang penghati0hatian
akibatnya tidak ada kealpaan. Padahal mengendarai motor dengan sangat cepat
yang dilakukan tidak berhati-hati dan berakibat menimbulkan matinya orang telah
ada. Tentunya sifat melawan hukum telah ada pula. Lantas pelaku tidak dipidana
karena tidak ada kesalahan (karena tidak ada kealpaan) ?
Menurut pandapat penulis: adanya alasan pembenar yang meniadakan sifat
hukumnya perbuatan seperti tersebut di atas perlu direnungkan lebih lanjut,
apakah alasan pembenar itu sudah tepat?. Klarena alasan pembenar tidak akan
menghaburkan hakekat delik kealpaan itu sendiri. Disamping itu apabila alasan
pembenar dalam kasus tersebut akan dipergunakan sebgai alasan pembenar maka
suatu keadaan yang menjadi ciri dari keadaan darurat (pada ajaran alasan-alasan
penghaous pidana utnuk alasan pembenar, misalnya terdapat serangan mendadak)
merupakan syarat yang harus ada. Apakah keadaan darurat dalam berlalu lintas
seperti disyaratkan oleh undang-undang ada? (yang ada adalah ketegangan secara
psikis pengemudi karena kaget/terkejut ada anak nyelonong). Lebih tepat
pengemudi mobil pada kasus tersebut terjadi daya paksa (overmacht) sehingga
diberlakukan alasan pemaaf bukan alasan pembenar. Putusan pembebasan
terdakwa sejalan dengan adanya alasan pemaaf bukan karena alasan keadaan
darurat sebab alasan keadaan darurat (Pasal 51 KUHP) sebgai alasan pembenar
akan menghilangkan sifat melawan hukum. Oleh karena itu penulis sependapat
dengan Muljiatno bahwa unsur sifat melawan hukum perbuatan dan kesalahan
(kelalaian) pelaku tetap ada, namun kesalahannya dimaafkan atas dasar Pasal 51
KUHP dan putusannya adalah dibebaskan, bukan dilepas dari tuntutan hukum.
Demikian halnya pengendara mobil yang terkejut karena pejalan kaki tiba-
tiba berbelok kekanan tanpa menengok kebelakang atau tiba-tiba seseorang anak
menyeberang jalan padahal mobil sudah sangat dekat sehingga pengemudi tidak
dapat lagi secara efektif mengerem laju mobilnya. Apakah alasan ini dapat
dipergunakan sebagai alasan pemaaf? Jawabannya dapat “ya” dapat “tidak”
(relative dan situasional). Sebab praktek peradilan terdapat yurisprudensi bahwa
kealpaan korban tidak serta merta menghapus kesalahan pelaku justru sebaliknya
seperti, Putusan MA No 54 K/Kr/1975 tanggal 19-5-1976, bahwa ketidak hati-
hatian saksi I sangat relevan atas terjadinya kecelakaan ini, namun tidak dapat
diterima karena kesalahan pihak lain tidak berarti menghilangkan kesalahan
terdakwa.36 HR 6 April 1936 No.815 1936: Adalah tidak menjadi soal apakah itu
keadaan gelap karena turun hujan sehingga pemandangan terganggu. Keadaan-
keadaan tersebut harus diperhitungkan oleh pengemudi dan disesuaikan dengan
caranya mengemudi mobilnya.
Berdasarkan praktek peradilan atau dalam yurisprudensi terdapat
kecenderungan pengemudi tetap dinyatakan bersakah karena kecenderungan
pengemudi tetap dinyatakan bersalah karena kealpaannya. Namun perlu diingat
bahwa banyak kejadian berlalu lintas dimana terdapt “overmacht” atau suatu
keadaan benar-benar diluar dugaan pelaku yang diajukan sebagai alasan pemaaf
seperti, seorang pengemudi mobilyang tiba-tiba harus mengerem secara mendadak
karena jarak yang sedemikian sangat dekat sehingga tergelincir atau selip dan
menabrak korban. Kondisi seperti ini dapat disejajarkan pada hubungan antara
pelaku dan korban sebagai type precipitative victims37 yakni pelaku melakukan
36 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, Random House, Neew York, 1968, hlm 120
37 Putusan Politie-rechter Medan tahun 1938, yang mana pengendara otto pada malam hari menabrak dari belakang satu cikar sapi yang sedang berjalan dalam jurusan yang sama, sedang cikar itu tidak memakai lampu sebagaimana diharuskan, pengendara cikar menderita luka berat. Pertimbangan Politie-rechter, ... bahwa pada umumnya adanya kesalahan pihak lain tidak begitu saja menghapuskan kesalahan terdakwa .... (Muljatno, Op cot, hl, 216)
perbuatan (kejahatan) karena terdorong tingkah ang aku korban yang tidak hati-
hati dan ceroboh. Oleh karena itu untuk kasus-kasus tertentu perlu
dipertimbangkan kecerobohan korban yang ikut “andil” terjadinya kecelakaan.
Keadaan seperti ini menunit hemat penulis layak diajukan sebagai alasan/eksepsi
tidak tertulis “avas” (afwezigheid van alle schuld = tanpa kesalahan sama sekali =
tanpa sila) sehingga perbuatan pelaku tidak dapat dicelakan. Kekurang cermatan
pelaku todal dapat dicelakan kalau pelaku tidak dapat berbuat selain dari pada
yang dia lakukan. Oleh karena itu beberapa yurisprudensi seperti, HR 15 Februari
1932 NJ 1932 1172 W 12449 dan Putusan Politie-rechter Medan tahun 1938 yang
pada intinya apakah culpa hapus karena kealpaan (kesalahan) orang lain, kiranya
perlu direnungkan kembali dan seyogyanya dicermati secara kontektual.
Persoalan sejauhmana “alasan pembenar” atau “kondisi tertentu yang tiba-
tiba dan tak terhindarkan” (overmacht) dalam delik culpa dapat diterima sebagai
alasan pembebasan pelaku menurut hemat penulis adalah: relatif dan kasusitis
(dilihat kasus demi kasus). Disamping itu alasan pembebasan dapat diterima
dengan catatan melalui penilaian secara teliti dan seksama apakah pelaku
memenuhi kriteria unsur kehati-hatian menurut pelaku orang pada umumnya dan
syarat-syarat perintah dan larangan dalam undang-undang. Delik culpa adalah
kelakuan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi. Syarat-
syarat situasi mana ditentukan bersifat fleksibel atua relatif, seperti, situasi
diwaktu kemarau seseorang tidak perlu sangat berhati-hati seperti saat musim
hujan, seorang ahli tertentu dituntut kecermatan lebih dibanding seorang biasa,
orang yang tua dan berpengalaman dituntut lebih waspada daripada anak-anak dan
seterusnya. Dari itulah penulis setuju bahwa dalam Pasal 52 konsep RUU KUHP
yang akan datang disertakan pula asas proporsional dan asas subsidaritas.
Pencatuman kedua asas ini sangat penting sebab pengemudi harus pula “diukur”
perbuatannya. Bahwa perbuatan yang dilakukan sebagai dasar ekspesi/alasn
(seperti, kekagetan psikis karena korban tiba-tiba nyelonong) dinilai secara
proporsional dan memang tidak ada jalan lain (asas subsidaritas) selain menabrak
korban? Oleh karena itulah penulis sependapat dengan Muljatno bahwa unsur
kealpaan sebagai sifat melawan hukum harus tetap ada karena hakekat delik
kealpaan adalah kelalaian itu sendiri. Baru kemudian diukur sejauhmana
pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati sesuai persyaratan peraturan
tertulis serta kewajaran secara situasional dalam mengemudikan kendarannya.
Terhadap kasus terakhir (d) pertanyaan yang muncul dibenak penulis
adalah: apakah kasus ini merupakan suatu delik culpa yang disadari (bewuste
culpa)? Ataukah sudah masuk bentuk kesalahan “kesengajaan”? Penulis agak
ragu-ragu terhadap persoalan ini. Mengapa? Sebab jenis delik kealpaan yang
disadari (bewuste culpa) mensyaratkan bahwa” pelaku tidak akan berbuat,
seandainya ia mengetahui akan akibat yang pasti akan timbul. Pelaku sadar akan
resiko tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi. Dalam kasus penulis
berpendapat bahwa telah terkandung unsur “kesengajaan”, karena pelaku telah
mengetahui dan memperhitungkan akan akibat perbuatannya ternyata dari adanya
kesiapan menanggung resiko apabila timbul akibat yang buruk. Kalau demikian
halnya maka yang terjadi bukan delik kealpaan yang disadari (bewuste culpa)
namun sudah bergeser pada delik kesengajaan kemungkinan (dolus eventualis).
Oleh karena itulah penulis mempergunakan kata kesengajaan dalam tanpa petik.
Dolus eventualis (sebagai jenis kesengajaan kemungkinan) termasuk
dalam delik kesengajaan (dolus). Dolus eventualis atau kesengajaan bersyarat
diartikan bahwa orang melakukan perbuatan tertentu dengan menghendaki dan
mengetahui menempatkan diri dalam keadan yang mungkin sekali mendatangkan
akibat tertentu. Sebagai delik kesengajaan terkandung unsur mengetahui dan
menghendaki terhadap akibat yang akan terjadi. Dan yang paling kecil gradasinya
terhadap kehendak dan pengetahuan terhadap akibat perbuatan pelaku adalah “apa
boleh buat”. Dalam dolus eventualis terdapat teori “inkauf Nehmen”38 (teori apa
boleh buat) menurut teori ii bahwa sesungguhnya akibat atau keadaan yang
diketahui kemungkinan akan ada, dan ia (pelaku) tidak setuju. Meski demikian
untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan di
samping maksudnya itupun diterima. Teori ini disebut teori “apa boleh buat”
sebab kalau resiko diketahui kemungkinan akan sungguh-sungguh timbul
(disamping hal yang dimaksud) apa boleh buat, bila dia juga berani memikul 38 Ibid, hlm. 175
resikonya. Jadi menurut teori ini adanya kesengajaan diperlukan dua syarat yakni:
(1) terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupapkan
delik dan (2) sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah
apa boleh buat, dapat disetujui dan sungguh berani memikul resiko. Berdasarkan
pemahaman penegrtian teori inkauf nehmen dalam dolus eventualis dan delik
culpa yang disadari (bewuste culpa) kemudian dicoba diterapkan pada kasus (d)
maka kasus tersebut menurut pendapat penulis telah masuk wilayah antara
kesengajaan dan kealpaan (pro parte dolus proparte culpa). Dengan alasan meski
bukan kesengajaan karena tidak terdapat maksud/niat sopir tersebut “sengaja”
(menghendaki) membahayakan penumpang atau pengguna jalan lainnya namun
untuk dikatakan sebagai kealpaan telah melampaui “situasi” sebagaimana
disyaratkan oleh keadaan/kepatutan dan peraturan tertulis. Yakni adanya
perhitungan dan “kesanggupan” memikul timbulnya resiko perbuatan itu
dilakukan (sebagai apa boleh buat) dengan tujuan/alasan tertentu seperti, mengejar
setoran, jam mepet sehingga kendaraan perlu dipacu (dikebut). Seandainya pelaku
(sopir) beralasan bahwa kebiasaan seperti ini dianggap merupakan suatu
kelaziman atau hal biasa dan sering dilakukan di lingkungan profesi mereka.
Alasan seperti itu menurut yurisprudensi tidak dapat diterima.39 Terhadap
persoalan tersebut di atas untuk lebih mudah memahaminya penulis kemukakan
ilustrasi dua kasus yang berbeda:
a. Pengemudi mobil A menjalankan mobilnya ke arah petugas polisi yang
memberi tanda berhenti. Pengemudi terus menjalankan mobilya, dengan
harapan petugas akan meloncat ke samping, tetapi pengemudi A sadar resiko
bahwa petugas polisi tertabrak kalau berbuat demikian.
39 Terdapat seorang petani telah mengedarkan/menjual ke pelanggan susu kotor dalam
botol yang kotor pula. Botol susu tidak bersih karena dicuci dengan mempergunakan air selokan sehingga susu dan botolnya kotor. Oleh Pengadilan Rendah, pelaku dibebaskan, berdasarkan alasan kealpaan tidak ada tempat (bahwa setiap orang di wilayah itu melakukan hal sama yakni mencuci dengan air selokan) namun Pengadilan Banding (Reichgericht) memutuskan pelaku bersalah bahwa alasan tersebut di tas tidak dapat diterima. (D Schaffmeister, N Keijzer dan PH Sutorius, Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 134)
b. Pengemudi B tergesa-gesa. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan 9
km/jam melalui jalan yang ramai di dalam kota dan menyadari mungkin
terjadi “apa-apa”. Dia menabrak anak yang sedang menyeberang jalan.
Jawaban terhadap kasus tersebut40 menggunakan rumus Frank:
Apakah pelaku juga akan melakukan perbuatannya kalau dia mengetahui
bahwa akibat pasti akan terjadi? Dari jawaban ini akan diketahui apakah pelaku
masuk wilayah dolus atau culpa atau ditengah-tengah.
Sebagai penutup meskipun untuk menemukan unsur kesengajaan dalam
kasus (d) di atas masih rumit namun dilihat perilaku pelaku sudah melampaui
batas kenormalan sehingga dapat membahayakan kepentingan orang lain maka
perlu diterapkan sanksi yang lebih berat (pidana penjara maksimal) dan dapat
dikomulatifkan dengan sanksi lainnya berupa pencabutan SIM (larangan untuk
mengemudikan kendaraan bermotor dalam kurun waktu tertentu) dan sanksi
terhadap perusahaannya.
Kesimpulan
Memahami ilustrasi kasus kecelakaan lalu lintas darat yang terjadi,
memberi pemahaman bahwa pelanggaran terhadap delik kealpaan dapat berbeda
satu dengan lainnya. Secara kasusistik penilaian disesuaikan dengan
kepatutan/kebiasaan orang normal dan peraturan tertulis. Penilaian secara
normatif terhadap sikap penghati-hatian dilakukan secara situasional dan fleksibel.
Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan membebaskan pelaku dan atau
menghukum pelaku lebih berat karena perilakunya lebih dekat pada unsur
“kesengajaan”.
Saran
Terhadap pihak-pihak terkait pengambil kebijakan dapat melakukan
upaya-upaya antara lain:
a. Tidak terlalu mengobral ijin trayek pada jalur padat,
40 Ibid, hl. 95
b. Uji kelayakan kendaraan benar-benar dilaksanakan sesuai aturan tanpa panda
bulu,
c. Penegakkan hukum dilaksanakan secara konsisten dan tegas,
d. Sosialisasi tatakrama dan sopan santun menuju pada ketertiban berlalu lintas
tetap terus dilakukan di masyarakat,
e. Bertambahnya kendaraan bermotor perlu diimbangi dengan pembangunan
sarana dan prasarana jalan yang memadai. Disamping itu pelayanan angkutan
umum tidak terlepas dari perusahaan angkutan sebagai koorporasi yang
apabila armada usahanya menimbulkan kecelakaan yang membawa kerugian
nyawa dan harta benda seharusnya ikut bertanggung jawab untuk dikenakan
sanksi apabila penyebab kecelakaan merupakan akitab langkah kebijakan
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Muljatno, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985. ________, KUHP (Terjemahan), Bumi Aksara, Cet ke 9, Jakarta, 1996. _____________, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. D. Schaffmeister, N. Keijzer dan PH Sitorius, 2004, Hukum Pidana, Editor
terjemahan: Prof DR JE Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, 2004. Lamintang PAF dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, 1983. Schafer, Stephen, The Victm and His Criminal, Random House, New York, 1968. Sotorius, PH, Kesalahan Sebagai Bagian Delik, Makalah Bahan Penataran
Hukum Pidana: Kerjasama Indoesia – Belanda, 1995. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana, Proyek Yurisprudensi MA, Jakarta, 1977. Kompas tanggal 21 April 2008. Kompas tanggal 21 April 2008.