repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/25387/2/034114011_full[1].pdf · kekerasan struktural oleh...
TRANSCRIPT
KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH
TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA
DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA
KARYA NORBERTUS RIANTIARNO
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Airani Sasanti
NIM: 034114011
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SEPTEMBER 2007
selesaikan setiap hal yang telah kita mulai
terlintas dalam pikirku: seharusnya tak ada yang perlu
menjadi masalah ketika menjalani hidup ini
yang ada hanya:
sesuatu yang selalu kita tunda penyelesaiannya
atau sesuatu yang sudah berada
pada ruangnya tapi letaknya kita ubah;
tindakan kita mungkin benar, namun ternyata sering kurang tepat
kita merasa tidak bisa menyelesaikan suatu hal
sebab menjadikannya beban dan terjebak oleh diri sendiri
_airani sasanti, 08082007_
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, September 2007
Penulis
Airani Sasanti
ABSTRAK
Sasanti, Airani. 2007. Kekerasan Struktural oleh Pemerintah terhadap Kaum Urban Miskin di Jakarta dalam Drama Trilogi Opera Kecoa Karya Norbertus Riantiarno: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa dengan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur dibatasi pada tokoh dan penokohan serta latar yang terkait dengan kehidupan para tokoh. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis unsur tokoh, penokohan serta latar; kemudian menggunakan hasil analisis struktur drama untuk lebih memahami kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa. Kesimpulan hasil penelitian berupa pembagian tokoh menurut peran dalam perkembangan plot menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis; pembagian latar menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial; serta analisis kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa.
Tokoh protagonis yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, Abung; tokoh antagonis yaitu Kumis, Bleki, Camat, Pejabat. Latar tempat yaitu lokasi urban miskin di dekat tempat tinggal kelas menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk, pepohonan “rumah” Abung, kantor hansip, kantor Camat, emperan Plaza Monumen, kawasan pembangunan pemda yang bersebelahan dengan kawasan kumuh dan padang golf milik pemerintah, daerah mangkal para waria, sekitar patung Julini, Plaza Julini, rumah Pejabat, jalanan ibukota, kawasan kumuh Lokasari, markas besar dan markas rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima.
Latar waktu terdiri atas pagi, siang, sore, malam; masa pembangunan Indonesia antara 1980-1995; prapemilu hingga pascapemilu pada tahun 1980 dalam “Bom Waktu”; “Opera Kecoa” berlatar tahun 1985 atau lima tahun setelah “Bom Waktu”; “Opera Julini” berlatar tahun 1995 atau sepuluh tahun sesudah “Opera Kecoa”. Latar sosial berupa pembagian masyarakat berdasar kelas sosial menjadi kelas atas, yaitu pemerintah dan kelas bawah, yaitu kaum urban miskin. Pemerintah digambarkan sebagai pihak yang berkuasa dan merugikan kelas bawah; sementara kaum urban miskin adalah pihak lemah yang berusaha agar keberadaan mereka diperhatikan oleh pemerintah.
Kekerasan struktural disebabkan ketidaksamaan struktur sosial, perekonomian tidak merata, dan kekuasaan pemerintah yang berlebih. Bentuk kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap para urban miskin adalah kerusakan solidaritas, penipuan yang mengatasnamakan tingkatan sosial, pemaksaan, intimidasi, ancaman, eksploitasi
vi
kemiskinan, peniadaan kemampuan dan partisipasi untuk menentukan nasib serta mengambil keputusan, pembatasan kesempatan hidup masyarakat, penggusuran, pengendalian dengan imbalan yang membatasi potensi individu, korupsi, diskriminasi politik dalam pemilu, diskriminasi kelas sosial, campurtangan yang menghilangkan otonomi masyarakat, ketidakadilan dalam hukum, monopoli kekuasaan. Akibat kekerasan struktural antara lain ketimpangan sosial ekonomi; kemiskinan; kekurangan dalam hal kesehatan, produktivitas, pendidikan, kekuasaan; hilangnya kemampuan untuk menentukan nasib diri sendiri; serta renggangnya hubungan antarkelas sosial.
vii
ABSTRACT
Sasanti, Airani. 2007. Structural Violence by the Government to the Poor Urban People in Jakarta in the Trilogy Plays Opera Kecoa Written by Norbertus Riantiarno: a Literary Sociological Approach. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.
This research studies the structural violence by the government to the poor urban people in Jakarta in trilogy plays Opera Kecoa using a literary sociological approach. The structure analysis is limited by the character and characterization and the setting related with the life of the character. The method used in this study is descriptive method. The steps which are done is analysing the character, characterization, and the setting. After that, using results from analysis of plays structure to get deeper understanding about structural violence in trilogy plays Opera Kecoa. The conclusion of this study is the division of the characters based on their role in the development of the plot, that is the protagonist and the antagonist; the setting is divided into setting of place, setting of time, and social setting; and the structural violence analysis on trilogy plays Opera Kecoa. The protagonists are represented by Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, and Abung; the antagonists are Kumis, Bleki, Camat, and Pejabat. The setting of place are poor urban place near the residence of upper-middle class society, localization above the river bank, the huts, the trees of “Abung’s house”, hansip office, Camat office, the verandah of Plaza Monumen, the teritory of the district development which is side by side with the slum area and the golf-field owned by the government, homosexual teritory, near the Julini statue, Julini Plaza, the house of the ruler, the subway, Lokasari slum area, head-quarter and the criminal’s quarter, localization office owned by Tibal-Roima. The setting of time is mostly happened in the morning, in the afternoon, in the night, and in the evening; the period of Indonesia development from 1980 until 1995; the period of “Bom Waktu” is before and after general election in 1980; “Opera Kecoa” is published in 1985 or five years after “Bom Waktu”; “Opera Julini” is published in 1995 or ten years after “Opera Kecoa”. The social setting is the division of society based on the social class, that is upper class consists of the goverments and lower class that is the poor urban people. The government describes as the party which has an authority and disadvantages the lower class; while the poor urban people is the weak party who struggle for getting the government attention toward their existence. Structural violence causes by the difference in social structure, unequality in economic, and the excessment of the goverment power. The shape of structural
viii
violence done by the government to the poor urban people is by breaking their solidarity, deceit in the name of social strata, compulsory, intimidation, threatening, exploitation, poverty, nullify the ability and participation to determine the life and making decision, limition of people’s chances of life, a haul, control by comission which limit the individual potential, corruption, discrimination, politic in general election, social class discrimination, intervention which disappears the autonomy of the society, injustice in law, power monopoly. The result of structural violence is the lameness in social economic; poverty; lack of healthiness, productivity, education, and authority; disable to determine his own life; and the social interclass relation is in space.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis
menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada
Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman
penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.
Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan,
pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian
skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang secara tidak
langsung telah memberikan motivasi kepada penulis untuk tetap semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
x
3. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum. selaku pembimbing akademik angkatan
2003 yang selalu rajin mengingatkan anak-anaknya untuk segera
menyelesaikan skripsi.
4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra
Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan.
5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk
persahabatannya.
6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra
untuk pelayanannya yang ramah.
7. Bapak, Ibu, Mas Asa, dan Mbak Arda. Terima kasih atas doa, semangat,
dukungan, cinta, dan pertanyaan “Wis tekan bab pira?” yang memotivasi
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
8. Seluruh kawan seperjuangan di Sastra Indonesia 2003, terima kasih atas
pertemanannya selama empat tahun ini dan selalu menanyakan kabar
skripsiku.
9. Astri, Anton, Aning, Aic, Aji, Bayu, Bekti, Doan, Dhita, Diar, Eci, Gayung,
Jati, Rinto, Simpli, Vonny. Maturtengkyu untuk persahabatan, cekakak-
cekikik, cerita-cerita bahagia dan mengharukan, serta waktu luang untuk
nongkrong bareng di kantin. Terima kasih telah hadir dalam perjalanan
hidupku di Sastra Indonesia. Kapan kita kongkow lagi? Hehehe....
xi
10. Mbak Ari yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran. Terima kasih
atas dukungannya.
11. Butet, Inga, Adin yang dulu berjuang bareng di bangku SMP+SMA, dan
selalu memberikan semangat saat aku menyelesaikan skripsi. Terima kasih
untuk dukungannya.
12. Teman-teman Komisi Pemuda GKJ Condongcatur. Terima kasih atas
semangatnya dan pertanyaan-pertanyaan seputar skripsiku.
13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan
skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih
yang mendalam.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak kekurangan. Seluruh kesalahan yang terdapat dalam skripsi ini sepenuhnya
merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat
memberikan saran yang membangun bagi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
MOTTO ....................................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
ABSTRACT ................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................. 6
1.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7
1.6 Landasan Teori ........................................................................ 14
1.6.1 Teori Struktural ........................................................... 15
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan .................................. 15
xiii
1.6.1.1.1 Tokoh ............................................ 15
1.6.1.1.2 Penokohan ..................................... 17
1.6.1.2 Latar ............................................................. 17
1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ................................................. 18
1.6.3 Teori Kekerasan Struktural ......................................... 21
1.7 Metode Penelitian ................................................................... 23
1.7.1 Pendekatan .................................................................. 23
1.7.2 Metode Penelitian ....................................................... 24
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................... 24
1.7.4 Sumber Data ................................................................ 25
1.8 Sistematika Penyajian ............................................................. 25
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR
DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA
NORBERTUS RIANTIARNO ..................................................... 27
2.1 Tokoh dan Penokohan ............................................................. 27
2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu”
(Trilogi Bagian Pertama) ............................................ 28
2.1.1.1 Julini ............................................................. 28
2.1.1.2 Roima ........................................................... 34
2.1.1.3 Tibal ............................................................. 38
xiv
2.1.1.4 Tuminah ....................................................... 42
2.1.1.5 Abung ........................................................... 46
2.1.1.6 Tarsih ........................................................... 50
2.1.1.7 Kumis ........................................................... 54
2.1.1.8 Bleki ............................................................. 59
2.1.1.9 Camat ........................................................... 61
2.1.2 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Kecoa”
(Trilogi Bagian Kedua) ............................................... 65
2.1.2.1 Julini ............................................................. 66
2.1.2.2 Roima ........................................................... 71
2.1.2.3 Tarsih ........................................................... 76
2.1.2.4 Tibal ............................................................. 79
2.1.2.5 Tuminah ....................................................... 81
2.1.2.6 Pejabat .......................................................... 84
2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini”
(Trilogi Bagian Ketiga) .............................................. 86
2.1.3.1 Roima ........................................................... 86
2.1.3.2 Tibal ............................................................. 89
2.1.3.3 Tuminah ....................................................... 92
2.1.3.4 Pejabat........................................................... 94
2.1.4 Rangkuman ................................................................. 99
xv
2.1.4.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Per-
kembangan Plot ............................................ 99
2.1.4.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera
Kecoa ............................................................ 99
2.1.4.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Tri-
logi Opera Kecoa .......................................... 104
2.2 Latar ........................................................................................ 107
2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama) 108
2.2.1.1 Latar Tempat ................................................ 108
2.2.1.2 Latar Waktu ................................................. 109
2.2.1.3 Latar Sosial ................................................... 113
2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua) . 128
2.2.2.1 Latar Tempat ................................................ 128
2.2.2.2 Latar Waktu ................................................. 131
2.2.2.3 Latar Sosial ................................................... 133
2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga) .. 142
2.2.3.1 Latar Tempat ................................................ 142
2.2.3.2 Latar Waktu ................................................. 144
2.2.3.3 Latar Sosial ................................................... 146
2.2.4 Rangkuman ................................................................. 156
2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa .. 156
xvi
2.2.4.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa .... 157
2.2.4.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa ..... 158
BAB III KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH
TERHADAP KAUM URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM
DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS
RIANTIARNO .............................................................................. 163
3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi
Bagian Pertama)....................................................................... 164
3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ......................... 165
3.1.2 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 171
3.1.3 Kekerasan Struktural terhadap Julini .......................... 173
3.1.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 175
3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung ......................... 176
3.1.6 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 181
3.1.7 Kekerasan Struktural oleh Bleki ................................. 187
3.1.8 Kekerasan Struktural oleh Kumis ............................... 189
3.1.9 Kekerasan Struktural oleh Camat ............................... 200
3.2 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi
Bagian Kedua) ......................................................................... 218
3.2.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih ......................... 219
xvii
3.2.2 Kekerasan Struktural terhadap Julini ........................... 225
3.2.3 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 227
3.2.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 229
3.2.5 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 230
3.2.6 Kekerasan Struktural oleh Pejabat .............................. 231
3.3 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi
Bagian Ketiga) ........................................................................ 261
3.3.1 Kekerasan Struktural terhadap Roima ........................ 262
3.3.2 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah ..................... 265
3.3.3 Kekerasan Struktural terhadap Tibal ........................... 267
3.3.4 Kekerasan Struktural oleh Pejabat .............................. 269
3.4 Rangkuman ............................................................................. 285
BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 294
4.1 Kesimpulan Hasil Analisis Drama Trilogi Opera Kecoa ........ 294
4.1.1 Kesimpulan Tokoh dan Penokohan dalam Drama Tri-
logi Opera Kecoa ......................................................... 294
4.1.1.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Per
kembangan Plot ............................................ 295
4.1.1.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Ope-
ra Kecoa ....................................................... 295
xviii
4.1.1.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Tri
logi Opera Kecoa .......................................... 300
4.1.2 Kesimpulan Latar Drama Trilogi Opera Kecoa .......... 303
4.1.2.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa .. 303
4.1.2.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa .... 304
4.1.2.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa ..... 305
4.1.3 Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilo
gi Opera Kecoa ............................................................ 309
4.2 Saran ....................................................................................... 311
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 312
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa ... 105
Tabel 2: Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera
Kecoa ........................................................................................................... 286
LAMPIRAN ................................................................................................. 315
SINOPSIS ..................................................................................................... 316
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 324
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya seni yang memuat kreativitas dan imajinasi
manusia yang diwujudkan dalam tulisan fiktif. Karena sifat rekaannya, karya sastra
secara tidak langsung mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak
menggugah kita untuk langsung bertindak (Luxemburg via Hartoko, 1989: 5). Karya
sastra memberi kesempatan kepada pembacanya untuk merenungkan dan
merefleksikan isi serta pesan-pesan dalam sebuah karya sastra. Dalam proses kreatif
penciptaan karya sastra, sastrawan seringkali tidak hanya mengandalkan
imajinasinya, tetapi sastrawan juga melakukan pengamatan terhadap lingkungannya.
Bahkan tidak jarang sastrawan mencipta karya melalui pengalaman yang dialaminya
secara langsung. Sebuah karya sastra sangat erat hubungannya dengan latar belakang
pengarangnya, baik lingkungan pengarang maupun kepribadian pengarang.
Salah satu bentuk kehidupan yang seringkali muncul dalam karya sastra
adalah gambaran tokoh dengan lingkungan sekitarnya atau masyarakat. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat
dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang (Damono, 1978: 1). Keadaan seseorang dapat dipengaruhi atau
mempengaruhi keadaan suatu kelompok masyarakat. Dalam hubungannya dengan
masyarakat, karya sastra dapat berisi realitas atau kenyataan kehidupan manusia yang
1
2
tidak jarang menggunakan hubungan antarmanusia, antara manusia dengan kelompok
tertentu, atau antara kelompok dengan kelompok sebagai objek karya sastra yang
disajikan dalam bahasa imajiner.
Drama trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno (selanjutnya disebut
Riantiarno) adalah wujud kehidupan sosial yang disajikan pengarang berupa
hubungan antara kelompok tertentu dengan kelompok lain, yaitu antara pemerintah
dengan kaum urban miskin. Kedua kelompok ini biasa terlibat bersama dalam
berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Oleh
karena itu, peristiwa hubungan kemasyarakatan ini dimunculkan pengarang dengan
bahasa yang imajinatif dan sesuai kapasitas pengarang untuk memahami hubungan
sosial antara pemerintah dan kaum urban miskin.
Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangannya
tentang hidup (Wellek dan Austin Warren via Budianta, 1989: 110), sehingga karya
sastra dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat atau menjadi refleksi bagi
pembacanya. Georg Lukács menyatakan karya sastra mencerminkan realitas, tidak
dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan
memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih
lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” (Selden via Pradopo, 1991: 27). Pengarang
sering mendapat ide atau gagasan untuk karyanya dari pengamatan terhadap perilaku
masyarakat seperti halnya pengamatan pengarang terhadap kehidupan sosial antara
pemerintah dan kaum urban miskin. Ide atau gagasan pengarang juga muncul karena
dalam hubungan sosial antara pemerintah dan kaum urban miskin terdapat berbagai
3
bentuk ketimpangan sosial seperti tindakan sewenang-wenang pemerintah sebagai
penguasa, diskriminasi gender atau kelas sosial, penindasan yang tidak manusiawi.
Dalam trilogi Opera Kecoa kekerasan terjadi karena adanya ketimpangan
yang disebabkan oleh pihak pemerintah sendiri. Kekerasan itu tidak dapat dipisahkan
dari masalah sosial ekonomi. Akar dari kekerasan itu bukanlah kekerasan itu sendiri,
tetapi sesuatu di luar kekerasan seperti soal kesulitan, kekurangan, dan frustasi
material-ekonomis (Darmaningtyas dkk., 1996: 57). Penjelasan ini menyangkut
kegagalan negara memainkan perannya dalam kontrak sosial, dalam menyediakan
manfaat ekonomi atau layanan sosial. Hal ini bertolak dari pandangan bahwa
stabilitas sosial secara implisit berpijak pada kontrak sosial antara rakyat dan
pemerintah: menurut kontrak ini rakyat menerima wewenang negara sepanjang
negara memberikan layanan dan menciptakan kondisi ekonomi yang memadai
(Stewart via Maris, 2005: 193). Dalam masyarakat, konflik yang tidak terpecahkan
atau tidak tertransformasi; fenomena yang ada di mana-mana dalam realitas manusia,
mudah menimbulkan frustasi karena tujuan-tujuan terhambat, mengejutkan, dengan
potensi untuk melawan pihak-pihak yang dipersepsikan sebagai penghambat (Galtung
via Maris, 2005: 401).
Sarjono dalam “Urban Poor Opera, Riantiarno”, pengantar trilogi Opera
Kecoa, menuliskan bahwa pembangunan yang berapi-api telah melahirkan kaum
urban miskin perkotaan yang tentu saja setelah pembangunan gedung-gedung
pencakar langit itu tidak bisa ikut bernaung di sana (Riantiarno, 2004: vi). Oleh sebab
itu, dapat diketahui bahwa ketimpangan sosial masih terjadi meskipun pembangunan
4
telah dilakukan di mana pun. Kaum urban miskin tetap menjadi kelompok yang
tersisih dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Johan Galtung (Galtung via Lubis, 1988: 150) mengelompokkan kekerasan
menjadi dua. Yang pertama adalah kekerasan personal, yaitu kekerasan yang bisa
dilihat sebagai suatu hal yang menimbulkan perubahan dan dinamis, memperlihatkan
fluktuasi yang hebat sepanjang masa, dan akan diperhatikan masyarakat. Yang kedua
adalah kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang selalu dianggap wajar dalam
masyarakat, suatu hal yang memperlihatkan stabilitas tertentu. Alasan utama peneliti
memilih trilogi Opera Kecoa karena terdapat hubungan kemasyarakatan yang justru
menimbulkan permasalahan sosial berupa kekerasan personal dan kekerasan
struktural oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta. Peneliti akan
mengkhususkan pembahasan mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta sebagai kekerasan yang dominan
terjadi dalam trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.
Untuk meneliti karya sastra, pertama-tama penulis mencari unsur-unsur
pembangun karya sastra tersebut atau menganalisis secara struktural. Dalam
penelitian ini, analisis struktural yang diteliti adalah unsur tokoh dan penokohan,
serta latar yang berkaitan erat dengan permasalahan yang terjadi dalam drama trilogi
ini. Penulis memilih meneliti unsur tokoh dan penokohan serta latar untuk
menganalisis lebih jauh mengenai para tokoh yang terlibat konflik serta menentukan
tempat dan waktu kejadian serta keadaan sosial masyarakat yang menjadi penyebab
konflik dalam drama trilogi Opera Kecoa. Dengan demikian, kodrat setiap unsur
5
dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam
hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terkandung di dalamnya (Nurgiyantoro,
1998: 37). Untuk membatasi penelitian terhadap para tokoh yang mewakili kondisi
masyarakat dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno, maka akan
dipaparkan teori kekerasan struktural. Selain itu, penulis juga menggunakan
pendekatan sosiologi sastra yang beranggapan bahwa sastra merupakan cermin
masyarakat.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama
trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?
1.2.2 Bagaimanakah bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi
Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah adalah:
1.3.1 Mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan, serta latar dalam drama
trilogi Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno.
6
1.3.2 Mendeskripsikan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi
Opera Kecoa karya Norbertus Riantiarno.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan di atas, maka manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap studi sastra
khususnya dalam bidang sosiologi sastra, yaitu mengenai kekerasan
struktural dalam hubungan sosial masyarakat.
1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca dan sastrawan
untuk mengetahui peran sosiologi sastra dalam karya sastra dan dalam
kehidupan bermasyarakat.
1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan
untuk menafsirkan karya sastra dalam permasalahan sosial yang
berupa kekerasan struktural serta relevansinya terhadap zaman yang
sedang berlangsung.
1.4.4 Hasil penelitian ini diharapkan membantu pembaca dan sastrawan
untuk lebih peka dalam mengenali dan menggunakan bentuk kritik
dalam karya sastra.
7
1.5 Tinjauan Pustaka
Seni Apriliya dalam http://www.isola-pos.upi.edu dengan tulisannya yang
berjudul “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-angan”
mengulas tentang garis besar cerita trilogi Opera Kecoa dan permasalahan sosial
yang diangkat dalam drama tersebut. Apriliya secara tidak langsung menyatakan
bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Dalam hal ini Apriliya menunjukkan
keadaan rakyat Indonesia pada pertengahan 1980. Kondisi pemerintah dan kaum
urban miskin di Jakarta terlihat sangat kontras karena situasi sosial yang sangat
timpang. Hal seperti ini juga terbaca dalam drama trilogi Opera Kecoa yang
menceritakan penindasan pemerintah sebagai penguasa negara terhadap kaum urban
miskin di Jakarta. Apriliya membandingkan sebuah situasi yang sama dalam dunia
yang berbeda, yaitu dunia sastra dan dunia nyata, seperti dalam kutipan berikut.
“Drama sebagai sastra berakar dari kehidupan manusia, tragedi dan komedi yang dialaminya. Demikian halnya dengan Opera Kecoa; drama fenomenal dramawan Riantiarno. Berlatar kehidupan bangsa Indonesia pertengahan tahun 1980-an, di mana negeri ini giat mengatasnamakan pembangunan untuk setiap proyek yang didirikan. Di Jakarta yang metropolis, hidup tak selalu manis, terutama bagi kaum urban miskin yang memang tidak mempunyai keahlian sebagai sandaran untuk mencari penghidupan. Kemiskinan yang seperti diwariskan terus-menerus membuat mereka sulit untuk keluar dari kungkungan penderitaan. Hidup mereka seperti yang dilontarkan tokoh Julini, yaitu ‘hidup-hidupan’ (Riantiarno, 2004: 178).” (Apriliya, 2005). Dalam tulisannya, Apriliya juga memaparkan beberapa bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin dalam trilogi Opera
Kecoa, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Drama ini bercerita sisi lain dari peradaban kota yang gemerlap. Tentang kecoa-kecoa di gorong-gorong yang gelap. Di pinggiran itu tersimpan banyak
8
derita dan kelaparan, mimpi-mimpi yang tak kunjung jadi kenyataan. Bermacam-macam tragedi, berbagai keputusasaan. Mengingatkan kita dari lupa, tentang nasib sebagian dari manusia seperti Julini dan Roima tengah bergulat dan memperjuangkan kehidupan mereka. Hidup di ujung razia para petugas negara. Dikejar-kejar, diabaikan haknya, dicaci dan dihina perilakunya, menjadi tontonan tanpa memperoleh tuntunan nyata dan solusi nyata dari kegetiran dan nasib buruk mereka.” (Apriliya, 2005). Ketimpangan hubungan sosial antara pemerintah dan rakyat kecil pun disorot
Riantiarno seperti yang ditulis Soni Farid Maulana dengan judul “Kita dan Teater
Koma” dalam http://www.pikiran-rakyat.com. Melalui artikel ini juga ditegaskan
bahwa Riantiarno merupakan penulis lakon teater yang memiliki perhatian mendalam
terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah yang tidak pernah mempunyai
kesempatan melakukan apapun selama masa pembangunan.
“Setidaknya dengan menulis lakon teater trilogi Opera Kecoa perhatian Riantiarno terhadap kehidupan orang-orang kecil yang selalu jadi korban pembangunan, tak putus-putusnya diutarakan dari berbagai sisi. Apa yang disajikan Nano juga mempunyai perhatian demikian besar terhadap masalah tersebut, tidak bisa dianggap angin lalu. Mengapa? Karena di dalam naskah yang sering membuat kuping pemerintah jadi merah itu ada suara kebenaran yang mengharap pihak-pihak terkait siapa pun ia, untuk senantiasa bersikap adil terhadap nasib orang-orang kecil atau rakyat pada umumnya yang posisinya semata-mata diletakkan sebagai korban dalam gerak pembangunan dewasa ini.” (Maulana, 2005). Riantiarno dalam pengantar Cermin Merah yang berjudul “eM dan iM”
menceritakan tentang kehidupan salah satu anggota kaum urban miskin di Jakarta,
yaitu kehidupan para waria. Menurut pengamatan Riantiarno, waria di Jakarta
merupakan kaum yang sering dianggap sebagai pengganggu ketertiban kota, sehingga
tidak jarang mereka menjadi sasaran razia petugas keamanan pemda. Melalui
9
pengamatan ini, Riantiarno memperoleh motivasi untuk melahirkan karya trilogi
Opera Kecoa.
“Pada 1968 hingga 1973, saya sering nongkrong di sepanjang rel kereta api Jalan Krakatau, sekarang Jalan Latuharhary Jakarta. Pekerjaan saya hanya mengamati. Saya menyerap impian mereka, kaum yang tersisih dari pergaulan sopan kota besar Jakarta. Kadang saya ikut lari lintang pukang jika ada razia dari polisi pemda. Dalam sebuah razia, seorang waria nekat terjun ke Kali Malang (yang mengalir di sepinggir rel kereta api), demi menghindari kejaran para petugas. Celakanya, si waria tidak bisa berenang. Mayatnya yang biru dan kaku ditemukan keesokan harinya. Peristiwa itu sering disebut sebagai ‘Tragedi Kali Malang’. Yang menjadi korban selalu orang kecil. Dari pengamatan itu, kemudian lahir pula tiga karya drama panggung, trilogi Opera Kecoa. Ketiganya sudah dipentaskan.” (Riantiarno, 2004: x-xi). Naskah Riantiarno seringkali menampilkan orang-orang kelas menengah ke
bawah di Indonesia yang mempunyai kehidupan tergolong miskin. Riantiarno sebagai
salah satu penulis drama yang hidup pada masa Orde Baru tidak jarang mengambil
kehidupan orang-orang miskin dan keadaan pemerintahan di Indonesia sebagai latar
dalam naskah dramanya. Oleh karena itu, tidak jarang pula Riantiarno dianggap
sebagai penyusup dalam dunia politik di Indonesia. Indra Tranggono melalui
tulisannya yang berjudul “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah” dalam
Fresh Magazine menyatakan bahwa Riantiarno seringkali dianggap sebagai musuh
pemerintah karena naskah-naskah dramanya sarat dengan kritik sosial, termasuk
dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua).
“Perjalanan Koma tidak mudah, ternyata. Di era Orde Baru, Koma menjadi salah satu grup yang “dibidik” penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam. Dikelilingi intel dan diinterogasi polisi atau tentara sudah menjadi hal biasa bagi Nano. Pelarangan pentas juga menjadi sangat akrab. “Penguasa Orba selalu bertanya, apa motif pertunjukan Koma? Siapa yang berada di belakang saya? Partai apa yang menjadi afiliasi saya? Saya cuma tertawa, wong saya ini cuma seniman yang mencoba jujur merefleksikan realitas,”
10
cerita Nano. Beberapa pementasan Koma pun akhirnya dicekal. Misalnya Opera Kecoa dan Suksesi.” (Tranggono, 2007: 87). Sebuah artikel yang dimuat dalam http://www.kompas.co.id (2003) dengan
judul “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu” mengungkapkan bahwa
“Opera Kecoa”, trilogi bagian kedua, merupakan bukti bahwa pemerintah tetap
memperlakukan rakyat kecil dengan tidak adil. Riantiarno menyatakan hal ini terlihat
dari pelarangan pementasan “Opera Kecoa” yang dianggap pemerintah sebagai
gangguan karena menceritakan masalah penggusuran yang pada kenyataannya telah
marak terjadi di Jakarta pada masa pembangunan, seperti kutipan berikut.
“Kisah Opera Kecoa sendiri sebetulnya bercerita seputar masalah penggusuran. Apabila Opera Kecoa lolos sensor ketika pertama kali dipentaskan di tahun 1985, barangkali penggusuran masih belum terlalu populer. Tapi seperti kita ketahui bersama, setelah itu penggusuran kawasan miskin untuk hotel dan lapangan golf merebak sedemikian rupa. Ketika tahun 1990 dipentaskan, Opera Kecoa menjadi semacam tamparan bagi penguasa karena penggusuran telah menjadi hiasan warga ibukota.” (www.kompas.co.id, 2003). Penggusuran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan
pemerintah terhadap rakyat kecil karena setelah penggusuran terjadi, rakyat kecil
tidak pernah mendapat jaminan perbaikan hidup dari pemerintah. Bahkan tidak jarang
nasib rakyat kecil menjadi bertambah buruk setelah mengalami penggusuran.
Achmad Syaiful Anwar dalam tesisnya yang berjudul “N. Riantiarno: Dari
Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)” mengatakan, “Penulisan jenis
trilogi berlanjut, yaitu Bom Waktu (trilogi 1), ditulis tahun 1982. Periode ini diakui
oleh Nano adalah periode mengekspresikan ‘penderitaan’ menjadi daya kreatif di
bidang penulisan naskah drama. Kemudian Opera Kecoa (trilogi 2) ditulis tahun
11
1985, dan Opera Julini (trilogi 3) ditulis tahun 1986. Naskah Opera Kecoa dianggap
sebagai naskah yang kuat menampilkan gaya penulisan Nano secara khusus.
Keberpihakannya terhadap masalah ‘wong cilik’ dan mengangkat tema sosial yang
sarat kritik terhadap penguasa menjadi model penulisan Nano yang khusus tersebut.
Lakon Opera Kecoa bercerita tentang gelandangan, pelacur, dan masyarakat yang
biasa disebut ‘sampah’” (Anwar, 2004: 180-181). Pernyataan Anwar tersebut
menggambarkan latar belakang penulisan trilogi Opera Kecoa beserta nasib para
tokoh sebagai rakyat kecil sebagai cermin masyarakat pada masa pembangunan di
Jakarta. Anwar juga berpendapat bahwa Nano merupakan penulis naskah drama yang
peka terhadap keberadaan kaum urban miskin dan penguasa yang mengatur
semuanya tanpa memikirkan nasib urban miskin.
Menurut Anwar, ketimpangan sosial antara kaum urban miskin dengan
penguasa yang disebabkan tindak sewenang-wenang penguasa dalam mengatur
keuangan negara juga digambarkan dengan jelas oleh Riantiarno dalam trilogi Opera
Kecoa. Hal ini terlihat dalam pernyataan berikut.
“Perubahan nasib seolah sesuatu hal yang mustahil buat mereka (kaum urban miskin), sebab posisi mereka tetap di bawah selamanya. Demikian pula dengan para pejabat penguasa, posisi mereka selalu berada di atas. Menentukan dan mengatur segalanya secara absolut. Hal ini diungkap Nano melalui dialog antara tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam kutipan berikut.
PEJABAT: Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan?
Kami sangat membutuhkan, lho.
TAMU: Pasti. Pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen. Bagaimana?
12
PEJABAT: Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan
bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya,
nomor.... (MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)
TAMU:
Baik, baik.
(PARA HADIRIN BERTEPUKTANGAN) Untuk sekadar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-daerah yang
Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan.
PEJABAT: Oo, bisa, bisa.
(MEMANGGIL PETUGAS, BISIK-BISIK. PETUGAS KE WARTAWAN-WARTAWAN)
PETUGAS:
Saudara-saudara, acara resmi telah selesai. Bapak dan Yang Mulia tamunya hendak menikmati acara yang sifatnya lebih pribadi. Mohon maaf. Press-
release akan dibagikan secara tertulis. Juga amplopnya sekalian.
(WARTAWAN-WARTAWAN BUBAR TANPA PROTES) (Riantiarno, 2004: 186-187)
Adegan pada bagian ini jelas menunjukkan kejelian Nano memotret kondisi realitas penguasa kita yang korup tanpa malu-malu lagi. Mengatasnamakan kepentingan kesejahteraan rakyat demi kepentingan dan kekayaan sendiri” (Anwar, 2004: 183-185). Kutipan dialog tokoh Pejabat dan tokoh Tamu dalam pernyataan Anwar di
atas memperlihatkan bahwa para penguasa telah mengalami kelemahan mental
sebagai aparat negara sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menggunakan hak
rakyat sebagai penunjang kesejahteraan pribadi. Mental penguasa telah menjadi
mental orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi tanpa
mempertimbangkan kepentingan bersama. Pemenuhan kepentingan pribadi oleh
13
penguasa menjadi salah satu pemicu munculnya kekerasan struktural dalam drama
trilogi Opera Kecoa.
Selain pemenuhan kepentingan pribadi oleh penguasa, hal lain yang dapat
dilihat dari drama trilogi Opera Kecoa adalah sikap penguasa dalam menghadapi
kaum urban miskin sebagai anggota masyarakat. Drama Riantiarno ini pada
hakikatnya hendak menggambarkan tiga kelompok masyarakat (orang kaya,
penguasa, pelaksana) dalam menyikapi para gelandangan dan kehidupan para
gelandangan itu sendiri. Dalam drama Bom Waktu (trilogi bagian pertama) tokoh-
tokoh yang berinteraksi ialah “gepeng”, kaum gelandangan dan pengemis, dengan
para aparat pemerintah daerah (pemda) (Sitanggang dkk., 1995: 64, 69). Drama ini
menggambarkan penguasa yang tidak mempedulikan keberadaan kaum urban miskin
dalam masyarakat perkotaan sebagai warga yang juga memiliki kepentingan untuk
hidup di kota. Di tengah kesulitan mencari penghidupan di kota, ternyata kaum urban
miskin justru mendapat tekanan dari pemerintah. Tekanan dari pemerintah dapat
berupa paksaan untuk meninggalkan “rumah” mereka, pembatasan tempat kerja utuk
mencari nafkah bagi para gelandangan, pemanfaatan tenaga manusia untuk
memenuhi kebutuhan pribadi, dan adanya anggapan bahwa kaum urban miskin
merupakan pengacau yang harus segera disingkirkan dari kota. Pemerintah tidak
berusaha menciptakan lapangan kerja maupun tempat tinggal yang layak bagi kaum
urban miskin. Mereka (kaum urban miskin) harus tergusur oleh rencana
pembangunan kota yang sebenarnya hanya sampai pada pembangunan fisik dan
14
masalah spiritual seperti bagaimana mengangkat si lemah pada taraf kehidupan yang
lebih baik belum mendapat perhatian (Sitanggang dkk., 1995: 73).
Dari keseluruhan sumber tinjauan pustaka di atas, penulis memperoleh
gambaran berbagai pandangan mengenai drama trilogi Opera Kecoa, terutama tema
besar drama trilogi ini, yaitu tentang kehidupan kaum urban miskin. Selain itu,
penulis juga lebih dapat memahami latar belakang kemunculan drama trilogi ini serta
relasi kelas-kelas sosial yang menjadi penyebab konflik dalam drama trilogi Opera
Kecoa.
1.6 Landasan Teori
Di dalam penelitian sebuah karya sastra terdapat beberapa model pendekatan
yang dapat diterapkan. Salah satunya adalah pendekatan struktural. Pendekatan
struktural menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang
bersangkutan. Analisis struktural karya yang bersifat fiksi dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur
intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 37). Struktur karya sastra
dipaparkan dengan tujuan agar sebuah karya sastra lebih mudah dipahami.
Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antarhubungan, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu
dengan yang lainnya, di pihak lain antarunsur (unsur) dengan totalisnya (Ratna, 2004:
91). Tujuan pemaparan unsur-unsur struktur karya sastra adalah mengenal kerangka
karya sastra dan mengaitkan unsur-unsurnya agar menjadi kesatuan karya yang utuh.
15
Hasil analisis tokoh, penokohan, serta latar memberi referensi pada penulis untuk
memahami bentuk kekerasan struktural yang dilakukan pemerintah terhadap kaum
urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.
Penulis akan memaparkan teori sosiologi sastra sebagai dasar pembahasan
hubungan kemasyarakatan yang terjadi antara pemerintah dengan kaum urban miskin.
Selain teori sosiologi sastra, penulis juga akan memaparkan teori kekerasan struktural
menurut Johan Galtung. Teori struktural, teori sosiologi sastra, dan teori kekerasan
struktural akan dijelaskan sebagai berikut.
1.6.1 Teori Struktural
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori struktural berupa tokoh dan
penokohan serta latar untuk menganalisis tokoh, penokohan, serta latar dalam drama
trilogi Opera Kecoa. Dengan menganalisis unsur-unsur tersebut, penulis dapat
mengetahui hubungan antara para tokoh dalam kehidupan sosial mereka serta konflik
yang terjadi dalam drama trilogi Opera Kecoa berupa kekerasan struktural.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
1.6.1.1.1 Tokoh
Definisi tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita (Sudjiman, 1988: 16). Pembedaan tokoh
dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis disebut juga sebagai tokoh yang
16
mendukung jalan cerita. Protagonis yaitu tokoh yang pertama-tama berparakarsa dan
dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena perannya itu, protagonis
adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-
kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Protagonis merupakan peran utama yang
menjadi pusat cerita (Harymawan, 1988: 22). Tokoh yang selalu menentang tokoh
protagonis disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis mempunyai konflik dengan
tokoh protagonis. Antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi
musuh yang menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Citra tokoh itu disusun
dengan memadukan berbagai faktor, yakni apa yang difokalisasinya (hubungan antara
unur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut), bagaimana ia
memfokalisasi, oleh siapa dan bagaimana ia sendiri difokalisasi, kelakuannya sebagai
pelaku dalam deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis
di dalam karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh
(Hartoko dan Rahmanto, 1986: 144). Seorang tokoh selalu merupakan hasil dari
penjelmaan fisik dan pengaruh-pengaruh lingkungannya (Oemarjati, 1971: 67),
sehingga tokoh dianggap mampu menggambarkan lingkungan yang melingkupinya
dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti akan menganalisis
tokoh protagonis dan antagonis dalam drama trilogi Opera Kecoa untuk menentukan
konflik yang dipicu oleh tokoh-tokoh antagonis terhadap para tokoh protagonis.
Dalam penelitian ini tokoh-tokoh dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis
karena tokoh protagonis menampilkan hal-hal yang sesuai dengan pandangan serta
harapan pembaca, sedangkan antagonis merupakan penentang utama dari protagonis.
17
Melalui hubungan antara protagonis dan antagonis, maka konflik yang terjadi dalam
karya sastra lebih dapat dipahami dengan jelas.
1.6.1.1.2 Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya
menyebutkan siapa nama tokoh, tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak
tokoh. Yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya
yang membedakannya dengan tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Penokohan
memerikan ciri lahir (fisik) maupun batin (watak) tokoh (Sudjiman, 1988: 25).
Penokohan diperlukan untuk membantu memahami ciri fisik, perilaku dan sikap
tokoh dalam menghadapi lingkungan sekitarnya. Selain itu, penokohan satu tokoh
dapat membantu menjelaskan penokohan tokoh lain sehingga karakter tokoh-tokoh
dapat diketahui dengan lebih rinci di dalam sebuah karya sastra.
1.6.1.2 Latar
Latar atau setting biasanya menyaran pada waktu, tempat, dan lingkungan
sosial tokoh. Dalam penelitian ini akan dipakai latar tipikal atau latar yang memiliki
dan menonjolkan sifat khas latar tertentu; baik yang menyangkut unsur tempat,
waktu, maupun sosial (Nurgiyantoro, 1998: 78). Peristiwa-peristiwa di dalam cerita
tentulah terjadi pada suatu waktu atau di dalam suatu rentang waktu tertentu atau
pada suatu tempat tertentu. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
18
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya; sedangkan latar fisik adalah
tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman,
1988: 41). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk,
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1986: 46). Berdasarkan
penjelasan tersebut, penulis akan menganalisis latar tempat, waktu, dan sosial dalam
drama trilogi Opera Kecoa. Latar tempat berfungsi untuk mengetahui lokasi-lokasi
yang biasa dipakai sebagai tempat beraktivitas suatu kelompok masyarakat sehingga
menunjukkan kelas sosial kelompok masyarakat tersebut dan mengetahui tempat
terjadinya konflik antarkelas sosial. Latar waktu digunakan untuk merunut berbagai
peristiwa dalam drama trilogi Opera Kecoa dan membuktikan bahwa konflik
antarkelas sosial berupa kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas atas terhadap
kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa terjadi terus-menerus sejak awal
hingga akhir drama trilogi ini. Latar sosial berfungsi mengetahui kehidupan beberapa
kelompok masyarakat sebagai dasar untuk memahami hubungan dan konflik yang
terjadi antarkelas sosial dalam drama trilogi Opera Kecoa.
1.6.2 Teori Sosiologi Sastra
Segi-segi kemasyarakatan dalam sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan
sosiologi sastra. Hal ini mencakup hubungan antarmanusia, antara manusia dengan
sekelompok orang, dan antarkelompok manusia. Kehidupan sosial menjadi picu
lahirnya karya sastra (Endraswara, 2004: 77). Karya sastra yang berdasar pada
19
sosiologi tidak akan bisa lepas dari perilaku masyarakat. Dalam sosiologi manusia
dalam masyarakat dapat dikaji mengenai keberadaannya dalam lingkungan, lembaga,
ataupun proses sosial. Manusia menjadi anggota masyarakat dan mempengaruhi
pergerakan sistem masyarakat sehingga manusia diharuskan mampu menyesuaikan
diri dengan keberadaannya dalam lingkungan sosial. Di samping itu, manusia juga
ikut andil dalam proses budaya yang menyebabkan manusia mempunyai kapasitasnya
sendiri sebagai anggota masyarakat.
Sosiologi sastra merupakan gabungan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra.
Persamaan antara ilmu sosiologi dan ilmu sastra adalah kedua ilmu tersebut selalu
berkaitan dengan masyarakat dan manusia sebagai objeknya sehingga ilmu itu tidak
pernah bisa dikaji tanpa memperhatikan latarnya. Sosiologi sastra mempunyai
beberapa definisi, antara lain pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai
dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya atau pemahaman
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya
(Ratna, 2003: 2). Sosiologi yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat
menjelaskan permasalahan sosial yang termuat dalam karya.
Pemakaian pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji suatu karya sastra
membantu pembaca lebih peka dengan permasalahan sosial yang terjadi pada masa
karya itu dibuat. Dengan sosiologi sastra juga sikap pengarang dapat terlihat dalam
menanggapi kondisi sosial masyarakat yang sedang berlangsung. Penulis akan
menggunakan analisis mengenai kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap kaum urban miskin di Jakarta untuk mengetahui hubungan sosial yang
20
terjadi di antara kelas-kelas masyarakat yang terdapat pada drama trilogi Opera
Kecoa karya Riantiarno. Kelas tidak harus diidentifikasikan dengan sumber
penghasilan ataupun kedudukan fungsional di dalam pembagian kerja (Giddens via
Kramadibrata, 1985: 45). Kapitalisme membuat kebanyakan orang mengesampingkan
kepentingan bersama demi kepentingan individual serta mengubah kehidupan
masyarakat. Pertumbuhan ekonomi kapitalis-liberal, yang motornya adalah egoisme
dan individualisme, telah membuat hidup masyarakat makin terdeferensiasi, makin
terorganisasi, bagian-bagiannya menjadi terpisah satu sama lain (Sindhunata, 1997:
14). Ketimpangan sosial yang terjadi dalam trilogi Opera Kecoa disebabkan adanya
kelompok yang menggunakan kekuasaan secara berlebih, dalam hal ini termasuk
penguasaan terhadap perekonomian masyarakat serta pembatasan kemampuan tiap
individu. Pihak yang berkuasa akan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil
keuntungan dari pihak yang lemah. Kekerasan, kerusuhan hanyalah akibat lanjut dan
menyeluruh dari brutalisasi yang diakibatkan oleh pembangunan (“pertumbuhan”)
ekonomi yang demikian cepat (Sindhunata, 1997: 17). Pengarang drama trilogi Opera
Kecoa juga menekankan ideologi yang sering diungkapkan selama masa
pembangunan sekitar tahun 1980-an, yaitu penekanan bahwa semua yang dilakukan
pemerintah semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat, walaupun pada
kenyataannya pembangunan yang dilakukan pemerintah pada masa itu justru
cenderung merugikan sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama rakyat kecil
yang seringkali tidak mendapat pemerataan hasil pembangunan karena perekonomian
negara terlalu dikuasai oleh pemerintah. Berbagai ideologi yang mengitari manusia
21
itu sendiri menjadi semacam lingkungan ideologis. Hanya lewat lingkungan itu dan
dengan pertolongannya kesadaran manusia mencapai persepsi dan penguasaan
terhadap eksistensi sosio-ekonomik dan alamiahnya (Faruk, 2005: 128). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena ada hubungan
yang erat antara sosiologi dengan sastra. Sastra merupakan cermin tingkah laku
masyarakat dan dapat menampilkan fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan suatu
masyarakat. Melalui teori sosiologi sastra, penulis berharap dapat menganalisis dan
menemukan fakta-fakta terjadinya kekerasan struktural yang dilakukan oleh kelas
atas terhadap kelas bawah dalam drama trilogi Opera Kecoa.
1.6.3 Teori Kekerasan Struktural
Kekerasan menurut Galtung (via Windhu, 1992: 64) terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya (nyata)
berada di bawah realisasi potensialnya (mungkin). Dengan kata lain bila yang
potensial lebih tinggi dari yang aktual, terjadilah kekerasan. Kekerasan telah terjadi
dalam masyarakat terutama karena tujuan memperebutkan aset ekonomi. Menurut
Johan Galtung, kekerasan struktural (kekerasan tidak langsung) merupakan kekerasan
yang bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak (Santoso,
2002: 169). Kekerasan struktural cenderung tidak menampakkan pelaku manusia
secara langsung karena kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur dan terwujud
sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat, serta sering dianggap
wajar. Kekerasan struktural bersumber pada ketidaksamaan dalam struktur sosial,
22
terutama dalam distribusi kekuasaan yang dipengaruhi oleh pelaku, sistem, struktur,
kedudukan, dan tingkat dalam masyarakat. Kekerasan model ini terjadi dalam kasus-
kasus penggusuran, ketimpangan sosial ekonomi, persoalan korupsi, kolusi,
manipulasi, ketidakadilan dalam hukum, kemiskinan, dan rendahnya upah buruh
(Darmaningtyas dkk., 1996: 58). Struktur tidak memungkinkan mereka (pelaku yang
berkedudukan paling rendah) membangun kekuatan, mengorganisir dan mewujudkan
kekuasaannya berhadapan dengan “pihak yang kuat”. Galtung (via Windhu, 1992:
70) juga menyatakan bahwa kekerasan struktural ini juga mencuatkan “situasi-situasi
negatif” seperti ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian,
pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi
sumberdaya pun tidak merata. Pokok yang terakhir itulah yang paling penting, karena
kekuasaan untuk memutuskan dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Idealnya
bahwa setiap orang, khususnya dari massa bawah, mempunyai akses yang sama
untuk menentukan kehidupan bersama.
Kekerasan struktural timbul akibat pertumbuhan kapital yang tidak merata dan
berkembang tidak terbatas. Bentuk kekerasan struktural antara lain eksploitasi yang
harus dipahami dalam relasi pertukaran antara dua orang, kelompok atau dua negara.
Secara umum, eksploitasi terjadi bila totalitas keuntungan kegiatan dalam pertukaran
ekonomi berbagai kelompok berbeda sehingga beberapa kelompok memperoleh
keuntungan lebih banyak daripada yang lain. Bentuk lain kekerasan struktural adalah
rusaknya solidaritas, campurtangan kekuatan luar yang menghilangkan otonomi
masyarakat, marginalisasi masyarakat serta meniadakan partisipasi masyarakat dalam
23
mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Selain itu, beberapa bentuk lain
kekerasan struktural yang memiliki dimensi karakteristik psikologis antara lain
kebohongan, intimidasi, serta ancaman. Karakter kekerasan struktural dapat juga
berupa pendekatan negatif dan positif yang mengacu pada sistem orientasi imbalan.
Seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum bila ia bersalah, tetapi
juga dengan memberi imbalan. Dalam sistem imbalan terdapat pengendalian, tidak
bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif. Pengendalian merupakan
pembatasan terhadap realisasi potensi-potensi yang dimiliki individu (Sihombing,
2005: 9).
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan struktural adalah
kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, ketidakadilan sosial, dan
alienasi atau peniadaan individual karena proses penyeragaman warga negara
(Sihombing, 2005: 9).
1.7 Metode Penelitian
Dalam metode penelitian akan dikemukakan pendekatan, metode, teknik
pengumpulan data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.
1.7.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi
sastra. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa sastra adalah gambaran
kehidupan yang memaparkan kenyataan sosial. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
24
dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan
seseoarang dengan orang lain atau masyarakat (Damono, 1978: 1). Pendekatan ini
mempertimbangkan aspek-aspek kenyataan sosial atau kemasyarakatan. Penelitian ini
menggunakan sosiologi sastra yang mengutamakan naskah sastra sebagai bahan
telaah. Naskah sastra terlebih dahulu dianalisis strukturnya, kemudian analisis
struktur tersebut dipakai untuk memahami gejala sosial yang ada dalam masyarakat.
1.7.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-
fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2004: 53). Pendeskripsian fakta-
fakta di sini bertujuan untuk memaparkan gambaran atas suatu hal sampai sejelas
mungkin.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka.
Dalam teknik ini, peneliti akan menggunakan data yang terdapat dalam drama trilogi
Opera Kecoa; yang terdiri dari tiga bagian, yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian
pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian
ketiga); maupun sumber pustaka lain yang berupa buku-buku, karya tulis, atau
sumber dari internet yang berkaitan dengan objek penelitian.
25
1.7.4 Sumber Data
Data adalah bahan penelitian. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian
dapat dijelaskan karena di dalam bahan terdapat objek penelitian yang dimaksud
(Sudaryanto, 1988: 9-10). Sumber data adalah tempat data diambil atau diperoleh
yang berupa karya sastra, buku-buku, karya tulis, serta data dari internet yang
berkaitan dengan objek penelitian. Karya sastra yang menjadi objek dalam penelitian
ini adalah naskah drama dengan identitas sebagai berikut.
Judul : Opera Kecoa (Drama Trilogi)
Pengarang : Norbertus Riantiarno
Tahun terbit : 2004
Penerbit : Mahatari
Tebal : xii + 446 halaman
Cetakan : Pertama
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Keempat bab tersebut adalah:
Bab I berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, serta sistematika penyajian.
Bab II berupa pembahasan struktur karya drama trilogi Opera Kecoa yang
meliputi tokoh dan penokohan, serta latar.
26
Bab III berupa pembahasan analisis kekerasan struktural yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap kaum urban miskin di Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa
karya Riantiarno.
Bab IV berupa kesimpulan hasil analisis data dan saran, serta diakhiri dengan
pemaparan daftar pustaka.
27
BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN, SERTA LATAR
DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA KARYA NORBERTUS
RIANTIARNO
Dalam bab II penulis akan menganalisis beberapa unsur intrinsik drama trilogi
Opera Kecoa yang meliputi tokoh dan penokohan, serta latar. Analisis unsur intrinsik
akan dilakukan berdasarkan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi
bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi
bagian ketiga). Analisis unsur intrinsik yang berupa tokoh dan penokohan, serta latar
sebagai unsur pembangun karya diperlukan untuk mengetahui penggambaran suatu
kondisi sosial masyarakat tertentu dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan fungsinya,
dalam drama trilogi Opera Kecoa akan dianalisis unsur intrinsik berupa tokoh yang
meliputi tokoh protagonis dan antagonis; sedangkan analisis latar meliputi latar
tempat, waktu, dan sosial. Selanjutnya, akan diuraikan analisis unsur intrinsik dalam
drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Salah satu unsur penting dalam karya sastra adalah tokoh. Pembedaan tokoh
dapat dilakukan berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Protagonis merupakan tokoh yang pertama-tama
berprakarsa dan dengan demikian berperan sebagai penggerak cerita. Karena
28
perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan
terlibat dalam kesukaran-kesukaran (Sumardjo dan Saini, 1986: 144). Tokoh
antagonis merupakan peran lawan protagonis, sering juga menjadi musuh yang
menyebabkan konflik (Harymawan, 1988: 22). Penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
(Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan tidak hanya menyebutkan siapa nama tokoh,
tetapi juga memperkenalkan pembaca kepada watak tokoh. Yang dimaksud dengan
watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan
tokoh lain (Sudjiman, 1986: 80). Jadi, penokohan dapat membantu mengetahui
dengan jelas perilaku, sifat, dan ciri fisik para tokoh.
2.1.1 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian
Pertama)
Tokoh protagonis dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) yang akan
dianalisis adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih; sedangkan tokoh
antagonis yaitu Kumis, Bleki, dan Camat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Julini,
Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih, Kumis, Bleki, dan Camat akan dibahas dalam
penokohan tiap tokoh.
2.1.1.1 Julini
Julini, seorang waria, merupakan salah satu penghuni kawasan kumuh yang
sangat dikenal oleh para penghuni kawasan kumuh lainnya. Sebagai seorang waria,
29
Julini mempunyai seorang kekasih, yaitu Roima. Saat menjadi penghuni kawasan
kumuh, Julini yang berprofesi sebagai PSK sudah tinggal dalam satu gubuk dengan
Roima dan hidup selayaknya suami-istri walaupun mereka sebenarnya sama-sama
lelaki.
(1) JULINI: Ampun, Bang, ampun. Jangan jewer saya. Aduh, aduh....
ROIMA:
Nginap di mana semalem? Nginap di mana?
JUMINI: Kejem betul? Masa sama pacar begitu?
ROIMA:
Tak usah ikut-ikut campur, ini urusan pribadi. (hlm. 28)
(2) JULINI: Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS
dengan sertifikat.
JUMINI: Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta?
JULINI:
Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi Te.
(hlm. 30)
(3) (SEMINGGU KEMUDIAN. ROIMA DAN JULINI DI DEPAN GUBUKNYA)
ROIMA:
Setelah kita tidak omong selama seminggu, sekarang saya mau tanya, apa sebetulnya mau kamu?
Begini salah begitu salah, apa kamu pikir enak tiggal satu atap sama patung bau?
JULINI:
30
Julini emang patung bau, kenapa situ mau. Dari dulu kan saya sudah bilang, berikan kepastian.
(hlm. 99)
Julini adalah seorang waria yang sering menggunakan istilah khas waria
dalam percakapannya dengan tokoh lain; misalnya istilah bencong ‘banci’, cewong
‘cewek’, wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’ seperti dalam kutipan (4) dan (5). Selain
itu, sebagai seorang waria Julini memiliki sifat genit dan suka merayu. Kebiasaan
Julini yang suka merayu lelaki lain seringkali membuat Roima menjadi cemburu
sebab Julini melakukannya langsung di depan Roima.
(4) ROIMA: Sialan, cobeek ....
JULINI:
Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.
Oh, Tuhan ... kasihanilah Juli yang sebatang kerong .... (hlm. 29)
(5) JULINI: Jadi Abang mau pukul Julini?
ROIMA:
Tidak di sini.
JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa
saja. Bukankah kita belum suami-isteri. Kita tidak punya ikatan apa-apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong
lain, Julini juga tidak akan ambil pusing. (hlm. 85)
(6) JULINI: Baru pulang?
TIBAL:
Ya.
31
JULINI: Capek dong.
TIBAL:
Ya.
JULINI: Butuh dukun urut dong.
TIBAL:
Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.
JULINI: Saya pintar mengurut ....
ROIMA:
(MEMBEKAP MULUT JULINI) Brengsek, genit.
(hlm. 50-51)
Julini merupakan waria yang pasrah dan perasa. Julini pasrah kepada nasib,
pasrah terhadap keadaannya sebagai waria yang mendambakan cinta sejati dan sangat
mencintai Roima. Julini juga tidak ingin hanya menjadi waria yang berperan menjadi
pemuas kebutuhan seks lelaki, tapi dia juga sangat mengharapkan cintanya dibalas
oleh Roima. Julini seorang yang perasa karena merasa dirinya hanyalah seorang
waria yang kesepian tanpa mendapat perhatian Roima serta selalu merasa disakiti
hatinya oleh Roima.
(7) KASIJAH: Selalu kemari, kalau sedang gawat sama Roima.
JULINI:
Lari ke mana lagi kalau bukan kemari? Aku sebatang kerong. Tak ada tempat mengadu. Aku bagai bunga kering dihembus angin dan selalu jatuh ke comberan. Kapankah bisa memiliki laki-laki yang kucintai
dan mencintai, bukan hanya melulu bernapsu karena layananku di atas kasur.
32
Hidupku ‘kan bukan hanya melulu persoalan kasur...
KASIJAH: Ranjang...
JULINI:
Ya, ranjang kan ada kasurnya. Biarpun kita masih belum mampu beli kasur, cuma tikar. Oh, tikar... Roima tidak pernah paham, feelingku juga peka. Oh, cintaku selembut salju. Dia selalu menyakiti hatiku karena tahu tak mungkin aku lari dari genggamannya. Minggat ke
mana juga, lambat atau cepat aku pasti mendarat tepat di pangkuannya lagi. Nasib, ya nasib....
(hlm. 23)
Karena cintanya sangat dalam kepada Roima, Julini memiliki impian untuk
menikah dengan Roima walaupun Julini menyadari bahwa dirinya adalah seorang
waria dan pria tidak boleh menikah dengan sesama pria. Julini ingin membangun
rumahtangga dan hidup sebagai istri Roima yang sah secara hukum. Beberapa kali
Julini meminta kepastian Roima untuk menikahinya, tapi beberapa kali juga Roima
belum memberikan kepastian kepada Julini. Hingga pada akhirnya Roima
menyanggupi permintaan Julini.
(8) JULINI: Ah, masa? Tapi Roima memang jantan kok, pria mandom. Ibarat petani, cangkulannya ahli dan jitu. Itu yang bikin Juli jatuh cinta setengah mati. Sayangnya dia tidak mau kawin syah sama Juli.
JUMINI:
Kawin syah bagaimana? Apa bisa? Boleh?
JULINI: Kalau memang cinta, semuanya bisa ditembus.
(hlm. 34)
(9) JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa
saja. Bukankah kita belum suami-isteri. Kita tidak punya ikatan apa-
33
apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.
ROIMA:
Jadi maunya apa?
JULINI: Kawini Julini sekarang juga, Julini akan setia sepanjang masa.
(hlm. 85)
(10) JULINI: Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?
ROIMA:
Siapa bilang?
JULINI: (TERKESIMA) Hah? Jadi sudi?
ROIMA:
Tentu dong.
JULINI: Tidak malu?
ROIMA:
Tidak dong.
JULINI: Beneran nih?
ROIMA: Sumpah.
JULINI: Kapan?
ROIMA: Terserah.
JULINI:
(TERHARU)
34
Abang, inilah kalimat paling romantis yang baru Julini dengar selama kita pacaran. Seakan-akan, suaranya datang dari surga. Abang
sungguh-sungguh, tidak mempermainkan saya?
ROIMA: Aturlah persiapannya. Kita adakan pada hari yang baik.
JULINI:
(MELUAPKAN KEGEMBIRAANNYA) Aduhai, Julini mau kawin. Julini mau kawin. Jumini, Turkana, Sawil,
Bilun, Julini mau kawin. Julini ketiban bulan. Ibarat menang lotre, Julini cuma bisa bilang: horeee... Julini mau dikawinin sama Roima....
(hlm. 100-101)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan penokohan tokoh
Julini adalah Julini adalah seorang waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki
yaitu Roima (1); berprofesi sebagai PSK (2); tinggal dalam satu gubuk dengan Roima
(3); serta seringkali menggunakan istilah kaum waria dalam percakapannya dengan
tokoh lain (4), (5). Julini juga memiliki sikap genit dan suka merayu lelaki lain (6);
bersifat pasrah dan perasa (7). Selain itu, Julini juga mempunyai satu keinginan, yaitu
menikah dengan Roima (8), (9), (10).
2.1.1.2 Roima
Roima, seorang pengangguran, adalah pacar Julini yang tinggal segubuk
dengan Julini di kawasan kumuh. Roima merupakan lelaki yang pemarah; gegabah
dalam mengambil keputusan; sering berkata-kata kasar; bersikap kasar bukan hanya
kepada Julini, tapi juga kepada penghuni kawasan kumuh lainnya.
(11) ROIMA: Siapa yang mau menyakiti dia kamu itu. Pulang.
35
JULINI: Ogah, kalau Abang kasar begitu.
ROIMA:
Pulang, Neng. Aku sudah mencarimu sedari tadi.
JULINI: Asal Abang tidak pukul dia.
ROIMA:
Mengapa harus dipukul. Yang merayu kan kamu, bukan dia.
JULINI: Jadi Abang mau pukul Julini?
(hlm. 84-85)
(12) JULINI: Apa bicara Abang tentang perkawinan kita.
ROIMA:
Kita bicarakan di rumah, cobek. Kalau tidak mau, kuseret kamu biar jadi tontonan anak-anak kampung.
JULINI:
Ogah, ogah, ogah.
ROIMA: Terpaksa.
(KEPADA TIBAL)
Dan kamu, bandot kecil, jangan coba-coba lagi mendekati Julini. Dia bukan jodohmu.
TIBAL:
Jodohmu?
ROIMA: Bukan urusanmu, brengsek. Apa mau adu tonjok?
JULINI:
Jangan, jangan. Juli ikut pulang kalau begitu. (hlm. 86)
36
(13) JUMINI: Kejem betul? Masa sama pacar begitu?
ROIMA:
Tak usah ikut-ikut, ini urusan pribadi. Nginap di mana semalam? Jawab monyong, kampret, mak-di....
JULINI:
Aduh, duh duh duh, jangan marah dulu, Bang, jangan marah dulu, jangan gampar.
(hlm. 28)
Sebagai pacar Julini, Roima termasuk lelaki yang mudah cemburu. Roima
akan cepat tersinggung ketika Julini membicarakan lelaki lain atau jika Julini merayu
lelaki lain di depan Roima. Roima cemburu karena merasa dirinya selama ini ternyata
belum cukup memuaskan Julini.
(14) JULINI: Mereka selalu bertengkar, seperti kita. Padahal Juli tahu, Turkana
mencintai Jumini. Cinta setengah mati. Ibaratnya, disuruh terjun ke sumur juga mau. Kalau Abang seperti Turkana, alangkah bahagianya
Juli.
ROIMA: Kurang puas sama aku?
JULINI:
O, puas, puas. Abang adalah segala-galanya buat Julini. Ibaratnya, Abang adalah Qais dan saya Laila.
(hlm. 50)
(15) JULINI: Capek dong.
TIBAL:
Iya.
JULINI: Butuh dukun urut dong.
37
TIBAL: Kalau tidak bayar boleh-boleh saja.
JULINI:
Saya pintar ngurut....
ROIMA: (MEMBEKAP MULUT JULINI)
Brengsek, genit. (hlm. 50-51)
Roima merupakan orang yang pasrah pada nasib seperti penghuni kawasan
kumuh lainnya. Ketika kawasan kumuh terancam digusur, Roima masih bingung
menentukan nasib sendiri dalam mencari tempat tinggal lain karena merasa tidak bisa
mengubah keadaan.
(16) JULINI: Kalau tidak pergi lantas mau ke mana. Tapi meski Juli sama Roima
pergi bareng, tujuannya berbeda-beda.
JUMINI: Lho, Roima ke mana, Julini ke mana?
ROIMA:
Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah. (hlm. 120)
Roima sebenarnya sangat mencintai Julini. Hal ini dibuktikan dengan
kesanggupan Roima dalam memenuhi permintaan Julini untuk menikah, walaupun
Roima tahu bahwa dia dan Julini sama-sama lelaki.
(17) JULINI: Abang kan tidak sudi kawin sama Julini. Ya kan? Ya kan?
ROIMA:
Siapa bilang?
JULINI:
38
(TERKESIMA) Hah? Jadi, sudi?
ROIMA:
Tentu dong. (hlm. 100-101)
Dari analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Roima yaitu Roima
merupakan seorang pengangguran yang menjadi pacar Julini dan bersifat pemarah,
gegabah dalam mengambil keputusan, senang berkata-kata serta bersikap kasar (11),
(12), (13). Roima juga merupakan orang yang mudah cemburu karena Julini merayu
lelaki lain (14), (15). Selain itu, Roima mudah pasrah pada nasib (16) dan sangat
mencintai Julini sehingga bersedia menikahi Julini (17).
2.1.1.3 Tibal
Tibal, kakak kandung Tuminah, merupakan seorang lelaki yang berasal dari
udik (desa). Karena hanya mampu bertani, Tibal bercita-cita menjadi petani kota
dengan menggarap tanah kosong di pinggir sungai di Jakarta. Tibal merupakan lelaki
yang lugu, jujur, pasrah pada nasib, pekerja keras, dan mempunyai keinginan
sederhana untuk mengubah nasib dengan cara mengolah lahan. Agar bisa
memperoleh lahan untuk digarap, Tibal harus meminta izin kepada aparat pemda
setempat. Karena sifatnya yang masih lugu dan belum tahu banyak tentang cara hidup
di kota besar, Tibal terpaksa mengikuti semua kemauan Kumis yang saat itu menjabat
sebagai kepala keamanan daerah calon lahan Tibal.
(18) KUMIS: Ini siapa namanya tadi?
39
TIBAL: Tuminah?
BLEKI:
Cantik, ya?
KUMIS: Adik, betul?
TIBAL:
Betul. Ada surat dari lurah desa kami, kalau Om Hansip kurang percaya....
(hlm. 43)
(19) TIBAL: Begini, Om Hansip, kami bawa surat dari lurah desa kami di udik. Kami juga bawa surat dari Pak RT dan Pak RW yang mengizinkan
kami menggarap tanah kosong di pinggir kali dekat-dekat sini. Rencananya, mau kami tanami sayur-mayur. Sama Pak RW kami disuruh menemui Om Hansip dulu. Apa kata Om Hansip, kami
menurut saja. Soal hasilnya, ya bagaimana kata Om Hansip saja. Barangkali dibagi empat, untuk saya, Om Hansip, Pak RT dan Pak
RW.
KUMIS: Stop, stop, saya tahu, tahu. Kamu ingin jadi....
BLEKI:
Petani kota....
KUMIS: (MAU MENGGAMPAR) Eittt....
BLEKI:
Ampun, Bang. Ampun. Ya deh, diam, diam.
KUMIS: Bagus.
(KEPADA TIBAL)
Bagus, kamu datang seperti cahaya matahari pagi—penuh harapan. Jakarta, makin lama makin gersang. Sehari-hari yang kita lihat cuma
gubuk-gubuk, sampah, mobil dan motor dengan asap knalpotnya,
40
gedung-gedung tinggi dan monumen. Sayur-mayur? Brrrr... kita cuma bisa lihat di... pasar. Di tengah-tengah sliweran mobil-mobil
metropolitan, kamu berniat jadi petani. Kenapa tidak ingin jadi kenek atau tukang parkir? Atau jaga malam? Duitnya lebih banyak, kerjanya
lumayan enak....
TIBAL: Saya cuma bisa bertani.
(hlm. 44-45)
Tibal sangat menyayangi Tuminah, sehingga Tibal berusaha untuk menjaga
harga dirinya maupun adiknya ketika Kumis mulai melakukan tindakan licik demi
mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri. Kumis memanfaatkan kelemahan Tibal,
yaitu keadaan Tibal yang sedang tersudut karena harus memilih menyelamatkan
ladang atau pergi meninggalkan kawasan kumuh, termasuk meninggalkan ladang
yang sudah lumayan lama digarapnya. Kumis memberikan syarat licik kepada Tibal,
yaitu meminta keperawanan Tuminah jika Tibal masih menginginkan ladangnya
utuh.
(20) TUMINAH: Tum harus tahu. Si Kumis tadi minta apa supaya kita bisa tetap tinggal
di sini.
TIBAL: Diam, kubilang! Diam!
TUMINAH:
Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-
capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.
TIBAL:
(MELEDAK)
41
Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan. Bagaimana aku bisa kuat mendengarnya. Bagaimana aku tidakmarah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.
TUMINAH:
(TERMENUNG) Jadi itu yang dia minta. Kita dikasih waktu tiga hari untuk berpikir,
tadi aku dengar Kumis bilang begitu.
TIBAL: Biarlah ladang kita hancur, asal jangan kamu. Lupakan semua, kita
usaha di tempat lain. Dunia tidak selebar daun kelor. Kamu pulanglah, aku akan pergi ke tempat temanku. Mungkin dia bisa memberiku
kerja. (hlm. 112-113)
Pada akhir “Bom Waktu” sewaktu penggusuran kawasan kumuh, ternyata
ladang Tibal juga ikut digusur walaupun Tuminah sudah memberikan
keperawanannya kepada Kumis. Saat proses penggusuran terjadi, Tibal tiba-tiba
menjadi seorang yang pemarah dan pendendam karena merasa ditipu oleh Kumis
serta melakukan pemberontakan sehingga diamankan oleh petugas penggusuran.
(21) TIBAL: (MELEDAK)
Ladangku digusur juga. Lalu apa gunanya Tuminah tidur sama kamu setiap kali kamu ingin?
Berapa kali? Anjing.... Jahanam kamu.
(CAMAT DAN SEKRETARIS DAN BEBERAPA PENGAWAL DATANG. TIBAL YANG MENGAMUK SEGERA DIRINGKUS.
PENYANYI DI JENDELA HOTEL MENYANYI MEMEKAKKAN TELINGA)
CAMAT:
Pemberontakan? Ringkus! Bawa laki-laki gila ke kantor polisi. Jangan biarkan dia menyebar bibit kekacauan!
(TIBAL YANG DIRINGKUS MENATAP MEREKA DENGAN
DENDAM. TUMINAH MENANGIS)
42
(hlm. 134-135)
(22) TIBAL: Tum, sekarang kita belum bisa berbuat apa-apa. Tapi nanti kalau
kesempatan kita tiba, mereka pasti menyesal. Aku bersumpah, mereka pasti akan menyesal.
(hlm. 135)
Tibal bertekat membalas dendam kepada semua orang yang telah merusak
masa depannya dan masa depan Tuminah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tibal yaitu Tibal,
kakak kandung Tuminah, berasal dari udik (desa) dan ingin menjadi petani kota agar
kehidupannya lebih baik (18), (19). Tibal sangat menyayangi Tuminah dan selalu
berusaha menjaga harga diri mereka (20). Ketika proses penggusuran berlangsung,
Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam (21), (22).
2.1.1.4 Tuminah
Tuminah, adik Tibal, adalah gadis yang cantik, lugu, pemalu, menurut pada
Tibal. Ketika pertama kali datang ke kota dan menghadap Kumis, Tuminah terlihat
sebagi gadis desa yang masih benar-benar lugu dan pemalu. Dia mengikuti semua
yang dilakukan oleh Tibal karena Tuminah belum tahu banyak tentang pergaulan di
ibukota. Selain itu, ketika sudah tinggal di kawasan kumuh Tuminah tidak banyak
bicara dengan penghuni lain. Tuminah lebih terkesan pendiam.
(23) TUMINAH: Saya ikut apa yang kakak saya kerjakan.
KUMIS:
Tidak ingin jadi pelayan restoran, pramuniaga, pramuria?
43
TUMINAH: (MALU-MALU)
Saya cuma bisa bergaul dengan tanah. (hlm. 46)
(24) ROIMA: Jul, Julini. Jul. Brengsek, ke mana cobek satu itu. Juuul. Juuul, gila.
Apa dia ngeteng lagi? Katanya hari ini prei?
(KEPADA TUMINAH) Lihat Julini? Ke mana? Sama siapa?
TUMINAH:
(DENGAN JARI MENUNJUK ARAH JULINI DAN TIBAL PERGI. LALU MASUK GUBUK, MENUTUP PINTU, DENGAN DIAM-
DIAM)
ROIMA: He, he, jangan masuk dulu. Jawab dulu. Ke mana? Pergi sama siapa?
Sialan. Bego, lu.
(PERGI KE ARAH YANG DITUNJUK OLEH TUMINAH)
Juuul....
TUMINAH: (NONGOL DI PINTU GUBUK LAGI. JUGA DIAM-DIAM)....
(hlm. 71-72)
Tuminah mudah khawatir terhadap Tibal sehingga Tuminah selalu berusaha
melakukan apa saja agar bisa membantu Tibal, bahkan ikut mengusahakan agar
ladang garapan Tibal tidak ikut digusur. Karena cara berpikir Tuminah yang masih
terlalu lugu, maka ia juga mengikuti apa yang diinginkan oleh Kumis, yaitu
menyerahkan keperawanannya demi pembatalan penggusuran ladang Tibal. Tuminah
tetap melakukan hal ini walaupun dia tahu Tibal telah melarangnya dengan keras agar
tidak mengikuti kemauan Kumis. Dia berpikir bahwa dengan menyerahkan
44
keperawanannya ladang dan gubuk Tibal tidak akan ikut dihancurkan pada hari
penggusuran nanti.
(25) TUMINAH: Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-
capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.
TIBAL:
(MELEDAK) Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan.
Bagaimana bisa kuat aku mendengarnya. Bagaimana aku tidak marah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.
(hlm. 112-113)
(26) (BEBERAPA JAM SESUDAHNYA. TUMINAH BERHIAS SECANTIK MUNGKIN DENGAN CERMIN KECIL. DIA BERGINCU)
TUMINAH:
(BERCERMIN, BERNYANYI)
Bagi cacing seperti aku Adakah pilihan lain?
Yang disodorkan memang racun
Tapi adakah pilihan lain?
Bumi gelap di sudut-sudut Panah tajam siap di busur Piasu-pisau siap menusuk
Dan sembilu ‘kan menyobekku
Di sini dan di sana racun Adakah pilihan lain?
Oh, adakah pilihan lain?
(TUMINAH PERGI KE TEMPAT KUMIS) (hlm. 114)
(27) TUMINAH:
45
Kita tidak akan digusur, Kang. Tidak akan.
TIBAL: Apa?
(BARU MEMPERHATIKAN)
Apa-apaan ini, kamu pakai kain bagus, kebaya bagus, pakai gincu. Kamu habis dari mana. Bilang, kamu habis dari mana.
TUMINAH:
Tum baru datang dari kantornya Kumis.
TIBAL: Jadi kamu... Tuminah, jadi kamu....
TUMINAH:
Ya, dan kita tidak akan digusur. Sehabis peninjauan Bapak Gubernur, kita akan tetap tinggal di sini. Mendirikan gubuk dan berladang. Itu
janji Mas Kumis tadi.
TIBAL: Kamu... kamu....
(BERTERIAK)
Anjing, jadi untuk apa semua jerih payahku selama ini. Untuk apa, untuk siapa.
TUMINAH:
Tidak ada apa-apa, Kang, aku tidak merasa sakit, kok. Yang penting Akang bisa tenang bekerja. Dan kita tidak bakal digusur.
(hlm. 117-118)
Ternyata usaha Tuminah menyerahkan keperawanannya kepada Kumis benar-
benar membuat Tibal marah. Tuminah dianggap tidak menghargai jerih payah Tibal
untuk mempertahankan harga diri mereka selama ini. Pada hari penggusuran,
Tuminah baru benar-benar tahu bahwa dia telah ditipu mentah-mentah oleh Kumis.
Gubuk dan ladang Tuminah juga ikut digusur walaupun Tuminah telah menyerahkan
keperawanannya.
46
(28) TUMINAH: (KAGET. BERTERIAK)
Lho? Gubukku kok dibongkar juga? Apa-apaan ini? Tunggu!
BLEKI: Komandan, bagaimana ini? Dibongkar, jangan?
KUMIS: Bongkar!
TUMINAH:
Kok dibongkar juga? Bagaimana janjimu? Aku sudah kasih apa yang kamu ingin, masa tetap kamu bongkar juga?
KUMIS:
Aku tidak janji apa-apa. Bongkar! (hlm. 133)
Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tuminah yaitu
Tuminah, adik Tibal, merupakan gadis cantik yang lugu, pemalu, dan menurut pada
Tibal (23), (24). Tuminah juga ingin membantu Tibal dengan cara mendatangi Kumis
agar ladang garapan Tibal tidak digusur (25), (26), (27). Tuminah mudah ditipu oleh
Kumis sehingga Tuminah tetap menjadi korban penggusuran (28).
2.1.1.5 Abung
Abung, penghuni kawasan kumuh yang punya kebiasaan aneh bergerak dari
satu pohon ke pohon lain, merupakan satu-satunya tokoh yang selalu mencari
penyebab persoalan hidup, terutama menyangkut kehidupan kaum urban miskin yang
tidak pernah mengalami perubahan nasib atau tidak pernah merasakan kehidupan
yang lebih baik. Abung seringkali berbicara sendiri dan melontarkan pertanyaan atau
47
pernyataan menyangkut keberadaan kaum urban miskin sehingga dianggap gila oleh
para penghuni kawasan kumuh.
(29) ABUNG: Apa yang ditunggu? Aku di sini untuk apa. Mengapa. Siapa oh siapa?
Siapa dia, siapa aku?
TURKANA: Lama-lama aku tidak tahu harus bikin apa.
ABUNG:
Dilemparkan di sini, tanpa penjelasan aku harus berbuat apa. Lalu aku ini apa, tokoh? Kalau tokoh, aku cuma tokoh tak keruan juntrungan. Mana lakon yang harus kumainkan? Kapan aku harus bermain dan
kapan harus istirahat di pinggir panggung?
(MARAH) Aku capek. Aku capek tapi tak bisa berhenti. Begitu banyak orang dibiarkan hidup tanpa persiapan, tanpa bekal apa-apa. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol, bahkan sampai luka mengucurkan darah. Berderet orang antri untuk mencari apa yang mereka pikir bisa
membuat hidup bahagia. Tapi antreannya mandek, padahal yang antre makin bertambah banyak. Setan kredit, menagih hutang-hutang kita
setiap detik. (hlm. 64)
(30) (ABUNG NONGKRONG DI POHON. BICARA SENDIRIAN DENGAN LANGIT)
ABUNG:
Aku ada di mana-mana, hadir dalam setiap peristiwa. Tapi apa peranan yang sekarang sedang kumainkan? Apakah aku pemeran utama, atau cuma embel-embel pelengkap penderita? Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi cuma itu. Aku kan tidak boleh berbuat apa-apa, sebab
memang tidak ada di dalam rancangan. Lagipula aku selalu merasa ada di luar peristiwa. Lama-lama tidak enak juga jadi penonton.
(KEPADA LANGIT)
Ke mana aku harus pergi dan bertanya. Ke mana, katakan. Ke mana? Brengsek. Brengseeek....
48
(BERPINDAH DARI PUCUK POHON KE PUCUK POHON YANG LAIN)
(hlm. 93)
Abung yang semula suka berbicara sendiri dan tidak pernah berbicara dengan
tokoh lain ternyata pada waktu terjadi proses penggusuran kawasan kumuh
mengalami perubahan. Abung sebagai satu-satunya tokoh yang menyadari keadaan
kaum urban miskin sebagai kaum yang tidak pernah diberi kesempatan untuk
merasakan hasil pembangunan untuk pertama kalinya melakukan komunikasi dengan
tokoh lain, yaitu Camat, dan tiba-tiba mengamuk. Dia merasa bahwa selama ini
pemerintah kurang memperhatikan kaum urban miskin, bahkan tidak peduli dengan
nasib kaum urban miskin yang menjadi korban penggusuran. Abung melakukan
pemberontakan saat terjadi proses penggusuran, sehingga akhirnya ia ditembak mati
oleh Bleki sebagai aparat pemda yang bertugas mengamankan proses penggusuran
kawasan kumuh.
(31) CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya
jangan tanya sama saya. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.
ABUNG:
Pak Gubernur? Orang yang ada di atas itu? Orang yang kerjanya cuma makan saja?
CAMAT:
Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak melihat ada orang di atas.
ABUNG:
Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe,
bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya
49
waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak mau.
BLEKI:
Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?
KUMIS: Nih, pestolnya.
BLEKI:
Aduh, tugas berat.
(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK. ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG
KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)
ABUNG: Aku iki opo? Opo iki aku? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.
Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.
(SEMUA TERDIAM)
(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)
Dalam kutipan (31) juga dapat diperkirakan bahwa Abung adalah salah satu
anggota urban miskin yang berasal dari luar kota Jakarta, yaitu salah satu daerah yang
ada di Pulau Jawa, kemungkinan daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini
bisa diketahui melalui istilah bahasa Jawa ngoko yang digunakan Abung antara lain
kowe ‘kamu’, wudel ‘pusar’ dan beberapa kata khas dalam bahasa Jawa yang tidak
mempunyai arti tapi sering diucapkan dalam kalimat; yaitu lha wong, mbok. Ada juga
kata yang diucapkan dengan logat bahasa Jawa, yaitu njawab yang seharusnya dalam
bahasa Indonesia diucapkan “menjawab”. Selain itu, Abung juga mengucapkan
50
kalimat dalam bahasa Jawa; yaitu “Aku iki opo? Opo aku iki?” ‘Aku ini apa? Apa aku
ini?’.
Melalui analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Abung yaitu
Abung, salah satu penghuni kawasan kumuh yang tinggal di pepohonan, merupakan
satu-satunya tokoh yang selalu mencari hakikat persoalan hidup mengenai nasib
buruk kaum urban miskin yang tidak pernah berubah dan dia sering berbicara sendiri
(29), (30). Abung yang semula hanya bicara sendiri, pada saat proses penggusuran
tiba-tiba berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk, sehingga akhirnya dia ditembak
mati oleh petugas (31). Selain itu, dalam kutipan (31) dapat diketahui bahwa Abung
adalah salah satu urban miskin yang berasal dari luar Jakarta, yaitu dari daerah di
Pulau Jawa, kemungkinan berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau
Yogyakarta. Hal ini bisa diketahui dari bahasa yang digunakan Abung, yaitu bahasa
Jawa ngoko yang bercampur dengan bahasa Indonesia.
2.1.1.6 Tarsih
Tarsih adalah salah satu penghuni kawasan kumuh yang berprofesi sebagai
PSK. Tarsih merupakan sahabat Julini sekaligus PSK paling cantik di antara para
PSK lainnya. Tarsih seringkali dicari oleh Kumis yang ingin memakai jasa Tarsih
sebagai PSK, tapi Tarsih pada akhirnya menolak melayani Kumis karena Kumis tidak
pernah membayar jasa Tarsih sebagai PSK. Selain itu, Tarsih juga menjadi PSK
langganan Camat. Bagi Tarsih menjadi langganan Camat merupakan suatu
51
kebanggaan karena menjadi langganan orang besar serta membuktikan bahwa pada
saat itu Tarsih adalah PSK yang paling sering dicari oleh banyak pelanggan.
(32) KUMIS: (DARI BALIK TANGGUL)
Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.
TARSIH:
Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.
KUMIS: Masa tidak percaya sama aku sih, sama Kumis?
TARSIH:
Sudah habis kesabaranku....
(KEDENGARAN BARANG PECAH. KUMIS NAIK TANGGUL TERGOPOH HANYA BERCELANA KOLOR. DIA LARI MASUK
GANG. SEMENTARA ITU BLEKI LARI MENYUSUL DI BELAKANGNYA MEMBAWA CELANA DAN BAJU SERAGAM
KUMIS) (hlm. 57-58)
(33) TARSIH: Masuklah.
(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.
ORANG-1, JONGKOK DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)
KASIJAH: Kamu sendiri tidak?
ORANG-1:
Diam ah, jangan ganggu aku.
KASIJAH: Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.
ORANG-1:
Tidak mau diam, kugebuk kamu.
52
(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)
(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA
TERKEJUT)
KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.
Jadi yang masuk ke sana itu....
ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.
KASIJAH:
(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu
Pak Camat... Ooii, Pak Camat nyabo... (hlm. 81-82)
(34) KUMIS: Oo, jadi Pak Camat juga sudah menjadi langgananmu, ya? Pantes.
Mana mungkin aku bisa bersaing dengan beliau. (hlm. 89)
Tarsih punya keinginan untuk mengubah nasibnya. Dia tidak ingin terus-
menerus menjadi PSK. Keinginan Tarsih untuk mengubah nasib akhirnya terwujud.
Dia dilamar oleh Camat untuk menjadi istri muda. Setelah menjadi istri muda Camat,
Tarsih pindah tempat tinggal ke rumah Camat dan diberi uang tunjangan setiap bulan.
Kesejahteraan hidup Tarsih benar-benar dijamin oleh Camat.
(35) TARSIH: (MENGGELENG. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MATANYA
BERCAHAYA) Mengapa tidak bisa. Apa beda kita dengan mereka yang hanya bisa
makan di atas sana. Yang tidak mau berbuat apa-apa padahal sebetulnya mereka bisa.Apa beda kita dengan mereka, yang punya mata tapi tidak melihat. Yang punya mulut tapi tidak mau bicara.
53
Yang punya otak tapi tak mau peduli. Yang punya kekuasaan untuk mengubah keadaan tapi sontoloyo?
KASIJAH:
Tarsih, Tarsih. Kau sehat?
TARSIH: Aku sehat. Sehat. Aku hanya ingin supaya kita berbuat sesuatu:
mengubah keadaan masa depan kita sendiri. (hlm. 61)
(36) KASIJAH: Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang,
nasibnya jauh lebih bagus dari kita.
JUMINI: Kenapa rupanya.
KASIJAH:
Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?
Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....
(hlm. 119)
(37) TARSIH: Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang
semuanya bukan milikku lagi.
KASIJAH: Kenapa?
TARSIH:
Waktu isteri tua Pak Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu
aku diperlakukan seperti pengemis. (hlm. 127)
Baru sebentar Tarsih merasakan hidup bahagia menjadi istri muda Camat,
Tarsih diusir oleh istri tua Camat yang membawa tentara sebagai bentuk otoritas istri
54
tua Camat. Semua yang telah diperoleh Tarsih selama menjadi istri muda diminta
oleh istri tua Camat. Tarsih tidak memperoleh ganti rugi sedikit pun dan tidak dapat
menuntut haknya sebagai istri muda Camat karena Tarsih tidak punya wewenang
melakukan perlawanan terhadap istri tua Camat. Kemudian Tarsih terpaksa tinggal di
kawasan kumuh dan menjadi anggota kaum urban miskin lagi.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tarsih yaitu Tarsih
merupakan PSK tercantik di antara para PSK lainnya dan menjadi langganan Kumis
dan Camat (32), (33), (34). Tarsih mempunyai keinginan untuk mengubah nasibnya
menjadi lebih baik. Akhirnya impian itu terwujud dengan cara Tarsih menjadi istri
muda Camat (35), (36). Namun, impian Tarsih tidak berlangsung lama karena dia
diusir oleh istri tua Camat ketika baru sebentar menjadi istri muda Camat (37).
2.1.1.7 Kumis
Kumis, seorang aparat keamanan pemda, bertugas sebagai komandan hansip
yang biasa melakukan patroli keamanan di kawasan kumuh dan bekerja sebagai anak
buah Camat. Kumis merupakan orang yang takut sekaligus patuh pada atasan. Kumis
juga merupakan simbol anak buah yang memanfaatkan situasi untuk mencari untung
dari atasan; misalnya dengan mencari keuntungan berupa dana untuk kepentingan
pribadi ketika proses penggusuran sedang direncanakan.
Kumis adalah gambaran pihak aparat pemda yang senang menekan anggota
kaum urban miskin. Dengan mengatasnamakan diri sebagai pelindung daerah, Kumis
mempunyai tugas untuk mengusir secara halus kaum urban miskin dari tempat
55
tinggal mereka dalam rangka penggusuran kawasan kumuh sebagai bentuk
pembangunan.
(38) BLEKI: Eee, tunggu dulu komandan. Jangan putus asa dulu. Cerita sama Bleki, apa yang merisaukan hati komandan. Tapi ngomong-ngomong, siapa
sih orang yang berkerudung tadi? Kelihatannya, kelihatannya komandan....
KUMIS:
Takut setengah mati? Tentu aku takut setengah mati, dia itu Pak Camat.
(hlm. 91)
(39) CAMAT: Itu tugas negara yang penting. Tentunya untuk, untuk... wooahh, mana saya tahu. Yang jelas beliau mau meninjau, titik. Itu saja. Dan kamu
harus jalanken perintah saya tadi. Titik. Siap?
KUMIS: Siap, Pak.
CAMAT:
Kapan mulai kerja?
KUMIS: Kalau dana operasinya sudah turun, tentu saya akan segera
memulainya, Pak. Kan harus ada visibiliti studinya dulu, Pak. Berapa biayanya, bujet tak terduganya....
CAMAT:
Omong kosong itu. Saya perintahken supaya kamu bertindak jangan sampai lewat minggu ini. Senin depan saya sudah harus terima
laporannya.
KUMIS: Siap, Pak, akan kami kerjakan segera, Pak.
(hlm. 95-96)
(40) KUMIS: [...]
56
Nah, saya sebagai pelindung daerah ini, akan mencoba bertindak lunak. Saya harap kalian tidak perlu buru-buru pindah. Nenek-nenek dan kakek-kakek kagak perlu gedebukan beres-beres pindahan. Nanti
kalau kepleset, malah bisa koit. Tenang saja. Kita akan tungguin pindahannya sampai orang yang terakhir. Yang perlu bantuan, akan
kami bantu. Kita harus saling membantu sesama, ya nggak? Ini bentuk pengabdian saya sebagai aparat pemda. Tulus dan murni....
(hlm. 104)
Kumis merupakan orang yang merasa paling berkuasa di daerah kumuh.
Sebagai komandan keamanan di kawasan kumuh, Kumis merasa kedudukannya harus
dihormati oleh semua orang, baik para penghuni kawasan kumuh maupun para
pelanggan pelacur di kawasan tersebut.
(41) KUMIS: Apa dehem-dehem. Aku komandan keamanan daerah sini, kalau aku sedang ada urusan sama perempuan ini, kamu boleh minggir. Atau
datang sesudah aku selesai urusan. (hlm. 89)
Kumis termasuk orang yang senang mencari keuntungan untuk dirinya
sendiri. Banyak penghuni kawasan kumuh mengetahui watak Kumis yang sering
mengambil keuntungan dari orang lain. Kumis seringkali meraup keuntungan dari
para penghuni kawasan kumuh yang memiliki posisi lemah. Misalnya dalam kasus
ladang Tibal, Kumis tidak hanya menginginkan setoran dari ladang Tibal, tapi Kumis
juga memanfaatkan posisi Tibal yang lemah dan mengancam Tibal demi mendapat
keperawanan Tuminah.
(42) JULINI: Nyogok berapa sama si Kumis?
TIBAL:
Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.
57
JULINI: Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang
menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja. (hlm. 69-70)
(43) TIBAL: Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit?
Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.
KUMIS: (PURA-PURA TAK MENDENGAR)
Ini setorannya?
TIBAL: Ya, bagian Mas Kumis itu.
KUMIS:
Tidak ada tipu-menipu ‘kan?
TIBAL: Ada perinciannya, Mas. Kalau mau lihat, boleh.
KUMIS:
Percaya, percaya.
(PADA BLEKI) Bleki, hitung!
BLEKI:
Apa nih, upeti?
KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.
BLEKI:
Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)
TIBAL:
Soal penggusuran itu, Mas. Saya minta keringanan. Kalau boleh, ladang jangan digusur. Gubuk sih tak apa-apa asal jangan ladang.
KUMIS:
58
Boleh, boleh, tapi ada imbalannya.
(MEMBERI TANDA) Sini kubisiki....
TIBAL:
(MENDEKAT. KUMIS BERBISIK. TIBAL MERAH MUKANYA)....
KUMIS: Tuh kan, sudah saya duga pasti marah. Ya sudah tidak jadi. Tapi
jangan harap kamu bisa tinggal di sini lagi. (hlm. 109-111)
Kumis adalah anak buah Camat. Dia selalu menyertai kepergian Camat,
termasuk ketika Camat melakukan peninjauan ke kawasan kumuh. Dalam kunjungan
Camat, sempat terjadi protes dari para PSK. Situasi ini menjadi cukup panas dan
demi mengamankan diri sendiri karena tidak ingin disalahkan atas situasi yang
sedang terjadi, Kumis mengajak Camat untuk segera mengakhiri acara peninjauan.
(44) TARSIH: Apa gunanya kalian datang. Meninjau? Untuk apa? Berikan kami kerja
yang layak dan dengan sendirinya kami akan berhenti jadi cabo. Jangan cuma ngomong, meninjau, ngomong. Tidak habis-habis.
Diperhatiken, nasib kami diperhatiken, tai babi semuanya.
KUMIS: Pak, lebih baik kita pergi. Suasana sudah panas. Kalau ada apa-apa,
nanti saya yang dipersalahkan.
CAMAT: Diperhatiken, nasib kalian diperhatiken....
(hlm. 79)
Kumis juga dikenal para PSK di kawasan kumuh sebagai pengumbar janji.
Kumis yang biasa menjadi pemakai jasa PSK ternyata sudah seringkali tidak
membayar upah jasa setelah memakai Tarsih. Kumis hanya sekadar berjanji akan
59
membayar jasa Tarsih padahal Kumis sudah terlalu banyak berhutang. Bahkan ketika
hutang-hutangnya belum dilunasi, Kumis dengan tidak sungkan-sungkan masih
meminta Tarsih untuk melayaninya.
(45) TARSIH: (DARI BALIK TANGGUL)
Janji melulu, janji melulu. Apa kamu pikir aku bisa hidup hanya dari janji-janji?
KUMIS:
(DARI BALIK TANGGUL) Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat
kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.
TARSIH: Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.
(hlm. 57)
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Kumis adalah
Kumis merupakan komandan hansip kawasan kumuh yang takut sekaligus patuh
kepada atasan, yaitu Camat (38), (39). Kumis mempunyai sifat suka mencari
keuntungan untuk diri sendiri (40); merasa paling berkuasa di kawasan kumuh (41);
memanfaatkan kelemahan orang lain (42), (43); mencari aman untuk dirinya sendiri
(44); dan mengumbar janji (45).
2.1.1.8 Bleki
Bleki adalah anak buah Kumis. Dia selalu menurut pada perkataan Kumis,
mendukung, dan sangat bergantung pada Kumis. Bleki merupakan orang yang suka
mengancam, termasuk ancaman dengan senjata, dan tidak segan-segan mengancam
para penghuni kawasan kumuh. Bleki digambarkan sebagai anak buah yang menurut
60
pada atasan dan mudah terpengaruh oleh atasan demi mendapat keuntungan untuk
diri sendiri.
(46) KUMIS: Stop dulu, stop dulu pestanya. Stop dulu, ini saya bawa kabar baik.
Stop dulu, musiknya....
BLEKI: (IKUT REPOT)
Hoii, stop dulu musiknya. Berhenti dulu ronggengannya. Hoii, gua tembak lu kalau kagak mau berhenti....
(AKHIRNYA BUNYI-BUNYIAN BERHENTI. PENYANYI DIAM.
SEMUA MELIHAT KUMIS DAN BLEKI PENUH TANDA TANYA)
(hlm. 103)
(47) KUMIS: Percaya, percaya.
(PADA BLEKI) Bleki, hitung!
BLEKI:
Apa nih, upeti?
KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.
BLEKI:
Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)
(hlm. 110)
Melalui analisis di atas dapat ditarik kesimpulan penokohan tokoh Bleki.
Bleki merupakan anak buah Kumis yang selalu menurut pada perkataan Kumis dan
tidak segan mengancam penghuni kawasan kumuh dengan senjata (46). Selain itu,
Bleki suka mencari untung untuk diri sendiri dan mudah dipengaruhi Kumis (47).
61
2.1.1.9 Camat
Camat merupakan tokoh yang suka menjanjikan sesuatu kepada para
penghuni kawasan kumuh. Dia menjanjikan perbaikan untuk kawasan kumuh
menjadi tempat yang lebih baik lagi. Namun, di sisi lain sebenarnya Camat
menginginkan tempat itu bersih dari kaum urban miskin. Jadi, pembangunan yang
akan diadakan di tempat itu sebenarnya bukan ditujukan untuk kesejahteraan kaum
urban miskin, tapi justru untuk kesejahteraan orang-orang kelas atas.
(48) CAMAT: (BERSAMA SEKRETARIS DAN PENGAWAL DI JEMBATAN)
Pemandangan ini sunguh luar biasa. Saudara-saudaraku, mengapa nasib kalian seburuk ini? Tinggal di gubuk-gubuk jorok dekat kali,
berkubang seperti babi. Oh, saudara-saudaraku, siapa yang seharusnya peduli pada nasib kalian? Aku hanya bisa memandang, cuma bisa
melihat, dan sekarang ini... tak bisa berbuat banyak. Sapu tangan....
SEKCAM:
(MEMBERIKAN SAPUTANGAN)....
CAMAT: (MENANGIS)
Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus. Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan
gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak
Presiden. (hlm. 12)
Camat juga melakukan peninjauan ke tempat kumuh dan berpura-pura simpati
terhadap keadaan memprihatinkan para PSK agar memperoleh keuntungan untuk diri
sendiri, yaitu mendapat perhatian dari rakyat kecil. Berawal dari peninjauan ke
tempat kumuh ini Camat mulai tertarik untuk menyewa jasa PSK. Camat tertarik
62
kepada Tarsih, PSK paling cantik di kalangan pelacur yang bertempat tinggal di
kawasan kumuh tersebut. Bahkan Camat rela sembunyi-sembunyi hanya untuk
menyewa jasa Tarsih.
(49) CAMAT: Sudahlah, apa Tarsih tidak pernah memikirken masa depan?
TARSIH:
(MULAI DENDAM) Tarsih tidak punya masa depan. Semua orang tahu, kita yang ada di
sini tidak punya masa depan. Hanya Bapak dan orang-orang semacam Bapak saja yang punya masa depan.
(BERPUISI)
Pelacur-pelacur kota Jakarta, bersatulah!
(PARA PELACUR BERTEPUK TANGAN. MERIAH)
CAMAT: Lho, kok gitu.
TARSIH:
Memang begitu. Bapak masih punya harapan naik pangkat, kalau kerja bagus. Kita? Makin tua umur kita semakin berkurang langganan. Padahal kita terus dipajaki. Padahal kerja setengah mati. Goyang kanan, goyang kiri. Mana dikejar-kejar oleh orang-orang macam Kumis yang sering minta imbalan aneh-aneh. Kalau kita berhenti,
lantas mau kerja di mana?
CAMAT: Banyak bidang pekerjaan. Di pabrik-pabrik, di kantor-kantor. Tidak
seharusnya orang secantik kamu bekerja seperti ini. (hlm. 77-78)
(50) ORANG-1: Kalau bukan, jangan banyak omong. Biar dia yang jawab. Nganggur? Kalau nganggur, majikan saya mau pakai. Kalau memuaskan, jangan
kuatir soal honornya.
(TARSIH MELENGGANG MASUK KE DALAM LEMBAH SUNGAI)
63
TARSIH: Masuklah.
(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.
ORANG-1, JONGKOK DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)
KASIJAH: Kamu sendiri tidak?
ORANG-1:
Diam ah, jangan ganggu aku.
KASIJAH: Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.
ORANG-1:
Tidak mau diam, kugebuk kamu.
(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)
(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA
TERKEJUT)
KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.
Jadi yang masuk ke sana itu....
ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.
KASIJAH:
(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu
Pak Camat... Ooii, Pak Camat nyabo.... (hlm. 81-82)
Camat juga digambarkan sebagai atasan Kumis yang memanfaatkan jabatan
untuk mengendalikan orang lain. Dia merasa bahwa Kumis harus benar-benar tunduk
64
kepadanya dan mengikuti semua yang diperintahkan tanpa kecuali. Semua yang
dilakukan oleh Kumis harus sesuai dengan perintah Camat.
(51) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 bulan Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur. Pak Gubernur akan datang dikawal Pak Bupati dan Pak Walikota.
Bersama rombongan Gubernur, hadir juga dua menteri senior. Saya diperintahken untuk membersihken seluruh daerah ini. Dan sekarang, saya perintahken kamu untuk membersihken seluruh daerah ini. Tanpa
pandang bulu. Beresken gubuk-gubuk liar, sarang pelacuran, tempat judi dan sebangsanya. Bikin rata tanah. Caranya bagaimana, terserah kamu. Yang membangkang, boleh kamu tangkap! Kalau kerja bagus, kamu bisa naik pangkat, naik gaji. Itu saja yang ingin saya kataken.
KUMIS:
Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong apa daerah tempat Tarsih praktek juga di....
CAMAT:
Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar
biasa. (hlm. 94-95)
Pada proses penggusuran kawasan kumuh, Camat terlihat sebagai orang yang
tidak mau bertanggung jawab atas nasib para penghuni kawasan kumuh yang menjadi
korban penggusuran.
(52) (CAMAT LARI-LARI DIKEJAR ABUNG)
CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya
jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.
ABUNG:
Pak Gubernur? Orang yang ada di atas itu? Orang yang kerjanya cuma makan saja?
65
CAMAT: Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak
melihat ada orang di atas. (hlm. 137)
Camat berpura-pura tidak tahu tentang rencana penggusuran, padahal perintah
penggusuran yang dikerjakan oleh Kumis datangnya langsung dari Camat. Camat
melemparkan masalah penggusuran tersebut kepada Gubernur untuk menghindari
tanggung jawab terhadap kaum urban miskin.
Melalui penjelasan di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Camat yaitu
Camat adalah tokoh yang suka menjanjikan sesuatu kepada para penghuni kawasan
kumuh (48). Camat bahkan berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK di
kawasan kumuh dan sebagai orang yang sudah beristri tidak malu untuk memakai
jasa pelacur (49), (50). Di samping itu, Camat juga digambarkan sering
memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain (51). Sewaktu proses
penggusuran kawasan kumuh, Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum
urban miskin yang menjadi korban penggusuran (52).
2.1.2 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian
Kedua)
Tokoh protagonis dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) yang akan
dianalisis adalah Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh
antagonis yaitu Pejabat. Selanjutnya, pengenalan tokoh Julini, Roima, Tarsih, Tibal,
Tuminah, dan Pejabat akan dibahas dalam penokohan tiap tokoh.
66
2.1.2.1 Julini
Setelah penggusuran kawasan kumuh tempat tinggalnya yang dulu, Julini dan
Roima sempat tinggal sebentar di kampung. Namun, lima tahun setelah peristiwa
penggusuran Julini dan Roima kembali lagi ke kawasan kumuh yang pernah menjadi
tempat tinggalnya dulu. Kawasan ini tidak begitu banyak mengalami perubahan,
hanya saja di sebelah kawasan kumuh tersebut berdiri sebuah lapangan golf yang
cukup luas milik pemerintah. Dalam kawasan ini juga berdiri gubuk-gubuk milik
kaum urban miskin. Ketika sudah berada di kawasan kumuh ini Julini belum
mempunyai tempat tinggal yang tetap. Dia dan Roima hanya berjalan-jalan di sekitar
kawasan tersebut. Seorang penghuni kawasan kumuh menawari Julini untuk memakai
sepetak tanah kosong yang lumayan sempit sebagai tempat tinggal. Akhirnya Julini
dan Roima memakai tanah kosong tersebut sebagai “rumah” mereka.
(53) ASNAH: Terus, mau tinggal di mana?
JULINI:
Tahu deh.
ASNAH: Kalau mau, itu masih ada tanah kosong. Biar cuma dua meter persegi,
lumayan. Itu bagian saya. Mau tinggal, tinggal saja. (hlm. 189-190)
Setelah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja lagi sebagai PSK. Dari
pekerjaan ini Julini memperoleh penghasilan yang lebih baik. Julini memiliki lebih
banyak pelanggan dibanding dulu. Selain itu, Julini juga didukung oleh penghasilan
67
dari Roima sebagai bandit sehingga Julini bisa berdandan lebih baik dan membeli
barang-barang bagus.
(54) PSK-1: Aihh, Julini modern sekarang, pakai wig merah. Jadi kayak perek.
Punk rock, ya? Ikut-ikutan mode?
JULINI: Biar perek, biar pangrok-pangcelana, yang penting ini usaha. Servis, servis. Langganan maunya yang aneh-aneh. Kita bikin yang aneh-aneh. Kalau langganan minta yang tradisionil, ya nanti Julini pake
kebaya. Biar jalannya jatuh-jatuh, demi langganan, Julini nurut.
PSK-4: Makin laris, ya?
JULINI:
Makin. Tamu-tamu di sini masih kalah jauh, dibanding tamu-tamu yang datang mengantre ikke.
(hlm. 206-207)
(55) PSK-4: Usaha makin maju, Jul?
JULINI:
Yaaah, lumayan. Bisa beli BH baru, celana bikinan luar negeri. Langganan kan seneng kalau kita bersih, apalagi lihat celana dalam
warna-warni, makin hot dia. Sekarang modelnya celana dalam bordiran merah jambu. Ya kan, ya kan?
(hlm. 209)
(56) ROIMA: Jangan ngaco, ah, sontoloyonya keluar lagi. Kamu kan tahu aku kerja. Untuk kamu. Nasib kita sekarang lebih baik dibanding dulu. Rokmu bagus-bagus, tidak bau seperti dulu. Kamu bisa pakai kalung, gelang,
cincin, biarpun cuma imitasi. Semua itu karena aku kerja. (hlm. 227)
Julini adalah seorang banci sekaligus pacar Roima yang sangat mencintai
Roima. Di sisi lain, Julini juga mulai kelihatan mudah cemburu jika Roima dekat
68
dengan wanita lain. Julini sempat memergoki Roima sedang berdekatan dengan
Tuminah. Hal ini membuat Julini sangat marah kepada Roima. Julini merasa cintanya
dikhianati oleh Roima.
(57) TUMINAH: (MEMELUK ROIMA)
Roima, kita harus bikin apa? Duh, Gusti Pangeran, kita harus bikin apa? Aku takut....
(TUMINAH MENANGIS DALAM PELUKAN ROIMA. SEMULA
ROIMA RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIA MEMBALAS MEMELUK TUMINAH DAN MENGELUS-ELUS RAMBUT
PEREMPUAN ITU DENGAN RASA SAYANG)
(JULINI DI PERSEMBUNYIAN LEBIH CEMBURU. TAPI DIA MASIH COBA MENAHAN DIRI)
ROIMA:
Jangan takut, aku akan selalu ada di dekat kamu. Melindungi kamu selamanya.
JULINI:
(TIDAK TAHAN. MELEDAK. KELUAR DARI PERSEMBUNYIAN) Melindungi kamu, melindungi kamu, aduh-aduh-aduh, melindungi
kamu. Lalu Julini bagaimana? Habis sudah semuanya, dunia kiamat, bumi ambles, langit runtuh, bintang-bintang pada jatuh. Aduh-aduh-
aduh. Julini patah hati, dibuang, ditendang, didepak, didorong jatuh ke jurang.
(ROIMA DAN TUMINAH TERKESIMA)
Ini yang dibilang Abang kerja keras: ngelonin cewong. Ini yang dibilang Abang sibuk, padahal pacar-pacaran. Kiamat, kiamat, kiamat. Laki-laki mana lagi yang mesti Julini percayai. Semuanya kambing,
badak, kecoa, kodok, kuda nil... aduh-aduh-aduh, kiamat, kiamat, kiamat....
(hlm. 235-236)
Pada suatu malam di daerah pelacuran para waria terjadi insiden antara para
waria dengan satpam dan petugas razia. Petugas razia memperingatkan agar para
69
waria tidak beroperasi di daerah tersebut. Namun, para waria tidak menggubris
peringatan petugas dan melakukan pemberontakan brutal. Akibatnya terjadi insiden
penembakan yang dilakukan oleh satpam atas perintah petugas razia. Salah satu
peluru mengenai dada Julini yang kebetulan tidak ikut memberontak dan tembakan
ini menyebabkan Julini mati.
(58) JULINI: Tidak peduli. Pokoknya Julini bahagia betul. Goodbye Abang...
goodbye teman-teman seperjuangan. Julini pergi dulu. Di akherat nanti, Julini akan mengadukan nasib kita, mengadukan penderitaan
kita. Penonton, Julini mati dulu ya? Wonderful.
(MATI) (hlm. 249)
Karena Julini dikenal baik di kalangan waria, Julini dianggap sebagai
pahlawan setelah kematiannya. Para waria menginginkan kasus kematian Julini
dilaporkan kepada instansi negara dan pembela HAM. Mereka juga menginginkan
kasus Julini diusut hingga tuntas dan pelaku penembakannya diberi hukuman yang
setimpal. Para waria juga menginginkan hari kematian Julini dijadikan hari nasional,
yaitu “Hari Waria Nasional” serta mengabadikan Julini dalam bentuk patung
peringatan.
(59) WARIA-2: Ya, kenapa harus dia? Julini tidak ikut-ikutan mengeroyok. Dia diam
saja. Kok, pelurunya malah nyasar ke dadanya.
WARIA-4: Pelurunya karet, apa tajem?
WARIA-5:
Peluru karet apa tajem, kalau bikin mati ya tetep tajem namanya.
70
WARIA-3: Sudah, sudah jangan dibahas lagi. Ini tidak bisa kita diamkan. Kita
harus lapor kepada Gubernur. Kalau perlu ke DPR, ke Menteri Peranan Wanita, ke LBH, Ke Komnas HAM. Ingat tragedi Kali
Malang? Sekarang terjadi lagi. Kita tidak ingin hal ini terjadi berulang kali. Kita warga negara juga, punya KTP dan membayar pajak. Kita
harus lapor. Julini orang baik, dia sahabat kita semua, suka menolong. Dia orang baik....
(hlm. 250)
(60) WARIA-1: Julini pahlawan kita.
WARIA-2:
Kebanggaan kita.
WARIA-4: Idola kita. Dia ‘The Best Waria Tahun 1985’.
WARIA-3:
Kesadisan macam ini harus distop. Mentang-mentang kita tidak punya beking, kita diburu-buru, digencet, dibunuhi.
ROIMA:
(BERTERIAK) Kita berangkat ke rumah pak pejabat.
(SEMUA MENYATAKAN SETUJU)
WARIA-3:
Tunggu. Kita harus catat hari ini sebagai peristiwa bersejarah bagi kaum waria, baik yang profesional maupun yang amatiran. Kita
jadikan hari ini ‘Hari Waria Nasional’. Kita bikinkan patung Julini di sini, supaya bisa jadi peringatan bagi generasi waria selanjutnya: bahwa di sini pernah terjadi tragedi berdarah, Julini jadi korban.
(hlm. 251)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Julini adalah lima
tahun setelah peristiwa penggusuran, Julini kembali lagi ke kawasan kumuh yang
menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak tanah kosong sebagai
71
“rumahnya” (53). Ketika telah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja lagi sebagai
PSK. Dengan penghasilan dari bekerja sebagai PSK dan ditambah dengan
penghasilan Roima, Julini dapat mempunyai kehidupan yang lebih baik (54), (55),
(56). Julini ternyata juga mulai terlihat mudah cemburu ketika Roima dekat dengan
wanita lain (57). Pada suatu razia di daerah pelacuran, Julini mati terkena tembakan
peluru nyasar (58). Setelah kematiannya, Julini dianggap sebagai pahlawan kaum
waria (59), (60).
2.1.2.2 Roima
Roima, pacar Julini, merupakan seorang pengangguran yang mudah marah.
Selain itu, Roima juga mudah cemburu ketika mengingat Julini pernah punya
kedekatan dengan lelaki lain.
(61) ROIMA: Dan kamu bilang aku sudah bekerja di pabrik kabel. Kabel apa?
Bilang saja mau minta tolong dicarikan pekerjaan, susah amat. Belit-belit.
JULINI:
Jangan begitu dong. Julini kenal Abang sudah lama. Paham watak Abang, suka gengsi. Kalau bilang langsung-langsung, Abang pasti marah. Kita butuh pertolongan, tapi jangan sampai minta. Kalau
mereka mau tolong, ya, tolong. (hlm. 182)
(62) JULINI: Ya, orang tidak tahu, ditanya. Saya sudah nggak inget lagi.
ROIMA:
Terang, yang diinget cuma Tibal.
JULINI:
72
Idiiih, cemburu. Tibal sudah lewat. Yang ada sekarang cuma Abang. (hlm. 152-153)
Roima mulai mencari pekerjaan. Dalam mencari pekerjaan, Roima meminta
bantuan kepada Tuminah sudah menjadi PSK profesional. Tuminah mengantarkan
Roima menghadap Kumis yang saat itu telah menjadi pimpinan kelompok bandit.
Dengan bujukan Tuminah, akhirnya Kumis menerima Roima sebagai anak buahnya.
(63) KUMIS: Roima, kamu datang kepada alamat yang tepat. Banyak orang
melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas.
Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya, tidak gampang jadi bandit.
TUMINAH:
Jadi diterima?
BLEKI: Diterima dong....
(LARI MENGHINDAR)
Nggak, Bang, maaf kelepasan lagi.
TUMINAH: Diterima, Mas Kumis?
KUMIS: (ALOT)
Ya. (hlm. 202)
Roima juga mulai memiliki kedekatan dengan Tuminah. Hal ini berawal dari
Tuminah yang ketakutan karena Tibal akan keluar dari penjara. Tibal saat itu belum
mengetahui bahwa Tuminah telah menjadi PSK. Tuminah takut Tibal marah jika
mengetahui keadaannya sekarang. Ketika mendengar berita Tibal telah keluar dari
73
penjara, Roima bertekat akan melindungi Tuminah agar tidak terkena dampak
kemarahan Tibal.
(64) TUMINAH: Saya takut. Dia pasti marah. Dia kira aku tetap perempuan baik-baik.
Dia tidak akan menduga aku....
ROIMA: Tibal harus mengerti. Dia tidak boleh seenaknya saja. Kamu hanya
korban.
TUMINAH: Tapi Tibal berangasan. Wataknya keras. Kalau dia tahu aku begini,
aku pasti dia bunuh. Aku takut.
ROIMA: Tibal salah. Mengapa dulu, jadi gelap dan membunuh petugas? Dia
lupa ada kamu.
TUMINAH: Sekarang dia sudah bebas. Dia pasti marah sama aku dan makin
dendam sama Kumis. Aku harus bagaimana?
ROIMA: Biar aku yang bicara. Kalau ada apa-apa, aku akan melindungi kamu.
(hlm. 217-218)
Kedekatan Roima dengan Tuminah sempat membuat Julini cemburu. Hal ini
mengakibatkan Roima harus berpisah dari Julini. Bahkan di hari yang sama, Roima
harus melihat Julini mati ditembak petugas razia. Insiden penembakan Julini
menyebabkan Roima dan para waria menuntut Pejabat yang dianggap sebagai
penanggung jawab kasus penembakan Julini. Roima meminta agar Pejabat
menghukum pelaku penembakan Julini.
(65) ROIMA: Dia cuma ingin hidup. Dia tak pernah mengganggu. Tidak pernah
memaksa. Apa yang dia lakukan cuma kerja. Supaya tidak kelaparan.
74
Dia mungkkin sampah. Keahliannya cuma memijat. Nasib melemparkan dia ke got, dan sampai tua dia akan tetap ada di got,
berdesakan dengan kutu dan kecoa. Kami orang-orang kecil. Masalah kami cuma masalah perut. Tapi
kenapa dia yang ahrus ditembak mati? Kenapa dia?
PEJABAT: Jadi maunya apa. Omong langsung, jangan muter-muter.
ROIMA:
Kami menuntut tindakan hukum yang setimpal bagi penembaknya. (hlm. 253-254)
Roima mulai menampakkan sikap sebagai orang yang peduli pada kaum
urban miskin melalui tekat mencari kebenaran atas musibah kebakaran yang
menimpa kompleks para PSK. Roima berniat mengusut pelaku penyebab musibah
kebakaran ini dan mencurigai pihak Pejabat. Ketika telah tiba di rumah Pejabat,
orang-orang urban miskin menjadi lebih marah kepada Pejabat, sementara Roima
mendadak berubah menjadi orang yang tidak gegabah dan meminta kaum urban
miskin untuk bersabar menghadapi Pejabat dan menyikapi dengan tenang peristiwa
kebakaran ini.
(66) (BEBERAPA JAM SESUDAH PERISTIWA KEBAKARAN ITU. SELURUH KORBAN BERKUMPUL DI BAWAH PATUNG
JULINI. MEREKA LEMAH DAN TAK BERDAYA)
ASNAH: Habis, habis semuanya.
ORANG-1:
Cabo gila itu juga habis.
TUMINAH: Dan Mbak Tarsih....
75
(ROIMA MUNCUL. MELIHAT SEMUA KEJADIAN DENGAN PEDIH)
TUMINAH:
Roima....
ROIMA: Ya, aku dengar semuanya, aku lihat semuanya. Ini bukan kejadian
biasa. Ini pasti ada apa-apanya.
TIBAL: (MUNCUL BERLUMURAN DARAH, DAN PISAU DI
GENGGAMANNYA) Aku sudah bunuh Kumis.
TUMINAH: (MENJERIT)
Kaang....
ROIMA: Kita harus tanyakan ini semua. Kita menghadap.
Kita harus bertanya.
(SEMUA SETUJU. DAN SEREMPAK MEREKA BERGERAK KE KANTOR PAK PEJABAT)
(hlm. 278-279)
(67) ROIMA: Tenangkan darah yang menggelegak. Kekerasan bukan penyelesaian.
(ORANG-ORANG BERHENTI)
Pakai otak kita, Saudara-saudara. Jangan melulu pakai tinju dan
tendangan. Saatnya belum tiba. Ini masih belum zaman kita. Zaman kita mungkin besok, atau lusa, atau satu tahun lagi, satu abad lagi.
Tapi pasti tiba.
ORANG-1: Ngomong apa sih kamu? Memangnya kamu pemimpin kami? Tangan sudah gatal nih. Sudah kepalang basah. Kita tidak punya apa-apa lagi,
mati juga kagak rugi. Ayo, tancap saja! Jangan gubris dia. Ayo! Tancap!
76
(ORANG-ORANG KEMBALI BERGERAK)
(TIBAL MAJU KE DEPAN, MENGHALANGI ORANG-ORANG)
TIBAL: Roima betul. Kalau mau menang jangan dengan pisau di tangan tapi
dengan akal di kepala. Aku baru saja bunuh orang. Ini, pisauku masih berdarah. Siapa tidak setuju dengan Roima, maju, biar kuhabisi
sekaligus. Maju, siapa berani? (hlm. 282)
Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Roima yaitu
Roima, seorang pengangguran, bersifat mudah cemburu kepada Julini (61), (62).
Roima yang semula pengangguran akhirnya bekerja dalam kelompok bandit
pimpinan Kumis (63). Di samping itu, Roima mulai mempunyai kedekatan dengan
Tuminah (64) dan hubungan Roima-Tuminah menyebabkan Julini cemburu.
Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang
sangat peduli kepada nasib kaum urban miskin (65), (66) dan tidak gegabah dalam
mengambil keputusan (67).
2.1.2.3 Tarsih
Tarsih telah tinggal di kompleks PSK yang baru. Di sana dia dianggap sebagai
pimpinan kompleks PSK dan menentukan aturan-aturan bagi para PSK. Tarsih
menginginkan semua PSK menaikkan tarif pelanggan. Hal ini disebabkan oleh
kenaikan pajak yang telah ditetapkan pemerintah kepada kompleks PSK. Tarsih juga
telah berubah menjadi orang yang keras kepala. Tarsih sempat berdebat dengan
petugas karena tidak ingin lokasi kompleks PSK dipindahkan ke tempat lain. Selain
77
itu, Tarsih mulai menjadi orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Pada
saat kedatangan Julini dan Roima ke kompleks PSK, Tarsih mencurigai mereka dan
menyangka kedatangan mereka dikarenakan maksud tertentu. Tarsih tidak mudah
percaya kepada orang lain dengan alasan merasa sakit hati karena lima tahun yang
lalu dia dihina dan diusir oleh istri Camat saat Tarsih menjadi istri muda Camat.
Tarsih beranggapan bahwa sejak saat itu setiap orang perlu diwaspadai; termasuk
teman-teman lamanya, yaitu Julini dan Roima.
(68) TARSIH: Ya, kan wajar. Setiap usaha di mana saja pasti ada pajaknya. Kita
malah harus bangga lantaran hasil keringat kita ada yang kita sumbangkan demi negara. Di dalam surat edaran ini, setiap bulannya kita bakal dipungut pajak pendapatan sebesar 17 %, ppn 10%, pajak
penghasilan 25 % dan pajak kenikmatan 20 % dihitung dari tarif umum.
Mereka akan mengontrol dengan ketat sehingga tidak mungkin ada penipuan atau pembukuan ganda.
Lagipula kalau terbukti ada penipuan hukuman penjara menanti. Jadi saya punya akal. Terpaksa kalian harus menaikkan tarif sebesar jumlah
pajak yang harus kita bayar, berapa tadi? 17 tambah 10 tambah 25 tambah 20, jadi 72 %. Dan pajak itu kita bebankan kepada konsumen.
(hlm. 196)
(69) TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari
mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.
SATPAM-1:
Pendeknya, Bu, tugas kami cuma mengingatkan. Mumpung waktunya masih lama. Sebaiknya Ibu siap-siap dari sekarang.
(MENANGIS)
78
Aduh, bagaimana sih, diingetin baik-baik malah marah. Saya kan cuma tugas. Kalau mau marah, sana marah sama yang di atas....
TARSIH:
Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap bertahan di sini. Ini hak milik saya, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat. Pergi, pergi,
pergi.... (hlm.157)
(70) TARSIH: Jadi Julini datang mau apa?
TUMINAH:
Bagaimana kalau nanti saja itu kita tanyakan, Mbak Tarsih? Kasihan, masih capek. Sudah makan, Jul? Roima?
TARSIH:
Tidak, Tum. Kita sekarang harus tahu jelas tujuan orang biarpun dia itu teman kita sendiri.
Ingat pengalaman kita dulu. Aku tidak mau lagi diremehkan orang. Ingat juga masa lalu kamu. Kamu serahkan kehormatan jadi nyamikan
orang konyol. Kamu lakukan itu untuk kepentingan kakakmu. Tapi apa hasilnya? Kamu dihancurkan juga dan kakakmu masuk
penjara. Kita harus keras, Tum, harus. Itu kalau kita sayang kepada diri sendiri. Menolong orang boleh, tapi kita tetap harus meminta
imbalan. Begitulah tata cara hidup di kota besar. Kalau kita lemah, habis kita.
TUMINAH:
Lho, ini apa-apaan? Kita belum tahu Julini datang mau apa, kok sudah curiga. Mentang-mentang dia datang dari desa.
TARSIH:
Orang-orang sudah tahu kita sukses. Kalau mereka datang sama kita, apalagi yang diharapkan kalau bukan pertolongan.
(hlm. 179-180)
Tarsih termasuk orang yang keras kepala. Dia tidak ingin hasil jerih payahnya
selama ini hilang. Hingga pada suatu hari ketika terjadi peristiwa kebakaran di
kompleks PSK, Tarsih lebih memilih menyelamatkan sertifikat tanahnya dibanding
79
menyelamatkan nyawanya sendiri. Tarsih mengira dengan menyelamatkan sertifikat
tanahnya tersebut, dia bisa mendapat jaminan tanah sebagai tempat tinggal. Akhirnya
Tarsih memutuskan untuk mengambil sertifikat tanahnya di dalam rumah ketika
kebakaran sedang terjadi. Hal ini mengakibatkan Tarsih ikut terbakar dan mati demi
menyelamatkan sertifikat tanah.
(71) TARSIH: Barang-barang berhargaku. Sertifikat tanah. Kalau aku tidak punya apa-apa lagi, mereka bisa mengusir seenaknya. Lepaskan. Sertifikat
tanahku....
TUMINAH: Mbak Tarsiih....
(TARSIH TERKURUNG DI DALAM RUMAHNYA SENDIRI.
KEMUDIAN API MELAHAPNYA TANPA AMPUN) (hlm. 276)
Dari analisis di atas bisa disimpulkan penokohan tokoh Tarsih yaitu Tarsih
merupakan pimpinan kompleks PSK yang bersifat keras kepala dan tidak mudah
percaya kepada orang lain (68), (69), (70), (71).
2.1.2.4 Tibal
Tibal, kakak Tuminah, adalah bekas napi yang pernah dipenjara karena
membunuh orang ketika penggusuran kawasan kumuh. Setelah lima tahun dipenjara,
Tibal berubah menjadi orang yang egois dan nekat. Tibal menganggap tindakannya
membunuh orang sebagai pembelaan terhadap dirinya dan Tuminah, serta bisa
menyelamatkan masa depannya. Namun, ternyata pikiran Tibal keliru. Justru setelah
80
Tibal dipenjara, Tuminah harus berjuang sendirian untuk mencari nafkah dengan
jalan menjadi PSK.
(72) TIBAL: Aku membunuh untuk Tuminah. Apa saja kukerjakan. Semuanya
untuk Tuminah.
ROIMA: Tidak. Kamu cuma memikirkan diri sendiri.
TIBAL:
Diri sendiri bagaimana?
ROIMA: Kamu pikir Tuminah ingin terus-terusan jadi pelacur? Dia juga punya
cita-cita. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri. Kamu datang lagi untuk apa? Untuk mengobrak-abrik nasibnya lagi? Yang lewat biarlah
lewat, yang ada di depan kita sekarang, itu yang paling penting. Bisa saja kamu bunuh Tuminah, lalu kamu masuk penjara lagi. Terus,
untuk apa? Kita orang kecil, Tibal. Kita selalu kalah. (hlm. 232-233)
(73) TIBAL: Percuma teriak-teriak minta tolong. Sudah lama aku mengintip gerak-
gerikmu. Mampus kamu....
KUMIS: Aku sudah mampus. Sudah mampus....
TIBAL:
Aku ingin lihat bagaimana kamu mampus berkali-kali. Anjing.
KUMIS: Tibal, tolong aku. Tolong. Bawa aku ke Puskesmas. Aku sudah tidak
kuat lagi. Darah, darah, aku tidak kuat melihat darah.
TIBAL: Sebentar lagi kamu mampus dan orang boleh menemukan mayatmu. Paling-paling mereka akan bilang kamu kena korban penembakan
misterius.
(KUMIS MATI)
81
(hlm. 272)
Setelah bebas dari penjara, Tibal bertekat melakukan balas dendam dengan
cara membunuh Kumis karena Tibal menganggap Kumis telah merusak masa
depannya. Akhirnya Tibal menemukan Kumis dan membunuhnya.
Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal, bekas
napi, merupakan orang yang egois, nekat, dan pendendam (72), (73).
2.1.2.5 Tuminah
Tuminah, adik Tibal, telah berubah menjadi PSK profesional di kompleks
PSK pimpinan Tarsih. Pada awal Tuminah menjadi PSK profesional, dia sempat
ketakutan karena jika Tibal yang akan keluar dari penjara tahu adiknya telah menjadi
PSK, maka Tibal akan sangat marah kepada Tuminah. Dulu Tibal telah berjuang agar
Tuminah mendapatkan hidup yang layak. Namun, pada saat insiden penggusuran
kawasan kumuh Tibal telanjur membunuh orang dan dipenjara. Sejak saat itu
Tuminah menjadi PSK agar dapat memperoleh penghasilan untuk menyambung
hidup.
(74) TUMINAH: Saya takut. Dia pasti marah. Dia kira aku tetap perempuan baik-baik.
Dia tidak akan menduga aku....
ROIMA: Tibal harus mengerti. Dia tidak boleh seenaknya saja. Kamu hanya
korban.
TUMINAH: Tapi Tibal berangasan. Wataknya keras. Kalau dia tahu aku begini,
aku pasti dia bunuh. Aku takut.
82
(hlm. 217)
Tuminah merupakan PSK langganan Pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa
Tuminah merupakan PSK berkelas tinggi di dalam kompleks PSK. Dia tidak
memiliki pelanggan lain kecuali Pejabat.
(75) TUMINAH: (KELUAR BERSAMA TAMUNYA)
Jangan takut, Pak.
PEJABAT: (KETAKUTAN. KELUAR CUMA BERCELANA PENDEK DAN
TANPA BAJU. SAMBIL BERPAKAIAN, BERBICARA) Mas....
TUMINAH:
Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.
PEJABAT: Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu
Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran. Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?
(MERAYU)
Tuminah, besok aku datang lagi ya? Di rumah, aku dapat kiriman kondom dari Jepang. Bisa kita coba, enak mana dibanding dengan
kondom bikinan Tangerang. (hlm. 158-159)
Tuminah termasuk orang yang peduli pada teman. Pada awal kedatangan
Julini dan Roima ke kompleks PSK, Tuminah menawarkan bantuan kepada mereka.
Selain itu, Tuminah juga berusaha mencarikan Roima pekerjaan di perkumpulan
bandit pimpinan Kumis.
(76) TARSIH: Jadi Julini datang mau apa?
TUMINAH:
83
Bagaimana kalau nanti saja itu kita tanyakan, Mbak Tarsih? Kasihan, masih capek. Sudah makan, Jul? Roima?
(hlm. 179)
(77) KUMIS: Roima, kamu datang kepada alamat yang tepat. Banyak orang
melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas.
Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya, tidak gampang jadi bandit.
TUMINAH:
Jadi diterima?
BLEKI: Diterima dong....
(LARI MENGHINDAR)
Nggak, Bang, maaf kelepasan lagi.
TUMINAH: Diterima, Mas Kumis?
KUMIS: (ALOT)
Ya. (hlm. 202)
Kesimpulan penokohan tokoh Tuminah dari penjelasan di atas adalah
Tuminah memiliki ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi PSK
tanpa sepengetahuan Tibal (74). Sebagai PSK profesional Tuminah merupakan
langganan Pejabat (75). Selain itu, Tuminah termasuk orang yang peduli teman dan
sempat mencarikan pekerjaan untuk Roima (76), (77).
84
2.1.2.6 Pejabat
Pejabat digambarkan sebagai tokoh yang selalu ingin mencari aman. Pejabat
adalah tokoh yang memiliki PSK langganan, yaitu Tuminah. Namun, Pejabat tidak
berani mengambil resiko hubungannya dengan PSK diketahui oleh masyarakat.
Pejabat tidak siap mendapat malu di depan publik. Selain itu, salah satu cara Pejabat
menjaga nama baik diri sendiri dari saingan politiknya adalah dengan berusaha
mencari simpatik rakyat. Pejabat tidak ingin namanya menjadi buruk di depan
saingan politiknya. Pejabat akhirnya memanfaatkan situasi kasus kematian Julini.
Pejabat memberikan apa yang diminta oleh kaum urban miskin sebagai ganti rugi
dalam insiden penembakan Julini sebagai jalan meminta simpatik rakyat.
(78) TUMINAH: Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.
PEJABAT:
Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran.
Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan? (hlm. 158-159)
(79) PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?
SATPAM-2:
Betul mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.
PEJABAT: Adih, jadi bagaimana ini? Saya pasti yang lebih dulu kena getahnya.
(MEMBACA KORAN)
“Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh...”. Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.
Cepat amat dia merespon. Brengsek.
85
PETUGAS: Boleh saya usul, Pak?
PEJABAT:
Usul!
PETUGAS: Terima kasih, Pak. Begini. Agar kita selalu nampak simpatik di depan
rakyat, sebaiknya apa saja tuntutan mereka kita penuhi. Minta dibikinkan monumen, kita bikin. Minta dibikinkan patung, kita bikin. Apa saja. Keuntungannya banyak, Pak. Kemarahan mereka bisa reda, dan kita malah bakal disanjung sebagai pejabat yang tanggap kepada hati nurani rakyat. Kalau tidak, bisa-kisa kita dihadiahi ayam betina
sama mereka. Kan malu, Pak? Jatuh wibawa kita. (hlm. 258-259)
Ketika ada kunjungan tamu dari luar negeri, Pejabat tidak sungkan
mengatasnamakan kesejahteraan rakyat untuk mendapat keuntungan pribadi. Tamu
dari luar negeri datang dengan tujuan memberikan bantuan dana kredit kepada rakyat
kecil. Pejabat memanfaatkan situasi ini dengan melakukan korupsi secara terang-
terangan dan meminta bagian dana tersebut dari tamu luar negeri. Bahkan
digambarkan juga bahwa Pejabat bekerjasama dengan tamu luar negeri dalam
melakukan korupsi.
(80) PEJABAT: Yang penting, dana kredit itu akan segera keluar dengan segera, ‘kan?
Kami sangat membutuhkan, lho.
TAMU: Pasti, pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen.
Bagaimana?
PEJABAT: Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak
penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....
86
(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)
TAMU: Baik-baik.
(PARA HADIRIN BERTEPUK TANGAN)
Untuk sekedar formalitas, perkenankan saya mengunjungi daerah-
daerah yang Tuan anggap sudah sukses dalam pembangunan. (hlm. 186)
Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat
digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri sendiri (78),
(79). Pejabat juga tidak sungkan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan
kesejahteraan rakyat (80).
2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian
Ketiga)
Tokoh protagonis dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) yang akan
dianalisis yaitu Roima, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis yaitu Pejabat.
Selanjutnya, pengenalan tokoh Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat akan dibahas
dalam penokohan tiap tokoh.
2.1.3.1 Roima
Setelah kematian Kumis, Roima diangkat menjadi ketua kelompok bandit
yang semula dipimpin oleh Kumis. Bersama dengan Tibal, Roima menjalankan
rencana-rencana kelompok bandit. Roima merupakan pemimpin yang sangat berhati-
87
hati dalam merencanakan sesuatu dan berusaha menjaga kerahasiaan kelompok.
Roima juga masih memiliki impian bahwa suatu saat dia dan kelompok bandit serta
anggota kaum urban miskin lainnya punya kehidupan yang lebih baik dibanding
dengan kehidupan mereka sekarang. Namun, sebenarnya di dalam memimpin
kelompok bandit, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal yang juga
pemimpin kelompok bandit karena keduanya sama-sama keras kepala.
(81) ROIMA: Kami sedang merencanakan sesuatu yang besar. Kalau berhasil
keuntungannya bakal berlipat. Kalian sebagai para kepala cabang harus simpan rahasia ini rapat-rapat. Bocor sedikit saja, kita semua
mampus. (hlm. 312)
(82) ROIMA: Aku belum selesai omong. Kita ini orang rendah, karena kita bandit-bandit kasar yang hanya mengandalkan tinju dan belati. Kehormatan? Apa itu tidak penting untuk orang-orang macam kita yang selama ini
‘ngumpet di dalam comberan?
TIBAL: Sudah, sudah.
ROIMA:
Apa kamu tidak ingin suatu saat nanti, kita bisa bergaul dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan golf, lukisan dan turunnya
harga minyak di pasaran dunia? Aku ingin. Aku ingin suatu saat nanti, kita satu meja makan dengan kalangan jas
dan dasi itu, membicarakan macam-macam soal, tanpa malu-malu. Kita sedang bergerak ke arah itu. Masa kita tidak mau belajar? Kita
orang bodoh, tapi kita punya kesempatan untuk jadi pintar. Jangan sia-siakan. Kita punya uang sebagai modal. Kita tidak ingin terus-menerus
jadi kuda tunggangan. Kita harus jadi majikan. (hlm. 336)
(83) ROIMA: Kita memang tidak sepaham.
88
TIBAL: Betul, kita memang tidak sepaham.
(PERGI DENGAN MARAH, DIIKUTI OLEH BAJENET DAN BLEKI)
(hlm. 396)
Roima sebenarnya masih mencintai Julini. Setelah ditinggal mati oleh Julini,
Roima masih selalu teringat kepadanya. Roima memang pernah dekat Tuminah, tapi
hal itu tidak membuat Roima melupakan Julini. Sebenarnya yang dicintai oleh Roima
bukan Tuminah, tapi Roima hanya mencintai Julini. Bahkan Roima seringkali merasa
bersalah atas kematian Julini.
(84) ROIMA: Aku masih tetap ingat kamu, aku tidak tahu kalau itu yang dinamakan cinta. Kamu tidak ada bandingannya. Biar kamu jelek seperti celepuk.
JULINI:
Aih, ini yang Julini suka. Abang selalu terus terang. Julini memang jelek, tapi servis, servis kan memuaskan?
ROIMA:
Jul, kamu mau memaafkan? Aku selalu merasa bersalah.
JULINI: Abang tak pernah salah. Tidak ada yang perlu Julini maafkan. Abang
bersih di mata Julini.
ROIMA: (MENANGIS)
Peristiwa itu dulu. Aku penyebabnya. Kalau kamu tidak mati, kita pasti sudah bahagia. Kita cari duit supaya kamu bisa operasi ganti kelamin. Lalu kita pergi ke penghulu, menikah. Dua kali kita gagal menikah. Sekarang kamu jangan pergi. Aku tidak mau gagal lagi.
(hlm. 415-416)
Kesimpulan penokohan tokoh Roima dari penjelasan di atas adalah Roima
menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima selalu bertindak
89
hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan yang lebih baik
(81), (82). Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal (83).
Roima juga masih mencintai Julini walaupun Roima dekat dengan Tuminah (84).
2.1.3.2 Tibal
Tibal merupakan pemimpin kelompok bandit yang merasa sangat berkuasa
atas para anak buah dan mengharuskan anak buahnya setia. Tibal termasuk orang
yang tidak suka dengan pengkhianatan, tapi dia seringkali gegabah dalam
merencanakan sesuatu, berpikir terlalu pendek, dan memanfaatkan para anak buahnya
demi membalas dendam kepada banyak orang yang dianggap pernah merusak masa
depannya.
(85) TIBAL: Tidak bisa kuterima, tidak bisa. Masa ada mata-mata dalam kelompok
kita? Ini akibat kamu terlalu lemah. Dunia kita dunia keras, dunia penuh darah, tidak bisa kita bersikap seperti pendeta. Bandit-bandit
harus dikendalikan dengan tangan besi.
ROIMA: Betul, tangan besi. Tapi jangan sewenang-wenang.
TIBAL:
Mereka harus takut kepada kita. Dengan darah kita rebut kelompok ini, dengan darah pula kita harus pertahankan kelompok ini di bawah
perintah kita. Aku pikir, rencanamu terlalu bertele-tele.
ROIMA: Bagaimana?
TIBAL:
Kita harus segera wujudkan rencana itu, lurus, tanpa belok-belok. Kekuatan adalah kekuasaan. Siapa kuat, dia kuasa. Tenaga para bandit
hanya dibutuhkan untuk mengantar kita ke puncak kekuasaan.
90
ROIMA: Tibal, kamu terlalu dikuasai dendam masa lalu. Dulu, Kumis
mengobrak-abrik masa depanmu. Kemudian kamu bunuh Kumis. Dan sekarang, kamu punya rencana mengobrak-abrik masa depan banyak
orang. Kamu selalu buru-buru, tidak mau pakai otak. (hlm. 333-334)
Dalam memimpin kelompok bandit, ternyata Tibal mengalami
ketidakcocokan dengan Roima. Tibal merasa sudah tidak sepaham dan dendam
kepada Roima sebab Roima tidak mau mengikuti keinginan Tibal serta menganggap
Roima tidak menghormati Tibal sebagai pemimpin kelompok bandit. Dendam Tibal
berlanjut menjadi rencana untuk membunuh Roima. Tibal menganggap dalam sebuah
kelompok bandit tidak boleh ada dua pemimpin sehingga akhirnya Tibal
memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Roima.
(86) TIBAL: Siapa yang membunuh Kumis? Siapa yang seharusnya mewarisi
komplotan yang dulu dipimpin Kumis? Siapa yang seharusnya jadi pemimpin besar? Tibal, Tibal, Tibal. Tapi apa kenyataannya? Roima
mengambil alih semuanya. Aku tidak boleh berbuat semaunya.
BAJENET: Kapal memang tidak boleh punya dua kapten.
BLEKI:
Bunuh saja dia, Bos.
BAJENET: Apa? Bunuh siapa?
BLEKI:
Eh, nggak. Kelepasan. Saya omong apa tadi?
TIBAL: Bleki, sini!
(BLEKI KETAKUTAN)
91
Jangan takut. Kadang-kadang kamu punya pikiran cemerlang. Betul kata kamu Bajenet, kapal yang punya dua kapten selalu oleng. Apa
kamu berdua bisa dipercaya?
BAJENET: Saya selalu setia sama Bos.
BLEKI:
Saya juga.
TIBAL: Bagus. Kalau begitu, mari kita susun rencana untuk membunuh
Roima. (hlm. 400-401)
(87) TIBAL: (MASUK BERGEGAS DENGAN PISAU BELATI DI TANGAN)
Di sini aku pernah membunuh Kumis. Dan di sini juga aku membunuh kamu, Roima. Mampus kamu, mampus.
(MENUSUK ROIMA BERTUBI-TUBI)
Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa mencegah aku. Akulah pemimpin, akulah yang terbesar, kepala bandit yang berkuasa.
(MENYINGKAP SELUBUNG KAIN YANG MENUTUP KEPALA
ROIMA) Lihat mukaku baik-baik. Lihat. Inilah dunia kita, penuh kekerasan,
pengkhianatan, penuh darah. Kamu tidak mungkin bisa mengubahnya. Kita orang kasar, orang bodoh, orang kampung. Hidup kita ada di
ujung belati. Dan siapa kuat, dia berkuasa.
ROIMA: (TERENGAH-ENGAH)
Kamu salah Tibal, salah. Sebentar lagi kamu akan menyaksikan kelompok kita hancur berantakan. Kamu berangasan. Cuma dendam
yang ada di kepalamu. Kamu tidak pantas jadi pemimpin. Kamu serakah. Kamu akan terima akibatnya nanti.
(MENYANYI PERLAHAN)
Siapa bisa membendung kecoa-kecoa yang bersatu .....................
BAJENET:
92
Dia sudah sekarat, Bos.
BLEKI: Habisi, Bos.
(TIBAL MENUSUK LAGI)
TIBAL:
Selamat jalan, Roima, mampus kamu.
(ROIMA MATI) (hlm. 417-418)
Bersama Bleki dan Bajenet, akhirnya Tibal berhasil membunuh Roima.
Dengan demikian Tibal sekarang menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit.
Kesimpulan penokohan tokoh Tibal dari analisis di atas adalah Tibal
merupakan pemimpin kelompok bandit dan termasuk orang yang gegabah dalam
memutuskan sesuatu (85). Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan
Roima dan akhirnya membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin
kelompok bandit (86), (87).
2.1.3.3 Tuminah
Setelah menjadi PSK profesional, Tuminah mulai mengalami banyak
perubahan. Dia mulai gemar berdandan dan berfoya-foya. Tuminah juga dipercaya
sebagai pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Cara hidup seperti ini
membuat Tuminah cenderung tidak peduli pada situasi yang terjadi di sekitarnya.
(88) TUMINAH: Duing.
DUING:
93
Ya, Zus Tuminah?
TUMINAH: Jangan lupa kopor alat-alat riasku.
(hlm. 319)
(89) TUMINAH: Memang aku ingin hidup senang, apa tidak boleh? Aku ingin
menikmati apa saja yang kita miliki sekarang, apa tidak boleh? Sepuluh tahun jadi cabo, pengalaman jelek untukku. Apa sekarang
setelah kaya, kita juga harus tetap sengsara? Lalu untuk apa ini semua, ditabung? Siapa nanti yang akan menikmati? Aku makan rezeki yang ada di tangan, aku tidak mengharapkan yang masih di angan-angan.
Apa itu salah? Masa bodoh, bagaimana cara kalian memperoleh kekayaan atau kekuasaan. Yang penting, aku tidak ganggu kalian. Aku makan
bagianku sendiri. Lebih baik kamu ngomong blak-blakan daripada terus menyindir. Tanyakan pada dirimu sendiri, untuk apa kamu kerja
keras. (hlm. 335)
Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima. Tuminah menganggap bahwa
yang dilakukannya selama ini sia-sia sebab ternyata Roima hanya mencintai Julini
dan Tuminah tidak berhasil merebut hati Roima selama kedekatan mereka.
(90) TUMINAH: (SADAR. MENANGIS LAGI)
Duing, Roima tidak benar-benar mencintaiku. Dia tetap masih ingat Julini. Sakit hatiku, Duing. Apa yang kulakukan ini sebetulnya hanya
untuk menarik perhatiannya. Tapi dia tidak menyadari. (hlm. 339)
Dari analisis di atas dapat disimpulkan penokohan tokoh Tuminah adalah
Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya sehingga cenderung tidak peduli
pada keadaan di sekitarnya (88), (89). Tuminah juga merasa tidak lagi dicintai oleh
Roima (90).
94
2.1.3.4 Pejabat
Pejabat sebagai tokoh masyarakat ternyata selama ini tidak pernah mengetahui
keadaan kaum urban miskin yang sebenarnya. Pejabat sempat terkejut ketika
melewati daerah tempat tinggal kaum urban miskin. Ketika selesai melewati kawasan
kumuh tersebut, mata Pejabat tiba-tiba buta. Kebutaan Pejabat yang sangat tiba-tiba
tidak dapat diketahui penyebabnya. Pejabat yang mendadak sakit mata ternyata dulu
juga pernah menjadi langganan Tuminah. Bahkan ketika mata Pejabat sedang sakit,
peristiwa perselingkuhan Pejabat dengan Tuminah yang terjadi bertahun-tahun lalu
tetap saja membuat istri Pejabat merasa cemburu hingga sekarang.
(91) PEJABAT: Ya sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok
kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.
(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)
Apa yang ada di depan kita, Paijo?
ASPRI:
Sampah yang menggunung, Pak.
PEJABAT: Di samping kiri kita?
ASPRI:
Jembatan roboh, Pak.
PEJABAT: Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?
ASPRI:
Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.
PEJABAT:
95
Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju? Apa tidak kedinginan?
ASPRI:
Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.
PEJABAT: Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?
ASPRI:
Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada
di dalam rumah mereka sendiri, Pak. (hlm. 297-298)
(92) PEJABAT: Aduh, Paijo. Aduh, mataku tiba-tiba jadi gelap. Ada apa ini? Aduh,
nyeri. Paijo, aku buta.
ASPRI: Ah, Bapak main-main. Masa joging bisa bikin buta?
PEJABAT:
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aduh. Sakit. Paijo, mataku sakit. Gelap tiba-tiba. Paijo.
(hlm. 300)
(93) PEJABAT: Bu, aku sakit, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mataku sakit. Aku cuma
minta tolong, kompres mataku, siapa tahu bisa lebih baik.
ISTRI: Kompres sendiri. Atau minta tolong sana sama Tuminah.
PEJABAT:
Aduh, nama itu lagi, nama itu lagi. Sudah sepuluh tahun yang lalu aku tobat, aku akui kesalahan itu, kekhilafan itu. Maklum namanya juga
lelaki, sering jalannya melenceng. Tapi kan cuma sebentar, dan sudah kuakui. Aduh, mataku, aduuh.
(hlm. 305)
96
Pejabat ternyata merupakan tokoh yang kalah terhadap istri. Ketika sakit mata
dia kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin masyarakat karena semua wewenang
untuk memerintah bawahan dan memecat petugas diambil alih oleh istrinya. Selain
itu, Pejabat juga terpaksa mengikuti semua keputusan yang diambil oleh istrinya,
termasuk keputusan menyangkut penumpasan kelompok bandit yang seharusnya
tidak terlalu menjadi urusan istri Pejabat.
(94) ISTRI: Tumpas sampai habis komplotan itu. Kalian boleh pakai biaya tanpa batas. Ini perintah dari Bapak. Seret yang namanya Tuminah kemari, aku ingin tahu kayak apa muka badak betina yang tidak tahu malu itu.
Sekarang kalian pergi. Laksanakan perintah dengan baik!
POLISI-1: Perintah Bapak bagaimana?
PEJABAT:
Lho, sudah dengar tadi kan? Ya seperti tadi, seperti yang sudah diucapkan Ibu.
(hlm. 372)
(95) ISTRI: Petugas macam apa kalian? Sudah jelas banci yang melarikan diriitu
ada hubungannya dengan komplotan bandit. Kok dibiarkan lolos? Kelalaian ini harus kalian bayar mahal. Catat nomor stambuk mereka
dan urus pemecatan mereka nanti.
ASPRI: Sudah dicatat.
ISTRI:
Coba, sekarang di mana lagi kamu bisa memperoleh informasi? Hah? Siapa bisa ditanya di mana markas para bandit itu? Hah? Di mana
Tuminah bersaudara itu ngumpet? Hah? Jawab!
POLISI-2: Bu, maaf ya, yang wajib memarahi kami, Ibu atau Bapak?
97
PEJABAT: (MARAH)
Tutup mulut kamu. Suara istriku sama seperti suaraku. Dia penyambung lidahku selama aku sakit. Patuhi dia.
(hlm. 402)
Setelah sekian lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui
kesalahan selama menjalankan tugas sebagai pemerintah. Pejabat menganggap bahwa
selama dirinya menjalankan tugas sebagai pemerintah, dia tidak pernah peduli dengan
keadaan masyarakat urban miskin sehingga matanya menjadi sakit. Pejabat
menganggap sakit matanya ini karena selama ini dia tidak pernah mau melihat
keadaan rakyat kecil.
(96) PEJABAT: Lalu, apa yang selama ini sudah aku lakukan? Sibuk dengan berkas-berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan
gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa sekarang? Dan pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku
buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada dalam gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya
mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-
besarkan. Sekarang aku sudah melihatnya, dan langsung buta karena sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan
milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus kumanfaatkan semata-mata demi keutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku
cuma wayang. Demikian yang terjadi, baru sekarang kusadari. Dan kamu, tidak mungkin sanggup mengobati aku. Sakitnya sudah parah,
aduuuuh.... (hlm. 331)
Pada akhir cerita “Opera Julini” Pejabat memutuskan untuk mengundurkan
dari jabatannya, tapi permintaan pengunduran diri tersebut ditolak oleh Menteri.
98
Pejabat justru diberi penghargaan dan kenaikan pangkat serta wewenang untuk
mengurus ibukota.
(97) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya
sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab
tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.
ISTRI:
Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau-balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam urusan suami saya. Sayalah tulang
punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah dia....
MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat
pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus
kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.
(hlm. 440)
Kesimpulan penokohan tokoh Pejabat dari analisis di atas adalah Pejabat
merupakan tokoh masyarakat yang tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban
miskin yang sebenarnya (91). Pejabat tiba-tiba mengalami sakit mata setelah
melewati kawasan kumuh (92), (93). Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat
diambil alih oleh istrinya sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pimpinan
masyarakat (94), (95). Sesudah beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat
mengakui kesalahannya selama menjalankan tugas pemerintahan (96) dan
mengundurkan diri dari jabatan, tapi justru pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri
(97).
99
2.1.4 Rangkuman
Analisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam drama trilogi Opera
Kecoa dapat dirangkum secara umum. Rangkuman tersebut meliputi pembedaan
tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada setiap bagian trilogi;
penokohan tiap tokoh dalam bagian-bagian trilogi; serta perkembangan karakter
beberapa tokoh yang terlihat dalam tiap bagian trilogi.
2.1.4.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Perkembangan Plot
Tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada tiap bagian trilogi
dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dalam “Bom
Waktu” (trilogi bagian pertama) para tokoh protagonis terdiri atas Julini, Roima,
Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Tokoh antagonis antara yaitu Kumis, Bleki, dan
Camat. “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) mempunyai tokoh protagonis Julini,
Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis adalah Pejabat.
Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) tokoh protagonis terdiri atas Roima,
Tibal, dan Tuminah; tokoh antagonis adalah Pejabat.
2.1.4.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
Penokohan para tokoh akan disimpulkan berdasarkan setiap bagian trilogi.
Penokohan dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) akan diuraikan sesuai
dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih, Kumis,
Bleki, dan Camat. Penokohan para tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.
100
Julini merupakan waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki, yaitu Roima,
dan mereka tinggal dalam satu gubuk seperti sepasang suami-istri. Julini berprofesi
sebagai PSK serta seringkali menggunakan istilah waria dalam percakapan dengan
tokoh lain. Sebagai seorang waria, Julini bersifat genit dan suka merayu lelaki. Julini
yang merasa dirinya adalah seorang wanita memiliki sifat pasrah dan perasa, serta
mempunyai impian menikah dengan Roima.
Roima adalah seorang pengangguran yang menjadi pacar Julini. Dia pemarah,
gegabah dalam mengambil keputusan; sedangkan sikap dan perkataannya sering
kasar. Dia juga mudah cemburu jika Julini merayu atau membicarakan lelaki lain.
Roima mudah pasrah pada nasib, agak susah menentukan pilihan. Beberapa kali
Roima diminta Julini untuk menikah, tapi Roima belum bisa menentukan sikap.
Namun, akhirnya Roima bersedia menikahi Julini karena cintanya kepada Julini.
Tibal, kakak kandung Tuminah, berasal dari desa. Dia datang ke Jakarta untuk
menjadi petani kota. Tibal yang lugu sangat menyayangi Tuminah dan selalu
berusaha menjaga harga diri mereka. Namun, ketika proses penggusuran kawasan
kumuh, Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam sebab ditipu oleh
pemda.
Tuminah, adik Tibal, adalah gadis cantik, lugu, pemalu, dan sangat menurut
kepada Tibal. Tuminah merasa telah membantu Tibal dengan cara menyerahkan
keperawanannya kepada Kumis agar ladang garapan Tibal tidak ikut digusur.
Tuminah yang lugu pada akhirnya ternyata mudah ditipu oleh Kumis sehingga
Tuminah tetap menjadi korban penggusuran.
101
Abung merupakan satu-satunya penghuni kawasan kumuh yang selalu tinggal
di pepohonan. Abung juga diperkirakan sebagai salah satu urban miskin yang berasal
dari luar kota Jakarta, yaitu dari daerah di sekitar Pulau Jawa, kemungkinan berasal
dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari
bahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia yang digunakan Abung dalam
percakapannya dengan tokoh lain. Dia sering berbicara sendiri mencari hakikat
persoalan hidup mengenai nasib buruk kaum urban miskin yang tidak pernah
berubah. Abung yang semula hanya bicara sendiri, sewaktu proses penggusuran
untuk pertama kali dia berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk sehingga akhirnya
dia ditembak mati oleh petugas.
Tarsih adalah PSK tercantik yang menjadi langganan Kumis dan Camat.
Tarsih berkeinginan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Keinginan itu
terwujud ketika Tarsih menjadi istri muda Camat. Namun, status sebagai istri muda
Camat tidak berlangsung lama karena Tarsih diusir oleh istri tua Camat.
Kumis berperan sebagai komandan hansip kawasan kumuh yang takut
sekaligus patuh kepada Camat. Kumis senang mencari keuntungan untuk diri sendiri,
merasa paling berkuasa di kawasan kumuh, memanfaatkan kelemahan orang lain,
mencari aman untuk dirinya sendiri, dan suka mengumbar janji.
Bleki digambarkan sebagai anak buah Kumis yang selalu menuruti perkataan
Kumis dan tidak segan mengancam para penghuni kawasan kumuh dengan senjata.
Dia termasuk orang yang suka mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mudah
dipengaruhi oleh Kumis.
102
Camat adalah orang sering menjanjikan sesuatu kepada para penghuni
kawasan kumuh. Camat bahkan berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK dan
sebagai orang yang sudah beristri dia tidak malu untuk memakai jasa PSK. Camat
juga digambarkan sering memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain.
Sewaktu proses penggusuran Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum
urban miskin yang menjadi korban penggusuran.
Penokohan dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) akan dipaparkan
sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah, dan Pejabat.
Penokohan para tokoh akan dijelaskan sebagai berikut.
Julini pada saat lima tahun setelah peristiwa penggusuran kembali lagi ke
kawasan kumuh yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak
tanah kosong sebagai “rumah”. Setelah tinggal di “rumah” barunya, Julini bekerja
lagi sebagai PSK. Dari penghasilan sebagai PSK ditambah dengan penghasilan
Roima, Julini bisa memiliki kehidupan perekonomian yang lebih baik. Julini juga
terlihat mulai mudah cemburu ketika Roima dekat dengan wanita lain. Pada suatu
razia di daerah pelacuran, Julini mati terkena peluru nyasar. Setelah kematiannya,
Julini dianggap sebagai pahlawan kaum waria.
Roima merupakan pengangguran yang bersifat mudah cemburu kepada Julini.
Roima yang semula pengangguran akhirnya dengan bantuan Tuminah dapat bekerja
dalam kelompok bandit pimpinan Kumis. Di samping itu, Roima mulai memiliki
kedekatan dengan Tuminah dan hubungan Roima-Tuminah membuat Julini cemburu.
103
Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang sangat peduli
kepada nasib kaum urban miskin dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Tarsih menjadi pimpinan kompleks PSK. Hal ini membuat Tarsih menjadi
orang yang keras kepala mempertahankan kawasannya. Selain itu, Tarsih mulai
menjadi tidak mudah percaya kepada orang lain.
Tibal adalah bekas napi yang bersifat egois, nekat, dan pendendam.
Tuminah mempunyai ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi
PSK tanpa sepengetahuan Tibal. Sebagai PSK profesional, Tuminah merupakan
langganan Pejabat. Tuminah termasuk orang yang peduli kepada teman dan sempat
mencarikan pekerjaan untuk Roima, sehingga mereka mempunyai hubungan dekat.
Pejabat digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri
sendiri. Pejabat juga tidak sungkan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan
kesejahteraan rakyat.
Penokohan dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) akan dijelaskan
sesuai dengan para tokoh, yaitu Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat. Penokohan para
tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.
Roima menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima
selalu bertindak hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan
yang lebih baik. Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal
dalam memimpin kelompok bandit, sehingga Roima mati dibunuh oleh Tibal. Roima
juga masih masih mencintai Julini walaupun Roima sempat dekat dengan Tuminah.
104
Tibal adalah pemimpin kelompok bandit yang gegabah dalam mengambil
keputusan. Tibal sering berselisih paham dengan Roima dan akhirnya membunuh
Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin kelompok bandit.
Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya, sehingga cenderung tidak
peduli pada keadaan di sekitarnya. Selain itu, Tuminah juga menjadi pengelola kantor
urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima.
Pejabat merupakan tokoh masyarakat yag tidak pernah mengetahui keadaan
kaum urban miskin yang sebenarnya. Dia tiba-tiba mengalami sakit mata setelah
melewati kawasan kumuh. Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat diambil alih
oleh istrinya sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat.
Sesudah beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui
kesalahannya selama menjalankan tugas pemerintahan dan mengundurkan diri dari
jabatan, tapi justru pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri.
2.1.4.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
Dalam drama trilogi Opera Kecoa beberapa tokoh mengalami perubahan
karakter. Perubahan karakter ini terlihat dalam setiap bagian trilogi. Para tokoh yang
mengalami perubahan karakter adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, Tarsih,
Kumis, Bleki, dan Pejabat. Perubahan karakter setiap tokoh akan dijelaskan dalam
tabel berikut.
105
Tabel 1: Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
No.
Pembagian Trilogi Tokoh
“Bom Waktu” (Trilogi Bagian
Pertama)
“Opera Kecoa” (Trilogi Bagian
Kedua)
“Opera Julini” (Trilogi Bagian
Ketiga) 1 Julini -Pasrah
-Perasa -Sangat mencintai Roima -Julini merasa dia adalah satu-satu- nya “wanita” yang dicintai Roima -Perekonomian-nya terkesan ku-rang mapan.
-Pencemburu -Merasa tidak dicintai lagi oleh Roima se-bab Roima dekat de-ngan Tuminah -Perekonomian lebih baik dengan peng- hasilan sebagai PSK dan ditambah peng-hasilan Roima. -Julini ditembak mati oleh petugas di “par-kiran” waria
---
2 Roima -Pengangguran -Pasrah pada na-sib -Cenderung ku-rang peduli pada keadaan sekitar
-Bekerja sebagai anak buah Kumis da-lam kelompok bandit -Lebih peduli pada para urban miskin -Dekat dengan Tumi-nah -Mudah mempenga- ruhi Tibal
-Menjadi pimpin-an kelompok ban-dit menggantikan Kumis -Ingin kehidupan-nya lebih baik -Sebagai pemim-pin bandit, sering berselisih paham dengan Tibal
3 Tibal -Lugu -Pasrah pada nasib -Tiba-tiba beru- bah menjadi pe-marah dan pen-dendam terhadap Pemda
-Bekas napi -Pendendam -Egois -Membunuh Kumis
-Pemimpin bandit bersama Roima -Karena merasa tidak cocok de-ngan Roima, Ti-bal nekat membu-nuh Roima
4 Tuminah -Lugu -Pemalu -Pendiam
-Bekerja sebagai PSK profesional -Langganan Pejabat
-Cenderung tidak peduli keadaan sekitar
106
-Mudah ditipu sehingga membe-rikan keperawan- nya pada Kumis
-Punya kedekatan de-ngan Roima -Peduli pada teman
-Lebih suka ber-foya-foya -Hubungan de-ngan Roima reng-gang
5 Abung -Satu-satunya to-koh yang menya-dari nasib buruk kaum urban mis-kin -Sering bicara sendiri menanya-kan persoalan hi-dup -Saat penggusur- an, pertama kali-nya Abung bicara pada tokoh lain -Akhirnya mati ditembak petugas
---
---
6 Tarsih -PSK yang mu-dah ditipu Camat -Punya impian mengubah nasib hingga mudah di-perdaya
-Tidak mudah per-caya kepada orang lain sebab pernah ditipu Camat -Tarsih mati ketika kompleks PSK milik-nya terbakar
---
7 Kumis -Kepala keaman-an daerah kumuh -Merasa paling berkuasa di ka-wasan kumuh
-Kepala bandit -Dipecat dari satuan keamanan karena di-anggap kurang mam-pu -Mati dibunuh Tibal
---
8 Bleki -Aparat keaman-an -Anak buah Ku-mis
-Anak buah Kumis -Dipecat satuan ke-amanan, dianggap ti-dak mampu
-Anak buah Tibal dalam kelompok bandit
107
9 Pejabat
---
-Menjaga perseling-kuhan dengan Tumi-nah agar tidak ter-bongkar oleh umum -Cenderung tidak pe-duli nasib kaum ur-ban miskin -Tidak sungkan ko-rupsi menggunakan nama rakyat
-Mengalami sakit mata, simbol se-lama bertugas se-bagai pemerintah Pejabat tidak mau melihat masyara-kat kelas bawah -Selama sakit ma-ta, wewenang Pejabat dipegang oleh istrinya, se-hingga Pejabat kehilangan otori-tas sebagai pe-mimpin -Karena sakit ma- ta Pejabat mundur dari jabatan, tapi pengunduran diri-nya ditolak Men-teri
Dari seluruh tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini, satu-satunya tokoh
yang tidak mengalami perubahan karakter adalah tokoh Camat. Tokoh Camat dari
awal hingga akhir “Bom Waktu” tetap merupakan tokoh yang sering menjanjikan
sesuatu kepada para urban miskin, suka mengambil simpati rakyat kecil, dan
menggunakan jabatan untuk mengendalikan orang lain.
2.2 Latar
Latar mengacu pada unsur tempat, waktu, dan lingkungan sosial para tokoh.
Analisis latar drama trilogi Opera Kecoa dibagi menjadi tiga bagian menurut judul
setiap bagian trilogi, yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera Kecoa”
108
(trilogi bagian kedua), “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Ketiga bagian trilogi
mencakup analisis latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Analisis latar tempat
meliputi penggambaran lokasi tempat terjadinya peristiwa yang dialami para tokoh.
Analisis latar waktu meliputi gambaran waktu terjadinya berbagai peristiwa dalam
sebuah cerita. Analisis latar sosial meliputi keadaan masyarakat berdasarkan
kelompok sosial. Selanjutnya, penjelasan latar akan dibahas beserta kutipan
pendukungnya.
2.2.1 Latar Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)
2.2.1.1 Latar Tempat
Latar tempat secara umum menggambarkan keadaan lokasi tempat tinggal
kaum urban miskin yang dikelilingi oleh tempat-tempat kelas menengah ke atas.
(98) (DI SUDUT BAWAH JEMBATAN NAMPAK TEMARAM. PARA GELANDANGAN TENGAH BERMIMPI TENTANG MASA
DEPAN DAN NASIB BAIK)
(JUMINI MENATAP BULAN. ABUNG TERMENUNG, MERENUNG. GUBUK-GUBUK MEREMANG DI LATAR BELAKANG. DI BALIK JENDELA HOTEL MURAHAN,
SEORANG CALON PENYANYI SEDANG BERLATIH. DI RUANG MAKAN GOLONGAN KAYA, LIMA SOSOK
MENYANTAP HIDANGAN TANPA BICARA. MEREKA BAGAI PATUNG-PATUNG)
(hlm. 7)
Dari kutipan (98) digambarkan bahwa para gelandangan memiliki tempat
tinggal di sudut bawah jembatan. Selain itu, terdapat juga gubuk-gubuk milik kaum
109
urban miskin. Kawasan tersebut dikelilingi oleh hotel murahan dan diperlihatkan juga
ada ruang makan golongan kaya.
Lokasi lain sebagai tempat terjadinya berbagai peristiwa adalah tempat
pelacuran di atas tanggul sungai; gubuk-gubuk anggota kaum urban miskin seperti
gubuk Tuminah dan gubuk Roima; pepohonan sebagai tempat tinggal Abung; kantor
hansip sebagai tempat Kumis bekerja; serta kantor Camat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan latar tempat dalam “Bom Waktu”
(trilogi bagian pertama) adalah tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan
dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas (98), tempat pelacuran di atas
tanggul sungai, gubuk-gubuk urban miskin, pepohonan yang menjadi “rumah”
Abung, kantor hansip, kantor Camat.
2.2.1.2 Latar Waktu
Latar waktu terjadinya peristiwa dalam “Bom Waktu” disebutkan pagi, siang,
sore, dan malam. Selain itu, latar waktu yang diceritakan melalui nyanyian para
pengemis antara lain waktu menjelang pemilu. Para pengemis bernyanyi tentang
situasi yang akan mereka hadapi nanti setelah pemilu.
(99) NYANYIAN PARA PENGEMIS
Seratus perak harga sepiring nasi Dibanding tujuh juta
Nilai kado ulang tahun
Seratus-ribu perak sebulan gaji Dibanding satu milyar
Nilai sepuluh persen komisi
110
Tanahku, negeriku yang kucinta
Kandang brengsek pinggir kali Dibanding istana gemerlap Investasi tanpa penghuni
Rasa takut, luka dan was-was Dibanding tawa kemenangan Sehabis pemilu tanpa nurani
Tanahku, negeriku yang kucinta
Oh, masa depan kita semua (hlm. 14-15)
Latar waktu bisa dirunut berdasarkan tanggal. Hal ini tampak dalam
pemberitahuan mandat dari Camat kepada Kumis. Isi mandat Camat antara lain
kewajiban membersihkan kawasan kumuh dalam rangka rencana kunjungan
Gubernur ke kawasan tersebut.
(100) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur....
(hlm. 94)
Dari kutipan (100) dapat diperkirakan bahwa Camat memberikan mandat pada
saat tiga bulan sebelum tanggal 1 Maret, yaitu tanggal 1 Desember. Kumis
mengumumkan mandat Camat kepada seluruh penghuni kawasan kumuh seminggu
setelah Camat memberikan mandat kepada Kumis. Jadi, kemungkinan Kumis
mengumumkan mandat Camat kepada penghuni kawasan kumuh pada tanggal 8
Desember, bersamaan dengan pesta pernikahan Julini dan Roima yang ternyata gagal.
Kumis memberitahukan kepada seluruh penghuni kawasan kumuh agar segera pindah
dari tempat tinggal mereka paling lambat satu bulan setelah Kumis mengumumkan
111
mandat Camat. Artinya, para penghuni kawasan Kumuh diminta pindah paling
lambat satu bulan setelah tanggal 8 Desember, yaitu pada tanggal 8 Januari bertepatan
dengan pelaksanaan penggusuran.
(101) KUMIS: [...]
Tapi pembersihan ini saya kasih waktu satu bulan. Longgar, kan?.... (hlm. 104)
Pada suatu malam saat ronda, Kumis dan Bleki kembali mengingatkan para
penghuni kawasan kumuh tentang rencana penggusuran.
(102) (BAUR DENGAN NYANYIAN PENYANYI HOTEL, MUNCUL BLEKI DAN KUMIS MERONDA)
BLEKI:
Ingat, sebulan sejak pengumuman penggusuran dikeluarkan. Sekarang sudah seminggu lagi. Daerah ini harus bersih. Ingat, sebulan sejak
pengumuman penggusuran dikeluarkan. Sekarang batas waktu tinggal seminggu lagi... ingat....
(hlm. 121)
Dari pernyataan Bleki dalam kutipan (102) dapat diketahui bahwa peringatan
itu dilakukan pada waktu satu minggu sebelum penggusuran dilaksanakan, yaitu
tanggal 1 Januari.
Rencana penggusuran akhirnya terwujud. Penggusuran dilaksanakan sebagai
bentuk kegiatan pembangunan bersamaan dengan waktu pasca pemilu.
(103) BLEKI: Ingat, satu bulan sejak pengumuman dikeluarkan, semuanya akan
dibongkar. Hari ini tiba waktunya. Ingat.... (hlm. 131)
(104) KUMIS: Jangan takut, Bleki. Ini cuma ekses dari pembangunan. Kalau mau maju ya harus begini ini; rela berkorban. Artinya, satu dibongkar
112
semua dibongkar. Tidak boleh pilih kasih. Sehabis pembongkaran, akan ada pembangunan. Begitu akan terjadi, berulangkali. Jadi jangan
berhenti! Terus bongkar, bongkar! (hlm. 134)
(105) SUARA: Terima kasih sebesar-besarnya kepada mereka yang telah
memungkinkan terselenggaranya pemilihan umum ini. Dengan berakhirnya pemilu yang telah berjalan hampir selama satu bulan, dan
dalam keadaan tertib-aman-damai-saling menghormati, dunia luar akan tahu bahwa negara kita adalah negara hukum yang telah
menjalankan pesta demokrasi dengan sangat sukses... luber dan jurdil....
(hlm. 139)
Jadi, dapat diketahui bahwa dalam “Bom Waktu” peristiwa yang paling
dominan adalah penggusuran kawasan kumuh. Rencana penggusuran diumumkan
hampir berdekatan dengan pelaksanaan pemilu. Penggusuran sendiri dilaksanakan
pada saat pasca pemilu sebagai bentuk kegiatan selama masa pembangunan.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan latar waktu “Bom Waktu” (trilogi
bagian pertama) yaitu pembagian waktu menjadi pagi, siang, sore, dan malam. Latar
waktu lainnya ditandai dengan pengadaan suatu peristiwa yaitu menjelang pemilu
(99). Selain itu, latar waktu juga dapat dirunut melalui tanggal. Perunutan tanggal ini
diawali dengan pemberian mandat “pembersihan” kawasan kumuh oleh Camat
kepada Kumis dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke kawasan tersebut.
Kunjungan Gubernur yang akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret, sedangkan
mandat ini diberikan tiga bulan sebelum kunjungan yaitu tanggal 1 Desember (100).
Kumis mengumumkan mandat dari Camat seminggu setelah mandat diturunkan atau
seminggu sesudah tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember. Sebagai bentuk
113
“pembersihan” kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta pindah paling
lambat satu bulan sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah tanggal 8
Desember, yaitu tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan penggusuran atau
beberapa waktu pasca pemilu (101), (102), (103), (104), (105).
2.2.1.3 Latar Sosial
Latar sosial dalam “Bom Waktu” dapat diketahui melalui keadaan
masyarakat. Keadaan masyarakat dalam “Bom Waktu” terdiri dari dua kelompok
masyarakat, yaitu pemerintah dan kaum urban miskin. Dalam hal ini pihak
pemerintah diwakili oleh Kumis, Bleki, dan Camat. Pihak kaum urban miskin
diwakili oleh Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.
Sebagai bagian dari pemerintah, Bleki dan Kumis dikenal sebagai aparat
keamanan yang harus menjaga daerah kumuh tempat tinggal kaum urban miskin.
Mereka berdua diberi wewenang untuk melakukan pengamanan kawasan kumuh
dengan cara mereka sendiri. Karena merasa sebagai aparat keamanan yang harus
menjaga ketertiban kawasan kumuh, mereka menggunakan senjata api secara
sembarangan tanpa melihat situasi yang terjadi ketika melakukan tugas aparat
keamanan, bahkan terkesan tidak memikirkan resiko jika senjata api tersebut melukai
salah satu penghuni kawasan kumuh. Selain itu, Kumis dan Bleki merasa sebagai
penguasa kawasan kumuh. Kumis dan Bleki sering tidak segan-segan menyebut diri
mereka sebagai petugas dengan tujuan agar mereka dihormati penghuni kawasan
kumuh. Mereka sering menggunakan kekuasaan untuk mencari keuntungan dari para
114
penghuni kawasan kumuh dan mengatasnamakan jabatan untuk melakukan kekerasan
kepada anggota urban miskin.
(106) (PARA PENGEMIS MENJERIT BERBARENGAN LALU BUBAR. CALON PENYANYI BERHENTI MENYANYI, MENUTUP
JENDELA. ABUNG LEMAS)
(TEMBAKAN TERDENGAR BERTUBI-TUBI, MAKIN MENDEKAT)
(PARA PATUNG TETAP TENANG MELAHAP SANTAPAN,
SEAKAN TAK TERJADI APA-APA. MUNCUL DUA HANSIP: KUMIS DAN BLEKI)
KUMIS:
Bubar! Bubar! Bubar!
BLEKI: Sudah bubar.
(MEMASANG PETASAN)
KUMIS: Dari jauh aku kira ada banyak orang. Dilihat dari suaranya, mungkin lebih dari sepuluh ribu orang yang terkumpul. Kalau terjadi apa-apa,
aku bisa dipersalahkan. Jadi kambing hitam. Kena marah, kena mutasi. Keamanan daerah ini sepenuhnya ada di bawah tanggung jawabku,
kan? (hlm. 15)
(107) BLEKI: Hoii, stop dulu musiknya. Berhenti dulu ronggengannya. Hoii, gua
tembak lu kalau kagak mau berhenti.... (hlm. 103)
(108) BLEKI: Eh, jangan bercanda sama petugas, ya? Jangan main-main, tidak
serius. Kalian pikir kami ini apa, hah? Tempe? Ditanya serius malah muter-muter. Nanti kami angkut kalian semua ke markas, baru nyaho.
(hlm. 25)
(109) BLEKI: (MARAH)
115
Kalau komandan saya memerlukan malam ini, siapa itu kingkong yang berani menggaet Tarsih. Katakan sama Bleki cepat, siapa itu bangkong
yang berani membawa....
KUMIS: (MENYERET KELUAR)
BLEKI:
... Tarsih. Siapa yang begitu berani mati mau bersaing sama petugas yang berseragam. Ya, Komandan. Ya. Ampun, Komandan....
(hlm. 26-27)
(110) KUMIS: Apa dehem-dehem. Aku komandan keamanan daerah sini, kalau aku sedang ada urusan sama perempuan ini, kamu boleh minggir. Atau
datang sesudah aku selesai urusan. (hlm. 89)
(111) KUMIS: [...]
Dan sogokan! Apa-apaan ini? Kamu kira saya aparat yang gampang disogok apa? Enak saja. Ini namanya sudah menuduh. Dan kamu yang
sudah kasih saya amplop begini, bisa saya bawa ke markas untuk diproses verbal. Tapi ini amplop, tetap akan saya bawa sebagai barang
bukti. Jangan main sogok sembarangan lagi, ya? Awas! .... (hlm. 105)
(112) TIBAL: Terus terang saja, Om Hansip, bener kita tidak boleh lagi tinggal di
sini, ya? Ya?
KUMIS: Saya tidak bilang begitu. Saya hanya diperintahkan untuk melakukan
pembongkaran.
TIBAL: Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit?
Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.
KUMIS: (PURA-PURA TAK MENDENGAR)
Ini setorannya?
116
TIBAL: Ya, bagian Mas Kumis itu.
(hlm. 109)
(113) KUMIS: Menyesal? Bagaimana? Tentara, polisi, hansip akan tetap ada.
Kekuasaan puncak boleh pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tapi polisi, tentara, dan hansip tetap akan diperlukan. Tetap akan ada. Mungkin dengan sebutan yang berbeda, tapi inti tugasnya tetap sama:
menegakkan tramtibmas! Kalau bukan aku yang jadi hansip, tentu orang lain. Dan demi
ketertiban, hansip boleh bersikap keras. (hlm. 136)
Sama halnya dengan Camat yang juga merupakan bagian dari pemerintah.
Camat merupakan orang yang menggunakan jabatannya untuk menarik simpatik
rakyat dan mendapat keinginannya serta seringkali berpura-pura memperlihatkan rasa
simpatiknya sebagai pemerintah yang ikut prihatin terhadap keadaan kaum urban
miskin.
(114) CAMAT: Luar biasa, pemandangan ini luar biasa. Kalau mereka yang di atas sana seakan menutup mata terhadap nasib kalian, maka aku, camat
kalian, akan segera turun tangan. Akan kubongkar kawasan ini, akan kubongkar semuanya! Handuk....
(hlm. 13)
(115) CAMAT: Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris?
TARSIH:
Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang
tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah....
(SUITAN-SUITAN)
CAMAT:
117
Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang.... (hlm. 78-79)
(116) (ORANG-2 YANG JUGA BERKERUDUNG MAJU MENDEKATI KUMIS DAN MENGANGKAT SEDIKIT KERUDUNGNYA.
KUMIS KAGET)
Ya, ampun. Siap, Pak.
ORANG-2: Besok kita ketemu di kantor.
KUMIS:
Siap, Pak.
ORANG-2: Sekarang kamu pergi, jangan bikin kacau.
KUMIS:
Ya, Pak. Siap, Pak. Ayo, Bleki kita ronda keliling.
BLEKI: Siapa orang itu, komandan. Apa perlu bogem mentah saya?
KUMIS:
(MENYERET BLEKI) Jangan membantah, tolol. Ayo, goblok.
(PERGI BERSAMA BLEKI, DIIRINGI SUITAN PARA PELACUR)
ORANG-2:
(MENGGANDENG TARSIH MASUK GUBUK) (hlm. 90)
Keberadaan pemerintah dalam mengendalikan kawasan urban miskin dapat
dikatakan terlalu berlebihan. Demi menegaskan kedudukannya, pihak pemerintah
kadang tidak sungkan mengatasnamakan tanggung jawab agar tetap mendapat
kepercayaan rakyat, bahkan aparat keamanan pun tidak segan lagi menggunakan
ancaman untuk menunjukkan otoritas mereka.
118
Kaum urban miskin sendiri digambarkan sebagai kaum yang tidak memiliki
kesempatan untuk mengembangkan diri. Beberapa dari mereka tidak memiliki
pekerjaan seperti Roima dan Abung. Mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang
jelas. Abung digambarkan sebagai urban yang berasal dari luar Jakarta, yaitu dari
daerah di Pulau Jawa, kemungkinan sekitar Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini
dapat diketahui dari bahasa yang digunakan Abung, yaitu bahasa Jawa ngoko yang
bercampur dengan bahasa Indonesia.
(117) ABUNG: Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang
makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya
waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok nggak mau.
BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?
KUMIS:
Nih, pestolnya.
BLEKI: Aduh, tugas berat.
(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA
MEMBIDIK, ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG
KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)
ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.
Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu. (hlm. 138)
Dalam kutipan di atas Abung menggunakan istilah bahasa Jawa ngoko, antara
lain kowe ‘kamu’, wudel ‘pusar’ dan beberapa kata khas dalam bahasa Jawa yang
119
tidak mempunyai arti tapi sering diucapkan dalam kalimat; yaitu lha wong, mbok.
Ada juga kata yang diucapkan dengan logat bahasa Jawa, yaitu njawab yang
seharusnya dalam bahasa Indonesia diucapkan “menjawab”. Selain itu, Abung juga
mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa; yaitu “Aku iki opo? Opo aku iki?” ‘Aku ini
apa? Apa aku ini?’.
Tarsih dan Julini harus bekerja sebagai PSK, padahal mereka seharusnya bisa
mendapat pekerjaan yang lebih layak. Bahkan Tarsih yang sudah dijadikan istri muda
oleh Camat dan tidak perlu bekerja lagi pada akhirnya tetap tidak memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
(118) TARSIH: Dia jatuh cinta.
(MELIHAT KUMIS DAN BLEKI DATANG)
Ah, mereka lagi. Meminta banyak tapi selalu ingin gratis. Jah, bilang
aku sedang dibuking. (hlm. 24)
(119) TARSIH: Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang
semuanya bukan milikku lagi.
KASIJAH: Kenapa?
TARSIH:
Waktu isteri tua Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu
aku diperlakukan seperti pengemis.... (hlm. 127)
(120) JULINI:
120
Jangan main-main, Juli bukan ketengan. Biar jelek, Juli adalah PTS dengan sertifikat.
JUMINI:
Apa itu PTS, Jul? Perguruan Tinggi Swasta?
JULINI: Bukan. Pedagang Tjinta dan Sukaria. Pakai ejaan lama, bukan Ce tapi
Te. (hlm. 30)
Julini digambarkan sebagai wakil dari kaum waria yang berprofesi sebagai
PSK. Julini sering mengucapkan istilah yang sering digunakan dalam kelompok
waria ketika melakukan percakapan dengan tokoh lain. Penggunaan istilah dari
kelompok waria menunjukkan bahwa waria termasuk anggota urban miskin yang
juga tinggal di kawasan kumuh dan berinteraksi dengan penghuni kawasan kumuh
lainnya. Istilah tersebut antara lain wanetong ‘wanita’, kerong ‘kara’, bencong
‘banci’, cewong ‘cewek’.
(121) JULINI: Jangan bilang begitu. Julini bukan cobek, bukan cebong yang suka pekenang-pekenong. Julini cuma seorang wanetong yang kesepian.
Oh, Tuhan... kasihanilah Juli yang sebatang kerong.... (hlm. 29)
(122) JULINI: Kalau begitu, Julini tidak mau pulang. Julini masih bebas bikin apa saja. Bukankah kita belum suami-istri. Kita tidak punya ikatan apa-
apa. Seandainya Abang mau pacaran sama bencong lain, sama cewong lain, Julini juga tidak akan ambil pusing.
ROIMA:
Jadi maunya apa? (hlm. 85)
121
Tibal dan Tuminah pun digambarkan sebagai kaum urban miskin yang baru
saja datang dari desa dan tidak punya keahlian apapun kecuali bertani. Mereka jauh-
jauh datang ke kota cuma untuk menggarap lahan di pinggir sungai kota Jakarta dan
belum mengenal keadaan Jakarta yang sebenarnya bagi pengadu nasib seperti
mereka. Selain itu, mereka hanya bisa memiliki sumber penghasilan dari bertani.
Bahkan dari hasil bertani itu pun Tibal bercita-cita bisa menabung untuk perkawinan
Tuminah.
(123) KUMIS: Bagus.
(KEPADA TIBAL)
Bagus, kamu datang seperti cahaya matahari pagi – penuh harapan. Jakarta, makin lama makin gersang. Sehari-hari yang kita lihat cuma
gubuk-gubuk, sampah, mobil dan motor dengan asap knalpotnya, gedung-gedung tinggi dan monumen. Sayur-mayur? Brrrr... kita cuma
bisa lihat di... pasar. Di tengah-tengah sliweran mobil-mobil metropolitan, kamu berniat jadi petani. Kenapa tidak ingin jadi kenek atau tukang parkir? Atau jaga malam? Duitnya lebih banyak, kerjanya
lumayan enak....
TIBAL: Saya cuma bisa bertani.
(hlm. 45)
(124) KUMIS: Juga mau jadi petaniwati?
TUMINAH:
Saya ikut apa yang kakak saya kerjakan.
KUMIS: Tidak ingin jadi pelayan restoran, pramuniaga, pramuria?
TUMINAH:
(MALU-MALU) Saya cuma bisa bergaul dengan tanah.
122
(hlm. 46)
(125) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?
TIBAL:
Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.
TUMINAH: (NONGOL DI PINTU GUBUK) Beli rok bagus untuk aku, Kang?
TIBAL:
Ya. Kalau cukup, kita nabung untuk hari kawinmu.
TUMINAH: Jangan, Kang, lebih baik uangnya belikan kalung atau giwang. Kalau
kita kehabisan uang, bisa dijual lagi. (hlm. 69)
Perbedaan kelas sosial juga dibedakan secara tegas dalam “Bom Waktu”
melalui keadaan tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat
tinggal kelas menengah ke atas. Selain itu, dalam rencana pembangunan tempat
tinggal kaum urban miskin akan dirombak menjadi tempat yang berkelas lebih tinggi
atau menjadi tempat yang sangat sulit dijangkau oleh kaum urban miskin.
(126) (DI SUDUT BAWAH JEMBATAN NAMPAK TEMARAM. PARA GELANDANGAN TENGAH BERMIMPI TENTANG MASA
DEPAN DAN NASIB BAIK)
(JUMINI MENATAP BULAN. ABUNG TERMENUNG, MERENUNG. GUBUK-GUBUK MEREMANG DI LATAR BELAKANG. DI BALIK JENDELA HOTEL MURAHAN,
SEORANG CALON PENYANYI SEDANG BERLATIH. DI RUANG MAKAN GOLONGAN KAYA, LIMA SOSOK
MENYANTAP HIDANGAN TANPA BICARA. MEREKA BAGAI PATUNG-PATUNG)
(hlm. 7)
123
(127) CAMAT: (MENANGIS)
Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus. Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan
gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak
Presiden. (hlm. 12)
Para PSK sebagai anggota kaum urban miskin biasa bersikap tidak sopan
walaupun sedang berhadapan dengan Camat sebagai pemerintah daerah. Ketika
Camat meninjau kawasan kumuh, para PSK malah seringkali bertingkah kurang
sopan karena memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari orang-orang penghuni
kawasan kumuh. Bukan hanya sikap yang kurang sopan, perkataan mereka pun
seringkali melewati batas sopan.
(128) CAMAT: Saudariku mengapa jadi seperti ini?
KASIJAH:
Jadi seperti apa, Pak Camat?
CAMAT: Seperti ini, ya, seperti ini....
PELACUR-1:
Jadi cabo gitu, susah amat.
KASIJAH: (HABIS SABAR)
Sialan, lu, cabo lu. Comberan, lu, loncer amat mulutnya. Gua cakar lu, biar muka belang-bonteng. Gua jambak rambut lu biar gundul kayak
Kojek. (hlm. 75)
(129) KUMIS: He, kamu kemari. Ya, Pak Camat mau bicara.
124
TARSIH: (MELENGGANG) Mau buking nih?
KUMIS:
Huss, sopan dong, sopan....
TARSIH: Lepaskan tanganmu yang jorok, nanti kulaporkan baru nyaho.
KUMIS:
Sialan, disopani malah....
CAMAT: Tarsih, kok mau jadi wanita seperti ini.
TARSIH:
Kok tahu nama saya....
CAMAT: (MALU) Ya, ya....
KASIJAH:
Baca di koran kali, Sih.
TARSIH: Terkenal amat ya kita ini.
PELACUR-1:
Hahahaha, Pak Camat kemaluan.
TARSIH: Huss, kemalu-maluan.
(hlm. 76-77)
Para PSK mempunyai anggapan bahwa dengan belajar bahasa asing, dalam
hal ini bahasa Inggris, bisa mengubah kelas sosial mereka yang semula hanya sebagai
anggota masyarakat kelas bawah menjadi kelas sosial yang lebih tinggi atau menjadi
bagian masyarakat kelas atas. Pada hari-hari tertentu para PSK belajar bahasa Inggris
125
di kawasan tempat tinggal mereka. Mereka berharap jika sudah menguasai bahasa
Inggris, maka kehidupan mereka kelak akan menjadi lebih baik atau mendapat
pekerjaan yang lebih terjamin.
(130) GURU: (TERIAK)
Salah satu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup adalah mempelajari bahasa dan kebudayaan asing. Jangan cuma puas jadi cabo. Mengapa tidak kita impikan sekali waktu nasib baik mampir,
dan kita jadi bini orang gedean... bini pejabat...
MURID: Bini ketujuh, Bu Guru?
GURU:
(TERIAK) Bini ketujuh juga tetap bini namanya. Kesejahteraan terjamin. Coba
kita ulangi pelajaran kemarin....
(MENGEJA) Ini sa-pii.
MURID:
I-niii sa-piiiiiii....
GURU: This is cow.
MURID:
This is cooooowww.... (hlm. 18-19)
(131) MURID: Ndat aaarrr piiiig.
GURU:
This is kerbauu....
MURID: This is kerbauuuuu....
126
GURU: Bahasa Inggris adalah bahasa pergaulan, bahasa internasional. Kita, sebagai pekerja sosial, akan melayani semua bangsa tanpa pandang bulu. Bahasa Inggris penting untuk kita. Supaya kita jangan ditipu.
MURID:
Ya, Bu Guruuuu.... (hlm. 56)
Pada akhir “Bom Waktu” kaum urban miskin dianggap sebagai orang-orang
yang sebenarnya tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Tanah di kawasan kumuh
yang mereka tempati selama ini dilegalkan sebagai milik negara dengan alasan di
tempat tersebut akan dilakukan pembangunan dan mengubahnya menjadi kawasan
yang elit dan hal ini sudah diprogramkan oleh pemerintah. Dalam peristiwa
penggusuran kawasan kumuh, para urban miskin diharuskan pergi meninggalkan
gubuk-gubuk mereka sebab mereka berada di posisi lemah, yaitu tidak mempunyai
sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan sebagai bukti. Di samping itu, kaum urban
miskin tidak diberi tempat tinggal yang baru oleh pemerintah. Mereka dibiarkan
tersebar dan mencari tempat tinggal sendiri, serta beberapa di antara anggota kaum
urban miskin ada yang terpaksa dibawa ke kantor polisi untuk diamankan karena
dianggap telah membuat kekacauan.
(132) KUMIS: [...]
Kalian datang dan tinggal di sini, kemudian mengaku ini semua punya kalian. Kami tidak boleh mengganggu gugat. Apa dasarnya kami tidak boleh mengusir kalian? Ini semua tanah milik negara tahu? Dari dulu
tanah ini bukan milik kalian. Minggat! Pergi, bawa dia pergi! Juga perempuan itu, serahkan saja kepada polisi.
(hlm. 136)
127
Dari analisis di atas dapat disimpulkan latar sosial dalam “Bom Waktu”
(trilogi bagian pertama) berdasarkan keadaan masyarakat yang terbagi dalam dua
kelompok yaitu pemerintah yang terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kaum
urban miskin antara lain Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih.
Kumis dan Bleki sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang
lebih di kawasan kumuh, termasuk wewenang penggunaan senjata api secara
sembarangan (106), (107). Selain itu, Kumis dan Bleki sering mengatasnamakan
jabatan agar dihormati oleh para penghuni kawasan kumuh (108), (109), (110);
memperoleh keuntungan untuk pribadi (111), (112); dan menjaga otoritas sebagai
aparat keamanan (113). Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat sering
menggunakan jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama kaum urban miskin
(114), (115), (116).
Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota urban miskin
yang tidak memiliki pekerjaan yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,
kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta (117) dan
Roima. Tarsih berprofesi sebagai PSK (118) dan tidak jadi menikmati kehidupan
yang lebih baik sebagai istri muda Camat (119). Julini juga berprofesi menjadi PSK
(120) dan sering menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai
waria (121), (122). Tibal dan Tuminah berasal dari desa (123); mereka ingin menjadi
petani kota (124); dan bercita-cita mempunyai masa depan yang lebih baik (125).
Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak
kawasan kumuh yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke atas
128
(126), (127). Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian
para PSK yang kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak
pemda (128), (129). Para PSK juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak
kehidupan mereka menjadi lebih baik (130), (131). Pada akhir “Bom Waktu” para
penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan mudah karena mereka dianggap
bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka tempati (132).
2.2.2 Latar Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)
2.2.2.1 Latar Tempat
“Opera Kecoa” diawali dengan menampilkan secara khusus emperan Plaza
Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah mereka menetap di
desa selama lima tahun. Julini dan Roima kembali ke desa karena mereka belum
mempunyai tempat tinggal yang tetap setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh
lima tahun yang lalu.
(133) EMPERAN PLAZA MONUMEN. PAGI.
(JULINI BANGUN TIDUR. ROIMA MASIH NGOROK)
JULINI: Sesejuk embun pagi, seharum bunga melati, hmmm....
(MENGHIRUP UDARA, MENGGELIAT)
... hmmm. Sudah siang. Kang, bangun, bangun. Kita harus pergi sebelum diusir satpam.
(hlm. 151)
Di sekitar emperan Plaza Monumen secara umum digambarkan dua kawasan
yang sangat berlawanan, yaitu kawasan metropolitan bukti proses pembangunan yang
129
dilakukan pemda dan kawasan kumuh sebagai kawasan yang luput dari
pembangunan. Kedua kawasan ini merupakan perbandingan antara kawasan yang
biasa melingkupi masyarakat kelas atas dan kawasan yang melingkupi masyarakat
kelas bawah.
(134) (BUMI MENGGELEPAR. TERKELUPAS. ANGIN MENGGEDOR, MENYERET ROIMA DAN JULINI KE
EMPERAN PLAZA MONUMEN. TERHAMPAR DUA KAWASAN YANG KONTRAS)
(METROPOLITAN YANG LENGANG PENUH MONUMEN. JALAN LAYANG YANG RUWET MELINGKAR-LINGKAR
SEPERTI USUS. JALAN TOL MEMBELAH KOTA. BANGUNAN TINGGI DI LATAR BELAKANG, DAN IKLAN-IKLAN NEON MENGOTORI LANGIT KOTA. DI TAMAN MILIK PEMDA,
NAMPAK PANGGUNG TEMPAT “TOPI BAJA CLUB BAND” MENGHIBUR PARA PENGUNJUNG TAMAN. ADA BANYAK
MONUMEN DI SITU. JAM RAKSASA TERHAMPAR DI RUMPUTAN. JARUMNYA MACET. MATI)
(SEBUAH KAWASAN KUMUH, DENGAN GUBUK-GUBUK
SALING HIMPIT, ATAPNYA SANGAT RENDAH. GOT KOTOR, JEMBATAN REYOT, MCK UMUM, POS HANSIP DAN
PUSKESMAS, MELENGKAPI KAWASAN ITU. JEMURAN DI MANA-MANA. DI DEPAN PINTU GUBUK, IBU-IBU SALING CARI KUTU. KOMPLEKS KUMUH ITU MASIH DIBAGI DUA: KAWASAN RUMAH TANGGA BAIK-BAIK DAN KOMPLEKS
PELACURAN) (hlm. 149-150)
Kawasan kumuh merupakan kawasan yang ramai karena ada kompleks PSK
yang dipimpin oleh Tarsih. Kawasan ini terletak di kolong jembatan, penuh dengan
gubuk dan rumah yang ditempati oleh para PSK. Kompleks PSK kepunyaan Tarsih
dan kawasan kumuh yang berisi orang baik-baik terletak bersebelahan dengan padang
130
golf. Selain padang golf, di dekat kawasan kumuh terdapat sebuah lahan luas sebagai
kawasan proyek yang akan dibangun menjadi lokasi elit.
(135) LAHAN LUAS, KAWASAN PROYEK. PAGI. (DI TEMPAT ITULAH DANA BANTUAN KREDIT LUAR
NEGERI DIRENCANAKAN AGAR DIGELAR MENJADI LOKASI ELIT. PADAHAL SEBAGIAN BESAR KAWASAN ITU MASIH
KUMUH. GUBUK-GUBUK DITUTUPI SELUBUNG KAIN PUTIH OLEH SATPAM, SEBELUM PEJABAT DAN TAMU DATANG
MENINJAU) (hlm. 213)
Lokasi lain yang dipakai para tokoh mewakili kaum urban miskin dalam
“Opera Kecoa” adalah markas para bandit pimpinan Kumis yang pada kemudian hari
diambil alih oleh Tibal dan Roima. Selain markas para bandit, ditampilkan juga
daerah pelacuran para waria yang menjadi tempat insiden penembakan Julini. Setelah
kematian Julini, beberapa latar yang dimunculkan berkaitan dengan kepahlawanan
Julini adalah monumen Julini atau daerah di sekitar patung Julini serta Plaza Julini.
Latar lain yang berada di luar wakil kaum urban miskin adalah rumah Pak
Pejabat. Peristiwa yang terjadi di rumah Pak Pejabat yaitu protes kaum urban miskin
atas insiden penembakan Julini serta permintaan tanggung jawab Pejabat sebagai
pemerintah dalam menangani kasus kematian Julini.
Dari penjelasan di atas dapat diperoleh kesimpulan latar tempat dalam “Opera
Kecoa” (trilogi bagian kedua). Latar tempat tersebut antara lain emperan Plaza
Monumen sebagai tempat menginap Julini dan Roima setelah kembali dari desa
(133). Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu
kawasan metropolitan hasil pembangunan yang dilakukan oleh pemda dan kawasan
131
kumuh yang luput dari pembangunan (134). Kawasan kumuh tersebut juga
berdekatan dengan lapangan golf milik pemerintah (135). Latar tempat yang
mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah pelacuran para
waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza Julini. Selain itu, ditampilkan juga
rumah Pak Pejabat.
2.2.2.2 Latar Waktu
Latar waktu dalam “Opera Kecoa” digambarkan dalam penggalan-penggalan
waktu terjadinya peristiwa yang didominasi oleh pagi, siang, sore, malam. Rentang
waktu antara “Bom Waktu” dan “Opera Kecoa” adalah lima tahun. Latar waktu awal
“Opera Kecoa” adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran kawasan kumuh.
(136) ROIMA: Tunggu. Kalau tidak salah, gubuk kita dulu di sini. Di situ ada kali, jembatan, dan di sana gubuk Tarsih, gubuk Jumini dan Turkana di
mana ya?
JULINI: Di sini ‘kali.
(MEMULAS BIBIRNYA DENGAN LIPSTIK)
ROIMA: Ditinggal pergi lima tahun, bisa jadi begini. Luar biasa. Ke mana
mereka semua? (hlm. 152)
Peristiwa yang terdapat dalam “Opera Kecoa” merupakan peristiwa yang
terjadi selama masa pembangunan. Bantuan dana kredit dari luar negeri adalah
peristiwa yang terjadi sewaktu pembangunan sedang gencar dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia.
132
(137) TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)
Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangasa Tuan yang berbunyi....
(hlm. 185)
Latar waktu berupa tahun dapat diketahui melalui insiden penembakan Julini.
Dalam insiden ini, seorang waria teman Julini menyebutkan bahwa Julini adalah “The
Best Waria Tahun 1985” karena kepahlawanan Julini setelah kematiannya.
(138) WARIA-4: Idola kita. Dia ‘The Best Waria Tahun 1985’.
(hlm. 251)
Jadi, dapat diperkirakan bahwa peristiwa-peristiwa dalam Opera Kecoa
berlatar waktu tahun 1985. Jika dihitung mundur, maka peristiwa penggusuran yang
terjadi lima tahun sebelum “Opera Kecoa” bisa dipastikan berlangsung pada tahun
1980.
Melaui analisis di atas dapat disimpulkan latar waktu dalam “Opera Kecoa”
(trilogi bagian kedua) yaitu pagi, siang, sore, dan malam. Awal “Opera Kecoa”
adalah lima tahun setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (136).
Peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan (137). Dapat diperkirakan berbagai peristiwa dalam
“Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985 (138).
Jadi, terjadinya peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung lima
tahun sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.
133
2.2.2.3 Latar Sosial
Latar sosial dalam “Opera Kecoa” digambarkan dengan sikap para anggota
dari keberadaan kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah dan kaum urban
miskin. Pihak pemerintah diwakili oleh Pejabat. Kelompok urban miskin diwakili
oleh Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah.
Pejabat adalah tokoh yang selalu ingin tampak baik di depan masyarakat. Dia
tidak mau rahasia perselingkuhannya dengan Tuminah terbongkar di depan publik.
Pejabat termasuk orang yang mengatasnamakan pembangunan untuk mendapat
keuntungan pribadi dan simpati masyarakat tanpa mempedulikan ada rakyat yang
harus tersingkir akibat program pembangunan ini. Di samping itu, Pejabat selalu
ingin namanya bersih di depan masyarakat, termasuk ketika terjadi insiden
penembakan Julini dan kebakaran di kompleks PSK. Ketika terjadi peristiwa
penembakan Julini, Pejabat terpaksa mengikuti kemauan kaum urban miskin yang
menuntut tanggung jawab Pejabat dalam menangani kasus tersebut. Hal ini bukan
hanya dilatarbelakangi tuntutan dari kaum urban miskin saja, tapi juga karena Pejabat
tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya. Sewaktu terjadi
kebakaran kompleks PSK, Pejabat tidak ingin ikut campur terlalu banyak dalam
mengusut pelaku pembakaran dan tidak mau dirinya dikaitkan dengan peristiwa
kebakaran tersebut.
(139) TUMINAH: Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.
PEJABAT:
134
Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran.
Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?.... (hlm. 158-159)
(140) TUMINAH: Cari istri lain, dong.
PEJABAT:
Istri lain? Mau diturunkan pangkatnya, apa? Bagi orang penting macam Mas, tidak boleh punya istri dua. Atasan bisa marah-marah.
Main-main di luaran boleh, tapi punya istri lagi? Nanti dulu. Persatuan istri-istri pejabat pengaruhnya kua sekali. Dan itu pula yang membuat
mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa mengurut dada. Sudah, sekarang Mas pulang dulu ya?
(hlm. 175)
(141) PEJABAT: Persahabatan kami dengan bangsa Tuan, sudah sampai ke taraf yang saling menjanjikan. Perhatian dunia terbetot ke sini semua. Tawaran
Tuan untuk bersedia memberikan kredit bunga lunak, sungguh simpatik sekali. Dana yang Tuan sumbangkan itu, percayalah, pasti
akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka akan sangat berterimakasih.
(hlm. 185)
(142) (MEMANG TERDAPAT PAPAN-PAPAN PLANG RENCANA PEMBANGUNAN. TAPI YA CUMA ITU. SELEBIHNYA MASIH
BERUPA LAHAN)
TAMU: (BASA-BASI)
Luar biasa. Wonderful. Great. Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan sangat tepat sekali. Semua ini akan
saya laporkan.
PEJABAT: Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong yang di depan sana
itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadat dan pasar bagi pedagang modal kecil. Itulah
realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan yang kita anut. Pendeknya, semua demi kesejahteraan rakyat, demi pemerataan kue hasil
pembangunan.
135
(hlm. 213)
(143) PEJABAT: Diam semua! Diam! Bagus.
(PARA WARIA TERDIAM)
Baik. Laporan kalian akan dipelajari. Dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman.
Soal lain-lain tunggu putusan! (hlm. 254)
(144) PEJABAT: Belum lagi 24 jam, dunia sudah ribut, Susah jadi pejabat.
Kelihatannya saja enak, padahal tidurnya kurang dan selalu jadi sasaran omelan rakyat. Dan dalam kasus ini, jelas itu bukan kesalahan
saya. Ini kesalahan oknum.
SATPAM-1: (MASUK LAGI)
Pak, koran pagi memuat lengkap reportase peristiwa penembakan Julini.
PEJABAT:
Kurang sambel, begitu cepatnya jadi berita? Lihat, lihat! Aduh, foto ini bisa menambah kemarahan orang banyak. Bagaimana mereka bisa mengambil foto sesadis ini? Saya curiga, jangan-jangan sebelumnya sudah ada skenarionya. Bisa jadi, ini rekayasa pihak-pihak tertentu.
He, kamu, usir wartawan-wartawan itu!
SATPAM-1: Baik, Pak.
(PERGI KELUAR)
PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?
SATPAM-2:
Betul, mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.
PEJABAT: Aduh, jadi bagaimana ini? Pasti saya yang lebih dulu kena getahnya.
136
(MEMBACA KORAN) “Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu
didukung oleh....” Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.
Cepat amat dia merespons. Brengsek. (hlm. 257-258)
(145) SATPAM-2: (MASUK DENGAN LEBIH BERGEGAS)
Paak! Utusan dari Menteri Sosial, datang bersama utusan dari Menteri Urusan Peranan Wanita, dan utusan dari Mendikbud dan Kejaksaan
Tinggi.
PEJABAT: (LEMAS)
Baik, baik. Saya menyerah. Kita bikin patung, monumen, kalau itu yang mereka mau. Kita
ciptakan martir. Kita ciptakan pahlawan waria. Sontoloyo! (hlm. 260-261)
(146) PEJABAT: (MARAH)
Lho, memangnya saya serba tahu? Musibah, ya, musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang ini musibah, mau bilang apa? Api kan sulit diduga. Percayalah, ini cuma
musibah. Pendek kata, saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti akan kita
dirikan bangunan yang lebih baik lagi. Puas?
ROIMA: Dan bangunan itu bukan untuk kami. Memang itu yang Bapak maui,
kan? Kami sudah dikorbankan.
PEJABAT: (MARAH)
Setan, goblok. Jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boleh bercuriga dulu, selidiki dulu.
(hlm. 280)
Kaum urban miskin pun masih tidak luput dari akibat proses pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa anggota urban miskin sempat tersebar
137
karena penggusuran kawasan kumuh lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pula
Tarsih menabung uang dari hasil kerjanya sebagai PSK dan membeli tanah dan
membangun kompleks PSK di sana. Kompleks PSK milik Tarsih pun terancam
dipindah oleh petugas dinas sosial dengan alasan mengganggu keindahan dan
ketertiban kota dalam rangka pembangunan.
(147) SATPAM-1: Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran,eh, maaf, kompleks
PSK ini ada di tengah-tengah kampung. Di sana ada masjid, di sana gereja, dan di sana kelenteng. Biar mereka belum protes tapi kami dari dinas tata kota dan dinas sosial, memperhatikan. Ini kompleks harus
dipindahkan.
TARSIH: Ini kompleks sudah di pinggir kota.
SATPAM-1:
Kota berkembang sangat pesat. Mulanya ya di pinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatif di kemudian
hari kalau kompleks ini tetap dipertahankan.
TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari
mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.
(hlm. 156-157)
Selama lima tahun itu pula Julini dan Roima kemali ke desa. Namun, mereka
balik lagi ke kota dan mencari pekerjaan agar mereka bisa bertahan hidup. Julini
kembali menjadi PSK dan Roima yang semula hanya seorang pengangguran sekarang
ikut bekerja dalam kelompok bandit yang dipimpin oleh Kumis. Dari hasil pekerjaan
138
mereka, kini Julini dan Roima mampu memperbaiki sedikit perekonomian mereka.
Julini dan Roima juga mempunyai cita-cita untuk membuka usaha sendiri.
(148) JULINI: Yaa, untuk sementara saya jadi cabo lagi.
(hlm. 183)
(149) KUMIS: Roima, kamu datang kepada lamat yang tepat. Banyak orang melamar jadi anak buah Kumis, saya tolak. Jangan dikira jadi bandit juga tidak
diseleksi. Kualitas, kita mementingkan kualitas. Saringannya jauh lebih berat dari ujian pegawai negeri. Makanya,
tidak gampang jadi bandit.
TUMINAH: Jadi diterima?
BLEKI:
Diterima dong....
(LARI MENGHINDAR) Nggak, Bang, maaf, kelepasan lagi.
TUMINAH:
Diterima, Mas Kumis?
KUMIS: (ALOT)
Ya. (hlm. 202)
(150) TUMINAH: Baju kamu bagus-bagus sekarang, ya?
JULINI:
Ya, namanya rezeki. Roima sekarang juga sering pulang bawa uang. Nggak kayak dulu, gratisan melulu. Kita nabung, rencananya kalau uang sudah terkumpul, mau buka salon. Nggak di sini, di pinggiran.
(hlm. 219)
139
Selama lima tahun Tibal harus tinggal di penjara karena telah membunuh
petugas saat peristiwa penggusuran kawasan kumuh. Kini dia telah bebas dan tidak
melanjutkan pekerjaannya sebagai petani kota serta belum mempunyai pekerjaan lain.
Sementara Tuminah, adik Tibal, yang dulu hanya mengikuti pekerjaan kakaknya
sebagai petani kini telah bekerja sebagai PSK profesional di kompleks PSK milik
Tarsih dan menjadi PSK kesayangan Pejabat. Tuminah menjadi PSK karena dia tidak
mempunyai keahlian lain untuk bekerja.
(151) TIBAL: Bangsat. Bajingan. Cacing. Tidak punya sikap. Lalu untuk siapa aku membunuh orang? Untuk siapa aku dipenjara? Untuk apa? Anjing.
Sialan. Lebih baik kamu aku bunuh sekalian. (hlm. 231)
(152) TUMINAH: Bukan. Akang dengar dulu ceritaku. Selama Akang dipenjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku hancur, tapi aku tidak ingin ikut hancur. Aku harus bisa berdiri, biar
untuk itu aku harus jadi cabo. Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah,
tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang kampung? Di mana
kampung kita? Aku sebatang kara. (hlm. 232)
Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok pemerintah dan
kelompok urban miskin, ada juga penggambaran secara simbolik tentang kelompok
masyarakat yang menjadi bagian dalam pembangunan yang dilaksanakan di
Indonesia pada saat itu. Pembangunan yang dikerjakan di Indonesia dan di kota
Jakarta sebagai ibukota negara sewaktu itu masih sangat labil. Digambarkan secara
gamblang bahwa negara Indonesia belum mempunyai sistem kehidupan yang teratur,
140
baik dalam pembangunan secara fisik maupun sistem pemerintahan yang
dibandingkan dengan luar negeri.
(153) TK. SULAP: (MELANJUTKAN PIDATONYA)
Kecoa ada di mana-mana, Saudara-saudara, di seluruh dunia. Coba bayangkan: di Amerika, yang kita sudah kenal kampiun dalam segala hal: sanitasinya bagus, demokrasinya berjalan mulus, tetap ada kecoa. Kata orang, satu orang Amerika berbanding 150 kecoa. Hitung berapa
penduduk Amerika. Wouww... serem. Di negeri kita? Jangan tanya lagi. Di sini, sanitasinya buruk,
demokrasinya sangat tidak mulus. Banyak teror, penculikan dan pembunuhan yang tidak terungkap. Wouww... bisa-bisa satu orang berbanding 2000 kecoa. Masya Allah, Tuhan Maha Besar. Kalau
penduduk kita 200 juta, maka ada 400 milyar kecoa di sekeliling kita. Gila, gila. Apa itu harus kita biarkan? Tidak, no, nehi, niet. Kita wajib
membasminya. Ini tugas kita semua. (hlm. 166)
Dari kutipan di atas terdapat penggambaran kemiskinan di suatu negara yang
disimbolkan dengan kecoa. Di sebuah negara maju yang telah mempunyai sistem
pemerintahan yang dapat dikatakan nyaris sempurna pun ternyata masih ada
kemiskinan dalam sebagian kecil masyarakatnya. Hal ini dibandingkan dengan
negara Indonesia. Indonesia tergolong sebagai negara yang sedang mengadakan
pembangunan di sana-sini dan bisa dipastikan bahwa Indonesia mempunyai tingkat
kemiskinan yang lebih tinggi. Kemiskinan masih dialami oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, apalagi di Jakarta yang seringkali menjadi kota tujuan para
urban yang ingin mengadu nasib. Maka diperlukan kekuatan besar dari pemerintah
dan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan yang semakin banyak tersebar di
Indonesia.
141
Selain kemiskinan, negara Indonesia juga mempunyai kelabilan dalam bidang
perekonomian walaupun pembangunan telah diadakan di mana-mana. Perekonomian
di Indonesia dianggap belum cukup kuat untuk menyokong program pembangunan
yang diadakan oleh pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bantuan dari luar
negeri dalam bentuk dana kredit untuk menopang pembangunan negara Indonesia.
(154) TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)
Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa Tuan yang berbunyi....
(MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA DAN MEMBACA)
“... yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya
bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek mercusuar akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek
multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha
manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia....” (hlm. 185)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui juga bahwa negara Indonesia yang
belum kuat perekonomiannya ini berani mengambil resiko berhutang kepada luar
negeri melalui dana kredit.
Melalui penjelasan di atas dapat disimpulkan latar sosial “Opera Kecoa”
(trilogi bagian kedua) melalui sikap para anggota dari keberadaan kelompok-
kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili oleh Pejabat dan kaum urban
miskin yang terdiri atas Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah.
Pejabat merupakan tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan
orang banyak (139), Pejabat termasuk orang yang suka mencari aman (140), mencari
142
simpati orang lain (141), (142); tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan
politiknya (144), (145); dan tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang
menimpa urban miskin (146).
Keadaan anggota kaum urban miskin dapat digambarkan melalui Tarsih yang
telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini dianggap
mengganggu keindahan kota (147). Julini yang baru saja kembali dari desa terpaksa
menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota (148); Roima yang semula
pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam kelompok bandit
(149) dan memperoleh penghasilan sendiri (150). Tibal adalah bekas napi yang belum
mempunyai pekerjaan tetap (151) dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional sejak
Tibal dipenjara (152).
Latar sosial juga ditampilkan melalui kemiskinan dalam pembangunan negara
Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa (153). Indonesia yang
memiliki perekonomian yang tergolong belum mapan berani mengambil resiko
berhutang kepada luar negeri lewat dana kredit (154).
2.2.3 Latar Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)
2.2.3.1 Latar Tempat
Latar awal dalam “Opera Julini” adalah jalanan ibukota dan kawasan kumuh.
Kawasan kumuh yang juga merupakan kawasan sengketa antara pemda dan rakyat
kecil disebut sebagai kawasan Lokasari. Keadaan kawasan Lokasari dapat diketahui
melalui dialog antara Pejabat dengan Aspri yang menyatakan bahwa di dalam
143
kawasan kumuh tersebut terdapat sampah yang menggunung, jembatan roboh, gubuk-
gubuk, dan anak-anak penghuni kawasan kumuh yang berkeliaran karena tidak punya
rumah.
(155) PEJABAT: Ya sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok
kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.
(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)
Apa yang ada di depan kita, Paijo?
ASPRI:
Sampah yang menggunung, Pak.
PEJABAT: Di samping kiri kita?
ASPRI:
Jembatan roboh, Pak.
PEJABAT: Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?
ASPRI:
Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.
PEJABAT: Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju?
Apa tidak kedinginan?
ASPRI: Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.
PEJABAT:
Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?
ASPRI:
144
Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada
di dalam rumah mereka sendiri, Pak. (hlm. 297-298)
Latar tempat lainnya berupa markas besar para bandit milik Tibal-Roima dan
markas rahasia para bandit sebagai tempat berkumpulnya bandit-bandit yang ingin
menyerahkan setoran kepada Tibal dan Roima serta sebagai tempat rapat para bandit,
kantor urusan bordil milik Tibal-Roima yang dikelola oleh Tuminah sebagai tempat
pendaftaran calon-calon PSK, di bawah Plaza Julini dan di sekitar patung Julini
menjadi tempat “parkir” para wadam, daerah sekitar patung Julini merupakan tempat
para wadam mati tertimpa patung Julini yang roboh karena ditembaki oleh polisi.
Plaza Julini juga merupakan tempat ‘perang’ antara kelompok bandit pimpinan Tibal
dengan pihak keamanan negara.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan latar tempat “Opera Julini” (trilogi
bagian ketiga) adalah jalanan ibukota dan kawasan Lokasari yang ada di dalam gang-
gang daerah kumuh (155). Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas
rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, sekitar Plaza Julini dan
patung Julini.
2.2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu dalam “Opera Julini” adalah pagi, siang, sore, malam. Latar
waktu berupa tahun juga dapat diketahui dalam “Opera Julini”.
(156) PAIJO:
145
Mereka berdua yang memimpin wadam-wadam demonstrasi ke kantor kita sekitar 10 tahun yang lalu. Kemudian Bapak mengeluarkan
keputusan untuk mendirikan patung salah seorang wadam yang mati kena peluru nyasar.
(hlm. 371)
Dari kutipan (156) dapat diperkirakan bahwa peristiwa yang terjadi dalam
“Opera Julini” merupakan peristiwa berlatar tahun 1995 atau sekitar sepuluh tahun
setelah kematian Julini pada tahun 1985. Selain itu, latar waktu juga dapat diketahui
dengan menghitung mundur lima belas tahun sebelum kemunculan berbagai peristiwa
dalam “Opera Julini” yang kebanyakan terjadi pada tahun 1995.
(157) ROIMA: Betul, aku harus banyak teman. Ah, Tuminah, kenapa kita jadi begini?
Mungkin lebih enak hidup seperti lima belas tahun lalu. Miskin dan dikejar-kejar, tapi tidak rumit seperti sekarang.
(hlm. 398)
Melalui kutipan (157) bisa dipastikan bahwa lima belas tahun yang lalu
adalah tahun 1980 atau saat menjelang peristiwa penggusuran kawasan kumuh dalam
“Bom Waktu”. Selain latar waktu berupa tahun, ada juga latar waktu berupa hitungan
hari.
(158) PEJABAT: Sudah berapa lama aku sakit mata, Paijo?
ASPRI:
Memasuki bulan keempat, Pak. Tepatnya 99 hari.
PEJABAT: (MENGELUH)
Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Hidup kita bukannya makin tenteram, malah semakin ricuh. Aku ingin menulis surat pengunduran
diri.
ASPRI:
146
Aduh, jangan, Pak. Nanti saya bagaimana.
PEJABAT: Syarat utama bagi seorang pejabat adalah sehat jiwa raga.
Aku ini sudah boleh dibilang buta. Tidak memenuhi syarat. Celakanya lagi, aku malu penyakitku diketahui umum.
(hlm. 406)
Ketika tepat memasuki hari ke-99 sakit mata, Pejabat akhirnya
mengungkapkan keinginannya untuk mengundurkan diri karena sakit mata yang tidak
segera sembuh. Dia merasa seorang pejabat yang mengalami sakit mata tidak pantas
menjadi pemimpin.
Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) dapat disimpulkan
terdapat latar waktu pagi, siang, sore, dan malam. Peristiwa dalam “Opera Julini”
adalah sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya sepuluh tahun
sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa
penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) (156),
(157). Selain itu, terdapat juga hitungan berupa hari yaitu sembilan puluh sembilan
hari Pejabat sakit mata (158).
2.2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial dalam “Opera Julini” terdiri dari pembagian kelompok
masyarakat menjadi pihak pemerintah dan kaum urban miskin. Pihak pemerintah
diwakili oleh Pejabat, sedang kaum urban miskin diwakili oleh Roima, Tibal, dan
Tuminah. Dalam trilogi bagian ketiga ini Pejabat bertekat menumpas kelompok
147
bandit pimpinan Tibal dan Roima yang dianggap telah mengganggu ketenangan
masyarakat.
(159) PEJABAT: Bandit-bandit bagaimanapun bisa bikin masyarakat resah. Cegah
sebelum telanjur. Selidiki.
POLISI-2: Saya yakin mereka punya rencana besar, Pak....
(hlm. 296)
Diceritakan bahwa Pejabat sempat mengalami sakit mata. Selama sakit mata,
Pejabat dibantu oleh istri Pejabat yang mengambil alih wewenang untuk
memberantas kelompok bandit.
(160) ISTRI: Tumpas sampai habis komplotan itu. Kalian boleh pakai biaya tanpa batas. Ini perintah dari Bapak. Seret yang namanya Tuminah kemari, aku ingin tahu kayak apa muka badak betina yang tidak tahu malu itu.
Sekarang kalian pergi. Laksanakan perintah dengan baik!
POLISI-1: Perintah Bapak bagaimana?
PEJABAT:
Lho, sudah dengar tadi kan? Ya seperti itu tadi, seperti yang sudah diucapkan Ibu.
(hlm. 372)
(161) ISTRI: Coba, sekarang di mana lagi kamu bisa memperoleh informasi? Hah?
Siapa bisa ditanya di mana markas para bandit itu? Hah? Di mana Tuminah bersaudara itu ngumpet? Hah? Jawab!
POLISI-2:
Bu, maaf ya, yang wajib memarahi kami, Ibu atau Bapak?
PEJABAT: (MARAH)
148
Tutup mulut kamu. Suara istriku sama seperti suaraku. Dia penyambung lidahku selama aku sakit. Patuhi dia.
(hlm. 402)
Akhirnya semua rencana kelompok bandit dapat digagalkan dengan bantuan
tentara. Namun, bagi Pejabat pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok bandit
hampir saja terjadi karena kelalaian Pejabat dalam mengawasi pemerintahan ibukota.
Oleh karena itu, Pejabat mengajukan pengunduran diri kepada Menteri sebab
menganggap dirinya kurang mampu mengatasi permasalahan di ibukota, termasuk
mengatasi gerakan kelompok bandit. Pada akhir “Opera Julini” pengunduran diri
Pejabat ditolak oleh Menteri. Justru Pejabat diberi kenaikan pangkat dan wewenang
untuk mengurus ibukota kembali. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam sebuah
struktur pemerintahan seorang pejabat yang mempunyai kelalaian dalam tugasnya
kadang dibenarkan dan kelalaiannya hanya dianggap sebagai kesalahan kecil yang
masih bisa diperbaiki walaupun kelalaian tersebut mencakup kehidupan orang
banyak, termasuk kehidupan rakyat kecil.
(162) ASPRI: Tidak perlu kuatir lagi. Bantuan datang. Tentara sudah mengepung
markas bandit-bandit itu. Kerusuhan ini, kata komandan tentara, bukan kerusuhan besar. Mereka jamin, dua atau tiga jam, kota bisa
dikendalikan lagi. (hlm. 432)
(163) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya
sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab
tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.
ISTRI:
149
Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam urusan suami saya. Sayalah tulang
punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah dia....
MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat
pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus
kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.
(hlm. 440)
Kaum urban miskin pun telah mengalami beberapa perubahan yang nantinya
berdampak pada cara hidup mereka. Tuminah tidak hanya menjadi PSK profesional,
tetapi juga menjadi pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah juga
mengusahakan adanya pelajaran etiket dan bahasa Inggris untuk keperluan para PSK
“berdagang”. Dalam hal ini Tuminah cukup banyak mengalami perubahan karena
hidupnya cenderung ingin setara dengan masyarakat kelas atas. Roima yang semula
hanya menjadi anak buah Kumis kini telah beralih menjadi pimpinan kelompok
bandit setelah kematian Kumis. Sementara Tibal yang dulu hanyalah seorang bekas
napi dan pengangguran, sekarang juga telah menjadi pemimpin kelompok bandit
bersama Roima.
(164) TUMINAH: Bagaimana, Bajenet?
BAJENET:
Ya, bagaimana lagi? Bakat sebegini bagus masa ditolak? Mereka bisa kita minta kerja rangkap nantinya, sebagai penyanyi dan sebagai
gituan. Kan untung kita.
TUMINAH:
150
Kalian diterima. Datang tiga hari lagi kemari, kalian akan ditampung dan diberi segala macam yang dibutuhkan. Kerja dimulai tanggal 15
bulan depan. (hlm. 359-360)
(165) GURU: Kalau anjuran saya dipatuhi, kalian akan kelihatan seksi. Percayalah. Langganan akan tergila-gila, tarif pasti naik. Coba. Satu, dua, tiga,
empat. Bagus. Ingat baik-baik “good whore is a good sales girl, okay?”.
Kalian ini semua pedagang. Apa yang dijual? Tubuh kalian. Artinya, jangan sekali-kali jatuh cinta. Berabe. Begitu, Zus Tuminah?
TUMINAH:
Betul.
GURU: Jadi, ingat. Nomor satu, jangan jatuh cinta. Nomor dua, jangan bicara
uang. Utamakan pelayanan. Pelayanan memuaskan, otomatis uang datang seperti hujan. Nomor tiga, pelihara badan. Ini penting, karena itu modal utama kalian. Jika latihan tubuh dan etiket finish, saya akan
kasih pelajaran kesenian.
(CABO-CABO TERTAWA)
Weeh, kenapa tertawa? Jangan lupa kalian high class, kesenian penting sebagai bahan pembicaraan. Kalian harus bisa menyanyi,
harus bisa baca puisi, harus tahu novel-novel best seller. Sesudah itu pelajaran bahasa. Penting.
ADE:
Apa bahasa penting? Kalau tamu sudah naik syahwat, kan bahasa kita cuma aah-uuh-ooh-uuh. Paling-paling menjerit.
GURU:
Ee, dibilangi membantah. Kalau kamu pura-pura naik syahwat ucapkan itu dalam bahasa Inggris, gengsi kalian langsung naik.
(hlm. 419-420)
Roima dan Tibal mempunyai rencana rahasia untuk melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah ibukota, tapi berita rencana rahasia itu tersebar
151
dan telah sampai kepada petugas keamanan serta Pejabat. Rencana untuk mengacau
kota ini bisa sampai terdengar oleh pemerintah karena pada saat penataran P-6 ada
salah seorang anggota waria yang ikut dibawa petugas ke markas polisi secara tidak
sengaja telah membocorkan rahasia para bandit, terutama tentang Tibal sebagai
pimpinan kelompok bandit. Berita penataran P-6 ini juga telah didengar oleh
Tuminah yang mengelola kantor urusan bordil. Tuminah menjadi khawatir karena
tidak ingin keberadaan kelompok bandit diketahui oleh petugas, terutama rahasia
keberadaan Tibal sebagai pemimpin para bandit yang ingin mengacau ibukota.
(166) SUARA: Itu maksud tujuan kami datang malam ini. Kalian semua akan ditatar P-6 dulu, untuk kemudian ditingkatkan ke penataran-penataran lain yang bisa membuat kalian jadi warga yang baik, jadi manusia yang
baik.
SYENI: P-6 apaan sih, Pak?
SUARA:
Itu singkatan dari Pendidikan Pedoman Penghayatan Perilaku Pantang Pertengkaran.
(hlm. 354)
(167) DUING: Wadam-wadam itu mau ditatar P-6, bahaya kan tuh?
BAJENET:
Setan kamu Duing, aku kira ada apa. Ya biar saja mereka ditatar, apa urusan kita?
DUING:
Bukan hanya itu. Yang digiring itu termasuk Laila dan Wanda. Kalau mereka bocor mulut, cerita tentang kita? Laila ‘kan langganan Mas
Tibal? Eh, maaf ya, Zus Tuminah.
TUMINAH:
152
Betul. Kalau mereka bocor mulut, kita semua pasti celaka. (hlm. 367-368)
Semula para waria diberi penataran P-6 oleh petugas agar tidak membuat
keributan terus-menerus di tempat “parkir” mereka. Namun, ternyata petugas
menggunakan penataran P-6 ini untuk mengorek informasi dari para waria mengenai
kelompok bandit. Petugas tahu bahwa para waria mempunyai kedekatan dengan
kelompok bandit pimpinan Tibal.
Akhirnya Tibal mengetahui kalau rahasia keberadaan kelompok bandit telah
dibocorkan oleh salah satu waria yang mengikuti penataran P-6. Tibal menjadi sangat
marah karena keberadaannya telah diketahui oleh pihak pemerintah, yaitu Pejabat.
(168) TIBAL: Baru sesudah terjadi kamu menyesal, nangis apa gunanya. Mulut
becekmu itu menyebabkan kami semua terancam. Padahal kamu sudah disumpah. Masih ingat apa sumpah yang paling penting? Hah? Masih
ingat? Jawab!
LAILA: Setia kepada kelompok.
TIBAL:
Terus? Yang lebih penting lagi.
LAILA: Kalau tertangkap polisi, urus diri sendiri... jangan bawa-bawa teman.
TIBAL:
Dan sekarang apa yang sudah kamu lakukan? Kamu berkhianat. (hlm. 390)
(169) ISTRI: Rencanakan apa saja asal bandit-bandit bisa ditumpas.
PEJABAT:
153
Dan kalian kuberi waktu dua minggu. Gagal, aku pecat. Sukses, kenaikan pangkat menunggu.
(hlm. 405)
Keadaan semakin kacau setelah Tibal membunuh Roima. Kerusuhan yang
direncanakan Tibal untuk mengacau kota ternyata masih terlihat sebagai rencana
mentah karena Tibal terlalu gegabah dan kurang memperhitungkan resiko dari
rencana tersebut. Tibal dan kelompoknya terlalu tergesa-gesa dalam menjalankan
rencana tersebut sehingga semua usaha kelompok bandit gagal. Hal ini menunjukkan
bahwa organisasi kelompok bandit kurang rapi dalam merencanakan sesuatu.
(170) TIBAL: Tidak perlu pikirkan Roima lagi, yang sudah mati biarkan mati. Kita memang harus membalas dendam apa yang sudah mereka lakukan
terhadap kita. Kamu lihat, api di kejauhan? Itu adalah pertanda gerakan kelompok kita dimulai. Hari ini, mereka bergerak di seluruh
pelosok kota. Semua orang kita berkumpul di sini, untuk bikin kerusuhan. Dalam keadaan kacau segalanya bisa terjadi. Dan kita tinggal mengeruk keuntungan. Kita akan menguasai semuanya,
Tuminah. Kamu dan aku. Tidak ada lagi orang yang akan menghina kita. Tidak akan ada lagi, inilah cita-citaku sejak aku keluar penjara.
[...]
BAJENET:
Sebaiknya kita hentikan gerakan, Bos. Kita kewalahan. Roima betul. Rencana kita memang masih mentah. Erlalu pagi kita bergerak.
BONAR:
Bos, Bos Tibal. (TERENGAH-ENGAH)
TIBAL:
Kenapa kemari. Kamu kan aku suruh jaga markas?
BONAR: Kita mampus, Bos. Mampus. Tiga puluh truk tentara dan tank-tank
baja mengepung kita.
154
(hlm. 430-431)
Kegagalan rencana kerusuhan ini merupakan bentuk kehancuran kelompok
bandit. Kelompok bandit berhasil ditumpas oleh tentara walupun pemimpinnya,
Tibal, beserta Tuminah sebagai atasan kelompok PSK tidak tertangkap.
Selain keadaan kelompok-kelompok masyarakat, pada awal “Opera Julini”
dalam dialog Pejabat dengan Aspri diceritakan situasi penggusuran kawasan kumuh
di sebuah daerah sengketa bernama Lokasari.
(171) PEJABAT: Banyak traktor dan pasukan anti huru-hara. Ada apa, Paijo?
ASPRI:
Penggusuran, Pak. Kawasan ini memang pantas digusur, sebab dianggap sebagai sumber
kemaksiatan.
PEJABAT: Apa nama kawasan itu, Paijo?
ASPRI:
Lokasari, Pak.
PEJABAT: Apa? Lokasari? Itu kawasan sengketa. Dan di pengadilan, Pemda
dinyatakan kalah perkara. Kok masih terus dibongkar?
ASPRI: Ah, mana mungkin Pemda bisa kalah, Pak? Ada-ada saja.
(hlm. 299)
Dari kutipan di atas diceritakan bahwa kawasan kumuh tersebut tetap dalam
proses penggusuran walaupun pihak Pemda dinyatakan kalah di pengadilan. Kawasan
kumuh yang masih ditempati oleh banyak anggota urban miskin tetap berada dalam
wewenang Pemda, bukan menjadi hak penghuninya yaitu kaum urban miskin.
155
Kesimpulan latar sosial dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) yaitu ada
penggambaran sikap para tokoh yang mewakili pihak pemerintah yaitu Pejabat dan
pihak kaum urban miskin yang diwakili oleh Tuminah, Tibal, dan Roima. Pejabat
diperlihatkan sebagai orang yang mempunyai tekat menghancurkan kelompok bandit
(159). Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginan untuk menumpas
kelompok bandit dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih wewenang Pejabat
sebagai pemimpin (160), (161). Pada akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para
bandit dapat diatasi tentara (162). Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat meminta untuk
mundur, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak dan Pejabat malah diberi
kenaikan pangkat (163).
Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang
semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket
dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya (164), (165). Roima yang hanya anak
buah Kumis kini telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang
semula cuma pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan
penataran P-6 oleh petugas (166). Dalam penataran tersebut, salah satu waria
langganan Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas (167),
(168). Karena keberadaan kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat
merencanakan penumpasan kelompok tersebut (169). Akhirnya kelompok bandit
benar-benar hancur oleh pihak pemerintah karena rencana para bandit yang kurang
matang (170).
156
Selain keadaan para tokoh yang mewakili pemerintah dan kaum urban miskin,
dalam “Opera Julini” juga ditampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa
penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas
bawah dan pemda (171).
2.2.4 Rangkuman
Latar dalam drama trilogi Opera Kecoa dapat dirangkum secara keseluruhan.
Rangkuman ini meliputi pembagian latar tempat, latar waktu, dan latar sosial dalam
tiap bagian trilogi; yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera Kecoa”
(trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Kesimpulan tersebut
akan dipaparkan sebagai berikut.
2.2.4.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa
Dalam drama “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) latar tempat terdiri dari
tempat tinggal kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas
menengah ke atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk urban
miskin, pepohonan sebagai “rumah” Abung, kantor hansip, dan kantor Camat.
Latar tempat dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) terdiri atas emperan
Plaza Monumen sebagai tempat tinggal sementara Julini dan Roima sesudah kembali
dari desa. Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang,
yaitu kawasan hasil pembangunan oleh pemda dan kawasan kumuh yang luput dari
perhatian pembangunan. Dekat kawasan kumuh tersebut juga ada lapangan golf milik
157
pemerintah. Latar tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas
para bandit, daerah pelacuran para waria, daerah sekitar patung Julini, dan Plaza
Julini; serta rumah Pak Pejabat.
“Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) mempunyai latar tempat jalanan ibukota
dan kawasan kumuh Lokasari. Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas
rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, daerah sekitar Plaza
Julini dan patung Julini.
2.2.4.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa
Pada latar waktu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) dapat diketahui
bahwa ada waktu yang disebutkan dengan pagi, siang, sore, dan malam. Latar waktu
lainnya ditandai dengan suatu peristiwa yaitu menjelang pemilu. Di samping itu,
waktu juga dapat dirunut dengan penanggalan. Urutan tanggal ini dimulai dengan
peristiwa pemberian mandat “pembersihan” kawasan kumuh oleh Camat kepada
Kumis dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke kawasan tersebut. Kunjungan
Gubernur akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret, sedangkan mandat ini diberikan
tiga bulan sebelum kunjungan, yaitu tanggal 1 Desember. Kumis mengumumkan
mandat dari Camat seminggu setelah mandat diturunkan atau semunggu sesudah
tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember. Sebagai bentuk “pembersihan”
kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta pindah paling lambat satu bulan
sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah tanggal 8 Desember, yaitu
158
tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan penggusuran atau beberapa waktu
pasca pemilu.
Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) disebutkan latar waktu adalah
pagi, siang, sore, dan malam. Awal trilogi bagian kedua ini adalah lima tahun setelah
peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Berbagai
peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia sedang giat
melaksanakan pembangunan. Dapat diperkirakan bermacam kejadian dalam “Opera
Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985. Jadi, peristiwa
penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung mundur lima tahun sebelum insiden
penembakan Julini, yaitu tahun 1980.
Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) kebanyakan hanya
disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Bermacam peristiwa dalam “Opera Julini”
terjadi sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya, sepuluh tahun
sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa
penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Selain
itu, terdapat juga hitungan berupa hari yang dapat diketahui sejak Pejabat mengalami
sakit mata, yaitu sembilan puluh sembilan hari. Selama itu pula wewenang Pejabat
diambil alih oleh istrinya.
2.2.4.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa
Latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disimpulkan
berdasar pada masyarakat yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu pemerintah yang
159
terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kelompok urban miskin antara lain Julini,
Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Dari pihak pemerintah Kumis dan Bleki
sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh,
termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan. Selain itu, Kumis
dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni
kawasan kumuh; memperoleh keuntungan untuk pribadi; dan menjaga otoritas
sebagai aparat keamanan. Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat
juga sering memakai jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama simpati dari
kaum urban miskin.
Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota kaum urban
miskin yang tidak memiliki pekerjaan, yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,
kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta serta Roima.
Tarsih berprofesi sebagai PSK dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik
sebagai istri muda Camat. Julini juga berprofesi sebagai PSK dan sering
menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria. Tibal dan
Tuminah berasal dari desa; mereka ingin menjadi petani kota; dan bercita-cita
memiliki masa depan yang lebih baik.
Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak
kawasan kumuh yang berada di sekitar tempat orang-orang kelas menengah ke atas.
Sikap kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang
kurang sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda. Para PSK
juga belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih
160
cerah. Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan
mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka
tempati.
Latar sosial dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) dapat dilihat melalui
sikap para nggota kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili
oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri dari Julini, Roima, Tarsih, Tibal,
dan Tuminah.
Pejabat digambarkan sebagai tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik
di depan orang banyak; Pejabat juga termasuk orang yang suka mencari aman,
mencari simpati orang lain, tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan
politiknya, serta tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa
para urban miskin.
Keadaan anggota kaum urban miskin dapat diketahui melalui Tarsih yang
telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini terancam
digusur sebab dianggap mengganggu keindahan kota oleh petugas. Julini yang baru
saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota;
Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam
kelompok bandit dan memperoleh penghasilan sendiri. Tibal adalah bekas napi yang
belum mempunyai pekerjaan tetap dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional
untuk menghidupi dirinya sendiri sejak Tibal dipenjara.
Latar sosial juga ditampilkan lewat kemiskinan dalam pembangunan negara
Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa. Indonesia yang termasuk
161
sebagai negara yang belum mapan perekonomiannya ternyata berani mengambil
resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.
Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) terdapat penggambaran sikap
para tokoh yang mewakili latar sosial. Para tokoh tersebut adalah pihak pemerintah
yang diwakili oleh Pejabat serta kaum urban miskin yang terdiri dari Roima, Tibal,
dan Tuminah. Pejabat diperlihatkan sebagai orang yang bertekat menghancurkan
kelompok bandit. Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginannya untuk
menumpas kelompok bandit tetap dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih
wewenang Pejabat sebagai pimpinan. Pada akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para
bandit dapat diatasi dengan bantuan tentara. Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat
meminta untuk mengundurkan diri, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak
oleh Menteri. Pejabat justru diberi kenaikan pangkat.
Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang
semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket
dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya. Roima yang hanya anak buah Kumis
sekarang telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang sebelumnya
cuma seorang pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan
penataran P-6 oleh petugas. Dalam penataran tersebut, salah satu waria langganan
Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas. Karena keberadaan
kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat mulai mengetahui kelemahan mereka
dan membuat rencana penumpasan kelompok bandit. Akhirnya kelompok bandit
162
benar-benar dihancurkan oleh pihak pemerintah sebab strategi kerusuhan para bandit
dapat dikatakan kurang matang.
Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok dalam
masyarakat, “Opera Julini” juga menampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa
penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas
bawah dengan pemda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah tidak
pernah menang dalam menghadapi pihak pemerintah. Pihak pemerintah dalam hal ini
digambarkan sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dominan dalam kehidupan
bersama suatu masyarakat, termasuk dalam memutuskan sesuatu.
163
BAB III
KEKERASAN STRUKTURAL OLEH PEMERINTAH TERHADAP KAUM
URBAN MISKIN DI JAKARTA DALAM DRAMA TRILOGI OPERA KECOA
KARYA NORBERTUS RIANTIARNO
Dari analisis tokoh dan penokohan serta latar pada bab II dapat diketahui
gambaran kehidupan orang-orang yang mewakili kelas-kelas sosial masyarakat di
Jakarta dalam drama trilogi Opera Kecoa. Dalam bab III kehidupan masyarakat
tersebut akan dianalisis lebih lengkap dengan cara mencari bentuk kekerasan
struktural melalui pelaku dan korban kekerasan struktural, terutama kekerasan
struktural yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin, sehingga
dampak dari kekerasan struktural itu dapat dilihat secara langsung. Pelaku kekerasan
struktural memang tidak dapat dilacak secara langsung oleh pihak yang menjadi
korban, tapi bentuk kekerasan struktural dan dampaknya dapat dirasakan langsung
oleh korbannya. Dalam drama trilogi Opera Kecoa pihak pemerintah yang
seharusnya merupakan institusi yang bertugas membantu mengurangi permasalahan
justru menimbulkan banyak konflik dalam masyarakat itu sendiri. Pemerintah
cenderung menjadi sekelompok elit penguasa yang dalam berbagai kasus ternyata
memiliki kepentingan sendiri. Kekerasan struktural muncul karena pertumbuhan
kapital yang tidak merata dan berkembang tidak terbatas sehingga hanya
menguntungkan sekelompok masyarakat saja. Biasanya kekerasan struktural bersifat
statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, tidak menampakkan pelaku secara langsung
164
sebab kekerasan ini sudah menjadi bagian dari struktur sehingga sering dianggap
wajar, dan terwujud sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat.
Akibat kekerasan struktural yang paling tampak adalah kemiskinan, pendapatan atau
kekayaan yang tidak merata, ketidakadilan sosial, serta peniadaan individu karena
proses penyeragaman warga negara. Analisis bentuk kekerasan struktural akan
dilakukan sesuai dengan pembagian trilogi yang terdiri dari “Bom Waktu” (trilogi
bagian pertama), “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi
bagian ketiga). Selanjutnya, akan diuraikan analisis bentuk kekerasan struktural
dalam drama trilogi Opera Kecoa karya Riantiarno.
3.1 Kekerasan Struktural dalam Drama “Bom Waktu” (Trilogi Bagian
Pertama)
Dalam “Bom Waktu” terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok
pemerintah yang diwakili oleh Bleki, Kumis, dan Camat sebagai para pelaku
kekerasan struktural. Kelompok yang kedua adalah kaum urban miskin yang terdiri
dari Tarsih, Tibal, Julini, Roima, Abung, dan Tuminah sebagai para korban kekerasan
struktural. Dalam trilogi bagian pertama ini berbagai bentuk kekerasan struktural
dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap kaum urban miskin. Hal tersebut dapat
dilihat pada analisis berikut ini.
165
3.1.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih
Tarsih merupakan salah satu anggota kaum urban miskin yang mengalami
kekerasan struktural. Selama hidupnya, Tarsih belum pernah mengalami perbaikan
nasib, terutama perekonomian dan keberadaannya sebagai anggota kelas bawah
dalam kehidupan bersama kelas atas. Tarsih mengalami kekerasan struktural dalam
bentuk ketidakpedulian pihak pemerintah untuk mengusahakan perbaikan nasib
perekonomian Tarsih dan kaumnya sehingga timbul ketimpangan sosial ekonomi
dengan perbedaan kesejahteraan yang tajam antara kelas bawah dan kelas atas.
Bahkan dalam hal ini Tarsih tidak dapat mengetahui secara langsung pihak yang
terus-menerus membuatnya tetap berada dalam kemiskinan, tapi dampak dari
kemiskinan ini benar-benar dapat dialami Tarsih. Dampak kemiskinan yang dirasakan
Tarsih antara lain ketimpangan pendapatan, terbatasnya produktivitas, dan tidak
memperoleh pendidikan yang seharusnya bisa dia dapatkan. Tarsih merasa bahwa
kemiskinan akan menjadi nasibnya seumur hidup, tapi di sisi lain justru kemiskinan
itu membuat Tarsih merasa harus mempertahankan kehormatannya sebagai manusia.
(172) TARSIH: Julini benar, seumur hidup kita tak akan kebagian apa-apa lagi. Sudah nasib kita untuk selalu memberi, berapa lama bisa tahan? Kita bukan
laut yang tak bisa kering.
KASIJAH: Tapi apa bisa berbuat lain?
TARSIH:
(MENGGELENG. TAPI TAK LAMA KEMUDIAN MATANYA BERCAHAYA)
Mengapa tidak bisa. Apa beda kita dengan mereka yang hanya bisa makan di atas sana. Yang tidak mau berbuat apa-apa padahal
166
sebetulnya mereka bisa. Apa beda kita dengan mereka, yang punya mata tapi tidak melihat. Yang punya mulut tapi tidak mau bicara.
Yang punya otak tapi tak mau peduli. Yang punya kekuasaan untuk mengubah keadaan tapi sontoloyo?
KASIJAH:
Tarsih, Tarsih. Kau sehat?
TARSIH: Aku sehat. Sehat. Aku hanya ingin supaya kita berbuat sesuatu:
mengubah keadaan masa depan kita sendiri.
KASIJAH: Dengan cara apa, mengangkat senjata? Senjata yang kita punya cuma
kehormatan diri sendiri.
TARSIH: Kehormatan. Kalau seumur hidup cuma berkubang di comberan, mana bisa punya kehormatan. Makin lama kita hanya akan makin jadi sisa.
(hlm. 61-62)
Dengan adanya kelas-kelas sosial yang masing-masing mempunyai
kesejahteraan hidup berbeda jauh, Tarsih juga merasakan hilangnya kemampuan
untuk menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini Tarsih dibatasi oleh kemiskinan
untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang sekarang
dijalaninya, terutama dalam memperoleh pekerjaan yang lebih layak yang mampu
meningkatkan perekonomiannya. Tarsih memiliki tekat untuk mengubah masa
depannya menjadi lebih baik, tapi untuk mewujudkan hal tersebut Tarsih akan
kesulitan sebab kedudukannya sebagai anggota masyarakat kelas bawah akan
membuatnya tidak diberi kesempatan oleh kelas sosial yang lebih tinggi dalam
masyarakat.
167
Tarsih sebagai anggota urban miskin merasa tidak mempunyai masa depan,
tidak mempunyai kesempatan untuk mengubah nasibnya menjadi orang dengan
kesejahteraan hidup yang lebih baik. Bahkan ketika sedang tanya jawab dengan
Camat sewaktu Camat meninjau kawasan kumuh, Tarsih mengeluarkan pernyataan
yang menunjukkan dirinya mengalami kekerasan struktural. Hal ini dapat diketahui
ketika Tarsih mengatakan bahwa dia dan kaumnya tidak memiliki kesempatan untuk
mendapat pekerjaan yang lebih layak sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah.
Pekerjaan layak yang mampu memperbaiki perekonomian seseorang seakan-akan
hanya milik masyarakat kelas atas. Tarsih menganggap pekerjaannya selama ini tidak
akan memberinya kesejahteraan di masa depan walaupun dia sudah bekerja keras.
Pernyataan Tarsih tersebut menunjukkan adanya kekerasan struktural yang berbentuk
pembatasan masyarakat dengan meniadakan partisipasi anggota urban miskin dalam
mengambil keputusan tentang nasib diri sendiri dan adanya ketimpangan pendapatan
sebab keuntungan hanya dapat dirasakan oleh pihak lain, bukan oleh Tarsih sendiri.
Anggota kelas bawah terbatas oleh kemiskinan sehingga mereka seolah-olah tidak
berhak mendapat pekerjaan yang layak untuk memperbaiki kehidupan. Namun, dalam
kekerasan struktural yang dialaminya, Tarsih tidak dapat melacak pelaku yang
membuatnya miskin terus-menerus. Kekerasan yang dialami Tarsih ini dianggap
wajar oleh Tarsih karena Tarsih sebagai korban kekerasan tidak merasa bahwa hal
yang dialaminya adalah suatu kekerasan.
(173) CAMAT: Sudahlah, apa Tarsih tidak pernah memikirken masa depan?
168
TARSIH: (MULAI DENDAM)
Tarsih tidak punya masa depan. Semua orang tahu, kita yang ada di sini tidak punya masa depan. Hanya Bapak dan orang-orang semacam
Bapak saja yang punya masa depan.
(BERPUISI) Pelacur-pelacur kota Jakarta, bersatulah!
(PARA PELACUR BERTEPUK TANGAN. MERIAH)
CAMAT:
Lho, kok gitu.
TARSIH: Memang begitu. Bapak masih punya harapan naik pangkat, kalau kerja
bagus. Kita? Makin tua umur kita semakin berkurang langganan. Padahal kita terus dipajaki. Padahal kerja setengah mati. Goyang kanan, goyang kiri. Mana dikejar-kejar oleh orang-orang macam
Kumis yang sering minta imbalan aneh-aneh. Kalau kita berhenti, lantas mau kerja di mana?
(hlm. 77-78)
Dari kutipan (173) Tarsih juga membandingkan nasib yang dialami antara
masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Tarsih mengungkapkan bahwa
kesempatan memperoleh kehidupan layak akan lebih mudah didapat oleh masyarakat
kelas atas dibandingkan masyarakat kelas bawah. Tarsih sebagai anggota masyarakat
kelas bawah merasa bahwa pihak pemerintah saja yang akan memperoleh kesempatan
perbaikan hidup lewat pekerjaan, pendapatan, dan pangkat. Secara tidak langsung hal
ini menunjukkan kekerasan struktural yang berbentuk kerusakan solidaritas sebab ada
perbedaan kesempatan hidup layak antarkelas sosial. Pemerintah sebagai pihak yang
mempunyai struktur sosial lebih tinggi telah mengadakan pembatasan terhadap
masyarakat berstruktur sosial lebih rendah. Dalam kekerasan struktural berupa
169
kerusakan solidaritas ini sekali lagi kaum urban miskin tidak bisa merasakannya
secara langsung sebagai sebuah bentuk kekerasan karena kekerasan tersebut tidak
dapat diamati secara jelas, tapi dampak dari kerusakan solidaritas dapat dirasakan
oleh masyarakat kelas bawah.
Tarsih sebagai wakil para PSK menyatakan bahwa selama ini dia merasa tidak
diberi keahlian apapun oleh pemerintah walaupun Camat sudah menyatakan nasib
kaum urban miskin akan diperhatikan. Tidak adanya usaha dari pihak pemerintah
untuk membantu kaum urban miskin dalam memperbaiki kehidupan menyebabkan
nasib membawa Tarsih tetap menjadi PSK. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa
kekerasan struktural terjadi terhadap Tarsih dalam bentuk pembatasan kemampuan
individu. Seandainya Camat sebagai pihak pemerintah peduli dengan keadaan urban
miskin, setidaknya Camat akan mengadakan pemberian keahlian lain kepada para
PSK, yaitu keahlian sesuai dengan kemampuan individu agar dapat digunakan dalam
pekerjaan yang lebih layak.
(174) CAMAT: Sudah-sudah... Tarsih, kamu bisa bahasa Inggris?
TARSIH:
Kalau saya bisa, masa saya ada di sini. Tarip saya tentu lebih mahal dan saya akan ada di hotel-hotel mewah. Di situ tentu lebih enak, lebih bebas. Orang macam kalian kan lebih suka mengejar-ngejar kami yang
tidak berdaya, yang tidak punya beking, yang lemah....
(SUITAN-SUITAN)
CAMAT: Diperhatiken, nasib kalian akan diperhatiken. Tenang, tenang....
TARSIH:
170
(SUDAH MEMUNCAK) Apa gunanya kalian datang. Meninjau? Untuk apa? Berikan kami kerja
yang layak dan dengan sendirinya kami akan berhenti jadi cabo. Jangan cuma ngomong, meninjau, ngomong. Tidak habis-habis.
Diperhatiken, nasib kami diperhatiken, tai babi semuanya. (hlm. 78-79)
Dalam kutipan (174) diketahui bahwa Tarsih merupakan anggota urban
miskin yang tidak mempunyai keahlian apapun. Hal ini membuat Tarsih harus tetap
berprofesi sebagai PSK. Tarsih juga merasakan kedatangan Camat dalam rangka
meninjau kawasan kumuh tidak ada gunanya karena kunjungan tersebut tidak
membawa perubahan apa-apa bagi kaum urban miskin, termasuk perubahan nasib
anggota masyarakat kelas bawah penghuni kawasan kumuh. Dalam hal ini
sebenarnya Camat sebagai pemerintah daerah telah melakukan kekerasan struktural,
yaitu penipuan kepada urban miskin dengan cara mengatakan bahwa pemerintah
memperhatikan nasib urban miskin. Namun, pernyataan Camat terbukti sebagai
kebohongan karena selama kunjungan ke kawasan kumuh Camat datang hanya untuk
menyaksikan keberadaan urban miskin serta menarik simpati rakyat; bukan
memberikan tindak nyata untuk membantu memperbaiki kehidupan kaum urban
miskin.
(175) TARSIH: (MENYANYI)
Mereka selalu datang Dan pura-pura peduli
Sambil mengintip kesempatan
Mereka selalu datang Hanya bikin jurang pemisah
Semakin bertambah renggang
171
Apa manfaatnya mereka datang? (hlm. 79-80)
Tarsih sempat merasakan jarak yang sangat lebar antara kaumnya dengan
anggota masyarakat kelas atas. Dari nyanyian Tarsih di atas dapat diketahui bahwa
pihak pemerintah; yaitu Camat, Kumis, dan Bleki; seringkali meninjau kawasan
kumuh, tapi kedatangan mereka hanya sekadar formalitas agar pemerintah daerah
tidak dikira telah mengabaikan masyarakat urban miskin. Sebenarnya Camat tidak
peduli dengan keadaan kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Tarsih telah
mengalami kekerasan struktural berupa kerusakan solidaritas antara pihak pemerintah
dengan masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan renggangnya hubungan
antarkelas sosial.
3.1.2 Kekerasan Struktural terhadap Tibal
Selain Tarsih, anggota urban lain yang merasakan kemiskinan adalah Tibal.
Kemiskinan yang dialaminya merupakan dampak dari kekerasan struktural yang
dilakukan oleh Kumis dan pihak pemerintah lainnya. Dalam kutipan (176) Tibal
sebenarnya telah mengalami kekerasan struktural berupa eksploitasi yang dilakukan
oleh Kumis. Kumis melakukan eksploitasi dengan memanfaatkan kemiskinan Tibal.
Kumis mengetahui bahwa Tibal sebagai orang miskin dapat dihisap tenaganya untuk
memenuhi kebutuhan pribadi Kumis, sehingga Kumis menggunakan kekuasaan yang
berlebih sebagai pemerintah untuk mengeksploitasi Tibal. Tibal yang saat itu masih
menjadi penghuni baru di kawasan kumuh belum mengetahui watak Kumis yang
172
sebenarnya. Pada awal kedatangannya, Tibal mempunyai kesepakatan dengan Kumis,
yaitu Kumis memberikan izin kepada Tibal membuka lahan untuk berladang dengan
syarat Tibal membagi hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Hal ini termasuk
bentuk eksploitasi karena secara tidak langsung Kumis telah memeras tenaga Tibal
untuk mengerjakan ladang sementara Kumis hanya menunggu Tibal menyerahkan
hasil penjualan tanamannya. Bentuk kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis
adalah menghilangkan kesempatan Tibal untuk mengambil keputusan tentang nasib
Tibal sendiri sehingga mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan antara Kumis
sebagai aparat pemerintah daerah dan Tibal sebagai anggota masyarakat kelas bawah.
Artinya, pertukaran ekonomi antara Tibal dan Kumis hanya memberikan keuntungan
yang besar kepada Kumis saja, sementara Tibal memperoleh keuntungan yang sangat
sedikit. Kumis telah mengendalikan Tibal dengan cara mengharuskan Tibal membagi
hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Padahal sebenarnya Tibal bisa saja
menggunakan hasil penjualan tanamannya untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini
Kumis telah mempengaruhi Tibal dengan cara memberikan imbalan, yaitu izin
berladang; dan di sisi lain Kumis juga telah mengendalikan Tibal dengan cara
mewajibkan Tibal menyetorkan hasil penjualan tanamannya. Pengendalian ini bisa
menjadi pembatasan terhadap potensi Tibal, juga merupakan bentuk monopoli
wewenang untuk memutuskan suatu hal, dan merupakan wujud kekuasaan Kumis
yang tidak terbatas sehingga merugikan pihak lain.
(176) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?
173
TIBAL: Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.
[...]
JULINI:
Nyogok berapa sama si Kumis?
TIBAL: Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.
JULINI:
Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja.
(hlm. 69-70)
3.1.3 Kekerasan Struktral terhadap Julini
Dari kutipan (176) juga dapat diketahui bahwa Julini sebagai penghuni lama
kawasan kumuh telah mengenal watak Kumis yang sering mengambil keuntungan
untuk diri sendiri, padahal sebagai aparat pemerintah daerah Kumis seharusnya
memberikan perlindungan kepada masyarakat urban miskin dan bukannya menakuti
mereka dengan cara mengadakan wajib bayar bagi urban miskin yang ingin
mengadakan kegiatan di kawasan kumuh. Kumis mempunyai kebiasaan melakukan
korupsi sebagai bentuk kekerasan struktural. Kebiasaan menerima sogokan dari para
penghuni kawasan kumuh dilakukan Kumis dengan tujuan mencari keuntungan untuk
diri sendiri. Selain itu, secara tidak langsung sogokan merupakan syarat dari Kumis
kepada penghuni kawasan kumuh agar para penghuni kawasan kumuh mendapat
kebebasan untuk mengerjakan atau mendapat apa yang mereka inginkan.
174
Dalam kutipan (177) sebagai PSK Julini merasa tidak pernah mendapat
penghasilan cukup untuk memperbaiki perekonomian hidupnya. Upah yang rendah
dari pekerjaan sebagai PSK menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan dan
menyebabkan penghuni kawasan kumuh tetap miskin.
(177) ROIMA: Memang jelek nasib kita.
JUMINI:
Tak pernah senang, selalu kepepet.
JULINI: Selalu jelek, padahal kita sudah cukup keras berusaha.
KASIJAH:
Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang, nasibnya jauh lebih bagus dari kita.
JUMINI:
Kenapa rupanya.
KASIJAH: Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?
Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....
(hlm. 119)
Sebagai PSK, dalam kutipan (177) kehidupan Julini tidak akan pernah
mengalami perkembangan dalam perekonomian sebab peluangnya untuk mendapat
pekerjaan yang lebih baik telah dibatasi oleh masyarakat kelas atas. Dalam hal ini
pemerintah sebagai anggota masyarakat kelas atas secara langsung tidak memberikan
pengarahan kepada Julini agar Julini bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan
dapat diterima oleh masyarakat luas. Secara tidak langsung sebenarnya pihak
175
pemerintah telah mengabaikan keberadaan Julini serta tidak menganggap Julini dan
urban miskin lainnya sebagai anggota masyarakat yang perlu mendapat perhatian dari
pemerintah, termasuk dalam masalah penyediaan lapangan kerja.
3.1.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima
Roima pun merasakan akibat dari kekerasan struktural yang berupa
kemiskinan. Roima menganggap bahwa nasibnya tidak akan bisa berubah sebab dia
dan anggota urban miskin lainnya selalu diposisikan sebagai anggota masyarakat
yang harus disisihkan. Dari kutipan (177) di atas, nasib Roima dan urban miskin
lainnya dibandingkan dengan nasib Tarsih yang sudah menjadi istri muda Camat.
Secara tidak langsung sebenarnya Roima telah mengalami kekerasan struktural
berupa kerusakan solidaritas karena Camat ternyata tidak mampu memberikan
kesejahteraan kepada seluruh penghuni kawasan kumuh seperti yang pernah
dijanjikannya. Camat yang telah mengatasnamakan diri sebagai bagian dari
pemerintah daerah ternyata telah memakai kekuasaan yang berlebih untuk
memberikan kesejahteraan hanya kepada Tarsih karena keinginan pribadi Camat.
Selain itu, bentuk kekerasan struktural lainnya adalah pernyataan adanya upah rendah
dalam pekerjaan anggota urban miskin dan hal ini berarti terjadi ketimpangan
pendapatan antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Masyarakat
kelas bawah menganggap bahwa orang yang telah berada dalam lingkungan
masyarakat kelas atas akan mempunyai jaminan memperoleh kehidupan yang lebih
layak melalui perekonomian.
176
Menjelang akhir “Bom Waktu” Roima yang seorang pengangguran terpaksa
pergi meninggalkan kawasan kumuh karena tempat tersebut akan digusur. Roima dan
penghuni kawasan kumuh lainnya tidak memperoleh ganti rugi apapun saat
meninggalkan “rumah” mereka, termasuk ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru.
(178) JUMINI: Lho, Roima ke mana, Julini ke mana?
ROIMA:
Belum tahu pergi ke mana, Yu. Apa kata nanti saja-lah.
JUMINI: Hati-hati. Aku akan kehilangan kalian....
TURKANA:
Kita semua akan berpencar-pencar. Belum tahu lagi harus tinggal di mana.
(hlm. 120)
3.1.5 Kekerasan Struktural terhadap Abung
Tokoh lain yang mengalami kekerasan struktural adalah Abung. Abung
merupakan penghuni kawasan kumuh yang tidak pernah bercakap-cakap dengan
orang lain. Namun, sebenarnya Abung mengamati kehidupan kaumnya yang tidak
pernah mendapat perbaikan nasib. Abung merasa kehidupan kaum urban miskin
selalu dibatasi oleh pemerintah. Sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan
struktural berbentuk ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan solidaritas, dan
partisipasinya sebagai anggota masyarakat ditiadakan sehingga dia tidak mempunyai
hak untuk menentukan nasib diri sendiri. Abung merasa bahwa kaum urban miskin
177
tidak akan pernah mendapatkan perubahan nasib menjadi lebih baik karena
pemerintah tidak memperhatikan mereka.
(179) ABUNG: Dilemparkan di sini, tanpa penjelasan aku harus berbuat apa. Lalu aku ini apa, tokoh? Kalau tokoh, aku cuma tokoh tak keruan juntrungan. Mana lakon yang harus kumainkan? Kapan aku harus bermain dan
kapan harus istirahat di pinggir panggung?
(MARAH) Aku capek. Aku capek tapi tak bisa berhenti. Begitu banyak orang dibiarkan hidup tanpa persiapan, tanpa bekal apa-apa. Jiwa mereka menjerit, benjol-benjol, bahkan sampai luka mengucurkan darah. Berderet orang antri untuk mencari apa yang mereka pikir bisa
membuat hidup bahagia. Tapi antreannya mandek, padahal yang antre makin bertambah banyak. Setan kredit, menagih hutang-hutang kita
tiap detik. (hlm. 64)
Abung merasakan dirinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasib
sendiri sebab dia berasal dari masyarakat kelas bawah. Bahkan Abung tetap berusaha
mencari kebahagiaan di dalam kemiskinannya, tapi dia tidak pernah menemukan.
Dari kutipan di atas dapat diketahui Abung sangat mengamati keadaan kaumnya yang
mengalami ketimpangan sosial ekonomi. Kaum urban miskin adalah kelompok
masyarakat yang tidak memiliki kemungkinan untuk mengubah nasib mereka dengan
meraih kesejahteraan hidup sebab mereka tidak pernah diberi kesempatan.
Dalam kutipan (179) dan (180) dapat diketahui bahwa kelompok masyarakat
kelas bawah dan kelas atas mempunyai jarak yang sangat renggang dalam tingkat
perekonomian sehingga hal itu mempengaruhi hubungan pada kehidupan sosial
mereka. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan solidaritas antarkelas sosial. Kutipan
(180) menunjukkan Abung sendiri tidak tahu bagaimana cara mengatasi kesulitan
178
perekonomiannya dan hal ini mengakibatkan Abung tidak dapat dengan leluasa
menentukan nasibnya sendiri. Permasalahan kelas sosial membuat Abung harus
mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi, termasuk
mengikuti keinginan pihak pemerintah.
(180) ABUNG: Aku ada di mana-mana, hadir dalam setiap peristiwa. Tapi apa peranan yang sekarang sedang kumainkan? Apakah aku pemeran utama, atau cuma embel-embel pelengkap penderita? Aku tahu apa yang sedang terjadi, tapi cuma itu. Aku kan tidak boleh berbuat apa-apa, sebab
memang tidak ada dalam rancangan. Lagipula aku selalu merasa ada di luar peristiwa. Lama-lama tidak enak juga jadi penonton.
(KEPADA LANGIT)
Ke mana aku harus pergi dan bertanya. Ke mana, katakan. Ke mana? Brengsek. Brengseeek....
(hlm. 93)
Abung melewati masa hidupnya di kawasan kumuh dengan selalu
menanyakan guna keberadaan dirinya. Dalam hal ini Abung merasa tersisih sebagai
anggota kaum urban miskin sebab masyarakat kelas atas tidak ada yang
memperhatikan nasib kelas bawah. Dalam kutipan (181) Abung mempertanyakan
nasibnya sebagai anggota urban miskin, tapi Abung tidak tahu bagaimana cara
mengubah nasibnya sebab kebebasannya untuk menentukan hidup secara tidak
langsung telah dibatasi oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Abung telah mengalami
dampak kekerasan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi karena keuntungan
hanya diperoleh pihak yang mendominasi kekuasaan, termasuk dominasi wewenang
dalam pemerintahan.
(181) ABUNG: (MEMBACA)
179
Semua tahu, kita punya hak untuk bertanya. Punya hak untuk mendapatkan jawaban. Semua orang tahu, kalau kita bertanya itu tidak
berarti kita sedang menyulut api perang. Kalau kita bertanya, tidak berarti kita tidak setia.
Kalau kita tanyakan apa peranan kita sebetulnya, tidak berarti kita tidak percaya. Tapi sekarang, hampir semua orang tidak tahu kepada
siapa harus bertanya. (MENUTUP BUKU)
(hlm. 122)
Kutipan (182) merupakan hari pelaksanaan penggusuran kawasan kumuh.
Dalam penggusuran ini Abung sempat mempertanyakan nasib kaum urban miskin
kepada Camat sebagai pemerintah daerah yang saat itu ikut mengawasi penggusuran.
Ketika penggusuran sebenarnya Abung telah mengalami kekerasan struktural.
Kekerasan struktural yang pertama adalah penggusuran itu sendiri. Penggusuran
merupakan pembatasan terhadap hak seseorang untuk memilih dan memakai tempat
tinggalnya. Selain itu, penggusuran ini lebih tepat merupakan pengusiran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah dan para penghuni kawasan kumuh yang menjadi
korban penggusuran tidak mendapat ganti rugi apapun. Kekerasan struktural yang
lainnya adalah penipuan yang dilakukan oleh Camat kepada Abung. Dalam hal ini
Camat berpura-pura tidak tahu tentang penggusuran ini dan lebih memilih
melemparkan masalah tersebut kepada Gubernur. Padahal sebagai pemerintah daerah
seharusnya Camat mengetahui hal-hal yang terkait dengan penggusuran ini dan
mengusahakan agar penghuni kawasan kumuh yang menjadi korban penggusuran
mendapat ganti rugi karena masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh pun masih
menjadi tanggung jawab pemerintah.
(182) ABUNG:
180
(MELEDAK) Dan inilah saatnya aku memperoleh jawaban. Siapa aku, siapa aku?
Kenapa ada di sini, untuk apa aku di sini. Mengapa semua orang diberi persoalan dan dihabiskan oleh persoalan mereka sendiri tapi aku tetap
seperti wayang yang tinggal di kotak? Siapa aku ini, apa aku ini?
(TIBA-TIBA ABUNG MENGAMUK)
KUMIS: Wehh, ‘ngamuk lagi dianya.
BLEKI:
Gawat... Komandan, kita tembak saja?
(CAMAT LARI DIKEJAR-KEJAR ABUNG)
CAMAT: Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya
jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa. Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.
ABUNG:
Pak Gubernur? Orang yang ada di atas sana? Orang yang kerjanya cuma makan saja?
CAMAT:
Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak melihat ada orang di atas.
ABUNG:
Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe,
bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak
mau.
BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?
KUMIS:
Nih, pestolnya.
BLEKI:
181
Aduh, tugas berat.
(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA MEMBIDIK ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG
KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)
ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.
Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.
(SEMUA TERDIAM)
(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)
Dalam kutipan di atas Abung sangat merasakan adanya ketimpangan sosial
ekonomi antara kelas atas dan kelas bawah. Sampai pada saat penggusuran Abung
tidak memperoleh perbaikan nasib sedikit pun. Dia sempat membandingkan antara
kehidupan yang dijalani masyarakat kelas atas yang terkesan mudah dan serba
tercukupi serta kehidupan yang harus dilalui masyarakat kelas bawah yang selalu
dipersulit dan selalu kekurangan. Akhirnya Abung hanya bisa mengamuk sebab
pemerintah tidak memberi jalan keluar untuk mengatasi kemiskinannya. Setelah
mengamuk cukup lama, Abung ditembak mati oleh Bleki yang saat itu menjadi
petugas penggusuran.
3.1.6 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah
Tuminah pun mejadi korban kekerasan struktural berupa kebohongan yang
dilakukan oleh Kumis; hal ini dapat dirunut melalui kutipan (183), (184), (185),
(186), (187). Dalam kutipan (183) Tibal benar-benar tersudut karena dalam tiga hari
182
dia harus mempertimbangkan keputusannya untuk menyelamatkan ladang serta
mempertahankan kehormatannya dan Tuminah. Tibal memberitahukan kepada
Tuminah bahwa Kumis menginginkan keperawanan Tuminah jika Tibal ingin
mempertahankan ladang. Kumis telah melakukan eksploitasi kepada Tuminah sebab
Kumis ingin menggunakan tenaga Tuminah untuk memenuhi keuntungan pribadi
Kumis dalam hal pemenuhan kebutuhan seks. Selain itu, ternyata Kumis juga telah
berhasil mempengaruhi Tuminah sehingga Tuminah mulai percaya bahwa Kumis
akan membebaskan ladang Tibal jika Tuminah mau memberikan keperawanannya
kepada Kumis. Bahkan Tuminah berharap bahwa dengan memberikan
keperawanannya kepada Kumis, maka bukan hanya ladang, tapi juga tempat tinggal
Tibal dan Tuminah akan luput dari penggusuran.
(183) TUMINAH: Tum harus tahu. Si Kumis tadi minta apa supaya kita bisa tetap tinggal
di sini.
TIBAL: Diam, kubilang! Diam!
TUMINAH:
Tum akan diam kalau Akang katakan apa yang diminta oleh Kumis. Kalau sulit, kita kan bisa berusaha. Asal ladang yang sudah capek-
capek kita tanami tidak digusur begitu saja. Tum akan berusaha membantu sekuat tenaga.
TIBAL:
(MELEDAK) Dia minta kamu, keperawananmu, kehormatanmu sebagai imbalan.
Bagaimana bisa kuat aku mendengarnya. Bagaimana aku tidak marah. Kalau saja aku sendirian tadi, aku sudah adu nyawa. Ini penghinaan.
TUMINAH:
(TERMENUNG)
183
Jadi itu yang dia minta. Kita dikasih waktu tiga hari untuk berpikir, tadi aku dengar Kumis bilang begitu.
(hlm. 112-113)
Kutipan (184) menunjukkan bahwa Tuminah sudah benar-benar di bawah
pengaruh Kumis. Tuminah yang merasa harus menyelamatkan kehidupan
perekonomiannya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor Kumis dan
memberikan keinginan Kumis, yaitu keperawanan Tuminah. Dalam nyanyian di
bawah ini Tuminah benar-benar tidak diberi pilihan lain kecuali menyerahkan
keperawanannya demi menyelamatkan ladang Tibal. Sebenarnya Tuminah telah
mengalami kekerasan struktural berupa hilangnya hak Tuminah untuk menentukan
nasib diri sendiri. Karena terhimpit masalah perekonomian Tuminah harus
mempertahankan ladang yang menjadi satu-satunya sumber penghasilannya di kota.
(184) TUMINAH: (BERCERMIN, MENYANYI)
Bagi cacing seperti aku
Adakah pilihan lain?
Yang disodorkan memang racun Tapi adakah pilihan lain?
Bumi gelap di sudut-sudut Panah tajam siap di busur Pisau-pisau siap menusuk
Dan sembilu ‘kan menyobekku
Di sini dan di sana racun Adakah pilihan lain?
Oh, adakah pilihan lain?
(TUMINAH PERGI KE TEMPAT KUMIS) (hlm. 114)
184
Dalam kutipan (185) Tuminah telah menyerahkan keperawanannya kepada
Kumis tanpa sepengetahuan Tibal. Tuminah menganggap setelah keperawanannya
diambil oleh Kumis, maka Tuminah dan Tibal akan dibebaskan dari penggusuran.
Tuminah benar-benar termakan janji Kumis tanpa mendapat jaminan bahwa janji
Kumis nantinya akan dipenuhi.
(185) TUMINAH: Kita tak akan digusur, Kang. Tidak akan.
TIBAL:
Apa?
(BARU MEMPERHATIKAN) Apa-apaan ini, kamu pakai kain bagus, kebaya bagus, pakai gincu.
Kamu habis dari mana. Bilang, kamu habis dari mana.
TUMINAH: Tum baru datang dari kantornya Kumis.
TIBAL:
Jadi kamu... Tuminah, jadi kamu....
TUMINAH: Ya, dan kita tidak akan digusur. Sehabis peninjauan Bapak Gubernur, kita akan tetap tinggal di sini. Mendirikan gubuk dan berladang. Itu
janji Mas Kumis tadi. (hlm. 117)
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Tibal yang sejak awal tidak
percaya kepada Kumis kini merasa telah gagal menjaga kehormatannya dan Tuminah,
serta kebohongan yang dilakukan Kumis mulai terlihat. Tibal menganggap apa yang
telah dilakukan oleh Tuminah tidak akan dapat menyelamatkan apapun, bahkan Tibal
merasa nasibnya dan nasib Tuminah sebagai masyarakat kelas bawah akan semakin
185
bertambah buruk sebab kebebasan hidup mereka semakin dibatasi oleh kelompok
masyarakat yang lebih berkuasa.
Kutipan (186) dan (187) menceritakan hari pelaksanaan penggusuran kawasan
kumuh. Pada hari itu Tuminah baru benar-benar merasakan bahwa dia telah ditipu
oleh Kumis. Tuminah yang semula menganggap bahwa keperawanannya dapat
menjadi jaminan pembatalan penggusuran gubuk dan ladang, kini Tuminah mulai
mengetahui kalau semua yang dilakukan oleh Kumis adalah suatu penipuan. Ketika
gubuknya sedang dibongkar, Tuminah sempat menanyakan kembali janji-janji
Kumis. Namun, Kumis tidak mau mengakui bahwa dia pernah menjanjikan
pembatalan penggusuran gubuk dan ladang.
(186) TUMINAH: (KAGET. BERTERIAK)
Lho? Gubukku kok dibongkar juga? Apa-apaan ini? Tunggu!
BLEKI: Komandan, bagaimana ini? Dibongkar, jangan?
KUMIS: Bongkar!
TUMINAH:
Kok dibongkar juga? Bagaimana janjimu? Aku sudah kasih apa yang kamu ingin, masa tetap kamu bongkar juga?
KUMIS:
Aku tidak janji apa-apa. Bongkar!
TUMINAH: Tunggu! Tunggu!
(MASUK HANSIP-HANSIP MENYERET TIBAL)
HANSIP:
186
Komandan! Komandan!
TIBAL: (LEMAS)
Tum, ladang kita mereka gusur....
TUMINAH: Kang, rumah kita dibongkar juga....
(hlm. 133)
Dari kutipan (186) dan (187) dapat diketahui bahwa Kumis melakukan
kekerasan struktural berupa penipuan dan eksploitasi kepada kaum urban miskin.
Dalam hal ini Kumis melanggar janjinya untuk membatalkan penggusuran jika
Tuminah menyerahkan keperawanannya. Karena merasa ditipu, akhirnya Tibal
mengamuk kepada petugas penggusuran. Akibatnya Tibal dianggap sebagai
pemberontak yang mengacau pelaksanaan penggusuran dan dibawa ke kantor polisi
untuk ditahan. Penahanan Tibal dalam akhir kutipan (187) menunjukkan adanya
kekerasan struktural berupa penghilangan orang yang dianggap sebagai sumber
kesulitan. Pemerintah daerah menganggap bahwa semua urban miskin yang
memberontak dalam pelaksanaan penggusuran ini adalah orang-orang yang dapat
menggagalkan proses pembangunan sebab penggusuran ini merupakan salah satu cara
agar pembangunan yang dilakukan oleh negara dapat berhasil.
(187) KUMIS: Jangan takut, Bleki. Ini cuma ekses dari pembangunan. Kalau mau maju ya harus begini ini; rela berkorban. Artinya, satu dibongkar
semua dibongkar. Tidak boleh pilih kasih. Sehabis pembongkaran, akan ada pembangunan. Begitu akan terjadi, berulangkali. Jadi jangan
berhenti! Terus bongkar, bongkar!
TUMINAH: Tapi janji-janjinya... mana?
187
KUMIS: Aku tidak pernah janji apa-apa.
TIBAL:
(MELEDAK) Ladangku digusur juga.
Lalu apa gunanya Tuminah tidur sama kamu setiap kali kamu ingin? Berapa kali? Anjing, bangsat.... Jahanam kamu.
(CAMAT DAN SEKRETARIS CAMAT DAN BEBERAPA
PENGAWAL DATANG. TIBAL YANG MENGAMUK SEGERA DIRINGKUS. PENYANYI DI JENDELA HOTEL MENYANYI
MEMEKAKKAN TELINGA)
CAMAT: Pemberontakan? Ringkus! Bawa laki-laki gila ini ke kantor polisi.
Jangan biarkan dia menyebar bibit kekacauan! (hlm. 134-135)
3.1.7 Kekerasan Struktural oleh Bleki
Bleki menjadi pelaku kekerasan struktural di kawasan kumuh. Kekerasan
struktural yang dilakukan Bleki berupa ancaman dengan mengatasnamakan diri
sebagai petugas keamanan yang menjadi bagian dari aparat pemerintah daerah dan
dengan statusnya tersebut Bleki menunjukkan dominasi kekuasaan terhadap kaum
urban miskin. Dalam kutipan (188) Bleki yang sedang bertugas malam merasa
diremehkan oleh para pelacur sehingga dengan tidak segan Bleki mengancam para
pelacur tersebut dengan mengatakan bahwa Bleki akan membawa pelacur-pelacur
tersebut ke markas.
(188) BLEKI: Apa aman semuanya, tidak ada ribut-ribut?
PELACUR-1:
188
Aman, Oom. Tapi tidak ada hujan duit malam ini.
BLEKI: Sialan, lu. Hujan duit nenek moyang.
PELACUR-2:
Iya, Oom. Cuma hujan debu.
PELACUR-1: Galunggung meletus lagi, sih.
BLEKI:
Eh, jangan bercanda sama petugas, ya? Jangan main-main, tidak serius. Kalian pikir kami ini apa, hah? Tempe? Ditanya serius malah
muter-muter. Nanti kami angkut kalian semua ke markas, baru nyaho. (hlm. 25)
Dengan mengatasnamakan diri sebagai petugas keamanan Bleki telah
memperlihatkan bahwa kelas atas dan kelas bawah mempunyai jarak yang cukup
tajam. Hal ini menunjukkan bahwa Bleki mempunyai tingkatan yang lebih tinggi
dalam struktur masyarakat dibanding dengan masyarakat kelas bawah. Dengan
demikian, hal ini membuat Bleki merasa mempunyai wewenang lebih tinggi daripada
anggota urban miskin.
Dalam kutipan (189) Bleki mengancam Tarsih karena menganggap Tarsih
telah menghina atasannya dan bagi Bleki hal itu berarti Tarsih telah menghina aparat
pemerintah daerah. Dalam hal ini Bleki telah membatasi kebebasan Tarsih untuk
berpendapat atas tindakan Kumis dan secara tidak langsung Bleki menggunakan
wewenangnya sebagai petugas keamanan untuk ikut campurtangan dalam tindakan
Tarsih untuk mengambil keputusan.
(189) KUMIS: Menghina, dari mana kamu tahu uangku uang haram?
189
TARSIH: Hasil keringat orang lain uangmu itu. Seharusnya kamu tidak berhak.
Cuma uncang-uncang kaki, dapat duit.
BLEKI: Paksa saja, Bos, apa dia berani bertindak.
(hlm. 88)
3.1.8 Kekerasan Struktural oleh Kumis
Kekerasan struktural juga dilakukan oleh Kumis sebagai hansip yang bertugas
menjaga keamanan kawasan kumuh. Dalam kutipan (190) Kumis sebagai bagian dari
pemerintah daerah melakukan kekerasan struktural berupa ancaman kepada para
pengemis. Ancaman ini dilakukan Kumis untuk membubarkan kumpulan para
pengemis dengan cara menakut-nakuti melalui suara tembakan. Kumis merasa
dirinya bebas menggunakan senjata api karena dia adalah petugas keamanan di
kawasan kumuh yang memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur masyarakat urban
miskin. Namun, Kumis memakai senjata api tersebut tanpa melihat permasalahan
yang terjadi sehingga dia asal menembak saja dan Kumis menggunakan senjata api
sebagai alasan agar bisa menjaga keamanan daerah kumuh tanpa memperhatikan
bahaya pemakaian senjata api secara sembarangan bagi keselamatan para penghuni
kawasan kumuh.
(190) (BUNYI TEMBAKAN)
(PARA PENGEMIS MENJERIT BEBARENGAN LALU BUBAR. CALON PENYANYI BERHENTI MENYANYI, MENUTUP
JENDELA. ABUNG LEMAS)
190
(TEMBAKAN TERDENGAR BERTUBI-TUBI, MAKIN MENDEKAT)
(PARA PATUNG TETAP TENANG MELAHAP SANTAPAN,
SEAKAN TAK TERJADI APA-APA. MUNCUL DUA HANSIP: KUMIS DAN BLEKI)
KUMIS:
Bubar! Bubar! Bubar!
BLEKI: Sudah bubar.
(MEMASANG PETASAN)
KUMIS: Dari jauh aku kira ada banyak orang. Dilihat dari suaranya, mungkin lebih dari sepuluh ribu orang yang berkumpul. Kalau terjadi apa-apa,
aku bisa dipersalahkan. Jadi kambing hitam. Kena marah, kena mutasi. Keamanan di daerah ini sepenuhnya ada di bawah tanggung jawabku,
kan? (hlm. 15)
Kumis merupakan petugas keamanan yang biasa menyewa jasa Tarsih sebagai
PSK. Dari kutipan (191) dapat diketahui bahwa Kumis seringkali tidak membayar
setelah memakai jasa Tarsih. Hal ini menyebabkan Kumis dikenal sebagai orang yang
hanya suka mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Di samping itu, Kumis
sebenarnya telah melakukan kekerasan struktural berupa eksploitasi terhadap Tarsih
dengan mengatasnamakan dirinya sebagai bagian dari pemerintah daerah yang berhak
memanfaatkan tenaga maupun kemiskinan setiap urban miskin yang ada di kawasan
kumuh. Kumis sudah memeras tenaga Tarsih untuk memenuhi keinginannya sendiri
dalam hal pemenuhan kebutuhan seks, dan pada akhirnya Kumis juga tidak
membayar jasa Tarsih. Tindakan Kumis ini menyebabkan Tarsih mengalami
ketimpangan pendapatan.
191
(191) TARSIH: Dia jatuh cinta.
(MELIHAT KUMIS DAN BLEKI DATANG)
Ah, mereka lagi. Meminta banyak tapi selalu ingin gratis. Jah, bilang aku sedang dibuking.
KASIJAH:
Kumis dan anjingnya?
TARSIH: Siapa lagi. Bilang begitu ya....
(PERGI BURU-BURU)
KASIJAH: (KEPADA PENONTON)
Di sekeliling kita, lebih banyak orang-orang yang selalu ingin meminta banyak tapi tak mau memberi. Ibarat benalu, hanya bagus
tampangnya tapi sungguh berbahaya tabiatnya. (hlm. 24)
Eksploitasi yang dilakukan Kumis masih terus berlanjut. Selain itu, Kumis
juga melakukan kekerasan struktural berupa penipuan. Kumis masih tetap saja
memanfaatkan tenaga Tarsih sebagai PSK tanpa mau membayar jasa pekerjaan
Tarsih. Kumis hanya sanggup berjanji akan membayar, tapi tetap saja Kumis masih
berhutang kepada Tarsih. Dari janji-janji yang tidak kunjung terwujud, Kumis
sebenarnya telah melakukan penipuan kepada Tarsih seperti dalam kutipan (192).
(192) TARSIH: (DARI BALIK TANGGUL)
Janji melulu, janji melulu. Apa kamu pikir aku bisa hidup hanya dari janji-janji?
KUMIS:
(DARI BALIK TANGGUL) Cuma malam ini, besok kalau aku datang lagi, aku kasih kamu empat
kali lipat. Sekarang aku tidak bawa uang.
192
TARSIH: Besok, besok. Selalu besok. Sudah berapa besok.
KUMIS:
Masa tidak percaya sama aku sih, sama Kumis?
TARSIH: Sudah habis kesabaranku....
(KEDENGARAN BARANG PECAH. KUMIS NAIK TANGGUL
TERGOPOH HANYA BERCELANA KOLOR. DIA LARI MASUK GANG. SEMENTARA ITU BLEKI LARI MENYUSUL DI
BELAKANGNYA MEMBAWA CELANA DAN BAJU SERAGAM KUMIS)
(hlm. 57-58)
Selain menipu dan melakukan eksploitasi terhadap Tarsih, Kumis juga dikenal
sebagai orang yang suka mengambil keuntungan dari orang lain. Dalam kutipan (193)
dapat diketahui bahwa Kumis seringkali mendapat uang dari hasil pekerjaan
penghuni kawasan kumuh lainnya. Kebiasaan Kumis ini merupakan salah satu bentuk
kekerasan struktural, yaitu korupsi. Kumis sebenarnya telah melakukan korupsi
dengan meminta pungutan dari para penghuni kawasan kumuh yang seharusnya
bukan menjadi hak Kumis.
(193) KUMIS: Aku punya uang banyak sekarang. Hutang-hutangku yang dulu akan
kubayar dua kali lipat dan yang sekarang kuberi kamu berapa pun yang kamu minta.
TARSIH:
Aku tak butuh uang haram.
KUMIS: Menghina, dari mana kamu tahu uangku uang haram?
TARSIH:
193
Hasil keringat orang lain, uangmu itu. Seharusnya kamu tidak berhak. Cuma uncang-uncang kaki, dapat duit.
BLEKI:
Paksa saja, Bos, apa dia berani bertindak. (hlm. 88)
Tibal dan Tuminah adalah penghuni baru di kawasan kumuh yang juga
menjadi korban Kumis. Mereka datang dari desa dan ingin menjadi petani kota. Sejak
awal kedatangannya, Tibal dan Tuminah sebenarnya telah mengalami kekerasan
struktural yang dilakukan oleh Kumis dan Bleki yang menjadi aparat keamanan
daerah kumuh. Tibal sendiri mengalami kekerasan struktural berupa eksploitasi yang
dilakukan oleh Kumis. Tibal yang belum mengetahui watak Kumis sebenarnya
dipengaruhi oleh Kumis untuk mengikuti kemauan Kumis. Pada awal kedatangan di
kantor Kumis, Tibal mempunyai kesepakatan dengan Kumis, yaitu Kumis
memberikan izin kepada Tibal membuka lahan untuk berladang dengan syarat Tibal
membagi hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Hal ini termasuk bentuk
eksploitasi kemiskinan karena secara tidak langsung Kumis telah memeras tenaga
Tibal untuk mengerjakan ladang sementara Kumis hanya menunggu Tibal
menyerahkan hasil penjualan tanamannya. Kumis menganggap bahwa masyarakat
kelas bawah tidak boleh diberi kesempatan untuk berkembang, baik dalam kehidupan
ekonomi maupun sosialnya. Dengan meminta hasil penjualan tanaman Tibal, secara
tidak langsung Kumis telah membuat keuntungan hanya akan diperoleh satu
kelompok saja sebagai pihak yang kuat, sementara kelompok lain sebagai pihak yang
lebih rendah tidak mendapat keuntungan apa-apa dari usaha mereka. Bentuk
194
kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis adalah menghilangkan kesempatan
Tibal untuk mengambil keputusan tentang nasib Tibal sendiri dalam menggarap
ladang. Kumis telah mengendalikan Tibal dengan cara mengharuskan Tibal membagi
hasil penjualan tanamannya kepada Kumis. Padahal sebenarnya Tibal bisa saja
menggunakan hasil penjualan tanamannya untuk kebutuhan sehari-hari dan
menabung untuk masa depan. Dalam hal ini Kumis yang memanfaatkan
kedudukannya sebagai aparat keamanan pemerintah daerah telah mempengaruhi
Tibal dengan cara memberikan imbalan, yaitu izin berladang; tapi di sisi lain Kumis
juga telah mengendalikan Tibal dengan cara mewajibkan Tibal menyetorkan hasil
penjualan tanamannya. Pengendalian ini bisa menjadi pembatasan terhadap potensi
Tibal dalam mengembangkan diri dan mengembangkan usaha serta tetap membuat
Tibal berada dalam kemiskinan terus-menerus.
(194) JULINI: Tanaman di ladang, sudah besar-besar, ya?
TIBAL:
Setengah bulan lagi panen. Kita bisa dapat uang lumayan.
[...]
JULINI: Nyogok berapa sama si Kumis?
TIBAL:
Tidak nyogok. Tapi bagi-bagi hasil. Itu perjanjiannya.
JULINI: Jangan percaya sama si Kumis. Dia hanya bikin apa yang
menguntungkan untuk dirinya sendiri. Hati-hati saja. (hlm. 69-70)
195
Dalam kutipan (194) bentuk kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis
adalah secara tidak langsung dia telah korupsi melalui pembagian hasil penjualan
tanaman Tibal. Izin berladang sebenarnya tidak perlu diganti dengan hasil penjualan
tanaman. Namun, Kumis mewajibkan Tibal memberi setoran dari hasil panen yang
terjual. Dengan kata lain, Kumis telah memakai hasil penjualan tanaman untuk
kepentingan pribadinya dan sebenarnya hasil penjualan tersebut bukan menjadi
haknya sehingga keuntungan hanya diperoleh satu kelompok tertentu saja sebagai
pihak yang kuat dan kelompok lain sebagai pihak yang lemah tidak mendapat
keuntungan apapun.
Kutipan (195) menceritakan keadaan Tibal dan Tuminah menjelang
penggusuran kawasan kumuh. Tibal sempat mengkhawatirkan nasib ladangnya yang
diperkirakan juga akan ikut digusur. Tibal juga sempat melakukan tawar-menawar
dengan Kumis agar ladangnya tidak ikut digusur dan mengatakan bahwa tanaman di
ladang baru bisa dipanen beberapa bulan sesudah penggusuran. Dalam situasi ini
Kumis justru memanfaatkan kelemahan Tibal. Kumis melakukan kekerasan struktural
kepada Tibal berupa intimidasi. Secara tidak langsung Kumis telah menakuti Tibal
dengan mengatakan bahwa penggusuran itu hanya perintah dari atasan dan artinya
ladang Tibal juga akan ikut digusur karena ladang tersebut berada di kawasan kumuh.
Intimidasi ini dilakukan oleh Kumis dengan tujuan agar Tibal lebih tertekan dan
mengikuti semua kemauan Kumis.
Selain intimidasi, kekerasan struktural lain yang dilakukan Kumis dalam
kutipan (195) adalah pendekatan kepada Tibal yang mengacu pada sistem orientasi
196
imbalan dengan tujuan mempengaruhi serta mengendalikan Tibal. Kumis membalik
keadaan dengan membatalkan penggusuran ladang Tibal sebagai imbalan, tapi
dengan syarat Tibal harus menyerahkan keperawanan Tuminah kepada Kumis.
Secara tidak langsung Kumis sudah mengendalikan dan mempengaruhi Tibal agar
Tibal melakukan semua keinginan pribadi Kumis.
Dalam pertemuan ini Kumis juga masih saja melakukan korupsi, yaitu dengan
meminta setoran hasil penjualan tanaman Tibal. Setoran ini bisa dikatakan sebagai
korupsi karena sebenarnya Kumis tidak mempunyai hak apapun atas hasil panen
ladang Tibal. Namun, Kumis menjadikan hasil penjualan tanaman sebagai syarat
pemberian izin bagi Tibal dan Tuminah untuk menempati kawasan kumuh. Kumis
benar-benar membuat Tibal tersudut sehingga Tibal tidak bisa menentukan nasib
ladangnya sendiri serta tidak bisa menikmati hasil ladangnya secara utuh.
Dari semua kekerasan struktural yang dilakukan oleh Kumis terhadap Tibal,
maka Tibal sebagai korban tidak akan merasakan hal itu sebagai suatu kekerasan
sebab hal yang dilakukan oleh Kumis sudah dianggap wajar terjadi dalam relasi
antara aparat pemerintah daerah dengan anggota urban miskin. Kekerasan strutural ini
juga terwujud sebagai bagian dari struktur masyarakat dan terkesan berada dalam
peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan harus dipetuhi oleh penghuni
kawasan kumuh.
(195) TIBAL: Terus terang saja, Om Hansip, bener kita tidak boleh lagi tinggal di
sini, ya? Ya?
KUMIS:
197
Saya tidak bilang begitu. Saya hanya diperintahkan untuk melakukan pembongkaran.
TIBAL:
Lantas, bagaimana ladang saya yang baru saja ditanami bibit? Tanaman baru bisa dipetik dua bulan kemudian.
KUMIS:
(PURA-PURA TAK MENDENGAR) Ini setorannya?
TIBAL:
Ya, bagian Mas Kumis itu.
KUMIS: Tidak ada tipu-menipu ‘kan?
TIBAL:
Ada perincian tertulisnya, Mas. Kalau mau lihat, boleh.
KUMIS: Percaya, percaya.
(PADA BLEKI) Bleki, hitung!
BLEKI:
Apa nih, upeti?
KUMIS: Hitung saja, jangan banyak tanya. Kamu dapat bagian sepuluh persen.
BLEKI:
Siap, Komandan. Segera saya kerjakan. (MENGHITUNG)
TIBAL:
Soal penggusuran itu, Mas. Saya minta keringanan. Kalau boleh, ladang jangan digusur. Gubuk sih tak apa-apa asal jangan ladang.
KUMIS:
Boleh, boleh, tapi ada imbalannya.
198
(MEMBERI TANDA) Sini kubisiki....
TIBAL:
(MENDEKAT. KUMIS BERBISIK. TIBAL MERAH MUKANYA)
KUMIS: Tuh kan,sudah saya duga pasti marah. Ya sudah tidak jadi. Tapi
jangan harap kamu bisa tinggal di sini lagi.
TIBAL: Maksiat, otak kamu sudah dipenuhi oleh belatung. Ayo, Tum, kita
pergi. Jahanam.
(MENYERET TUMINAH KELUAR MARKAS HANSIP)
KUMIS: Aku beri waktu tiga hari. Lewat dari itu jangan harap pintu kantor ini
sudi saya buka lagi. Lalu kalian boleh minggat ke comberan!
(hlm. 109-111)
Pada akhir pertemuannya dengan Tibal, Kumis kembali melakukan kekerasan
struktural berupa pemaksaan kepada Tibal. Tibal disudutkan untuk memilih antara
menyelamatkan ladang tapi harus mengorbankan keperawanan Tuminah atau
mempertahankan keperawanan Tuminah tapi Tibal harus kehilangan ladang dan
tempat tinggalnya. Dalam hal ini sebenarnya Kumis juga telah merusak solidaritas
karena Kumis tidak mau memahami keadaan Tibal sebagai kaum urban miskin dan
tetap menjadikan Tibal sebagai korban penggusuran tanpa mau memberikan ganti
rugi apapun kepada Tibal.
Akibat dari kekerasan struktural berupa eksploitasi kemiskinan yang
dilakukan Kumis terhadap Tibal adalah ketimpangan sosial serta pendapatan dan
kekayaan yang tidak merata bagi anggota masyarakat kelas bawah. Hal ini terjadi
199
karena Kumis tetap meminta setoran dari Tibal, sementara situasi Tibal saat itu
terancam digusur tempat tinggal maupun ladangnya, artinya Tibal tidak akan punya
sumber penghasilan lagi. Di samping itu, masyarakat kelas bawah menjadi tidak
punya peluang untuk memperbaiki kesejahteraan mereka karena semakin sempitnya
lapangan pekerjaan, sedangkan pihak pemerintah tidak memberikan solusi apapun
bagi permasalahan perekonomian kelas bawah. Maka, hubungan antarmasyarakat
kelas atas dan kelas bawah akan semakin renggang.
Kaum urban miskin digambarkan sebagai masyarakat yang tidak memiliki
tempat tinggal tetap; bahkan untuk mendapat tempat tinggal pun mereka masih
kesulitan. Dalam kutipan (196) melalui pernyataan Kumis dapat diketahui adanya
kekerasan struktural berupa ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan solidaritas,
campurtangan kekuatan luar yang menghilangkan kebebasan masyarakat kelas
bawah. Adanya kekuasaan pihak pemerintah yang berlebih mengakibatkan kaum
urban miskin tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib mereka, baik secara
sosial maupun ekonomi; padahal seharusnya pihak pemerintah membantu
penyelesaian masalah sosial ekonomi yang masih sering dirasakan oleh masyarakat
kelas bawah. Kaum urban miskin pun dianggap tidak berhak menempati tanah negara
dan diusir dari kawasan kumuh. Dalam hal ini pemerintah tidak memberikan solusi
atau ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru walaupun sebenarnya masyarakat
urban miskin masih menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang seharusnya ikut
merasakan hasil pembangunan. Pelaksanaan penggusuran ini juga menunjukkan
bahwa hanya kelompok masyarakat tertentu saja yang akan diuntungkan sedangkan
200
kerugian akan ditanggung oleh kelompok masyarakat lainnya. Ketika pelaksanaan
penggusuran sebenarnya pemerintah telah melakukan penghilangan orang-orang yang
dianggap sebagai sumber kesulitan. Artinya pemerintah menganggap bahwa
kelompok urban miskin tidak diperlukan kehadirannya di tengah pembangunan
karena mereka tidak dapat dijamin kehidupan masa depannya serta dianggap tidak
dapat membantu kelancaran pembangunan yang sedang gencar dilakukan pemerintah.
Kelompok urban miskin justru dianggap sebagai penghambat pembangunan karena
kelompok ini terus-menerus berada dalam kemiskinan dan tidak akan memberikan
sumbangan apapun bagi perekonomian negara.
(196) KUMIS: Menyesal? Bagaimana? Tentara, polisi, hansip akan tetap ada.
Kekuasaan puncak boleh pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tapi polisi, tentara, dan hansip tetap akan diperlukan. Tetap akan ada. Mungkin dengan sebutan yang berbeda, tapi inti tugasnya tetap sama:
menegakkan tramtibmas! Kalau bukan aku yang jadi hansip, tentu orang lain. Dan demi
ketertiban, hansip boleh bersikap keras. Kalian datang dan tinggal di sini, kemudian mengaku ini semua punya kalian. Kami tidak boleh mengganggu gugat. Apa dasarnya kami tidak boleh mengusir kalian? Ini semua tanah milik negara tahu? Dari dulu
tanah ini bukan milik kalian. Minggat! (hlm. 136)
3.1.9 Kekerasan Struktural oleh Camat
Selain Bleki dan Kumis, Camat juga merupakan orang yang melakukan
kekerasan struktural terhadap Tarsih. Melalui kutipan (197) dapat diketahui Camat
yang merasa mempunyai kekuasaan mutlak atas nasib urban miskin termasuk orang
yang senang memakai jasa Tarsih sebagai PSK. Dalam hal ini sebenarnya Tarsih
201
telah dieksploitasi oleh Camat yang telah memakai jabatannya untuk alasan akan
meningkatkan kesejahteraan kaum urban miskin. Tarsih hanya dimanfaatkan
tenaganya untuk memenuhi kebutuhan seks Camat. Selain itu, Camat juga
menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan dari Tarsih. Pada akhirnya
Camat memakai jabatannya untuk mempengaruhi Tarsih dengan menjanjikan hidup
sejahtera bagi Tarsih. Hal ini berarti Camat telah mengeksploitasi kemiskinan Tarsih
dengan tujuan Camat mendapat simpati agar dianggap sebagai pemerintah daerah
yang masih peduli kepada nasib urban miskin melalui cara mengangkat Tarsih dari
kemiskinan dan menjadikannya istri muda.
(197) ORANG-1: Kalau bukan, jangan banyak omong. Biar dia yang jawab. Nganggur? Kalau nganggur, majikan saya mau pakai. Kalau memuaskan, jangan
kuatir soal honornya.
(TARSIH MELENGGANG MASUK KE DALAM LEMBAH SUNGAI)
TARSIH: Masuklah.
(ORANG-1 BISIK-BISIK SAMA ORANG-2 YANG SEGERA MENGANGGUK DAN BERJALAN MENGIKUTI TARSIH.
ORANG-1, JONGKOK DAN DIAM-DIAM DI SAMPING KASIJAH)
KASIJAH:
Kamu sendiri tidak?
ORANG-1: Diam ah, jangan ganggu aku.
KASIJAH:
Siapa kamu sih, pakai kerudung segala kayak dukun beranak.
202
ORANG-1: Tidak mau diam, kugebuk kamu.
(KASIJAH MAU MARAH TAK JADI. DIA MEMASANG ROKOK
DAN PERLAHAN MENGHAMPIRI)
(KETIKA ORANG-1 LENGAH DENGAN SEBAT DIA MENCABUT KERUDUNG ORANG-1. DUA-DUANYA
TERKEJUT)
KASIJAH: Jadi kamu, kamu sekretarisnya Pak Camat. Sekretarisnya Pak Camat.
Jadi yang masuk ke sana itu....
ORANG-1: Kugebuk kamu, kugebuk.
KASIJAH:
(LARI-LARI DIKEJAR ORANG-1) Dia ini sekretarisnya Pak Camat. Dan yang masuk ke sana itu tentu
Pak Camat.... Ooii, Pak Camat nyabo.... (hlm. 81-82)
Dalam kutipan (198) dan (199) Tarsih telah diangkat Camat menjadi istri
muda Camat. Camat sebagai pemerintah daerah telah berhasil mempengaruhi Tarsih.
Sebenarnya Camat telah melakukan kekerasan struktural kepada Tarsih, yaitu berupa
pemberian imbalan untuk mengendalikan Tarsih. Imbalan yang diberikan Camat
adalah janji Camat untuk memberi hidup sejahtera kepada Tarsih berupa penyediaan
rumah dan tunjangan uang setiap bulan, tapi sebaliknya Tarsih berada di bawah
kendali Camat karena Tarsih harus menjadi istri muda Camat dan menuruti semua
keinginan Camat. Pengendalian yang dilakukan Camat telah membatasi perwujudan
potensi Tarsih dalam menentukan nasibnya sendiri. Tarsih telah dibuat bergantung
kepada Camat padahal Camat saat itu telah mempunyai istri.
203
(198) KUMIS: Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong, apa daerah tempat Tarsih praktek
juga di....
CAMAT: Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar
biasa.
KUMIS: Insaf? Maksud Bapak?
CAMAT:
Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang saya perintahken tadi, segera jalanken. Kasih waktu satu atau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semua yang tidak punya izin bangunan, bongkar
saja. Paham? (hlm. 95)
(199) KASIJAH: Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Jul, Tarsih tidak bisa datang,
nasibnya jauh lebih bagus dari kita.
JUMINI: Kenapa rupanya.
KASIJAH:
Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, ada uang setiap bulan. Dia bisa tenang. Kita?
Akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan tetep dikejar-kejar....
(hlm. 119)
Ketika baru sebentar menjadi istri muda Camat, ternyata Tarsih tetap tidak
mendapat jalan keluar bagi permasalahan perekonomiannya. Tarsih diusir oleh istri
tua Camat dan Tarsih tetap diperlakukan sebagai anggota kelas bawah walaupun dia
sudah menjadi istri muda Camat. Dalam kutipan (200) Camat yang telah
memanfaatkan jabatannya sebagai pemerintah daerah melakukan kekerasan struktural
204
kepada Tarsih berupa penipuan karena Camat pernah menjanjikan hidup sejahtera
kepada Tarsih dengan menjadikannya sebagai istri muda. Namun, walaupun Tarsih
telah menjadi istri muda Camat, Tarsih tetap saja mengalami kekerasan struktural
yaitu pembedaan antarkelas sosial yang menyebabkan ketimpangan sosial yang
tajam. Tarsih tidak dianggap telah menjadi anggota kelas menengah ke atas walaupun
sudah berstatus sebagai istri Camat dan mendapat fasilitas hidup yang bisa dikatakan
mampu meningkatkan perekonomiannya berupa rumah dan tunjangan setiap bulan.
Menjadi istri Camat pun tidak menjamin akan adanya perubahan kelas sosial Tarsih.
(200) KASIJAH: Tarsih, Tarsih. Kenapa....
TARSIH:
Tak ada tempat istirahat untuk orang-orang seperti kita. Tadinya aku kira bisa bahagia. Punya rumah, tunjangan tiap bulan. Tapi sekarang
semuanya bukan milikku lagi.
KASIJAH: Kenapa?
TARSIH:
Waktu isteri tua Camat itu datang bersama dua orang tentara, aku didepaknya. Dia kuasai semua yang kuperoleh dari Pak Camat. Lalu
aku diperlakukan seperti pengemis....
(BERTERIAK MENYANYI) Luka, tapi adakah daya Luka, itulah bagian kita Luka, luka, dan luka....
KASIJAH:
Kukira cuma aku saja yang sengsara, yang setiap hari minum kencing lelaki iseng. Ternyata kamu juga mengalami.
(TERTAWA)
205
Bisa kubayangkan wajah perempuan yang lakinya direbut sama kamu itu. Dan dia bawa tentara? Apa dia juga bawa tank baja? Hahahaha....
TARSIH:
(KEMBALI SEPERTI BIASA) Mana mungkin ada perubahan nasib.
(hlm. 127-128)
Dengan diusirnya Tarsih dari rumah Camat, Tarsih terpaksa kembali lagi ke
kawasan kumuh dan menjadi anggota masyarakat kelas bawah. Hal ini menyebabkan
Tarsih merasa bahwa dia dan anggota urban miskin lainnya tidak akan pernah
mengalami perubahan nasib sebab ruang gerak mereka untuk memutuskan tindakan
dalam menentukan nasib dan mengubah kehidupan menjadi lebih baik telah dibatasi
oleh masyarakat kelas atas. Hal ini juga menunjukkan bahwa hidup sejahtera telah
dimonopoli oleh masyarakat kelas atas.
Pada awal “Bom Waktu” ditampilkan Camat yang meninjau kawasan kumuh.
Dalam kunjungannya ini Camat menyaksikan keadaan kaum urban miskin yang
hanya tinggal di gubuk-gubuk dekat sungai. Di hadapan para pengemis sebagai wakil
dari kaum urban miskin, Camat berjanji untuk mengubah kawasan kumuh tersebut
menjadi daerah yang layak ditempati oleh kaum urban miskin agar mereka mendapat
kehidupan yang lebih sejahtera. Camat juga sempat menyatakan bahwa dia peduli
dengan nasib kaum urban miskin dan bertekat membawa permasalahan kesejahteraan
masyarakat kelas bawah tersebut kepada Gubernur.
(201) CAMAT: (BERSAMA SEKRETARIS DAN PENGAWAL DI JEMBATAN)
Pemandangan ini sungguh luar biasa. Saudara-saudaraku, mengapa nasib kalian seburuk ini? Tinggal di gubuk-gubuk jorok dekat kali,
berkubang seperti babi. Oh, saudara-saudaraku, siapa yang seharusnya
206
peduli kepada nasib kalian? Aku hanya bisa memandang, cuma bisa melihat, dan sekarang ini... tak bisa berbuat banyak.
Saputangan....
SEKCAM: (MEMBERIKAN SAPUTANGAN)....
CAMAT:
(MENANGIS) Tapi aku bersumpah, penderitaan kalian harus segera diakhiri, harus.
Kandang-kandang jelek ini harus segera diganti dengan bangunan gedung-gedung, flat, apartemen, hotel, kondominium, estat! Aku harus
lapor kepada Pak Bupati, Pak Gubernur, kalau perlu kepada Pak Presiden. Tisu....
(SEKRETARIS MEMBERIKAN TISU)
(CAMAT MENYEKA INGUSNYA)
CAMAT:
Luar biasa, pemandangan ini sungguh luar biasa. Saudara-saudaraku, aku bersumpah akan berjuang sampai titik darah yang penghabisan.
Tujuannya: agar kelak kalian bisa hidup dengan lebih layak. Sekretaris....
(PARA PENGEMIS MASUK)
SEKCAM:
Ya, Pak.
(PARA PENGEMIS BERKUMPUL BAGAI SEGEROMBOLAN ANJING)
CAMAT:
Catat. Dalam tempo pendek, daerah ini harus sudah bersih. Semua hal yang jorok dan menjijikken harus disapu sampai bersih. Kita akan
bongkar semuanya, ya kita harus bongkar semuanya. Cari waktu baik untuk kita menghadap Gubernur.
SEKCAM:
Siap, Pak. Sudah dicatat semuanya.
207
(CAMAT MENERUSKAN TANGISANNYA)
(PARA PENGIKUTNYA JUGA IKUT-IKUTAN MENANGIS. SOLIDER)
CAMAT:
Luar biasa, pemandangan ini luar biasa. Kalau mereka yang di atas sana seakan menutup mata terhadap nasib kalian, maka aku, camat
kalian, akan segera turun tangan. Akan kubongkar kawasan ini, akan kubongkar semuanya! Handuk....
(hlm. 12-13)
Dari kutipan (201) dapat diketahui bahwa Camat telah melakukan kekerasan
struktural berupa awal kebohongan kepada kaum urban miskin dengan menjanjikan
kehidupan yang lebih baik kepada mereka. Camat juga menyatakan bahwa segala
perbaikan yang dilakukan dalam kawasan kumuh kelak akan dapat dinikmati oleh
anggota kaum urban miskin. Dalam hal ini, Camat tidak memberikan jaminan apapun
untuk memenuhi janjinya tersebut.
Dalam kutipan (202) Camat memberikan mandat kepada Kumis untuk
“membersihkan” kawasan kumuh. Isi mandat tersebut bertolak belakang dengan apa
yang pernah dijanjikan Camat kepada kaum urban miskin. Dalam mandat tersebut
Camat mewajibkan agar penduduk yang tidak punya izin bermukim di kawasan
kumuh pindah dari tempat tinggalnya tanpa memperoleh ganti rugi apapun.
(202) CAMAT: Ini perintah yang wajib kamu jalanken! Pada tanggal 1 bulan Maret, jadi masih tiga bulan lagi, daerah ini akan diperiksa Pak Gubernur. Pak Gubernur akan datang dikawal Pak Bupati dan Pak Walikota.
Bersama rombongan Gubernur, hadir juga dua menteri senior. Saya diperintahken untuk membersihken seluruh daerah ini. Dan sekarang, saya perintahken kamu untuk membersihken seluruh daerah ini. Tanpa
pandang bulu.
208
Beresken gubuk-gubuk liar, sarang pelacuran, tempat judi dan sebangsanya. Bikin rata tanah. Caranya bagaimana, terserah kamu.
Yang membangkang, boleh kamu tangkap! Kalau kerja bagus, kamu bisa naik pangkat, naik gaji. Itu saja yang ingin saya kataken.
KUMIS:
Siap, Pak. Tapi ngomong-ngomong, apa daerah tempat Tarsih praktek juga di....
CAMAT:
Saya bilang apa tadi? Semuanya! Dan jangan kamu sebut lagi nama itu. Dia sudah bukan Tarsih lagi. Dia sudah insaf lantaran saya. Luar
biasa.
KUMIS: Insaf? Maksud Bapak?
CAMAT:
Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang saya perintahken tadi, segera jalanken. Kasih waktu satu atau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semua yang tidak punya izin bangunan, bongkar
saja. Paham? (hlm. 94-95)
Dalam kutipan (203) Kumis mengumumkan mandat Camat kepada kaum
urban miskin yang bermukim di kawasan kumuh. Pengumuman yang diberikan
Kumis kepada para penghuni kawasan kumuh berupa perintah bahwa kaum urban
miskin harus segera mengungsi dari tempat tinggalnya yang sekarang dan mencari
tempat tinggal baru. Selain itu, pemerintah daerah tidak memberikan ganti rugi
apapun kepada para penghuni yang kehilangan tempat tinggalnya.
(203) KUMIS: Nah. Kebetulan kumpul semua. Ini ada berita baik, ya? Pak Gubernur
akan berkenan datang meninjau daerah kita. Dan sebagaimana biasanya, Pak Gubernur ingin daerah ini bersih. Beliau ingin gubuk-
gubuk ini dibersihkan. Boleh tidak usah dibongkar asal memang punya izin bangunannya. Sampah-sampah juga harus out. Pokoknya, apa saja
209
yang berbau bacin, out. Tidak akan ada kompromi, sebab pembersihan ini sudah diperintahkan dari atas sono noh!
Nah, saya sebagai pelindung daerah ini, akan mencoba bertindak lunak. Saya harap kalian tidak perlu buru-buru pindah. Nenek-nenek dan kakek-kakek kagak perlu gedebukan beres-beres pindahan. Nanti
kalau kepeleset, malah bisa koit. Tenang saja. Kita akan tungguin pindahannya sampai orang yang terakhir. Yang perlu bantuan, akan
kami bantu. Kita harus saling membantu sesama, ya nggak? Ini bentuk pengabdian saya sebagai aparat pemda. Tulus dan murni....
Tapi pembersihan ini saya kasih waktu satu bulan. Longgar, kan? Bongkarlah gubuk-gubuk ini, pelan-pelan saja. Okey? Lalu mau
pindah ke mana? Ya terserah kalian, dah! Kita akan “tut wuri handayani” saja. Tuh. Pokoknya saya sudah sampaikan instruksi,
perkara lain, silakan, harap urus sendiri-sendiri. Paham? Ya sudah. Pokoknya paham tidak paham harus paham. Ingat, ya, satu bulan.
Jangan lupa. (hlm. 103-104)
Dari kutipan (203) kekerasan struktural berupa kebohongan yang dilakukan
oleh Camat mulai terlihat. Sebelum ada rencana penggusuran Camat pernah
menjanjikan perbaikan kesejahteraan kaum urban miskin lewat pembangunan ulang
daerah kumuh menjadi kawasan yang lebih layak dihuni. Bagi masyarakat urban
miskin, kebohongan yang dilakukan Camat tidak dirasa menampilkan pelaku manusia
secara nyata sebab kekerasan ini sudah menjadi bagian dalam struktur pemerintah dan
terwujud sebagai kekuasaan yang tidak seimbang terhadap masyarakat kelas bawah.
Selain kebohongan, bentuk lain kekerasan struktural yang diterima kaum
urban miskin dalam mandat Camat adalah pemaksaan dan intimidasi. Mandat tersebut
secara tidak langsung telah memaksa masyarakat urban miskin pergi dari tempat
tinggal mereka dengan alasan kawasan tersebut akan ditinjau oleh Gubernur.
Intimidasi dilakukan dengan gertakan bahwa Gubernur ingin daerah kumuh tersebut
210
bersih dari gubuk-gubuk dan sampah. Intimidasi ini bertujuan agar pihak kaum urban
miskin segera membongkar tempat tinggal mereka dan pindah dari daerah tersebut.
Mandat Camat juga memuat kekerasan struktural berupa campurtangan Camat
yang menyebabkan hilangnya otonomi masyarakat urban miskin. Campurtangan
Camat melalui pengaturan tempat tinggal urban miskin menyebabkan para penduduk
kawasan kumuh harus mencari tempat tinggal yang baru tanpa bantuan dari
pemerintah sekaligus masyarakat urban miskin kehilangan kebebasan dalam
menentukan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam hubungan antara pemerintah daerah dan kaum urban miskin terdapat
ketimpangan sosial, termasuk ketimpangan kekuasaan karena massa bawah pun
mempunyai akses yang sama untuk menentukan kehidupan bersama.
Kutipan (204) membuktikan Camat benar-benar melakukan kebohongan
terhadap masyarakat urban miskin. Situasi pembongkaran paksa tempat tinggal kaum
urban miskin memperlihatkan bahwa Camat tidak pernah sungguh-sungguh membela
nasib urban miskin maupun memberikan tempat tinggal yang layak dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.
(204) ABUNG: (MELEDAK)
Dan inilah saatnya aku memperoleh jawaban. Siapa aku, siapa aku? Kenapa ada di sini, untuk apa aku di sini. Mengapa semua orang diberi persoalan dan dihabiskan oleh persoalan mereka sendiri tapi aku tetap
seperti wayang yang tinggal di kotak? Siapa aku ini, apa aku ini?
(TIBA-TIBA ABUNG MENGAMUK)
KUMIS: Wehh, ‘ngamuk lagi dianya.
211
BLEKI: Gawat... Komandan, kita tembak saja?
(CAMAT LARI DIKEJAR-KEJAR ABUNG)
CAMAT:
Tolong, sekretaris, pengawal toloooong. Kalau kamu mau tanya jangan tanya sama saya. Sumpah. Saya tidak punya jawaban apa-apa.
Tanya nanti sama Pak Gubernur kalau beliau datang.
ABUNG: Pak Gubernur? Orang yang ada di atas sana? Orang yang kerjanya
cuma makan saja?
CAMAT: Pak Gubernur belum datang. Orang yang di atas yang mana, saya tidak
melihat ada orang di atas.
ABUNG: Betul, aku harus tanya sama orang yang di atas sana. Mereka yang
makan banyak tentu punya jawaban yang banyak. Sialan kowe, bisanya cuma makan. Sialan kowe, tidak punya wudel, cuma punya waduk. Otak di perut. Sialan. Lha wong ‘njawab saja kok ya nggak
mau.
BLEKI: Bos, gawat nih. Bagaimana ini? Ditembak jangan?
KUMIS:
Nih, pestolnya.
BLEKI: Aduh, tugas berat.
(BLEKI MENERIMA PESTOL DARI KUMIS. LALU IA
MEMBIDIK ABUNG MEMBIDIK. DAN PADA SAAT ABUNG SUDAH HAMPIR SAMPAI, PESTOL PUN MELETUS. ABUNG
KENA. TERTEGUN SEBENTAR LALU MENJERIT)
ABUNG: Aku iki opo? Opo aku iki? Jakarta... Jakarta... Indonesia, Indonesia.
Begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu.
212
(SEMUA TERDIAM)
(ABUNG MATI) (hlm. 137-138)
Dari kutipan di atas diketahui bahwa Camat melakukan marginalisasi atau
pembatasan terhadap masyarakat kelas bawah sehingga para urban miskin tidak dapat
ambil bagian dalam mengambil keputusan untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Pembongkaran paksa ini juga merupakan bukti wujud kekuasaan yang tidak
seimbang sehingga masyarakat kelas sosial yang lebih tinggi dapat menentukan nasib
masyarakat kelas sosial yang lebih rendah.
Kutipan (204) juga memperlihatkan bahwa Camat ingin melepas tanggung
jawab sebagai pemerintah daerah yang seharusnya ikut membantu mengatasi
kemiskinan masyarakat urban. Camat melemparkan tanggung jawab penggusuran
kepada Gubernur dengan berpura-pura tidak tahu tentang apa-apa, padahal sebagai
pemerintah daerah seharusnya Camat mengetahui tentang rencana penggusuran ini.
Camat juga seharusnya memberikan solusi bagi kaum urban miskin yang menjadi
korban penggusuran atau memberikan ganti rugi yang sepadan sebab masyarakat
urban miskin pun sebenarnya masih menjadi tanggung jawab pemerintah.
Ketika penggusuran terjadi belum ada satu pun anggota urban miskin yang
merasakan hasil pembangunan di kota Jakarta. Bahkan dari pernyataan Abung
sebelum dia ditembak mati dapat diketahui bahwa kerenggangan antara masyarakat
kelas atas dan kelas bawah semakin terasa lebar sebab tidak ada jalan keluar dari
pemerintah untuk mengatasi ketimpangan sosial.
213
Pelaksanaan penggusuran kawasan kumuh direncanakan sebelum pemilu
berlangsung. Penggusuran sendiri menjadi salah satu bagian dari proses
pembangunan kota Jakarta. Dengan adanya penggusuran ini, pemerintah berharap
kota Jakarta akan menjadi lebih tertib pada masa pascapemilu. Namun, di balik
kesuksesan proses pemilu, sebenarnya masih banyak rakyat Indonesia yang berada di
dalam kemiskinan dan belum mendapat peningkatan kesejahteraan sedikit pun.
(205) (SALAH SATU YANG ADA DI ATAS MEMENCET RADIO. TERDENGAR SUARA, SAYUP-SAYUP SAMPAI)
SUARA:
Terima kasih sebesar-besarnya kepada mereka yang telah memungkinkan terselenggaranya pemilihan umum ini. Dengan
berakhirnya pemilu yang telah berjalan hampir selama satu bulan, dan dalam keadaan tertib-aman-damai-saling menghormati, dunia luar
akan tahu bahwa negara kita adalah negara hukum yang telah menjalankan pesta demokrasi dengan sangat sukses... luber dan
jurdil.... (hlm. 138-139)
Mulai dari awal hingga akhir “Bom Waktu” tidak diceritakan sedikit pun
tentang kaum urban miskin yang diikutsertakan sebagai pemilih dalam pemilu. Hal
ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang memperhatikan hak mereka sebagai
warga negara yang boleh ikut menjadi pemilih dalam pemilu. Kutipan (205)
menunjukkan bahwa masyarakat urban miskin masih mengalami kekerasan struktural
berupa diskriminasi dalam bidang politik. Hal ini ditunjukkan dengan sikap
pemerintah daerah, dalam hal ini Camat yang tidak mensosialisasikan kewajiban
warga negara untuk ikut serta sebagai pemilih dalam pemilu. Para penghuni kawasan
kumuh yang tidak diikutsertakan dalam pemilu oleh pemerintah daerah setempat
214
menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak memiliki pengaruh besar terhadap
pemerintah, termasuk adanya anggapan bahwa suara masyarakat urban miskin
menjadi tidak penting dalam pemilu.
Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian
pertama) adalah masyarakat dalam “Bom Waktu” terdiri atas dua tingkatan anggota
masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dan kaum urban miskin sebagai
masyarakat kelas bawah. Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam hal ini kaum urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak secara
langsung pelaku kekerasan struktural karena ketika kekerasan ini terjadi kebanyakan
korbannya menganggap bahwa hal yang mereka alami sudah wajar terjadi dalam
kehidupan mereka dan dalam hubungan sosial mereka sehingga bagi kaum urban
miskin bentuk kekerasan ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari
kekerasan inilah yang akan sangat mereka rasakan.
Dalam “Bom Waktu” para tokoh yang mewakili pihak pemerintah adalah
Bleki, Kumis, dan Camat; sedangkan kaum urban miskin diwakili oleh Tarsih, Tibal,
Julini, Roima, Abung, serta Tuminah. Kekerasan struktural timbul akibat adanya
ketidaksamaan struktur sosial serta perekonomian yang tidak merata. Kekerasan
struktural dapat diketahui melalui keseharian Tarsih sebagai PSK yang seringkali
mengalami kekerasan struktural berupa ketidakpedulian pemerintah dalam
mengusahakan perbaikan perekonomian kaum urban miskin; hilangnya kemampuan
untuk menentukan nasib diri sendiri, termasuk dalam memilih pekerjaan (172). Hal
ini mengakibatkan muncul ketimpangan sosial; kesejahteraan yang tidak merata, dan
215
semakin renggangnya hubungan antarkelas sosial. Dalam kutipan (173) dan (174)
Tarsih mengalami pembatasan masyarakat karena dia tidak memiliki kesempatan
untuk mendapat pekerjaan yang layak, mengalami ketimpangan pendapatan, dan
partisipasinya sebagai anggota urban miskin ditiadakan sehingga dia tidak bisa
mengambil keputusan tentang nasib diri sendiri. Selain itu, Tarsih juga mengalami
kerusakan solidaritas karena hanya kelas atas saja yang akan memperoleh pekerjaan
layak, pendapatan yang selalu meningkat, dan pangkat (173). Melalui kutipan (174)
dan (175) Camat melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan dengan
menjanjikan perbaikan nasib bagi kaum urban miskin, termasuk kepada Tarsih.
Pemerintah juga merusak solidaritas yang seharusnya dibangun antara masyarakat
kelas atas dan kelas bawah sebab ketika mereka melakukan kunjungan ke kawasan
kumuh sebenarnya mereka bukan ingin membantu kaum urban miskin, tapi hanya
ingin meminta simpati rakyat (175).
Anggota urban miskin lainnya yang mengalami kekerasan struktural adalah
Julini, Roima, dan Tibal. Julini dan Roima telah mengalami eksploitasi kemiskinan
yang dilakukan oleh Kumis (176), (177), (178). Sedangkan Tibal mengalami
eksploitasi yang menyebabkan ketimpangan pendapatan karena Kumis telah
mengendalikan Tibal dengan cara memberi imbalan berupa izin berladang, tapi
dengan syarat Tibal membagi hasil penjualan tanamannya (176). Tibal sebagai petani
kota telah dimanfaatkan oleh Kumis yang korupsi dengan cara mewajibkan Tibal
memberikan sebagian hasil penjualan tanamannya. Hal ini menunjukkan bahwa
216
keuntungan hanya diperoleh pihak yang kuat saja, sementara pihak yang lemah akan
selalu dirugikan
Abung juga merasakan kekerasan struktural berupa kerusakan solidaritas
karena renggangnya hubungan kelas atas dan kelas bawah serta hilangnya partisipasi
Abung untuk menentukan nasib sendiri, termasuk menentukan hidup
perekonomiannya; sehingga hal ini menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi bagi
Abung karena adanya dominasi kekuasaan oleh pemerintah (179), (180), (181).
Ketika terjadi penggusuran Abung merasa bahwa haknya untuk mendapat tempat
tinggal telah dihilangkan oleh pemerintah. Selain itu, Abung juga telah ditipu oleh
pemerintah daerah yang berpura-pura tidak tahu tentang rencana penggusuran itu
(182).
Tuminah merupakan anggota urban miskin yang mengalami kekerasan
struktural. Tuminah mengalami eksploitasi karena dia miskin. Kekerasan struktural
lain yang dialami oleh Tuminah adalah penggusuran sebab dia kehilangan hak untuk
berladang dan hak memiliki tempat tinggal. Selain itu, Kumis yang memanfaatkan
statusnya sebagai aparat pemerintah daerah juga melakukan intimidasi dan
mempengaruhi Tuminah dengan memberikan janji bahwa ladang tidak akan digusur
dengan syarat Tibal harus menyerahkan keperawanan Tuminah. Kumis juga masih
melakukan korupsi dengan menerima hasil penjualan tanaman yang seharusnya
bukan menjadi hak Kumis. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Kumis
adalah menipu Tibal dan Tuminah. Tibal dan Tuminah yang pada akhirnya
menyetujui keinginan Kumis untuk menyerahkan keperawanan Tuminah ternyata
217
pada hari penggusuran mereka berdua tetap menjadi korban. Ladang dan gubuk
mereka ikut digusur oleh Kumis yang semula telah berjanji jika mendapat
keperawanan Tuminah, maka Kumis akan membatalkan penggusuran (183), (184),
(185), (186), (187).
Bentuk kekerasan struktural lain adalah ancaman terhadap masyarakat kelas
bawah yang dilakukan oleh Bleki (188), (189). Kumis, atasan Bleki, dikenal sering
melakukan eksploitasi terhadap PSK dengan mengatasnamakan diri sebagai aparat
pemerintah daerah (190) dan menipu dengan cara tidak membayar jasa Tarsih
sehingga Tarsih mengalami ketimpangan pendapatan (191), (192). Kumis juga tidak
segan untuk mengambil keuntungan dari penghuni kawasan kumuh (193), (194),
(195), (196).
Penipuan dengan memanfaatkan kemiskinan penghuni kawasan kumuh
dilakukan Camat terhadap Tarsih. Camat menggunakan jabatannya untuk
memperoleh keuntungan dari Tarsih dan menjanjikan kesejahteraan hidup kepada
Tarsih dengan cara menjadikan Tarsih sebagai istri muda. Namun, akhirnya semua
hal itu terbukti bohong karena status sebagai istri muda Camat ternyata tidak menjadi
jaminan bagi Tarsih untuk memperoleh perbaikan ekonomi; sehingga Tarsih tetap
dianggap sebagai orang yang berasal dari kelas bawah (197), (198), (199), (200).
Camat sebagai pelaku kekerasan struktural telah melakukan penipuan
terhadap kaum urban miskin. Semula Camat menjanjikan akan memperbaiki kawasan
kumuh menjadi tempat tinggal yang layak dihuni oleh masyarakat urban miskin.
Namun, akhirnya janji Camat terbukti sebagai penipuan, pemaksaan, dan sempat juga
218
terjadi intimidasi sebab kawasan kumuh dibongkar paksa dan para penghuninya
diwajibkan untuk pindah dari “rumah” mereka tanpa mendapat ganti rugi (201),
(202), (203), (204).
Masyarakat urban miskin juga mengalami ketimpangan sosial ekonomi sebab
mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentukan tempat tinggal mereka. Dalam
peristiwa penggusuran kaum urban miskin dianggap bukan sebagai anggota
masyarakat sebab mereka tidak punya tempat tinggal tetap, miskin, tidak memberikan
sumbangan apapun bagi negara, dan tidak punya masa depan (204). Kaum urban
miskin pun mengalami kekerasan struktural selama masa pelaksanaan pemilu.
Kekerasan ini berbentuk diskriminasi terhadap hak politik mereka. Anggota urban
miskin tidak diberi kesempatan untuk menyumbang suara sebagai pemilih dalam
pemilu. Bahkan pemerintah daerah, dalam hal ini Camat dan jajarannya, tidak
mensosialisasikan proses pemilu kepada masyarakat kelas bawah ini. Suara mereka
dalam pemilu dianggap tidak penting oleh pemerintah (205).
3.2 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)
Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) terdapat dua kelompok
masyarakat, yaitu kelompok pemerintah yang diwakili oleh tokoh Pejabat dan
kelompok urban miskin yang terdiri dari Tarsih, Julini, Roima, Tuminah, dan Tibal.
Kekerasan struktural masih terjadi di dalam kehidupan kaum urban miskin pada
trilogi bagian kedua ini. Berikut analisis bentuk kekerasan struktural yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap kaum urban miskin.
219
3.2.1 Kekerasan Struktural terhadap Tarsih
Pada awal “Opera Kecoa” diperlihatkan Tarsih yang kini sudah mempunyai
kompleks PSK sendiri sedang menghadapi petugas dari dinas tata kota. Dalam
kutipan (206) Tarsih mengalami kekerasan struktural berupa ancaman penggusuran
oleh petugas dari pemerintahan. Dalam hal ini Tarsih disudutkan posisinya oleh
pemerintah agar segera pindah dari lokasi yang sekarang ditempatinya. Penggusuran
merupakan penghilangan tempat tinggal seseorang dan hal itu berarti Tarsih akan
kembali kehilangan tempat tinggalnya seperti dulu dia juga pernah kehilangan
“rumah” di kawasan kumuh.
(206) TARSIH: Rumah ini rumah saya. Saya punya sertifikatnya. Mengapa harus
digusur juga? Aduh, saya bisa mata gelap ini. Saya bisa bunuh orang....
SATPAM-1:
Begini, Bu, tenang dulu. Keindahan dan ketertiban adalah prioritas utama bagi dinas tata kota.
TARSIH:
Prioritas, prioritas....
SATPAM-1: Bukan digusur, jangan salah, dilokalisir. Ibu bakal dapat penggantian. Percayalah.
TARSIH:
Hohoho, percaya....
SATPAM-1: Lho, iya. Coba lihat saja, kompleks pelacuran, eh, maaf, kompleks PSK ini ada di tengah-tengah kampung. Di sana ada masjid, di sana
gereja, dan di sana kelenteng. Biar mereka belum protes tapi kami dari dinas tata kota dan dinas sosial, memperhatikan. Ini kompleks harus
dipindahkan.
220
TARSIH: Ini kompleks sudah di pinggir kota.
SATPAM-1:
Kota berkembang sangat pesat. Mulanya ya di pinggir, ya, beberapa tahun kemudian, sementara kita lupa, tahu-tahu sudah ada di tengah-tengah. Kita tidak ingin timbulnya ekses-ekses negatif di kemudian
hari kalau kompleks ini tetap dipertahankan.
TARSIH: Sudah lima tahun kompleks ini berdampingan dengan rumah-rumah penduduk. Selama ini tidak ada masalah. Malah kompleks ini boleh dibilang bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi sebagian dari
mereka. Dan langganan kami tidak ada yang berasal dari kampung ini, semuanya dari tempat-tempat yang jauh.
SATPAM-1:
Pendeknya, Bu, tugas kami cuma mengingatkan. Mumpung waktunya masih lama. Sebaiknya Ibu siap-siap dari sekarang.
(MENANGIS)
Aduh, bagaimana sih, diingetin baik-baik malah marah. Saya kan cuma tugas. Kalau mau marah, sana marah sama yang di atas....
TARSIH:
Saya tidak akan menyerah. Saya akan tetap bertahan di sini. Ini hak milik saya, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat.
Pergi, pergi, pergi.... (hlm. 156-157)
Dari kutipan (206) Tarsih yang sudah mempunyai sertifikat tanah tetap
terancam digusur dengan alasan kompleks Tarsih mengganggu keindahan kota.
Dalam pemberitahuan rencana penggusuran ini secara tidak langsung petugas dinas
tata kota menyatakan bahwa perintah penggusuran datangnya langsung dari
pemerintah tingkat atas. Hal ini akan semakin menyudutkan Tarsih yang berasal dari
masyarakat kelas bawah sebab pemerintah telah menggunakan wewenang yang
221
berlebih dalam rencana penggusuran ini walaupun Tarsih mempunyai sertifikat tanah.
Melalui kutipan di atas dapat dilihat bahwa petugas pemerintah menggunakan alasan
kompleks PSK mengganggu keindahan kota hanya sebagai bentuk mengalihkan
perhatian Tarsih. Hal yang sebenarnya terjadi adalah kompleks PSK digusur karena
pemerintah beranggapan kompleks PSK dan penghuninya harus disisihkan sebab
kaum urban miskin tidak akan memberikan peningkatan dalam perekonomian negara.
Rencana penggusuran ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap masyarakat
urban miskin. Di satu sisi mereka tidak mendapat jaminan penggantian kerugian
akibat penggusuran berupa tempat tinggal baru, dan di sisi lain pemerintah seolah-
olah ingin menyingkirkan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber
kesulitan proses pembangunan. Pemerintah tidak mau berinisiatif untuk membantu
memperbaiki perekonomian masyarakat kelas bawah.
Dalam kutipan (207) Tarsih memberitahukan rencana penggusuran kepada
Tuminah yang saat itu telah menjadi PSK profesional. Sejak peristiwa penggusuran
dalam “Bom Waktu” hingga saat rencana penggusuran kompleks PSK ini
diberitahukan, Tarsih maupun Tuminah sudah dapat menjadi bukti sebagai wakil dari
masyarakat urban miskin yang mengalami kekerasan struktural yang dilakukan oleh
pemerintah. Setelah digusur lima tahun yang lalu, Tarsih dan Tuminah tidak
mendapat ganti rugi sedikit pun; baik dalam bentuk tempat tinggal yang baru maupun
pekerjaan yang layak dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa
penggusuran lima tahun yang lalu adalah bentuk dari kekuasaan pemerintah yang
berlebih. Walaupun petugas dinas tata kota mengatakan lokasi kompleks PSK hanya
222
dilokalisir, tapi hal itu tidak pernah terwujud sebagai rencana lokalisir dan pihak
pemerintah pun tidak memberikan bukti sebagai jaminan bahwa para penghuni
kompleks PSK akan mendapat ganti rugi nantinya. Kekerasan struktural model ini
hanya akan menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi, terutama jika penggusuran
benar-benar dilaksanakan maka banyak anggota urban miskin yang akan kehilangan
tempat tinggal dan secara tidak langsung peluang untuk mendapat penghasilan akan
lenyap sebab mereka juga terancam akan kehilangan pekerjaan sebagai PSK. Dari
rencana penggusuran ini terlihat adanya kekuasaan yang tidak seimbang dari
pemerintah sehingga menghilangkan hak yang seharusnya dimiliki oleh anggota
urban miskin; seperti hak mendapat tempat tinggal, hak memperoleh pekerjaan, dan
hak mendapat perlindungan dari pemerintah.
Selain penggusuran, dalam kutipan (207) Tarsih juga menganggap bahwa
pemerintah hanya akan mengeksploitasi kemiskinannya sehingga dengan mudah
melakukan penipuan untuk kesekian kali. Dulu Tarsih pernah ditipu oleh Camat yang
mengatasnamakan jabatannya dan menjanjikan akan memberikan kesejahteraan bagi
kehidupan Tarsih. Namun, Tarsih tidak pernah mendapat bukti bahwa hidupnya telah
menjadi lebih sejahtera dengan perekonomian yang lebih baik walaupun telah
menjadi istri muda Camat.
(207) TARSIH: Kita bakal digusur. Tinggal tunggu waktu.
BODIGAR:
Dilokalisir, kata mereka.
TARSIH:
223
Minggat kamu, buldok, jaga di bawah sana!
BODIGAR: Ya, ya.... (PERGI)
TUMINAH:
Lagi-lagi digusur. Lalu kita mesti pindah ke mana?
TARSIH: Sudah, jangan dibicarakan lagi. Segala usaha akan kita jalankan, dan
tetap di sini. Kalau perlu kita mengadu ke DPR, mengadu ke Komnas HAM. Enak saja. Tapi mulai sekarang, kita harus bekerja lebih lagi. Kumpulkan
duit sebanyak-banyaknya, sebab masa depan kelihatannya bakal lebih berat lagi.
TUMINAH:
Selalu begitu, Mbak, selalu lebih berat lagi....
TARSIH: Aku tidak ingin hasil keringatku ini dirampas begitu saja. Sudah cukup
aku jadi cabo comberan, sudah cukup aku ditipu camat sialan itu, sudah cukup aku merasakan kelaparan, sudah cukup aku jadi orang
usiran. Ini tempatku, dan aku mau mati di sini. (hlm. 161-162)
Dengan adanya rencana penggusuran ini, Tarsih menggiatkan para PSK yang
ada di kompleks untuk bekerja lebih keras lagi agar penghasilan mereka meningkat.
Dalam kutipan (208) Tarsih adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin di
kompleks PSK sehingga dia membuat ketentuan untuk tarif para PSK. Para PSK pun
ternyata dikenai wajib pajak yang cukup tinggi oleh pemerintah. Dengan adanya
pajak yang tinggi ini sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural
berupa pembatasan terhadap otonomi atau kekuasaan atas diri sendiri bagi para PSK.
Melalui pembatasan ini pemerintah telah menekan para PSK dengan cara
224
memberikan pajak yang terlalu tinggi dibandingkan penghasilan tidak seberapa yang
diperoleh para PSK. Di sini terjadi ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran
para PSK dan hal ini menunjukkan bahwa para PSK akan selalu kekurangan dalam
perekonomian mereka.
(208) TARSIH: Ya, kan wajar. Setiap usaha di mana saja pasti ada pajaknya. Kita
malah harus bangga lantaran hasil keringat kita ada yang kita sumbangkan demi negara. Di dalam surat edaran ini, setiap bulannya kita bakal dipungut pajak pendapatan sebesar 17%, ppn 10%, pajak
penghasilan 25%, dan pajak kenikmatan 20% dihitung dari tarif umum.
Mereka akan mengontrol dengan ketat sehingga tidak mungkin ada penipuan atau pembukuan ganda.
Lagipula kalau terbukti ada penipuan hukuman penjara menanti. Jadi saya punya akal. Terpaksa kalian harus menaikkan tarif sebesar jumlah
pajak yang harus kita bayar, berapa tadi? 17 tambah 10 tambah 25 tambah 20, jadi 72%. Dan pajak itu kita bebankan kepada konsumen.
(hlm. 196)
Dari kutipan (208) juga dapat diketahui bahwa pemerintah kurang peka dalam
menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah. Mereka tetap
dibiarkan menjadi PSK dan pemerintah tidak segan menambah beban hidup mereka
dengan menarik pajak yang cukup tinggi. Bagi pemerintah pemasukan keuangan
negara melalui pajak adalah hal yang lebih penting dibanding mengentaskan
masyarakat kelas bawah dari kemiskinan, atau setidaknya mengurangi rakyat miskin
di dalam negara Indonesia. Dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
kelas bawah seperti para PSK sebenarnya pemerintah bisa mendapat pemasukan
untuk keuangan negara melalui sektor informal, tapi dengan menarik pajak yang
lumayan tinggi dari para PSK sebenarnya pemerintah sedikit demi sedikit telah
225
menambah kemiskinan di dalam masyarakat karena tidak ada usaha perbaikan dalam
perekonomian negara.
3.2.2 Kekerasan Struktural terhadap Julini
Julini sebagai salah satu anggota urban miskin juga merasakan bahwa
pekerjaan sebagai PSK adalah pekerjaan yang terpaksa sebab dia tidak bisa
melakukan pekerjaan lain. Kutipan (209) menunjukkan pemerintah tidak
menyediakan lapangan pekerjaan bagi anggota urban miskin dan membiarkan mereka
tetap mengalami kesulitan dalam perekonomian. Selain itu, kurang tersedianya
lapangan pekerjaan membuat masyarakat kelas bawah semakin mengalami
kemunduran dalam mencari keahlian lain. Mereka menjadi tidak punya keahlian
dalam bidang tertentu untuk bisa memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan bisa
menjadi jaminan bagi perbaikan ekonomi mereka.
(209) JULINI: Idiih, betul. Mereka bilang. Eh, saya tanya: kok nggak datang ke
tempat Mbak Tarsih, sih? Kan banyak yang cakep-cakep? Mereka bilang: bosen sama cewek. Bosen. Saya bilang lagi, kan sama saja. Eh,
mereka malah marah: nggak sama dong, kalau sama lubang knalpot juga bisa.
(SEMUA TERTAWA)
Aduh, ini maaf saja ya, penonton, maaf lho, ini pembicaraan untuk
ibu-ibu yang sudah berumahtangga. Yang masih perawan tutup kuping saja deh. Maaf, ini pendidikan seks lho. Maksud Julini baik. Ah, biar di luar tertawa, tapi di batin menangis. Betul. Ini pekerjaan terpaksa.
Kalau bisa jadi sekretaris sih, lebih baik jadi sekretaris. Yaa, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan keseleo. Eh,
keseleo....
226
PSK-1: Roima nggak cemburu, Jul?
JULINI:
Cemburu? Gombal. Orang dia yang nyuruh. Kalau nggak begini mana bisa makan. Mau makan cemburu? Angin dong, kentut melulu. Yaah, namanya juga usaha. Semua resiko kita sendiri yang nanggung. Orang lain cuma bisa bilang: maksiat, maksiat. Eee, begitu kita minta kerjaan atau duit, mereka ngumpet. Baru datang di luar pagar, sudah disuguhi
tulisan: Awas Anjing Galak. Bisa saja mereka bilang: masa cari kerjaan yang baik tidak bisa? Bisa, bisa.
Tapi apa? Mustinya kan bukan ocehan, tapi nih, nasi, nasi, kerjaan, kerjaan. Baru betul.
(hlm. 208-209)
Dalam kutipan (209) dapat diketahui bahwa Julini sebagai anggota
masyarakat kelas bawah sering disingkirkan sebab pekerjaannya sebagai PSK.
Masyarakat kelas atas menganggap bahwa pekerjaan sebagai PSK bukanlah
pekerjaan yang baik serta memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat luas.
Padahal Julini menjadi PSK karena tidak memiliki keahlian lain yang dapat
digunakannya untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak. Dalam hal ini seharusnya
pemerintah mengupayakan adanya pembelajaran keahlian khusus bagi anggota urban
miskin agar mereka tidak terus-menerus didiskriminasikan karena pekerjaan mereka
dianggap tidak layak dan memberi pengaruh buruk untuk masyarakat. Pemerintah
juga seharusnya menunjukkan tanggung jawab sebagai suatu institusi yang mampu
mengatur perekonomian daerah dan negara, termasuk mengusahakan perbaikan
perekonomian masyarakat kelas bawah sebab masyarakat kelas bawah pun
sebenarnya mampu memberikan sumbangan bagi perekonomian daerah yang
nantinya dapat ikut menyokong perekonomian negara.
227
Dengan adanya diskriminasi karena anggapan pekerjaan yang kurang layak
sebenarnya Julini telah mengalami kekerasan struktural. Berawal dari tidak diterima
oleh masyarakat karena pekerjaan yang kurang layak, maka Julini telah dibatasi
kemampuannya untuk mengembangkan diri secara pribadi karena dia berasal dari
masyarakat kelas bawah. Penolakan terhadap Julini karena pekerjaannya akan
membuat Julini ditolak dalam hal lain, termasuk dalam menentukan tempat tinggal
ketika Julini ingin mendapat tempat tinggal yang lebih nyaman dan memperoleh
pendapatan yang lebih baik agar cukup untuk biaya hidupnya ketika dia ingin
memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Sekuat apapun usaha Julini sebagai PSK
untuk memperoleh pendapatan yang lebih tidak akan membuat Julini dibebaskan dari
diskriminasi yang dilakukan masyarakat kelas atas, termasuk pemerintah, terhadap
kelas bawah. Keberadaan masyarakat kelas bawah di dalam masyarakat secara luas
akan dianggap tidak memberi pengaruh apapun, kecuali hanya sebagai salah satu
sumber kesulitan perekonomian negara.
3.2.3 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah
Tuminah pun mengalami nasib yang hampir sama dengan Julini. Melalui
kutipan (210) dapat diketahui setelah peristiwa penggusuran lima tahun yang lalu,
Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun terpaksa bekerja sebagai PSK.
Penggusuran membuat Tuminah kehilangan tempat tinggalnya dan pekerjaan, yaitu
membantu Tibal berladang, dan secara otomatis menghilangkan sumber
penghasilannya juga. Sesudah peristiwa penggusuran ternyata pemerintah tidak
228
memberikan upaya untuk menangani korban penggusuran sehingga banyak anggota
urban miskin yang tetap berada dalam kemiskinan dan tidak memperoleh kemajuan
kesejahteraan sedikit pun. Hal ini menunjukkan pemerintah yang telah melakukan
kekerasan struktural berupa diskriminasi bahwa kaum urban miskin bukanlah
kelompok masyarakat yang berhak mendapat kehidupan lebih baik. Digambarkan
bahwa sebelum dan sesudah peristiwa penggusuran nasib masyarakat urban miskin
tetaplah berada dalam kekurangan, baik dalam perekonomian maupun sosial. Kaum
urban miskin yang menjadi korban penggusuran tidak pernah mendapat ganti rugi
berupa tempat tinggal baru dan tidak terbukanya lowongan kerja bagi mereka.
Pemerintah juga tidak mengusahakan adanya pembinaan dan pendidikan agar mereka
dapat diterima di tengah masyarakat luas. Hal ini juga memperlihatkan bahwa
pemerintah tidak mengikutsertakan kaum urban miskin menjadi bagian dari program
pembangunan sebagai kelompok masyarakat yang perlu dikembangkan potensinya
dan sebagai individu yang mandiri agar mereka bisa meningkatkan kesejahteraan
melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
(210) TIBAL: Oo, itu sebabnya kamu tetap jadi cabo, karena sudah punya pelindung.
Apa lelaki ini yang menyuruhmu jadi beginian? Hah?
TUMINAH: Bukan. Akang dengar dulu ceritaku. Selama Akang dipenjara, dari mana aku bisa hidup? Siapa mau menanggung aku? Masa depanku hancur, tapi aku tidak ingin ikut hancur. Aku harus bisa berdiri, biar
untuk itu aku harus jadi cabo. Itu satu-satunya jalan sesudah semuanya buntu. Akang boleh marah,
tapi coba pikir lagi dalam-dalam, apa yang bisa dikerjakan perempuan bodoh macam aku? Sendiri, di Jakarta. Pulang kampung? Di mana
kampung kita? Aku sebatang kara.
229
[...]
ROIMA: Kamu pikir Tuminah ingin terus-terusan jadi pelacur? Dia juga punya
cita-cita. Sekarang dia sudah bisa berdiri sendiri. Kamu datang lagi untuk apa? Untuk mengobrak-abrik nasibnya lagi? Yang lewat biarlah
lewat, yang ada di depan kita sekarang, ini yang paling penting. Bisa saja kamu bunuh Tuminah, lalu kamu masuk penjara lagi. Terus,
untuk apa? (hlm. 231-233)
3.2.4 Kekerasan Struktural terhadap Roima
Dari kutipan (211) bisa dilihat Roima merupakan korban penggusuran yang
luput dari program pembangunan pemerintah. Setelah digusur, Roima juga tidak
diberi ganti tempat tinggal yang baru. Pemerintah telah melakukan kekerasan
struktural kepada Roima, yaitu menghilangkan partisipasi Roima untuk mengambil
keputusan tentang nasib sendiri. Pemerintah telah membuat anggota urban miskin
terlalu bergantung dan hanya mengandalkan pemerintah saja, serta tidak memberikan
pilihan tentang tempat tinggal, pekerjaan, dan partisipasi mereka sebagai warga yang
berhak mendapat perlindungan dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah sebagai
pihak dengan tingkat yang lebih tinggi telah menghilangkan peluang Roima untuk
mendapat pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka. Selain itu, pemerintah juga
secara tidak langsung telah membatasi ruang gerak anggota urban miskin karena
masyarakat kelas bawah harus terus-menerus mengikuti keinginan pemerintah
sebagai pihak yang lebih kuat.
(211) ROIMA: [...]
230
Kita orang kecil, Tibal. Kita selalu kalah. Kita akan lebih kalah kalau kita kalap. Orang-orang yang sudah
berhasil mengalahkan kita adalah orang-orang yang kalem, semua langkah dihitung. Kalau kita mau menang, kita juga harus kalem.
Semua langkah dihitung. Kalau perlu, licik juga tidak apa-apa. Pakai siasat.
(hlm. 233)
3.2.5 Kekerasan Struktural terhadap Tibal
Dari kutipan (212) dapat diketahui Tibal yang telah bebas dari penjara pun
ternyata tidak punya keahlian khusus yang bisa diterapkan dalam pekerjaan. Sebagai
anggota urban miskin sebenarnya Tibal telah dibatasi ruang geraknya sebagai
individu yang seharusnya boleh mendapat pekerjaan layak. Selain itu, keberadaan
Tibal telah diabaikan oleh pemerintah sehingga masa depan Tibal tidak mempunyai
jaminan apapun untuk mejadi lebih baik. Melalui kutipan (212) juga dapat dilihat
bahwa Tibal merasa dirinya tidak akan bisa mengubah keadaan sebab dia berasal dari
kelas bawah dan hal ini berarti dia tidak akan diberi peluang untuk maju oleh
masyarakat kelas atas.
(212) TIBAL: Tidak. Aku tidak akan ikut-ikutan makan uang lendir. Roima betul.
Kita memang ditakdirkan untuk selalu kalah. Apa saja usaha kita, tetap akan kalah. Jadi aku tidak peduli lagi. Aku punya rencana sendiri.
Sudah kadung. Begini kalah, begitu kalah. Lebih baik nekat. Selamat tinggal, Tuminah.
(hlm. 233)
231
3.2.6 Kekerasan Struktural oleh Pejabat
Kutipan (213) dan (214) menceritakan Pejabat sebagai langganan Tuminah
yang telah menjadi PSK profesional. Dalam percakapan antara Tuminah dan Pejabat
secara tidak langsung sebenarnya telah terjadi kekerasan struktural. Pejabat
mengatasnamakan diri sebagai pemerintah demi keamanan dirinya sendiri ketika
bertransaksi dengan Tuminah. Hal ini memperlihatkan bahwa Pejabat tidak mau
diketahui mempunyai hubungan dengan kelompok urban miskin, terutama PSK sebab
Pejabat ingin mengamankan dirinya dari publik. Pejabat ingin tetap nama baiknya
terjaga, tapi di sisi lain Pejabat juga tetap ingin dapat mempergunakan jasa Tuminah
sebagai PSK. Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat adalah memberi imbalan
kepada Tuminah demi mendapat apa yang diinginkan oleh Pejabat. Artinya di dalam
memberi imbalan, sebenarnya Tuminah telah berada di bawah kendali Pejabat. Hal
ini berwujud jasa Tuminah digunakan Pejabat tetap dengan transaksi pembayaran
yang wajar, tapi di lain sisi sebenarnya Pejabat secara tidak langsung telah meminta
Tuminah untuk merahasiakan hubungannya dengan Pejabat sebab Pejabat tetap ingin
dikenal sebagai tokoh masyarakat yang “bersih” di depan rakyat. Dalam kutipan
(213) Pejabat ingin dirinya tetap aman dalam menjalin hubungan dengan Tuminah
dan sebagai tokoh masyarakat dia tidak ingin jabatannya dipertaruhkan seandainya
hubungannya dengan Tuminah diketahui khalayak umum, apalagi menjadi berita di
koran. Tuminah sebagai anggota urban miskin tentu saja hanya bisa mengikuti
keinginan Pejabat sebab dia berada di bawah pengaruh Pejabat dan tidak bebas untuk
membuat keputusan sendiri. Seandainya Pejabat melakukan kecurangan dalam
232
transaksi pembayaran terhadap jasa Tuminah, maka Tuminah tidak akan bisa
melakukan apapun, termasuk menuntut Pejabat. Pejabat mampu membalik keadaan
dengan mengatakan bahwa Tuminah hanya ingin meraup keuntungan dari masyarakat
kelas atas.
(213) TUMINAH: (KELUAR BERSAMA TAMUNYA)
Jangan takut, Pak.
PEJABAT: (KETAKUTAN. KELUAR CUMA BERCELANA PENDEK DAN
TANPA BAJU. SAMBIL BERPAKAIAN, BICARA) Mas....
TUMINAH:
Iya, Mas, jangan takut. Itu tadi cuma latihan lenong, kok.
PEJABAT: Mas kira ada razia. Hampir copot jantung Mas. Kalau khalayak tahu
Mas ada di sini, kan nggak enak juga. Bisa jadi gegeran di koran. Muka Mas mau ditaruh di mana? Ya, kan?
(MERAYU)
Tuminah, besok aku datang lagi ya? Di rumah, aku dapat kiriman kondom dari Jepang. Bisa kita coba, enak mana dibanding dengan
kondom bikinan Tangerang.
TUMINAH: Pergilah, Mas, sudah hampir pagi kan?
(hlm. 158-159)
Dalam kutipan (214) diperlihatkan bahwa Pejabat masih ingin
mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat yang terpandang dan
menghindari dirinya diturunkan dari pangkat. Di sini Pejabat mengatakan bahwa dia
tidak diperbolehkan mempunyai dua istri. Posisi Tuminah sebagai PSK langganan
Pejabat tidak akan ada kemajuan sebab Pejabat tidak boleh beristri dua. Tuminah
233
tidak bisa berharap terlalu banyak dari Pejabat untuk memperoleh perbaikan
ekonomi. Tuminah akan tetap menjadi anggota urban miskin yang dibayar sebagai
PSK langganan dan berada di bawah kendali Pejabat yang ingin menjaga reputasinya.
Dalam hal ini Pejabat telah membuat ketimpangan dengan menunjukkan keberadaan
dirinya sebagai anggota masyarakat kelas atas yang tetap harus dijaga nama baiknya
sehingga tetap terlihat jelas adanya perbedaan kelas sosial antara Pejabat dan
Tuminah.
(214) PEJABAT: Selalu datang lagi, selalu. Kamu luar biasa, Tuminah. Luar biasa. Mas
puas, selalu puas. Kamu lain dengan yang lain-lain.
TUMINAH: Apanya yang lain, Mas?
PEJABAT:
Lho, malah tanya. Pokoknya lain. Bersedia main dengan pose-pose lain, buat Mas itu pengalaman luar biasa.
TUMINAH:
Di rumah sendiri, apa tidak bisa anu dengan pose-pose lain, Mas?
PEJABAT: Di rumah? Woo, monoton. Satu posisi saja selama 30 tahun. Kan bosen. Ya, nggak? Istriku tidak gemar yang aneh-aneh. Dicolek,
lampu dimatikan, buka daster, dor-dor-dor, tiga menit, sudah. Lalu ngorok. Tidak ada rayu-rayuan, tidak ada mesra-mesraan. Istriku
menganggap variasi itu gombal.
TUMINAH: Cari istri lain, dong.
PEJABAT:
Istri lain? Mau diturunkan pangkatnya, apa? Bagi orang penting macam Mas, tidak boleh punya istri dua. Atasan bisa marah-marah.
Main-main di luaran boleh, tapi punya istri lagi? Nanti dulu. Persatuan istri-istri pejabat pengaruhnya kuat sekali. Dan itu pula yang membuat
234
mereka makin sewenang-wenang. Kami para suami, hanya bisa mengurut dada. Sudah, sekarang Mas pulang dulu ya?
(hlm. 175)
Kutipan (215) dan (216) memperlihatkan Pejabat melakukan kerjasama
dengan tamu dari Jepang. Dalam kutipan (215) Pejabat telah melakukan kekerasan
struktural berupa korupsi dan eksploitasi kemiskinan melalui kerjasamanya dengan
elit ekonomi yang memiliki modal. Kondisi penguasaan sumber daya ekonomi dan
akses pengambilan kebijakan publik saat itu ada di tangan Pejabat, sehingga kondisi
struktural ini sangat menguntungkan Pejabat untuk mengambil keuntungan sebanyak-
banyaknya dan merugikan masyarakat strata menengah ke bawah yang berada di
bawah kekuasaan Pejabat. Pejabat berusaha agar dana dari luar negeri dapat segera
diperoleh dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Pejabat memanfaatkan
kemiskinan rakyat agar bisa mendapat keuntungan untuk diri sendiri. Dana bantuan
ini sebenarnya ditujukan untuk pembangunan yang nantinya diharap dapat menunjang
kesejahteraan rakyat banyak. Selain itu, Pejabat memakai kemiskinan rakyat untuk
memperoleh simpati dari bangsa lain, sehingga bangsa lain bersedia memberikan
bantuan. Dengan adanya bantuan dana dari luar negeri sebenarnya bisa diketahui
bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini belum dapat dikatakan sebagai
keberhasilan program pemerintah, justru bantuan luar negeri memperlihatkan jika
perekonomian negara Indonesia masih labil. Selain itu, pemerintah sebenarnya telah
melakukan pembatasan terhadap potensi masyarakat yang seharusnya dibina dan
diberi keterampilan agar dapat bekerja dengan layak sehingga nanti dapat memberi
pemasukan bagi perekonomian negara. Namun, dari kutipan (215) pemerintah
235
terkesan lebih menggantungkan perekonomian negara dengan meminta dana bantuan
dari luar negeri tanpa melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat.
(215) PEJABAT: Persahabatan kami dengan bangsa Tuan, sudah sampai pada taraf yang
saling menjanjikan. Perhatian dunia terbetot ke sini semua. Tawaran Tuan untuk bersedia memberikan kredit bunga lunak, sungguh
simpatik sekali. Dana yang Tuan sumbangkan itu, percayalah, pasti akan sangat bermanfaat bagi kehidupan rakyat kami. Dan mereka akan
sangat berterimakasih.
TAMU: (BERBAHASA INDONESIA DENGAN AKSEN JEPANG)
Pasti. Bantuan kepada negara yang sedang membangun, memang menjadi prioritas kami. Kami punya uang, bangsa Tuan punya cita-cita. Kami wajib membantu cita-cita bangsa Tuan yang berbunyi....
(MENGAMBIL CATATAN DARI SAKUNYA DAN MEMBACA)
“... yang akan memanfaatkan dana kredit untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yang akan dibangun, hanyalah usaha-usaha yang manfaatnya
bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Semua proyek mercusuar akan kembali ditinjau dan digantikan dengan proyek-proyek
multiguna. Dengan demikian, bantuan kredit ini tidak boleh hanya ditinjau dari segi keuangannya saja, tapi lebih merupakan usaha
manusia untuk membantu saudara-saudaranya sesama manusia....”
(SEMUA YANG HADIR BERTEPUK TANGAN) Bravo. Artikel ini sungguh menarik.
PEJABAT:
Yang penting, dana kredit itu akan keluar dengan segera, ‘kan? Kami sangat membutuhkan, lho.
TAMU:
Pasti. Pasti. But, one for me, one for you. Masing-masing lima prosen. Bagaimana?
PEJABAT:
Ah, itu tidak penting untuk dibicarakan. Kita kan bekerja untuk kesejahteraan bangsa kita masing-masing. Tidak penting, tidak
penting. Tapi, kalau bisa, yang lima prosen itu boleh Tuan masukkan ke dalam rekening bank saya, nomor....
236
(MENUNJUKKAN ANGKA REKENING BANKNYA)
TAMU: Baik, baik.
(hlm. 185-186)
Di akhir percakapannya dengan tamu dari Jepang dalam kutipan (215) Pejabat
sempat menawar agar dia diberi keuntungan pribadi yang diambil dari dana bantuan
luar negeri itu. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat merupakan perwakilan pihak
pemerintah yang tidak sungkan melakukan korupsi. Dana bantuan yang seharusnya
digunakan sepenuhnya untuk pembangunan dan menunjang kebutuhan masyarakat,
ternyata diambil sedikit bagian oleh Pejabat untuk kepentingan pribadi. Dengan
melakukan korupsi Pejabat telah membuat rakyat akan semakin kekurangan dalam
perekonomian mereka. Walaupun dana yang diambil Pejabat hanya terkesan sebagian
kecil saja, tapi bagi masyarakat dana yang hanya sebagian kecil itu memiliki arti yang
cukup besar, yaitu bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat di berbagai
bidang yang bersifat menunjang kepentingan umum. Pejabat telah menggunakan
kekuasaan yang berlebih sehingga dia merasa berhak memakai dana bantuan luar
negeri untuk kepentingannya sendiri.
Kutipan (216) diceritakan Pejabat sedang mempresentasikan alokasi dana
bantuan dari luar negeri. Dalam presentasinya, Pejabat menjelaskan rencana
pembangunan yang akan dilakukan pihak pemerintah nanti dengan dana bantuan dari
luar negeri tersebut. Di sini pemerintah berencana membangun fasilitas-fasilitas
umum yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat. Namun, di sisi lain
sebenarnya Pejabat telah lupa apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat.
237
Kebanyakan rakyat menginginkan mereka bisa lepas dari kemiskinan. Dalam hal ini
sebenarnya Pejabat telah mempergunakan kekuasaan yang berlebih dengan
menunjukkan dirinya sebagai pihak pemerintah yang memiliki wewenang
menentukan kebijakan penggunaan dana bantuan. Pejabat menggunakan dana
bantuan hanya berdasar pada apa yang diinginkannya, bukan pada apa yang menjadi
prioritas untuk bisa membantu masyarakat.
(216) TAMU: (BASA-BASI)
Luar biasa. Wonderful. Great. Satisfied. Dana bantuan yang sungguh-sungguh dimanfaatkan dengan sangat tepat sekali. Semua ini akan
saya laporkan.
PEJABAT: Ini masih belum apa-apa. Hamparan tanah kosong yang di depan sana
itu kelak akan kita bangun sekolah-sekolah, perpustakaan umum, tempat-tempat ibadat dan pasar bagi pedagang modal kecil. Itulah
realisasi dari konsep ekonomi kerakyatan yang kita anut. Pendeknya, semua demi kesejahteraan rakyat, demi pemerataan kue hasil
pembangunan.
[...]
PEJABAT: (BANGGA)
Dan musium juga akan kita dirikan di mana-mana. Ini penting, sebab kita pikir hanya bangsa yang goblok saja yang tidak mempedulikan
dokumentasi sejarah masa lampau. Dan monumen. Kita akan dirikan monumen bagi setiap peristiwa, baik yang sifatnya umum maupun
yang kepahlawanan. Ada sejuta pahlawan, kita dirikan sejuta monumen.
Pendek kata, setiap peristiwa yang menyentuh hati masyarakat, langsung kita tanggapi. Hasilnya: monumen. Mereka yang masuk
dalam Barisan Sakit Hati bilang: beras lebih penting dari monumen. Tapi, kita dan rakyat bilang: monumen itu penting. Monumen itu
ibarat celana. Kebudayaan.
TAMU:
238
Great. Sekali lagi, luar biasa. Kalau begitu saya bisa pulang ke negeri saya dengan hati yang sangat puas. Wonderful. Thank you.
(hlm. 213-215)
Karena hanya memikirkan apa yang menjadi kepentingannya saja, maka
Pejabat tidak menggubris ketika ada masyarakat yang mengatakan bahwa pemenuhan
kebutuhan pangan lebih penting daripada membuat bangunan seperti monumen dalam
kutipan (216). Sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural berupa
campurtangan yang terlalu banyak sehingga menghilangkan otonomi masyarakat. Hal
ini ditunjukkan melalui Pejabat sebagai pihak pemerintah ternyata kurang bijak
menentukan apa yang menjadi prioritas dalam program pembangunan, sehingga
kebutuhan pokok masyarakat menjadi luput dari perhatian pemerintah. Tindakan
pemerintah ini menjadi kelemahan pihak pemerintah dan dibuktikan dengan masih
adanya masyarakat yang mengalami kelaparan atau kekurangan pangan di tengah
giatnya pembangunan negara.
Kutipan (217) menceritakan para waria yang sedang diperingatkan oleh
petugas. Para waria ini terancam harus pindah dari tempat mangkal mereka karena di
tempat tersebut akan dibangun terminal kabel. Dalam percakapan para waria dengan
petugas dapat diketahui bahwa para waria telah mengalami kekerasan struktural
berupa campurtangan pihak pemerintah sehingga mereka kehilangan otonomi atau
kemampuan untuk menentukan tujuan bagi diri sendiri yang berkaitan dengan nasib
mereka. Petugas hanya meminta para waria pindah tanpa memberikan solusi bagi
pekerjaan mereka. Jika para waria diminta pindah tentu saja hal itu akan berpengaruh
terhadap pekerjaan mereka sebab dengan kewajiban untuk pindah ini berarti para
239
waria harus kehilangan tempat kerja mereka dan terpaksa mencari tempat mangkal
lain. Melalui percakapan antara para waria dengan petugas sebenarnya terdapat
diskriminasi terhadap kelompok waria karena pekerjaan sebagai waria sekaligus
pelacur dianggap kurang sehat dan dapat mengganggu kehidupan masyarakat di
sekitar. Namun, sebenarnya diskriminasi ini muncul sebab pemerintah belum bisa
memberikan solusi bagi para waria. Jika pihak pemerintah ingin para waria
menghentikan kegiatan mereka, maka seharusnya pihak pemerintah memberikan
jalan keluar berupa pembinaan melalui pemberian keterampilan dan pengadaan
lapangan kerja. Dengan adanya peringatan dari petugas, sebenarnya pihak pemerintah
memberikan tekanan yang menyudutkan para waria. Di satu sisi pihak pemerintah
ingin para waria menghentikan kegiatan melacur mereka, tapi di sisi lain pemerintah
mewajibkan mereka mencari jalan keluar sendiri sebab pada kenyataannya
pemerintah tidak memberikan tindakan apapun sebagai solusi.
Dari kutipan (217) juga dapat diketahui bahwa pejabat juga sering melakukan
kekerasan struktural berupa korupsi. Para waria ini mengetahui bahwa pejabat
melakukan korupsi karena para waria telah mengalami dampak kekerasan struktural
ini. Jika pemerintah korupsi, maka rakyat kecil yang dirugikan. Penggunaan uang
negara oleh pemerintah sebenarnya telah mengurangi peluang masyarakat kelas
bawah untuk memperbaiki kehidupan mereka. Uang negara yang seharusnya dipakai
untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat ternyata tidak dipakai sesuai dengan
alokasi yang sebenarnya, tapi justru digunakan untuk kepentingan pribadi saja.
(217) SATPAM-1:
240
Eee, ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental-spiritual, segala perilaku yang menyinggung perasaan akan
disikat habis. Apalagi perilaku yang amoral, seperti yang kalian lakukan sekarang ini. Menjadi waria dan sekaligus menjadi pelacur.
WARIA-3:
Jangan main-main, Mas. Itu namanya dwifungsi, kayak saya ini lho. Siang jadi tukang jagal, malam hari ngebanci untuk cari duit
tambahan. Anak saya lima, satu hampir sarjana. Isteri saya tahu kerja saya apa kalau malam. Ini profesi tahu, profesi....
SATPAM-1:
Apa tidak bisa kerja lain?
WARIA-3: Bisa. Korupsi. Tapi kita ‘kan bukan pejabat? Apalagi? Merampok?
Maling?
SATPAM-1: Melacur juga dilarang, tahu nggak? Dan saya datang untuk
memperingatkan kalian, mumpung masih ada waktu. Sadarlah kalian. Jangan mau jadi begini. Ini maksiat. Dalam rangka pembangunan
mental-spiritual....
[...]
SATPAM-1: Begini, Mbak-Mbak. Beberapa bulan lagi, di tempat ini akan dibangun
terminal kereta kabel. Saya datang hanya memperingatkan supaya kalian siap-siap. Mumpung waktunya masih panjang.
(hlm. 243-244)
Peristiwa dalam kutipan (217) berlanjut menjadi keributan antara petugas
dengan para waria. Dalam kutipan (218) para waria tidak mau mengikuti keinginan
petugas untuk menyanggupi pindah dari tempat mangkal mereka. Di dalam keributan
ini petugas menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun hanya untuk
mengancam para waria. Dengan adanya ancaman menggunakan senjata ini
sebenarnya petugas sebagai aparat pemerintah telah melakukan kekerasan struktural.
241
Kekerasan struktural berupa ancaman ini terwujud karena adanya pemakaian
kekuasaan berlebih oleh petugas, sehingga petugas merasa boleh menggunakan
senjata api secara sembarangan walaupun dengan alasan untuk melindungi diri.
Sebenarnya petugas bisa saja melakukan gertakan hanya dengan menembakkan
senjata ke udara, tapi yang dilakukan oleh petugas ternyata lebih dari wewenangnya,
yaitu mengarahkan senjata kepada para waria. Ternyata peluru petugas mengenai
Julini yang saat itu tidak terlibat dalam keributan dan menyebabkan Julini mati.
Setelah insiden penembakan ini, petugas tidak segera memberikan pertolongan
kepada korban penembakan; tetapi justru saling melempar tanggung jawab.
(218) (KERIBUTAN PUN MELEDAK. PETUGAS DIKEROYOK PARA WARIA. HANYA JULINI SAJA YANG TETAP BENGONG DI TEMPATNYA. DIA SAMA SEKALI TIDAK TERPENGARUH OLEH SUASANA DI SEKITARNYA YANG MEMANG MAKIN
MEMANAS)
PETUGAS: Tolong, Mas Satpam, tolong. Pakai pistolnya. Jangan bengong saja
kamu.
(SATPAM YANG MULANYA KEDER, AKHIRNYA MENURUT. DAN TERDENGAR BUNYI ‘DOR’ SEKALI. SEMUA BUYAR.
DAN PARA WARIA MENJERIT-JERIT KETAKUTAN. TERDENGAR BUNYI ‘DOR’ LAGI. DAN ‘DOR’ LAGI
BERUNTUN)
(JULINI NAMPAK MEMEGANG DADANYA. DIA MERASAKAN DARAH MENGALIR DI SELA-SELA JEMARINYA. DIA KAGET.
LIMBUNG. RASA NYERI MENYERANG DADANYA)
JULINI: Darah. Astaganaganaganya. Darah. Aduh, darah. Ini darah betulan apa
saus tomat.
(MENCICIPI DARAH DI JARI-JARINYA)
242
Betul-betul darah. Julini mampus dah, kiamat dah.
SATPAM-1: Saya jadi pembunuh.
Peluru itu datang dari pistol saya, ya? Tidak, tidak, pasti dari pistol kamu. Saya cuma punya peluru karet. Tidak bikin mati. Kamu.
SATPAM-2:
Enak saja. Pasti kamu. Asapnya jelas keluar dari pistol kamu. Kalau dari aku, pasti tidak bikin mati. Aku pakai peluru hampa. Nih. Kamu
yang membunuh. (hlm. 247-248)
Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan para waria menjadi sangat
marah. Mereka mengalami dampak dari kekerasan struktural yaitu ketimpangan
sosial. Mereka sebagai anggota urban miskin telah disingkirkan seakan-akan mereka
tidak boleh mendapat pembelaan apapun dari siapa saja. Semua yang dialami oleh
kaum urban miskin adalah dampak dari kekerasan struktural berupa diskriminasi
kelas sosial yang dilakukan oleh kelas atas sebagai pihak yang lebih kuat. Dari
kutipan (219) dapat diketahui bahwa kaum urban miskin sebagai korban kekerasan
struktural tidak pernah dibela oleh siapa pun, termasuk pemerintah, sebab mereka
telah dianggap sebagai kelompok masyarakat yang harus disisihkan. Akhirnya, para
waria dan Roima memutuskan untuk pergi ke rumah Pejabat dengan tujuan meminta
pertanggungjawaban.
(219) WARIA-3: Kesadisan macam ini harus distop. Mentang-mentang kita tidak punya
beking, kita diburu-buru, digencet, dibunuhi.
ROIMA: (BERTERIAK)
Kita berangkat ke rumah Pak Pejabat. (hlm. 251)
243
Kutipan (220) menceritakan Roima dan para waria telah sampai di rumah
Pejabat. Roima mengatakan bahwa sebagai anggota urban miskin, Julini hanya ingin
mendapat hak untuk hidup, bekerja, dan mendapat penghasilan. Di samping itu,
kedatangan Roima dan para waria ke rumah Pejabat adalah untuk meminta
pertanggungjawaban Pejabat agar segera menindak pelaku penembakan Julini dengan
memberi hukuman yang setimpal. Namun, setelah mendapat pengaduan dari Roima
sikap Pejabat malah mengesankan bahwa Pejabat tidak begitu peduli dengan nasib
kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Pejabat telah melakukan kekerasan
struktural lewat ketidakpeduliannya itu. Bagi Pejabat, kasus yang menimpa kaum
urban miskin bukan menjadi urusannya dan Pejabat terlihat cenderung mengabaikan
keselamatan nyawa masyarakat urban miskin. Bahkan Pejabat menerima kedatangan
Roima dan para waria hanya sebagai formalitas saja agar dianggap tetap mempunyai
perhatian kepada rakyat kecil. Di akhir pertemuan Pejabat dengan Roima dan para
waria, Pejabat sempat menjanjikan bahwa dia akan mengusut kasus penembakan
Julini dan mencari pelakunya. Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat bisa
mengakibatkan ketimpangan sosial yang cukup tajam. Pejabat membedakan antara
mengusut kasus anggota masyarakat urban miskin dengan kasus yang menimpa
masyarakat kelas atas. Seandainya kasus penembakan ini menimpa masyarakat kelas
atas, Pejabat akan segera bertindak memerintah anak buahnya untuk mencari pelaku
penembakan. Namun, dalam trilogi bagian kedua ini yang menjadi korban
penembakan hanyalah Julini, anggota urban miskin yang tidak begitu berpengaruh
244
bagi Pejabat. Pejabat tidak akan ambil tindakan secepatnya untuk mengusut pelaku
penembakan karena Julini cuma berasal dari masyarakat kelas bawah.
(220) PEJABAT: Bawa masuk mereka yang mau menghadap.
ROIMA:
Kami semua sudah di sini, Pak.
PEJABAT: Oo, iya? Ah, kalian? Langsung saja apa yang mau dilaporkan. Waktu saya sempit. Dan ini sudah larut malam. Mana ada pejabat yang sudi
menerima rakyat pada malam hari, kecuali saya. Ayo, ngomong!
ROIMA: Dia cuma ingin hidup. Dia tak pernah mengganggu. Tidak pernah
memaksa. Apa yang dia lakukan cuma kerja. Supaya tidak kelaparan. Dia mungkin sampah. Keahliannya cuma memijat. Nasib
melemparkan dia ke got, dan sampai tua dia akan tetap ada di got, berdesakan dengan kutu dan kecoa.
Kami orang-orang kecil. Masalah kami cuma masalah perut. Tapi kenapa dia yang harus ditembak mati? Kenapa dia?
PEJABAT:
Jadi maunya apa. Omong langsung, jangan muter-muter.
ROIMA: Kami menuntut tindakan hukum yang setimpal bagi penembaknya.
[...]
PEJABAT:
Diam semua! Diam! Bagus.
(PARA WARIA TERDIAM)
Baik. Laporan kalian akan dipelajari. Dan tunggu sampai kami selesai memproses kasus ini. Yang salah tentu tidak akan luput dari hukuman.
Soal lain-lain tunggu putusan! (hlm. 253-254)
245
Setelah Roima dan para waria pergi dari rumah Pejabat, Pejabat sempat
memarahi anak buahnya. Dalam kutipan (221) dapat diketahui ternyata pelaku
penembakan Julini adalah bawahan Pejabat yang saat itu bertugas patroli. Namun,
Pejabat tidak memberitahukan kepada Roima dan para waria bahwa pelaku insiden
penembakan Julini adalah anak buah Pejabat. Berawal dari laporan anak buahnya,
Pejabat mulai melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum
urban miskin. Pejabat yang semula menjanjikan akan mengusut pelaku penembakan
Julini, tentu saja tidak jadi mengusut pelaku penembakan Julini. Jika pelaku
penembakan dibawa ke pengadilan, Pejabat jelas juga ikut dibawa sebagai orang
pertama yang harus bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya. Bahkan ada
kemungkinan Pejabat dianggap telah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan
tindak kekerasan terhadap para waria. Sebisa mungkin Pejabat menjaga kedudukan
dan reputasinya, termasuk ketika menghadapi wartawan-wartawan yang menanyakan
kasus penembakan para waria.
Selain kebohongan, kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat
dalam kutipan (221) adalah tidak adil dalam persoalan hukum. Ketika tadi
berhadapan dengan Roima, Pejabat sempat meyakinkan Roima bahwa pelaku
penembakan akan diberi hukuman yang setimpal. Namun, setelah mengetahui bahwa
pelaku penembakan adalah anak buahnya sendiri, Pejabat tentu saja tidak akan
membawa bawahannya ke pengadilan untuk diberi hukuman yang setimpal. Pejabat
akan berusaha melakukan apa saja agar anak buahnya selamat dari jerat hukum sebab
jika bawahannya sampai diberi hukuman lewat pengadilan, maka reputasi Pejabat
246
akan jatuh dan bisa saja jabatan yang sekarang disandang Pejabat akan dilepas oleh
atasannya.
Melalui kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat dalam kutipan (221)
berupa kebohongan dan ketidakadilan dalam hukum, sebenarnya Pejabat telah
memanfaatkan posisinya sebagai anggota kelas atas untuk menyelamatkan
kepentingan pribadinya. Sebagai tokoh masyarakat, Pejabat tentu saja akan
melakukan apa saja agar dia tidak perlu turun dari jabatan, termasuk dengan
menjadikan kaum urban miskin sebagai korban demi menjaga nama baik Pejabat.
Kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berpengaruh bagi Pejabat.
Justru Pejabat terkesan ingin menyingkirkan kaum urban miskin dari masyarakat luas
sebab masyarakat urban miskin telah dianggap menyulitkan proses pembangunan
yang dilakukan pemerintah saat ini.
(221) PEJABAT: Masuk, goblok!
(PETUGAS DAN DUA SATPAM MASUK DENGAN MUKA
PUCAT)
Kalian ini memang goblok. Kerja pakai dengkul, bukan pakai otak. Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan? Mau masuk penjara,
hah?
SATPAM-2: Nggak, Pak. Tapi saya disuruh Pak Petugas untuk menembak.
PEJABAT:
Menembak boleh, tapi tidak usah pakai pestol. Tembak pakai tangan, kaki, pentungan. Kamu kan lebih ahli.
PETUGAS:
Tapi mereka mulai beringas, Pak.
247
PEJABAT: Gertak! Orang yang maju rame-rame, biasanya penakut. Kita boleh
ringan tangan, asal jangan ringan pistol. Bahaya.
(SATPAM-1 KELUAR RUANGAN KARENA DIPANGGIL SESEORANG, KEMUDIAN DIA MASUK LAGI)
SATPAM-1:
Pak, ada lima wartawan ingin menghadap Bapak.
PEJABAT: Mau apa mereka?
SATPAM-1:
Katanya mau menanyakan kejelasan peristiwa penembakan para waria.
PEJABAT:
Para waria? Kok, sudah jadi banyak? Padahal yang mati cuma satu waria. Astaga, kalau wartawan tahu, celaka kamu.
PETUGAS:
Celaka kita, Pak. (hlm. 256-257)
Kutipan (222) menceritakan kepanikan Pejabat setelah mengetahui berita
insiden penembakan Julini telah tersebar di surat kabar. Situasi pasca penembakan
Julini ini ternyata dimanfaatkan oleh lawan politik Pejabat untuk mencari simpati
rakyat. Karena terpancing oleh lawan politiknya, maka Pejabat juga berusaha dia
tetap mendapat simpati masyarakat. Agar wibawanya di depan rakyat banyak tetap
terjaga, tidak disalahkan oleh orang banyak, dan demi mempertahankan nama baik di
depan lawan politiknya; Pejabat akhirnya mengikuti apa saja kemauan masyarakat
urban miskin, termasuk mendirikan monumen untuk memperingati kematian Julini.
248
Dengan menuruti apa saja kemauan para urban miskin, sebenarnya Pejabat
telah berusaha membuat masyarakat urban miskin lupa pada tuntutan yang
sebenarnya, yaitu menegakkan hukum yang adil atas kasus penembakan Julini. Pada
akhirnya memang Pejabat membangun monumen dan patung untuk memperingati
kematian Julini, tapi Pejabat tidak mengusut pelaku penembakan Julini seperti yang
pernah dijanjikannya kepada Roima dan para waria. Dalam kasus penembakan Julini,
Pejabat sebagai pihak pemerintah tidak memberikan kepedulian yang cukup padahal
Julini dan anggota urban lainnya masih menjadi anggota masyarakat luas di kota
Jakarta, dan artinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia kaum urban miskin
tetap membutuhkan perhatian dari pemerintah.
(222) PEJABAT: Apa waria itu betul-betul mati?
SATPAM-2:
Betul, mati, Pak. Saya lihat sendiri dia sekarat.
PEJABAT: Aduh, jadi bagaimana ini? Pasti saya yang lebih dulu kena getahnya.
(MEMBACA KORAN)
“Teman-teman Julini menuntut Julini dipatungkan. Tuntutan itu didukung oleh....” Sialan ini tokoh, selalu mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya.
Cepat amat dia merespon. Brengsek.
PETUGAS: Boleh saya usul, Pak?
PEJABAT:
Usul!
PETUGAS:
249
Terima kasih, Pak. Begini. Agar kita selalu nampak simpatik di depan rakyat, sebaiknya apa saja tuntutan mereka kita penuhi. Minta
dibikinkan monumen, kita bikin. Minta dibikinkan patung, kita bikin. Apa saja. Keuntungannya banyak, Pak. Kemarahan mereka bisa reda, dan kita malah bakal disanjung sebagai pejabat yang tanggap kepada hati nurani rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa kita dihadiahi ayam betina
sama mereka. Kan malu, Pak? Jatuh wibawa kita. (hlm. 258-259)
Beberapa waktu setelah insiden penembakan Julini, terjadi peristiwa
kebakaran yang menimpa kompleks PSK milik Tarsih. Dalam kutipan (223) peristiwa
kebakaran telah menghabiskan seluruh bagian kompleks PSK. Para penghuni
kompleks benar-benar mengalami kerugian yang cukup besar karena mereka tidak
hanya kehilangan tempat tinggal, tapi juga kehilangan tempat kerja dan hal itu bisa
menghambat pekerjaan mereka yang nanti akan berpengaruh terhadap penghasilan
mereka. Kebakaran kompleks ini diperkirakan sebagai sabotase yang dilakukan oleh
pihak pemerintah. Pada awal “Opera Kecoa” sempat diceritakan Tarsih mendapat
himbauan dari petugas bahwa kompleks PSK harus dipindahkan karena dianggap
mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Namun, waktu itu Tarsih menolak
dengan keras pemindahan kompleks PSK sebab Tarsih menganggap pemindahan ini
adalah penggusuran secara halus walaupun petugas menyebutnya sebagai lokalisir
dan berjanji akan memberi ganti rugi. Kebakaran ini oleh para penghuni kompleks
PSK dianggap sebagai sabotase pemerintah sebab para penghuni mengetahui rencana
penggusuran kompleks PSK pernah digagalkan oleh Tarsih. Akhirnya dengan
dipimpin oleh Roima, para penghuni PSK memutuskan pergi menghadap Pejabat
untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa kebakaran ini.
250
(223) (BEBERAPA JAM SESUDAH PERISTIWA KEBAKARAN ITU. SELURUH KORBAN BERKUMPUL DI BAWAH PATUNG
JULINI. MEREKA LEMAH DAN TAK BERDAYA)
ASNAH: Habis, habis semuanya.
ORANG-1:
Cabo gila itu juga habis.
TUMINAH: Dan Mbak Tarsih....
(ROIMA MUNCUL. MELIHAT SEMUA KEJADIAN DENGAN
PEDIH)
TUMINAH: Roima....
ROIMA:
Ya, aku dengar semuanya, aku lihat semuanya. Ini bukan kejadian biasa. Ini pasti ada apa-apanya.
[...]
ROIMA:
Kita harus tanyakan ini semua. Kita menghadap. Kita harus bertanya.
(SEMUA SETUJU. DAN SEREMPAK MEREKA BERGERAK KE KANTOR PAK PEJABAT)
(hlm. 278-279)
Para penghuni kompleks PSK dan Roima telah sampai di rumah Pejabat.
Dalam kutipan (224) mereka meminta penjelasan mengenai peritiwa kebakaran ini.
Namun, Pejabat merespon kedatangan mereka dengan kemarahan. Pejabat
menganggap peristiwa kebakaran ini sebagai musibah, bukan sabotase. Di dalam
percakapannya dengan Roima, Pejabat sempat menjanjikan akan mendirikan bagunan
baru sebagai tempat tinggal para PSK. Melalui pernyataannya itu, sekali lagi Pejabat
251
melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin sebab
tidak ada jaminan bahwa nantinya Pejabat akan membangun tempat baru untuk para
penghuni kompleks PSK. Sikap Pejabat memperlihatkan adanya ketimpangan sosial
yang tajam antara kelas atas dan kelas bawah sebab Pejabat tidak sungguh-sungguh
berniat membantu menyelesaikan permasalahan para urban miskin. Bagi Pejabat
peristiwa kebakaran ini bukan permasalahan penting. Permasalahan yang menimpa
kaum urban miskin tidak pernah benar-benar diperhatikan oleh pihak pemerintah.
(224) PEJABAT: Bawa masuk semua yang ingin menghadap.
ROIMA:
Kami semua sudah ada di sini, Pak. Kami ingin tanyakan kenapa musibah ini terjadi.
PEJABAT: (MARAH)
Lho, memangnya saya serba tahu? Musibah, ya, musibah. Kita akan selidiki itu semua dan menyeret yang bersalah. Tapi kalau memang ini musibah, mau bilang apa? Api kan sulit diduga. Percayalah, ini cuma musibah. Pendek kata, saya berjanji, di tempat bekas kebakaran nanti
akan kita dirikan bangunan yang lebih baik lagi. Puas?
ROIMA: Dan bangunan itu bukan untuk kami. Memang itu yang Bapak maui,
kan? Kami sudah dikorbankan.
PEJABAT: (MARAH)
Setan, goblok. Jangan menuduh sembarangan. Kebakaran di mana pun bisa terjadi. Tidak boleh bercuriga dulu, selidiki dulu.
ROIMA:
(BERTERIAK) Dua kali kita diusir.
Sekarang dengan cara yang lebih sadis lagi. Pergi ke mana lagi kita? Kita ini memang cuma kecoa. Yang selalu mengintip kesempatan tapi
252
kesempatan yang kita dapat cuma tai. Itu bagian kita. Kita harus kembali ke lubang-lubang bawah tanah, ke got-got, ke gorong-gorng,
ke lubang WC. Itu tempat kita. (hlm. 280-281)
Melalui peristiwa kebakaran ini kaum urban miskin merasa bahwa di mana
pun mereka berada tidak akan pernah mendapat tempat yang layak sebab mereka
telah didiskriminasikan lebih dulu oleh pihak yang lebih kuat. Perbedaan kelas sosial
membuat urban miskin tidak mempunyai kesempatan apapun, termasuk hak tempat
tinggal dan mendapat ganti rugi ketika mereka mengalami musibah. Walaupun nanti
Pejabat membuat bangunan baru di bekas lokasi kebakaran tersebut, para urban
miskin yakin bahwa tempat itu bukanlah untuk mereka.
Kaum urban miskin tetap merasa bahwa peristiwa kebakaran itu adalah
sabotase pihak tertentu dan memaksa Pejabat untuk mengusut tuntas kasus ini.
Namun, dalam kutipan (225) Pejabat menanggapi sikap para urban miskin dengan
marah. Pada akhirnya Pejabat tidak memberikan jalan keluar sedikit pun kepada
kaum urban miskin, termasuk tidak memberikan ganti rugi kepada penghuni
kompleks PSK yang telah kehilangan tempat tinggalnya.
(225) PEJABAT: Ini apa, diskusi di tengah medan perang? Mau perang tidak? Ayo, maju, aku sudah tidak sabar lagi. Jangan banyak omong. Pelatuk
senjata sudah ditekuk, tinggal dor! Mampus! Ayo, maju, dan mampus!
ROIMA:
Jangan kuatir, Pak. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita akan kembali ke tempat kita, kalau memang itu kehendak Bapak.
(hlm. 283)
253
Setelah berdebat cukup lama dengan Pejabat, akhirnya Roima dan para
penghuni kompleks PSK mengalah dan kembali ke kawasan kumuh. Hingga “Opera
Kecoa” selesai, Pejabat tidak pernah mewujudkan janjinya untuk membangun
bangunan baru di tempat bekas kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat telah
melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin.
Selain itu, Pejabat juga tidak memberikan ganti rugi apapun kepada korban kebakaran
ini. Sikap Pejabat membuat hubungan antara kelas atas dan kelas bawah semakin
renggang karena Pejabat lebih mengutamakan kepentingan kelas atas dan
menyisihkan kepentingan kelas bawah. Akibat jarak yang cukup besar antarkelas
sosial, maka peluang untuk mendapat kehidupan yang lebih baik bagi kelas sosial
yang lebih rendah akan semakin berkurang dan mereka tetap berada di bawah kendali
kelas atas sebagai pihak yang kuat.
Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian
kedua) adalah masyarakat dalam “Opera Kecoa” terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum urban miskin yang
diwakili oleh Tarsih, Julini, Tuminah, Roima, dan Tibal. Pada awal “Opera Kecoa”
diperlihatkan Tarsih yang sedang menghadapi petugas dari dinas tata kota dan
mengalami kekerasan struktural berupa ancaman penggusuran dari pemerintah.
Dalam rencana penggusuran ini pemerintah telah menggunakan wewenang yang
berlebih untuk menyudutkan Tarsih dan membatasi kaum urban miskin dalam
menentukan nasib sendiri (206). Penggusuran kompleks PSK yang mengatasnamakan
lokalisir merupakan bentuk kekerasan struktural yang akan menimbulkan
254
ketimpangan sosial ekonomi sebab kekerasan model ini dapat menghilangkan tempat
tinggal seseorang dan secara tidak langsung mengurangi peluang individu untuk
mendapat penghasilan akibat hilangnya pekerjaan (207). Lokalisir juga dianggap
sebagai bentuk penipuan yang dilakukan pemerintah sebab dengan cara ini
pemerintah menggunakan jabatannya untuk mendapat apa yang seharusnya bisa
menjadi milik rakyat.
Para PSK di kompleks Tarsih ternyata juga dikenai pajak yang cukup tinggi
oleh pemerintah (208). Pengadaan pajak merupakan pembatasan terhadap otonomi
atau kekuasaan atas diri pribadi para PSK dan hal ini adalah bentuk kekerasan
struktural yang dilakukan pemerintah. Dengan adanya pajak yang cukup tinggi, maka
akan terjadi ketimpangan antara pendapatan dan pengeluaran para PSK. Selain itu,
pemerintah juga kurang peka dalam menyediakan lapangan kerja bagi kelas bawah
sehingga rakyat Indonesia yang termasuk kelompok miskin akan semakin bertambah.
Julini sebagai anggota urban miskin pun terpaksa bekerja sebagai PSK karena
dia tidak memiliki keahlian lain yang dapat dipakai dalam pekerjaan yang layak
(209). Justru karena pekerjaannya sebagai PSK, Julini mengalami kekerasan
struktural berupa diskriminasi oleh kelas atas yang menganggap bahwa pekerjaan
PSK adalah pekerjaan yang negatif dan secara tidak langsung sebenarnya masyarakat
kelas atas telah menolak keberadaan Julini. Berawal dari penolakan masyarakat
terhadap Julini karena profesinya, maka Julini dapat ditolak juga dalam hal lain
seperti ketika menentukan tempat tinggal dan memperoleh pekerjaan yang lebih baik
255
agar pendapatannya juga meningkat. Akibatnya Julini telah dibatasi kemampuannya
dalam mengembangkan diri secara pribadi sebagai anggota urban miskin.
Tuminah sebagai anggota urban miskin juga mengalami kekerasan struktural
ketika dia menjadi korban penggusuran dalam “Bom Waktu”. Penggusuran membuat
Tuminah, Roima, dan Tibal kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan (210), (211),
(212). Pemerintah daerah juga tidak memberikan ganti rugi kepada para korban
penggusuran. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah melakukan
kekerasan struktural berupa diskriminasi terhadap kaum urban miskin dengan
menganggap kelompok kelas bawah ini tidak berhak mendapat kehidupan yang lebih
baik. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak mengikutsertakan kaum urban miskin
menjadi bagian dari program pembangunan sebagai kelompok masyarakat yang perlu
dikembangkan potensinya dan sebagai individu yang mandiri agar kesejahteraan
hidup semakin meningkat melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
Pemerintah secara tidak langsung telah membatasi ruang gerak anggota urban miskin
karena masyarakat kelas bawah harus mengikuti keinginan pemerintah sebagai pihak
yang lebih kuat.
Pejabat telah menjadi langganan Tuminah yang berprofesi sebagai PSK
profesional. Pejabat mengatasnamakan diri sebagai pemerintah demi keamanan
dirinya sendiri ketika bertransaksi dengan Tuminah (213). Hal ini memperlihatkan
bahwa Pejabat tidak mau diketahui mempunyai hubungan dengan kelompok urban
miskin, terutama PSK sebab Pejabat ingin mengamankan dirinya dari publik.
Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat adalah memberi imbalan kepada
256
Tuminah demi mendapat apa yang diinginkan oleh Pejabat. Artinya di dalam
memberi imbalan, sebenarnya Tuminah telah berada di bawah kendali Pejabat. Hal
ini berwujud jasa Tuminah digunakan Pejabat tetap dengan transaksi pembayaran
yang wajar, tapi di lain sisi sebenarnya Pejabat secara tidak langsung telah meminta
Tuminah untuk merahasiakan hubungannya dengan Pejabat sebab Pejabat tetap ingin
dikenal sebagai tokoh masyarakat yang “bersih” di depan rakyat. Pejabat juga terlihat
masih ingin mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat yang
terpandang dan menghindari dirinya diturunkan dari pangkat (214). Posisi Tuminah
sebagai PSK langganan Pejabat tidak akan ada kemajuan sebab Pejabat tidak boleh
beristri dua. Tuminah tidak bisa berharap terlalu banyak dari Pejabat untuk
memperoleh perbaikan ekonomi. Tuminah akan tetap menjadi anggota urban miskin
yang dibayar sebagai PSK langganan dan berada di bawah kendali Pejabat yang ingin
menjaga reputasinya. Dalam hal ini Pejabat telah membuat ketimpangan dengan
menunjukkan keberadaan dirinya sebagai anggota masyarakat kelas atas yang tetap
harus dijaga nama baiknya sehingga tetap terlihat jelas adanya perbedaan kelas sosial
antara Pejabat dan Tuminah.
Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa korupsi dan eksploitasi
kemiskinan (215). Pejabat berusaha agar dana dari luar negeri dapat segera diperoleh
dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Pejabat juga memanfaatkan
kemiskinan rakyat agar bisa mendapat keuntungan untuk diri sendiri. Selain itu,
pemerintah sebenarnya telah melakukan pembatasan terhadap potensi masyarakat
yang seharusnya dibina dan diberi keterampilan agar dapat bekerja dengan layak
257
sehingga nanti dapat memberi pemasukan bagi perekonomian negara. Pejabat sempat
menawar agar dia diberi keuntungan pribadi yang diambil dari dana bantuan luar
negeri itu. Hal ini menunjukkan bahwa Pejabat merupakan perwakilan pihak
pemerintah yang tidak sungkan melakukan korupsi. Pejabat telah menggunakan
kekuasaan yang berlebih sehingga dia merasa berhak memakai dana bantuan luar
negeri untuk kepentingannya sendiri.
Pejabat dalam presentasinya menjelaskan rencana pembangunan yang akan
dilakukan pihak pemerintah nanti dengan dana bantuan dari luar negeri tersebut
(216). Namun, di sisi lain sebenarnya Pejabat telah lupa apa yang sebenarnya
dibutuhkan oleh masyarakat. Kebanyakan rakyat menginginkan mereka bisa lepas
dari kemiskinan. Sebenarnya pemerintah telah melakukan kekerasan struktural berupa
campurtangan yang terlalu banyak sehingga menghilangkan otonomi masyarakat. Hal
ini ditunjukkan melalui Pejabat sebagai pihak pemerintah ternyata kurang bijak
menentukan apa yang menjadi prioritas dalam program pembangunan, sehingga
kebutuhan pokok masyarakat menjadi luput dari perhatian pemerintah.
Ada juga para waria yang terancam harus pindah dari tempat mangkal mereka
karena di tempat tersebut akan dibangun terminal kabel (217). Dalam percakapan
para waria dengan petugas dapat diketahui bahwa para waria telah mengalami
kekerasan struktural berupa campurtangan pihak pemerintah sehingga mereka
kehilangan otonomi atau kemampuan untuk menentukan tujuan bagi diri sendiri yang
berkaitan dengan nasib mereka. Jika para waria diminta pindah tentu saja hal itu akan
berpengaruh terhadap pekerjaan mereka sebab dengan kewajiban untuk pindah ini
258
berarti para waria harus kehilangan tempat kerja mereka dan terpaksa mencari tempat
mangkal lain. Melalui percakapan antara para waria dengan petugas sebenarnya
terdapat diskriminasi terhadap kelompok waria karena pekerjaan sebagai waria
sekaligus pelacur dianggap kurang sehat dan dapat mengganggu kehidupan
masyarakat di sekitar. Namun, sebenarnya diskriminasi ini muncul sebab pemerintah
belum bisa memberikan solusi bagi para waria. Di satu sisi pihak pemerintah ingin
para waria menghentikan kegiatan melacur mereka, tapi di sisi lain pemerintah
mewajibkan mereka mencari jalan keluar sendiri sebab pada kenyataannya
pemerintah tidak memberikan tindakan apapun sebagai solusi. Selain itu, para waria
juga dapat mengetahui bahwa pejabat sering melakukan kekerasan struktural berupa
korupsi. Para waria ini mengetahui bahwa pejabat melakukan korupsi karena para
waria telah mengalami dampak kekerasan struktural ini. Jika pemerintah korupsi,
maka rakyat kecil yang dirugikan.
Ternyata para waria tidak mau mengikuti keinginan petugas untuk
menyanggupi pindah dari tempat mangkal mereka (218). Di dalam keributan ini
petugas menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun hanya untuk
mengancam para waria. Kekerasan struktural berupa ancaman ini terwujud karena
adanya pemakaian kekuasaan berlebih oleh petugas, sehingga petugas merasa boleh
menggunakan senjata api secara sembarangan walaupun dengan alasan untuk
melindungi diri. Peluru petugas mengenai Julini yang saat itu tidak terlibat dalam
keributan dan menyebabkan Julini mati.
259
Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan para waria menjadi sangat
marah. Mereka mengalami dampak dari kekerasan struktural yaitu ketimpangan
sosial. Mereka sebagai anggota urban miskin telah disingkirkan seakan-akan mereka
tidak boleh mendapat pembelaan apapun dari siapa saja. Semua yang dialami oleh
kaum urban miskin adalah dampak dari kekerasan struktural berupa diskriminasi
kelas sosial yang dilakukan oleh kelas atas sebagai pihak yang lebih kuat (219).
Roima dan para waria ke rumah Pejabat adalah untuk meminta
pertanggungjawaban Pejabat agar segera menindak pelaku penembakan Julini dengan
memberi hukuman yang setimpal (220). Namun, setelah mendapat pengaduan dari
Roima sikap Pejabat malah mengesankan bahwa Pejabat tidak begitu peduli dengan
nasib kaum urban miskin. Hal ini menunjukkan Pejabat telah melakukan kekerasan
struktural lewat ketidakpeduliannya itu. Bagi Pejabat, kasus yang menimpa kaum
urban miskin bukan menjadi urusannya dan Pejabat terlihat cenderung mengabaikan
keselamatan nyawa masyarakat urban miskin.
Pelaku penembakan Julini adalah bawahan Pejabat yang saat itu bertugas
patroli (221). Berawal dari laporan anak buahnya, Pejabat mulai melakukan
kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban miskin. Pejabat yang
semula menjanjikan akan mengusut pelaku penembakan Julini, tentu saja tidak jadi
mengusut pelaku penembakan Julini. Jika pelaku penembakan dibawa ke pengadilan,
Pejabat jelas juga ikut dibawa sebagai orang pertama yang harus bertanggung jawab
atas tindakan anak buahnya. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat
adalah tidak adil dalam persoalan hukum. Ketika tadi berhadapan dengan Roima,
260
Pejabat sempat meyakinkan Roima bahwa pelaku penembakan akan diberi hukuman
yang setimpal. Namun, setelah mengetahui bahwa pelaku penembakan adalah anak
buahnya sendiri, Pejabat tentu saja tidak akan membawa bawahannya ke pengadilan
agar reputasinya tidak jatuh.
Pejabat juga berusaha dia tetap mendapat simpati masyarakat (222). Agar
wibawanya di depan rakyat banyak tetap terjaga, tidak disalahkan oleh orang banyak,
dan demi mempertahankan nama baik di depan lawan politiknya; Pejabat akhirnya
mengikuti apa saja kemauan masyarakat urban miskin, termasuk mendirikan
monumen untuk memperingati kematian Julini.
Beberapa waktu setelah insiden penembakan Julini, terjadi peristiwa
kebakaran yang menimpa kompleks PSK milik Tarsih (223). Kebakaran ini oleh para
penghuni kompleks PSK dianggap sebagai sabotase pemerintah sebab para penghuni
mengetahui rencana penggusuran kompleks PSK pernah digagalkan oleh Tarsih.
Akhirnya dengan dipimpin oleh Roima, para penghuni PSK memutuskan pergi
menghadap Pejabat untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa kebakaran ini.
Para penghuni kompleks PSK meminta penjelasan mengenai peritiwa
kebakaran (224). Namun, Pejabat merespon kedatangan mereka dengan kemarahan.
Pejabat menganggap peristiwa kebakaran ini sebagai musibah, bukan sabotase. Di
dalam percakapannya dengan Roima, Pejabat sempat menjanjikan akan mendirikan
bagunan baru sebagai tempat tinggal para PSK. Melalui pernyataannya itu, sekali lagi
Pejabat melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban
miskin sebab tidak ada jaminan bahwa nantinya Pejabat akan membangun tempat
261
baru untuk para penghuni kompleks PSK. Sikap Pejabat memperlihatkan adanya
ketimpangan sosial yang tajam antara kelas atas dan kelas bawah sebab Pejabat tidak
sungguh-sungguh berniat membantu menyelesaikan permasalahan para urban miskin.
Kaum urban miskin tetap merasa bahwa peristiwa kebakaran itu adalah
sabotase pihak tertentu dan memaksa Pejabat untuk mengusut tuntas kasus ini.
Hingga “Opera Kecoa” selesai, Pejabat tidak pernah mewujudkan janjinya untuk
membangun bangunan baru di tempat bekas kebakaran. Hal ini menunjukkan bahwa
Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa kebohongan kepada kaum urban
miskin. Selain itu, Pejabat juga tidak memberikan ganti rugi apapun kepada korban
kebakaran ini (225). Akibat jarak yang cukup besar antarkelas sosial, maka peluang
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik bagi kelas sosial yang lebih rendah akan
semakin berkurang dan mereka tetap berada di bawah kendali kelas atas sebagai
pihak yang kuat.
3.3 Kekerasan Struktural dalam Drama “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)
“Opera Julini” menceritakan hubungan antara dua tingkatan dalam
masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum
urban miskin yang diwakili oleh Roima, Tuminah, dan Tibal. Dalam trilogi bagian
ketiga ini berbagai bentuk kekerasan struktural semakin memperlihatkan dampaknya
terhadap kaum urban miskin. Berikut akan diuraikan analisis kekerasan struktural
dalam “Opera Julini”.
262
3.3.1 Kekerasan Struktural terhadap Roima
Kekerasan struktural telah lama dialami oleh Roima. Roima kehilangan
otonominya sebagai anggota urban miskin sehingga dia tidak bisa menentukan nasib
bagi dirinya sendiri. Hingga saat ini Roima tetap berada dalam kemiskinan bukan
karena kegagalannya sendiri dalam usaha meningkatkan perekonomian, tapi lebih
disebabkan oleh pemerintah yang mengalami kegagalan dalam merencanakan
pembangunan. Pemerintah sebagai institusi yang telah ditunjuk untuk mengatur dan
mengarahkan masyarakat ternyata belum mampu membantu kelas bawah dalam
memecahkan permasalahan ekonomi mereka. Kutipan (226) merupakan dampak
kemiskinan yang dialami oleh Roima. Karena miskin, Roima mengorganisir
kelompok bandit dan merencanakan untuk menguasai perekonomian di wilayah yang
dia tempati. Salah satu akibat kemiskinan Roima adalah munculnya kriminalitas yang
tinggi, termasuk rencana para bandit untuk mengacau kota dengan cara merampok,
menjarah.
(226) ROIMA: Pada saatnya nanti kita bukan lagi bandit-bandit kasar yang bisanya cuma berkelahi. Kita akan menguasai ekonomi negeri ini. Dengan
organisasi yang rapi dan ketat, dengan modal yang kuat, saya yakin rencana kita kita pasti terwujud. Inilah janji saya; pasti datang satu
masa, nanti, kalian akan menjadi orang terhormat, orang yang dihargai, bukan lagi kecoa yang cuma berani merangkak di bawah kaki
orang lain. (hlm. 308)
Dari kutipan (226) juga dapat diketahui bahwa Roima mempunyai impian
untuk bisa mengubah kelas sosialnya. Dengan cara menguasai perekonomian, Roima
ingin suatu saat dia dan anggota urban miskin lainnya tidak lagi menjadi bagian dari
263
kelas bawah, tapi akan menjadi bagian dari masyarakat kelas atas sehingga mereka
akan lebih dihargai oleh masyarakat kelas atas. Kekerasan struktural juga
menyebabkan Roima mengalami ketimpangan sosial sehingga dia selalu disingkirkan
oleh masyarakat kelas atas karena status sosialnya. Selama Roima masih menjadi
anggota urban miskin, maka Roima akan selalu dibatasi haknya untuk memperoleh
kesejahteraan oleh masyarakat kelas atas.
Roima pun juga telah mengalami sedikit perubahan dalam mencari nafkah.
Roima yang semula hanya seorang pengangguran kini telah bekerja sebagai anggota
kelompok bandit dan memperoleh pendapatan dari pekerjaannya sebagai bandit.
Kemiskinan juga akan tetap menjadi keseharian Roima karena bagaimanapun juga
kelas sosial Roima tidak akan mengizinkan Roima diterima oleh masyarakat yang
berkelas sosial lebih tinggi. Dalam kutipan (227) sangat terlihat bahwa Roima
merupakan korban kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah berupa
peniadaan keikutsertaan Roima dalam menentukan nasibnya sendiri sehingga Roima
harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam
hal ini terdapat pengendalian dari kelas atas kepada kelas bawah untuk menentukan
kehidupan bersama dalam masyarakat.
(227) ROIMA: Aku tahu untuk apa aku kerja keras. Hanya kuda atau kerbau saja yang
tidak tahu untuk apa kerja keras. Kita kaya sekarang. Memang. Tapi apa bisa mengangkat diri kita ke dalam kalangan terhormat?
TUMINAH:
Apa kamu gila hormat?
ROIMA:
264
Aku belum selesai omong. Kita ini orang rendah, karena kita bandit-bandit kasar yang hanya mengandalkan tinju dan belati. Kehormatan? Apa itu tidak penting untuk orang-orang macam kita yang selama ini
‘ngumpet di dalam comberan?
TIBAL: Sudah, sudah.
ROIMA:
Apa kamu tidak ingin suatu saat nanti, kita bisa bergaul dengan kalangan jas dan dasi itu, membicarakan golf, lukisan dan turunnya
harga minyak di pasaran dunia? Aku ingin. Aku ingin suatu saat nanti, kita satu meja makan dengan kalangan jas
dan dasi itu, membicarakan macam-macam soal, tanpa malu-malu. Kita sedang bergerak ke arah itu. Masa kita tidak mau belajar? Kita orang bodoh, tapi kita punya kesempatan untuk jadi orang pintar.
Jangan sia-siakan. Kita punya uang sebagai modal. Kita tidak ingin terus-menerus jadi kuda tunggangan. Kita harus jadi majikan.
(hlm. 336)
Dari kutipan (227) Roima sebagai anggota urban miskin pun mempunyai
impian bahwa suatu saat dia bisa dihargai oleh masyarakat kelas atas, bukan hanya
karena Roima telah mampu meningkatkan pendapatan, tapi Roima ingin dihargai
lebih karena dia merasa bahwa dirinya masih menjadi bagian dari masyarakat luas.
Selain itu, Roima ingin dia dan kaum urban miskin juga belajar hidup bermasyarakat
dengan orang banyak. Roima tidak mau selamanya menjadi orang bodoh yang hanya
dikendalikan oleh masyarakat kelas atas saja. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya
Roima tengah mengalami dampak kekerasan struktural berupa ketimpangan
pendapatan, produktivitas, dan yang tidak kalah penting adalah masyarakat kelas
bawah jarang yang tersentuh oleh pendidikan. Melalui kutipan di atas secara tidak
langsung Roima menginginkan kesamaan dalam pendidikan dengan masyarakat kelas
265
atas. Roima dan anggota urban miskin lainnya telah dibatasi kesempatannya untuk
menentukan kehidupan bersama kelas sosial yang lebih tinggi.
3.3.2 Kekerasan Struktural terhadap Tuminah
Kutipan (228) menceritakan Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun
ternyata telah menjadi PSK profesional. Selain menjadi PSK, Tuminah juga menjadi
pengawas kantor urusan bordil milik Tibal-Roima. Walaupun Tuminah termasuk
sudah mendapat sedikit peningkatan penghasilan dari pekerjaannya ini, sebenarnya
Tuminah tetap akan berada dalam kemiskinan dan tidak mungkin berubah status
sosialnya. Tuminah tetap akan dianggap sebagai anggota masyarakat kelas bawah.
Hal ini menunjukkan pemerintah yang telah melakukan kekerasan struktural berupa
diskriminasi bahwa kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berhak
mendapat kehidupan lebih baik. Pemerintah juga tidak mengusahakan adanya
pembinaan dan pendidikan agar mereka dapat diterima di tengah masyarakat luas.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengikutsertakan kaum urban
miskin menjadi bagian dari program pembangunan sebagai kelompok masyarakat
yang perlu dikembangkan potensinya dan sebagai individu yang mandiri agar mereka
bisa meningkatkan kesejahteraan melalui pekerjaan yang sesuai dengan keahlian
mereka.
(228) TUMINAH: Memang aku ingin hidup senang, apa tidak boleh? Aku ingin
menikmati apa saja yang kita miliki sekarang, apa tidak boleh? 10 tahun jadi cabo, pengalaman jelek untukku. Apa sekarang setelah kaya, kita juga harus tetap sengsara? Lalu untuk apa ini semua,
266
ditabung? Siapa nanti yang akan menikmati? Aku makan rezeki yang ada di tangan, aku tidak mengharapkan yang masih di angan-angan.
Apa itu salah? (hlm. 335)
Dari kutipan (228) Tuminah tetap akan dianggap sebagai salah satu sumber
kesulitan dalam masyarakat karena pekerjaannya sebagai PSK. Bagi masyarakat,
kelompok PSK adalah kelompok yang tidak pernah diberi kesempatan untuk
menentukan kesepakatan hidup bersama dalam suatu relasi kemasyarakatan karena
pekerjaan sebagai PSK adalah salah satu pekerjaan yang dianggap negatif dan
menimbulkan pengaruh buruk bagi masyarakat. Secara tidak langsung, Tuminah juga
telah didiskriminasikan oleh masyarakat yang mempunyai kelas sosial lebih tinggi
dan harus disingkirkan. Dengan adanya penolakan dari masyarakat terhadap
Tuminah, maka pemerintah pun juga akan menolak keberadaan Tuminah dalam
masyarakat luas. Salah satu bentuk penolakan pemerintah adalah melalui kekerasan
struktural, yaitu pembatasan terhadap potensi Tuminah. Seharusnya pemerintah
masih bertanggung jawab terhadap keberadaan Tuminah sebab Tuminah dan
kaumnya masih menjadi bagian dari masyarakat. Pemerintah belum pernah
mengadakan pembinaan bagi para PSK atau memberikan pembelajaran keterampilan
tertentu sesuai dengan kebutuhan anggota masyarakat kelas bawah agar bisa
digunakan dalam pekerjaan yang lebih layak. Kadang pemerintah menggunakan dinas
sosial untuk memberikan pembinaan terhadap PSK, tapi kekerasan struktural akan
tetap muncul sebab pemerintah belum bisa membuka lapangan kerja yang cukup
memadai agar bisa menampung keterampilan para PSK. Di sini pemerintah masih
267
sering melakukan diskriminasi kelas sosial dengan cara menyempitkan lapangan kerja
bagi masyarakat kelas bawah melalui anggapan bahwa keterampilan yang dimiliki
oleh kelas bawah sangat terbatas. Kekerasan struktural yang dilakukan pemerintah ini
dapat mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan serta produktivitas suatu
kelompok masyarakat.
3.3.3 Kekerasan Struktural terhadap Tibal
Kutipan (229) menceritakan situasi Tibal di tengah kekacauan kota yang
dibuat oleh kelompoknya. Pengacauan kota ini merupakan salah satu bentuk dampak
kemiskinan yang terus-menerus dialami oleh Tibal. Tibal merasa bahwa dengan
melakukan kerusuhan di kota, maka dia bisa mendapat kekayaan yang nanti bisa
mengubah status sosialnya. Kemiskinan, ketimpangan pendapatan, terbatasnya
produktivitas, kurangnya pendidikan merupakan dampak dari kekerasan struktural
yang pernah dirasakan oleh Tibal. Bagi Tibal, dengan mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya dia bisa menyamai masyarakat kelas atas. Namun, seandainya
Tibal bisa mendapat keuntungan yang banyak, Tibal tidak akan bisa menyamakan
kedudukan dengan masyarakat kelas atas sebab Tibal masih kalah dalam pendidikan,
kemampuan mengelola pendapatan, terbatasnya kemampuan untuk produktif sebab
kelas sosial Tibal bukanlah kelompok pemegang modal sehingga kondisi struktural
tidak akan memberi banyak keuntungan Tibal, serta tidak memiliki kesempatan untuk
menentukan cara hidup bersama. Selain itu, keinginan Tibal untuk membuat
kerusuhan di kota menyebabkan Tibal merasa harus merebut jabatan dari Roima
268
sebagai pemimpin kelompok bandit. Tibal menginginkan kekuasaan penuh sebagai
pimpinan kelompok bandit. Hal ini merupakan perpecahan dalam kelompok bandit
karena Tibal tergesa-gesa untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya.
(229) TIBAL: Tidak perlu pikirkan Roima lagi, yang sudah mati biarkan mati. Kita memang harus membalas dendam apa yang sudah mereka lakukan
terhadap kita. Kamu lihat, api di kejauhan? Itu adalah pertanda gerakan kelompok kita dimulai. Hari ini, mereka bergerak di seluruh
pelosok kota. Semua orang kita berkumpul di sini, untuk bikin kerusuhan. Dalam keadaan kacau segalanya bisa terjadi. Dan kita tinggal mengeruk keuntungan. Kita akan menguasai semuanya,
Tuminah. Kamu dan aku. Tidak ada lagi orang yang akan menghina kita. Tidak akan ada lagi, inilah cita-citaku sejak aku keluar dari
penjara. (hlm. 430)
Kutipan (230) merupakan puncak kekalahan kelompok bandit. Kutipan ini
menunjukkan bahwa Pejabat benar-benar menggunakan kedudukannya sebagai pihak
yang berkuasa untuk menundukkan kelompok bandit. Tindakan Pejabat ini
menunjukkan kekerasan struktural sebab Pejabat membuat ketimpangan sosial antara
kelas atas yang memiliki kekuasaan dominan dengan kelas bawah yang dianggap
selalu berada dalam kendali kelas atas.
(230) TIBAL: Kenapa kemari. Kamu kan aku suruh jaga markas?
BONAR:
Kita mampus, Bos. Mampus. Tiga puluh truk tentara dan tank-tank baja mengepung kita.
(TERDENGAR SUARA LEDAKAN, BERUNTUN DUA KALI.
LALU BLEKI MELINTAS SAMBIL TERIAK-TERIAK)
BLEKI: Bos Tibal, Bos, di mana kamu? Bos?
269
BAJENET: Ledakan itu asalnya dari markas kita. Mampus kita semua.
TIBAL:
Anjing. Tempe. Warisan dari Kumis, mental kere. Kita bergerak habis-habisan. Orang macam kita, mati juga tidak apa-apa. Tidak ada yang
menangisi kematian kita. Tidak ada pilihan lain selain menggigit. Kalau tidak, kita mampus. Ayo, ikuti aku, Bajenet, Bonar. Kita akan
bergerak terus, di bawah tanah! Ayo! (hlm. 431)
Pada akhir kutipan (230) Tibal secara tidak langsung menyatakan bahwa dia
dan kaum urban miskin tidak mempunyai arti apapun bagi pemerintah, kecuali hanya
sebagai sumber kesulitan yang perlu disingkirkan. Pernyataan Tibal memperlihatkan
bahwa kaum urban miskin tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan
nasibnya sendiri.
3.3.4 Kekerasan Struktural oleh Pejabat
“Opera Julini” diawali dengan Pejabat yang sedang melakukan jogging
dengan asisten pribadinya. Keduanya melewati sebuah kawasan kumuh yang saat itu
sedang dalam proses penggusuran. Dari kutipan (231) diceritakan para penghuni
kawasan kumuh Lokasari benar-benar sudah tidak punya rumah karena daerah tempat
tinggal mereka tengah digusur. Penggusuran ini merupakan salah satu cara
pemerintah melakukan kekerasan struktural, sebab penggusuran menyebabkan para
penghuni Lokasari tidak punya hak untuk menentukan tempat tinggal lagi, serta hak
untuk mengembangkan daerah yang mereka tempati juga ikut hilang. Kekerasan
struktural ini terjadi karena pemerintah mengatasnamakan diri sebagai perwakilan
270
kelas atas yang mempunyai wewenang lebih untuk mengatur kelas sosial yang lebih
rendah atau dengan kata lain kekuasaan untuk memutuskan hak kepemilikan sebuah
daerah tempat tinggal telah dimonopoli oleh sekelompok orang saja. Penggusuran ini
merupakan wujud kekuasaan pemerintah yang melewati batas sehingga massa bawah
menjadi kehilangan peluang yang seharusnya mempunyai akses sama untuk
menentukan kehidupan bersama.
Penggusuran ini memperlihatkan adanya ketimpangan sosial sebab
masyarakat kelas bawah terkesan selalu disisihkan dan tidak diberi hak untuk menjadi
bagian dari masyarakat luas. Pemerintah sebagai institusi yang seharusnya mampu
mengatur dan mengarahkan kehidupan seluruh lapisan masyarakat ternyata belum
bisa memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tempat tinggal, terutama tempat
tinggal bagi masyarakat urban miskin. Sikap pemerintah ini sebenarnya telah
memperlihatkan gejala kegagalan dalam perencanaan pembangunan. Selama
kekerasan struktural masih ada, masyarakat yang menjadi pihak lemah akan selalu
hidup dalam kesenjangan yang semakin tajam dan serba kekurangan, bukan hanya
kekurangan dalam hal yang berkaitan dengan tempat tinggal; tapi juga kekurangan
dalam pendapatan, kesehatan, produktivitas, pendidikan, dan kekuasaan.
(231) PEJABAT: Ya, sudah, kita ikuti saja dulu apa maunya kaki kita. Lho? Jo, Jo. Kok
kita masuk daerah kumuh, Jo? Wah, edan ini.
(DARI JALAN RAYA KEDUANYA BERBELOK KE ARAH GANG-GANG BECEK YANG BAU BACIN)
Apa yang ada di depan kita, Paijo?
271
ASPRI: Sampah yang menggunung, Pak.
PEJABAT:
Di samping kiri kita?
ASPRI: Jembatan roboh, Pak.
PEJABAT:
Gubuk-gubuk itu, siapa penghuninya?
ASPRI: Rakyat kita, Pak. Kebanyakan mereka tak punya KTP.
PEJABAT:
Anak-anak itu mengapa sepagi ini berkeliaran tanpa celana dan baju? Apa tidak kedinginan?
ASPRI:
Makan saja sulit, apalagi beli pakaian.
PEJABAT: Mau apa mereka sepagi ini berkeliaran?
ASPRI:
Maaf, Pak, bukannya berkeliaran. Memang kawasan ini jadi tempat tinggal mereka. Artinya, mereka tidak punya rumah. Jadi, mereka ada
di dalam rumah mereka sendiri, Pak.
PEJABAT: Di kolong langit, begitu?
ASPRI: Ya, Pak.
PEJABAT:
Jadi itu semua kenyataan? Bukan bualan para seniman saja?
ASPRI: Kenyataan, Pak. Kenyataan.
PEJABAT:
272
Mengapa tidak pernah dilaporkan?
ASPRI: Ya tidak. Kalau dilaporkan, nanti Bapak marah.
(MEREKA TERUS JOGGING)
PEJABAT:
Banyak traktor dan pasukan anti huru-hara. Ada apa, Paijo?
ASPRI: Penggusuran, Pak.
Kawasan ini memang pantas digusur, sebab dianggap sebagai sumber kemaksiatan.
PEJABAT:
Apa nama kawasan itu, Paijo?
ASPRI: Lokasari, Pak.
PEJABAT:
Apa? Lokasari? Itu kawasan sengketa. Dan di pengadilan, Pemda dinyatakan kalah perkara. Kok masih terus dibongkar?
ASPRI:
Ah, mana mungkin Pemda bisa kalah, Pak? Ada-ada saja. (hlm. 297-299)
Pada kutipan (231) juga diceritakan bahwa pihak pemda mengalami kalah
perkara dalam perebutan kawasan Lokasari. Namun, sekali lagi pemerintah daerah
menggunakan kedudukannya sebagai pihak yang lebih kuat untuk mengalahkan pihak
yang lemah sehingga walaupun sudah dinyatakan kalah perkara, kawasan Lokasari
tetap digusur sesuai dengan keinginan pemda. Padahal seharusnya kawasan tersebut
batal digusur karena sudah menjadi hak milik masyarakat kelas bawah yang
menghuni di kawasan tersebut. Masyarakat kelas bawah tetap mengalami kekalahan
273
sebab kekuasaan untuk mengatur wilayah telah dimonopoli oleh pemda. Dalam hal
ini pemda telah melakukan kekerasan struktural berupa peniadaan partisipasi anggota
kelas bawah dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka sendiri. Selain itu,
pemda juga melakukan campurtangan yang berlebih sehingga menghilangkan
otonomi masyarakat kelas bawah.
Pejabat dalam kutipan (232) secara tidak langsung telah mengakui bahwa dia
selama ini telah melakukan kekerasan struktural terhadap masyarakat kelas bawah,
termasuk kepada kaum urban miskin. Dalam ucapannya, Pejabat mengakui bahwa dia
telah mendiskriminasikan masyarakat kelas bawah. Selama ini Pejabat juga tidak
pernah mempedulikan kaum urban miskin. Selain itu, Pejabat juga pernah
menghilangkan partisipasi kaum urban miskin dalam menentukan nasib sendiri,
terlalu campurtangan sehingga masyarakat urban miskin kehilangan otonomi mereka,
menghalangi massa bawah yang seharusnya mempunyai akses untuk menentukan
hidup bersama, dan mengeksploitasi kemiskinan masyarakat kelas bawah untuk
mendapat keuntungan diri sendiri serta mencari aman bagi posisinya.
(232) PEJABAT: Lalu, apa yang selama ini sudah kulakukan? Sibuk dengan berkas-berkas rencana anggaran? Seminar dan penataran demi masa depan
gemilang. Lalu apa yang sudah kulakukan demi masa depan sekarang? Dan pertanyaan itu berulang-ulang nongol di kepalaku. Lalu aku tak bisa menemukan jawabannya. Lalu tiba-tiba aku merasa dunia gelap. Aku buta seketika karena ngeri dan nyeri. Selama ini aku ada dalam
gedung, dalam kantor, dalam mobil, dalam hotel. Aku hanya mendengar kemiskinan lewat buku-buku dan koran dan selalu merasa
itu hanyalah ulah mereka yang iri dan dengki, berita yang dibesar-besarkan. Sekarang aku sudah melihatnya, dan langsung buta karena sadar tidak mampu berbuat apa-apa. Karena aku seluruhnya bukan
milikku lagi. Tanganku, kakiku, mulutku harus kumanfaatkan semata-
274
mata demi keutuhan korps. Demi kesatuan dan persatuan. Intinya, aku cuma wayang. Demikian yang terjadi, baru sekarang kusadari.
(hlm. 331)
Kutipan (232) memaparkan Pejabat yang sedang mengalami sakit mata. Sakit
mata yang diderita Pejabat merupakan simbol bahwa selama ini Pejabat telah
menutup mata terhadap nasib rakyat kecil, termasuk kaum urban miskin. Pejabat
merasa bahwa apa yang selama ini yang dia kerjakan benar dan telah membantu
pembangunan. Namun, ternyata dalam proses pembangunan Pejabat menganggap
keberadaan masyarakat urban miskin tidak memberikan pengaruh apapun untuk
pembangunan negara, kecuali hanya sebagai sumber kesulitan negara.
Roima dan Tibal telah diketahui oleh Pejabat bahwa mereka berdua adalah
pimpinan komplotan bandit. Dalam kutipan (233) Pejabat berencana menumpas
kelompok bandit. Dari kutipan ini juga diketahu bahwa Pejabat telah melakukan
kekerasan struktural terhadap kaum urban miskin. Kekerasan struktural yang
dilakukan Pejabat adalah kebohongan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tindak
lanjut dari Pejabat untuk mengusut kasus kebakaran yang menimpa komples PSK
Tarsih sepuluh tahun yang lalu. Padahal saat Roima dan para penghuni kompleks
PSK datang ke rumah Pejabat, Pejabat sempat menjanjikan akan mencari pelaku
kasus kebakaran ini. Kebohongan yang kedua adalah Pejabat akan membuatkan
bangunan baru di tempat bekas kebakaran itu, tapi hingga kini ternyata bangunan
yang dijanjikan akan diberikan kepada kaum urban miskin tersebut tidak pernah
terwujud. Kekerasan struktural lain yang dilakukan oleh Pejabat adalah ketidakadilan
dalam hukum. Di sini Pejabat tidak mengusut kasus penembakan Julini. Pejabat
275
hanya membuatkan patung untuk memperingati kematian Julini tanpa mencari pelaku
penembak Julini. Pejabat juga tidak mengajukan kasus penembakan Julini ke
pengadilan sebab yang menembak Julini adalah anak buah Pejabat sendiri. Demi
menjaga nama baik maka Pejabat berusaha menyembunyikan kasus ini dari publik.
(233) PAIJO: Baik, Pak.
(MENGAMBIL BUKU, MEMBALIK HALAMAN TERAKHIR)
Kesimpulan: 1. Komplotan Kumis memang bangkit lagi, sekarang dipimpin oleh
Tibal dan Roima.
PEJABAT: Stop. Tibal dan Roima, rasanya aku pernah dengar nama itu.
PAIJO:
Mereka berdua yang memimpin wadam-wadam demonstrasi ke kantor kita sekitar 10 tahun yang lalu. Kemudian Bapak mengeluarkan
keputusan untuk mendirikan patung salah seorang wadam yang mati kena peluru nyasar.
PEJABAT:
Betul. Tidak salah lagi. Dua orang itu juga yang memimpin keributan dan menuduhku membakar kompleks pelacuran. Sudah lama sekali,
dan mereka menghilang seperti ditelan bumi. (hlm. 370-371)
Kekerasan struktural yang dilakukan Pejabat merupakan bentuk penindasan
dari kelas atas terhadap kelas bawah. Dalam hal ini Pejabat menggunakan jabatannya
untuk mendiskriminasikan kelas bawah. Pejabat menganggap bahwa kasus-kasus
yang menimpa kaum urban miskin bukanlah permasalahan yang penting bagi Pejabat.
Pejabat tidak memberikan kesempatan bagi urban miskin untuk mendapat pembelaan
dalam permasalahan yang sebenarnya menyudutkan para urban miskin.
276
Pejabat akhirnya memerintahkan anak buahnya untuk menumpas kelompok
bandit. Bagi Pejabat, kelompok bandit telah terlalu mengacau keadaan kota. Dalam
kutipan (234) Pejabat menginginkan kelompok bandit ditumpas dengan cara apa saja.
Secara tidak langsung Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa
penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber kesulitan
pemerintah. Pejabat menggunakan kedudukannya sebagai elit politik yang
mempunyai pengaruh besar sehingga berusaha menyingkirkan kelompok yang lebih
lemah tingkatannya. Dalam rencana penumpasan kelompok bandit ini Pejabat seakan-
akan memperbolehkan segala cara untuk menumpas para bandit, maka cara-cara ini
nantinya termasuk penggunaan kekerasan fisik seperti penangkapan orang-orang
yang dianggap berbahaya serta penggunaan senjata untuk mengatasi para pengacau.
Di sisi lain, Pejabat tidak memikirkan jalan damai dengan cara yang lebih lunak agar
dapat menghindari kekerasan fisik.
Melalui kutipan di bawah juga ditunjukkan bahwa Pejabat memang
memikirkan nasib sebagian besar masyarakat yang mengalami dampak dari
kekacauan akibat tindakan para bandit. Namun, di sisi lain Pejabat justru belum
memikirkan nasib kaum urban miskin yang menjadi anggota kelompok bandit akibat
mengalami kekerasan struktural yang berkepanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa
Pejabat tidak pernah menganggap kaum urban miskin sebagai bagian dari seluruh
masyarakat yang ada di bawah tanggung jawab pemerintah dan perlu diperbaiki
sistem perekonomiannya.
(234) PEJABAT:
277
Setan. Apa pangkatmu berani memerintah aku? Laporan kalian sudah saya terima, nanti akan diperiksa. Perintah sudah aku turunkan untuk
menumpas habis komplotan bandit, apa lagi yang ditunggu? Semuanya jelas.
POLISI-1: (TAKUT)
Ya, Pak, baik, Pak.
PEJABAT: Komplotan bandit, siapa pun mereka, tetap akan membuat rakyat resah. Kita ini pejabat negara, dibayar oleh uang rakyat, bertugas
membikin aman tenteram rakyat. Paham? Pakai fasilitas apa saja yang kalian butuhkan untuk menumpas bandit-bandit itu. Besok surat
perintahnya akan diturunkan oleh Pak Paijo. Paham? (hlm. 372)
Kutipan (235) menunjukkan kelompok bandit telah dikalahkan oleh aparat
pemerintah. Hal ini menujukkan adanya wewenang yang berlebih dari pemerintah
sehingga kaum urban miskin seakan-akan hanya asal ditumpas tanpa tujuan.
Pemerintah setidaknya harus mempersiapkan rencana untuk membina para bandit
yang tertangkap, atau memberi tempat tinggal yang layak dan membuka lapangan
kerja bagi mereka agar mereka menjadi orang-orang yang dihargai oleh kelas sosial
yang lebih tinggi.
(235) ASPRI: Tidak perlu kuatir lagi. Bantuan datang. Tentara sudah mengepung
markas bandit-bandit itu. Kerusuhan ini, kata komandan tentara, bukan kerusuhan besar. Mereka jamin, dua atau tiga jam, kota bisa
dikendalikan lagi.
ISTRI: Bagus. Syukur tentara bisa bergerak secepat itu. Syukur mereka selalu
waspada.
ASPRI:
278
Kerusuhan ini nampaknya serentak di beberapa kota. Tapi organisasi mereka kurang rapi. Terkesan masih amatiran. Malah tidak kelihatan
siapa yang jadi pemimpin mereka.
PEJABAT: Pokoknya apa saja lakukan, asal kota aman dan stabil. Dan kalian
berdua, tunggu ganjarannya kalau semua sudah aman. Minggat kalian! (hlm. 432-433)
Setelah kerusuhan dapat diredakan, Pejabat meminta mundur dari jabatannya.
Namun, pengunduran diri Pejabat ternyata ditolak oleh Menteri. Pejabat justru diberi
kenaikan pangkat. Dari kutipan (236) dapat diketahui bahwa kekerasan struktural
tidak akan berhenti begitu saja. Apalagi istri Pejabat menyatakan bahwa para
pemimpin kelompok urban miskin tidak berhasil ditangkap. Para pemimpin urban
miskin diperkirakan akan terus melakukan kekacauan sebab mereka belum mendapat
perbaikan ekonomi, sosial, dan mereka belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas
atas sebagai bagian dari masyarakat luas. Selain itu, Pejabat sebagai pihak pemerintah
juga belum menemukan jalan keluar bagi permasalahan ekonomi sosial yang
menimpa kaum urban miskin. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan terus-menerus
antara kelas atas dan kelas bawah sehingga menyebabkan siklus kekerasan struktural
tidak akan pernah terputus. Kekerasan struktural dapat terus terjadi walaupun di masa
yang akan datang pemimpin kelompok urban miskin dan orang yang menjadi pejabat
pemerintahan telah berganti berkali-kali. Kekerasan struktural akan tetap dianggap
wajar dan telah menjadi bagian dari struktur masyarakat sehingga para pelaku
kekerasan struktural tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh para
korbannya. Ketika kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat
279
memacu timbulnya kekerasan balik yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
Kelas bawah dapat menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar
belakang ekonomi yang semakin terpuruk kelas bawah seringkali mengandalkan
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering
disisihkan dari pembangunan.
(236) PEJABAT: Demikian, seperti yang tadi sudah saya laporkan Bapak Menteri, saya
sudah gagal. Kerusuhan terjadi justru dalam masa jabatan saya. Biarpun akhirnya kerusuhan itu bisa ditumpas, tapi tanggung jawab
tetap ada di pundak saya. Saya tidak sanggup lagi menjabat jadi penguasa ibukota ini. Inilah surat pengunduran diri saya.
ISTRI:
Untung ada saya, Bapak Menteri. Kalau tidak, kota bisa kacau balau. Bandit-bandit itu bisa ditumpas. Sayang pentolan-pentolannya kabur. Tapi untuk sementara ibukota aman, Pak. Saya sangat bertanggung jawab terhadap segala macam
urusan suami saya. Sayalah tulang punggung suami saya. Kalau tidak ada saya, bisa payah
dia....
MENTERI: Bagus. Begitulah seharusnya tugas seorang istri. Dan surat
pengunduran diri saudara, ditolak mentah-mentah. Kami justru sudah menyediakan medali penghargaan untuk saudara dan mengurus
kenaikan pangkat saudara. Tidak ada lagi calon lain yang lebih cocok selain saudara. Urus ibukota ini baik-baik.
(hlm. 440)
Kesimpulan analisis kekerasan struktural dalam “Opera Julini” adalah dalam
trilogi bagian ketiga ini terdapat hubungan antara dua tingkatan dalam masyarakat,
yaitu pemerintah sebagai kelas atas dengan tokoh Pejabat dan kaum urban miskin
yang diwakili oleh Roima, Tuminah, dan Tibal.
280
Dalam trilogi bagian ketiga ini berbagai bentuk kekerasan struktural semakin
memperlihatkan dampaknya terhadap kaum urban miskin. Kekerasan struktural telah
lama dialami oleh Roima. Roima telah kehilangan otonominya sebagai anggota urban
miskin sehingga dia tidak bisa menentukan nasib bagi dirinya sendiri. Hingga saat ini
Roima tetap berada dalam kemiskinan bukan karena kegagalannya sendiri dalam
usaha meningkatkan perekonomian, tapi lebih disebabkan oleh pemerintah yang
mengalami kegagalan dalam merencanakan pembangunan. Pemerintah sebagai
institusi yang seharusnya mampu mengatur dan mengarahkan masyarakat ternyata
belum bisa membantu kelas bawah dalam memecahkan permasalahan ekonomi
mereka. Untuk mengatasi kemiskinannya dan mewujudkan impiannya agar diakui
masyarakat kelas atas, Roima mengorganisir kelompok bandit (226).
Roima yang semula hanya seorang pengangguran kini telah memperoleh
pendapatan dari pekerjaannya sebagai bandit. Namun, kemiskinan akan tetap menjadi
keseharian Roima sebab bagaimanapun juga kelas sosial Roima tidak akan
mengizinkan Roima diterima oleh masyarakat yang berkelas sosial lebih tinggi (227).
Roima merupakan korban kekerasan struktural yang dilakukan oleh pemerintah
berupa peniadaan keikutsertaan Roima dalam menentukan nasibnya sendiri sehingga
Roima harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh kelas sosial yang lebih tinggi.
Dalam hal ini terdapat pengendalian dari kelas atas kepada kelas bawah untuk
menentukan kehidupan bersama dalam masyarakat. Roima tidak mau selamanya
menjadi orang bodoh yang hanya dikendalikan oleh masyarakat kelas atas saja. Hal
ini menunjukkan bahwa sebenarnya Roima tengah mengalami dampak kekerasan
281
struktural berupa ketimpangan pendapatan, produktivitas, dan yang tidak kalah
penting adalah masyarakat kelas bawah jarang yang tersentuh oleh pendidikan.
Tuminah yang tidak memiliki keahlian apapun ternyata telah menjadi PSK
prfesional (228). Walaupun Tuminah sudah mendapat sedikit peningkatan
penghasilan dari pekerjaannya ini, sebenarnya Tuminah tetap akan berada dalam
kemiskinan dan tidak mungkin berubah status sosialnya. Hal ini menunjukkan
pemerintah yang telah melakukan kekerasan struktural berupa diskriminasi bahwa
kaum urban miskin bukanlah kelompok masyarakat yang berhak mendapat kehidupan
lebih baik. Tuminah tetap akan dianggap sebagai salah satu sumber kesulitan dalam
masyarakat karena pekerjaannya sebagai PSK. Secara tidak langsung, Tuminah telah
didiskriminasikan oleh masyarakat yang mempunyai kelas sosial lebih tinggi dan
harus disingkirkan. Dengan adanya penolakan dari masyarakat terhadap Tuminah,
maka pemerintah pun juga akan menolak keberadaan Tuminah dalam masyarakat
luas. Salah satu bentuk penolakan pemerintah adalah melalui kekerasan struktural,
yaitu pembatasan terhadap potensi Tuminah. Seharusnya pemerintah masih
bertanggung jawab terhadap keberadaan Tuminah sebab Tuminah dan kaumnya
masih menjadi bagian dari masyarakat.
Pengacauan kota merupakan salah satu bentuk dampak kemiskinan yang
terus-menerus dialami oleh Tibal (229), (230). Kemiskinan, ketimpangan pendapatan,
terbatasnya produktivitas, kurangnya pendidikan merupakan dampak dari kekerasan
struktural yang pernah dirasakan oleh Tibal. Bagi Tibal, dengan mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya dia bisa menyamai masyarakat kelas atas. Namun,
282
seandainya Tibal bisa mendapat keuntungan yang banyak, Tibal tidak akan bisa
menyamakan kedudukan dengan masyarakat kelas atas sebab Tibal masih kalah
dalam pendidikan, kemampuan mengelola pendapatan, terbatasnya kemampuan untuk
produktif sebab kelas sosial Tibal bukanlah kelompok pemegang modal sehingga
kondisi struktural tidak akan memberi banyak keuntungan Tibal, serta tidak memiliki
kesempatan untuk menentukan cara hidup bersama.
“Opera Julini” diawali dengan gambaran proses penggusuran kawasan
Lokasari. Penggusuran ini merupakan salah satu cara pemerintah melakukan
kekerasan struktural, sebab penggusuran menyebabkan para penghuni Lokasari tidak
punya hak untuk menentukan tempat tinggal lagi, serta hak untuk mengembangkan
daerah yang mereka tempati juga ikut hilang (231). Kekerasan struktural ini terjadi
karena pemerintah mengatasnamakan diri sebagai perwakilan kelas atas yang
memonopoli hak kepemilikan sebuah daerah tempat tinggal. Sikap pemerintah ini
sebenarnya telah memperlihatkan gejala kegagalan dalam perencanaan pembangunan.
Selama kekerasan struktural masih ada, masyarakat yang menjadi pihak lemah akan
selalu hidup dalam kesenjangan yang semakin tajam dan serba kekurangan, bukan
hanya kekurangan dalam hal yang berkaitan dengan tempat tinggal; tapi juga
kekurangan dalam pendapatan, kesehatan, produktivitas, pendidikan, dan kekuasaan.
Pihak pemda sebenarnya mengalami kalah perkara dalam perebutan kawasan
Lokasari. Namun, sekali lagi pemerintah daerah menggunakan kedudukannya sebagai
pihak yang lebih kuat untuk mengalahkan pihak yang lemah sehingga walaupun
sudah dinyatakan kalah perkara, kawasan Lokasari tetap digusur sesuai dengan
283
keinginan pemda (231). Dalam hal ini pemda telah melakukan kekerasan struktural
berupa peniadaan partisipasi anggota kelas bawah dalam mengambil keputusan
tentang nasib mereka sendiri. Selain itu, pemda juga melakukan campurtangan yang
berlebih sehingga menghilangkan otonomi masyarakat kelas bawah.
Pejabat secara tidak langsung telah mengakui bahwa dia selama ini telah
melakukan kekerasan struktural terhadap masyarakat kelas bawah, termasuk kepada
kaum urban miskin (232). Dalam ucapannya, Pejabat mengakui bahwa dia telah
mendiskriminasikan masyarakat kelas bawah, tidak pernah mempedulikan kaum
urban miskin, menghilangkan partisipasi kaum urban miskin dalam menentukan nasib
sendiri, terlalu campurtangan sehingga masyarakat urban miskin kehilangan otonomi
mereka, menghalangi massa bawah yang seharusnya mempunyai akses untuk
menentukan hidup bersama, dan mengeksploitasi kemiskinan masyarakat kelas
bawah untuk mendapat keuntungan diri sendiri serta mencari aman bagi posisinya.
Roima dan Tibal telah diketahui oleh Pejabat bahwa mereka berdua adalah
pimpinan komplotan bandit (233) sehingga Pejabat berencana menumpas kelompok
bandit. Pejabat sebenarnya telah melakukan kekerasan struktural terhadap kaum
urban miskin berupa kebohongan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tindak
lanjut dari Pejabat untuk mengusut kasus kebakaran yang menimpa komples PSK
Tarsih sepuluh tahun yang lalu. Kebohongan yang lain adalah Pejabat akan
membuatkan bangunan baru di tempat bekas kebakaran itu, tapi hingga kini ternyata
bangunan yang dijanjikan akan diberikan kepada kaum urban miskin tersebut tidak
pernah terwujud. Kekerasan struktural lainnya yang dilakukan oleh Pejabat adalah
284
ketidakadilan dalam hukum. Di sini Pejabat tidak mengusut kasus penembakan Julini
sebab yang menembak Julini adalah anak buah Pejabat sendiri. Demi menjaga nama
baik maka Pejabat berusaha menyembunyikan kasus ini dari publik. Pejabat tidak
memberikan kesempatan bagi urban miskin untuk mendapat pembelaan dalam
permasalahan yang sebenarnya menyudutkan para urban miskin.
Pejabat menginginkan kelompok bandit ditumpas dengan cara apa saja (234).
Secara tidak langsung Pejabat telah melakukan kekerasan struktural berupa
penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai sumber kesulitan
pemerintah. Pejabat menggunakan kedudukannya sebagai elit politik yang
mempunyai pengaruh besar sehingga berusaha menyingkirkan kelompok yang lebih
lemah tingkatannya.
Pejabat benar-benar menggunakan kedudukannya sebagai pihak yang
berkuasa untuk menundukkan kelompok bandit (235). Tindakan Pejabat ini
menunjukkan kekerasan struktural sebab Pejabat membuat ketimpangan sosial antara
kelas atas yang memiliki kekuasaan dominan dengan kelas bawah yang dianggap
selalu berada dalam kendali kelas atas. Kaum urban miskin tidak pernah diberi
kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri dan ada wewenang yang berlebih
dari pemerintah sehingga kaum urban miskin seakan-akan hanya asal ditumpas tanpa
tujuan.
Setelah kerusuhan dapat diredakan, Pejabat meminta mundur dari jabatannya.
Namun, pengunduran diri Pejabat ternyata ditolak oleh Menteri. Pejabat justru diberi
kenaikan pangkat (236) dan hal ini dapat berarti kekerasan struktural tidak akan
285
berhenti begitu saja. Apalagi istri Pejabat menyatakan bahwa para pemimpin
kelompok urban miskin tidak berhasil ditangkap. Para pemimpin urban miskin
diperkirakan akan terus melakukan kekacauan sebab mereka belum mendapat
perbaikan ekonomi, sosial, dan mereka belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas
atas sebagai bagian dari masyarakat luas. Kekerasan struktural akan tetap dianggap
wajar dan telah menjadi bagian dari struktur masyarakat sehingga para pelaku
kekerasan struktural tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh para
korbannya. Ketika kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat
memacu timbulnya kekerasan balik yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
Kelas bawah dapat menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar
belakang ekonomi yang semakin terpuruk kelas bawah seringkali mengandalkan
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering
disisihkan dari pembangunan. Pada akhirnya siklus kekerasan tidak akan dapat
terputus.
3.4 Rangkuman
Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini kaum
urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak secara langsung pelaku kekerasan
struktural karena ketika kekerasan ini terjadi kebanyakan korbannya menganggap
bahwa hal yang mereka alami sudah wajar terjadi dalam kehidupan mereka dan
dalam hubungan sosial mereka sehingga bagi kaum urban miskin bentuk kekerasan
ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari kekerasan inilah yang
286
akan sangat mereka rasakan. Dalam drama trilogi Opera Kecoa terdapat dua
tingkatan anggota masyarakat, yaitu pemerintah sebagai pelaku kekerasan struktural
yang diwakili oleh Bleki, Kumis, Camat, dan Pejabat; serta kaum urban miskin
sebagai penderita kekerasan struktural yang diwakili oleh Tarsih, Tibal, Julini,
Roima, Abung, Tuminah. Pada “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) para korban
kekerasan struktural adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Tarsih, Abung; sedangkan
pelaku kekerasan struktural yaitu Bleki, Kumis, Camat. Dalam “Opera Kecoa”
(trilogi bagian kedua) para korban kekerasan struktural yaitu Julini, Roima, Tibal,
Tuminah, Tarsih; sedangkan pelaku kekerasan struktural adalah Pejabat. Pada “Opera
Julini” (trilogi bagian ketiga) korban-korban kekerasan struktural yaitu Roima,
Tuminah, Tibal; sedangkan pelaku kekerasan struktural yaitu Pejabat. Rangkuman
kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa terdiri atas pembagian pelaku,
penyebab, penderita dan bentuk kekerasan, serta akibat kekerasan struktural yang
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2: Rangkuman Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa
No Pembagian Trilogi
Pelaku Penyebab Bentuk Akibat
Bleki Penggunaan ke-kuasaan secara berlebih
Terhadap Tarsih: -Ancaman agar mengi-kuti keinginan Bleki
-Hilangnya partisipasi un-tuk menentu-kan nasib diri sendiri
1 “Bom Waktu” (Trilogi Bagian Pertama)
Kumis -Penggunaan ke-kuasaan secara
Terhadap Julini dan Roima:
-Ketimpangan pendapatan
287
berlebih -Eksploitasi kemiskin-an Terhadap Tibal: -Eksploitasi kemis-kinan untuk mendapat untung yang banyak -Pengendalian dengan cara memberi imbalan berupa izin berladang dengan syarat bagi ha-sil ladang -Korupsi dengan me-minta bagian dari hasil ladang Terhadap Tuminah: -Eksploitasi kemiskin-an -Penggusuran sebagai bentuk penghilangan hak tempat tinggal -Intimidasi -Pengendalian dengan memberi imbalan la-dang dan rumah tidak akan digusur asal Tu-minah memberikan keperawanannya -Penipuan karena la-dang dan rumah Tu-minah tetap digusur walaupun keperawan-annya sudah diberi-kan kepada Kumis
-Kesejahteraan tidak merata -Pengembang-an potensi in-dividu terham-bat
Camat -Ketidaksamaan struktur sosial -Perekonomian yang tidak me- rata -Dominasi
Terhadap Tarsih: -Ketidakpedulian da-lam mengusahakan perbaikan perekono-mian -Penghilangan ke-
-Hilangnya kemampuan menentukan nasib sendiri, termasuk da-lam memilih
288
kekuasaan mampuan untuk me-nentukan nasib diri sendiri -Pembatasan dalam memilih pekerjaan -Kerusakan solidaritas melalui ketimpangan pendapatan, pekerjaan -Penipuan melalui janji perbaikan nasib Terhadap Abung: -Kerusakan solidaritas -Penghilangan partisi-pasi untuk menentu-kan nasib diri sendiri, termasuk menentukan kehidupan perekonomian indi-vidu dan tempat ting-gal -Penipuan tentang ren-cana penggusuran Terhadap urban miskin umum: -Kerusakan solidaritas dengan hanya memin-ta simpati rakyat -Penipuan dengan janji akan memperbaiki ka-wasan kumuh menjadi tempat tinggal yang la-yak huni -Pemaksaan, intimi-dasi melalui bongkar paksa “rumah” para urban miskin -Diskriminasi hak po-litik saat pemilu
pekerjaan dan tempat tinggal -Ketimpangan sosial ekono-mi -Kesejahteraan tidak merata -Hubungan antarkelas so-sial renggang -Hilangnya hak urban mis-kin sebagai pemilih dalam pemilu
289
2 “Opera Kecoa” (Trilogi Bagian Kedua)
Pejabat -Ketidaksamaan struktur sosial -Dominasi ke-kuasaan/penggu-naan kekuasaan secara berlebih, termasuk pem-berian wewe-nang kepada ba-wahan -Penggunaan jabatan untuk memperoleh keuntungan
Terhadap Tarsih: -Ancaman penggu-suran kompleks PSK -Pembatasan dalam menentukan nasib sen-diri, baik dalam me-nentukan tempat ting-gal maupun pekerjaan Terhadap Julini: -Tidak ada pemberian keahlian khusus untuk mendapat pekerjaan layak -Diskriminasi oleh kelas atas Terhadap Tibal dan Roima: -Tidak adanya ganti rugi setelah penggu-suran -Pembatasan potensi individu untuk me-ngembangkan diri da-lam pekerjaan yang layak Terhadap Tuminah: -Penggusuran tanpa mendapat ganti rugi -Pengendalian dengan pemberian imbalan de-ngan memberikan ke-sejahteraan untuk Tu-minah agar hubungan Pejabat–Tuminah ti-dak diketahui publik Terhadap urban miskin umum: -Wajib pajak cukup
-Ketimpangan sosial karena penggunaan jabatan untuk mencari aman -Hilangnya hak untuk mendapat tempat tinggal -Hilangnya peluang indi-vidu untuk mendapat penghasilan -Ketimpangan ekonomi/pen-dapatan -Kemampuan mengembang-kan diri secara pribadi seba-gai anggota urban miskin menjadi ter-batas -Hilangnya otonomi kelas bawah dalam menentukan kesepakatan hidup bersama dalam masya-rakat
290
tinggi yang tidak di-imbangi dengan per-baikan ekonomi -Lapangan kerja be-lum cukup tersedia -Pembatasan potensi karena tidak ada pem-berian keahlian dan keterampilan yang bi-sa dipakai dalam pe-kerjaan yang layak -Korupsi melalui eks-ploitasi kemiskinan agar mendapat untung dari dana luar negeri -Campurtangan terlalu banyak sehingga me-lupakan kebutuhan masyarakat -Diskriminasi terhadap waria karena peker-jaan mereka -Ketidakpedulian ter-hadap nasib urban miskin dalam kasus kematian Julini dan kebakaran kompleks PSK milik Tarsih -Ketidakadilan dalam hukum karena tidak mengusut pelaku penembakan Julini dan pelaku pembakaran kompleks PSK -Penipuan melalui janji pengusutan kasus Julini dan kebakaran kompleks PSK yang akhirnya tidak ditepati Pejabat
291
3 “Opera Julini” (Trilogi Bagian Ketiga)
Pejabat -Monopoli ke- kuasaan -Ketidaksamaan struktur sosial
Terhadap Roima: -Penghilangan otono-mi sebagai urban mis-kin dalam menentu-kan nasib sendiri -Diskriminasi kelas sosial dengan tidak adanya lapangan kerja bagi urban miskin -Pengendalian oleh kelas atas dalam me-nentukan kehidupan bersama, sehingga ke-las bawah kehilangan peluang Terhadap Tuminah: -Diskriminasi kelas sosial dengan tidak adanya pemberian ker-ja bagi kelas bawah sebab Tuminah hanya seorang PSK -Pembatasan potensi individu Terhadap Tibal: -Pendidikan kurang diperhatikan -Diskriminasi kelas sosial Terhadap urban miskin umum: -Penggusuran sebagai pembatasan hak men-dapat tempat tinggal -Peniadaan partisipasi kelas bawah dalam mengambil keputusan tentang nasib mereka -Campurtangan berle-
-Ketimpangan ekonomi -Kurangnya produktivitas -Kurangnya pendidikan bagi kelas ba-wah -Pengacauan situasi kota oleh kelas ba-wah karena ti-dak mendapat perhatian pe-merintah -Kemiskinan -Hubungan antarkelas so-sial renggang -Kekuasaan yang dimiliki tiap kelas so-sial tidak se-imbang
292
bih yang menghilang-kan otonomi urban -Akses massa bawah menentukan hidup bersama masih ter-hambat -Eksploitasi kemis-kinan untuk mendapat untung -Penipuan dengan janji pengusutan kasus Ju-lini dan kebakaran kompleks PSK yang tidak pernah terbukti -Penghilangan seke-lompok masyarakat, dalam hal ini kelom-pok bandit yang di-anggap sebagai sum-ber kesulitan
Hingga akhir trilogi Opera Kecoa urban miskin belum mendapat perbaikan
ekonomi, sosial, dan belum bisa dihargai oleh masyarakat kelas atas sebagai bagian
dari masyarakat luas. Kekerasan struktural akan tetap dianggap wajar dan telah
menjadi bagian dari struktur masyarakat, sehingga para pelaku kekerasan struktural
tidak dapat dikenali sekaligus dilacak secara langsung oleh korbannya. Ketika
kekerasan struktural terjadi terus-menerus, maka hal itu dapat memacu timbulnya
kekerasan balik yang dilakukan oleh massa bawah. Kelas bawah dapat menjadi
sasaran tindak kekerasan oleh kelas atas, tapi dengan latar belakang ekonomi yang
semakin buruk kelas bawah seringkali mengandalkan kekerasan sebagai cara untuk
293
menyelesaikan masalah sebab mereka merasa sering disisihkan dari pembangunan.
Pada akhirnya siklus kekerasan tidak akan terputus.
294
BAB IV
PENUTUP
Dalam bab IV ini penulis akan mengemukakan dua hal, yaitu kesimpulan
hasil analisis dan saran bagi penelitian selanjutnya. Berikut akan dipaparkan
kesimpulan hasil analisis tokoh dan penokohan yang meliputi kesimpulan pembagian
tokoh menurut peran dalam perkembangan plot, penokohan para tokoh drama trilogi
Opera Kecoa, perubahan karakter tokoh-tokoh drama trilogi Opera Kecoa. Kemudian
juga akan dipaparkan hasil analisis latar yang terdiri atas latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial dalam drama trilogi Opera Kecoa; dan dilanjutkan dengan pemaparan
hasil analisis kekerasan struktural dalam drama trilogi Opera Kecoa; serta diakhiri
dengan saran dari penulis.
4.1 Kesimpulan Hasil Analisis Drama Trilogi Opera Kecoa
4.1.1 Kesimpulan Tokoh dan Penokohan dalam Drama Trilogi Opera Kecoa
Kesimpulan umum analisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam drama
trilogi Opera Kecoa meliputi pembedaan tokoh berdasar peran tokoh dalam
perkembangan plot pada masing-masing bagian trilogi; penokohan tiap tokoh dalam
bagian-bagian trilogi; serta perkembangan karakter beberapa tokoh yang terlihat
dalam tiap bagian trilogi.
295
4.1.1.1 Pembagian Tokoh Menurut Peran dalam Perkembangan Plot
Tokoh berdasar peran tokoh dalam perkembangan plot pada tiap bagian trilogi
dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dalam “Bom
Waktu” (trilogi bagian pertama) para tokoh protagonis terdiri dari Julini, Roima,
Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Tokoh antagonis adalah Kumis, Bleki, dan
Camat. “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) mempunyai tokoh protagonis yaitu
Julini, Roima, Tarsih, Tibal, dan Tuminah; sedangkan tokoh antagonis adalah
Pejabat. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) tokoh protagonis terdiri dari
Roima, Tibal, dan Tuminah; tokoh antagonis adalah Pejabat.
4.1.1.2 Penokohan Para Tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
Penokohan para tokoh secara umum akan disimpulkan berdasarkan setiap
bagian trilogi. Penokohan dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) akan
diuraikan sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung,
Tarsih, Kumis, Bleki, dan Camat. Penokohan para tokoh akan dipaparkan sebagai
berikut.
Julini adalah waria yang mempunyai kekasih seorang lelaki, yaitu Roima, dan
mereka tinggal dalam satu gubuk seperti sepasang suami-istri. Julini berprofesi
sebagai PSK sehingga bersikap genit, suka merayu lelaki, dan seringkali
menggunakan istilah waria dalam percakapan dengan tokoh lain. Julini yang merasa
dirinya seorang wanita memiliki sifat pasrah dan perasa, serta mempunyai impian
untuk menikah dengan Roima.
296
Roima, seorang pengangguran sekaligus pacar Julini, bersifat pemarah,
gegabah dalam mengambil keputusan; sedangkan sikap dan perkataannya sering
kasar. Dia juga mudah cemburu jika Julini merayu atau membicarakan lelaki lain.
Roima merupakan orang yang mudah pasrah kepada nasib, agak susah menentukan
pilihan. Beberapa kali Roima diminta Julini untuk menikah, tapi Roima belum bisa
menentukan sikap. Namun, pada akhirnya Roima bersedia menikahi Julini karena
cintanya kepada Julini.
Tibal, kakak kandung Tuminah, berasal dari desa dan datang ke Jakarta
karena ingin menjadi petani kota. Tibal yang lugu sangat menyayangi Tuminah dan
selalu berusaha menjaga harga diri mereka. Namun, ketika proses penggusuran
kawasan kumuh, Tibal berubah menjadi orang yang pemarah dan pendendam sebab
ditipu oleh pemda.
Tuminah, adik Tibal, adalah gadis cantik, lugu, pemalu, dan sangat menurut
kepada Tibal. Tuminah merasa telah membantu Tibal dengan cara menyerahkan
keperawanannya kepada Kumis agar ladang garapan Tibal tidak ikut digusur.
Tuminah yang lugu pada akhirnya ternyata mudah ditipu oleh Kumis sehingga
Tuminah tetap menjadi korban penggusuran.
Abung merupakan satu-satunya penghuni kawasan kumuh yang selalu tinggal
di pepohonan. Abung juga diperkirakan sebagai salah satu urban miskin yang berasal
dari luar kota Jakarta, yaitu dari daerah di sekitar Pulau Jawa, kemungkinan berasal
dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari
bahasa Jawa bercampur dengan bahasa Indonesia yang digunakan Abung dalam
297
percakapannya dengan tokoh lain. Dia sering berbicara sendiri mencari hakikat
persoalan hidup mengenai nasib buruk kaum urban miskin yang tidak pernah
berubah. Abung yang semula hanya bicara sendiri, sewaktu proses penggusuran
untuk pertama kalinya dia berbicara kepada tokoh lain dan mengamuk sehingga
akhirnya dia ditembak mati oleh petugas.
Tarsih adalah PSK tercantik yang menjadi langganan Kumis dan Camat.
Tarsih mempunyai keinginan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Keinginan itu terwujud ketika Tarsih menjadi istri muda Camat. Namun, status
sebagai istri muda Camat tidak berlangsung lama karena Tarsih diusir oleh istri tua
Camat.
Kumis berperan sebagai komandan hansip kawasan kumuh yang takut
sekaligus patuh kepada Camat. Kumis senang mencari keuntungan untuk diri sendiri,
merasa paling berkuasa di kawasan kumuh, memanfaatkan kelemahan orang lain,
mencari aman untuk dirinya sendiri, dan suka mengumbar janji.
Bleki digambarkan sebagai anak buah Kumis yang selalu menuruti perkataan
Kumis dan tidak segan mengancam para penghuni kawasan kumuh dengan senjata.
Dia termasuk orang yang suka mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mudah
dipengaruhi oleh Kumis.
Camat adalah orang yang sering menjanjikan sesuatu kepada para penghuni
kawasan kumuh, berpura-pura simpati terhadap keadaan para PSK, dan sebagai orang
yang sudah beristri dia tidak malu memakai jasa PSK. Camat juga digambarkan
sering memanfaatkan jabatan untuk mengendalikan orang lain. Sewaktu proses
298
penggusuran Camat tidak mau bertanggung jawab atas nasib kaum urban miskin yang
menjadi korban penggusuran.
Penokohan dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) akan dipaparkan
sesuai dengan para tokoh, yaitu Julini, Roima, Tarsih, Tibal, Tuminah, dan Pejabat.
Penokohan para tokoh akan dijelaskan sebagai berikut.
Julini pada saat lima tahun setelah peristiwa penggusuran kembali lagi ke
kawasan kumuh yang pernah menjadi tempat tinggalnya dulu. Dia menempati sepetak
tanah kosong sebagai “rumahnya” dan bekerja lagi sebagai PSK. Dari penghasilan
sebagai PSK ditambah dengan penghasilan Roima, Julini bisa memiliki
perekonomian yang lebih baik. Julini juga terlihat mulai mudah cemburu ketika
Roima dekat dengan wanita lain. Dalam suatu razia di daerah pelacuran, Julini mati
terkena peluru nyasar. Setelah kematiannya, Julini dianggap sebagai pahlawan kaum
waria.
Roima yang bersifat mudah cemburu dan pengangguran akhirnya dengan
bantuan Tuminah dapat bekerja dalam kelompok bandit pimpinan Kumis. Di samping
itu, Roima mulai memiliki kedekatan dengan Tuminah sehingga membuat Julini
cemburu. Setelah insiden penembakan Julini, Roima berubah menjadi orang yang
sangat peduli kepada nasib kaum urban miskin dan tidak gegabah dalam mengambil
keputusan.
Tarsih menjadi pimpinan kompleks PSK. Hal ini membuat Tarsih menjadi
orang yang keras kepala mempertahankan kawasannya. Selain itu, Tarsih mulai
menjadi tidak mudah percaya kepada orang lain.
299
Tibal adalah bekas napi. Dia merupakan orang yang bersifat egois, nekat, dan
pendendam.
Tuminah mempunyai ketakutan terhadap Tibal karena Tuminah telah menjadi
PSK tanpa sepengetahuan Tibal. Sebagai PSK profesional, Tuminah merupakan
langganan Pejabat. Di samping itu, Tuminah termasuk orang yang peduli kepada
teman dan sempat mencarikan pekerjaan untuk Roima sehingga mereka mempunyai
hubungan dekat.
Pejabat digambarkan sebagai orang yang selalu ingin mencari aman untuk diri
sendiri dan melakukan korupsi dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.
Penokohan dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) akan dijelaskan
sesuai dengan para tokoh, yaitu Roima, Tibal, Tuminah, dan Pejabat. Penokohan para
tokoh akan dipaparkan sebagai berikut.
Roima menggantikan Kumis sebagai pemimpin kelompok bandit. Roima
selalu bertindak hati-hati dalam merencanakan sesuatu dan ingin punya kehidupan
yang lebih baik. Selain itu, Roima sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal
dalam memimpin kelompok bandit sehingga akhirnya Roima mati dibunuh oleh Tbal.
Roima juga masih masih mencintai Julini walaupun Roima sempat dekat dengan
Tuminah.
Tibal adalah pemimpin kelompok bandit dan termasuk orang yang gegabah
dalam mengambil keputusan. Di samping itu, Tibal sering berselisih paham dengan
Roima dan akhirnya membunuh Roima agar bisa menjadi satu-satunya pemimpin
kelompok bandit.
300
Tuminah mulai gemar berdandan dan berfoya-foya sehingga cenderung tidak
peduli pada keadaan di sekitarnya. Selain itu, Tuminah juga menjadi pengelola kantor
urusan bordil milik Tibal-Roima. Tuminah merasa tidak lagi dicintai oleh Roima.
Pejabat, tokoh masyarakat yag tidak pernah mengetahui keadaan kaum urban
miskin yang sebenarnya, tiba-tiba mengalami sakit mata setelah melewati kawasan
kumuh. Ketika sakit mata, semua wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya
sehingga Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat. Sesudah
beberapa lama menderita sakit mata, akhirnya Pejabat mengakui kesalahannya selama
menjalankan tugas pemerintahan dan mengundurkan diri dari jabatan, tapi justru
pengunduran dirinya ditolak oleh Menteri.
4.1.1.3 Perubahan Karakter Tokoh-tokoh Drama Trilogi Opera Kecoa
Dalam drama trilogi Opera Kecoa beberapa tokoh mengalami perubahan
karakter. Perubahan karakter ini terlihat dalam tiap bagian trilogi. Beberapa tokoh
yang mengalami perubahan karakter adalah Julini, Roima, Tibal, Tuminah, Abung,
Tarsih, Kumis, Bleki, dan Pejabat; sedangkan satu-satunya tokoh yang tidak
mengalami perubahan karakter adalah Camat. Perubahan karakter setiap tokoh akan
dijelaskan sebagai berikut.
Julini dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) bersifat pasrah, perasa,
mencintai Roima, merasa dirinya satu-satunya “wanita” yang dicintai Roima,
perkonomian kurang mapan. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Julini
pencemburu, merasa Roima tidak lagi mencintainya, kehidupan perekonomian Julini
301
menjadi lebih baik karena penghasilan sebagai PSK ditambah penghasilan Roima.
Akhirnya Julini ditembak mati petugas.
Roima dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) adalah seorang
pengangguran, pasrah pada nasib, cenderung kurang peduli pada keadaan di
sekitarnya. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Roima mempunyai
pekerjaan sebagai bandit anak buah Kumis, lebih peduli pada kaum urban miskin
setelah kematian Julini, dekat dengan Tuminah, mudah mempengaruhi Tibal. Roima
menjadi pimpinan kelompok bandit menggantikan Kumis dalam “Opera Julini”
(trilogi bagian ketiga), punya tekat mengubah kehidupannya dan kaum urban miskin
lain menjadi lebih baik, sering mengalami ketidakcocokan dengan Tibal dan mati
dibunuh Tibal.
Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Tibal bersifat lugu, pasrah pada
nasib. Pada akhir “Bom Waktu” berubah menjadi pemarah, pendendam karena ditipu
Pemda dan nekat membunuh petugas penggusuran. Tibal, bekas napi, dalam “Opera
Kecoa” (trilogi bagian kedua) menjadi pendendam, egois, nekat membunuh Kumis
karena dendam. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) Tibal, pemimpin
kelompok bandit, sering merasa tidak cocok dengan Roima dan nekat membunuh
Roima. Tibal juga tergesa-gesa mengerjakan sesuatu sehingga kelompok bandit
mengalami kehancuran.
Tuminah lugu, pemalu, pendiam dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian
pertama). Mudah ditipu Kumis, sehingga menyerahkan keperawanannya. Dalam
“Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Tuminah menjadi PSK profesional, langganan
302
Pejabat, dekat dengan Roima. Tuminah cenderung tidak peduli pada keadaan sekitar,
lebih suka berfoya-foya dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) serta hubungan
dengan Roima renggang.
Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Abung merupakan satu-satunya
tokoh yang menyadari nasib buruk kaum urban miskin, selalu menanyakan persoalan
hidup yang menimpa kaum urban miskin. Semula Abung lebih suka berbicara dengan
diri sendiri. Namun, pada akhir “Bom Waktu” untuk pertama kalinya Abung
berbicara kepada tokoh lain. Abung mati ditembak petugas penggusuran.
Dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) Tarsih merupakan PSK yang
mudah terbujuk oleh Camat untuk menjadi istri muda. Belum lama Tarsih menjadi
istri muda, ia diusir oleh istri tua Camat. Tarsih tidak mudah percaya kepada orang
lain karena merasa pernah ditipu oleh Camat dan menjadi keras kepala dalam “Opera
Kecoa” (trilogi bagian kedua). Tarsih mati dalam kebakaran kompleks PSK.
Kumis dan Bleki dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) adalah aparat
keamanan pemda yang bertugas di kawasan kumuh. Kumis sebagai kepala keamanan;
sedangkan Bleki adalah anak buah Kumis. Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian
kedua) Kumis dan Bleki telah menjadi bagian dari kawanan bandit. Kumis menjabat
sebagai kepala komplotan bandit; sedangkan Bleki sebagai anggota kelompok bandit.
Kumis mati dibunuh Tibal.
Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) Pejabat menginginkan
perselingkuhannya dengan Tuminah tidak terbongkar masyarakat. Pejabat cenderung
tidak peduli dengan nasib kaum urban miskin, tidak sungkan korupsi dengan
303
mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga)
Pejabat mengalami sakit mata sebagai simbol bahwa selama bertugas sebagai
pemerintah Pejabat tidak pernah mau melihat keadaan masyarakat kelas bawah.
Perselingkuhan Pejabat dengan Tuminah telah diketahui oleh istri Pejabat. Selama
Pejabat menderita sakit mata, wewenang Pejabat diambil alih oleh istrinya, sehingga
Pejabat kehilangan otoritas sebagai pemimpin masyarakat. Karena sakit mata Pejabat
merasa sudah tidak mampu lagi bertugas dan mengundurkan diri dari jabatan.
4.1.2 Kesimpulan Latar Drama Trilogi Opera Kecoa
Latar dalam drama trilogi Opera Kecoa dapat disimpulkan secara
keseluruhan. Kesimpulan ini meliputi pembagian latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial dalam tiap bagian trilogi; yaitu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama), “Opera
Kecoa” (trilogi bagian kedua), dan “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga). Kesimpulan
tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.
4.1.2.1 Latar Tempat Drama Trilogi Opera Kecoa
Latar tempat “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) terdiri atas tempat tinggal
kaum urban miskin yang berdekatan dengan tempat orang-orang kelas menengah ke
atas, tempat pelacuran di atas tanggul sungai, gubuk-gubuk urban miskin, pepohonan
sebagai “rumah” Abung, kantor hansip, dan kantor Camat.
Latar tempat “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) yaitu emperan Plaza
Monumen sebagai tempat tinggal sementara Julini-Roima sesudah kembali dari desa.
304
Di sekitar Plaza Monumen terdapat dua kawasan yang bertolak belakang, yaitu
kawasan hasil pembangunan pemda dan kawasan kumuh yang luput dari perhatian
pembangunan. Dekat kawasan kumuh juga ada lapangan golf milik pemerintah. Latar
tempat yang mewakili lokasi kaum urban miskin adalah markas para bandit, daerah
pelacuran para waria, sekitar patung Julini, dan Plaza Julini; serta rumah Pak Pejabat.
“Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) berlatar tempat jalanan ibukota dan
kawasan kumuh Lokasari. Selain itu, ditampilkan juga markas besar dan markas
rahasia para bandit, kantor urusan bordil milik Tibal-Roima, daerah sekitar Plaza
Julini, dan patung Julini.
4.1.2.2 Latar Waktu Drama Trilogi Opera Kecoa
Latar waktu “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disebutkan pagi, siang,
sore, dan malam. Latar waktu lainnya ditandai dengan suatu peristiwa, yaitu
menjelang pemilu. Di samping itu, waktu juga dapat dirunut dengan penanggalan.
Urutan tanggal ini dimulai dengan peristiwa pemberian mandat “pembersihan”
kawasan kumuh oleh Camat kepada Kumis dalam rangka rencana kunjungan
Gubernur ke kawasan tersebut. Kunjungan Gubernur akan dilaksanakan pada tanggal
1 Maret, sedangkan mandat ini diberikan tiga bulan sebelum kunjungan, yaitu tanggal
1 Desember. Kumis mengumumkan mandat dari Camat seminggu setelah mandat
diturunkan atau semunggu sesudah tanggal 1 Desember, yaitu tanggal 8 Desember.
Sebagai bentuk “pembersihan” kawasan kumuh, para penghuni kawasan diminta
pindah paling lambat satu bulan sesudah pengumuman Kumis atau satu bulan setelah
305
tanggal 8 Desember, yaitu tanggal 8 Januari bersamaan dengan pelaksanaan
penggusuran atau beberapa waktu pasca pemilu.
Dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) disebutkan sebagian waktu
adalah pagi, siang, sore, dan malam. Awal trilogi bagian kedua ini adalah lima tahun
setelah peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama).
Berbagai peristiwa dalam “Opera Kecoa” terjadi pada waktu pemerintah Indonesia
sedang giat melaksanakan pembangunan. Dapat diperkirakan bermacam kejadian
dalam “Opera Kecoa”, termasuk insiden penembakan Julini, terjadi pada tahun 1985.
Jadi, peristiwa penggusuran dalam “Bom Waktu” dapat dihitung mundur lima tahun
sebelum insiden penembakan Julini, yaitu tahun 1980.
Latar waktu dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) kebanyakan hanya
disebutkan pagi, siang, sore, dan malam. Bermacam peristiwa dalam “Opera Julini”
terjadi sepuluh tahun setelah insiden penembakan Julini. Artinya, sepuluh tahun
sesudah tahun 1985, yaitu tahun 1995 atau lima belas tahun setelah peristiwa
penggusuran kawasan kumuh dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama). Selain
itu, terdapat juga hitungan berupa hari yang dapat diketahui sejak Pejabat mengalami
sakit mata, yaitu sembilan puluh sembilan hari. Selama itu pula wewenang Pejabat
diambil alih oleh istrinya.
4.1.2.3 Latar Sosial Drama Trilogi Opera Kecoa
Latar sosial dalam “Bom Waktu” (trilogi bagian pertama) disimpulkan
berdasar masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pemerintah yang
306
terdiri dari Kumis, Bleki, dan Camat; serta kelompok urban miskin antara lain Julini,
Roima, Tibal, Tuminah, Abung, dan Tarsih. Dari pihak pemerintah Kumis dan Bleki
sebagai aparat keamanan merasa mempunyai wewenang lebih di kawasan kumuh,
termasuk wewenang penggunaan senjata api secara sembarangan. Selain itu, Kumis
dan Bleki sering mengatasnamakan jabatan agar dihormati oleh para penghuni
kawasan kumuh; memperoleh keuntungan untuk pribadi; dan menjaga otoritas
sebagai aparat keamanan. Wakil lain dari pihak pemerintah adalah Camat. Camat
sering memakai jabatan untuk menarik simpati rakyat, terutama simpati dari kaum
urban miskin.
Dari pihak kaum urban miskin diperoleh gambaran anggota kaum urban
miskin yang tidak memiliki pekerjaan, yaitu Abung yang berasal dari luar Jakarta,
kemungkinan dari salah satu daerah di Jawa Tengah atau Yogyakarta serta Roima.
Tarsih berprofesi sebagai PSK dan tidak jadi menikmati kehidupan yang lebih baik
sebagai istri muda Camat. Julini juga berprofesi sebagai PSK dan sering
menggunakan istilah dari kaum waria sebagai identitas diri sebagai waria. Tibal dan
Tuminah berasal dari desa; mereka ingin menjadi petani kota; dan bercita-cita
memiliki masa depan yang lebih baik.
Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat diperlihatkan melalui letak kawasan
kumuh yang berada di sekitar tempat orang-orang kelas menengah ke atas. Sikap
kaum urban miskin juga dapat diketahui dari sikap keseharian para PSK yang kurang
sopan walaupun mereka sedang berhadapan dengan pihak pemda. Para PSK juga
belajar bahasa Inggris dengan harapan kelak kehidupan mereka menjadi lebih cerah.
307
Pada akhir “Bom Waktu” para penghuni kawasan kumuh dapat digusur dengan
mudah karena mereka dianggap bukan sebagai pemilik sah tanah yang mereka
tempati.
Latar sosial dalam “Opera Kecoa” (trilogi bagian kedua) dapat dilihat melalui
sikap para nggota kelompok-kelompok masyarakat seperti pemerintah yang diwakili
oleh Pejabat dan kaum urban miskin yang terdiri dari Julini, Roima, Tarsih, Tibal,
dan Tuminah.
Pejabat adalah tokoh masyarakat yang selalu ingin tampak baik di depan
orang banyak; Pejabat termasuk orang yang suka mencari aman, mencari simpati
orang lain, tidak ingin kehilangan simpati rakyat di depan lawan politiknya, serta
tidak ingin terlalu bertanggung jawab atas musibah yang menimpa para urban miskin.
Keadaan anggota kaum urban miskin dapat diketahui melalui Tarsih yang
telah mampu membeli tanah dan membangun kompleks PSK. Kompleks ini terancam
digusur sebab dianggap mengganggu keindahan kota oleh petugas. Julini yang baru
saja kembali dari desa terpaksa menjadi PSK lagi untuk mencari penghasilan di kota;
Roima yang semula pengangguran kini telah bekerja sebagai anak buah Kumis dalam
kelompok bandit dan memperoleh penghasilan sendiri. Tibal adalah bekas napi yang
belum mempunyai pekerjaan tetap dan Tuminah sudah menjadi PSK profesional
untuk menghidupi dirinya sendiri sejak Tibal dipenjara.
Latar sosial juga ditampilkan lewat kemiskinan dalam pembangunan negara
Indonesia yang masih labil dan disimbolkan dengan kecoa. Indonesia yang termasuk
308
sebagai negara yang belum mapan perekonomiannya ternyata berani mengambil
resiko berhutang kepada luar negeri melalui dana kredit.
Dalam “Opera Julini” (trilogi bagian ketiga) terdapat penggambaran sikap
para tokoh yang mewakili latar sosial. Para tokoh tersebut adalah pihak pemerintah
yang diwakili oleh Pejabat serta kaum urban miskin yang terdiri dari Roima, Tibal,
dan Tuminah. Pejabat diperlihatkan sebagai orang yang bertekat menghancurkan
kelompok bandit. Walaupun Pejabat mengalami sakit mata, keinginannya untuk
menumpas kelompok bandit tetap dilanjutkan oleh istrinya yang mengambil alih
wewenang Pejabat sebagai pimpinan. Akhirnya kerusuhan yang dibuat oleh para
bandit dapat diatasi dengan bantuan tentara. Akibat terjadinya kerusuhan Pejabat
meminta untuk mengundurkan diri, tapi ternyata pengunduran diri Pejabat ditolak
oleh Menteri. Pejabat justru diberi kenaikan pangkat.
Kaum urban miskin pun mengalami beberapa perubahan. Tuminah yang
semula hanya bekerja sebagai PSK profesional kini juga memberikan pelajaran etiket
dan bahasa Inggris untuk para PSK lainnya. Roima yang hanya anak buah Kumis
sekarang telah menjadi pemimpin kelompok bandit bersama Tibal yang sebelumnya
cuma seorang pengangguran. Para waria yang berprofesi sebagai PSK diikutkan
penataran P-6 oleh petugas. Dalam penataran tersebut, salah satu waria langganan
Tibal membeberkan keberadaan kelompok bandit kepada petugas. Karena keberadaan
kelompok bandit sudah diketahui, maka Pejabat mulai mengetahui kelemahan mereka
dan membuat rencana penumpasan kelompok bandit. Akhirnya kelompok bandit
309
benar-benar dihancurkan oleh pihak pemerintah sebab strategi kerusuhan para bandit
dapat dikatakan kurang matang.
Selain keadaan para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok dalam
masyarakat, “Opera Julini” juga menampilkan sebuah tempat terjadinya peristiwa
penggusuran, yaitu Lokasari, sebuah kawasan sengketa antara masyarakat kelas
bawah dengan pemda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas bawah tidak
pernah menang dalam menghadapi pihak pemerintah.
4.1.3 Kesimpulan Kekerasan Struktural dalam Drama Trilogi Opera Kecoa
Masyarakat dalam drama trilogi Opera Kecoa terdiri atas dua tingkatan
anggota masyarakat, yaitu pemerintah sebagai kelas atas dan kaum urban miskin
sebagai masyarakat kelas bawah. Kekerasan struktural dominan dilakukan oleh
pemerintah. Dalam hal ini kaum urban miskin sebagai korban tidak dapat melacak
secara langsung pelaku kekerasan struktural karena ketika kekerasan ini terjadi
kebanyakan korbannya menganggap bahwa hal yang mereka alami wajar terjadi
dalam kehidupan dan hubungan sosial mereka, sehingga bagi kaum urban miskin
bentuk kekerasan ini tidak dapat diketahui secara langsung, tapi dampak dari
kekerasan inilah yang akan sangat mereka rasakan.
Dalam drama trilogi Opera Kecoa pihak pemerintah sebagai pelaku
kekerasan diwakili oleh Bleki, Kumis, Camat, Pejabat; kaum urban miskin sebagai
korban kekerasan diwakili Tarsih, Tibal, Julini, Roima, Abung, Tuminah. Secara
umum penyebab kekerasan struktural adalah penggunaan kekuasaan secara berlebih,
310
ketidaksamaan struktur sosial, perekonomian yang tidak merata, penggunaan jabatan
untuk memperoleh keuntungan, monopoli kekuasaan. Beberapa bentuk kekerasan
struktural yang dilakukan pemerintah terhadap para urban miskin yaitu ancaman agar
mengikuti keinginan kelas atas, eksploitasi kemiskinan untuk mendapat keuntungan
yang banyak, pengendalian dengan cara memberi imbalan bersyarat, korupsi,
penggusuran sebagai bentuk penghilangan hak mendapat tempat tinggal, intimidasi,
penipuan melalui janji-janji yang tidak terbukti, ketidakpedulian dalam
mengusahakan perbaikan perekonomian, penghilangan kemampuan untuk
menentukan nasib individu, pembatasan dalam memilih pekerjaan, kerusakan
solidaritas melalui ketimpangan pendapatan dan pekerjaan, penghilangan partisipasi
untuk menentukan kehidupan bersama dalam masyarakat, diskriminasi hak politik
dalam pemilu, tidak adanya pemberian keahlian khusus untuk mencari pekerjaan
yang layak, diskriminasi kelas sosial, pembatasan potensi individu, wajib pajak tinggi
yang tidak diimbangi dengan perbaikan perekonomian dan fasilitas negara,
kurangnya lapangan kerja bagi kelas bawah, campurtangan terlalu banyak sehingga
melupakan kebutuhan pokok masyarakat, ketidakadilan hukum dalam kasus-kasus
yang menimpa kelas bwah, kurangnya perhatian dalam bidang pendidikan,
menghalangi massa bawah yang seharusnya punya akses untuk menentukan
kehidupan bersama, penghilangan sekelompok masyarakat yang dianggap sebagai
sumber kesulitan.
Akibat yang ditimbulkan kekerasan struktural oleh pemerintah terhadap para
urban miskin adalah kekuasaan yang dimiliki tiap kelas sosial tidak seimbang,
311
hubungan antarkelas sosial renggang, kemiskinan, kekacauan massa bawah karena
tidak mendapat perhatian dari pemerintah, kurangnya pendidikan, produktivitas
kurang, ketimpangan sosial ekonomi, terbatasnya kemampuan mengembangkan
potensi individu, hilangnya otonomi kelas bawah dalam menentukan kesepakatan
bersama, hilangnya hak mendapat tempat tinggal, hilangnya hak politik kaum urban
miskin, kesejahteraan tidak merata.
4.2 Saran
Drama trilogi Opera Kecoa telah membuka wawasan tentang drama Indonesia
dan semakin melengkapi kesusastraan Indonesia yang telah ada. Drama ini juga
sangat menarik dijadikan bahan bacaan dan pembelajaran karena isi ceritanya sarat
dengan refleksi yang dikemas dalam peristiwa-peristiwa sosial.
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang bisa dipelajari dalam drama
trilogi Opera Kecoa dan dapat dijadikan sebagai penelitian selanjutnya. Akan sangat
baik jika dalam penelitian selanjutnya dilakukan analisis mengenai kekerasan massa
bawah terhadap pemerintah akibat kemiskinan dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Hal tersebut dapat dilakukan karena penelitian itu akan menghasilkan
suatu pengetahuan baru yang menarik.
312
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Achmad Syaiful. 2004. “N. Riantiarno: Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia (Sebuah Biografi)”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Darmaningtyas, dkk. 1996. “Frustasi Kehidupan Ekonomi: Tanah Subur Bagi
Kekerasan”. Basis No. 01-02 Tahun ke-45. Yogyakarta: Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama. Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post-
Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Galtung, Johan. 1988. “Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian”.
Menggapai Dunia Damai. Terj. Mochtar Lubis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Galtung, Johan. 2005. “Mencari Solusi yang Ampuh Bagi Konflik”. Konflik
Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV.
Giddens, Anthony. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis
Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Weber. Terj. Suheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press.
Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda. Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius. Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta:
PT Gramedia.
313
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oemarjati, Boen Sri. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT
Gunung Agung. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Riantiarno, N. 2004. Cermin Merah. Jakarta: PT Grasindo. Riantiarno, N. 2004. Trilogi Opera Kecoa. Yogyakarta: Mahatari. Santoso, Thomas. 2002. Teori-teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia &
Universitas Kristen Petra. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terj. Rachmat
Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan Terhadap Masyarakat Marginal. Yogyakarta:
Narasi. Sindhunata. 1997. “Suara Dari Tanah Abang”. Basis No. 03-04 Tahun ke-46.
Yogyakarta: Kanisius. Sitanggang, S.R.H., dkk. 1995. Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stewart, Frances. 2005. “Sebab-sebab Dasar Sosial Ekonomi dan Konflik Politik
dengan Kekerasan”. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Terj. Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
314
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Tranggono, Indra. 2007. “Nano, Teater Koma dan Simbol Kelas Menengah”. Fresh
Magazine Vol. 4 edisi 36 Maret 2007. Yogyakarta: PT Fresh Media Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia. Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung.
Yogyakarta: Kanisius. Internet: Apriliya, Seni. 2005. “Ketika Hidup Layak Sebagai Manusia Hanya Sebatas Angan-
angan”. http://www.isola-pos.upi.edu Download: Kamis, 23 Maret 2006.
Maulana, Soni Farid. 2005. “Kita dan Teater Koma”. http://www.pikiran-rakyat.com Download: Senin, 12 Februari 2007. “N. Riantiarno: Opera Kecoa, Setelah Pelarangan Itu”. 2003. http://www.kompas.co.id Download: Senin, 12 Februari 2007.
316
SINOPSIS
“BOM WAKTU” (TRILOGI BAGIAN PERTAMA)
Trilogi bagian pertama ini diawali dengan kisah kehidupan sehari-hari para
anggota kaum urban miskin di Jakarta seperti para PSK, waria, pengangguran, serta
orang-orang yang dianggap gila dan tersingkir. Orang-orang ini tinggal di gubuk-
gubuk yang berada dalam kawasan kumuh di bawah sebuah kolong jembatan. Mereka
antara lain seorang pengangguran bernama Jumini yang mempunyai kebiasaan
menatap bulan sambil menanti Tole, anaknya; dan Sueb, suaminya, yang telah lama
tiada. Kemudian ada Turkana, pengumpul karton bekas, yang selalu mengingatkan
Jumini bahwa Tole dan Sueb telah lama meninggal. Ada juga Julini, seorang waria
yang bercita-cita membangun rumah tangga lewat perkawinan yang sah dengan
kekasihnya, Roima, seorang pengangguran. Tarsih yang selalu dicari aparat
keamanan karena dianggap sebagai PSK terbaik di kalangan para PSK lainnya, Sawil
dan Bilun yang selalu menghitung keuntungan dari bisnis khayalan mereka. Tuminah
yang lugu dan Tibal, kakak Tuminah, adalah dua pendatang baru di kawasan kumuh
yang berasal dari desa dan selalu berusaha menjaga kehormatan mereka. Di antara
orang-orang itu, ada Abung yang selalu dianggap gila oleh kawan-kawannya sendiri.
Abung sering berbicara dengan dirinya sendiri, menanyakan eksitensi keberadaannya.
Tanpa disadari orang lain, hanya Abunglah yang menyadari permasalahan
kemiskinan yang menimpa kaum urban miskin dan menganggap pemerintah tidak
pernah peduli dengan masyarakat kelas bawah. Kawan-kawan Abung sesama kaum
317
urban miskin malah cenderung terlihat sebagai orang yang menerima penderitaan
sebagai orang tertindas dalam kemiskinan. Mereka berada dalam kehidupan kaum
urban miskin yang penuh dengan permasalahan sosial yang pelik, atau masalah
antarkawan sesama penghuni bawah kolong jembatan.
Selain orang-orang penghuni kawasan kumuh, ada juga beberapa orang yang
mempunyai kekuasaan atas kehidupan kaum urban miskin tersebut. Mereka adalah
pihak pemerintah daerah yang terdiri atas Camat dan Sekretaris Camat yang selalu
memperingatkan penghuni bawah kolong jembatan untuk pindah dari tempat tinggal
mereka dalam rangka rencana kunjungan Gubernur ke daerah kumuh selama masa
pemilu, padahal awalnya Camat menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi
penghuni kawasan kumuh dengan rencana membangun kembali kawasan tersebut
agar menjadi tempat yang layak dihuni oleh masyarakat kelas bawah. Ada juga Bleki
dan Kumis, aparat bawahan Camat yang bertugas menjaga ketertiban kawasan kumuh
dan mengatur para penghuninya. Tanpa saling tahu, ternyata Camat dan Kumis
adalah orang-orang yang biasa menggunakan jasa PSK yang mereka awasi.
Semula kehidupan para penghuni kolong jembatan ini berjalan biasa saja
dengan permasalahan sosial yang belum begitu terasa berat. Namun, kehidupan para
penghuni kawasan kumuh berubah menjadi lebih berat ketika Camat yang sudah
menjanjikan kehidupan lebih baik bagi kaum urban miskin tiba-tiba memerintahkan
penggusuran kawasan kumuh. Muncul mandat dari Camat agar para penghuni
tersebut segera mencari tempat tinggal baru dengan alasan akan diadakan
pembangunan kota di tempat tinggal kaum urban miskin yang sekarang dalam rangka
318
rencana kunjungan Gubernur pada masa pemilu. Hal ini membuat para penghuni
kawasan kumuh kalang kabut.
Beberapa bulan setelah mandat Camat diturunkan, tiba hari penggusuran dan
gubuk-gubuk para penghuni kawasan kumuh dibongkar di depan mata mereka oleh
para petugas yang dipimpin oleh Bleki dan Kumis. Sementara kaum urban miskin
yang berusaha melakukan pemberontakan tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan
sebagian besar dari mereka diusir tanpa memdapat ganti rugi dari pemerintah.
Pemberontakan kaum urban miskin diakhiri oleh Abung yang memprotes para
pejabat pemerintahan sehingga Abung ditembak mati oleh Bleki serta penangkapan
beberapa orang urban miskin, termasuk Tibal yang dianggap sebagai pengacau.
“OPERA KECOA” (TRILOGI BAGIAN KEDUA)
Awal dari trilogi bagian kedua adalah lima tahun setelah peristiwa
penggusuran dalam “Bom Waktu”. Dimulai dengan Julini dan Roima yang baru saja
kembali dari desa setelah peristiwa penggusuran dulu. Mereka berdua sementara tidur
di emperan Monumen Plaza karena belum mempunyai tempat tinggal baru di Jakarta.
Sementara itu, Tarsih dan Tuminah yang sudah menempati kompleks PSK baru
ternyata kembali mendapat peringatan dari dinas tata kota dan dinas sosial untuk
memindahkan kompleks PSK tersebut karena dianggap mengganggu keindahan kota.
Julini dan Roima pergi mencari kawan-kawan sesama kaum urban miskin yang dulu
pernah tinggal bersama mereka. Akhirnya Julini dan Roima bertemu Tarsih serta
Tuminah di kompleks PSK yang baru. Kompleks PSK ini digambarkan sebagai
319
perbandingan antara area kelas atas dan kelas bawah karena kompleks PSK yang juga
berdekatan dengan kawasan kumuh ini ternyata bersebelahan dengan padang golf
milik pemerintah. Setelah pertemuan dengan Tuminah dan Tarsih, Julini dan Roima
pergi ke padang golf tersebut untuk menyaksikan Pejabat yang sedang menjamu tamu
dari Jepang. Namun, Julini dan Roima malah diusir oleh petugas sehingga mereka
berdua harus menyingkir ke kawasan kumuh yang ada di dekat padang golf. Di
kawasan kumuh tersebut Julini dan Roima mendapat tawaran dari Asnah, salah
seorang urban miskin yang sudah lama tinggal di kawasan kumuh, untuk menempati
sepetak tanah sebagai tempat tinggal. Di kawasan kumuh itu juga Julini kembali
bertemu dengan Kasijah yang ternyata sudah menjadi gila. Karena sudah mendapat
tempat tinggal, Julini bekerja kembali menjadi PSK dan Roima mencari pekerjaan
dengan bantuan Tuminah.
Pada waktu lain, di suatu tempat markas para bandit, Kumis yang telah
menjadi pimpinan para bandit sedang berkumpul beserta para anak buah. Di hadapan
Kumis, Tuminah mendaftarkan Roima menjadi anggota kelompok bandit. Akibat
pekerjaannya sebagai bandit, Roima hampir tidak punya waktu untuk Julini. Hal ini
menyebabkan hubungan Roima-Julini renggang, sementara Roima malah menjadi
lebih dekat dengan Tuminah. Selain itu, diperlihatkan juga Pejabat dan tamu dari
Jepang yang akan memberikan bantuan untuk rakyat Indonesia ternyata juga menjadi
pengguna jasa PSK.
Pada suatu hari Tibal, kakak Tuminah, keluar dari penjara dan marah besar
mendapati adiknya sudah berprofesi menjadi PSK. Tibal juga membuat perhitungan
320
dengan Kumis dan berniat membunuh Kumis sebab telah menghancurkan masa
depannya. Karena marah, Tibal pergi meninggalkan Tuminah untuk mencari Kumis.
Roima yang mengetahui kejadian itu berusaha menenangkan Tuminah. Kebersamaan
Tuminah dan Roima diketahui Julini, akibatnya Julini menganggap Roima selingkuh
dengan Tuminah.
Beberapa saat setelah marah kepada Roima, di tempat mangkal para waria
Julini dan para waria lain mendapat peringatan untuk pindah tempat mangkal karena
di tempat itu akan dilakukan pembangunan kota. Akhirnya terjadi pertengkaran antara
para waria dan para petugas sebab para waria tidak mau pindah tempat mangkal.
Agar pertengkaran ini berhenti, salah seorang petugas menggunakan senjata api untuk
menggertak para waria. Namun, ada satu peluru meleset yang mengenai Julini dan
menyebabkan Julini mati. Pada saat yang sama Roima datang dan melihat para waria
kalap menyerang petugas. Akibat insiden penembakan Julini, Roima dan kelompok
waria melakukan protes di rumah Pejabat hingga akhirnya Pejabat mau memenuhi
permintaan para waria, yaitu mendirikan monumen dan plaza untuk memperingati
kematian Julini. Bersamaan dengan para waria yang pergi ke rumah Pejabat, Tibal
juga mengumumkan bahwa dia telah berhasil membunuh Kumis.
Beberapa waktu sesudah pendirian monumen Julini, terjadi peristiwa
kebakaran di kompleks PSK. Dalam peristiwa ini Tarsih dan Kasijah tidak mau
menghindar dari amukan api sehingga mereka mati terpanggang, sementara para PSK
lain kebingungan akibat peristiwa ini. Roima yang curiga bahwa kebakaran ini
merupakan sabotase pemerintah akhirnya memutuskan pergi bersama Tibal, para
321
PSK dan waria untuk menghadap Pejabat dengan tujuan menuntut tanggung jawab
Pejabat dengan meminta ganti rugi berupa tempat tinggal yang baru. Pejabat berjanji
memberi tempat tinggal yang baru. Setelah itu kaum urban miskin kembali ke tempat
kumuh.
“OPERA JULINI” (TRILOGI BAGIAN KETIGA)
Latar waktu trilogi bagian ketiga adalah sepuluh tahun setelah kematian Julini.
Berawal dari laporan para polisi kepada Pejabat yang sedang jogging tentang bandit-
bandit yang masih berkeliaran. Setelah jogging melewati daerah kumuh, tiba-tiba
mata Pejabat menjadi sakit. Karena Pejabat sedang sakit mata, maka yang
menggantikannya dalam menangani kasus para bandit adalah istri Pejabat. Sementara
itu Roima dan Tibal yang sudah menjadi pimpinan para bandit sedang melakukan
pertemuan di markas bandit. Namun, karena berita tentang pertemuan para bandit
telah tercium oleh polisi, maka polisi melakukan penyerbuan tapi ternyata bandit-
bandit itu sudah berpencar sebelum polisi datang. Di tengah permusuhan antara
kelompok bandit dan pemerintah, hubungan dekat antara Roima dan Tuminah terus
berkembang.
Beberapa waktu kemudian para bandit melakukan pertemuan kembali untuk
menyusun rencana pengacauan kota dan pada waktu yang hampir bersamaan para
wadam diperiksa petugas yang sedang mencari anak buah Kumis. Di kantor urusan
bordil, Tuminah yang sedang menyeleksi para calon pelacur mendapat kabar bahwa
para wadam digiring ke kantor polisi untuk mendapat penataran P-6.
322
Seorang waria bernama Laila memberikan laporan terlalu banyak untuk polisi
ketika mengikuti penataran, sehingga sesudah Laila selesai mengikuti penataran dia
dianggap sebagai pengkhianat oleh Tibal dan dieksekusi. Di tengah eksekusi yang
dilakukan Tibal terhadap Laila, Roima justru membela Laila. Akibatnya terjadi
pertengkaran antara dua pemimpin kelompok bandit untuk menentukan hukuman
bagi Laila, sampai akhirnya Roima membunuh Laila. Di luar dugaan, karena tidak
senang terhadap sikap Roima, maka Tibal yang juga ingin menguasai kelompok
bandit berencana membunuh Roima dengan meminta bantuan Bleki dan Bajenet.
Di rumah Pejabat, istri Pejabat memarahi polisi karena tidak bisa menangkap
para bandit. Di tempat lain para waria terkejut dengan penemuan mayat Laila dan
para waria lebih terkejut lagi saat mereka mengetahui bahwa yang membunuh Laila
adalah Roima. Sementara itu, Roima yang sedang berada di depan patung Julini
diserang dari belakang oleh Bleki dan Bajenet atas suruhan Tibal. Kemudian Tibal
membunuh Roima.
Penemuan mayat Roima membuat para waria ketakutan dan menuduh petugas
mabuk yang tiba-tiba muncul di dekat patung Julini sebagai pembunuh Roima.
Kemudian para waria melakukan penyerangan terhadap petugas, tapi justru para
waria mati satu per satu akibat tertimpa patung Julini yang roboh ditembaki petugas.
Pada malam hari, terjadi kerusuhan di Plaza Julini. Kelompok bandit
pimpinan Tibal mengalami kekalahan besar sebab rencana mereka kurang matang.
Sedangkan di rumah Pejabat yang masih sakit mata, istri Pejabat memarahi polisi
karena kerusuhan yang terjadi, tapi keadaan dapat segera ditenangkan dengan adanya
323
laporan bahwa kerusuhan sudah dapat diatasi dengan bantuan dari tentara. Walaupun
kerusuhan dapat diatasi, pemerintah tetap tidak bisa menangkap Tibal, pimpinan
kelompok bandit yang melarikan diri. Karena kerusuhan ini, Pejabat minta
pengunduran diri kepada Menteri karena merasa tidak bisa menangani kekacauan di
kota. Namun, pengunduran dirinya ditolak. Pejabat justru diberi penghargaan dan
kenaikan pangkat oleh Menteri. Di sisi lain, sampai saat itu tidak ada perbaikan nasib
bagi kaum urban miskin di Jakarta, walaupun kesejahteraan hidup Pejabat meningkat.
Kaum urban miskin tetap menjadi kecoa-kecoa yang hidup di dalam got-got kota.
324
BIOGRAFI PENULIS
Airani Sasanti lahir di Yogyakarta pada tanggal 18
Oktober 1984. Menempuh pendidikan TK hingga SMP di
Yogyakarta dan pendidikan Sekolah Mengengah Umum di
SMU 6 Yogyakarta. Pada Oktober 2007 mendapatkan gelar
Sarjana Sastra dari Universitas Sanata Dharma dengan skripsi
yang berjudul “Kekerasan Struktural oleh Pemerintah
terhadap Kaum Urban Miskin di Jakarta dalam Drama Trilogi Opera Kecoa Karya
Norbertus Riantiarno: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Kini tinggal di Gempol Baru DP
III/56 Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55283; telp. (0274) 882424.