2 3-1-sm

20
KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN SUATU REFRESH DELIK KEALPAAN Oleh : Sulistyanta Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Bintara Sura Priambada Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta ABSTRAK Kecelakaan lalu lintas (darat) penting untuk dikaji kembali (refresh). Jumlah korban kecelakaan lalu lintas cukup signifikan. Pasal kealpaan dalam hukum pidana (materiil) dapat diterapkan pada kasus kecelakaan lalu lintas. Detik culpa merupakan kelakuan alpa yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi yang fleksibel. Penilaian normatif terhadap situasi yang relative menurut criteria manusia normal. Delik culpa akibat adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan dirumuskan secara materiil. Terdapat kasus delik culpa akibat apabila dicermati telah bergeser kearah dolus eventualis. Perlunya penerapan ajaran Erfolgthaftung yang mengobyektifkan unsur perbuatan lebih cocok diterapakan dalam delik culpa akibat. Karena memudahkan untuk membuktikan perbuatan pelaku. Kata kunci : Kecelakaan lalu lintas, delik culpa akibat, ukuran normatif (situasional dan fleksibel)

Upload: au-ah-gelap

Post on 24-Jun-2015

1.308 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2 3-1-sm

KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN

SUATU REFRESH DELIK KEALPAAN

Oleh :

Sulistyanta

Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Bintara Sura Priambada

Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

ABSTRAK

Kecelakaan lalu lintas (darat) penting untuk dikaji kembali (refresh).

Jumlah korban kecelakaan lalu lintas cukup signifikan. Pasal kealpaan dalam

hukum pidana (materiil) dapat diterapkan pada kasus kecelakaan lalu lintas.

Detik culpa merupakan kelakuan alpa yang tidak memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh situasi yang fleksibel. Penilaian normatif terhadap situasi yang

relative menurut criteria manusia normal. Delik culpa akibat adalah perbuatan

yang menimbulkan akibat yang dilarang dan dirumuskan secara materiil.

Terdapat kasus delik culpa akibat apabila dicermati telah bergeser kearah dolus

eventualis. Perlunya penerapan ajaran Erfolgthaftung yang mengobyektifkan

unsur perbuatan lebih cocok diterapakan dalam delik culpa akibat. Karena

memudahkan untuk membuktikan perbuatan pelaku.

Kata kunci : Kecelakaan lalu lintas, delik culpa akibat, ukuran

normatif (situasional dan fleksibel)

Page 2: 2 3-1-sm

PENDAHULUAN

Berbagai media massa seperti tidak pernah sepi memberitakan terjadinya

kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan akibat kerugianbaik nyawa atau harta

benda. Berdasarkan hasil penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) tingkat

kematian pengguna kendaraan bermotor mencapai 30.000 orang per tahun

sedangkan jumlah kerugian harta benda mencapai Rp 40 triliun31. Jumlah tersebut

jauh melebihi kematian akibat penyakit seperti, “flu burung” yang memakan

korban 100 orang per tahun32. Demikianlah jalan raya telah menjadi arena

pembantaian yang paling produktif.

Penyebab kecelakaan umumnya kombinasi berbagai faktor seperti tidak

imbangnya jumlah kendaraan bermotor dengan ruas jalan, lemahnya penegak

hukum, faktor alam, human error, kelaikan kendaraan, kurang disiplin pengguna

jalan dan sebagainya. Berdasarkan data yang ada setiap tahun sebanyak 5,1 juta

sepeda motor dan 500.00 unit mobil terjual33, berarti populasi kendaraan

bermotor setiap tahun terus bertambah secara signifikan. Sentuhan kemajuan

bidang teknologi menjadikan kendaraan bermotor semakin canggih sehingga

dapat dipacu lebih kencang lagi. Dikombinasikan dengan berbagai faktor

penyebab di atas niscaya kendaraan bermotor akan menjadi mesin “pencabut

nyawa” yang paling efektif.

Gambaran di atas cukup memprihatinkan. Tentu setiap orang berkeinginan

menggunakan fasilitas jalan raya dengan aman, nya man dan terjamin

keselamatannya. Namun ketika penemudi dan pengguna jalan bersikap ugal-

ugalan, kurang berhati-hati dan semaunya sendiri (rebut banter) maka terjadinya

musibah kecelakaan hanya menunggu kelengahan saja. Hala ini memunculkan

banyak pertanyaan : sejauh mana pengguna jalan raya mentaati atau mematuhi

aturan yang ada ? apakah sanksi yang ada kurang mampu menjadi “pengancam”

dalam berlalu lintas di jalan ?, sejauhmana penegakkan peraturan telah

dilakukan?. Tulisan ini tidak bermaksud menjawab semua pertanyaan-pertanyaan                                                             31 Kompas tanggal 21 April 2008 32 Ibid 33 Ibid

Page 3: 2 3-1-sm

tersebut. Keterbatasan ruang majalah ini tidak memungkinkan. Tulisan ini

terfokus pada kajian pasal-pasal yang terkait dalam perspektif pemikiran yang

tidak sekedar normatif yuridis. Sebab penegakan hukum tidak sebatas penegakkan

norma dari sudut kepastian hukum namun segi keadilan perlu diperhatikan pula.

DILEMA FAKTOR PENYEBAB.

Dari berbagai penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas di atas, faktor

manusialah yang terpenting. Pada hakekatnya faktor alam (dan kendaraan) dengan

bantuan teknologi dapat diprediksi sebelumnya kecuali terjadi overmacht seperti,

gempa bumi, angin kencang yang tiba-tiba menumbangkan pohon dan menimpa

mobil. Bahwa, kondisi jalan licin sewaktu hujan, jalan mendaki, tikungan,

kelayakan kendaraan dan sebagainya dapat diantisipasi sebelumnya, missal

dengan pemasangan rambu peringatan, meneliti kelayakan kendaraan sebelum

dipergunakan dan sebgainya. Terdapat alasan yang secara langsung atau tidak

langsung berpengaruh timbulnya kecelakaan seperti kasus angkutan umum

mengejar “target setoran” atau jam “mepet”. Alasan seperti ini seolah menjadi

alasan pembenar bila timbul kecelakaan lalu lintas.

Dalih mengejar “setoran” dan “jam mepet” telah memicu adrenalin sopir

memacu kendaraan secara ugal-ugalan dan semaunya sendiri kurang

memperhatikan pengguna jalan lain. Sikap sopir tersebut nampaknya mempunyai

korelasi dengan pemberian ijin trayek yang dikeluarkan oleh instansi dinas

LLAJR. Menumpuknya ijin trayek di jalur sama menyebabkan jalur tersebut

menjadi padat berakibat “pembagian jam” diantara angkutan umum semakin

“mepet”. Kondisi seperti inilah barangkali menjadi sebab sopir sperti

“menerbangkan” busnya untuk sampai diterminal yang dituju. Apabila terjadi

kecelakaan barang kali inilah wujud kecelakaan terstruktur.

Menjadi persoalan apakan kenyamanan penumpang dikorbankan untuk

sekedar mengejar “jam” tersebut ?. seolah penumpang “diwajibkan” untuk

memahami kondisi tersebut. Tentu alasan mengejar “setoran”, “jam mempet”

tidak dibenarkan sebgai alasan terlebih mengorbankan kenyamanan dan

Page 4: 2 3-1-sm

keselamatan penumpang. Barangklai ini merupakan fenomena kapitalisme dalam

bidang transportasi.

Arti pentingnya tulisan ini adalah mengkaji kembali (refresh) peraturan

dan implementasi Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP sebgai culpa akibat yang

dipandang masih sangat relevan. Bentuk kesalahan ini msih perlu untuk diungkap

kembali mengingat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Terlebih lagi mobilitas pengguna jalan saat ini sedemikian luar biasa sehingga

sering terjadi kecelakaan lalu lintas di jlaan raya.

PENDEKATAN TEORITIS DELIK KEALPAAN.

Hukum berperan penting dalam mengatur ketertiban dan mewujudkan

keadalian. Hukum ( baca : undang-undang) dibuat untuk deberlakukan. Hukum

perlu ditegakkan apabila terdapat pelanggaran hukum dan tugas aparat penegak

hukun untuk menegakkan. Dalam menerapkan aturan hukum perlu dilakukan

penafsiran teks perundang-undangan secara deduksi. Menafsirkan pada

hakekatnya menterjemahkan logika aturan in abstrakto untuk kemudian

“dicocokkan” dengan kejadian in konkreto dengan tujuan tercapainya putusan

yang menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak. Tugas ini tidaklah

mudah sebab menerapkan aturan bukan sekedar memenuhi prosedur

mencocokkan aturan abstrak dengan kasus yang terjadi yang terpenting adalah

mewujudkan keadilan. Aturan hukum merupakan salah satu komponen

penegakkan hukum dapat berupa : substansi aturan yang berupa norma

(larangan/perintah) dan sanksi guna menjamin terciptanya ketertiban di

masyarakat dan prosedur pelaksanaan penerapan sanksi apabila peraturan yang

berisi larangan tersebut dilanggar.

Hukum pidana merupakan salah satu bagian substansi system hukum.

Didalam hukum pidana (materiil) terdapat bentuk kesalahan sebgai wujud

pertanggungjawaban tindak pidana berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan

(culpa). Bentuk kesalahan ini tersebar pada pasal-pasal di dalam KUHP maupun

dalam peraturan pidana di luar KUHP.

Page 5: 2 3-1-sm

Bentuk kesalahan kealpaan (culpa) dikatakan lebih ringan bentuk

kesalahan kesengajaan. Terjadinya delik kealpaan apabila pelaku tidak

mengadakan penduga-dugaan yang perlu menurut hukum dan tidak mengadakan

penghati-hatian menurut hukum. Sikap tidak mengadakan penduga-dugaan

menurut hukum merupakan wujud hubungan sikap batin pelaku yang kurang

mengindahkan larangan menurut hukum. Oleh karena itu pelaku lalai atau teledor

sebab apabila pelaku mengindahkan larangan kealpaan dibedakan menjadi dua

yakni (1) kealpaan yang disadari (bewusta culpa) yang diartikan bahwa pelaku

memang menyadari akan timbulnya suatu akibat namun pelaku berfikir bahwa

akibat buruk tidak akan terjadi oleh karena pelaku dianggap salah berfikir atau

dianggap sembrono, dan (2) kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa)

bahwa pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat buruk mungkin

akan timbul mestinya dia berfikir akan akibat yang mungkin timbul34.

Disamping itu unsur kelalaian yang menjadi sebab kurang berhati-hati

(negligence) terarah pada 2 (dua) sasaran yakni : (1) perilaku yang tidak berhati-

hati (of conduct), dan (2) akibat perilaku (effects of conduct)35. Perbedaan antara

delik culpa akibat dan culpaperilaku tidak berhati-hati bertolak dari adanya akibat

yang timbul. Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP termasuk kelalaian akibat (effects of

conduct) yakni pelakunya dapat dicela karena menimbulkan suatu akibat dilarang.

Delik culpa akibat yang dirumuskan secara materiil disebut pula delik culpa

sesungguhnya. Terdapat pula rumusan delik kealpaan yang merupakan “feri-feri”

artinya setengah culpa dan setengah dolus (pro parte dolus, pro parte culpa)

seperti, Pasal 480 KUHP terdapat unsur kesengajaan yang dirumuskan : harus

diketahui (dolus) ditujukan pada obyek pembelian, penyewaan dsb dan unsur

kelalaian yang dirumuskan : sepatutnya dapat diduga (culpa) ditujukan pada objek

barang yang berasal dari hasil kehjahatan.

Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP merupakan pasal delik culpa akibat. Pasal

359 KUHP berbunyi “Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya

orang lain, diancam dengan pidana lima tahun atau kurungan paling lama satu                                                             34 P.H. Sotorius, Keslahan Sebagai Bagian Delik, Makalah Bahan Penataran Hukum Pidana: Kerjasama Indonesia-Belanda, 1995, hlm 4 35 Ibid

Page 6: 2 3-1-sm

tahun”. Sedangkan Pasal 360 KUHP “Barangsiapa karena kelalaiannya

menyebabkan orang lain luka-luka berat, diancam dengan pidana lima tahun

atau kurungan paling lama satu tahun” 36. Unsur penting dalam pasal-pasal

adalah karena kelalaiannya menimbulkan akibat luka berat atau matinya orang.

Pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan bagaimana cara pelaku menyebabkan

kematian atau luka berat orang lain namun hanya menyebutkan bentuk

kesalahannya saja (yakni : kealpaan) tanpa memberikan penjelasan. Terdapat

pandapat yang mengatakan kelakuan alpa diartikan sebagai kelakuan yang tidak

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi. Kelakuan dapat berupa

perbuatan sembrono, lalai atau tidak acuh, dan atau tidak berbuat yang seharusnya

orang berbuat seperti lengah, kurang berfikir, kurang perhatian.

Adanya delik culpa kaibat kausal antara perbuatan dan akibat merupakan

syarat mutlak. Sejauhmna adanya hubungan sebab akibat tesebut perlu adanya

criteria penilaian. Telah terjadi pergeseran criteria penilaian hubungan sebab

akibat dari ukuran psikologis bergeser ke penilaian normatif37. Kriteria normatif

terutama dipergunakan untuk menilai terhadap keharusan melakukan penghati-

hatian sebgaimana mdiharuskan oelh hukum. Kurangnya kehati-hatian pelaku

pada delik culpa akibat terhadap kemungkinan timbulny akibat buruk

“seharusnya” telah diperkirakan sebelumnya menurut pikiran “orng normal atau

keadaan normal” atau “orang pada umumnya”. Artinya pelaku dapat sebgaimana

orang pada umumnya syarat-syarat itu ditentukan secra fleksibel (sesuai situasi).

Memperkirakan lebih dahulu suatu kejadian mungkin akan timbul sehingga

pelaku dapat berbuat lain (menghindar, misalnya). Krtiteria “orang normal atau

keadaan normal” seperti, orang yang tidak di bawah pengaruh obat atau penyakit

tertentu yang dapat menimbulkan akibat membahayakan orang lain apabila

mengendarai kendaraan bermotor, sedangkan “orang pada umumnya” tidak perlu

sedemikian rupa sebgai perilaku sangat berhati-hati sekali, sudah cukup sikap

berhati-hati itu.

Kurnagnya cermatan dalam berfikir inilah menjadi sebab perbuatan pelaku

dapat dicela. Ketercelaan pelaku terletak pada “tidak berbuat selayaknya orang

nirmal atau pada umumnya” sebagaimana yang biasa dilakukan dalam hidup

Page 7: 2 3-1-sm

bermasyarakat. Penilaian mormatif merupakan penilaian perbuatan in concreto

dengan ukuran sikap penghati-hatian yang diukur dari : apakah pelaku ada

kewajiban untuk “berbuat lain” baik berdasarkan undang-undang maupun di luar

undang-undang (seperti kebiasaan, kepatutan) dengan memperhatikan segala

keadaan apakah yang seharusnya dilakukan oleh pelaku. Untuk ini Muljatno38

menambahkan bahwa apakah tingkah laku terdakwa dalam keadaan-keadaan

tertentu ataupun dengan cara yang telah dilakukan menurut ukuran-ukuran yang

berlaku dalam pergaulan masyarakat sudah dipandang betul? Atau sudah

mencocoki standard yang oleh Langemeyer disebut “penghati-hatian yang lahir”

dan ini tidak diadakan unutk orang pada umumnya tetapi untuk orang dalam

keadaan-keadaan khusus pelaku/terdakwa artinya diperhitungkan pula

pekerjaannya, keahliannya dan sebgainya. Oleh karena itulah penilaian normatif

dalam delik kealpaan harus dilihat kasus demi kasus.

Selanjutnya Muljiatno39 mengaskan bahwa penilaian normatif ini penting

guna menentukan adanya kealpaan. Sesungguhnya kalau syarat ini (penghati-

hatian : pen) sudah ada, maka umumnya syarat yang pertama (penduga-dugaan

atau sikap batin: pen) juga sudah ada. Barang siapa dalam melakukan suatu

perbuatan tidak mengadakan penghati-hatian yang seperlunya, maka dia juga

tidak menduga-duga akan terjadinya akibat yang tertentu itu karena kelakuannya.

Berkatian dengan hubungan kausal sebab-akibat dalam delik culpa akibat

seperti, Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHPini, Muljatno40 berpendapat bahwa

perlunya untuk menilai kemabli terhadap adanya hubungan sikap batin dengan

akibat (kematian atau luka-luka) yang timbul sebgaimana dipersyaratkan oleh

undang-undang tersebut. Yang dimaksud Muljatno tersebut adalah ajaran

Erfolgthaftung41 yaitu tentang pertanggungan jawaban atas sesuatu akibat yang

terjadi tanpa diperlukan adanya hubungan batin dengan pelaku, seperti pasal 187

KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 333 KUHP. Pada pasal-pasal tersebut: hilangnya

nyawa korban sama sekali tidak termasuk dalam kesengajaan orang yang

melakukan perbuatan. Pasal 187 KUHP: kesengajaan ditujukan pada timbulnya

kebakaran, ledakan atau banjir, Pasal 352 KUHP: kesengajaan ditujukan pada

pendarahan atau luka-luka dan penderitaan sakit, Pasal 333 KUHP: kesengajaan

Page 8: 2 3-1-sm

ditujukan pada perampasan kemerdekaan seseorang. Rumusan delik-delik tersebut

dinamakan delik yang dikualifisir akibatnya dimana unsur akibat diobyektifkan

artinya tidak diperlukan adanya hubungan subyektif (batin) dengan orang yang

melakukan perbuatan sudah cukup kalu akibat tersebut secara obyektif telah

ditimbulkan. Hal ini berbeda dengan dalam rumusan delik kesengajaan (dolus)

murni yang mana perbuatan pelaku telah diarahkan pada timbulnya akibat tersebut

(seperti, Pasal 338 KUHP) sehingga adanya hubungan antara sikap batin dan

akibat perbuatan sangat penting.

Persoalan selanjutnya adalah apakah Pasal 359 KUHP dan Pasal 360

KUHP perlu diterapkan dalam ajaran erfolgthaftung ? artinya apakah pasal

tersebut masih memerlukan adanya suatu hubungan batin pelaku dan akibat yang

timbul?. Mengenai hal ini terdapat 2 (dua) pendapat yakni42: (1) Pendapat

umumnya penulis bahwa dalam Pasl 359 KUHP disamping adanya hubungan

kausal diperlukan adanya hubungan batin orang yang melakukan perbuatan

dengan akibat matinya orang tadi, jadi pelaku perbuatan harus “voorzienbaar”

atau dapat menduga-duga sebelumnya, (2) Pendapat Mulyatno: dalam perbuatan

dimaksud pasal 359 KUHP tidak perlu adanya hubungan batin sehingga ada

erfolghtshaftung, artinya sama dengan delik-delik yang dikualifisir akibatnya,

dengan alasan: Pertama, mengenai matinya orang karena kealpaan maka dapat

dipidananya perbuatan ditentukan oleh akibat dari perbuatan (meskipun adanya

faktor-faktor lain untuk strafbaarheid timbulnya kaibat, namun faktor itu

sedemikian kurang kuatnya sehingga dapat diabaikan). Meskipun hubungan batin

harus ada namun itu tidak begitu penting, yang penting secara obyektif akibat

maut tadi timbul. Akibat maut yang merupakan formulasi dari “voorzienbaar”

(yang dapat didugga oleh pelaku) sebagai suatu waarschijnlinjkheid (yang timbul

sekali timbul). Dengan demikian terdapat konstruksi dimana hubungan batin tidak

perlu lagi ditautkan dengan pelaku perbuatan tetapi lebih diobyektifkan yakni

menurut anggapan orang pada umumnya.

Kedua, pengertian kesengajaan dan kealpaan seperti banyak diajarkan dan

dituliskan oleh penulis Belanda lebih didasarkan pada penglihatan yang terlalu

berpusat pada perseorangan (individu) pandangan ini sesuai dengan pandangan

Page 9: 2 3-1-sm

hidup mereka yang individualistis. Menurut pandangan barat ini terdapat

pengujian secara psikologis: yakni mengetes bagaimana keadaan batin

pelaku/terdakwa pada saat melakukan perbuatan, kalau sikap batin menghendaki

dan menyadari perbuatan maka ada unsur kesengajaan perbuatan dan ini

kesalahan besar (dolus). Tetapi kalau sikap batin yang demikian tidak ada maka

hanya kurang hati-hati dan kurang pendugaan saja, disini hanya ada bentuk

kesalahan kecil yaitu kealpaan (culpa). Menurut Muljatno konsep seperti ini tidak

sejalan dengan budaya bangsa Indonesia. Sebab disetiap hati sanubari seorang

warga seharusnya selalu menyala hasrat untuk sedapat mungkin menjauhi atau

menghambat tercapainya kepentingan masyarakat yang lebih luas dan umum.

Ini merupakan ukuran normatif yang harus dipakai untuk menilai kealhan

terdakwa dalam melakukan delik kealpaan. Mestinya apabila penilaian normatif

ini yang dipergunakan maka criteria bentuk kesalahan besar dan kecil tidak perlu

dipakai. Oleh karena itulah meskipun bentuk kesalahan hanya kealpaan namun

apabila ditinjau dari sudut masyarakat adalah merugikan dan lebih jahat dari

kesengajaan maka perbuatan tersebut dapat dipandang lebih berat. Sebgai

contoh karena kelalaiannya terjadi kebakaran gudang umum yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat luas adalah lebih berat dibanding karena kealpaan

sehingga terbakar gudang beras milik seorang pedagang beras.

Sebagaimana diuraikan di atas kriteria “orang normal” adalah seseorang

yang tidak mengidap penyakit atau telah nimun obat tertentu dan minum alcohol

apabila mengendarai kendaraan bermotor membahayakan keselamatan orng lain.

Keadaan seperti disebut Culpa in causa 43 artinya pertanggnugn jawab pidana

tidak dihapuskan oleh sifat darurat keadaan dalam mana suatu perbuatan pidana

dilakukan, apabila pembuat sendiri dapa dicelakan karena menimbulkan keadaan

tersebut. Semestinya pelaku dalam keadaan mabuk atau berpenyakit tertentu tidak

boleh menempatkan diri dalam situasi yang membebankan syarat-syarat khusus

bagi keawaspadaan dan daya reaksinya sewaktu menyetir mobil apabila terjadi

kecelakaan perbuatan pelaku tersbut dapat dicelakan dan harus memikul

tanggung jawab.

Page 10: 2 3-1-sm

Untuk member gambaran yang lebih jelas tentang bagaiman praktetk

peradilan dalam menafsirkan pasal delik culpa akibat pada kasus yang terjadi di

bawah ini penulis ketengahkan beberapa yurisprudensi (terutama pasal 359

KUHP).

Putusan MA No 54 K/Kr/1975 tanggal 19-5-197644. Kebertan yang

diajukan pemohon kasasi bahwa ketidak hati-hatian saksi I sangat relevan atas

terjadinya kecelakaan ini, namun tidak dapat diterima karena kesalahan pihak lain

tidak berarti menghilangkan kesalahan terdakwa.

HR 3 januari 1934 NJ 1934, 335, W 12753: 45 Satu kenyataan bahwa

sebuah mobil menabrak pejalan kaki yang berjalan secara wajar dari arah belakan

adalah sulit untuk mengatakan lain selain bahwa pengemudi mobil tersebut telah

bertindak kurang hati-hati atau kurang perhatian, yang sesuai dengan keadaan-

keadaan khusus merupakan tindakan yang memperberat kesalahannya.

HR 6 April 1936 No.815 1936: Adalah tidak menjadi soal apakah itu

keadaan gelap karena turun hujan sehingga pemandangan terganggu. Keadaan-

keadaan tersebut harus diperhitungkan oleh pengemudi dan disesuaikan dengan

caranya mengemudi mobilnya.

HR 12 Maret NJ 1923 818. W 11063: Satu-satunya kenyataan bahwa

undang-undang lalu lintas jalan telah dilanggar adalah tidak dalam segala hal

dapat dipakai sebgai alsan untuk menyatakan fihak lain bersalah. Dengan

mempergunakan sisi jalan yang salah pada waktu menikung, menimbulkan suatu

keadaan yang tidak pasti bagi setiap orang yang berda di jalan secara tidak

terduga-duga, dimana mereka pada umumnya tidak dapat memperhitungkan

segala sesuatu pada waktunya. Perbuatan dari pengemudi itu adalah kurang hati-

hati dan membahayakan.

HR 4 Desember 1939 No 272 1940: Kesalahan pengemudi itu dapat juga

terletak pada kenyataan bahwa rem kendaraanya telah disetel terlalu kuat,

sehingga roda-rodanya akan macet apabila rem diinjak terlalu kuat. Keadaan rem

semacam ini sudah tidak asing lagi bagi para pengemudi, sehingga mereka tidak

perlu memahami lagi akan akibat yang mungkin dapat timbul bila terjadi hal-hal

yang tidak diharapkan.

Page 11: 2 3-1-sm

HR 15 Februari 1932 NJ 1932 1172 W 12449: Barangsiapa mengendarai

kendaraan dalam keadaan dimana ia karena meminum minuman keras menjadi

tidak dapat memeperhitungkan secara sempurna akan akibat-akibat dari

perbuatannya, telah bertindak kurang hati-hati. Ia dapat dipertanggung jawabkan

terhadap segala akibat yang timbul karena tindakannya.

Dalam konsep RUU KUHP sampai tahun 2000, kesalahan dalam bentuk

kelalaian atau culpa masih tetap ada. Dalam konsep RUU KUHP materi Pasal 359

dan Psal 360 KUHP seperti sekarang ini dipadatkan dalam satu pasal yakni Pasal

489. Meskipun hanya satu pasal namun materi/substansi yang diatur lebih luas.

Hal baru menyangkut culpa dalam konsep RUU KUHP yankni telah

dicantumkannya culpa in causa. Pasal 52 berbunyi: “seseorang melakukan tindak

pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawab pidana berdasarkan alasan

penghapusan pidana, jika orang tersebut patut dipersalahkan sebgai penyebab

terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut”.

Dalam penjelasan Pasal 52 tersebut dikatakan: “ketentuan memuat asas

“culpa in causa” yang merupakan salah satu asas, disamping asas

“proporsionalitas” dan asas “subsidaristas” dalam mempertimbangkan seberpa

jauh suatu alasan penghapus pidana layak diterapkan untuk tidak

dipertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Menurut

asas “culpa in causa” seseorang tidak patut berlindung pada alasan penghapus

pidana. Terhadap perbuatan atau keadaan yang sebagaimana seseorang patut

dicela perlu dilihat dari kasus perkasus berdasarkan nilai moral dan sosial yang

berlaku. Penerapan asas “culpa in causa” ini pun harus memperhatikan asas

proposionalitas dan asas subdaritas”.

ANALISIS KASUS : SUATU PEMAHAMAN DELIK KEALPAAN

Beberapa kasus di bawah ini merupakan gambran atau ilustrasi sedikit

persoalan yang berkaitan delik kealpaan yang mana penulis pandang perlu di

kemukakan sebgai bahan ulasan.

Page 12: 2 3-1-sm

a. A mengendarai motor dari jalan raya, sedang-sedang sja tiba-tiba seorang anak

lari dari dalam rumahnya dan melintas di jalan raya persis di depan mobil si A

dan anak terlindas mobil karena si A tidak sempat lagi menginjak pedal rem

b. A mengendarai sepeda motor pada jalan selebar 4 meter, didepannya

seseorang pejalan kaki di tepi jalan searah jalan motor A, tiba-tiba si pejalan

kaki memotong jalan dengan berbelok kekanan jlan tanpa melihat kebelakang,

karena jarak sudah dekat si A menabrak pejalan kaki

c. Pengemudi mobil pengantar surat perintah atasannya (Pasal 51 KUHP) untuk

secepatnya mengantar surat yang sangat penting sehingga sopir memacu

kendaraan secepatnya berakibat terjadi kecelakaan menabrak orang sampai

mati.

d. Pengemudi bus karena mengejar setoran dan jam yang mepet untuk itu

secepatnya agar sampai diterminal tepat waktu sehingga sopir memacu busnya

secepat mungkin dan terjadi tabrakan yang mengakibatkan matinya orang.

Paparan beberapa kasus delik kealpaan di atas memperlihatkan adanya

kasus latar belakang kejadian yang relative berbeda antara kasus satu dengan

kasus lainnya. Disini oenulis tidak bermaksud untuk mengupas tuntas satu persatu

kasus tersebut namun mencoba memberikan pandangan secara umum berdasarkan

format teori yang ada berikut perkembangannya.

Pada contoh kasus (a), (b) dan (c) Nampak berbeda dibandingkan dengan

berakhirnya kasus terakhir (d). kasus pertama (a), (b) dan (c) member gambaran

pelaku dalam keadaan gugup, panic (ada keterkejutan atau kekagetan secara psikis

dan kemudian berpengaruh pada pisik sulit mengerem) sebab terdapat anak kecil

yang tiba-tiba lari menyeberang jalan atau pada kasus lain tiba-tiba penjalan kaki

membelok/menyeberang ke kanan tanpa menengok ke belakang tepat di depan

mobil pelaku sehingga pelaku tidak mungkin melakukan upaya sesuai dengan

keahliannya sebagai seorang sopir karena jarak yang sudah sedemikian dekat.

Demikian halnya kasus (c) karena adanya perintah atasan untuk secepatnya

mengirim surat yang sangat penting sehingga terdapat suatu keadaan darurat atau

overmacht. Pernyataan yang muncul adalah apakah perbuatan pelaku-pelaku

dalam kasus tersebut dapat disalahkan karena kelalaian yang timbul akibat

Page 13: 2 3-1-sm

pengaruh dari luar pelaku?. Sehingga mungkinkah alsan pembenar dalam delik

kealpaan?. Padahal inti delik kealpaan mengancam sanksi pidana terhadap pelaku

karena kelalaian/kealpaannya.

Menurut Vos dalam delik culpa, sifat melawan hukumnya perbuatan telah

termaktub dalam culpa itu sendiri sehingga dalam delik culpa tidak pernah

diperlukan adanya alasan pembenar. Dengan demikian “atas perintah” jabatan

(Pasal 51 KUHP: “Tindakan dapat dihukum, barang siapa melakukan suatu

perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh

kekuasaan yang berwenang”) pada kasus di atas seandainya dapat diterima oleh

hakim pengadilan bukan sebgai alasan pembenar. Muljatno sependapat dengan

Vos, karena ada perintah jabatan sehingga pelaku mengendarai motor dengan

sangat cepat, maka dengan adanya Pasal 51 KUHP menjadi tidak bersifat

melawan hukum. Konsekuensinya disitu tidak ada kurang penghati0hatian

akibatnya tidak ada kealpaan. Padahal mengendarai motor dengan sangat cepat

yang dilakukan tidak berhati-hati dan berakibat menimbulkan matinya orang telah

ada. Tentunya sifat melawan hukum telah ada pula. Lantas pelaku tidak dipidana

karena tidak ada kesalahan (karena tidak ada kealpaan) ?

Menurut pandapat penulis: adanya alasan pembenar yang meniadakan sifat

hukumnya perbuatan seperti tersebut di atas perlu direnungkan lebih lanjut,

apakah alasan pembenar itu sudah tepat?. Klarena alasan pembenar tidak akan

menghaburkan hakekat delik kealpaan itu sendiri. Disamping itu apabila alasan

pembenar dalam kasus tersebut akan dipergunakan sebgai alasan pembenar maka

suatu keadaan yang menjadi ciri dari keadaan darurat (pada ajaran alasan-alasan

penghaous pidana utnuk alasan pembenar, misalnya terdapat serangan mendadak)

merupakan syarat yang harus ada. Apakah keadaan darurat dalam berlalu lintas

seperti disyaratkan oleh undang-undang ada? (yang ada adalah ketegangan secara

psikis pengemudi karena kaget/terkejut ada anak nyelonong). Lebih tepat

pengemudi mobil pada kasus tersebut terjadi daya paksa (overmacht) sehingga

diberlakukan alasan pemaaf bukan alasan pembenar. Putusan pembebasan

terdakwa sejalan dengan adanya alasan pemaaf bukan karena alasan keadaan

darurat sebab alasan keadaan darurat (Pasal 51 KUHP) sebgai alasan pembenar

Page 14: 2 3-1-sm

akan menghilangkan sifat melawan hukum. Oleh karena itu penulis sependapat

dengan Muljiatno bahwa unsur sifat melawan hukum perbuatan dan kesalahan

(kelalaian) pelaku tetap ada, namun kesalahannya dimaafkan atas dasar Pasal 51

KUHP dan putusannya adalah dibebaskan, bukan dilepas dari tuntutan hukum.

Demikian halnya pengendara mobil yang terkejut karena pejalan kaki tiba-

tiba berbelok kekanan tanpa menengok kebelakang atau tiba-tiba seseorang anak

menyeberang jalan padahal mobil sudah sangat dekat sehingga pengemudi tidak

dapat lagi secara efektif mengerem laju mobilnya. Apakah alasan ini dapat

dipergunakan sebagai alasan pemaaf? Jawabannya dapat “ya” dapat “tidak”

(relative dan situasional). Sebab praktek peradilan terdapat yurisprudensi bahwa

kealpaan korban tidak serta merta menghapus kesalahan pelaku justru sebaliknya

seperti, Putusan MA No 54 K/Kr/1975 tanggal 19-5-1976, bahwa ketidak hati-

hatian saksi I sangat relevan atas terjadinya kecelakaan ini, namun tidak dapat

diterima karena kesalahan pihak lain tidak berarti menghilangkan kesalahan

terdakwa.36 HR 6 April 1936 No.815 1936: Adalah tidak menjadi soal apakah itu

keadaan gelap karena turun hujan sehingga pemandangan terganggu. Keadaan-

keadaan tersebut harus diperhitungkan oleh pengemudi dan disesuaikan dengan

caranya mengemudi mobilnya.

Berdasarkan praktek peradilan atau dalam yurisprudensi terdapat

kecenderungan pengemudi tetap dinyatakan bersakah karena kecenderungan

pengemudi tetap dinyatakan bersalah karena kealpaannya. Namun perlu diingat

bahwa banyak kejadian berlalu lintas dimana terdapt “overmacht” atau suatu

keadaan benar-benar diluar dugaan pelaku yang diajukan sebagai alasan pemaaf

seperti, seorang pengemudi mobilyang tiba-tiba harus mengerem secara mendadak

karena jarak yang sedemikian sangat dekat sehingga tergelincir atau selip dan

menabrak korban. Kondisi seperti ini dapat disejajarkan pada hubungan antara

pelaku dan korban sebagai type precipitative victims37 yakni pelaku melakukan

                                                             36 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal, Random House, Neew York, 1968, hlm 120

37 Putusan Politie-rechter Medan tahun 1938, yang mana pengendara otto pada malam hari menabrak dari belakang satu cikar sapi yang sedang berjalan dalam jurusan yang sama, sedang cikar itu tidak memakai lampu sebagaimana diharuskan, pengendara cikar menderita luka berat. Pertimbangan Politie-rechter, ... bahwa pada umumnya adanya kesalahan pihak lain tidak begitu saja menghapuskan kesalahan terdakwa .... (Muljatno, Op cot, hl, 216)

Page 15: 2 3-1-sm

perbuatan (kejahatan) karena terdorong tingkah ang aku korban yang tidak hati-

hati dan ceroboh. Oleh karena itu untuk kasus-kasus tertentu perlu

dipertimbangkan kecerobohan korban yang ikut “andil” terjadinya kecelakaan.

Keadaan seperti ini menunit hemat penulis layak diajukan sebagai alasan/eksepsi

tidak tertulis “avas” (afwezigheid van alle schuld = tanpa kesalahan sama sekali =

tanpa sila) sehingga perbuatan pelaku tidak dapat dicelakan. Kekurang cermatan

pelaku todal dapat dicelakan kalau pelaku tidak dapat berbuat selain dari pada

yang dia lakukan. Oleh karena itu beberapa yurisprudensi seperti, HR 15 Februari

1932 NJ 1932 1172 W 12449 dan Putusan Politie-rechter Medan tahun 1938 yang

pada intinya apakah culpa hapus karena kealpaan (kesalahan) orang lain, kiranya

perlu direnungkan kembali dan seyogyanya dicermati secara kontektual.

Persoalan sejauhmana “alasan pembenar” atau “kondisi tertentu yang tiba-

tiba dan tak terhindarkan” (overmacht) dalam delik culpa dapat diterima sebagai

alasan pembebasan pelaku menurut hemat penulis adalah: relatif dan kasusitis

(dilihat kasus demi kasus). Disamping itu alasan pembebasan dapat diterima

dengan catatan melalui penilaian secara teliti dan seksama apakah pelaku

memenuhi kriteria unsur kehati-hatian menurut pelaku orang pada umumnya dan

syarat-syarat perintah dan larangan dalam undang-undang. Delik culpa adalah

kelakuan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh situasi. Syarat-

syarat situasi mana ditentukan bersifat fleksibel atua relatif, seperti, situasi

diwaktu kemarau seseorang tidak perlu sangat berhati-hati seperti saat musim

hujan, seorang ahli tertentu dituntut kecermatan lebih dibanding seorang biasa,

orang yang tua dan berpengalaman dituntut lebih waspada daripada anak-anak dan

seterusnya. Dari itulah penulis setuju bahwa dalam Pasal 52 konsep RUU KUHP

yang akan datang disertakan pula asas proporsional dan asas subsidaritas.

Pencatuman kedua asas ini sangat penting sebab pengemudi harus pula “diukur”

perbuatannya. Bahwa perbuatan yang dilakukan sebagai dasar ekspesi/alasn

(seperti, kekagetan psikis karena korban tiba-tiba nyelonong) dinilai secara

proporsional dan memang tidak ada jalan lain (asas subsidaritas) selain menabrak

korban? Oleh karena itulah penulis sependapat dengan Muljatno bahwa unsur

kealpaan sebagai sifat melawan hukum harus tetap ada karena hakekat delik

Page 16: 2 3-1-sm

kealpaan adalah kelalaian itu sendiri. Baru kemudian diukur sejauhmana

pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati sesuai persyaratan peraturan

tertulis serta kewajaran secara situasional dalam mengemudikan kendarannya.

Terhadap kasus terakhir (d) pertanyaan yang muncul dibenak penulis

adalah: apakah kasus ini merupakan suatu delik culpa yang disadari (bewuste

culpa)? Ataukah sudah masuk bentuk kesalahan “kesengajaan”? Penulis agak

ragu-ragu terhadap persoalan ini. Mengapa? Sebab jenis delik kealpaan yang

disadari (bewuste culpa) mensyaratkan bahwa” pelaku tidak akan berbuat,

seandainya ia mengetahui akan akibat yang pasti akan timbul. Pelaku sadar akan

resiko tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi. Dalam kasus penulis

berpendapat bahwa telah terkandung unsur “kesengajaan”, karena pelaku telah

mengetahui dan memperhitungkan akan akibat perbuatannya ternyata dari adanya

kesiapan menanggung resiko apabila timbul akibat yang buruk. Kalau demikian

halnya maka yang terjadi bukan delik kealpaan yang disadari (bewuste culpa)

namun sudah bergeser pada delik kesengajaan kemungkinan (dolus eventualis).

Oleh karena itulah penulis mempergunakan kata kesengajaan dalam tanpa petik.

Dolus eventualis (sebagai jenis kesengajaan kemungkinan) termasuk

dalam delik kesengajaan (dolus). Dolus eventualis atau kesengajaan bersyarat

diartikan bahwa orang melakukan perbuatan tertentu dengan menghendaki dan

mengetahui menempatkan diri dalam keadan yang mungkin sekali mendatangkan

akibat tertentu. Sebagai delik kesengajaan terkandung unsur mengetahui dan

menghendaki terhadap akibat yang akan terjadi. Dan yang paling kecil gradasinya

terhadap kehendak dan pengetahuan terhadap akibat perbuatan pelaku adalah “apa

boleh buat”. Dalam dolus eventualis terdapat teori “inkauf Nehmen”38 (teori apa

boleh buat) menurut teori ii bahwa sesungguhnya akibat atau keadaan yang

diketahui kemungkinan akan ada, dan ia (pelaku) tidak setuju. Meski demikian

untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan di

samping maksudnya itupun diterima. Teori ini disebut teori “apa boleh buat”

sebab kalau resiko diketahui kemungkinan akan sungguh-sungguh timbul

(disamping hal yang dimaksud) apa boleh buat, bila dia juga berani memikul                                                             38 Ibid, hlm. 175

Page 17: 2 3-1-sm

resikonya. Jadi menurut teori ini adanya kesengajaan diperlukan dua syarat yakni:

(1) terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupapkan

delik dan (2) sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah

apa boleh buat, dapat disetujui dan sungguh berani memikul resiko. Berdasarkan

pemahaman penegrtian teori inkauf nehmen dalam dolus eventualis dan delik

culpa yang disadari (bewuste culpa) kemudian dicoba diterapkan pada kasus (d)

maka kasus tersebut menurut pendapat penulis telah masuk wilayah antara

kesengajaan dan kealpaan (pro parte dolus proparte culpa). Dengan alasan meski

bukan kesengajaan karena tidak terdapat maksud/niat sopir tersebut “sengaja”

(menghendaki) membahayakan penumpang atau pengguna jalan lainnya namun

untuk dikatakan sebagai kealpaan telah melampaui “situasi” sebagaimana

disyaratkan oleh keadaan/kepatutan dan peraturan tertulis. Yakni adanya

perhitungan dan “kesanggupan” memikul timbulnya resiko perbuatan itu

dilakukan (sebagai apa boleh buat) dengan tujuan/alasan tertentu seperti, mengejar

setoran, jam mepet sehingga kendaraan perlu dipacu (dikebut). Seandainya pelaku

(sopir) beralasan bahwa kebiasaan seperti ini dianggap merupakan suatu

kelaziman atau hal biasa dan sering dilakukan di lingkungan profesi mereka.

Alasan seperti itu menurut yurisprudensi tidak dapat diterima.39 Terhadap

persoalan tersebut di atas untuk lebih mudah memahaminya penulis kemukakan

ilustrasi dua kasus yang berbeda:

a. Pengemudi mobil A menjalankan mobilnya ke arah petugas polisi yang

memberi tanda berhenti. Pengemudi terus menjalankan mobilya, dengan

harapan petugas akan meloncat ke samping, tetapi pengemudi A sadar resiko

bahwa petugas polisi tertabrak kalau berbuat demikian.

                                                            39 Terdapat seorang petani telah mengedarkan/menjual ke pelanggan susu kotor dalam

botol yang kotor pula. Botol susu tidak bersih karena dicuci dengan mempergunakan air selokan sehingga susu dan botolnya kotor. Oleh Pengadilan Rendah, pelaku dibebaskan, berdasarkan alasan kealpaan tidak ada tempat (bahwa setiap orang di wilayah itu melakukan hal sama yakni mencuci dengan air selokan) namun Pengadilan Banding (Reichgericht) memutuskan pelaku bersalah bahwa alasan tersebut di tas tidak dapat diterima. (D Schaffmeister, N Keijzer dan PH Sutorius, Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 134)

Page 18: 2 3-1-sm

b. Pengemudi B tergesa-gesa. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan 9

km/jam melalui jalan yang ramai di dalam kota dan menyadari mungkin

terjadi “apa-apa”. Dia menabrak anak yang sedang menyeberang jalan.

Jawaban terhadap kasus tersebut40 menggunakan rumus Frank:

Apakah pelaku juga akan melakukan perbuatannya kalau dia mengetahui

bahwa akibat pasti akan terjadi? Dari jawaban ini akan diketahui apakah pelaku

masuk wilayah dolus atau culpa atau ditengah-tengah.

Sebagai penutup meskipun untuk menemukan unsur kesengajaan dalam

kasus (d) di atas masih rumit namun dilihat perilaku pelaku sudah melampaui

batas kenormalan sehingga dapat membahayakan kepentingan orang lain maka

perlu diterapkan sanksi yang lebih berat (pidana penjara maksimal) dan dapat

dikomulatifkan dengan sanksi lainnya berupa pencabutan SIM (larangan untuk

mengemudikan kendaraan bermotor dalam kurun waktu tertentu) dan sanksi

terhadap perusahaannya.

Kesimpulan

Memahami ilustrasi kasus kecelakaan lalu lintas darat yang terjadi,

memberi pemahaman bahwa pelanggaran terhadap delik kealpaan dapat berbeda

satu dengan lainnya. Secara kasusistik penilaian disesuaikan dengan

kepatutan/kebiasaan orang normal dan peraturan tertulis. Penilaian secara

normatif terhadap sikap penghati-hatian dilakukan secara situasional dan fleksibel.

Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan membebaskan pelaku dan atau

menghukum pelaku lebih berat karena perilakunya lebih dekat pada unsur

“kesengajaan”.

Saran

Terhadap pihak-pihak terkait pengambil kebijakan dapat melakukan

upaya-upaya antara lain:

a. Tidak terlalu mengobral ijin trayek pada jalur padat,

                                                            40 Ibid, hl. 95

Page 19: 2 3-1-sm

b. Uji kelayakan kendaraan benar-benar dilaksanakan sesuai aturan tanpa panda

bulu,

c. Penegakkan hukum dilaksanakan secara konsisten dan tegas,

d. Sosialisasi tatakrama dan sopan santun menuju pada ketertiban berlalu lintas

tetap terus dilakukan di masyarakat,

e. Bertambahnya kendaraan bermotor perlu diimbangi dengan pembangunan

sarana dan prasarana jalan yang memadai. Disamping itu pelayanan angkutan

umum tidak terlepas dari perusahaan angkutan sebagai koorporasi yang

apabila armada usahanya menimbulkan kecelakaan yang membawa kerugian

nyawa dan harta benda seharusnya ikut bertanggung jawab untuk dikenakan

sanksi apabila penyebab kecelakaan merupakan akitab langkah kebijakan

perusahaan.

Page 20: 2 3-1-sm

DAFTAR PUSTAKA

Muljatno, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985. ________, KUHP (Terjemahan), Bumi Aksara, Cet ke 9, Jakarta, 1996. _____________, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. D. Schaffmeister, N. Keijzer dan PH Sitorius, 2004, Hukum Pidana, Editor

terjemahan: Prof DR JE Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, 2004. Lamintang PAF dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung, 1983. Schafer, Stephen, The Victm and His Criminal, Random House, New York, 1968. Sotorius, PH, Kesalahan Sebagai Bagian Delik, Makalah Bahan Penataran

Hukum Pidana: Kerjasama Indoesia – Belanda, 1995. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia, Hukum Pidana dan

Hukum Acara Pidana, Proyek Yurisprudensi MA, Jakarta, 1977. Kompas tanggal 21 April 2008. Kompas tanggal 21 April 2008.