177808370 laporan jurnal poliomyelitis

Upload: bayou-fore-you

Post on 11-Oct-2015

94 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sdd

TRANSCRIPT

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus, yaitu

    poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan. Penyakit

    ini bermanifestasi dalam empat bentuk yang berbeda, yaitu infeksi tanpa gejala (inapparent

    infection) , penyakit gagal (abortive disease), poliomyelitis tanpa kelumpuhan (nonparalytic

    poliomyelitis), dan penyakit lumpuh (paralytic disease). Sebelum abad ke-19, poliomyelitis

    terjadi secara sporadic. Selama abad 19 dan 20, epidemi poliomyelitis lebih sering diamati

    dan memcapai puncak pada pertengahan tahun 1950. Prevalensi infeksi di seluruh dunia

    menurun secara signifikan sejak saat program imunisasi dilaksanakan secara besar-besaran.

    Pemberantasan penyakit ini selama decade terakhir adalah prioritas utama untuk WHO

    (World Health Organization) (Estrada, 2009).

    Poliomyelitis dapat menyerang semua kelompok umur, namun kelompok umur yang

    paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70% dari semua kasus poliomyelitis.

    Poliomyelitis termasuk kategori Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

    program imunisasi telah terbukti efektif untuk menekan angka kesakitan dan kematian

    (Rahmawati, 2008).

    Penyakit ini ditemukan pertama kali pada tahun 1840 oleh Jacob Heine, seorang

    ortopedik berkebangsaan Jerman dimana ia mengidentifikasi berbagai gejala dan gambaran

    petologi dari penyakit ini. Pada tahun 1890, Medin, seorang dokter anak berkebangsaan

    Swedia mengemukakan berbagai data epidemiologi penyakit poliomyelitis. Penyakit

    poliomyelitis juga disebut penyakit Heine-Medin (Pasaribu, 2005).

    Landsteiner dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini pada kera melalui cara

    inokulasi jaringan sumsum tulang belakang penderita yang meninggal akibat penyakit

    Poliomielitis pada tahun 1908. Tahun 1949, Ender, Weller, dan Robbins dapat

    menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan berasal dari susunan saraf sehingga

    memungkinkan ditelitinya pathogenesis dan perkembangbiakan vaksin polio (Pasaribu,

    2005).

    Pada tahun 1952, Bodian dan Horstmann mengungkapkan bahwa viremia terjadi pada

    awal infeksi dimana hal ini diperlukan untuk menerangkan fase sistemik penyakit dan

    bagaimana penyebaran virus polio ke susunan saraf pusat. Salk melaporkan keberhasilan

  • imunisasi dengan formalin-inactivated poliovirus pada tahun 1953 dan lisensi vaksi ini

    diperoleh pada tahun 1955. Beberapa tahun kemudian Sabin, Koprpwski dan lainnya

    mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi pada tahun 1962

    (Pasaribu, 2005).

    Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, jumlah kasus di negara maju

    menurun secara drastic. Di Amerika Serikat, angka kejadian menurun dari 17,6 kasus

    Poliomielitis per 100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun

    1962. Sejak tahun 1972, kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun

    (Pasaribu, 2005).

    Pada tahun 1992, WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari kelumpuhan

    yang diakibatkan oleh poliomyelitis di seluruh dunia, dan keseluruhan penderita anak yang

    menderita lumpuh akibat polio diperkirakan 10 sampai 20 juta orang (Rahmawati, 2008).

    Untuk menurunkan angka kejadian Poliomielitis, banyak penelitian mengenai terapi

    Poliomielitis yang terbaru salah satunya adalah dengan Periacetabular Osteotomy yang akan

    dibahas pada journal reading kali ini.

    Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Available at:

    http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#showall on September 27, 2011.

    Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available at:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf on September 27,

    2011.

    Rahmawati, Dwi. 2008. Validitas Penapisan AFP Untuk Diagnosis Polio. Available at:

    http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123434-S-5383-Validitas%20Penapisan-

    Pendahuluan.pdf on September 27, 2011.

    Metode:

    Sembilan pasien yang telah mengalami osteotomi periacetabular Bernese diidentifikasi memiliki

    kelumpuhan displasa panggul sekunder pada poliomyelitis. Osteotomi periacetabular osteotomi

    pada pasien ini telah dilakukan oleh satu dan beberapa peneliti senior lainnya. Penelitian ini

    dikombinasikan dengan praktek yang telah dilakukan sebanyak lebih dari 2800 osteotomi

    periacetabular. Usia rata-rata pasien pada saat operasi adalah 31 tahun, namun rentang usia untuk

  • dapat melakukan osteotomi ini antara 12 samapi 47 tahun. Semua pasien yang dilakukan

    penelitian mengeluhkan nyeri panggul. Kelima diantaranya juga mengeluhkan adanya masalah

    dalam hal keseimbangan dan semua pasien akan melakukan tes berjalan untuk menilai seberapa

    besar derajat keparahan kelemahan ototnya. Tiga pasien pada penelitian ini sebelunya sudah

    melakukan operasi panggul, dua diantaranya menjalani operasi kaki dan enam pasien lainnya

    memiliki tambahan prosedur pada saat ostetotomi periacetabular, dengan diantaranya tiga

    memiliki proksimal inthertrochanteric femoralis ostetotomy, dua memiliki tambahan prosedur

    pada kaki dan satu pasien memiliki ilitolibial band release.

    Pada catatan klikik pra operasi yang terakhir, delapan pasien dinilai dengan pemeriksaan fisik

    dan radiografi pada pemeriksaan terkahirnya. Satu pasien dihubungi melalui telepon dan

    radiografi agar kami dapat melakukan pemeriksaan. Penilaian klinis dilakukan dengan

    menggunakan score depalan harris yang dimulai dari panggul. Pengukuran kekuatan otot

    dievaluasi menggunakan skala 0-5 seperti yang dijelaskan oleh medical research council.

    Anterposterior dan lateral radiografi dievaluasi sebelum dan sesudah osteotomi Bernese

    kemudian dievaluasi sudut pusat tepi wiberg acetabular, indeks dari tonus asetabular, dan indeks

    ekstruksi. Setiap radiografi uga dinilai untuk apabila terdapat arthritis berdasarkan sistem

    klasifikasi yang dijelaskan oleh Tonnis. Menurut sistem ini, kelas pertama menandakan skelrosis

    dan caput femoralis dan asetabulum dengan penurunan sedang pada persendian. Kelas kedua

    adalah panggul dengan kista kecil atau penurunan moderat pada asetabulum, dan kelas ketiga

    panggul dengan pembentukan kista besar, kehilangan persendian, dan lumpuhnya caput

    femoralis.

  • Hasil Penelitian:

    Osteotomi periasetabular bernese meningkatakan semua parameter radiografi

    yang memiliki kaitan dengan dysplasia panggul, dengan peningkatan secara

    dramatis dalam indeks ekstruksi, indeks acetabular, dan rata-rata tepi sudut

    lateral-pusat. Rata-rata tepi sudut lateral-pusat preoperasi 18,2o dan rata-rata sudut

    lateral-pusat postoperasi adalah 32,3o. Rata-rata indeks ekstruksi postoperais

    adalah 13,3. Rata-rata indeks acetabular preoperasi adalah 33,3, dan rata-rata

    indeks acetabular postperasi 9,2. Semua peningkata telah signifikan (p < 0,005).

    Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan tingkat

    keparahan nyeri pada semua pasien. Pada sebagian pasien mengalami penurunan

    dalam beratnya nyeri, dengan penurunan dalam fungsi. Osteotomi secara tidak

    diandalkan meningkatkan fungsi otot abductor, pada dua dari delapan pasien yang

    kekuatan otot preoperasinya diketahui memiliki peningkatan kekuatan otot

    abductor pada pemeriksaan yangterakhir kali dilakukan. Keseluruhan hasil

    keseluruhan yang baik berisi dari skor rata-rata nilai panggul Harris sekitar 53

    (preoperasi) menjadi 80 (postoperasi). Krangnya peingkatan fungsi pada beberapa

    pasien dikaitkan dengan kombinasi dari kelemahan otot yang persisten mengenai

    panggul dan kecacatan yang berhubungan dengan sendi lainnya. Dalam

    kebanyakan kasus, berjalan kaki dan menggunakan alat bantu untuk berjalan

    sangat tergantung pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait dengan sendi

    lain.

    Perbaikan dari displasia panggul dan penahanan panggul muncul untuk

    memperlambat perkembangan osteoarthritis pada panggul yang telah dipengaruhi.

    Empat pasien memiliki kekuatan tonus otot kelas pertama, tiga pasien berada pada

    kekuatan otot kelas 0 sampai dengan 1, dan satu pasien memiliki perkembangan

    dari kekuatan tonus otot kelas 1 sampai kelas 2 dengan resubluxation kepala

    femoral pada pemeriksaan 20 tahun pasca operasi. Pada lima pasien lainnya,

    memiliki kekuatan tonus yang sama. Dengan 12 tahun menjalankan osteotomi

    periasetabular dijelaskan tidak ada perkembangan pada tonus otot.

  • PEMBAHASAN

    DEFINISI

    Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh poliovirus (PV)

    dan menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan kelemahan otot yang menetap

    dan kelumpuhan. Poliovirus masuk secara peroral dan menginfeksi sel yang

    pertama kali ditemuinya. Poliovirus berikatan dengan reseptor mirip-

    imunoglobulin/CD155 sehingga mampu memasuki sel dan bereplikasi di

    dalamnya. Setelah itu poliovirus diserap ke dalam darah dan terdistribusi ke

    seluruh tubuh. Pada 0,1-0,5% kasus, poliovirus menyebar ke jaras saraf dan

    menyerang sel saraf motorik medula spinalis, batang otak dan korteks motorik

    sehingga menyebabkan paralisis. Berdasarkan lokasi sel saraf yang terinfeksi ada

    tiga macam poliomyelitis yaitu:

    1. Poliomyelitis spinal

    Pada polimyelitis spinal, poliovirus menyerang sel kornu anterior (ventral)

    medula spinalis yang berfungsi sebagai jaras motorik sehingga

    mengganggu penyampaian sinyal dari sistem saraf pusat ke saraf tepi yang

    berhubungan, antara lain saraf yang mengatur pergerakan ekstremitas.

    Dengan terputusnya stimulasi saraf, otot akan mengalami atrofi,

    kelemahan dan pada akhirnya paralisis. Lokasi dan jenis paralisis yang

    terjadi bergantung pada regio medula spinalis yang terserang, apakah

    servikal, torakal atau lumbal.

    2. Poliomyelitis bulbaris

    Pada 2% kasus poliomyelitis, poliovirus menyerang daerah bulbaris pada

    otak. Daerah ini merupakan substansia alba yang menghubungkan batang

    otak dengan korteks cerebral. Infeksi poliovirus di daerah bulbaris

    menyebabkan kelemahan khususnya pada saraf-saraf kranialis.

    3. Poliomyelitis bulbospinalis

  • 19% kasus poliomyelitis merupakan gabungan dari kedua jenis

    poliomyelitis yang sudah disebutkan sebelumnya. Biasanya poliovirus

    menyerang daerah atas medula spinalis segmen servikal (C3-C5), sehingga

    menyebabkan paralisis gabungan yaitu paralisis nervus frenikus yang

    mengatur pernapasan dan paralisis anggota gerak.

    Atkinson W, Wolfe S, Hamborsky J, McIntyre L, eds. Epidemiology and

    Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 11th ed. Washington DC:

    Public Health Foundation; 2009

    Bagi penderita yang mengalami tanda klinik paralisis, 30% di antaranya

    akan sembuh, 30% mengalami kelumpuhan ringan, 30% mengalami

    kelumpuhan berat dan sisanya menimbulkan kematian.

    Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Mengenal

    penyakit polio. [Online]. 2007 Feb 3 [cited 2009 Sept 16]; Available

    from: URL:http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=153

    EPIDEMILOGI

    Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan satu-satunya

    reservoir penyakit poliomyelitis. Di Negara yang mempunyai 4 musim, penyakit

    ini lebih sering terjadi di musim panas, sedangkan di Negara tropis musim tidak

    berpengaruh. Penyebaran penyakit ini terutama melalui fecal-oral walaupun

    penyebaran melalui saluran nafas dapat juga terjadi. Pada akhir tahun 1940-an dan

    awal tahun 1950-an epidemic poliomyelitis secara teratur ditemukan di Amerika

    Serikat dengan 15.000 21.000 kasus kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun

    1920, 90% kasus terjadi pada anak < 5 tahun, sedangka di awal tahun 1950-an

    kejadian tertinggi adalah pada usia 5 9 tahun. Ahkan belakangan ini lebih dari

    sepertiga kasus terjadi pada usia > 15 tahun.

    Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara dramatis

    trjadi penurunan jumlah kasus di Negara maju. Di Amerik Serikat angka kejadian

  • turun dari 17,6 kasus poliomyelitis per 100.000 penduduk di tahun 1955 menjadi

    0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972, kejadiannya < 0,01 kasus

    per 100.000 ata 10 kasus per tahun.

    ETIOLOGI

    Virus poliomyelitis ( virus RNA ) termasuk dalam genus enterovirus dan family

    picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 ( Brunhide ), tipe 2 ( Lansing )

    dan tipe 3 ( Leon ). Infeksi dapat terjadi oleh salah satu atau lebih dari tipe virus

    tersebut. Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe 1.

    Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunitas bersifat seumur hidup

    dari spesifik untuk satu tipe. Penyebaran enterovirus ini melalui makanan atau air

    yang terkontaminasi tinja terinfeksi. Infeksi menyebar dari usus halus ke seluruh

    tubuh terutama otak dan saraf tulang belakang. Di negara-negara maju sudah

    sangat jarang ditemukan kasus baru karena penyebaran vaksinasi secara meluas.

    Di negara berkembang penyebaran terjadi karena sumber air terkontaminasi

    kotoran manusia.

    FAKTOR RESIKO

    Dokter menentukan diagnosa polio dari gejalanya. Pemeriksaan dilengkapi

    dengan menemukan virus polio dalam sampel feces dan deteksi kadar antibodi

    terhadap virus yang tinggi dalam darah. Komplikasi yang paling berat adalah

    kelumpuhan permanen. Walaupun kelumpuhan hanya terjadi pada 1 di antara 100

    kasus tapi kelemahan pada satu atau beberapa otot sangat sering ditemui. Kadang-

    kadang bagian otak yang mengatur pernafasan terkena infeksi sehingga terjadi

    kelemahan atau kelumpuhan pada otot-otot dada. Pada beberapa kasus terjadi

    komplikasi lanjutan 20 sampai 30 tahun setelah serangan polio. Komplikasi ini

    disebut postpoliomyelitis syndrome, berupa kelemahan otot progresif yang

    seringkali berakibat kecacatan hebat.

    1. Belum mendapatkan imunisasi polio

    2. Berpergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

    3. Kehamilan

  • 4. Usia sangat lanjut atau sangat muda

    5. Luka di mulut atau tenggoroka

    6. Stress atau kelelahan fisik yang luar biasa ( karena stress emosi da fisik

    dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh )

    7. Patofisiologi

    8. Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke kelenjar getah bening

    leher dan mesenterika hingga tersebar secara hematogen. Virus yang

    berada dalam darah merupakan periode viremia. Setelah periode viremia,

    virus menjadi agen neurotropik dan menghasilkan kerusakan motor

    neuron di kornu anterior serta batang otak. Perusakan neuron motor

    menimbulkan keadaan flaccid paralysis, yang dapat terdistribusi melalui

    tulang belakang atau bulbar. Hanya 5% dari pasien terinfeksi memiliki

    keterlibatan sistem saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa

    replikasi di situs extraneural mempertahankan viral load dan

    meningkatkan kemungkinan bahwa virus akan memasuki sistem saraf.

    9. Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang

    darah-otak atau oleh transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini dapat

    menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus presentral,

    talamus, hipotalamus, batang otak motorik inti dan formasi retikular

    sekitarnya, inti vestibular dan serebelum, dan neuron-neuron pada

    kolumna vertebralis anterion dan intermedia. Sel-sel saraf mengalami

    kromatolisis pusat bersama dengan reaksi inflamasi sementara replikasi

    virus mendahului timbulnya kelumpuhan. Seiring proses kromatolisis

    berjalan, kelumpuhan otot atau bahkan atrofi muncul ketika hanya kurang

    dari 10 % neuron yang bertahan pada segmen yang sama terinfeksi.

    Gliosis terjadi ketika infiltrat inflammatory telah mereda, namun neuron

    yang bertahan hidup menunjukkan pemulihan penuh (Kindberg, Ax C,

    Fiore, dkk., 2009; Racaniello, 2006).

    10.

  • 11. Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Diakses di

    http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#a0101. Pada

    tanggal 27 September 2011

    12. Kindberg E, Ax C, Fiore L, Svensson L. Ala67Thr mutation in the

    poliovirus receptor CD155 is a potential risk factor for vaccine and wild-

    type paralytic poliomyelitis. J Med Virol. May 2009;81(5):933-6.

    13. Racaniello VR. One hundred years of poliovirus pathogenesis. Virology.

    Jan 5 2006;344(1):9-16.

    Gambaran klinis poliomyelitis

    Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9 12 hari, tetapi dapat juga

    berlangsung antara 3 35 hari dengan gejala yang sangat bervariasi yang secara

    garis besar terbagi menjadi 4 yaitu:

    1. Infeksi tanpa gejala

    Kejadian infeksi asimptomatik ini sulit diketahui, namun diperkirakan 90

    95% penduduk epidemi mengalami infeksi ini. Penyakit ini dapat diketahui

    dengan ditemukannya virus di tinja atau meningkatnya titer antibodi.

    2. Infeksi abortif

    Kejadian diperkirakan 4 8% dari penduduk pada suatu epidemi. Gejala ini

    berlangsung 1 3 hari yang ditandai dengan:

    1) Demam

    2) Malaise

    3) Nyeri tenggorok

    4) Anoreksia

    5) Muntah

    6) Nyeri otot dan perut

    7) Diare

    8) Nyeri kepala

    3. Poliomyelitis non paralitik

  • Kejadian diperkirakan 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan

    infeksi abortif yang berlangsung 1 2 hari yang kemudian diikuti dengan

    penurunan suhu sampai batas normal lalu meningkat kembali dan disertai

    dengan:

    1) Mual dan muntah berat

    2) Nyeri kepala hebat

    3) Kernig sign

    4) Brudzinky sign

    5) Tripod sign

    6) Head drop

    4. Poliomyelitis paralitik

    Keadaan ini ditandai dengan kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot

    skelet. Kelemahan ini menghilang dalam beberapa hari dan akan timbul lagi

    yang disertai dengan paralysis flaccid yang bersifat asimetris. Bagian yang

    sering diserang adalah tungkai, namun dapat juga terjadi ileus paralitik dan

    pada keadaan yang berat dapat terjadi kelemahan otot pernafasan. Berdasarkan

    tingginya lesi pada SSP dapat dibedakan menjadi 4 yaitu:

    a. Bentuk spinal

    Ditandai dengan kelemahan otot leher, punggung, perut, diafragma,

    ekstrimitas, refleks tendon menurun, sensibilitas normal.

    b. Bentuk bulbar

    Ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf kranial

    dengan atau tanpa gangguan pusat vital. Apabila kelemahan terjadi pada

    saraf IX, X, da XI dapat mengakibatkan kelumpuhan otot faring dan lidah

    yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.

    c. Bentuk bulbospinal

    Ditandai dengan gejala campuran antara bentuk bulbar dan spinal.

    d. Bentuk ensefalitis

    Ditandai dengan penururnan kesadaran, tremor dan kejang.

  • Diagnosis

    Diagnosis polio dibuat berdasarkan(4)

    :

    1. Pemeriksaan virology dengan cara membiakkan virus polio, baik liar

    maupun virus vaksin. Selain tatacara laboratorik yang ketat dan standar (dengan

    kultur sel jaringan), kualitas specimen sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan.

    Specimen yang kering, tidak dingin, terkontaminasi atau pengambilan sampel

    setelah 2 minggu setelah lumpuh memberikan hasil biakan negative palsu.

    Lumpuh layuh juga dapat disebabkan oleh infeksi dengan enterovirus 71 atau

    Coxsackie A& atau non-polio-enterovirus yang lain. Selain biakan, identifikasi

    antigen dilakukan dengan pemeriksaan probe atau sequencing.

    2. Pengamatan gejala dan perjalanan klinik. Banyak sekasli kasus yang

    menunjukkan gejala lumpuh layuh yang termasuk dalam acute flaccid paralysis.

    Pemeriksaan yang teliti dan pengamatan lanjutan yang sangat membantu. Kasus

    klinik mirip polio (polio-compatibel) adalah kasus yang setelah 60 hari masih

    mempunyai paralisis residual tanpa informasi medic yang jelas, atau penderita

    meninggal. Sensitifitas menjadi 64% dan spesifitas 82% apabila kita

    menggunakan variable gabungan dengan menambahkan variable umur di bawah 6

    tahun, adanya panas pada permulaan sakit, perubahan paralisis yang cepat

    menjadi maksimal (dalam waktu 4 hari). Cara lain adalah menambahkan variable

  • lain misalnya penambahan pola neurologikyang dianggap khas seperti

    kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak adanya gangguan sensori. Pada akhir

    program eradikasi sensitivitas diperlebar dengan memasukkan border-line cases,

    yaitu semua penderita yang lumpuh layuh akut.

    3. Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat

    merujuk secara lebih tepat letak kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan

    dapat memisahkan kerusakan motor neuron dengan kelainan lain akibat

    demyelinasi pada saraf tepi, sehingga dapat mempermudah membedakan polio

    dengan kelainan kerusakan lower motor neuron lain, misalnya Guillain-Barre

    syndrome. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan MRI dapat menunjukkan

    kerusakan di daerah kolumna anterior, sedangkan pemeriksaan likuor memberikan

    gambaran sel dan bahan kimia (kadar gula dan protein) yang sangat penting untuk

    menentukan kerusakan yang terjadi pada sel motor neuron.

    4. Pemeriksaan adanya gejala sisa neurologic (residual paralysis).

    Pemeriksaan ini dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit

    neurologic, misalnya mencari kelumpuhan partial atau kelemahan otot pada satu

    atau sekelompok otot. Pemeriksaan sebaiknya tepat waktu (jangan diundur),

    karena kelemahan ini bias menghilang akibat adanya kompensasi oleh otot lain

    atau perbaikan dari sisa otot yang masih baik. Bilamana ada keraguan sebaiknya

    dilanjutkan dengan pemeriksaan elektrodiagnostik.

    Pemeriksaan Penunjang

    A. Darah Tepi Perifer

    Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomeilitis pada gejala

    awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer mungkin dalam batas

    normal atau terjadi leukositosis pada fase akut mayor illness yaitu 10.000-

    30.000/l dengan predominan PMN.(4)

    B. Cairan Serebrospinal

  • Pada 90% kasus mayor illness, terjadi peningkatan jumlah sel bervariasi 20-300

    sel/l, pada umumnya dalan 72 jam pertama terjadi dominasi PMN, selanjutnya

    dominasi limfosit dan jumlah sel menurun pada minggu ke-2 menjadi 10-15/l.

    terdapat penurunan kadar gula likuor dan peninggian kadar protein 30-200mg/dl

    pada minggu ke-2, dan kembali normal dalam sebulan.(4)

    C. Pemeriksaan Serologik

    Diagnosis poliomeilitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody 4x atau

    lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara pemeriksaan uji

    netralisasi dan uji fiksasi komplemen. Karena complement fixing antibody

    mempunyai waktu yang lebih pendek dibandingkan filter netralisasi, dan lebih

    kuat maka dapat ditentukan adanya infeksi polio baru bial terdapat peninggian tes

    fiksasi komplemen. Sangat membantu bila wabah disebabkan oleh type tertentu

    atau oleh NPE yang lain.(4)

    D. Isolasi Virus

    Penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase paralitik

    terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan dari gejala neurologic,

    80-90% positif untuk virus polio, oleh karena itu ekskresi terjadi intermiten maka

    yang sebainya diambil 2 atau lebih specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari

    faring dan cairan serebrospinal jarang menghsilkan virus dan mempengaruhi cara

    vaksinasi

    S, Poorwo Soedarmo, Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis, Bagian Ilmu Kesehatan

    Anak FK UI, Jakarta, 2002.

    Komplikasi poliomyelitis:

    Kelemahan otot:

    Otot-otot tubuh terserang paling akhir

    Refleks tendon menurun atau tidak ada sama sekali

  • Atrofi otot mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi

    lengkap setelah 12-15 minggu serta bersifat permanen.

    Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai retensi urin

    Gangguan saraf kranial III, IX, dan X. Bila mengenai formasio retikularis

    dibatang otak, maka terdapat gangguan pernafasan, menelan dan sistem

    kardiovaskuler.

    Sindrom pascafolio

    Prognosis poliomyelitis

    Prognosis tergantung derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan sedang,

    kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat. Penderita

    polio spinal 50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan, 25%

    disabilitas serius dan permanen. Sebanyak 1% penderita polio berat akan

    mengalami kematian.

    dr. George Dewanto, SpS, dr. Wita J. Suwono, SpS, dr. Budi Riyanto,

    SpS, & dr. Yuda Turana, SpS. 2003. Panduan Praktis Diagnosis dan tata

    Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

    Terapi lama Poliomyelitis

    Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak mempengaruhi perjalanan

    penyakit ini. Terapi poliomyelitis tak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit

    yang terjadi. Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke susunan saraf

    yang dilakukan in-vitro tidak dapatdikerjakan pada manusia. Pemberian

    immunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran hematogen ke susunan

    saraf, tetapi bila fase paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi dan

    ortopedi perlu diperhatikan fungsi yang lain. Manajemen pengobatan suportif

    yang baik (respirasi buatan pada anak) gangguan respirasi atau

    kardiovaskuler.Jika otot-otot pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan

    ventilator.

  • Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu infeksi berlangsung.

    Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan nyawa, teruatma membantu

    pernafasan mungkin diperlukan pada kasus yang parah. Jika terjadi infeksi saluran

    kemih, diberikan antibiotik. Untuk mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejang

    otot, bisa diberikan obat pereda nyeri. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi

    dengan kompres hangat. Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsi

    otot mungkin perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau

    penyangga maupun pembedahan ortopedik.

    A. Fase Pre-paralitik

    Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala sistemik yang tak spesifik

    harus diperhatikan kemungkinan terjadi paralisis. Tirah baring merupakan

    pengobatan yang penting untuk menjaga terjadinya footdrop, bila anak tampak

    gelisah dapat diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang sakit

    diberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik bila

    demam.Selain itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi protein.

    B. Fase Paralitik

    Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik, misalnya aspirin atau

    acetaminophen. Rasa nyeri pada otot dikurangi dengan mengurangi

    manipulasidan untuk menghindari terjadinya regangan pada otot diberikan splint.

    Perlu dilakukan gerakan pasif pada otot secara halus. Dianjurkan fisioterapi

    dimulai pada masa konvalesens untuk mencegah kontraktur. Pemberian cairan

    suplemen bila per-oral kurang dan pemberian enema bila obstipasi. Setelah fase

    akut lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif. Konsultasi ortopedi dapat dilakukan

    segera tetapi operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah awitan. Braces

    mungkin dapat dipakai untuk mengkompensasi kelemahan otot.

  • Referensi :

    Soedarmo,Sumarmo S. Poorwo et al.2002. Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis,

    Bagian Ilmu Kesehatan Anak Ed.1. Jakarta : FK UI

    Terapi baru

    Periacetabular Osteotomi

    Teknik pembedahan

  • Teknik Bernese periacetabular osteotomy pertama kali dijelaskan pada 1987 dan

    mulai berevolusi dengan sedikit perubahan. Dokter menggunakan pendekatan

    Smith-Petersen dimodifikasi ke pinggul, yang memungkinkan perlindungan kulit

    saraf femoralis lateralis. Osteotomy dari spina iliaka anterior superior dengan

    tendon dan ligamen inguinal sartorius terpasang dilakukan untuk mengurangi

    ketegangan pada saraf kutaneus lateralis femoralis. Untuk dua pasien yang

    dioperasi sebelum tahun 1993, asal-usul fasciae latae tensor dan gluteus medius

    dan otot paling bungsu dibebaskan dari panggul, namun, setelah 1993, osteotomy

    yang dilakukan melalui pendekatan yang tetap teknik saat ini disukai. Kedua otot

    rektus femoris terlepas dari asal-usul dan tercermin medial. Serat dari otot m.

    iliakus, yang melekat pada kapsul anterior pinggul, yang dibedah sampai pectineal

    bursa divisualisasikan dan tendon m. psoas itu terkena. Para osteotomies

    dilakukan di Eropa oleh salah satu dari kami (RG) dilakukan tanpa bimbingan

    fluoroscopic, tetapi anatomi dan tanda didefinisikan dengan baik. Kolom

    posterior panggul itu tetap utuh, dan fragmen acetabular lateral, anterior, dan

    medial yang diperlukan untuk diputar mencapai optimal penahanan kepala

    femoral. sebuah intraoperatif radiografi panggul dibuat untuk memverifikasi

    posisi yang memadaifragmen acetabular.

    Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan dalam

    keparahan nyeri pada semua pasien. Semua pasien mengalami penurunan dalam

    beratnya nyeri, dengan peningkatan kurang dalam fungsi. osteotomy yang tidak

    andal meningkatkan fungsi otot, seperti yang hanya dua dari delapan otot pasien

    yang sebelum operasi Kekuatan dikenal perbaikan telah di otot kekuatan di saat

    terakhir tindak lanjut. keseluruhan baik hasil klinis yang diperoleh keseluruhan

    baik, dengan peningkatan yang signifikandari skor rata-rata dari pinggul Harris

    preoperasi 53 (kisaran, 43-70) sampai 80 pasca operasi (kisaran, 72-93, p

  • Pencegahan poliomyelitis

    1. Imunisasi pada usia balita yang terdiri dari 2 jenis vaksin yaitu OPV dan IPV.

    Pemberian OPV dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu, 2 dosis

    selanjutnya diberikan dengan interval minimal 4 minggu, pada daerah endemi

    pemberian vaksin dapat dimulai saat bayi lahir.

    2. Survailance accute flaccid paralysis atau penemuan penderita yang dicurigai

    lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus diperiksa tinjanya

    untuk memastikan karena polio atau bukan.

    3. Melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi massal di daerah yang

    ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah lima tahun tanpa

    melihat status imunisasi polio sebelumnya.

    4. Menjauhi daeran endemi. (Pasaribu, 2005)

    Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomyelitis. Diakses pada tanggal 27

    September 2011 dari http:www.usu.ac.id