document18
TRANSCRIPT
‹ ›
/5 Share
Related More
Adat 61 views Like
Lembaga 282 views Like
Lembaga lembaga negara 2800 views Like
Adat tutong 4623 views Like
Hutan adat 2278 views Like
Adat nias 653 views Like
1
Adat perkahwinan 1110 views Like
Adat perkahwinan11 98 views Like
Rumah adat 619 views Like
Adat Perkahwinan 10407 views Like
Lembaga Keuangan 2637 views Like
Lembaga Keuangan 2305 views Like
lembaga konservasi 1042 views Like
Lembaga sosial 8526 views Like
Lembaga keuangan 2054 views Like
Lembaga pembiayaan 7305 views Like
lembaga kemasyarakatan 524 views Like
Profile Lembaga 416 views Like
Lembaga independen 3074 views Like
Lembaga sosial 3191 views Like
Lembaga peradilan 12599 views Like
Lembaga Negara 1358 views Like
Lembaga Kemasyarakatan 322 views Like
Lembaga negara 922 views Like
LEMBAGA SOSIAL 9669 views Like
Lembaga sosial 16452 views Like
Lembaga keluarga 38 views Like
Lembaga lembaga negara kelompok 4 3034 views Like
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pasar modal 2091 views Like
Rumah Adat Maluku 13171 views Like
Adat perkahwinan orang melayu 9241 views Like
Adat Resam Kaum Iban 8466 views Like
Hk adat done eng 252 views Like
Adat perkawinan sasak 960 views Like
Adat di vietnam(2012) 872 views Like
Pernikahan Adat Yogyakarta 2625 views Like
Follow
Lembaga adat
by Retno Wulandari, ADEK at The Happy Family (1936 film) on Mar 16, 2013
5,832 views
No comments yet
Subscribe to comments Post Comment
Lembaga adat Document Transcript
1. LEMBAGA ADATA. Pengertian Lembaga Adat Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata lembaga dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan. Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan- peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar. Sedangkan menurut pengertian lainnya, lembaga adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adapt yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal- hal yang berkaitan dengan adat. Kemudian yang dimaksud dengan lembaga adat menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 23 Tahun 2007 tentang lembaga adat ialah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung pembangunan.
2. Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah
tersebut.B. Fungsi Lembaga Adat Lembaga Adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain: a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat.
3. Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu : a. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya c. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan. d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya. e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adatC. Wewenang Lembaga Adat Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi : a) Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat tersebut. b) Mengelola hak-hak dan/aau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. c) Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d) Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa adat. e) Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa f) Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/ kota desa adat tersebut berada.
4. D. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu : a) Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. b) Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya nasional. c) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah adat tersebut. d) Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat. e) Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. f) Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. g) Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah. h) Mengayomi adat istiadat i) Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat j) Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang
di tetapkan k) Membantu penyuratan awig-awig l) Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
5. E. Pembinaan Lembaga Adat Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai , melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat dalam pembangunan dan ketahanan nasional.F. Pembiayaan Lembaga Adat Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, Berta sumber-sumber lainnya yang tidak mengikat.
Follow us on LinkedIn Follow us on Twitter Find us on Facebook Find us on Google+
Learn About Us About Careers Our Blog Press Contact Us Help & Support
Using SlideShare SlideShare 101 Terms of Use Privacy Policy Copyright & DMCA Community Guidelines SlideShare on Mobile
Pro & more Go PRO Enterprise Sales PRO Features
Developers & API Developers Section Developers Group Engineering Blog
Blog Widgets
LinkedIn Corporation © 2014
RSS Feed
ENGLISH
Hak-Hak Masyarakat AdatMenjalankansistempemerintahansendiri,Menguasaidanmengelolasumberdayaalamdalamwilayahnyaterutamauntukkemanfaatanwarganya,Bertindakkedalammengaturdanmenguruswargasertalingkungannya. Keluarbertindakatasnamapersekutuansebagaibadanhukum.Hakikutsertadalamsetiap
transaksiyang menyangkutlingkungannya,Hakmembentukadat,HakmenyelenggarakansejenisperADILAN
PengertianMasyarakatAdat“MasyarakatAdatadalahKomunitas-komunitasyang hidupberdasarkanasal-usulleluhursecaraturuntemurundiatassuatuwilayahadat, yang memilikikedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial
budaya, yang diaturolehhukumadatdanlembagaadatyang mengelolakeberlangsungankehidupanmasyarakatnya.”
Konsep Masyarakat Adat Jika diperiksa ke belakang, rujukan masyrakat adat yang dipakai NGO agak lepas dari konteks historis masyarakat adatversi kolonial Belanda11Di era kolonial istilah yang kerap dipakai adalah rechtsgemeenschapatau volksgemeenschapyang, kalau tidak dapat dikatakan sama, paling tidak mendekati pengertian Gemeinschaftdalam bahasa Jerman yang digunakan oleh sosiolog Jerman, Ferdinand Tönnies. Istilah Gemeinschaftyang digunakan Tönnies ini dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah community. Konsep Gemeinschaftatau community10Fredy dan Rince, wawancara 3-3-2009, di Marena, Sulawesi Tengah. 11Belanda menggunakan istilah pribumi dan masyarakat hukum adat untuk menunjuk komunitas yang memiliki hukum sendiri, di luar hukum kolonial Belanda. Studi-studi ini dipelopori oleh Van Vollenhoven (1987 [1928]). 5 menunjukkan suatu ikatan sosial primer yang hubungan antara anggotanya akrab, bersifat pribadi dan eksklusif (Zakaria 2000:43-44). Para pemikir masyarakat hukum adat era kolonial memberi ciri masyarakat hukum adat yang lebih antropologis daripada politik. F.D Hollemann, misalnya, mengkonstruksikan empat sifat umum dari masyarakat adat yaitu magis-religius, komunal, konkret dan kontan. Sifat magis diartikan sebagai suatu pola pikir
yang didasarkan pada religiositas yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sifat komunal berkaitan dengan pemikiran bahwa dalam masyarakat adat anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Konkret berkaitan dengan corak hubungan yang serba jelas dan nyata, sehingga setiap hubungan hukum yang terjadi tidak dilakukan secara samar-samar atau diam-diam. Kontan mengandung arti kesertamertaan, terutama dalam pemenuhan prestasi (Holleman, dalam: Soemadiningrat 2002:29-34). Ter Haar, seorang pemikir hukum adat era Belanda juga memberikan formulasi mengenai masyarakat adat, yakni persekutuan hukum masyarakat yang memiliki kekuasaan sendiri, yang percaya bahwa masyarakat tersebut terjadi karena alam atau kekuasaan gaib, memiliki kekayaan sendiri dan tidak seorang pun anggotanya memiliki pikiran untuk membubarkan persekutuan tersebut. Tetapi, anggotanya bisa keluar dari persekutuan tersebut, namun hal ini tergantung karakteristikmasing-masing daerah (Ter Haar 2001:6-8). Berbeda halnya dengan NGO, yang menggunakan istilah masyarakat adat dalam kaitannya dengan perkembangan tuntutan masyarakatadat di tingkat internasional, menempatkan masyarakat adat sebagai komunitas marginal yang diakui secara historis memiliki landasan klaim hak yang bersifat khusus tapi dalam perkembangannya mengalami ketidakadilan struktural akibat penerapan kebijakan pemerintah maupun dampak operasi korporasi multi-nasional di wilayah mereka. Menurut Anaya, secara historis indigenousbukan hanya orang (people) tapi terlebih sebagai suatu kolektif (peoples). Di situ, berbagai ketidakadilan yang mereka hadapi, dialami tidak hanya sebagai pengalaman individual tapi terutama sebagai suatu pengalaman kolektif.
12Selanjutnya, seorang ilmuwan hukum Benedict Kingsbury, mengusulkan definisi yang cair dan fleksibel terhadap masyarakat adat mengingat kemajemukan yang mereka miliki baik dalam komunitas maupun antar-komunitas. Kingsbury mengajukan empat syarat esensial cakupan masyarakat adat, yakni: 1.Identifikasi diri sebagai grup etnik yang berbeda; 2.Pengalaman sejarah pernah dan terus merasakan ketidakadilan, dipecah belah hingga berantakan, dipindahkan dari kampung halaman dan dieksploitasi; 3.Memiliki hubungan yang lama dengan wilayah; 4.Harapan untuk meneruskan identitas yang berbeda (Corntassel, dalam: Erni (ed) 2008:56-7). Ketidakadilan yang digarisbawahi Kingsbury, dalam gerakan masyarakat adat yang dipelopori oleh NGO, sering dikaitkan dengan akses terhadap tanah. Dalam berbagai forum masyarakat adat, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah senantiasai digarisbawahi sekaligus menempatkan tanah sebagai salah satu prioritas paling utama yang diperjuangkan masyarakat adat dewasa ini. IWGIA (International Working Group for Indigenous Affairs), misalnya, secara rutin mengeluarkan laporan tahunan mengenai situasi ketidakadilan yang dihadapi masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Dalam laporan tahun 2008, IWGIA 12Lihat definisi Cobo, http://www.iwgia.org/sw310.asp(diunduh pada 4-2009). Lihat juga Anaya (1996:77). 6 memaparkan sejarah ketidakadilan tersebut dengan memakai kasus Papua sebagai salah satu contoh. IWGIA menulis sebagai berikut: Pemerintah Indonesia mengeruk sumber daya alam Papua Barat dalam jumlah yang sangat besar.
Hutannya dibabat dan kandungan mineralnya dikeruk tanpa konsultasi dengan komunitas adat, dan tanpa sedikit pun manfaat balik bagi komunitas adat itu. Dengan program transmigrasi yang disponsori negara sejak 1970-an, pemerintah Indonesia telah menempatkan lebih dari 10.000 keluarga setiap tahun yang didatangkan dari Jawa dan bagian-bagian lain Indonesia. Selain itu, ada juga orang yang berpindah atas inisiatif mereka sendiri ke Papua Barat, yang jumlahnya tak terlacak. Diperkirakan bahwa lebih dari 750.000 orang dari bagian lain Indonesia telah bermukim di Papua Barat, yang perbandingannya sekarang adalah lebih dari 30% dari total 2,2 juta penduduk di Papua Barat. Ada kekhawatiran yang besar bahwa perlahan-lahan orang Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka sendiri (IWGIA 2006:266)Sedikit menengok ke belakang, perjuangan kelompok pendukung hak masyarakat adat di tingkat internasional dimulai dari hak ekonomi, sosial budaya lewat berbagai advokasi NGO dan organisasi rakyat di Amerika Latin yang mencetuskan Konvensi ILO No. 169/1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples inIndependent Countries. Upaya lobi dan tekanan terus berlanjut ke berbagai hak lain, termasuk hak sipil dan politik. Pada 2007, gerakan indigenous peoplesdari berbagai belahan dunia akhirnya berhasil mendorong Majelis Umum PBB mengeluarkan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), tanggal 12 September tahun 2007. Persoalan ketidakadilan juga menjadi pertimbangan yang melatarbelakangi terbentuknya UNDRIP. Dalam pembukaan deklarasi disebutkan bahwa masyarakat adat telah mengalami penderitaan dari sejarah ketidakadilan sebagai akibat dari, antara lain, penjajahan dan pencerabutan tanah-tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka, sehingga menghalangi mereka untuk menggunakan, terutama, hak merekaatas pembangunan sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan dan kepentingan-kepentingannya.13Di Indonesia, gerakan NGO untuk mendukung hak masyarakat adat secara teroganisir tampak dalam tercetusnya JAPHAMA (Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat) pada 1993 sebagai respons atas permasalahan ketidakadilan struktural yang dihadapi kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat adat. Istilah tersebut juga merupakan respons atas kategori masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan yang kerap digunakan pemerintah dalam kebijakan maupun program. Istilah-istilah itu merupakan “stempel” yang menurut NGO dan pengalaman sejumlah komunitas, sarat dengan tuduhan diskriminatif dan melecehkan kelompok masyarakat adat. Masyarakatterasing, misalnya, bisa dimaknai sebagai masyarakat yang tidak mengenal peradaban lain, terkunci di suatu tempat yang tidak dikenal. Demikian halnya dengan istilah peladang liar, bisa diterjemahkan sebagai seolah-olah masyarakat adat tidak memiliki aturan bercocok tanam sehingga dikerjakan secara liar tanpa kontrol.14Selanjutnya, melihat ada banyak kemiripan antara konsep dan pengalaman masyarakat adat dengan konsep indigenous peoplesdalam kerangka hukum internasional maka masyarakat adat kerap dipadankan dengan indigenous peoples(Moniaga 2003:1).15Sehingga kerangka hak 13Pembukaan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, diadopsi Majelis Umum PBB, 12 September 2007. 14
Perdebatan dan kritik atas penggunaan istilah-istilah ini terjadi dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 17-22 Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta. 15Diakses dari www.huma.or.id, 10-1-2009. 7 dalam konsep indigenous peoplesdigunakan juga dalam tuntutanhak dari masyarakat adat, misalnya hak atas identitas kolektif, tanah kolektif, sistem nilai kolektif dan seterusnya. Gelombang perubahan sebagai efek lanjutankejatuhan Soeharto juga merembet ke perjuangan NGO dan sejumlah masyarakat adat. Pada 1999, JAPHAMA mencetuskan sebuah organisasi masyarakat adat, yang disebut AMAN. AMAN menyepakati bahwa masyarakat adat“adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri(Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan) (Moniaga 2002). Konsep masyarakat adat versi AMAN kerap dirujuk tokoh-tokoh adat, terutama yang memiliki jaringan dengan NGO atau dengan AMAN. Fredy, seorang pendeta di Marena misalnya, menggunakan istilah bermartabat secarabudaya, berdaulat secara politik dan mandiri secara ekonomi yang merupakan konsep AMAN, dalam merumuskan gerakan masyarakat adat di Marena. Ketidakadilan penguasaan tanah dan ancaman-ancaman baru pengambilalihan tanah, dijawab dengan konsep masyarakat adat yang menurut para tokoh adat, seperti Fredy di Marena, Arifin di Tuva, harus diakui dan dilindungi. Istilah masyarakat adat dan kekhususan haknya, sebetulnya menimbulkan sejumlah kritik tajam, antara lain menyangkut kerumitan defini
si dan ukuran-ukurannya secara normatif maupun konsekuensi sosial politik dari kekhususan tersebut. Namun gerakan NGO, pemerintah, Organisasi Internasional dan para ilmuwan lainnya yang umumnya menggunakan argumen berbasis hak, tetap mendorong hak masyarakat adat, sehingga lambat laun terserap dalam kerangka hukum (Bedner dan Van Huis 2008). Dalam sejumlah hukum nasional maupun internasional, masyarakat adat diwarisi keistimewaan untuk mendapat keutamaan dalam sejumlah hak, terutama hak atas tanah, wilayah dan hukum adat. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan hak masyarakat adat atas tanah, khususnya dalam Pasal 6, yaitu sebagai berikut: 1)Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah; 2)Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Selain itu, dalam konstitusi pasca-amendemen, keistimewaan masyarakta adat juga diakui. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945merumuskan sebagai berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Meski demikian, secara historisadat dalam hukum nasional tidak terdefinisikan. Henley dan Davidson memaparkan adat, sebagaimana halnya dengan konsep-konsep identitas lainnya, mempunyai banyak arti. Dalam konteks modern, adat cenderung dipahami sebagai institusi tertentu yang diwariskan dalam tradisi-tradisi lokal dan dalam konteks Indonesia wacananya berkisar antara sejarah, tanah dan hukum. Sebagian lagi bersentuhan dengan ideologi politik yang samar-samar tetapi juga daya tarik secara nasional yang mengidentifikasikan adat sebagai otensitas, komunitas, keteraturan dan keadilan (Davidson dan Henley 2007:19).
Zakaria, Yando 2000 Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Elsam.
Budaya suku manggarai yang berada di indonesia tepatnya di pulau flores nusa tenggara timur
Budaya Manggarai RAGAM BUDAYA MANGGARAI
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.
1. ReligiSecara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Compang (Mesbah)Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:- Lawang morin agu ngaranArtinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :- Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan1. Lembaga adat atau tua adat
* GendangA. Sejarah berdirinya gendangSecara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.a. Fungsi organisasi gendang :- Menegakkan sejarah garis keturunan.- Mempertahankan kekuasaan gendang.- Mempersatukan warga gendang.- Menata kehidupan sosial warga gendang.- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.b. Tugas organisasi gendang :- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.c. Struktur organisasi gendangSebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :
Gambar 1Struktur Organisasi Elit TradisionalDi Kabupaten Manggarai
Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang, dapat dilihat pada gambar 2.Deskripsi jabatan :1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :- Tu’a Golo- Tu’a Teno- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).Gambar 2Struktur Organisasi Elit TradisionalDi Desa Mandosawu
2. Tu’a GoloAdalah Tu’a yang menguasai golo (kampung)Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.C. Ruang Lingkup Wilayah GendangWilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat ManggaraiMenurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :a. CangkangPerkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.b. TungkuPerkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :- Tungku cu atau tungku dungkaKawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.- Tungku nereng nara- Tungku anak de due- Tungku canggot- Tungku ulu atau tungku sa’i- Tungku salang manga- Tungku dondotc. CakoPerkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
* Arti anak wina dan anak ronaDalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.
3. Ilmu PengetahuanSejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
4. BahasaMengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
5. KesenianDi Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.Beberapa macam kesenian di Manggarai :- Seni Musik* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.- Seni Tenun* Tenun SongkeSeni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni SastraCerita-cerita rakyat.- Seni Tari* RondaRonda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
* SaeSebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.* SandaSebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.* Danding* Wera
6. Sistem Mata Pencaharian atau EkonomiAktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.
7. TeknologiMasyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang
filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk
SISTIM PEMBAGIAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT MANGGARAIFebruary 25th 2008 I. PENDAHULUAN.
Masyarakat Manggarai sebagai masyarakat agraris tentu tidak dapat dipisahkan dari
tanah garapan—lingko dalam bahasa daerah Manggarai. Karena itu orang Manggarai
mengenal ungkapan, ‘gendang one lingkon peang’, yang kurang lebih artinya dimana
terdapat pemukiman / kampung—yang terpusat dalam mbaru gendang (rumah gendang)
—tentu memiliki tanah-tanah garapan bagi warga kampung yang disebut dengan lingko.
Lingko-lingko (tanah milik bersama) yang merupakn tanah ulayat itulah yang dibagi-
bagikan kepada warga kampung sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.
Adanya kampung (beo) yang merupakan pemukiman tetap erat berkaitan dengan lingko-lingko, di lain pihak sekaligus menunjukkan identitas asal masyarakatnya. Karena itu konflik perebutan tanah yang sering terjadi diwilayah Manggarai sesungguhnya bukan hanya berdampak pada persoalan akan berkurangnya lahan garapan, tetapi juga pada identitas dan harga diri masyarakatnya, baik secara individu maupun sebagai komunitas. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Manggarai pada umumnya sangat teguh mempertahankan tanah miliknya, walau sejengkal sekalipun. Ada ungkapan yang mengatakan, ‘neka oke kuni agu kalo’, yang kurang lebih berarti, ‘jangan melupakan kampung halaman sebagai asal usul..Jangan pernah melupakan identitas diri kita sebagai orang yang berasal dari kampung / wilayah tertentu.
II WILAYAH MANGGARAI SELAYANG PANDANG.
Wilayah Manggarai yang dimaksudkan disini adalah wilayah dari masyarakat
yang rata-rata mempunyai adat-kebiasaan serta bahasa yang sama, yang disebut dengan
adat dan bahasa Manggarai. Mereka menghuni hampir sebagian besar Pulau Flores
bagian Barat.
1. Secara Geografis:
Sebeleh Timur berbatasan dengan Kabupaten Ngada, di Wae Mokel, Wae Mapar
hingga Laut Flores. Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara
Barat di Selat Sape. Sebelah Utara dngan Laut Flores dan di sebelah Selatan
dengan Laut Sawu. Luas seluruh wilayahnya kl. 7.106 km2.
2. Secara pemerintahan:
Wilayah Manggarai, secara pemerintahan terdiri dari dua kabupaten yaitu
Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai (Induk), dan tidak lama
lagi sebagian wilayah Kabupaten Manggarai (Induk) akan dimekarkan menjadi
Kabupaten Manggarai Timur.
III SISTIM PEMBAGIAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT MANGGARAI.
1. Asal-usul Lingko sebagai Tanah Ulayat.
Asal mula bagaimana pembentukan lingko seperti yang kenal dikalangan
masyarakat Manggarai dapat kita kaitkan dengan situasi prasejarah ketika mereka
mulai beralih dari pola hidup berpindah-pindah ke bentuk kehidupan menetap,
menetukan tempat yang tetap sebagai daerah hunian yang kita kenal dengan Beo
(kampung).
Tanah-tanah garapan yang diperoleh dengan merambah hutan oleh penduduk beo
itulah yang kemudian disebut lingko. Berapa banyak lingko untuk setiap beo,
sangat bergantung pada kemampuan warga beo itu untuk merambah hutan di
sekitar huniannya dan juga sejalan dengan pertambahan warga beo. Masing-
masing lingko, luasnya berbeda dan diberi identitas dengan nama tertentu, entah
nama tumbuhan yang banyak ditemukan di tanah tersebut, nama sungai yang
melintas di wilayah itu atau karakter geografisnya. Lingko Wae Bahi, ada sungai
yang bernama Wae Bahi mengalir di sekitar lingko tersebut; Lingko Belang
Rambang, karena di lingko itu banyak ditemukan belang (sejenis buluh / sejenis
aur)dll.
Lingko-lingko ini kemudian akhirnya berbatasan dengan lingko-lingko milik
beo / kampung lain, sehingga ditentukan batas (rahit)) yang pada akhirnya
menjadi batas wilayah antar beo / kampung. Sekaligus juga merupakan
pengakuan atas hak / kepemilikan atas lingko masing-masing.
2. Pemilik / Pemegang hak atas tanah lingko.
2.1. Siapa pemilik atau yang berhak atas lingko?
Bila memperhatikan bagaimana proses awal pola penguasaan tanah garapan yang
disebut lingko, maka dapat disimpulkan bahwa pemilik lingko adalah warga beo
(warga sesuku), milik komunitas kampung. Dan warga kampung umumnya
merupakan suatu kesatuan genealogis (suku). Mereka adalah tuan atas tanahnya,
pemilik tanah, dalam bahasa Manggarai disebut sebagai “ata ngara tana”.
Mereka ini yang menjadi tu’a teno, yaitu orang yang bertugas membagi tanah-
tanah lingko kepada warganya. Karena itu tanah lingko di Manggarai tidak
pernah dimiliki oleh orang-perorangan secara pribadi.
2.2. Lingko sebagai tanah ulayat:
Tanah-tanah lingko, yang oleh hukum Nasioanal kemudian dikenal sebagai tanah
ulayat (tanah adat) adalah tanah milik bersama warga kampung (komunitas) yang
segala pengaturannya secara adat dipusatkan pada mbaru gendang (rumah
gendang) Maka bila ada mbaru gendang tentu ada pula lingko-lingko yang
menjadi lahan garapan warganya.
Bila penduduk kampung semakin berkembang, terjadi pemekaran kampung,
bahkan bisa menjadi beberapa anak kampung, mereka tetap terikat oleh urusan
adat dengan kampung induknya, atau dengan kata lain terikat pada satu mbaru
gendang. Keterikatan dengan gendang asal berimplikasi terikat pula dengan
tanah-tanah ulayat atau lingko milik mereka.
2.3.Penghibaan lingko:
Hubungan baik dengan kampung / suku lain atau terutama hubungan
perkawianan memungkinkan hadirnya pihak lain dalam lingkungan kampung
atau di urusan adat kampung. Dan masyarakat Manggarai yang dahulu
menggunakan sistim perkawinan “tungku” (cross cousin), untuk tetap mengikat
hubungan kekeluargaan dengan pihak saudari (anak wanita) yang menikah ke luar
sukunya (yang bisa saja dari kampung tetangga), kadang-kadang menghibakan
salah satu lingko kepada pihak keluarga besar saudari (anak wanita). Sehingga
secara adat lingko yang dihibahkan itu menjadi milik kampung lain.
Saat ini, tidak ada lagi tanah lingko yang belum dibagikan kepada pihak-pihak
yang berhak atas tanah-tanah adat tersebut.
Tidak jarang para ahli waris (pertama) lingko tersebut, menggugat kembali lingko
yang telah dihibahkan itu dan menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
3. Pola / sistim pembagian Lingko Filosofi pembagian tanah lingko.
3.1 Filosofi pembagian tanah Lingko:
Sepintas kalau kita memperhatikan sistim pembagian tanah adat masyarakat
Manggarai, yakni sistim ‘lodok’, maka kita akan melihat adanya kesamaan
dengan struktur mbaru niang (rumah asli) dan struktur beo orang Manggarai.
Mbaru niang adalah rumah tiang, dengan delapan tiang (siri leles) yang
dibangun melingkari tiang utama (siri bongkok) yang merupakan sebatang kayu
utuh (tanpa sambungan), dan membentuk sebuah lingkaran. Pada siri bongkok
ini ditempatkan sesaji bagi para leluhur pada waktu diadakan pesta-pesta adat,
seperti penti (pergantian tahun). Atap rumah berbentuk kerucut, yang terbuat dari
ijuk (wunut) atau alang-alang (ri’i).
Demikian pula dengan struktur kampung (beo) yang berbentuk konsentris,
rumah-rumah dibangun melingkari ‘compang’ (bangunan batu berundak-undak)
di tengah kampung. Compang menjadi tempat pemberian sesaji bagi warga
kampung (beo). Compang dapat dikatakan sebagai altar beo.
Struktur pembangunan rumah, pembentukan kampung atau pola pembagian
tanah lingko haruslah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip
kekeluargaan, prinsip kesatuan suku atau warga beo umumnya.
3.2 Sistim Lodok.
Tanah-tanah adat yang disebut lingko dibagi kepada warga dengan sistim lodok,
yakni membagi lingko berawal dari “teno” dipusat lingko, dan menarik garis
lurus (jari-jari) hingga batas terluar tanah lingko tersebut sebagai batas
(langang). Proses pembagian sebagai berikut: di pusat lingko ditanam sebatang
kayu yang disebut “teno”.Dinamakan teno karena sepotong tiang itu diambil dari
sejenis pohon yang dinamakan haju teno.(pohon teno). Teno merupakan pusat
lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titi pusat) Dari
teno ditarik garis batas yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas
terluar tanah lingko yang disebut “cicing”. (lodokn one cicingn pe’ang).
Berapa besar ukuran besaran tanah di lodok (pusat lingko)? Masyarakat
Manggarai membaginya berdasarkan “moso” (satu jari tangan) sebagai dasar
pembagian awal. Besaran mosopun sangat relatip, tergantung pada berapa jumlah
warga yang akan menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak
yang akan menerima, makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin
sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan
kepada setiap orang juga bergantung pada kedudukan orang dalam beo
(kampung). Maka dikenal istilah moso biasa (satu jari), moso kina (satu setengah
jari) dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tu’a
beo / golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari)
yang merupakan ukuran paling besar. Sedangkan warga lainnya akan menerima
moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari).
3.3 Sistim Baris (sistim pembagian modern),
Dalam perkembangan kemudian, berdasarkan pertimbangan praktis serta
pemanfaatan tanah seefisien mungkin, maka sebagian tanah-tanah lingko dibagi
dalam baris / patok dengan besaran ukuran tertentu. Dengan demikian misalnya
kita temui ukuran perbaris / patok seluas kl. 250 m2. Sekali lagi berapa baris /
patok untuk setiao orang, bergantung pada status atau relasinya dengan para tuan
tanah. Ada yang menerima satu, dua atau tiga baris / patok.
4. Penerima / ahli waris atas tanah:
Siapa saja yang berhak atau boleh mendapat pembagian tanah lingko, secara umun dapat dikatakan bahwa semua warga beo / kampung berhak atah tanah lingko / tanah ulayat. Namun demikian warga beo ini dapat dikategorikan sebagai berikut:4.1 Warga Beo / Kampung: sebagai ahli waris.
Yang dimaksudkan dengan warga beo asli yang merupakan keturunan genealogis
(warga sesuku) yang dipandang sebagai tuan tanah di beo / kampung tersebut.
Mereka ini dapat dikatakan sebagai ahli waris utama tanah ulayat.
4.2. Pendatang./ Long.
Selain warga beo yang berasal dari turunan sesuku, warga beo / kampung juga terdiri dari para pendatang dari beo lain atau suku lain yang tinggal menetep di beo / kampung tersebut. Atau juga warga yang menetap di sana karena ikatan perkawinan atau karena fungsi kemasyarakatan tertentu, seperti guru atau petugas lainnya. Para pendatang ini pun boleh mendapat pembagian tanah ulayat. Para pendatang biasanya mendapat pembagian karena ia aktip sesuai adat
setempat meminta—disebut pa’u tuak (kapu manuk?] bersama ayam jantan )—pada tuan tanah. Sedangkan yang terikat hubungan perkawinan menerimanya sebagai wida (hiba) kepada saudara perempuan / anak perempuan yang diperistrinya.Tanah yang sudah dibagikan kepada warga beo akan menjadi hak dari warga yang bersangkutan, tidak boleh ditarik kembali atau dipindahtangankan. Dalam hal si pemilik meninggal atau pindah ke tempat lain, hak atas tanahnya tidak akan hilang atau menjadi milik ahli warisnya. 4.3. Kewajiban-kewajiban yang mengikat penerima tanah lingko.Orang-orang yang menerima pembagian tanah lingko dengan sendirinya akan dianggap sebagai warga beo, karena itu mempunyai keterikatan dengan hal-hal yang berurusan dengat dengat adat di mbaru gendang, terutama yang berkaitan dengan upacara adat di kebun, seperti: wasa, cepa untuk lingko randang atau karong woja wole di Manggarai timur.
IV KONFLIK PEREBUTAN TANAH ULAYAT
Konflik sebagai situasi pertentangan antar dua kubu adalah pengalaman hubungan antar
manusia yang biasa terjadi sehari-hari. Ada konflik yang berkaitan dengan kepentingan
politik, ekonomi maupun yang berkaitan dengan kepemilikan atas benda / harta kekayaan
seperti rumah atau tanah. Kita akan coba menelaah lebih mendalam apa kiranya yang
menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik pertanahan yang sering terjadi di wilayah
Manggarai. Apa saja hal-hal yang menjadi faktor pemicu sehingga sering terjadi konflik
baik antar pribadi, antar keluarga, antar kelompok masyarakat atau wara beo / kampung
singga menimbulkan kerugian yang luar biasa beratnya, termasuk kehilangan nyawa.
1. Penyebab terjadinya konflik.
Dari berbagai kasus konflik pertanahan yang pernah terjadi dapat ditarik kesimpulan
tentang apa yang menjadi faktor pemicu / penyebab.
1.1. Perebutan batas tanah:
Tanah-tanah lingko (tanah ulayat) yang telah dibagi biasanya diberikan batas-
batas yang disebut langang, berupa tanaman tertentu atau pagar kayu atau latur
(batu yang disusun). Langang atau batas-batas pemisah ini sering kali digeser
oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan penyempitan tanah pada pihak lain,
yang akhirnya menimbulkan konflik bahkan menyebabkan terjadinya
pembunuhan. Demikian pula bila terjadi perubahan batas-batas atau rahit antara
lingko, terutama yang berbatasan dengan lingko beo lain. Batas-batas yang
disepakati, entah pagar, pohon-pohon yang ditanam atau batas alam seperti
sungai, bukit dll. Dapat berubah entah karena sengaja dipindahkan atau karena
faktor alam, seperti peubahan alur sungai akibat banjir atau faktor alam lainnya.
Upaya untk menempatkan kembali pada posisi awal, seringkali menyebabkan
konflik antar beo / kampung. Contoh kasus: terjadi di hampir di semua tempat.
1.2. Perebutan hak waris.
Antar sesama ahli waris atas tanah pun sering terjadi perebutan tentang siapa
yang palig berhak untuk menjadi pemilik atas tanah. Konflik seperti ini bisa
terjadi antar saudara dalam keluarga, atau antara panga (sub klan) dengan panga
yang lain. Contoh kasus: perebutan tanah po’ong toro di kampung Bahong,
Kecamatan Ruteng, antara Keluarga Raja Ngambut dengan keluarga Kraeng
Manu (ahli waris Kraeng Teok), keduanya sama-sama turunan orang Todo.
1.3. Pengingkaran terhadap pemberian hak atas tanah ulayat.
Tanah-tanah ulayat yang sudah dbagikan pada masa lalu, kepada pihak-pihak lain
yang bukan berasal dari kalangan tuan tanah, misalnya para pendatang (ata long),
orang yang terikat hubungan perkawinan (anak wina), atau tokoh-tokoh
masyarakat tertentu, digugat kembali haknya atas tanah oleh turunan tuan tanah
dari beberapa generasi kemudian. Contoh kasus: pertama, konflik antar orang
Lao dan orang Dalo, Kecamatan Ruteng, sehubungan dengan lingko Randong.
Kedua, knflik antara orang Dimpong (Rahong) dengan orang Nggawut (Ndoso).
1.4. Lemahnya penegakan hukum.
Konflik pertanahan, yang tidak menemukan peyelesaian di tingkat adat atau
penyelesaiannya melangkahi adat, pada tingkat Pengadilan Negeri kadang-kadang
diselesaikan secara tidak tepat atau justru tidak adil, sehingga hanya menambah
parahnya konflik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa instansi penegak hukum
kita rawan dengan pemerasan, penyuapan, sehingga banyak penyelesaian konflik
pertanahan di Manggarai yang dapat berbah-ubah hasilnya, bergantung pada
banyaknya uang suap. Contoh kasus: peristiwa penikaman Hakim oleh salah satu
pihak terkait perkara pada Pengadilan Negeri di Ruteng.
1.5. Penggunaan tanah ulayat tidak sesuai peruntukan.
Dalam satu-dua dekade terakhir, banyak tanah ulayat yang sebelumnya telah
diserahkan kepada Instansi Pemerintah atau negara atau lembaga-lembaga
Swasta digugat kembali oleh ahli waris karena tidak digunakan sesuai
peruntukannya. Tanah yang semula diserahkan masyarkat untuk kepentingan
umum, misalnya lokasi pembangunan kantor-kantor pemerintah, terminal atau
pembangunan jalan raya, ternyata berubah menjadi tanah milik pribadi, atau
membangun usaha pribadi oleh oknum-oknum pemerintah. Contoh kasus:
pertama, pengambilan kembali sebagian tanah di kompleks kecamatan Ruteng di
Cancar oleh orang Weol sebagai ahli waris tanah tersebut. Kedua, pengambilan
kembali sebgian tanah lingko Pinggong oleh orang kampung Cancar (suku
Cepang) yang sebelumnya diserahkan kepada Yayasan SUKMA (Yayasan
Pendidikan Katolik), Keuskupan Ruteng, untuk pengembangan pendidikan
masyarakat Cancar, karena penyalahgunaan sebagian tanah tersebut untuk
kepentingan pribadi beberapa oknum.
1.6. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban oleh pihak penerima baik sebagai individu
maupun sebagai Instansi menimbulkan rasa tidak puas atau kecewa pada ahli
waris. Banyak Instansi baik pemerintah maupun Keagamaan seperti keuskupan di
Manggarai, yang terikat kewajban mendirikan mbaru gendang permanen di beo /
kampung para ahli waris, namun lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
Contoh kasus: pertama, orang Nekang menggugat tanah STKIP karena
Keuskupan hampir melupakan kewajiban membantu sebagian pembangunan
mbaru gendang di kampung Nekang. Kedua, orang Kumba / Tenda, menggugat
tanah Bandara Satar Tacik di Ruteng, karena pemerintah Daerah Manggarai
melalaikan kewajiban membayar ganti rugi atas tanah mereka.
2. Ruang lingkup konflik serta dampak konflik
2.1. Antar individu / ahli waris / keluarga.
Konflik pertanahan yang terjadi antar individu sebagai ahli waris atau antar
keluarga, tentu saja melibat individu atau keluarga yang terlibat. Bila tidak
menemukan penyelesaian yang tepat akan berlanjut pada suasan permusuhan
antar turunan para ahli waris. Tidak jarang terjadi pembunuhan dalam kanflik
seperti ini.
2.2. Antar beo / kampung.
Konflik pertanahan antar beo / kampung melibatkan warga kampung. Yang
sangat menarik untuk diperhatikan dari fenomena yang terjadi dalam satu dekade
terakhir ialah bergabungnya warga dari kampung lain yang sebenarnya tidak
terlibat dalam konflik itu, untuk ikutserta dalam perang merebut tanah sengketa.
Perang-perang antar kampung yang selama ini terjadi menyebabkan jatuh banyak
korban, baik nyawa maupun harta benda. Sistim bumi hangus seperti yang terjadi
dalam konflik antara Dalo vs Lao pasti meninggalkan pula trauma yang sangat
mendalam bagi anak cucu mereka. Hal ini tidak mustahil akan menimbulkan
keinginan balas dendam.Contoh kasus: terjadi berulang kali perang antara Lao vs
Dalo, perang antara Dimpong vs Nggawut.
2.3. Antar warga beo dengan Instansi Pemerintah / Swasta.
Konflik yang terjadi antar warga beo dengan Pemerintah atau Instansi swasta
dengan sendirinya melibatkan warga beo dan pemerintah atau lembaga swasta
bersangkutan. Konflik ini tidak jarang mengakibatkan gangguan dan
ketdaknyamanan pada lembaga-lembaga bersangkutan. Contoh kasus: Gugatan
terhadap padang gembalaan sapi Seminari Kisol di Bondei oleh masyarakat
Tanah Rata.
V UPAYA PENYELSAIAN ATAS KONFLIK PERTANAHAN
Konflik pertanahan yang terjadi pada tataran manapun dalam masyarakat Manggarai
sudah jelas membawa banyak dampak negatip bagi masing-masing pihak terkait.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya konflik yang terjadi bermuara pada
terciptanya suasana permusuhan, balas dendam, kehilangan nyawa dan harta. Budaya
Manggarai yang sangat menjunjung tinggi asas kekeluargaan, persatuan dan kesatuan
dirusak oleh berbagai bentuk tindakan main hakim sendiri, anarkis serta kriminal.
Budaya konflik yang semakin sering ditampilkan cepat atau lambat mulai menggerus
falsafah hidup rukun orang Manggarai:”teu ca ambo neka woleng lako, muku ca pu’u
neka woleng curup” (artinya: menjaga kesatuan dan persatuan dalam berpikir, bertutur
dan bertindak). Kita tentu tidak boleh membiarkan situasi seperti ini bertumbuh subur
dan terus terpelihara.
Kita semua sepakat bahwa pembagian lingko-lingko / tanah ulayat telah dilakukan sesuai
adat Manggarai oleh nenek moyang kita. Sebagai generasi penerus kita seharusnya
menghargai kebijakan mereka. Ungkapan “acer nao wase wunut” mengajarkan kita agar
“menerima dan mengharagai keputusan yang telah mereka ambil.” Kita diharapkan
menjadi orang yang taat pada hukum adat yang mereka jalankan.
Kitapun harus yakin bahwa dalam membagai tanah-tanah lingko itu mereka telah
menerapkan prinsip “bahi gici arit cingke gici iret, kudu te agil cama laing”.(artinya
membagi secara adil dan merata demi kesejahteraan bersama). Mereka telah membagi
tanah-tanah itu kepada semua orang yang memang berhak untuk mendapatkannya.
Fakta bahwa sekarang ini sering sekali terjadi konflik pertanahan secara terbuka
merupakan akibat perilaku “anggom le anggom lau” (artinya ambil sana-sini), yang tentu
saja sangat merugikan. Prinsip moral “eme data. data muing, neka daku demeng data”
perlu dipertegas kembali. Dalam kehidupan bersama, bukankah kita harus menghargai
bukan hanya pribadi manusianya saja, tetapi juga semua yang melekat padanya, termasuk
semua hak dan miliknya.
Dalam konteks bagaimana upaya menyelesaikan konflik-konflik pertanahan di
Manggarai? Sebagai orang Manggarai kami berpendapat perlu dan pentingnya
penyelesaian secara adat Manggarai. Harus diakui bahwa banyak kasus konflik menjadi
konflik terbuka justru karena melangkahi penyelesaian-penyelesaian secara adat.
Karakter orang Manggarai yang sangat menjunjung tinggi semangat kekeluargaan
menjadi potensi dan peluang yang baik .
1. Secara Adat Manggarai.
Apa yang dimaksudkan dengan penyelesaian secara adat? Di sini kami bukan
menyampaikan bagaimana tehnis pelaksanaan penyelesaian secara adat, tetapi lebih
pada mengemukakan prinsip-prinsip dasar : pertama, mereposisikan semua konflik
pada posisinya masing-masing. Itu berarti kita kembali membawa semua konflik ke
kampung / beo, pada tu’a golo, tu’a teno, kerena lembaga itulah yang menjadi intansi
pertama, merekalah yang pertama kali mengatur dan membagi lingko-lingko sesuai
dengan aturan adat Manggarai. Dari sanalah kita mulai mencari dan pasti juga bisa
menemukan benang kusut, apa yang menjadi cikal-bakal konflik yang terjadi Dari
sana akan di tentukan tahap-tahap penyelsaian yang diharapkan tidak menimbulkan
gejolak, sebab penyelesaian secara adat biasanya lebih memperhatikan pola “win win
solution”.Tidak ada yang merasa menang dan tidak ada yang merasa kalah.
2. Pengadilan Negeri.
Patut disayangkan, bila persoalan yang sesungguhnya bisa diselesaikan di tingkat
adat kampung, dibawa ke tingkat Pengadilan. Memang di lain pihak tidak dapat
dipungkiri kalau konflik itu telah mengakibatkan jatuhnya korban, unsur-unsur
kriminalnya harus diselesikan sesuai hukum Nasional yang berlaku.
Yang perlu dipahami adalah penyelesaian aspek kriminal di Pengadilan tidak berarti
persoalan sudah berakhir. Kita sadar betul bagaimana lemahnya lembaga-lembaga
penegakan hukum di tanah air kita. Banyak pencari keadilan yang justru merasakan
ketidakadilan di pengadilan kita. Citra bahwa keadilan bisa diperjual belikan sulit
dihapuskan dari gambaran masyarakat. Kasus-kasus konflik pertanahan di Manggarai
menjadi semakin rumit dan pelik di Pengadilan dan pada akhirnya tidak mendapatkan
penyelesaian yang jelas. Banyak perkara tanah yang bertele-tele dalam
penyelesaiannya, sehingga bukan mustahil akan menjadi bom waktu bagi masyarakat
Manggarai sendiri.
VI PENGUATAN MASYARAKAT ADAT
Mengapa orang Manggarai menyebut dirinya sebagai orang Manggarai? Apakah karena
mereka mengunakan bahasa Manggarai, mamakai sarung “songke” atau karena
keturunan Manggarai? Semuanya itu hanya superfisial dan fisik.
Orang Manggarai sebenarnya adalah sebuah identitas. Sebuah jati diri yang terbentuk
karena orang Manggarai menghayati falsafah hidup serta nilai-nilai manggarai yang
tersurat dan tersirat dalam adat-istiadat orang Manggarai. Falsafah itu tercermin dalam
cara berpikir, bertutur, berperilaku dan termasuk juga dalam penyelesaian masalah-
masalah yang dihadapi, seperti masalah pertanahan. Kesadaran akan jati diri ini penting,
apa lagi di era globalisasi, agar tidak tenggelam dan terombang-ambing dalam interaksi
budaya multinasional. Kembali ke budaya asal, sama sekali bukan konservatip, apa lagi
untuk disebut sebagai kolot dan tidak mau maju. Justru sebaliknya, interaksi kita yang
semakin menglobal akan memberikan apresiasinya terhadap kita, bila kita tampil dengan
jati diri kita. Semakin jati diri kita kita tampilkan, orang akan semakin mau mengenal,
menghargai dan mengakui kita.
1. Revitalisasi fungsi lembaga-lembaga adat:
Maka bila sekarang kita mau merevitalisasikan lembaga-lembaga adat, terutama
lembaga-lembaga yang berkaitan dengan urusan pertanahan, ini bukanlah suatu
langkah mundur; tetapi sebaliknya kita kembali menghargai jati diri kita,
memanfaatkan sarana serta perangkat adat kita sendiri dalam mengurus masalah-
masalah kita. Lembaga-lembaga adat yang dimaksud adalah:
1.1. Tu’a Golo.
Tu’a Golo, orang yang dituakan di kampung atau pemimpin pada tingkat
kampung, yang bertugas memimpin dan mengurus berbagai ursan adat di
kampung. Demi kesejahteraan seluruh warga kampung. Tokoh-tokoh seperti
inilah sebenaranya yang paling mengetahui tentang berbagai hal di kampung,
termasuk segala urusan yang berkaitan dengan pertanahan. Tu’a Golo pasti
tahu tentang lingko-lingko yang mereka miliki, bagaimana lingko-lingko itu
telah dibagi, siapa yang menerima, termasuk masalah-masalah yang dihadapi
dalam pembagian lingko.
Sekarang lembaga, Tua Golo, ini seakan mati suri. Mungkin eksistensinya
masih diakui sebagai status simbol, namun tidak banyak berfungsi.
Kami berpendapat warga kampung sebenarnya jauh lebih mengharagai
tokoh-tokoh seperti ini, termasuk jauh lebih mengharagai kebijakan-
kebijakanya dari pada yang lainnya, seperti para pemimpin formal lainnya.
1.2. Tu’a Teno
Lembaga lain adalah Tu’a Teno, orang yang mengatur pembagian tanah
lingko, Tu’a teno, tidak lain adalah juga tuan tanah, yang membagi dan
mengadakan upacara-upacara, pesta kebun seperti wasa, cepa atau karong
woja wole di Manggarai Timur. Sebagai tuan tanah, tokoh-tokoh ini pasti
mengetahui banyak tentang keberadaan lingko-lingkonya, kapan dibagi
kepada warga, siapa saja ahli waris yang menerima.
Saat ini tidak ada lagi lingko yang belum dibagi. Itu berarti, tugas Tu’a Teno
dalam hal pembagian tanah sudah selesai, nasmun bukan berarti tidak
berfungsi lagi. Bila sekarang kita bermaksud merevitalisasikan lembaga ini
karena kami berpendapat lembaga inilah yang paling mengetahui urusan
pembagian tanah dalam wilayahnya. Maka sangat tepat untuk melibatkan
mereka dalam penyelesaian persoalan tanah bila terjadi di wilayahnya.
1.3. Gelarang.
Gelarang pada zaman wilayah Manggarai berada di bawah pengaruh
Kesultanan Gowa (abad XVI) berada satu tingkat di bawah Dalu. Gelarang
bertugas mengumpulkan dan mengatur pengiriman upeti, termasuk juga
hamba-hamba dari wilayah glarang, kepada Sultan Gowa, kemudian Bima
dan terakhir kepada Pemerintah Belanda.
Pada zaman wilayah Manggarai menjadi wilayah kerajaan yang mandiri di
bawah kepemimpinan Raja Todo, lepas dari pengaruh Kesultanan Bima, salah
satu tugas Glarang ialah mengatur pembagian lingko-lingko kepada masing-
masing Gendang di Manggarai. Glarang sebenarnya adalah pemilik tanah,
tuan tanah pasa tataran yang lebih tinggi dari Tu’a Teno. Dengan kata lain.
Glarang—semuanya berjumlah 11 Glarang—adalah saksi sejarah pembagian
tanah ulayat di wilayah Manggarai.
Sebagai saksi-saksi pembagian tanah-tanah ulayat di Manggarai, sangat tepat
juga kita memintakan kesaksian mereka dalam penyelesaian masalah
pertanahan di Manggarai.
Dari sebelas Glarang di Manggarai, al.: Glarang Weol, Glarang Ndung,
Glarang Cumbi, Glarang Lao, Glarang Nao, Glarang Papang, Glarang Leko,
Glarang Maras, Glarang Carep, dll.
2. Klarifikasi kepemilikan tanah ulayat
2.1. Sejarah Kepemilikan tanah ulayat sesuai Gendang masing-masing.
Untuk memperjelas serta untuk kemudian menjadi pengetahuan bagi para
ahli waris tanah-tanah ulayat, ada baiknya membuat dokumentasi atas lingko-
lingko yang dimiliki masing-masing Gendang.
Data-data ini kan menjadi pegangan bagi Tu’a Teno.
2.2. Kepemilikan atas tanah ulayat saat ini.
Data-data kepemikian tanah ulayat, akan selalu disesuaikan,agar dapat
diketahui siapa ahli waris terakhir.
3. Asosiasi lembaga Adat.
Lembaga-lembaga adat kampung perlu membentuk sebuah asosiali lebaga adat
yang bertugas antara lain membuat data-data tentang kepemilikan tanah ulayat,
saling membantu dalam penyelesaian masalah pertanahan, antara lain melalui
tukar menukar informasi partanahan dalam wilayan masing-masing.
VII PEMBENTUKAN LEMBAGA ASOSIASI LEMBAGA-LEMBAGA ADAT
MANGGARAI SEBAGAI SOLUSI KONFLIK PERTANAHAN.
Masalah tanah, adalah salah satu masalah laten, bagi orang Manggarai. Dari tahun ke
tahun persoalan tanah selalu muncul. Makin bertambah penduduk,makin banyak pula
kebutuhan akan tanah, baik untuk tempat tinggal maupun sebagai lahan garapan. Di lain
pihak tanah-tanah lingko, semuanya sudah dibagi. Karena itu besar kemungkinan akan
semakin rumit masalah tanah yang kita hadapi.
Sebagai orang Manggarai kita mengharapkan agar kemungkinan seperti itu tidak bakal
terjadi. Kita perlu mengantisipasi supaya tidak tidak ada lagi korban yang jatuh, supaya
tidak ada lagi iklim saling bermusuhan serta keinginan untuk membalas dendam. Kita
mengharapkan supaya pembangunan di kabupaten-kabupaten di Wilayah Manggarai
berjalan dengan baik, situasi semakin kondusip dalam memaksimalkan potensi-potensi
lokal. Kita tidak ingin membiarkan konflik-konflik pertanahan di walayah itu menjadi
salah satu faktor penghambatan laju pembangunannya.
Untuk itu, kami merasa perlu membantu semua pihak: Pemerintah Daerah, Lembaga-
lembaga Penegak Hukum, dalam upaya-upaya mereka menyelesaikan persoalan tanah di
Manggarai dengan membentuk sebuah lembaga atau wadah yang menghimpun lembaga-
lembaga adat sehingga mereka dapat berperan dalam penyelesaian masalah-masalah
tanah. Kami berharap dengan hadirnya lembaga atau wadah seperti itu masyarakat
Manggarai dapat:
- proaktip dalam membantu penyelesaian persoalan tanah.
- terlibat dalam mengurus persoalan masyarakatnya sendiri.
- mencegah kemungkinan terjadinya konflik.
- dll.
Lembaga ini tentu tidak bermaksud untuk mengambil alih tugas atau peran Lembaga
Penegakan Hukum sesuai hukum nasional yang berlaku. Lembaga ini lebih berperan
sebagai jembatan atau penengah antar lembaga adat itu sendiri, antar lembaga adat
dengan masyarakat, dengan lembaga Penegak Hukum maupun dengan Lembaga
Keagamaan serta lembaga-lembaga lainnya.
VIII PENUTUP
Rencana pembentukan Lembaga atau wadah yang menghimpun lembaga-lembaga adat di
Manggarai patut dilihat sebagai sebuah niat baik yang perlu mendapat dukungan
berbagai pihak. Karena di mana ada niat baik, di sana pasti ada jalan. Kehadiran
Lembaga ini diharapkan akan memberikan jalan bagi penyelesaian terhadap berbagai
masalah pertanahan di kalangan masyarakat Manggarai. Kehadiran lembaga ini kiranya
juga merupakan bentuk dukungan moril bagi masyarakat Manggarai dalam
menyelesaikan masalah-masalahnya dengan sarana serta cara-cara yang lebih sesuai
dengan budayanya sendiri. Kata nenek moyang, “boto bike lompo rumbu toko, bike
cewak ru,bu lema”.(supaya menggunakan akal budi dan kearifan dalam menyesaikan
persoalan, bukan emosi danm anarki).
Jakarta, 19 Februari 2008
John Nurung
Teori Konflik Dalam Sosiologi 24 Jan
Konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan kita.
Konflik merupakan bagian dari interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Konflik ini jika dibiarkan
berlarut-larut dan berkepanjangan serta tidak segera ditangani akan menimbulkan terjadinya
disintegrasi sosial suatu bangsa. Suatu keadaan yang memiliki peluang besar untuk timbulnya
konflik adalah perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan kepentingan.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Dalam sosiologi, kita mengenal adanya teori konflik yang berupaya memahami konflik
dari sudut pandang ilmu sosial. Teori konflik adalah sebuah teori yang memandang bahwa
perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan,
tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda
dengan kondisi semula. Teori konflik lahir sebagai sebuah antitesis dari teori struktural
fungsional yang memandang pentingnya keteraturan dalam masyarakat.
Teori konflik yang terkenal adalah teori yang disampaikan oleh Karl Mark, bagi Mark
konflik adalah sesuatu yang perlu karena merupakan sebab terciptanya perubahan. Teori konflik
Mark yang terkenal adalah teori konflik kelas dimana dalam masyarakat terdapat dua kelas yaitu
kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar). Kaum borjuis selalu
mengeksploitasi kaum proleter dalam proses produksi. Eksploitasi yang dilakukan kaum borjuis
terhadap kaum proletar secara terus menerus pada ahirnya akan membangkitkan kesadaran kaum
proletar untuk bangkit melawan sehingga terjadilah perubahan sosial besar, yaitu revolusi sosial.
Teori konflik berikutnya yang juga mempengaruhi teori konflik dalam sosiologi adalah
teori yang disampaikan oleh Lewis A. Coser. Coser berusaha merangkum dua perspektif yang
berbeda dalam sosiologi yaitu teori fungsionalis dan teori konflik. Pada intinya coser
beranggapan bahwa konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok. Ketika konflik berlangsung Coser melihat katup
penyelamat dapat berfungsi untuk meredakan permusuhan.
Katub penyelamat adalah mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mencegah
kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat merupakan institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sistem atau struktur sosial. Coser membagi konflik menjadi
dua yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang
disebabkan tuntutan khusus yang dilakukan oleh partisipan terhadap objek yang dianggap
mengecewakan. Contoh: demonstarsi menuntut agar dilakukan penurunan harga BBM. Konflik
non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan khusus, melainkan untuk meredakan
ketegangan salah satu pihak. Contoh: santet pada masyarakat tradisional dan
pengkambinghitaman kelompok lain yang dilakukan oleh masyarakat modern.
Teori konflik lainnya adalah Ralp Dahrendorf, teori dahrendorf merupakan separuh
penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori konflik Mark. Karl Mark berpendapat
bahwa kontrol sarana produksi berada dalam satu individu yang sama. Dahrendorf menolah
asumsi ini dengan alasan telah terjadi perubahan drastis dalam masyarakat, yaitu antara masa
dimana Mark menyampaikan teorinya dengan masa Dahrendrorf.
Munculnya dekomposisi modal, dekomposisi tenaga kerja, dan timbulnya kelas
menengah baru merupakan dasar dari teori Dahrendrorf. Dekomposisi modal ditandai dengan
munculnya korporasi dengan saham yang dikontrol orang banyak. Dekomposisi tenaga kerja
adalah munculnya orang ahli yang mengendalikan suatu perusahaan. Timbulnya kelas menengah
baru dari buruh terampil dalam suatu perusahaan yang dibawahnya terdapat buruh biasa dengan
gaji rendah.
Dalam perkembangannya teori konflik dibahas lebih spesifik dengan lahirnya cabang
baru sosiologi yang membahas tentang konflik yaitu sosiologi konflik. Istilah sosiologi konflik
diungkapkan oleh George Simmel tahun 1903 dalam artikelnya The Sociology of conflict.
George simmel kemudian dekenal sebagai bapak dari sosiologi konflik. Dalam tulisan berikutnya
akan dibahas beberapa tokoh dan pandangannya mengenai teori konflik seperti Max Weber,
Emilie Durkheim, Ibnu Khaldun dan George simmel, teori Karl Mark tidak akan dibahas disini
karena telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.
Ibnu Khaldun menyampaikan bahwa bagaimana dinamika konflik dalam sejarah manusia
sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial (‘ashobiyah) berbasis pada identitas,
golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam
masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap berbagai konflik ( Novri Susan 2009:34). Dari
sini dapat kita lihat bagaimana Ibnu Khaldun yang hidup pada abad ke-14 juga telah mencatat
dinamika dan konflik dalam perebutan kekuasaan.
Max Weber berpendapat konflik timbul dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Setiap
stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya ( Novri
Susan 2009:42). Weber berpendapat bahwa relasi-relasi yang timbul adalah usaha-usaha untuk
memperoleh posisi tinggi dalam masyarakat. Weber menekankan arti penting power (kekuasaan)
dalam setiap tipe hubungan sosial. Power (kekuasaan) merupakan generator dinamika sosial
yang mana individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada saat bersamaan power
(kekuasaan) menjadi sumber dari konflik, dan dalam kebanyakan kasus terjadi kombinasi
kepentingan dari setiap struktur sosial sehingga menciptakan dinamika konflik.
Emilie Durkheim dalam salah satu teorinya gerakan sosial menyebutkan kesadaran
kolektif yang mengikat individu-individu melalui berbagai simbol dan norma sosial. Kesadaran
kolektif ini merupakan unsur mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok. Anggota kelompok
ini bisa menciptakan bunuh diri altruistik untuk membela eksistensi kelompoknya ( Novri Susan
2009:45). Walaupun tidak secara tersirat membahas teori konflik namun teori Weber ini pada
dasarnya berusaha untuk menganalisa gerakan sosial dan konflik. Gerakan sosial bagi Weber
dapat memunculkan konflik seperti yang terjadi pada masa Revolusi Prancis.
George Simmel berangkat dari asumsinya yang bersifat realis dan interaksionalis. Bagi
simmel ketika individu menjalani proses sosialisasi mereka pada dasarnya pasti mengalami
konflik. Ketika terjadinya sosialisasi terdapat dua hal yang mungkin terjadi yaitu, sosialisasi
yang menciptakan asosiasi ( individu berkumpul sebagai kesatuan kelompok) dan disosiasi
(individu saling bermusuhan dalam satu kelompok). Simmel menyatakan bahwa unsur-unsur
yang sesungguhnya dari disosiasi adalah sebab-sebab konflik.
Simmel berargumen ketika konflik menjadi bagian dari interaksi sosial, maka konflik
menciptakan batas-batas antara kelompok dengan memperkuat kesadaran internal ( Novri Susan
2009:48). Permusuhan timbal balik tersebut mengakibatkan terbentuk stratifikasi dan divisi-
divisi sosial, yang pada akhirnya akan menyelamatkan dan memelihara sistem sosial.
Kesimpulan: konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang bukan saja tidak dapat dihindari
tapi juga dibutuhkan oleh masyarakat, karena konflik mempertegas identitas-identitas dalam
kelompok dan membentuk dasar stratifikasi sosial. Walaupun teori konflik klasik pada dasarnya
sudak tidak dapat digunakan untuk menganalisis fenomena konflik kontemporer, karena teori ini
diciptakan pada konteks kesejarahan yang berbeda dan perubahan struktur serta dinamika
masyarakat telah diluar imajinasi para ilmuwan konflik klasik. Namun antara teori klasik dan
teori kontemporer pada dasarnya sepakat bahwa konflik memainkan peran sentral dalam
kehidupan karena mampu menjadi agen perubahan dan menjadi motor yang memobilisasi
tindakan sosial.
Daftar Pustaka
Susan, Novri. 2009. pengantar sosiologi konflik dan isu-isu kontemporer. Kencana: Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik ( diakses pada 18 Oktober 2011)